Puasa orang umum hanya menjauhi pematabal saum seperti makan, minum, dan jima' di siang hari. Puasa orang khusus tidak hanya begitu tetapi juga menjauhi perkataan dan perbuatan dosa sepanjang waktu, termasuk menjauhi umpatan, amarah, dan mematuhi ibadah wajib.
1. Doa Belajar
Ya Allah, sungguh aku memohon
pada-Mu ilmu yang bermanfaat, amal
yang diterima, rizki yang baik. Ya
Allah, sungguh aku berlindung pada-
Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat,
hati yang tidak tunduk, doa yang tidak
didengar dan amal yang tidak sampai.
2. Doa Belajar
Aku rela Allah sebagai
tuhanku, Islam sebagai
agamaku, Muhammad saw
sebagai nabi dan rasulku.
Tuhanku, tambahkan bagiku
ilmu dan limpahkanlah
bagiku kefahaman
4. Keutamaan Bulan
RAMADHAN
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda
,
َانَضَمَر َامَص ْنَم
اًناَميِإ
اًباَسِتْاح َو
دَقَت اَم ُهَل َرِفُغ
ِ ْنَن ْنِم َم
ِه
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena
iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di
masa lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 38 dan
Muslim no. 760)
5. Keutamaan Bulan
RAMADHAN
Ada hadits yang menyebutkan berlipatnya pahala
amalan di bulan Ramadhan dengan bilangan
tertentu seperti hadits,
شه ، عظيم شهر أظلكم قد الناس أيها يا
ر
هللا جعل ، شهر ألف من خير ليلة فيه
م ، تطوعا ليله وقيام ،فريضة صيامه
ن
كمن كان الخير من بخصلة فيه تقرب
أدى
فري فيه أدى ومن ،سواه فيما فريضة
ضة
س فيما فريضة عين س أدى كمن كان
واه
“Wahai sekalian manusia, telah datang pada kalian bulan yang mulia. Di bulan tersebut
terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Puasanya dijadikan sebagai suatu kewajiban.
Shalat malamnya adalah suatu amalan sunnah. Siapa yang melakukan kebaikan pada bulan
tersebut seperti ia melakukan kewajiban di waktu lainnya. Siapa yang melaksanakan kewajiban
pada bulan tersebut seperti menunaikan tujuh puluh kewajiban di waktu lainnya.”
(HR. Al-Mahamili dalam Al-Amali 5: 50 dan Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 1887. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits
ini munkar seperti dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah no. 870)
7. Tingkatan Saum
RAMADHAN
al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin membagi tiga
tingkatan puasa:
“Ketahuilah bahwa puasa ada tiga tingkatan: puasa
umum, puasa khusus, dan puasa paling khusus. Yang
dimaksud puasa umum ialah menahan perut dan
kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat. Puasa
khusus ialah menahan telinga, pendengaran, lidah,
tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari dosa.
Sementara puasa paling khusus adalah menahan hati
agar tidak mendekati kehinaan, memikirkan dunia,
dan memikirkan selain Allah SWT. Untuk puasa yang
ketiga ini (shaumu khususil khusus) disebut batal bila
terlintar dalam hati pikiran selain Allah SWT dan hari
akhir.”
9. Tingkatan Saum
RAMADHAN
PUASA ORANG UMUM
Hadits Imam Al-Bukhari dari Abi Hurairah RA
َلقا َةَْريَرُه أبي عن
:
ص هللا ُلرسو قال
هللا لى
وسلم عليه
“
َر ْنِم ًام ْوَي َرَطْفأ ْنَم
ْمن َانَضَم
ْقَي ْمَل ٍ
ضَرَم وال ٍةَّلِع ِ
ْريَغ
ِ
رْهّدال ُماَي ِ
ص ِه ِ
ض
ُهَماَص ْوإن ِهّلُك
”
.
