Tugas ini membahas perbedaan hierarki perundang-undangan di Indonesia menurut beberapa ketetapan dan undang-undang, makna dan materi setiap perundang-undangan, serta cara peninjauan secara judicial review dan constitutional review. Hierarki perundang-undangan telah mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan zaman. Judicial review adalah kewenangan pengadilan menguji keabsahan suatu peraturan, sedangkan constitutional review lebih luas cakupannya untuk menguji kon
1. Tugas
MATA KULIAH ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
Pengajar :
Miranda Risang Ayu, S.H., LL.M., Ph.D.
Mutiara Indah Utami
110110100370
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN
Bandung
2013
2. Tugas :
1. Bandingkan perbedaan hierakhis perundang-undangan di Indonesia (TAP MPRS
No.XX/MPRS/1966, TAP MPR No.III/MPR/2000, UU No.10 Tahun 2004, UU
No.12 Tahun 2011)
2. Uraikan makna dan materi setiap Perundang-undangan tersebut!
3. Uraikan cara peninjauan secara judicial review dan contitutional review
Jawaban
1. a. Perbedaan hierakhis perundang-undangan di Indonesia
Bentuk dan tata urutan perundang-undangan menurut Ketetapan MPRS
No.XX/MPRS/1966
Undang-Undang Dasar 1945
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Peraturan Pemerintah
Keputusan Presiden
Peraturan Pelaksanaan lainnya seperti Peraturan menteri, Instruksi Menteri, dan lain-
lain.
Bentuk dan tata urutan perundang-undangan menurut Ketetapan MPR No.
III/MPR/2000
Undang-Undang Dasar 1945
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
Undang-Undang
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Peraturan Pemerintah
Keputusan Presiden
Peraturan Daerah.
Bentuk dan tata urutan perundang-undangan menurut Pasal 7 ayat (1) UU No 10
Tahun 2004
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
3. Peraturan Pemerintah
Keputusan Presiden
Peraturan Daerah.
Bentuk dan tata urutan perundang-undangan menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 12
Tahun 2011
Undang-Undang Dasar 1945
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Peraturan Pemerintah
Keputusan Presiden
Peraturan Daerah Provinsi
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Perbandingan :
- Dapat dilihat dari tata urutan perundang-undangan yang dijabarkan diatas, bahwa
dalam Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 Instruksi Menteri, peraturan Menteri dan
sebagainya masuk kedalam tata perundang-undangan, namun dalam Tap MPR No.
III/MPR/2000 diganti dengan Peraturan Daerah.
- Masuknya peraturan perundang-undangan dengan peraturan daerah diberlakukan
beberapa keputusan menteri antara lain1
:
Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No.21 Th.2001 Teknik
Penyusunan dan Materi Muatan Produk-produk Hukum Daerah.
Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No.22 Th.2001 Bentuk-
Bentuk Produk-Produk Hukum Daerah.
Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No.23 Th.2001 Prosedur
Penyusunan Hukum Daerah.
Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No.22 Th.2001
Lembaran Daerah dan Berita Daerah.
- Dalam Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 belum ada kejelasan pemaknaan peraturan
perundang-undangan, sehingga terdapat bentuk hukum yang bersifat einmalig dan
yang berupa staatsfundamentalnorm masuk dalam hirarki peraturan perundang-
undangan. Penyempurnaan dalam Tap MPR No. III/MPR/2000 justru menimbulkan
1
Maria Farida Indriati, ILMU PERUNDANG-UNDANGAN “Proses dan teknik Pembentukannya”, Yogyakarta :
2007. Halaman 3.
4. inkonstitusionalitas hirarki, terutama karena penempatan Perpu di bawah UUD.
Pembuatan hirarki baru dalam UU No. 10 Tahun 2004 juga tidak sepenuhnya mampu
menata keseluruhan peraturan yang ada karena beberapa peraturan dipaksakan untuk
dimaksukkan sebagai peraturan perundang-undangan, padahal kewenangan
konstitusionalitas untuk itu tidak dimiliki.
- Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 masih diakui keberadaan
jenis peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat dan Dewan perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala
Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang
atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
2. Materi dan Makna Perundang-undangan
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dijelaskan mengenai makna perundang-
undangan yang ada di Indonesia yaitu sebagai berikut :
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum
yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan
Perundang-undangan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum
dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang adalah Peraturan Perundangundangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-
undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden
untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundangundangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
5. Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan
bersama Bupati/Walikota.
Materi muatan :
Materi muatan Undang-Undang merupakan suatu istilah yang dikemukakan oleh Prof. Dr. A.
Hamid S. Attamimi, SH., yang merupakan terjemahan dari “het eigenaardig onderwerp der
wet” yang dikemukakan oleh J.R. Thorbecke dalam “Aantekening op de Grondwet”.2
Materi muatan Undang-Undang dapat ditemukan denghan memakai tiga pedoman, yaitu:
a. Dari ketentuan-ketentuan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 (saat ini terdapat
43 masalah yang dinayatakan secara tegas untuk diatur dalam Undang-Undang);
b. Berdasarkan Wawasan Negara berdasar atas hukum (Rechstaat);
c. Berdasarkan Wawasan Pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi.
Dari ketiga cara tersebut dapat ditemukan sembilan butir materi muatan Undang-Undang
seperti tersebut di bawah ini:
a. hal-hal yang tegas-tegas diperintahkan oleh UUD dan TAP MPR;
b. hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan dalam UUD;
c. hal-hal yang mengatur hak asasi manusia;
d. hal-hal yang mengatur hak dan kewajiban warga Negara;
e. hal-hal yang mengatur pembagian kekuasaan Negara;
f. Hal-hal yang mengatur organisasi pokok Lembaga-lembaga Tertinggi/Tinggi Negara;
g. hal-hal yang mengatur pembagian wilayah/daerah Negara;
h. hal-hal yang mengatur siapa warga negara dan cara memperoleh/kehilangan
kewarganegaraan;
i. Hal-hal yang dinyatakan oleh suatu Undang-Undang untu diatur dengan Undang-
Undang.
Materi muatan Undang-Undang (Pasal 8)
2
http://hukum.untag-smd.ac.id/wp-content/uploads/2012/05/Materi_Muatan_Peraturan_Perundang-
undangan_7.pdf di akses pada tanggal 1 Mei 2013 puku 15.30 WIB
6. Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang :
a. mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang meliputi :
hak-hak asasi manusia;
hak dan kewajiban warga Negara;
pelaksanaan dan penegakan kedaulatan Negara serta pembagian kekuasaan
negara;
wilayah Negara dan pembagian daerah;
kewarganegaraan dan kependudukan;
keuangan Negara.
b. Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.
Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Pasal 9)
Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan
Undang-Undang.
Materi muatan Peraturan Pemerintah (Pasal 10)
Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang
sebagamana mestinya.
Materi muatan Peraturan Presiden (Pasal 11)
Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh
Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.
Dalam Penjelasan Pasal 11 disebutkan bahwa Peraturan Presiden adalah Peraturan yang
dibuat Presiden sebagai atribusi dari Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
Materi muatan Peraturan Daerah (Pasal 12)
Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung
kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih
tinggi.
7. Materi muatan Peraturan Desa (Pasal 13)
Materi muatan Peraturan Desa/yang setingkat adalah seluruh materi dalam
rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran
lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Materi muatan mengenai
ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah (Pasal
14).
3. Judicial Review dan Constitutional Review
- Menurut Encyclopedia Britannica:3
“Judicial review is the power of courts of a country to determine if acts of legislature and
executive are constitutional.”
- Menurut Ecyclopedia Americana:
“Judicial review, power exerted by the courts of a country to examine the actions of the
legislative, executive, and administrative arms of the government and to ensure that such
actions conform to the provisions of constitution.”
- Sri Sumantri berpendapat:
Hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai,
apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende
acht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji materiil ini berkenaan
dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi
derajatnya.
