Makalah program pengembangan_peternakan_kerbau_di_kawasan_semi_arid_by_made_sudarma
1. MAKALAH
MANAJEMEN SUMBER DAYA PETERNAKAN
„Program Pengembangan Peternakan Kerbau
di Kawasan Semi Arid‟
NAMA : I MADE ADI SUDARMA
NIM : 1211010006
SEMESTER : I (SATU)
PRODI : ILMU PETERNAKAN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2012
2. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagian besar lahan yang ada di Indonesia berupa lahan kering. Lahan kering biasa
didefinisikan sebagai dataran tinggi yang lahan pertaniannya lebih banyak menggantungkan diri
pada curah hujan. Lahan kering mempunyai potensi yang cukup luas untuk dikembangkan, dengan
luas yang mencapai 52,5 juta ha (Haryati, 2002) untuk seluruh indonesia maka pengembangan
sangat perlu dilakukan.
Nusa Tenggara Timur memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai sentra
peternakan nasional berbasis lahan kering. Pengembangan peternakan berbasis lahan kering di
daerah beriklim kering seperti NTT juga bisa dijadikan model pembangunan peternakan di masa
mendatang. Model ini akan efektif menekan angka kemiskinan dan pengangguran serta mengurangi
ketergantungan terhadap ternak impor dan mendorong kemandirian pangan nasional.
Ternak kerbau memiliki potensi untuk dikembangkan di daerah lahan kering selain ternak
sapi untuk menunjang produksi daging sapi di Indonesia umumnya maupun di NTT khususnya.
Ternak kerbau merupakan ternak ruminansia yang mampu memanfaatkan tanaman rerumputan
sebagai makanan utamanya untuk menghasilkan daging yang sangat dibuthkan oleh manusia.
Pengelolaan ternak kerbau didaerah lahan kering sangat penting untuk diperhatikan agar dapat
dioptimalkan potensi yang dimiliki oleh ternak kerbau demi kepentingan hidup manusia. Adapun
teknik – teknik dan program yang perlu di perhatikan dalam menunjang pengembangan ternak
kerbau dilahan kering perlu dikaji lebih lanjut agar diperloleh suatu sistematika pemeliharaan yang
jelas dan terpadu sehingga dapat dimanfaatkan oleh peternak di daerah lahan kering.
B. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui pola pemeliharaan ternak kerbau
dilahan kering yang paling efisien dilakukan dan dapat dipraktekkan oleh peternak di daerah
lahan kering.
C. Metode Pengambilan Data
Metode pangambilan data yang digunakan yaitu metode pengumpulan data dari berbagai
sumber yang dijadikan referensi dalam pembuatan makalah ini.
3. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. LAHAN KERING
Lahan kering umumnya terdapat didataran tinggi (daerah pegunungan) yang ditandai dengan
topografinya yang bergelombang dan merupakan daerah penerima dan peresap air hujan yang
kemudian dialirkan kedataran rendah, baik melalui permukaan tanah (sungai) maupun melalui
jaringan bumi air tanah. Jadi lahan kering didefinisikan sebagai dataran tinggi yang lahan
pertaniannya lebih banyak menggantungkan diri pada curah hujan. Lahan kering diterjemahkan dari
kata “upland” yang menunjukkan kepada gambaran “daerah atas” (Hasnudi dan Saleh, 2006, dalam
www.MichaelRiwuKaho.blogspot.com).
Hingga saat ini takrif pengertian lahan kering di Indonesia belum disepakati benar. Di dalam
bahasa Inggris banyak istilah-istilah yng dipadankan dengan lahan kering seperti upland, dryland
dan unirrigated land, yang menyiratkan penggunan pertanian tadah hujan. Istilah upland farming,
dryland farming dan rainfed farming dua istilah terakhir yang digunakan untuk pertanian di daerah
bercurah hujan terbatas. Penertian upland mengandung arti lahan atasan yang merupakan lawan
kata bawahan (lowland) yang terkait dengan kondisi drainase (Tejoyuwono, 1989) dalam Suwardji
(2003). Sedangkan istilah unirrigated land biasanya digunakan untuk teknik pertanian yang tidak
memiliki fasilitas irigasi. Namun pengertian lahan tidak beririgasi tidak memisahkan pengusahaan
lahan dengan system sawah tadah hujan.
Untuk menghilangkan kerancuan pengertian lahan kering dengan istilah pertanian lahan
kering Tejoyuwono (1989) dalam Suwardji (2003) menyarankan beberapa pengertian sebagai
berikut:
untuk kawasan atau daerah yang memiliki jumlah evaporasi potensial melebihi jumlah curah
hujan actual atau daerah yang jumlah curah hujannya tidak mencukupi untuk usaha pertanian
tanpa irigasi disebut dengan “Daerah Kering”.
untuk lahan dengan draenase alamiah lancar dan bukan merupakan daerah dataran banjir,
rawa, lahan dengan air tanah dangkal, atau lahan basah alamiah lain istilahnya lahan atasan
atau Upland.
untuk lahan pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan, istilahnya lahan kering.
Kesepakatan pengertian lahan kering dalam seminar nasional pengembangan wilayah lahan
kering ke 3 di Lampung : (upland dan rainfed) adalah hamparan lahan yang didayagunakan tanpa
penggenangan air, baik secara permanen maupun musiman dengan sumber air berupa hujan atau air
4. irigasi (Suwardji, 2003)). Definisi yang diberikan oleh soil Survey Staffs (1998) dalam Haryati
(2002), lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air selama
periode sebagian besar waktu dalam setahun. Tipologi lahan ini dapat dijumpai dari dataran rendah
(0-700 m dpl) hingga dataran tinggi (> 700m dpl). Dari pengertian diatas, maka jenis penggunaan
lahan yang termasuk dalam kelompok lahan kering mencakup: lahan tadah hujan, tegalan, lading,
kebun campuran, perkebunan, hutan, semak, padang rumput, dan padang alang-alang.
Lahan kering mempunyai potensi yang cukup luas untuk dikembangkan, dengan luas yang
mencapai 52,5 juta ha (Haryati, 2002) untuk seluruh indonesia maka pengembangan sangat perlu
dilakukan. Menurut Simposium Nasional tentang Lahan Kering di Malang (1991) penggunaan
lahan untuk lahan kering berturut adalah sebagai berikut: hutan rakyat, perkebunan, tegalan, tanah
yang sedang tidak diusahakan, ladang danpadang rumput.
Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan
sebagai sentra peternakan nasional berbasis lahan kering. Pengembangan peternakan berbasis lahan
kering di daerah beriklim kering seperti NTT juga bisa dijadikan model pembangunan peternakan di
masa mendatang. Model ini akan efektif menekan angka kemiskinan dan pengangguran serta
mengurangi ketergantungan terhadap ternak impor dan mendorong kemandirian pangan nasional.
Hal itu terungkap dalam seminar dan lokakarya nasional Pengembangan Industri Peternakan
Berkelanjutan Berbasis Sistem Pertanian Lahan Kering Menuju Kemandirian Pangan Nasional yang
digelar Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang bersama harian Suara Pembaruan (SP) di
Kupang, NTT, Jumat (2/12). Seminar yang dipandu Pemimpin Redaksi SP dan Investor Daily
Primus Dorimulu itu menghadirkan pembicara Rektor Undana Frans Umbu Datta, Gubernur NTT
Frans Lebu Raya, Ketua Komite Tetap Agribisnis Peternakan Kadin Indonesia Juan Permata Adoe,
serta Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Kementan Bess Tiesnamurti.
Lahan kering di NTT dapat dimanfaatkan sebagai areal untuk penanaman hijauan makanan
ternak disamping sebagai areal tanaman pertanian, sehingga potensi pembangunan peternakan yang
diharapkan untuk mengembalikan NTT sebagai gudang ternak seperti yang dicanangkan oleh
Gubernur NTT, dapat berjalan sesuai rencana. Pembangunan peternakan di NTT terhambat karena
ketersediaan pakan yang kurang memadai akibat adanya lahan tidur dan lahan kering yang tidak
dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat petani peternak sebagai lahan yang berdayaguna
baik untuk peternakan maupun pertanian. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk meningkatkan
produktivitas lahan kering di NTT dan mengurangi resiko kegagalan agar sector peternakan di NTT
tetap bertahan dan dapat meningkatkan kesejahteraan petani peternak. Hal ini dapat dilakukan
dengan manajemen dan tekhnologi yang mampu mengatasi permasalahan adanya lahan kering di
5. NTT sebagai salah satu faktor kurangnya ketersedian pakan bagi ternak. Jika pengelolaan lahan
kering tepat dan sejauh mungkin mencegah dan mengurangi kerusakan dan dapat menjamin
kelestariannya akan membawa manfaat besar untuk mendukung usaha di sector peternakan yang
berkelanjutan dan juga dapat mendukung usaha pertanian.
B. TERNAK KERBAU
Ternak kerbau memegang peranan yang sangat penting bagi status sosial budaya
masyarakat pedesaan di Propinsi Jambi. Sejak dahulu, masyarakat berpendapat bahwa apabila
seseorang memiliki ternak kerbau maka dianggap sebagai orang yang memiliki harta
banyak dan berderajat tinggi. Sehingga ternak kerbau dimanfaatkan pada acara-acara tertentu
sebagai simbol kebesaran seperti acara perkawinan yang dikenal dengan sebutan
“potong kerbau”, yang dilaksanakan secara adat setempat.
Perkembangan populasi ternak ruminansia secara nasional mengalami penurunan sebesar
4,1% per tahun (Kusnadi, 2006). Begitu juga dengan ternak sapi dan kerbau di Propinsi Jambi
mengalami penurunan yang cukup tinggi (Dinas Peternakan Propinsi Jambi, 2006). Dengan
permintaan daging yang semakin meningkat, diperlukan upaya untuk meningkatkan populasi.
Sebaiknya Pemerintah mencari langkah-langkah terobosan sehingga mencapai keseimbangan
antara produksi dan permintaan. Hingga saat ini Propinsi Jambi masih mendatangkan ternak
potong dari daerah lain, mencapai 25.654 ekor per tahun (Dinas Peternakan Propinsi Jambi,
2005).
Dalam periode yang sama produksi daging telah naik rata-rata 9,2% per tahun. Dalam
pada itu telah terjadi pergeseran produksi daging, dimana sumbangan daging sapi menurun dari
23,52% menjadi 21,96%. Penurunan daging sapi disubstitusikan oleh daging unggas yaitu
mengalami peningkatan dari 56,58% menjadi 60,73% (Direktorat Jendral Peternakan, 2005).
Dengan peningkatan permintaan akan daging secara langsung harus diikuti oleh peningkatan
produksi ternak sebagai penghasil daging.
Dwiyanto dan Subandrio (1995), melaporkan sistem pemeliharaan ternak kerbau umumnya
masih tradisional dengan penguasaan lahan yang kurang ekonomis, kualitas pakan
yang rendah, terbatasnya pengetahuan peternak tentang reproduksi dan belum diterapkan
teknologi tepat guna.
Masalah utama untuk meningkatkan populasi adalah melalui pengontrolan
pengeluaran dan pemotongan betina produktif di tingkat lapangan. Saat ini pengeluaran dan
pemotongan kerbau betina produktif sulit dikendalikan karena adanya penawaran dan
6. permintaan. Padahal salah satu cara untuk mempercepat peningkatan populasi dengan
dropping sapi bibit yang diawasi secara berkesinambungan seperti yang telah dilakukan
International Fund for Agricultural Develovmen (IFAD) pada tahun 1980-an, yang dianggap
berhasil dalam upaya peningkatan populasi ternak sapi di Jambi.
Untuk mengoptimalkan penggunaan lahan sebenarnya ternak kerbau dapat diintegrasikan
dengan perkebunanan kelapa sawit dan karet, pada tanaman berusia di atas 6 tahun. Banyak
keuntungan apabila ternak kerbau diintegrasikan dengan perkebunan sawit dan karet,
memanfaatkan rumput yang tumbuh di antara tanaman utama sebagai pakan dan dijadikan
tenaga kerja untuk alat transportasi tandan buah segar (TBS) sawit. Sebenarnya kemampuan
ternak kerbau untuk mengkonsumsi pakan lebih baik dari ternak sapi. Devendra (1985)
mengemukakan bahwa kerbau mampunyai kemampuan lebih baik memanfaatkan hijauan yang
berkualitas rendah dari pada sapi.
Reproduksi ternak kerbau Keberhasilan pemeliharaan ternak kerbau dapat diukur dengan
kemampuan ternak untuk menghasilkan anak dalam periode tertentu, dimana semakin pendek
jarak kelahiran ternak kerbau maka reproduksi ternak semakin baik.