معلق البخاري ذكره
ا
Dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu
‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang berbuka
(tidak berpuasa) sehari di bulan Ramadlan tanpa
adanya alasan (’udzur) ataupun sakit, maka seluruh
puasa yang dilakukannya selama setahun tidak dapat
menimpalinya (membayarnya).” [HR. Bukhari].
10. Pahala Saum di
Bulan Ramadhan
Dalam riwayat Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َسَحْال ُفَعاَضُي َمَدآ ِْنبا ِلَمَع ُّلُك
ِإ اَهِلاَثْمَأ ُرْشَع ُةَن
ىَل
َّزَع ُ َّ
َّللا َلاَق ٍفْع ِ
ض ِةَئاِمِعْبَس
َّنِإَف َم ْوَّصال َّالِإ َّلَج َو
ىِل ُه
َط َو ُهَت َوْهَش ُعَدَي ِهِب ى ِ
زْجَأ َانَأ َو
ىِلْجَأ ْنِم ُهَماَع
“
Setiap amalan kebaikan anak Adam akan
dilipatgandakan menjadi 10 hingga 700 kali dari kebaikan
yang semisal. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang
artinya), “Kecuali puasa, amalan tersebut untuk-Ku dan
Aku sendiri yang akan membalasnya karena dia telah
meninggalkan syahwat dan makanannya demi Aku.”
(HR. Muslim no. 1151)
11. Tingkatan Saum
RAMADHAN
PUASA ORANG KHUSUS
TIDAK HANYA SEKEDAR MENJAUHI PEMBATAL
SAUM UMUM BERKAITAN : MAKAN, MINUM,
DAN JIMA’ DI SIANG HARI
TAPI JUGA MENJAUHI PERKATAAN DAN
PERBUATAN DOSA (HARAM DAN
MENINGGALKAN YANG WAJIB) SEPANJANG
WAKTU(SIANG DAN MALAM)
TERMASUK DI DALAMNYA : MENJAUHI
MENGUMPAT, AMARAH, ROFATS (BERBICARA
MESUM), MENUTUP AURAT, MENJAGA SHALAT
WAJIB, DAKWAH, HALQAH, DSB.
12. Tingkatan Saum
RAMADHAN
PUASA ORANG KHUSUS
ُع ْوُجال ِهِامَي ِ
ص ْنِم ُهُّظَح ٍمِئاَص َّبُر
ُشَطَعال َو
“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia
tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali
rasa lapar dan dahaga.”
(HR. Ath Thobroniy dalam Al Kabir dan sanadnya
tidak mengapa.
Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1084
mengatakan bahwa hadits ini shohih ligoirihi –yaitu shohih dilihat dari jalur
lainnya).
13. Perusak Pahala Saum
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ِ
ص ْنِم ُهُّظَح ٍمِئاَص َّبُر
ُع ْوُجال ِهِامَي
ُشَطَعال َو
“Betapa banyak orang yang berpuasa namun
dia tidak mendapatkan dari puasanya
tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.”
(HR. Ath Thobroniy dalam Al Kabir dan
sanadnya tidak mengapa)
14. Perusak Pahala Saum
Berkata Dusta (az zuur)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْال َو ِ
ورُّالز َل ْوَق ْعَدَي ْمَل ْنَم
َْسيَلَف ِهِب َلَمَع
ِ َّ ِ
َلِل
َش َو ُهَماَعَط َعَدَي ْنَأ ىِف ٌةَجاَح
ُهَباَر
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan
dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh
dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.”
(HR. Bukhari no. 1903).
