SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 37
Baixar para ler offline
MAKALAH
MANAJEMEN SUMBER DAYA PETERNAKAN
       „Program Pengembangan Peternakan Kerbau
                di Kawasan Semi Arid‟




     NAMA          : I MADE ADI SUDARMA
     NIM           : 1211010006
     SEMESTER      : I (SATU)
     PRODI         : ILMU PETERNAKAN




           PROGRAM PASCA SARJANA
      UNIVERSITAS NUSA CENDANA
                    KUPANG
                       2012
BAB I
                                        PENDAHULUAN



A.     Latar Belakang
       Sebagian besar lahan yang ada di Indonesia berupa lahan kering. Lahan kering          biasa
didefinisikan sebagai dataran tinggi yang lahan pertaniannya lebih banyak menggantungkan diri
pada curah hujan. Lahan kering mempunyai potensi yang cukup luas untuk dikembangkan, dengan
luas yang mencapai 52,5 juta ha (Haryati, 2002) untuk seluruh indonesia maka pengembangan
sangat perlu dilakukan.

       Nusa Tenggara Timur memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai sentra
peternakan nasional berbasis lahan kering. Pengembangan peternakan berbasis lahan kering di
daerah beriklim kering seperti NTT juga bisa dijadikan model pembangunan peternakan di masa
mendatang. Model ini akan efektif menekan angka kemiskinan dan pengangguran serta mengurangi
ketergantungan terhadap ternak impor dan mendorong kemandirian pangan nasional.

       Ternak kerbau memiliki potensi untuk dikembangkan di daerah lahan kering selain ternak
sapi untuk menunjang produksi daging sapi di Indonesia umumnya maupun di NTT khususnya.
Ternak kerbau merupakan ternak ruminansia yang mampu memanfaatkan tanaman rerumputan
sebagai makanan utamanya untuk menghasilkan daging yang sangat dibuthkan oleh manusia.

       Pengelolaan ternak kerbau didaerah lahan kering sangat penting untuk diperhatikan agar dapat
dioptimalkan potensi yang dimiliki oleh ternak kerbau demi kepentingan hidup manusia. Adapun
teknik – teknik dan program yang perlu di perhatikan dalam menunjang pengembangan ternak
kerbau dilahan kering perlu dikaji lebih lanjut agar diperloleh suatu sistematika pemeliharaan yang
jelas dan terpadu sehingga dapat dimanfaatkan oleh peternak di daerah lahan kering.

B. Tujuan
       Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui pola pemeliharaan ternak kerbau
     dilahan kering yang paling efisien dilakukan dan dapat dipraktekkan oleh peternak di daerah
     lahan kering.


C. Metode Pengambilan Data
       Metode pangambilan data yang digunakan yaitu metode pengumpulan data dari berbagai
     sumber yang dijadikan referensi dalam pembuatan makalah ini.
BAB II
                                    TINJAUAN PUSTAKA



A.    LAHAN KERING
      Lahan kering umumnya terdapat didataran tinggi (daerah pegunungan) yang ditandai dengan
topografinya yang bergelombang dan merupakan daerah penerima dan peresap air hujan yang
kemudian dialirkan kedataran rendah, baik melalui permukaan tanah (sungai) maupun melalui
jaringan bumi air tanah. Jadi lahan kering didefinisikan sebagai dataran tinggi yang lahan
pertaniannya lebih banyak menggantungkan diri pada curah hujan. Lahan kering diterjemahkan dari
kata “upland” yang menunjukkan kepada gambaran “daerah atas” (Hasnudi dan Saleh, 2006, dalam
www.MichaelRiwuKaho.blogspot.com).

      Hingga saat ini takrif pengertian lahan kering di Indonesia belum disepakati benar. Di dalam
bahasa Inggris banyak istilah-istilah yng dipadankan dengan lahan kering seperti upland, dryland
dan unirrigated land, yang menyiratkan penggunan pertanian tadah hujan. Istilah upland farming,
dryland farming dan rainfed farming dua istilah terakhir yang digunakan untuk pertanian di daerah
bercurah hujan terbatas. Penertian upland mengandung arti lahan atasan yang merupakan lawan
kata bawahan (lowland) yang terkait dengan kondisi drainase (Tejoyuwono, 1989) dalam Suwardji
(2003). Sedangkan istilah unirrigated land biasanya digunakan untuk teknik pertanian yang tidak
memiliki fasilitas irigasi. Namun pengertian lahan tidak beririgasi tidak memisahkan pengusahaan
lahan dengan system sawah tadah hujan.

      Untuk menghilangkan kerancuan pengertian lahan kering dengan istilah pertanian lahan
kering Tejoyuwono (1989) dalam Suwardji (2003) menyarankan beberapa pengertian sebagai
berikut:
      untuk kawasan atau daerah yang memiliki jumlah evaporasi potensial melebihi jumlah curah
      hujan actual atau daerah yang jumlah curah hujannya tidak mencukupi untuk usaha pertanian
      tanpa irigasi disebut dengan “Daerah Kering”.
      untuk lahan dengan draenase alamiah lancar dan bukan merupakan daerah dataran banjir,
      rawa, lahan dengan air tanah dangkal, atau lahan basah alamiah lain istilahnya lahan atasan
      atau Upland.
      untuk lahan pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan, istilahnya lahan kering.

      Kesepakatan pengertian lahan kering dalam seminar nasional pengembangan wilayah lahan
kering ke 3 di Lampung : (upland dan rainfed) adalah hamparan lahan yang didayagunakan tanpa
penggenangan air, baik secara permanen maupun musiman dengan sumber air berupa hujan atau air
irigasi (Suwardji, 2003)). Definisi yang diberikan oleh soil Survey Staffs (1998) dalam Haryati
(2002), lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air selama
periode sebagian besar waktu dalam setahun. Tipologi lahan ini dapat dijumpai dari dataran rendah
(0-700 m dpl) hingga dataran tinggi (> 700m dpl). Dari pengertian diatas, maka jenis penggunaan
lahan yang termasuk dalam kelompok lahan kering mencakup: lahan tadah hujan, tegalan, lading,
kebun campuran, perkebunan, hutan, semak, padang rumput, dan padang alang-alang.

     Lahan kering mempunyai potensi yang cukup luas untuk dikembangkan, dengan luas yang
mencapai 52,5 juta ha (Haryati, 2002) untuk seluruh indonesia maka pengembangan sangat perlu
dilakukan. Menurut Simposium Nasional tentang Lahan Kering di Malang (1991) penggunaan
lahan untuk lahan kering berturut adalah sebagai berikut: hutan rakyat, perkebunan, tegalan, tanah
yang sedang tidak diusahakan, ladang danpadang rumput.

     Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan
sebagai sentra peternakan nasional berbasis lahan kering. Pengembangan peternakan berbasis lahan
kering di daerah beriklim kering seperti NTT juga bisa dijadikan model pembangunan peternakan di
masa mendatang. Model ini akan efektif menekan angka kemiskinan dan pengangguran serta
mengurangi ketergantungan terhadap ternak impor dan mendorong kemandirian pangan nasional.
Hal itu terungkap dalam seminar dan lokakarya nasional Pengembangan Industri Peternakan
Berkelanjutan Berbasis Sistem Pertanian Lahan Kering Menuju Kemandirian Pangan Nasional yang
digelar Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang bersama harian Suara Pembaruan (SP) di
Kupang, NTT, Jumat (2/12). Seminar yang dipandu Pemimpin Redaksi SP dan Investor Daily
Primus Dorimulu itu menghadirkan pembicara Rektor Undana Frans Umbu Datta, Gubernur NTT
Frans Lebu Raya, Ketua Komite Tetap Agribisnis Peternakan Kadin Indonesia Juan Permata Adoe,
serta Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Kementan Bess Tiesnamurti.

     Lahan kering di NTT dapat dimanfaatkan sebagai areal untuk penanaman hijauan makanan
ternak disamping sebagai areal tanaman pertanian, sehingga potensi pembangunan peternakan yang
diharapkan untuk mengembalikan NTT sebagai gudang ternak seperti yang dicanangkan oleh
Gubernur NTT, dapat berjalan sesuai rencana. Pembangunan peternakan di NTT terhambat karena
ketersediaan pakan yang kurang memadai akibat adanya lahan tidur dan lahan kering yang tidak
dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat petani peternak sebagai lahan yang berdayaguna
baik untuk peternakan maupun pertanian. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk meningkatkan
produktivitas lahan kering di NTT dan mengurangi resiko kegagalan agar sector peternakan di NTT
tetap bertahan dan dapat meningkatkan kesejahteraan petani peternak. Hal ini dapat dilakukan
dengan manajemen dan tekhnologi yang mampu mengatasi permasalahan adanya lahan kering di
NTT sebagai salah satu faktor kurangnya ketersedian pakan bagi ternak. Jika pengelolaan lahan
kering tepat dan sejauh mungkin mencegah dan mengurangi kerusakan dan dapat menjamin
kelestariannya akan membawa manfaat besar untuk mendukung usaha di sector peternakan yang
berkelanjutan dan juga dapat mendukung usaha pertanian.

B.     TERNAK KERBAU
       Ternak kerbau         memegang peranan yang sangat penting bagi status sosial budaya
masyarakat pedesaan di Propinsi Jambi. Sejak dahulu, masyarakat berpendapat bahwa apabila
seseorang     memiliki       ternak    kerbau      maka dianggap sebagai orang yang memiliki harta
banyak dan berderajat tinggi. Sehingga ternak kerbau dimanfaatkan pada acara-acara tertentu
sebagai     simbol      kebesaran      seperti     acara perkawinan     yang     dikenal     dengan     sebutan
“potong kerbau”, yang dilaksanakan secara adat setempat.

       Perkembangan populasi ternak ruminansia secara nasional mengalami penurunan sebesar
4,1% per tahun (Kusnadi, 2006). Begitu juga dengan ternak sapi dan kerbau di Propinsi Jambi
mengalami penurunan yang cukup tinggi (Dinas Peternakan Propinsi Jambi, 2006). Dengan
permintaan daging yang semakin meningkat, diperlukan upaya untuk meningkatkan populasi.
Sebaiknya Pemerintah mencari langkah-langkah terobosan sehingga mencapai keseimbangan
antara produksi dan permintaan. Hingga saat ini Propinsi Jambi masih mendatangkan ternak
potong dari daerah lain, mencapai 25.654 ekor per tahun (Dinas Peternakan Propinsi Jambi,
2005).

       Dalam periode yang sama produksi daging telah naik rata-rata 9,2% per tahun. Dalam
pada itu telah terjadi pergeseran produksi daging, dimana sumbangan daging sapi menurun dari
23,52%      menjadi 21,96%. Penurunan daging sapi disubstitusikan oleh daging unggas yaitu
mengalami peningkatan dari 56,58% menjadi 60,73% (Direktorat Jendral                       Peternakan, 2005).
Dengan peningkatan permintaan akan daging secara langsung                harus     diikuti oleh peningkatan
produksi ternak sebagai penghasil daging.

       Dwiyanto dan Subandrio (1995), melaporkan sistem pemeliharaan ternak kerbau umumnya
masih tradisional dengan          penguasaan       lahan      yang   kurang ekonomis,        kualitas    pakan
yang     rendah, terbatasnya     pengetahuan       peternak    tentang reproduksi dan belum diterapkan
teknologi tepat guna.

       Masalah       utama     untuk     meningkatkan populasi         adalah      melalui      pengontrolan
pengeluaran dan pemotongan betina produktif di tingkat lapangan. Saat ini pengeluaran dan
pemotongan       kerbau      betina    produktif    sulit dikendalikan karena adanya penawaran dan
permintaan. Padahal salah satu cara untuk mempercepat peningkatan populasi dengan
dropping     sapi   bibit   yang     diawasi   secara berkesinambungan seperti yang telah dilakukan
International Fund for Agricultural Develovmen (IFAD) pada tahun 1980-an, yang dianggap
berhasil dalam upaya peningkatan populasi ternak sapi di Jambi.

     Untuk mengoptimalkan penggunaan lahan sebenarnya ternak kerbau dapat diintegrasikan
dengan perkebunanan kelapa sawit dan karet, pada tanaman berusia di atas 6 tahun. Banyak
keuntungan apabila ternak kerbau diintegrasikan dengan perkebunan sawit dan karet,
memanfaatkan rumput yang tumbuh di antara tanaman utama sebagai pakan dan dijadikan
tenaga kerja untuk alat transportasi tandan buah segar (TBS) sawit. Sebenarnya kemampuan
ternak kerbau untuk mengkonsumsi pakan lebih baik dari ternak sapi. Devendra (1985)
mengemukakan bahwa kerbau mampunyai kemampuan lebih baik memanfaatkan hijauan yang
berkualitas rendah dari pada sapi.

     Reproduksi ternak kerbau Keberhasilan pemeliharaan ternak kerbau dapat diukur dengan
kemampuan ternak untuk menghasilkan anak dalam periode tertentu, dimana semakin pendek
jarak kelahiran ternak kerbau maka reproduksi ternak semakin baik.

     Untuk ternak kerbau di Propinsi Jambi, menurut beberapa laporan jarak kelahiran
adalah 18-24 bulan. Gambar 3 (kasus di Desa Mersam) memperlihatkan bahwa anak yang
diperkirakan berumur        1,5 tahun masih menyusui dengan induknya, hal ini mengindikasikan
reproduksi ternak kerbau di tingkat petani masih lambat sebagai mana yang dilaporkan oleh
Putu (1992). Beberapa masalah pengembangan ternak kerbau di Indonesia antara lain adalah
pemasaran daging kerbau,       pertumbuhan      yang   lambat,   calving interval yang panjang dan
program seleksi bibit yang belum terarah.

     Untuk merubah pola pemeliharaan lepas ke arah           sistem      semi     intensif     diperlukan
pengkajian     sosial   budaya       petani    untuk memasukan        teknologi   baru       seperti   IB,
teknologi pakan musim kemarau, seleksi bibit dan teknologi lainnya.

C.   PARAMETER PRODUKSI DAN PRODUKTIFITAS TERNAK KERBAU
     Kerbau (Bubalus bubalis Linn.) adalah ruminansia besar yang mempunyai potensi tinggi
dalam penyediaan daging. Kerbau merupakan ternak asli daerah panas dan lembab, khususnya
daerah belahan utara tropika (Deptan, 2008). Kerbau ditinjau dari habitatnya, digolongkan dalam
dua tipe, yaitu: swamp bufallo dan river bufallo. Swamp buffalo (kerbau rawa) tipe habitatnya
adalah area daerah rawa yang tempat berkubangnya di lumpur, sedangkan river buffalo (kerbau
sungai) menetap di daerah basah dan lebih suka berenang di sungai atau kolam yang dasarnya
keras. Kerbau sungai umumnya tipe kerbau penghasil susu, sedangkan kerbau rawa merupakan tipe
penghasil daging (Fahimuddin, 1975).

     Indonesia mempunyai berbagai bangsa kerbau yang karena lama terpisah dari tempat asalnya
kemudian beradaptasi dengan lingkungan setempat dan diberi nama sesuai dengan nama tempat
seperti Kerbau Pampangan (Pampangan/Sumsel), Kerbau Binanga (Tapsel/Sumut), Kerbau rawa
(di Sumatera dan Kalimantan), Kerbau Benuang (Bengkulu), Kerbau Belang Tana Toraja
(Sulsel), Kerbau Sumbawa (NTB), Kerbau Sumba (NTT), Kerbau Moa (Maluku) dan lain-lain yang
sebenarnya termasuk dalam bangsa kerbau lumpur (swamp buffalo) (Talib, 2008). Kerbau rawa
banyak terdapat di daerah Asia Tenggara. Kerbau ini tampak lebih liar dibandingkan dengan
kerbau tipe sungai. Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa kerbau rawa merupakan kerbau yang
berbadan pendek, besar, bertanduk panjang, memiliki konformasi tubuh yang berat dan padat, dan
biasanya berwarna abu-abu dengan warna yang lebih cerah pada bagian kaki. Warna yang lebih
terang dan menyerupai garis kalung juga terdapat di bawah dagu dan leher. Kerbau rawa tidak
pernah berwarna coklat atau abu-abu coklat sebagaimana kerbau sungai (Mason, 1974).
Ciri-ciri dari bagian muka adalah dahi datar, muka pendek, moncong lebar dan terdapat bercak
putih di sekitar mata. Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa kerbau rawa jantan memiliki bobot
dewasa 500 kg dan kerbau betina 400 kg dengan tinggi pundak jantan dan betina adalah 135
dan 130 cm. Menurut Chantalakhana (1981), kerbau rawa dewasa di Indonesia memiliki
tinggi rata-rata 127-130 cm untuk kerbau jantan dan 124-125 cm untuk kerbau betina. Kerbau rawa
mempunyai kemampuan berenang jauh serta menyelam cukup dalam di dalam air.

     Cara kerbau dewasa berenang adalah kedua kaki belakangnya bertumpu di tanah dan
mendorong tubuhnya ke depan, sementara kaki depannya digunakan untuk mengayuh
atau mendayung. Hal ini kemungkinan merupakan salah satu penyebab kedua kaki depan
kerbau rawa punya perototan yang lebih kekar dibandingkan kaki belakang (Dilaga, 1987).

    Produktivitas Ternak
     Produktivitas ternak ditinjau dari dinamika populasi diartikan sebagai perkembangan
populasi ternak dalam periode waktu tertentu (umumnya satu tahun) dan sering dinyatakan dalam
persentase (%), apabila dibandingkan dengan populasi ternak secara keseluruhan (Basuki, 1998).
Produktivitas kerbau rawa di Indonesia pada umumnya rendah yang disebabkan oleh beberapa
kendala, antara lain: peranan kerbau pada sistem usaha tani tradisional, pengusahaan lahan yang
kurang ekonomis, kurangnya modal, sangat terbatasnya bibit unggul, kualitas pakan yang
rendah, kurangnya pengetahuan petani terhadap produksi kerbau. Kendala-kendala tersebut
dapat diminimalisasi dengan program jangka panjang terutama dalam bidang reproduksi dan
pemuliaan ternak kerbau (Dwiyanto dan Subandryo, 1995). Produktivitas             ternak   potong
dipengaruhi oleh struktur populasi ternak, natural increase (angka pertambahan alami), angka
panen (calf crop), mortalitas sesudah lepas sapih dan masa aktivitas reproduksi (melahirkan) bagi
induk (Basuki, 1998).

    Reproduksi
     Daya reproduksi didefinisikan sebagai kemampuan seekor ternak untuk menghasilkan
anak selama hidupnya. Daya reproduksi kelompok ternak yang tinggi disertai dengan pengelolaan
ternak yang baik akan menghasilkan efisiensi produksi yang tinggi pula. Laju peningkatan
populasi ternak akan menjadi lebih cepat bila efisiensi reproduksinya lebih baik dan rendahnya
angka gangguan reproduksi. Tinggi rendahnya          efisiensi   reproduksi   sekelompok   ternak
ditentukan oleh lima hal, yaitu:          l) angka kebuntingan (conception rate), 2) jarak antar
melahirkan (calving interval), 3) jarak waktu antara melahirkan sampai bunting kembali (service
period), 4) angka perkawinan per kebuntingan (service per conception), dan 5) angka
kelahiran (calving rate) (Hardjopranjoto, 1995). Efisiensi proses reproduksi pada water buffalo
berhubungan erat dengan jumlah faktor yang dikontrol oleh heriditas dan lingkungan. Kendala
reproduksi diantaranya adalah lambatnya angka pertumbuhan, keterlambatan pubertas, musim
kawin, tingginya umur beranak pertama, panjangnya calving interval, dan lain-lain. Hal yang
menjadi masalah utama dari beternak kerbau (Fahimuddin, 1975). Menurut Cockrill (1974),
kerbau rawa mampu menghasilkan anak 10-15 ekor selama hidupnya dan dapat hidup sampai 25
tahun.

    Pubertas
     Pubertas atau dewasa kelamin dapat didefinisikan sebagai umur atau waktu organ-organ
reproduksi mulai berfungsi dan perkembangbiakan terjadi. Pubertas tidak menandakan kapasitas
reproduksi yang normal dan sempurna yang masih akan tercapai kemudian. Pubertas pada hewan
jantan ditandai dengan kemampuan hewan untuk berkopulasi dan menghasilkan sperma di samping
perubahan-perubahan kelamin sekunder lain, sedangkan pada hewan betina ditandai dengan
terjadinya estrus dan ovulasi. Estrus dan ovulasi pertama disertai oleh kenaikan ukuran dan
berat organ reproduksi secara cepat (Toelihere, 1981).

     Pubertas terjadi karena dipengaruhi oleh faktor hewannya diantaranya, yaitu: umur, bobot
badan, ras dan genetik. Beberapa faktor yang juga sangat berpengaruh ialah faktor lingkungan
yaitu: suhu musim dan iklim. Faktor lain yang mempunyai pengaruh besar terutama nutrisi dan
pakan. Pubertas lebih awal akan menguntungkan karena dapat mengurangi masa tidak produktif
dan memperpanjang masa hidup produktif ternak. Peningkatan genetik dapat terjadi lebih
cepat karena interval generasi berkurang, bila dilakukan seleksi dengan baik dan program
seleksi yang efektif (Tomaszewska et al., l99l). Hasil dari penelitian     yang dilakukan di
Kalimantan Selatan oleh Lendhanie (2005) mengatakan bahwa umur melahirkan pertama pada
kerbau rawa yaitu 3-4 tahun sehingga diperkirakan konsepsi pertama terjadi pada umur 2-3 tahun
meskipun umur pubertas kerbau rawa tidak diketahui dengan pasti. Umur konsepsi pertama
ini dapat dijadikan patokan sebagai umur dewasa kelamin dengan asumsi lama kebuntingan
selama 12 bulan. Siklus Berahi dan Lama Berahi Berahi adalah saat hewan betina bersedia
menerima pejantan untuk kopulasi. Jarak antara berahi yang satu sampai pada berahi berikutnya
disebut satu siklus berahi, jika berahi yang pertama tidak menghasilkan kebuntingan maka berahi
yang pertama itu akan disusul dengan berahi kedua (Partodihardjo, 1980). Lama berahi berkisar
antara waktu penerimaan pertama sampai penolakan terakhir (McDonald, 1977). Menurut
Mongkopunya (1980) lama berahi kerbau rawa adalah 32 jam. Kerbau rawa Thailand memiliki
siklus berahi 2l hari, sedangkan di Philipina siklus berahi kerbau rawa selama 20 hari
(Guzman, 1980). Gejala berahi tidak muncul disebabkan oleh temperatur yang tinggi pada kondisi
arid dan semiarid serta lama berahi menjadi pendek (dari 11,9 jam menjadi 6,1 jam) (Cockrill,
1974).

    Umur Kawin Pertama
     Hewan-hewan betina muda tidak boleh dikawinkan sampai pertumbuhan badannya
memungkinkan (dewasa kelamin dan dewasa tubuh) untuk suatu kebuntingan dan kelahiran
normal. Hal ini karena dewasa kelamin terjadi sebelum dewasa tubuh tercapai (Toelihere, 1981).
Umur kerbau      betina   pada    konsepsi   pertama ber-beda-beda tergantung pada manajemen
pemeliharaan, penggunaan pakan, dan genetik. Umur kawin pertama kerbau rawa di Malaysia
adalah rata-rata 28 bulan atau 2,3 tahun (Fahimuddin, 1975). Menurut hasil penelitian Lendhanie
(2005), ternak kerbau betina di Kalimantan Selatan baru berahi pertama setelah berumur 3 tahun
atau lebih lama dibanding sapi.

    Service per Conception (S/C)
     Service per conception adalah penilaian atau perhitungan jumlah perkawinan (service)
inseminasi buatan (IB) atau kawin alam yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya
kebuntingan. Nilai S/C yang normal adalah 1,6-2,0. Nilai S/C makin rendah maka makin tinggi
kesuburan hewan betina dalam kelompok tersebut, tetapi sebaliknya makin tinggi nilai S/C, maka
makin rendah kesuburan hewan betina dalam kelompok tersebut (Toelihere, l98l). Betina dara yang
beranak pertama selalu membutuhkan service per conception yang lebih tinggi daripada betina
yang lebih tua (Fahimuddin, I975).
     Angka Kebuntingan
      Angka kebuntingan atau conception rate (CR) adalah persentase sapi betina yang bunting
pada inseminasi atau kawin pertama baik pada sapi dara maupun pada sapi           laktasi.    Angka
kebuntingan (CR) ditentukan oleh tiga faktor yaitu kesuburan pejantan, kesuburan betina dan
teknik inseminasi. Angka kebuntingan ditentukan berdasarkan hasil diagnosa palpasi per
rektal pada 40-60 hari setelah inseminasi (Toelihere, 1981) dan dihitung berdasarkan persamaan
berikut:




      Menurut Fahimuddin (1975), conception rate dipengaruhi oleh musim kawin, umur pejantan
dan betina, tingkat nutrisi, dan lain-lain. Nilai CR menurut Cockrill (1974) adalah 63% dan CR
untuk sapi lebih tinggi daripada kerbau.

     Lama Bunting
      Periode kebuntingan diukur sebagai jumlah hari antara waktu kawin sampai kelahiran anak
karena ketepatan waktu fertilisasi tidak diketahui. Faktor yang mempengaruhi lama kebuntingan
adalah jenis kelamin keturunan umur induk dan yang lebih luas yaitu musim kelahiran dan
kondisi lingkungan. Kebuntingan anak jenis kelamin jantan pada spesies mamalia umumnya
sedikit lebih lama daripada betina dan     bunting   pertama   selalu   lebih   singkat      daripada
kebuntingan       selanjutnya (Fahimuddin, 1975). Lama bunting adalah suatu aspek yang
mempengaruhi selang kelahiran. Menurut Guzman (1980), kerbau rawa memiliki lama
bunting berkisar antara 320-325 hari, Mongkopunya (1980) menyatakan bahwa lama bunting
kerbau rawa adalah 336 hari, dan menurut Toelihere (1981), rata-rata periode kebuntingan adalah
310-315 hari dan selanjutnya dikatakan bahwa perbedaan lama kebuntingan bisa disebabkan oleh
manajemen, pakan dan iklim lingkungan.

     Calf Crop
      Calf crop adalah persentase jumlah anak yang dilahirkan hidup dalam satu tahun dari
seluruh induk yang diteliti dan jika diinginkan angka calf crop yang tinggi maka                harus
diperhatikan waktu dan lama berahi, ketepatan saat kawin, nutrisi dan pengawasan penyakit
(Talib, I988). Rata-rata calf crop kerbau di Indonesia sangat rendah yaitu 33%.

     Berahi setelah Melahirkan
      Fase kelahiran atau partus akan terjadi apabila masa kebuntingan telah mencukupi. Organ
reproduksi, terutama uterus akan mengalami proses penyembuhan setelah peristiwa kelahiran
yaitu kembali keukuran semula pada saat tidak bunting. Proses ini disebut dengan istilah involusi
uterus. Berahi kembali akan terjadi setelah involusi uterus selesai. Proses berahi setalah melahirkan
pada tiap individu berbedabeda bergantung kepada lamanya proses involusi uterus. Guzman (1980)
menyatakan bahwa pada kerbau rawa berahi kembali setelah melahirkan adalah 35 hari. Kerbau
seperti halnya dengan sapi bahwa apabila dalam pengelolaan pasca melahirkan induk dihadapkan
pada pakan yang kurang, lingkungan yang tidak serasi, sanitasi kandang yang kurang baik atau
kondisi lain yang tidak mendukung maka pada induk akan terjadi gangguan dalam proses
reproduksi selanjutnya (Hardjopranjoto, 1991). Interval Dikawinkan Pertama setelah Beranak
Interval perkawinan setelah beranak menentukan panjang interval kelahiran. Interval dikawinkan
pertama setelah beranak adalah interval dari induk par-tus/beranak sampai kawin kembali
(service periode) dan lamanya bergantung pada estrus postpartum dan konsepsi aktual yang
membutuhkan perkawinan satu kali, dua kali, atau lebih. Berahi postpartum merupakan komponen
dasar dari service period yang sangat bervariasi baik dari faktor fisik maupun psikologi
sehingga menun-jukkan besarnya variasi berdasarkan keturunan atau tipe dan lingkungan
(Fahimuddin, 1975). Kerbau akan kembali estrus 40 hari setelah beranak berdasarkan National
Research Council (1981).

