Cerita ini menceritakan tentang seorang wanita bernama Mak Sri yang mendengar kabar dari tetangganya, Mak Turi, mengenai seorang pemuda yang terkubur sebatas leher di makam ibunya. Mak Sri ingin melihat kejadian itu bersama kedua anaknya. Namun setelah sampai di pemakaman, ternyata kabar itu hanyalah cerita bohong yang disebarkan oleh sopir angkutan bernama Mudrik untuk mendapatkan pen
1. Republika
Minggu, 09 September 2007
Cerita Bohong Di Siang Bolong
Cerpen: Noer Mursidi
Kampung Polandak gempar. Persis selepas Dhuhur, seorang pemuda dikabarkan terbenam
sebatas leher di kuburan ibunya, selang ia meletakkan jenazah wanita itu di peristirahatan
terakhirnya. Setelah jenazah wanita yang meninggal saat shalat itu tergolek di lubang
kubur, si anak membuka tali pengebat kain kafan, dan tiba-tiba tanah di sisi kuburan
longsor menimbunnya.
Laksana angin, kabar itu cepat tersebar luas ke pelosok kampung. Warga terperangah.
Semua orang heboh. Di setiap penjuru kampung, di pangkalan ojek, di mushala dan juga
warung-warung rokok serta terminal, cerita ganjil itu jadi bahan gunjingan.
"Itu azab Allah yang sudah sepantasnya diterima oleh seorang anak durhaka. Bagaimana
tidak? Lantaran si ibu tak menuruti permintaannya untuk dibelikan motor, kok ia menjadi
gelap mata dan tega membunuh ibunya sendiri yang sedang shalat," ceracau Mak Turi,
janda pemilik warung rokok di kampung Sumber Girang, sekitar 10 km dari kampung
Polandak.
"Lho, Mak Turi tahu dari mana?" tanya Mak Sri, yang kebetulan sedang membeli gula pasir
dan obat nyamuk bakar di warung Mak Turi.
"Tadi ada tukang ojek yang bercerita saat membeli rokok di sini," jawabnya dengan
sombong karena dia merasa selalu mendapat kabar lebih dulu dibanding orang-orang lain di
kampungnya. "Apa Mak Sri tidak ingin datang ke Polandak untuk melihat?"
"Apa cerita itu benar? Apa Mak Turi percaya?" tanya Mak Sri ragu. "Semua orang sudah
tahu tentang cerita ini! Maka, cepet, Mak! Saya aja mau tutup karena mau pergi ke sana
untuk melihat wajah pemuda durhaka itu!"
Tergopoh-gopoh Mak Sri segera beranjak pergi dari warung Mak Turi. Ia sudah tak sabar
ingin mengajak kedua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar supaya bisa
melihat kejadian yang ganjil tersebut. Apalagi, Mak Sri selama ini hanya melihat keganjilan
seperti itu di tivi.
Usai berdandan seadanya, tak perlu membasuh muka dan hanya menyampirkan selendang
yang lusuh di pundak, Mak Sri langsung menggeret kedua tangan anaknya, Slamet dan
Bejo. "Siang ini, emak akan mengajak kalian berdua pergi ke Polandak! Akan emak
tunjukkan pada kalian bagaimana pemuda yang durhaka pada ibunya itu diadzab oleh
Allah."
"Tapi Slamet mau main layang-layang, Mak," bantah Slamet, anak pertama Mak Sri yang
sudah duduk di kelas empat SD.
Dengan gesit, Slamet pun menarik tangannya dari genggaman tangan Mak Sri untuk
melepaskan diri. Tetapi, genggaman tangan emaknya cukup kuat untuk dilerai. Slamet tak
bisa berkutik.
"Untuk siang ini, tak ada main layangan. Tetapi, emak berjanji nanti akan membelikan
kalian layang-layang dan benang baru dari toko," bujuk Mak Sri pada kedua anaknya.
2. Slamat dan Bejo langsung girang. "Saya mau ikut, asal mak tak bohong!" kata Slamet dan
Bejo nyaris serentak.
"Tapi, nanti sepulang dari sana!"
Muka Slamet dan Bejo pun merona riang. Maka kedua bocah kecil itu diam dan menurut
ketika Mak Sri menggeret kedua tangannya keluar rumah. Tergesa-gesa, Mak Sri mengunci
pintu rumah, lantas menggapit kedua tangan anaknya dan melangkahkan kaki ke
perempatan jalan.
Matahari terasa panas, menyengat kulit juga membakar ubun-ubun. Keringat Mak Sri
menetes dari dahi menggelincir ke pilipis dan terjatuh ke leher. Mak Sri menjadikan
selendangnya sebagai penutup kepala yang ia perlebar untuk melindungi kedua anaknya
dari terik mentari.
Tergopoh-gopoh Mak Sri berjalan. Sesampai di perempatan jalan, dia menarik napas
panjang. Napas Mak Sri serasa kembang kempis, naik turun. Terik mentari membuat
tenggorakannya kering kerontang. Dia menyeka kening anaknya dengan selendang.
Sementara, tatapan kedua bocah kecil itu menerawang jauh ke arah jalan raya.
Tak kunjung ada angkutan umum yang melintas di jalan. Mak Sri jadi gelisah. Menunggu
di bawah terik matahari apalagi ia membawa kedua anaknya yang masih kecil di tepi jalan,
memang tak ubahnya seperti siksaan. Bukan apa-apa, agar kedua anaknya itu tak berlarian.
