Naskah PDF ini saya bagikan free. Naskah ini sudah mengalami beberapa kali revisi, dan insyaAllah akan saya akan revisi agar lebih lengkap lagi. Semoga bermanfaat dan berkah
MODUL AJAR SENI RUPA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
Tuntunan walimah syar'i
1. Tuntunan Walimah;
(Resepsi Pernikahan Islam)
Islam melihat pernikahan itu bukanlah sekedar formalitas hubungan seksual, sekedar Samen Liven
(kumpul kebo), atau sentuhan tubuh ke tubuh belaka. Namun Islam mempunyai pandangan yang lebih dalam,
lebih agung daripada itu, mari coba renungkan salah satu dari sekian petunjuk-Nya :
Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu
merasa tentram kepadanya. Dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih sayang (TQS. Ar-Ruum 21)
Ketentraman disini bukannya sekedar ketentraman dari syahwat yang bergejolak, tapi ketentraman dari
kebingungan dalam jiwa seseorang. Dari situ seseorang merasakan kekosongan yang harus dipenuhi,
kekurangan yang harus disempurnakan, kelemahan yang harus dikokohkan, kecukupan serta sesuatu yang
dapat menghibur dan menggembirakan. Disitulah cinta antara keduanya mulai bersemi.
Salah satu bentuk cinta yang telah mengisi sejarah panjang kehidupan manusia adalah cinta kaum pria
terhadap lawan jenisnya. Itupun digariskan dalam firman-Nya di surat Ali Imron ayat 114, yang artinya:
Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan apa-apa yang diingini, yaitu wanita dan anak-anak (TQS. Ali
Imron 114)
Nah, sudahkah kita menjadikan rumah tangga kita sebagai ladang tempat bersemainya cinta anak
manusia. Atau bagi yang belum menikah, sudah siapkah kita memboyong diri kita untuk mengarungi nan
luasnya samudera kehidupan bersama orang-orang yang hendak kita cintai, menuju muara keberkahan dan
keridloan Allah Swt.
Keberkahan dan keridhloaan Allah akan tersampaikan pada pernikahan, jika kita dapat menjaga agar
saat acara resepsi pernikahan yang kita impikan, tetap dalam koridor tata aturan hukum Islam. Untuk itu,
pemisahan tamu undangan antara pria dan wanita, kedua pengantinnya tidak berdandan berlebihan (tabarruj)
dan membuka aurat adalah merupakan bentuk nilai dan syariat islam. Sehingga begitulah yang harusnya
diperbuat oleh umat muslim, jika ingin keberkahan melimpahi pernikahan dan pernikahan bernilai ibadah di
sisi Allah SWT.
Upaya ini bisa menjadi tauladan bagi umat muslim, karena sejatinya Islam memiliki nilai-nilai luhur
nan mulia dalam persoalan pernikahan ketimbang tradisi pesta pernikahan yang ada selama ini. Yang lebih
bernuansa materialistis, riya (pamer) dan khalwat (campur baur tamu laki-perempuan).
Karena pernikahan adalah ibadah, maka segala sesuatu yang berkaitan dengannya, termasuk tata cara
pernikahanpun tidak boleh keluar dari konteks ibadah, yakni tidak keluar dari aturan islam. Meskipun
walimatul 'ursy (resepsi pernikahan) tidak terpisahkan statusnya dari acara pernikahan sebagai ibadah, namun
dalam pelaksanaannya seringkali cenderung didominasi oleh adat-istiadat setempat yang disadari atau tidak
akan merusak nilai ibadah itu sendiri.
Risalah ini hanyalah satu usaha kecil dari sebuah proyek besar dalam penyadaran umat dan
memberikan pemahaman yang benar dalam rangka pembinaan umat, sehingga ajaran Islam yang begitu
kompleks dan luas tidak lagi asing di tengah-tengah umatnya sendiri, atau bahkan dihujat oleh umat Islam itu
sendiri, karena umat yang salah dalam memahami atau mungkin ketidaktahuannya terhadap ajaran
(agama)nya sendiri.
Untuk itu perlu diperhatikan hal-hal pada penyelenggaraan walimah agar makna ibadah dalam resepsi
pernikahan tidak rusak alias tidak diterima sebagai ibadah oleh Allah SWT :
Dasar hukum walimah
Adanya walimatul ursy, usai akad nikah merupakan salah satu sunnah nabi. Dalam pembahasan disini
tidak dibedakan pembahasan antara walimatul ursy (walimah) dengan resepsi pernikahan, karena kebanyakan
di masyarakat kedua acara itu tidaklah dipisahkan. Meskipun ada yang dipisahkan pelaksanannya, tapi
pembahasan disini lebih mengarah ke walimah Islamy.
Dasar hukum dari walimah, diantaranya beberapa hadits Rasulullah Saw, berikut ini:
Dari Anas bin Malik, sesungguhnya Nabi Saw, melihat pada Abdurahman bin Auf bekas minyak wanginya, lalu beliau
bertanya: Apa gerangan ini? Kenapa kamu melakukan ini? Ia menjawab: Wahai Rasulullah, saya telah kawindengan
seorang perempuan dengan mas kawin sekeping emas Rasulullah Saw lalu menyahut: Semoga Allah memberikan berkah
kepadamu, dan adakan walimah walau dengan (menyembelih) seekor kambing kibasy (HR. Ibnu Majah)
Dari Anas bin Malik, ujarnya: Aku tidak pernah melihat Rasulullah Saw, melakukan walimah untuk istri-istrinya
seperti yang beliau lakukan dalam walimah perkawinannya dengan Zainab, yaitu beliau menyembelih seekor kambing
kibasy (HR. Ibnu Majah)
Dari Anas bin Malik, sesungguhnya ketika kawin dengan Shafiyah, Nabi Saw mengadakan walimah dengan makan
gandum dan kurma (HR. Ibnu Majah)
2. Walimah diadakan sebagai sarana pengumuman pada khalayak bahwa kedua pengantin yang
sebelumnya dikenal masyarakat belum menikah, maka dengan adanya walimah, masyarakat tahu bahwa
keduanya sudah bukan lagi sebagai bujangan. Sehingga bagi si wanita yang telah menjadi isteri bagi laki-laki
tersebut, telah tertutup bagi laki-laki lain untuk memperisterinya, kecuali diceraikan oleh suaminya atau
suaminya telah meninggal. Disamping itu dengan adanya pengumuman tersebut, orang tahu bahwa
perempuan yang bersangkutan menjadi ahli waris dari laki-laki yang dikenal sebagai suaminya, dan sebaliknya.