Apa yang dimaksud dengan az zuur? As Suyuthi
mengatakan bahwa az zuur adalah berkata dusta dan
menfitnah (buhtan). Sedangkan mengamalkannya
berarti melakukan perbuatan keji yang merupakan
konsekuensinya yang telah Allah larang. (Syarh Sunan
Ibnu Majah, 1/121, Maktabah Syamilah)
15. Berkata lagwu (sia-sia)
dan rofats (kata-kata porno)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
َو ِلْكَألا َنِم ُماَيّ ِ
الص َْسيَل
اَمَّنِإ ، ِبَرَّشال
َفَّالر َو ِوْغَّالل َنِم ُماَيّ ِ
الص
َأ ََّكباَس ْنِإَف ، ِث
ٌدَح
ْلُقَتْلَف َْكيَلَع َلُهَج ْوَأ
:
يِّنِإ ، ٌمِئاَص يِّنِإ
ٌمِئاَص
“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan
tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan
rofats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil
padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang
puasa”.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim. Syaikh Al Albani
dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1082 mengatakan bahwa
hadits ini shohih)
Perusak Pahala Saum
16. Perusak Pahala Saum
Melakukan Berbagai Macam
Maksiat
Perhatikanlah saudaraku petuah yang sangat
bagus dari Ibnu Rojab Al Hambali berikut :
“Ketahuilah, amalan taqorub (mendekatkan diri)
pada Allah Ta’ala dengan meninggalkan berbagai
syahwat (yang sebenarnya mubah ketika di luar
puasa seperti makan atau berhubungan badan
dengan istri) tidak akan sempurna hingga
seseorang mendekatkan diri pada Allah dengan
meninggalkan perkara yang Dia larang yaitu
dusta, perbuatan zholim, permusuhan di antara
manusia dalam masalah darah, harta dan
kehormatan.”
(Latho’if Al Ma’arif, 1/168, Asy Syamilah)
17. Perusak Pahala Saum
Tidak Membatalkan Saum
Ibnu Rojab berikut :
“Mendekatkan diri pada Allah Ta’ala dengan
meninggalkan perkara yang mubah tidaklah akan
sempurna sampai seseorang menyempurnakannya
dengan meninggalkan perbuatan haram. Barangsiapa
yang melakukan yang haram (seperti berdusta) lalu
dia mendekatkan diri pada Allah dengan
meninggalkan yang mubah (seperti makan di bulan
Ramadhan), maka ini sama halnya dengan seseorang
meninggalkan yang wajib lalu dia mengerjakan yang
sunnah. Walaupun puasa orang semacam ini tetap
dianggap sah menurut pendapat jumhur (mayoritas
ulama) yaitu orang yang melakukan semacam ini
tidak diperintahkan untuk mengulangi (mengqodho’)
puasanya.
18. PUASA ORANG PALING KHUSUS
TIDAK HANYA SEKEDAR MENJAUHI PEMBATAL SAUM UMUM
BERKAITAN : MAKAN, MINUM, DAN JIMA’ DI SIANG HARI
TIDAK HANYA MENJAUHI PERKATAAN DAN PERBUATAN DOSA
(HARAM DAN MENINGGALKAN YANG WAJIB) SEPANJANG
WAKTU(SIANG DAN MALAM)
TAPI JUGA HATINYA TIDAK LEPAS DARI ALLAH SWT DAN HARI
AKHIRAT, DAN MENJAUHI PERKARA DUNIA YANG TIADA
SANGKUT PAUTNYA DENGAN ALLAH DAN KAMPUNG AKHIRAT
ARTINYA SELURUH PERKATAAN DAN PERBUATANNYA DITUJUKAN
UNTUK RIDHA ALLAH DAN MENAMBAH TIMBANGAN AMAL BAIKNYA
SEMUA AKTIVITASNYA DIKAITKAN DENGAN PERBUATAN SUNNAH
SEPANJANG WAKTU (SIANG DAN MALAM). PERBUATAN MUBAH
YANG DILAKUKAN ADALAH DALAM RANGKA TEKNIS MELAKUKAN
PERBUATAN YANG SUNNAH DAN YANG WAJIB.
20. AGAR RAMADHAN
BERMAKNA
َمَآ َينِذال اَهُّيَأ اَي
ْيَلَع َبِتُك واُن
ُمُك
َبِتُك اَمَك ُماَي ِ
الص
ِم َينِذال ىَلَع
ْن
ْمُكِلْ َق
ْمُكلَعَل
َونُقتَت
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan
bagi kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan
pada orang-orang sebelum kalian agar kalian
menjadi orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Al Baqarah: 183).
