SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 59
1
KASUS SKENARIO 2
Manajemen Rumah Sakit
Seorang pasien MRS (masuk rumah sakit) dan rawat inap selama 3 hari, setelah
dnyatakan baik pasien diperbolehkan pulang. Saat pulang pasien mendapatkan resep obat
analsik tablet yang diminum 3x sehari 1 tablet. Setelah mendapatkan resep obat dan
mendapatkan anjuran dokter agar satu minggu lagi kontrol kembali ke rumah sakit, maka
keluarga pasien segera menyelesaikan administrasi, pembiayaan selama di rumah sakit
dan menebus resep obat di apotik. Pasien menyampaikan ke perawat bahwa pasien
mempunyai rwayat alergiterhadap obat antalgin, namun saat pasien memberitahu perawat
bahwa ia alergi terhadap antalgin, perawat menyampaikan: “iya pak, nanti dengan
dokternya....”. Hasilnya adalah pasien pulang mendapatkan obat paten antalgin karen
dokter tidak mengetahui informasi tersebut dan pasien juga tidak tahu bahwa obat paten
tersebut terkandung antalgin. Bagaian menejemen rumah sakit (direktur berserta
jajarannya) tidak mengetahui kejadian yang di alami pasien
Key Word
 Pasien MRS
 Analsik
 Alergi Antalgin
 Menejemen RS
 Obat paten
2
KLARIFIKASI ISTILAH
 Analsik  kombinasi metampirn dan diazepam. Metamperon adalah suatu obat
analgesik antipiretik. Diazepam mempunyai kerja sebagai anti anxietas, juga memiliki
sifat relaksasi otot rangka. Kombinasi ini dimaksudkan untuk menghilangkan rasa nyeri
dan spasme organ viseral (ISO medecine, 2008) zian, stevy,inne
 Indikasi : untuk meringankan rasa nyeri sampai berat, terutama nyeri kolik dan nyeri
setelah operasi dimana diperlukan kombinasi tranquilizer (FK USU, 2010) rozi, diyah
 Kontra indikasi : pda penderita yang hipersensitif terhadapmetampiron dan dizepam.
Bay di bawah 1 buln atau dengan berat badan dibawah 5kg, wanita hamil, dan
menyusui, penderita dengan tekanan darah tinggi >100mmHg, glaukoma sudut
sempit (ISO, 2008) ishanty
 Efek samping : dapat emnimbulkan agranulositosis, reaksi hipersensitif, reaksi pada
kulit, ngantuk, pusing, lelah yang berlebih, konstipasi (ISO, 2008) mega
 Menejemen rumah sakit  koordinasi antara berbagai SD melalui proses perencanaan,
pengorgansasian dan adanya kemampuan pengendalian untuk mencapai tujuan.
(Adisasmito, 2007) Novi
 Koordinasi antara berbagai sumber daya melalui proses perencanaan,
pengorganisasian, dan adanya kemampuan pengendalian untuk mencapai tujuan (FK
UNHAS, 2010) Era
 Tujuan menejemen  menyiapkan sumber daya, mengevaluasi efektifitas, efisiensi,
mengatur pelayanan (FK Unhas, 2010) Siti
 Antalgin  derifat metansulfonat dari amidopina yang bekerja termasuk susunan saraf
pusat yaitu mengurangi senstifitas rasa nyeri dan mempengaruhi pusat pengatur suhu
tubuh, 3 efek utama adalah sebagai analgesik, antipiretik dan antiinflamasi (FKUI, 2009)
Dewi
 Obat paten  obat jadi dengan nama dagang yang terdaftar atas nama si pemuat yang
dikuasakannya dan di jual dalam bungus asli dari pabrk yang memproduksinya (FKUI,
2008) Rico
 Obat yang mempunyai hak paten yang diberikan kepada industri farmasi pada obat
baru yang ditemukannya berdasarkan riset (FK Unisula, 2011) Vici
3
RUMUSAN MASALAH DAN HIPOTESIS
1. Bagaimana seorang dokter tidak mengetahui bahwa pasiennya mempunyai
alergi terhadap antalgin, sedangkan perawat mengetahui?? Nasrul
 Anamnesis dokter kurang lengkap (Era, Siti)
 Kemungkinan pasien lupa memberitahu dokter tentang riwayat alerginya (Inne)
 Kemungkinan SOP yang kurang diterapkan oleh dokter tidak melakukan skin test
(Diyah)
 Komunikasi yang kurang efektif antara dokter-pasien (Zian)
2. Apakah sudah benar prosedur yang dilakukan oleh perawat?? Rowi
 Belum tahu, karena perawat hanya ingin menampung keluhan pasien untuk
menenangkannya (nasrul)
 Seharusnya perawat mengkomunikasikan kepada dokter (inne)
 Kolabrasi efektif pasien dan dokter (stevy)
 Dotkter  salah, harsnya dokter menjelaskan pada perawat dengan lebih detail (rozi)
 Skor KPRS nol (mega)
3. Bagaiman kolaborasi antar tenaga medis agar tidak terjadi medical error? Era
 5 hal kolaborasi agar tidak terjadi medical error: serah terima, baca ulang, sebut ulang,
periksa ulang, ajarkan ulang (Zian)
4. Bagaimana komunikasi yang efektif antara pasien dan dokter? Diyah
 Pasien merasa dokter menjelaskan keadaan sesuai dengan tujuan berobat
 Pasien memahami dampak yang menjadi konsekuensi dari penyakit yang diderita sesuai
penjelasan dokter
 Pasien merasa dokter mendengarkan keluhannya dan mau memahami keterbatasan
kemampuannya lalu bersama mencari alternatif sesuai kondisi dan situasinya (Dewi)
4
5. Mengapa perlu adanya komunikasi efektif dokter-pasien? Rozi
 Untuk memaksimalkan mutu pelayanan, diantaranya terdapat 3 hal mutu pelayanan:
a. Komunikasi efektif
b. Petugas pelayanan kesehatan tanggap terhadap kebutuhan pasien
c. Mempunyai kemampuan dan keterampilan yang baik (Rico)
6. Bagaimana peran menejemen rumah sakit dalam safety pasien? Vici
 Standart peran kepemimpinan untuk menangani pasien dengan 5 poin utama :
a. Pemimpin mendorong dan menjamin implementasi secara terintegrasi
b. Pemimpin menjamin berlangsungnya program proaktif
c. Pemimpin mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit
d. Pimpinan mengalokasikan sumber daya
e. Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusi (mega)
7. Apa penyeab terjadinya medical error dlm hal tersebut? Dewi
 Komunikasi yang kurang efektif karena :
a. Human error pasien dan tenaga medis
b. Organisasi yang error  sstem rumah sakit yang error (ishanty)
8. . Bagaimana respon tenaga medis terhadap keluhan pasien? Ishanty
 Harusnya di tampung terlebih dahulu, kemudian di evaluasi (nasrul)
 KIE pasien yang benar saat pasien mau pulang (ishanty, nasrul)
9. Apakah kasus tersebut harus dilaporkan kepada menejer rumah sakit? Nasrul
 Sangat perlu, Untuk mengevaluasi kinerja tenaga medis dan memperbaiki mutu
pelayanan
10. Bagaimana yang seharusnya dilakukan menejer terhadap kasus tersebut? Inne
 Harusnya menejer mengevaluasi agar menghasilkan mutu rumah sakit yang lebih baik
lagi (Novi)
5
 Memperbaiki prses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melaluipengumulan
data, menganalisis secara intensif kejadian yang tdk diharapkan, dan melakukan
perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien (Diyah)
 Menejer harus bisa menjamin kesinambungan koordinasi pelayanan rumah sakit (vici)
 7 standart peran menejer  terdapat dalam standart ke lima yaitu pimpinan menjamin
berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi resiko keselamatan pasien dan
program menekan atau mengurangi kejadian tidak diharapkan (zian)
11. Apa langkah selanjutnya yang dilakukan oleh tenaga medis dan rumah sakit
setelah mengetahui kasus tersebut? Novi
 Evaluasi standart pelayanan rumah sakit dan tenaga medis
12. Bagaimana cara agar pasien datang kerumah sakit mendapatkan pelayanan
yang baik? Zian
 Daya tangkap
 Jaminan kesehatan, keamanan dan kenyamanan
 Komunikasi yang baik serta memahami kebutuhan pasien (Siti)
 Diharapkan agar disetiap rumah sakit mengutamakan pasein safety, agar terbentuk strktur
yang berkualitas (Nasrul)
 Dengan menerapkan 7 standart pelayanan pasien (Mega)
6
PETA KONSEP
Keterangan:
: Tidak mengkonfirmasi
: Alur pasien
: Yang dilakukan
: Langkah tenaga medis
Pasien
Dokter
Perawat
Memberikan
resep analsik
Pasien memberitahu
perawat alergi
antalginperawat
mengabaikan
Pasien pulang dengan
membawa obat analsik
Apoteker
KTD
Dokter/Perawat?Apoteker
Menghubungi pasien
Mengganti resep
Melapor pada
manajer
Memperbaiki proses
Memonitor evaluasi
kinerja
Analisa KTD secara
intenif
Meningkatkan
keselamatan pasien
7
LO
1. Komunkasi efektif dokter-pasien
2. Pasien safety
3. Kolabrasi antar tenaga kesehatan
4. Menejemen rumah sakit terhadap pasien safety
8
LO 1
KOMUNIKASI EFEKTIF DOKTER PASIEN
1.1 Definisi Komunikasi
Kata atau istilah komunikasi (dari bahasa inggris “communication”), secara
epistemologis atau menurut asal katanya adalah dari bahasa latin communicatus, dan
perkataan ini bersumber pada kata communis. Kata communis memiliki makana
“berbagi” atau “menjadi milik bersama” yaitu usaha yang memiliki tujuan untuk
kebersamaan atau kesamaan makna (Jusuf A. A., 2009) dalam ( Prihanti, 2014).
Menurut George A. Miller (1951), komunikasi adalah suatu proses informasi yang
disampaikan dari satu tempat tertentu ke tempat yang lain (melalui telepon, berita di
televisi, email, dan lain-lain) dalam (Prihanti, 2014). Sedangkan pengertian psikologi
komunikasi adalah suatu proses untuk memperoleh informasi tentang faktor lingkungan
dan psikologis yang mempengaruhi (menghambat dan menunjang) sikap manusia (Jusuf
A. A., 2009) dalam (Prihanti, 2014).
1.2 Cara atau Teknik Berkomunikasi
1. Memberi perhatian
2. Membuka dialog
3. Mencari solusi/alternatif pemecahan masalan
4. Menyimpulkan hasilnya
(Andri dkk, 2011).
1.3 Prinsip-prinsip Komunikasi
Memahami prinsip-prinsip ini sangat penting untuk memahami komunikasi dalam segala bentuk
dan fungsinya yaitu:
1. Komunikasi adalah paket isyarat : Perilaku komunikasi, apakah ini melibatkan pesan
verbal, isyarat tubuh, atau kombinasi dari keduanya, biasanya terjadi dalam “paket”.
Biasanya perilaku verbal dan nonverbal saling memperkuat dan mendukung (P.
Ariwibowo, 2006).
2. Komunikasi adalah proses penyesuaian : Komunikasi hanya dapat terjadi bika para
komnikatornya menggunakan sistem isyarat yang sama. Ini jelas kelihatan pada orang-
orang yang menggunkan bahasa berbeda (P. Ariwibowo, 2006).
9
3. Komunikasi mencakup dimensi isi dan hubungan : komunikasi setidak-tidaknya sampai
batas tertentu, berkaitan dengan dunia nyata atau sesuatu yang berada diluar (bersifat
ekstrem bagi) pembicara dan pendengar. Tetapi sekaligus komunikasi juga menyangkut
hubunga diantara kedua pihak (P. Ariwibowo, 2006).
4. Komunikasi melibatkan transaksi simetris dan komplementer : hubungan dapat berbentuk
simetris atau komplementer. Dalam hubungan simetris dua orang saling bercermin pada
perilaku lainnya. Perilaku satu orang tercermin pada perilaku yang lainnya (P.
Ariwibowo, 2006).
5. Rangkaian komunikasi dipunktuasi : peristiwa komunikasi merupakan transaksi yang
kontinyu. Tidak awal dan akhir yang jelas. Sebagai pemeran serta atau sebagai pengamat
tindak komunikasi, kita membagi proses kontinye dan berputar ini ke dalam sebab akibat
tau ke dalam stimulus dan tanggapan (P. Ariwibowo, 2006).
6. Komunikasi tak terhindarkan : anda mungkin menggangap bahwa komunikasi
berlangsung secara sengaja, bertujuan dan termotivasi secara sadar (P. Ariwibowo, 2006).
7. Komunikasi bersifat tak reversibel : Anda dapat membalikkan arah proses beberapa
sistem tertetu. Sebagai contoh anda dapat mengubah air menjadi es dan kemudian
mengembalikan es menjadi air, dan anda dapat mengulang-ulang proses dua arah ini
berkali-kali sesuka anda. Proses seperti ini dinamakan proses reversibel. Tetapi ada
sistem lain yang bersifat tak reversibel (P. Ariwibowo, 2006).
1.4 Komponen Komunikasi
Terdapat 3 komponen utama dalam komunikasi yaitu:
1. Komunikator (pemberi informasi) dan komunikan (penerima informasi)
2. Informasi, berita, atau pesan itu sendiri
3. Media, alat. Saluran, metoda, atau cara penyampaian informasi
(Jusuf A. A., 2009) dalam (Prihanti, 2014).
Ketiga komponen tersebut merupakan satu kesatuan utuh dalam proses komunikasi.
Keberhasilan suatu komunikasi umumnya ditentukan oleh adanya keserasian atau keselarasan
antara 3 komponen tersebut. Komunikasi efektif mempunyai 3 unsur yaitu kecepatan,
kecermatan, dan keringkasan (Hardjana, 2003) dalam (Prihanti, 2014).
Dalam proses komunikasi terdapat 3 unsur yang mutlak harus dipenuhi, anatara lain:
10
1. Pengirim adalah orang yang menyampaikan pemikiran atau informasi yang
dimilikinya. Pengirim harus menyampaikan pesan secara jelas, memilih media yang
sesuai, dan meminta kejelasan apakah pesan tersebut sudah diterima dengan baik.
2. Penerima berfungsi sebagai penerima berita.Penerima berkonsentrasi menerima pesan
dengan baik, dan memberikan umpan balik kepada pengirim.
Media berperan sebagai jalan atau saluran yang dilalui isi pernyataan yang
disampaikan pengirim atau umpan balik yang disampaikan penerima, dapat berupa lisan,
tertulis, atau keduanya sekaligus.
1.5 Tujuan Komunikasi yaitu
1. Memberi informasi
2. Membuat keputusan
3. Mempengaruhi
4. Menyampaikan perasaan
5. Membuat dan menjaga hubungan baik
6. Memecahkan masalah
7. Mengurangi tekanan
8. Menenangkan
(Jusuf A. A., 2009) dalam (Prihanti, 2014).
1.6 Pendekatan Komunikasi Dokter Pasien :
1. Illness centered communication style atau patient centered communication syle.
Komunikasi berdasarkan apa yang dirasakan pasien tentang penyakitnya yang secara
individu merupakan pengalaman unik. Disini termasuk pendapat pasien,
kekhawatirannya, harapan, apa yang menjadi kepentingannya serta apa yang
dipikirkannya (Kutrz, 2005) dalam (Prihanti, 2014).
2. Disease centered communication style atau doctor centered communication style.
Komunikasi berdasarkan diagnosis, termasuk penyelidikan dan penalaran klinik
mengenai tanda dan gejala-gejala (Kutrz, 2005) dalam (Prihanti, 2014).
Keberhasilan komunikasi antara dokter dan pasien pada umumnya akan melahirkan
kenyamanan dan kepuasaan bagi kedua belah pihak, khususnya menciptakan satu kata
tambhan bagi pasien yaitu empati. Empati itu sendiri dapat dikembangkan apabila dokter
memiliki ketrampilan mendengar dan berbicara yang keduanya dapat dipelajari dan dilatih
11
(Kurt, 2009) dalam (Prihanti, 2014). Dalam konteks ini empati disusun dalam batasan
definisi berikut : kemampuan kognitif seorang dokter dalam mengerti kebutuhan pasien,
menunjukkan afektifitas atau sensitifitas dokter terhadap perasaan pasien, kemampuan
perilaku dokter dalam memperlihatkan atau menyampaikan empatinya kepada pasien (Kutrz,
2005) dalam (Prihanti, 2014).
Bylund C.L & Makaoul, G (2002) dalam (Prihanti, 2014), mengembangkan 6 (enam)
tingkat empati yang dikodekan dalam suatu sistem (The Emhaty Communication Coding
System (ECCS) berikut aplikasinya:
Level 0 : Dokter menolak sudut pandang pasien
a. Mengacuhkan pendapat pasien
b. Membuat pertanyaan yang tidak menyetujui pendapat pasien seperti : “kalau
stress ya, mengapa datang kesini?” atau “Ya lebih baik operasi saja sekarang.”
Level 1 : Dokter mengenali sudut pandang pasien secara sambil lalu
a. “A ha”, tapi dokter mengerjakan hal lain : menulis, membalikkan badan,
menyiapkan alat, dan lain-lain
Level 2 : Dokter mengenali sudut pandang pasien secara implisit
a. Pasien, “Pusing saya ini membuat saya sulit bekerja”
b. Dokter, Ya...? Bagaimana bisnis anda akhir-akhir ini ?
Level 3 : Dokter menghargai pendapat pasien
“Anda bilang anda sangat stres datang ke sini ? Apa anda mau menceritakan lebih
jauh apa yang membuat anda stres?”
Level 4 : Dokter menghargai pendapat pasien
“Anda sepertinya sangat sibuk, saya mengerti seberapa besar usaha anda
menyempatkan berolah raga”
Level 5 : Dokter berbagi perasaan dan pengalaman (sharing feelings anda experience) dengan
pasien.
“Ya, saya mengerti hal ini dapat mengkhawatirkan anda berdua. Beberapa pasien pernak
mengalami aborsi spontan, kemudian setelah kehamilan berikutnya mereka sangat,
sangat, khawatir”
12
1.7 Komunikasi Efektif dalam Hubungan Dokter Pasien
Komunikasi efektif mampu mempengaruhi emosi pasien dalam pengambilan keputusan
tentang rencana tindakan selanjutna, sedangkan komunikasi tidak efektif akan mengundang
masalah (Konsil Kedokteran Indonesia, 2009) dalam (Prihanti, 2014).
Contoh Hasil Komunikasi efektif : Pasien merasa dokter menjelaskan keadaannya sesuai
tujuannya berobat. Berdasarkan pengetahuannya tentang kondisi kesehatannya, pasien pun
mengerti anjuran dokter, Pasien memahami dampak yang menjadi konsekuensi dari penyakit
yang diterimanya, Pasien merasa dokter mendengarkan keluhannya dan mau memahami
keterbatasan kemampuannya lalu bersama mencari alternatif sesuai kondisi dan situasinya
dengan gejala konsekuensinya. Sedangkan contoh hasil komunikasi tidak efektif : Pasien tetap
tidak mengerti keadaanya karena dokter tidak menjelaskan, hanya mengambil anamnesis atau
sesekali bertanya sengkat dan mencatata seperlunya, Pasien merasa tidak dipahami dan
diperlakukan semata sebagai objek, bukan sebagai subjek yang memiliki tubuh yang sedang
sakit, Pasien ragu apakan ia harus mematuhi anjuran dokter atau tidak, Pasien memutuskan untuk
pergi kedokter lain (Konsil Kedokteran Indonesia, 2009) dalam (Prihanti, 2014).
Tujuan dan Manfaat Komunikasi Dokter Pasien:
1). Memfasilitasi terciptanya pencapaian tujuan kedua pihak (dokter dan pasien).
2). Membantu pengembangan rencana perawatan pasien bersama pasien, untuk kepentingan
pasien dan atas dasar kemampuan pasien, termasuk kemampuan finansiak.
3). Membantu memberian pilihan dalam upaya penyelesaian masalah kesehatan pasien.
4). Membimbing pasien sampai pada pengertian yang sebenarnya tentang penyakit/masalah
yang dihadapinya.
5). Membantu mengendalikan kinerja dokter dengan acuan langkah-langkah atau hal-hal
yang telah disetujui pasien (Konsil Kedokteran Indonesia, 2009) dalam (Prihanti, 2014).
1.7 Aplikasi komunikasi efektif dokter pasien
- Sikap profesional dokter : mempersilahkan masuk dan mengucapkan salam, memanggil
atau menyapa pasien dengan namanya, menciptakann suasana yang nyaman,
memperkenalkan diri, menilai suasana hati lawab bicara, menatap mata pasien secara
profesional, melibatkan pasien dalam rencana tindakan medis (KKI, 2006) dalam (Budi
S, 2014).
13
- Sesi pengumpulan informasi : mengenali alasan kedatangan pasien, penggalian riwayat
penyakit (KKI, 2006) dalam (Budi S, 2014).
- Sesi penyampaian informasi : materi informasi apa yang akan disampaikan, siapa yang
akan diberi informasi, berapa banyak atau sejauh mana informasi yang akan disampaikan,
kapan menyampaikan informasi, dimana informasi akan disampaikan, bagaimna
menyampaikannya (KKI, 2006) dalam (Budi S, 2014).
1.8 Tanda – tanda Komunikasi Efektif
Komunikasi efektif memiliki lima tanda, diantaranya adalah pengertian, kesenangan,
pengaruh pada sikap, hubungan sosial yang baik dan tindakan (Rakhmat, 2002) dalam
(Prihanti, 2014).
Pertama adalah pengertian, pengertian disini maksudnya adalah penerimaan yang
cermat dari isi stimuki seperti yang dimaksud oleh komunikator. Yang kedua adalah
kesenangan, maksudnya adalah komunikasi yang menjadikan hubungan kita menjadikan
hubungan kita hangat, akrab dan menyenangkan. Tanda yang lain adalah bisa menimbulkan
hubungan sosial yang baik, maksudnya adalah sebagai makhluk sosial manusia ingin
bergabung dan berhubungan dengan orang lain sehingga kebutihan ini dapat diperoleh
dengan adanya komunikasi interpersonal yang efektif (Rakhmat, 2002) dalam (Prihanti,
2014).
1.9 Pengukuran Efek Komunikasi
Ada beberapa parameter yang dapat digunakan sebagai pengukuran efek komunikasi,
yaitu: Audience coverage, artinya berapa besar jumlah hadirin atau komunikan dalam suatu
kesempatan yang dicapai oleh suatu pesan, Audience respons, artinya apa pendapat-pendapat
dari komunikan terhadap masalah atau pesan yang telah disampaikan, Comunication impact,
artinya apakah yang berbekar di pihak komunikan, Process of influence, artinya metode dan
teknik komunikasi yang manakah yang paling efektif untuk menyampaikan pesan. Melalui
berbagai parameter seperti dikemukakan di atas, orang dapat mengadakan penilaian tentang
efek komunikasi yang dilakukan sehingga kemudian dapat menentukan berbagai
kebijaksanaan, baik untuk memperbaiki maupun untuk meluaskan komunikasi (Prijosaksono
dkk, 2002) dalam (Prihanti, 2014).
14
1.10 Kaidah Dasar Etika Kedokteran
Dalam melakukan komununikasi yang efektif kepada pasien, dokter harus
memperhatikan kaidah dasar moral. Konsil Kedokteran Indonesia dengan mengadopsi prinsip
etika kedokteran yaitu : Beneficence, Non malficence, Justive, Autonomy (KKI, 2006) dalam
(Budi S, 2014).
Hukum Komunikasi Efektif (The Five Inevitable Laws of Effective Communication)
Lima Hukum Komunikasi yang Efektif terangkum dalam kata REACH yang bermakna
merengkuh atau meraih:
Pertama: Respect
Komunikasi yang efektif harus dibangun dari sikap menghargai terhadap setiap
individu yang menjadi sasaran pesan yang disampaikan. Rasa Hormat dan saling menghargai
merupakan hukum yang pertama dalam berkomunikasi dengan orang lain karena pada prinsipnya
manusia ingin dihargai dan dianggap penting. Jika komunikasi dibangun diatas rasa dan sikap
saling meghargai dan menghormati, akan lahir kerjasama yang sinergis sehingga efektifitas
kinerja seorang individu maupun organisasi sebagai sebuah tim dapat ditingkatkan. Jika
diterapkan dalam dunia pendidikan, guru harus memperlakukan siswa sebagai subjek belajar
sehingga lahir sinergi antara guru dan siswa dalam meraih tujuan bersama melalui proses
pembelajaran (Prijosaksono dkk, 2002) dalam (Prihanti, 2014).
Kedua: Empathy
Empati adalah kemampuan seseorang dalam menempatkan dirinya sesuai dengan
situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Salah satu prasyarat utama dalam memiliki
sikap empati adalah kemampuan untuk mendengarkan atau mengerti terlebih dahulu sebelum
didengarkan atau dimengerti oleh orang lain. Rasa empati akan memungkinkan seseorang untuk
dapat menyampaikan pesan dengan cara dan sikap yang akan memudahkan penerima pesan
menerimanya. Jika diterapkan dalam dunia pendidikan, hukum empati ini menegaskan bahwa
sebelum mengirimkan pesan atau menyampaikan materi pelajaran kepada para siswa, guru harus
mengerti dan memahami dengan empati terhadap calon penerima pesan (siswa) sehingga pesan
tersebut akan sampai tanpa ada halangan psikologis atau penolakan dari penerima (Prijosaksono
dkk, 2002) dalam (Prihanti, 2014).
Ketiga: Audible
15
Makna Audible adalah dapat didengarkan atau dimengerti dengan baik. Mengacu
pada kemampuan menggunakan berbagai media maupun perlengkapan bantu audio visual yang
akan membantu agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik (Prijosaksono dkk,
2002) dalam (Prihanti, 2014).
Dalam dunia pendidikan, kemampuan memanfaatkan dan menggunakan media
merupakan suatu kelebihan tersendiri dalam menunjang kesuksesan proses pembelajaran
(Prijosaksono dkk, 2002) dalam (Prihanti, 2014).
Keempat: Clarity
Selain pesan harus dapat dimengerti dengan baik, kejelasan pesan juga harus mendapatkan
perhatian sehingga tidak menimbulkan multi-interpretasi. Dalam proses pembelajaran,
keterbukaan guru terhadap siswa merupakan bentuk sikap yang positif. Keterbukaan sikap guru
menjadikan guru lapang dada menerima masukan dari siswa demi perbaikan proses
pembelajaran. Namun demikian, guru juga harus menanamkan nilai moralitas kepada para
siswanya agar mereka melakukan kritik dan memberikan masukan kepada guru tetap dalam
koridor moral (Prijosaksono dkk, 2002) dalam (Prihanti, 2014).
Kelima: Humble
Hukum kelima dalam membangun komunikasi yang efiktif adalah rendah hati. Rendah
hati pada intinya, sikap yang penuh melayani, sikap menghargai, mau mendengar dan menerima
kritik, tidak sombong, tidak memandang rendah orang lain, berani mengakui kesalahan, rela
memaafkan, lemah lembut, penuh pengendalian diri, dan mengutamakan kepentingan yang lebih
besar (Prijosaksono dkk, 2002) dalam (Prihanti, 2014).
Ketrampilan berkomunikasi berlandasan empat unsure yang merupakan inti komunikasi :
SumberYang menyampaikan informasi. Siapa dia? Seberapa luas/ dalam pengetahuannya
tentang informasi yang disampaikannya.
Isi pesanApa yang disampaikan. Panjang pendeknya, kelengkapannya perlu disesuaikan
dengan tujuan komunikasi, media penyampaiannya, penerimanya.
Media yang digunakanApakah hanya berbicara? Apakah percakapannya dilakukan secara
tatap muka atau melalui telepon, menggunakan lembar lipat, buklet, vcd, peraga.
Penerima Yang diberi informasi. Bagaimana karakternya? Apa kepentingannya? Langsung
tidak langsung (Konsil Kedokteran Indonesia, 2009) dalam (Prihanti, 2014).
16
Hasil penelitian tentang manfaat komunikasi efektif dokter-pasien : (Konsil Kedokteran
Indonesia, 2009) dalam (Prihanti, 2014).
 Meningkatkan kepuasan pasien dalam menerima pelayanan medis dari dokter atau
institusi pelayanan medis.
 Meningkatkan kepercayaan pasien kepada dokter yang merupakan dasar hubungan
dokter-pasien yang baik.
 Meningkatkan keberhasilan diagnosis, terapi dan tindakan medis.
 Meningkatkan kepercayaan diri dan ketegaran pada pasien fase terminal dalam
menghadapi penyakitnya.
 Komunikasi efektif mampu menghindarkan kesalahpahaman yang bisa menimbulkan
dugaan malpraktik.
1.11 Model Komunikasi
Model komunikasi dokter pasien menurut Prof. Dr. L. jan Slikerveer (Leiden University)
dalam (Prihanti, 2014), terdapat model komunikasi dokter-pasien yaitu :
 Activity- Passivity Relationship
Dokter bertindak sebagai orang tua yang aktif memerintah ini itu, pasien sebagai anak
kecil yang hanya menurut dan tidak dapat mengungkapkan berbagai keluhan rasa sakit
yang dia raakan yang menyebabkan dia berobat ke dokter.
 Guidance – Cooperation relantionship
Dalam berkomunikasi dokter bertindak sebagai orang tua dengan anak yang sudah