Hadirnya dua orang saksi pada saat akad nikah berlangsung juga sudah menjadi bukti kuat bahwa
telah terjadi pernikahan antar dua orang anak manusia. Sehingga yang diwajibkan dalam Islam hanyalah akad
nikah atau lebih tepatnya proses ijab kabul. Adapun walimah hukumnya sunnah, bisa diadakan walimah jika
kita mampu melaksanakannya dan sesuai dengan ukuran kemampuan finansial kita.
Bertujuan untuk melaksanakan ibadah
Tidak sedikit resepsi pernikahan diselenggarakan dengan tujuan yang tidak sesuai syariat Islam.
Sehingga ada motif kebanyakan masyarakat yang berotak materialistis, melaksanakan resepsi pernikahan untuk
mendapatkan keuntungan, layaknya jual beli. Masyarakat menganggap mereka telah mengeluarkan banyak
biaya untuk pernikahan anak mereka, terutama pihak pengantin wanita, maka untuk nomboki pengeluaran,
diundanglah sekian banyak orang, dengan harapan semakin banyak orang yang diundang, maka semakin
banyak pemasukan yang masuk.
Ada juga yang punya dorongan melakukan resepsi pernikahan karena ingin dipandang wah di
masyarakat, baik si punya hajat tersebut orang kaya ataupun miskin. Kalau kebetulan yang punya hajat orang
kaya, pengeluaran berapapun tidak masalah, asal mereka bisa memamerkan kekayaan, kesuksesan, kedudukan
di hadapan rekan, keluarga, tetangga dan masyarakat sekitarnya. Tapi giliran yang punya hajat orang miskin,
untuk menyelenggarakan resepsi mereka harus berhutang kanan-kiri, bahkan ada yang menjual atau
menggadaikan barang-barang miliknya. Setelah hajatan resepsi pernikahan selesai, maka hutang pun masih
menggantung. Padahal tujuannya hanya supaya kelihatan mewah dan dipandang oleh masyarakat yang intinya
ingin riya alias pamer ke orang lain.
Suatu hal yang sia-sia belaka jika kita mengeluarkan biaya puluhan juta untuk sesuatu yang tidak ada
nilai ibadahnya sama sekali. Ibaratnya kita membangun sebuah rumah yang kita berharap bisa menempatinya
untuk tempat tinggal, tapi alangkah malangnya jika ternyata bangunan yang sudah kita susun rapi, hanya
terkena angin sepoi-sepoi saja, akhirnya roboh dan hancur.
Tidak dibenarkan menyelenggarakan resepsi dengan didasari oleh kepentingan-kepentingan selain
mencari ridlo Allah SWT. Dengan pamer kepada orang lain, artinya kita mencari ridlonya manusia, bukannya
Alllah tujuan kita. Islam mengajarkan kepada kita bahwa tujuan manusia diciptakan adalah untuk beribadah
kepada Allah, sebagaimana dalam Al-Qur an Surat adz-Dzariyat 56:
Tiada Aku ciptakan jin dan manusia, selain untuk beribadah kepada-Ku (Allah) .
Ibadah dalam pengertian luas, bukan hanya ibadah ritual seperti sholat, zakat, puasa atau haji. Tapi
setiap aktivitas yang kita lakukan dengan didasari mencari ridlo Allah serta tata caranya sesuai yang diajarkan
syariat Islam maka bisa bernilai sebagai ibadah. Sehingga sebagai seorang muslim, kita harus bersyukur kepada
Allah karena setiap aktivitas yang kita hendak lakukan, bisa menjadi ladang amal ibadah kita, yang itu tidak
dimiliki oleh umat lain selain Islam. Seharusnya rasa syukur dan bangga sebagai muslim tidak ditutupi dengan
aktivitas kita meniru adat, kebiasaan, ritual umat lain. Rasulullah Saw, dalam salah satu sabdanya :
Barang siapa meniru tingkah laku suatu kaum, maka dia tergolong dari mereka (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Tidak termasuk golonganku, orang-orang yang menyerupai selain golonganku (umat Islam) (HR. Tirmidzi)
Untuk itu pelaksanaan resepsi pernikahan harusnya diniatkan untuk beribadah kepada Allah SWT.
Karena diniatkan sebagai ibadah, maka tujuan kita melakukannya harus dijauhkan dari ketidak ikhlasan alias
hanya untuk mencari ridlo Allah. Serta jangan lupa untuk bernilai ibadah dihadapan Allah, maka tata caranya
tidak boleh melanggar syariat Islam atau yang tidak pernah dituntunkan oleh syariat Islam. Sebagaimana
firman Allah dalam surat al-Hasyr ayat 7 yang artinya
Dan apa-apa yang diperintahkan oleh Rasul maka ambillah, dan apa yang dilarang maka tinggalkanlah .
Juga dalam sabda Rasulullah: Barang siapa yang beramal, tidak ada perintah dariku, maka tertolak amal itu
(HR Bukhori)
Pernikahan sipil, bolehkah?
Yang dimaksud pernikahan sipil disini adalah pernikahan yang dilakukan oleh catatan sipil, yang pihak
pelaksananya di Indonesia adalah Kantor Urusan Agama (KUA). Dalam pernikahan sipil, seluruh data tentang
kedua pengantin dicatat lengkap, kemudian mensyaratkan calon pengantin pria harus mengurus surat pindah
3. nikah ke pihak wanita. Tidak cukup hanya itu, pihak kantor KUA juga akan menarik biaya administrasi, yang
menurut aturan, tiap-tiap wilayah kecamatan berbeda-beda jumlah nominalnya.
Pernikahan sipil ini hanya sebuah syarat yang harus dilalui, jika kita tetap tercatat sebagai warga negara
Indonesia. Artinya secara prespektif hukum Islam, sebuah pernikahan tetap syah secara syariat Islam, jika telah
memenuhi prasyarat menurut hukum Islam. Diantaranya, mahar, ijab kabul, hadirnya wali dan saksi, serta
tidak lupa hadirnya pihak yang berakad, yakni kedua calon pengantin
Terkait dengan adanya mahar atau mas kawin terdapat dalam salah satu riwayat Sahl bin Sa ad dalam
hadits yang panjang. Diceritakan ada seorang perempuan datang kepada Rasulullah hendak menyerahkan diri
untuk dinikahi oleh Rasulullah. Tapi Rasulullah tidak berkenan terhadap wanita tersebut. Kemudian salah
seorang sahabat berdiri dan menyampaikan keinginannya untuk menikahi wanita tersebut. Oleh Rasulullah,
sahabat tersebut ditanyai tentang mahar pernikahan, yang ternyata dia tidak memiliki mahar berupa barang
apapun meskipun hanya berupa cincin dari besi. Sahabat tersebut hanya memiliki selembar sarung, yang jika
selembar sarung itu digunakan sebagai mahar pernikahannya terhadap wanita tersebut, maka sahabat laki-laki
tersebut tidak mempunyai kain penutup tubuh. Hingga akhirnya Rasulullah memerintah untuk memanggil
kembali sahabat tersebut.
