Diskusi terbatas membahas tentang krisis yang dihadapi NGO di Indonesia dan pentingnya inovasi. Beberapa pembicara menjelaskan tentang tantangan yang dihadapi NGO akibat krisis ekonomi global tahun 2008 yang memengaruhi sumber pendanaan, serta perlunya inovasi dalam pendekatan dan cara kerja NGO agar tetap relevan dengan permasalahan yang semakin kompleks. Diskusi ini bertujuan berbagi pengalaman dan pandangan untuk membantu NGO menemukan sol
1. Diskusi Terbatas “ Krisis NGO: Inovasi atau Mati”
Yayasan SatuDunia & INFID
Bidakara, 13 Mei 2011
Pembukaan oleh Luluk Uliyah:
Acara ini akan diisi oleh beberapa narasumber antara lain: Wahyu Susilo dari INFID, DR. Yanuar Nugroho,
Idaman Andarmosoko kemudian Ibu Dian Kartikasari dari Koalisi Perempuan. Kemudian ada sepatah
kata dari Ibu Rini Nasution (SatuDunia).
RN: Terimakasih untuk teman-teman yang sudah hadir untuk menyediakan waktunya hari ini. Ass wr.wb,
Salam sejahtera untuk kita semua. Hari ini SD dan Infid menggelar diskusi yang berjudul :Krisis NGO di
Indonesia: Berinovasi atau Mati. Kok sepertinya horor sekali judulnya, nanti akan dijelaskan oleh mas
yanuar, apa betul sudah seperti itu. Kemudian Mas wahyu akan menjelaskan koralisasi perubahan
perkembangan di tingkat global terhadap NGO di indonesia , karena menurut saya korelasinya cukup
kuat dan terjadi sudah cukup lama. Kita tahu bahwa inovasi terjadi pada saat krisis. Misalnya kalau
didunia bisnis itu terjadi inovasi dan source-source yang lebih banyak. Bagaimana dengan yang terjadi di
NGO, saya mencoba meng-googling dengan key word inovasi NGO di Indonesia sangat sedikit sekali
hanya ada nama mas yanuar lagi, mas yanuar lagi. Saya tidak tahu apakah memang ada tapi tidak
didokumentasikan atau saya memberikan key word yang salah. Tapi intinya kita ingin mendengar
setidaknya dari narasumber akan kita ketahui perkembangan NGO sekarang kaitannya dengan krisis
global. Catatanya, kalau dari saya sebagai aktifis bahwa dengan cara kerja yang sama yang kita lakukan
terus menerus. Bahayanya kalau kita merasa baik-baik saja dengan itu, merasa nyaman dengan itu
padahal kita tahu cara tersebut sudah terbukti gagal. Kita tidak tau cara barunya apa atau kita belum
menemukan cara kerja baru seperti apa. Yang pasti inovasi berkaitan dengan pengetahuan, karena
inovasi lahir dari pengetahuan. Yang menjadi penting bagaimana NGO memandang pengetahuan itu
sendiri. Apakah NGO dipandang sebagai factor produksi di NGO sendiri atau mereka masih
mengandalkan nama besar organisasi, entitas organisasi, jumlah konstituen, mungkin nama besar bord.
Belum melihat NGO sebagai salah satu factor utama produksi dalam pengetahuan Itu saja dari saya,
narasumber akan memberikan data-data
Saya mengajak teman-teman untuk belajar bersama. Dan kemudian akan ada diskusi dengan tematik
lain. Terimakasih ass.wr.wb
2. Moderator Firdaus Cahyadi (FC): Ass.wr.wb. selamat siang kawan-kawan. Untuk menghemat waktu ada
beberapa kawan yang mau bicara. Saya panggil pembicara satu persatu: mas wahyu, mas yanuar, mbak
dian dan mas Idaman untuk menjadi penanggap untuk diskusi ini.
Terimakasih. Pertama Mas Wahyu akan bicara peta politik ekonomi global dan krisis NGO di Indonesia.
Mas Yanuar peneliti dari Inggris, mbak dian akan bicara tentang inovasi-inovasi di gerakan perempuan
dan terakhir sebelum diskusi dengan floor nanti akan ditanggapi dahulu oleh mas idaman. Mas Idaman
adalah pekerja pengetahuan, dia cukup menginsipirasi pertarungan KM di NGO
WAHYU:
Terimakasih sebenarnya Don Marut yang bicara banyak krisis global dalam kaitannya NGO dan inovasi
tetapi . ada dua hal yang berbeda ketika bicara krisis dan inovasi di NGO. Kalau krisis pada tahun 97-98
melahirkan banyak NGO tetapi krisis terbaru 2008 menggemparkan banyak NGO. Ini menarik untuk
diurai, kreasi-kreasi apa yang telah dilakukan? Saya ingin bicara tentang konteks ke-sejarah infid sendiri
yg mengalami itu dan mengalami krisis beneran, krisis dalam situasi sekarang, dalam analisis apa yang
harus dilakukan. Sebelum krisis, NGO banyak bicara advokasi dan mengklaim sebagai gerakan
perlawanan. Dan orang punya ekspektasi berlebihan terhadap peranan NGO pada masa itu. Lebih lanjut
apakah peran itu punya akar? Kita pertanyakan lagi ketika aktifis NGO masuk politik electoral. Dulu, yang
punya massa itu adalahNGO dll. Tapi pada politik electoral, kita akui 90% yg masuk disitu gagal. Ada
legitimasi peran NGO ketika pada masa paska kejatuhan Suharto. Kalau pada masa Suharto itu memiliki
peran politik dianggap tinggi. Kalau kita bandingkan situasi dahulu dan sekarang, sangat kontras sekali.
Ketika W Kusuma atau Abdul Hakim pulang dari konferensi Infid selalu langsung digelandang ke kantor
Bakin untuk di interograsi. Ada anggapan berlebihan NGO itu adalah entity anti pemerintah, tetapi
ketika ada kegagalan di kalangan aktifis NGO yang gagal masuk politik electoral, NGO kehilangan
legitimasi politiknya. Bagi mereka yang selama ini masih percaya aktifitas NGO sekarang adalaah political
action. Ketika banyak inisiatif lain yg dibangun kawan-kawan NGO itu menjadi berkembang seperti
sekarang. Setelah kejatuhan Suharto, Infid buat serangkain kegiatan namanya Reposisi NGO , dimana
kita merumuskan apakah peran NGO sama seperti pada kekuasaan Suharto. Banyak rekomendasi dibuat
disitu. Itu menjadi kegelisahan kita juga. Seperti media, pada saat krisis NGO dan media booming sekali.
Kemudian sangat relevan untuk melihat eksistensi dan apakah dia mampu “bersaing” yang pada masa
Suharto dia kuasai. Ruang politik pada masa Suharto hanya kelompok NGO, kelompok mahasiswa yg
melakukan perlawanan yang menguasai itu. Tetapi pada masa sekarang, masa transisi demokrasi
sekarang semua orang bisa masuk ruang politik itu. Ini berbeda Ketika krisis yang terjadi pada th 2008.