Untuk ternak kerbau di Propinsi Jambi, menurut beberapa laporan jarak kelahiran
adalah 18-24 bulan. Gambar 3 (kasus di Desa Mersam) memperlihatkan bahwa anak yang
diperkirakan berumur 1,5 tahun masih menyusui dengan induknya, hal ini mengindikasikan
reproduksi ternak kerbau di tingkat petani masih lambat sebagai mana yang dilaporkan oleh
Putu (1992). Beberapa masalah pengembangan ternak kerbau di Indonesia antara lain adalah
pemasaran daging kerbau, pertumbuhan yang lambat, calving interval yang panjang dan
program seleksi bibit yang belum terarah.
Untuk merubah pola pemeliharaan lepas ke arah sistem semi intensif diperlukan
pengkajian sosial budaya petani untuk memasukan teknologi baru seperti IB,
teknologi pakan musim kemarau, seleksi bibit dan teknologi lainnya.
C. PARAMETER PRODUKSI DAN PRODUKTIFITAS TERNAK KERBAU
Kerbau (Bubalus bubalis Linn.) adalah ruminansia besar yang mempunyai potensi tinggi
dalam penyediaan daging. Kerbau merupakan ternak asli daerah panas dan lembab, khususnya
daerah belahan utara tropika (Deptan, 2008). Kerbau ditinjau dari habitatnya, digolongkan dalam
dua tipe, yaitu: swamp bufallo dan river bufallo. Swamp buffalo (kerbau rawa) tipe habitatnya
adalah area daerah rawa yang tempat berkubangnya di lumpur, sedangkan river buffalo (kerbau
sungai) menetap di daerah basah dan lebih suka berenang di sungai atau kolam yang dasarnya
7. keras. Kerbau sungai umumnya tipe kerbau penghasil susu, sedangkan kerbau rawa merupakan tipe
penghasil daging (Fahimuddin, 1975).
Indonesia mempunyai berbagai bangsa kerbau yang karena lama terpisah dari tempat asalnya
kemudian beradaptasi dengan lingkungan setempat dan diberi nama sesuai dengan nama tempat
seperti Kerbau Pampangan (Pampangan/Sumsel), Kerbau Binanga (Tapsel/Sumut), Kerbau rawa
(di Sumatera dan Kalimantan), Kerbau Benuang (Bengkulu), Kerbau Belang Tana Toraja
(Sulsel), Kerbau Sumbawa (NTB), Kerbau Sumba (NTT), Kerbau Moa (Maluku) dan lain-lain yang
sebenarnya termasuk dalam bangsa kerbau lumpur (swamp buffalo) (Talib, 2008). Kerbau rawa
banyak terdapat di daerah Asia Tenggara. Kerbau ini tampak lebih liar dibandingkan dengan
kerbau tipe sungai. Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa kerbau rawa merupakan kerbau yang
berbadan pendek, besar, bertanduk panjang, memiliki konformasi tubuh yang berat dan padat, dan
biasanya berwarna abu-abu dengan warna yang lebih cerah pada bagian kaki. Warna yang lebih
terang dan menyerupai garis kalung juga terdapat di bawah dagu dan leher. Kerbau rawa tidak
pernah berwarna coklat atau abu-abu coklat sebagaimana kerbau sungai (Mason, 1974).
Ciri-ciri dari bagian muka adalah dahi datar, muka pendek, moncong lebar dan terdapat bercak
putih di sekitar mata. Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa kerbau rawa jantan memiliki bobot
dewasa 500 kg dan kerbau betina 400 kg dengan tinggi pundak jantan dan betina adalah 135
dan 130 cm. Menurut Chantalakhana (1981), kerbau rawa dewasa di Indonesia memiliki
tinggi rata-rata 127-130 cm untuk kerbau jantan dan 124-125 cm untuk kerbau betina. Kerbau rawa
mempunyai kemampuan berenang jauh serta menyelam cukup dalam di dalam air.
Cara kerbau dewasa berenang adalah kedua kaki belakangnya bertumpu di tanah dan
mendorong tubuhnya ke depan, sementara kaki depannya digunakan untuk mengayuh
atau mendayung. Hal ini kemungkinan merupakan salah satu penyebab kedua kaki depan
kerbau rawa punya perototan yang lebih kekar dibandingkan kaki belakang (Dilaga, 1987).
Produktivitas Ternak
Produktivitas ternak ditinjau dari dinamika populasi diartikan sebagai perkembangan
populasi ternak dalam periode waktu tertentu (umumnya satu tahun) dan sering dinyatakan dalam
persentase (%), apabila dibandingkan dengan populasi ternak secara keseluruhan (Basuki, 1998).
Produktivitas kerbau rawa di Indonesia pada umumnya rendah yang disebabkan oleh beberapa
kendala, antara lain: peranan kerbau pada sistem usaha tani tradisional, pengusahaan lahan yang
kurang ekonomis, kurangnya modal, sangat terbatasnya bibit unggul, kualitas pakan yang
rendah, kurangnya pengetahuan petani terhadap produksi kerbau. Kendala-kendala tersebut
dapat diminimalisasi dengan program jangka panjang terutama dalam bidang reproduksi dan
8. pemuliaan ternak kerbau (Dwiyanto dan Subandryo, 1995). Produktivitas ternak potong
dipengaruhi oleh struktur populasi ternak, natural increase (angka pertambahan alami), angka
panen (calf crop), mortalitas sesudah lepas sapih dan masa aktivitas reproduksi (melahirkan) bagi
induk (Basuki, 1998).
Reproduksi
Daya reproduksi didefinisikan sebagai kemampuan seekor ternak untuk menghasilkan
anak selama hidupnya. Daya reproduksi kelompok ternak yang tinggi disertai dengan pengelolaan
ternak yang baik akan menghasilkan efisiensi produksi yang tinggi pula. Laju peningkatan
populasi ternak akan menjadi lebih cepat bila efisiensi reproduksinya lebih baik dan rendahnya
angka gangguan reproduksi. Tinggi rendahnya efisiensi reproduksi sekelompok ternak
ditentukan oleh lima hal, yaitu: l) angka kebuntingan (conception rate), 2) jarak antar
melahirkan (calving interval), 3) jarak waktu antara melahirkan sampai bunting kembali (service
period), 4) angka perkawinan per kebuntingan (service per conception), dan 5) angka
kelahiran (calving rate) (Hardjopranjoto, 1995). Efisiensi proses reproduksi pada water buffalo
berhubungan erat dengan jumlah faktor yang dikontrol oleh heriditas dan lingkungan. Kendala
reproduksi diantaranya adalah lambatnya angka pertumbuhan, keterlambatan pubertas, musim
kawin, tingginya umur beranak pertama, panjangnya calving interval, dan lain-lain. Hal yang
menjadi masalah utama dari beternak kerbau (Fahimuddin, 1975). Menurut Cockrill (1974),
kerbau rawa mampu menghasilkan anak 10-15 ekor selama hidupnya dan dapat hidup sampai 25
tahun.
Pubertas
Pubertas atau dewasa kelamin dapat didefinisikan sebagai umur atau waktu organ-organ
reproduksi mulai berfungsi dan perkembangbiakan terjadi. Pubertas tidak menandakan kapasitas
reproduksi yang normal dan sempurna yang masih akan tercapai kemudian. Pubertas pada hewan
jantan ditandai dengan kemampuan hewan untuk berkopulasi dan menghasilkan sperma di samping
perubahan-perubahan kelamin sekunder lain, sedangkan pada hewan betina ditandai dengan
terjadinya estrus dan ovulasi. Estrus dan ovulasi pertama disertai oleh kenaikan ukuran dan
berat organ reproduksi secara cepat (Toelihere, 1981).
Pubertas terjadi karena dipengaruhi oleh faktor hewannya diantaranya, yaitu: umur, bobot
badan, ras dan genetik. Beberapa faktor yang juga sangat berpengaruh ialah faktor lingkungan
yaitu: suhu musim dan iklim. Faktor lain yang mempunyai pengaruh besar terutama nutrisi dan
pakan. Pubertas lebih awal akan menguntungkan karena dapat mengurangi masa tidak produktif
dan memperpanjang masa hidup produktif ternak. Peningkatan genetik dapat terjadi lebih
9. cepat karena interval generasi berkurang, bila dilakukan seleksi dengan baik dan program
seleksi yang efektif (Tomaszewska et al., l99l). Hasil dari penelitian yang dilakukan di
Kalimantan Selatan oleh Lendhanie (2005) mengatakan bahwa umur melahirkan pertama pada
kerbau rawa yaitu 3-4 tahun sehingga diperkirakan konsepsi pertama terjadi pada umur 2-3 tahun
meskipun umur pubertas kerbau rawa tidak diketahui dengan pasti. Umur konsepsi pertama
ini dapat dijadikan patokan sebagai umur dewasa kelamin dengan asumsi lama kebuntingan
selama 12 bulan. Siklus Berahi dan Lama Berahi Berahi adalah saat hewan betina bersedia
menerima pejantan untuk kopulasi. Jarak antara berahi yang satu sampai pada berahi berikutnya
disebut satu siklus berahi, jika berahi yang pertama tidak menghasilkan kebuntingan maka berahi
yang pertama itu akan disusul dengan berahi kedua (Partodihardjo, 1980). Lama berahi berkisar
antara waktu penerimaan pertama sampai penolakan terakhir (McDonald, 1977). Menurut
Mongkopunya (1980) lama berahi kerbau rawa adalah 32 jam. Kerbau rawa Thailand memiliki
siklus berahi 2l hari, sedangkan di Philipina siklus berahi kerbau rawa selama 20 hari
(Guzman, 1980). Gejala berahi tidak muncul disebabkan oleh temperatur yang tinggi pada kondisi
arid dan semiarid serta lama berahi menjadi pendek (dari 11,9 jam menjadi 6,1 jam) (Cockrill,
1974).
Umur Kawin Pertama
Hewan-hewan betina muda tidak boleh dikawinkan sampai pertumbuhan badannya
memungkinkan (dewasa kelamin dan dewasa tubuh) untuk suatu kebuntingan dan kelahiran
normal. Hal ini karena dewasa kelamin terjadi sebelum dewasa tubuh tercapai (Toelihere, 1981).
Umur kerbau betina pada konsepsi pertama ber-beda-beda tergantung pada manajemen
pemeliharaan, penggunaan pakan, dan genetik. Umur kawin pertama kerbau rawa di Malaysia
adalah rata-rata 28 bulan atau 2,3 tahun (Fahimuddin, 1975). Menurut hasil penelitian Lendhanie
(2005), ternak kerbau betina di Kalimantan Selatan baru berahi pertama setelah berumur 3 tahun
atau lebih lama dibanding sapi.
Service per Conception (S/C)
Service per conception adalah penilaian atau perhitungan jumlah perkawinan (service)
inseminasi buatan (IB) atau kawin alam yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya
kebuntingan. Nilai S/C yang normal adalah 1,6-2,0. Nilai S/C makin rendah maka makin tinggi
kesuburan hewan betina dalam kelompok tersebut, tetapi sebaliknya makin tinggi nilai S/C, maka
makin rendah kesuburan hewan betina dalam kelompok tersebut (Toelihere, l98l). Betina dara yang
beranak pertama selalu membutuhkan service per conception yang lebih tinggi daripada betina
yang lebih tua (Fahimuddin, I975).
10. Angka Kebuntingan
Angka kebuntingan atau conception rate (CR) adalah persentase sapi betina yang bunting
pada inseminasi atau kawin pertama baik pada sapi dara maupun pada sapi laktasi. Angka
kebuntingan (CR) ditentukan oleh tiga faktor yaitu kesuburan pejantan, kesuburan betina dan
teknik inseminasi. Angka kebuntingan ditentukan berdasarkan hasil diagnosa palpasi per
rektal pada 40-60 hari setelah inseminasi (Toelihere, 1981) dan dihitung berdasarkan persamaan
berikut:
Menurut Fahimuddin (1975), conception rate dipengaruhi oleh musim kawin, umur pejantan
dan betina, tingkat nutrisi, dan lain-lain. Nilai CR menurut Cockrill (1974) adalah 63% dan CR
untuk sapi lebih tinggi daripada kerbau.