Saat mematung, menunggu angkutan lewat, Slamet tiba-tiba mengagetkan emaknya,
"Memang, ada kejadian apa di kampung Polandak, Mak?"
Gelagapan, Mak Sri membalikkan muka. Lalu, dia pandangi Slamet. "Nanti kamu tahu
sendiri! Makanya, jika disuruh emakmu itu jangan suka membantah. Tadi aja, kamu
disuruh mak membeli obat nyamuk dan gula pasir tak mau. Jika kamu sudah besar, besok
mau jadi apa? Apa mau terkubur sebatas leher di makam emakmu seperti yang akan kamu
lihat nanti?"
Slamet diam. Mak Sri kembali menanti angkutan yang melintas dari arah terminal. Dan,
ketika samar-samar tampak angkutan umum, hati Mak Sri sedikit lega. Dia lambaikan
tangan, menghentikan angkutan umum yang hendak melintas. Tapi, angkutan umum itu
terus melaju, karena penuh. Di pintu angkutan, beberapa penumpang bahkan sudah
bergelayutan.
Kembali, Mak Sri melihat angkutan. Hatinya lega. Tapi lagi-lagi, saat angkutan itu sudah
dekat dengan tempat Mak Sri berdiri, dia tak dapat berkutik setelah tahu angkutan itu sudah
penuh sesak oleh penumpang. Mak Sri kembali menatap ke tanah mengutuk keramaian
penumpang yang di siang itu tidak seperti biasanya.
Lama berdiri di jalan, kesabaran Mak Sri mulai hilang. Untung, di saat kesabaran Mak Sri
mau hilang, terlihat sebuah angkutan umum yang melaju. Persis di depan Mak Sri angkutan
itu berhenti. Mak Sri dan kedua anaknya bergegas naik.
Sesampai di pemakaman umum Polandak, Mak Sri terpana melihat kerumunan orang. Mak
Sri berjalan memasuki tanah pemakaman, menggandeng tangan kedua anaknya dan
membayangkan kejadian aneh di tivi tentang orang mati yang kuburnya tiba-tiba dipenuhi
air, padahal saat itu tak lagi turun hujan. Juga kejadian ganjil lain seperti jenazah yang
dapat memanjang tiba-tiba ketika dimasukkan ke liang kubur.
Kini, Mak Sri sudah ada di pemakaman. Dalam benaknya, sebentar lagi ia akan
3. menyaksikan sendiri kejadian aneh seperti yang biasa dia tonton di tivi. Mak Sri hanya
berharap satu hal, semoga kedua anaknya sadar, tidak lagi nakal dan tak lagi membantah
jika disuruh untuk membeli sesuatu.
Mak Sri terus melangkah di bawah terik mentari, dengan menggandeng Slamet dan Bejo.
Tapi belum sempat kakinya melangkah jauh memasuki makam, Mak Sri berpapasan
dengan Mak Turi, "Mak di sini ternyata tidak ada kejadian aneh apa pun! Entah siapa yang
mengarang cerita bohong ini. Kurang ajar!"
Kaki Mak Sri lemas. Lututnya serasa gemetar, dan terik mentari membuat kepalanya tiba-tiba
menjadi pening. Ia tak menyangka, jika kabar yang dia dengar dari Mak Turi itu
ternyata cerita bohong di siang bolong.
Malam itu, di warung kopi terminal, Mudrik tertawa girang. Sampai jakun lelaki bertato
yang bekerja sebagai sopir angkot itu terlihat membengkak setelah dia tertawa terpingkal-pingkal
bersama sopir dan kernet-kernet yang lain. "Yu, tambah kopi!" ucap Mudrik,
seraya mengambil pisang goreng, tidak jauh dari tempat duduknya.
Yu Jilah, janda pemilik warung kopi itu, pun segera memenuhi perintah Mudrik. Yu Jilah
tahu, malam ini Mudrik tebal kantong dan pasti akan melunasi utang-utangnya. Mudrik
tertawa tiada henti. Ia baru diam ketika pisang goreng yang masih panas itu menyumbat
mulut besarnya. Kopi panas yang disodorkan Yu Jilah pun segera ia seruput dengan rakus.
"Kamu memang cerdas, Mudrik," sanjung Markom, juga sopir angkot, memujanya. "Kalau
boleh tahu, dari mana kamu mendapatkan ide gila itu?" tanyanya lebih lanjut, dengan mata
berjuling-juling.
"Aku berpikir, setelah BBM naik, nyaris kita tekor setoran. Kapan lagi kita akan bisa
mendapat uang banyak seperti hari ini jika aku tak menghembuskan berita dan bohong itu."
"Wah, orang gila sepertimu kadang juga membawa keberuntungan. Hari ini kita semua
tidak hanya panen bahkan dapat berkah karena kita narik lebih ramai dibanding hari
lebaran!" ujar Markom lagi.
"Aku harus pulang dulu! Istriku sudah nunggu di rumah dan pasti akan senang kalau dia
melihat penghasilanku hari ini," ucap Mudrik, sambil mengangkat kakinya yang terselip di
balik kursi, kemudian melangkah ke arah angkot tua yang terbujur kaku di ujung jalan.***