Este documento apresenta um resumo sobre os sistemas de administração Just-in-Time, Kaizen e o trabalho do administrador Shigeo Shingo. Inclui definições e objetivos destes sistemas, além das conclusões individuais de três estudantes sobre o conteúdo.
New Makalah Keuangan dan Perbankan (Study Lapang Bank BCA Syariah)Fenti Anita Sari
Perkembangan perbankan syariah yang tumbuh cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan minat masyarakat mengenai ekonomi syariah semakin bertambah. Untuk memenuhi kebutuhan nasabah akan layanan syariah, maka berdasarkan akta Akuisisi No. 72 tanggal 12 Juni 2009 yang dibuat dihadapan Notaris Dr. Irawan Soerodjo, S.H., Msi, .PT.Bank Central Asia, Tbk (BCA) mengakuisisi PT Bank Utama Internasional Bank (Bank UIB) yang nantinya menjadi PT. Bank BCA Syariah. Selanjutnya berdasarkan Akta Pernyataan Keputusan di Luar Rapat Perseroan Terbatas PT Bank UIB No. 49 yang dibuat dihadapan Notaris Pudji Rezeki Irawati, S.H., tanggal 16 Desember 2009, tentang perubahan kegiatan usaha dan perubahan nama dari PT Bank UIB menjadi PT Bank BCA Syariah. Akta perubahan tersebut telah disahkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam Surat Keputusannya No. AHU-01929. AH.01.02 tanggal 14 Januari 2010. Pada tanggal yang sama telah dilakukan penjualan 1 lembar saham ke BCA Finance, sehingga kepemilikan saham sebesar 99,9997% dimiliki oleh PT Bank Central Asia Tbk, dan 0,0003% dimiliki oleh PT BCA Finance.Perubahan kegiatan usaha Bank dari bank konvensional menjadi bank umum syariah dikukuhkan oleh Gubernur Bank Indonesia melalui Keputusan Gubernur BI No. 12/13/KEP.GBI/DpG/2010 tanggal 2 Maret 2010. Dengan memperoleh izin tersebut, pada tanggal 5 April 2010, BCA Syariah resmi beroperasi sebagai bank umum syariah.
Dr. Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA
Deputi Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi LAN
Pengajar Program Doktor Terapan Ilmu Administrasi, Politeknik STIA LAN
Disampaikan pada Kuliah Umum Program Doktor Ilmu Administrasi UNTAG Surabaya
10 Oktober 2020
New Makalah Keuangan dan Perbankan (Study Lapang Bank BCA Syariah)Fenti Anita Sari
Perkembangan perbankan syariah yang tumbuh cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan minat masyarakat mengenai ekonomi syariah semakin bertambah. Untuk memenuhi kebutuhan nasabah akan layanan syariah, maka berdasarkan akta Akuisisi No. 72 tanggal 12 Juni 2009 yang dibuat dihadapan Notaris Dr. Irawan Soerodjo, S.H., Msi, .PT.Bank Central Asia, Tbk (BCA) mengakuisisi PT Bank Utama Internasional Bank (Bank UIB) yang nantinya menjadi PT. Bank BCA Syariah. Selanjutnya berdasarkan Akta Pernyataan Keputusan di Luar Rapat Perseroan Terbatas PT Bank UIB No. 49 yang dibuat dihadapan Notaris Pudji Rezeki Irawati, S.H., tanggal 16 Desember 2009, tentang perubahan kegiatan usaha dan perubahan nama dari PT Bank UIB menjadi PT Bank BCA Syariah. Akta perubahan tersebut telah disahkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam Surat Keputusannya No. AHU-01929. AH.01.02 tanggal 14 Januari 2010. Pada tanggal yang sama telah dilakukan penjualan 1 lembar saham ke BCA Finance, sehingga kepemilikan saham sebesar 99,9997% dimiliki oleh PT Bank Central Asia Tbk, dan 0,0003% dimiliki oleh PT BCA Finance.Perubahan kegiatan usaha Bank dari bank konvensional menjadi bank umum syariah dikukuhkan oleh Gubernur Bank Indonesia melalui Keputusan Gubernur BI No. 12/13/KEP.GBI/DpG/2010 tanggal 2 Maret 2010. Dengan memperoleh izin tersebut, pada tanggal 5 April 2010, BCA Syariah resmi beroperasi sebagai bank umum syariah.
Dr. Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA
Deputi Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi LAN
Pengajar Program Doktor Terapan Ilmu Administrasi, Politeknik STIA LAN
Disampaikan pada Kuliah Umum Program Doktor Ilmu Administrasi UNTAG Surabaya
10 Oktober 2020
There is an urgent need for policy makers to adopt a cautious perspective when dealing with the recent revival of protectionism. The changing policy context of global competition requires that emphasis be placed on facilitating broad-based innovation. This is in sharp contrast to the current and past industrial policies that were based on import substitution and sector-picking. This paper briefly outlines Pakistan’s experience with industrial policy over the past 6 decades, and shows how protectionist industrial and trade policy regimes are ineffective with respect to equipping Pakistan to compete globally. The paper also outlines global best practices with reference to designing an enabling industrial policy and suggests policy reforms that are appropriate in the political and global context of Pakistan. There also exist contrary views about the scope and composition of industrial policy even within the government functionaries. There is a dire need for a shared vision and deeper consensus building. Thus this paper aims to highlight the radical contrast in perspectives that exists between the current policy of the ministry of industries and a policy conducive to a prosperous Pakistan.
An Individual project given in order to complete the module named Macro Economics which expresses analysis of the trends of inflation rates of Sri Lanka during recent years.
Perubahan pradigma manajemen kinerja asnDr. Zar Rdj
Banyak hal yang berubah dalam manajemen kinerja, best akselerasi terwujudnya smart asn yang berkelas dunia melalui digital talent dan leader tentunya sudah didepan mata namun harus didukung dengan para pemangku MSDM yang nyata dan perduli akan isu-isu strategis terkait Talent Management yang utuh.