Lama Bunting
Periode kebuntingan diukur sebagai jumlah hari antara waktu kawin sampai kelahiran anak
karena ketepatan waktu fertilisasi tidak diketahui. Faktor yang mempengaruhi lama kebuntingan
adalah jenis kelamin keturunan umur induk dan yang lebih luas yaitu musim kelahiran dan
kondisi lingkungan. Kebuntingan anak jenis kelamin jantan pada spesies mamalia umumnya
sedikit lebih lama daripada betina dan bunting pertama selalu lebih singkat daripada
kebuntingan selanjutnya (Fahimuddin, 1975). Lama bunting adalah suatu aspek yang
mempengaruhi selang kelahiran. Menurut Guzman (1980), kerbau rawa memiliki lama
bunting berkisar antara 320-325 hari, Mongkopunya (1980) menyatakan bahwa lama bunting
kerbau rawa adalah 336 hari, dan menurut Toelihere (1981), rata-rata periode kebuntingan adalah
310-315 hari dan selanjutnya dikatakan bahwa perbedaan lama kebuntingan bisa disebabkan oleh
manajemen, pakan dan iklim lingkungan.
Calf Crop
Calf crop adalah persentase jumlah anak yang dilahirkan hidup dalam satu tahun dari
seluruh induk yang diteliti dan jika diinginkan angka calf crop yang tinggi maka harus
diperhatikan waktu dan lama berahi, ketepatan saat kawin, nutrisi dan pengawasan penyakit
(Talib, I988). Rata-rata calf crop kerbau di Indonesia sangat rendah yaitu 33%.
Berahi setelah Melahirkan
Fase kelahiran atau partus akan terjadi apabila masa kebuntingan telah mencukupi. Organ
reproduksi, terutama uterus akan mengalami proses penyembuhan setelah peristiwa kelahiran
yaitu kembali keukuran semula pada saat tidak bunting. Proses ini disebut dengan istilah involusi
11. uterus. Berahi kembali akan terjadi setelah involusi uterus selesai. Proses berahi setalah melahirkan
pada tiap individu berbedabeda bergantung kepada lamanya proses involusi uterus. Guzman (1980)
menyatakan bahwa pada kerbau rawa berahi kembali setelah melahirkan adalah 35 hari. Kerbau
seperti halnya dengan sapi bahwa apabila dalam pengelolaan pasca melahirkan induk dihadapkan
pada pakan yang kurang, lingkungan yang tidak serasi, sanitasi kandang yang kurang baik atau
kondisi lain yang tidak mendukung maka pada induk akan terjadi gangguan dalam proses
reproduksi selanjutnya (Hardjopranjoto, 1991). Interval Dikawinkan Pertama setelah Beranak
Interval perkawinan setelah beranak menentukan panjang interval kelahiran. Interval dikawinkan
pertama setelah beranak adalah interval dari induk par-tus/beranak sampai kawin kembali
(service periode) dan lamanya bergantung pada estrus postpartum dan konsepsi aktual yang
membutuhkan perkawinan satu kali, dua kali, atau lebih. Berahi postpartum merupakan komponen
dasar dari service period yang sangat bervariasi baik dari faktor fisik maupun psikologi
sehingga menun-jukkan besarnya variasi berdasarkan keturunan atau tipe dan lingkungan
(Fahimuddin, 1975). Kerbau akan kembali estrus 40 hari setelah beranak berdasarkan National
Research Council (1981).
Selang Beranak (Calving Interval)
Selang beranak adalah jangka waktu dari saat induk beranak hingga saat beranak
berikutnya. Calving interval dipengaruhi oleh daya reproduksi dan ditentukan oleh lamanya masa
kosong serta angka perkawinan per kebuntingan. Siklus reproduksi akan diulang kembali
sampai pada kebuntingan berikutnya setelah kerbau mengalami berahi kembali dan melahirkan.
Panjang calving interval sangat bervariasi pada kerbau rawa bergantung kepada semua
karakteristik reproduksi. Menurut Guzman (1980), selang kelahiran kerbau rawa berkisar antara l-3
tahun atau rata-rata 1,5 tahun. Calving interval lebih banyak diatur oleh faktor nongenetik
yaitu ada kesem-patan menurunkannya dengan efisiensi manajemen pemeliharaan dan
pemberian pakan yang tepat (Fahimuddin, 1975).
Parameter Tubuh
Informasi tentang ukuran tubuh kerbau hanya terdapat sedikit dibandingkan dengan ternak
sapi yang lebih populer, padahal ukuran tubuh ini penting dalam manajemen produksi ternak.
Pengukuran parameter tubuh sering digunakan untuk estimasi produksi, misalnya untuk
pendugaan bobot badan (Saleh, 1982). Parameter tubuh yang diukur meliputi panjang badan,
lingkar dada, tinggi pundak, dan tinggi pinggul. Bobot badan pada umumnya mempunyai
hubungan positif dengan semua ukuran linear tubuh. Ukuran-ukuran tubuh ternak dapat
berbeda satu sama lainnya secara bebas, korelasinya dapat disebut positif apabila peningkatan
12. satu sifat penyebab sifat lain juga meningkat. Menurut Diwyanto (1982), komponen tubuh
yang berhubungan erat dengan bobot badan adalah lingkar dada dan panjang badan.
Williamson dan Payne (1986), pemakaian ukuran lingkar dada panjang badan dapat
memberikan petunjuk bobot badan seekor hewan dengan tepat. Nilai korelasi tertinggi
diperoleh dari lingkar dada dibandingkan dengan ukuran tubuh lainnya (Aisiyah, 2000), oleh
karena itu, lingkar dada dapat digunakan sebagai kriteria seleksi dan memilih calon bibit.
D. KETERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN TEKNOLOGI TERNAK KERBAU
Teknologi perbibitan
Pada kondisi riil yang ada saat ini ternyata usaha pembibitan peternakan masih menghadapi
berbagai masalah dan tantangan antara lain beluim tercukupinya kebutuhan bibit ternak, baik
kuantitas maupun kualitas. Guna mengatasi masalah tersebut, pemerintah melalui program
aksi perbibitan berupaya meningkatkan kinerja sekaligus menstimuler kelompok peternak
pembibit potensial untuk lebih meningkatkan partisipasinya. Dengan semakin meningkatnya
kebutuhan kerbau potong untuk menghasilkan daging maka diperlukan bibit yang tepat
dan teknologi reproduksi. Kualitas kerbau bisa ditingkatkan melalui seleksi induk, perkawinan
alami dan inseminasi buatan. Pemilihan kualitas donor dan sperma pejantan unggul akan
memberikan kualitas anak yang memiliki sifat-sifat unggul, baik dari induk betina maupun
pejantannya.
Teknologi pakan
Pakan merupakan faktor utama dalam menentukan produktivitas ternak, disamping
potensi genetik dan lingkungan. Kebutuhan zat gizi disesuaikan dengan status fisiologis ternak serta
tingkat produksi yang diharapkan. Pertumbuhan berat badan akan lebih tinggi dan maksimal
bila pakan yang diberikan merupakan kombinasi antara hijauan dan konsentrat. Pemilihan
hijauan pakan dan konsentrat dapat disesuaikan dengan ketersediaan bahan, mudah dan murah
untuk memperolehnya, dengan syarat sesuai kebutuhan dasar zat gizi ternak yang dipelihara.
Pemberian hijauan pakan berkualitas rendah (al. Jerami padi, pucuk tebu,daun jagung, daun ubi
kayu) berkisar 40- 45% dan hijauan pakan berkualiatas sedang sampai tinggi (al. Rumput raja,
rumput gajah, lamtorogung, daun gamal, glirisidae) adalah 55-60%, sedangkan sisanya berupa
konsentrat. Konsentrat dibuat dari berbagai bahan yaitu dedak padi, bungkil kedelai, bungkil
kelapa, tepung tulang, onggok jagung, garam dapur dan premix. HENDRATNO et al.
(1981) melaporkan, pemberian bungkil kedelai sebanyak 1,75 kg/ekor/hari pada kerbau
jantan umur 2,5-3,0 tahun (bobot 170-225 kg) memberikan pertumbuhan sebesar 0,75 kg/
13. ekor/hari, sedangkan pemberian dedak 1, 2 dan 4 kg/ekor/hari menghasilkan pertumbuhan
sebesar 0,21 kg/ekor/hari; 0,70 kg/ekor/hari dan 0,78 kg/ekor/hari.
Teknologi produksi
Seperti halnya ternak sapi, hal penting yang perlu mendapat perhatian dalam
pengembangan usaha ternak kerbau adalah manajemen pemeliharaan yang sesuai dengan
kondisi lokasi pengembangan. Dengan metode LEISA (Low External Input Sustainable
Agriculture) atau sistem integrasi tanaman ternak (SIPT), dimana potensi sumberdaya pakan
yang baik dan murah direkayasa dan dimanfaatkan secara optimal. Misalnya integrasi
sawit dengan ternak sapi, integrasi padi dengan ternak sapi atau ternak lainnya dengan
perkebunan coklat dan kopi. Model tersebut dapat diaplikasikan untuk ternak kerbau.
Percontohan sistem integrasi padi ternak (SIPT) cukup direspon petani karena dapat
meningkatkan produksi dan produktivitas padi serta pendapatan petani. Selain itu, kotoran ternak
yang sudah diolah dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik pada tanaman padi atau tanaman
lainnya. Di Bengkulu, sapi dipelihara diperkebuan sawit (SISKA), dimana pakan rumput diganti
dengan pelepah daun yang dicincang, sedangkan pengganti konsentrat menggunakan lumpur
sawit dan bungkil inti sawit yang difermentasi (Ferlawit) hingga kandungan proteinnya
mencapai 24%. Pertumbuhan bobot sapi cukup baik (0,582 kg/ekor/hari) dengan konversi
pakan 7,04 dibanding pakan komersial (pertambahanbobot 0,354 kg/ekor/hari dan konversi
pakan 11,36).
Selanjutnya integrasi ternak domba dengan perkebunan karet yang memanfaatkan hijauan
sebagai sumber pakan dengan waktu pengembalaan 6-8 jam/hari menghasilkan laju
pertumbuhan sebesar 30-40 g/hari (DAUD dan YUSUF, 1983). BRATFORD dan BERGER
(1990) memprediksi bahwa populasi ternak domba yang dipelihara diperkebunan akan berlipat
ganda dalam waktu 2-4 tahun atau meningkat 10 kali lipat dalam waktu 6-17 tahun.
Pengendalian penyakit
Penyakit kerbau secara umum disebabkan oleh virus, bakteri, dan parasit. Untuk
mengatasi penyakit akibat virus dapat dilakukan melalui vaksinasi, penyakit bakteri
dengan antibiotik dan penyakit parasit dengan pemberantasan parasit. Salah satu teknologi
Balitvet untuk pengendalian penyakit Enterotoksemia pada sapi dan kerbau adalah dengan
Closvak Multi (merupakan vaksin in-aktif). Vaksinasi pertama dilakukan pada pedet umur 3-
5 bulan, vaksinasi kedua sebulan kemudian, dan selanjutnya diulangi setiap 12 bulan.
14. Teknologi pascapanen
Penanganan ternak sebelum dipotong perlu dilakukan karena dapat mempengaruhi warna
daging (ternak diistirahatkan dan dipuasakan selama 12 jam dengan pemberian air minum
secara berlebihan). Dalam rangka memper-tahankan mutu dan memperpanjang daya
simpan daging dapat digunakan larutan asam (TRIYANTINI dan SIRAIT, 1998). Hasil
penelitian lain menunjukkan bahwa daging yang disimpan pada suhu kamar mengalami pembu-
sukan pada jam ke-25 dan pembusukan sempurna pada jam ke-37. Penyimpanan pada
suhu 0-8 0 C menyebabkan terjadinya pembu-sukan pada hari ke-22. dan melalui prosses
pembekuan ternyata daging masih tetap segar pada hari ke-30.
Teknologi biogas
Kotoran ternak berupa feses dan urin dapat diolah menjadi biogas dan pupuk organik.
Biogas adalah energi alternatif hasil proses dekomposisi bahan organik secara anaerob oleh
mikroorganisme terutama bekteri metan (ANONIMUS, 2006). Gas yang hasilkan
diantaranya adalah metan (CH 4 ) dan karbon dioksida (CO 2 ). Efisensi penggunaan biogas
mencapai 30-40%, lebih tinggi dibandingkan dengan kayu bakar (20-30%). Berdasarkan hasil
penelitian, satu ekor sapi atau kerbau berbobot 454 kg dapat memproduksi feses dan urin
sebanyak 30 kg/hari, sedangkan setiap 1 kg feses dapat menghasilkan biogas sebanyak 60 liter.
Proses dekomposisi hingga diperoleh gas berlangsung dalam wadah pencerna (digester)
dengan kedalam 2 m dan diameter 3 m. Digester dihubungkan dengan lubang pemasukan
limbah dan tempat penampungan limbah hasil sampingan (sludge).
