1. THEOLOGY OF CHANGE IN
MAJLIS TAKLIM
Presented by
Firman Nugraha
BALAI DIKLAT KEAGAMAAN BANDUNG
2. INTRODUCTION (WHAT)
transformative
vision
ISLAM
it is not just a change in
faith, but also makes
social and community
changes that are
arbitrarily transformed
into a society that is
peaceful, and respects to
social class differences.
one way to make
social change
DA’WAH
as a process, is an effort
of social
TRANSFORMATION that
moves between doctrine
and the reality of society
which is the main object
it is necessary to
develop a
REINTERPRETATIO
N program for
religious messages
UMMAH
marginalized,
oppressed, or even
subordinated
people
the Qur'an and Hadith must be
derived in the form of social
theories that can be applied, or, it
must be contextualized to function
historically, permanently.
Amr ma’ruf & nahyi munkar
a cultural movement
based on prophetic
liberalization,
humanization, and
transcendence
TRANSFORMATION
3. MAJLIS TAKLIM
THEOLOGY OF CHANGE
IN MAJLIS TAKLIM (WHY)
ISLAM
(THEOLOGY OF
CHANGE)
MUSLIMS
DA’WAH
(SOCIAL
TRANSFORMATION)
transcendent,
sacred and in the
inner dimension
a discourse with what
religious people,
develop and express
the core beliefs as they
profess
as old as the initial
movement of Islamic
da'wah
In the city, its become more
dynamic which is formed due to
the concession of social and
political changes that occur while
in rural areas still shows unity and
becomes an inspiration for social
change in their environment.
the large number of
religious activity as a group
of Muslims who carry out
learning activities from the
figures (ulama, ustadz) who
are considered to
understand about religion
(Islam).
khairu ummah
its positive actions
to safeguard human
life from extinction
and upholding it
above what is
complete is
accompanied by
faith to determine
which boundaries
are known and
which are not.
4. Three Form (Hilmy):
1. Sociocultural
transformation;
2. Economic justice;
3. Attitudes towards
other religions
THEOLOGY OF CHANGE
IN MAJLIS TAKLIM (HOW)
Quran Sunnah
Theology
of change
Transformation
historical
Theology of change is built based on
the traces of the Prophet in carrying
out the da'wah activities and the
doctrinal basis contained in the Koran
The Prophet Muhammad in Mecca was
aware that the main mission of preaching in
addition to the issue of the creed was also
how to answer social problems related to
poverty, economic injustice, low morality
and inhumanity, injustice, and injustice
committed by the Arab community. The
moral problem is also a social problem, and
thus his new morality can only be built by
changing old social structures
revelation
First, from the aspect of the process
begins with social reading to find a
construct that can describe the
hegemonic social alliance.
the reading of the revelation (al-Qur'an)
with a transformative approach is also an
important point of departure towards a
theology of change
Secondly, with this transformative
interpretation approach, the verses of
the Koran become more contextual and
actual because they are read in a social
process rather than just being dogmatic
and theological reading that gives
blessings later on.
5. THE ACTUALIZATION THEOLOGY OF CHANGE IN MAJLIS
TAKLIM: MT AL FALAH ARJASARI EXPERIENCE (MODEL)
revelation
Majlis Taklim
Jamaah
BMT
Structural constrain
Precipitating factors
Mobilizing resources
Social Control
believe system
Refer/interpretation Vision
Reflection Action
marginalized,
oppressed,
subordinated
Socio Economic
Problems
Keberadaan majlis taklim tampaknya sama tuanya dengan pergerakan awal dakwah Islam di Nusantara.
Majlis Taklim is the large number of religious activity sebagai sekumpulan umat Islam yang melakukan kegiatan pembelajaran terhadap tokoh atau pihak yang dianggap mengerti mengenai agama (Islam).