    Selang Beranak (Calving Interval)
     Selang beranak adalah jangka waktu dari saat induk beranak hingga saat beranak
berikutnya. Calving interval dipengaruhi oleh daya reproduksi dan ditentukan oleh lamanya masa
kosong serta angka perkawinan per kebuntingan. Siklus reproduksi akan diulang kembali
sampai pada kebuntingan berikutnya setelah kerbau mengalami berahi kembali dan melahirkan.
Panjang   calving    interval   sangat   bervariasi pada kerbau rawa bergantung kepada semua
karakteristik reproduksi. Menurut Guzman (1980), selang kelahiran kerbau rawa berkisar antara l-3
tahun atau rata-rata 1,5 tahun. Calving interval lebih banyak diatur oleh faktor nongenetik
yaitu ada kesem-patan      menurunkannya     dengan     efisiensi   manajemen    pemeliharaan    dan
pemberian pakan yang tepat (Fahimuddin, 1975).

    Parameter Tubuh
     Informasi tentang ukuran tubuh kerbau hanya terdapat sedikit dibandingkan dengan ternak
sapi yang lebih populer, padahal ukuran tubuh ini penting dalam manajemen produksi ternak.
Pengukuran    parameter    tubuh   sering   digunakan     untuk estimasi produksi, misalnya untuk
pendugaan bobot badan (Saleh, 1982). Parameter tubuh yang diukur meliputi panjang badan,
lingkar dada, tinggi pundak, dan tinggi pinggul. Bobot badan pada umumnya mempunyai
hubungan positif dengan semua ukuran linear tubuh. Ukuran-ukuran tubuh ternak dapat
berbeda satu sama lainnya secara bebas, korelasinya dapat disebut positif apabila peningkatan
satu sifat penyebab sifat lain juga meningkat. Menurut Diwyanto (1982), komponen tubuh
yang berhubungan erat dengan bobot badan adalah lingkar dada dan panjang badan.

       Williamson dan Payne (1986), pemakaian ukuran lingkar dada panjang badan dapat
memberikan petunjuk bobot badan seekor hewan dengan tepat. Nilai korelasi tertinggi
diperoleh dari lingkar dada dibandingkan dengan ukuran tubuh lainnya (Aisiyah, 2000), oleh
karena itu, lingkar dada dapat digunakan sebagai kriteria seleksi dan memilih calon bibit.




D.     KETERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN TEKNOLOGI TERNAK KERBAU
      Teknologi perbibitan
       Pada kondisi riil yang ada saat ini ternyata usaha pembibitan peternakan masih menghadapi
berbagai masalah dan tantangan antara lain beluim tercukupinya kebutuhan bibit ternak, baik
kuantitas maupun kualitas. Guna mengatasi          masalah   tersebut,   pemerintah melalui program
aksi      perbibitan   berupaya meningkatkan kinerja sekaligus menstimuler kelompok peternak
pembibit potensial untuk lebih meningkatkan partisipasinya. Dengan semakin             meningkatnya
kebutuhan       kerbau potong untuk menghasilkan daging maka diperlukan bibit yang tepat
dan teknologi reproduksi. Kualitas kerbau bisa ditingkatkan melalui seleksi induk, perkawinan
alami dan inseminasi buatan. Pemilihan kualitas donor dan sperma pejantan unggul akan
memberikan kualitas anak yang memiliki sifat-sifat unggul, baik dari induk betina maupun
pejantannya.

      Teknologi pakan
       Pakan     merupakan     faktor   utama   dalam menentukan produktivitas ternak, disamping
potensi genetik dan lingkungan. Kebutuhan zat gizi disesuaikan dengan status fisiologis ternak serta
tingkat     produksi    yang    diharapkan. Pertumbuhan berat badan akan lebih tinggi dan maksimal
bila pakan yang diberikan merupakan kombinasi antara hijauan dan konsentrat. Pemilihan
hijauan pakan dan konsentrat dapat disesuaikan dengan ketersediaan bahan, mudah dan murah
untuk memperolehnya, dengan syarat sesuai kebutuhan dasar zat gizi ternak yang dipelihara.
Pemberian hijauan pakan berkualitas rendah (al. Jerami padi, pucuk tebu,daun jagung, daun ubi
kayu) berkisar 40- 45% dan hijauan pakan berkualiatas sedang sampai tinggi      (al.   Rumput    raja,
rumput       gajah, lamtorogung, daun gamal, glirisidae) adalah 55-60%, sedangkan sisanya berupa
konsentrat. Konsentrat dibuat dari berbagai bahan yaitu dedak padi, bungkil kedelai, bungkil
kelapa, tepung tulang, onggok jagung, garam dapur dan            premix.    HENDRATNO       et     al.
(1981) melaporkan,        pemberian      bungkil     kedelai sebanyak 1,75 kg/ekor/hari pada kerbau
jantan umur 2,5-3,0 tahun (bobot 170-225 kg) memberikan pertumbuhan sebesar 0,75 kg/
ekor/hari, sedangkan pemberian dedak 1, 2 dan 4 kg/ekor/hari menghasilkan pertumbuhan
sebesar 0,21 kg/ekor/hari; 0,70 kg/ekor/hari dan 0,78 kg/ekor/hari.

    Teknologi produksi
     Seperti halnya ternak sapi, hal penting yang               perlu     mendapat       perhatian         dalam
pengembangan usaha ternak kerbau adalah manajemen pemeliharaan yang sesuai dengan
kondisi lokasi pengembangan. Dengan metode LEISA                 (Low      External     Input      Sustainable
Agriculture) atau sistem integrasi tanaman ternak (SIPT), dimana potensi sumberdaya pakan
yang baik dan murah direkayasa dan dimanfaatkan                  secara     optimal.        Misalnya integrasi
sawit dengan ternak sapi,           integrasi padi dengan ternak sapi atau ternak lainnya dengan
perkebunan coklat dan kopi. Model tersebut dapat diaplikasikan untuk ternak kerbau.

     Percontohan sistem integrasi padi ternak (SIPT) cukup direspon petani karena dapat
meningkatkan produksi dan produktivitas padi serta pendapatan petani. Selain itu, kotoran ternak
yang sudah diolah dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik pada tanaman padi atau tanaman
lainnya. Di Bengkulu, sapi dipelihara diperkebuan sawit (SISKA), dimana pakan rumput diganti
dengan pelepah daun yang dicincang, sedangkan pengganti konsentrat menggunakan lumpur
sawit dan bungkil inti sawit yang difermentasi (Ferlawit) hingga kandungan                          proteinnya
mencapai     24%. Pertumbuhan bobot sapi cukup baik (0,582 kg/ekor/hari) dengan                          konversi
pakan 7,04 dibanding        pakan      komersial    (pertambahanbobot 0,354 kg/ekor/hari dan konversi
pakan 11,36).

     Selanjutnya integrasi ternak domba dengan perkebunan karet yang memanfaatkan hijauan
sebagai     sumber         pakan    dengan         waktu pengembalaan 6-8 jam/hari menghasilkan laju
pertumbuhan sebesar 30-40 g/hari (DAUD dan YUSUF, 1983). BRATFORD dan BERGER
(1990) memprediksi bahwa populasi ternak domba yang dipelihara diperkebunan akan berlipat
ganda dalam waktu 2-4 tahun atau meningkat 10 kali lipat dalam waktu 6-17 tahun.

    Pengendalian penyakit
     Penyakit kerbau secara umum disebabkan oleh                virus,    bakteri,    dan     parasit.     Untuk
mengatasi       penyakit      akibat     virus      dapat dilakukan melalui vaksinasi, penyakit bakteri
dengan antibiotik dan penyakit parasit dengan pemberantasan parasit.                   Salah satu teknologi
Balitvet untuk pengendalian penyakit Enterotoksemia pada sapi dan kerbau adalah dengan
Closvak Multi (merupakan vaksin in-aktif). Vaksinasi pertama dilakukan pada pedet umur 3-
5 bulan, vaksinasi kedua sebulan kemudian, dan selanjutnya diulangi setiap 12 bulan.
    Teknologi pascapanen
     Penanganan ternak sebelum dipotong perlu dilakukan karena dapat mempengaruhi warna
daging (ternak diistirahatkan dan dipuasakan selama 12 jam dengan pemberian air minum
secara   berlebihan).   Dalam   rangka    memper-tahankan    mutu   dan    memperpanjang      daya
simpan daging dapat digunakan larutan asam (TRIYANTINI dan SIRAIT, 1998). Hasil
penelitian lain menunjukkan bahwa daging yang disimpan pada suhu kamar mengalami pembu-
sukan pada jam ke-25 dan pembusukan sempurna pada jam ke-37. Penyimpanan pada
suhu 0-8 0 C menyebabkan terjadinya pembu-sukan pada hari ke-22. dan melalui prosses
pembekuan ternyata daging masih tetap segar pada hari ke-30.

    Teknologi biogas
     Kotoran ternak berupa feses dan urin dapat diolah menjadi biogas dan pupuk organik.
Biogas adalah energi alternatif hasil proses dekomposisi bahan organik secara anaerob oleh
mikroorganisme terutama bekteri metan (ANONIMUS,              2006).      Gas     yang    hasilkan
diantaranya adalah metan (CH 4 ) dan karbon dioksida (CO 2 ). Efisensi penggunaan biogas
mencapai 30-40%, lebih tinggi dibandingkan dengan kayu bakar (20-30%). Berdasarkan hasil
penelitian, satu ekor sapi atau kerbau berbobot 454 kg dapat memproduksi feses dan urin
sebanyak 30 kg/hari, sedangkan setiap 1 kg feses dapat menghasilkan biogas sebanyak 60 liter.
Proses dekomposisi hingga diperoleh gas     berlangsung     dalam      wadah    pencerna (digester)
dengan kedalam 2 m dan diameter 3 m.       Digester   dihubungkan      dengan   lubang pemasukan
limbah dan tempat penampungan limbah hasil sampingan (sludge).
BAB III
                                        PEMBAHASAN




A.   LAHAN KERING DI NTT
      Upaya untuk mengembangkan peternakan di daerah NTT adalah untuk memenuhi
permintaan akan produk-produk dalam negeri misalnya daging. Sebagaimana diketahui bahwa
pemenuhan akan kebutuhan daging dalam negeri sebagian masih berasal dari luar. Upaya tersebut
dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di daerah pedesaan, memantapkan
pendapatan petani kecil dan meningkatkan lapangan kerja didalam maupun luar usaha tani.
Peningkatan pendapatan dalam sector peternakan dapat tercapai apabila ternak-ternak yang
dihasilkan mempunyai produktivitas yang tinggi sebagaimana yang berlaku dipasaran atau dengan
kata lain untuk mendapatkan harga jual yang tinggi maka produksi ternak harus optimal.

      Provinsi NTT memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan peternakan. Namun
di provinsi NTT beriklim kering (Semi arid) yang dipengaruhi oleh Angin muson. Kondisi wilayah
Nusa Tenggara Timur hanya memiliki dua musim, yaitu musim penghujan sangat pendek yang
terjadi antara bulan Desember sampai bulan April, sedangkan musim kemarau panjang dan kering
terjadi pada bulan Mei sampai bulan Nopember. Keadaan demikian, berakibat jumlah pakan untuk
ternak akan tersedia dalam jumlah yang banyak serta memiliki kualitas yang baik pada musim
hujan saja, sedangkan pada musim kemarau jumlah pakan yang tersedia sangatlah sedikit dengan
kualitas yang rendah. Hal ini diperparah lagi dengan system pemeliharaan ternak yang masih
ekstensif, serta kurangnya sumber daya manusia untuk memanfaatkan lahan kering di NTT sebagai
tempat tersedianya hijauan makanan bagi ternak. Akibatnya tidak dapat memenuhi kebutuhan pakan
bagi ternak sehingga produksi yang diharapkan tidak optimal dan membutuhkan waktu yang cukup
lama untuk mencapai tingkat produksi yang tinggi. Oleh karena itu perlu adanya sumber daya
manusia yang berwawasan IPTEK untuk meningkatan potensi peternakan di NTT terutama pada
lahan kering.

     Lahan kering yang ada di NTT, banyak dibiarkan begitu saja, tanpa ada yang mengelolanya.
Lahan yang dibiarkan begitu saja akan berpengaruh terhadap menurunya unsur-unsur hara pada
tanah tersebut. Hal demikian disebabkan karena rendahnya inisiatif dan tingkat kemalasan manusia
untuk mengelolanya menjadi lahan yang berdaya guna. Dan juga banyak masyarakat NTT yang
selalu berharap bahwa segala kebutuhan ternak terutama pakan disediakan oleh alam tanpa berpikir
untuk mengelolanya sendiri. Apabila lahan kering yang ada digunakan sebagai lahan peternakan
khususnya untuk lahan pananaman HMT, maka lahan tersebut dapat membawa keuntungan bagi
petani peternak secara maksimal. Dengan adanya pemanfaatan lahan kering sebagai lahan
penanaman HMT, tidak hanya membawa keuntungan bagi petani peternak namun dapat juga
mengembalikan unsur-unsur hara pada tanah tersebut.

      Selain itu kondisi iklim suatu daerah sangat berpengaruh terhadap suatu lahan atau areal
tertentu serta produksi, baik produksi peternakan maupun pertanian. Wilayah NTT beriklim kering
yang dipengaruhi oleh angin musim. Periode musim kemarau lebih panjang, yaitu 7 bulan (Mei
sampai dengan Nopember) sedangkan musim hujan hanya 5 bulan (Desember sampai dengan
April). Curah hujan propinsi Nusa Tenggara Timur berkisar antara 697 – 2.737 mm/tahun dengan
jumlah hari hujan rata-rata tiap tahun antara 44 sampai 61 hari. Suhu udara rata-rata 27,6ºC,
maksimum rata-rata 29º C dan suhu minimum rata-rata 26,1ºC (Sumber : Buku Prov. NTT Dalam
Angka, Tahun 2007 BPS Prov. NTT). Kelembaban nisbi terendah terjadi pada musim Timur
Tenggara (63-76%) yaitu bulan Juni sampai Nopember dan kelembaban tertinggi pada musim Barat
Daya (82-88%) yaitu Desember sampai bulan Mei.

      Kondisi NTT yang musim kemaraunya lebih panjang ini menyebabkan rendahnya produksi
hasil peternakan. Produksi peternakan sangat di pengaruhi oleh musim kemarau dimana pada
musim kemarau hijauan maknan ternak tidak cukup tersedia di alam. Hal tersebut dapat juga
berpengaruh pada ketersediaan air untuk hijauan makanan ternak, sebab air yang selalu ada dalam
jumlah optimal sangat mendukung terhadap pertumbuhan, produktifitas, kualitas dan rutinitas
hijauan makanan ternak. Selain itu air sangat penting dalam proses pembentukkan zat pengurai
unsur hara di dalam tanah, khususnya pada lahan kering. Kekurangan pakan hijauan pada musim
kemarau dapat menyebabkan terjadinya penurunan bobot badan ternak, penundaan lama birahi pada
ternak betina, mudah terkena penyakit dan tingkat kematian tinggi terutama pada ternak yang baru
dilahirkan dan ternak yang masih menyusui (lihat gmbr pada lampiran).

      Adapula hal-hal lain yang terkait dengan lahan kering di NTT antara lain topografi dan
keadaan tanah (lihat gambar pada lampiran). Apabila dilihat dari topografinya, maka wilayah NTT
dapat dibagi atas 5 bagian besar, yaitu :
      Agak berombak dengan kemiringan 3-16 %.
      Agak bergelombang dengan kemiringan 17-26 %.
      Bergelombang dengan kemiringan 27-50 %.
      Berbukuti-bukit bergunung dengan kemiringan lebih besar dari 50 %.
      Dataran banjir dengan kemiringan 0-30 %.

      Keadaan topografi yang demikian mempunyai pengaruh pula terhadap pola pengembangan
peternakan. Tanah dengan kemiringan yang tinggi diperlukan upaya khusus dalam pengelolaannya.
Sebab topografi tanah sangat berpengaruh terhadap kesuburan, efisiensi produksi, pengelolaan,
komunikasi/transportasi, pengairan dan penggunaan alat-alat mekanisasi dan pemupukan. Keadaan
tanah di NTT banyak yang berbatu-batu, sehingga sangat sulit digunakan sebagai lahan penanaman
HMT. Namun hal ini dapat dimudahkan apabila didukung oleh sumber daya manusia untuk
mengolahnya. Sehingga lahan yang berbatu-batu tersebut dapat digunakan sebagai areal penanaman
hijauan makanan ternak.

B.   MEMANAJEMEN LAHAN KERING UNTUK PENGEMBANGAN PETERNAKAN
     Pemanfatatan lahan kering di daerah NTT memang sangat diharapkan oleh semua pihak,
khususnya pemanfaatan di bidang pertanian peternakan. Sukses dan tidaknya usaha pengembangan
sistem peternakan di lahan kering seperti NTT sangat dipengaruhi oleh kontribusi dari manusia dan
sumber daya ternak itu sendiri, tanpa mengabaikan pakan bagi ternak.

     Hal utama yang perlu dilakukan adalah meningkatkan sumber daya manusia. Upaya-upaya
dalam meningkatkan sumber daya manusia adalah konsekuensi yang baik, karena dengan demikian
dapat membuka cara pemikiran yang cenderung memanfaatkan ternak tanpa memikirkan
populasinya kedepan. Sumber daya yang dimaksud yaitu dengan menjalani pendidikan, sehingga
dengan pendidikan dapat membuka wawasan dan cara berpikir yang bermanfaat. Selain itu juga
dapat mengembangkan teknologi-teknologi baru yang mampu memperbaharui sistem peternakan
lahan kering menjadi lebih optimal. Manusia perlu memanfaatkan lahan kering untuk digunakan
sebagai sumber pakan bagi ternak. Misalnya pada musim hujan, manusia dapat memanfaatkan
semaksimal mungkin pakan yang ada, memasuki musim peralihan menuju musim kemarau, pakan
berupa hijauan dapat dibuat pakan awetan guna menjaga ketersediaan pakan dimusim kemarau,
selain itu, juga pada musim peralihan ke musim panas, diharapkan dapat memanfaatkan lahan
kering untuk menanam kembali berbagai jenis hijauan yang berpotensi tahan terhadap kekeringan.

     Apabila kebutuhan pakan ternak terjamin maka ternak tersebut dapat berkembang dan
berproduksi dengan maksimal. Masyarakat juga perlu membatasi pemotongan ternak dalam skala
besar dan untuk meningkatkan populasi ternak perlu melihat keadaan ternak yang ideal sebelum
dipastikan untuk dilakukan pemotongan. Masyarakat juga perlu meninjau kembali budaya yang
selama ini diaplikasikan, yang menyebabkan banyak ternak yang dibunuh, misalnya upacara-
upacara adat, upacara kematian. Dan juga butuh peran pemerintah NTT untuk memberikan
dukungan bagi petani peternak dalam mengembangkan usahanya, berupa modal, pendidikan serta
penerapan tekhonologi baik tekhnologi pakan maupun tekhnologi untuk manajemen. Selain itu
dengan keadaan topografi lahan di NTT yang kurang mamadai maka peran masyarakat adalah
melakukan terasering (lihat gmbr pda lampiran). Dengan adanya terasering maka tanaman yang ada
pada lahan tersebut dapat tumbuh subur tanpa adanya pengikisan pada musim hujan. Sehingga
pupuk yang kita berikan untuk kesuburan tanaman tersebut dapat bermanfaat dan tidak terbuang sis-
sia oleh air hujan.

      Usaha-usaha yang dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan pakan pada lahan kering yaitu,
penerapan prinsip-prinsip rangeland managemen yang bertumpu pada upaya pengendalian vegetasi,
pengendalian ternak dan pengendalian kesuburan tanah. Hal-hal yang dilakukan dalam penerapan
prinsip diatas antara lain:
      Mengelola lahan kering yang ada dengan pemanfaatan SDM yang berwawasan IPTEK.
         Dengan adanya IPTEK yang ada, kita mengelola lahan kering tersebut menjadi lahan yang
      berdaya guna. Pengolahan tanah bertujuan untuk mempersiapkan media tumbuh optimum
      bagi tanaman. Dengan lahan kering yang ada diolah secara baik, sehingga dapat menjamin
      perkembangan sistem perakaran yang sempurna, menjamin peningkatan aviabilitas zat-zat,
      memperbaiki aerasi dan kelembaban tanah, memperbaiki kelestarian serta kesuburan tanah
      dan persediaan air. Selain itu perlu melakukan pemberantasan invasi tumbuh-tumbuhan
      pengganggu (gulma). Tentunya pada lahan kering yang baru diolah menjadi lahan HMT,
      biasanya ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan pengganggu yang dapat menghambat
      pertumbuhan dari HMT itu sendiri. Semak-semak yang mengganggu harus diberantas karena
      dapat mengurangi kapasitas tampung padang penggembalaan. Tumbuhan pengganggu
      tersebut dapat diberantas dengan jalan menyabit dan menggunakan herbisida selektif.
      Mengintroduksi rumput unggul, leguminosa, dan jagung, pada lahan kering yang telah diolah.
         Tindakan ini diperlukan guna mengatasi diskontinyutas suplai pakan bermutu sepanjang
      tahun, meningkatkan daya dukung pasture, memperbaiki status kesuburan tanah lewat
      simbiosa mutualisme antara akar legume dan bakteri rhyzobium guna memfiksasi N bebas
      dari udara, mengontrol gulma dan meningkatkan biodiversitas. Legum yang cocok untuk
      disebar di padang rumput adalah legume-legume yang mudah membentuk simbiosa dengan
      bakteri rhyzobium dan memiliki daya presistensi yang tinggi.
      Penanaman pada lahan kering yang telah diolah.
         Waktu penanaman hijauan makanan ternak yang paling baik adalah pada awal sampai
      pertengahan musim hujan agar pada musim kemarau berikutnya, akar tanaman hijauan
      makanan ternak tersebut diharapkan sudah cukup kuat untuk menahan kekeringan. Bibit yang
      dapat ditanam berupa stek batang, cuplikan rumpun dan biji. Untuk rumput-rumputan cara
      menanamnya adalah dengan menancapkan separuh dari stek batang kedalam tanah dengan
      posisi tegak miring, dengan jarak tanam 1x1 m. Hal penting yang harus diperhatikan sewaktu
      menanam stek batang adalah mata tunas tidak terbalik. Jika terbalik, akan mempengaruhi atau
mengahambat pertumbuhan tanaman. Sementara, bila akan menanam cuplikan rumpun, pada
tanah yang akan ditanami rumput gajah atau rumput raja harus dibuat lubang tanam terlebih
dahulu sedalam 30 cm. Penanaman rumput gajah atau rumput raja pada tanah yang miring
tidak membutuhkan pengolahan tanah terlebih dahulu. Namun, cukup dibuatkan lubang-
lubang tanam yang sesuai dengan kontur tanahnya sehingga sekaligus dapat berfungsi sebagai
penahanan erosi. Jarak tanam rumput gajah atau rumput raja di lahan miring adalah 100x50
cm.
Penanaman pohon-pohon sebagai pakan pelengkap
   Pada padang penggembalaan di lahan kering diperlukan juga penyediaan naungan dan
pakan pelengkap misalnya: telah dibuktikan bahwa produksi Axonopus compressus dibawah
naungan pohon-pohon 20% lebih tinggi dan kandungan proteinnya lebih tinggi pula. Sehingga
dengan adanya pepohonan dapat menyerap air hujan pada musim penghujan lewat perakaran,
dan dapat membantu menjaga kelembaban tanah tersebut. Selain untuk naungan dan menjaga
kelembaban tanah dapat juga dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Pohon-pohon yang perlu
ditanam seperti Leucaena leucocephala (lamtoro), Sesbania grandiflora (turi),Tamarindus
indicus (asam) dan Acacia leucocephloea (pilang) menghasilkan daun-daunan dengan
kombinasi yang baik sekali untuk pakan ternak. Sebab daun-daun dari pohon diatas
mengandung protein yang cukup tinggi, misalnya lamtoro kandungan proteinnya 36,80% dan
turi kandungan proteinnya 46,62%. Bila jenis-jenis ini dipangkas pada saat yang tepat, daun-
daunan tersebut juga akan dihasilkan dalam musim kering.
Pengendalian ternak
   Salah satu bagian yang menyebabkan kerusakan lahan adalah sistem pengembalaan ternak
secara bebas. Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat tahun 2003, luas lahan kritis di
NTT mencapai sekitar 2.1 juta ha. Oleh karena itu, selain berupaya untuk menegakan aturan
tentang tata ruang maka dipikirkan juga upaya untuk mengendalikan perumputan. Keutamaan
dari pengendalian ternak adalah meciptakan ruang padang penggembalaan yang berimbangan
diantara pencapaian produksi ternak dengan aspek sustainbability(keberlanjutan) dari
pengunaan sumberdaya savana. Hal ini dapat dicapai dengan mengatur keseimbangan antara
jumlah ternak dengan kemampuan lahan sehingga akan didapat tekanan penggembalaan yang
optimum, membatasi daya jejah dan selektivitas penggembalaan. Pengendalian ternak dapat
dilakukan melalui pengaturan stocking rate, pengaturan pola penggembalaan dan pengaturan
distribusi ternak.
Pengendalian kesuburan tanah
   Untuk meningkatkan kesuburan tanah pada lahan kering hal yang paling utama adalah
sumber air. Suplai air diberikan untuk pertumbuhan tanaman terutama pada tanaman di lahan
kering. Sumber air dapat berasal dari sumber air alami atau sumber air buatan. Bila air
merupakan suatu factor pembatas dalam pembinaan padang rumput, maka pembuatan dam-
dam, tangki-tangki tanah dan waduk-waduk dapat merintis perbaikan setempat. Selain air,
pilihan pengendalian kesuburan tanah dengan pupuk buatan dapat dilakukan dari pemanfaatan
feses ternak. Pemberian pupuk kandang maupun kompos akan sangat bermanfaat bagi kondisi
fisik tanah, karena akan memperbaiki struktur tanah. Di samping itu dapat pula diberikan
pupuk anorganik seperti KCl, SP 36 dan Urea, disesuaikan dengan jenis tanah setempat. Pada
lahan kering yang telah diolah sebagai lahan HMT akan ditumbuhi tumbuhan pengganggu
(gulma),   dapat   diberantas   dengan    jalan      menyabit   dan   menggunakan   herbisida
selektif. Selain itu perbaikan kesuburan tanah dapat dilakukan dengan pola-pola seperti
agroforestri sehingga serasah yang dihasilkan dapat membantu menaikkan tingkat kesuburan
tanah. Upaya penyebaran leguminosa yang dapat mengikat N bebas dari udara juga
merupakan cara biologis yang masuk akal (reasonable). Karena Nitrogen diperlukan oleh
semua jenis-jenis rumput dan tidak dapat dipenuhi dengan jalan pemupukkan saja, maka perlu
dipertimbangkan untuk menyebar biji-biji Stylosanthes gracilis(leguminosa) lewat udara.
Karena bijinya sangat halus dan ringan maka perlu dibutirkan dengan tanah.
Melakukan peremajaan.
  Padang penggembalaan permanen yang mundur atau terlantar di daerah iklim sedang
biasanya diremajakan dengan jalan pembajakkan dan pembenihan baru dengan spesies
rumput dan leguminosa yang unggul. Salah satu metoda yang tercepat di daerah-daerah
tropika adalah mengganti rumput-rumput yang berproduksi rendah dengan spesies serta
varietas rumput dan leguminosa yang lebih baik dan unggul. Penggunaan bajak harus
dilakukan dengan hati-hati karena dapat menyebabkan bahaya erosi oleh hujan dan oleh
angin. Metode lain yang kurang drastik dalam hal mempersiapkan persemaian adalah dengan
jalan membajak jalur berjarak lebar, tempat biji disebarkan atau menggunakan alat penabur
benih langsung pada padang penggembalaan bersangkutan. Keputusan menanam suatu jenis
hijauan makanan ternak yang unggul perlu pertimbangan jenis yang sesuai dengan alam
setempat dan sistem penyajian yang akan dilakukan. Faktor penentu dalam usaha
pengembanan hijauan makanan ternak dan faktor yang perlu diperhatikan adalah: curah hujan,
jenis tanah dan ketinggian di atas permukaan laut.
Pakan awetan
  Penyediaan pakan awetan dalam bentuk hay, silase, tanaman makanan ternak atau
“standing hay” adalah salah satu cara untuk meringankan tekanan penggembalaan terhadap
padang rumput selama musim kemarau. Untuk menjamin ketersediaan HMT selama musim
kemarau yang panjang terutama pada lahan kering, dapat diterapkan tekhnologi pengolahan
pakan seperti pembuatan silase dan hay.
Hay
  Hay adalah tanaman hijauan pakan ternak, berupa rumput-rumputan/leguminosa yang
disimpan dalam bentuk kering berkadar air 20-30%. Prinsip dari pengeringan yaitu
menurunkan     kandungan    air   sehingga   aman   untuk   disimpan   dalam   arti   dapat
menghentikan/menghambat aktifitas dari tumbuhan itu sendiri dan enzim dari mikrobia yang
terdapat didalarnnya dan menurunkan kandungan air sehingga aman untuk disimpan
Pembuatan hay bertujuan untuk menyeragamkan waktu panen agar tidak menganggu
pertumbuhan pada periode berikutnya, sebab tanaman yang seragam akan memiliki daya
cerna yang lebih tinggi. Tujuan khusus pembuatan hay adalah agar tanaman hijauan (pada
waktu panen yang berlebihan) dapat disimpan untuk jangka waktu tertentu sehingga dapat
mengatasi kesulitan dalam mendapatkan pakan hijauan pada musim kemarau. Hijauan yang
akan diolah harus dipanen saat menjelang berbunga (berkadar protein tinggi, serat kasar dan
kadar air optimal), sehingga hay yang diperoleh tidak berjamur yang akan menyebabkan
turunnya palatabilitas dan kualitas (Subur, 2006). Di NTT limbah pertanian terutama jerami
padi banyak diolah menjadi hay karena hasilnya berlimpah, tidak perlu menanam khusus
tinggal mengumpulkan saja sehingga penggunaannya menjadi sangat popular, meskipun
rendah nutrisinya.
Silase
  Silase adalah proses pengawetan makanan yang dilakukan pada sebuah silo pada kondisi
anaerob atau dengan kata lain silase adalah proses fermentasi yang dilakukan untuk
mengawetkan hijauan makanan ternak dalam keadaan basah atau lembab. Tujuan pembutan
silase adalah untuk mengantisipasi kekurangan hijauam makan pada musim kemarau dengan
kualitas yang baik. Misalnya pada musim hujan, manusia dapat memanfaatkan semaksimal
mungkin pakan yang ada, memasuki musim peralihan menuju musim kemarau, pakan berupa
hijauan dapat dibuat silase guna menjaga ketersediaan pakan dimusim kemarau, selain itu
juga pada musim peralihan ke musim panas, diharapakan dapat memanfaatkan lahan kering
untuk menanam kembali berbagai jenis hijauan yang berpotensi tahan terhadap kekeringan.
Selain itu system peternakan semi ekstensif dimana ternak dikandangkan dan digembalakan di
padang penggembalaan juga dapat dilaksanakan. Padang pengembalaan (rumput sampai
pohon) dapat tersedia dengan kualitas yang baik selama musim hujan walaupun berada pada
lahan kritis. Di NTT mempunyai lahan yang cukup luas dan belum termanfaatkan sehingga
dapat dijadikan sebagai padang penggembalaan.
C.    POTENSI TERNAK KERBAU DI LAHAN KERING
      Secara nasional peranan ternak kerbau cukup signifikan dalam menunjang program
swasembada daging sapi tahun 2010, baik dilihat dari jumlah populasinya sebesar 2,2 juta
ekor (sekitar 20% dari populasi sapi potong), maupun kontribusinya dalam produksi daging
yaitu sebesar 39.503 ton atau ± 15% dari sapi potong. Sementara itu, kontribusi kerbau sebagai
penghasil daging adalah sebesar 13,9% dari daging sapi di Kalsel (ROHAENI et al., 2008).
Perkembangan ternak ini sangat lamban di NTT, salah satunya disebabkan oleh sulitnya
penyediaan pakan hijauan pada saat kemarau panjang yang mengakibatkan                  kondisi      ternak
kurang baik sehingga           produktivitasnya         menurun (SURYANA,           2007).     Disamping
itu   serta pemanfaatan       teknologi    pengolahan     dan penyimpanan pakan belum banyak
dilakukan peternak (SURYANA dan SABRAN, 2005).                Menurut          TARMUDJI            (2003),
tantangan yang dihadapi dalam pembangunan peternakan ruminansia besar adalah produktivitas
dan reproduktivitas ternak yang masih rendah, serangan penyakit reproduksi dan produksi,
skala usaha kecil dan tersebar, kurangnya jumlah            dan     kualitas    pakan,       keterampilan
peternak yang masih rendah, teknik budidaya yang           masih     tradisional,    hambatan       sosial
ekonomi dan berbagai kendala lainnya yang menyebabkan                populasi       ternak       menurun.
Produktivitas atau out put dari suatu wilayah dipengaruhi oleh komposisi ternak berdasarkan
umur, jenis kelamin, kelahiran, kematian dan lamanya          ternak       dalam     masa      pembiakan
(SUMADI, 2001).