Krisisnya tidak terjadi di Indonesia, tetapi terjadi dimana ini harus disebut sumber-sumber pembiayaan
NGO Indonesia berasal dari datang dari negara yang terjadi krisis. Menjadi tantantan bagi NGO dan
memperlihatkan selama masa itu tdk ada inisiatif NGO untuk membangun kemandirian yg pda saat
repoisisi itu ingin berubah menjadi bagian dr social movement. Saya kira mreka yg selama ini didanai
donor dari Belanda menirma kenyataan duitnya berkurang . Yan g mengerikan sekali kalau misalnya juga
krisis ini mempengaruhi peta politik. Pd election dahulu LSM dikuasai oleh partai buruh dan sekrang
dikuasai oleh partai yang konservatif. Itu juga mempengaruhi poltik luar negri dan mengalokasikan
3. bantuan internasional dimana didalamnya alokasi donor-donor NGO ke Indonesia. Mungkin ibu Dian
bisa bicara tentang ini yaitu pada komitmen internasional pada CSOeffectivenes atau development
effectiveness, ada pengakuan dari Ornop pembanguna. NGO diakui sebagai actor yg setara dalam
pembangunan tp disisi lain mendapat tantangan. Saya kira ini yang bisa saya sampaikan. Kalau pd krisis
97-98 berkah bg NGO krn stelah itua banyak donor yg masuk sdg kiris 08 ini menjadi tantang yang berat
bagi NGO. Menantang kemandirian NGO bukan soal pembiayaan tetapi dalam langkah-langkah
aktifitasnya. Demikian pengantar dari saya.
YANUAR:
Selamat siang teman-teman. Saya dulu terlibat di beberapa NGO di sini. Yang saya kerjakan di
Manchester, saya menjadi peneliti di institute kajian inovasi. Nama lengkapnya Intitute Inovation
Research. Salah satu topic yang saya teliti adalah inovasi di sector ke tiga. Kalau gambar kecil NGO kita
zoom out . ada satu sector secara sosiologis yang disebut sector ke tiga. Sector yang pertama disebut
sector public atau penyelenggaran tata kelolaan pemerintahan (public agencies), sector kedua kinerja
pasar dan sektor ketiga adalah yang diluar itu, yang umumnya disebut voluntary, charity, non
governmental/ non profit. Saya lebih banyak berkutat kepada kebijakan iptek dan inovasi fokusnya
lebih banyak di sector pertama dan kedua td. Baru 3 tahun ini menawarkan ke Manchester untuk focus
di sector ke tiga ini. Yang saya kerjakan saat ini mencoba memetakan seperti apa sector ke 3
berinovasi.Dari penelitian di Vietnam, kamboja untuk melihat Inisiatifi-inisiatif yang muncul dari bawah
seperti apa. Ketika bicara krisis, segera yang muncul adalah krisis financial. Sementara benar bahwa kiris
pemicunya adalah financial tetapi apakah krisisnya benar dari sana? Ada 4 butir yang ingin disampaikan.
Bagaimana kita merefleksikan situasi yang ada.
Mengapa perlu inovasi?
• Masalah ‘development’ dan ‘policy’ (termasuk ‘rights’) yang tak kunjung usai … J
Masalah ‘baru’:
• Tak sekedar non-state ataupun non-business …
• … bahkan tak sekedar non-sektarian
• Ketercerabutan ide dari praksis tindakan
• Stagnasi cara pikir, gagasan, dan tindakan
• Masalah baru dipahami dengan cara pikir lama
• Masalah baru dimengerti dengan kerangka gagasan lama
Masalah baru ditanggapi dengan tindakan lama
4. Masalah development dan policy tambah rumit, yang lama belum selesai . masalah itu bukan
sekedar masalah non state/non bisnis atau bukan sekedar non sectarian. Ini terjadi karena
ketercerabutan ide dari praksis tindakan. Apa yang kita gagas tercerabut dari konteks riil. Mulai
dari cara kita menggunakan teknologi sampai cara bersikap. Mobilnya boleh Jaguar tapi cara
berfikirnya becak. Yang terjadi sekrang ini, struktur kita dalam hidup kita ini. Gagasan tentang
kemajuan, obsesi tentang keberhasilan, obsesi tentang kesuksesan tercabut dari konteks riil
dimana kita ada. Itu yang saya kira secara konseptual menjadi benang merah krisis. Akibatnya
stagnan. Masalahnya baru yang dipahami dengan cara lama.
Saya tarik sedikit teoritis agar kita tidak latah. Apa itu inovasi dari gagasan dasarnya?
Memahami inovasi
Joseph Alois Schumpeter (1883 -1950) adalah seorang
ekonom dan ilmuwan politik. Dia mempopulerkan istilah
"creative destruction" dalam ilmu ekonomi dan
meletakkan dasar yang jelas atas konsep
kewirausahaan. Dia membedakan penemuan
(inventions) dari inovasi wirausahawan. Schumpeter
menunjukkan bahwa wirausahwan berinovasi tak hanya
lewat bagaimana menggunakan penemuan-penemuan,
tetapi juga lewat cara baru berproduksi, produk baru, dan
bentuk baru organisasi. Inovasi semacam ini butuh
ketrampilan yang sama dengan yang dibutuhkan untuk
membuat penemuan baru.
Inovasi oleh para wirausahawan, menurut Schumpeter, menciptakan arus “creative
destruction” karena menyebabkan hal-hal, gagasan-gagasan, teknologi-teknologi,
ketrampilan-ketrampilan dan alat-alat lama menjadi usang. Pertanyaannya bukan “…
bagaimana kapitalisme mengelola struktur yang sudah ada, … [melainkan]
bagaimana ia menciptakan dan menghancurkannya.” Destruksi kreatif inilah,
menurutnya, yang menyebabkan kemajuan dan perbaikan terus-menerus dan
meningkatkan standar hidup semua orang.
Argument dia adalah yang inovatif itu tidak kalah dengan yang inventif, mengapa? Turunannya adalah
yg inovatif itu membawa kita sampai ke pasar. Pasar kita siapa? Beneficiaries kita siapa? Kelompok
dampingan kita siapa? Para guru, petani yang kita dampingi, buruh,atau staf kita? Yang mana? Kalau
kita belum cukup jelas barangkali pendekatan kita kurang tepat. Kajian inovasi pecah dibeberapa arus.
Arus Neolib menggunakan inovasi semata-mata untuk perluasan pasar, produk dan jasa. Yang lain,
inovasasi itu digunakan bukan untuk kapitalis mengolah strukur tetapi menghancurkan kemudian
membangun lagi, menuju ke tata kelola yang lebih baik, itu yg digunakan oleh gagasan ekonomi
evolusioner.
Kalau kita mau bicara inovasi di masyarakat sipil beberapa butir yang saya sebut kan disini adalah :
5. Inovasi (sosial) di masyarakat sipil
• Meningkatnya peran organisasi masyarakat sipil didalam tata hidup
bersama di masyarakat
• Organisasi masyarakat sipil membentuk dan mempengaruhi dinamika
sektor–sektor sosial lainnya
l
• Namun inovasi (di) organisasi masyarakat sipil jarang dipelajari.
• Definisi sempit dan tradisional tentang inovasi
• Hakikat organisasi masyarakat sipil yang berbeda (?) dari organisasi lain
• Sedikit sekali contoh tentang inovasi di organisasi masyarakat sipil umumnya:
difusi teknologi atau gagasan-gagasan modernitas dalam organisasi masyarakat
sipil
• Eksplorasi
• Sejauh apa, dengan cara apa saja, dan untuk tujuan apa saja inovasi (sosial) sudah
dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil?
• Apa saja proses yang terlibat ketika inovasi didatangkan dan diadopsi oleh
organisasi masyarakat sipil?
• Bagaimana organisasi masyarakat sipil melakukan dan telah menggunakan inovasi
secara strategis dalam operasi (dan dalam upayanya meneruskan tujuan)
organisasi? Apa implikasinya?