Beberapa istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan tentang kewenangan
melakukan pengujian yakni, „weweang menguji secara materiil‟, „gugatan hak uji materiil‟,
menyatakan tidak sah‟, „berwenang menguji undang-undang‟, dan „berwenang menguji
peraturan perundang-undangan‟, menunjukkan inkonsistensi digunakan. Demikian pula
3
http://vanylucas92.blogspot.com/2013/02/judicial-review.html di akses pada tanggal 28 April 2013 pukul
20.17 WIB
8. lembaga yang diberikan wewenang juga terjadi perubahan, yakni semula Mahkamah Agung
dan belakangan diberikan juga kepada MPR sebagai lembaga legislatif.4
Konsepsi judicial review hadir dalam kerangka objek yang lebih luas, dibandingkan dengan
konsep contstitutional review, yang hanya sebatas pengujian konstitusional suatu aturan
hukum terhadap konstitusi (UUD), sedangkan judicial review memiliki objek pengujian yang
lebih luas, bisa menyangkut legalitas peraturan di bawah UU terhadap UU, tidak hanya
sekedar UU terhadap UUD. Akan tetapi, pada segi subjek pengujinya, makna judicial review
mengalami penyempitan, sebab judicial review hanya dapat dilakukan melalui mekanisme
peradilan (judiciary), yang dilaksanakan oleh para hakim. Sedangkan jika constitutional
review subjek pengujinya dapat dilaksanakan oleh lembaga pengadilan (judicial review),
lembaga legislative (legislative review), lembaga eksekutif (executive review), atau lembaga
lainnya yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi tersebut, pemberian hak uji inilah yang
menjadi pengertian dari toetsingsrecht. Judicial review hanya berlaku jika pengujian
dilakukan terhadap norma hukum yang bersifat abstrak dan umum (general and abstract
norms) secara “a posterior,” artinya norma hukum tersebut telah diundangkan oleh
pembentuk UU.
Kedua, mengenai cakupan peradilan tata negara itu sendiri. Menurut pendapat banyak ahli
hukum terminologi peradilan tata negara itu mencakup peradilan tata negara di Mahkamah
Konstitusi (constitutional adjudication), peradilan tata usaha negara di Mahkamah Agung
(administrative adjudication), dan badan-badan peradilan tata usaha negara yang ada di
bawah Mahkamah Agung. Akan tetapi, pengertian yang luas tersebut apabila kita persempit
dengan tidak mengikutsertakan peradilan tata usaha negara yang berada di bawah lingkungan
Mahkamah Agung, maka pengertian peradilan tata negara yang dimaksud dapat dimaknai
sebagai fungsi Mahkamah Konstitusi dan fungsi tertentu dari Mahkamah Agung. Dalam
pembahasan ini, pengertian atau ruang lingkup peradilan tata negara akan dipersempit secara
strict, atau dengan pengertian yang lebih khusus dan spesifik mengenai fungsi dari
Mahkamah Konstitusi, sebagai diatur dalam ketentuan Pasal 24 C UUD 1945 dan UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Ketiga, menyangkut objek dari judicial review, dalam praktek dikenal tiga macam norma
hukum yang bisa diuji. Pertama, keputusan normative yang berisi dan bersifat pengaturan
4
Zainal Arifin Hoesein, “JUDICIAL REVIEW DIMAHKAMAH AGUNG : Tiga Dekade Pengujian Peraturan
Perundang-undangan”, Jakarta : Raja Grafindo. 2009. Halaman 5.
9. (regeling); Kedua, keputusan normative yang berisi dan bersifat penetapan administrative
(beschikking); Ketiga, keputusan normative yang berisi dan bersifat penghakiman
(judgement/vonnis).