Rasulullah Saw, bertanya: Apakah engkau mempunyai hafalan al-Qur an Ia menjawab Aku hafal surat ini, dan surat
itu . Rasulullah bertanya Apakah engkau menghafalnya di luar kepala? Ia menjawab Ya . Rasulullah Saw bersabda:
Pergilah, sungguh aku telah memberikan kepadamu perempuan itu dengan hafalan al-Qur an yang engkau miliki (HR.
Bukhari dan Muslim)
Adanya hadits diatas selain juga dalam QS. An-Nisa ayat 4, menjadi indikasi bahwa perintah
menghadirkan mahar atau mas kawin, menjadi sebuah kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan pada
perkawinan. Indikasi (qarinah) itu ditunjukkan dengan sikap Rasulullah yang terus menanyai sahabat tersebut
tentang mahar, hingga akhirnya bisa menikahi wanita itu hanya dengan mahar hafalan Al-Qur an.
Tentang syarat pernikahan yang lain ijab kabul, hadirnya wali dan saksi, bisa ditelusuri lewat hadits-
hadits di bawah ini
Tidak ada nikah kecuali dengan wali (HR. Ahmad, Turmudzi, Ibnu Hibban)
Aisyah ra. berkata, Rasulullah Saw, bersabda Setiap orang perempuan yang menikah dengan tanpa ijin walinya, maka
nikahnya batil (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Turmudzi)
Sungguh aku telah menikahkan dia denganmu dengan ayat-ayat Al-Qur an yang engkau hafal (HR. Bukhari dan
Muslim)
Aisyah berkata: Rasulullah Saw bersabda: Tidak ada nikah tanpa wali dan dua saksi laki-laki yang adil . (HR.
Daruqutni dan Baihaqi)
Dengan demikian, pernikahan sipil hanyalah sebuah syarat administrasi di negeri kita, bukan sebagai
syarat dari syahnya pernikahan menurut hukum syariat Islam. Namun karena begitu minimnya pengetahuan
masyarakat kita tentang syariat Islam, walaupun soal tata aturan pernikahan pun mereka tak memahami,
sehingga masyarakat menganggap hadirnya petugas KUA atau naib menjadi sebuah keharusan. Tidak cukup
hanya itu, bahkan banyak para orang tua atau wali yang karena minimnya pengetahuan Islam, mereka
kemudian mewakilkan perwalian pernikahan kepada petugas KUA, meskipun tetap syah, alangkah lebih
afdholnya jika orang tua atau wali yang menikahkan sendiri putrinya.
Jika kita memang terpaksa harus menikah dihadapan petugas sipil, maka ada satu hal penting yang kita
dilarang untuk melakukannya. Yakni membaca akad talak taklik, yang biasanya dibaca oleh pengantin pria usai
melakukan ijab kabul. Dengan membaca talak taklik yang ada di lembar terakhir surat nikah yang diberikan
oleh pihak KUA, maka itu artinya kita telah sepakat atau telah berakad sesuai isi dari bacaan talak taklik
tersebut. Sehingga sebisa mungkin, jika kita memang menikah dihadapan petugas sipil, sebaiknya meminta
kepada petugas KUA agar akad talak taklik itu tidak dibacakan. Bagi petugas KUA yang memahami syariat
Islam, tentu tidak akan memaksa pengantin pria untuk membaca akad tersebut.
Dilarang mengandung TBC (tahayul, bid ah, churafat)
1. Seperti yang sering terjadi di resepsi pernikahan di Jawa, biasanya para orang tua untuk memutuskan hari
dan tanggal pernikahan selalu menggunakan perhitungan kalender jawa (paing, pon, legi, kliwon, wage)
yang dikaitkan dengan tanggal kelahiran kedua calon pengantin. Menurut mereka hal itu nanti ada
hubungannya dengan kelancaran acara resepsi itu sendiri ataupun nasib masa depan perkawinan anak-
anak mereka. Sehingga kalau menurut hitung-hitungan kalender Jawa mereka, dan ternyata hasilnya buruk,
maka bisa saja perkawinan tidak jadi dilaksanakan.
Atau juga dalam adat Jawa, seorang anak bungsu misalnya tidak boleh menikah dengan wanita yang anak
sulung. Tidak jelas apa yang menjadi alasan mereka mengeluarkan larangan itu, tapi jika memang ada
perkawinan semacam itu, mereka akan sangat keras melarangnya. Hari pernikahan menurut mereka sangat
4. sakral, sehingga kalau misalnya hari pernikahan sudah ditetapkan satu bulan sebelumnya, tapi ternyata
dari salah satu keluarga calon pengantin ada yang meninggal dunia, misalnya kakek atau neneknya, maka
hari pernikahanpun bisa berubah bahkan batal.
Penilaian: Dalam khazanah Islam, tidak ada bulan beruntung ataupun bulan sial. Semua bulan adalah baik
dalam Islam, meskipun itu bulan Muharram ataupun Ramadhan, yang dalam kebiasaan masyarakat Jawa di
bulan itu tidak boleh mengadakan hajatan. Sebab menurut mereka di bulan Muharram jika kita tetap
melaksanakan resepsi pernikahan, maka akan banyak timbul malapetaka, atau nasib buruk akan menimpa
kita. Tentu itu suatu kepercayaan yang tidak berdasar sama sekali. Kepercayaan akan ramalan nasib dalam
Islam tidak ada tuntunannya. Rasulullah Saw bersabda:
Barang siapa mendatangi Kahin (tukang sihir, dukun, tukang santet, tukang ramal, paranormal, dll) dan
membenarkan apa yang ia katakan, sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Saw
(HR. Abu Dawud)
Barangsiapa mendatangi dukun/ peramal dan bertanya kepadanya tentang sesuatu maka shalatnya selama empat
puluh malam, tidak akan diterima (HR. Muslim)
Barang siapa membatalkan maksud keperluannya karena ramalan mujur-sial, maka dia telah bersyirik kepada Allah
(HR. Ahmad)
Dalam rukun Iman, Islam mengajarkan kepada kita untuk beriman kepada qodho dan qodhar serta baik
buruknya bagi kita. Sehingga setiap manusia nasibnya sudah ditentukan oleh Allah SWT, tidak ada
manusia yang dilahirkan bernasib sial ataupun mujur. Hanya manusia itu sendiri yang bisa memilih, dia
ingin selamat atau celaka. Jika kita mengaku beragama Islam, kita selalu bertawakal kepada Allah dengan
senantiasa berusaha agar setiap aktivitas yang kita lakukan, termasuk pelaksanaan resepsi pernikahan, agar
tidak keluar dari koridor syariat Islam, yang akan mengundang murka Allah SWT, itu artinya kita telah
mencelakai diri kita.