Dalam 2-3 tahun ini saya meneliti social media dan internet yang dikerjakan oleh masyarakat sipil. Yang
tadi malam laporannya direalese di Goethe. Bisa diambil di websitenya Hivos atau Manchester. Salah
satu hasil penelitian itu adalah persoalan ketercerabutan yang seperti sudah sayaa jelaskan tadi. Dan itu
membawa pengaruh banyak. Maksudnya? Perkembangan teknologi ini, hakekatnya eksponensial tetapi
perkembangan sosietal kita linear
6. Refleksi: Salah satu masalah “baru”
P technological development
societal (social, economic,
cultural, etc.) development
t
Ketercerabutan sebagai akibat-tak-termaksud (unintended
consequence) dari adopsi modernitas –
berdampak sosietal (sosial, budaya, politik, ekonomi, dll.)
Social budaya selalu linear, anda tidak bisa melawan hukum alam . teknologi tidak, dia berkembang
eksponensial . dengan kata lain gab nya semakin besar. Dengan kata lain pembuat teknologi tidak
bermaksud “jelek”. Tetapi dalam setiap produk intended result (hasil yang dimaksudkan) dan
unintended consequence. Saya bericontoh misalnya bagaimana kaitan Ponsel dan hilangnya hutan jati di
wonosari. Itu memunculkan masalah baru bagi masyarakat sipil disana. Mereka becerita hutan jati itu
ditebang karena ponsel sudah menjadi gaya hidup tidak sekedar teknologi. Disini ada status, harga diri,
cara hidup. Menempatkan mereka pd level sosial yg berbeda. Cara paling cepat, mereka menebang jati
dan dibelikan handpone dan motor. Tidak hanya hutan jati yang hilang. Cerita lengkapnya ada di slide
dibawah ini.
7. Sekedar melihat data …
• “Ponsel telah sangat mengubah hidup kami. Di situ [sambil menunjuk]
dulunya hutan jati. Tapi sekarang sudah tidak ada. Orang-orang menebang
pohon jati dan menjualnya dengan cepat supaya bisa membeli ponsel dan
sepeda motor! Sekarang tidak ada yang bisa hidup tanpa ponsel. Tapi,
biaya untuk mengisi pulsa [ponsel] secara rutin sangat mahal. Jadi, orang
harus mencari kerja yang membuat mereka bisa membeli pulsa. Kerja apa?
Jadi tukang ojek! Karena gampang dan hasilnya cukup untuk membeli
pulsa. Betul kan?” (NN, penduduk desa Wonosari, wawancara, 12/10/10)
• “… Sekarang di daerah ini sudah tidak ada lagi becak. Tukang becak harus
pindah ke daerah lain atau harus berganti pekerjaan baru. Ini juga gara-gara
ponsel. Sebelum ada ponsel, kami harus naik becak begitu turun dari bis.
Sekarang, sebelum bisnya sampai, kami bisa menelepon rumah dan minta
keluarga untuk menjemput di tempat turun dari bis. Atau kita bisa
memanggil tukang ojek yang juga sudah punya ponsel.” (NN, penduduk
Wonosari, wawancara, 12/10/10)
Networking sebagai inovasi sosial OMS
Dari beberapa pengamatan yang kami lakukan dalam penelitian ini, baik di Indonesia maupun di
beberapa Negara di asia tenggara. Inovasi ada pada cara mereka berjejaring. Saya mengamati , saya
bertemu dengan 2 buah NGO, pertama NGO yang dibuat oleh raja sendiri namana Carit Patana di
8. Thailand dan beberapa kelompok NGO yang muncul dari bawah. Misalnya bagaimana mereka mau
mengajarkan pendidikan HAM di sekolah-sekolah Thailand, mereka harus melakukan pendekatan
langsung ke guru-guru sekolah, yang dahulunya tidak pernah mereka kerjakan. Bagaimana Tainat Reset
ketika Thaksin dijatuhkan, komunikasi internet di block. Bagaimana mau melawan itu lewat kampanye-
kampanye dari jalur-jalur yang dahulunya mereka tidak pernah kerjakan. Dalam setiap pekerjaan
mereka adanya suatu kemampuan berjejaring . Berjejaring mereka tidak hanya dengan donornya, tidak
hanya berjejaring dengan NGO yang sama pemikiran, tetapi juga ke NGO yang berbeda. Saya melihat
ada 5 area yaitu:
1. Coloboration
2. Mobilitation
3. Empowerment and development
4. Research and publication
5. Advocation and monitoring
Ini adalah area yang kami lihat ada ketika teman-teman di asia tenggara ini. Carit Patana di Thailand
memang adalah NGO kaya dan ekstrim perbandingannya kalau kita lihat dr NGO-NGO disini. Yang terjadi
adalah banyak sekali dari kita, ketika mengangkat isu yang muncul adalah jargon, yang muncul adalah
kata-kata besar tetapi tidak didukung oleh riset yang memadai. Memang tidak semua seperti itu. Secara
umum, secara umum saya kira yang membuat beberapa orang menjadi tidak berfikir positif dan tidak
didukung karena yang muncul adalah claim, yang muncul itu-itu saja, karena kapasitas menelitinya tidak
cukup. Sangat berbeda kalau kita bicara dengan kelompok-kelompok yang well equipt dan punya
kapasitas riset. Ketika kita berargumen akan berakhir..ini Neolib, selalu itu terus yang muncul ketika kita
bicara political economy. Bukan salah, tetapi argument besar yang disebut Neolib itu bisa dibunyikan
dengan banyak cara. Dilengkapi dengan banyak data kalau kita dilengkapi denga kapasitas melakukan
kajian. Kalau tidak melengkapi diri, saya percaya gagasan pokok tidak akan berubah, tetapi seharusnya
cara kita mengelaborasinya itu yang harus berkembang.
Karena itu imperatifnya adalah menanam kembali gagasan tadi.
9. Imperatif: Menanam kembali ‘kemajuan’ …
• “…Sejak memiliki akun dan komunitas sendiri di Facebook, kami berusaha
memanfaatkannya semaksimal mungkin. [Kami] memiliki 378 anggota yang
sebagian adalah senior yang sudah jarang aktif dalam aktivitas sehari-hari
organisasi. Ketika kami harus menarik iuran anggota pada awal Juni lalu, kami
tinggal mempublish nama-nama anggota kami di facebook dan mengumumkan
keharusan membayar iuran sebesar Rp 120 ribu/tahun. Sejumlah anggota senior,
yang sebelumnya bahkan sudah bertahun-tahun tak pernah menghubungi
pengurus, mendadak menelepon dan mengutarakan keinginannya untuk segera
melunasi iuran. Itulah kehebatan [media sosial] untuk menunjang organisasi
masyarakat sipil.”