15. BAB III
PEMBAHASAN
A. LAHAN KERING DI NTT
Upaya untuk mengembangkan peternakan di daerah NTT adalah untuk memenuhi
permintaan akan produk-produk dalam negeri misalnya daging. Sebagaimana diketahui bahwa
pemenuhan akan kebutuhan daging dalam negeri sebagian masih berasal dari luar. Upaya tersebut
dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di daerah pedesaan, memantapkan
pendapatan petani kecil dan meningkatkan lapangan kerja didalam maupun luar usaha tani.
Peningkatan pendapatan dalam sector peternakan dapat tercapai apabila ternak-ternak yang
dihasilkan mempunyai produktivitas yang tinggi sebagaimana yang berlaku dipasaran atau dengan
kata lain untuk mendapatkan harga jual yang tinggi maka produksi ternak harus optimal.
Provinsi NTT memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan peternakan. Namun
di provinsi NTT beriklim kering (Semi arid) yang dipengaruhi oleh Angin muson. Kondisi wilayah
Nusa Tenggara Timur hanya memiliki dua musim, yaitu musim penghujan sangat pendek yang
terjadi antara bulan Desember sampai bulan April, sedangkan musim kemarau panjang dan kering
terjadi pada bulan Mei sampai bulan Nopember. Keadaan demikian, berakibat jumlah pakan untuk
ternak akan tersedia dalam jumlah yang banyak serta memiliki kualitas yang baik pada musim
hujan saja, sedangkan pada musim kemarau jumlah pakan yang tersedia sangatlah sedikit dengan
kualitas yang rendah. Hal ini diperparah lagi dengan system pemeliharaan ternak yang masih
ekstensif, serta kurangnya sumber daya manusia untuk memanfaatkan lahan kering di NTT sebagai
tempat tersedianya hijauan makanan bagi ternak. Akibatnya tidak dapat memenuhi kebutuhan pakan
bagi ternak sehingga produksi yang diharapkan tidak optimal dan membutuhkan waktu yang cukup
lama untuk mencapai tingkat produksi yang tinggi. Oleh karena itu perlu adanya sumber daya
manusia yang berwawasan IPTEK untuk meningkatan potensi peternakan di NTT terutama pada
lahan kering.
Lahan kering yang ada di NTT, banyak dibiarkan begitu saja, tanpa ada yang mengelolanya.
Lahan yang dibiarkan begitu saja akan berpengaruh terhadap menurunya unsur-unsur hara pada
tanah tersebut. Hal demikian disebabkan karena rendahnya inisiatif dan tingkat kemalasan manusia
untuk mengelolanya menjadi lahan yang berdaya guna. Dan juga banyak masyarakat NTT yang
selalu berharap bahwa segala kebutuhan ternak terutama pakan disediakan oleh alam tanpa berpikir
untuk mengelolanya sendiri. Apabila lahan kering yang ada digunakan sebagai lahan peternakan
khususnya untuk lahan pananaman HMT, maka lahan tersebut dapat membawa keuntungan bagi
16. petani peternak secara maksimal. Dengan adanya pemanfaatan lahan kering sebagai lahan
penanaman HMT, tidak hanya membawa keuntungan bagi petani peternak namun dapat juga
mengembalikan unsur-unsur hara pada tanah tersebut.
Selain itu kondisi iklim suatu daerah sangat berpengaruh terhadap suatu lahan atau areal
tertentu serta produksi, baik produksi peternakan maupun pertanian. Wilayah NTT beriklim kering
yang dipengaruhi oleh angin musim. Periode musim kemarau lebih panjang, yaitu 7 bulan (Mei
sampai dengan Nopember) sedangkan musim hujan hanya 5 bulan (Desember sampai dengan
April). Curah hujan propinsi Nusa Tenggara Timur berkisar antara 697 – 2.737 mm/tahun dengan
jumlah hari hujan rata-rata tiap tahun antara 44 sampai 61 hari. Suhu udara rata-rata 27,6ºC,
maksimum rata-rata 29º C dan suhu minimum rata-rata 26,1ºC (Sumber : Buku Prov. NTT Dalam
Angka, Tahun 2007 BPS Prov. NTT). Kelembaban nisbi terendah terjadi pada musim Timur
Tenggara (63-76%) yaitu bulan Juni sampai Nopember dan kelembaban tertinggi pada musim Barat
Daya (82-88%) yaitu Desember sampai bulan Mei.
Kondisi NTT yang musim kemaraunya lebih panjang ini menyebabkan rendahnya produksi
hasil peternakan. Produksi peternakan sangat di pengaruhi oleh musim kemarau dimana pada
musim kemarau hijauan maknan ternak tidak cukup tersedia di alam. Hal tersebut dapat juga
berpengaruh pada ketersediaan air untuk hijauan makanan ternak, sebab air yang selalu ada dalam
jumlah optimal sangat mendukung terhadap pertumbuhan, produktifitas, kualitas dan rutinitas
hijauan makanan ternak. Selain itu air sangat penting dalam proses pembentukkan zat pengurai
unsur hara di dalam tanah, khususnya pada lahan kering. Kekurangan pakan hijauan pada musim
kemarau dapat menyebabkan terjadinya penurunan bobot badan ternak, penundaan lama birahi pada
ternak betina, mudah terkena penyakit dan tingkat kematian tinggi terutama pada ternak yang baru
dilahirkan dan ternak yang masih menyusui (lihat gmbr pada lampiran).
Adapula hal-hal lain yang terkait dengan lahan kering di NTT antara lain topografi dan
keadaan tanah (lihat gambar pada lampiran). Apabila dilihat dari topografinya, maka wilayah NTT
dapat dibagi atas 5 bagian besar, yaitu :
Agak berombak dengan kemiringan 3-16 %.
Agak bergelombang dengan kemiringan 17-26 %.
Bergelombang dengan kemiringan 27-50 %.
Berbukuti-bukit bergunung dengan kemiringan lebih besar dari 50 %.
Dataran banjir dengan kemiringan 0-30 %.
Keadaan topografi yang demikian mempunyai pengaruh pula terhadap pola pengembangan
peternakan. Tanah dengan kemiringan yang tinggi diperlukan upaya khusus dalam pengelolaannya.
17. Sebab topografi tanah sangat berpengaruh terhadap kesuburan, efisiensi produksi, pengelolaan,
komunikasi/transportasi, pengairan dan penggunaan alat-alat mekanisasi dan pemupukan. Keadaan
tanah di NTT banyak yang berbatu-batu, sehingga sangat sulit digunakan sebagai lahan penanaman
HMT. Namun hal ini dapat dimudahkan apabila didukung oleh sumber daya manusia untuk
mengolahnya. Sehingga lahan yang berbatu-batu tersebut dapat digunakan sebagai areal penanaman
hijauan makanan ternak.
B. MEMANAJEMEN LAHAN KERING UNTUK PENGEMBANGAN PETERNAKAN
Pemanfatatan lahan kering di daerah NTT memang sangat diharapkan oleh semua pihak,
khususnya pemanfaatan di bidang pertanian peternakan. Sukses dan tidaknya usaha pengembangan
sistem peternakan di lahan kering seperti NTT sangat dipengaruhi oleh kontribusi dari manusia dan
sumber daya ternak itu sendiri, tanpa mengabaikan pakan bagi ternak.
Hal utama yang perlu dilakukan adalah meningkatkan sumber daya manusia. Upaya-upaya
dalam meningkatkan sumber daya manusia adalah konsekuensi yang baik, karena dengan demikian
dapat membuka cara pemikiran yang cenderung memanfaatkan ternak tanpa memikirkan
populasinya kedepan. Sumber daya yang dimaksud yaitu dengan menjalani pendidikan, sehingga
dengan pendidikan dapat membuka wawasan dan cara berpikir yang bermanfaat. Selain itu juga
dapat mengembangkan teknologi-teknologi baru yang mampu memperbaharui sistem peternakan
lahan kering menjadi lebih optimal. Manusia perlu memanfaatkan lahan kering untuk digunakan
sebagai sumber pakan bagi ternak. Misalnya pada musim hujan, manusia dapat memanfaatkan
semaksimal mungkin pakan yang ada, memasuki musim peralihan menuju musim kemarau, pakan
berupa hijauan dapat dibuat pakan awetan guna menjaga ketersediaan pakan dimusim kemarau,
selain itu, juga pada musim peralihan ke musim panas, diharapkan dapat memanfaatkan lahan
kering untuk menanam kembali berbagai jenis hijauan yang berpotensi tahan terhadap kekeringan.
Apabila kebutuhan pakan ternak terjamin maka ternak tersebut dapat berkembang dan
berproduksi dengan maksimal. Masyarakat juga perlu membatasi pemotongan ternak dalam skala
besar dan untuk meningkatkan populasi ternak perlu melihat keadaan ternak yang ideal sebelum
dipastikan untuk dilakukan pemotongan. Masyarakat juga perlu meninjau kembali budaya yang
selama ini diaplikasikan, yang menyebabkan banyak ternak yang dibunuh, misalnya upacara-
upacara adat, upacara kematian. Dan juga butuh peran pemerintah NTT untuk memberikan
dukungan bagi petani peternak dalam mengembangkan usahanya, berupa modal, pendidikan serta
penerapan tekhonologi baik tekhnologi pakan maupun tekhnologi untuk manajemen. Selain itu
dengan keadaan topografi lahan di NTT yang kurang mamadai maka peran masyarakat adalah
melakukan terasering (lihat gmbr pda lampiran). Dengan adanya terasering maka tanaman yang ada
18. pada lahan tersebut dapat tumbuh subur tanpa adanya pengikisan pada musim hujan. Sehingga
pupuk yang kita berikan untuk kesuburan tanaman tersebut dapat bermanfaat dan tidak terbuang sis-
sia oleh air hujan.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan pakan pada lahan kering yaitu,
penerapan prinsip-prinsip rangeland managemen yang bertumpu pada upaya pengendalian vegetasi,
pengendalian ternak dan pengendalian kesuburan tanah. Hal-hal yang dilakukan dalam penerapan
prinsip diatas antara lain:
Mengelola lahan kering yang ada dengan pemanfaatan SDM yang berwawasan IPTEK.
Dengan adanya IPTEK yang ada, kita mengelola lahan kering tersebut menjadi lahan yang
berdaya guna. Pengolahan tanah bertujuan untuk mempersiapkan media tumbuh optimum
bagi tanaman. Dengan lahan kering yang ada diolah secara baik, sehingga dapat menjamin
perkembangan sistem perakaran yang sempurna, menjamin peningkatan aviabilitas zat-zat,
memperbaiki aerasi dan kelembaban tanah, memperbaiki kelestarian serta kesuburan tanah
dan persediaan air. Selain itu perlu melakukan pemberantasan invasi tumbuh-tumbuhan
pengganggu (gulma). Tentunya pada lahan kering yang baru diolah menjadi lahan HMT,
biasanya ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan pengganggu yang dapat menghambat
pertumbuhan dari HMT itu sendiri. Semak-semak yang mengganggu harus diberantas karena
dapat mengurangi kapasitas tampung padang penggembalaan. Tumbuhan pengganggu
tersebut dapat diberantas dengan jalan menyabit dan menggunakan herbisida selektif.
Mengintroduksi rumput unggul, leguminosa, dan jagung, pada lahan kering yang telah diolah.
Tindakan ini diperlukan guna mengatasi diskontinyutas suplai pakan bermutu sepanjang
tahun, meningkatkan daya dukung pasture, memperbaiki status kesuburan tanah lewat
simbiosa mutualisme antara akar legume dan bakteri rhyzobium guna memfiksasi N bebas
dari udara, mengontrol gulma dan meningkatkan biodiversitas. Legum yang cocok untuk
disebar di padang rumput adalah legume-legume yang mudah membentuk simbiosa dengan
bakteri rhyzobium dan memiliki daya presistensi yang tinggi.
Penanaman pada lahan kering yang telah diolah.
Waktu penanaman hijauan makanan ternak yang paling baik adalah pada awal sampai
pertengahan musim hujan agar pada musim kemarau berikutnya, akar tanaman hijauan
makanan ternak tersebut diharapkan sudah cukup kuat untuk menahan kekeringan. Bibit yang
dapat ditanam berupa stek batang, cuplikan rumpun dan biji. Untuk rumput-rumputan cara
menanamnya adalah dengan menancapkan separuh dari stek batang kedalam tanah dengan
posisi tegak miring, dengan jarak tanam 1x1 m. Hal penting yang harus diperhatikan sewaktu
menanam stek batang adalah mata tunas tidak terbalik. Jika terbalik, akan mempengaruhi atau
19. mengahambat pertumbuhan tanaman. Sementara, bila akan menanam cuplikan rumpun, pada
tanah yang akan ditanami rumput gajah atau rumput raja harus dibuat lubang tanam terlebih
dahulu sedalam 30 cm. Penanaman rumput gajah atau rumput raja pada tanah yang miring
tidak membutuhkan pengolahan tanah terlebih dahulu. Namun, cukup dibuatkan lubang-
lubang tanam yang sesuai dengan kontur tanahnya sehingga sekaligus dapat berfungsi sebagai
penahanan erosi. Jarak tanam rumput gajah atau rumput raja di lahan miring adalah 100x50
cm.