beranjak dewasa sebagai pasiennya. Dokter tetap penentu kebijakan tunggal, namun
bersifat arahan bukan perintah.
 Mutual – Participation Relantionship
Ibarat 2 orang yang bekerjasama, saling melengkapi satu sama lain. Dokter bukanlah
satu-satunya pihak aktif karena pasien juga aktif dalam menyampaikan keluhan.
 Provider – Consumer Relantionship
Pasien diibaratkan sebagai konsumen, dimana konsumen adalah raja dan dokter adalah
pelayan. Tugas dokter adalah memberikan pelayanan terbaiknya untuk si konsumen.
Hambatan komunikasi dokter pasien terdapat beberapa factor yang mempengaruhi
komunikasi dokter-pasien (Kristina TN dkk, DA, 2014) dalam (Prihanti, 2014), antara lain :
 Faktor pasien
17
 Masalah fisik
 Factor psikologi yang berhubungan dengan penyakit atau perawatan medis
(Contoh : cemas, depresi, marah, penyangkalan)
 Pengalaman perawatan medis sebelumnya
 Pengalaman perawatan medis saat ini
 Faktor dokter
 Pelatihan dalam ketrampilan berkomunikasi
 Percaya diri dalam kemampuan berkomunikasi
 personality
 Faktor fisik  kelelahan
 Factor psikologis  cemas
Pengaturan suasanan saat anamnesis (Kristina TN dkk, DA, 2014) dalam (Prihanti, 2014).
 Privasi
 Lingkungan yang nyaman
 Pengaturan tempat duduk yang tepat
Ada 4 langklah yang terangkum dalam satu kata untuk melakukan komunikasi, yaitu SAJI
yang dapat dijabarkan (Poernomo dkk, 2004) dalam (Prihanti, 2014) sebagai berikut :
S (Salam)
Beri salam, sapa dia, tunjukkan bahwa anda bersedia meluangkan waktu untuk berbicara
dengannya. Menyapa nama pasien, mengucapkan selamat pagi/siang/sore, menjelaskan
tugas dokter, menawarkan situasi pembicaraan yang nyaman
 A (Ajak Bicara)
Usahakan berkomunikasi secara dua arah, jangan berbicara sendiri. Dorong agar pasien
mau dan dapat mengemukakan pikiran dan perasaannya. Tunjukkan bahwa dokter
menghargai pendapatnya, dapat memahami kecemasannya, serta mengerti kecemasannya.
Dokter menggunakan pertanyaan terbuka maupun tertutup dalam uasaha menggali
informasi
 J (Jelaskan)
Beri penjelasan mengenai hal-hal yang menjadi perhatiannya, yang ingin diketahuinya,
dan yang akan dijalani atau dihadapinya agar pasien tidak terjebak oleh pikirannya
sendiri. Luruskan persepsi yang keliru. Berikan penjelasan mengenai penyakit, terapi,
18
atau apapun secara jelas dan detail sampai kepada proses mendidik pasien serta
melakukan konseling
 I ( Ingatkan)
Percakapan yang dokter lakukan bersama pasien mungkin memasukkan berbagai materi
secara luas, yang tidak mudah diingatnya kembali. Pada bagian akhir percakapan,
ingatkan pasien untuk hal-hal yang penting dan koreksi untuk persepsi yang keliru. Selalu
melakukan klarifikasi apakah pasien telah mengerti benar, maupun klarifikasi terhadap
hai-hal yang masih belum jelas bagi kedua pihak serta mengulang kembali akan pesan-
pesan kesehatan yang penting
19
LO 2
Patients Safety
Cedera atau kerugian akibat tindakan medis, merupakan adverse events atau Kejadian
Tidak Diharapkan (KTD). Menurut Permenkes RI Nomor 1961/Menkes/Per/VIII/2011, KTD
merupakan insiden yang mengakibatkan cedera pada pasien. KTD atau adverse event yang
mengakibatkan cedera pada pasien bisa dikarenakan oleh kesalahan medis atau bukan kesalahan
medis yang tidak dapat dicegah. (DEPKES RI, 2008)
Pelayanan kesehatan memegang prinsip untuk menyelamatkan pasien dikenal dengan
istilah ”Primum non nocere” atau ”First, do no harm” (melayani tanpa harus membahayakan)
sebagaimana di kemukakan oleh Hippocrates sejak 2400 tahun yang lalu. (DEPKES RI, 2006).
Kepuasan dan keselamatan pasien dengan tatakelola klinis serta efisiensi merupakan hal penting
dalam menjamin kualitas pelayanan kesehatan (Boy S, 2008)
2.1 Area Kompetensi
Kompetensi dibangun dengan pondasi yang terdiri atas profesionalitas yang luhur, mawas
diri dan pengembangan diri, serta komunikasi efektif, dan ditunjang oleh pilarberupa
pengelolaan informasi, landasan ilmiah ilmu kedokteran, keterampilan klinis, dan pengelolaan
masalah kesehatan (Gambar 1). Oleh karena itu area kompetensi disusun dengan urutan sebagai
berikut:
1. Profesionalitas yang Luhur
2. Mawas Diri dan Pengembangan Diri
3. Komunikasi Efektif
4. Pengelolaan Informasi
5. Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran
6. Keterampilan Klinis
20
7. Pengelolaan Masalah Kesehatan
Gambar 1. Pondasi dan Pilar Kompetensi. (SKDI, 2012)
2.2 Tujuan penggunaan indicator pasien safety
Tujuan penggunaan Indikator Patient Safety Indikator patient safety (IPS) bermanfaat
untuk mengidentifikasi area-area pelayanan yang memerlukan pengamatan dan perbaikan lebih
lanjut, seperti misalnya untuk menunjukkan:
1. adanya penurunan mutu pelayanan dari waktu ke waktu
2. bahwa suatu area pelayanan ternyata tidak memenuhi standar klinik atau terapi
sebagaimana yang diharapkan
3. tingginya variasi antar rumah sakit dan antar pemberi pelayanan
4. disparitas geografi antar unit-unit pelayanan kesehatan (pemerintah vs swasta atau
urban vs rural) (Dwiprahasto, 2008)
Selain penjelasan di atas metode tim perlu menjadi strategi dalam penanganan patient
safety karena metode tim merupakan metode pemberian asuhan keperawatan, yaitu seorang
perawat profesional memimpin sekelompok tenaga keperawatan dalam memberikan asuhan
keperawatan pada sekelompok pasien melalui upaya kooperatif dan kolaboratif. Pada metode ini
21
juga memungkinkan pelayanan keperawatan yang menyeluruh. Adanya pemberian asuhan
keperawatan terhadap sekelompok pasien. Jadi dengan pemberian asuhan keperawatan yang
menyeluruh kepada pasien diharapkan keselamatan pasien dapat diperhatikan, sehingga dapat
meningkatkan mutu pelayanan (Sitorus, 2006).
Mengingat masalah keselamatan pasien merupakan masalah yang perlu ditangani
segera di rumah sakit di Indonesia maka diperlukan standar keselamatan pasien rumah sakit yang
merupakan acuan bagi rumah sakit di Indonesia untuk melaksanakan kegiatannya. Standar
keselamatan pasien rumah sakit yang disusun ini mengacu pada ”Hospital Patient Safety
Standards” yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi perumahsakitan di Indonesia. Standar
keselamatan pasien tersebut terdiri dari tujuh standar yaitu : Hak pasien; mendidik pasien dan
keluarga; keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan; penggunaan metoda-metoda
peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien;
peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien; Mendidik staf tentang
keselamatan pasien; Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.
Uraian tujuh standar tersebut diatas adalah sebagai berikut :
Standar I. Hak pasien
Standar : Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana
dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya Kejadian Tidak diharapkan. Dengan
kriteria : Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan, dokter penanggung jawab pelayanan
wajib membuat rencana pelayanan, dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan
penjelasan secara jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya tentang rencana dan hasil
pelayanan, pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan terjadinya Kejadian
Tidak Diharapkan.
Standar II. Mendidik pasien dan keluarga
Standar : Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung
jawab pasien dalam asuhan pasien Kriteria : Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat
ditingkatkan dengan keterlibatan pasien yang merupakan partner dalam proses pelayanan.
Karena itu, di rumah sakit harus ada sistem dan mekanisme mendidik pasien dan keluarganya
22
tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. Dengan pendidikan tersebut
diharapkan pasien dan keluarga dapat : Memberikan informasi yang benar, jelas, lengkap dan
jujur, mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga, mengajukan pertanyaan-
pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti, memahami dan menerima konsekuensi pelayanan,
mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit, memperlihatkan sikap menghormati
dan tenggang rasa, memenuhi kewajiban finansial yang disepakati.
Standar III. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
Standar : Rumah Sakit menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar
tenaga dan antar unit pelayanan. Kriteria dari standar ini adalah : terdapat koordinasi pelayanan
secara menyeluruh mulai dari saat pasien masuk, pemeriksaan, diagnosis, perencanaan
pelayanan, tindakan pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari rumah sakit, terdapat
koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan kelayakan sumber daya
secara berkesinambungan sehingga pada seluruh tahap pelayanan transisi antar unit pelayanan
dapat berjalan baik dan lancar, terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan
komunikasi untuk memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan sosial,
konsultasi dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya, terdapat
komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan sehingga dapat tercapainya proses
koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif.
Standar IV. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan keselamatan pasien
Standar : Rumah sakit harus mendesign proses baru atau memperbaiki proses yang ada,
memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif
Kejadian Tidak Diharapkan, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta
keselamatan pasien. Kriterianya adalah setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan
(design) yang baik, mengacu pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien, petugas
pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain yang
berpotensi risiko bagi pasien sesuai dengan ”Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah
Sakit”, setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja yang antara lain terkait
dengan : pelaporan insiden, akreditasi, manajemen risiko, utilisasi, mutu pelayanan, keuangan,
23
setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua Kejadian Tidak
Diharapkan, dan secara proaktif melakukan evaluasi satu proses kasus risiko tinggi, setiap rumah
sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis untuk menentukan perubahan
sistem yang diperlukan, agar kinerja dan keselamatan pasien terjamin.
Standar V. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
Standar :
1. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien secara
terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan
Pasien Rumah Sakit ”.
2. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan
pasien dan program menekan atau mengurangi Kejadian Tidak Diharapkan.
3. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit
4. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan.
5. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit.
6. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa.
7. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati
Standar III. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
Standar : Rumah Sakit menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar
tenaga dan antar unit pelayanan. Kriterianya adalah terdapat koordinasi pelayanan secara
menyeluruh mulai dari saat pasien masuk, pemeriksaan, diagnosis, perencanaan pelayanan,
tindakan pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari rumah sakit, terdapat koordinasi
pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan kelayakan sumber daya secara
berkesinambungan sehingga pada seluruh tahap pelayanan transisi antar unit pelayanan dapat
berjalan baik dan lancar, terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi
untuk memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi dan
rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya, terdapat komunikasi dan transfer
24
informasi antar profesi kesehatan sehingga dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan,
aman dan efektif.
Standar IV. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan keselamatan pasien
Standar : Rumah sakit harus mendesign proses baru atau memperbaiki proses yang ada,
memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif
Kejadian Tidak Diharapkan, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta
keselamatan pasien. Kriterianya : Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan
(design) yang baik, mengacu pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien, petugas
pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain yang
berpotensi risiko bagi pasien sesuai dengan ”Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah
Sakit”, setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja yang antara lain terkait
dengan : pelaporan insiden, akreditasi, manajemen risiko, utilisasi, mutu pelayanan, keuangan,
setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua Kejadian Tidak
Diharapkan, dan secara proaktif melakukan evaluasi satu proses kasus risiko tinggi, setiap rumah
sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis untuk menentukan perubahan
sistem yang diperlukan, agar kinerja dan keselamatan pasien terjamin.
Standar V. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
Standar : 1. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien
secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan
Pasien Rumah Sakit ”. 2. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk
identifikasi risiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi Kejadian Tidak
Diharapkan. 3. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar
unitdan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien. 4.
Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur, mengkaji, dan
meningkatkan kinerja rumah sakit serta meningkatkan keselamatan pasien. 5. Pimpinan
mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan kinerja rumah sakit dan
keselamatan pasien.
25
Kriteria : Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien, tersedia
program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program meminimalkan insiden, yang
mencakup jenis-jenis Kejadian yang memerlukan perhatian, mulai dari “Kejadian Nyaris
Cedera” (Near miss) sampai dengan “Kejadian Tidak Diharapkan’ ( Adverse event), tersedia
mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari rumah sakit terintegrasi dan
berpartisipasi dalam program keselamatan pasien, tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap
insiden, termasuk asuhan kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain
dan penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk keperluan analisis, tersedia mekanisme
pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan insiden termasuk penyediaan informasi yang
benar dan jelas tentang Analisis Akar Masalah (RCA) “Kejadian Nyaris Cedera” (Near miss) dan
“Kejadian Sentinel’ pada saat program keselamatan pasien mulai dilaksanakan, tersedia
mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden, misalnya menangani “Kejadian Sentinel”
(Sentinel Event) atau kegiatan proaktif untuk memperkecil risiko, termasuk mekanisme untuk
mendukung staf dalam kaitan dengan “Kejadian Sentinel”, terdapat kolaborasi dan komunikasi
terbuka secara sukarela antar unit dan antar pengelola pelayanan di dalam rumah sakit dengan
pendekatan antar disiplin, tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan dalam
kegiatan perbaikan kinerja rumah sakit dan perbaikan keselamatan pasien, termasuk evaluasi
berkala terhadap kecukupan sumber daya tersebut, tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan
informasi menggunakan kriteria objektif untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja rumah
sakit dan keselamatan pasien, termasuk rencana tindak lanjut dan implementasinya.
Standar VI. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
Standar : 1. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap
jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien secara jelas 2. Rumah sakit
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan
memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien.
Kriteria : Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan orientasi bagi
staf baru yang memuat topik keselamatan pasien sesuai dengan tugasnya masing-masing, setiap
rumah sakit harus mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan inservice
training dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden, setiap rumah sakit harus
26
menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok (teamwork) guna mendukung
pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam rangka melayani pasien.
Standar VII. Komunikasi merupakan kunci bagi staff untuk mencapai keselamatan pasien
Standar : 1. Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi
keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan eksternal. 2. Transmisi
data dan informasi harus tepat waktu dan akurat. Kriteria : Perlu disediakan anggaran untuk
merencanakan dan mendesain proses manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang
hal-hal terkait dengan keselamatan pasien, tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala
komunikasi untuk merevisi manajemen informasi yang ada (Depkes RI, 2006)
2.3 Keselamatan Pasien RS
Keselamatan pasien RS: adalah sistem dalam suatu RS yang memberikan Asuhan Pasien
bermutu & aman. Termasuk di dalamnya:
Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit adalah sebagai berikut :
1. Bangun Kesadaran Akan Nilai Keselamatan Pasien
Ciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil.
Langkah penerapan:
A. Bagi Rumah Sakit :
 Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang mejabarkan apa yang harus
dilakukan staf segera setelah terjadi insiden, bagaimana langkah-langkah
pengumpulan fakta harus dilakukan dan dukungan apa yang harus diberikan
kepada staf, pasien dan keluarga.
 Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang menjabarkan peran dan
akuntabilitas individual bilamana ada insiden.
 Tumbuhkan budaya pelaporan dan belajar dari insiden yang terjadi di rumah sakit.
 Lakukan asesmen dengan menggunakan survei penilaian keselamatan pasien.
B. Bagi Unit/Tim :
 Pastikan rekan sekerja anda merasa mampu untuk berbicara mengenai kepedulian
mereka dan berani melaporkan bilamana ada insiden
27
 Demonstrasikan kepada tim anda ukuran-ukuran yang dipakai di rumah sakit anda
untuk memastikan semua laporan dibuat secara terbuka dan terjadi proses
pembelajaran serta pelaksanaan tindakan/solusi yang tepat.
2. Pimpin Dan Dukung Staf Anda
Bangunlah komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang Keselamatan Pasien di rumah
sakit anda.
Langkah penerapan:
A. Untuk Rumah Sakit :
 Pastikan ada anggota Direksi atau Pimpinan yang bertanggung jawab atas
Keselamatan Pasien.
 Identifikasi di tiap bagian rumah sakit, orang-orang yang dapat diandalkan untuk
menjadi ”penggerak” dalam gerakan Keselamatan Pasien.
 Prioritaskan Keselamatan Pasien dalam agenda rapat Direksi/Pimpinan maupun
rapat-rapat manajemen rumah sakit.
 Masukkan Keselamatan Pasien dalam semua program latihan staf rumah sakit
anda dan pastikan pelatihan ini diikuti dan diukur efektivitasnya.
B. Untuk Unit/Tim :
 Nominasikan ”penggerak” dalam tim anda sendiri untuk memimpin Gerakan
Keselamatan Pasien.
 Jelaskan kepada tim anda relevansi dan pentingnya serta manfaat bagi mereka
dengan menjalankan gerakan Keselamatan Pasien.
 Tumbuhkan sikap kesatria yang menghargai pelaporan insiden.
3. Integrasikan Aktivitas Pengelolaan Risiko
Kembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko, serta lakukan identifikasi dan asesmen hal
yang potensial bermasalah.
Langkah penerapan:
A. Untuk Rumah Sakit :
 Telaah kembali struktur dan proses yang ada dalam manajemen risiko klinis dan
non klinis, serta pastikan hal tersebut mencakup dan terintegrasi dengan
Keselamatan Pasien dan Staf.
28
 Kembangkan indikator-indikator kinerja bagi sistem pengelolaan risiko yang dapat
dimonitor oleh Direksi/Pimpinan rumah sakit.
 Gunakan informasi yang benar dan jelas yang diperoleh dari sistem pelaporan
insiden dan asesmen risiko untuk dapat secara proaktif meningkatkan kepedulian
terhadap pasien.
B. Untuk Unit/Tim :
 Bentuk forum-forum dalam rumah sakit untuk mendiskusikan isu-isu Keselamatan
Pasien guna memberikan umpan balik kepada manajemen yang terkait.
 Pastikan ada penilaian risiko pada individu pasien dalam proses asesmen risiko
rumah sakit.
 Lakukan proses asesmen risiko secara teratur, untuk menentukan akseptabilitas
setiap risiko, dan ambillah langkah-langkah yang tepat untuk memperkecil risiko
tersebut.
 Pastikan penilaian risiko tersebut disampaikan sebagai masukan ke proses asesmen
dan pencatatan risiko rumah sakit.
4. Kembangkan Sistem Pelaporan
Pastikan staf Anda agar dengan mudah dapat melaporkan kejadian/ insiden, serta rumah sakit
mengatur pelaporan kepada Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS).
Langkah penerapan :
A. Untuk Rumah Sakit :
 Lengkapi rencana implementasi sistem pelaporan insiden ke dalam maupun ke
luar, yang harus dilaporkan ke KPPRS - PERSI.
B. Untuk Unit/Tim :
 Berikan semangat kepada rekan sekerja anda untuk secara aktif melaporkan setiap
insiden yang terjadi dan insiden yang telah dicegah tetapi tetap terjadi juga, karena
mengandung bahan pelajaran yang penting.
5. Libatkan Dan Berkomunikasi Dengan Pasien
Kembangkan cara-cara komunikasi yang terbuka dengan pasien.
Langkah penerapan :
A. Untuk Rumah Sakit :
29
 Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang secara jelas menjabarkan cara-cara
komunikasi terbuka tentang insiden dengan para pasien dan keluarganya.
 Pastikan pasien dan keluarga mereka mendapat informasi yang benar dan jelas
bilamana terjadi insiden.
 Berikan dukungan, pelatihan dan dorongan semangat kepada staf agar selalu
terbuka kepada pasien dan keluarganya.
B. Untuk Unit/Tim :
 Pastikan tim anda menghargai dan mendukung keterlibatan pasien dan
keluarganya bila telah terjadi insiden.
 Prioritaskan pemberitahuan kepada pasien dan keluarga bilamana terjadi insiden,
dan segera berikan kepada mereka informasi yang jelas dan benar secara tepat.
 Pastikan, segera setelah kejadian, tim menunjukkan empati kepada pasien dan
keluarganya.
6. Belajar Dan Berbagi Pengalaman Tentang Keselamatan Pasien
Dorong staf anda untuk melakukan analisis akar masalah untuk belajar bagaimana dan
mengapa kejadian itu timbul.
Langkah penerapan:
A. Untuk Rumah Sakit :
 Pastikan staf yang terkait telah terlatih untuk melakukan kajian insiden secara
tepat, yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyebab.
 Kembangkan kebijakan yang menjabarkan dengan jelas kriteria pelaksanaan
Analisis Akar Masalah (Root Cause Analysis/RCA) atau Failure Modes and
Effects Analysis (FMEA) atau metoda analisis lain, yang harus mencakup semua
insiden yang telah terjadi dan minimum satu kali per tahun untuk proses risiko
tinggi.
B. Untuk Unit/Tim :
 Diskusikan dalam tim anda pengalaman dari hasil analisis insiden.
 Identifikasi unit atau bagian lain yang mungkin terkena dampak di masa depan dan
bagilah pengalaman tersebut secara lebih luas.
30
7. Cegah Cedera Melalui Implementasi Sistem Keselamatan Pasien
Gunakan informasi yang ada tentang kejadian / masalah untuk melakukan perubahan pada
sistem pelayanan.
Langkah penerapan:
A. Untuk Rumah Sakit :
 Gunakan informasi yang benar dan jelas yang diperoleh dari sistem pelaporan,
asesmen risiko, kajian insiden, dan audit serta analisis, untuk menentukan solusi
setempat.
 Solusi tersebut dapat mencakup penjabaran ulang sistem (struktur dan proses),
penyesuaian pelatihan staf dan/atau kegiatan klinis, termasuk penggunaan
instrumen yang menjamin keselamatan pasien.
 Lakukan asesmen risiko untuk setiap perubahan yang direncanakan
Sosialisasikan solusi yang dikembangkan oleh KKPRS – PERSI.
 Beri umpan balik kepada staf tentang setiap tindakan yang diambil atas insiden
yang dilaporkan.
B. Untuk Unit/Tim :
 Libatkan tim anda dalam mengembangkan berbagai cara untuk membuat asuhan
pasien menjadi lebih baik dan lebih aman.
 Telaah kembali perubahan-perubahan yang dibuat tim anda dan pastikan
pelaksanaannya.
 Pastikan tim anda menerima umpan balik atas setiap tindak lanjut tentang insiden
yang dilaporkan.
Tujuh langkah keselamatan pasien rumah sakit merupakan panduan yang komprehensif
untuk menuju keselamatan pasien, sehingga tujuh langkah tersebut secara menyeluruh harus
dilaksanakan oleh setiap rumah sakit.Dalam pelaksanaan, tujuh langkah tersebut tidak harus
berurutan dan tidak harus serentak. Pilih langkahlangkah yang paling strategis dan paling mudah
dilaksanakan di rumah sakit. Bila langkah-langkah ini berhasil maka kembangkan langkah-
langkah yang belum dilaksanakan. Bila tujuh langkah ini telah dilaksanakan dengan baik rumah
sakit dapat menambah penggunaan metodametoda lainnya (Departemen Kesehatan RI, 2006).
31
Insiden adalah setiap kejadian yg tidak disengaja dan kondisi yg mengakibatkan atau
berpotensi mengakibatkan cedera yang dpt dicegah pd pasien, terdiri dari Kejadian Tidak