• “…Sepuluh jam sebelum pilihan legislatif tempo hari, kami menggerakkan arah
pilihan partai lewat email dan SMS ke 8.000 alamat email dan SMS di seluruh
Indonesia.Tanggapan postif menyatakan bahwa mekanisme itu effktif bisa
bekerja. Kami menggunakan email dan facebook untuk menggerakkan secara
periodik semua jaringan lapis satu (15 NGO partner), lapis dua (organisasi
alumni) dan lapis tiga (para alumni) untuk membangun sikap perkawanan dengan
12.750 alumni pelatihan yang sekarang aktif di seluruh Indonesia dan
menyambung silaturahmi serta mendapatkan umpan balik dari mereka …”
Imperatif: Menanam kembali ‘kemajuan’ …
“Yang menjadi masalah [terkait dengan isu HAM] adalah sering diadu dengan syariat Islam. Publik
memiliki persepsi bahwa HAM adalah masalah dunia Barat, dan tidak universal. Sehingga sangat
sulit untuk melakukan sosialisasi mengenai masalah HAM di Aceh...Internet, media sosial seperti
Facebook, dapat memainkan peran penting di sini. Jika kita dapat mengedukasi publik, jika kita
dapat mengubah pemahaman bahwa HAM adalah masalah kita semua, maka kita telah berhasil...[
M]asalah paling serius [di Aceh] adalah mengelola perbedaan. Jika Anda bukan muslim, itu tidak
masalah. Anda bisa memakai apa saja dan berbuat apa saja. Tapi, jika Anda muslim, Anda harus
mengenakan jilbab dan harus melakukan perintah agama; serta harus berpikir sesuai petunjuk
agama. Ini membuat sangat sulit bagi kami untuk bicara tentang HAM dan nilai pluralisme... Anda
tentu tahu bahwa hukum syariah diterapkan di Aceh. Tapi sekarang semua sudah semakin
ekstrem. Sekarang ada wacana publik mengenai apakah hukuman rajam dan potong tangan harus
dilegalkan. Bahkan pada tingkat masih berupa wacana, kami menemukan beberapa buku
pelajaran sekolah sudah memuat bagaimana kedua hukuman tersebut dijalankan... Jadi sekarang
kami harus mengubah strategi kami. Berkat menjamurnya hotspot gratis di Aceh, orang sekarang
terhubung ke Internet. Sebagian besar dari mereka – semua dari mereka malahan- menggunakan
Facebook. Sekarang kami menggunakan Facebook untuk mengkampanyekan HAM dan
pluralisme. Kami belum dapat mengatakan kami sudah berhasil, tapi kami dapat melihat semakin
banyak generasi muda yang sadar dengan masalah tersebut; bagaimana masalah tersebut
didiskusikan terbuka di sekolah- sekolah, di milis; bahkan bagaimana banyak pejabat tingkat
tinggi melibatkan diri dalam wacana ini. Saya yakin, sekarang, akan terjadi penolakan publik
apabila rencana penerapan hukuman tersebut dijalankan .” (NN, nama dan organisasi
dirahasiakan, focus group Aceh, 4/10/10)/
10. Refleksi – Catatan untuk diskusi
• Kemajuan melahirkan “virtualitas”. Apakah realitas yang lahir dari
virtualitas ini melahirkan komitmen virtual? E.g. “click activism”?
• Asumsi – yang diandaikan:
• infrastruktur teknologis (platform, jaringan, dll.)
• kerangka kebijakan
• budaya komunikasi dan berjejaring
• Implikasi
• Imperatif inovasi
• Imperatif gerakan sosial
Vitualitas memunculkan komitmen yang virtual. Kalau kita mau berdiskusi lebih jauh, bicara tentang
inovasi, salah satu butir ini, bagaimana virtualitas itu kita sikapi? itu sebagai renungan kita. Asumsi yang
diandaikan adalah tentu soal infrastruktur. Kalau teman-teman di NGO adalah soal funding, soal orang
dll tetapi juga tentang trail kebijakan, kebijakan budaya berkomunikasi, budaya berjejaring dan juga
tentang implikasinya.
Dari catatan saya yang berbeda sedikit dari catatan mas Wahyu tadi, melihat gagasan inovasi ini dari
kerangka ini dulu. Sekian.
FC: selanjutnya mbak Dian akan bicara inovasi di gerakan-gerakan perempuan Indonesia.
DIAN (gerakan perempuan di Indonesia)
Kalau tadi mas wahyu bicara inovasi relefansinya dengan uang dan situasi …dan mas yanuar bicara
tentang organisasinya. Mungkin agak berbeda dengan yang dialami kelompok prempuan di pedesaan
dan di perkotaan. Berbeda kalau Koalis Perempuan adalah ormas bukan LSM. Krisis bukan soal
bagaimana kita bekerja? Sesungguhnya krisis di dalam masyarakat sipil dan kelompok perempuan ada
persoalan krisis management dalam organisasi, tata kelola dalam organisasi. Leadershipnya seperti apa,
kaderisasi seperti apa? Di kelompok perempuan terasa betul ketika kita mendorong 30% keterwakilan
perempuan, yang sudah naik itu masuk kedalam partai politik. Tetapi kita tidak selesai dengan
mengkaderan kawan-kawan yang masih muda. Belum lagi dengan tata kelola yang semakin birokratis.
11. Kerja-kerja kawan-kawan yang dulunya voluntarisme sekarang menjadi sangat birokratik dan
teknokratik. Kawan-kawan anggaran menyebut sekian persen….dia tidak bicara substansi arahnya
kemana. Mau mencapai apa? Saya melihat krisis agak serius yang kita alami.
Selain itu karena tata kelola sudah menjadi birokratik, dan adanya konflik internal itu menjadi tinggi.
Tidak selesai di konflik internal, tetapi kita ingin kerja selesai dan berkoloborasi melalui networking juga
tidak membuat jaminan pekerjaan kita menjadi kuat.
Konsistuen mereka itu siapa? Suara yang mengadvokasi dengan suara yang diadvokasi bisa berbeda.
Menurut saya ini adalah persoalan. Sekarang teman-teman NGO bukan membaca sebagai kepentingan
konstituen tetapi sekarang lebih banyak membaca literature.
Menggalang dana public bukan pekerjaan yang sulit kalau masyarakat asal kita tahu caranya. Ketika
Merapi, Kesetiakawanan untuk saudara kita korban merapi, seribu rupiah per orang, itu bisa datang
banyak sekali. Tetapi saya tdk bisa membayangkan kalau kawan-kawan bicara tentang HAM yang lebih
complicated. Sangat sulit. Saya tidak tahu bagaimana kawan-kawan masyarakat sipil bicara tentang
HAM, bagaimana kelompok sipil menterjemahkan pikiran-pikirannya kedalam bahasa yang dimengerti
rakyat. Bagaimana mendeliver gagasan/ide agar sampai ke masyarakat.
Masy sipil melihat, advokasi menjadi lebih tinggi dari pekerjaan lainnya tetapi pekerjaan
pengorganisasian ditinggal. Orang bisa datang berpuluh ribu ketika cicak lawan buaya karena kita
mengorganisasi ide melalui virtual. Atau misalnya menggerakan 3000 orang ibu-ibu di NTT untuk datang
karena adanya pengorganisasian riil.
Saya melihat di beberapa kawan sudah berinovasi walaupun berbeda. Misalnya kawan NGO di Jakarta
berkelimpahan dana dr funding pasti mampu membuat proposal tetapi kawan-kawan di Indramayu, dia
pasti bisa melakukan advokasi “Stop penganiayaan di sekolah”. Dia datang ke dinas pendidikan,
bagaimana caranya agar semua guru dan orang tua dilibatkan? Merka datang ke pertemuan
mendengarkan Kak Seto dengan membayar 10 ribu per orang. Dia bisa melakukan kampanye dan dia
bisa menggalang dana 80 juta untuk kerja maksimal 1 tahun. Mereka adalah ibu-ibu rumah tangga yang
menyisihkan waktunya di koalasi perempuan kalau senggang mereka berkumpul. Artinya mereka bisa
sambil berkampanye dia menggalang dana bukan tidak mungkin. Ada banyak inovasi yang bisa
dilakukan asal kawan-kawan tidak terlalu rijit. Banyak cara yang bisa dilakukan. Persoalan di kelompok
perempuan , begitu banyak pengalaman dari orang-orang yang berilmu dan memiliki pendidikan. Tetapi
pengetahuan ibu-ibu di desa, di grass root tidak dipandang sebagai ilmu pengetahuan padahal itu
adalah pengetahuan yang genuine. Kita bias melihat tentang pengakuan tentang pengetahuan.
Moderator: terimakasih. Baik mas Idaman mungkin bisa menanggapi sebelum dilempar ke floor.