Di dunia saat ini, sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan “constitutional review”
berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam di setiap negara. Ada yang
melembagakan fungsi pengujian konstitusional itu dalam lembaga yang tersendiri bernama
Mahkamah Konstitusi. Ada pula yang mengaitkan fungsi pengujian itu kepada lembaga yang
sudah ada, yaitu Mahkamah Agung. Ada pula yang memberikan tugas untuk menjalankan
fungsi pengujian itu kepada badan-badan khusus dalam kerangka lembaga-lembaga lain
seperti badan-badan pengadilan yang sudah ada; dan ada pula yang tidak menerima adanya
fungsi pengujian semacam itu sama sekali. Pengalaman di berbagai negara di dunia
memperlihat kan bahwa tradisi yang mereka ikuti tidak sama dari satu negara ke negara yang
lain.5
Karena di atas tadi sudah dilakukan pembatasan mengenai ruang lingkup dari peradilan tata
negara, yakni hanya menyangkut kewenangan dari Mahkamah Konstitusi, maka berkaitan
dengan objek pengujiannya, di sini lokusnya hanya sebatas pada generale and abstract norms
(regeling), dalam implementasi pengujian konstitualitas UU terhadap UUD. Pengujian
konstitualitas berhubungan dengan kadar kekonstitusionalan UU, baik secara materil maupun
formil. Dalam tradisi Indonesia sekarang pengujian konstitulitas menjadi bagian dari fungsi
Mahkamah Konstitusi, sedangkan Mahkamah Agung menjalankan fungsi pengujian legalitas.
Artinya, Mahkamah Konstitusi menguji the constitutionality of legislative law or legislation
(Produk-produk legislative/UU), sedangkan Mahkamah Agung menjalankan uji the legality
of regulation (peraturan hukum di bawah UU).
Bila menelaah asas-asas hukum publik yang salah satunya tercermin pada asas hukum acara
peradilan administrasi, maka proses beracara judicial reviewseharusnya juga terikat pada asas
tersebut. Asas tersebut adalah:6
a. Asas Praduga Rechtmatig
Putusan pada perkara judicial review seharusnya merupakan putusan akhir dan mempunyai
kekuatan hukum tetap pada saat putusan dibacakan dan tidak berlaku surut. Pernyataan tidak
berlaku surut mengandung makna bahwa sebelum putusan dibacakan, obyek yang
menjadi perkara – misalnya peraturan yang akan diajukan judicial review - harus
5
JimlyAsshiddiqie, Model-Model PengujianKonstitusional di Berbagai Negara. Halaman 45
6
http://vanylucas92.blogspot.com/2013/02/judicial-review.html, idem.
10. selalu dianggap sah atau tidak bertentangan sebelum putusan Hakim atau Hakim Konstitusi
menyatakan sebaliknya.
Konsekuensinya, akibat putusan Hakim adalah “ex nunc” yaitu dianggap ada sampai saat
pembatalannya. Artinya, akibat ketidaksahan suatu peraturan karenabertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi tidaklah berlaku surut namun sejak pernyataan bertentangan oleh
lembaga berwenang (MA atau MK) ke depan. Namun perlu juga dipikirkan tentang dampak
yang sudah terjadi, terutama untuk kasus-kasus pidana, misalnya dimungkinkan untuk
mengajukan kembali perkara yang bersangkutan tersebut untuk ditinjau kembali.
b. Putusan memiliki kekuatan mengikat (erga omnes)
Kewibawaan suatu putusan yang dikeluarkan institusi peradilan terletak pada kekuatan
mengikatnya. Putusan suatu perkara judicial review haruslah merupakan putusan yang
mengikat para pihak dan harus ditaati oleh siapapun. Dengan asas ini maka tercermin bahwa
putusan memiliki kekuatan hukum mengikat dan karena sifat hukumnya publik maka berlaku
pada siapa saja–tidak hanya para pihak yang berperkara.
Pertama, “constitutional review” selain dilakukan oleh hakim dapat pula dilakukan oleh
lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung kepada lembaga mana UUD memberikan
kewenangan untuk melakukannya. Kedua, dalam konsep “judicial review” terkait pula
pengertian yang lebih luas objeknya, misalnya mencakup soal legalitas peraturan di bawah
UU terhadap UU, sedangkan “constitutional review” hanya menyangkut pengujian
konstitusionalitasnya, yaitu terhadap UUD.