     POLA PEMELIHARAAN KERBAU
      Kerbau mempunyai peranan penting dalam kehidupan            sosial   ekonomi       petani,    yakni
sebagai tabungan hidup, menunjang status sosial, sumber tenaga kerja, penghasil daging,
susu dan pupuk (Diwyanto dan Subandriyo, 1995; Mahardika, 1996). Menurut Yusdja et al.
(2003),   populasi     kerbau sebagai penghasil daging relatif lambat, sehingga produktivitasnya
rendah. Perbaikan produktivitas kerbau yang dapat dilakukan adalah         perbaikan     mutu      genetik
melalui intensifikasi inseminasi buatan.

      Dalam rangka upaya meningkatkan produktivitas usaha ternak diperlukan adanya
ketersediaan piranti-piranti pendukung seperti teknologi siap pakai dan mempunyai tingkat
kelayakan yang memadai untuk mendukung proses produksi, dengan berpijak pada sumber daya
ternak yang ada, dan peternak sebagai objek yang harus ditingkatkan keterampilannya (Isbandi
dan Priyanto, 2004).

      Kenyataan      di   lapangan   menunjukkan bahwa, kerbau memiliki kemampuan daya
cerna terhadap serat kasar yang tinggi dan mampu            memanfaatkan           rumput      berkualitas
rendah serta menghasilkan berat karkas yang relatif tinggi dibandingkan sapi-sapi lokal,
sehingga      kerbau      sangat       potensial        untuk produksi daging (Siregar, 2004). Pendapat lain
menyebutkan        bahwa       kerbau      mampu memanfaatkan                pakan    dengan      kandungan protein
rendah dan serat kasar tinggi secara lebih efisien dan mengubahnya menjadi produk daging dan
susu yang berkualitas tinggi (Moran, 1978), serta tingkat resiko penyakit dan parasit relatif
rendah     (Baliarti      dan Ngadiono, 2006).                  Menurut Sudirman dan Imran (2006), kerbau
memiliki daya cerna serat              kasar       yang         tinggi     dan     mampu memanfaatkan       rumput
berkualitas       rendah untuk menghasilkan daging. Bobot karkasnya lebih                   tinggi    dibandingkan
sapi-sapi lokal sehingga        kerbau         sangat     potensial      untuk produksi daging.

      Sistem      pemeliharaan         kerbau      di     lahan kering/tegalan yang dilakukan petani/peternak
antara     lain    mereka      memelihara ternaknya dikandangkan seadanya dan pakan diberikan
sesekali tanpa memperhatikan pakan tambahan atau konsentrat. Namun demikian, ternak kerbau
mempunyai daya adaptasi yang baik                       dapat      hidup     dan     bertahan      serta berproduksi
dengan baik walaupun masih lamban.

      Triwulanningsih          (2008)       menyatakan bahwa kerbau mempunyai daya adaptasi yang
sangat tinggi. Kerbau dapat berkembang di daerah beriklim kering seperti di Nusa Tengara Barat
dan Nusa Tenggara Timur, maupun pada lahan pertanian subur seperti di Pulau Jawa, lahan
rawa di Kalimantan dan daerah pantai dari mulai Asahan sampai Sumatera Selatan.

      Pengaruh tidak langsung terjadi pada ketersediaan hijauan pakan ternak, baik dari segi
kualitas    maupun        kuantitas.       Menurut Keman (1986), temperatur sangat dipengaruhi oleh
ketinggian tempat dari permukaan air laut, semakin tinggi permukaan maka semakin rendah
suhu udaranya. Daya tahan terhadap suhu panas lebih rendah, karena kemampuan adaptasi
terhadap lingkungan tendah. Zona comfort untuk kerbau berkisar antara 15,5-21 0 C, dengan
curah hujan 500-2000 mm/tahun. Laporan lain menyebutkan bahwa zona yang paling ideal
bagi ternak kerbau untuk hidup dan berkembang biak yaitu pada kisaran temperatur 16-24
0 C, dengan batas toleransi 27,6 0 C (Markvichitr, 2006).

      Untuk       lebih     meningkatkan           potensi       dan peranan ternak kerbau, Direktorat Jenderal
Peternakan (2008), memberikan batasan operasionalisasi pengembangan usaha ternak kerbau
yang dapat dilakukan yaitu:
      Pola pembinaan kelompok
      Pembentukan              dan             pengembangan kelompok               diharapkan     sebagai    sarana
      pembelajaran, sebagai unit produksi, wadah kerjasama dan unit usaha.
      Pola kawasan
Kawasan      khusus        pengembangan     ternak kerbau,    mempermudah          pelayanan      dan
       pemasaran, sebagai sentra pengembangan agribisnis, pembinaan dan pengembangan
       kelembagaan.
       Pola bergulir
       Dengan        model         Bantuan        Langsung Masyarakat pada saatnya harus digulirkan
       kepada anggota/kelompok lain.
       Pola kemitraan
       Usaha     kemitraan        didefinisikan   sebagai kerjasama antara usaha kecil dan menengah
       atau dengan usaha besar, disertai pembinaan dan                    pengembangan                 usaha
       dengan memperhatikan            prinsip    saling   memerlukan, saling memperkuat dan saling
       menguntungkan.        Menurut       Widyahartono    dalam    Hermawan et     al.    (1998)     prinsip
       kemitraan       ditandai      oleh adanya azas kesejajaran kedudukan mitra, azas saling
       membutuhkan          dan     azas     saling menguntungkan yang merupakan persetujuan antara
       dua atau lebih perusahaan untuk saling berbagi biaya, resiko dan manfaat.

       Menurut Makka (2005), pola kemitraan usaha bidang peternakan yang dapat dilaksanakan
meliputi: 1) pola inti - plasma, yaitu hubungan kelompok dengan perusahaan, di mana
perusahaan bertindak sebagai inti dan kelompok sebagai plasma, 2) pola sub kontrak adalah
hubungan kelompok dengan perusahaan, dan kelompok memproduksi komponen yang diperlukan
perusahaan, 3) pola dagang           umum yaitu hubungan kelompok dengan perusahaan, memasarkan
hasil produksi kelompok atau sebaliknya kelompok memasok kebutuhan perusahaan, 4) pola
keagenan adalah hubungan kemitraan, dimana kelompok diberi hak khusus untuk memasarkan,
dan 5) pola kerjasama operasional agribisnis (KOA), kelompok menyediakan                  sarana    produksi,
sedangkan perusahaan hanya menyediakan modal atau sarana lainnya.

       Jamal (2008) mengemukakan bahwa yang paling layak diterapkan dalam strategi
pengembangan ternak kerbau adalah dengan menerapkan pola pemeliharaan semi intensif, yaitu
menyediakan        padang    penggembalaan terbatas dengan memanfaatkan           lahan     tidak produktif,
ternak dilepas pada siang hari dan sore/malam hari dikandangkan. Untuk menambah pakan
yang     dikonsumsi selama di padang penggembalaan, peternak bersedia memberikan pakan
tambahan (feed supplement) secara kontinyu tersedia di dalam kandang. Selanjutnya untuk
mengubah perilaku peternak dari yang semula hanya melepaskan ternaknya di padang
penggembalaan, mereka bersedia mengawasi ternaknya secara baik dan teratur. Strategi konservasi
hijauan pakan ternak dapat diartikan sebagai upaya yang dapat menjamin ketersediaan pakan
ternak ruminansia, terutama difokuskan pada pemberiannya selama musim kemarau (Nggobe,
2007).
Pada musim kemarau kekurangan pakan merupakan suatu kendala dalam meningkatkan
produktivitas ternak kerbau. Upaya konservasi hijauan pakan ternak (HPT) merupakan upaya
untuk memenuhi sebagian kebutuhan pakan selama musim kemarau. Namun yang perlu
diperhatikan      adalah     jenis      hijauan    perlu diseleksi berdasarkan kebutuhan dan ketahanan
terhadap kekeringan (Nggobe,            2007). Sehingga diperoleh HPT yang lebih cocok dan dapat
dikembangkan        selanjutnya. Misalnya HPT yang cocok dengan salah satu tanaman palawija
adalah tanaman pakan yang tidak berkompetisi dengan tanaman utama, baik dalam penggunaan
unsur hara maupun cahaya matahari. Berdasarkan hasil penelitian Ratuwaloe dan Marandi
dalam Nggobe (2007), menunjukkan bahwa kualitas rumput lebih baik pada kombinasi
rumput+legum+jagung daripada rumput tanpa maupun dengan penggunaan pupuk. Salah satu
jenis legum yang tahan terhadap kekeringan, dapat hidup dibawah naungan dan lahan yang
tergenang serta memiliki pertumbuhan yang cepat                 dan      sangat        disukai     ternak   adalah
Centrosema pubescens.

        Menurut Prawiradiputra et al. (2006), jenis rumput dan leguminosa yang cocok hidup pada
setiap zona berbeda antara satu dengan lainnya, baik sebagai hijauan potongan maupun hijauan
padang penggembalaan. Pada zona dataran sedang (200-700 di atas permukaan laut), yaitu
rumput Pangola, Benggala dan Signal grass, sedangkan leguminosa adalah jenis Centrocema,
Stylosanthes, Siratro dan Desmodium. Tanaman HPT yang dapat ditanam secara campuran.

        Ketersediaan hijauan sangat tergantung pada alam terutama pada pemeliharaan ternak
yang dilakukan secara tradisional. Hijauan merupakan bahan pakan yang sangat mutlak
diperlukan      baik     secara      kuantitatif   atau kualitatif     sepanjang         tahun     dalam    sistem
produksi ternak ruminansia.           Kualitas nutrien hijauan bagi kerbau tidak terlepas dari jenis
rumput apa yang digunakan dan di jenis lahan apa              ditanam,       sehingga      akan     mencerminkan
kecukupan, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.                Namun untuk lebih optimalnya dan
untuk     menjaga      kelangsungan      serta ketersediaan     hijauan       yang       baik,     perlu dilakukan
beberapa upaya (Rohaeni et al., 2008), antara lain :
        Perlu dilakukan upaya penanaman hijauan lokal                 yang     telah     adaptif    pada    padang
        penggembalaan sehingga populasinya lebih besar
        Perlu    diinformasikan         kepada     petani mengenai            pentingnya          rotasi    padang
        penggembalaan
        Sosialisasi pemanfaatan limbah pertanian untuk mengatasi kesulitan pakan pada musim
        kemarau atau musin hujan yang panjang
  • Perlunya pembinaan kelompok bagi petani peternak kerbau, khususnya yang berada di
        daerah yang sangat terpencil.
Sumber makanan ternak kerbau tergantung pada sistem usahatani di suatu daerah. Daerah
yang mempunyai usahatani sawah, sumber pakan                        kerbau     berasal      dari   hasil    ikutan
pertanian yang potensial. Sebaliknya bagi daerah yang mempunyai sistem usahatani lahan
kering atau tegalan, pakan kerbau masih bergantung pada rumput alam dan sebagai kecil dari
pemanfaatan       limbah    pertanian. Sebagian         besar    petani/peternak    kerbau     di Kalsel belum
secara optimal memanfaatkan limbah pertanian untuk pakan ternak kerbau, sehingga di
beberapa        daerah     masih      dijumpai limbah pertanian yang terbuang.                 Selain itu, perlu
dipertimbangkan kesesuaian            dengan      sistem    usahatani       yang dilakukan petani setempat
(Ibrahim, 2003).

     Pemberian           pakan      dan     legum      menunjukkan peningkatan dan berdampak pada
peningkatan populasi ternak yang dipelihara petani selama dua                      tahun.     Wirdahayati     dan
Bamualim (2008), melaporkan bahwa pemberian pakan pada induk kerbau menyusui dengan
komposisi daun gamal dan dedak halus secara signifikan dapat meningkatkan bobot badan
induk. Kebutuhan.

    PEMANFATAAN LIMBAH PERTANIAN
     Pemanfatan limbah pertanian sebagai bahan pakan kerbau masih belum banyak dilakukan
peternak kerbau di lahan kering karerna pemeliharaan kerbau belum seintensif pemeliharaan sapi.
Selain   itu,     para    peternak dalam memelihara             kerbaunya    masih bergantung kepada lahan
penggembalaan yang ada di sekitar kandang.

     Meskipun potensi limbah pertanian yang ada di Kalsel melimpah, namun pemanfaatannya
belum optimal. Limbah pertanian seperti jerami padi sawah, dan jagung mendukuki peringkat
terbanyak sebagai tanaman pertanian dilahan kering. Hal ini menunjukkan bahwa potensi limbah
pertanian masih dapat diandalkan             sebagai     sumber     pakan     ternak kerbau, selain hijauan
pakan utama dari rumput-rumputan. Di sisi lain, pemanfaatan limbah pertanian seperti jerami
untuk ternak ruminansia              terkendala        dengan       rendahnya kandungan protein kasar dan
rendahnya tingkat kecernaan          sehingga       kemampuan       mengkonsumsinya pun masih rendah.

     Pemanfaatan limbah pertanian untuk ternak ruminansia rata-rata sebesar 60-70%, dengan
kadar protein kasar, bahan kering dan TDN yang berbeda-beda.                                Hal ini sangat erat
hubungannya        dengan    kandungan         serat kasar limbah dan tingkat daya cerna. Semakin tinggi
kandungan serat kasar, maka semakin rendah tingkat daya cernanya.

     Pemberian pakan tambahan pada kerbau di musim                    kemarau      sangat    membantu       dalam
pemulihan       kondisi    ternak    yang      kekurangan pakan. Pakan tambahan yang memiliki kualitas
nutrien baik, seperti legum pohon (turi, gamal, lamtoro, dll.), tersedia cukup banyak dan dapat
diperoleh di sekitar lokasi peternakan. Selain lebih murah, tanaman legum pohon ini dapat
bertahan didup dan bahkan tetap berproduksi dalam                     musim    kemarau       dengan       perlakuan
manajemen pemotongan yang teratur (Nulik et al., 2004 dalam Nggobe, 2007).

D.      INOVASI TEKNOLOGI UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN TERNAK
        KERBAU

        Perbibitan kerbau di Indonesia diarahkan pada kerbau Lumpur penghasil daging, karena
daging kerbau dapat mensubstitusi kebutuhan daging sapi. Revitalisasi peternakan kerbau
harus dilakukan karena di beberapa daerah tertentu di NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan, daging kerbau lebih disukai
dan populer dibandingkan daging sapi. Kontribusi daging sapi dalam memasok kebutuhan
daging nasional sekitar 23% dan sekitar 2,5% diantaranya berasal dari daging kerbau, berarti
10% dari total “produksi daging sapi”                   berasal     dari   kerbau        (DIWYANTO              dan
HANDIWIRAWAN, 2006). Disamping itu pada beberapa daerah spesifik kerbau digunakan
sebagai    penghasil     susu      karena preferensi masyarakat setempat.

        Perkembangan ternak kerbau relatif lebih lambat dari pada sapi sebagai akibat dari
kurangnya     perhatian     dari        pemerintah     dan tingkat reproduksi yang lebih rendah, karena
kesulitan mendeteksi ternak betina yang birahi, masa kebuntingan yang relatif lebih lama (11
bulan) dibanding sapi (9 bulan) dan interval kelahiran yang lebih panjang. Namun demikian
kerbau memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dengan pakan yang berkualitas rendah
dibanding     sapi.    Berdasarkan        data   populasi ternak kerbau di Indonesia tidak mengalami
peningkatan sementara jumlah pemotongan meningkat terus maka sudah saatnya penelitian dan
pengembangan          kerbau       di      Indonesia mendapat         perhatian       yang        lebih      serius.
Penurunan produktivitas kerbau diduga karena adanya pengurasan pejantan, akibat pejantan yang
baik selalu terjual ke pasar, sehingga pejantan yang tertinggal adalah pejantan muda yang
harus     melayani     induk-induk        yang memang dilarang dipotong.

        Kerbau sebagai sumber protein hewani (daging) dapat mencapai rata-rata pertambahan
bobot     badan       sebesar   0,73        kg/ekor/hari (DITJENNAK,           2005).        Namun        demikian
kebutuhan bibit kerbau yang bagus saat ini menjadi                     salah   satu     kendala     terhambatnya
perkembangan kerbau di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari bobot badan yang semakin
rendah, banyaknya kerbau albino di beberapa daerah seperti di Banten dan Jawa Barat serta
banyaknya kerbau lumpur yang bertanduk menggantung (TRIWULANNINGSIH et al., 2005).
Padahal harga kerbau albino sering                   lebih rendah   dibandingkan      kerbau      normal,     tetapi
karena kelangkaan pejantan yang berkualitas, maka kerbau albino maupun pejantan muda
terus digunakan untuk melayani betina yang ada.

        AGRO-EKOSISTEM
         Daya      adaptasi      kerbau     sangat    tinggi, sebagaimana terlihat dari penyebaran kerbau
yang luas. Secara visual perkembangan kerbau di Indonesia menyebar di segala agroekosistem yang
ada. Kerbau berkembang di daerah iklim kering di NTT dan NTB, lahan pertanian subur di Pulau
Jawa, lahan rawa di Kalimantan dan daerah pantai dari Asahan sampai Sumatera Selatan.
Kerbau juga berkembang di daerah pegunungan di Tapanuli Utara, Tengger dan sebagainya
sampai dataran rendah di pinggir laut                 seperti   di   Banten,   Tegal,    Bengkulu (Kabupaten
Muko-Muko) dan Brebes. Bahkan tanpa diurus, di Cagar Alam Baluran populasi kerbau
mengalahkan perkembangan Banteng.

         Dari segi etnik dan agama juga tidak ada penghalang. Kerbau begitu tinggi nilainya bagi
budaya masyarakat Minang, Batak, Toraja dan beberapa suku lain di                        NTB     dan      NTT.
Dengan          demikian pengembangan usaha peternakan kerbau dan wilayah agribisnis kerbau
sangat luas hampir meliputi seluruh agrosistem dan sosio-budaya yang ada.

         Sarana        dan     prasarana    dalam      sistem agribisnis kerbau masih tertinggal jauh karena
memang produksi belum masuk pada era usaha komersial                    melainkan       masih   dalam    proses
produksi bercorak “Zero input”. Belum ada pasar                  hewan kerbau, rumah potong kerbau, toko
peternakan kerbau dan sebagainya yang dibutuhkan oleh suatu sistem agribisnis kerbau. Sistem
produksi masih berada pada sistem tradisional yang lebih mengarah pada “Zero cost” bukan
pada efisiensi usaha. Di sini terlihat               bahwa      usaha   produksi    belum berorientasi pada
pasar.     Dengan            demikian potensi kerbau belum dapat dimaksimalkan sebagai                 penghasil
daging, susu, kulit dan kompos sebagaimana yang diharapkan oleh perkembangan pasar dan
sumbangan          kerbau dalam            membangun       pertanian      yang      berkesinambungan dalam
mensejahterakan rakyat.

         Baik hijauan maupun sisa hasil pertanian seperti jerami padi, jerami jagung yang
dihasilkan        di    daerah    tropis    basah    seperti kebanyakan daerah Indonesia, memiliki sifat
kandungan serat kasar yang tinggi. Kerbau memiliki                      kemampuan        menggunakan      pakan
berserat tinggi karena memiliki bakteri rumen spesifik. Hal ini memungkinkan daya saing dan
keberlanjutan usaha karena penyediaan pakan akan lebih mudah. Hijauan berproduksi tinggi
seperti rumput Gajah dan rumput Raja dapat digunakan dengan baik, sehingga keberlanjutan
dari     segi     keterbatasan      lahan    usaha     dapat diatasi. Tanaman alang-alang kalau dengan
manajemen yang baik dapat dijadikan pastura bagi peternakan kerbau. Demikian pula jerami
padi yang berlimpah apalagi dengan teknologi fermentasi            menjadi       pakan     potensial      bagi
kerbau.

        Hampir seluruh agroekosistem yang ada di Indonesia          berpotensi     untuk     pengembangan
usaha     peternakan     dan       wilayah     agribisnis kerbau. Pola pengembangan usahatani dan
wilayah agribisnis kerbau sangat cocok dengan usahatani ramah lingkungan. Keberadaan
sumberdaya       manusia    baik sebagai konsumen berpotensi besar karena tidak ada hambatan
selera, budaya maupun agama.             Yang menjadi problem tentunya adalah pengetahuan dan
ketrampilan baik masalah teknis maupun masalah manajemen (managerial skill).

       INOVASI TEKNOLOGI
        Ternak    kerbau       dapat    dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu Kerbau Lumpur
(Swamp Buffalo) dimana populasinya tersebar di Asia Tenggara, dan Kerbau Sungai (Riverine
buffalo) yang terkonsentrasi di sekitar India, Pakistan, Afrika Utara, Italia dan Bulgaria.
Jumlah kromosom di antara kedua jenis kerbau berbeda yaitu sebanyak 48 kromosom pada
kerbau lumpur dan 50 kromosom pada kerbau sungai. Sebagian besar kerbau di Indonesia adalah
Kerbau Lumpur dan hanya beberapa ratus ekor kerbau sungai dijumpai di Sumatera Utara.
Kerbau Lumpur dijumpai mempunyai variasi yang cukup besar pada berat badan maupun
warna kulit, sehingga dikenal dengan bermacam nama seperti kerbau Jawa, Aceh, Toraja,
Kalang, Moa dan lain sebagainya.

        Kerbau Sungai dijumpai di Medan-Sumatera Utara sebanyak sekitar 1400 ekor pada
tahun 2004,      dan     diperkirakan        populasinya   tidak meningkat karena intensitas perkawinan
inbreeding yang tinggi dan kurangnya perhatian pemerintah untuk meningkatkan produksi ternak
kerbau. Usaha untuk memasukkan darah baru belum memungkinkan sehubungan dengan upaya
pencegahan penyakit. Namun karena keragaman kerbau lumpur di Indonesia yang cukup
besar ini memungkinkan untuk dapat memilih kerbau terbaik dari suatu wilayah tertentu yang
dapat dikawinkan dengan kerbau dari wilayah yang lain (outbreeding).