Pertumbuhan Ekonomi (Pengertian, Unsur Pertumbuhan Ekonomi, Perbedaan dengan ...SMA BRUDERAN PURWOREJO
Menjelaskan tentang Pengertian Pertumbuhan Ekonomi, Unsur Pertumbuhan Ekonomi, Perbedaan Pertumbuhan Ekonomi dengan Pembangunan Ekonomi, Cara Mengukur Pertumbuhan Ekonomi, Teori Pertumbuhan Ekonomi, Dampak Positif dan Negatif Pertumbuhan Ekonomi
Em continuidade aos meus estudos em Lean Manufacturing não podia deixar de falar sobre este tema que teve uma febre entre os anos de 2000 a 2005 onde chegamos até aplicar os conceitos de sequenciamento, depois teve uma queda e até então o tema fica um pouco esquecido e precisamos repensar nossos sistemas logísticos.
There is an urgent need for policy makers to adopt a cautious perspective when dealing with the recent revival of protectionism. The changing policy context of global competition requires that emphasis be placed on facilitating broad-based innovation. This is in sharp contrast to the current and past industrial policies that were based on import substitution and sector-picking. This paper briefly outlines Pakistan’s experience with industrial policy over the past 6 decades, and shows how protectionist industrial and trade policy regimes are ineffective with respect to equipping Pakistan to compete globally. The paper also outlines global best practices with reference to designing an enabling industrial policy and suggests policy reforms that are appropriate in the political and global context of Pakistan. There also exist contrary views about the scope and composition of industrial policy even within the government functionaries. There is a dire need for a shared vision and deeper consensus building. Thus this paper aims to highlight the radical contrast in perspectives that exists between the current policy of the ministry of industries and a policy conducive to a prosperous Pakistan.
An Individual project given in order to complete the module named Macro Economics which expresses analysis of the trends of inflation rates of Sri Lanka during recent years.
Perubahan pradigma manajemen kinerja asnDr. Zar Rdj
Banyak hal yang berubah dalam manajemen kinerja, best akselerasi terwujudnya smart asn yang berkelas dunia melalui digital talent dan leader tentunya sudah didepan mata namun harus didukung dengan para pemangku MSDM yang nyata dan perduli akan isu-isu strategis terkait Talent Management yang utuh.
Pertumbuhan Ekonomi (Pengertian, Unsur Pertumbuhan Ekonomi, Perbedaan dengan ...SMA BRUDERAN PURWOREJO
Menjelaskan tentang Pengertian Pertumbuhan Ekonomi, Unsur Pertumbuhan Ekonomi, Perbedaan Pertumbuhan Ekonomi dengan Pembangunan Ekonomi, Cara Mengukur Pertumbuhan Ekonomi, Teori Pertumbuhan Ekonomi, Dampak Positif dan Negatif Pertumbuhan Ekonomi
Em continuidade aos meus estudos em Lean Manufacturing não podia deixar de falar sobre este tema que teve uma febre entre os anos de 2000 a 2005 onde chegamos até aplicar os conceitos de sequenciamento, depois teve uma queda e até então o tema fica um pouco esquecido e precisamos repensar nossos sistemas logísticos.
O objetivo desta pesquisa é estudar um dos sistemas administrativos mais importantes de uma empresa, a Administração da produção. Podemos dizer que o conceito básico da administração da produção visa planejar, controlar, organizar e dirigir o setor de produção de uma empresa.
Anotações sobre palestras de renomados especialistas em Lean Enterprise como Prof. José Roberto Ferro e Prof. Ademir Petenate. Conceitos relevantes sobre a teoria e a aplicação do Lean.
1.
Uniesp
Universidade do Estado de São Paulo
Just-in-time – Kaizen – Shigeo Shingo
Everton Gonçalves da Silva RA.: 09100284
Douglas Ferreira RA.: 09100350
Natalia Cristiane Ramos RA.: 09100914
Sorocaba, 21 de outubro de 2009
2. Uniesp
Universidade do Estado de São Paulo
Just-in-time – Kaizen – Shigeo Shingo
Teoria Geral de Administração - TGA
Everton Gonçalves da Silva RA.: 09100284
Douglas Ferreira RA.: 09100350
Natalia Cristiane Ramos RA.: 09100914
Professor: João Francisco Pires
Sorocaba, 21 de outubro de 2009
3. “O objetivo do administrador de sistema é o de aperfeiçoar o
sistema como um todo. Sem uma administração de sistema visto
como um todo, sub-otimizações certamente irão ocorrer. Sub-
otimizações geram perdas.”
DEMING, W. Edwards
5. Introdução
Este trabalho visa estabelecer uma abordagem sobre alguns sistemas de Administração
utilizados atualmente. Veremos nos textos que se seguem uma clara interpretação dos
sistemas de Just-in-time, Kaizen, como também, a biografia e alguns dos principais estudos de
Shigeo Shingo.
Através de pesquisas e leituras, transportamos para este trabalho a essência destes
sistemas, em conjunto com as idéias de Shingo, chegando às conclusões individuais de cada
participante, a respeito de todo o conteúdo apresentado.
É possível também através desta leitura, se habituar aos conceitos apresentados, e
verificar sua importância dentro das estruturas empresariais, a forma como eles podem
auxiliar o trabalho e o desenvolvimento de administradores em diversos setores profissionais
de atuação.
Convidamos aos leitores para entrarem neste mundo de informações e deixarem que
sua mente possa absorver os conceitos aqui descritos, de forma a auxiliar em seu
desenvolvimento, tanto pessoal, como principalmente, profissional.
Everton, Douglas e Nathalia
6. Just-in-time
O Just-in-time é uma proposta de reorganização do ambiente produtivo, de forma a
entender que a eliminação de desperdícios visa o melhoramento contínuo dos processos de
produção. O JIT é a base para a melhoria da posição competitiva de uma empresa, em
particular no que se referem os fatores com a velocidade, a qualidade e o preço dos produtos.
O JIT é as iniciais de Just-In-Time, um método para gestão da produção. Como se
pode perceber pela designação o controla da produção é feito enquanto o bem é produzido, e
não no fim. Inclusivamente, o controlo é feito pelos próprios operários, como veremos mais
adiante.
Como se sabe o Japão é pequeno, muito populado e pobre em recursos. É por isso que
o princípio base do JIT é evitar enormes armazéns de estoque e de peças defeituosas,
poupando espaço e, ao mesmo tempo, todo um conjunto de recursos que têm que ser
disponibilizados para manter esses armazéns.