Diharapkan, Kejadian Nyaris Cedera, Kejadian Tidak Cedera dan Kejadian Potensial Cedera.
 KTD (Kejadian Tak Diharapkan)
Kejadian Tidak Diharapkan, selanjutnya disingkat KTD adalah insiden yang
mengakibatkan cedera pada pasien.
 KNC (Kejadian Nyaric Cedera)
Kejadian Nyaris Cedera, selanjutnya disingkat KNC adalah terjadinya insiden yang
belum sampai terpapar ke pasien.
 KTC (Kejadian Tidak Cedera)
Kejadian Tidak Cedera, selanjutnya disingkat KTC adalah insiden yang sudah terpapar ke
pasien, tetapi tidak timbul cedera.
 KPC (Kondisi Potensial Cedera)
 Kondisi Potensial Cedera, selanjutnya disingkat KPC adalah kondisi yang sangat
berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden.
(Departemen Kesehatan RI, 2006).
2.4 Sembilan Solusi Keselamtan Pasien Di RS :
WHO Collaborating Centre for Patient Safety pada tanggal 2 Mei 2007 resmi menerbitkan
Nine Life Saving Patient Safety Solutions (Sembilan Solusi Life-Saving Keselamatan Pasien
Rumah Sakit). Disusun sejak tahun 2005 oleh pakar keselamatan pasien lebih 100 negara,
dengan mengidentifikasi dan mempelajari berbagai masalah keselamatan pasien. Panduan
Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI Edisi 2
Tahun 2009, Bab II angka 2.5. tentang Sembilan Solusi Keselamatan Pasien, isinya sama dgn yg
tlh disepakati oleh WHO.
1. Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-Alike, Sound-Alike Medication
Names).
a. SeSebelum memberikan obat ke pasien, cek tujuan pemberian obat pada resep /
instruksi dokter/ rekam medis pasien.
32
b. Belum memberikan obat ke pasien, cek kecocokan obat yang akan diberikan dengan
diagnosa medis pasien.
c. Pada obat yang hafal, label obat yang akan diberikan perlu dibaca secara cermat,
mengenali obat secara visual/fisik, lokasi penyimpanannya dan melihat tanda spesifik
lainnya.
d. Pisahkan penempatan dan penyimpanan obat yang mirip (Norum) termasuk obat yang
bermasalah.
e. Berikan penjelasan pada pasien atau keluarganya tentang obat-obatan yang mirip
nama dan bentuknya yang kemungkinan dikonsumsi pasien.
2. Pastikan Identifikasi Pasien.
a. Cek identitas pasien dan mencocokannya dengan kebutuhan perawatan pasien
misalnya tindakan medis, laboratorium.
b. Digunakan minimal 2 jenis identitas (misalkan nama pasien dan tanggal lahir) sebagai
alat klarifikasi identitas pasien saat pasien masuk atau pindah ke rumah sakit lain atau
tempat pelanan lainnya.
c. Cek identitas pasien dan mencocokannya dengan kebutuhan perawatan pasien
misalnya tindakan medis, laboratorium.
d. Terapkan standarisasi dalam identifikasi pasien sesuai prosedur yang ada, misalkan
gelang warna tertentu dengan ditulis nama dan tanggal lahir.
e. Ada protokol identifikasi pasien dengan nama yang sama atau pasien-pasien yang
tidak diketahui namanya dan mengikuti protokol tersebut.
3. Komunikasi Secara Benar saat Serah Terima / Pengoperan Pasien.
a. Lakukan operan pasien saat pergantian dinas jaga.
b. Lakukan operan dengan petugas tempat perawatan selanjutnya saat pasien dipindahkan
ke tempat perawatan lain atau unit tindakan lainnya.
c. Baca ulang dokumen pasien saat operan dan dicermati dengan teliti
d. Saat operan cukup waktu bagi staf untuk bertanya dan tidak ada interupsi saat operan.
e. Saat operan pasien dijelaskan dengan rinci dan benar mengenai: status pasien, obat-
obatan, rencana terapi, advance directive (pernyataan keinginan pasien) dan semua
perubahan status pasien.
33
4. Pastikan Tindakan yang benar pada Sisi Tubuh yang benar.
a. Lakukan verifikasi dan memberi tanda sesuai rekam medis pada anggota tubuh yang
akan dilakukan prosedur delegasi seperti : pemasangan gips atau prosedur operatif
minor lainnya.
b. Libatkan pasien dalam setiap proses verifikasi preoperative untuk mengkonfirmasi
ulang.
c. Lengkapi data laboratorium, uji diagnostic, CT scan, Rontgen MRI dan test yang
relevan untuk verifikasi ketepatan pasien sebelum pasien dioperasi.
d. Cocokan identitas pasien dengan jenis tindakan yang akan dilakukan sesuai dengan
rekam medis.
e. Lakukan serah terima pasien dengan menyertakan rekam medis dan pemeriksaan
penunjang kepada petugas kamar operasi atau kamar tindakan.
5. Kendalikan Cairan Elektrolit Pekat (Concentrated).
a. Cairan KCL disimpan di tempat yang terpisah dan terkunci dan pemakaiannya
didokumentasikan sebagai kendali pemakaian atau jika tidak tersedia ruang khusus
penyimpanan dan persiapan obat, maka hanya perawat, dokter atau Apoteker yang
berpengalaman yang diperbolehkan menyiapkan obat ini.
b. Setelah KCL atau cairan konsentrasi lain disiapkan, dilakukan pengecekan independen
oleh staf yang berpengalaman dan terkualifikasi.
c. Tersedia protocol (ceklist) untuk cairan KCL/cairan konsentrasi lain meliputi cara
menghitung, kecepatan cairan dan jalur pemberian vena yang tepat.
d. Pemberian KCL atau cairan konsentrasi lain dengan infuse pump atau infuse mikro
dirp set (60 tetes/ml) atau infuse set buret dan harus sering dimonitor.
e. Cairan KCL atau cairan konsentrasi lain yang sudah disiapkan diberi label peringatan
resiko tinggi sebelum digunakan.
6. Pastikan Akurasi Pemberian Obat pada Pengalihan Pelayanan.
a. Standarisasi pengumpulan dan dokumentasi semua obat yang sedang digunakan pasien
yang meliputi nama obat/ suplemen, Dosis, frekuensi dan waktu dosis terakhir.
b. Perbaharui daftar obat jika terdapat order baru yang dituliskan yang merefleksikan
semua obat yang sedang digunakan pasien.
34
c. Komunikasikan daftar obat kepada pemberi pelayanan berikutnya kapanpun pasien
dipindahkan, dipulangkan dan berikan daftar obat saat pasien pulang.
d. Ajari pasien atau keluarga tentang penggunaan obat yang aman, risiko obat baik secara
tunggal atau kombinasi dan beri akses informasi obat yang terjangkau dan relevan.
e. Anjurkan pasien untuk menyimpan obatnya di tas dan membawanya jika berkunjung
ke rumah sakit atau dokte
7. Hindari Salah Kateter dan Salah Sambung Slang (Tube).
a. Tidak memperbolehkan staf non klinis, pasien dan keluarga untuk menyambungkan
atau melepas sambungan selang, bantuan harus selalu ditujukan kepada staf klinis.
b. Beri label pada kateter yang berisiko tinggi (kateter arteri, epidural, intratekal dan
Hindari penggunaan kateter dengan injection port pada peralatan ini.
c. Jelaskan jakur-jalur selang dan standar dasar masing-masing jalur selang pasien disaat
operan pasien.
d. Buat alur dasar untuk koneksi semua selang dan verifikasi ujung selang sebelum
membuat koneksi atau melepas sambungan atau memberikan obat, cairan atau produk
lain.
e. Lakukan training mengenai bahaya salah sambung selang dan peralatan medis pada
program orientasi dan pengembangan berkelanjutan staf klinis.
8. Gunakan Alat Injeksi Sekali Pakai.
a. Atasan/ rekan kerja menganjurkan penggunaan peralatan injeksi sekali pakai.
b. Ikut program training petugas kesehatan atau memanfaatkan informasi dari rumah
sakit tentang: pencegahan infeksi, praktek injeksi yang aman, penanganan sampah
benda tajam yang aman dan penggunan tehnologi injeksi terbaru (sedikit
menggunakan jarum).
c. Identifikasi dan terapkan praktek penanganan sampah medis yang aman.
d. Dukung pengadaan peralatan injeksi dengan system sedikit tusukan.
e. Edukasi ke pasien dan keluarganya tentang alternative penggunaan obat-obatan
injeksi
9. Tingkatkan Kebersihan Tangan (Hand Hygiene) untuk Pencegahan lnfeksi Nosokomial.
a. Atasan atau rekan kerja mempromosikan ketaatan melakukan cuci tangan.
35
b. Tersedia wastafel dan sabun cuci tangan dengan air yang mengalir untuk fasilitas cuci
tangan disetiap sudut ruang perawatan.
c. Cuci tangan sebelum dan sesudah menyentuh, melakukan tindakan atau berkontak
dengan cairan pasien.
d. Edukasi/penyuluhan bagi petugas kesehatan tentang tehnik cuci tangan yang benar.
e. Buat informasi ke pasien dan keluarga tentang tehnik cuci tangan yang benar dan
pentingnya cuci tangan
(Departemen Kesehatan RI, 2006).
36
LO 3
KOLABORASI ANTAR TENAGA KESEHATAN
3.1 Definisi
Kerjasama merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama untuk mencapai
suatu tujuan. Kerjasama interprofesi dapat diartikan sebagai suatu kolaborasi yang
terkoordinasi di antara berbagai profesi tenaga kesehatan dalam melaksanakan pelayanan
kesehatan kepada pasien untuk mengoptimalkan efektifitas kinerja, efisiensi biaya dan
meningkatkan kepuasan pasien. Praktik kerjasama interprofesi menekankan tanggung jawab
bersama dalam manajemen perawatan, dengan proses pembuatan keputusan bilateral
didasarkan pada masing-masing pendidikan dan kemampuan praktisi (Emilia, 2014).
Kemitraan tenaga kesehatan dalam kerjasama interprofesi dapat ditumbuhkan dari hasil
hubungan interpersonal yang baik. Kemitraan dapat diciptakan apabila kedua profesi yang
bermitra mampu memperlihatkan sikap saling mempercayai dan menghargai, memahami dan
menerima keberadaan disiplin ilmu masing-masing, menunjukkan citra diri yang positif,
masing-masing anggota profesi yang berbeda dapat menunjukkan kematangan profesional
yang sama yang timbul karena pendidikan dan pengalaman, adanya keinginan dan kesadaran
untuk berkomunikasi dan negosisasi dalam menjalankan tugas yang interdependen dalam
pencapaian tujuan bersama. Kedua profesi memiliki kompetensi klinik dan kemampuan
interpersonal, menilai dan menghargai pengetahuan yang berbeda dan saling melengkapi
(Emilia, 2014).
3.2 Prinsip Kolaborasi
Kerjasama pada tahap perncanaan dan tindakan serta berbagi dalam keputusan dan
tanggung jawab. Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, kontribusi praktisi
profesional, kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan kepada pasien dengan
kepercayaan sebagai konsep umum kolaborasi.
 Point penting : Kerjasama dan kesetaraan (esensi dasar)
 Point lainnya : Kebersamaan, berbagi tugas, tanggung jawab, dan tanggung gugat
(Kepmenkes, 2009).
37
3.3 Tujuan
A. Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan keahlian
unik professional
B. Produktivitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya
C. Meningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas
D. Meningkatnya kohesifitas antar professional
E. Kejelasan peran dalam berinteraksi antar professional
F. Menumbuhkan komunikasi, kolegalitas, dan menghargai dan memahami orang lain
G. Menghasilkan outcome yang lebih baik bagi pasien dalam mecapai upaya penyembuhan
dan memperbaiki kualitas hidup (Kepmenkes, 2009).
3.4 Manfaat
A. Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan keahlian
unik profesional..
B. Memaksimalkan produktivitas serta efektifitas dan efisiensi sumber daya.
C. Meningkatkan profesionalisme, loyalitas, dan kepuasan kerja.
D. Meningkatkan kohesivitas antar tenaga kesehatan profesional.
E. Memberikan kejelasan peran dalam berinteraksi antar tenaga kesehatan professional
sehingga dapat saling menghormati dan bekerja sama.
F. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan kesehatan
G. Peningkatan akses ke berbagai pelayanan kesehatan
H. Untuk tim kesehatan, memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan pengalaman (Kepmenkes,
2009).
3.5 Dasar-dasar Komperensi Kolaborasi
1. Komunikasi
Komunikasi sangat dibutuhkan dalam berkolaborasi, karena kolaborasi
membutuhkan pemecahan masalah yang lebih komplek, dibutuhkan komunikasi efektif
yang dapat dimengerti oleh semua anggota tim.
2. Respek dan kepercayaan
Respek dan kepercayaan dapat disampaikan secara verbal maupun non verbal
serta dapat dilihat dan dirasakan dalam penerapannya sehari-hari.
3. Memberikan dan menerima feed back
38
Feed back dipengaruhi oleh persepsi seseorang, pola hubungan, harga diri,
kepercayaan diri, emosi, lingkungan serta waktu, feed back juga dapat bersifat negatif
maupun positif.
4. Pengambilan keputusan
Dalam pengambilan keputusan dibutuhkan komunikasi untuk mewujudkan
kolaborasi yang efektif guna menyatukan data kesehatan pasien secara komperensip
sehingga menjadi sumber informasi bagi semua anggota tim.
5. Manajemen konflik
Untuk menurunkan komplik maka masing-masing anggota harus memahami
peran dan fungsinya, melakukan klarifikasi persepsi dan harapan, mengidentifikasi
kompetensi, mengidentifikasi tumpang tindih peran serta melakukan negosiasi peran dan
tanggung jawabnya.
(Depkes RI, 2004)
3.6 Cara Membangun dan Mempertahankan Kolaborasi Tim Kesehatan
A. Mengetahui tugas dan wewenang/batasan masing-masing profesi kesehatan
B. Membangun komitmen dan kepercayaan antarprofesi kesehatan untuk saling bekerja
sama
C. Menyediakan waktu khusus untuk sharing pengetahuan dan pemecahan masalah dari
pasien
D. Bekerja dalam kesetaraan profesi
E. Fokus dalam meningkatkan kualitas hidup pasien
F. Menggunakan cara komunikasi yang efektif
G. Membuat rencana jangka pendek dan jangka panjang dalam strategi penanganan pasien
3.7 Penerapan Kolaborasi antar kesehatan
Tim interprofesi dapat terdiri atas berbagai profesi kesehatan seperti :
A. Konsultan
B. Dokter
C. Perawat
D. dokter spesialis
E. fisioterapis
39
Tim ini dapat diterapkan pada berbagai macam tatanan perawatan misalnya pada ruang
operasi maupun pada perawatan geriatri. Dalam penerapan kerjasama interprofesi, anggota
tim interprofesi mungkin saja mengalami konflik karena beragamnya latar belakang profesi.
Oleh karena itu dibutuhkan pemahaman tentang perawatan yang berfokus pada komunikasi
dan sikap yang mengacu pada keselamatan pasien yang merupakan prioritas utama. Selain itu
dibutuhkan kejelasan peran masing-masing profesi dalam menciptakan perawatan yang
optimal, yaitu meliputi peran mandiri tiap profesi dan peran tim interprofesi secara
keseluruhan (Emilia, 2014).
3.8 Metode Meningkatkan Efektifitas Kolaborasi
Salah satu metode yang dapat digunakan dalam meningkatkan efektifitas kerjasama tim
adalah Team Mental Models (TMM). TMM didefinisikan sebagai metode anggota timnya
yang dapat saling berbagi pengetahuan maupun pemahaman terkait kompetensi kinerja klinis
tenaga kesehatan. Menurut DeChurch dan Mesmer-Magnus (2010), TMM telah terbukti
memberikan efek yang signifikan terhadap proses kinerja tim. Berdasarkan kompleksitas
kasus pasien, Ruang Operasi (OK) menjadi salah satu setting yang paling cocok untuk
penerapan TMM (Emilia, 2014).
Secara umum, konsep TMM mengacu pada pembagian pemahaman maupun pengetahuan
yang relevan antar anggota dalam mewujudkan kerjasama tim yang efektif. Sebuah penelitian
yang dilakukan oleh Burtscher (2012) menyatakan bahwa melalui TMM, tenaga kesehatan
dapat berbagi pengetahuan, sikap, dan pemahaman terkait peningkatan keselamatan pasien
(patient safety). Anggota tim interdisiplin dapat saling mengidentifikasi peran dan
tanggungjawab masing-masing profesi serta dapat menentukan solusi masalah kerjasama
yang mungkin terjadi berdasarkan diskusi tim (Emilia, 2014).
Dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak ditemukan potensi masalah di klinis
maupun di masyarakat mengenai perawatan kesehatan pasien, khususnya pada lansia. Oleh
karena itu dibutuhkan kerjasama tim interdisiplin tenaga kesehatan dalam mewujudkan
perawatan geriatri yang optimal (Kagan, 2010). Sebuah tim interdisiplin perlu meningkatkan
dan mengimplementasikan pengetahuan maupun kompetensi asuhan perawatan akut pada
geriatri. Tidak seperti perawatan geriatri jangka panjang, perawatan akut lebih
menitikberatkan pada pemberian perawatan sesuai dengan kebutuhan pasien. Tenaga
kesehatan akan membentuk suatu tim kesehatan yang terdiri atas dokter, psikiatri, maupun
40
perawat klinis. Kerjasama tim interprofesi pada perawatan geriatri akut dapat dilakukan
misalnya dengan cara perawat dapat memberikan asuhan keperawatan langsung kepada
pasien, dokter berperan dalam perawatan medis, dokter bedah dapat merencanakan medikasi
dan tindakan operatif sesuai indikasi, sedangkan pekerja sosial dapat mengkoordinasikan
discharge planning pasien pada saat akan dipulangkan ke rumah. Di sisi lain, fisioterapis
dapat memberikan intervensi kritis kepada pasien untuk mengembalikan fungsi tubuh yang
hilang (Emilia, 2014).
3.9 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kerjasama Tim Kolaborasi
Menurut Weaver 2008 dalam Emilia, fungsi kerjasama tim yang efektif dipengaruhi oleh
faktor anteseden, proses dan hasil. Faktor-faktor tersebut merupakan sesuatu yang dapat
meningkatkan maupun menghambat proses kerjasama dalam tim seperti ditunjukkan oleh
kerangka berikut.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kerjasama Interprofesi
Sumber: Weaver, T.E., 2008. Enhancing multiple disciplinary teamwork.
A. Anteseden (Antecedents)
1) Pertimbangan sosial dan intrapersonal(social and intrapersonal
consideration).
Dasar pertimbangan sosial berawal dari kesadaran bahwa
seseorang harus membentuk suatu kelompok agar dapat bekerja secara
efektif dan efisien. Sifat manusia sebagai makhluk sosial yang saling
memerlukan dapat menjadi dasar terbentuknya sebuah tim.
Pertimbangan intrapersonal juga merupakan komponen penting dalam
menciptakan kolaborasi yang baik. Anggota tim harus memiliki tipe
41
kepribadian yang baik dan sikap untuk bekerjasama yang baik. Selain
itu, kolaborasi yang efektif akan tercapai apabila masing-masing
anggota tim kesehatan merupakan pakar dalam profesinya masing-
masing, artinya anggota tim dari profesi yang satu harus seimbang
dengan profesi yang lain baik dari segi pengetahuan, keterampilan,
maupun pengalaman yang dimiliki agar dapat saling berdiskusi secara
efektif.
2) Lingkungan fisik (physical environment)
Lingkungan kerja dan kedekatan di antara anggota tim dapat
memfasilitasi atau menghambat kolaborasi. Lingkungan kerja yang
baik harus dapat mendukung kemampuan anggota tim untuk
mendiskusikan beberapa ide maupun menyelesaikan masalah yang
mungkin terjadi, sehingga dapat meningkatkan ikatan dan diskusi
penting yang mengarah pada pemahaman dari perspektif yang berbeda
dan dapat menyelesaikan masalah di dalam tim.
3) Faktor organisasional dan institusional (organizational and
institutional factor)
Institusi dan kelembagaan sangat berperan dalam mengurangi
hambatan untuk kolaborasi lintas profesi. Kebijakan yang diterapkan
oleh suatu institusi ataupun kelembagaan kesehatan harus dapat
mendorong terciptanya kerjasama antar profesi kesehatan, kebijakan
tersebut dapat berupa penerapan kurikulum interprofessional education
maupun penerapan standar pelayanan kesehatan melalui kolaborasi
interprofesi dalam memberikan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
B. Proses
1). Faktor perilaku
Perilaku bekerjasama antar profesi kesehatan merupakan kunci untuk
mengatasi hambatan dalam proses kolaborasi. Kesadaran untuk
bekerjasama dan saling membutuhkan harus ditanamkan pada setiap
anggota tim agar tidak ada arogansi maupun egoisme profesi. Perilaku
bekerjasama juga bertujuan untuk meredakan ketegangan di antara
42
profesi yang berbeda, selain itu juga untuk meningkatkan efektifitas dan
efisiensi biaya perawatan pasien.
2). Faktor interpersonal
Interpersonal merupakan cara untuk berhubungan dengan orang lain,
dalam hal ini adalah profesi kesehatan yang lain. Dalam hubungan
interpersonal harus terdapat peran yang jelas. Setiap profesi harus
mengetahui peran profesi yang lain, sehingga mereka dapat berbagi
peran sesuai dengan kompetensi masing-masing profesi. Untuk
membentuk hubungan interprofesi yang baik sangat diperlukan adanya
komunikasi interprofesi yang efektif. Melalui komunikasi interprofesi,
anggota tim dapat saling berbagi ide, perspektif dan inovasi perawatan
kesehatan sehingga kolaborasi dapat berjalan dengan baik.
3). Faktor intelektual
Sebuah institusi pendidikan profesi kesehatan memegang peranan
yang sangat penting dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
kolaborasi interprofesi. Kolaborasi Interprofesi akan berjalan dengan
baik apabila setiap anggota tim mempunyai tingkat pengetahuan dan
keterampilan yang setara.
C. Outcome and opportunity
Pengembangan kerjasama dan kolaborasi tim interdisiplin akan
sangat membantu dalam menciptakan ide-ide baru yang berhubungan
dengan inovasi pelayanan kesehatan. Kesadaran terhadap hambatan
terbentuknya kerjasama yang efektif harus ditekankan pada setiap anggota
tim sehingga dapat tercipta model integratis dalam sistem pelayanan
kesehatan. Tuntutan terhadap peningkatan kualitas pelayanan kesehatan
memberikan peluang bagi tenaga kesehatan untuk menerapkan kolaborasi
interprofesi dalam sistem pelayanan kesehatan (Emilia, 2014).
3.10 Faktor Penghambat Kolaborasi Perawat dengan Dokter
Hubungan perawat dan dokter adalah suatu bentuk hubungan interaksi yang telah cukup
lama dikenal ketika memberikan bantuan kepada pasien. Perspektif yang berbeda dalam
memandang pasien, dalam praktiknya menyebabkan munculnya hambatan-hambatan tehnik
43
dalam melakukan proses kolaborasi. Kendala psikologi keilmuan dan individual, faktor
sosial, serta budaya menempatkan kedua profesi ini memunculkan kebutuhan akan upaya
kolaborasi yang dapat menjadikan keduanya lebih solid dengan semangat kepentingan pasien
(Kemenkes RI, 2012).
Hambatan kolaborasi perawat dengan dokter sering dijumpai pada tingkat professional
dan institusional. Perbedaan status dan kekuasaan tetap menjadi sumber utama
ketidaksesuaian yang membatasi pendirian professional dalam aplikasi kolaborasi. Dokter
cenderung pria, dari tingkat ekonomi lebih tinggi dan biasanya fisik lebih besar dibandingkan
perawat, sehingga iklim dan kondisi sosial masih mendukung dominasi dokter. Inti
sesungguhnya dari komplik perawat dengan dokter terletak pada perbedaan sikap profesional
mereka terhadap pasien dan cara berkomunikasi diantara keduanya. Dari hasil observasi
peneliti di rumah sakit nampaknya perawat dalam memberikan asuhan keperawatan belum
dapat melaksanakan fungsi kolaborasi khususnya dengan dokter (Kemenkes RI, 2012).
Perawat bekerja memberikan pelayanan kepada pasien berdasarkan instruksi medis yang
juga didokumentasikan secara baik, sementara dokumentasi asuhan keperawatan meliputi
proses keperawatan tidak ada. Disamping itu hasil wawancara peneliti dengan beberapa
perawat rumah sakit pemerintah dan swasta, mereka menyatakan bahwa banyak kendala
yang dihadapi dalam melaksanakan kolaborasi, diantaranya pandangan dokter yang selalu
menganggap bahwa perawat merupakan tenaga vokasional, perawat sebagai asistennya, serta
kebijakan rumah sakit yang kurang mendukung. Isu-isu tersebut jika tidak ditanggapi dengan
benar dan proporsional dikhawatirkan dapat menghambat upaya melindungi kepentingan
pasien dan masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan kesehatan, serta menghambat
upaya pengembangan dari keperawatan sebagai profesi (Kemenkes RI, 2012).
Berkaitan dengan isu kolaborasi dan soal menjalin kerjasama kemitraan dokter, perawat
perlu mengantisipasi konsekuensi perubahan dari vakosional menjadi profesional. Status
yuridis seiring perubahan perawat dari perpanjangan tangan dokter menjadi mitra dokter
yang sangat komplek. Tanggung jawab hukum juga akan terpisah untuk masing-masing
kesalahan atau kelalaian, yaitu malpraktik medis dan malpraktik keperawatan. Perlu ada
kejelasan dari pemerintah maupun para pihak yang terkait mengenai tanggung jawab hukum
dari perawat, dokter maupun rumah sakit (Kemenkes RI, 2012).
44
Organisasi profesi juga harus berbenah dan memperluas struktur organisasi agar dapat
mengantisipasi perubahan. Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang
efektif, hal tersebut perlu ditunjang oleh saran komunikasi yang dapat menyatukan data
kesehatan pasien secara komperensip sehingga menjadi sumber informasi bagi semua
anggota tim dalam pengambilan keputusan (Kemenkes RI, 2012).
45
LO 4
Manajemen Rumah Sakit Terhadap Pasien Safety
Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit Ada
lima isu penting yang terkait dengan keselamatan (safety) di rumah sakit yaitu : keselamatan
pasien (patient safety) ,keselamatan pekerja atau petugaskesehatan,keselamatan bangunan dan
peralatan di rumah sakit yang bisa berdampak terhadap keselamatan pasien dan petugas,
keselamatan lingkungan (Green Productivity) yang berdampak terhadap pencemaran lingkungan
dan keselamatan ‘bisnis’ rumah sakit yang terkait dengan kelangsungan hidup rumah sakit.
Kelima aspek keselamatan tersebut sangatlah penting untuk dilaksanakan di setiap rumah
sakit.Namun harus diakui kegiatan institusi rumah sakit dapat berjalan apabila adapasien. Karena
itu keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk dilaksanakandan hal tersebut terkait
dengan isu mutu dan citra perumah sakitan. Harus diakui ,pelayanan kesehatan pada dasarnya
adalah untuk menyelamatkanpasien sesuai dengan yang diucapkan Hiprocrates kira-kira 2400
tahun yang lalu yaitu Primum,non nocere (first,do no harm), Namun diakui dengan semakin
berkembangnyailmu dan teknologi pelayanan kesehatan khususnya di rumah sakit menjadi
semakin kompleks dan berpotensi terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan-KTD (Adversed
event)apabila tidak dilakukan dengan hati-hati.
1. Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety)