IDAMAN
Ada beberapa soal , disini saya memposisikan sebagai pekerja. Yanuar sudah membuat kerangka
sistematis akademik. Kalau tanggapan saya ada beberapa tanggapan. Pertama tanggapan tentang
12. diskusi. Saya minta ke Firdaus, mana daftar orang yang di undang. ini membuat untuk diskusi ini diubah .
pembicara berbicara dan peserta bertanya, tetapi kalau kita bicara krisis, inovasi dan pengalaman
seharusnya mereka (peserta diskusi) yang lebih banyak bicara bukan kita. Ide ini muncul ditengah, saya
tidak tahu bagaimana caranya agar mereka yang bicara bukan kita.
Kemudian ada tanggapan spesifik. Apakah benar ada krisis? Jangan-jangan itu bukan krisis, yang
namanya NGO memang begitu.
Yang saya lihat ada krisis :
1. Positioning
2. Akuntabilitas
3. Sumber daya
4. Kinerja dan metodologi
5. Jaringan dan konsolidasi
Kita tinggal memetakan mana krisis terbesar di masing-masing NGO karena tidak spesfik atau tidak sama
di masing-masing NGO. Kemudian krisis itu muncul dari mana? Sebagian penyebab sudah disebut sedikit
oleh Dian dan Yanuar juga. Tetapi yang terutama kapasitas management dan tidak ada bekal untuk
management. Ini adalah persoalan yang klasik mendengar dari sejak dulu. Ketika management
diperlakukan dengan adanya SOP dll kemudia terjadi pergeseran menjadi teknokratik dan birokratik.
Pertanyaanya itu dibandingkan dengan sebelumnya. Sebelumnya seperti apa? Mungkin sebelumnya
cair. Mungkin memang belum ada management sama sekali. Sebelumnya yang ada hanya spirit,
solidaritas, ideology , feeling. Itu bukan metodologi. Tetapi pertanyaan apakah semua management
akan berakhir ke teknokratik, birokratik atau tidak? Management itu tidak harus teknokratik dan
birokratik
MS 13 adalah genk criminal yang cukup besar di amerika serikat. Mereka menguasai daerah di las vegas,
new York . mereka mengambil sekitar 50% pendapatan. Kalau berjualan di jalan di new York, kamu
harus menyerahkan 50% dari hasil pendapatanmu ke mereka mS13. Mereka memiliki aturan main, sop
dan sangat ketat dan rijit. Orang orang disitu tidak pernah mengeluh aturan itu teknokratik atau
birokratik. Orang-orang diluar mereka juga tidak menamai mereka tenokratik atau birokratik. Nah yang
menjadi pertanyaan, munculnya teknokratik dan birokratik ini dari mana? Atau menerapkan
managementnya yang salah. Mafia peradilan juga punya SOP, tukang copet di terminal juga punya SOP
tapi tidak menjadi teknokrat dan birokratik
Kemudian ada disebutkan Yanuar menggambarkan persoalan beberapa NGO di Indonesia
menggunakana gagasan lama? Menghadapi masalah baru tetapi mengunakan kerangka lama.
Pertanyaan saya kejar lebih jauh lagi, kerangka lamanya itu apa? Jangan-jangan memang NGO tidak
memiliki kerangka. Sekarang adalah menjadi semakin buruk. Dulu memang tidak ada kerangka.
13. Kemudian ada bahasa masyarakat sipil dan rakyat jelata. Kalau bahasanya masyarakat sipil itu aktifis
NGO suka gak dipahami oleh ibu-ibu. Ini sepertinya bukan bahasanya aktifis tetapi bahasanya pemula
yang tidak menguasai isu. Dibilang menguasai sesuatu hal adalah salah satu cirinya kamu bisa
menjabarkan sesuatu dengan mudah dan dimengerti. Berarti kamu sudah mengusai.
Tadi ada pertanyaan, kalau ada stagnasi, kalau tidak ada inovasi, itu persoalan terjadi di level mana?
Sebetulnya ada di level refleksi dan kontemplasi dari orang-orang yang menjalani nya. Ini adalah
konstruksi mental meskipun ada fisiknya juga ada. Apa saja prasyaratnya agar mental konstruksi seperti
refleksi dan kontemplasi terjadi? Pertanyaan yanuar kita kembangkan saja dalam diskusi ini:
1. apa prosesnya inovasi?
2. apa caranya inovasi?
3. apa implikasinya dari inovasi?
Tambahan pertanyaan, tradisi apa yang biasa dipakai? Pengalaman/keberhasilan apa yang menunjang
proses-proses tsb. Kita mungkin tidak menggunakan kata inovasi juga tidak apa-apa. Kita perlebar,
inovasi adalah bagian dari salah satunya. Proses-proses apa atau tradisi-tradisi apa yang bisa
menyumbangkan pada refleksi dan kontemplasi , menemukan metode terus menerus.
NGO secara kolektif tidak memiliki catatan telah melakukan apa saja. Kemudiaan tadi ada persoalan
krisis management, bagaimana NGO belajar management?
Demikian tanggapan dari saya supaya kita bisa mendengar dari orang lain. Tentu saja kalau ada
pertanyaan-pertanyaan teknis saya bisa menjawab.
Sesi Diskusi
Teguh - WALHI
Menarik sekali apa yang disampaikan oleh Mas Yanuar td, tetapi saya ingin sharing informasi dengan
mas yanuar tentang konstelasi internasional tentang industri dana bantuan. Ada pengalaman, kita
mengetahui ada krisis di Negara eropa , sayangnya krisis di eropa dijadikan alasan oleh Negara-negara
donor untuk mengarahkan gerakan social di Indonesia sesuai kehendak Negara eropa. Sebagai contoh
ada donor internasional mereka mempromosikan sekuat-kuatnya agar korporasi bisa menjadi agen
perubahan sosial. Menurut saya ini salah. Tidak mungkin koorporasi menjadi agen perubahan social
yang seperti kita harapkan yaitu perubahan social sejati. Kedua, ada lagi donor tidak akan membiayai
NGO yang memiliki agenda atau kampanye bersama masyarakat dampingan yang berlawanan misi
negaranya sendiri atau organisasi donornya. Saya ingin mendapat gambaran yang lebih jelas dari mas
yanuar. Inovasi yang bisa dimunculkan dari masyarakat sipil Indonesia memang pertama bukan dalam
konteks menyelamatkan institusi-institusi itu sendiri tetapi kemudian bisa sangat membantu gerakan
social lingkungan hidup di Indonesia. Jujur pengaruh lepasnya donor memang sangat besar, dan mereka
14. juga tahu. Dengan mereka mengetahui siituasi jadi sangat mudah bagi mereka untuk menyetir . pada isu
climate misalnya, perbedaan pendapat bukan sekedar perbedaan ideology tetapi jg dipegaruhi
intervensi dan pola fikir dr donor. Ini menjadi sangat berbahaya ketika gerakan masyarakat sipil
Indonesia adanya perdebatan nasional maupun ditingkat local itu dipengaruhi oleh pendapat dan
anasilis dari si pemberi uang. Kalau perbedaan ini didasarkan oleh ideology atau pemahaman institusi
itu, bebas dari bacaan pemberi uang, itu menurut saya sah-sah saja.
Nadia Hadad – BIC (be information center)
Menurut saya diskusi menarik, dilihat dari judulnya saja sudah menjadi pertanyaan buat semua. Saya
tidak tahu apakah teman NGO membandingkan cara kerja, carapadang, ideologi dahulu. Kenapa
mereka mendirikan NGO? Inovasi apa yang mereka keluarkan? Dibandingkan dengan NGO-NGO
sekarang. Sekarang sudah banyak NGO yg menjamur bukan pertarungan isu tetapi pertarungan duit.