Conceito
O conceito do JIT é bastante simples: produzir e entregar os produtos ao mesmo
tempo (Just-in-time) de serem vendidos. Peças ao mesmo tempo de serem montadas e
materiais ao mesmo tempo de serem transformados em peças. A idéia dos japoneses é
produzir pequenas quantidades para corresponder à procura, enquanto que os ocidentais
produzem grandes quantidades de produtos vários para o caso de virem a ser necessários.
Um dos grandes problemas em gerir uma produção está em encontrar o equilíbrio
entre os custos de transporte de grandes quantidades de material e os custos de preparação das
máquinas. Custos de transporte estes, que englobam o custo de armazenamento e de
manutenção desse material. A contabilidade quer baixar os custos de transporte transportando
menos quantidades mais vezes, e a produção querem baixar os custos de preparação e evitar
paragens na produção produzindo durante muito tempo sem parar. Existe um ponto
economicamente carreto, sem ser demasiado alto para os custos de transporte e nem
demasiado baixo para que a produção não tenha que parar muitas vezes. Este é designado por
"quantidade econômica a encomendar" (Economic Order Quantity - EOQ).
Objetivos
Just-in-time - JIT consiste em entrega de produtos e serviços, na hora certa para o
uso imediato, tendo como objetivo principal a busca contínua pela melhoria do processo
produtivo, que é obtida e desenvolvida através da redução dos estoques. Este sistema permite
a continuidade do processo, mesmo quando há problemas nos estágios anteriores a sua
produção final.
7. Just-in-time, que significa “no tempo justo”, exige do administrador o abastecimento
ou desabastecimento da produção no tempo certo, no lugar certo e na quantidade certa,
visando capacitar à empresa a produzir somente o necessário ao atendimento da demanda,
com qualidade assegurada.
O objetivo do JIT é promover a melhora de todo o sistema de manufatura,
desenvolvendo políticas, procedimentos e atitudes requeridos para ser um fabricante
responsável e competitivo. Para que isso ocorra da melhor forma possível, é necessário atingir
algumas metas, tais como: projetar a otimização dos processos, interagirem bem com o
cliente, obter relações de confiabilidade com fornecedores e clientes, adotar compromisso de
melhoria contínua. Estas metas que juntas resultarão no objetivo final.
O Just-in-time tem também como objetivo principal a busca contínua pela melhoria
do processo produtivo, que é alcançada e trabalhada através da redução dos estoques. Estes
permitem a continuidade do processo produtivo mesmo quando há problemas nos estágios de
produção. Ao se reduzir o estoque, os problemas que antes não afetavam a produção, torna-se
agora visíveis, podendo, assim serem eliminados, permitindo um fluxo mais suave da
produção.
Aplicações e Características
Um sistema de produção que adapta a filosofia Just-in-time deve ter determinadas
características, as quais formam aspectos coerentes com os princípios do Just-in-time. Entre
várias características realçamos as seguintes:
O sistema Just-in-time não se adapta perfeitamente à produção de muitos produtos
diferentes, pois, em geral, isto requer extrema flexibilidade do sistema produtivo, em
dimensões que não são possíveis de obter com a filosofia Just-in-time,
O layout do processo de produção deve ser celular, dividindo-se os componentes
produzidos em famílias com determinada gama de operações de produção, montando-se,
desta forma, pequenas linhas de produção (células) de modo a tornar o processo mais
eficiente, reduzindo-se a movimentação e o tempo consumido com a preparação das
máquinas e equipamentos,
A gestão da linha de produção coloca ênfase na autonomia dos encarregados e no
balanceamento da linha, na não aceitação de erros, paralisando-se a linha, se for
necessário, até que os erros sejam eliminados.
A produção deve basear-se em grupos de trabalho, onde trabalhadores multifuncionais
iniciam e terminam um ou mais tipos de produtos, que serão utilizados pelo grupo
seguinte; para que o sistema funcione é indispensável que todos os produtos que fluem de
um grupo para o outro sejam perfeitos e os erros sejam imediatamente segregados (os
erros são facilmente detectados quando se trabalha com pequenas quantidades),
A responsabilidade pela qualidade é transferida para a produção e é dada ênfase ao seu
controle na fonte, adaptando os princípios de controle da qualidade total (a redução de
8. estoque e a resolução de problemas de qualidade formam um ciclo positivo de melhoria
contínua); assim, a responsabilidade pela qualidade está na fonte de produção,
É dada muito ênfase na redução dos tempos do processo, como forma de conseguir
flexibilidade, visto que os tempos consumidos com atividades que não acrescentam valor
ao produto devem ser eliminados, enquanto os tempos consumidos com atividades que
geram valor ao produto devem ser utilizados de forma a maximizar a qualidade dos
produtos produzidos,
O fornecimento de materiais no sistema Just-in-time deve ser uma extensão dos
princípios aplicados dentro da fábrica, tendo por objetivos o fornecimento de lotes de
pequenas dimensões, recebimentos freqüentes e confiáveis, lead times curtos e altos níveis
de qualidade.
O planejamento da produção do sistema Just-in-time deve garantir uma carga de trabalho
diária estável, que possibilite o estabelecimento de um fluxo contínuo dos materiais. O
sistema de programação e controle de produção está baseado no uso de "cartões"
(denominado método Kanban) para a transmissão de informações entre os diversos
centros produtivos.
O Just-in-time possui também algumas características de caráter social relacionadas
com a valorização do fator humano. Os grandes responsáveis pelo êxito ou pelo fracasso da
aplicação de um sistema Just-in-time são, em última análise, os responsáveis departamentais
e setoriais. A eles cabe a missão de reduzir distâncias hierárquicas e criar um clima de
participação efetiva de todos, assegurando o cumprimento dos objetivos em causa sem o
interesse das pessoas, nenhum sistema, seja ele qual for, funciona.
Resultados
As vantagens do sistema de gestão Just-in-time podem ser mostradas através da
análise da sua contribuição nos principais critérios competitivos.
Custos: dados os custos dos equipamentos, materiais e mão-de-obra, o Just-in-time
procura que eles sejam reduzidos ao essencialmente necessário. As características do sistema
Just-in-time, o planejamento e a responsabilidade dos encarregados da produção pela
melhoria do processo produtivo favorecem a redução dos desperdícios. Existe também uma
redução significativa dos tempos de preparação (setup), além da redução dos tempos de
movimentação.