Mahkamah Agung hanya memiliki wewenang menguji secara materil terhadap peraturan
perundangan di bawah undang-undang. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-
Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
Pasal 26 menyebutkan:
a) Mahkamah Agung berweneng untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-
undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang atas alasan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
11. b) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang- undangan tersebut dapat
diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan dari peraturan
perundangan yang dinyatakan tidak sah tersebut dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.
Selain dalam UU No. 14 Tahun 1970, ketentuan ini juga diatur dalam Tap MPR No.
VI/MPR/1973 dan Pasal 11 ayat (4) Tap MPR No. III/MPR/1978. ketentuan tersebut
kemudian diperbaharui lagi melalui Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, dalam Bab III tentang Kekuasaan Mahkamah Agung, Pasal 31 menyebutkan:
(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
(2) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan
perundangundangan dari tingkat yang lebih rendah daripada undang-undang atas alasan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(3) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat
diambil berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan peraturan
perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan segera oleh instansi yang
bersangkutan.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat kita lihat watak otoritatif dari rezim berkuasa,
dimana kewenangan menguji hanya berlaku bagi peraturan perundang-undangan yang
kedudukannya dibawah undang-undang, sedangkan semua undang-undang, meskipun
melanggar hak-hak kewarganegaraan dan bertentangan dengan konstitusi yang dikeramatkan
akan tetap dianggap benar dan berlaku.
Pada tahun 1999 dalam system ketatanegaraan Indonesia, ada lembaga yang wenang untuk
menguji undang-undang terhadap UUD, serta berfungsi sebagai penafsir UUD (the
interpreter of constitution). Sebagai permulaan, kewenangn ini diberikan kepada MPR,
sambil menunggu terbentuknya sebuah lembaga Mahkamah Konstitusi (constitutional court).
Ketentuan ini sebagaiamana diatur dalam Pasal 5 Tap MPR No. III/MPR/2000, yang
menyebutkan:
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
12. 2) Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang.
3) Pengujian dimaksud ayat (2) bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses
peradilan kasasi.
4) Keputusan Mahkamah Agung mengenai pengujian sebagaimana dimaksud ayat (2) dan
ayat (3) bersifat mengikat.
Kewenangan uji konstitusionalitas pada lembaga MPR tidak diperpanjang, sebab hal ini
dirasa tidaklah tepat, sebagaimana disebutkan dalam Naskah Akemik RUU Mahkamah
Konstitusi, dalam naskah akademik tersebut disebutkan bahwa penyerahan kewenangan uji
konstitusionalitas kepada MPR tidaklah tepat, karena:
1) Kewenangan ini merupakan kewenangan yang berkaitan erat dengan permasalahan
hukum, konstitusi, dan ketatanegaraan, sehingga memerlukan keahlian tersendiri. Sementara
keanggotaan di dalam MPR terdiri dari berbagai macam latar belakang yang semuanya
berorientasi pada kepentingan politik, karena merupakan wakil partai;
2) Keanggotaan MPR terdiri dari anggota DPR, sementara DPR merupakan lembaga yang
mempunyai kewenangan membentuk undang-undang, sehingga agak janggal apabila pihak
yang membuat undang-undang menguji sendiri produknya.
3) Pengujian terhadap undang-undang merupakan sebuah kewenangan khusus yang
memerlukan waktu dan tenaga, sehingga akan tidak efektif apabila dilakukan oleh anggota
MPR yang mempunyai jadwal yang padat dan mekanisme kerja tersendiri.
Kelahiran Mahkamah Konstitusi disepakati MPR pada perubahan ketiga UUD 1945, 9
November 2001. Perihal Mahkamah Konstitusi diatur dalam termin “Kekuasaan
Kehakiman,” dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) disebutkan, “Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Selanjutnya mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dalam ketentuan Pasal 24 C
UUD 1945, dalam ketentuan ayat (1) dan ayat (2) pasal ini disebutkan:
Ayat (1) “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
13. Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum.” Ayat (2) “ Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan
atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-undang Dasar.”