24. AGAR RAMADHAN
BERMAKNA
PUASA ORANG KHUSUS
MEMBUTUHKAN ILMU FIKIH APA
SAJA YANG HARAM DAN APA YANG
WAJIB, ILMU TENTANG SKALA
PRIORITAS AMAL (AULAWIYAT)
27. Syarat bagi Seseorang
Diwajibkan Saum
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Tidak Berudzur yang Boleh
Tidak Saum
1. Safar
2. Sakit
3. Haidh
4. Nifas
5. Dharar
Udzur Syar’i Saum
6. Lansia
7. Hamil
8. Menyusui
9. Tidak tahu
28. Rukun Saum
1. Niat
2. Imsak (menahan diri) dari
segala yang membatalkan
puasa dari terbit fajar sampai
terbenam matahari
Pembatal Saum yang
Disepakati
1. Sengaja Makan
2. Sengaja Minum
3. Sengaja Muntah
4. Jima’
29. Tidak membatalkan saum
yang disepakati ulama
1. Berkumur
2. Muntah tidak sengaja
3. Makan minum tidak sengaja
4. Keluar mani tidak sengaja
5. Menyegarkan badan
6. Memasukkan air ke hidung
7. Mencium istri tanpa keluar mani
8. Mencicip makanan untuk dikeluarkan lagi
9. Keluar darah tanpa sengaja
10.Menghirup aroma, asap dan uap di udara
bebas
30. Pembatal Saum yang
Tidak Disepakati
1. Merokok
2. Menghirup dupa dan uap secara
intensif
3. Memakai obat lewat hidung
4. Infus dan suntik
5. Sengaja keluar mani
6. Bekam
7. Operasi dan cabut gigi
8. Memakai tetes mata & celak
9. Donor darah dan transfusi darah
10.Memasukkan sesuatu lewat qubul
dan dubur, kentut di dalam air
31. Pangkal perbedaan
pendapat
Apakah yang menyebabkan batal
saum? Berkaitan dengan ‘illat:
1. Makan, minum, muntah, dan
peristiwa keluar masuknya zat
melalui kerongkongan
2. Makan, minum, muntah, dan
peristiwa keluar masuknya zat
makanan ke tubuh melalui mana saja
3. Makan, minum, muntah, dan
peristiwa keluar masuknya zat apa
saja melalui tubuh
32. Pendapat 1 :
Makan, minum, muntah, dan peristiwa
keluar masuknya zat melalui
kerongkongan
Dalam al-Qur’an dan al-Hadits tidak
menyebutkan ‘illat makan, minum dan
muntah.
Sehingga makan, minum dan muntah
adalah difahami saja faktanya :
memasukkan zat secara sengaja
melewati kerongkongan (jalan makan ke
lambung)
Pendapat : Syaikh Taqiyyuddin An-
Nabhani
33. Pendapat 1 :
Makan, minum, muntah, dan peristiwa
keluar masuknya zat melalui
kerongkongan
MEROKOK, MENGHIRUP SHISHA DAN
VAPE MEMBATALKAN PUASA KARENA
HIRUPAN ITU DILAKUKAN SECARA
SENGAJA DAN INTENSIF DAN
KENIKMATAN ITU BUKAN HANYA KE
PARU-PARU TAPI JUGA
KERONGKONGAN DAN LAMBUNG,
MAKANYA DALAM BAHASA ARAB
DISEBUT “SYIRBUL DUKHAN”
34. Pendapat 1 :
Makan, minum, muntah, dan peristiwa
keluar masuknya zat melalui
kerongkongan
OBAT YANG TUJUANNYA KE HIDUNG
DAN PARU-PARU TIDAK
MEMBATALKAN SAUM, APALAGI
MELALUI JALAN LAIN SEPERTI INFUS,
DONOR, TRANSFUSI, SUNTIK, OBAT
MELALUI ANUS, KENTUT DI AIR,
PENDARAHAN, MENGHIRUP AROMA,
SEMUA DI ATAS TIDAK MENYEBABKAN
BATALNYA SAUM.