2. Hadirnya sesajian dalam pernikahan adat Jawa tidaklah boleh ditinggalkan. Konon hal itu untuk menolak
bala atau sesuatu yang diluar jangkauan manusia. Sesajian itu berisi segelas air putih, nasi putih beserta
lauk pauk kering, pisang satu tandan dan tidak lupa kembang atau bunga tujuh rupa serta kemenyan.
Biasanya peletakan sesajian itu berbeda-beda, ada yang di dapur yang katanya supaya makanan tidak
mudah gosong, atau supaya makanan tidak habis padahal tamu masih berdatangan. Sesajian di kamar tidur
pengantin, menurut mereka untuk menjaga tidur pengantin dari godaan mahluk halus. Sesajian di kamar
mandi atau tempat pengantin perempuan melakukan acara siraman . Sesajian juga ditempatkan di
panggung pelaminan atau tenda tamu, biar panggung atau tendanya tidak roboh dan juga sekaligus
menolak turunnya hujan.
Penilaian: Jelas hadirnya sesajian itu bukanlah berasal dari ajaran Islam, sekalipun mungkin saat
meletakkan sesajian itu mengundang seorang kyai dan melafadzkan bacaan islamy seperti al fatihah atau
surat yaasin. Adat seperti itu terpengaruh oleh adat orang Hindu atau Budha, yang biasanya mereka
berdalih, itu pernah diajarkan oleh para Wali. Jika mereka berdalih seperti itu, maka sebagai seorang Wali
(ahli agama), tentu tidak akan pernah mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan syariat Allah.
Bagaimana bisa seorang Wali yang merepresentasikan sebagai ulama mengajarkan untuk meminta
perlindungan dari godaan marabahaya ataupun syaithan yang terkutuk dengan menggunakan sesajian
yang tidak ada tuntunannya dalam Islam? Tentunya kalau benar ajaran seorang Wali, pasti akan
mengajarkan untuk menolak bala ataupun meminta perlindungan, langsung meminta kepada Allah,
mungkin dengan shalat hajat ataupun bacaan al-qur an yang tidak diikuti dengan sesajian. Dengan sesajian
yang sudah barang pasti menggunakan perantara Jin, yang itu dilarang dalam ajaran Islam, karena jelas
mengundang kesyirikan.
Sehingga hadirnya sesajian dalam pernikahan yang Islamy haruslah ditiadakan, karena tidak ada
tuntunannya dalam syariat Islam dan jelas itu adat yang termasuk dalam bid ah (kesesatan) serta jatuh pada
ritual tahayul. Apa bedanya kemudian dengan kebiasaan jahiliyah yang dilakukan kaum Quraisy sebelum
datangnya Islam? Padahal saat sekarang Islam telah paripurna dan Rasulullah telah tiada, kenapa kita ingin
mengulangi tradisi jahiliyah itu?
3. Upacara resepsi pernikahan dalam adat klasik (Jawa, Madura, Banjar, dll) maupun modern (Eropa, Kristen,
dll), tentu berbeda dengan Islam. Dalam perkawinan orang Jawa ada ritual ketika sepasang pengantin
belum resmi menjadi suami-isteri, diadakan upacara pertunangan, yang acaranya hampir mirip dengan
melamar. Bahkan dalam acara ini kedua calon pengantin di rias layaknya pengantin.
Saat upacara perkawinan dilangsungkan sederet ritual pun sudah dipersiapkan. Ritual yang tidak boleh
ditinggalkan adalah temu pengantin yang biasanya diisi dengan dipertemukannya dua pengantin yang
sudah melangsungkan akad nikah. Pengantin laki-laki berjalan bersama rombongan keluarganya yang
diapit oleh dua anak muda yang disebut manggolo yudha yang membawa sepasang rangkaian kembar mayang
5. dan dipertemukan dengan pengantin perempuan yang juga diapit dua wanita yang disebut widodari dan
diikuti beberapa wanita dibelakangnya biasanya 3 sampai 4 pasang yang disebut putri domas. Ritual
selanjutnya, pengantin laki-lakinya diminta menginjak telur dan pengantin perempuannya menyiram kaki
pengantin prianya dengan air kembang. Setelah itu kedua orang tuanya secara bergantian memberikan
minum air putih kepada kedua mempelai, baru kemudian keduanya dihantarkan ke pelaminan dengan
digandeng menggunakan kain yang diistilahkan bopongan. Dan masih banyak lagi ritual lain dalam resepsi
pernikahan adat Jawa, seperti sungkeman, kacar-kucur, dll.
Penilaian: Melihat dari runtutan acara pernikahan adat Jawa diatas, jelas tidak satupun ritual diatas, pernah
diajarkan oleh Islam. Meskipun mereka mengatakan ada nilai-nilai Islamy di dalamnya, tetap saja bahwa
Islam tidak bisa dicampuradukkan dengan adat istiadat yang pasti berbau khurafat dan bid ah. Jika kita
mengaku muslim, tentu akan bertanya darimana ritual itu berasal. Dan jika kita berniat ibadah dalam
melaksanakan resepsi pernikahan, maka nilai ibadah itu telah rusak karena terkontaminasi ketentuan yang
bukan berasal dari Islam sama sekali.