        Salah satu kelebihan kerbau yang selama ini dipercayai adalah kemampuannya untuk
mencerna pakan yang mengandung serat kasar tinggi. Antara lain kerbau mampu mencerna
jerami padi yang tersedia melimpah saat musim panen dan dapat disimpan sebagai
cadangan pakan di musim kemarau.

        Dewasa    ini,   seiring     dengan      semakin berkembangnya       teknologi,     telah      tersedia
banyak pilihan teknologi reproduksi yang dapat                  diterapkan      pada       ternak,      seperti
intensifikasi kawin alam (INKA), inseminasi buatan (IB), fertilisasi in vitro (FIV), transfer
embrio (TE), clonning, transfer gen, dan lain-lain. Pemilihan teknologi reproduksi yang akan
diterapkan        harus      memperhatikan          kondisi obyektif peternak, karena hal ini terkait dengan
efektivitas    dan       efisiensi     yang     ditimbulkan akibat penerapan teknologi tersebut. Melihat
kond77isi obyektif peternakan tradisional kita, maka untuk saat ini teknologi IB                         dan INKA
adalah pilihan yang tepat dibandingkan dengan teknologi reproduksi lain. Penerapan teknologi
reproduksi        yang     lebih       mutakhir     belum mendesak         karena      di      samping      tingkat
keberhasilan yang masih rendah pada tingkat lapang, juga memerlukan tambahan biaya yang
besar.

         Sinkronisasi (penyerentakan) estrus merupakan             salah   satu     teknologi     reproduksi yang
sering diterapkan untuk mendukung keberhasilan program IB. Dengan teknologi ini sekelompok
ternak yang memperoleh perlakuan khusus akan memperlihatkan gejala-gejala                          estrus   dalam
waktu relatif serentak sekitar dua hari setelah perlakuan.

         Sekelompok ternak betina yang estrus serentak akan memudahkan pelaksanaan IB yang
pada akhirnya akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi                  manajemen        peternakan      secara
keseluruhan. Penerapan teknologi sinkronisasi estrus dan IB secara simultan terhadap ternak
dalam      jumlah    banyak          akan     meningkatkan efisiensi peternakan.        Hal ini karena dalam
waktu bersamaan peternak akan memiliki sekelompok ternak bunting, melahirkan, dan umur
anak yang relatif seragam, sehingga memudahkan                     dalam    proses     pemeliharaan.

         Dengan demikian peternak juga dapat mengatur waktu yang tepat kapan melakukan proses
perkawinan, terkait dengan permintaan pasar dan musim dimana ketersediaan pakan hijauan
yang      cukup     saat     melahirkan        dan menyusui anaknya, sehingga diharapkan angka kematian
pedet dapat dikurangi. Mahyuddin et al. (1995) melaporkan pada penelitiannya yang
menggunakan         kerbau Lumpur bahwa pada kelompok kerbau yang diberi konsentrat 1%                         dari
bobot      badan, dibandingkan tanpa konsentrat dan rumput Gajah diberikan ad libitum pada
kedua kelompok            selama      delapan     minggu, kemudian diberi prostaglandin (PGF 2α) untuk
sinkronisasi estrus dan diinseminasi setelah 72 jam estrus. Ternyata pada kelompok kerbau yang
hanya      diberi    rumput          Gajah    tanpa konsentrat hanya 50% yang menunjukkan aktivitas
ovarinya, sementara pada kelompok yang                    diberi    konsentrat      100%        memberikan profil
progesteron yang menandakan adanya aktifitas ovari.

         Untuk memperoleh keturunan dengan jenis kelamin               yang       diinginkan     dapat   dilakukan
melalui perkawinan menggunakan semen hasil pemisahan sel spermatozoa pembawa kromosom
penentu jenis kelamin (sexing spermatozoa). Dengan sexing, rasio spermatozoa                              pembawa
kromosom X (betina) dan Y (jantan) yang awalnya 50:50 dapat dirubah menjadi sekitar
70:30 atau bahkan lebih. Pemisahan secara sederhana didasarkan pada perbedaan                             ukuran
antara    spermatozoa pembawa        kromosom     X       dan     Y.      Ukuran spermatozoa            pembawa
kromosom      Y      lebih kecil dibandingkan dengan spermatozoa pembawa                kromosom         X.    Hal
pokok     yang menyebabkan        rendahnya     angka      kelahiran kerbau         adalah      kondisi       induk
kerbau    yang kurang prima, karena kualitas pakan                yang rendah dan serangan parasit
yang     tinggi, kecuali itu estrus lebih banyak terjadi pada malam                    hari,     saat    pejantan
mungkin tidak berada pada kandang yang sama. Umur pertama kali dikawinkan dan umur
mencapai bobot potong optimal yang lama, disebabkan kualitas nutrisi yang rendah dengan
sistem pemeliharaan yang tradisional, yang hanya memberikan rumput alam tanpa                             pernah
memberikan obat cacing (Siregar et al.,1997).

       Di Kalimantan Selatan, dikenal kerbau Kalang yang berfungsi hanya sebagai tabungan
dan umumnya mencari makan di sungai dan kalau malam hari naik ke “kalang”. Di sini ada
kendala, kalau musim hujan pakan relatif lebih sulit,           karena       banjir       sehingga        banyak
menyebabkan kematian pada anak kerbau. Bila musim               kering,   pakan       relatif   lebih     banyak.
Penyebab kematian kerbau umumnya penyakit bakteri dan parasiter dan kecelakaan karena tidak
dapat keluar dari lubang tempatnya berkubang. Sementara itu performans produksi dan
reproduksi pada kerbau Kalang telah diamati oleh Putu et al.(1995), seperti tertera pada
Tabel 2. Dikatakan bahwa peternakan kerbau Kalang masih perlu ditingkatkan secara massal
untuk memanfaatkan agroekosistem rawa yang ada, sehingga memberikan nilai tambah bagi
kesejahteraan penduduk di sekitarnya. Pada        Tabel     2     tersebut    terlihat     bahwa perkawinan
sesudah melahirkan       antara 149 sampai 171 hari, hal ini terjadi karena lamanya penyapihan                 dan
lamanya     involusi    uterus setelah   melahirkan     yang     mungkin       akibat kualitas pakan yang
tersedia, akibatnya jarak beranak menjadi panjang, yaitu sekitar 16 bulan. Oleh sebab itu
sistem perkawinan disesuaikan dengan musim di suatu lokasi, dimana pakan melimpah dan
anak tidak kekurangan susu induk, sehingga kematian dini dapat dihindari.

      ALTERNATIF PENGEMBANGAN
       Selama ini, usaha peternakan kerbau masih menguntungkan,                terbukti         dengan        tetap
dipeliharanya kerbau sebagai tabungan dan dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan
besar. Di Bengkulu, ternak kerbau dipelihara ekstensif dan nyaris tidak tersentuh teknologi
(“zero    input”).    Umumnya     peternak    sudah berpengalaman            lama     dalam       pemeliharaan
ternak kerbaunya karena merupakan usaha keluarga yang turun temurun. Disamping itu
usaha ini mampu menghasilkan uang lebih banyak dibandingkan usaha tani lainnya. Kerbau
dapat memanfaatkan pakan/serat kasar lebih baik dari pada sapi dan pupuknya sangat diharapkan
untuk usaha pertanian lain serta biogas untuk keluarga petani.
Dengan            beternak        kerbau          dapat memanfatkan sumber tenaga kerja keluarga
atau waktu senggangnya bagi usaha produktif yang akan dapat menunjang usaha penyediaan
lapangan      kerja.     Peternakan     kerbau     rakyat masih mempunyai fungsi sosial yang amat
penting, karena itu pengembangannya perlu mendapat lebih banyak perhatian. Misalnya
melalui     perbaikan       manajemen      perkawinan; baik      melalui       perkawinan         alam       maupun
inseminasi        buatan.     Sistem      pemeliharaan/ perkadangan per kelompok dengan beberapa
pejantan yang bagus mutu genetiknya dengan perbandingan betina : jantan (20:1) atau
dengan inseminasi buatan (200:1), sistem perkawinan yang teratur, sehingga diperoleh anak
pada setiap bulan sekitar 200 ekor per kelompok,                       sehingga         tiap      tahun        dapat
diharapkan anak lepas sapih sekitar 175 x 12 = 2100 ekor (asumsi kematian anak 9 - 10%).

      Pengadaan pejantan unggul dalam satu wilayah/kelompok peternak kerbau pada lokasi
yang strategis, sehingga mudah dijangkau oleh semua                peternak     dalam          kelompok       ternak
tersebut. Kalau perkawinan secara alam, maka pejantan digilir minimum per dua bulan untuk setiap
kelompok. Apabila usaha ini diikuti dengan sistem pemberian pakan yang bagus, maka
kematian anak dapat dikurangi lagi. Misalnya dengan metode penanaman jagung (5 butir per
lubang, pada umur sekitar 2 bulan diambil yang 3 batang                           untuk         ternaknya)         dan
penanaman Glirisidia di sepanjang pematang sawah/kebun. Pemberian                     daun      Glirisidia     yang
sudah dilayukan         sebelumnya      (10%     dari    hijauan) sangat       tinggi          proteinnya          dan
dapat mempertahankan            kebuntingan,       karena     fungsi corpus luteum untuk memproduksi
progesteron dapat dipertahankan,

     PENDEKATAN KEGIATAN
      Beberapa         pendekatan      untuk     mengatasi berbagai masalah usaha peternakan kerbau
maka diperlukan berbagai kegiatan yang saling terkait dan mendukung antar berbagai instansi
maupun disiplin ilmu antara lain adalah:
    1. Penyuluhan pada petani peternak, tentang bagaimana cara beternak kerbau yang baik. Di
          lokasi padat ternak kerbau dibuat suatu ”demplot” yang melibatkan semua pihak
          (pemerintah, swasta, peternak kerbau).
    2. Penyediaan fasilitas permodalan atau kredit dari             Bank      untuk     pengembangan          usaha
          beternak kerbau. Peternak yang sudah biasa memelihara ternak kerbau layak diberikan
          fasilitas kredit usaha peternakannya yang sekaligus                 akan       merupakan           sumber
          penghasilan yang lebih berarti bagi rakyat setempat.                Disarankan        prasyarat      yang
          mudah, terutama bagi peternak kecil yang mampu melaksanakan breeding program
          dalam    rangka     Rural     Credit    Program antara    lain:   (1) Jangka          waktu     kredit     5
          sampai 8 tahun, (2) Kredit diberikan untuk 5          ekor   kerbau        untuk     breeding      maupun
untuk ternak kerja, (3) Peternak diharuskan menanam                pakan          ternak,         sehingga
          kekuatiran tiadanya hijauan pada musim kemarau dapat dihindari (dapat dikaitkan
          dengan tanaman pangan lainnya, seperti jagung, sayuran dsb.).
       3. Pelaksanaan          pengembangan             usaha peternakan     haruslah       dibuat       terintegrasi
          dengan    usaha      pertanian    lain     (tanaman pangan       atau      perkebunan),           sehingga
          pupuknya dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian tersebut dan limbah pertanian
          dapat dimanfaatkan oleh kerbau, seperti jerami padi yang tersedia melimpah saat
          panen.    Pada       perkebunan      kopi     yang umumnya        ditanam         Glirisidia       sebagai
          tanaman       pelindung,         daunnya      dapat digunakan     sebagai        salah     satu    sumber
          protein untuk kerbau.
       4. Sistem     perkawinan       diatur       dengan menggunakan pejantan unggul, sehingga setiap
          15 bulan dapat dihasilkan anak kerbau yang sehat.
       MODEL PENGEMBANGAN
        Adapun model pengembangan peternakan kerbau, antara lain dari cara pemeliharaannya
yang selama ini extensive sebaiknya sudah harus dirubah menjadi semi intensive, dengan
sedikit sentuhan teknologi dan tatalaksana pemeliharaan serta pengendalian penyakit, maka
diharapkan usaha peternakan kerbau menjadi                   lebih   menguntungkan.          Hal      ini tercermin
dari     tujuan     peternak     memelihara kerbau adalah untuk menyimpan uang (saving). Peternak
sudah sangat berpengalaman dalam memelihara kerbau, karena sudah merupakan usaha turun
temurun. Diharapkan pemeliharaan kerbau dapat terintegrasi dengan kegiatan pertanian yang
lain

        Kerbau jantan yang akan dijual sebaiknya digemukan terlebih dahulu baru dijual. Sebagai
contoh suatu perusahaan penggemukan kerbau di Sukabumi, dimana kerbau berasal dari Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan sekitarnya. Rata-rata bobot badan awal 282 kg dan
setelah dipelihara selama 83 hari dengan pemberian                     pakan      jerami     padi     dan      diberi
probiotik, bobot badannya meningkat menjadi rata-rata 400 kg, berarti pertambahan obot
badan per hari sekitar 1,42 kg; ini suatu bukti bahwa untuk kerbau yang berasal dari daerah
dimana pakan sulit, setelah dipelihara intensif dapat lebih menguntungkan dibanding sapi.
Analisis Cash Flow Tabel 3 ini adalah suatu contoh model analisa usaha inovasi teknologi
perbibitan dan penggemukan sapi potong di Kalimantan Barat yang                            dapat            dijadikan
acuan       bagi pengembangan kerbau. Usaha penggemukan bergulir setiap 3 bulan, sehingga
peternak mendapat dana segar setiap 3 bulan, disamping itu usaha pembibitan terus dijalankan.
BAB IV
                                 KESIMPULAN DAN SARAN




KESIMPULAN
     Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

     1. Lahan kering di NTT sangat penting untuk dikembangkan karena menyimpan potensi
         yang begitu besar untuk diolah dan dimanfaatkan demi kepentingan khalayak ramai
     2. Pengembangan peternakan khususnya ternak kerbau memiliki potensi yang sangat baik
         untuk dikembangakan di daerah lahan kering dengan memanfaatkan sumber-sumber daya
         local yang ada
     3. Pengelolaan ternak kerbau di daerah lahan kering penting untuk mengintroduksi
         teknologi-teknologi yang sudah ada agar dapat mengoptimalisasi potensi yang dimiliki
         ternak kerbau untuk kepentingan manusia.

SARAN
     Dibutuhkan pengkajian lebih lanjut dari referensi – referensi terkait untuk mencari prospek
pemeliharaan ternak kerbau yang terbaik di daerah lahan kering
DAFTAR PUSTAKA




Aisiyah, N. 2000. Studi Ukuran Tubuh Sapi Madura Di Desa Samaran, Kecamatan
     Tambelayan, Kabupaten Sampang, Madura. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut
     Pertanian Bogor, Bogor.

Basuki, P. 1998. Dasar Llmu Ternak Potong Dan Kerja. Universitas Gajah Mada,
     Yogyakarta.

BRADFORD, G.E. Dan Y.M. BERGER. 1990. Breeding Strategies For Small Ruminants In
     Arid And Aemi Arid Areas. In E.F. THOMSON And F.S THOMSON (Eds). Increasing
     Small Ruminants Productivity In Semi Arid Ares. Elsevier. 95-109.

Chantalakhana, C . 1981. A Scope On Buffalo Breeding. Buffalo Buletin. 4(4):224- 242.

CHATALAKHANA,           C.     1994.    Swamp   Buffalo Development In The Past Three
     Decades And Sustainable Production Beyond 2000. Long Them           Improvement    Of
     The    Buffalo Proceeding Of The Fors ABA Congress BPRADEC. Bangkok.

Cockrill, W. 1974. The Husbandry And Health Of The Domestic Buffalo: The Buffalo Of
     Indonesia. Food And Agriculture Organization Of The United Nations, Rome.

DAUD, M.J. Dan M.K.M. YUSUF. 1983. Supple-Mentation With Selected Feedstuffs For
     Sheep Grazing Under Rubber Plantations. Proceedings Of The 7th Annual Converence Of
     Malaysian : 199 – 205.

Departemen Pertanian. 2008. Road Map Perbibitan Ternak. Direktorat Perbibitan, Direktorat
     Jenderal Peternakan, Jakarta.

Dilaga, S. H. 1987. Suplemensi Kalsium Dan Fosfor Pada Kerbau Rawa Kalimantan Tengah Yang
     Mendapat Ransum Padi Hiang (Oryza Sativa Forma Spontanea). Tesis. Fakultas Pascasarjana
     Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Diwyanto, K. 1982. Pengamatan Fenotip Domba Priangan Serta Hubungan Antara Beberapa
     Ukuran Tubuh Dengan Bobot Badan. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian
     Bogor, Bogor.
Dwiyanto, K. Dan Subandryo, 1995. Peningkatan Mutu Genetik Kerbau Lokal Di Indonesia.
     Lokakarya Nasional Pengembangan Ternak Kerbau Di Indonesia, Bogor. Proc.           Seminar
     Penelitian Peternakan, Puslitbangnak-Bogor : 156 – 160.

Fahimuddin, M. 1975. Domestic Water Buffalo. Oxford And IBH Publishing. Co. G G Joupath,
     New Delhi.

Guzman, M. R. 1980. An Overview Of Recent Development In Buffalo Research And
     Management In Asia. Dalam: Buffalo Production For Small Farms. ASPAC, Taipei.

HARDJOPRANOTO, S. 1982. Kasus-Kasus Infertilitas Pada Kerbau Lumpur Di Jawa Timur.
     Proc. Seminar Penelitian Peternakan, Puslitbangnak-Bogor.

Hardjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Airlangga University Press, Surabaya.

Hasinah, H. Dan Handiwirawan. 2006. Keragaman Ganetik Ternak Kerbau Di Indonesia.
     Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan
     Daging Sapi. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

HENDRATNO,        L.,   SUKARYONO,        Z.      ABIDIN,   R. BAHARUDDIN          Dan       J.M.
     OBST.      1981. Penggunaan Dedak Dibandingkan Dengan Bungkil Kedelai Sebagai
     Konsentrat Pada Kerbau      Yang    Diberi     Makan      Rumput Lapangan.

Lendhanie, U. U. 2005. Karakteristik Reproduksi Kerbau Rawa Dalam Kondisi Lingkungan
     Peternakan Rakyat. Kalimantan Selatan. Bioscientiae. Vol. 2 No 1. Januari:43-48.

Mason, I. L. 1974. Species, Types And Breeds. Dalam: Cockrill, W. R. (Editor). The Husbandry
     And Health Of Domestic Buffalo. Food And Agriculture Organization Of The United
     Nations, Rome.

Mongkopunya, K. 1980. Reproductive Failures In Swamp Buffaloes In Thailand. Dalam:
     Buffalo Production For Small Farms. ASPAC, Taipei.

National Research Council, 1981. The Water Buffalo: New Prospects For An Underutilized
     Animal. National Academy Press, Washington, D. C.

Parakkasi, A. 1997. Ilmu Nutrisi Dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia,
     Jakarta.
Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reproduksi Ternak. Fakultas Kedokteran Veteriner Institut
     Pertanian Bogor. Mutiara, Jakarta.

Saleh, A. R. 1982. Korelasi Antara Bobot Badan, Lingkar Dada Lebar Dada Tinggi Pundak,
     Panjang Badan, Dan Dalam Dada Pada Sapi Ongole Di Pulau Sumba. Media Peternakan
     Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sosroamidjojo, M. S. Dan Soeradji. 1990. Peternakan Umum. CV Yasaguna, Jakarta.

TRIYANTINI Dan C.H. SIRAIT. 1988. Larutan Asam Untuk Memperpanjang Masa Simpan
     Daging Sapi,      Proceeding       Pertemuan   Ilmiah Ruminansia, Bogor 8-10 Nevember
     1988 : 246-251.

Mais conteúdo relacionado

Mais procurados

Fomat pengkajian keluarga komunitas
Fomat pengkajian keluarga komunitasFomat pengkajian keluarga komunitas
Fomat pengkajian keluarga komunitasJalalia Bachtiar
 
Makalah agroforestry
Makalah agroforestryMakalah agroforestry
Makalah agroforestryEka Phe
 
Ruang lingkup keperawatan jiwa dan keluarga
Ruang lingkup keperawatan jiwa dan keluargaRuang lingkup keperawatan jiwa dan keluarga
Ruang lingkup keperawatan jiwa dan keluargaYesi Tika
 
Jurnal pantangan prilaku makan pada ibu hamil
Jurnal pantangan prilaku makan pada ibu hamilJurnal pantangan prilaku makan pada ibu hamil
Jurnal pantangan prilaku makan pada ibu hamilnrukmana rukmana
 
HUTAN, KEHUTANAN,DAN ILMU KEHUTANAN
HUTAN, KEHUTANAN,DAN ILMU KEHUTANANHUTAN, KEHUTANAN,DAN ILMU KEHUTANAN
HUTAN, KEHUTANAN,DAN ILMU KEHUTANANEDIS BLOG
 
Evaluasi Penyuluhan pertanian.pdf
Evaluasi Penyuluhan pertanian.pdfEvaluasi Penyuluhan pertanian.pdf
Evaluasi Penyuluhan pertanian.pdfMariniMna
 
hub air, tanah dan tanaman
hub air, tanah dan tanamanhub air, tanah dan tanaman
hub air, tanah dan tanamanMigasSragen
 
Penyuluhan Pertanian
Penyuluhan Pertanian Penyuluhan Pertanian
Penyuluhan Pertanian Sri Wahyuni
 
Presentasi Geo Pertanian
Presentasi Geo PertanianPresentasi Geo Pertanian
Presentasi Geo PertanianRicky Ramadhan
 
Materi RKTPP Dasar terampil 2018
Materi RKTPP Dasar terampil 2018Materi RKTPP Dasar terampil 2018
Materi RKTPP Dasar terampil 2018wong slebor
 
Budidaya padi dengan metode sri
Budidaya padi dengan metode sriBudidaya padi dengan metode sri
Budidaya padi dengan metode sriNanda Saragih
 

Mais procurados (20)

Fomat pengkajian keluarga komunitas
Fomat pengkajian keluarga komunitasFomat pengkajian keluarga komunitas
Fomat pengkajian keluarga komunitas
 
Sap perawatan luka
Sap perawatan lukaSap perawatan luka
Sap perawatan luka
 
Pengelolaan padang gembala
Pengelolaan padang gembalaPengelolaan padang gembala
Pengelolaan padang gembala
 
Ciri
CiriCiri
Ciri
 
Makalah agroforestry
Makalah agroforestryMakalah agroforestry
Makalah agroforestry
 
Ruang lingkup keperawatan jiwa dan keluarga
Ruang lingkup keperawatan jiwa dan keluargaRuang lingkup keperawatan jiwa dan keluarga
Ruang lingkup keperawatan jiwa dan keluarga
 
Jurnal pantangan prilaku makan pada ibu hamil
Jurnal pantangan prilaku makan pada ibu hamilJurnal pantangan prilaku makan pada ibu hamil
Jurnal pantangan prilaku makan pada ibu hamil
 
HUTAN, KEHUTANAN,DAN ILMU KEHUTANAN
HUTAN, KEHUTANAN,DAN ILMU KEHUTANANHUTAN, KEHUTANAN,DAN ILMU KEHUTANAN
HUTAN, KEHUTANAN,DAN ILMU KEHUTANAN
 
Agroforestri
AgroforestriAgroforestri
Agroforestri
 
Evaluasi Penyuluhan pertanian.pdf
Evaluasi Penyuluhan pertanian.pdfEvaluasi Penyuluhan pertanian.pdf
Evaluasi Penyuluhan pertanian.pdf
 
Health promotion
Health promotionHealth promotion
Health promotion
 
Proposal tomat
Proposal tomatProposal tomat
Proposal tomat
 
hub air, tanah dan tanaman
hub air, tanah dan tanamanhub air, tanah dan tanaman
hub air, tanah dan tanaman
 
Budidaya jagung
Budidaya jagungBudidaya jagung
Budidaya jagung
 
Makalah perkebunan kelapa sawit
Makalah perkebunan kelapa sawitMakalah perkebunan kelapa sawit
Makalah perkebunan kelapa sawit
 
Dilema etik
Dilema etikDilema etik
Dilema etik
 
Penyuluhan Pertanian
Penyuluhan Pertanian Penyuluhan Pertanian
Penyuluhan Pertanian
 
Presentasi Geo Pertanian
Presentasi Geo PertanianPresentasi Geo Pertanian
Presentasi Geo Pertanian
 
Materi RKTPP Dasar terampil 2018
Materi RKTPP Dasar terampil 2018Materi RKTPP Dasar terampil 2018
Materi RKTPP Dasar terampil 2018
 
Budidaya padi dengan metode sri
Budidaya padi dengan metode sriBudidaya padi dengan metode sri
Budidaya padi dengan metode sri
 

Destaque

tatalaksana pastura
tatalaksana pasturatatalaksana pastura
tatalaksana pasturaMario Banoet
 
Pemanfaatan sumber daya alam bidang peternakan
Pemanfaatan sumber daya alam bidang peternakanPemanfaatan sumber daya alam bidang peternakan
Pemanfaatan sumber daya alam bidang peternakansylvianidya
 
Memanfaatkan hasil samping perkebunan untuk ternak
Memanfaatkan hasil samping perkebunan untuk ternakMemanfaatkan hasil samping perkebunan untuk ternak
Memanfaatkan hasil samping perkebunan untuk ternakGufroni Arsjad Lalu Muhammad
 
pendahuluan Ilmu Tanaman Pakan
pendahuluan Ilmu Tanaman Pakanpendahuluan Ilmu Tanaman Pakan
pendahuluan Ilmu Tanaman PakanYusuf Ahmad
 
Makalah permasalahan produksi_ternak_gembala_by_made_sudarma
Makalah permasalahan produksi_ternak_gembala_by_made_sudarmaMakalah permasalahan produksi_ternak_gembala_by_made_sudarma
Makalah permasalahan produksi_ternak_gembala_by_made_sudarmaDharma Cooporation
 
Tugas sel fotosintesis_dan_thermodinamika
Tugas sel fotosintesis_dan_thermodinamikaTugas sel fotosintesis_dan_thermodinamika
Tugas sel fotosintesis_dan_thermodinamikaDharma Cooporation
 
Bioteknologi fermentasi susu
Bioteknologi fermentasi susuBioteknologi fermentasi susu
Bioteknologi fermentasi susuDani Muzani Nur
 
Makalah sumber daya alam hewani
Makalah sumber daya alam hewaniMakalah sumber daya alam hewani
Makalah sumber daya alam hewaniYadhi Muqsith
 
sistem pendidikan pada zaman islam
sistem pendidikan pada zaman islamsistem pendidikan pada zaman islam
sistem pendidikan pada zaman islamSivapriya Gopi
 
contoh skripsi (BUDIDAYA IKAN LELE)
contoh skripsi (BUDIDAYA IKAN LELE)contoh skripsi (BUDIDAYA IKAN LELE)
contoh skripsi (BUDIDAYA IKAN LELE)Iqmal Muttaqin
 
sistem pertanian tropika (karakteristik ekosistem tropika)
sistem pertanian tropika (karakteristik ekosistem tropika)sistem pertanian tropika (karakteristik ekosistem tropika)
sistem pertanian tropika (karakteristik ekosistem tropika)Riva Anggraeni
 
Pengenalan Jenis Rumput dan Legum
Pengenalan Jenis Rumput dan LegumPengenalan Jenis Rumput dan Legum
Pengenalan Jenis Rumput dan Legumsupri mawar jayanti
 
Analyzing data
Analyzing dataAnalyzing data
Analyzing datasathma
 
3 different methods to publicise our presentation
3 different methods to publicise our presentation3 different methods to publicise our presentation
3 different methods to publicise our presentationsathma
 
Behavioural Marketing & how to get your customers to love you
Behavioural Marketing & how to get your customers to love youBehavioural Marketing & how to get your customers to love you
Behavioural Marketing & how to get your customers to love youJohn Watton
 
Verbs introduction
Verbs introductionVerbs introduction
Verbs introductionLauren
 

Destaque (20)

tatalaksana pastura
tatalaksana pasturatatalaksana pastura
tatalaksana pastura
 
Pemanfaatan sumber daya alam bidang peternakan
Pemanfaatan sumber daya alam bidang peternakanPemanfaatan sumber daya alam bidang peternakan
Pemanfaatan sumber daya alam bidang peternakan
 