Suatusistemdimanarumahsakitmembuatasuhanpasienlebihaman,HaliniTermasuk:asesmen resiko;
indentifikasi dan pengelolahan hal yang berhubungan dengan resiko pasien; pelaporan dan
analisis insiden; kemampuan belajar dari Insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi
solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem ini mencegah oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan seharusnya
2. Kejadian Tidak Diharapkan(KTD) (Adverse event)
Suatu kejadian yang ditak diharapkan yang mengakibatkan cedera pasien
akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambi ltindakan yang seharusnya
diambil,dan bukan karena penyakit dasarnya atau kondisinya pasien.Cedera dapat
diakibatkanolehkesalahanmedisataubukankesalahanmediskarenaTidak dapat dicegah.
3 KTD yang dapat dicegah (Unpreventable adverse event)
Suatu KTD akibat yang tidak dapat dicegah dengan pengetahuan yang mutakhir.
46
4. Kejadian Nyaris Cedera (KNC) (Near miss).
Suatu kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya diambil (omission), yang dapt mencederai pasien,tetapi cedera
serius tidak terjadi,karena keberuntungan (mis,pasien terima suatu obat kontra indikasi
tetapi tidak timbul reaksi obat),karena pencegahan (suatu obat dengan overdosis lethal
akan diberikan,tetapi staf lain mengetahui dan membatalkannya sebelum obat
diberikan),atau peringanan(suatu obat dengan overdosis lethal diberikan,diketaui secara
dini lalu diberikan antidotenya).
5. Kesalahan Medis (Medical errors)
Kesalahan yang terjadi dalam proses asuhan medis yang mengakibatkan atau berpotensi
mengakibatkan cedera pada pasien.Kesalahan termasuk gagal melaksanakan sepenuhnya
suatu rencana atauMenggunakan rencana yang salah untuk mencapai tujuannya. Dapat akibat
melaksanakan sepenunnya suatu rencana atau menggunakan rencana yang salahuntuk mencapai
tujuannya. Dapat akibat melaksanakan suatu tindakan(commission) atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya diambil(omission)
6. Insiden Keselamatan Pasien (Patient Safety Incident)
Setiap kejadian yang tidak disengaja dan tidak diharapkan,yang dapat mengakiBatkan
atau berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien.
7. Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien Rumah Sakit
Suatu sistem untuk mendokumentasikan insiden yang tidak disengaja dan tidak
diharapkan,yang dapat mengakibatkan atau berpotensimengakibatkan cedera pada
pasien.Sistem ini juga mendokumentasikan kejadian-kejadian yang tidak konsisten
dengan operasional rutin rumah sakit atau asuhan pasien.
8. Anlisis Akar Masalah (Root Cause Analysis)
Suatu proses terstruktur untuk mengindentifikasi factor penyebab atau faktor Penyebab
atau factor yang berpengaruh terhadap terjadinya penyimpanganKinerja,termasuk KTD
9. Manajemen Risiko (Risk Management)
Dalam hubungan-nya dengan operasional rumah sakit,istilah menajemen risiko Dikaitkan
kepada aktivitas perlindungan diri yang berarti mencegah ancaman Yang nyata atau
berpotensi nyata terhadap kerugian keuangan akibat Kecelakaan, cedera atau malpraktik
medis.
47
10. Kejadian Sentinel (Sentinel Event)
Suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera yang serius; biasanya dipakai
untuk kejadian yang sangat tidak diharapkan atau tidak dapat diterimaSeperti : operasi
pada bagian tubuh yang salah.Pemilihan kata Sentinel terkait Dengan keseriusan cedera
yang terjadi (mis.Amputasi pada kaki yang salah,dsb) Sehingga pencarian fakta terhadap
kejadian ini mengungkapkan adanya masalah yang serius pada kebijakan dan prosedur
yang berlaku.
4.2 Tujuan KPRS
1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit
2. Meningkatnya akutanbilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat
3. Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit
4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan
kejadian yang tidak diharapkan.
4.3 Manajemen Rumah Sakit
Rumah sakit harus dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi seluruh
tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan di rumah sakit melalui pembentukan
berbagai perangkat aturan di rumah sakit meliputi:
1. Peraturan internal staf medis
2. Standar prosedur operasional dan berbagai pedoman pelayanan kesehatan serta melalui
penyediaan SDM yang memiliki kompetensi dalam bidang medikolegal.
Pengertian Rumah Sakit
Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya
kesehatan dengan memberdayakan berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam
menghadapi dan menangani masalah medik untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang
baik.
Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan
yang bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat dan tempat
yang digunakan untuk menyelenggarakannya disebut sarana kesehatan. Sarana kesehatan
48
berfungsi melakukan upaya kesehatan dasar, kesehatan rujukan dan atau upaya kesehatan
penunjang. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan
kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan
pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan (Siregar, 2004).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
340/MENKES/PER/III/2010 Tentang Klasifikasi Rumah Sakit, dalam Bab I Pasal 1 disebutkan
bahwa “Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,
dan gawat darurat”.
4.3 Sejarah Rumah Sakit
Dalam sejarah kuno, kepercayaan dan pengobatan berhubungan sangat erat. Salah satu
contoh institusi pengobatan tertua adalah kuil Mesir. Kuil Asclepius di Yunani juga dipercaya
memberikan pengobatan kepada orang sakit, yang kemudian juga diadopsi bangsa Romawi
sebagai kepercayaan. Kuil Romawi untuk Æsculapius dibangun pada tahun291 SM di
tanah Tiber, Roma dengan ritus-ritus hampir sama dengan kepercayaan Yunani.
Institusi yang spesifik untuk pengobatan pertama kali, ditemukan di India. Rumah sakit
Brahmanti pertama kali didirikan di Sri Lanka pada tahun 431 SM, kemudian Raja Ashokajuga
mendirikan 18 rumah sakit di Hindustan pada 230 SM dengan dilengkapi tenaga medis dan
perawat yang dibiayai anggaran kerajaan.
Rumah sakit pertama yang melibatkan pula konsep pengajaran pengobatan, dengan
mahasiswa yang diberikan pengajaran oleh tenaga ahli, adalah Akademi Gundishapur di
Kerajaan Persia.
Bangsa Romawi menciptakan valetudinaria untuk pengobatan budak, gladiator, dan
prajurit sekitar 100 SM. Adopsi kepercayaan Kristiani turut memengaruhi pelayanan medis di
sana. Konsili Nicea I pada tahun 325 memerintahkan pihak Gereja untuk juga memberikan
pelayanan kepada orang-orang miskin, sakit, janda, dan musafir. Setiap satu katedral di setiap
kota harus menyediakan satu pelayanan kesehatan. Salah satu yang pertama kali mendirikan
adalah Saint Sampson di Konstantinopel dan Basil, bishop of Caesarea. Bangunan ini
49
berhubungan langsung dengan bagunan gereja, dan disediakan pula tempat terpisah untuk
penderita lepra.
Perubahan rumah sakit menjadi lebih sekular di Eropa terjadi pada abad 16 hingga 17.
Tetapi baru pada abad 18 rumah sakit modern pertama dibangun dengan hanya menyediakan
pelayanan dan pembedahan medis. Di Eropa Daratan biasanya rumah sakit dibiayai dana publik.
Namun secara umum pada pertengahan abad 19 hampir seluruh negara di Eropa dan Amerika
Utara telah memiliki keberagaman rumah sakit.
4.4 Fungsi Rumah Sakit
Mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan No.134 Menkes/SK/IV/78 Th.1978, untuk
dapat menjalankan tugas Rumah Sakit seperti yang dijelaskan dalam pasal 2, maka Rumah Sakit
memiliki fungsi yang dijelaskan dalam pasal 3, yaitu:
1. Melaksanakan usaha pelayanan medik
2. Melaksanakan usaha rehabilitasi medik
3. Usaha pencegahan komplikasi penyakit dan peningkatan pemulihan kesehatan
4. Melaksanakan usaha perawatan
5. Melaksanakan usaha pendidikan dan latihan medis dan paramedis
6. Melaksanakan sistem rujukan
7. Sebagai tempat penelitian
Tujuan Manajemen Rumah Sakit
Dalam kegiatan organisasi rumah sakit diperlukan pengalaman dan manajemen
professional. Manajemen professional berarti melaksanakan manajemen dengan tatacara yang
dapat dipertanggungjawabkan. Manajemen rumah sakit berarti koordinasi antara berbagai
sumber daya melalui proses perencanaan, pengoorganisasian, dan kemampuan pengendalian
untuk mencapai tujuan. Adapun tujuan manajemen rumah sakit adalah:
1. Menyiapkan sumber daya
50
2. Mengevaluasi efektifitas
3. Mengatur pemakaian pelayanan
4. Efisiensi
5. Kualitas
4.5 Konsep Manajemen Rumah Sakit
Rumah sakit bertangggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang timbul
atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan rumah sakit. Menurut UU No. 44 Tahun
2009 pasal 3, pengaturan rumah sakit bertujuan untuk:
1. Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
2. Memberikan perlindungan hokum terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan
rumah sakit, dan sumber daya manusia di rumah sakit
3. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit
4. Memberikan kepastian hokum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah
sakit, dan rumah sakit
Menurut Guwandi (2005), suatu rumah sakit mempunyai empat bidang tanggung jawab, yaitu:
1. Tanggung jawab terhadap personalia
Hal ini berdasarkan hubungan “majikan-karyawan”. Hubungan ini, dahulu bersifat
universal dan Negara kita sampai kini masih berlaku berdasarkan KUH Perdata Pasal
1366 jo 1365 jo 1367. Di dalam tanggung jawab ini termasuk seluruh karyawan yang
bekerja di rumah sakit
2. Tanggung jawab professional terhadap mutu pengobatan dan perawatan
Hal ini berarti bahwa tingkat pemberian pelayanan kesehatan, baik oleh dokter maupun
oleh perawat dan tenaga kesehatan lainnya harus berdasarkan ukuran standar profesi.
Dengan demikian, maka secara yuridis rumah sakit bertanggung jawab bila ada
pemberian pelayanan kesehatan “cure and care” yang tidak lazim atau dibawah
standar.
3. Tanggung jawab terhadap sarana dan peralatan
51
Didalam bidang tanggung jawab ini termasuk peralatan dasar perumahsakitan, peralatan
medis, dan lain-lain. Yang paling penting adalah bahwa peralatan tersebut selalu harus
berada di dalam keadaan aman dan siap pakai pada setiap saat.
4. Tanggung jawab terhadap keamanan bangunan dan perawatannya.
Misalnya bangunan roboh, genteng jatuh sampai menimpa orang lain, lantai licin
sampai pengunjung terjatuh dan menderita fraktur. Di Indonesia masalah ini diatur
dalam KUH perdata pasal 1369 yaitu tanggung jawab pemilik terhadap gedung.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian bersama oleh seluruh pihak di rumah sakit
adalah menyangkut pelaksanaan etika profesi dan etika rumah sakit sehingga penyelenggaraan
dapat dilakukan dengan baik. Pelayanan secara beretika akan sangat mempermudah seluruh
pihak dalam menegakkan aturan-aturan hukum.
4.6 Latar Belakang Patient Safety
Hampir setiap tindakan medic menyimpan potensi resiko. Banyaknya jenis obat, jenis
pemeriksaan dan prosedur, serta jumlah pasien dan staf Rumah Sakit yang cukup besar,
merupakan hal yang potensial bagi terjadinya kesalahan medis (medical errors). Menurut
Institute of Medicine (2002), medical error didefinisikan sebagai: The failure of a planned action
to be completed as intended (i.e., error of execusion) or the use of a wrong plan to achieve an
aim (i.e., error of planning). Artinya kesalahan medis didefinisikan sebagai: suatu Kegagalan
tindakan medis yang telah direncanakan untuk diselesaikan tidak seperti yang diharapkan (yaitu.,
kesalahan tindakan) atau perencanaan yang salah untuk mencapai suatu tujuan (yaitu., kesalahan
perencanaan). Kesalahan yang terjadi dalam proses asuhan medis ini akan mengakibatkan atau
berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien, bisa berupa Near Miss atau Adverse Event
(Kejadian Tidak Diharapkan/KTD).
Near Miss atau Nyaris Cedera (NC) merupakan suatu kejadian akibat melaksanakan
suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil
(omission), yang dapat mencederai pasien, tetapi cedera serius tidak terjadi, karena
keberuntungan (misalnya,pasien terima suatu obat kontra indikasi tetapi tidak timbul reaksi
obat), pencegahan (suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan, tetapi staf lain mengetahui
52
dan membatalkannya sebelum obat diberikan), dan peringanan (suatu obat dengan overdosis
lethal diberikan, diketahui secara dini lalu diberikan antidotenya).
Adverse Event atau Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) merupakan suatu kejadian yang
mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien karena suatu tindakan (commission)
atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), dan bukan karena
“underlying disease” atau kondisi pasien.Kesalahan tersebut bisa terjadi dalam tahap diagnostic
seperti kesalahan atau keterlambatan diagnose, tidak menerapkan pemeriksaan yang sesuai,
menggunakan cara pemeriksaan yang sudah tidak dipakai atau tidak bertindak atas hasil
pemeriksaan atau observasi; tahap pengobatan seperti kesalahan pada prosedur pengobatan,
pelaksanaan terapi, metode penggunaan obat, dan keterlambatan merespon hasil pemeriksaan
asuhan yang tidak layak; tahap preventive seperti tidak memberikan terapi provilaktik serta
monitor dan follow up yang tidak adekuat; atau pada hal teknis yang lain seperti kegagalan
berkomunikasi, kegagalan alat atau system yang lain.Dalam kenyataannya masalah medical error
dalam sistem pelayanan kesehatan mencerminkan fenomena gunung es, karena yang terdeteksi
umumn ya adalah adverse event yang ditemukan secara kebetulan saja. Sebagian besar yang lain
cenderung tidak dilaporkan, tidak dicatat, atau justru luput dari perhatian kita
semua.Veronica.(2010)
Pada November 1999, the American Hospital Asosiation (AHA) Board of Trustees
mengidentifikasikan bahwa keselamatan dan keamanan pasien (patient safety) merupakan
sebuah prioritas strategik. Mereka juga menetapkan capaian-capaian peningkatan yang terukur
untuk medication safety sebagai target utamanya. Tahun 2000, Institute of Medicine, Amerika
Serikat dalam “TO ERR IS HUMAN, Building a Safer Health System” melaporkan bahwa
dalam pelayanan pasien rawat inap di rumah sakit ada sekitar 3-16% Kejadian Tidak Diharapkan
(KTD/Adverse Event). Menindaklanjuti penemuan ini, tahun 2004, WHO mencanangkan World
Alliance for Patient Safety, program bersama dengan berbagai negara untuk meningkatkan
keselamatan pasien di rumah sakit.
Di Indonesia, telah dikeluarkan pula Kepmen nomor 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang
Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit, yang tujuan utamanya adalah untuk tercapainya
pelayanan medis prima di rumah sakit yang jauh dari medical error dan memberikan
53
keselamatan bagi pasien. Perkembangan ini diikuti oleh Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia(PERSI) yang berinisiatif melakukan pertemuan dan mengajak semua stakeholder
rumah sakit untuk lebih memperhatian keselamatan pasien di rumah sakit. Mempertimbangkan
betapa pentingnya misi rumah sakit untuk mampu memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik
terhadap pasien mengharuskan rumah sakit untuk berusaha mengurangi medical error sebagai
bagian dari penghargaannya terhadap kemanusiaan, maka dikembangkan system Patient Safety
yang dirancang mampu menjawab permasalahan yang ada (Pabuti, 2011)
4.7 Delapan Langkah Pengembangan
Menurut Hasting G, 2006, ada delapan langkah yang bisa dilakukan untuk
mengembangkan budaya Patient safety adalah
1. Put the focus back on safety
Setiap staf yang bekerja di RS pasti ingin memberikan yang terbaik dan teraman untuk pasien.
Tetapi supaya keselamatan pasien ini bisa dikembangkan dan semua staf merasa mendapatkan
dukungan, patient safety ini harus menjadi prioritas strategis dari rumah sakit atau unit pelayanan
kesehatan lainnya. Empat CEO RS yang terlibat dalam safer patient initiatives di Inggris
mengatakan bahwa tanggung jawab untuk keselamatan pasien tidak bisa didelegasikan dan
mereka memegang peran kunci dalam membangun dan mempertahankan fokus patient safety di
dalam RS.
2. Think small and make the right thing easy to do
Memberikan pelayanan kesehatan yang aman bagi pasien mungkin membutuhkan langkah-
langkah yang agak kompleks. Tetapi dengan memecah kompleksitas ini dan membuat langkah-
langkah yang lebih mudah mungkin akan memberikan peningkatan yang lebih nyata.
3. Encourage open reporting
Belajar dari pengalaman, meskipun itu sesuatu yang salah adalah pengalaman yang berharga.
Koordinator patient safety dan manajer RS harus membuat budaya yang mendorong pelaporan.
Mencatat tindakan-tindakan yang membahayakan pasien sama pentingnya dengan mencatat
54
tindakan-tindakan yang menyelamatkan pasien. Diskusi terbuka mengenai insiden-insiden yang
terjadi bisa menjadi pembelajaran bagi semua staf.
4. Make data capture a priority
Dibutuhkan sistem pencatatan data yang lebih baik untuk mempelajari dan mengikuti
perkembangan kualitas dari waktu ke waktu. Misalnya saja data mortalitas. Dengan perubahan
data mortalitas dari tahun ke tahun, klinisi dan manajer bisa melihat bagaimana manfaat dari
penerapan patient safety.
5. Use systems-wide approaches
Keselamatan pasien tidak bisa menjadi tanggung jawab individual. Pengembangan hanya bisa
terjadi jika ada sistem pendukung yang adekuat. Staf juga harus dilatih dan didorong untuk
melakukan peningkatan kualitas pelayanan dan keselamatan terhadap pasien. Tetapi jika
pendekatan patient safety tidak diintegrasikan secara utuh kedalam sistem yang berlaku di RS,
maka peningkatan yang terjadi hanya akan bersifat sementara.
6. Build implementation knowledge
Staf juga membutuhkan motivasi dan dukungan untuk mengembangkan metodologi, sistem
berfikir, dan implementasi program. Pemimpin sebagai pengarah jalannya program disini
memegang peranan kunci. Di Inggris, pengembangan mutu pelayanan kesehatan dan
keselamatan pasien sudah dimasukkan ke dalam kurikulum kedokteran dan keperawatan,
sehingga diharapkan sesudah lulus kedua hal ini sudah menjadi bagian dalam budaya kerja.
7. Involve patients in safety efforts
Keterlibatan pasien dalam pengembangan patient safety terbukti dapat memberikan pengaruh
yang positif. Perannya saat ini mungkin masih kecil, tetapi akan terus berkembang.
Dimasukkannya perwakilan masyarakat umum dalam komite keselamatan pasien adalah salah
satu bentuk kontribusi aktif dari masyarakat (pasien). Secara sederhana pasien bisa diarahkan
untuk menjawab ketiga pertanyaan berikut: apa masalahnya? Apa yang bisa kubantu? Apa yang
tidak boleh kukerjakan?
55
8. Develop top-class patient safety leaders
Prioritisasi keselamatan pasien, pembangunan sistem untuk pengumpulan data-data berkualitas
tinggi, mendorong budaya tidak saling menyalahkan, memotivasi staf, dan melibatkan pasien
dalam lingkungan kerja bukanlah sesuatu hal yang bisa tercapai dalam semalam. Diperlukan
kepemimpinan yang kuat, tim yang kompak, serta dedikasi dan komitmen yang tinggi untuk
tercapainya tujuan pengembangan budaya patient safety. Seringkali RS harus bekerja dengan
konsultan leadership untuk mengembangkan kerjasama tim dan keterampilan komunikasi staf.
Dengan kepemimpinan yang baik, masing-masing anggota tim dengan berbagai peran yang
berbeda bisa saling melengkapi dengan anggota tim lainnya melalui kolaborasi yang erat.
4.8 Manajemen Rumah Sakit Terhadap Keselamatan Pasien
Sebelum membahas tentang manajemen rumah sakit terhadap keselamatan pasien, perlu
diketahui bahwa Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit itu memiliki visi dan misi sebagai
berikut:
Visi: Meningkatkan keselamatan pasien dan mutu pelayanan rumah sakit.
Misi:
 Mengangkat secara nasional fokus keselamatan pasien
 Mendorong terbentuknya kepemimpinan dan budaya rumah sakit yang mencakup
keselamatan pasien dan peningkatan mutu pelayanan
 Mengembangkan standart dan pedoman keselamatan pasien berbasis riset dan
pengetahuan
 Bekerjasana dengan berbagai lembaga yang bertujuan meningkatkan keselamatan pasien
dan mutu pelayanan rumah sakit (Depkes RI, 2008).
Dari visi dan misi diatas terbentuklah manajemen rumah sakit terhadap keselamtan
pasien. Adapun langkah-langkah dari manajemen rumah sakit terhadap keselamatan pasien
sebagai berikut:
56
1. Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan dan ada rencana pelayanankebijakan
dan ketentuan sesuai SK direktur.
2. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan secara jelas dan
benar kepada pasien dan keluarga tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan atau
prosedur untuk pasien termasuk terjadinya KTD (Kejadian Tidak Diharapkan).
3. Ditetapkan metode dan tata laksana agar rumah sakit mampu melakukan evaluasi,
analisis, dan tindak lanjut dari KTD (Kejadian Tidak Diharapkan) pada pasien.
4. Direktur rumah sakit menetapkan unit kerja dan penanggung jawab mengelola program
KPRS (Keselamatan Paien Rumah Sakit).
5. DPJP (Dokter Penanggung Jawab Pelayanan) wajib memberikan pendidikan kepada
pasien tentang kewajabannya terhadap rumah sakit.
6. Ditetapkan koordinasi pelayanan dan transfer informasi antar profesi kesehatan untuk
mendukung KPRS
7. Unit kerja pendidikan dan pelatihan (Diklat) menyelenggarakan pelatihan berkala dengan
topik khusus KPRS (Keselamatan Paien Rumah Sakit).
8. Ditetapkan sistem pencatatan,pengumpulan, pelaporan data KTD (Kejadian Tidak
Diharapkan).
9. Tersedia informasi tentang hasil analisis masalah “Kejadian Nyaris Cedera” (Near Miss)
atau “Kejadian Sentinel” (Sentinel Event).
(Depkes RI, 2008).
Terdapat 3 fase Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KPRS), yaitu:
1. Fase Persiapan:
 Tetapkan keijakan dan rencana jangka pendek KPRS dan program tahunan KPRS
(pimpinan RS)
 Tetapkan unit kerja yang bertanggung jawab mengelola program KPRS
 Pilih gerak yang akan menjadi motor penggerak KPRS dan pelatihannya
 Buku saku KPRS
2. Fase Pelaksanaan:
 Deklarasi gerakan moral keselamatan pasien
 Program 7 langkah keselamatan pasien
 Program standart akreditasi keselamatan pasien
57
 Program keselamatan pasien pada unit pelayanan tertentu sebagai model
 Program khusus
 Forum diskusi
3. Fase Evaluasi:
 Pimpinan Rumah sakit secara berkala (paling lama 2 tahun) melakukan
monitoring dan evaluasi program keselamatan pasien yang dilakukan oleh unit
kerja keselamatan pasien rumah sakit
(Depkes RI, 2008).
58
PEMBAHASAN
Pada skenario didapatkan kolaborasi yang kurang antar tenaga medis, terutama
komunikasi yang kurang baik. Perawat tidak mengkonfirmasikan kepada dokter mengenai apa
yang dialami pasien. Dapat dikatakan skor pada koordinasi pelayanan dan transfer informasi
antar profesi kesehatan untuk mendukung program KPRS adalah 0, yaitu tidak ada konfirmasi
pelayanan dan transfer informasi antar tenaga medis.
Dalam hal ini yang perlu di perbaiki adalah manajemen rumah sakit terhadap
keselamatan pasien. Sehingga keselamatan pasien tidak dianggap remeh dan terhindar dari
risiko-risiko pada pasien. Rumah sakit harus mendesign proses baru atau memperbaiki proses
yang ada, memonitor serta mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara
intensif kejadian tidak diharapkan, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta
keselamatan pasien sesuai standart keselamatan pasien no tujuh.
59
DAFTAR PUSTAKA
Andri, Hidayat, Elly Ingkiriwing. 2011. Komunikasi dan Empati. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Aribowo, P. 2006. “Komunikasi yang efektif” diakses tanggal 10 februari 2009,
(http://www.sinarharapan.co.id)
Boy S. Sabarguna Quality Assurance Pelayanan Rumah Sakit Edisi Revisi; Jakarta; CV Sagung
Seto; 2008
Budi S, Febri E. 2014. Dokter Keluarga. Malang : UMM PRESS
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, (2004). Kolaborasi Perawat-Dokter. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Jakarta; 2006
hal 1-46.
Departemen Kesehatan RI. Panduan Nasional Keselamatan Rumah Sakit: Edisi ke 2, Jakarta,
2008.
Emilia, Ova. 2014. Interprofesional Education (IPE), Communication, and Interprofesional
Teamwork, Dalam. BUKU ACUAN UMUM CFHC-IPE. Yogyakarta. pp.17-35.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, (2012). Hak dan Kewajiban Rumah Sakit. Jakarta.
Kepmenkes RI No. 374/Menkes/SK/V/2009, Tentang Sistem Kesehatan Nasional
Veronica Komala. (2010) Community&Patient Safety Dalam Perspektif Kesehatan.
Lestari, Trisasi. Knteks Mikro dalam Implementasi Patient Safety: Delapan Langkah Untuk
Mengembangkan Budaya Patient Safety. Buletin IHQN Vol II/Nomor.04/2006 Hal.1-3
Pabuti, Aumas. (2011) Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien (KP) Rumah Sakit.
Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety). 2005
Prihanti, Gita Sekar. 2014. Empati dan Komunikasi Efektif. Malang: UMM PRESS
Proceedings of expert lecture of medical student of Block 21st
of Andalas University, Indonesia
Sitorus, R. (2006). Metode praktik keperawatan pofessional di rumah sakit. penataan struktur &
proses (sistem) pemberian asuhan keperawatan di ruang rawat. Jakarta: FKUI
SKDI. 2012. Jakarta. konsil kedokteran indonesia.