Adat istiadat suatu kaum tidak bisa dijadikan bagian dari hukum syariat. Sebagaimana bunyi kaidah ushul
fiqh, yang mengatakan Adat suatu kaum tidak bisa menjadi hukum
Dengan demikian tetap membiarkan resepsi pernikahan kita dicampuri ritual yang tidak Islamy, sama saja
dengan merusak nilai ibadah dalam pernikahan dan kebarokahan pun tidak akan tersampaikan dalam
perkawinan tersebut. Namun ada yang mengatakan bahwa ritual-ritual yang dilakukan itu merupakan
simbol-simbol dan mengandung makna yang dalam, seperti misalnya ritual ketika pengantin perempuan
menyiram kaki pengantin laki-lakinya setelah menginjak telur, menurut mereka itu menunjukkan kesetiaan
pasangan tersebut, sekaligus simbol bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi daripada wanita dalam rumah
tangga, yang kalau dikaitkan dengan Islam, ada saja kaitannya. Memang di dalam Islam kedudukan laki-
laki sederajat lebih tinggi daripada wanita yang menjadi isterinya. Seperti disebut al-Qur an surat an-Nisa
ayat 34 Seorang lelaki adalah pemimpin bagi kaum perempuan . Tapi tidak bisa ketentuan kedudukan seperti
itu disimbolkan dengan ritual sebagaimana adat Jawa diatas. Satu sisi, hal itu tidak diajarkan oleh Islam, di
sisi yang lain karena kedudukannya sebagai simbol semata, maka jelas tidak perlu dipertahankan untuk
dilakukan.
Jika memang harus mengadakan resepsi, maka seharusnya bentuk acaranya tetap dibuat islamy. Hilangkan
ritual-ritual diatas, diganti dengan model acara pengajian. Upacara temu pengantin, bisa dilakukan di
dalam kamar setelah acara akad nikah usai. Sebagaimana yang dilakukan Ibu Aisyah yang
mempertemukan dengan Rasulullah Saw, di dalam kamar hanya berdua. Salah satu hadits menyebutkan:
Dari Aisyah ra. Ujarnya: Nabi Saw, mengawini aku, lalu ibuku datang kepadaku, kemudian memasukkan aku ke
dalam rumah dan tiada orang lain yang menemui aku selain Rasulullah Saw (HR. Bukhori)
Hadits tersebut sekaligus menjadi bukti kuat, bahwa saat acara akad nikah, pengantin wanitanya tidak
harus dihadirkan atau tidak perlu disandingkan bersama pengantin prianya. Cukup kehadiran wali si calon
pengantin wanita yang mewakili wanita dalam akad pernikahan. Keduanya bisa bertemu, setelah calon
pengantin prianya usai mengucapkan lafadz ijab kabul dengan sempurna.
Susunan acara resepsi atau walimah dibuat sederhana, cukup didahului dengan pembukaan, diteruskan
pembacaan ayat suci al-qur an dan sambutan-sambutan dilanjutkan dengan pengajian atau ceramah agama,
dan ditutup dengan ramah tamah.
Hemat Biaya & Mengindari Boros
Dalam adat Jawa ataupun Eropa model dekorasi pelaminannya pasti mengeluarkan biaya yang tidak
sedikit. Dekorasi pelaminan Jawa misalnya, mengharuskan adanya dekorasi atau aksesoris pengantin berupa
janur (daun kelapa muda) yang dipasang di pintu masuk (penjor) bersama sepasang pohon pisang. Di panggung
(pelaminan) pengantin juga ada kembar mayang, yang biasanya dihiasi dengan buah-buahan. Belum lagi
pakaian pengantin dalam tradisi Jawa, biasanya berganti minimal 2 kali ganti baju. Kemudian untuk menyewa
putri domas, manggolo yudho, widodari, cucuk lampah yang semuanya beserta pakaian dan rias, itu semua tentu
mengeluarkan dana yang tidak kecil. Bagi keluarga yang kurang mampu, mereka akan minder ketika disodori
rincian dana yang begitu besar tersebut. Belum lagi jika memikirkan dana untuk konsumsi para tamu, dan
logistik seperti peralatan dapur, piring, sendok, tenda, kursi, dll.
Dengan menyederhanakan susunan acara, menghindari peluang terjadinya praktek tahayul, berhala,
khurafat dan bid ah, maka satu sisi kita telah berhasil membawa resepsi pada jalan Allah. Rasulullah Saw
bersabda:
Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah, dan sebaik-baik jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad.
Sedangkan seburuk-buruk urusan agama ialah yang diada-adakan. Tiap-tiap yang diadakan adalah bid ah. Dan setiap
bid ah adalah sesat, dan tiap kesesatan adalah ke neraka (HR. Muslim)
6. Barang siapa yang beramal, tidak ada perintah dariku, maka tertolak amal itu (HR Bukhori)
Di sisi lain, ini yang juga penting dan barangkali ini yang membuat banyak keluarga mundur atau
menunda menikah dengan alasan kurang biaya untuk resepsi pernikahan. Jadi dengan format yang Islamy,
maka itu artinya kita juga telah menekan pengeluaran sekecil mungkin untuk acara resepsi pernikahan dan
menghindari pemborosan (tabzir), yang itu dilarang oleh Islam dan termasuk amalan syaithan. Firman Allah:
Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara tabdzir (boros). Sesungguhnya pemboros-pemboros itu
adalah saudaranya syaithan (TQS. al- Isra 26-27)
Hindari campur baur (iktilath) dan berduaan (khalwat)
Secara umum kehidupan kelompok laki-laki dan kelompok wanita adalah terpisah. Hal itu ditunjukkan
dengan banyaknya dalil dalam Al-Qur an yang memisahkan pembahasan tentang laki-laki dan perempuan,
seperti salah satu ayat:
. Kaum pria dan kaum wanita yang gemar bersedekah, kaum pria dan kaum wanita yang gemar berpuasa, kaum pria
dan kaum wanita yang senantiasa memelihara kehormatannya, kaum pria dan kaum wanita yang banyak menyebut nama
Allah .. (TQS. al-Ahzab 35)
Penyebutan laki-laki dan perempuan dalam ayat diatas secara terpisah, menunjukkan dengan jelas pada
dasarnya aktivitas keduanya terpisah. Contoh yang lain, Allah tidak menerima wanita sebagai wali dalam
perkawinan, melainkan seorang laki-laki yaitu ayah, karena seorang laki-laki dalam pandangan Islam adalah
qawam (lebih utama) terhadap wanita dan juga nasab seseorang didasarkan atas ayahnya. Allah telah
memerintahkan kepada wanita untuk menutup aurat, dan melarang laki-laki melihat aurat perempuan. Semua
itu menunjukkan secara umum kehidupan laki-laki dan perempuan dalam pandangan Islam adalah terpisah.