Di era reformasi, keberadaan majlis taklim-pun mengalami pertumbuhan dan perkembangan kegiatan yang lebih luas. Perkembangan majlis taklim era reformasi ini mengarah kepada identifikasi baru umat Islam dan refresentasinya yang berbeda antara perkotaan dengan perdesaan. Di kota mereka menjadi lebih dinamis yang terbentuk akibat konsesi perubahan sosial dan politik yang terjadi sementara di perdesaan masih menunjukkan keguyuban dan menjadi inspirator terhadap perubahan sosial di lingkungannya.
Teologi sering dibaca sebagai aktivitas pemikiran yang transenden, sakral dan berada dalam dimensi batiniyah. Namun demikian, kini teologi mendapat tantangan praksis bagaimana ia dapat menjawab pelbagai persoalan kemanusiaan yang realistis. Dalam konteks ini teologi dimaknai sebagai suatu wacana dengan apa orang beragama, mengembangkan dan mengekspresikan inti keyakinan sebagaimana yang mereka anut (Saleh, 2004).
Muslims, Menempati posisi khairu ummah (sebaik-baik umat) adalah karena tindakan positifnya untuk memelihara kehidupan manusia dari kemunkaaran dan menegakkannya di atas yang makruf disertai dengan iman untuk menentukan batas-batas mana yang makruf dan mana yang munkar itu.
Teologi perubahan dibangun berdasarkan pada jejak-jejak Rasulullah dalam melakukan aktivitas dakwah dan basis doktrinal yang terdapat dalam al-Quran
Nabi Muhammad Saw di Mekah sudah sadar bahwa misi dakwah yang utama selain persoalan akidah juga bagaimana menjawab problem-problem sosial yang terkait dengan masalah kemiskinan, kefakiran, ketidakadilan ekonomi, rendahnya moralitas dan kemanusiaan, kezaliman, dan ketidakdilan yang dilakukan masyarakat Arab.
Pertama. Pembacaan ini merupakan analissi sosial untuk memahami bagaimana proses penyingkiran kaum proletar (mustadh’afin) dari panggung dinamika sosial. Tahap ini mendefinisikan siapa yang tertindas dan siapa yang menindas. Siapa yang yang menjadi korban kemunkaran sosial dan siapa yang menjadi pelaku kemunkaran sosial. Konstruksi ini penting, sebab dengannya dapat mengajukan sebuah program aksi nyata melalui wadah-wadah sosial (keagamaan) yang tersedia agar tidak hanya terhenti sebagai bentuk festival dalam beragama an-sich melainkan agama dapat tampil seperti semangatnya yang dibawakan Nabi Muhammad untuk menjadi pembela dan mewujudkan tatanan sosial yang berkeadila.
Kedua, Konsep Hudan (petunjuk) bukan hanya ada dalam ruang teologis yang berjarak dengan kehidupan sosial melainkan ie menjadi dasar dalam berkehidupan sosial yang sesungguhnya. Berangkat dari gagasan ini maka akan melahirkan model dakwah yang bukan hanya ada dalam panggung-panggung dan mimbar-mimbar ceramah dengan serangkaian retorika verbalistis. Melainkan ia menjadi aksi nyata yang (mungkin) sepi dari retorika verbal namun kaya dengan amal. Aksi-aksi pemberantasan kemunkaran bukan lagi dengan tindakan ’pemberanatsan’ yang terkesan brutal dan tidak elegan. Aksi ini lebih kepada bentuk advokasi yang riil lengkap dengan prgram yang berkesinambungan, namun dalam bayangan spirit teologis yang beretika ketauhidan.
Dakwah model ini-pun sebagai produk dari tafsir transformatif bukan menjadi monopoli kaum elit agama (ulama) melainkan mejadi proyek bersama (Zada, 2006). Sehingga, pemetaan da’i dan mad’u menjadi solid, da’i yang sekaligus mad’u dan sebaliknya. Wadah-wadah (pranata sosial keagamaan) yang tersedia semisal, masjid, majlis taklim, pesantren dan atau lembaga lainnya menjadi wadah yang hidup bukan lagi hanya bergulat dalam dimensi transmisi wacana, melainkan menjadi wadah aksi dalam mewujudkan tatanan kehidupan sosial Islam yang sesungguhnya.