Mais conteúdo relacionado

Semelhante a KASUS_SKENARIO_2.doc

pedoman pengorganisasian ppi
pedoman pengorganisasian ppipedoman pengorganisasian ppi
pedoman pengorganisasian ppi
Eka Siam
 
Ersi setiani.21340027 p.ppt.proposal
Ersi setiani.21340027 p.ppt.proposalErsi setiani.21340027 p.ppt.proposal
Ersi setiani.21340027 p.ppt.proposal
sukkmaladewilaura
 
223 222-1-pb
223 222-1-pb223 222-1-pb
223 222-1-pb
Budi Leo
 
10911297 nambah-ilmu-tentang-manajemen-rumah-sakit
10911297 nambah-ilmu-tentang-manajemen-rumah-sakit10911297 nambah-ilmu-tentang-manajemen-rumah-sakit
10911297 nambah-ilmu-tentang-manajemen-rumah-sakit
Suripto Wahono
 

Semelhante a KASUS_SKENARIO_2.doc (20)

prilaku cering
prilaku ceringprilaku cering
prilaku cering
 
K3 Keperawatan
K3 KeperawatanK3 Keperawatan
K3 Keperawatan
 
Komunikasi dalam praktek farmasi
Komunikasi dalam praktek farmasiKomunikasi dalam praktek farmasi
Komunikasi dalam praktek farmasi
 
Membangun Homecare menuju enterpreneurship terkait perawatan pasien stroke di...
Membangun Homecare menuju enterpreneurship terkait perawatan pasien stroke di...Membangun Homecare menuju enterpreneurship terkait perawatan pasien stroke di...
Membangun Homecare menuju enterpreneurship terkait perawatan pasien stroke di...
 
pedoman pengorganisasian ppi
pedoman pengorganisasian ppipedoman pengorganisasian ppi
pedoman pengorganisasian ppi
 
Konsep dasar keswa
Konsep dasar keswaKonsep dasar keswa
Konsep dasar keswa
 
Konsep dasar keswa
Konsep dasar keswaKonsep dasar keswa
Konsep dasar keswa
 
hiperkes.pptx
hiperkes.pptxhiperkes.pptx
hiperkes.pptx
 
Ersi setiani.21340027 p.ppt.proposal
Ersi setiani.21340027 p.ppt.proposalErsi setiani.21340027 p.ppt.proposal
Ersi setiani.21340027 p.ppt.proposal
 
223 222-1-pb
223 222-1-pb223 222-1-pb
223 222-1-pb
 
Konsep asuhan keperawatan
Konsep asuhan keperawatanKonsep asuhan keperawatan
Konsep asuhan keperawatan
 
Ida jean orlando
Ida jean orlandoIda jean orlando
Ida jean orlando
 
10911297 nambah-ilmu-tentang-manajemen-rumah-sakit
10911297 nambah-ilmu-tentang-manajemen-rumah-sakit10911297 nambah-ilmu-tentang-manajemen-rumah-sakit
10911297 nambah-ilmu-tentang-manajemen-rumah-sakit
 
Skripsi mutu pelayanan kab. bantaeng
Skripsi mutu pelayanan kab. bantaengSkripsi mutu pelayanan kab. bantaeng
Skripsi mutu pelayanan kab. bantaeng
 
Implikasi proses keperawatan dalam farmakologi (I)
Implikasi proses keperawatan dalam farmakologi (I)Implikasi proses keperawatan dalam farmakologi (I)
Implikasi proses keperawatan dalam farmakologi (I)
 
Puskesmas
PuskesmasPuskesmas
Puskesmas
 
BAB II.pdf
BAB II.pdfBAB II.pdf
BAB II.pdf
 
Proses kep jiwa
Proses kep jiwaProses kep jiwa
Proses kep jiwa
 
Formularium dosis pediatri.pdf
Formularium dosis pediatri.pdfFormularium dosis pediatri.pdf
Formularium dosis pediatri.pdf
 