Hanya dalam keadaan tertentu, seorang laki-laki dan wanita bisa dan boleh bertemu.
Naluri seksual yang fitrah pada setiap manusia, dalam pandangan Islam tidaklah dikekang, tidak pula
dibebaskan liar. Akan tetapi naluri seksual pada manusia dalam pandangan Islam adalah semata-mata untuk
melestarikan keturunan umat manusia. Islam mencegah segala hal yang dapat membangkitkan nafsu seksual
antar lawan jenis. Faktor yang mempengaruhi naluri seksual salah satunya adalah adanya fakta yang dapat
diindera, seperti melihat lawan jenis, baik yang menutup aurat, apalagi yang tidak menutup aurat. Sehingga
Islam menetapkan seperangkat aturan hubungan laki-laki dan perempuan dalam rangka menjaga sifat iffah
(kehormatan) untuk menghasilkan akhlak yang terpuji. Salah satu aturan atau hukum-hukum tersebut
diantaranya, Islam melarang pria dan wanita berduaan (khalwat), kecuali wanita itu disertai oleh mahramnya.
Rasulullah Saw bersabda:
Tidak diperbolehkan seorang pria dan wanita berduaan, kecuali jika wanita itu disertai mahram-nya (HR. Muslim)
Siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, janganlah sekali-kali ia berkhalwat dengan seorang wanita yang
tidak disertai mahramnya karena yang ketiga diantara keduanya adalah setan (HR. Abu Dawud)
Atas dasar itu, untuk mencegah terjadinya campur baur (khalwat dan ikhtilat) maka resepsi pernikahan,
jika menghadirkan tamu laki-laki dan perempuan harusnya dipisahkan antara keduanya. Tentang bagaimana
pemisahannya, itu sudah menyangkut persoalan teknis, tapi tetap berpegang pada prinsip syariat Islam. Dalam
pemisahan itu, hendaknya perlu diperhatikan tentang perintah menundukkan pandangan, sebagaimana firman-
Nya:
Katakanlah kepada laki-laki Mukmin, hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan menjaga kehormatannya
Katakanlah kepada wanita mukmin, hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kehormatannya
(TQS. an-Nur 30-31)
Sehingga adanya hijab taam (sempurna) menjadi sebuah kebutuhan untuk memperkecil peluang tamu
laki-laki dan perempuan saling bertemu atau berpandangan, jika keduanya berada dalam satu tempat (gedung,
halaman rumah). Ada alternatif cara atau teknis untuk menghindari pertemuan tamu laki-laki dan perempuan
dalam resepsi pernikahan. Pertama, bisa dengan jalan memisahkan keduanya dalam ruang atau tempat resepsi
yang berbeda. Fasilitas ini dimiliki oleh gedung atau masjid yang memiliki dua ruangan yang berbeda, sehingga
begitu tamu masuk ruangan sudah terpisah total antara keduanya. Persoalan kedua tamunya tidak bisa
menyaksikan kedua pengantin bersanding, itu akan dibahas pada pembahasan selanjutnya. Alternatif kedua,
dengan cara memberikan waktu yang berbeda antara tamu laki-laki dan perempuan dalam menghadiri acara
resepsi. Misalnya tamu laki-laki diundang saat acara akad nikah sedangkan tamu perempuan di undang saat
acara resepsi.
Sedangkan mengenai acara pertunangan baik yang terjadi di adat klasik maupun modern, juga bukan
merupakan ajaran Islam. Islam mengajarkan sebelum perkawinan ada proses yang dinamakan khitbah. Khitbah
dalam Islam bukanlah setengah nikah , sehingga calon suami-isteri boleh berinteraksi bebas, sebagaimana
yang terjadi pada sebagian masyarakat Indonesia yang berideologi kapitalis, terutama para selebritis kita.
Dalam ritual modern mereka menyebutnya pra married atau pra wedding, biasanya mereka bebas untuk berfoto
7. berdua, memesan undangan, mendesain baju pengantin berdua, merancang dekorasi dan mungkin
mengadakan konferensi pers untuk mengumumkan hari dan tanggal pernikahan mereka.
Khitbah juga tidak bisa dikatakan sebagai pacaran aman , meskipun boleh bagi keduanya untuk ta aruf
(saling kenal), tapi aturan tentang tidak boleh berduaan, berbicara bebas atau bersenda gurau, tetap harus
menjadi rambu-rambu hubungan mereka.
Menutup aurat dan tidak tabaruj
Dalam upacara perkawinan adat maupun modern, biasanya mengharuskan pengantin wanitanya
menanggalkan jilbab dan kerudungnya. Kemudian dirias wajahnya dengan eye shadow, bedak rias, diberi lipstik
yang menor, kepalanya diberi mahkota atau sunduk mentol, alisnya dikerik, pipinya diberi peronah pipi, dll,
yang tujuannya untuk memamerkan kecantikan si pengantin kepada laki-laki yang bukan suaminya. Sehingga
mereka sering menyebut kedua mempelai dengan sebutan raja dan ratu semalam, karena mereka berdua dirias
bak seorang ratu dan raja. Padahal kalau mereka muslim, tradisi dandanan seperti itu, tidak pernah sama sekali
diajarkan oleh Islam. Allah SWT, berfirman:
dan janganlah kamu berdandan seperti wanita-wanita di jaman Jahiliyah (TQS. al-Ahzab 33)
Islam menetapkan aturan bagi kaum wanita untuk mengenakan pakaian secara sempurna yang
menutupi seluruh tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangan. Allah SWT, berfirman:
Janganlah mereka menampakkan perhiasannya selain apa yang biasa tampak pada dirinya. Hendaklah mereka menutupkan
kerudung (khimar) ke bagian dada mereka (TQS. an-Nur 31)
Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan wanita-wanita Mukmin, hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka (TQS. al-Ahzab 59)
Kedua ayat diatas menunjukkan dengan jelas pakaian wanita yakni berupa khimar (kerudung) dan
jilbab, yang dikenakan ketika bertemu dengan lawan jenis yang bukan mahram atau diluar rumah. Begitupun
saat acara walimah, tidak ada peluang bagi orang lain kecuali muhrim untuk melihat tubuh pengantin wanita,
kecuali muka dan telapak tangannya. Sehingga merupakan sebuah pelanggaran syariat Islam, jikalau pengantin
wanita terpaksa harus menanggalkan kerudung dan jilbabnya kemudian menggantinya dengan pakaian adat
atau modern yang tidak menutup auratnya sama sekali, bahkan cenderung pamer aurat.