35. Pendapat 2 :
Makan, minum, muntah, dan peristiwa keluar
masuknya zat makanan ke tubuh melalui
mana saja
Terdapat ‘illat bahwa makan dan minum itu
menguatkan tubuh dan muntah melemahkan
tubuh. Seperti halnya haidh dan nifas.
Pendapat Imam Syafi’i
Maka : memasukkan air dan zat makanan
lewat mana saja akan batal puasanya, bekam
dan pendarahan yang banyak yang
melemahkan tubuh akan batal, transfusi
darah, masuknya air ke lubang dubur dan
qubul, infus, merokok, semua akan
membatalkan. Tapi kalau obat tidak.
36. Pendapat 3:
Makan, minum, muntah, dan peristiwa
keluar masuknya zat apa saja ke tubuh
melalui mana saja
Terdapat ‘illat bahwa makan dan minum itu
menguatkan tubuh dan muntah
melemahkan tubuh. Seperti halnya haidh
dan nifas.
Maka : memasukkan air dan zat makanan
lewat mana saja akan batal puasanya,
bekam dan pendarahan yang banyak yang
melemahkan tubuh akan batal, transfusi
darah, masuknya air ke lubang dubur dan
qubul, infus, merokok, semua akan
membatalkan. Termasuk obat.
37. Pangkal perbedaan
pendapat
Apakah yang menyebabkan batal
saum? Berkaitan dengan ‘illat:
1. Keluar mani dengan sengaja tidak
membatalkan saum karena tidak ada
‘illat
2. Keluar mani dengan sengaja
membatalkan saum karena ada
larangan mengumbar nafsu
38. Keluar mani sengaja:
puasa batal
Dalam hadits qudsi yang shahih, Allah Ta’ala berfirman,
َو ُهَباََرش َو ُهَماَعَط ُعَدَي
ْنِم ُهَت َوْهَش
ىِلْجَأ
“Orang yang berpuasa itu meninggalkan makan, minum
dan syahwat karena-Ku.” (HR. Ahmad, 2: 393, sanad
shahih).
Onani dan mengeluarkan mani dengan paksa termasuk
bentuk syahwat. Jumhur ulama’ mengatakan batal.
Pendapat ini lebih berhati-hati dan inilah yang terpilih,
karena syahwat tidak dijelaskan harus jima’ dan
disandingkan dengan makan minum.
39. Keluar mani sengaja: dosa
tapi puasa tidak batal
Dalam hadits qudsi yang shahih, Allah Ta’ala berfirman,
َو ُهَباََرش َو ُهَماَعَط ُعَدَي
ْنِم ُهَت َوْهَش
ىِلْجَأ
“Orang yang berpuasa itu meninggalkan makan, minum
dan syahwat karena-Ku.” (HR. Ahmad, 2: 393, sanad
shahih).
Syahwat di situ adalah jima’ (berhubungan seksual).
40. Kafarat Orang yang Jima’
di Siang Ramadhan
Dari Abu Hurairah ra, Seorang lelaki datang menemui Nabi saw.