Qualidade: o Just-in-time evita que os defeitos fluam ao longo do processo
produtivo. O único nível aceitável de defeitos é zero, motivando a procura das causas dos
problemas e das soluções que eliminem essas mesmas causas. Os colaboradores são treinados
em todas as tarefas que executem, incluindo a verificação da qualidade (sabem, portanto, o
que é um produto com qualidade e como produzi-lo). Também, se um lote inteiro for
produzido com peças defeituosas, o tamanho reduzido dos lotes minimizará os produtos
afetados.
9. Flexibilidade: o sistema Just-in-time aumenta a flexibilidade de resposta do sistema
pela redução dos tempos envolvidos no processo e a flexibilidade dos trabalhadores contribui
para que o sistema produtivo seja mais flexível em relação às variações dos produtos. Através
da manutenção de níveis de estoques muito baixos (ou nulos), um modelo de produto pode ser
mudado sem que se originem muitos componentes obsoletos.
As regras do Kanban e o princípio da visibilidade permitem identificar rapidamente os
problemas que poderiam comprometer a fiabilidade, permitindo a sua imediata resolução.
Também, o baixo nível de estoques e a redução dos tempos permitem que o ciclo de produção
seja curto e o fluxo veloz.
Limitações
As principais limitações do Just-in-time estão ligadas à flexibilidade do sistema
produtivo, no que se refere à variedade dos produtos oferecidos ao mercado e à variação da
procura em curto prazo. O sistema Just-in-time requer que a procura seja estável em curto
prazo para que se consiga um balanceamento adequado dos recursos, possibilitando um fluxo
de materiais contínuo e suave. Caso a procura seja muito instável, há a necessidade de
manutenção de estoques de produtos acabados a um nível tal que permita que a procura
efetivamente sentida pelo sistema produtivo tenha certa estabilidade.
Como o método Kanban prevê a manutenção de certo estoque de componentes entre
os centros de produção, se houver uma variedade de produtos e componentes o fluxo de cada
um não será contínuo, mas sim intermitente, gerando estoques elevados no processo produtivo
para cada item. Isto contraria uma série de princípios do Just-in-time, comprometendo a sua
aplicação.
Outro problema resultante da grande variedade de produtos seria a conseqüente
complexidade das formas de produção. O princípio geral de transformação do processo
produtivo numa linha contínua de fabricação e montagem de produtos fica prejudicado se um
conjunto de gamas de produção não poder ser estabelecido.
Também a redução do estoque pode aumentar o risco de interrupção da produção em
função de problemas de gestão de mão-de-obra, como, por exemplo, greves tanto na fábrica
como nos fornecedores.
10. Kaizen
Kaizen (do japonês, “mudança para melhor”) é uma palavra de origem japonesa com
o significado de melhoria contínua, gradual, na vida em geral (pessoal, familiar, social e no
trabalho).
Nos anos 50, os japoneses retomaram as idéias da administração clássica de Taylor e
as críticas delas decorrentes para renovar sua indústria e criaram o conceito de Kaizen, que
significa aprimoramento contínuo. Essa prática (exprimindo uma forte filosofia de vida
oriental e sendo, por sua vez também, uma filosofia, uma cultura) visa o bem não somente da
empresa como do homem que trabalha nela. As empresas são municiadas com ferramentas
para se organizarem e buscarem sempre resultados melhores. Partindo do princípio de que o
tempo é o melhor indicador isolado de competitividade, atua de forma ampla para reconhecer
e eliminar os desperdícios existentes na empresa seja em processos produtivos já existentes ou
em fase de projeto, produtos novos, manutenção de máquinas ou, ainda, processos
administrativos.
“Hoje melhor do que ontem, amanhã melhor do que hoje!”
Para o Kaizen, é sempre possível fazer melhor, nenhum dia deve passar sem que
alguma melhoria tenha sido implantada, seja ela na estrutura da empresa ou no indivíduo. Sua
metodologia traz resultados concretos, tanto qualitativamente, quanto quantitativamente, em
um curto espaço de tempo e a um baixo custo (que, conseqüentemente, aumenta a
lucratividade), apoiados na sinergia gerada por uma equipe reunida para alcançar metas
estabelecidas pela direção da empresa.
Uma analogia conhecida é a de uma história chamada "O Tesouro de Bresa1
", onde
um pobre alfaiate compra um livro com o segredo de um tesouro. Para descobrir o segredo,
ele tem que decifrar todos os idiomas escritos no livro. Ao estudar e aprender estes idiomas
surge muitas oportunidades, e ele lentamente (de forma segura) começa a prosperar. Depois, é
preciso decifrar os cálculos matemáticos do livro. É obrigado a continuar estudando e se
desenvolvendo, e a sua prosperidade aumenta. No final da história, não existe tesouro algum -
na busca do segredo, a pessoa se desenvolveu tanto que ela mesma passa a ser o tesouro. O
processo de melhoria não deve acabar nunca, e os tesouros são conquistados com saber e
trabalho. Por isso, a viagem é mais importante que o destino.
Conceito
Kaizen é um todo processo integrado de TQC – Total Quality Control de
aprimoramento contínuo, que é a essência da Administração Japonesa. E os japoneses dão
importância tanto a esse processo integrado, quanto ao resultado que se busca – o meio é tão
importante quanto o fim. É tão importante fazer bem feito (eficiência) quanto obter o
resultado certo (eficácia). Como disse certa vez Osho, grande promotor do autoconhecimento,
1
Texto em Anexo ao Trabalho
11. “a jornada é o próprio objetivo!”. Ou seja, o segredo do resultado positivo está em trabalhar
bem o processo que gera resultado. Ora, o resultado é uma coisa estática e o processo é toda
uma vida dinâmica de trabalho colaborativo entre pessoas usufruindo e compartilhando
coisas, que deve ser muito bem vivido. Para os japoneses é isso aí: é muito importante ganhar
dinheiro, mas trabalhando e vivendo de forma mais satisfatória possível, unindo o útil ao
agradável – afinal, passamos mais de um terço de nossas vidas trabalhando. Esta é a essência
da Administração Japonesa chamada Kaizen: buscar ao mesmo tempo resultado e processo
em busca desse resultado.