Donor mana yang mau membiayai, ya udah ikut kesitu aja dan akhirnya saling berebut. Saya sebagai
pekerja NGO sekarang bekerja di donor international untuk isu-isu Indonesia, saya tidak ingin
terbelenggu dari cara pandangnya North, yang belum tentu memiliki kepentingan seperti kita. Kita
sebagai NGO di selatan memiliki cara pandang dan ideolgi berbeda. Kita yang di selatan memang bekerja
untuk rakyat kita sedangkan yang di utara katanya mereka bekerja untuk kepentingan justice di selatan.
Yang saya alami, mereka mempergunakan juga NGO di selatan atau isu-isu yang kita pertarungkan
sekarang untuk nyari duit juga. Ada banyak duit yang lari kesana, ke NGO utara yang sebetulnya sudah
kaya, sedangkan kita yang benar-benar bekerja untuk rakyat, di grass root, menyuarakan rakyat kita
sendiri untuk mengambil porsi yang porsinya sudah diambil oleh mereka. Saya ingin bertanya,
refleksinya atau pandangan teman-teman bagaimana?
Tanggapan:
Yanuar: terimakasih mas Teguh. Kalau saya tidak salah membaca dan mengingat-ingat angka, yang
namanya ODA (overseas development aid). ODA adalah dana yg dipergunakan untuk pembangunan di
Negara-negara maju. Dulu, 80% adalah dana pemerintahan dan 20% adalah dana korporasi. Itu tahun
90an sampai tahun awal 2000. Sekarang, angkanya berubah. Sekitar 70% dana dari korporasi dan dana
pemerintah yangg turun. Karena sekarang korporasi lebih banyak menyumbang dana ke ODA . Saya tdak
percaya niat baik itu karena memang sifat nature corporate itu. Dana itu tidak diberikan secara gratis
tetapi ada agenda. Saya cerita yang lain, bagaimana sector korporasi di Negara maju juga
mempengaruhi dana untuk dana charityable fund / dana charitative yang diberikan kepada LSM, tetapi
juga isi pendidikannya. Dana ODA adalah dana dari korporasi yang paling banyak sekarang, mereka
punya kepentingan dan agenda, sudah semestinya tidak perlu kaget. Beberapa kawan mengambil dana
dari eropa timur atau skandinavia karena dana pemerintahnya masih kuat.
Persoalannya apakah kita bisa menerima dana dan membelokkan agendanya.
15. Untuk Nadia, Persoalan turn over di NGO. Saya mencoba berdiskusi dengan mahasiswi saya yang
menulis “Apakah benar kita bisa mengelola pengetahuan di NGO/ Kelompok masyarakat sipil.
Michael polangi menulis buku tacit knowing. Maksdnya tacit knowing sense indrawi, yang selalu tidak
bisa di kode-kan. Dia mengatakan we can know more than we can tell. Dia berfikir sejauh mana
pengetahuan bisa di transfer. Contohnya: anak naik sepeda perbedaan sangat jelas antara anak belajar
naik sepeda (dengan jauh dan bangunnya) dengan menulis manual “cara naik sepeda”. Dia berargumen
orang tdk bisa naik sepeda dengan anda beri buku itu. Kalau ada 30 orang disini diberi resep sphageti
saya jamin aka nada 30 rasa sphageti disini. Dalam membuat sphageti ada tacit komponen. Masukkan
garam secukupnya, secukupnya orang-orang adalah berbeda-beda. Itu argument Polangi, tacitness itu
tidak semua bisa di kodefikasi. Tacitness seperti inisiatif, seperti komitmen dalam NGO, itu apa bisa anda
buat manualnya? Saya jamin gagal. Persoalan bagaimana me-maintain persoalan dilihat dari sense.
Sampai mana kita bisa memanage pengetahuan dan praktek-praktek pengetahuan dalam aktifitas NGO.
Tetapi kita sadar ada aspek-aspek lain, yang mau tidak mau harus dijalani.
WAHYU:
Soal inovasi yang pernah dilakukan NGO dan saya rasa harus kita rebut kembali. Kalau pada jaman ORba
kata sucinya adalah pembangunan tetapi kawan-kawan NGO mampu memproduksi industry kecil ,
pemberdayaan perempuan, bantuan hukum, lingkungan, HAM.
Kita pernah memproduksi wacana yang pada saat itu menjadi musuh dan sekarang dikuasai oleh
mereka. World bank bahkan mempercantik istilah itu. Saya kira apa yang harus kita lakukan sekarang
adalah merebut kembali, memaknai kembali pengetahua, terminology-terminologi yang dulu kita
produksi dengan tdk hanya dengan menulis dan mengenai sukses saja tetapi juga tantangan yang kita
hadapi. Kl kita bicara soal inovasi bukan sekedar bicara soal rintihan.
DiAN
Yang disebutkan oleh mas Yanuar, menjadi masalah sekarang soal bagaimana mensistemasiasi
pengetahuan dan juga mensistemasi pengalaman. Kalau Nadia Tanya, yang dulu kayak apa? Yang dulu
tidak membuat sistematis pengalamannya, karena itu kita tidak bisa belajar. Kalaupun belajar,
tantangan sekarang berbeda, peta politiknya berbeda. Di kelompok perempuan ini juga menjadi
permasalahan, karena budaya kita adalah budaya tutur bukan budaya menulis dan membaca. Tutur juga
bagus tapi dengan menulis kita bisa mendokumentasikan pengetahuan menjadi penting.
Kalau kawan-kawan melihat pergeseran dari tahun 98 ke aras sekarang ini, sebetulnya ada perbedaan
gerakan networking di masyarakat sipil makin hari makin kecil, makin susah kita bertemu. Dahulu kita
cukup banyak waktu untuk ngobrol, sekarang kita tdk banyak waktu untuk berbagi karena dikejar target
dsb. Selain merebut term-term tersebut kita juga mulai memikirkan bagaimana merekatkan kembali
antar kawan sehingga ini bisa saling meringankan. Yang kita butuhkan adalah revitalisasi spirit.
IDAMAN
16. Ketika yanuar menanggapi itu, sebetulnya membahas, bola tergiring ke kancah yang namanya
Pengelolaan Pengetahuan. Diskusi ini secara natural, menunjukkan pengelolaan pengetahuan adalah
salah satu kebutuhan tetapi bukan seluruhnya. Diatas pengetahuan masih ada juga diluar itu. Menarik
apa yg bisa dikodefikasi , apa yang bisa disistematir atau tidak. Itu bisa kita diskusikan di forum
tersendiri.
Saya kembali ke tantangan mengenai :
1. positioning
2. Akuntabilitas
3. Sumber daya
4. Jaringan dan konsolidasi
5. Kinerja dan metodolgi
6. Proses yang terjadi di organisasi anda seperti apa?
Saya tantang anda untuk menjawab itu disepotong-sepotong secara tertulis atau tidak. Yang kedua
mengelola management, apa yang ingin dipelajari?
Selanjutnya pertanyaan nadia. Masyarakat pada saat itu di bawah tahun 87 kalau orang terlihat bekerja
di NGO orang akan melihat setengah , dianggap sesuatu yang tidak penting, tidak akan membawa hasil,
cari gara-gara, tidak mikirin masa depan sendiri. Merahasiakan pekerjaannya di depan keluarganya , itu
yang membuat spiritnya lebih besar, semangat untuk berjibaku lebih besar.
--
Ikbal Maulana – LIPI
Saya ngeri sekali melihat judulnya krisis NGO. Krisis sendiri patut disyukuri kalau disadari karena di
bisnis, krisis sebagai pemacu inovasi dan beberapa Negara menjadi besar karena menyadari krisisnya
seperti Jepang yang karena sering gempa menjadi Negara yang miliki bangunan tahan gempanya
canggih sekali. Berkaitan dengan berkurangnya donor seperti yang sudah dijelaskan, ada sisi yang
menjebak juga karena dana menjadi resor terbatas dan meningkatkan persaingan antar NGO.
