Dokumen ini berisi pernyataan Gajah Mada sebagai patih Majapahit bahwa jika seluruh Nusantara dapat ditaklukkan, ia akan berhenti berperang. Jika ia kalah di Gurun, Seram, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompu, Bali, Sunda, Palembang, atau Tumasik, maka ia akan berhenti berperang.
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
Desentralisasi Asimetris Ditinjau dari Dimensi Kelembagaan & Hubungan Pusat-Daerah
1. Tri Widodo W. Utomo
Disampaikan dalam Seminar “Prospek Penerapan Desentralisasi
Asimetris Dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia”
PKP2A I LAN Bandung, 26 November 2012
2. DESENTRALISASI
Penataan Hubungan DESENTRALISASI
Pusat-Daerah ASIMETRIS
Kebutuhan Hubungan Pusat-
Kelembagaan Daerah yg Asimetris
(pengelola urusan)
Model Kelembagaan
yg Asimetris
4. DESENTRALISASI DESENTRALISASI
“SIMETRIS” ASIMETRIS
Sistem campuran Sistem campuran
dengan penekanan dengan
pada urusan RT penekanan pada
Formil & Riil *) urusan RT Materiil
*) PP No. 25/2000 dan PP No. 38/2007 hanya
menyediakan rincian secara umum, tidak berlaku sama
untuk setiap daerah (bukan rincian spesifik).
5. • Urusan RT Materiil (materiele huishouding)
– Negara & daerah otonom mempunyai urusan
masing2 yg (materinya) spesifik;
– Pembagian tugas Pusat-Daerah diperinci secara
tegas dalam peraturan per-UU-an;
– Urusan yg tidak masuk dalam rincian urusan
daerah, menjadi urusan pusat (Residu).
• Urusan RT Formil (formele huishouding)
– Urusan pusat pada prinsipnya dapat dikerjakan
pula oleh daerah;
– Pembagian tugas hanya didasarkan atas alasan
rasional dan praktis, bukan karena materi yg
diatur berbeda sifatnya, melainkan semata-
mata karena pertimbangan efektivitas
(Konkordan).
6. • Urusan RT Riil (riele huishouding)
– Setiap UU pembentukan daerah mencantumkan
urusan rumah tangga daerah (urusan
pangkal), dan dapat ditambah sesuai dengan
kemampuan daerah ybs;
– Jalan tengah antara urusan RT Materiil dan
Formil?;
– Paling banyak dipakai dalam UU Pemda di
Indonesia (memori penjelasan UU No.
1/1957, penjelasan UU No. 18/1965).
• UU No. 1/1945 dan UU No. 22/1948 tidak menyatakan
secara eksplisit sistem rumah tangga yg dianut.
• UU No. 5/1974: otonomi nyata dan bertanggungjawab.
• UU No. 22/1999: otonomi seluas-luasnya.
7. Urusan RT Materiil Yogyakarta (UU No. 13/2012):
– Psl 1 butir 3: “Kewenangan istimewa adalah
wewenang tambahan tertentu yg dimiliki DIY selain
wewenang sebagaimana ditentukan dalam UU
Pemda”.
– Psl 7 (2): “kewenangan dalam urusan keistimewan
meliputi: a) tata cara pengisian
jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur
dan Wagub; b) kelembagaan Pemda DIY; c)
kebudayaan; d) pertanahan; dan e) tata ruang”.
– Psl 18: “Cagub dan cawagub adalah WN-RI yg harus
memenuhi syarat: c. Bertakhta sbg Sultan HB untuk
cagub dan bertakhta sbg Adipati PA untuk cawagub”.
– Psl 25: “Sultan HB yang bertakhta sbg Gubernur dan
Adipati PA yg bertakhta sbg Wagub tidak terikat
ketentuan 2 kali periodisasi masa jabatan
sebagaimana diatur dlm UU Pemda”.
8. • Urusan RT Materiil Aceh (UU No.
18/2001)
– Pasal 23: “Peradilan Syariat Islam di
Provinsi NAD sebagai bagian dari sistem
peradilan nasional dilakukan oleh
Mahkamah Syar’iyah yg bebas dari
pengaruh pihak manapun”.
– “Kewenangan Mahkamah Syar’iyah
didasarkan atas syariat Islam dalam
sistem hukum nasional, yg diatur lebih
lanjut dengan Qanun Provinsi NAD”.
9. • Urusan RT Materiil Aceh (UU No.
11/2006)
– Harus dengan konsultasi dan pertimbangan
DPRA sepanjang berkaitan langsung dengan
Pemerintahan Aceh: rencana persetujuan
internasional, rencana pembentukan UU.
– Harus dengan konsultasi dan pertimbangan
Gubernur: kebijakan administratif.
– Mengadakan kerja sama dengan lembaga atau
badan di LN.
– Berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan
seni, budaya, dan olah raga internasional.
– Membentuk lembaga, badan, dan/atau komisi
dengan persetujuan DPRA/DPRK kecuali yang
menjadi kewenangan Pemerintah.
10. • Urusan RT Materiil Papua (UU No. 21/1999)
– Pasal 5 (2): “Dalam rangka penyelenggaraan
Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk
Majelis Rakyat Papua yg merupakan
representasi kultural orang asli Papua yg
memiliki kewenangan tertentu dalam rangka
perlindungan hak-hak orang asli Papua …”.
– Pasal 12: “Yang dapat dipilih menjadi Gubernur &
Wakil Gubernur adalah WN RI dengan syarat: a.
orang asli Papua”.
– Pasal 18 ayat (1): “Penduduk Provinsi Papua
dapat membentuk partai politik”.