Para buscar resultado, na empresa todos devem ter objetivo e missão comuns. Mas ao
mesmo tempo, durante o período de trabalho devem trabalhar e viver de forma mais
equilibrada e satisfatória possível. Porque trabalhando e vivendo de forma mais equilibrada e
satisfatória possível, tende-se a aumentar a produtividade e melhorar a qualidade, que por sua
vez, tende à conquista do resultado positivo no mercado. Ora, trabalha-se e vive-se de forma
mais equilibrada e satisfatória possível.
Objetivos
Estabilidade financeira e emocional ao empregado – daí porque empresas japonesas
ainda hoje procuram manter o emprego vitalício, para principalmente, evitar preocupações de
sobrevivência e sustento da família. Para tanto, é necessário que todos tenham consciência de
que, a empresa como um todo, deverá obter resultado positivo.
Clima Organizacional Agradável – Os japoneses “forçam a barra” para que todos se
dêem bem e vivam em harmonia entre os desiguais e os contrários – eles dizem natural e
sutilmente “gaman sena iken”, ou seja, tem que agüentar. Desde a remota era dos primeiros
samurais em torno dos anos 700, conforme relata Ferri de Barros, os japoneses pela forte
influência da cultura chinesa e principalmente, de Lao Tse e Confúcio, promovem o espírito
wa – a harmonia. Harmonia em tudo. Harmonia entre os desiguais, harmonia entre os
contrários. Harmonia entre o Bem e o Mal. Harmonia entre a alegria e a tristeza. Harmonia
entre a bem-aventurança e a desgraça. Sobretudo, harmonia entre pessoas. Não é à toa que
empresas japonesas maravilham-se com preceitos “tayloristas” como “cooperação, não
individualismo” e “harmonia, em vez de discórdia”. Não só Taylor como também Fayol é
muito bem-vindo aos anseios japoneses porque este promove ordem, disciplina, subordinação
do interesse particular ao interesse geral, eqüidade e união do pessoal, dentre outros princípios
gerais de Administração.
Ambiente simples, funcional e agradável – é aqui que se inserem os tão chamados 5
“S” da Administração Japonesa.
Aplicações e Características
Os 05 “S” são as iniciais de 05 palavras japonesas Seiton, Seiri, Seiso, Seiketsu e
Shitsuke, que estão intimamente relacionados com wa – harmonia, como se percebe a seguir.
12. SEITON significa providenciar a ARRUMAÇÃO e deixar tudo em ORDEM – todos
os materiais (sejam quais forem) necessitam ser mantidos em ordem, para que possam ser
encontrados de imediato e estejam prontos para uso sempre que necessários. Deixar as coisas
no lugar certo, para não se perder tempo e gastar energia desnecessária, procurando-as.
SEIRI significa evitar o DESNECESSÁRIO – separar o desnecessário do necessário,
e guardá-lo num lugar que lhe é próprio, para que não atrapalhe a rotina de trabalho ou
qualquer outra atividade. Disponibilizar as coisas realmente necessárias ao trabalho e aquelas
desnecessárias guardá-las ou “passá-las para frente”. Guardá-las, porque futuramente poderão
ser necessárias; “passá-las para frente” (doar) porque aquilo que é desnecessário para um,
pode ser útil para outro.
SEISO significa manter sempre LIMPO – o local de trabalho ou qualquer outro lugar,
com tudo em ordem e somente com o necessário, para que a sujeira não atrapalhe a
produtividade nem provoque má qualidade na produção.
SEIKETSU significa manter a HIGIENE – tornando o ambiente saudável e
agradável para todos.
SHITSUKE significa DISCIPLINA – não só aprender e seguir os princípios
anteriores como hábitos salutares e invioláveis, como também se educar com caráter reto,
firme e honrado, para vencer na vida.
Resultado
É importante observar que o Kaizen está muito ligado a filosofia dentro das
organizações, principalmente gerando uma relação dialética entre o comportamento das partes
com o todo, portanto claro que aplicar esses conceitos não é uma coisa simples de fazer, pois
existem muitas características naturais ao comportamento humano que atuam como barreiras,
principalmente quando se deseja descobrir os reais problemas a serem resolvidos.
Porém, a aplicação desses dois conceitos de forma diária, em períodos curtos ou a cada
entrega unitária de valor agregado ao cliente, traz imensos benefícios tangíveis e intangíveis
dentro de uma organização, portanto, mesmo que a caminhada seja longa para aplicação total
do Kaizen, lembre que precisamos dar um primeiro passo, portanto, experimente o mais breve
possível esses conceitos através uma auto-reflexão para elencar em algum meio visual, os
pontos que podem melhorar, em seguida adicione a sua rotina o cuidado para melhorar o que
foi identificado, posteriormente tente aplicar isso de maneira sistemática em períodos curtos e
você estará no caminho da melhoria contínua através da prática efetiva do Kaizen.
Limitações
Como foi visto no capitulo anterior a principal limitação deste sistema é a pluralidade
das características do comportamento humano, atuando como barreiras, impedindo desta
forma que se alcance os reais problemas e conseqüentemente as suas soluções.
13. Shigeo Shingo
Shigeo Shingo (8/01/1909 à 14/11/1990), considerado um “gênio da engenharia”,
revolucionou as práticas de produção devido às diversas contribuições nessa área.
Seus estudos o levaram ao desenvolvimento do Sistema Toyota - em conjunto com
Taiichi Ohno, e do SMED (Single Minute Exchange of Die) por ele concebido. Além disso,
criou e formalizou o Sistema de Controle de Qualidade Zero, o qual ressalta a aplicação dos
Poka-yoke, também criado por Shingo. O Poka-yoke, um sistema de inspeção na fonte,
envolve o controle de produtos e suas características em si ou do seu processo de obtenção, de
modo a minimizar-se a ocorrência de erros através de ações simples. O método pode ser
dividido nas seguintes fases.
• Detecção: busca identificar o erro antes que este se torne um defeito.
• Minimização: busca minimizar o efeito do erro.
• Facilitação: busca adoção de técnicas que facilitem a execução das tarefas nos
processos de manufatura ou no fornecimento de serviços.
• Prevenção: busca ações para impedir que o erro ocorra.