Persaingan ini bisa sama kerasnya juga antar bisnis. Ini mengakibatkan bisa mengabaikan hal-hal yg
penting. Seharusnya NGO berkumpul untuk berjalan pada gerakan yang sama, untuk memperjuangkan
ide yang sama, karena persaingan ini maka mereka untuk bekerja bersama-sama menjadi sulit . dan
mereka bisa terjebak lagi menjadi produsen jargon-jargon. Saya ingin tahu komentar dari bapak-bapak
dan ibu tentang hal ini. Kemudian yang kedua masalah pengelolaan pengetahuan di NGO. Pengetahuan
tacit sulit didokumentasikan atau tidak bisa didokumentasikan untuk hal-hal tertentu. Caranya seperti
17. pak Yanuar bilang dengan nyantrik, tetapi ada banyak hal yg bisa dieksplisitkan. Saya sempat melihat
buku dari dosen planologi ITB tentang partisipatory governance, isinya tentang kegiatan-kegiatan dalam
menggerakaan masyarakat. Banyak hal yang bisa di eksplesitkan karena saya lihat juga di beberapa
jurusan ilmu social di Australia. Disitu riset-risetnya tentang pemberdayaan masyarakat, disitu
menujukan lapangan pekerjaan untuk lulusannya untuk bekerja di NGO. Dia menunjukkan lapangan
pekerjaan di Australia cukup besar juga karena mereka memiliki dana-dana yang mengalir ke NGO dan
para aktifis NGO banyak yang keluar Australia juga. Saya kira untuk mendokumentasikan pengalaman
dari para NGO bekerjasama dengan perguruan tinggi sangat diperlukan sekali. Terimakasih.
Migrant Care
Bicara soal krisis, saya tertarik diskusi ini karena pembicaranya juga. Refleksi kita pada masa Gusdur,
menjadi refleksi ketika kaki-kaki NGO tidak mampu berbuat apa-apa ketika kalangan reaktif pada saat itu
justru menunjukkan taringnya dan beberapa NGO bergabung dengan kaum elite juga tidak mampu
berbuat apa-apa ketika Gusdur di lengserkan. Kondisi kita yang sekarang ketika donator meminimalisir
bantuan ataupun sebelum ada krisis yaitu tsunami aceh dll yang menyelamatkan NGO yang memiliki
proyek didaerah bencana dan kemudian mempunyai masalah korupsi sampai menangkap tokoh NGO
dan berimplikasi pada kepercayaan rakyat terhadap NGO. Itu refleksi bahwa kita memang tidak berdaya
tidak mampu melakukan spirit dari NGO sendiri untuk melakukan perubahan ketika putus dari donator.
Saya di medan melihat NGO mulai mempunyai beberapa usaha seperti memiliki kelapa sawit, travel dsb,
namun dalam perjalanannya belum menunjukkan signifikansi yang diharapkan. Saya juga prihatin sekali
ketika NGO sendiri tidak mampu mendorong gerakan rakyat, membentuk serikat petani ataupun serikat
buruh untuk bersatu agar mereka bisa melakukan satu gerakan bersama, gerakan perubahan. Yang saya
lihat sekarang NGO berkontribusi pada penambahan isu-isu, sekarang perubahan di serikat buruh adalah
persatuan ditingkat isu, tidak lagi berdasarkan gerak bersama yang disatukan dalam konteks bersama
untuk melakukan perubahan. Dikatakan krisis di spanduk depan, bahwa kita mati suri dan ditengah
luarbiasanya penguasa ini menindas rakyatnya, ngo belum mampu melakukan tekanan besar
Andi - Solidaritas Perempuan
Salah satu refleksi mengenai dunia NGO adalah terkait dengan tacit, knowing. Menurut saya NGO
kayakna proses capacity buildingnya sudah keterlaluan, banyak sekali. Satu organisasi bisa melakukan
proses training satu isu tertentu bisa menyatu padahal kalau kita bergabung dalam nama gerakan satu,
bergabung saja yang ikut training itu, tidak akan habis resource kita. Yang sekarang adalah satu
organisasi, satu training. Bisa habis resources kita tentang itu. Lalu yang kedua, tentang proses
transformasi pengetahuan, kalau tidak didukung oleh kemampuan mendengarkan pengalaman yang
mau kita transformasikan, itu yang seharusnya ada. Masalahnya kadang saya melihat ada aktifis yang
mungkin lebih lama daripada saya, lebih tua dari saya, tetapi dia mampu mendengarkan pengalaman di
akar rumput. Kegagalan transformasi pengetahuan di akar rumput saya rasa ada disitu juga akarnya.
Tanti – TIFA
18. Saya bekerja sebagai staff di TIFA untuk issu freedom of information. Kalau saya mau bertanya terutama
kepada mas Yanuar, dari risetnya apakah ada refleksi bagaimana NGO berinovasi saat ini? Atau yang
sudah ditemukan di beberapa Negara yang sudah dikunjungi itu. Dalam isu saya sendiri yang masih baru
dimasyarakat indonesia, jujur saja kita mengalami deficit. Maksudnya kita jenuh dengan pola-pola
pendekata, karena teman-teman yang sudah menangani isu akses informasi selama 9 tahun dalam
legislasi, jadi mungkin cara-caranya masih kadaluarsa. Misalnya dengan mendekati pemerintah dengan
berjarak padahal pemerintah juga tidak tahu bagaimana membuat keterbukaan itu sendiri. Ada salah
satu kunjungan di india, saya melihat beta mereka setia pada isunya. Dalam mereka menggunakan alat
dalam melakukan perubahan social seperti citizen report card itu beda sekali ketika saya ketemu dengan
teman -teman di gunungkidul atau di beberapa daerah lain , mereka memperlakukan alat itu sebagai
alat untuk melaporkan, sebagai alat untuk meneliti. Sementara saya di India saya tanya staffnya aja
sudah 30thn di NGO itu, programnya sudah 10 tahun dan dia tahu persis saat ini bahwa citizen report
card ini dapat membantu kelompok-kelompok warga untuk bisa mengajukan ide kepada city council.
Mereka belum diterima dalam forum yang sama tetapi mereka sudah bisa merumuskan pengalokasian
dananya untuk apa saja. Yang saya kagumi itu, saya sudah mendengar hasil citizen report card akan
menghasilkan seperti itu. Yang menarik buat saya, 10 tahun dia di isu itu dan dia tahu persis titiknya
disini dan kemudian dia bilang kami akan melakukan modifikasi di A,B,C,D. Saya tidak tahu apakah itu
yang disebut inovasi, karena mereka tahu persis bahwa saat ini kami ada disini! Saya ingin tahu refleksi
dari cara-cara berinovasi saat ini. Di Gujarat saya bertemu dengan NGO memperjuangankan isu akses
informasi saya tanya mereka apa kalian berkoalisi? TIdak. Apa yang bisa membuat kalian bisa tahu satu
sama lain? Kami secara voluntary bertemu setiap minggu, setiap bulan secara rutin. Dan kami bicara apa
yang bisa kami kontribusikan. Mungkin jurnalisnya sudah tahu apa yang harus mereka tuliskan, teman-
teman sendiri sudah mengerti ada pada suatu titik dimana akses informasi itu belum bisa membantu
kaum dalit (kasta paling rendah). Di Indonesia, hal itu masih jauh meskipun sekarang ini saya mendengar
dari open society bahwa mulai ada funding-funding mengumpulkan untuk isu transparansi. Mereka
mulai mau ada pendokumentasian sehingga apa yang terjadi di Meksiko misalnya bisa memicu gerakan
yang ada di Indonesia. Atau apa yang terjadi di Indonesia bisa dicontoh. Sampai detik ini ada kritik juga,
saya mengikuti beberapa koalisi untuk mendukung beberapa isu untuk advokasi, teman-teman NGO itu
suka tidak melakukan apa yang mereka percayai. Seringkali itu menjadi mekanistik dan sangat teknis.