Penanaman pohon-pohon sebagai pakan pelengkap
Pada padang penggembalaan di lahan kering diperlukan juga penyediaan naungan dan
pakan pelengkap misalnya: telah dibuktikan bahwa produksi Axonopus compressus dibawah
naungan pohon-pohon 20% lebih tinggi dan kandungan proteinnya lebih tinggi pula. Sehingga
dengan adanya pepohonan dapat menyerap air hujan pada musim penghujan lewat perakaran,
dan dapat membantu menjaga kelembaban tanah tersebut. Selain untuk naungan dan menjaga
kelembaban tanah dapat juga dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Pohon-pohon yang perlu
ditanam seperti Leucaena leucocephala (lamtoro), Sesbania grandiflora (turi),Tamarindus
indicus (asam) dan Acacia leucocephloea (pilang) menghasilkan daun-daunan dengan
kombinasi yang baik sekali untuk pakan ternak. Sebab daun-daun dari pohon diatas
mengandung protein yang cukup tinggi, misalnya lamtoro kandungan proteinnya 36,80% dan
turi kandungan proteinnya 46,62%. Bila jenis-jenis ini dipangkas pada saat yang tepat, daun-
daunan tersebut juga akan dihasilkan dalam musim kering.
Pengendalian ternak
Salah satu bagian yang menyebabkan kerusakan lahan adalah sistem pengembalaan ternak
secara bebas. Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat tahun 2003, luas lahan kritis di
NTT mencapai sekitar 2.1 juta ha. Oleh karena itu, selain berupaya untuk menegakan aturan
tentang tata ruang maka dipikirkan juga upaya untuk mengendalikan perumputan. Keutamaan
dari pengendalian ternak adalah meciptakan ruang padang penggembalaan yang berimbangan
diantara pencapaian produksi ternak dengan aspek sustainbability(keberlanjutan) dari
pengunaan sumberdaya savana. Hal ini dapat dicapai dengan mengatur keseimbangan antara
jumlah ternak dengan kemampuan lahan sehingga akan didapat tekanan penggembalaan yang
optimum, membatasi daya jejah dan selektivitas penggembalaan. Pengendalian ternak dapat
dilakukan melalui pengaturan stocking rate, pengaturan pola penggembalaan dan pengaturan
distribusi ternak.
Pengendalian kesuburan tanah
Untuk meningkatkan kesuburan tanah pada lahan kering hal yang paling utama adalah
sumber air. Suplai air diberikan untuk pertumbuhan tanaman terutama pada tanaman di lahan
20. kering. Sumber air dapat berasal dari sumber air alami atau sumber air buatan. Bila air
merupakan suatu factor pembatas dalam pembinaan padang rumput, maka pembuatan dam-
dam, tangki-tangki tanah dan waduk-waduk dapat merintis perbaikan setempat. Selain air,
pilihan pengendalian kesuburan tanah dengan pupuk buatan dapat dilakukan dari pemanfaatan
feses ternak. Pemberian pupuk kandang maupun kompos akan sangat bermanfaat bagi kondisi
fisik tanah, karena akan memperbaiki struktur tanah. Di samping itu dapat pula diberikan
pupuk anorganik seperti KCl, SP 36 dan Urea, disesuaikan dengan jenis tanah setempat. Pada
lahan kering yang telah diolah sebagai lahan HMT akan ditumbuhi tumbuhan pengganggu
(gulma), dapat diberantas dengan jalan menyabit dan menggunakan herbisida
selektif. Selain itu perbaikan kesuburan tanah dapat dilakukan dengan pola-pola seperti
agroforestri sehingga serasah yang dihasilkan dapat membantu menaikkan tingkat kesuburan
tanah. Upaya penyebaran leguminosa yang dapat mengikat N bebas dari udara juga
merupakan cara biologis yang masuk akal (reasonable). Karena Nitrogen diperlukan oleh
semua jenis-jenis rumput dan tidak dapat dipenuhi dengan jalan pemupukkan saja, maka perlu
dipertimbangkan untuk menyebar biji-biji Stylosanthes gracilis(leguminosa) lewat udara.
Karena bijinya sangat halus dan ringan maka perlu dibutirkan dengan tanah.
Melakukan peremajaan.
Padang penggembalaan permanen yang mundur atau terlantar di daerah iklim sedang
biasanya diremajakan dengan jalan pembajakkan dan pembenihan baru dengan spesies
rumput dan leguminosa yang unggul. Salah satu metoda yang tercepat di daerah-daerah
tropika adalah mengganti rumput-rumput yang berproduksi rendah dengan spesies serta
varietas rumput dan leguminosa yang lebih baik dan unggul. Penggunaan bajak harus
dilakukan dengan hati-hati karena dapat menyebabkan bahaya erosi oleh hujan dan oleh
angin. Metode lain yang kurang drastik dalam hal mempersiapkan persemaian adalah dengan
jalan membajak jalur berjarak lebar, tempat biji disebarkan atau menggunakan alat penabur
benih langsung pada padang penggembalaan bersangkutan. Keputusan menanam suatu jenis
hijauan makanan ternak yang unggul perlu pertimbangan jenis yang sesuai dengan alam
setempat dan sistem penyajian yang akan dilakukan. Faktor penentu dalam usaha
pengembanan hijauan makanan ternak dan faktor yang perlu diperhatikan adalah: curah hujan,
jenis tanah dan ketinggian di atas permukaan laut.
Pakan awetan
Penyediaan pakan awetan dalam bentuk hay, silase, tanaman makanan ternak atau
“standing hay” adalah salah satu cara untuk meringankan tekanan penggembalaan terhadap
padang rumput selama musim kemarau. Untuk menjamin ketersediaan HMT selama musim
21. kemarau yang panjang terutama pada lahan kering, dapat diterapkan tekhnologi pengolahan
pakan seperti pembuatan silase dan hay.
Hay
Hay adalah tanaman hijauan pakan ternak, berupa rumput-rumputan/leguminosa yang
disimpan dalam bentuk kering berkadar air 20-30%. Prinsip dari pengeringan yaitu
menurunkan kandungan air sehingga aman untuk disimpan dalam arti dapat
menghentikan/menghambat aktifitas dari tumbuhan itu sendiri dan enzim dari mikrobia yang
terdapat didalarnnya dan menurunkan kandungan air sehingga aman untuk disimpan
Pembuatan hay bertujuan untuk menyeragamkan waktu panen agar tidak menganggu
pertumbuhan pada periode berikutnya, sebab tanaman yang seragam akan memiliki daya
cerna yang lebih tinggi. Tujuan khusus pembuatan hay adalah agar tanaman hijauan (pada
waktu panen yang berlebihan) dapat disimpan untuk jangka waktu tertentu sehingga dapat
mengatasi kesulitan dalam mendapatkan pakan hijauan pada musim kemarau. Hijauan yang
akan diolah harus dipanen saat menjelang berbunga (berkadar protein tinggi, serat kasar dan
kadar air optimal), sehingga hay yang diperoleh tidak berjamur yang akan menyebabkan
turunnya palatabilitas dan kualitas (Subur, 2006). Di NTT limbah pertanian terutama jerami
padi banyak diolah menjadi hay karena hasilnya berlimpah, tidak perlu menanam khusus
tinggal mengumpulkan saja sehingga penggunaannya menjadi sangat popular, meskipun
rendah nutrisinya.
Silase
Silase adalah proses pengawetan makanan yang dilakukan pada sebuah silo pada kondisi
anaerob atau dengan kata lain silase adalah proses fermentasi yang dilakukan untuk
mengawetkan hijauan makanan ternak dalam keadaan basah atau lembab. Tujuan pembutan
silase adalah untuk mengantisipasi kekurangan hijauam makan pada musim kemarau dengan
kualitas yang baik. Misalnya pada musim hujan, manusia dapat memanfaatkan semaksimal
mungkin pakan yang ada, memasuki musim peralihan menuju musim kemarau, pakan berupa
hijauan dapat dibuat silase guna menjaga ketersediaan pakan dimusim kemarau, selain itu
juga pada musim peralihan ke musim panas, diharapakan dapat memanfaatkan lahan kering
untuk menanam kembali berbagai jenis hijauan yang berpotensi tahan terhadap kekeringan.
Selain itu system peternakan semi ekstensif dimana ternak dikandangkan dan digembalakan di
padang penggembalaan juga dapat dilaksanakan. Padang pengembalaan (rumput sampai
pohon) dapat tersedia dengan kualitas yang baik selama musim hujan walaupun berada pada
lahan kritis. Di NTT mempunyai lahan yang cukup luas dan belum termanfaatkan sehingga
dapat dijadikan sebagai padang penggembalaan.
22. C. POTENSI TERNAK KERBAU DI LAHAN KERING
Secara nasional peranan ternak kerbau cukup signifikan dalam menunjang program
swasembada daging sapi tahun 2010, baik dilihat dari jumlah populasinya sebesar 2,2 juta
ekor (sekitar 20% dari populasi sapi potong), maupun kontribusinya dalam produksi daging
yaitu sebesar 39.503 ton atau ± 15% dari sapi potong. Sementara itu, kontribusi kerbau sebagai
penghasil daging adalah sebesar 13,9% dari daging sapi di Kalsel (ROHAENI et al., 2008).
Perkembangan ternak ini sangat lamban di NTT, salah satunya disebabkan oleh sulitnya
penyediaan pakan hijauan pada saat kemarau panjang yang mengakibatkan kondisi ternak
kurang baik sehingga produktivitasnya menurun (SURYANA, 2007). Disamping
itu serta pemanfaatan teknologi pengolahan dan penyimpanan pakan belum banyak
dilakukan peternak (SURYANA dan SABRAN, 2005). Menurut TARMUDJI (2003),
tantangan yang dihadapi dalam pembangunan peternakan ruminansia besar adalah produktivitas
dan reproduktivitas ternak yang masih rendah, serangan penyakit reproduksi dan produksi,
skala usaha kecil dan tersebar, kurangnya jumlah dan kualitas pakan, keterampilan
peternak yang masih rendah, teknik budidaya yang masih tradisional, hambatan sosial
ekonomi dan berbagai kendala lainnya yang menyebabkan populasi ternak menurun.
Produktivitas atau out put dari suatu wilayah dipengaruhi oleh komposisi ternak berdasarkan
umur, jenis kelamin, kelahiran, kematian dan lamanya ternak dalam masa pembiakan
(SUMADI, 2001).
POLA PEMELIHARAAN KERBAU
Kerbau mempunyai peranan penting dalam kehidupan sosial ekonomi petani, yakni
sebagai tabungan hidup, menunjang status sosial, sumber tenaga kerja, penghasil daging,
susu dan pupuk (Diwyanto dan Subandriyo, 1995; Mahardika, 1996). Menurut Yusdja et al.
(2003), populasi kerbau sebagai penghasil daging relatif lambat, sehingga produktivitasnya
rendah. Perbaikan produktivitas kerbau yang dapat dilakukan adalah perbaikan mutu genetik
melalui intensifikasi inseminasi buatan.
Dalam rangka upaya meningkatkan produktivitas usaha ternak diperlukan adanya
ketersediaan piranti-piranti pendukung seperti teknologi siap pakai dan mempunyai tingkat
kelayakan yang memadai untuk mendukung proses produksi, dengan berpijak pada sumber daya
ternak yang ada, dan peternak sebagai objek yang harus ditingkatkan keterampilannya (Isbandi
dan Priyanto, 2004).
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa, kerbau memiliki kemampuan daya
cerna terhadap serat kasar yang tinggi dan mampu memanfaatkan rumput berkualitas
23. rendah serta menghasilkan berat karkas yang relatif tinggi dibandingkan sapi-sapi lokal,
sehingga kerbau sangat potensial untuk produksi daging (Siregar, 2004). Pendapat lain
menyebutkan bahwa kerbau mampu memanfaatkan pakan dengan kandungan protein
rendah dan serat kasar tinggi secara lebih efisien dan mengubahnya menjadi produk daging dan
susu yang berkualitas tinggi (Moran, 1978), serta tingkat resiko penyakit dan parasit relatif
rendah (Baliarti dan Ngadiono, 2006). Menurut Sudirman dan Imran (2006), kerbau
memiliki daya cerna serat kasar yang tinggi dan mampu memanfaatkan rumput
berkualitas rendah untuk menghasilkan daging. Bobot karkasnya lebih tinggi dibandingkan
sapi-sapi lokal sehingga kerbau sangat potensial untuk produksi daging.