dan berkata: Celaka saya, wahai Rasulullah. Beliau bertanya: Apa
yang membuat engkau celaka? Lelaki itu menjawab: Saya telah
bersetubuh dengan istri saya di siang hari bulan Ramadan. Beliau
bertanya: Apakah engkau mempunyai sesuatu untuk
memerdekakan seorang budak? Ia menjawab: Tidak punya. Beliau
bertanya: Mampukah engkau berpuasa selama dua bulan berturut-
turut? Ia menjawab: Tidak mampu. Beliau bertanya lagi: Apakah
engkau mempunyai sesuatu untuk memberi makan enam puluh
orang miskin? Ia menjawab: Tidak punya. Kemudian ia duduk
menunggu sebentar. Lalu Rasulullah saw. memberikan
sekeranjang kurma kepadanya sambil bersabda: Sedekahkan lah
ini. Lelaki tadi bertanya: Tentunya aku harus menyedekahkannya
kepada orang yang paling miskin di antara kita, sedangkan di
daerah ini, tidak ada keluarga yang paling memerlukannya selain
dari kami. Maka Rasulullah saw. pun tertawa sampai kelihatan
salah satu bagian giginya. Kemudian beliau bersabda: Pulanglah
dan berikan makan keluargamu (Muttafaq ‘alaih)
41. Kafarat Orang yang Tidak
Saum Ramadhan 1 hari
Begitu juga dalam kesempatan yang lain Hurairah juga ia
berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah saw.
kemudian berkata, ‘Aku tidak berpuasa sehari di bulan
Ramadhan dengan sengaja.’ Rasulullah saw. bersabda,
‘Memerdekakan budak, atau puasalah dua bulan berturut-
turut, atau berilah makan enam puluh orang miskin’.”
(Muttafaq ‘alaih).
Berdasarkan hadist shahih dari Abu Hurairah ada 3
pilihan jenis kafarat yang disesuaikan dengan
kemampuan orang yang akan menjalankan kafarat itu
sendiri yaitu ;
1. Memerdekakan budak,
2. Berpuasa 2 bulan berturut-turut, dan
3. Memberi makan 60 orang miskin
42. Bila udzur hilang saat
siang hari, apakah harus
imsak?
1. Dia wajib menghindari makan dan minum,
sebagaimana orang puasa, hingga maghrib.
Sekalipun hari itu tidak dihitung sebagai
ibadah puasa. Namun dia diharuskan
menahan makan dan minum dalam rangka
menghormati ramadhan. Ini merupakan
pendapat Hanafiyah dan Hambali.
2. Dia dianjurkan untuk tidak makan dan tidak
minum, sebagaimana orang puasa. Namun ini
tidak wajib. Ini adalah pendapat Syafi’iyah.
3. Dia dibolehkan makan dan minum,
sebagaimana orang yang TIDAK berpuasa.
Karena puasa adalah ibadah satu kesatuan.
Jika batal di awal maka batal semuanya. Ini
merupakan pendapat Malikiyah.
43. Puasa Ibu Hamil &
Menyusui
Jika wanita hamil takut terhadap janin yang berada
dalam kandungannya dan wanita menyusui takut
terhadap bayi yang dia sapih karena sebab keduanya
berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa.
Hal ini disepakati oleh para ulama. Dalil yang
menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
َض َو َّلَج َو َّزَع َ َّ
َّللا َّنِإ
َش ِ
رِفاَسُمْال ِنَع َع
َرْط
َو ِ
رِفاَسُمْال ِنَع َو ِةَالَّصال
ِ
ض ْرُمْال َو ِلِامَحْال
ِع
َامَيّ ِ
الص ِوَأ َم ْوَّصال
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menghilangkan
pada musafir separuh shalat. Allah pun menghilangkan
puasa pada musafir, wanita hamil dan wanita
menyusui.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa hadits ini hasan)
44. Qadha Puasa Ibu Hamil &
Menyusui
Pendapat pertama: wajib mengqodho’ puasa dan
memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari
yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Syafi’i, Imam
Malik dan Imam Ahmad. Namun menurut Syafi’iyah dan
Hanabilah, jika wanita hamil dan menyusui takut
sesuatu membahayakan dirinya (bukan anaknya),
maka wajib baginya mengqodho’ puasa saja karena
keduanya disamakan seperti orang sakit.
Pendapat kedua: cukup mengqodho’ saja. Inilah
pendapat Al Auza’i, Ats Tsauriy, Abu Hanifah dan murid-
muridnya, Abu Tsaur dan Abu ‘Ubaid.
Pendapat ketiga: cukup memberi makan kepada
orang miskin tanpa mengqodho’. Inilah pendapat Ibnu
Abbas, Ibnu ‘Umar, Ishaq, dan Syaikh Al Albani.