PPT MPS KEL.1.pptx
PPT MPS KEL.1.pptxPPT MPS KEL.1.pptx
PPT MPS KEL.1.pptx
 

KASUS_SKENARIO_2.doc

  • 1. 1 KASUS SKENARIO 2 Manajemen Rumah Sakit Seorang pasien MRS (masuk rumah sakit) dan rawat inap selama 3 hari, setelah dnyatakan baik pasien diperbolehkan pulang. Saat pulang pasien mendapatkan resep obat analsik tablet yang diminum 3x sehari 1 tablet. Setelah mendapatkan resep obat dan mendapatkan anjuran dokter agar satu minggu lagi kontrol kembali ke rumah sakit, maka keluarga pasien segera menyelesaikan administrasi, pembiayaan selama di rumah sakit dan menebus resep obat di apotik. Pasien menyampaikan ke perawat bahwa pasien mempunyai rwayat alergiterhadap obat antalgin, namun saat pasien memberitahu perawat bahwa ia alergi terhadap antalgin, perawat menyampaikan: “iya pak, nanti dengan dokternya....”. Hasilnya adalah pasien pulang mendapatkan obat paten antalgin karen dokter tidak mengetahui informasi tersebut dan pasien juga tidak tahu bahwa obat paten tersebut terkandung antalgin. Bagaian menejemen rumah sakit (direktur berserta jajarannya) tidak mengetahui kejadian yang di alami pasien Key Word  Pasien MRS  Analsik  Alergi Antalgin  Menejemen RS  Obat paten
  • 2. 2 KLARIFIKASI ISTILAH  Analsik  kombinasi metampirn dan diazepam. Metamperon adalah suatu obat analgesik antipiretik. Diazepam mempunyai kerja sebagai anti anxietas, juga memiliki sifat relaksasi otot rangka. Kombinasi ini dimaksudkan untuk menghilangkan rasa nyeri dan spasme organ viseral (ISO medecine, 2008) zian, stevy,inne  Indikasi : untuk meringankan rasa nyeri sampai berat, terutama nyeri kolik dan nyeri setelah operasi dimana diperlukan kombinasi tranquilizer (FK USU, 2010) rozi, diyah  Kontra indikasi : pda penderita yang hipersensitif terhadapmetampiron dan dizepam. Bay di bawah 1 buln atau dengan berat badan dibawah 5kg, wanita hamil, dan menyusui, penderita dengan tekanan darah tinggi >100mmHg, glaukoma sudut sempit (ISO, 2008) ishanty  Efek samping : dapat emnimbulkan agranulositosis, reaksi hipersensitif, reaksi pada kulit, ngantuk, pusing, lelah yang berlebih, konstipasi (ISO, 2008) mega  Menejemen rumah sakit  koordinasi antara berbagai SD melalui proses perencanaan, pengorgansasian dan adanya kemampuan pengendalian untuk mencapai tujuan. (Adisasmito, 2007) Novi  Koordinasi antara berbagai sumber daya melalui proses perencanaan, pengorganisasian, dan adanya kemampuan pengendalian untuk mencapai tujuan (FK UNHAS, 2010) Era  Tujuan menejemen  menyiapkan sumber daya, mengevaluasi efektifitas, efisiensi, mengatur pelayanan (FK Unhas, 2010) Siti  Antalgin  derifat metansulfonat dari amidopina yang bekerja termasuk susunan saraf pusat yaitu mengurangi senstifitas rasa nyeri dan mempengaruhi pusat pengatur suhu tubuh, 3 efek utama adalah sebagai analgesik, antipiretik dan antiinflamasi (FKUI, 2009) Dewi  Obat paten  obat jadi dengan nama dagang yang terdaftar atas nama si pemuat yang dikuasakannya dan di jual dalam bungus asli dari pabrk yang memproduksinya (FKUI, 2008) Rico  Obat yang mempunyai hak paten yang diberikan kepada industri farmasi pada obat baru yang ditemukannya berdasarkan riset (FK Unisula, 2011) Vici
  • 3. 3 RUMUSAN MASALAH DAN HIPOTESIS 1. Bagaimana seorang dokter tidak mengetahui bahwa pasiennya mempunyai alergi terhadap antalgin, sedangkan perawat mengetahui?? Nasrul  Anamnesis dokter kurang lengkap (Era, Siti)  Kemungkinan pasien lupa memberitahu dokter tentang riwayat alerginya (Inne)  Kemungkinan SOP yang kurang diterapkan oleh dokter tidak melakukan skin test (Diyah)  Komunikasi yang kurang efektif antara dokter-pasien (Zian) 2. Apakah sudah benar prosedur yang dilakukan oleh perawat?? Rowi  Belum tahu, karena perawat hanya ingin menampung keluhan pasien untuk menenangkannya (nasrul)  Seharusnya perawat mengkomunikasikan kepada dokter (inne)  Kolabrasi efektif pasien dan dokter (stevy)  Dotkter  salah, harsnya dokter menjelaskan pada perawat dengan lebih detail (rozi)  Skor KPRS nol (mega) 3. Bagaiman kolaborasi antar tenaga medis agar tidak terjadi medical error? Era  5 hal kolaborasi agar tidak terjadi medical error: serah terima, baca ulang, sebut ulang, periksa ulang, ajarkan ulang (Zian) 4. Bagaimana komunikasi yang efektif antara pasien dan dokter? Diyah  Pasien merasa dokter menjelaskan keadaan sesuai dengan tujuan berobat  Pasien memahami dampak yang menjadi konsekuensi dari penyakit yang diderita sesuai penjelasan dokter  Pasien merasa dokter mendengarkan keluhannya dan mau memahami keterbatasan kemampuannya lalu bersama mencari alternatif sesuai kondisi dan situasinya (Dewi)
  • 4. 4 5. Mengapa perlu adanya komunikasi efektif dokter-pasien? Rozi  Untuk memaksimalkan mutu pelayanan, diantaranya terdapat 3 hal mutu pelayanan: a. Komunikasi efektif b. Petugas pelayanan kesehatan tanggap terhadap kebutuhan pasien c. Mempunyai kemampuan dan keterampilan yang baik (Rico) 6. Bagaimana peran menejemen rumah sakit dalam safety pasien? Vici  Standart peran kepemimpinan untuk menangani pasien dengan 5 poin utama : a. Pemimpin mendorong dan menjamin implementasi secara terintegrasi b. Pemimpin menjamin berlangsungnya program proaktif c. Pemimpin mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit d. Pimpinan mengalokasikan sumber daya e. Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusi (mega) 7. Apa penyeab terjadinya medical error dlm hal tersebut? Dewi  Komunikasi yang kurang efektif karena : a. Human error pasien dan tenaga medis b. Organisasi yang error  sstem rumah sakit yang error (ishanty) 8. . Bagaimana respon tenaga medis terhadap keluhan pasien? Ishanty  Harusnya di tampung terlebih dahulu, kemudian di evaluasi (nasrul)  KIE pasien yang benar saat pasien mau pulang (ishanty, nasrul) 9. Apakah kasus tersebut harus dilaporkan kepada menejer rumah sakit? Nasrul  Sangat perlu, Untuk mengevaluasi kinerja tenaga medis dan memperbaiki mutu pelayanan 10. Bagaimana yang seharusnya dilakukan menejer terhadap kasus tersebut? Inne  Harusnya menejer mengevaluasi agar menghasilkan mutu rumah sakit yang lebih baik lagi (Novi)
  • 5. 5  Memperbaiki prses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melaluipengumulan data, menganalisis secara intensif kejadian yang tdk diharapkan, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien (Diyah)  Menejer harus bisa menjamin kesinambungan koordinasi pelayanan rumah sakit (vici)  7 standart peran menejer  terdapat dalam standart ke lima yaitu pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi resiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi kejadian tidak diharapkan (zian) 11. Apa langkah selanjutnya yang dilakukan oleh tenaga medis dan rumah sakit setelah mengetahui kasus tersebut? Novi  Evaluasi standart pelayanan rumah sakit dan tenaga medis 12. Bagaimana cara agar pasien datang kerumah sakit mendapatkan pelayanan yang baik? Zian  Daya tangkap  Jaminan kesehatan, keamanan dan kenyamanan  Komunikasi yang baik serta memahami kebutuhan pasien (Siti)  Diharapkan agar disetiap rumah sakit mengutamakan pasein safety, agar terbentuk strktur yang berkualitas (Nasrul)  Dengan menerapkan 7 standart pelayanan pasien (Mega)
  • 6. 6 PETA KONSEP Keterangan: : Tidak mengkonfirmasi : Alur pasien : Yang dilakukan : Langkah tenaga medis Pasien Dokter Perawat Memberikan resep analsik Pasien memberitahu perawat alergi antalginperawat mengabaikan Pasien pulang dengan membawa obat analsik Apoteker KTD Dokter/Perawat?Apoteker Menghubungi pasien Mengganti resep Melapor pada manajer Memperbaiki proses Memonitor evaluasi kinerja Analisa KTD secara intenif Meningkatkan keselamatan pasien
  • 7. 7 LO 1. Komunkasi efektif dokter-pasien 2. Pasien safety 3. Kolabrasi antar tenaga kesehatan 4. Menejemen rumah sakit terhadap pasien safety
  • 8. 8 LO 1 KOMUNIKASI EFEKTIF DOKTER PASIEN 1.1 Definisi Komunikasi Kata atau istilah komunikasi (dari bahasa inggris “communication”), secara epistemologis atau menurut asal katanya adalah dari bahasa latin communicatus, dan perkataan ini bersumber pada kata communis. Kata communis memiliki makana “berbagi” atau “menjadi milik bersama” yaitu usaha yang memiliki tujuan untuk kebersamaan atau kesamaan makna (Jusuf A. A., 2009) dalam ( Prihanti, 2014). Menurut George A. Miller (1951), komunikasi adalah suatu proses informasi yang disampaikan dari satu tempat tertentu ke tempat yang lain (melalui telepon, berita di televisi, email, dan lain-lain) dalam (Prihanti, 2014). Sedangkan pengertian psikologi komunikasi adalah suatu proses untuk memperoleh informasi tentang faktor lingkungan dan psikologis yang mempengaruhi (menghambat dan menunjang) sikap manusia (Jusuf A. A., 2009) dalam (Prihanti, 2014). 1.2 Cara atau Teknik Berkomunikasi 1. Memberi perhatian 2. Membuka dialog 3. Mencari solusi/alternatif pemecahan masalan 4. Menyimpulkan hasilnya (Andri dkk, 2011). 1.3 Prinsip-prinsip Komunikasi Memahami prinsip-prinsip ini sangat penting untuk memahami komunikasi dalam segala bentuk dan fungsinya yaitu: 1. Komunikasi adalah paket isyarat : Perilaku komunikasi, apakah ini melibatkan pesan verbal, isyarat tubuh, atau kombinasi dari keduanya, biasanya terjadi dalam “paket”. Biasanya perilaku verbal dan nonverbal saling memperkuat dan mendukung (P. Ariwibowo, 2006). 2. Komunikasi adalah proses penyesuaian : Komunikasi hanya dapat terjadi bika para komnikatornya menggunakan sistem isyarat yang sama. Ini jelas kelihatan pada orang- orang yang menggunkan bahasa berbeda (P. Ariwibowo, 2006).
  • 9. 9 3. Komunikasi mencakup dimensi isi dan hubungan : komunikasi setidak-tidaknya sampai batas tertentu, berkaitan dengan dunia nyata atau sesuatu yang berada diluar (bersifat ekstrem bagi) pembicara dan pendengar. Tetapi sekaligus komunikasi juga menyangkut hubunga diantara kedua pihak (P. Ariwibowo, 2006). 4. Komunikasi melibatkan transaksi simetris dan komplementer : hubungan dapat berbentuk simetris atau komplementer. Dalam hubungan simetris dua orang saling bercermin pada perilaku lainnya. Perilaku satu orang tercermin pada perilaku yang lainnya (P. Ariwibowo, 2006). 5. Rangkaian komunikasi dipunktuasi : peristiwa komunikasi merupakan transaksi yang kontinyu. Tidak awal dan akhir yang jelas. Sebagai pemeran serta atau sebagai pengamat tindak komunikasi, kita membagi proses kontinye dan berputar ini ke dalam sebab akibat tau ke dalam stimulus dan tanggapan (P. Ariwibowo, 2006). 6. Komunikasi tak terhindarkan : anda mungkin menggangap bahwa komunikasi berlangsung secara sengaja, bertujuan dan termotivasi secara sadar (P. Ariwibowo, 2006). 7. Komunikasi bersifat tak reversibel : Anda dapat membalikkan arah proses beberapa sistem tertetu. Sebagai contoh anda dapat mengubah air menjadi es dan kemudian mengembalikan es menjadi air, dan anda dapat mengulang-ulang proses dua arah ini berkali-kali sesuka anda. Proses seperti ini dinamakan proses reversibel. Tetapi ada sistem lain yang bersifat tak reversibel (P. Ariwibowo, 2006). 1.4 Komponen Komunikasi Terdapat 3 komponen utama dalam komunikasi yaitu: 1. Komunikator (pemberi informasi) dan komunikan (penerima informasi) 2. Informasi, berita, atau pesan itu sendiri 3. Media, alat. Saluran, metoda, atau cara penyampaian informasi (Jusuf A. A., 2009) dalam (Prihanti, 2014). Ketiga komponen tersebut merupakan satu kesatuan utuh dalam proses komunikasi. Keberhasilan suatu komunikasi umumnya ditentukan oleh adanya keserasian atau keselarasan antara 3 komponen tersebut. Komunikasi efektif mempunyai 3 unsur yaitu kecepatan, kecermatan, dan keringkasan (Hardjana, 2003) dalam (Prihanti, 2014). Dalam proses komunikasi terdapat 3 unsur yang mutlak harus dipenuhi, anatara lain:
  • 10. 10 1. Pengirim adalah orang yang menyampaikan pemikiran atau informasi yang dimilikinya. Pengirim harus menyampaikan pesan secara jelas, memilih media yang sesuai, dan meminta kejelasan apakah pesan tersebut sudah diterima dengan baik. 2. Penerima berfungsi sebagai penerima berita.Penerima berkonsentrasi menerima pesan dengan baik, dan memberikan umpan balik kepada pengirim. Media berperan sebagai jalan atau saluran yang dilalui isi pernyataan yang disampaikan pengirim atau umpan balik yang disampaikan penerima, dapat berupa lisan, tertulis, atau keduanya sekaligus. 1.5 Tujuan Komunikasi yaitu 1. Memberi informasi 2. Membuat keputusan 3. Mempengaruhi 4. Menyampaikan perasaan 5. Membuat dan menjaga hubungan baik 6. Memecahkan masalah 7. Mengurangi tekanan 8. Menenangkan (Jusuf A. A., 2009) dalam (Prihanti, 2014). 1.6 Pendekatan Komunikasi Dokter Pasien : 1. Illness centered communication style atau patient centered communication syle. Komunikasi berdasarkan apa yang dirasakan pasien tentang penyakitnya yang secara individu merupakan pengalaman unik. Disini termasuk pendapat pasien, kekhawatirannya, harapan, apa yang menjadi kepentingannya serta apa yang dipikirkannya (Kutrz, 2005) dalam (Prihanti, 2014). 2. Disease centered communication style atau doctor centered communication style. Komunikasi berdasarkan diagnosis, termasuk penyelidikan dan penalaran klinik mengenai tanda dan gejala-gejala (Kutrz, 2005) dalam (Prihanti, 2014). Keberhasilan komunikasi antara dokter dan pasien pada umumnya akan melahirkan kenyamanan dan kepuasaan bagi kedua belah pihak, khususnya menciptakan satu kata tambhan bagi pasien yaitu empati. Empati itu sendiri dapat dikembangkan apabila dokter memiliki ketrampilan mendengar dan berbicara yang keduanya dapat dipelajari dan dilatih
  • 11. 11 (Kurt, 2009) dalam (Prihanti, 2014). Dalam konteks ini empati disusun dalam batasan definisi berikut : kemampuan kognitif seorang dokter dalam mengerti kebutuhan pasien, menunjukkan afektifitas atau sensitifitas dokter terhadap perasaan pasien, kemampuan perilaku dokter dalam memperlihatkan atau menyampaikan empatinya kepada pasien (Kutrz, 2005) dalam (Prihanti, 2014). Bylund C.L & Makaoul, G (2002) dalam (Prihanti, 2014), mengembangkan 6 (enam) tingkat empati yang dikodekan dalam suatu sistem (The Emhaty Communication Coding System (ECCS) berikut aplikasinya: Level 0 : Dokter menolak sudut pandang pasien a. Mengacuhkan pendapat pasien b. Membuat pertanyaan yang tidak menyetujui pendapat pasien seperti : “kalau stress ya, mengapa datang kesini?” atau “Ya lebih baik operasi saja sekarang.” Level 1 : Dokter mengenali sudut pandang pasien secara sambil lalu a. “A ha”, tapi dokter mengerjakan hal lain : menulis, membalikkan badan, menyiapkan alat, dan lain-lain Level 2 : Dokter mengenali sudut pandang pasien secara implisit a. Pasien, “Pusing saya ini membuat saya sulit bekerja” b. Dokter, Ya...? Bagaimana bisnis anda akhir-akhir ini ? Level 3 : Dokter menghargai pendapat pasien “Anda bilang anda sangat stres datang ke sini ? Apa anda mau menceritakan lebih jauh apa yang membuat anda stres?” Level 4 : Dokter menghargai pendapat pasien “Anda sepertinya sangat sibuk, saya mengerti seberapa besar usaha anda menyempatkan berolah raga” Level 5 : Dokter berbagi perasaan dan pengalaman (sharing feelings anda experience) dengan pasien. “Ya, saya mengerti hal ini dapat mengkhawatirkan anda berdua. Beberapa pasien pernak mengalami aborsi spontan, kemudian setelah kehamilan berikutnya mereka sangat, sangat, khawatir”
  • 12. 12 1.7 Komunikasi Efektif dalam Hubungan Dokter Pasien Komunikasi efektif mampu mempengaruhi emosi pasien dalam pengambilan keputusan tentang rencana tindakan selanjutna, sedangkan komunikasi tidak efektif akan mengundang masalah (Konsil Kedokteran Indonesia, 2009) dalam (Prihanti, 2014). Contoh Hasil Komunikasi efektif : Pasien merasa dokter menjelaskan keadaannya sesuai tujuannya berobat. Berdasarkan pengetahuannya tentang kondisi kesehatannya, pasien pun mengerti anjuran dokter, Pasien memahami dampak yang menjadi konsekuensi dari penyakit yang diterimanya, Pasien merasa dokter mendengarkan keluhannya dan mau memahami keterbatasan kemampuannya lalu bersama mencari alternatif sesuai kondisi dan situasinya dengan gejala konsekuensinya. Sedangkan contoh hasil komunikasi tidak efektif : Pasien tetap tidak mengerti keadaanya karena dokter tidak menjelaskan, hanya mengambil anamnesis atau sesekali bertanya sengkat dan mencatata seperlunya, Pasien merasa tidak dipahami dan diperlakukan semata sebagai objek, bukan sebagai subjek yang memiliki tubuh yang sedang sakit, Pasien ragu apakan ia harus mematuhi anjuran dokter atau tidak, Pasien memutuskan untuk pergi kedokter lain (Konsil Kedokteran Indonesia, 2009) dalam (Prihanti, 2014). Tujuan dan Manfaat Komunikasi Dokter Pasien: 1). Memfasilitasi terciptanya pencapaian tujuan kedua pihak (dokter dan pasien). 2). Membantu pengembangan rencana perawatan pasien bersama pasien, untuk kepentingan pasien dan atas dasar kemampuan pasien, termasuk kemampuan finansiak. 3). Membantu memberian pilihan dalam upaya penyelesaian masalah kesehatan pasien. 4). Membimbing pasien sampai pada pengertian yang sebenarnya tentang penyakit/masalah yang dihadapinya. 5). Membantu mengendalikan kinerja dokter dengan acuan langkah-langkah atau hal-hal yang telah disetujui pasien (Konsil Kedokteran Indonesia, 2009) dalam (Prihanti, 2014). 1.7 Aplikasi komunikasi efektif dokter pasien - Sikap profesional dokter : mempersilahkan masuk dan mengucapkan salam, memanggil atau menyapa pasien dengan namanya, menciptakann suasana yang nyaman, memperkenalkan diri, menilai suasana hati lawab bicara, menatap mata pasien secara profesional, melibatkan pasien dalam rencana tindakan medis (KKI, 2006) dalam (Budi S, 2014).
  • 13. 13 - Sesi pengumpulan informasi : mengenali alasan kedatangan pasien, penggalian riwayat penyakit (KKI, 2006) dalam (Budi S, 2014). - Sesi penyampaian informasi : materi informasi apa yang akan disampaikan, siapa yang akan diberi informasi, berapa banyak atau sejauh mana informasi yang akan disampaikan, kapan menyampaikan informasi, dimana informasi akan disampaikan, bagaimna menyampaikannya (KKI, 2006) dalam (Budi S, 2014). 1.8 Tanda – tanda Komunikasi Efektif Komunikasi efektif memiliki lima tanda, diantaranya adalah pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan sosial yang baik dan tindakan (Rakhmat, 2002) dalam (Prihanti, 2014). Pertama adalah pengertian, pengertian disini maksudnya adalah penerimaan yang cermat dari isi stimuki seperti yang dimaksud oleh komunikator. Yang kedua adalah kesenangan, maksudnya adalah komunikasi yang menjadikan hubungan kita menjadikan hubungan kita hangat, akrab dan menyenangkan. Tanda yang lain adalah bisa menimbulkan hubungan sosial yang baik, maksudnya adalah sebagai makhluk sosial manusia ingin bergabung dan berhubungan dengan orang lain sehingga kebutihan ini dapat diperoleh dengan adanya komunikasi interpersonal yang efektif (Rakhmat, 2002) dalam (Prihanti, 2014). 1.9 Pengukuran Efek Komunikasi Ada beberapa parameter yang dapat digunakan sebagai pengukuran efek komunikasi, yaitu: Audience coverage, artinya berapa besar jumlah hadirin atau komunikan dalam suatu kesempatan yang dicapai oleh suatu pesan, Audience respons, artinya apa pendapat-pendapat dari komunikan terhadap masalah atau pesan yang telah disampaikan, Comunication impact, artinya apakah yang berbekar di pihak komunikan, Process of influence, artinya metode dan teknik komunikasi yang manakah yang paling efektif untuk menyampaikan pesan. Melalui berbagai parameter seperti dikemukakan di atas, orang dapat mengadakan penilaian tentang efek komunikasi yang dilakukan sehingga kemudian dapat menentukan berbagai kebijaksanaan, baik untuk memperbaiki maupun untuk meluaskan komunikasi (Prijosaksono dkk, 2002) dalam (Prihanti, 2014).
  • 14. 14 1.10 Kaidah Dasar Etika Kedokteran Dalam melakukan komununikasi yang efektif kepada pasien, dokter harus memperhatikan kaidah dasar moral. Konsil Kedokteran Indonesia dengan mengadopsi prinsip etika kedokteran yaitu : Beneficence, Non malficence, Justive, Autonomy (KKI, 2006) dalam (Budi S, 2014). Hukum Komunikasi Efektif (The Five Inevitable Laws of Effective Communication) Lima Hukum Komunikasi yang Efektif terangkum dalam kata REACH yang bermakna merengkuh atau meraih: Pertama: Respect Komunikasi yang efektif harus dibangun dari sikap menghargai terhadap setiap individu yang menjadi sasaran pesan yang disampaikan. Rasa Hormat dan saling menghargai merupakan hukum yang pertama dalam berkomunikasi dengan orang lain karena pada prinsipnya manusia ingin dihargai dan dianggap penting. Jika komunikasi dibangun diatas rasa dan sikap saling meghargai dan menghormati, akan lahir kerjasama yang sinergis sehingga efektifitas kinerja seorang individu maupun organisasi sebagai sebuah tim dapat ditingkatkan. Jika diterapkan dalam dunia pendidikan, guru harus memperlakukan siswa sebagai subjek belajar sehingga lahir sinergi antara guru dan siswa dalam meraih tujuan bersama melalui proses pembelajaran (Prijosaksono dkk, 2002) dalam (Prihanti, 2014). Kedua: Empathy Empati adalah kemampuan seseorang dalam menempatkan dirinya sesuai dengan situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Salah satu prasyarat utama dalam memiliki sikap empati adalah kemampuan untuk mendengarkan atau mengerti terlebih dahulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh orang lain. Rasa empati akan memungkinkan seseorang untuk dapat menyampaikan pesan dengan cara dan sikap yang akan memudahkan penerima pesan menerimanya. Jika diterapkan dalam dunia pendidikan, hukum empati ini menegaskan bahwa sebelum mengirimkan pesan atau menyampaikan materi pelajaran kepada para siswa, guru harus mengerti dan memahami dengan empati terhadap calon penerima pesan (siswa) sehingga pesan tersebut akan sampai tanpa ada halangan psikologis atau penolakan dari penerima (Prijosaksono dkk, 2002) dalam (Prihanti, 2014). Ketiga: Audible
  • 15. 15 Makna Audible adalah dapat didengarkan atau dimengerti dengan baik. Mengacu pada kemampuan menggunakan berbagai media maupun perlengkapan bantu audio visual yang akan membantu agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik (Prijosaksono dkk, 2002) dalam (Prihanti, 2014). Dalam dunia pendidikan, kemampuan memanfaatkan dan menggunakan media merupakan suatu kelebihan tersendiri dalam menunjang kesuksesan proses pembelajaran (Prijosaksono dkk, 2002) dalam (Prihanti, 2014). Keempat: Clarity Selain pesan harus dapat dimengerti dengan baik, kejelasan pesan juga harus mendapatkan perhatian sehingga tidak menimbulkan multi-interpretasi. Dalam proses pembelajaran, keterbukaan guru terhadap siswa merupakan bentuk sikap yang positif. Keterbukaan sikap guru menjadikan guru lapang dada menerima masukan dari siswa demi perbaikan proses pembelajaran. Namun demikian, guru juga harus menanamkan nilai moralitas kepada para siswanya agar mereka melakukan kritik dan memberikan masukan kepada guru tetap dalam koridor moral (Prijosaksono dkk, 2002) dalam (Prihanti, 2014). Kelima: Humble Hukum kelima dalam membangun komunikasi yang efiktif adalah rendah hati. Rendah hati pada intinya, sikap yang penuh melayani, sikap menghargai, mau mendengar dan menerima kritik, tidak sombong, tidak memandang rendah orang lain, berani mengakui kesalahan, rela memaafkan, lemah lembut, penuh pengendalian diri, dan mengutamakan kepentingan yang lebih besar (Prijosaksono dkk, 2002) dalam (Prihanti, 2014). Ketrampilan berkomunikasi berlandasan empat unsure yang merupakan inti komunikasi : SumberYang menyampaikan informasi. Siapa dia? Seberapa luas/ dalam pengetahuannya tentang informasi yang disampaikannya. Isi pesanApa yang disampaikan. Panjang pendeknya, kelengkapannya perlu disesuaikan dengan tujuan komunikasi, media penyampaiannya, penerimanya. Media yang digunakanApakah hanya berbicara? Apakah percakapannya dilakukan secara tatap muka atau melalui telepon, menggunakan lembar lipat, buklet, vcd, peraga. Penerima Yang diberi informasi. Bagaimana karakternya? Apa kepentingannya? Langsung tidak langsung (Konsil Kedokteran Indonesia, 2009) dalam (Prihanti, 2014).
  • 16. 16 Hasil penelitian tentang manfaat komunikasi efektif dokter-pasien : (Konsil Kedokteran Indonesia, 2009) dalam (Prihanti, 2014).  Meningkatkan kepuasan pasien dalam menerima pelayanan medis dari dokter atau institusi pelayanan medis.  Meningkatkan kepercayaan pasien kepada dokter yang merupakan dasar hubungan dokter-pasien yang baik.  Meningkatkan keberhasilan diagnosis, terapi dan tindakan medis.  Meningkatkan kepercayaan diri dan ketegaran pada pasien fase terminal dalam menghadapi penyakitnya.  Komunikasi efektif mampu menghindarkan kesalahpahaman yang bisa menimbulkan dugaan malpraktik. 1.11 Model Komunikasi Model komunikasi dokter pasien menurut Prof. Dr. L. jan Slikerveer (Leiden University) dalam (Prihanti, 2014), terdapat model komunikasi dokter-pasien yaitu :  Activity- Passivity Relationship Dokter bertindak sebagai orang tua yang aktif memerintah ini itu, pasien sebagai anak kecil yang hanya menurut dan tidak dapat mengungkapkan berbagai keluhan rasa sakit yang dia raakan yang menyebabkan dia berobat ke dokter.  Guidance – Cooperation relantionship Dalam berkomunikasi dokter bertindak sebagai orang tua dengan anak yang sudah beranjak dewasa sebagai pasiennya. Dokter tetap penentu kebijakan tunggal, namun bersifat arahan bukan perintah.  Mutual – Participation Relantionship Ibarat 2 orang yang bekerjasama, saling melengkapi satu sama lain. Dokter bukanlah satu-satunya pihak aktif karena pasien juga aktif dalam menyampaikan keluhan.  Provider – Consumer Relantionship Pasien diibaratkan sebagai konsumen, dimana konsumen adalah raja dan dokter adalah pelayan. Tugas dokter adalah memberikan pelayanan terbaiknya untuk si konsumen. Hambatan komunikasi dokter pasien terdapat beberapa factor yang mempengaruhi komunikasi dokter-pasien (Kristina TN dkk, DA, 2014) dalam (Prihanti, 2014), antara lain :  Faktor pasien
  • 17. 17  Masalah fisik  Factor psikologi yang berhubungan dengan penyakit atau perawatan medis (Contoh : cemas, depresi, marah, penyangkalan)  Pengalaman perawatan medis sebelumnya  Pengalaman perawatan medis saat ini  Faktor dokter  Pelatihan dalam ketrampilan berkomunikasi  Percaya diri dalam kemampuan berkomunikasi  personality  Faktor fisik  kelelahan  Factor psikologis  cemas Pengaturan suasanan saat anamnesis (Kristina TN dkk, DA, 2014) dalam (Prihanti, 2014).  Privasi  Lingkungan yang nyaman  Pengaturan tempat duduk yang tepat Ada 4 langklah yang terangkum dalam satu kata untuk melakukan komunikasi, yaitu SAJI yang dapat dijabarkan (Poernomo dkk, 2004) dalam (Prihanti, 2014) sebagai berikut : S (Salam) Beri salam, sapa dia, tunjukkan bahwa anda bersedia meluangkan waktu untuk berbicara dengannya. Menyapa nama pasien, mengucapkan selamat pagi/siang/sore, menjelaskan tugas dokter, menawarkan situasi pembicaraan yang nyaman  A (Ajak Bicara) Usahakan berkomunikasi secara dua arah, jangan berbicara sendiri. Dorong agar pasien mau dan dapat mengemukakan pikiran dan perasaannya. Tunjukkan bahwa dokter menghargai pendapatnya, dapat memahami kecemasannya, serta mengerti kecemasannya. Dokter menggunakan pertanyaan terbuka maupun tertutup dalam uasaha menggali informasi  J (Jelaskan) Beri penjelasan mengenai hal-hal yang menjadi perhatiannya, yang ingin diketahuinya, dan yang akan dijalani atau dihadapinya agar pasien tidak terjebak oleh pikirannya sendiri. Luruskan persepsi yang keliru. Berikan penjelasan mengenai penyakit, terapi,
  • 18. 18 atau apapun secara jelas dan detail sampai kepada proses mendidik pasien serta melakukan konseling  I ( Ingatkan) Percakapan yang dokter lakukan bersama pasien mungkin memasukkan berbagai materi secara luas, yang tidak mudah diingatnya kembali. Pada bagian akhir percakapan, ingatkan pasien untuk hal-hal yang penting dan koreksi untuk persepsi yang keliru. Selalu melakukan klarifikasi apakah pasien telah mengerti benar, maupun klarifikasi terhadap hai-hal yang masih belum jelas bagi kedua pihak serta mengulang kembali akan pesan- pesan kesehatan yang penting
  • 19. 19 LO 2 Patients Safety Cedera atau kerugian akibat tindakan medis, merupakan adverse events atau Kejadian Tidak Diharapkan (KTD). Menurut Permenkes RI Nomor 1961/Menkes/Per/VIII/2011, KTD merupakan insiden yang mengakibatkan cedera pada pasien. KTD atau adverse event yang mengakibatkan cedera pada pasien bisa dikarenakan oleh kesalahan medis atau bukan kesalahan medis yang tidak dapat dicegah. (DEPKES RI, 2008) Pelayanan kesehatan memegang prinsip untuk menyelamatkan pasien dikenal dengan istilah ”Primum non nocere” atau ”First, do no harm” (melayani tanpa harus membahayakan) sebagaimana di kemukakan oleh Hippocrates sejak 2400 tahun yang lalu. (DEPKES RI, 2006). Kepuasan dan keselamatan pasien dengan tatakelola klinis serta efisiensi merupakan hal penting dalam menjamin kualitas pelayanan kesehatan (Boy S, 2008) 2.1 Area Kompetensi Kompetensi dibangun dengan pondasi yang terdiri atas profesionalitas yang luhur, mawas diri dan pengembangan diri, serta komunikasi efektif, dan ditunjang oleh pilarberupa pengelolaan informasi, landasan ilmiah ilmu kedokteran, keterampilan klinis, dan pengelolaan masalah kesehatan (Gambar 1). Oleh karena itu area kompetensi disusun dengan urutan sebagai berikut: 1. Profesionalitas yang Luhur 2. Mawas Diri dan Pengembangan Diri 3. Komunikasi Efektif 4. Pengelolaan Informasi 5. Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran 6. Keterampilan Klinis
  • 20. 20 7. Pengelolaan Masalah Kesehatan Gambar 1. Pondasi dan Pilar Kompetensi. (SKDI, 2012) 2.2 Tujuan penggunaan indicator pasien safety Tujuan penggunaan Indikator Patient Safety Indikator patient safety (IPS) bermanfaat untuk mengidentifikasi area-area pelayanan yang memerlukan pengamatan dan perbaikan lebih lanjut, seperti misalnya untuk menunjukkan: 1. adanya penurunan mutu pelayanan dari waktu ke waktu 2. bahwa suatu area pelayanan ternyata tidak memenuhi standar klinik atau terapi sebagaimana yang diharapkan 3. tingginya variasi antar rumah sakit dan antar pemberi pelayanan 4. disparitas geografi antar unit-unit pelayanan kesehatan (pemerintah vs swasta atau urban vs rural) (Dwiprahasto, 2008) Selain penjelasan di atas metode tim perlu menjadi strategi dalam penanganan patient safety karena metode tim merupakan metode pemberian asuhan keperawatan, yaitu seorang perawat profesional memimpin sekelompok tenaga keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada sekelompok pasien melalui upaya kooperatif dan kolaboratif. Pada metode ini
  • 21. 21 juga memungkinkan pelayanan keperawatan yang menyeluruh. Adanya pemberian asuhan keperawatan terhadap sekelompok pasien. Jadi dengan pemberian asuhan keperawatan yang menyeluruh kepada pasien diharapkan keselamatan pasien dapat diperhatikan, sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan (Sitorus, 2006). Mengingat masalah keselamatan pasien merupakan masalah yang perlu ditangani segera di rumah sakit di Indonesia maka diperlukan standar keselamatan pasien rumah sakit yang merupakan acuan bagi rumah sakit di Indonesia untuk melaksanakan kegiatannya. Standar keselamatan pasien rumah sakit yang disusun ini mengacu pada ”Hospital Patient Safety Standards” yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi perumahsakitan di Indonesia. Standar keselamatan pasien tersebut terdiri dari tujuh standar yaitu : Hak pasien; mendidik pasien dan keluarga; keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan; penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien; peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien; Mendidik staf tentang keselamatan pasien; Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien. Uraian tujuh standar tersebut diatas adalah sebagai berikut : Standar I. Hak pasien Standar : Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya Kejadian Tidak diharapkan. Dengan kriteria : Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan, dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan, dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan secara jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan. Standar II. Mendidik pasien dan keluarga Standar : Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien Kriteria : Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan keterlibatan pasien yang merupakan partner dalam proses pelayanan. Karena itu, di rumah sakit harus ada sistem dan mekanisme mendidik pasien dan keluarganya