Sistem pemeliharaan kerbau di lahan kering/tegalan yang dilakukan petani/peternak
antara lain mereka memelihara ternaknya dikandangkan seadanya dan pakan diberikan
sesekali tanpa memperhatikan pakan tambahan atau konsentrat. Namun demikian, ternak kerbau
mempunyai daya adaptasi yang baik dapat hidup dan bertahan serta berproduksi
dengan baik walaupun masih lamban.
Triwulanningsih (2008) menyatakan bahwa kerbau mempunyai daya adaptasi yang
sangat tinggi. Kerbau dapat berkembang di daerah beriklim kering seperti di Nusa Tengara Barat
dan Nusa Tenggara Timur, maupun pada lahan pertanian subur seperti di Pulau Jawa, lahan
rawa di Kalimantan dan daerah pantai dari mulai Asahan sampai Sumatera Selatan.
Pengaruh tidak langsung terjadi pada ketersediaan hijauan pakan ternak, baik dari segi
kualitas maupun kuantitas. Menurut Keman (1986), temperatur sangat dipengaruhi oleh
ketinggian tempat dari permukaan air laut, semakin tinggi permukaan maka semakin rendah
suhu udaranya. Daya tahan terhadap suhu panas lebih rendah, karena kemampuan adaptasi
terhadap lingkungan tendah. Zona comfort untuk kerbau berkisar antara 15,5-21 0 C, dengan
curah hujan 500-2000 mm/tahun. Laporan lain menyebutkan bahwa zona yang paling ideal
bagi ternak kerbau untuk hidup dan berkembang biak yaitu pada kisaran temperatur 16-24
0 C, dengan batas toleransi 27,6 0 C (Markvichitr, 2006).
Untuk lebih meningkatkan potensi dan peranan ternak kerbau, Direktorat Jenderal
Peternakan (2008), memberikan batasan operasionalisasi pengembangan usaha ternak kerbau
yang dapat dilakukan yaitu:
Pola pembinaan kelompok
Pembentukan dan pengembangan kelompok diharapkan sebagai sarana
pembelajaran, sebagai unit produksi, wadah kerjasama dan unit usaha.
Pola kawasan
24. Kawasan khusus pengembangan ternak kerbau, mempermudah pelayanan dan
pemasaran, sebagai sentra pengembangan agribisnis, pembinaan dan pengembangan
kelembagaan.
Pola bergulir
Dengan model Bantuan Langsung Masyarakat pada saatnya harus digulirkan
kepada anggota/kelompok lain.
Pola kemitraan
Usaha kemitraan didefinisikan sebagai kerjasama antara usaha kecil dan menengah
atau dengan usaha besar, disertai pembinaan dan pengembangan usaha
dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling
menguntungkan. Menurut Widyahartono dalam Hermawan et al. (1998) prinsip
kemitraan ditandai oleh adanya azas kesejajaran kedudukan mitra, azas saling
membutuhkan dan azas saling menguntungkan yang merupakan persetujuan antara
dua atau lebih perusahaan untuk saling berbagi biaya, resiko dan manfaat.
Menurut Makka (2005), pola kemitraan usaha bidang peternakan yang dapat dilaksanakan
meliputi: 1) pola inti - plasma, yaitu hubungan kelompok dengan perusahaan, di mana
perusahaan bertindak sebagai inti dan kelompok sebagai plasma, 2) pola sub kontrak adalah
hubungan kelompok dengan perusahaan, dan kelompok memproduksi komponen yang diperlukan
perusahaan, 3) pola dagang umum yaitu hubungan kelompok dengan perusahaan, memasarkan
hasil produksi kelompok atau sebaliknya kelompok memasok kebutuhan perusahaan, 4) pola
keagenan adalah hubungan kemitraan, dimana kelompok diberi hak khusus untuk memasarkan,
dan 5) pola kerjasama operasional agribisnis (KOA), kelompok menyediakan sarana produksi,
sedangkan perusahaan hanya menyediakan modal atau sarana lainnya.
Jamal (2008) mengemukakan bahwa yang paling layak diterapkan dalam strategi
pengembangan ternak kerbau adalah dengan menerapkan pola pemeliharaan semi intensif, yaitu
menyediakan padang penggembalaan terbatas dengan memanfaatkan lahan tidak produktif,
ternak dilepas pada siang hari dan sore/malam hari dikandangkan. Untuk menambah pakan
yang dikonsumsi selama di padang penggembalaan, peternak bersedia memberikan pakan
tambahan (feed supplement) secara kontinyu tersedia di dalam kandang. Selanjutnya untuk
mengubah perilaku peternak dari yang semula hanya melepaskan ternaknya di padang
penggembalaan, mereka bersedia mengawasi ternaknya secara baik dan teratur. Strategi konservasi
hijauan pakan ternak dapat diartikan sebagai upaya yang dapat menjamin ketersediaan pakan
ternak ruminansia, terutama difokuskan pada pemberiannya selama musim kemarau (Nggobe,
2007).
25. Pada musim kemarau kekurangan pakan merupakan suatu kendala dalam meningkatkan
produktivitas ternak kerbau. Upaya konservasi hijauan pakan ternak (HPT) merupakan upaya
untuk memenuhi sebagian kebutuhan pakan selama musim kemarau. Namun yang perlu
diperhatikan adalah jenis hijauan perlu diseleksi berdasarkan kebutuhan dan ketahanan
terhadap kekeringan (Nggobe, 2007). Sehingga diperoleh HPT yang lebih cocok dan dapat
dikembangkan selanjutnya. Misalnya HPT yang cocok dengan salah satu tanaman palawija
adalah tanaman pakan yang tidak berkompetisi dengan tanaman utama, baik dalam penggunaan
unsur hara maupun cahaya matahari. Berdasarkan hasil penelitian Ratuwaloe dan Marandi
dalam Nggobe (2007), menunjukkan bahwa kualitas rumput lebih baik pada kombinasi
rumput+legum+jagung daripada rumput tanpa maupun dengan penggunaan pupuk. Salah satu
jenis legum yang tahan terhadap kekeringan, dapat hidup dibawah naungan dan lahan yang
tergenang serta memiliki pertumbuhan yang cepat dan sangat disukai ternak adalah
Centrosema pubescens.
Menurut Prawiradiputra et al. (2006), jenis rumput dan leguminosa yang cocok hidup pada
setiap zona berbeda antara satu dengan lainnya, baik sebagai hijauan potongan maupun hijauan
padang penggembalaan. Pada zona dataran sedang (200-700 di atas permukaan laut), yaitu
rumput Pangola, Benggala dan Signal grass, sedangkan leguminosa adalah jenis Centrocema,
Stylosanthes, Siratro dan Desmodium. Tanaman HPT yang dapat ditanam secara campuran.
Ketersediaan hijauan sangat tergantung pada alam terutama pada pemeliharaan ternak
yang dilakukan secara tradisional. Hijauan merupakan bahan pakan yang sangat mutlak
diperlukan baik secara kuantitatif atau kualitatif sepanjang tahun dalam sistem
produksi ternak ruminansia. Kualitas nutrien hijauan bagi kerbau tidak terlepas dari jenis
rumput apa yang digunakan dan di jenis lahan apa ditanam, sehingga akan mencerminkan
kecukupan, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Namun untuk lebih optimalnya dan
untuk menjaga kelangsungan serta ketersediaan hijauan yang baik, perlu dilakukan
beberapa upaya (Rohaeni et al., 2008), antara lain :
Perlu dilakukan upaya penanaman hijauan lokal yang telah adaptif pada padang
penggembalaan sehingga populasinya lebih besar
Perlu diinformasikan kepada petani mengenai pentingnya rotasi padang
penggembalaan
Sosialisasi pemanfaatan limbah pertanian untuk mengatasi kesulitan pakan pada musim
kemarau atau musin hujan yang panjang
• Perlunya pembinaan kelompok bagi petani peternak kerbau, khususnya yang berada di
daerah yang sangat terpencil.
26. Sumber makanan ternak kerbau tergantung pada sistem usahatani di suatu daerah. Daerah
yang mempunyai usahatani sawah, sumber pakan kerbau berasal dari hasil ikutan
pertanian yang potensial. Sebaliknya bagi daerah yang mempunyai sistem usahatani lahan
kering atau tegalan, pakan kerbau masih bergantung pada rumput alam dan sebagai kecil dari
pemanfaatan limbah pertanian. Sebagian besar petani/peternak kerbau di Kalsel belum
secara optimal memanfaatkan limbah pertanian untuk pakan ternak kerbau, sehingga di
beberapa daerah masih dijumpai limbah pertanian yang terbuang. Selain itu, perlu
dipertimbangkan kesesuaian dengan sistem usahatani yang dilakukan petani setempat
(Ibrahim, 2003).
Pemberian pakan dan legum menunjukkan peningkatan dan berdampak pada
peningkatan populasi ternak yang dipelihara petani selama dua tahun. Wirdahayati dan
Bamualim (2008), melaporkan bahwa pemberian pakan pada induk kerbau menyusui dengan
komposisi daun gamal dan dedak halus secara signifikan dapat meningkatkan bobot badan
induk. Kebutuhan.
PEMANFATAAN LIMBAH PERTANIAN
Pemanfatan limbah pertanian sebagai bahan pakan kerbau masih belum banyak dilakukan
peternak kerbau di lahan kering karerna pemeliharaan kerbau belum seintensif pemeliharaan sapi.
Selain itu, para peternak dalam memelihara kerbaunya masih bergantung kepada lahan
penggembalaan yang ada di sekitar kandang.
Meskipun potensi limbah pertanian yang ada di Kalsel melimpah, namun pemanfaatannya
belum optimal. Limbah pertanian seperti jerami padi sawah, dan jagung mendukuki peringkat
terbanyak sebagai tanaman pertanian dilahan kering. Hal ini menunjukkan bahwa potensi limbah
pertanian masih dapat diandalkan sebagai sumber pakan ternak kerbau, selain hijauan
pakan utama dari rumput-rumputan. Di sisi lain, pemanfaatan limbah pertanian seperti jerami
untuk ternak ruminansia terkendala dengan rendahnya kandungan protein kasar dan
rendahnya tingkat kecernaan sehingga kemampuan mengkonsumsinya pun masih rendah.
Pemanfaatan limbah pertanian untuk ternak ruminansia rata-rata sebesar 60-70%, dengan
kadar protein kasar, bahan kering dan TDN yang berbeda-beda. Hal ini sangat erat
hubungannya dengan kandungan serat kasar limbah dan tingkat daya cerna. Semakin tinggi
kandungan serat kasar, maka semakin rendah tingkat daya cernanya.
Pemberian pakan tambahan pada kerbau di musim kemarau sangat membantu dalam
pemulihan kondisi ternak yang kekurangan pakan. Pakan tambahan yang memiliki kualitas
27. nutrien baik, seperti legum pohon (turi, gamal, lamtoro, dll.), tersedia cukup banyak dan dapat
diperoleh di sekitar lokasi peternakan. Selain lebih murah, tanaman legum pohon ini dapat
bertahan didup dan bahkan tetap berproduksi dalam musim kemarau dengan perlakuan
manajemen pemotongan yang teratur (Nulik et al., 2004 dalam Nggobe, 2007).
D. INOVASI TEKNOLOGI UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN TERNAK
KERBAU
Perbibitan kerbau di Indonesia diarahkan pada kerbau Lumpur penghasil daging, karena
daging kerbau dapat mensubstitusi kebutuhan daging sapi. Revitalisasi peternakan kerbau
harus dilakukan karena di beberapa daerah tertentu di NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan, daging kerbau lebih disukai
dan populer dibandingkan daging sapi. Kontribusi daging sapi dalam memasok kebutuhan
daging nasional sekitar 23% dan sekitar 2,5% diantaranya berasal dari daging kerbau, berarti
10% dari total “produksi daging sapi” berasal dari kerbau (DIWYANTO dan
HANDIWIRAWAN, 2006). Disamping itu pada beberapa daerah spesifik kerbau digunakan
sebagai penghasil susu karena preferensi masyarakat setempat.
Perkembangan ternak kerbau relatif lebih lambat dari pada sapi sebagai akibat dari
kurangnya perhatian dari pemerintah dan tingkat reproduksi yang lebih rendah, karena
kesulitan mendeteksi ternak betina yang birahi, masa kebuntingan yang relatif lebih lama (11
bulan) dibanding sapi (9 bulan) dan interval kelahiran yang lebih panjang. Namun demikian
kerbau memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dengan pakan yang berkualitas rendah
dibanding sapi. Berdasarkan data populasi ternak kerbau di Indonesia tidak mengalami
peningkatan sementara jumlah pemotongan meningkat terus maka sudah saatnya penelitian dan
pengembangan kerbau di Indonesia mendapat perhatian yang lebih serius.