Apalagi dengan dirias sedemikian rupa, maka keharamannya bukan saja karena membuka aurat
dihadapan khalayak, tapi keharamannya tampak juga pada tabarruj atau berhias secara berlebihan untuk
membuat tertarik orang lain. Jadi pembahasan tentang menutup aurat dengan menampakkan kecantikan adalah
dua hal yang berbeda. Adakalanya seseorang sudah menutup aurat tapi dia masih melakukan tabarruj, atau
sebaliknya dia tidak menutup aurat tapi bertabarruj. Jelas keduanya tidak boleh dilakukan oleh seorang
muslimah, menutup aurat tapi tabarruj, atau tidak menutup aurat tapi tidak tabarruj.
Ada upaya juga dari kalangan para perias pengantin adat maupun modern, agar tetap pengantin
wanitanya mengenakan kerudungnya. Tapi lagi-lagi, baju yang dipakaikan tetap tidak sesuai ketentuan syariat
Islam. Ada yang bajunya ketat hingga membentuk lekuk tubuh. Ada juga yang bahannya tipis atau transparan,
layaknya kebaya dalam pakaian adat Jawa. Sekali lagi meskipun kerudungnya tidak dilepas, akan tetapi tetap
menampilkan riasan wajah yang tabarruj (berlebihan), maka seperti itu tetap tidak diperbolehkan syariat Islam.
Maka untuk menghindari terjadinya tabarruj dan pamer aurat, baik pengantin maupun yang bukan
pengantin, kewajiban menutup aurat bagi wanita tetap harus dijalankan, sekaligus aturan pemisahan tamu laki-
laki dan perempuan juga tidak boleh ditinggalkan.
Pengantin wanitanya tetap mengenakan jilbab dan kerudung, bukan pakaian adat yang dibalut dengan
kerudung. Serta hindarkan untuk merias wajah dengan mengerik alis, memenorkan bibir, meronakan pipi dan
memakaikan mahkota, yang semuanya akan jatuh pada tabarruj, jika dilakukan. Merias pengantin cukup
sekedar mengenakan pakaian bagus dan memakai bedak atau lipstik seadanya, sehingga dia tampil cantik
untuk pengantin prianya.
Karena adanya larangan tabarruj dalam Islam, maka harus dihindari untuk mensandingkan atau lebih
tepatnya memamerkan kedua pengantin dengan duduk diatas kursi pelaminan untuk dipamerkan kepada para
tamu. Pengantin laki-lakinya cukup menemui para tamu laki-laki, begitupun pengantin wanita cukup berada di
lingkungan sesama kaumnya. Perhatikan sabda Rasulullah Saw, berikut ini:
Seorang wanita yang memakai minyak wangi lalu lewat di tengah-tengah kaum dengan maksud agar mereka menghirup
bau harumnya, maka wanitu adalah pelacur (HR. An-Nasa i)
Abu Huroiroh ra. Berkata: Rasulullah Saw bersabda: Dua macam orang ahli neraka yang belum saya lihat; Satu, kaum
yang memegang pecut (cemeti) bagaikan ekor lembu digunakan memukul orang-orang. Dan kedua: seorang perempuan
yang berpakaian tapi telanjang, merayu-rayu menarik hati dan berlenggang-lenggang, membesarkan kondenya bagaikan
punggung unta yang miring, mereka tidak akan masuk surga dan tidak mendapati baunya, padahal bau surga terasa dari
jarak yang sangat jauh (HR. Muslim)
8. Ibnu Mas ud ra. Berkata: Allah telah melaknat perempuan yang membuat tahi lalat palsu dan yang meminta dibuatkan
tahi lalat, dan yang memotong alisnya, memanggur giginya serta yang membuat-buat kecantikan dengan merusak buatan
Allah (HR. Bukhori, Muslim)
Bahkan untuk menghemat biaya pernikahan, tidak perlu baju baru untuk pengantin. Kita bisa
meminjam atau menyewanya dari teman atau saudara kita yang sudah lebih dahulu menikah. Tentunya
pakaian yang Islamy, yakni jilbab dan kerudung. Aisyah, isteri Rasulullah, pernah menyampaikan hadits:
Dari Aisyah, bahwa ia telah meminjam kalung dari Asma , lalu kalung itu hilang, kemudian Rasulullah Saw, menyuruh
beberapa orang sahabatnya untuk mencarinya (HR. Bukhari)
Hadits diatas disebutkan oleh Bukhari dalam Kitabunnikah, bab: Meminjam pakaian dan lain-lain untuk
pengantin . Dengan meminjam baju yang dimiliki oleh saudara atau teman kita, kita bisa memperkecil biaya
pernikahan. Tidak perlu ada rasa malu, apalagi biasanya, baju pengantin hanya sekali dipakai oleh pemiliknya,
sehingga kalau kita meminjam, pasti kondisinya masih cukup bagus. Dan kalaupun kita membuat sendiri, pasti
kita akan berpikir berkali-kali, karena baju itu nantinya hanya akan dipakai satu kali, sementara kondisi
keuangan tidak memungkinkan untuk membuat baju pengantin sendiri.
Begitu juga demi menjaga kesucian ibadah pada walimatul ursy, tidak ada dalam pandangan Islam
bahwa tamu laki-laki diterima oleh penerima tamu perempuan atau sebaliknya
"Katakanlah kepada laki-laki beriman, hendaknya mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang
demikian adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat."(TQS. an-Nur
30).
Undangan Walimah
Karena walimah didedikasikan untuk meraih ridlo Allah dan juga dijauhkan dari sikap riya dan
bernuansa materialistik, maka undangan walimah tidak membatasi pada kaum kaya saja. Apalagi mungkin
makanan yang dihidangkan dalam acara walimah, biasanya makanan yang tidak biasa dimakan oleh orang-
orang miskin. Rasulullah dalam satu sabdanya:
"Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah dimana orang-orang miskin tidak diundang. (H.R. Muslim dan
Baihaqi)
Bukhari meriwayatkan bahwa Abu Hurairoh berkata: Sejelek-jelek makanan ialah makanan walimah yang hanya
mengundang orang-orang kaya, tetapi meninggalkan orang-orang miskin (HR. Bukhari)
Dengan adanya ketentuan diatas, maka itu artinya menggugurkan niat materialistik yang banyak
diidap oleh sebagian masyarakat kita yang sudah berideologi kapitalistik yang cenderung invidualistik. Inilah
tuntunan yang menunjukkan betapa besar sikap kepedulian seorang muslim kepada saudaranya yang miskin.