45. Qadha Puasa Ibu Hamil &
Menyusui
Pendapat keempat: mengqodho’ bagi yang hamil
sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan
mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin
bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat
Imam Malik dan ulama Syafi’iyah.
Pendapat kelima: tidak mengqodho’ dan tidak pula
memberi makan kepada orang miskin. Inilah pendapat
Ibnu Hazm.
46. Fidyah
Memberi makan orang miskin senilai puasa yang
ditinggalkan. Bagi orang lansia dan sakit yang tidak
diharapkan sembuh.
Pensyariatan fidyah disebutkan dalam firman
Allah Ta’ala,
ْدِف ُهَنوُقيِطُي َينِذَّال ىَلَع َو
ٍينِكْسِم ُماَعَط ٌةَي
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin” (QS. Al Baqarah: 184).
Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa
kadar fidyah adalah 1 mud bagi setiap hari tidak
berpuasa. Ini juga yang dipilih oleh Thowus, Sa’id bin
Jubair, Ats Tsauri dan Al Auza’i. Sedangkan ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa kadar fidyah yang
wajib adalah dengan 1 sho’ kurma, atau 1 sho’ sya’ir
(gandum) atau ½ sho’ hinthoh (biji gandum). Ini
47. Ukuran Fidyah
Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa
kadar fidyah adalah 1 mud (1/4 sha’) bagi setiap hari
tidak berpuasa. Ini juga yang dipilih oleh Thowus,
Sa’id bin Jubair, Ats Tsauri dan Al Auza’i. Sedangkan
ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kadar fidyah
yang wajib adalah dengan 1 sho’ kurma, atau 1 sho’
sya’ir (gandum) atau ½ sho’ hinthoh (biji gandum). Ini
dikeluarkan masing-masing untuk satu hari puasa
yang ditinggalkan dan nantinya diberi makan untuk
orang miskin.
Yang lebih tepat dalam masalah ini
adalah dikembalikan pada ‘urf (kebiasaan yang
lazim). Maka kita dianggap telah sah membayar
fidyah jika telah memberi makan kepada satu orang
miskin untuk satu hari yang kita tinggalkan.
48. Fidyah dengan Uang
Menurut tiga mazhab—Maliki, Syafi’i dan Hanbali—
tidak diperbolehkan menunaikan fidyah dalam
bentuk uang. Fidyah menurut pendapat mayoritas ini
harus ditunaikan dalam bentuk makanan pokok daerah
setempat.
Pandangan berbeda diutarakan oleh ulama
mazhab Hanafi. Menurut mereka, fidyah
boleh dibayarkan dalam bentuk uang.
Pandangan yang tepat dalam masalah ibadah
tidak bisa dicari-cari ‘illatnya sehingga FIDYAH
HARUS BERUPA MAKANAN (SEPERTI HALNYA
ZAKAT FITRAH)
49. Batas Qadha’
‘Siapa saja mengalami Ramadhan, lalu tidak berpuasa
karena sakit, kemudian sehat kembali dan belum
mengqadhanya hingga Ramadhan selanjutnya tiba,
maka ia harus menunaikan puasa Ramadhan yang
sedang dijalaninya, setelah itu mengqadha utang
puasanya dan memberikan makan kepada seorang
miskin satu hari yang ditinggalkan sebagai kaffarah,’ HR
Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi.
Jadi Qadha’ puasa diberikan waktu 11 bulan
sampai bulan Sya’ban tahun depannya.
Bila tidak terpenuhi maka di tahun kedua dia
harus puasa Qadha plus membayar fidyah.
50. Batas Qadha’
Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
ُصَت الَف ُانَبْعَش َفَصَتْنا اَذِإ
واُمو
“Kalau telah memasuki pertengahan Sya’ban,
maka janganlah kalian berpuasa.”
(Shahih Tirmizi, 590)
Ini hukumnya makruh bukan haram.