Penurunan produktivitas kerbau diduga karena adanya pengurasan pejantan, akibat pejantan yang
baik selalu terjual ke pasar, sehingga pejantan yang tertinggal adalah pejantan muda yang
harus melayani induk-induk yang memang dilarang dipotong.
Kerbau sebagai sumber protein hewani (daging) dapat mencapai rata-rata pertambahan
bobot badan sebesar 0,73 kg/ekor/hari (DITJENNAK, 2005). Namun demikian
kebutuhan bibit kerbau yang bagus saat ini menjadi salah satu kendala terhambatnya
perkembangan kerbau di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari bobot badan yang semakin
rendah, banyaknya kerbau albino di beberapa daerah seperti di Banten dan Jawa Barat serta
banyaknya kerbau lumpur yang bertanduk menggantung (TRIWULANNINGSIH et al., 2005).
Padahal harga kerbau albino sering lebih rendah dibandingkan kerbau normal, tetapi
28. karena kelangkaan pejantan yang berkualitas, maka kerbau albino maupun pejantan muda
terus digunakan untuk melayani betina yang ada.
AGRO-EKOSISTEM
Daya adaptasi kerbau sangat tinggi, sebagaimana terlihat dari penyebaran kerbau
yang luas. Secara visual perkembangan kerbau di Indonesia menyebar di segala agroekosistem yang
ada. Kerbau berkembang di daerah iklim kering di NTT dan NTB, lahan pertanian subur di Pulau
Jawa, lahan rawa di Kalimantan dan daerah pantai dari Asahan sampai Sumatera Selatan.
Kerbau juga berkembang di daerah pegunungan di Tapanuli Utara, Tengger dan sebagainya
sampai dataran rendah di pinggir laut seperti di Banten, Tegal, Bengkulu (Kabupaten
Muko-Muko) dan Brebes. Bahkan tanpa diurus, di Cagar Alam Baluran populasi kerbau
mengalahkan perkembangan Banteng.
Dari segi etnik dan agama juga tidak ada penghalang. Kerbau begitu tinggi nilainya bagi
budaya masyarakat Minang, Batak, Toraja dan beberapa suku lain di NTB dan NTT.
Dengan demikian pengembangan usaha peternakan kerbau dan wilayah agribisnis kerbau
sangat luas hampir meliputi seluruh agrosistem dan sosio-budaya yang ada.
Sarana dan prasarana dalam sistem agribisnis kerbau masih tertinggal jauh karena
memang produksi belum masuk pada era usaha komersial melainkan masih dalam proses
produksi bercorak “Zero input”. Belum ada pasar hewan kerbau, rumah potong kerbau, toko
peternakan kerbau dan sebagainya yang dibutuhkan oleh suatu sistem agribisnis kerbau. Sistem
produksi masih berada pada sistem tradisional yang lebih mengarah pada “Zero cost” bukan
pada efisiensi usaha. Di sini terlihat bahwa usaha produksi belum berorientasi pada
pasar. Dengan demikian potensi kerbau belum dapat dimaksimalkan sebagai penghasil
daging, susu, kulit dan kompos sebagaimana yang diharapkan oleh perkembangan pasar dan
sumbangan kerbau dalam membangun pertanian yang berkesinambungan dalam
mensejahterakan rakyat.
Baik hijauan maupun sisa hasil pertanian seperti jerami padi, jerami jagung yang
dihasilkan di daerah tropis basah seperti kebanyakan daerah Indonesia, memiliki sifat
kandungan serat kasar yang tinggi. Kerbau memiliki kemampuan menggunakan pakan
berserat tinggi karena memiliki bakteri rumen spesifik. Hal ini memungkinkan daya saing dan
keberlanjutan usaha karena penyediaan pakan akan lebih mudah. Hijauan berproduksi tinggi
seperti rumput Gajah dan rumput Raja dapat digunakan dengan baik, sehingga keberlanjutan
dari segi keterbatasan lahan usaha dapat diatasi. Tanaman alang-alang kalau dengan
manajemen yang baik dapat dijadikan pastura bagi peternakan kerbau. Demikian pula jerami
29. padi yang berlimpah apalagi dengan teknologi fermentasi menjadi pakan potensial bagi
kerbau.
Hampir seluruh agroekosistem yang ada di Indonesia berpotensi untuk pengembangan
usaha peternakan dan wilayah agribisnis kerbau. Pola pengembangan usahatani dan
wilayah agribisnis kerbau sangat cocok dengan usahatani ramah lingkungan. Keberadaan
sumberdaya manusia baik sebagai konsumen berpotensi besar karena tidak ada hambatan
selera, budaya maupun agama. Yang menjadi problem tentunya adalah pengetahuan dan
ketrampilan baik masalah teknis maupun masalah manajemen (managerial skill).
INOVASI TEKNOLOGI
Ternak kerbau dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu Kerbau Lumpur
(Swamp Buffalo) dimana populasinya tersebar di Asia Tenggara, dan Kerbau Sungai (Riverine
buffalo) yang terkonsentrasi di sekitar India, Pakistan, Afrika Utara, Italia dan Bulgaria.
Jumlah kromosom di antara kedua jenis kerbau berbeda yaitu sebanyak 48 kromosom pada
kerbau lumpur dan 50 kromosom pada kerbau sungai. Sebagian besar kerbau di Indonesia adalah
Kerbau Lumpur dan hanya beberapa ratus ekor kerbau sungai dijumpai di Sumatera Utara.
Kerbau Lumpur dijumpai mempunyai variasi yang cukup besar pada berat badan maupun
warna kulit, sehingga dikenal dengan bermacam nama seperti kerbau Jawa, Aceh, Toraja,
Kalang, Moa dan lain sebagainya.
Kerbau Sungai dijumpai di Medan-Sumatera Utara sebanyak sekitar 1400 ekor pada
tahun 2004, dan diperkirakan populasinya tidak meningkat karena intensitas perkawinan
inbreeding yang tinggi dan kurangnya perhatian pemerintah untuk meningkatkan produksi ternak
kerbau. Usaha untuk memasukkan darah baru belum memungkinkan sehubungan dengan upaya
pencegahan penyakit. Namun karena keragaman kerbau lumpur di Indonesia yang cukup
besar ini memungkinkan untuk dapat memilih kerbau terbaik dari suatu wilayah tertentu yang
dapat dikawinkan dengan kerbau dari wilayah yang lain (outbreeding).
Salah satu kelebihan kerbau yang selama ini dipercayai adalah kemampuannya untuk
mencerna pakan yang mengandung serat kasar tinggi. Antara lain kerbau mampu mencerna
jerami padi yang tersedia melimpah saat musim panen dan dapat disimpan sebagai
cadangan pakan di musim kemarau.
Dewasa ini, seiring dengan semakin berkembangnya teknologi, telah tersedia
banyak pilihan teknologi reproduksi yang dapat diterapkan pada ternak, seperti
intensifikasi kawin alam (INKA), inseminasi buatan (IB), fertilisasi in vitro (FIV), transfer
30. embrio (TE), clonning, transfer gen, dan lain-lain. Pemilihan teknologi reproduksi yang akan
diterapkan harus memperhatikan kondisi obyektif peternak, karena hal ini terkait dengan
efektivitas dan efisiensi yang ditimbulkan akibat penerapan teknologi tersebut. Melihat
kond77isi obyektif peternakan tradisional kita, maka untuk saat ini teknologi IB dan INKA
adalah pilihan yang tepat dibandingkan dengan teknologi reproduksi lain. Penerapan teknologi
reproduksi yang lebih mutakhir belum mendesak karena di samping tingkat
keberhasilan yang masih rendah pada tingkat lapang, juga memerlukan tambahan biaya yang
besar.
Sinkronisasi (penyerentakan) estrus merupakan salah satu teknologi reproduksi yang
sering diterapkan untuk mendukung keberhasilan program IB. Dengan teknologi ini sekelompok
ternak yang memperoleh perlakuan khusus akan memperlihatkan gejala-gejala estrus dalam
waktu relatif serentak sekitar dua hari setelah perlakuan.
Sekelompok ternak betina yang estrus serentak akan memudahkan pelaksanaan IB yang
pada akhirnya akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi manajemen peternakan secara
keseluruhan. Penerapan teknologi sinkronisasi estrus dan IB secara simultan terhadap ternak
dalam jumlah banyak akan meningkatkan efisiensi peternakan. Hal ini karena dalam
waktu bersamaan peternak akan memiliki sekelompok ternak bunting, melahirkan, dan umur
anak yang relatif seragam, sehingga memudahkan dalam proses pemeliharaan.
Dengan demikian peternak juga dapat mengatur waktu yang tepat kapan melakukan proses
perkawinan, terkait dengan permintaan pasar dan musim dimana ketersediaan pakan hijauan
yang cukup saat melahirkan dan menyusui anaknya, sehingga diharapkan angka kematian
pedet dapat dikurangi. Mahyuddin et al. (1995) melaporkan pada penelitiannya yang
menggunakan kerbau Lumpur bahwa pada kelompok kerbau yang diberi konsentrat 1% dari
bobot badan, dibandingkan tanpa konsentrat dan rumput Gajah diberikan ad libitum pada
kedua kelompok selama delapan minggu, kemudian diberi prostaglandin (PGF 2α) untuk
sinkronisasi estrus dan diinseminasi setelah 72 jam estrus. Ternyata pada kelompok kerbau yang
hanya diberi rumput Gajah tanpa konsentrat hanya 50% yang menunjukkan aktivitas
ovarinya, sementara pada kelompok yang diberi konsentrat 100% memberikan profil
progesteron yang menandakan adanya aktifitas ovari.
Untuk memperoleh keturunan dengan jenis kelamin yang diinginkan dapat dilakukan
melalui perkawinan menggunakan semen hasil pemisahan sel spermatozoa pembawa kromosom
penentu jenis kelamin (sexing spermatozoa). Dengan sexing, rasio spermatozoa pembawa
kromosom X (betina) dan Y (jantan) yang awalnya 50:50 dapat dirubah menjadi sekitar
31. 70:30 atau bahkan lebih. Pemisahan secara sederhana didasarkan pada perbedaan ukuran
antara spermatozoa pembawa kromosom X dan Y. Ukuran spermatozoa pembawa
kromosom Y lebih kecil dibandingkan dengan spermatozoa pembawa kromosom X. Hal
pokok yang menyebabkan rendahnya angka kelahiran kerbau adalah kondisi induk
kerbau yang kurang prima, karena kualitas pakan yang rendah dan serangan parasit
yang tinggi, kecuali itu estrus lebih banyak terjadi pada malam hari, saat pejantan
mungkin tidak berada pada kandang yang sama. Umur pertama kali dikawinkan dan umur
mencapai bobot potong optimal yang lama, disebabkan kualitas nutrisi yang rendah dengan
sistem pemeliharaan yang tradisional, yang hanya memberikan rumput alam tanpa pernah
memberikan obat cacing (Siregar et al.,1997).
Di Kalimantan Selatan, dikenal kerbau Kalang yang berfungsi hanya sebagai tabungan
dan umumnya mencari makan di sungai dan kalau malam hari naik ke “kalang”. Di sini ada
kendala, kalau musim hujan pakan relatif lebih sulit, karena banjir sehingga banyak
menyebabkan kematian pada anak kerbau. Bila musim kering, pakan relatif lebih banyak.
Penyebab kematian kerbau umumnya penyakit bakteri dan parasiter dan kecelakaan karena tidak
dapat keluar dari lubang tempatnya berkubang. Sementara itu performans produksi dan
reproduksi pada kerbau Kalang telah diamati oleh Putu et al.(1995), seperti tertera pada
Tabel 2. Dikatakan bahwa peternakan kerbau Kalang masih perlu ditingkatkan secara massal
untuk memanfaatkan agroekosistem rawa yang ada, sehingga memberikan nilai tambah bagi
kesejahteraan penduduk di sekitarnya. Pada Tabel 2 tersebut terlihat bahwa perkawinan
sesudah melahirkan antara 149 sampai 171 hari, hal ini terjadi karena lamanya penyapihan dan
lamanya involusi uterus setelah melahirkan yang mungkin akibat kualitas pakan yang
tersedia, akibatnya jarak beranak menjadi panjang, yaitu sekitar 16 bulan. Oleh sebab itu
sistem perkawinan disesuaikan dengan musim di suatu lokasi, dimana pakan melimpah dan
anak tidak kekurangan susu induk, sehingga kematian dini dapat dihindari.