Rasulullah memberi predikat makanan yang jelek, jikalau saat walimah tidak mengundang fakir miskin untuk
bersama-sama menikmati, karunia Allah berupa makanan istimewa tersebut.
Satu hal juga yang ada kaitannya dengan undangan walimah adalah tentang kewajiban menghadiri
undangan walimah, jika memang diundang. Disebutkan dalam satu hadits:
Dari Abu Hurairoh, bahwa Rasulullah Saw bersabda: ....... Barang siapa tidak memperkenankan undangan,
sesungguhnya telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya (HR. Muslim)
Apabila kita mendapat undangan walimah, tetapi tidak menghadirinya, tanpa ada halangan atau udzur
maka kita dapat memenuhinya pada hari lain. Adapun jika kita diundang untuk menghadiri walimah yang
dengan dugaan kuat kita, didalamnya terdapat hal-hal maksiat, seperti percampuran laki-laki dan perempuan,
membuka aurat, adanya miras, hiburan yang tidak Islamy, dll. Maka kita wajib tidak menghadirinya.
Sudah sering kebiasaan masyarakat di sekitar kita, mengundang untuk menghadiri walimah dengan
konsep standing party. Jika kita berhadapan pada kondisi demikian, maka alternatif yang bisa kita lakukan.
Pertama, kita bisa menghadirinya dan menyantap makanan sambil duduk di kursi yang memang biasanya
jumlahnya terbatas. Kedua, bisa juga kita menghadiri undangan tersebut tapi tidak ikut berstanding party alias
makan dengan berdiri. Ketiga, kita bisa memilih untuk tidak menghadiri undangan tersebut, jika kita tahu
bahwa resepsinya memakai konsep standing party. Rasulullah Saw, besabda: Janganlah salah seorang diantara
kalian minum sambil berdiri (HR. Muslim). Dalam riwayat lain disebutkan: Rasulullah Saw, melarang orang makan
atau minum sambil berdiri (HR. Muslim)
Adapun memberikan bingkisan berupa kado ataupun uang kepada mempelai, boleh-boleh saja.
Asalkan yang mengundang tidak mengharapkan atau meminta untuk diberi oleh yang diundang. Sebab
meminta-minta itu bukan tradisi yang diajarkan oleh Islam.
Hiburan dalam walimah
Karena masyarakat kita yang berideologi sekular, maka sudah barang pasti ketika mengadakan acara
resepsi pernikahan, biasanya dihadirkan selingan hiburan yang tidak Islamy. Misalnya, diputarkan lagu-lagu
9. yang tidak Islamy dari suara kaset tape recoder. Ada juga menghadirkan penyanyinya langsung diatas
panggung, dengan berjoget ria yang diikuti oleh para tamu. Ataupun hiburan berupa electone, yakni alat musik
berupa orgen tapi dengan penyanyi yang juga bergoyang-goyang mesra mengundang birahi para tamu. Jika
demikian keadaanya, maka jatuhnya pada pembahasan hukum menutup aurat, menjaga kemaluan dan berhias
berlebihan yang sudah dibahas pada pembahasan sebelumnya. Yang sudah jelas hukumnya haram.
Meskipun bermain musik atau menyanyi hukum asalnya adalah mubah alias boleh-boleh saja. Akan
tetapi penyajiannya tetap tidak boleh melanggar ketentuan syariat Islam. Seperti syair lagunya yang
menyekutukan Allah, cinta berlebihan terhadap sesama mahluk. Suara penyanyi perempuannya yang
mendayu-mendayu yang menimbulkan hasrat naluri terhadap lawan jenis. Serta tampilan penyanyi di
panggung dengan bergoyang, berjoget atau menari mengundang nafsu.
Artinya, hadirnya hiburan dalam walimah selama tidak masuk kategori diatas, maka tetap
diperbolehkan, bukan disunnahkan atau bahkan wajib. Dan bagi yang menghadiri undangan walimah dengan
hiburan semacam diatas, maka hukumnya adalah haram.
Khatimah
Jika kita sudah mampu menghadirkan upacara resepsi pernikahan dengan tidak melanggar syariat
Islam, karena kita punya tujuan untuk beribadah kepada Allah SWT. Maka satu point telah kita raih, bahwa kita
sudah mengawali kebarokahan untuk pernikahan kita. Insya Allah dengan langkah awal itu, pernikahan itu
akan mulia di sisi Allah SWT.
Point kedua yang sudah kita sumbangkan, jika kita sudah berani menghadirkan upacara Islamy
pernikahan Islamy, maka itu artinya kita telah memberi teladan kepada masyarakat tentang nilai-nilai Islamy,
syariat Islam dan juga budaya Islam. Masyarakat sekarang yang sudah terlanjur hidup hedonits, yang
berideologi sekular-kapitalistik, menganggap prosesi pernikahan tidaklah ada sangkat pautnya dengan Islam.
Dengan pandangan tersebut, menurut mereka sah-sah saja mengadopsi tata cara pernikahan yang bukan
berasal dari Islam. Sehingga apa yang kita saksikan di tengah-tengah masyarakat. Meskipun orang tua mereka
dikenal masyarakat sebagai orang yang dekat dengan Islam, bahkan mungkin sudah berhaji berkali-kali, tapi
tidak mampu menunjukkan identitas Islam saat acara pernikahan anak-anak mereka.
Bagi siapapun yang ingin menjalin hubungan lawan jenis dengan suatu ikatan yang dinamai
pernikahan, maka sejatinya mulailah dengan mengislamikan upacara resepsi pernikahan kita. Impian tentang
keluarga yang sakinah, mawadah wa rahmah, hanya akan jadi bayang-bayang, jika kita tidak berani menjadikan
Islam sebagai pedoman hidup kita.
Pernikahan bukan hanya menyatukan dua pasang manusia. Tapi juga menyatukan dua hati,
memadukan dua keluarga besar, menggabungkan dua perbedaan, dan mengikatkan dua tujuan yang berbeda,
agar menjadi satu adanya.
Oleh karenanya, tentu akan banyak aral, rintangan yang senantiasa menerca dua anak adam ini. Tentu
hanya dengan berbekal Islam-lah, biduk cinta akan menghantarkan dua insan, menuju pelabuhan yang
dikehendaki yakni rumah tangga sakinah, mawadah wa rahmah.