Memanfaatkan hasil samping perkebunan untuk ternak
Memanfaatkan hasil samping perkebunan untuk ternakMemanfaatkan hasil samping perkebunan untuk ternak
Memanfaatkan hasil samping perkebunan untuk ternak
 
pendahuluan Ilmu Tanaman Pakan
pendahuluan Ilmu Tanaman Pakanpendahuluan Ilmu Tanaman Pakan
pendahuluan Ilmu Tanaman Pakan
 
Sumber Daya Peternakan
Sumber Daya PeternakanSumber Daya Peternakan
Sumber Daya Peternakan
 
Makalah permasalahan produksi_ternak_gembala_by_made_sudarma
Makalah permasalahan produksi_ternak_gembala_by_made_sudarmaMakalah permasalahan produksi_ternak_gembala_by_made_sudarma
Makalah permasalahan produksi_ternak_gembala_by_made_sudarma
 
Tugas sel fotosintesis_dan_thermodinamika
Tugas sel fotosintesis_dan_thermodinamikaTugas sel fotosintesis_dan_thermodinamika
Tugas sel fotosintesis_dan_thermodinamika
 
Bioteknologi fermentasi susu
Bioteknologi fermentasi susuBioteknologi fermentasi susu
Bioteknologi fermentasi susu
 
Makalah sumber daya alam hewani
Makalah sumber daya alam hewaniMakalah sumber daya alam hewani
Makalah sumber daya alam hewani
 
sistem pendidikan pada zaman islam
sistem pendidikan pada zaman islamsistem pendidikan pada zaman islam
sistem pendidikan pada zaman islam
 
Makalah angin
Makalah anginMakalah angin
Makalah angin
 
Legum
LegumLegum
Legum
 
contoh skripsi (BUDIDAYA IKAN LELE)
contoh skripsi (BUDIDAYA IKAN LELE)contoh skripsi (BUDIDAYA IKAN LELE)
contoh skripsi (BUDIDAYA IKAN LELE)
 
sistem pertanian tropika (karakteristik ekosistem tropika)
sistem pertanian tropika (karakteristik ekosistem tropika)sistem pertanian tropika (karakteristik ekosistem tropika)
sistem pertanian tropika (karakteristik ekosistem tropika)
 
Makalah budidaya ikan lele
Makalah budidaya ikan leleMakalah budidaya ikan lele
Makalah budidaya ikan lele
 
Pengenalan Jenis Rumput dan Legum
Pengenalan Jenis Rumput dan LegumPengenalan Jenis Rumput dan Legum
Pengenalan Jenis Rumput dan Legum
 
Analyzing data
Analyzing dataAnalyzing data
Analyzing data
 
3 different methods to publicise our presentation
3 different methods to publicise our presentation3 different methods to publicise our presentation
3 different methods to publicise our presentation
 
Behavioural Marketing & how to get your customers to love you
Behavioural Marketing & how to get your customers to love youBehavioural Marketing & how to get your customers to love you
Behavioural Marketing & how to get your customers to love you
 
Verbs introduction
Verbs introductionVerbs introduction
Verbs introduction
 

Semelhante a Makalah program pengembangan_peternakan_kerbau_di_kawasan_semi_arid_by_made_sudarma

Laporan besar put bismillah
Laporan besar put bismillahLaporan besar put bismillah
Laporan besar put bismillahM Abidin
 
Manajemen rawa-terpadu
Manajemen rawa-terpaduManajemen rawa-terpadu
Manajemen rawa-terpadupdatarawa
 
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011NurdinUng
 
PERTANIAN INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA
PERTANIAN INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA PERTANIAN INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA
PERTANIAN INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Puan Habibah
 
Propagasi modul 1
Propagasi modul 1Propagasi modul 1
Propagasi modul 1Eka Fitri
 
Ppt geo kearifan 2
Ppt geo kearifan 2Ppt geo kearifan 2
Ppt geo kearifan 2iin nafisa
 
Food security paper-summary
Food security paper-summaryFood security paper-summary
Food security paper-summaryEla Afellay
 
Kelompok 1_Lahan Kering_SPT-01.pptx
Kelompok 1_Lahan Kering_SPT-01.pptxKelompok 1_Lahan Kering_SPT-01.pptx
Kelompok 1_Lahan Kering_SPT-01.pptxMIzhar6
 
KARYA ILMIA BUDIDAYA PADI (Oryza sativa) TANAM BENIH LANGSUNG ( TABELA ) DI D...
KARYA ILMIA BUDIDAYA PADI (Oryza sativa) TANAM BENIH LANGSUNG ( TABELA ) DI D...KARYA ILMIA BUDIDAYA PADI (Oryza sativa) TANAM BENIH LANGSUNG ( TABELA ) DI D...
KARYA ILMIA BUDIDAYA PADI (Oryza sativa) TANAM BENIH LANGSUNG ( TABELA ) DI D...ripto atmaja
 
Pertanian pd lahan lebak (3)
Pertanian pd lahan lebak (3)Pertanian pd lahan lebak (3)
Pertanian pd lahan lebak (3)rizky hadi
 
PELESTARIAN SUMBERDAYA LAHAN GAMBUT
PELESTARIAN SUMBERDAYA LAHAN GAMBUTPELESTARIAN SUMBERDAYA LAHAN GAMBUT
PELESTARIAN SUMBERDAYA LAHAN GAMBUTAnnisaRangkuti
 
Makalah MPKT B - Peran Masyarakat dalam Pelestarian Lahan Gambut
Makalah MPKT B - Peran Masyarakat dalam Pelestarian Lahan GambutMakalah MPKT B - Peran Masyarakat dalam Pelestarian Lahan Gambut
Makalah MPKT B - Peran Masyarakat dalam Pelestarian Lahan GambutAlfian Isnan
 
Tugas reklamasi fauziyah nustyani
Tugas reklamasi fauziyah nustyaniTugas reklamasi fauziyah nustyani
Tugas reklamasi fauziyah nustyaniFAUZIYAH NUSTYANI
 

Semelhante a Makalah program pengembangan_peternakan_kerbau_di_kawasan_semi_arid_by_made_sudarma (20)

Laporan besar put bismillah
Laporan besar put bismillahLaporan besar put bismillah
Laporan besar put bismillah
 
Manajemen rawa-terpadu
Manajemen rawa-terpaduManajemen rawa-terpadu
Manajemen rawa-terpadu
 
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
 
Rdhp peningkatan ip 2018
Rdhp peningkatan ip 2018Rdhp peningkatan ip 2018
Rdhp peningkatan ip 2018
 
PERTANIAN INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA
PERTANIAN INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA PERTANIAN INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA
PERTANIAN INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA
 
Propagasi modul 1
Propagasi modul 1Propagasi modul 1
Propagasi modul 1
 
Lahan
LahanLahan
Lahan
 
Ppt geo kearifan 2
Ppt geo kearifan 2Ppt geo kearifan 2
Ppt geo kearifan 2
 
Food security paper-summary
Food security paper-summaryFood security paper-summary
Food security paper-summary
 
Makalah keynote-speakers
Makalah keynote-speakersMakalah keynote-speakers
Makalah keynote-speakers
 
Materi riau 1
Materi riau 1Materi riau 1
Materi riau 1
 
Kelompok 1_Lahan Kering_SPT-01.pptx
Kelompok 1_Lahan Kering_SPT-01.pptxKelompok 1_Lahan Kering_SPT-01.pptx
Kelompok 1_Lahan Kering_SPT-01.pptx
 
Makalah ladang berpindah
Makalah ladang berpindahMakalah ladang berpindah
Makalah ladang berpindah
 
Konservasi
KonservasiKonservasi
Konservasi
 
KARYA ILMIA BUDIDAYA PADI (Oryza sativa) TANAM BENIH LANGSUNG ( TABELA ) DI D...
KARYA ILMIA BUDIDAYA PADI (Oryza sativa) TANAM BENIH LANGSUNG ( TABELA ) DI D...KARYA ILMIA BUDIDAYA PADI (Oryza sativa) TANAM BENIH LANGSUNG ( TABELA ) DI D...
KARYA ILMIA BUDIDAYA PADI (Oryza sativa) TANAM BENIH LANGSUNG ( TABELA ) DI D...
 
Pertanian pd lahan lebak (3)
Pertanian pd lahan lebak (3)Pertanian pd lahan lebak (3)
Pertanian pd lahan lebak (3)
 
PELESTARIAN SUMBERDAYA LAHAN GAMBUT
PELESTARIAN SUMBERDAYA LAHAN GAMBUTPELESTARIAN SUMBERDAYA LAHAN GAMBUT
PELESTARIAN SUMBERDAYA LAHAN GAMBUT
 
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan PetaniKonsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
 
Makalah MPKT B - Peran Masyarakat dalam Pelestarian Lahan Gambut
Makalah MPKT B - Peran Masyarakat dalam Pelestarian Lahan GambutMakalah MPKT B - Peran Masyarakat dalam Pelestarian Lahan Gambut
Makalah MPKT B - Peran Masyarakat dalam Pelestarian Lahan Gambut
 
Tugas reklamasi fauziyah nustyani
Tugas reklamasi fauziyah nustyaniTugas reklamasi fauziyah nustyani
Tugas reklamasi fauziyah nustyani
 

Último

DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptxDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptxwawan479953
 
Aksi Nyata Menyebarkan (Pemahaman Mengapa Kurikulum Perlu Berubah) Oleh Nur A...
Aksi Nyata Menyebarkan (Pemahaman Mengapa Kurikulum Perlu Berubah) Oleh Nur A...Aksi Nyata Menyebarkan (Pemahaman Mengapa Kurikulum Perlu Berubah) Oleh Nur A...
Aksi Nyata Menyebarkan (Pemahaman Mengapa Kurikulum Perlu Berubah) Oleh Nur A...nuraji51
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...Kanaidi ken
 
MODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 
1. Kisi-kisi PAT IPA Kelas 7 Kurmer 2024
1. Kisi-kisi PAT IPA Kelas 7 Kurmer 20241. Kisi-kisi PAT IPA Kelas 7 Kurmer 2024
1. Kisi-kisi PAT IPA Kelas 7 Kurmer 2024DessyArliani
 
KISI-KISI SOAL DAN KARTU SOAL BAHASA INGGRIS.docx
KISI-KISI SOAL DAN KARTU SOAL BAHASA INGGRIS.docxKISI-KISI SOAL DAN KARTU SOAL BAHASA INGGRIS.docx
KISI-KISI SOAL DAN KARTU SOAL BAHASA INGGRIS.docxDewiUmbar
 
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptxPPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptxMaskuratulMunawaroh
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 
Topik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan Berkelanjutan
Topik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan BerkelanjutanTopik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan Berkelanjutan
Topik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan BerkelanjutanAyuApriliyanti6
 
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptx
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptxOPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptx
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptxDedeRosza
 
Kisi kisi Ujian sekolah mata pelajaran IPA 2024.docx
Kisi kisi Ujian sekolah mata pelajaran IPA 2024.docxKisi kisi Ujian sekolah mata pelajaran IPA 2024.docx
Kisi kisi Ujian sekolah mata pelajaran IPA 2024.docxFitriaSarmida1
 
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, FigmaPengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, FigmaAndreRangga1
 
PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...
PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...
PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...Kanaidi ken
 
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdfProv.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdfIwanSumantri7
 
MODUL AJAR IPAS KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR IPAS KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR IPAS KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR IPAS KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 
RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...
RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...
RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...Kanaidi ken
 
Prakarsa Perubahan dan kanvas ATAP (1).pptx
Prakarsa Perubahan dan kanvas ATAP (1).pptxPrakarsa Perubahan dan kanvas ATAP (1).pptx
Prakarsa Perubahan dan kanvas ATAP (1).pptxHaryKharismaSuhud
 
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 
PPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptx
PPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptxPPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptx
PPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptxriscacriswanda
 

Último (20)

DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptxDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
 
Aksi Nyata Menyebarkan (Pemahaman Mengapa Kurikulum Perlu Berubah) Oleh Nur A...
Aksi Nyata Menyebarkan (Pemahaman Mengapa Kurikulum Perlu Berubah) Oleh Nur A...Aksi Nyata Menyebarkan (Pemahaman Mengapa Kurikulum Perlu Berubah) Oleh Nur A...
Aksi Nyata Menyebarkan (Pemahaman Mengapa Kurikulum Perlu Berubah) Oleh Nur A...
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
 
MODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
1. Kisi-kisi PAT IPA Kelas 7 Kurmer 2024
1. Kisi-kisi PAT IPA Kelas 7 Kurmer 20241. Kisi-kisi PAT IPA Kelas 7 Kurmer 2024
1. Kisi-kisi PAT IPA Kelas 7 Kurmer 2024
 
KISI-KISI SOAL DAN KARTU SOAL BAHASA INGGRIS.docx
KISI-KISI SOAL DAN KARTU SOAL BAHASA INGGRIS.docxKISI-KISI SOAL DAN KARTU SOAL BAHASA INGGRIS.docx
KISI-KISI SOAL DAN KARTU SOAL BAHASA INGGRIS.docx
 
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptxPPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
Topik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan Berkelanjutan
Topik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan BerkelanjutanTopik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan Berkelanjutan
Topik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan Berkelanjutan
 
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptx
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptxOPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptx
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptx
 
Kisi kisi Ujian sekolah mata pelajaran IPA 2024.docx
Kisi kisi Ujian sekolah mata pelajaran IPA 2024.docxKisi kisi Ujian sekolah mata pelajaran IPA 2024.docx
Kisi kisi Ujian sekolah mata pelajaran IPA 2024.docx
 
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, FigmaPengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
 
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
 
PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...
PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...
PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...
 
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdfProv.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
 
MODUL AJAR IPAS KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR IPAS KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR IPAS KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR IPAS KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...
RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...
RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...
 
Prakarsa Perubahan dan kanvas ATAP (1).pptx
Prakarsa Perubahan dan kanvas ATAP (1).pptxPrakarsa Perubahan dan kanvas ATAP (1).pptx
Prakarsa Perubahan dan kanvas ATAP (1).pptx
 
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
PPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptx
PPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptxPPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptx
PPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptx
 

Makalah program pengembangan_peternakan_kerbau_di_kawasan_semi_arid_by_made_sudarma