• Substituição: busca substituir processos ou sistemas por outros mais consistentes.
• Eliminação: busca a eliminação da possibilidade de ocorrência de erros pelo
redesenho do produto, do processo de obtenção ou da prestação de serviços.
Conceitos de Administração
Poka-yoke é um dispositivo a prova de erros destinada a evitar a ocorrência de defeitos
em processos de fabricação e/ou na utilização de produtos. Este conceito faz parte do Sistema
Toyota de Produção e foi desenvolvido primeiramente por Shigeo Shingo, a partir do
princípio do "não-custo". Um exemplo é a impossibilidade de remover a chave da ignição de
um automóvel se a sua transmissão automática não estiver em "ponto morto", assim o
motorista não pode cometer o erro de sair do carro em condições inseguras.
Segundo Shingo, inspeção sucessiva, auto-inspeção e inspeção da fonte podem ser
todas alcançadas através do uso de métodos Poka-yoke. O Poka-yoke possibilita a inspeção
100% através de controle físico ou mecânico. Quanto às funções de regulagem do Poka-yoke
há duas maneiras onde ele pode ser usado para corrigir erros:
Método de Controle: Quando o Poka-yoke é ativado, a máquina ou linha de
processamento pára, de forma que o problema possa ser corrigido.
Método de advertência: Quando o Poka-yoke é ativado um alarme soa ou uma luz
sinaliza, visando alertar o trabalhador.
O Poka-yoke de controle é o dispositivo corretivo mais poderoso, porque paralisa o
processo até que a condição causadora do defeito tenha sido corrigida. O Poka-yoke de
advertência permite que o processo que está gerando o defeito continue, caso os trabalhadores
14. não atendam ao aviso. A freqüência com que ocorrem os defeitos e o fato deles poderem ou
não ser corrigidos, uma vez que tenham ocorrido, irá influenciar na escolha entre esses dois
métodos. Defeitos mais freqüentes ou impossíveis de serem corrigidos exigem um Poka-yoke
de controle, enquanto que se a freqüência de defeitos é baixa e o defeito é possível de ser
corrigido é preferível um Poka-yoke de advertência. O Poka-yoke de controle é o mais
eficiente na maioria dos casos.
Segundo Shingo há três tipos de Poka-yoke de controle:
Método de contato: Identifica os defeitos em virtude da existência ou não de contato
entre o dispositivo e alguma característica ligada à forma ou dimensão do produto.
Método de conjunto: Determina se um dado número de atividades previstas é
executado.
Método de etapas: Determina se são seguidos os estágios ou operações estabelecidas
por um dado procedimento.
Shingo afirma que o dispositivo Poka-yoke em si não é um sistema de inspeção, mas
um método de detectar defeitos ou erros que pode ser usado para satisfazer uma determinada
função de inspeção. A inspeção é o objetivo, enquanto o Poka-Yoke é simplesmente o
método. Por exemplo, um gabarito que rejeita uma peça processada incorretamente é um
Poka-Yoke que desempenha a função de inspeção sucessiva. Se a inspeção sucessiva, aquela
que detecta defeitos depois que eles ocorrem, não é a maneira mais eficaz de eliminar os
defeitos naquele processo específico, outro sistema deve ser usado.
Portanto, o primeiro passo na escolha e adoção de métodos de controle de qualidade
efetivos é identificar o sistema de inspeção que melhor satisfaz as necessidades de
determinado processo. O passo seguinte é identificar um método de Poka-Yoke (controle ou
freqüência) que seja capaz de satisfazer a inspeção desejada. Somente depois de definido o
método apropriado, deve-se considerar qual o tipo do dispositivo Poka-Yoke (contato,
controle ou etapas).
Outros
Segundo Shingeo Shingo, que figura como um dos grandes pensadores do STP
(Sistema Toyota de Produção ou TPS – Toyota Production System), um dos pontos chaves
para a evolução desse sistema produtivo, é a prevenção às reincidências de problemas em
qualquer nível do processo, para que seja possível alcançar um estado de melhoria contínua e
efetiva sobre a forma de trabalho e acerca dos produtos desenvolvidos.
Para sustentar essa filosofia, o STP evidencia dois grandes elementos muito fortes da
cultura oriental, que são o Hansei e Kaizen. Vimos anteriormente uma abordagem sobre o
Kaizen, e abaixo, vamos explanar um pouco sobre o Hansei. Apesar de esses elementos serem
benéficos isoladamente, sua sinergia quando juntos, torna-se essencial para a aplicação da
melhoria contínua dentro do Pensamento Lean.
15. Hansei – É uma profunda auto-reflexão feita por um indivíduo ou por um time durante
ou ao final de algum evento (projeto, atividade, entrega). Essa auto-reflexão visa acima de
tudo identificar de maneira clara, quais as falhas ocorridas e o que precisa ser melhorado no
processo ou no produto.
Um recurso bem interessante para ajudar nessa descoberta dos reais problemas, é
buscar o entendimento da cadeia de causas e efeitos, através da aplicação de outra técnica do
modelo Toyota chamada “Os 05 Porquês” (The 05 Whys), que consiste no questionamento
recursivo de cada problema identificado, até que se alcance a real causa do mesmo.
16. Conclusão: Everton Gonçalves da Silva
Just-in-time: Reorganização do ambiente produtivo para não ter enormes armazéns de
estoque, poupando tempo e espaço. Consiste em entrega de produto e serviço na hora certa
para o uso imediato com o objetivo principal a busca pela melhoria do processo produtivo.
Kaizen: Mudança para melhor com um processo de TQC (Total Quality Control). É
tão importante fazer bem feito (eficiência) quanto obter o resultado certo (eficácia).
Trabalhando sempre de forma equilibrada e satisfatória para o bom rendimento do trabalho
assim tendo resultado positivo no mercado.
Shigeo Shingo: Um gênio da engenharia. Com sua capacidade de estudo desenvolveu
o Sistema Toyota, como também criou e formulou o Sistema de Qualidade Zero. Também
participou do desenvolvimento do sistema Poka-yoke, visando de modo minimizar as
ocorrências de erros através de ações simples.