  • 22. 22 tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien dan keluarga dapat : Memberikan informasi yang benar, jelas, lengkap dan jujur, mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga, mengajukan pertanyaan- pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti, memahami dan menerima konsekuensi pelayanan, mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit, memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa, memenuhi kewajiban finansial yang disepakati. Standar III. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan Standar : Rumah Sakit menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan. Kriteria dari standar ini adalah : terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat pasien masuk, pemeriksaan, diagnosis, perencanaan pelayanan, tindakan pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari rumah sakit, terdapat koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada seluruh tahap pelayanan transisi antar unit pelayanan dapat berjalan baik dan lancar, terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi untuk memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya, terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan sehingga dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif. Standar IV. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien Standar : Rumah sakit harus mendesign proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif Kejadian Tidak Diharapkan, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien. Kriterianya adalah setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan (design) yang baik, mengacu pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai dengan ”Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit”, setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja yang antara lain terkait dengan : pelaporan insiden, akreditasi, manajemen risiko, utilisasi, mutu pelayanan, keuangan,
  • 23. 23 setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua Kejadian Tidak Diharapkan, dan secara proaktif melakukan evaluasi satu proses kasus risiko tinggi, setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis untuk menentukan perubahan sistem yang diperlukan, agar kinerja dan keselamatan pasien terjamin. Standar V. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien Standar : 1. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit ”. 2. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi Kejadian Tidak Diharapkan. 3. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit 4. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan. 5. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit. 6. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa. 7. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati Standar III. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan Standar : Rumah Sakit menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan. Kriterianya adalah terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat pasien masuk, pemeriksaan, diagnosis, perencanaan pelayanan, tindakan pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari rumah sakit, terdapat koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada seluruh tahap pelayanan transisi antar unit pelayanan dapat berjalan baik dan lancar, terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi untuk memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya, terdapat komunikasi dan transfer
  • 24. 24 informasi antar profesi kesehatan sehingga dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif. Standar IV. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien Standar : Rumah sakit harus mendesign proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif Kejadian Tidak Diharapkan, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien. Kriterianya : Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan (design) yang baik, mengacu pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai dengan ”Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit”, setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja yang antara lain terkait dengan : pelaporan insiden, akreditasi, manajemen risiko, utilisasi, mutu pelayanan, keuangan, setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua Kejadian Tidak Diharapkan, dan secara proaktif melakukan evaluasi satu proses kasus risiko tinggi, setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis untuk menentukan perubahan sistem yang diperlukan, agar kinerja dan keselamatan pasien terjamin. Standar V. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien Standar : 1. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit ”. 2. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi Kejadian Tidak Diharapkan. 3. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unitdan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien. 4. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur, mengkaji, dan meningkatkan kinerja rumah sakit serta meningkatkan keselamatan pasien. 5. Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien.
  • 25. 25 Kriteria : Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien, tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program meminimalkan insiden, yang mencakup jenis-jenis Kejadian yang memerlukan perhatian, mulai dari “Kejadian Nyaris Cedera” (Near miss) sampai dengan “Kejadian Tidak Diharapkan’ ( Adverse event), tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari rumah sakit terintegrasi dan berpartisipasi dalam program keselamatan pasien, tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk keperluan analisis, tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan insiden termasuk penyediaan informasi yang benar dan jelas tentang Analisis Akar Masalah (RCA) “Kejadian Nyaris Cedera” (Near miss) dan “Kejadian Sentinel’ pada saat program keselamatan pasien mulai dilaksanakan, tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden, misalnya menangani “Kejadian Sentinel” (Sentinel Event) atau kegiatan proaktif untuk memperkecil risiko, termasuk mekanisme untuk mendukung staf dalam kaitan dengan “Kejadian Sentinel”, terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan antar pengelola pelayanan di dalam rumah sakit dengan pendekatan antar disiplin, tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan perbaikan kinerja rumah sakit dan perbaikan keselamatan pasien, termasuk evaluasi berkala terhadap kecukupan sumber daya tersebut, tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria objektif untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien, termasuk rencana tindak lanjut dan implementasinya. Standar VI. Mendidik staf tentang keselamatan pasien Standar : 1. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien secara jelas 2. Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien. Kriteria : Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik keselamatan pasien sesuai dengan tugasnya masing-masing, setiap rumah sakit harus mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan inservice training dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden, setiap rumah sakit harus
  • 26. 26 menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok (teamwork) guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam rangka melayani pasien. Standar VII. Komunikasi merupakan kunci bagi staff untuk mencapai keselamatan pasien Standar : 1. Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan eksternal. 2. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat. Kriteria : Perlu disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal-hal terkait dengan keselamatan pasien, tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk merevisi manajemen informasi yang ada (Depkes RI, 2006) 2.3 Keselamatan Pasien RS Keselamatan pasien RS: adalah sistem dalam suatu RS yang memberikan Asuhan Pasien bermutu & aman. Termasuk di dalamnya: Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit adalah sebagai berikut : 1. Bangun Kesadaran Akan Nilai Keselamatan Pasien Ciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil. Langkah penerapan: A. Bagi Rumah Sakit :  Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang mejabarkan apa yang harus dilakukan staf segera setelah terjadi insiden, bagaimana langkah-langkah pengumpulan fakta harus dilakukan dan dukungan apa yang harus diberikan kepada staf, pasien dan keluarga.  Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang menjabarkan peran dan akuntabilitas individual bilamana ada insiden.  Tumbuhkan budaya pelaporan dan belajar dari insiden yang terjadi di rumah sakit.  Lakukan asesmen dengan menggunakan survei penilaian keselamatan pasien. B. Bagi Unit/Tim :  Pastikan rekan sekerja anda merasa mampu untuk berbicara mengenai kepedulian mereka dan berani melaporkan bilamana ada insiden
  • 27. 27  Demonstrasikan kepada tim anda ukuran-ukuran yang dipakai di rumah sakit anda untuk memastikan semua laporan dibuat secara terbuka dan terjadi proses pembelajaran serta pelaksanaan tindakan/solusi yang tepat. 2. Pimpin Dan Dukung Staf Anda Bangunlah komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang Keselamatan Pasien di rumah sakit anda. Langkah penerapan: A. Untuk Rumah Sakit :  Pastikan ada anggota Direksi atau Pimpinan yang bertanggung jawab atas Keselamatan Pasien.  Identifikasi di tiap bagian rumah sakit, orang-orang yang dapat diandalkan untuk menjadi ”penggerak” dalam gerakan Keselamatan Pasien.  Prioritaskan Keselamatan Pasien dalam agenda rapat Direksi/Pimpinan maupun rapat-rapat manajemen rumah sakit.  Masukkan Keselamatan Pasien dalam semua program latihan staf rumah sakit anda dan pastikan pelatihan ini diikuti dan diukur efektivitasnya. B. Untuk Unit/Tim :  Nominasikan ”penggerak” dalam tim anda sendiri untuk memimpin Gerakan Keselamatan Pasien.  Jelaskan kepada tim anda relevansi dan pentingnya serta manfaat bagi mereka dengan menjalankan gerakan Keselamatan Pasien.  Tumbuhkan sikap kesatria yang menghargai pelaporan insiden. 3. Integrasikan Aktivitas Pengelolaan Risiko Kembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko, serta lakukan identifikasi dan asesmen hal yang potensial bermasalah. Langkah penerapan: A. Untuk Rumah Sakit :  Telaah kembali struktur dan proses yang ada dalam manajemen risiko klinis dan non klinis, serta pastikan hal tersebut mencakup dan terintegrasi dengan Keselamatan Pasien dan Staf.
  • 28. 28  Kembangkan indikator-indikator kinerja bagi sistem pengelolaan risiko yang dapat dimonitor oleh Direksi/Pimpinan rumah sakit.  Gunakan informasi yang benar dan jelas yang diperoleh dari sistem pelaporan insiden dan asesmen risiko untuk dapat secara proaktif meningkatkan kepedulian terhadap pasien. B. Untuk Unit/Tim :  Bentuk forum-forum dalam rumah sakit untuk mendiskusikan isu-isu Keselamatan Pasien guna memberikan umpan balik kepada manajemen yang terkait.  Pastikan ada penilaian risiko pada individu pasien dalam proses asesmen risiko rumah sakit.  Lakukan proses asesmen risiko secara teratur, untuk menentukan akseptabilitas setiap risiko, dan ambillah langkah-langkah yang tepat untuk memperkecil risiko tersebut.  Pastikan penilaian risiko tersebut disampaikan sebagai masukan ke proses asesmen dan pencatatan risiko rumah sakit. 4. Kembangkan Sistem Pelaporan Pastikan staf Anda agar dengan mudah dapat melaporkan kejadian/ insiden, serta rumah sakit mengatur pelaporan kepada Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS). Langkah penerapan : A. Untuk Rumah Sakit :  Lengkapi rencana implementasi sistem pelaporan insiden ke dalam maupun ke luar, yang harus dilaporkan ke KPPRS - PERSI. B. Untuk Unit/Tim :  Berikan semangat kepada rekan sekerja anda untuk secara aktif melaporkan setiap insiden yang terjadi dan insiden yang telah dicegah tetapi tetap terjadi juga, karena mengandung bahan pelajaran yang penting. 5. Libatkan Dan Berkomunikasi Dengan Pasien Kembangkan cara-cara komunikasi yang terbuka dengan pasien. Langkah penerapan : A. Untuk Rumah Sakit :
  • 29. 29  Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang secara jelas menjabarkan cara-cara komunikasi terbuka tentang insiden dengan para pasien dan keluarganya.  Pastikan pasien dan keluarga mereka mendapat informasi yang benar dan jelas bilamana terjadi insiden.  Berikan dukungan, pelatihan dan dorongan semangat kepada staf agar selalu terbuka kepada pasien dan keluarganya. B. Untuk Unit/Tim :  Pastikan tim anda menghargai dan mendukung keterlibatan pasien dan keluarganya bila telah terjadi insiden.  Prioritaskan pemberitahuan kepada pasien dan keluarga bilamana terjadi insiden, dan segera berikan kepada mereka informasi yang jelas dan benar secara tepat.  Pastikan, segera setelah kejadian, tim menunjukkan empati kepada pasien dan keluarganya. 6. Belajar Dan Berbagi Pengalaman Tentang Keselamatan Pasien Dorong staf anda untuk melakukan analisis akar masalah untuk belajar bagaimana dan mengapa kejadian itu timbul. Langkah penerapan: A. Untuk Rumah Sakit :  Pastikan staf yang terkait telah terlatih untuk melakukan kajian insiden secara tepat, yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyebab.  Kembangkan kebijakan yang menjabarkan dengan jelas kriteria pelaksanaan Analisis Akar Masalah (Root Cause Analysis/RCA) atau Failure Modes and Effects Analysis (FMEA) atau metoda analisis lain, yang harus mencakup semua insiden yang telah terjadi dan minimum satu kali per tahun untuk proses risiko tinggi. B. Untuk Unit/Tim :  Diskusikan dalam tim anda pengalaman dari hasil analisis insiden.  Identifikasi unit atau bagian lain yang mungkin terkena dampak di masa depan dan bagilah pengalaman tersebut secara lebih luas.
  • 30. 30 7. Cegah Cedera Melalui Implementasi Sistem Keselamatan Pasien Gunakan informasi yang ada tentang kejadian / masalah untuk melakukan perubahan pada sistem pelayanan. Langkah penerapan: A. Untuk Rumah Sakit :  Gunakan informasi yang benar dan jelas yang diperoleh dari sistem pelaporan, asesmen risiko, kajian insiden, dan audit serta analisis, untuk menentukan solusi setempat.  Solusi tersebut dapat mencakup penjabaran ulang sistem (struktur dan proses), penyesuaian pelatihan staf dan/atau kegiatan klinis, termasuk penggunaan instrumen yang menjamin keselamatan pasien.  Lakukan asesmen risiko untuk setiap perubahan yang direncanakan Sosialisasikan solusi yang dikembangkan oleh KKPRS – PERSI.  Beri umpan balik kepada staf tentang setiap tindakan yang diambil atas insiden yang dilaporkan. B. Untuk Unit/Tim :  Libatkan tim anda dalam mengembangkan berbagai cara untuk membuat asuhan pasien menjadi lebih baik dan lebih aman.  Telaah kembali perubahan-perubahan yang dibuat tim anda dan pastikan pelaksanaannya.  Pastikan tim anda menerima umpan balik atas setiap tindak lanjut tentang insiden yang dilaporkan. Tujuh langkah keselamatan pasien rumah sakit merupakan panduan yang komprehensif untuk menuju keselamatan pasien, sehingga tujuh langkah tersebut secara menyeluruh harus dilaksanakan oleh setiap rumah sakit.Dalam pelaksanaan, tujuh langkah tersebut tidak harus berurutan dan tidak harus serentak. Pilih langkahlangkah yang paling strategis dan paling mudah dilaksanakan di rumah sakit. Bila langkah-langkah ini berhasil maka kembangkan langkah- langkah yang belum dilaksanakan. Bila tujuh langkah ini telah dilaksanakan dengan baik rumah sakit dapat menambah penggunaan metodametoda lainnya (Departemen Kesehatan RI, 2006).
  • 31. 31 Insiden adalah setiap kejadian yg tidak disengaja dan kondisi yg mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dpt dicegah pd pasien, terdiri dari Kejadian Tidak Diharapkan, Kejadian Nyaris Cedera, Kejadian Tidak Cedera dan Kejadian Potensial Cedera.  KTD (Kejadian Tak Diharapkan) Kejadian Tidak Diharapkan, selanjutnya disingkat KTD adalah insiden yang mengakibatkan cedera pada pasien.  KNC (Kejadian Nyaric Cedera) Kejadian Nyaris Cedera, selanjutnya disingkat KNC adalah terjadinya insiden yang belum sampai terpapar ke pasien.  KTC (Kejadian Tidak Cedera) Kejadian Tidak Cedera, selanjutnya disingkat KTC adalah insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak timbul cedera.  KPC (Kondisi Potensial Cedera)  Kondisi Potensial Cedera, selanjutnya disingkat KPC adalah kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden. (Departemen Kesehatan RI, 2006). 2.4 Sembilan Solusi Keselamtan Pasien Di RS : WHO Collaborating Centre for Patient Safety pada tanggal 2 Mei 2007 resmi menerbitkan Nine Life Saving Patient Safety Solutions (Sembilan Solusi Life-Saving Keselamatan Pasien Rumah Sakit). Disusun sejak tahun 2005 oleh pakar keselamatan pasien lebih 100 negara, dengan mengidentifikasi dan mempelajari berbagai masalah keselamatan pasien. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI Edisi 2 Tahun 2009, Bab II angka 2.5. tentang Sembilan Solusi Keselamatan Pasien, isinya sama dgn yg tlh disepakati oleh WHO. 1. Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-Alike, Sound-Alike Medication Names). a. SeSebelum memberikan obat ke pasien, cek tujuan pemberian obat pada resep / instruksi dokter/ rekam medis pasien.
  • 32. 32 b. Belum memberikan obat ke pasien, cek kecocokan obat yang akan diberikan dengan diagnosa medis pasien. c. Pada obat yang hafal, label obat yang akan diberikan perlu dibaca secara cermat, mengenali obat secara visual/fisik, lokasi penyimpanannya dan melihat tanda spesifik lainnya. d. Pisahkan penempatan dan penyimpanan obat yang mirip (Norum) termasuk obat yang bermasalah. e. Berikan penjelasan pada pasien atau keluarganya tentang obat-obatan yang mirip nama dan bentuknya yang kemungkinan dikonsumsi pasien. 2. Pastikan Identifikasi Pasien. a. Cek identitas pasien dan mencocokannya dengan kebutuhan perawatan pasien misalnya tindakan medis, laboratorium. b. Digunakan minimal 2 jenis identitas (misalkan nama pasien dan tanggal lahir) sebagai alat klarifikasi identitas pasien saat pasien masuk atau pindah ke rumah sakit lain atau tempat pelanan lainnya. c. Cek identitas pasien dan mencocokannya dengan kebutuhan perawatan pasien misalnya tindakan medis, laboratorium. d. Terapkan standarisasi dalam identifikasi pasien sesuai prosedur yang ada, misalkan gelang warna tertentu dengan ditulis nama dan tanggal lahir. e. Ada protokol identifikasi pasien dengan nama yang sama atau pasien-pasien yang tidak diketahui namanya dan mengikuti protokol tersebut. 3. Komunikasi Secara Benar saat Serah Terima / Pengoperan Pasien. a. Lakukan operan pasien saat pergantian dinas jaga. b. Lakukan operan dengan petugas tempat perawatan selanjutnya saat pasien dipindahkan ke tempat perawatan lain atau unit tindakan lainnya. c. Baca ulang dokumen pasien saat operan dan dicermati dengan teliti d. Saat operan cukup waktu bagi staf untuk bertanya dan tidak ada interupsi saat operan. e. Saat operan pasien dijelaskan dengan rinci dan benar mengenai: status pasien, obat- obatan, rencana terapi, advance directive (pernyataan keinginan pasien) dan semua perubahan status pasien.
  • 33. 33 4. Pastikan Tindakan yang benar pada Sisi Tubuh yang benar. a. Lakukan verifikasi dan memberi tanda sesuai rekam medis pada anggota tubuh yang akan dilakukan prosedur delegasi seperti : pemasangan gips atau prosedur operatif minor lainnya. b. Libatkan pasien dalam setiap proses verifikasi preoperative untuk mengkonfirmasi ulang. c. Lengkapi data laboratorium, uji diagnostic, CT scan, Rontgen MRI dan test yang relevan untuk verifikasi ketepatan pasien sebelum pasien dioperasi. d. Cocokan identitas pasien dengan jenis tindakan yang akan dilakukan sesuai dengan rekam medis. e. Lakukan serah terima pasien dengan menyertakan rekam medis dan pemeriksaan penunjang kepada petugas kamar operasi atau kamar tindakan. 5. Kendalikan Cairan Elektrolit Pekat (Concentrated). a. Cairan KCL disimpan di tempat yang terpisah dan terkunci dan pemakaiannya didokumentasikan sebagai kendali pemakaian atau jika tidak tersedia ruang khusus penyimpanan dan persiapan obat, maka hanya perawat, dokter atau Apoteker yang berpengalaman yang diperbolehkan menyiapkan obat ini. b. Setelah KCL atau cairan konsentrasi lain disiapkan, dilakukan pengecekan independen oleh staf yang berpengalaman dan terkualifikasi. c. Tersedia protocol (ceklist) untuk cairan KCL/cairan konsentrasi lain meliputi cara menghitung, kecepatan cairan dan jalur pemberian vena yang tepat. d. Pemberian KCL atau cairan konsentrasi lain dengan infuse pump atau infuse mikro dirp set (60 tetes/ml) atau infuse set buret dan harus sering dimonitor. e. Cairan KCL atau cairan konsentrasi lain yang sudah disiapkan diberi label peringatan resiko tinggi sebelum digunakan. 6. Pastikan Akurasi Pemberian Obat pada Pengalihan Pelayanan. a. Standarisasi pengumpulan dan dokumentasi semua obat yang sedang digunakan pasien yang meliputi nama obat/ suplemen, Dosis, frekuensi dan waktu dosis terakhir. b. Perbaharui daftar obat jika terdapat order baru yang dituliskan yang merefleksikan semua obat yang sedang digunakan pasien.
  • 34. 34 c. Komunikasikan daftar obat kepada pemberi pelayanan berikutnya kapanpun pasien dipindahkan, dipulangkan dan berikan daftar obat saat pasien pulang. d. Ajari pasien atau keluarga tentang penggunaan obat yang aman, risiko obat baik secara tunggal atau kombinasi dan beri akses informasi obat yang terjangkau dan relevan. e. Anjurkan pasien untuk menyimpan obatnya di tas dan membawanya jika berkunjung ke rumah sakit atau dokte 7. Hindari Salah Kateter dan Salah Sambung Slang (Tube). a. Tidak memperbolehkan staf non klinis, pasien dan keluarga untuk menyambungkan atau melepas sambungan selang, bantuan harus selalu ditujukan kepada staf klinis. b. Beri label pada kateter yang berisiko tinggi (kateter arteri, epidural, intratekal dan Hindari penggunaan kateter dengan injection port pada peralatan ini. c. Jelaskan jakur-jalur selang dan standar dasar masing-masing jalur selang pasien disaat operan pasien. d. Buat alur dasar untuk koneksi semua selang dan verifikasi ujung selang sebelum membuat koneksi atau melepas sambungan atau memberikan obat, cairan atau produk lain. e. Lakukan training mengenai bahaya salah sambung selang dan peralatan medis pada program orientasi dan pengembangan berkelanjutan staf klinis. 8. Gunakan Alat Injeksi Sekali Pakai. a. Atasan/ rekan kerja menganjurkan penggunaan peralatan injeksi sekali pakai. b. Ikut program training petugas kesehatan atau memanfaatkan informasi dari rumah sakit tentang: pencegahan infeksi, praktek injeksi yang aman, penanganan sampah benda tajam yang aman dan penggunan tehnologi injeksi terbaru (sedikit menggunakan jarum). c. Identifikasi dan terapkan praktek penanganan sampah medis yang aman. d. Dukung pengadaan peralatan injeksi dengan system sedikit tusukan. e. Edukasi ke pasien dan keluarganya tentang alternative penggunaan obat-obatan injeksi 9. Tingkatkan Kebersihan Tangan (Hand Hygiene) untuk Pencegahan lnfeksi Nosokomial. a. Atasan atau rekan kerja mempromosikan ketaatan melakukan cuci tangan.
  • 35. 35 b. Tersedia wastafel dan sabun cuci tangan dengan air yang mengalir untuk fasilitas cuci tangan disetiap sudut ruang perawatan. c. Cuci tangan sebelum dan sesudah menyentuh, melakukan tindakan atau berkontak dengan cairan pasien. d. Edukasi/penyuluhan bagi petugas kesehatan tentang tehnik cuci tangan yang benar. e. Buat informasi ke pasien dan keluarga tentang tehnik cuci tangan yang benar dan pentingnya cuci tangan (Departemen Kesehatan RI, 2006).
  • 36. 36 LO 3 KOLABORASI ANTAR TENAGA KESEHATAN 3.1 Definisi Kerjasama merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama untuk mencapai suatu tujuan. Kerjasama interprofesi dapat diartikan sebagai suatu kolaborasi yang terkoordinasi di antara berbagai profesi tenaga kesehatan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan kepada pasien untuk mengoptimalkan efektifitas kinerja, efisiensi biaya dan meningkatkan kepuasan pasien. Praktik kerjasama interprofesi menekankan tanggung jawab bersama dalam manajemen perawatan, dengan proses pembuatan keputusan bilateral didasarkan pada masing-masing pendidikan dan kemampuan praktisi (Emilia, 2014). Kemitraan tenaga kesehatan dalam kerjasama interprofesi dapat ditumbuhkan dari hasil hubungan interpersonal yang baik. Kemitraan dapat diciptakan apabila kedua profesi yang bermitra mampu memperlihatkan sikap saling mempercayai dan menghargai, memahami dan menerima keberadaan disiplin ilmu masing-masing, menunjukkan citra diri yang positif, masing-masing anggota profesi yang berbeda dapat menunjukkan kematangan profesional yang sama yang timbul karena pendidikan dan pengalaman, adanya keinginan dan kesadaran untuk berkomunikasi dan negosisasi dalam menjalankan tugas yang interdependen dalam pencapaian tujuan bersama. Kedua profesi memiliki kompetensi klinik dan kemampuan interpersonal, menilai dan menghargai pengetahuan yang berbeda dan saling melengkapi (Emilia, 2014). 3.2 Prinsip Kolaborasi Kerjasama pada tahap perncanaan dan tindakan serta berbagi dalam keputusan dan tanggung jawab. Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, kontribusi praktisi profesional, kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan kepada pasien dengan kepercayaan sebagai konsep umum kolaborasi.  Point penting : Kerjasama dan kesetaraan (esensi dasar)  Point lainnya : Kebersamaan, berbagi tugas, tanggung jawab, dan tanggung gugat (Kepmenkes, 2009).
  • 37. 37 3.3 Tujuan A. Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan keahlian unik professional B. Produktivitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya C. Meningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas D. Meningkatnya kohesifitas antar professional E. Kejelasan peran dalam berinteraksi antar professional F. Menumbuhkan komunikasi, kolegalitas, dan menghargai dan memahami orang lain G. Menghasilkan outcome yang lebih baik bagi pasien dalam mecapai upaya penyembuhan dan memperbaiki kualitas hidup (Kepmenkes, 2009). 3.4 Manfaat A. Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan keahlian unik profesional.. B. Memaksimalkan produktivitas serta efektifitas dan efisiensi sumber daya. C. Meningkatkan profesionalisme, loyalitas, dan kepuasan kerja. D. Meningkatkan kohesivitas antar tenaga kesehatan profesional. E. Memberikan kejelasan peran dalam berinteraksi antar tenaga kesehatan professional sehingga dapat saling menghormati dan bekerja sama. F. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan kesehatan G. Peningkatan akses ke berbagai pelayanan kesehatan H. Untuk tim kesehatan, memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan pengalaman (Kepmenkes, 2009). 3.5 Dasar-dasar Komperensi Kolaborasi 1. Komunikasi Komunikasi sangat dibutuhkan dalam berkolaborasi, karena kolaborasi membutuhkan pemecahan masalah yang lebih komplek, dibutuhkan komunikasi efektif yang dapat dimengerti oleh semua anggota tim. 2. Respek dan kepercayaan Respek dan kepercayaan dapat disampaikan secara verbal maupun non verbal serta dapat dilihat dan dirasakan dalam penerapannya sehari-hari. 3. Memberikan dan menerima feed back
  • 38. 38 Feed back dipengaruhi oleh persepsi seseorang, pola hubungan, harga diri, kepercayaan diri, emosi, lingkungan serta waktu, feed back juga dapat bersifat negatif maupun positif. 4. Pengambilan keputusan Dalam pengambilan keputusan dibutuhkan komunikasi untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif guna menyatukan data kesehatan pasien secara komperensip sehingga menjadi sumber informasi bagi semua anggota tim. 5. Manajemen konflik Untuk menurunkan komplik maka masing-masing anggota harus memahami peran dan fungsinya, melakukan klarifikasi persepsi dan harapan, mengidentifikasi kompetensi, mengidentifikasi tumpang tindih peran serta melakukan negosiasi peran dan tanggung jawabnya. (Depkes RI, 2004) 3.6 Cara Membangun dan Mempertahankan Kolaborasi Tim Kesehatan A. Mengetahui tugas dan wewenang/batasan masing-masing profesi kesehatan B. Membangun komitmen dan kepercayaan antarprofesi kesehatan untuk saling bekerja sama C. Menyediakan waktu khusus untuk sharing pengetahuan dan pemecahan masalah dari pasien D. Bekerja dalam kesetaraan profesi E. Fokus dalam meningkatkan kualitas hidup pasien F. Menggunakan cara komunikasi yang efektif G. Membuat rencana jangka pendek dan jangka panjang dalam strategi penanganan pasien 3.7 Penerapan Kolaborasi antar kesehatan Tim interprofesi dapat terdiri atas berbagai profesi kesehatan seperti : A. Konsultan B. Dokter C. Perawat D. dokter spesialis E. fisioterapis
  • 39. 39 Tim ini dapat diterapkan pada berbagai macam tatanan perawatan misalnya pada ruang operasi maupun pada perawatan geriatri. Dalam penerapan kerjasama interprofesi, anggota tim interprofesi mungkin saja mengalami konflik karena beragamnya latar belakang profesi. Oleh karena itu dibutuhkan pemahaman tentang perawatan yang berfokus pada komunikasi dan sikap yang mengacu pada keselamatan pasien yang merupakan prioritas utama. Selain itu dibutuhkan kejelasan peran masing-masing profesi dalam menciptakan perawatan yang optimal, yaitu meliputi peran mandiri tiap profesi dan peran tim interprofesi secara keseluruhan (Emilia, 2014). 3.8 Metode Meningkatkan Efektifitas Kolaborasi Salah satu metode yang dapat digunakan dalam meningkatkan efektifitas kerjasama tim adalah Team Mental Models (TMM). TMM didefinisikan sebagai metode anggota timnya yang dapat saling berbagi pengetahuan maupun pemahaman terkait kompetensi kinerja klinis tenaga kesehatan. Menurut DeChurch dan Mesmer-Magnus (2010), TMM telah terbukti memberikan efek yang signifikan terhadap proses kinerja tim. Berdasarkan kompleksitas kasus pasien, Ruang Operasi (OK) menjadi salah satu setting yang paling cocok untuk penerapan TMM (Emilia, 2014). Secara umum, konsep TMM mengacu pada pembagian pemahaman maupun pengetahuan yang relevan antar anggota dalam mewujudkan kerjasama tim yang efektif. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Burtscher (2012) menyatakan bahwa melalui TMM, tenaga kesehatan dapat berbagi pengetahuan, sikap, dan pemahaman terkait peningkatan keselamatan pasien (patient safety). Anggota tim interdisiplin dapat saling mengidentifikasi peran dan tanggungjawab masing-masing profesi serta dapat menentukan solusi masalah kerjasama yang mungkin terjadi berdasarkan diskusi tim (Emilia, 2014). Dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak ditemukan potensi masalah di klinis maupun di masyarakat mengenai perawatan kesehatan pasien, khususnya pada lansia. Oleh karena itu dibutuhkan kerjasama tim interdisiplin tenaga kesehatan dalam mewujudkan perawatan geriatri yang optimal (Kagan, 2010). Sebuah tim interdisiplin perlu meningkatkan dan mengimplementasikan pengetahuan maupun kompetensi asuhan perawatan akut pada geriatri. Tidak seperti perawatan geriatri jangka panjang, perawatan akut lebih menitikberatkan pada pemberian perawatan sesuai dengan kebutuhan pasien. Tenaga kesehatan akan membentuk suatu tim kesehatan yang terdiri atas dokter, psikiatri, maupun
  • 40. 40 perawat klinis. Kerjasama tim interprofesi pada perawatan geriatri akut dapat dilakukan misalnya dengan cara perawat dapat memberikan asuhan keperawatan langsung kepada pasien, dokter berperan dalam perawatan medis, dokter bedah dapat merencanakan medikasi dan tindakan operatif sesuai indikasi, sedangkan pekerja sosial dapat mengkoordinasikan discharge planning pasien pada saat akan dipulangkan ke rumah. Di sisi lain, fisioterapis dapat memberikan intervensi kritis kepada pasien untuk mengembalikan fungsi tubuh yang hilang (Emilia, 2014). 3.9 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kerjasama Tim Kolaborasi Menurut Weaver 2008 dalam Emilia, fungsi kerjasama tim yang efektif dipengaruhi oleh faktor anteseden, proses dan hasil. Faktor-faktor tersebut merupakan sesuatu yang dapat meningkatkan maupun menghambat proses kerjasama dalam tim seperti ditunjukkan oleh kerangka berikut. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kerjasama Interprofesi Sumber: Weaver, T.E., 2008. Enhancing multiple disciplinary teamwork. A. Anteseden (Antecedents) 1) Pertimbangan sosial dan intrapersonal(social and intrapersonal consideration). Dasar pertimbangan sosial berawal dari kesadaran bahwa seseorang harus membentuk suatu kelompok agar dapat bekerja secara efektif dan efisien. Sifat manusia sebagai makhluk sosial yang saling memerlukan dapat menjadi dasar terbentuknya sebuah tim. Pertimbangan intrapersonal juga merupakan komponen penting dalam menciptakan kolaborasi yang baik. Anggota tim harus memiliki tipe