  • 1. MAKALAH MANAJEMEN SUMBER DAYA PETERNAKAN „Program Pengembangan Peternakan Kerbau di Kawasan Semi Arid‟ NAMA : I MADE ADI SUDARMA NIM : 1211010006 SEMESTER : I (SATU) PRODI : ILMU PETERNAKAN PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS NUSA CENDANA KUPANG 2012
  • 2. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagian besar lahan yang ada di Indonesia berupa lahan kering. Lahan kering biasa didefinisikan sebagai dataran tinggi yang lahan pertaniannya lebih banyak menggantungkan diri pada curah hujan. Lahan kering mempunyai potensi yang cukup luas untuk dikembangkan, dengan luas yang mencapai 52,5 juta ha (Haryati, 2002) untuk seluruh indonesia maka pengembangan sangat perlu dilakukan. Nusa Tenggara Timur memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai sentra peternakan nasional berbasis lahan kering. Pengembangan peternakan berbasis lahan kering di daerah beriklim kering seperti NTT juga bisa dijadikan model pembangunan peternakan di masa mendatang. Model ini akan efektif menekan angka kemiskinan dan pengangguran serta mengurangi ketergantungan terhadap ternak impor dan mendorong kemandirian pangan nasional. Ternak kerbau memiliki potensi untuk dikembangkan di daerah lahan kering selain ternak sapi untuk menunjang produksi daging sapi di Indonesia umumnya maupun di NTT khususnya. Ternak kerbau merupakan ternak ruminansia yang mampu memanfaatkan tanaman rerumputan sebagai makanan utamanya untuk menghasilkan daging yang sangat dibuthkan oleh manusia. Pengelolaan ternak kerbau didaerah lahan kering sangat penting untuk diperhatikan agar dapat dioptimalkan potensi yang dimiliki oleh ternak kerbau demi kepentingan hidup manusia. Adapun teknik – teknik dan program yang perlu di perhatikan dalam menunjang pengembangan ternak kerbau dilahan kering perlu dikaji lebih lanjut agar diperloleh suatu sistematika pemeliharaan yang jelas dan terpadu sehingga dapat dimanfaatkan oleh peternak di daerah lahan kering. B. Tujuan Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui pola pemeliharaan ternak kerbau dilahan kering yang paling efisien dilakukan dan dapat dipraktekkan oleh peternak di daerah lahan kering. C. Metode Pengambilan Data Metode pangambilan data yang digunakan yaitu metode pengumpulan data dari berbagai sumber yang dijadikan referensi dalam pembuatan makalah ini.
  • 3. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. LAHAN KERING Lahan kering umumnya terdapat didataran tinggi (daerah pegunungan) yang ditandai dengan topografinya yang bergelombang dan merupakan daerah penerima dan peresap air hujan yang kemudian dialirkan kedataran rendah, baik melalui permukaan tanah (sungai) maupun melalui jaringan bumi air tanah. Jadi lahan kering didefinisikan sebagai dataran tinggi yang lahan pertaniannya lebih banyak menggantungkan diri pada curah hujan. Lahan kering diterjemahkan dari kata “upland” yang menunjukkan kepada gambaran “daerah atas” (Hasnudi dan Saleh, 2006, dalam www.MichaelRiwuKaho.blogspot.com). Hingga saat ini takrif pengertian lahan kering di Indonesia belum disepakati benar. Di dalam bahasa Inggris banyak istilah-istilah yng dipadankan dengan lahan kering seperti upland, dryland dan unirrigated land, yang menyiratkan penggunan pertanian tadah hujan. Istilah upland farming, dryland farming dan rainfed farming dua istilah terakhir yang digunakan untuk pertanian di daerah bercurah hujan terbatas. Penertian upland mengandung arti lahan atasan yang merupakan lawan kata bawahan (lowland) yang terkait dengan kondisi drainase (Tejoyuwono, 1989) dalam Suwardji (2003). Sedangkan istilah unirrigated land biasanya digunakan untuk teknik pertanian yang tidak memiliki fasilitas irigasi. Namun pengertian lahan tidak beririgasi tidak memisahkan pengusahaan lahan dengan system sawah tadah hujan. Untuk menghilangkan kerancuan pengertian lahan kering dengan istilah pertanian lahan kering Tejoyuwono (1989) dalam Suwardji (2003) menyarankan beberapa pengertian sebagai berikut: untuk kawasan atau daerah yang memiliki jumlah evaporasi potensial melebihi jumlah curah hujan actual atau daerah yang jumlah curah hujannya tidak mencukupi untuk usaha pertanian tanpa irigasi disebut dengan “Daerah Kering”. untuk lahan dengan draenase alamiah lancar dan bukan merupakan daerah dataran banjir, rawa, lahan dengan air tanah dangkal, atau lahan basah alamiah lain istilahnya lahan atasan atau Upland. untuk lahan pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan, istilahnya lahan kering. Kesepakatan pengertian lahan kering dalam seminar nasional pengembangan wilayah lahan kering ke 3 di Lampung : (upland dan rainfed) adalah hamparan lahan yang didayagunakan tanpa penggenangan air, baik secara permanen maupun musiman dengan sumber air berupa hujan atau air
  • 4. irigasi (Suwardji, 2003)). Definisi yang diberikan oleh soil Survey Staffs (1998) dalam Haryati (2002), lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air selama periode sebagian besar waktu dalam setahun. Tipologi lahan ini dapat dijumpai dari dataran rendah (0-700 m dpl) hingga dataran tinggi (> 700m dpl). Dari pengertian diatas, maka jenis penggunaan lahan yang termasuk dalam kelompok lahan kering mencakup: lahan tadah hujan, tegalan, lading, kebun campuran, perkebunan, hutan, semak, padang rumput, dan padang alang-alang. Lahan kering mempunyai potensi yang cukup luas untuk dikembangkan, dengan luas yang mencapai 52,5 juta ha (Haryati, 2002) untuk seluruh indonesia maka pengembangan sangat perlu dilakukan. Menurut Simposium Nasional tentang Lahan Kering di Malang (1991) penggunaan lahan untuk lahan kering berturut adalah sebagai berikut: hutan rakyat, perkebunan, tegalan, tanah yang sedang tidak diusahakan, ladang danpadang rumput. Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai sentra peternakan nasional berbasis lahan kering. Pengembangan peternakan berbasis lahan kering di daerah beriklim kering seperti NTT juga bisa dijadikan model pembangunan peternakan di masa mendatang. Model ini akan efektif menekan angka kemiskinan dan pengangguran serta mengurangi ketergantungan terhadap ternak impor dan mendorong kemandirian pangan nasional. Hal itu terungkap dalam seminar dan lokakarya nasional Pengembangan Industri Peternakan Berkelanjutan Berbasis Sistem Pertanian Lahan Kering Menuju Kemandirian Pangan Nasional yang digelar Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang bersama harian Suara Pembaruan (SP) di Kupang, NTT, Jumat (2/12). Seminar yang dipandu Pemimpin Redaksi SP dan Investor Daily Primus Dorimulu itu menghadirkan pembicara Rektor Undana Frans Umbu Datta, Gubernur NTT Frans Lebu Raya, Ketua Komite Tetap Agribisnis Peternakan Kadin Indonesia Juan Permata Adoe, serta Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Kementan Bess Tiesnamurti. Lahan kering di NTT dapat dimanfaatkan sebagai areal untuk penanaman hijauan makanan ternak disamping sebagai areal tanaman pertanian, sehingga potensi pembangunan peternakan yang diharapkan untuk mengembalikan NTT sebagai gudang ternak seperti yang dicanangkan oleh Gubernur NTT, dapat berjalan sesuai rencana. Pembangunan peternakan di NTT terhambat karena ketersediaan pakan yang kurang memadai akibat adanya lahan tidur dan lahan kering yang tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat petani peternak sebagai lahan yang berdayaguna baik untuk peternakan maupun pertanian. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan kering di NTT dan mengurangi resiko kegagalan agar sector peternakan di NTT tetap bertahan dan dapat meningkatkan kesejahteraan petani peternak. Hal ini dapat dilakukan dengan manajemen dan tekhnologi yang mampu mengatasi permasalahan adanya lahan kering di
  • 5. NTT sebagai salah satu faktor kurangnya ketersedian pakan bagi ternak. Jika pengelolaan lahan kering tepat dan sejauh mungkin mencegah dan mengurangi kerusakan dan dapat menjamin kelestariannya akan membawa manfaat besar untuk mendukung usaha di sector peternakan yang berkelanjutan dan juga dapat mendukung usaha pertanian. B. TERNAK KERBAU Ternak kerbau memegang peranan yang sangat penting bagi status sosial budaya masyarakat pedesaan di Propinsi Jambi. Sejak dahulu, masyarakat berpendapat bahwa apabila seseorang memiliki ternak kerbau maka dianggap sebagai orang yang memiliki harta banyak dan berderajat tinggi. Sehingga ternak kerbau dimanfaatkan pada acara-acara tertentu sebagai simbol kebesaran seperti acara perkawinan yang dikenal dengan sebutan “potong kerbau”, yang dilaksanakan secara adat setempat. Perkembangan populasi ternak ruminansia secara nasional mengalami penurunan sebesar 4,1% per tahun (Kusnadi, 2006). Begitu juga dengan ternak sapi dan kerbau di Propinsi Jambi mengalami penurunan yang cukup tinggi (Dinas Peternakan Propinsi Jambi, 2006). Dengan permintaan daging yang semakin meningkat, diperlukan upaya untuk meningkatkan populasi. Sebaiknya Pemerintah mencari langkah-langkah terobosan sehingga mencapai keseimbangan antara produksi dan permintaan. Hingga saat ini Propinsi Jambi masih mendatangkan ternak potong dari daerah lain, mencapai 25.654 ekor per tahun (Dinas Peternakan Propinsi Jambi, 2005). Dalam periode yang sama produksi daging telah naik rata-rata 9,2% per tahun. Dalam pada itu telah terjadi pergeseran produksi daging, dimana sumbangan daging sapi menurun dari 23,52% menjadi 21,96%. Penurunan daging sapi disubstitusikan oleh daging unggas yaitu mengalami peningkatan dari 56,58% menjadi 60,73% (Direktorat Jendral Peternakan, 2005). Dengan peningkatan permintaan akan daging secara langsung harus diikuti oleh peningkatan produksi ternak sebagai penghasil daging. Dwiyanto dan Subandrio (1995), melaporkan sistem pemeliharaan ternak kerbau umumnya masih tradisional dengan penguasaan lahan yang kurang ekonomis, kualitas pakan yang rendah, terbatasnya pengetahuan peternak tentang reproduksi dan belum diterapkan teknologi tepat guna. Masalah utama untuk meningkatkan populasi adalah melalui pengontrolan pengeluaran dan pemotongan betina produktif di tingkat lapangan. Saat ini pengeluaran dan pemotongan kerbau betina produktif sulit dikendalikan karena adanya penawaran dan
  • 6. permintaan. Padahal salah satu cara untuk mempercepat peningkatan populasi dengan dropping sapi bibit yang diawasi secara berkesinambungan seperti yang telah dilakukan International Fund for Agricultural Develovmen (IFAD) pada tahun 1980-an, yang dianggap berhasil dalam upaya peningkatan populasi ternak sapi di Jambi. Untuk mengoptimalkan penggunaan lahan sebenarnya ternak kerbau dapat diintegrasikan dengan perkebunanan kelapa sawit dan karet, pada tanaman berusia di atas 6 tahun. Banyak keuntungan apabila ternak kerbau diintegrasikan dengan perkebunan sawit dan karet, memanfaatkan rumput yang tumbuh di antara tanaman utama sebagai pakan dan dijadikan tenaga kerja untuk alat transportasi tandan buah segar (TBS) sawit. Sebenarnya kemampuan ternak kerbau untuk mengkonsumsi pakan lebih baik dari ternak sapi. Devendra (1985) mengemukakan bahwa kerbau mampunyai kemampuan lebih baik memanfaatkan hijauan yang berkualitas rendah dari pada sapi. Reproduksi ternak kerbau Keberhasilan pemeliharaan ternak kerbau dapat diukur dengan kemampuan ternak untuk menghasilkan anak dalam periode tertentu, dimana semakin pendek jarak kelahiran ternak kerbau maka reproduksi ternak semakin baik. Untuk ternak kerbau di Propinsi Jambi, menurut beberapa laporan jarak kelahiran adalah 18-24 bulan. Gambar 3 (kasus di Desa Mersam) memperlihatkan bahwa anak yang diperkirakan berumur 1,5 tahun masih menyusui dengan induknya, hal ini mengindikasikan reproduksi ternak kerbau di tingkat petani masih lambat sebagai mana yang dilaporkan oleh Putu (1992). Beberapa masalah pengembangan ternak kerbau di Indonesia antara lain adalah pemasaran daging kerbau, pertumbuhan yang lambat, calving interval yang panjang dan program seleksi bibit yang belum terarah. Untuk merubah pola pemeliharaan lepas ke arah sistem semi intensif diperlukan pengkajian sosial budaya petani untuk memasukan teknologi baru seperti IB, teknologi pakan musim kemarau, seleksi bibit dan teknologi lainnya. C. PARAMETER PRODUKSI DAN PRODUKTIFITAS TERNAK KERBAU Kerbau (Bubalus bubalis Linn.) adalah ruminansia besar yang mempunyai potensi tinggi dalam penyediaan daging. Kerbau merupakan ternak asli daerah panas dan lembab, khususnya daerah belahan utara tropika (Deptan, 2008). Kerbau ditinjau dari habitatnya, digolongkan dalam dua tipe, yaitu: swamp bufallo dan river bufallo. Swamp buffalo (kerbau rawa) tipe habitatnya adalah area daerah rawa yang tempat berkubangnya di lumpur, sedangkan river buffalo (kerbau sungai) menetap di daerah basah dan lebih suka berenang di sungai atau kolam yang dasarnya
  • 7. keras. Kerbau sungai umumnya tipe kerbau penghasil susu, sedangkan kerbau rawa merupakan tipe penghasil daging (Fahimuddin, 1975). Indonesia mempunyai berbagai bangsa kerbau yang karena lama terpisah dari tempat asalnya kemudian beradaptasi dengan lingkungan setempat dan diberi nama sesuai dengan nama tempat seperti Kerbau Pampangan (Pampangan/Sumsel), Kerbau Binanga (Tapsel/Sumut), Kerbau rawa (di Sumatera dan Kalimantan), Kerbau Benuang (Bengkulu), Kerbau Belang Tana Toraja (Sulsel), Kerbau Sumbawa (NTB), Kerbau Sumba (NTT), Kerbau Moa (Maluku) dan lain-lain yang sebenarnya termasuk dalam bangsa kerbau lumpur (swamp buffalo) (Talib, 2008). Kerbau rawa banyak terdapat di daerah Asia Tenggara. Kerbau ini tampak lebih liar dibandingkan dengan kerbau tipe sungai. Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa kerbau rawa merupakan kerbau yang berbadan pendek, besar, bertanduk panjang, memiliki konformasi tubuh yang berat dan padat, dan biasanya berwarna abu-abu dengan warna yang lebih cerah pada bagian kaki. Warna yang lebih terang dan menyerupai garis kalung juga terdapat di bawah dagu dan leher. Kerbau rawa tidak pernah berwarna coklat atau abu-abu coklat sebagaimana kerbau sungai (Mason, 1974). Ciri-ciri dari bagian muka adalah dahi datar, muka pendek, moncong lebar dan terdapat bercak putih di sekitar mata. Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa kerbau rawa jantan memiliki bobot dewasa 500 kg dan kerbau betina 400 kg dengan tinggi pundak jantan dan betina adalah 135 dan 130 cm. Menurut Chantalakhana (1981), kerbau rawa dewasa di Indonesia memiliki tinggi rata-rata 127-130 cm untuk kerbau jantan dan 124-125 cm untuk kerbau betina. Kerbau rawa mempunyai kemampuan berenang jauh serta menyelam cukup dalam di dalam air. Cara kerbau dewasa berenang adalah kedua kaki belakangnya bertumpu di tanah dan mendorong tubuhnya ke depan, sementara kaki depannya digunakan untuk mengayuh atau mendayung. Hal ini kemungkinan merupakan salah satu penyebab kedua kaki depan kerbau rawa punya perototan yang lebih kekar dibandingkan kaki belakang (Dilaga, 1987).  Produktivitas Ternak Produktivitas ternak ditinjau dari dinamika populasi diartikan sebagai perkembangan populasi ternak dalam periode waktu tertentu (umumnya satu tahun) dan sering dinyatakan dalam persentase (%), apabila dibandingkan dengan populasi ternak secara keseluruhan (Basuki, 1998). Produktivitas kerbau rawa di Indonesia pada umumnya rendah yang disebabkan oleh beberapa kendala, antara lain: peranan kerbau pada sistem usaha tani tradisional, pengusahaan lahan yang kurang ekonomis, kurangnya modal, sangat terbatasnya bibit unggul, kualitas pakan yang rendah, kurangnya pengetahuan petani terhadap produksi kerbau. Kendala-kendala tersebut dapat diminimalisasi dengan program jangka panjang terutama dalam bidang reproduksi dan
  • 8. pemuliaan ternak kerbau (Dwiyanto dan Subandryo, 1995). Produktivitas ternak potong dipengaruhi oleh struktur populasi ternak, natural increase (angka pertambahan alami), angka panen (calf crop), mortalitas sesudah lepas sapih dan masa aktivitas reproduksi (melahirkan) bagi induk (Basuki, 1998).  Reproduksi Daya reproduksi didefinisikan sebagai kemampuan seekor ternak untuk menghasilkan anak selama hidupnya. Daya reproduksi kelompok ternak yang tinggi disertai dengan pengelolaan ternak yang baik akan menghasilkan efisiensi produksi yang tinggi pula. Laju peningkatan populasi ternak akan menjadi lebih cepat bila efisiensi reproduksinya lebih baik dan rendahnya angka gangguan reproduksi. Tinggi rendahnya efisiensi reproduksi sekelompok ternak ditentukan oleh lima hal, yaitu: l) angka kebuntingan (conception rate), 2) jarak antar melahirkan (calving interval), 3) jarak waktu antara melahirkan sampai bunting kembali (service period), 4) angka perkawinan per kebuntingan (service per conception), dan 5) angka kelahiran (calving rate) (Hardjopranjoto, 1995). Efisiensi proses reproduksi pada water buffalo berhubungan erat dengan jumlah faktor yang dikontrol oleh heriditas dan lingkungan. Kendala reproduksi diantaranya adalah lambatnya angka pertumbuhan, keterlambatan pubertas, musim kawin, tingginya umur beranak pertama, panjangnya calving interval, dan lain-lain. Hal yang menjadi masalah utama dari beternak kerbau (Fahimuddin, 1975). Menurut Cockrill (1974), kerbau rawa mampu menghasilkan anak 10-15 ekor selama hidupnya dan dapat hidup sampai 25 tahun.  Pubertas Pubertas atau dewasa kelamin dapat didefinisikan sebagai umur atau waktu organ-organ reproduksi mulai berfungsi dan perkembangbiakan terjadi. Pubertas tidak menandakan kapasitas reproduksi yang normal dan sempurna yang masih akan tercapai kemudian. Pubertas pada hewan jantan ditandai dengan kemampuan hewan untuk berkopulasi dan menghasilkan sperma di samping perubahan-perubahan kelamin sekunder lain, sedangkan pada hewan betina ditandai dengan terjadinya estrus dan ovulasi. Estrus dan ovulasi pertama disertai oleh kenaikan ukuran dan berat organ reproduksi secara cepat (Toelihere, 1981). Pubertas terjadi karena dipengaruhi oleh faktor hewannya diantaranya, yaitu: umur, bobot badan, ras dan genetik. Beberapa faktor yang juga sangat berpengaruh ialah faktor lingkungan yaitu: suhu musim dan iklim. Faktor lain yang mempunyai pengaruh besar terutama nutrisi dan pakan. Pubertas lebih awal akan menguntungkan karena dapat mengurangi masa tidak produktif dan memperpanjang masa hidup produktif ternak. Peningkatan genetik dapat terjadi lebih
  • 9. cepat karena interval generasi berkurang, bila dilakukan seleksi dengan baik dan program seleksi yang efektif (Tomaszewska et al., l99l). Hasil dari penelitian yang dilakukan di Kalimantan Selatan oleh Lendhanie (2005) mengatakan bahwa umur melahirkan pertama pada kerbau rawa yaitu 3-4 tahun sehingga diperkirakan konsepsi pertama terjadi pada umur 2-3 tahun meskipun umur pubertas kerbau rawa tidak diketahui dengan pasti. Umur konsepsi pertama ini dapat dijadikan patokan sebagai umur dewasa kelamin dengan asumsi lama kebuntingan selama 12 bulan. Siklus Berahi dan Lama Berahi Berahi adalah saat hewan betina bersedia menerima pejantan untuk kopulasi. Jarak antara berahi yang satu sampai pada berahi berikutnya disebut satu siklus berahi, jika berahi yang pertama tidak menghasilkan kebuntingan maka berahi yang pertama itu akan disusul dengan berahi kedua (Partodihardjo, 1980). Lama berahi berkisar antara waktu penerimaan pertama sampai penolakan terakhir (McDonald, 1977). Menurut Mongkopunya (1980) lama berahi kerbau rawa adalah 32 jam. Kerbau rawa Thailand memiliki siklus berahi 2l hari, sedangkan di Philipina siklus berahi kerbau rawa selama 20 hari (Guzman, 1980). Gejala berahi tidak muncul disebabkan oleh temperatur yang tinggi pada kondisi arid dan semiarid serta lama berahi menjadi pendek (dari 11,9 jam menjadi 6,1 jam) (Cockrill, 1974).  Umur Kawin Pertama Hewan-hewan betina muda tidak boleh dikawinkan sampai pertumbuhan badannya memungkinkan (dewasa kelamin dan dewasa tubuh) untuk suatu kebuntingan dan kelahiran normal. Hal ini karena dewasa kelamin terjadi sebelum dewasa tubuh tercapai (Toelihere, 1981). Umur kerbau betina pada konsepsi pertama ber-beda-beda tergantung pada manajemen pemeliharaan, penggunaan pakan, dan genetik. Umur kawin pertama kerbau rawa di Malaysia adalah rata-rata 28 bulan atau 2,3 tahun (Fahimuddin, 1975). Menurut hasil penelitian Lendhanie (2005), ternak kerbau betina di Kalimantan Selatan baru berahi pertama setelah berumur 3 tahun atau lebih lama dibanding sapi.  Service per Conception (S/C) Service per conception adalah penilaian atau perhitungan jumlah perkawinan (service) inseminasi buatan (IB) atau kawin alam yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan. Nilai S/C yang normal adalah 1,6-2,0. Nilai S/C makin rendah maka makin tinggi kesuburan hewan betina dalam kelompok tersebut, tetapi sebaliknya makin tinggi nilai S/C, maka makin rendah kesuburan hewan betina dalam kelompok tersebut (Toelihere, l98l). Betina dara yang beranak pertama selalu membutuhkan service per conception yang lebih tinggi daripada betina yang lebih tua (Fahimuddin, I975).
  • 10. Angka Kebuntingan Angka kebuntingan atau conception rate (CR) adalah persentase sapi betina yang bunting pada inseminasi atau kawin pertama baik pada sapi dara maupun pada sapi laktasi. Angka kebuntingan (CR) ditentukan oleh tiga faktor yaitu kesuburan pejantan, kesuburan betina dan teknik inseminasi. Angka kebuntingan ditentukan berdasarkan hasil diagnosa palpasi per rektal pada 40-60 hari setelah inseminasi (Toelihere, 1981) dan dihitung berdasarkan persamaan berikut: Menurut Fahimuddin (1975), conception rate dipengaruhi oleh musim kawin, umur pejantan dan betina, tingkat nutrisi, dan lain-lain. Nilai CR menurut Cockrill (1974) adalah 63% dan CR untuk sapi lebih tinggi daripada kerbau.  Lama Bunting Periode kebuntingan diukur sebagai jumlah hari antara waktu kawin sampai kelahiran anak karena ketepatan waktu fertilisasi tidak diketahui. Faktor yang mempengaruhi lama kebuntingan adalah jenis kelamin keturunan umur induk dan yang lebih luas yaitu musim kelahiran dan kondisi lingkungan. Kebuntingan anak jenis kelamin jantan pada spesies mamalia umumnya sedikit lebih lama daripada betina dan bunting pertama selalu lebih singkat daripada kebuntingan selanjutnya (Fahimuddin, 1975). Lama bunting adalah suatu aspek yang mempengaruhi selang kelahiran. Menurut Guzman (1980), kerbau rawa memiliki lama bunting berkisar antara 320-325 hari, Mongkopunya (1980) menyatakan bahwa lama bunting kerbau rawa adalah 336 hari, dan menurut Toelihere (1981), rata-rata periode kebuntingan adalah 310-315 hari dan selanjutnya dikatakan bahwa perbedaan lama kebuntingan bisa disebabkan oleh manajemen, pakan dan iklim lingkungan.  Calf Crop Calf crop adalah persentase jumlah anak yang dilahirkan hidup dalam satu tahun dari seluruh induk yang diteliti dan jika diinginkan angka calf crop yang tinggi maka harus diperhatikan waktu dan lama berahi, ketepatan saat kawin, nutrisi dan pengawasan penyakit (Talib, I988). Rata-rata calf crop kerbau di Indonesia sangat rendah yaitu 33%.  Berahi setelah Melahirkan Fase kelahiran atau partus akan terjadi apabila masa kebuntingan telah mencukupi. Organ reproduksi, terutama uterus akan mengalami proses penyembuhan setelah peristiwa kelahiran yaitu kembali keukuran semula pada saat tidak bunting. Proses ini disebut dengan istilah involusi
  • 11. uterus. Berahi kembali akan terjadi setelah involusi uterus selesai. Proses berahi setalah melahirkan pada tiap individu berbedabeda bergantung kepada lamanya proses involusi uterus. Guzman (1980) menyatakan bahwa pada kerbau rawa berahi kembali setelah melahirkan adalah 35 hari. Kerbau seperti halnya dengan sapi bahwa apabila dalam pengelolaan pasca melahirkan induk dihadapkan pada pakan yang kurang, lingkungan yang tidak serasi, sanitasi kandang yang kurang baik atau kondisi lain yang tidak mendukung maka pada induk akan terjadi gangguan dalam proses reproduksi selanjutnya (Hardjopranjoto, 1991). Interval Dikawinkan Pertama setelah Beranak Interval perkawinan setelah beranak menentukan panjang interval kelahiran. Interval dikawinkan pertama setelah beranak adalah interval dari induk par-tus/beranak sampai kawin kembali (service periode) dan lamanya bergantung pada estrus postpartum dan konsepsi aktual yang membutuhkan perkawinan satu kali, dua kali, atau lebih. Berahi postpartum merupakan komponen dasar dari service period yang sangat bervariasi baik dari faktor fisik maupun psikologi sehingga menun-jukkan besarnya variasi berdasarkan keturunan atau tipe dan lingkungan (Fahimuddin, 1975). Kerbau akan kembali estrus 40 hari setelah beranak berdasarkan National Research Council (1981).  Selang Beranak (Calving Interval) Selang beranak adalah jangka waktu dari saat induk beranak hingga saat beranak berikutnya. Calving interval dipengaruhi oleh daya reproduksi dan ditentukan oleh lamanya masa kosong serta angka perkawinan per kebuntingan. Siklus reproduksi akan diulang kembali sampai pada kebuntingan berikutnya setelah kerbau mengalami berahi kembali dan melahirkan. Panjang calving interval sangat bervariasi pada kerbau rawa bergantung kepada semua karakteristik reproduksi. Menurut Guzman (1980), selang kelahiran kerbau rawa berkisar antara l-3 tahun atau rata-rata 1,5 tahun. Calving interval lebih banyak diatur oleh faktor nongenetik yaitu ada kesem-patan menurunkannya dengan efisiensi manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan yang tepat (Fahimuddin, 1975).  Parameter Tubuh Informasi tentang ukuran tubuh kerbau hanya terdapat sedikit dibandingkan dengan ternak sapi yang lebih populer, padahal ukuran tubuh ini penting dalam manajemen produksi ternak. Pengukuran parameter tubuh sering digunakan untuk estimasi produksi, misalnya untuk pendugaan bobot badan (Saleh, 1982). Parameter tubuh yang diukur meliputi panjang badan, lingkar dada, tinggi pundak, dan tinggi pinggul. Bobot badan pada umumnya mempunyai hubungan positif dengan semua ukuran linear tubuh. Ukuran-ukuran tubuh ternak dapat berbeda satu sama lainnya secara bebas, korelasinya dapat disebut positif apabila peningkatan
  • 12. satu sifat penyebab sifat lain juga meningkat. Menurut Diwyanto (1982), komponen tubuh yang berhubungan erat dengan bobot badan adalah lingkar dada dan panjang badan. Williamson dan Payne (1986), pemakaian ukuran lingkar dada panjang badan dapat memberikan petunjuk bobot badan seekor hewan dengan tepat. Nilai korelasi tertinggi diperoleh dari lingkar dada dibandingkan dengan ukuran tubuh lainnya (Aisiyah, 2000), oleh karena itu, lingkar dada dapat digunakan sebagai kriteria seleksi dan memilih calon bibit. D. KETERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN TEKNOLOGI TERNAK KERBAU  Teknologi perbibitan Pada kondisi riil yang ada saat ini ternyata usaha pembibitan peternakan masih menghadapi berbagai masalah dan tantangan antara lain beluim tercukupinya kebutuhan bibit ternak, baik kuantitas maupun kualitas. Guna mengatasi masalah tersebut, pemerintah melalui program aksi perbibitan berupaya meningkatkan kinerja sekaligus menstimuler kelompok peternak pembibit potensial untuk lebih meningkatkan partisipasinya. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan kerbau potong untuk menghasilkan daging maka diperlukan bibit yang tepat dan teknologi reproduksi. Kualitas kerbau bisa ditingkatkan melalui seleksi induk, perkawinan alami dan inseminasi buatan. Pemilihan kualitas donor dan sperma pejantan unggul akan memberikan kualitas anak yang memiliki sifat-sifat unggul, baik dari induk betina maupun pejantannya.  Teknologi pakan Pakan merupakan faktor utama dalam menentukan produktivitas ternak, disamping potensi genetik dan lingkungan. Kebutuhan zat gizi disesuaikan dengan status fisiologis ternak serta tingkat produksi yang diharapkan. Pertumbuhan berat badan akan lebih tinggi dan maksimal bila pakan yang diberikan merupakan kombinasi antara hijauan dan konsentrat. Pemilihan hijauan pakan dan konsentrat dapat disesuaikan dengan ketersediaan bahan, mudah dan murah untuk memperolehnya, dengan syarat sesuai kebutuhan dasar zat gizi ternak yang dipelihara. Pemberian hijauan pakan berkualitas rendah (al. Jerami padi, pucuk tebu,daun jagung, daun ubi kayu) berkisar 40- 45% dan hijauan pakan berkualiatas sedang sampai tinggi (al. Rumput raja, rumput gajah, lamtorogung, daun gamal, glirisidae) adalah 55-60%, sedangkan sisanya berupa konsentrat. Konsentrat dibuat dari berbagai bahan yaitu dedak padi, bungkil kedelai, bungkil kelapa, tepung tulang, onggok jagung, garam dapur dan premix. HENDRATNO et al. (1981) melaporkan, pemberian bungkil kedelai sebanyak 1,75 kg/ekor/hari pada kerbau jantan umur 2,5-3,0 tahun (bobot 170-225 kg) memberikan pertumbuhan sebesar 0,75 kg/