17. Conclusão: Douglas Ferreira
Just-in-time: Em JIT, é possível ver a preocupação em melhorar cada vez mais a
produção, aperfeiçoando custos e tempo. A preocupação com a qualidade também é
evidenciada, e a produção em escala menor, torna possível uma maior vigília sobre o produto,
de forma que cada colaborador da linha de montagem se torna um observador e controlador
da qualidade deste produto. Outra característica importante vista no sistema JIT é a adequação
dos fornecedores e transportadores, visando melhorar ainda mais todo o sistema, através de
processos ágeis e sem erros. Podemos também realçar o foco na produção, mantendo uma
“carteira” limitada de produtos, o que facilita o processo de controle de qualidade e a entrega
no tempo adequado do produto.
Este mesmo foco, causa no sistema JIT, uma de suas limitações, quanto a variedade de
produtos, tornando a empresa um tanto quanto inflexível a respeito de produtos disponíveis ao
mercado consumidor. Outra falha neste sistema se diz a respeito de fornecedores e
transportadores, que não fazendo parte efetiva da empresa, pode interromper por algum
motivo seu trabalho, impedindo assim a continuidade do trabalho exercido na linha de
produção, ou acarretando falta de produção ao mercado.
Kaizen: O sistema Kaizen visa à melhora continua do individuo como pessoa, como
também profissional. Indo mais além, é possível analisar no texto, que este conceito pode ser
aplicado além do individuo, mas também no próprio sistema de produção, tornando a
produção cada dia melhor e com mais qualidade. Através do Kaizen, podemos então entender
o conceito de forma simples: “A Jornada é o próprio Objetivo”. No caso do sistema Kaizen,
os objetivos são bem claros: Estabilidade Financeira e Emocional do Empregado, Clima
Organizacional Agradável e Ambiente Simples, Funcional e Agradável.
Outro sistema que se intercala com o Kaizen, é o sistema de 05’s (Seiton, Seiri, Seiso,
Seiketsu e Shitsuke), que da mesma forma que o Kaizen, procura a melhora tanto pessoal
como profissional do individuo e do ambiente de trabalho.
Shigeo Shingo: Este foi o nome que revolucionou os sistemas de produção, com suas
idéias e intervenções dentro do processo produtivo. Shingo é mencionado como criador e co-
criador de diversas teorias tais como: Kaizen, Hansei, Poka-yoke, entre muitas outras. O
marco da intervenção de Shingo foi o desenvolvimento do Sistema Toyota de produção, em
conjunto com Taiichi Ohno. Também criou e formalizou o Sistema de Controle de Qualidade
Zero, visto potencialmente na aplicação do Poka-yoke.
Conclusão Final: De certa forma, todos os temas apresentados reforçam uma
característica marcante na cultura japonesa, a de que o individuo é a peça fundamental de um
processo produtivo, e a sua manutenção, tornam menores os custos e desperdícios, mantendo
sempre uma alta qualidade em qualquer forma de processo produtivo.
18. Conclusão: Natalia Cristiane Ramos
Just-in-time: É uma proposta de reorganização do ambiente produtivo, de forma a
entender que a eliminação de desperdícios visa o melhoramento contínuo dos processos de
produção. Ele é aplicado em empresas com produção em série (automóveis, autopeças,
eletrodomésticos) visando à redução de custos e o aumento na flexibilidade da empresa para
atender às variações no mercado. A redução de custos ocorre da seguinte forma:
a) Redução do nível de estoque. Seja de produto em processo, de matérias-primas ou
de produto final. Desta forma, a empresa precisa de menor capital de giro para dar andamento
em suas atividades. Atualmente, a redução dos produtos em processo é a estratégia capitalista
mais lucrativa. Algumas empresas que implantaram o sistema conseguiram reduzir seus
estoques de três ou quatro meses para alguns dias.
b) Redução do espaço físico necessário às atividades, pois o estoque diminuiu
drasticamente.
c) Redução dos níveis de refugo (perdas) na produção.
d) Aumento da utilização dos equipamentos, com considerável redução nos tempos de
preparação.
JIT consiste em entrega de produtos e serviços, na hora certa para o uso imediato.
Kaizen: (do japonês, “mudança para melhor”) é sempre possível fazer melhor,
nenhum dia deve passar sem que alguma melhoria tenha sido implantada, seja ela na estrutura
da empresa ou no indivíduo. Sua metodologia traz resultados concretos, tanto
qualitativamente, quanto quantitativamente, em um curto espaço de tempo e a um baixo custo
(que, conseqüentemente, aumenta a lucratividade), apoiados na sinergia gerada por uma
equipe reunida para almoçar metas estabelecidas pela direção da empresa. É tão importante
fazer bem feito (eficiência) quanto obter o resultado certo (eficácia).
Seiton significa providencia a arrumação e deixar todo em ordem.
Seiri significa evitar o desnecessário
Seiso significa manter sempre limpo.
Seiketsu significa manter a higiene.
Shitsuke significa disciplina.
Kaizen está muito ligado a filosofia dentro das organizações, principalmente gerando
uma relação dialética entre o comportamento das partes com o todo, por tanto claro que
aplicar esses conceitos não é uma coisa simples de fazer, pois existem muitas características
naturais ao comportamento humano que atuam como barreiras principalmente quando se
deseja descobrir os reais problemas a serem resolvidos.
Shingeo Shingo: Segundo Shingo inspeção sucessiva, auto-inspeção e inspeção da
fonte podem ser todas alcançadas através do uso de métodos Poka-yoke. O Poka-yoke
possibilita a inspeção 100% através de controle físico ou mecânico.
Segundo o mesmo que figura com um dos grandes pensadores do STP – Sistema
Toyota de Produção (TPS - Toyota Production System), um dos pontos chaves para a
evolução desse sistema produtivo, é a prevenção às reincidências de problemas em qualquer
nível do processo, para que seja possível alcançar um estado de melhoria continua e efetiva
sobre a forma de trabalho e a cerca dos produtos desenvolvidos. Para sustentar essa filosofia,
STP evidencia dois grandes elementos muito fortes da cultura oriental, que são o Hansei e
Kaizen.
19. Bibliografia
Literatura:
Baranger, P., Huguel G., Gestão da Produção: Actores, técnicas e políticas, Edições Sílabo, Lda., 1994
Imai, Masaaki. Kaizen – A Estratégia Para O Sucesso Competitivo. São Paulo: Imam, 1992, P. 10.