– Pasal 19: “Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh
DPRP bersama-sama Gubernur dengan
pertimbangan dan persetujuan MRP”.
11. • Urusan RT Materiil DKI Jakarta (UU No.
29/2007)
– Pasal 26: ”Kewenangan Pemerintah Provinsi DKI
sebagai Ibukota NKRI meliputi penetapan dan
pelaksanaan kebijakan dalam bidang: a. tata
ruang, sumber daya alam, dan lingkungan
hidup; b. pengendalian penduduk dan
permukiman; c. transportasi; d. industri dan
perdagangan; dan e. pariwisata”.
– Pasal 33: “Pendanaan Pemprov DKI Jakarta
dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan
yg bersifat khusus dalam kedudukannya sbg
Ibukota NKRI dianggarkan dalam APBN”.
12. DESENTRALISASI DESENTRALISASI
“SIMETRIS” ASIMETRIS
Agency Model Partnership
> Partnership Model > Agency
Model Model *)
*) Model ini mensyaratkan kemampuan daerah yg
memadai, baik kemampuan SDM, anggaran, maupun
partisipasi masyarakat.
*) Membuka peluang dimunculkannya kelembagaan tradisional
spt Wali Nanggroe, Tuha Nanggroe dan Mahkamah Syariah
(Aceh); atau Majelis Rakyat Papua (Papua).
13. • Agency Model:
– Central government has the power to create or
abolish local government bodies and their
powers. In this model, the national framework
of a policy is established centrally and local
authorities carry it out, with little scope for
discretion or variation.
• Partnership Model:
– Local government has its own political
legitimacy, finance, resources, and even legal
powers, and the balance of power between the
center and locality fluctuates according to the
contexs.
(Dennis Kavanagh, dalam Adi Lesmana, 2010)
14. DESENTRALISASI DESENTRALISASI
“SIMETRIS” ASIMETRIS
By Percentage Desentralisasi
(eg. PBB) Fiskal yg lebih
By Origin (eg. besar (persentase)
Migas) atau lebih luas
By Formula (obyek)
(eg. DAU)
15. • Pemberian pedoman dan standar pelaksanaan
urusan pemerintahan (ps. 217 ay. 1);
• Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan
daerah dilaksanakan oleh Pemerintah yang
meliputi: a). Pengawasan atas pelaksanaan-urusan
pemerintahan di daerah; b). Pengawasan terhadap
Perda dan Peraturan KDH (ps. 218 ay. 1);
• Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
Pemda secara berjenjang Gubernur kepada
Kab/Kota; Bupati/Walikota kepada Desa (ps. 222).
Harus makin diperkuat dalam konteks
Desentralisasi Asimetris
16.
17. Sayap kanan dan kiri diibaratkan sebagai urusan.
Semakin kebawah, sayap semakin lebar, yang
melambangkan luas otonomi di kab/kota semakin
besar, sementara di pusat justru sedikit.
Tangkai di tengah diibaratkan fungsi Pusat melalui
fungsi pengawasan dan/atau dekonsentrasi.
Semakin kebawah, tangkai semakin besar & kuat
yg melambangkan kebutuhan pengawasan yg
semakin intensif & efektif.
Meskipun desentralisasi diberikan dalam skala
besar bahkan secara asimetris sekalipun, namun
urusan tersebut tidak akan lepas dari tangkai
(simbol NKRI). Artinya, desentralisasi luas atau
asimetris diyakini tidak akan menjurus pada upaya
memisahkan diri sepanjang didasarkan pada
falsafah “gunungan” ini.
18. • Apakah Asimetrisme akan menjurus
pada Federalisme?
o Tidak, sebab Asimetrisme tidak mengubah
sistem ketatanegaraan (HTN), hanya
perubahan pada aspek tata pemerintahan
(HAN), cq. hubungan Pusat-Daerah.
o Daerah dengan otonomi yg asimetris tetap
tidak memiliki atribut dan/atau karakter
sebuah “negara”, seperti
konstitusi, bendera, bahasa kesatuan, dll.
o Desentralisasi (reguler) maupun
Desentralsiasi Asimetris tetap berjalan
dalam kerangka & koridor NKRI.
19. • Apakah Asimetrisme akan menjadi
preseden bagi daerah lain? (1)
o Tidak, sebab daerah yg menginginkan
desentralisasi asimetris harus
membuktikan bahwa secara historis
mereka adalah zelfbestuurende
landschappen (swapraja) atau
volksgemeenschappen
(desa, nagari, dusun, marga, dll) yg
memiliki susunan asli, sebagaimana diatur
dalam Pasal 18 UUD 1945.
o Jadi, asimetrisme bukan tuntutan
daerah, melainkan lebih sbg pengakuan
negara thd faktor historisitas sebuah
daerah.
20. • Apakah Asimetrisme akan menjadi
preseden bagi daerah lain? (2)
o Meskipun demikian, negara jangan
menunggu daerah menuntut, namun harus
memiliki peta heterogenitas & keragaman
daerah, kemudian mengakuinya.
o Pengakuan negara tsb kemudian
dituangkan dalam UU, dan akan semakin
memperkokoh pilar “Bhinneka Tunggal
Ika”.
o Daerah yg tidak memiliki alasan historis
untuk asimetris, tetap berlaku UU Pemda
sebagai lex generalis.
21. Sira Gajah Mada pepatih
amungkubumi tan ayun amukti
palapa, sira Gajah Mada: Lamun
huwus kalah nusantara ingsun
amukti palapa, lamun kalah ring
Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring
Haru, ring Pahang, Dompu, ring
Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, sa
mana ingsun amukti palapa