  • 13. ekor/hari, sedangkan pemberian dedak 1, 2 dan 4 kg/ekor/hari menghasilkan pertumbuhan sebesar 0,21 kg/ekor/hari; 0,70 kg/ekor/hari dan 0,78 kg/ekor/hari.  Teknologi produksi Seperti halnya ternak sapi, hal penting yang perlu mendapat perhatian dalam pengembangan usaha ternak kerbau adalah manajemen pemeliharaan yang sesuai dengan kondisi lokasi pengembangan. Dengan metode LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) atau sistem integrasi tanaman ternak (SIPT), dimana potensi sumberdaya pakan yang baik dan murah direkayasa dan dimanfaatkan secara optimal. Misalnya integrasi sawit dengan ternak sapi, integrasi padi dengan ternak sapi atau ternak lainnya dengan perkebunan coklat dan kopi. Model tersebut dapat diaplikasikan untuk ternak kerbau. Percontohan sistem integrasi padi ternak (SIPT) cukup direspon petani karena dapat meningkatkan produksi dan produktivitas padi serta pendapatan petani. Selain itu, kotoran ternak yang sudah diolah dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik pada tanaman padi atau tanaman lainnya. Di Bengkulu, sapi dipelihara diperkebuan sawit (SISKA), dimana pakan rumput diganti dengan pelepah daun yang dicincang, sedangkan pengganti konsentrat menggunakan lumpur sawit dan bungkil inti sawit yang difermentasi (Ferlawit) hingga kandungan proteinnya mencapai 24%. Pertumbuhan bobot sapi cukup baik (0,582 kg/ekor/hari) dengan konversi pakan 7,04 dibanding pakan komersial (pertambahanbobot 0,354 kg/ekor/hari dan konversi pakan 11,36). Selanjutnya integrasi ternak domba dengan perkebunan karet yang memanfaatkan hijauan sebagai sumber pakan dengan waktu pengembalaan 6-8 jam/hari menghasilkan laju pertumbuhan sebesar 30-40 g/hari (DAUD dan YUSUF, 1983). BRATFORD dan BERGER (1990) memprediksi bahwa populasi ternak domba yang dipelihara diperkebunan akan berlipat ganda dalam waktu 2-4 tahun atau meningkat 10 kali lipat dalam waktu 6-17 tahun.  Pengendalian penyakit Penyakit kerbau secara umum disebabkan oleh virus, bakteri, dan parasit. Untuk mengatasi penyakit akibat virus dapat dilakukan melalui vaksinasi, penyakit bakteri dengan antibiotik dan penyakit parasit dengan pemberantasan parasit. Salah satu teknologi Balitvet untuk pengendalian penyakit Enterotoksemia pada sapi dan kerbau adalah dengan Closvak Multi (merupakan vaksin in-aktif). Vaksinasi pertama dilakukan pada pedet umur 3- 5 bulan, vaksinasi kedua sebulan kemudian, dan selanjutnya diulangi setiap 12 bulan.
  • 14. Teknologi pascapanen Penanganan ternak sebelum dipotong perlu dilakukan karena dapat mempengaruhi warna daging (ternak diistirahatkan dan dipuasakan selama 12 jam dengan pemberian air minum secara berlebihan). Dalam rangka memper-tahankan mutu dan memperpanjang daya simpan daging dapat digunakan larutan asam (TRIYANTINI dan SIRAIT, 1998). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa daging yang disimpan pada suhu kamar mengalami pembu- sukan pada jam ke-25 dan pembusukan sempurna pada jam ke-37. Penyimpanan pada suhu 0-8 0 C menyebabkan terjadinya pembu-sukan pada hari ke-22. dan melalui prosses pembekuan ternyata daging masih tetap segar pada hari ke-30.  Teknologi biogas Kotoran ternak berupa feses dan urin dapat diolah menjadi biogas dan pupuk organik. Biogas adalah energi alternatif hasil proses dekomposisi bahan organik secara anaerob oleh mikroorganisme terutama bekteri metan (ANONIMUS, 2006). Gas yang hasilkan diantaranya adalah metan (CH 4 ) dan karbon dioksida (CO 2 ). Efisensi penggunaan biogas mencapai 30-40%, lebih tinggi dibandingkan dengan kayu bakar (20-30%). Berdasarkan hasil penelitian, satu ekor sapi atau kerbau berbobot 454 kg dapat memproduksi feses dan urin sebanyak 30 kg/hari, sedangkan setiap 1 kg feses dapat menghasilkan biogas sebanyak 60 liter. Proses dekomposisi hingga diperoleh gas berlangsung dalam wadah pencerna (digester) dengan kedalam 2 m dan diameter 3 m. Digester dihubungkan dengan lubang pemasukan limbah dan tempat penampungan limbah hasil sampingan (sludge).
  • 15. BAB III PEMBAHASAN A. LAHAN KERING DI NTT Upaya untuk mengembangkan peternakan di daerah NTT adalah untuk memenuhi permintaan akan produk-produk dalam negeri misalnya daging. Sebagaimana diketahui bahwa pemenuhan akan kebutuhan daging dalam negeri sebagian masih berasal dari luar. Upaya tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di daerah pedesaan, memantapkan pendapatan petani kecil dan meningkatkan lapangan kerja didalam maupun luar usaha tani. Peningkatan pendapatan dalam sector peternakan dapat tercapai apabila ternak-ternak yang dihasilkan mempunyai produktivitas yang tinggi sebagaimana yang berlaku dipasaran atau dengan kata lain untuk mendapatkan harga jual yang tinggi maka produksi ternak harus optimal. Provinsi NTT memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan peternakan. Namun di provinsi NTT beriklim kering (Semi arid) yang dipengaruhi oleh Angin muson. Kondisi wilayah Nusa Tenggara Timur hanya memiliki dua musim, yaitu musim penghujan sangat pendek yang terjadi antara bulan Desember sampai bulan April, sedangkan musim kemarau panjang dan kering terjadi pada bulan Mei sampai bulan Nopember. Keadaan demikian, berakibat jumlah pakan untuk ternak akan tersedia dalam jumlah yang banyak serta memiliki kualitas yang baik pada musim hujan saja, sedangkan pada musim kemarau jumlah pakan yang tersedia sangatlah sedikit dengan kualitas yang rendah. Hal ini diperparah lagi dengan system pemeliharaan ternak yang masih ekstensif, serta kurangnya sumber daya manusia untuk memanfaatkan lahan kering di NTT sebagai tempat tersedianya hijauan makanan bagi ternak. Akibatnya tidak dapat memenuhi kebutuhan pakan bagi ternak sehingga produksi yang diharapkan tidak optimal dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencapai tingkat produksi yang tinggi. Oleh karena itu perlu adanya sumber daya manusia yang berwawasan IPTEK untuk meningkatan potensi peternakan di NTT terutama pada lahan kering. Lahan kering yang ada di NTT, banyak dibiarkan begitu saja, tanpa ada yang mengelolanya. Lahan yang dibiarkan begitu saja akan berpengaruh terhadap menurunya unsur-unsur hara pada tanah tersebut. Hal demikian disebabkan karena rendahnya inisiatif dan tingkat kemalasan manusia untuk mengelolanya menjadi lahan yang berdaya guna. Dan juga banyak masyarakat NTT yang selalu berharap bahwa segala kebutuhan ternak terutama pakan disediakan oleh alam tanpa berpikir untuk mengelolanya sendiri. Apabila lahan kering yang ada digunakan sebagai lahan peternakan khususnya untuk lahan pananaman HMT, maka lahan tersebut dapat membawa keuntungan bagi
  • 16. petani peternak secara maksimal. Dengan adanya pemanfaatan lahan kering sebagai lahan penanaman HMT, tidak hanya membawa keuntungan bagi petani peternak namun dapat juga mengembalikan unsur-unsur hara pada tanah tersebut. Selain itu kondisi iklim suatu daerah sangat berpengaruh terhadap suatu lahan atau areal tertentu serta produksi, baik produksi peternakan maupun pertanian. Wilayah NTT beriklim kering yang dipengaruhi oleh angin musim. Periode musim kemarau lebih panjang, yaitu 7 bulan (Mei sampai dengan Nopember) sedangkan musim hujan hanya 5 bulan (Desember sampai dengan April). Curah hujan propinsi Nusa Tenggara Timur berkisar antara 697 – 2.737 mm/tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata tiap tahun antara 44 sampai 61 hari. Suhu udara rata-rata 27,6ºC, maksimum rata-rata 29º C dan suhu minimum rata-rata 26,1ºC (Sumber : Buku Prov. NTT Dalam Angka, Tahun 2007 BPS Prov. NTT). Kelembaban nisbi terendah terjadi pada musim Timur Tenggara (63-76%) yaitu bulan Juni sampai Nopember dan kelembaban tertinggi pada musim Barat Daya (82-88%) yaitu Desember sampai bulan Mei. Kondisi NTT yang musim kemaraunya lebih panjang ini menyebabkan rendahnya produksi hasil peternakan. Produksi peternakan sangat di pengaruhi oleh musim kemarau dimana pada musim kemarau hijauan maknan ternak tidak cukup tersedia di alam. Hal tersebut dapat juga berpengaruh pada ketersediaan air untuk hijauan makanan ternak, sebab air yang selalu ada dalam jumlah optimal sangat mendukung terhadap pertumbuhan, produktifitas, kualitas dan rutinitas hijauan makanan ternak. Selain itu air sangat penting dalam proses pembentukkan zat pengurai unsur hara di dalam tanah, khususnya pada lahan kering. Kekurangan pakan hijauan pada musim kemarau dapat menyebabkan terjadinya penurunan bobot badan ternak, penundaan lama birahi pada ternak betina, mudah terkena penyakit dan tingkat kematian tinggi terutama pada ternak yang baru dilahirkan dan ternak yang masih menyusui (lihat gmbr pada lampiran). Adapula hal-hal lain yang terkait dengan lahan kering di NTT antara lain topografi dan keadaan tanah (lihat gambar pada lampiran). Apabila dilihat dari topografinya, maka wilayah NTT dapat dibagi atas 5 bagian besar, yaitu : Agak berombak dengan kemiringan 3-16 %. Agak bergelombang dengan kemiringan 17-26 %. Bergelombang dengan kemiringan 27-50 %. Berbukuti-bukit bergunung dengan kemiringan lebih besar dari 50 %. Dataran banjir dengan kemiringan 0-30 %. Keadaan topografi yang demikian mempunyai pengaruh pula terhadap pola pengembangan peternakan. Tanah dengan kemiringan yang tinggi diperlukan upaya khusus dalam pengelolaannya.
  • 17. Sebab topografi tanah sangat berpengaruh terhadap kesuburan, efisiensi produksi, pengelolaan, komunikasi/transportasi, pengairan dan penggunaan alat-alat mekanisasi dan pemupukan. Keadaan tanah di NTT banyak yang berbatu-batu, sehingga sangat sulit digunakan sebagai lahan penanaman HMT. Namun hal ini dapat dimudahkan apabila didukung oleh sumber daya manusia untuk mengolahnya. Sehingga lahan yang berbatu-batu tersebut dapat digunakan sebagai areal penanaman hijauan makanan ternak. B. MEMANAJEMEN LAHAN KERING UNTUK PENGEMBANGAN PETERNAKAN Pemanfatatan lahan kering di daerah NTT memang sangat diharapkan oleh semua pihak, khususnya pemanfaatan di bidang pertanian peternakan. Sukses dan tidaknya usaha pengembangan sistem peternakan di lahan kering seperti NTT sangat dipengaruhi oleh kontribusi dari manusia dan sumber daya ternak itu sendiri, tanpa mengabaikan pakan bagi ternak. Hal utama yang perlu dilakukan adalah meningkatkan sumber daya manusia. Upaya-upaya dalam meningkatkan sumber daya manusia adalah konsekuensi yang baik, karena dengan demikian dapat membuka cara pemikiran yang cenderung memanfaatkan ternak tanpa memikirkan populasinya kedepan. Sumber daya yang dimaksud yaitu dengan menjalani pendidikan, sehingga dengan pendidikan dapat membuka wawasan dan cara berpikir yang bermanfaat. Selain itu juga dapat mengembangkan teknologi-teknologi baru yang mampu memperbaharui sistem peternakan lahan kering menjadi lebih optimal. Manusia perlu memanfaatkan lahan kering untuk digunakan sebagai sumber pakan bagi ternak. Misalnya pada musim hujan, manusia dapat memanfaatkan semaksimal mungkin pakan yang ada, memasuki musim peralihan menuju musim kemarau, pakan berupa hijauan dapat dibuat pakan awetan guna menjaga ketersediaan pakan dimusim kemarau, selain itu, juga pada musim peralihan ke musim panas, diharapkan dapat memanfaatkan lahan kering untuk menanam kembali berbagai jenis hijauan yang berpotensi tahan terhadap kekeringan. Apabila kebutuhan pakan ternak terjamin maka ternak tersebut dapat berkembang dan berproduksi dengan maksimal. Masyarakat juga perlu membatasi pemotongan ternak dalam skala besar dan untuk meningkatkan populasi ternak perlu melihat keadaan ternak yang ideal sebelum dipastikan untuk dilakukan pemotongan. Masyarakat juga perlu meninjau kembali budaya yang selama ini diaplikasikan, yang menyebabkan banyak ternak yang dibunuh, misalnya upacara- upacara adat, upacara kematian. Dan juga butuh peran pemerintah NTT untuk memberikan dukungan bagi petani peternak dalam mengembangkan usahanya, berupa modal, pendidikan serta penerapan tekhonologi baik tekhnologi pakan maupun tekhnologi untuk manajemen. Selain itu dengan keadaan topografi lahan di NTT yang kurang mamadai maka peran masyarakat adalah melakukan terasering (lihat gmbr pda lampiran). Dengan adanya terasering maka tanaman yang ada
  • 18. pada lahan tersebut dapat tumbuh subur tanpa adanya pengikisan pada musim hujan. Sehingga pupuk yang kita berikan untuk kesuburan tanaman tersebut dapat bermanfaat dan tidak terbuang sis- sia oleh air hujan. Usaha-usaha yang dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan pakan pada lahan kering yaitu, penerapan prinsip-prinsip rangeland managemen yang bertumpu pada upaya pengendalian vegetasi, pengendalian ternak dan pengendalian kesuburan tanah. Hal-hal yang dilakukan dalam penerapan prinsip diatas antara lain: Mengelola lahan kering yang ada dengan pemanfaatan SDM yang berwawasan IPTEK. Dengan adanya IPTEK yang ada, kita mengelola lahan kering tersebut menjadi lahan yang berdaya guna. Pengolahan tanah bertujuan untuk mempersiapkan media tumbuh optimum bagi tanaman. Dengan lahan kering yang ada diolah secara baik, sehingga dapat menjamin perkembangan sistem perakaran yang sempurna, menjamin peningkatan aviabilitas zat-zat, memperbaiki aerasi dan kelembaban tanah, memperbaiki kelestarian serta kesuburan tanah dan persediaan air. Selain itu perlu melakukan pemberantasan invasi tumbuh-tumbuhan pengganggu (gulma). Tentunya pada lahan kering yang baru diolah menjadi lahan HMT, biasanya ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan pengganggu yang dapat menghambat pertumbuhan dari HMT itu sendiri. Semak-semak yang mengganggu harus diberantas karena dapat mengurangi kapasitas tampung padang penggembalaan. Tumbuhan pengganggu tersebut dapat diberantas dengan jalan menyabit dan menggunakan herbisida selektif. Mengintroduksi rumput unggul, leguminosa, dan jagung, pada lahan kering yang telah diolah. Tindakan ini diperlukan guna mengatasi diskontinyutas suplai pakan bermutu sepanjang tahun, meningkatkan daya dukung pasture, memperbaiki status kesuburan tanah lewat simbiosa mutualisme antara akar legume dan bakteri rhyzobium guna memfiksasi N bebas dari udara, mengontrol gulma dan meningkatkan biodiversitas. Legum yang cocok untuk disebar di padang rumput adalah legume-legume yang mudah membentuk simbiosa dengan bakteri rhyzobium dan memiliki daya presistensi yang tinggi. Penanaman pada lahan kering yang telah diolah. Waktu penanaman hijauan makanan ternak yang paling baik adalah pada awal sampai pertengahan musim hujan agar pada musim kemarau berikutnya, akar tanaman hijauan makanan ternak tersebut diharapkan sudah cukup kuat untuk menahan kekeringan. Bibit yang dapat ditanam berupa stek batang, cuplikan rumpun dan biji. Untuk rumput-rumputan cara menanamnya adalah dengan menancapkan separuh dari stek batang kedalam tanah dengan posisi tegak miring, dengan jarak tanam 1x1 m. Hal penting yang harus diperhatikan sewaktu menanam stek batang adalah mata tunas tidak terbalik. Jika terbalik, akan mempengaruhi atau
  • 19. mengahambat pertumbuhan tanaman. Sementara, bila akan menanam cuplikan rumpun, pada tanah yang akan ditanami rumput gajah atau rumput raja harus dibuat lubang tanam terlebih dahulu sedalam 30 cm. Penanaman rumput gajah atau rumput raja pada tanah yang miring tidak membutuhkan pengolahan tanah terlebih dahulu. Namun, cukup dibuatkan lubang- lubang tanam yang sesuai dengan kontur tanahnya sehingga sekaligus dapat berfungsi sebagai penahanan erosi. Jarak tanam rumput gajah atau rumput raja di lahan miring adalah 100x50 cm. Penanaman pohon-pohon sebagai pakan pelengkap Pada padang penggembalaan di lahan kering diperlukan juga penyediaan naungan dan pakan pelengkap misalnya: telah dibuktikan bahwa produksi Axonopus compressus dibawah naungan pohon-pohon 20% lebih tinggi dan kandungan proteinnya lebih tinggi pula. Sehingga dengan adanya pepohonan dapat menyerap air hujan pada musim penghujan lewat perakaran, dan dapat membantu menjaga kelembaban tanah tersebut. Selain untuk naungan dan menjaga kelembaban tanah dapat juga dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Pohon-pohon yang perlu ditanam seperti Leucaena leucocephala (lamtoro), Sesbania grandiflora (turi),Tamarindus indicus (asam) dan Acacia leucocephloea (pilang) menghasilkan daun-daunan dengan kombinasi yang baik sekali untuk pakan ternak. Sebab daun-daun dari pohon diatas mengandung protein yang cukup tinggi, misalnya lamtoro kandungan proteinnya 36,80% dan turi kandungan proteinnya 46,62%. Bila jenis-jenis ini dipangkas pada saat yang tepat, daun- daunan tersebut juga akan dihasilkan dalam musim kering. Pengendalian ternak Salah satu bagian yang menyebabkan kerusakan lahan adalah sistem pengembalaan ternak secara bebas. Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat tahun 2003, luas lahan kritis di NTT mencapai sekitar 2.1 juta ha. Oleh karena itu, selain berupaya untuk menegakan aturan tentang tata ruang maka dipikirkan juga upaya untuk mengendalikan perumputan. Keutamaan dari pengendalian ternak adalah meciptakan ruang padang penggembalaan yang berimbangan diantara pencapaian produksi ternak dengan aspek sustainbability(keberlanjutan) dari pengunaan sumberdaya savana. Hal ini dapat dicapai dengan mengatur keseimbangan antara jumlah ternak dengan kemampuan lahan sehingga akan didapat tekanan penggembalaan yang optimum, membatasi daya jejah dan selektivitas penggembalaan. Pengendalian ternak dapat dilakukan melalui pengaturan stocking rate, pengaturan pola penggembalaan dan pengaturan distribusi ternak. Pengendalian kesuburan tanah Untuk meningkatkan kesuburan tanah pada lahan kering hal yang paling utama adalah sumber air. Suplai air diberikan untuk pertumbuhan tanaman terutama pada tanaman di lahan
  • 20. kering. Sumber air dapat berasal dari sumber air alami atau sumber air buatan. Bila air merupakan suatu factor pembatas dalam pembinaan padang rumput, maka pembuatan dam- dam, tangki-tangki tanah dan waduk-waduk dapat merintis perbaikan setempat. Selain air, pilihan pengendalian kesuburan tanah dengan pupuk buatan dapat dilakukan dari pemanfaatan feses ternak. Pemberian pupuk kandang maupun kompos akan sangat bermanfaat bagi kondisi fisik tanah, karena akan memperbaiki struktur tanah. Di samping itu dapat pula diberikan pupuk anorganik seperti KCl, SP 36 dan Urea, disesuaikan dengan jenis tanah setempat. Pada lahan kering yang telah diolah sebagai lahan HMT akan ditumbuhi tumbuhan pengganggu (gulma), dapat diberantas dengan jalan menyabit dan menggunakan herbisida selektif. Selain itu perbaikan kesuburan tanah dapat dilakukan dengan pola-pola seperti agroforestri sehingga serasah yang dihasilkan dapat membantu menaikkan tingkat kesuburan tanah. Upaya penyebaran leguminosa yang dapat mengikat N bebas dari udara juga merupakan cara biologis yang masuk akal (reasonable). Karena Nitrogen diperlukan oleh semua jenis-jenis rumput dan tidak dapat dipenuhi dengan jalan pemupukkan saja, maka perlu dipertimbangkan untuk menyebar biji-biji Stylosanthes gracilis(leguminosa) lewat udara. Karena bijinya sangat halus dan ringan maka perlu dibutirkan dengan tanah. Melakukan peremajaan. Padang penggembalaan permanen yang mundur atau terlantar di daerah iklim sedang biasanya diremajakan dengan jalan pembajakkan dan pembenihan baru dengan spesies rumput dan leguminosa yang unggul. Salah satu metoda yang tercepat di daerah-daerah tropika adalah mengganti rumput-rumput yang berproduksi rendah dengan spesies serta varietas rumput dan leguminosa yang lebih baik dan unggul. Penggunaan bajak harus dilakukan dengan hati-hati karena dapat menyebabkan bahaya erosi oleh hujan dan oleh angin. Metode lain yang kurang drastik dalam hal mempersiapkan persemaian adalah dengan jalan membajak jalur berjarak lebar, tempat biji disebarkan atau menggunakan alat penabur benih langsung pada padang penggembalaan bersangkutan. Keputusan menanam suatu jenis hijauan makanan ternak yang unggul perlu pertimbangan jenis yang sesuai dengan alam setempat dan sistem penyajian yang akan dilakukan. Faktor penentu dalam usaha pengembanan hijauan makanan ternak dan faktor yang perlu diperhatikan adalah: curah hujan, jenis tanah dan ketinggian di atas permukaan laut. Pakan awetan Penyediaan pakan awetan dalam bentuk hay, silase, tanaman makanan ternak atau “standing hay” adalah salah satu cara untuk meringankan tekanan penggembalaan terhadap padang rumput selama musim kemarau. Untuk menjamin ketersediaan HMT selama musim
  • 21. kemarau yang panjang terutama pada lahan kering, dapat diterapkan tekhnologi pengolahan pakan seperti pembuatan silase dan hay. Hay Hay adalah tanaman hijauan pakan ternak, berupa rumput-rumputan/leguminosa yang disimpan dalam bentuk kering berkadar air 20-30%. Prinsip dari pengeringan yaitu menurunkan kandungan air sehingga aman untuk disimpan dalam arti dapat menghentikan/menghambat aktifitas dari tumbuhan itu sendiri dan enzim dari mikrobia yang terdapat didalarnnya dan menurunkan kandungan air sehingga aman untuk disimpan Pembuatan hay bertujuan untuk menyeragamkan waktu panen agar tidak menganggu pertumbuhan pada periode berikutnya, sebab tanaman yang seragam akan memiliki daya cerna yang lebih tinggi. Tujuan khusus pembuatan hay adalah agar tanaman hijauan (pada waktu panen yang berlebihan) dapat disimpan untuk jangka waktu tertentu sehingga dapat mengatasi kesulitan dalam mendapatkan pakan hijauan pada musim kemarau. Hijauan yang akan diolah harus dipanen saat menjelang berbunga (berkadar protein tinggi, serat kasar dan kadar air optimal), sehingga hay yang diperoleh tidak berjamur yang akan menyebabkan turunnya palatabilitas dan kualitas (Subur, 2006). Di NTT limbah pertanian terutama jerami padi banyak diolah menjadi hay karena hasilnya berlimpah, tidak perlu menanam khusus tinggal mengumpulkan saja sehingga penggunaannya menjadi sangat popular, meskipun rendah nutrisinya. Silase Silase adalah proses pengawetan makanan yang dilakukan pada sebuah silo pada kondisi anaerob atau dengan kata lain silase adalah proses fermentasi yang dilakukan untuk mengawetkan hijauan makanan ternak dalam keadaan basah atau lembab. Tujuan pembutan silase adalah untuk mengantisipasi kekurangan hijauam makan pada musim kemarau dengan kualitas yang baik. Misalnya pada musim hujan, manusia dapat memanfaatkan semaksimal mungkin pakan yang ada, memasuki musim peralihan menuju musim kemarau, pakan berupa hijauan dapat dibuat silase guna menjaga ketersediaan pakan dimusim kemarau, selain itu juga pada musim peralihan ke musim panas, diharapakan dapat memanfaatkan lahan kering untuk menanam kembali berbagai jenis hijauan yang berpotensi tahan terhadap kekeringan. Selain itu system peternakan semi ekstensif dimana ternak dikandangkan dan digembalakan di padang penggembalaan juga dapat dilaksanakan. Padang pengembalaan (rumput sampai pohon) dapat tersedia dengan kualitas yang baik selama musim hujan walaupun berada pada lahan kritis. Di NTT mempunyai lahan yang cukup luas dan belum termanfaatkan sehingga dapat dijadikan sebagai padang penggembalaan.
  • 22. C. POTENSI TERNAK KERBAU DI LAHAN KERING Secara nasional peranan ternak kerbau cukup signifikan dalam menunjang program swasembada daging sapi tahun 2010, baik dilihat dari jumlah populasinya sebesar 2,2 juta ekor (sekitar 20% dari populasi sapi potong), maupun kontribusinya dalam produksi daging yaitu sebesar 39.503 ton atau ± 15% dari sapi potong. Sementara itu, kontribusi kerbau sebagai penghasil daging adalah sebesar 13,9% dari daging sapi di Kalsel (ROHAENI et al., 2008). Perkembangan ternak ini sangat lamban di NTT, salah satunya disebabkan oleh sulitnya penyediaan pakan hijauan pada saat kemarau panjang yang mengakibatkan kondisi ternak kurang baik sehingga produktivitasnya menurun (SURYANA, 2007). Disamping itu serta pemanfaatan teknologi pengolahan dan penyimpanan pakan belum banyak dilakukan peternak (SURYANA dan SABRAN, 2005). Menurut TARMUDJI (2003), tantangan yang dihadapi dalam pembangunan peternakan ruminansia besar adalah produktivitas dan reproduktivitas ternak yang masih rendah, serangan penyakit reproduksi dan produksi, skala usaha kecil dan tersebar, kurangnya jumlah dan kualitas pakan, keterampilan peternak yang masih rendah, teknik budidaya yang masih tradisional, hambatan sosial ekonomi dan berbagai kendala lainnya yang menyebabkan populasi ternak menurun. Produktivitas atau out put dari suatu wilayah dipengaruhi oleh komposisi ternak berdasarkan umur, jenis kelamin, kelahiran, kematian dan lamanya ternak dalam masa pembiakan (SUMADI, 2001).  POLA PEMELIHARAAN KERBAU Kerbau mempunyai peranan penting dalam kehidupan sosial ekonomi petani, yakni sebagai tabungan hidup, menunjang status sosial, sumber tenaga kerja, penghasil daging, susu dan pupuk (Diwyanto dan Subandriyo, 1995; Mahardika, 1996). Menurut Yusdja et al. (2003), populasi kerbau sebagai penghasil daging relatif lambat, sehingga produktivitasnya rendah. Perbaikan produktivitas kerbau yang dapat dilakukan adalah perbaikan mutu genetik melalui intensifikasi inseminasi buatan. Dalam rangka upaya meningkatkan produktivitas usaha ternak diperlukan adanya ketersediaan piranti-piranti pendukung seperti teknologi siap pakai dan mempunyai tingkat kelayakan yang memadai untuk mendukung proses produksi, dengan berpijak pada sumber daya ternak yang ada, dan peternak sebagai objek yang harus ditingkatkan keterampilannya (Isbandi dan Priyanto, 2004). Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa, kerbau memiliki kemampuan daya cerna terhadap serat kasar yang tinggi dan mampu memanfaatkan rumput berkualitas
  • 23. rendah serta menghasilkan berat karkas yang relatif tinggi dibandingkan sapi-sapi lokal, sehingga kerbau sangat potensial untuk produksi daging (Siregar, 2004). Pendapat lain menyebutkan bahwa kerbau mampu memanfaatkan pakan dengan kandungan protein rendah dan serat kasar tinggi secara lebih efisien dan mengubahnya menjadi produk daging dan susu yang berkualitas tinggi (Moran, 1978), serta tingkat resiko penyakit dan parasit relatif rendah (Baliarti dan Ngadiono, 2006). Menurut Sudirman dan Imran (2006), kerbau memiliki daya cerna serat kasar yang tinggi dan mampu memanfaatkan rumput berkualitas rendah untuk menghasilkan daging. Bobot karkasnya lebih tinggi dibandingkan sapi-sapi lokal sehingga kerbau sangat potensial untuk produksi daging. Sistem pemeliharaan kerbau di lahan kering/tegalan yang dilakukan petani/peternak antara lain mereka memelihara ternaknya dikandangkan seadanya dan pakan diberikan sesekali tanpa memperhatikan pakan tambahan atau konsentrat. Namun demikian, ternak kerbau mempunyai daya adaptasi yang baik dapat hidup dan bertahan serta berproduksi dengan baik walaupun masih lamban. Triwulanningsih (2008) menyatakan bahwa kerbau mempunyai daya adaptasi yang sangat tinggi. Kerbau dapat berkembang di daerah beriklim kering seperti di Nusa Tengara Barat dan Nusa Tenggara Timur, maupun pada lahan pertanian subur seperti di Pulau Jawa, lahan rawa di Kalimantan dan daerah pantai dari mulai Asahan sampai Sumatera Selatan. Pengaruh tidak langsung terjadi pada ketersediaan hijauan pakan ternak, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Menurut Keman (1986), temperatur sangat dipengaruhi oleh ketinggian tempat dari permukaan air laut, semakin tinggi permukaan maka semakin rendah suhu udaranya. Daya tahan terhadap suhu panas lebih rendah, karena kemampuan adaptasi terhadap lingkungan tendah. Zona comfort untuk kerbau berkisar antara 15,5-21 0 C, dengan curah hujan 500-2000 mm/tahun. Laporan lain menyebutkan bahwa zona yang paling ideal bagi ternak kerbau untuk hidup dan berkembang biak yaitu pada kisaran temperatur 16-24 0 C, dengan batas toleransi 27,6 0 C (Markvichitr, 2006). Untuk lebih meningkatkan potensi dan peranan ternak kerbau, Direktorat Jenderal Peternakan (2008), memberikan batasan operasionalisasi pengembangan usaha ternak kerbau yang dapat dilakukan yaitu: Pola pembinaan kelompok Pembentukan dan pengembangan kelompok diharapkan sebagai sarana pembelajaran, sebagai unit produksi, wadah kerjasama dan unit usaha. Pola kawasan
  • 24. Kawasan khusus pengembangan ternak kerbau, mempermudah pelayanan dan pemasaran, sebagai sentra pengembangan agribisnis, pembinaan dan pengembangan kelembagaan. Pola bergulir Dengan model Bantuan Langsung Masyarakat pada saatnya harus digulirkan kepada anggota/kelompok lain. Pola kemitraan Usaha kemitraan didefinisikan sebagai kerjasama antara usaha kecil dan menengah atau dengan usaha besar, disertai pembinaan dan pengembangan usaha dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Menurut Widyahartono dalam Hermawan et al. (1998) prinsip kemitraan ditandai oleh adanya azas kesejajaran kedudukan mitra, azas saling membutuhkan dan azas saling menguntungkan yang merupakan persetujuan antara dua atau lebih perusahaan untuk saling berbagi biaya, resiko dan manfaat. Menurut Makka (2005), pola kemitraan usaha bidang peternakan yang dapat dilaksanakan meliputi: 1) pola inti - plasma, yaitu hubungan kelompok dengan perusahaan, di mana perusahaan bertindak sebagai inti dan kelompok sebagai plasma, 2) pola sub kontrak adalah hubungan kelompok dengan perusahaan, dan kelompok memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan, 3) pola dagang umum yaitu hubungan kelompok dengan perusahaan, memasarkan hasil produksi kelompok atau sebaliknya kelompok memasok kebutuhan perusahaan, 4) pola keagenan adalah hubungan kemitraan, dimana kelompok diberi hak khusus untuk memasarkan, dan 5) pola kerjasama operasional agribisnis (KOA), kelompok menyediakan sarana produksi, sedangkan perusahaan hanya menyediakan modal atau sarana lainnya. Jamal (2008) mengemukakan bahwa yang paling layak diterapkan dalam strategi pengembangan ternak kerbau adalah dengan menerapkan pola pemeliharaan semi intensif, yaitu menyediakan padang penggembalaan terbatas dengan memanfaatkan lahan tidak produktif, ternak dilepas pada siang hari dan sore/malam hari dikandangkan. Untuk menambah pakan yang dikonsumsi selama di padang penggembalaan, peternak bersedia memberikan pakan tambahan (feed supplement) secara kontinyu tersedia di dalam kandang. Selanjutnya untuk mengubah perilaku peternak dari yang semula hanya melepaskan ternaknya di padang penggembalaan, mereka bersedia mengawasi ternaknya secara baik dan teratur. Strategi konservasi hijauan pakan ternak dapat diartikan sebagai upaya yang dapat menjamin ketersediaan pakan ternak ruminansia, terutama difokuskan pada pemberiannya selama musim kemarau (Nggobe, 2007).