Imai, Masaaki. Kaizen – A Estratégia Para O Sucesso Competitivo. São Paulo: Imam, 1992, P. 11.
Juran, J. M. Juran Na Liderança Pela Qualidade. São Paulo: Imam, 1990, P. 179.
Deming, W. Edwards. Qualidade: A Revolução Da Administração. São Paulo: Marques – Saraiva,
1990, P. Xix.
Imai, Masaaki. Kaizen – A Estratégia Para O Sucesso Competitivo. São Paulo: Imam, 1992, P. 9.
Osho. A Sabedoria Das Areias. São Paulo: Gente, 1999, P. 100.
Ferri De Barros, Benedicto. Japão – A Harmonia Dos Contrários. São Paulo: T. A. Queiroz, 1988, P.
159-161.
Lao Tse. Tao Te Ching. São Paulo: Martin Claret, 1985.
Finger, Charles J. A Essência Da Sabedoria De Confúcio. São Paulo: Ediouro, 1980.
Taylor, Frederick Winslow. Princípios De Administração Científica. São Paulo: Atlas, 1985, P. 126.
Fayol, Henri. Administração Industrial E Geral. São Paulo: Atlas, 1984, P. 46-67.
Osho. A Sabedoria Das Areias. São Paulo: Gente, 1999, P. 84.
Nitobe, Inazo. Bushido – Alma De Samurai. São Paulo: Tahyu, 2005, P. 11.
Miyamoto, Musashi. Um Livro De Cinco Anéis. São Paulo: Ediouro, 1984.
Nitobe, Inazo. Bushido – Alma De Samurai. São Paulo: Tahyu, 2005, P. 99.
Osho. Zen – Sua História E Seus Ensinamentos. São Paulo: Cultrix, 2004, P. 15.
Rodrigues, Ondina Antonio. Imigração Japonesa No Brasil. São Paulo: Memorial Do Imigrante, 2006,
P. 13-14.
Nikkan Kogyo Shimbun, Ltd.: Poka-Yoke: Improving Product Quality By Preventing Defects
Productivity Press, 1987 (Japanese), 1988 (English), ISBN 0915299313.
Shingo, Shingeo, O Sistema Toyota De Produção Do Ponto De Vista Da Engenharia De Produção,
Bookman, Porto Alegre, 1996 (Português), ISBN 8573071699.
Endereços Internet:
http://claudionmmendes.sites.uol.com.br/
http://www.portaldaadministracao.org
http://www.just-in-time.manufacturing
http://www.wikipedia.com.br
20. Anexos
Anexo 01
Tesouro de Bresa
Houve outrora, na Babilônia, um pobre e modesto alfaiate chamado Enedim, homem
inteligente e trabalhador, que não perdia a esperança de vir a ser riquíssimo. Como e onde, no
entanto, encontrar um tesouro fabuloso e tornar-se, assim, rico e poderoso? Um dia, parou na
porta de sua humilde casa um velho mercador da Fenícia, que vendia uma infinidade de
objetos extravagantes. Por curiosidade, Enedim começou a examinar as bugigangas
oferecidas, quando descobriu, entre elas, uma espécie de livro de muitas folhas, onde se viam
caracteres estranhos e desconhecidos. Era uma preciosidade aquele livro, afirmava o
mercador, e custavam apenas três dinares.
Era muito dinheiro para o pobre alfaiate, razão pela qual o mercador concordou em
vender-lhe o livro por apenas dois dinares.
Logo que ficou sozinho, Enedim tratou de examinar, sem demora, o bem que havia
adquirido. E qual não foi sua surpresa quando conseguiu decifrar, na primeira página, a
seguinte legenda: "O segredo do tesouro de Bresa." Que tesouro seria esse? Enedim recordava
vagamente de já ter ouvido qualquer referência a ele, mas não se lembrava onde, nem quando.
Mais adiante decifrou: "O tesouro de Bresa, enterrado pelo gênio do mesmo nome entre as
montanhas do Harbatol, foi ali esquecido, e ali se acha ainda, até que algum homem esforçado
venha encontrá-lo." Muito interessado, o esforçado tecelão dispôs-se a decifrar todas as
páginas daquele livro, para apoderar-se de tão fabuloso tesouro. Mas, as primeiras páginas
eram escritas em caracteres de vários povos, o que fez com que Enedim estudasse os
hieróglifos egípcios, a língua dos gregos, os dialetos persas e o idioma dos judeus. Em função
disso, ao final de três anos Enedim deixava a profissão de alfaiate e passava a ser o intérprete
do rei, pois não havia na região ninguém que soubesse tantos idiomas estrangeiros.
Passou a ganhar muito mais e a viver em uma confortável casa.
Continuando a ler o livro, encontrou várias páginas cheias de cálculos, números e
figuras. Para entender o que lia, estudou matemática com os calculistas da cidade e, em pouco
tempo, tornou-se grande conhecedor das transformações aritméticas. Graças aos novos
conhecimentos, calculou, desenhou e construiu uma grande ponte sobre o rio Eufrates, o que
fez com que o rei o nomeasse prefeito.
Ainda por força da leitura do livro, Enedim estudou profundamente as leis e princípios
religiosos de seu país, sendo nomeado primeiro-ministro daquele reino, em decorrência de seu
vasto conhecimento.
Passou a viver em suntuoso palácio e recebia visitas dos príncipes mais ricos e
poderosos do mundo.
21. Graças ao seu trabalho e ao seu conhecimento, o reino progrediu rapidamente,
trazendo riquezas e alegria para todo seu povo.
No entanto, ainda não conhecia o segredo de Bresa, apesar de ter lido e relido todas as
páginas do livro.
Certa vez, então, teve a oportunidade de questionar um venerando sacerdote a respeito
daquele mistério, que sorrindo esclareceu:
- O tesouro de Bresa já está em seu poder, pois graças ao livro você adquiriu grande
saber, que lhe proporcionou os invejáveis bens que possui. Afinal, Bresa significa "saber"...
Com estudo e trabalho pode o homem conquistar tesouros inimagináveis. O tesouro de
Bresa é o saber, que qualquer homem esforçado pode alcançar, por meio dos bons livros, que
possibilitam "tesouros encantados" àqueles que se dedicam aos estudos com amor e
tenacidade.