ALTERNATIF PENGEMBANGAN
Selama ini, usaha peternakan kerbau masih menguntungkan, terbukti dengan tetap
dipeliharanya kerbau sebagai tabungan dan dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan
besar. Di Bengkulu, ternak kerbau dipelihara ekstensif dan nyaris tidak tersentuh teknologi
(“zero input”). Umumnya peternak sudah berpengalaman lama dalam pemeliharaan
ternak kerbaunya karena merupakan usaha keluarga yang turun temurun. Disamping itu
usaha ini mampu menghasilkan uang lebih banyak dibandingkan usaha tani lainnya. Kerbau
dapat memanfaatkan pakan/serat kasar lebih baik dari pada sapi dan pupuknya sangat diharapkan
untuk usaha pertanian lain serta biogas untuk keluarga petani.
32. Dengan beternak kerbau dapat memanfatkan sumber tenaga kerja keluarga
atau waktu senggangnya bagi usaha produktif yang akan dapat menunjang usaha penyediaan
lapangan kerja. Peternakan kerbau rakyat masih mempunyai fungsi sosial yang amat
penting, karena itu pengembangannya perlu mendapat lebih banyak perhatian. Misalnya
melalui perbaikan manajemen perkawinan; baik melalui perkawinan alam maupun
inseminasi buatan. Sistem pemeliharaan/ perkadangan per kelompok dengan beberapa
pejantan yang bagus mutu genetiknya dengan perbandingan betina : jantan (20:1) atau
dengan inseminasi buatan (200:1), sistem perkawinan yang teratur, sehingga diperoleh anak
pada setiap bulan sekitar 200 ekor per kelompok, sehingga tiap tahun dapat
diharapkan anak lepas sapih sekitar 175 x 12 = 2100 ekor (asumsi kematian anak 9 - 10%).
Pengadaan pejantan unggul dalam satu wilayah/kelompok peternak kerbau pada lokasi
yang strategis, sehingga mudah dijangkau oleh semua peternak dalam kelompok ternak
tersebut. Kalau perkawinan secara alam, maka pejantan digilir minimum per dua bulan untuk setiap
kelompok. Apabila usaha ini diikuti dengan sistem pemberian pakan yang bagus, maka
kematian anak dapat dikurangi lagi. Misalnya dengan metode penanaman jagung (5 butir per
lubang, pada umur sekitar 2 bulan diambil yang 3 batang untuk ternaknya) dan
penanaman Glirisidia di sepanjang pematang sawah/kebun. Pemberian daun Glirisidia yang
sudah dilayukan sebelumnya (10% dari hijauan) sangat tinggi proteinnya dan
dapat mempertahankan kebuntingan, karena fungsi corpus luteum untuk memproduksi
progesteron dapat dipertahankan,
PENDEKATAN KEGIATAN
Beberapa pendekatan untuk mengatasi berbagai masalah usaha peternakan kerbau
maka diperlukan berbagai kegiatan yang saling terkait dan mendukung antar berbagai instansi
maupun disiplin ilmu antara lain adalah:
1. Penyuluhan pada petani peternak, tentang bagaimana cara beternak kerbau yang baik. Di
lokasi padat ternak kerbau dibuat suatu ”demplot” yang melibatkan semua pihak
(pemerintah, swasta, peternak kerbau).
2. Penyediaan fasilitas permodalan atau kredit dari Bank untuk pengembangan usaha
beternak kerbau. Peternak yang sudah biasa memelihara ternak kerbau layak diberikan
fasilitas kredit usaha peternakannya yang sekaligus akan merupakan sumber
penghasilan yang lebih berarti bagi rakyat setempat. Disarankan prasyarat yang
mudah, terutama bagi peternak kecil yang mampu melaksanakan breeding program
dalam rangka Rural Credit Program antara lain: (1) Jangka waktu kredit 5
sampai 8 tahun, (2) Kredit diberikan untuk 5 ekor kerbau untuk breeding maupun
33. untuk ternak kerja, (3) Peternak diharuskan menanam pakan ternak, sehingga
kekuatiran tiadanya hijauan pada musim kemarau dapat dihindari (dapat dikaitkan
dengan tanaman pangan lainnya, seperti jagung, sayuran dsb.).
3. Pelaksanaan pengembangan usaha peternakan haruslah dibuat terintegrasi
dengan usaha pertanian lain (tanaman pangan atau perkebunan), sehingga
pupuknya dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian tersebut dan limbah pertanian
dapat dimanfaatkan oleh kerbau, seperti jerami padi yang tersedia melimpah saat
panen. Pada perkebunan kopi yang umumnya ditanam Glirisidia sebagai
tanaman pelindung, daunnya dapat digunakan sebagai salah satu sumber
protein untuk kerbau.
4. Sistem perkawinan diatur dengan menggunakan pejantan unggul, sehingga setiap
15 bulan dapat dihasilkan anak kerbau yang sehat.
MODEL PENGEMBANGAN
Adapun model pengembangan peternakan kerbau, antara lain dari cara pemeliharaannya
yang selama ini extensive sebaiknya sudah harus dirubah menjadi semi intensive, dengan
sedikit sentuhan teknologi dan tatalaksana pemeliharaan serta pengendalian penyakit, maka
diharapkan usaha peternakan kerbau menjadi lebih menguntungkan. Hal ini tercermin
dari tujuan peternak memelihara kerbau adalah untuk menyimpan uang (saving). Peternak
sudah sangat berpengalaman dalam memelihara kerbau, karena sudah merupakan usaha turun
temurun. Diharapkan pemeliharaan kerbau dapat terintegrasi dengan kegiatan pertanian yang
lain
Kerbau jantan yang akan dijual sebaiknya digemukan terlebih dahulu baru dijual. Sebagai
contoh suatu perusahaan penggemukan kerbau di Sukabumi, dimana kerbau berasal dari Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan sekitarnya. Rata-rata bobot badan awal 282 kg dan
setelah dipelihara selama 83 hari dengan pemberian pakan jerami padi dan diberi
probiotik, bobot badannya meningkat menjadi rata-rata 400 kg, berarti pertambahan obot
badan per hari sekitar 1,42 kg; ini suatu bukti bahwa untuk kerbau yang berasal dari daerah
dimana pakan sulit, setelah dipelihara intensif dapat lebih menguntungkan dibanding sapi.
Analisis Cash Flow Tabel 3 ini adalah suatu contoh model analisa usaha inovasi teknologi
perbibitan dan penggemukan sapi potong di Kalimantan Barat yang dapat dijadikan
acuan bagi pengembangan kerbau. Usaha penggemukan bergulir setiap 3 bulan, sehingga
peternak mendapat dana segar setiap 3 bulan, disamping itu usaha pembibitan terus dijalankan.
34. BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Lahan kering di NTT sangat penting untuk dikembangkan karena menyimpan potensi
yang begitu besar untuk diolah dan dimanfaatkan demi kepentingan khalayak ramai
2. Pengembangan peternakan khususnya ternak kerbau memiliki potensi yang sangat baik
untuk dikembangakan di daerah lahan kering dengan memanfaatkan sumber-sumber daya
local yang ada
3. Pengelolaan ternak kerbau di daerah lahan kering penting untuk mengintroduksi
teknologi-teknologi yang sudah ada agar dapat mengoptimalisasi potensi yang dimiliki
ternak kerbau untuk kepentingan manusia.
SARAN
Dibutuhkan pengkajian lebih lanjut dari referensi – referensi terkait untuk mencari prospek
pemeliharaan ternak kerbau yang terbaik di daerah lahan kering
35. DAFTAR PUSTAKA
Aisiyah, N. 2000. Studi Ukuran Tubuh Sapi Madura Di Desa Samaran, Kecamatan
Tambelayan, Kabupaten Sampang, Madura. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Basuki, P. 1998. Dasar Llmu Ternak Potong Dan Kerja. Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta.
BRADFORD, G.E. Dan Y.M. BERGER. 1990. Breeding Strategies For Small Ruminants In
Arid And Aemi Arid Areas. In E.F. THOMSON And F.S THOMSON (Eds). Increasing
Small Ruminants Productivity In Semi Arid Ares. Elsevier. 95-109.
Chantalakhana, C . 1981. A Scope On Buffalo Breeding. Buffalo Buletin. 4(4):224- 242.
CHATALAKHANA, C. 1994. Swamp Buffalo Development In The Past Three
Decades And Sustainable Production Beyond 2000. Long Them Improvement Of
The Buffalo Proceeding Of The Fors ABA Congress BPRADEC. Bangkok.
Cockrill, W. 1974. The Husbandry And Health Of The Domestic Buffalo: The Buffalo Of
Indonesia. Food And Agriculture Organization Of The United Nations, Rome.
DAUD, M.J. Dan M.K.M. YUSUF. 1983. Supple-Mentation With Selected Feedstuffs For
Sheep Grazing Under Rubber Plantations. Proceedings Of The 7th Annual Converence Of
Malaysian : 199 – 205.
Departemen Pertanian. 2008. Road Map Perbibitan Ternak. Direktorat Perbibitan, Direktorat
Jenderal Peternakan, Jakarta.
Dilaga, S. H. 1987. Suplemensi Kalsium Dan Fosfor Pada Kerbau Rawa Kalimantan Tengah Yang
Mendapat Ransum Padi Hiang (Oryza Sativa Forma Spontanea). Tesis. Fakultas Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Diwyanto, K. 1982. Pengamatan Fenotip Domba Priangan Serta Hubungan Antara Beberapa
Ukuran Tubuh Dengan Bobot Badan. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
36. Dwiyanto, K. Dan Subandryo, 1995. Peningkatan Mutu Genetik Kerbau Lokal Di Indonesia.
Lokakarya Nasional Pengembangan Ternak Kerbau Di Indonesia, Bogor. Proc. Seminar
Penelitian Peternakan, Puslitbangnak-Bogor : 156 – 160.
Fahimuddin, M. 1975. Domestic Water Buffalo. Oxford And IBH Publishing. Co. G G Joupath,
New Delhi.
Guzman, M. R. 1980. An Overview Of Recent Development In Buffalo Research And
Management In Asia. Dalam: Buffalo Production For Small Farms. ASPAC, Taipei.
HARDJOPRANOTO, S. 1982. Kasus-Kasus Infertilitas Pada Kerbau Lumpur Di Jawa Timur.
Proc. Seminar Penelitian Peternakan, Puslitbangnak-Bogor.
Hardjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Airlangga University Press, Surabaya.
Hasinah, H. Dan Handiwirawan. 2006. Keragaman Ganetik Ternak Kerbau Di Indonesia.
Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan
Daging Sapi. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
HENDRATNO, L., SUKARYONO, Z. ABIDIN, R. BAHARUDDIN Dan J.M.
OBST. 1981. Penggunaan Dedak Dibandingkan Dengan Bungkil Kedelai Sebagai
Konsentrat Pada Kerbau Yang Diberi Makan Rumput Lapangan.
Lendhanie, U. U. 2005. Karakteristik Reproduksi Kerbau Rawa Dalam Kondisi Lingkungan
Peternakan Rakyat. Kalimantan Selatan. Bioscientiae. Vol. 2 No 1. Januari:43-48.
Mason, I. L. 1974. Species, Types And Breeds. Dalam: Cockrill, W. R. (Editor). The Husbandry
And Health Of Domestic Buffalo. Food And Agriculture Organization Of The United
Nations, Rome.
Mongkopunya, K. 1980. Reproductive Failures In Swamp Buffaloes In Thailand. Dalam:
Buffalo Production For Small Farms. ASPAC, Taipei.
National Research Council, 1981. The Water Buffalo: New Prospects For An Underutilized
Animal. National Academy Press, Washington, D. C.
Parakkasi, A. 1997. Ilmu Nutrisi Dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia,
Jakarta.
37. Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reproduksi Ternak. Fakultas Kedokteran Veteriner Institut
Pertanian Bogor. Mutiara, Jakarta.
Saleh, A. R. 1982. Korelasi Antara Bobot Badan, Lingkar Dada Lebar Dada Tinggi Pundak,
Panjang Badan, Dan Dalam Dada Pada Sapi Ongole Di Pulau Sumba. Media Peternakan
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sosroamidjojo, M. S. Dan Soeradji. 1990. Peternakan Umum. CV Yasaguna, Jakarta.
TRIYANTINI Dan C.H. SIRAIT. 1988. Larutan Asam Untuk Memperpanjang Masa Simpan
Daging Sapi, Proceeding Pertemuan Ilmiah Ruminansia, Bogor 8-10 Nevember
1988 : 246-251.