  • 41. 41 kepribadian yang baik dan sikap untuk bekerjasama yang baik. Selain itu, kolaborasi yang efektif akan tercapai apabila masing-masing anggota tim kesehatan merupakan pakar dalam profesinya masing- masing, artinya anggota tim dari profesi yang satu harus seimbang dengan profesi yang lain baik dari segi pengetahuan, keterampilan, maupun pengalaman yang dimiliki agar dapat saling berdiskusi secara efektif. 2) Lingkungan fisik (physical environment) Lingkungan kerja dan kedekatan di antara anggota tim dapat memfasilitasi atau menghambat kolaborasi. Lingkungan kerja yang baik harus dapat mendukung kemampuan anggota tim untuk mendiskusikan beberapa ide maupun menyelesaikan masalah yang mungkin terjadi, sehingga dapat meningkatkan ikatan dan diskusi penting yang mengarah pada pemahaman dari perspektif yang berbeda dan dapat menyelesaikan masalah di dalam tim. 3) Faktor organisasional dan institusional (organizational and institutional factor) Institusi dan kelembagaan sangat berperan dalam mengurangi hambatan untuk kolaborasi lintas profesi. Kebijakan yang diterapkan oleh suatu institusi ataupun kelembagaan kesehatan harus dapat mendorong terciptanya kerjasama antar profesi kesehatan, kebijakan tersebut dapat berupa penerapan kurikulum interprofessional education maupun penerapan standar pelayanan kesehatan melalui kolaborasi interprofesi dalam memberikan pelayanan kesehatan di rumah sakit. B. Proses 1). Faktor perilaku Perilaku bekerjasama antar profesi kesehatan merupakan kunci untuk mengatasi hambatan dalam proses kolaborasi. Kesadaran untuk bekerjasama dan saling membutuhkan harus ditanamkan pada setiap anggota tim agar tidak ada arogansi maupun egoisme profesi. Perilaku bekerjasama juga bertujuan untuk meredakan ketegangan di antara
  • 42. 42 profesi yang berbeda, selain itu juga untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi biaya perawatan pasien. 2). Faktor interpersonal Interpersonal merupakan cara untuk berhubungan dengan orang lain, dalam hal ini adalah profesi kesehatan yang lain. Dalam hubungan interpersonal harus terdapat peran yang jelas. Setiap profesi harus mengetahui peran profesi yang lain, sehingga mereka dapat berbagi peran sesuai dengan kompetensi masing-masing profesi. Untuk membentuk hubungan interprofesi yang baik sangat diperlukan adanya komunikasi interprofesi yang efektif. Melalui komunikasi interprofesi, anggota tim dapat saling berbagi ide, perspektif dan inovasi perawatan kesehatan sehingga kolaborasi dapat berjalan dengan baik. 3). Faktor intelektual Sebuah institusi pendidikan profesi kesehatan memegang peranan yang sangat penting dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kolaborasi interprofesi. Kolaborasi Interprofesi akan berjalan dengan baik apabila setiap anggota tim mempunyai tingkat pengetahuan dan keterampilan yang setara. C. Outcome and opportunity Pengembangan kerjasama dan kolaborasi tim interdisiplin akan sangat membantu dalam menciptakan ide-ide baru yang berhubungan dengan inovasi pelayanan kesehatan. Kesadaran terhadap hambatan terbentuknya kerjasama yang efektif harus ditekankan pada setiap anggota tim sehingga dapat tercipta model integratis dalam sistem pelayanan kesehatan. Tuntutan terhadap peningkatan kualitas pelayanan kesehatan memberikan peluang bagi tenaga kesehatan untuk menerapkan kolaborasi interprofesi dalam sistem pelayanan kesehatan (Emilia, 2014). 3.10 Faktor Penghambat Kolaborasi Perawat dengan Dokter Hubungan perawat dan dokter adalah suatu bentuk hubungan interaksi yang telah cukup lama dikenal ketika memberikan bantuan kepada pasien. Perspektif yang berbeda dalam memandang pasien, dalam praktiknya menyebabkan munculnya hambatan-hambatan tehnik
  • 43. 43 dalam melakukan proses kolaborasi. Kendala psikologi keilmuan dan individual, faktor sosial, serta budaya menempatkan kedua profesi ini memunculkan kebutuhan akan upaya kolaborasi yang dapat menjadikan keduanya lebih solid dengan semangat kepentingan pasien (Kemenkes RI, 2012). Hambatan kolaborasi perawat dengan dokter sering dijumpai pada tingkat professional dan institusional. Perbedaan status dan kekuasaan tetap menjadi sumber utama ketidaksesuaian yang membatasi pendirian professional dalam aplikasi kolaborasi. Dokter cenderung pria, dari tingkat ekonomi lebih tinggi dan biasanya fisik lebih besar dibandingkan perawat, sehingga iklim dan kondisi sosial masih mendukung dominasi dokter. Inti sesungguhnya dari komplik perawat dengan dokter terletak pada perbedaan sikap profesional mereka terhadap pasien dan cara berkomunikasi diantara keduanya. Dari hasil observasi peneliti di rumah sakit nampaknya perawat dalam memberikan asuhan keperawatan belum dapat melaksanakan fungsi kolaborasi khususnya dengan dokter (Kemenkes RI, 2012). Perawat bekerja memberikan pelayanan kepada pasien berdasarkan instruksi medis yang juga didokumentasikan secara baik, sementara dokumentasi asuhan keperawatan meliputi proses keperawatan tidak ada. Disamping itu hasil wawancara peneliti dengan beberapa perawat rumah sakit pemerintah dan swasta, mereka menyatakan bahwa banyak kendala yang dihadapi dalam melaksanakan kolaborasi, diantaranya pandangan dokter yang selalu menganggap bahwa perawat merupakan tenaga vokasional, perawat sebagai asistennya, serta kebijakan rumah sakit yang kurang mendukung. Isu-isu tersebut jika tidak ditanggapi dengan benar dan proporsional dikhawatirkan dapat menghambat upaya melindungi kepentingan pasien dan masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan kesehatan, serta menghambat upaya pengembangan dari keperawatan sebagai profesi (Kemenkes RI, 2012). Berkaitan dengan isu kolaborasi dan soal menjalin kerjasama kemitraan dokter, perawat perlu mengantisipasi konsekuensi perubahan dari vakosional menjadi profesional. Status yuridis seiring perubahan perawat dari perpanjangan tangan dokter menjadi mitra dokter yang sangat komplek. Tanggung jawab hukum juga akan terpisah untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian, yaitu malpraktik medis dan malpraktik keperawatan. Perlu ada kejelasan dari pemerintah maupun para pihak yang terkait mengenai tanggung jawab hukum dari perawat, dokter maupun rumah sakit (Kemenkes RI, 2012).
  • 44. 44 Organisasi profesi juga harus berbenah dan memperluas struktur organisasi agar dapat mengantisipasi perubahan. Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif, hal tersebut perlu ditunjang oleh saran komunikasi yang dapat menyatukan data kesehatan pasien secara komperensip sehingga menjadi sumber informasi bagi semua anggota tim dalam pengambilan keputusan (Kemenkes RI, 2012).
  • 45. 45 LO 4 Manajemen Rumah Sakit Terhadap Pasien Safety Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit Ada lima isu penting yang terkait dengan keselamatan (safety) di rumah sakit yaitu : keselamatan pasien (patient safety) ,keselamatan pekerja atau petugaskesehatan,keselamatan bangunan dan peralatan di rumah sakit yang bisa berdampak terhadap keselamatan pasien dan petugas, keselamatan lingkungan (Green Productivity) yang berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan keselamatan ‘bisnis’ rumah sakit yang terkait dengan kelangsungan hidup rumah sakit. Kelima aspek keselamatan tersebut sangatlah penting untuk dilaksanakan di setiap rumah sakit.Namun harus diakui kegiatan institusi rumah sakit dapat berjalan apabila adapasien. Karena itu keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk dilaksanakandan hal tersebut terkait dengan isu mutu dan citra perumah sakitan. Harus diakui ,pelayanan kesehatan pada dasarnya adalah untuk menyelamatkanpasien sesuai dengan yang diucapkan Hiprocrates kira-kira 2400 tahun yang lalu yaitu Primum,non nocere (first,do no harm), Namun diakui dengan semakin berkembangnyailmu dan teknologi pelayanan kesehatan khususnya di rumah sakit menjadi semakin kompleks dan berpotensi terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan-KTD (Adversed event)apabila tidak dilakukan dengan hati-hati. 1. Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety) Suatusistemdimanarumahsakitmembuatasuhanpasienlebihaman,HaliniTermasuk:asesmen resiko; indentifikasi dan pengelolahan hal yang berhubungan dengan resiko pasien; pelaporan dan analisis insiden; kemampuan belajar dari Insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem ini mencegah oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan seharusnya 2. Kejadian Tidak Diharapkan(KTD) (Adverse event) Suatu kejadian yang ditak diharapkan yang mengakibatkan cedera pasien akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambi ltindakan yang seharusnya diambil,dan bukan karena penyakit dasarnya atau kondisinya pasien.Cedera dapat diakibatkanolehkesalahanmedisataubukankesalahanmediskarenaTidak dapat dicegah. 3 KTD yang dapat dicegah (Unpreventable adverse event) Suatu KTD akibat yang tidak dapat dicegah dengan pengetahuan yang mutakhir.
  • 46. 46 4. Kejadian Nyaris Cedera (KNC) (Near miss). Suatu kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), yang dapt mencederai pasien,tetapi cedera serius tidak terjadi,karena keberuntungan (mis,pasien terima suatu obat kontra indikasi tetapi tidak timbul reaksi obat),karena pencegahan (suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan,tetapi staf lain mengetahui dan membatalkannya sebelum obat diberikan),atau peringanan(suatu obat dengan overdosis lethal diberikan,diketaui secara dini lalu diberikan antidotenya). 5. Kesalahan Medis (Medical errors) Kesalahan yang terjadi dalam proses asuhan medis yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien.Kesalahan termasuk gagal melaksanakan sepenuhnya suatu rencana atauMenggunakan rencana yang salah untuk mencapai tujuannya. Dapat akibat melaksanakan sepenunnya suatu rencana atau menggunakan rencana yang salahuntuk mencapai tujuannya. Dapat akibat melaksanakan suatu tindakan(commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil(omission) 6. Insiden Keselamatan Pasien (Patient Safety Incident) Setiap kejadian yang tidak disengaja dan tidak diharapkan,yang dapat mengakiBatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien. 7. Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien Rumah Sakit Suatu sistem untuk mendokumentasikan insiden yang tidak disengaja dan tidak diharapkan,yang dapat mengakibatkan atau berpotensimengakibatkan cedera pada pasien.Sistem ini juga mendokumentasikan kejadian-kejadian yang tidak konsisten dengan operasional rutin rumah sakit atau asuhan pasien. 8. Anlisis Akar Masalah (Root Cause Analysis) Suatu proses terstruktur untuk mengindentifikasi factor penyebab atau faktor Penyebab atau factor yang berpengaruh terhadap terjadinya penyimpanganKinerja,termasuk KTD 9. Manajemen Risiko (Risk Management) Dalam hubungan-nya dengan operasional rumah sakit,istilah menajemen risiko Dikaitkan kepada aktivitas perlindungan diri yang berarti mencegah ancaman Yang nyata atau berpotensi nyata terhadap kerugian keuangan akibat Kecelakaan, cedera atau malpraktik medis.
  • 47. 47 10. Kejadian Sentinel (Sentinel Event) Suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera yang serius; biasanya dipakai untuk kejadian yang sangat tidak diharapkan atau tidak dapat diterimaSeperti : operasi pada bagian tubuh yang salah.Pemilihan kata Sentinel terkait Dengan keseriusan cedera yang terjadi (mis.Amputasi pada kaki yang salah,dsb) Sehingga pencarian fakta terhadap kejadian ini mengungkapkan adanya masalah yang serius pada kebijakan dan prosedur yang berlaku. 4.2 Tujuan KPRS 1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit 2. Meningkatnya akutanbilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat 3. Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit 4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian yang tidak diharapkan. 4.3 Manajemen Rumah Sakit Rumah sakit harus dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi seluruh tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan di rumah sakit melalui pembentukan berbagai perangkat aturan di rumah sakit meliputi: 1. Peraturan internal staf medis 2. Standar prosedur operasional dan berbagai pedoman pelayanan kesehatan serta melalui penyediaan SDM yang memiliki kompetensi dalam bidang medikolegal. Pengertian Rumah Sakit Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan dengan memberdayakan berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat dan tempat yang digunakan untuk menyelenggarakannya disebut sarana kesehatan. Sarana kesehatan
  • 48. 48 berfungsi melakukan upaya kesehatan dasar, kesehatan rujukan dan atau upaya kesehatan penunjang. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (Siregar, 2004). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 340/MENKES/PER/III/2010 Tentang Klasifikasi Rumah Sakit, dalam Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa “Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat”. 4.3 Sejarah Rumah Sakit Dalam sejarah kuno, kepercayaan dan pengobatan berhubungan sangat erat. Salah satu contoh institusi pengobatan tertua adalah kuil Mesir. Kuil Asclepius di Yunani juga dipercaya memberikan pengobatan kepada orang sakit, yang kemudian juga diadopsi bangsa Romawi sebagai kepercayaan. Kuil Romawi untuk Æsculapius dibangun pada tahun291 SM di tanah Tiber, Roma dengan ritus-ritus hampir sama dengan kepercayaan Yunani. Institusi yang spesifik untuk pengobatan pertama kali, ditemukan di India. Rumah sakit Brahmanti pertama kali didirikan di Sri Lanka pada tahun 431 SM, kemudian Raja Ashokajuga mendirikan 18 rumah sakit di Hindustan pada 230 SM dengan dilengkapi tenaga medis dan perawat yang dibiayai anggaran kerajaan. Rumah sakit pertama yang melibatkan pula konsep pengajaran pengobatan, dengan mahasiswa yang diberikan pengajaran oleh tenaga ahli, adalah Akademi Gundishapur di Kerajaan Persia. Bangsa Romawi menciptakan valetudinaria untuk pengobatan budak, gladiator, dan prajurit sekitar 100 SM. Adopsi kepercayaan Kristiani turut memengaruhi pelayanan medis di sana. Konsili Nicea I pada tahun 325 memerintahkan pihak Gereja untuk juga memberikan pelayanan kepada orang-orang miskin, sakit, janda, dan musafir. Setiap satu katedral di setiap kota harus menyediakan satu pelayanan kesehatan. Salah satu yang pertama kali mendirikan adalah Saint Sampson di Konstantinopel dan Basil, bishop of Caesarea. Bangunan ini
  • 49. 49 berhubungan langsung dengan bagunan gereja, dan disediakan pula tempat terpisah untuk penderita lepra. Perubahan rumah sakit menjadi lebih sekular di Eropa terjadi pada abad 16 hingga 17. Tetapi baru pada abad 18 rumah sakit modern pertama dibangun dengan hanya menyediakan pelayanan dan pembedahan medis. Di Eropa Daratan biasanya rumah sakit dibiayai dana publik. Namun secara umum pada pertengahan abad 19 hampir seluruh negara di Eropa dan Amerika Utara telah memiliki keberagaman rumah sakit. 4.4 Fungsi Rumah Sakit Mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan No.134 Menkes/SK/IV/78 Th.1978, untuk dapat menjalankan tugas Rumah Sakit seperti yang dijelaskan dalam pasal 2, maka Rumah Sakit memiliki fungsi yang dijelaskan dalam pasal 3, yaitu: 1. Melaksanakan usaha pelayanan medik 2. Melaksanakan usaha rehabilitasi medik 3. Usaha pencegahan komplikasi penyakit dan peningkatan pemulihan kesehatan 4. Melaksanakan usaha perawatan 5. Melaksanakan usaha pendidikan dan latihan medis dan paramedis 6. Melaksanakan sistem rujukan 7. Sebagai tempat penelitian Tujuan Manajemen Rumah Sakit Dalam kegiatan organisasi rumah sakit diperlukan pengalaman dan manajemen professional. Manajemen professional berarti melaksanakan manajemen dengan tatacara yang dapat dipertanggungjawabkan. Manajemen rumah sakit berarti koordinasi antara berbagai sumber daya melalui proses perencanaan, pengoorganisasian, dan kemampuan pengendalian untuk mencapai tujuan. Adapun tujuan manajemen rumah sakit adalah: 1. Menyiapkan sumber daya
  • 50. 50 2. Mengevaluasi efektifitas 3. Mengatur pemakaian pelayanan 4. Efisiensi 5. Kualitas 4.5 Konsep Manajemen Rumah Sakit Rumah sakit bertangggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang timbul atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan rumah sakit. Menurut UU No. 44 Tahun 2009 pasal 3, pengaturan rumah sakit bertujuan untuk: 1. Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan 2. Memberikan perlindungan hokum terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit, dan sumber daya manusia di rumah sakit 3. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit 4. Memberikan kepastian hokum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan rumah sakit Menurut Guwandi (2005), suatu rumah sakit mempunyai empat bidang tanggung jawab, yaitu: 1. Tanggung jawab terhadap personalia Hal ini berdasarkan hubungan “majikan-karyawan”. Hubungan ini, dahulu bersifat universal dan Negara kita sampai kini masih berlaku berdasarkan KUH Perdata Pasal 1366 jo 1365 jo 1367. Di dalam tanggung jawab ini termasuk seluruh karyawan yang bekerja di rumah sakit 2. Tanggung jawab professional terhadap mutu pengobatan dan perawatan Hal ini berarti bahwa tingkat pemberian pelayanan kesehatan, baik oleh dokter maupun oleh perawat dan tenaga kesehatan lainnya harus berdasarkan ukuran standar profesi. Dengan demikian, maka secara yuridis rumah sakit bertanggung jawab bila ada pemberian pelayanan kesehatan “cure and care” yang tidak lazim atau dibawah standar. 3. Tanggung jawab terhadap sarana dan peralatan
  • 51. 51 Didalam bidang tanggung jawab ini termasuk peralatan dasar perumahsakitan, peralatan medis, dan lain-lain. Yang paling penting adalah bahwa peralatan tersebut selalu harus berada di dalam keadaan aman dan siap pakai pada setiap saat. 4. Tanggung jawab terhadap keamanan bangunan dan perawatannya. Misalnya bangunan roboh, genteng jatuh sampai menimpa orang lain, lantai licin sampai pengunjung terjatuh dan menderita fraktur. Di Indonesia masalah ini diatur dalam KUH perdata pasal 1369 yaitu tanggung jawab pemilik terhadap gedung. Hal lain yang perlu mendapat perhatian bersama oleh seluruh pihak di rumah sakit adalah menyangkut pelaksanaan etika profesi dan etika rumah sakit sehingga penyelenggaraan dapat dilakukan dengan baik. Pelayanan secara beretika akan sangat mempermudah seluruh pihak dalam menegakkan aturan-aturan hukum. 4.6 Latar Belakang Patient Safety Hampir setiap tindakan medic menyimpan potensi resiko. Banyaknya jenis obat, jenis pemeriksaan dan prosedur, serta jumlah pasien dan staf Rumah Sakit yang cukup besar, merupakan hal yang potensial bagi terjadinya kesalahan medis (medical errors). Menurut Institute of Medicine (2002), medical error didefinisikan sebagai: The failure of a planned action to be completed as intended (i.e., error of execusion) or the use of a wrong plan to achieve an aim (i.e., error of planning). Artinya kesalahan medis didefinisikan sebagai: suatu Kegagalan tindakan medis yang telah direncanakan untuk diselesaikan tidak seperti yang diharapkan (yaitu., kesalahan tindakan) atau perencanaan yang salah untuk mencapai suatu tujuan (yaitu., kesalahan perencanaan). Kesalahan yang terjadi dalam proses asuhan medis ini akan mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien, bisa berupa Near Miss atau Adverse Event (Kejadian Tidak Diharapkan/KTD). Near Miss atau Nyaris Cedera (NC) merupakan suatu kejadian akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), yang dapat mencederai pasien, tetapi cedera serius tidak terjadi, karena keberuntungan (misalnya,pasien terima suatu obat kontra indikasi tetapi tidak timbul reaksi obat), pencegahan (suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan, tetapi staf lain mengetahui
  • 52. 52 dan membatalkannya sebelum obat diberikan), dan peringanan (suatu obat dengan overdosis lethal diberikan, diketahui secara dini lalu diberikan antidotenya). Adverse Event atau Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) merupakan suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien karena suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), dan bukan karena “underlying disease” atau kondisi pasien.Kesalahan tersebut bisa terjadi dalam tahap diagnostic seperti kesalahan atau keterlambatan diagnose, tidak menerapkan pemeriksaan yang sesuai, menggunakan cara pemeriksaan yang sudah tidak dipakai atau tidak bertindak atas hasil pemeriksaan atau observasi; tahap pengobatan seperti kesalahan pada prosedur pengobatan, pelaksanaan terapi, metode penggunaan obat, dan keterlambatan merespon hasil pemeriksaan asuhan yang tidak layak; tahap preventive seperti tidak memberikan terapi provilaktik serta monitor dan follow up yang tidak adekuat; atau pada hal teknis yang lain seperti kegagalan berkomunikasi, kegagalan alat atau system yang lain.Dalam kenyataannya masalah medical error dalam sistem pelayanan kesehatan mencerminkan fenomena gunung es, karena yang terdeteksi umumn ya adalah adverse event yang ditemukan secara kebetulan saja. Sebagian besar yang lain cenderung tidak dilaporkan, tidak dicatat, atau justru luput dari perhatian kita semua.Veronica.(2010) Pada November 1999, the American Hospital Asosiation (AHA) Board of Trustees mengidentifikasikan bahwa keselamatan dan keamanan pasien (patient safety) merupakan sebuah prioritas strategik. Mereka juga menetapkan capaian-capaian peningkatan yang terukur untuk medication safety sebagai target utamanya. Tahun 2000, Institute of Medicine, Amerika Serikat dalam “TO ERR IS HUMAN, Building a Safer Health System” melaporkan bahwa dalam pelayanan pasien rawat inap di rumah sakit ada sekitar 3-16% Kejadian Tidak Diharapkan (KTD/Adverse Event). Menindaklanjuti penemuan ini, tahun 2004, WHO mencanangkan World Alliance for Patient Safety, program bersama dengan berbagai negara untuk meningkatkan keselamatan pasien di rumah sakit. Di Indonesia, telah dikeluarkan pula Kepmen nomor 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit, yang tujuan utamanya adalah untuk tercapainya pelayanan medis prima di rumah sakit yang jauh dari medical error dan memberikan
  • 53. 53 keselamatan bagi pasien. Perkembangan ini diikuti oleh Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia(PERSI) yang berinisiatif melakukan pertemuan dan mengajak semua stakeholder rumah sakit untuk lebih memperhatian keselamatan pasien di rumah sakit. Mempertimbangkan betapa pentingnya misi rumah sakit untuk mampu memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik terhadap pasien mengharuskan rumah sakit untuk berusaha mengurangi medical error sebagai bagian dari penghargaannya terhadap kemanusiaan, maka dikembangkan system Patient Safety yang dirancang mampu menjawab permasalahan yang ada (Pabuti, 2011) 4.7 Delapan Langkah Pengembangan Menurut Hasting G, 2006, ada delapan langkah yang bisa dilakukan untuk mengembangkan budaya Patient safety adalah 1. Put the focus back on safety Setiap staf yang bekerja di RS pasti ingin memberikan yang terbaik dan teraman untuk pasien. Tetapi supaya keselamatan pasien ini bisa dikembangkan dan semua staf merasa mendapatkan dukungan, patient safety ini harus menjadi prioritas strategis dari rumah sakit atau unit pelayanan kesehatan lainnya. Empat CEO RS yang terlibat dalam safer patient initiatives di Inggris mengatakan bahwa tanggung jawab untuk keselamatan pasien tidak bisa didelegasikan dan mereka memegang peran kunci dalam membangun dan mempertahankan fokus patient safety di dalam RS. 2. Think small and make the right thing easy to do Memberikan pelayanan kesehatan yang aman bagi pasien mungkin membutuhkan langkah- langkah yang agak kompleks. Tetapi dengan memecah kompleksitas ini dan membuat langkah- langkah yang lebih mudah mungkin akan memberikan peningkatan yang lebih nyata. 3. Encourage open reporting Belajar dari pengalaman, meskipun itu sesuatu yang salah adalah pengalaman yang berharga. Koordinator patient safety dan manajer RS harus membuat budaya yang mendorong pelaporan. Mencatat tindakan-tindakan yang membahayakan pasien sama pentingnya dengan mencatat
  • 54. 54 tindakan-tindakan yang menyelamatkan pasien. Diskusi terbuka mengenai insiden-insiden yang terjadi bisa menjadi pembelajaran bagi semua staf. 4. Make data capture a priority Dibutuhkan sistem pencatatan data yang lebih baik untuk mempelajari dan mengikuti perkembangan kualitas dari waktu ke waktu. Misalnya saja data mortalitas. Dengan perubahan data mortalitas dari tahun ke tahun, klinisi dan manajer bisa melihat bagaimana manfaat dari penerapan patient safety. 5. Use systems-wide approaches Keselamatan pasien tidak bisa menjadi tanggung jawab individual. Pengembangan hanya bisa terjadi jika ada sistem pendukung yang adekuat. Staf juga harus dilatih dan didorong untuk melakukan peningkatan kualitas pelayanan dan keselamatan terhadap pasien. Tetapi jika pendekatan patient safety tidak diintegrasikan secara utuh kedalam sistem yang berlaku di RS, maka peningkatan yang terjadi hanya akan bersifat sementara. 6. Build implementation knowledge Staf juga membutuhkan motivasi dan dukungan untuk mengembangkan metodologi, sistem berfikir, dan implementasi program. Pemimpin sebagai pengarah jalannya program disini memegang peranan kunci. Di Inggris, pengembangan mutu pelayanan kesehatan dan keselamatan pasien sudah dimasukkan ke dalam kurikulum kedokteran dan keperawatan, sehingga diharapkan sesudah lulus kedua hal ini sudah menjadi bagian dalam budaya kerja. 7. Involve patients in safety efforts Keterlibatan pasien dalam pengembangan patient safety terbukti dapat memberikan pengaruh yang positif. Perannya saat ini mungkin masih kecil, tetapi akan terus berkembang. Dimasukkannya perwakilan masyarakat umum dalam komite keselamatan pasien adalah salah satu bentuk kontribusi aktif dari masyarakat (pasien). Secara sederhana pasien bisa diarahkan untuk menjawab ketiga pertanyaan berikut: apa masalahnya? Apa yang bisa kubantu? Apa yang tidak boleh kukerjakan?
  • 55. 55 8. Develop top-class patient safety leaders Prioritisasi keselamatan pasien, pembangunan sistem untuk pengumpulan data-data berkualitas tinggi, mendorong budaya tidak saling menyalahkan, memotivasi staf, dan melibatkan pasien dalam lingkungan kerja bukanlah sesuatu hal yang bisa tercapai dalam semalam. Diperlukan kepemimpinan yang kuat, tim yang kompak, serta dedikasi dan komitmen yang tinggi untuk tercapainya tujuan pengembangan budaya patient safety. Seringkali RS harus bekerja dengan konsultan leadership untuk mengembangkan kerjasama tim dan keterampilan komunikasi staf. Dengan kepemimpinan yang baik, masing-masing anggota tim dengan berbagai peran yang berbeda bisa saling melengkapi dengan anggota tim lainnya melalui kolaborasi yang erat. 4.8 Manajemen Rumah Sakit Terhadap Keselamatan Pasien Sebelum membahas tentang manajemen rumah sakit terhadap keselamatan pasien, perlu diketahui bahwa Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit itu memiliki visi dan misi sebagai berikut: Visi: Meningkatkan keselamatan pasien dan mutu pelayanan rumah sakit. Misi:  Mengangkat secara nasional fokus keselamatan pasien  Mendorong terbentuknya kepemimpinan dan budaya rumah sakit yang mencakup keselamatan pasien dan peningkatan mutu pelayanan  Mengembangkan standart dan pedoman keselamatan pasien berbasis riset dan pengetahuan  Bekerjasana dengan berbagai lembaga yang bertujuan meningkatkan keselamatan pasien dan mutu pelayanan rumah sakit (Depkes RI, 2008). Dari visi dan misi diatas terbentuklah manajemen rumah sakit terhadap keselamtan pasien. Adapun langkah-langkah dari manajemen rumah sakit terhadap keselamatan pasien sebagai berikut:
  • 56. 56 1. Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan dan ada rencana pelayanankebijakan dan ketentuan sesuai SK direktur. 2. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan secara jelas dan benar kepada pasien dan keluarga tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk terjadinya KTD (Kejadian Tidak Diharapkan). 3. Ditetapkan metode dan tata laksana agar rumah sakit mampu melakukan evaluasi, analisis, dan tindak lanjut dari KTD (Kejadian Tidak Diharapkan) pada pasien. 4. Direktur rumah sakit menetapkan unit kerja dan penanggung jawab mengelola program KPRS (Keselamatan Paien Rumah Sakit). 5. DPJP (Dokter Penanggung Jawab Pelayanan) wajib memberikan pendidikan kepada pasien tentang kewajabannya terhadap rumah sakit. 6. Ditetapkan koordinasi pelayanan dan transfer informasi antar profesi kesehatan untuk mendukung KPRS 7. Unit kerja pendidikan dan pelatihan (Diklat) menyelenggarakan pelatihan berkala dengan topik khusus KPRS (Keselamatan Paien Rumah Sakit). 8. Ditetapkan sistem pencatatan,pengumpulan, pelaporan data KTD (Kejadian Tidak Diharapkan). 9. Tersedia informasi tentang hasil analisis masalah “Kejadian Nyaris Cedera” (Near Miss) atau “Kejadian Sentinel” (Sentinel Event). (Depkes RI, 2008). Terdapat 3 fase Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KPRS), yaitu: 1. Fase Persiapan:  Tetapkan keijakan dan rencana jangka pendek KPRS dan program tahunan KPRS (pimpinan RS)  Tetapkan unit kerja yang bertanggung jawab mengelola program KPRS  Pilih gerak yang akan menjadi motor penggerak KPRS dan pelatihannya  Buku saku KPRS 2. Fase Pelaksanaan:  Deklarasi gerakan moral keselamatan pasien  Program 7 langkah keselamatan pasien  Program standart akreditasi keselamatan pasien
  • 57. 57  Program keselamatan pasien pada unit pelayanan tertentu sebagai model  Program khusus  Forum diskusi 3. Fase Evaluasi:  Pimpinan Rumah sakit secara berkala (paling lama 2 tahun) melakukan monitoring dan evaluasi program keselamatan pasien yang dilakukan oleh unit kerja keselamatan pasien rumah sakit (Depkes RI, 2008).
  • 58. 58 PEMBAHASAN Pada skenario didapatkan kolaborasi yang kurang antar tenaga medis, terutama komunikasi yang kurang baik. Perawat tidak mengkonfirmasikan kepada dokter mengenai apa yang dialami pasien. Dapat dikatakan skor pada koordinasi pelayanan dan transfer informasi antar profesi kesehatan untuk mendukung program KPRS adalah 0, yaitu tidak ada konfirmasi pelayanan dan transfer informasi antar tenaga medis. Dalam hal ini yang perlu di perbaiki adalah manajemen rumah sakit terhadap keselamatan pasien. Sehingga keselamatan pasien tidak dianggap remeh dan terhindar dari risiko-risiko pada pasien. Rumah sakit harus mendesign proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor serta mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif kejadian tidak diharapkan, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien sesuai standart keselamatan pasien no tujuh.
  • 59. 59 DAFTAR PUSTAKA Andri, Hidayat, Elly Ingkiriwing. 2011. Komunikasi dan Empati. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Aribowo, P. 2006. “Komunikasi yang efektif” diakses tanggal 10 februari 2009, (http://www.sinarharapan.co.id) Boy S. Sabarguna Quality Assurance Pelayanan Rumah Sakit Edisi Revisi; Jakarta; CV Sagung Seto; 2008 Budi S, Febri E. 2014. Dokter Keluarga. Malang : UMM PRESS Departemen Kesehatan Republik Indonesia, (2004). Kolaborasi Perawat-Dokter. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Jakarta; 2006 hal 1-46. Departemen Kesehatan RI. Panduan Nasional Keselamatan Rumah Sakit: Edisi ke 2, Jakarta, 2008. Emilia, Ova. 2014. Interprofesional Education (IPE), Communication, and Interprofesional Teamwork, Dalam. BUKU ACUAN UMUM CFHC-IPE. Yogyakarta. pp.17-35. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, (2012). Hak dan Kewajiban Rumah Sakit. Jakarta. Kepmenkes RI No. 374/Menkes/SK/V/2009, Tentang Sistem Kesehatan Nasional Veronica Komala. (2010) Community&Patient Safety Dalam Perspektif Kesehatan. Lestari, Trisasi. Knteks Mikro dalam Implementasi Patient Safety: Delapan Langkah Untuk Mengembangkan Budaya Patient Safety. Buletin IHQN Vol II/Nomor.04/2006 Hal.1-3 Pabuti, Aumas. (2011) Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien (KP) Rumah Sakit. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety). 2005 Prihanti, Gita Sekar. 2014. Empati dan Komunikasi Efektif. Malang: UMM PRESS Proceedings of expert lecture of medical student of Block 21st of Andalas University, Indonesia Sitorus, R. (2006). Metode praktik keperawatan pofessional di rumah sakit. penataan struktur & proses (sistem) pemberian asuhan keperawatan di ruang rawat. Jakarta: FKUI SKDI. 2012. Jakarta. konsil kedokteran indonesia.