  • 25. Pada musim kemarau kekurangan pakan merupakan suatu kendala dalam meningkatkan produktivitas ternak kerbau. Upaya konservasi hijauan pakan ternak (HPT) merupakan upaya untuk memenuhi sebagian kebutuhan pakan selama musim kemarau. Namun yang perlu diperhatikan adalah jenis hijauan perlu diseleksi berdasarkan kebutuhan dan ketahanan terhadap kekeringan (Nggobe, 2007). Sehingga diperoleh HPT yang lebih cocok dan dapat dikembangkan selanjutnya. Misalnya HPT yang cocok dengan salah satu tanaman palawija adalah tanaman pakan yang tidak berkompetisi dengan tanaman utama, baik dalam penggunaan unsur hara maupun cahaya matahari. Berdasarkan hasil penelitian Ratuwaloe dan Marandi dalam Nggobe (2007), menunjukkan bahwa kualitas rumput lebih baik pada kombinasi rumput+legum+jagung daripada rumput tanpa maupun dengan penggunaan pupuk. Salah satu jenis legum yang tahan terhadap kekeringan, dapat hidup dibawah naungan dan lahan yang tergenang serta memiliki pertumbuhan yang cepat dan sangat disukai ternak adalah Centrosema pubescens. Menurut Prawiradiputra et al. (2006), jenis rumput dan leguminosa yang cocok hidup pada setiap zona berbeda antara satu dengan lainnya, baik sebagai hijauan potongan maupun hijauan padang penggembalaan. Pada zona dataran sedang (200-700 di atas permukaan laut), yaitu rumput Pangola, Benggala dan Signal grass, sedangkan leguminosa adalah jenis Centrocema, Stylosanthes, Siratro dan Desmodium. Tanaman HPT yang dapat ditanam secara campuran. Ketersediaan hijauan sangat tergantung pada alam terutama pada pemeliharaan ternak yang dilakukan secara tradisional. Hijauan merupakan bahan pakan yang sangat mutlak diperlukan baik secara kuantitatif atau kualitatif sepanjang tahun dalam sistem produksi ternak ruminansia. Kualitas nutrien hijauan bagi kerbau tidak terlepas dari jenis rumput apa yang digunakan dan di jenis lahan apa ditanam, sehingga akan mencerminkan kecukupan, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Namun untuk lebih optimalnya dan untuk menjaga kelangsungan serta ketersediaan hijauan yang baik, perlu dilakukan beberapa upaya (Rohaeni et al., 2008), antara lain : Perlu dilakukan upaya penanaman hijauan lokal yang telah adaptif pada padang penggembalaan sehingga populasinya lebih besar Perlu diinformasikan kepada petani mengenai pentingnya rotasi padang penggembalaan Sosialisasi pemanfaatan limbah pertanian untuk mengatasi kesulitan pakan pada musim kemarau atau musin hujan yang panjang • Perlunya pembinaan kelompok bagi petani peternak kerbau, khususnya yang berada di daerah yang sangat terpencil.
  • 26. Sumber makanan ternak kerbau tergantung pada sistem usahatani di suatu daerah. Daerah yang mempunyai usahatani sawah, sumber pakan kerbau berasal dari hasil ikutan pertanian yang potensial. Sebaliknya bagi daerah yang mempunyai sistem usahatani lahan kering atau tegalan, pakan kerbau masih bergantung pada rumput alam dan sebagai kecil dari pemanfaatan limbah pertanian. Sebagian besar petani/peternak kerbau di Kalsel belum secara optimal memanfaatkan limbah pertanian untuk pakan ternak kerbau, sehingga di beberapa daerah masih dijumpai limbah pertanian yang terbuang. Selain itu, perlu dipertimbangkan kesesuaian dengan sistem usahatani yang dilakukan petani setempat (Ibrahim, 2003). Pemberian pakan dan legum menunjukkan peningkatan dan berdampak pada peningkatan populasi ternak yang dipelihara petani selama dua tahun. Wirdahayati dan Bamualim (2008), melaporkan bahwa pemberian pakan pada induk kerbau menyusui dengan komposisi daun gamal dan dedak halus secara signifikan dapat meningkatkan bobot badan induk. Kebutuhan.  PEMANFATAAN LIMBAH PERTANIAN Pemanfatan limbah pertanian sebagai bahan pakan kerbau masih belum banyak dilakukan peternak kerbau di lahan kering karerna pemeliharaan kerbau belum seintensif pemeliharaan sapi. Selain itu, para peternak dalam memelihara kerbaunya masih bergantung kepada lahan penggembalaan yang ada di sekitar kandang. Meskipun potensi limbah pertanian yang ada di Kalsel melimpah, namun pemanfaatannya belum optimal. Limbah pertanian seperti jerami padi sawah, dan jagung mendukuki peringkat terbanyak sebagai tanaman pertanian dilahan kering. Hal ini menunjukkan bahwa potensi limbah pertanian masih dapat diandalkan sebagai sumber pakan ternak kerbau, selain hijauan pakan utama dari rumput-rumputan. Di sisi lain, pemanfaatan limbah pertanian seperti jerami untuk ternak ruminansia terkendala dengan rendahnya kandungan protein kasar dan rendahnya tingkat kecernaan sehingga kemampuan mengkonsumsinya pun masih rendah. Pemanfaatan limbah pertanian untuk ternak ruminansia rata-rata sebesar 60-70%, dengan kadar protein kasar, bahan kering dan TDN yang berbeda-beda. Hal ini sangat erat hubungannya dengan kandungan serat kasar limbah dan tingkat daya cerna. Semakin tinggi kandungan serat kasar, maka semakin rendah tingkat daya cernanya. Pemberian pakan tambahan pada kerbau di musim kemarau sangat membantu dalam pemulihan kondisi ternak yang kekurangan pakan. Pakan tambahan yang memiliki kualitas
  • 27. nutrien baik, seperti legum pohon (turi, gamal, lamtoro, dll.), tersedia cukup banyak dan dapat diperoleh di sekitar lokasi peternakan. Selain lebih murah, tanaman legum pohon ini dapat bertahan didup dan bahkan tetap berproduksi dalam musim kemarau dengan perlakuan manajemen pemotongan yang teratur (Nulik et al., 2004 dalam Nggobe, 2007). D. INOVASI TEKNOLOGI UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU Perbibitan kerbau di Indonesia diarahkan pada kerbau Lumpur penghasil daging, karena daging kerbau dapat mensubstitusi kebutuhan daging sapi. Revitalisasi peternakan kerbau harus dilakukan karena di beberapa daerah tertentu di NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan, daging kerbau lebih disukai dan populer dibandingkan daging sapi. Kontribusi daging sapi dalam memasok kebutuhan daging nasional sekitar 23% dan sekitar 2,5% diantaranya berasal dari daging kerbau, berarti 10% dari total “produksi daging sapi” berasal dari kerbau (DIWYANTO dan HANDIWIRAWAN, 2006). Disamping itu pada beberapa daerah spesifik kerbau digunakan sebagai penghasil susu karena preferensi masyarakat setempat. Perkembangan ternak kerbau relatif lebih lambat dari pada sapi sebagai akibat dari kurangnya perhatian dari pemerintah dan tingkat reproduksi yang lebih rendah, karena kesulitan mendeteksi ternak betina yang birahi, masa kebuntingan yang relatif lebih lama (11 bulan) dibanding sapi (9 bulan) dan interval kelahiran yang lebih panjang. Namun demikian kerbau memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dengan pakan yang berkualitas rendah dibanding sapi. Berdasarkan data populasi ternak kerbau di Indonesia tidak mengalami peningkatan sementara jumlah pemotongan meningkat terus maka sudah saatnya penelitian dan pengembangan kerbau di Indonesia mendapat perhatian yang lebih serius. Penurunan produktivitas kerbau diduga karena adanya pengurasan pejantan, akibat pejantan yang baik selalu terjual ke pasar, sehingga pejantan yang tertinggal adalah pejantan muda yang harus melayani induk-induk yang memang dilarang dipotong. Kerbau sebagai sumber protein hewani (daging) dapat mencapai rata-rata pertambahan bobot badan sebesar 0,73 kg/ekor/hari (DITJENNAK, 2005). Namun demikian kebutuhan bibit kerbau yang bagus saat ini menjadi salah satu kendala terhambatnya perkembangan kerbau di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari bobot badan yang semakin rendah, banyaknya kerbau albino di beberapa daerah seperti di Banten dan Jawa Barat serta banyaknya kerbau lumpur yang bertanduk menggantung (TRIWULANNINGSIH et al., 2005). Padahal harga kerbau albino sering lebih rendah dibandingkan kerbau normal, tetapi
  • 28. karena kelangkaan pejantan yang berkualitas, maka kerbau albino maupun pejantan muda terus digunakan untuk melayani betina yang ada.  AGRO-EKOSISTEM Daya adaptasi kerbau sangat tinggi, sebagaimana terlihat dari penyebaran kerbau yang luas. Secara visual perkembangan kerbau di Indonesia menyebar di segala agroekosistem yang ada. Kerbau berkembang di daerah iklim kering di NTT dan NTB, lahan pertanian subur di Pulau Jawa, lahan rawa di Kalimantan dan daerah pantai dari Asahan sampai Sumatera Selatan. Kerbau juga berkembang di daerah pegunungan di Tapanuli Utara, Tengger dan sebagainya sampai dataran rendah di pinggir laut seperti di Banten, Tegal, Bengkulu (Kabupaten Muko-Muko) dan Brebes. Bahkan tanpa diurus, di Cagar Alam Baluran populasi kerbau mengalahkan perkembangan Banteng. Dari segi etnik dan agama juga tidak ada penghalang. Kerbau begitu tinggi nilainya bagi budaya masyarakat Minang, Batak, Toraja dan beberapa suku lain di NTB dan NTT. Dengan demikian pengembangan usaha peternakan kerbau dan wilayah agribisnis kerbau sangat luas hampir meliputi seluruh agrosistem dan sosio-budaya yang ada. Sarana dan prasarana dalam sistem agribisnis kerbau masih tertinggal jauh karena memang produksi belum masuk pada era usaha komersial melainkan masih dalam proses produksi bercorak “Zero input”. Belum ada pasar hewan kerbau, rumah potong kerbau, toko peternakan kerbau dan sebagainya yang dibutuhkan oleh suatu sistem agribisnis kerbau. Sistem produksi masih berada pada sistem tradisional yang lebih mengarah pada “Zero cost” bukan pada efisiensi usaha. Di sini terlihat bahwa usaha produksi belum berorientasi pada pasar. Dengan demikian potensi kerbau belum dapat dimaksimalkan sebagai penghasil daging, susu, kulit dan kompos sebagaimana yang diharapkan oleh perkembangan pasar dan sumbangan kerbau dalam membangun pertanian yang berkesinambungan dalam mensejahterakan rakyat. Baik hijauan maupun sisa hasil pertanian seperti jerami padi, jerami jagung yang dihasilkan di daerah tropis basah seperti kebanyakan daerah Indonesia, memiliki sifat kandungan serat kasar yang tinggi. Kerbau memiliki kemampuan menggunakan pakan berserat tinggi karena memiliki bakteri rumen spesifik. Hal ini memungkinkan daya saing dan keberlanjutan usaha karena penyediaan pakan akan lebih mudah. Hijauan berproduksi tinggi seperti rumput Gajah dan rumput Raja dapat digunakan dengan baik, sehingga keberlanjutan dari segi keterbatasan lahan usaha dapat diatasi. Tanaman alang-alang kalau dengan manajemen yang baik dapat dijadikan pastura bagi peternakan kerbau. Demikian pula jerami
  • 29. padi yang berlimpah apalagi dengan teknologi fermentasi menjadi pakan potensial bagi kerbau. Hampir seluruh agroekosistem yang ada di Indonesia berpotensi untuk pengembangan usaha peternakan dan wilayah agribisnis kerbau. Pola pengembangan usahatani dan wilayah agribisnis kerbau sangat cocok dengan usahatani ramah lingkungan. Keberadaan sumberdaya manusia baik sebagai konsumen berpotensi besar karena tidak ada hambatan selera, budaya maupun agama. Yang menjadi problem tentunya adalah pengetahuan dan ketrampilan baik masalah teknis maupun masalah manajemen (managerial skill).  INOVASI TEKNOLOGI Ternak kerbau dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu Kerbau Lumpur (Swamp Buffalo) dimana populasinya tersebar di Asia Tenggara, dan Kerbau Sungai (Riverine buffalo) yang terkonsentrasi di sekitar India, Pakistan, Afrika Utara, Italia dan Bulgaria. Jumlah kromosom di antara kedua jenis kerbau berbeda yaitu sebanyak 48 kromosom pada kerbau lumpur dan 50 kromosom pada kerbau sungai. Sebagian besar kerbau di Indonesia adalah Kerbau Lumpur dan hanya beberapa ratus ekor kerbau sungai dijumpai di Sumatera Utara. Kerbau Lumpur dijumpai mempunyai variasi yang cukup besar pada berat badan maupun warna kulit, sehingga dikenal dengan bermacam nama seperti kerbau Jawa, Aceh, Toraja, Kalang, Moa dan lain sebagainya. Kerbau Sungai dijumpai di Medan-Sumatera Utara sebanyak sekitar 1400 ekor pada tahun 2004, dan diperkirakan populasinya tidak meningkat karena intensitas perkawinan inbreeding yang tinggi dan kurangnya perhatian pemerintah untuk meningkatkan produksi ternak kerbau. Usaha untuk memasukkan darah baru belum memungkinkan sehubungan dengan upaya pencegahan penyakit. Namun karena keragaman kerbau lumpur di Indonesia yang cukup besar ini memungkinkan untuk dapat memilih kerbau terbaik dari suatu wilayah tertentu yang dapat dikawinkan dengan kerbau dari wilayah yang lain (outbreeding). Salah satu kelebihan kerbau yang selama ini dipercayai adalah kemampuannya untuk mencerna pakan yang mengandung serat kasar tinggi. Antara lain kerbau mampu mencerna jerami padi yang tersedia melimpah saat musim panen dan dapat disimpan sebagai cadangan pakan di musim kemarau. Dewasa ini, seiring dengan semakin berkembangnya teknologi, telah tersedia banyak pilihan teknologi reproduksi yang dapat diterapkan pada ternak, seperti intensifikasi kawin alam (INKA), inseminasi buatan (IB), fertilisasi in vitro (FIV), transfer
  • 30. embrio (TE), clonning, transfer gen, dan lain-lain. Pemilihan teknologi reproduksi yang akan diterapkan harus memperhatikan kondisi obyektif peternak, karena hal ini terkait dengan efektivitas dan efisiensi yang ditimbulkan akibat penerapan teknologi tersebut. Melihat kond77isi obyektif peternakan tradisional kita, maka untuk saat ini teknologi IB dan INKA adalah pilihan yang tepat dibandingkan dengan teknologi reproduksi lain. Penerapan teknologi reproduksi yang lebih mutakhir belum mendesak karena di samping tingkat keberhasilan yang masih rendah pada tingkat lapang, juga memerlukan tambahan biaya yang besar. Sinkronisasi (penyerentakan) estrus merupakan salah satu teknologi reproduksi yang sering diterapkan untuk mendukung keberhasilan program IB. Dengan teknologi ini sekelompok ternak yang memperoleh perlakuan khusus akan memperlihatkan gejala-gejala estrus dalam waktu relatif serentak sekitar dua hari setelah perlakuan. Sekelompok ternak betina yang estrus serentak akan memudahkan pelaksanaan IB yang pada akhirnya akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi manajemen peternakan secara keseluruhan. Penerapan teknologi sinkronisasi estrus dan IB secara simultan terhadap ternak dalam jumlah banyak akan meningkatkan efisiensi peternakan. Hal ini karena dalam waktu bersamaan peternak akan memiliki sekelompok ternak bunting, melahirkan, dan umur anak yang relatif seragam, sehingga memudahkan dalam proses pemeliharaan. Dengan demikian peternak juga dapat mengatur waktu yang tepat kapan melakukan proses perkawinan, terkait dengan permintaan pasar dan musim dimana ketersediaan pakan hijauan yang cukup saat melahirkan dan menyusui anaknya, sehingga diharapkan angka kematian pedet dapat dikurangi. Mahyuddin et al. (1995) melaporkan pada penelitiannya yang menggunakan kerbau Lumpur bahwa pada kelompok kerbau yang diberi konsentrat 1% dari bobot badan, dibandingkan tanpa konsentrat dan rumput Gajah diberikan ad libitum pada kedua kelompok selama delapan minggu, kemudian diberi prostaglandin (PGF 2α) untuk sinkronisasi estrus dan diinseminasi setelah 72 jam estrus. Ternyata pada kelompok kerbau yang hanya diberi rumput Gajah tanpa konsentrat hanya 50% yang menunjukkan aktivitas ovarinya, sementara pada kelompok yang diberi konsentrat 100% memberikan profil progesteron yang menandakan adanya aktifitas ovari. Untuk memperoleh keturunan dengan jenis kelamin yang diinginkan dapat dilakukan melalui perkawinan menggunakan semen hasil pemisahan sel spermatozoa pembawa kromosom penentu jenis kelamin (sexing spermatozoa). Dengan sexing, rasio spermatozoa pembawa kromosom X (betina) dan Y (jantan) yang awalnya 50:50 dapat dirubah menjadi sekitar
  • 31. 70:30 atau bahkan lebih. Pemisahan secara sederhana didasarkan pada perbedaan ukuran antara spermatozoa pembawa kromosom X dan Y. Ukuran spermatozoa pembawa kromosom Y lebih kecil dibandingkan dengan spermatozoa pembawa kromosom X. Hal pokok yang menyebabkan rendahnya angka kelahiran kerbau adalah kondisi induk kerbau yang kurang prima, karena kualitas pakan yang rendah dan serangan parasit yang tinggi, kecuali itu estrus lebih banyak terjadi pada malam hari, saat pejantan mungkin tidak berada pada kandang yang sama. Umur pertama kali dikawinkan dan umur mencapai bobot potong optimal yang lama, disebabkan kualitas nutrisi yang rendah dengan sistem pemeliharaan yang tradisional, yang hanya memberikan rumput alam tanpa pernah memberikan obat cacing (Siregar et al.,1997). Di Kalimantan Selatan, dikenal kerbau Kalang yang berfungsi hanya sebagai tabungan dan umumnya mencari makan di sungai dan kalau malam hari naik ke “kalang”. Di sini ada kendala, kalau musim hujan pakan relatif lebih sulit, karena banjir sehingga banyak menyebabkan kematian pada anak kerbau. Bila musim kering, pakan relatif lebih banyak. Penyebab kematian kerbau umumnya penyakit bakteri dan parasiter dan kecelakaan karena tidak dapat keluar dari lubang tempatnya berkubang. Sementara itu performans produksi dan reproduksi pada kerbau Kalang telah diamati oleh Putu et al.(1995), seperti tertera pada Tabel 2. Dikatakan bahwa peternakan kerbau Kalang masih perlu ditingkatkan secara massal untuk memanfaatkan agroekosistem rawa yang ada, sehingga memberikan nilai tambah bagi kesejahteraan penduduk di sekitarnya. Pada Tabel 2 tersebut terlihat bahwa perkawinan sesudah melahirkan antara 149 sampai 171 hari, hal ini terjadi karena lamanya penyapihan dan lamanya involusi uterus setelah melahirkan yang mungkin akibat kualitas pakan yang tersedia, akibatnya jarak beranak menjadi panjang, yaitu sekitar 16 bulan. Oleh sebab itu sistem perkawinan disesuaikan dengan musim di suatu lokasi, dimana pakan melimpah dan anak tidak kekurangan susu induk, sehingga kematian dini dapat dihindari.  ALTERNATIF PENGEMBANGAN Selama ini, usaha peternakan kerbau masih menguntungkan, terbukti dengan tetap dipeliharanya kerbau sebagai tabungan dan dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan besar. Di Bengkulu, ternak kerbau dipelihara ekstensif dan nyaris tidak tersentuh teknologi (“zero input”). Umumnya peternak sudah berpengalaman lama dalam pemeliharaan ternak kerbaunya karena merupakan usaha keluarga yang turun temurun. Disamping itu usaha ini mampu menghasilkan uang lebih banyak dibandingkan usaha tani lainnya. Kerbau dapat memanfaatkan pakan/serat kasar lebih baik dari pada sapi dan pupuknya sangat diharapkan untuk usaha pertanian lain serta biogas untuk keluarga petani.
  • 32. Dengan beternak kerbau dapat memanfatkan sumber tenaga kerja keluarga atau waktu senggangnya bagi usaha produktif yang akan dapat menunjang usaha penyediaan lapangan kerja. Peternakan kerbau rakyat masih mempunyai fungsi sosial yang amat penting, karena itu pengembangannya perlu mendapat lebih banyak perhatian. Misalnya melalui perbaikan manajemen perkawinan; baik melalui perkawinan alam maupun inseminasi buatan. Sistem pemeliharaan/ perkadangan per kelompok dengan beberapa pejantan yang bagus mutu genetiknya dengan perbandingan betina : jantan (20:1) atau dengan inseminasi buatan (200:1), sistem perkawinan yang teratur, sehingga diperoleh anak pada setiap bulan sekitar 200 ekor per kelompok, sehingga tiap tahun dapat diharapkan anak lepas sapih sekitar 175 x 12 = 2100 ekor (asumsi kematian anak 9 - 10%). Pengadaan pejantan unggul dalam satu wilayah/kelompok peternak kerbau pada lokasi yang strategis, sehingga mudah dijangkau oleh semua peternak dalam kelompok ternak tersebut. Kalau perkawinan secara alam, maka pejantan digilir minimum per dua bulan untuk setiap kelompok. Apabila usaha ini diikuti dengan sistem pemberian pakan yang bagus, maka kematian anak dapat dikurangi lagi. Misalnya dengan metode penanaman jagung (5 butir per lubang, pada umur sekitar 2 bulan diambil yang 3 batang untuk ternaknya) dan penanaman Glirisidia di sepanjang pematang sawah/kebun. Pemberian daun Glirisidia yang sudah dilayukan sebelumnya (10% dari hijauan) sangat tinggi proteinnya dan dapat mempertahankan kebuntingan, karena fungsi corpus luteum untuk memproduksi progesteron dapat dipertahankan,  PENDEKATAN KEGIATAN Beberapa pendekatan untuk mengatasi berbagai masalah usaha peternakan kerbau maka diperlukan berbagai kegiatan yang saling terkait dan mendukung antar berbagai instansi maupun disiplin ilmu antara lain adalah: 1. Penyuluhan pada petani peternak, tentang bagaimana cara beternak kerbau yang baik. Di lokasi padat ternak kerbau dibuat suatu ”demplot” yang melibatkan semua pihak (pemerintah, swasta, peternak kerbau). 2. Penyediaan fasilitas permodalan atau kredit dari Bank untuk pengembangan usaha beternak kerbau. Peternak yang sudah biasa memelihara ternak kerbau layak diberikan fasilitas kredit usaha peternakannya yang sekaligus akan merupakan sumber penghasilan yang lebih berarti bagi rakyat setempat. Disarankan prasyarat yang mudah, terutama bagi peternak kecil yang mampu melaksanakan breeding program dalam rangka Rural Credit Program antara lain: (1) Jangka waktu kredit 5 sampai 8 tahun, (2) Kredit diberikan untuk 5 ekor kerbau untuk breeding maupun
  • 33. untuk ternak kerja, (3) Peternak diharuskan menanam pakan ternak, sehingga kekuatiran tiadanya hijauan pada musim kemarau dapat dihindari (dapat dikaitkan dengan tanaman pangan lainnya, seperti jagung, sayuran dsb.). 3. Pelaksanaan pengembangan usaha peternakan haruslah dibuat terintegrasi dengan usaha pertanian lain (tanaman pangan atau perkebunan), sehingga pupuknya dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian tersebut dan limbah pertanian dapat dimanfaatkan oleh kerbau, seperti jerami padi yang tersedia melimpah saat panen. Pada perkebunan kopi yang umumnya ditanam Glirisidia sebagai tanaman pelindung, daunnya dapat digunakan sebagai salah satu sumber protein untuk kerbau. 4. Sistem perkawinan diatur dengan menggunakan pejantan unggul, sehingga setiap 15 bulan dapat dihasilkan anak kerbau yang sehat.  MODEL PENGEMBANGAN Adapun model pengembangan peternakan kerbau, antara lain dari cara pemeliharaannya yang selama ini extensive sebaiknya sudah harus dirubah menjadi semi intensive, dengan sedikit sentuhan teknologi dan tatalaksana pemeliharaan serta pengendalian penyakit, maka diharapkan usaha peternakan kerbau menjadi lebih menguntungkan. Hal ini tercermin dari tujuan peternak memelihara kerbau adalah untuk menyimpan uang (saving). Peternak sudah sangat berpengalaman dalam memelihara kerbau, karena sudah merupakan usaha turun temurun. Diharapkan pemeliharaan kerbau dapat terintegrasi dengan kegiatan pertanian yang lain Kerbau jantan yang akan dijual sebaiknya digemukan terlebih dahulu baru dijual. Sebagai contoh suatu perusahaan penggemukan kerbau di Sukabumi, dimana kerbau berasal dari Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan sekitarnya. Rata-rata bobot badan awal 282 kg dan setelah dipelihara selama 83 hari dengan pemberian pakan jerami padi dan diberi probiotik, bobot badannya meningkat menjadi rata-rata 400 kg, berarti pertambahan obot badan per hari sekitar 1,42 kg; ini suatu bukti bahwa untuk kerbau yang berasal dari daerah dimana pakan sulit, setelah dipelihara intensif dapat lebih menguntungkan dibanding sapi. Analisis Cash Flow Tabel 3 ini adalah suatu contoh model analisa usaha inovasi teknologi perbibitan dan penggemukan sapi potong di Kalimantan Barat yang dapat dijadikan acuan bagi pengembangan kerbau. Usaha penggemukan bergulir setiap 3 bulan, sehingga peternak mendapat dana segar setiap 3 bulan, disamping itu usaha pembibitan terus dijalankan.
  • 34. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Lahan kering di NTT sangat penting untuk dikembangkan karena menyimpan potensi yang begitu besar untuk diolah dan dimanfaatkan demi kepentingan khalayak ramai 2. Pengembangan peternakan khususnya ternak kerbau memiliki potensi yang sangat baik untuk dikembangakan di daerah lahan kering dengan memanfaatkan sumber-sumber daya local yang ada 3. Pengelolaan ternak kerbau di daerah lahan kering penting untuk mengintroduksi teknologi-teknologi yang sudah ada agar dapat mengoptimalisasi potensi yang dimiliki ternak kerbau untuk kepentingan manusia. SARAN Dibutuhkan pengkajian lebih lanjut dari referensi – referensi terkait untuk mencari prospek pemeliharaan ternak kerbau yang terbaik di daerah lahan kering
  • 35. DAFTAR PUSTAKA Aisiyah, N. 2000. Studi Ukuran Tubuh Sapi Madura Di Desa Samaran, Kecamatan Tambelayan, Kabupaten Sampang, Madura. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Basuki, P. 1998. Dasar Llmu Ternak Potong Dan Kerja. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. BRADFORD, G.E. Dan Y.M. BERGER. 1990. Breeding Strategies For Small Ruminants In Arid And Aemi Arid Areas. In E.F. THOMSON And F.S THOMSON (Eds). Increasing Small Ruminants Productivity In Semi Arid Ares. Elsevier. 95-109. Chantalakhana, C . 1981. A Scope On Buffalo Breeding. Buffalo Buletin. 4(4):224- 242. CHATALAKHANA, C. 1994. Swamp Buffalo Development In The Past Three Decades And Sustainable Production Beyond 2000. Long Them Improvement Of The Buffalo Proceeding Of The Fors ABA Congress BPRADEC. Bangkok. Cockrill, W. 1974. The Husbandry And Health Of The Domestic Buffalo: The Buffalo Of Indonesia. Food And Agriculture Organization Of The United Nations, Rome. DAUD, M.J. Dan M.K.M. YUSUF. 1983. Supple-Mentation With Selected Feedstuffs For Sheep Grazing Under Rubber Plantations. Proceedings Of The 7th Annual Converence Of Malaysian : 199 – 205. Departemen Pertanian. 2008. Road Map Perbibitan Ternak. Direktorat Perbibitan, Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. Dilaga, S. H. 1987. Suplemensi Kalsium Dan Fosfor Pada Kerbau Rawa Kalimantan Tengah Yang Mendapat Ransum Padi Hiang (Oryza Sativa Forma Spontanea). Tesis. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Diwyanto, K. 1982. Pengamatan Fenotip Domba Priangan Serta Hubungan Antara Beberapa Ukuran Tubuh Dengan Bobot Badan. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
  • 36. Dwiyanto, K. Dan Subandryo, 1995. Peningkatan Mutu Genetik Kerbau Lokal Di Indonesia. Lokakarya Nasional Pengembangan Ternak Kerbau Di Indonesia, Bogor. Proc. Seminar Penelitian Peternakan, Puslitbangnak-Bogor : 156 – 160. Fahimuddin, M. 1975. Domestic Water Buffalo. Oxford And IBH Publishing. Co. G G Joupath, New Delhi. Guzman, M. R. 1980. An Overview Of Recent Development In Buffalo Research And Management In Asia. Dalam: Buffalo Production For Small Farms. ASPAC, Taipei. HARDJOPRANOTO, S. 1982. Kasus-Kasus Infertilitas Pada Kerbau Lumpur Di Jawa Timur. Proc. Seminar Penelitian Peternakan, Puslitbangnak-Bogor. Hardjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Airlangga University Press, Surabaya. Hasinah, H. Dan Handiwirawan. 2006. Keragaman Ganetik Ternak Kerbau Di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Peternakan, Bogor. HENDRATNO, L., SUKARYONO, Z. ABIDIN, R. BAHARUDDIN Dan J.M. OBST. 1981. Penggunaan Dedak Dibandingkan Dengan Bungkil Kedelai Sebagai Konsentrat Pada Kerbau Yang Diberi Makan Rumput Lapangan. Lendhanie, U. U. 2005. Karakteristik Reproduksi Kerbau Rawa Dalam Kondisi Lingkungan Peternakan Rakyat. Kalimantan Selatan. Bioscientiae. Vol. 2 No 1. Januari:43-48. Mason, I. L. 1974. Species, Types And Breeds. Dalam: Cockrill, W. R. (Editor). The Husbandry And Health Of Domestic Buffalo. Food And Agriculture Organization Of The United Nations, Rome. Mongkopunya, K. 1980. Reproductive Failures In Swamp Buffaloes In Thailand. Dalam: Buffalo Production For Small Farms. ASPAC, Taipei. National Research Council, 1981. The Water Buffalo: New Prospects For An Underutilized Animal. National Academy Press, Washington, D. C. Parakkasi, A. 1997. Ilmu Nutrisi Dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia, Jakarta.
  • 37. Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reproduksi Ternak. Fakultas Kedokteran Veteriner Institut Pertanian Bogor. Mutiara, Jakarta. Saleh, A. R. 1982. Korelasi Antara Bobot Badan, Lingkar Dada Lebar Dada Tinggi Pundak, Panjang Badan, Dan Dalam Dada Pada Sapi Ongole Di Pulau Sumba. Media Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sosroamidjojo, M. S. Dan Soeradji. 1990. Peternakan Umum. CV Yasaguna, Jakarta. TRIYANTINI Dan C.H. SIRAIT. 1988. Larutan Asam Untuk Memperpanjang Masa Simpan Daging Sapi, Proceeding Pertemuan Ilmiah Ruminansia, Bogor 8-10 Nevember 1988 : 246-251.