Kalau mereka percaya bahwa menggerakan orang dari petisi online bisa membuat DPR berfikir.
Kemudian mereka memakai itu setengah-setengah atau bahkan tidak menggunakannya. Segala sesuatu
berhenti pada tataran discourse saja. Dikelompok akses informasi, kita mempromosikan, pake akses
informasinya! Tulis surat! Minta dokumen resmi! Tetapi teman-teman di daerah kalau kita ajak bicara ,
mereka bilang, ah sudahlah kami tidak perlu karena kita punya akses, kita punya kenal orang penting,
kita punya saudara misalnya. Jadi sering tidak melakukan apa yang sudah dipercayai. Saya ingin tahu
bagaimana cara menumbuhkan inovasi? Bagaiman kita mengetahui perubahannya sudah sampai mana?
Alat-alat yang kita pakai sudah seberapa efektif atau diganti dengan alat-alat yang baru?
IDAMAN;
Saya tidak mempersiapkan jawab karena tidak ditujukan kepada saya. Untuk Andi dari Solidaritas
Perempuan, pertanyaan tentang mendengarkan suara rakyat kecil, kemudian dilihatnya orang tidak bisa
19. mendengar akan suara rakyat yang diwakilinya atau konsitutennya. Secara teknis, saya membatasinya
dengan cara teknis. Ada alat yang sistematis untuk memaksa orang melakukan praktek tertentu akan
bicara alatnya bukan wacana. Alatnya itu ada yang namanya Community of practices (COP). Adalah salah
satu dari alat yang bisa membaca hal-hal di akar rumput. Ada manual pendeknya di websitenya world
bank, di ADB dan satudunia juga sudah ada, modulnya sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Kemudian ada lagi instrument lainnya yang disebut outcome maping (OM). Tentu saja ada alat-alat lain,
seperti video komunitas, graphical recording, banyak alat-alatnya, perkenalkan saja alat itu pada
komunitas.
Komentar untuk Tanti, pertanyaannya bagaimana caranya inovasi? Bagaimana caranya supaya benar,
kalaupun tidak inovasi tetapi setia pada isunya, mengetahui apa yang dilakukannya. Kalau jawaban
formalnya sudah disebut oleh Yanuar. Nonaka Takaoci namanya (SECI). Kalau alur tacit itu diikuti maka
dengan begitu inovasi akan terjadi.
DIAN
Saya tidak menjawab satu persatu, mungkin digabungan saja nanti agar bisa nyambung. Pertama, mas
dari LIPI melihat dengan cara sangat Jawa. Semua ada hikmahnya, dari krisis akan muncul sesuatu yang
lebih besar. Memang iya, tetapi bisa juga tidak. Karena apa? Pada prakteknya banyak juga NGO yang
gulung tikar. Ketika menghadapi krisis itu, dia tahu untuk berbuat apa gak sebetulnya. Bagaimana
berbernah dilam krisis itu yang paling penting bagi kita. Diskusi panjang dari waktu kewaktu adalah
menumpahkan/menceritakan kekrisis-annya dan kekurangannya tetapi tidak segera bangkit berdiri, itu
yang terjadi di tingkat kita. Itu menjadi ujian ketika menghadapi situasi/kondisi yang betul-betul akan
membuat kita pada titik yang paling rendah. Menurut saya, beberapa lembaga mempunya cara yang
tidak konsisten yang itu diciptakan oleh donor sendiri. Kalau citizen card di Bangladesh bisa dilakukan
dibasis dan orang melakukannya secara sukarela , gampang itu. Tetapi disini kan tidak, banyak NGO
tidak memiliki dampingan yang tetap. Tidak punya basis yg riil. Jadi segala sesuatu menjadi yang mahal.
Ketika kita tdk mempunyai basis yang diajak kerjasama atau yang kita perjuangkan, itu semua jadi duit.
Kalau di banglades mereka bekerja secara voluntary. Membangun hubungan menjadi PR kita. Antara
teman-teman NGO dengan masyarakat riil menjadi PR yang utama kalau betul-betul ingin melewati
krisis. Termasuk juga bagaimana membangun inovasi-inovasi baik financial maupun management
program atau isu. Bagaimana mengelola sebuah perjuangan itu adalah kuncinya kalau kita ingin
berubah.
WAHYU
Saya kawatir kalau kita tidak mempunyai inovasi yang genuine. Kerjaan kita seperti ormas-oramas
agama hanya panitia besar hari raya agama. NGO juga menjadi panitia untuk hari besar International.
Saya juga ingin cerita ini tentang inisiatif kawan-kawan, kemudian membesar, malah kita sulit untuk
mengelolanya. Misalnya Gerakan Seribu rupiah untuk pemulangan TKI. Kita melihat itu pekerjaan yang
kecil dan mudah, ternyata banyak yang ikut member dan reportnya ketika kita menggunakan
komunikasi virtual, teman-teman hongkong dan singapura masih mengumpulkan ketika kita sudah
20. menyerahkan 3 buah kaleng yang berisi uang ribuan. Kadang-kadang kita mempunyai inovasi tetapi
tidak mampu mengelolanya. Beberapa kawan di isu lain pernah melakukan Ini dan kewalahan ketika ada
dukungan yang kuat dan ternyata kita tidak punya kesiapan.
YANUAR
Ada 4 pertanyaan yang menurut saya berkaitan. Saya mau memulai dari yang pertama dan mau melihat
lebih mendalam dari isu yg diangkat. Teman dari LIPI bicara krisis kemudian ujungnya persaingan.
Lantas apakah NGO tidak ada bedanya dengan perusahaan. Saya kira kalau kita mulai dari asal muasal
mandate, hakikat, keberadaan organisasi seperti kita ini, saya kira esensinya bergeser bukan
karakteristik huruf N dan G. Bukan dari non government. Tetapi karena fitra keberadaan kita seharusnya
menjadi guardiance untuk komunitas, untuk kebaikan public. Maksud saya, Kalau tindakan kita
terkarekterisasi dari huruf N dan G atau dari non profitnya itu atau dari non corporatenya. Jadi tujuan
yang lebih mendasar mengenai fungsi dari lembaga seperti kita ini…saya kira bukan soal semantic saja
atau sekedar soal nama tp bagimna memaknai diri sendir. Apakah Esensinya ini ada pada yang bukan
profit/ yang bukan pemerintah atau esensinya ada pada mendampingi kepentingan public yg makin hari
makin disingkirkan. Mengapa? Karena ini mempunyai implikasi baik filsat, etis maupun praktis yang
berbeda. Ketika kita menterjemahkan diri kita sebagai non government maka ada banyak ekstrim yang
akan muncul. Dengan memasang non government tadi tentu kemungkinan bekerja di satu isu dilain isu
dengan pemerintah jadi tertutup? apa kah itu baik/buruk, saya tidak bilang itu sekarang tetapi kemudian
area yang lantas hilang. Kemungkinan-kemungkinan yang lantas hilang karena identifikasi dengan non-
government td. Bisa hilang, belum tentu harus.
Cara kita mendapatkan dana, kok caranya seperti perusahaan kalau kita mengorganisir seperti teman-
teman greenpeace membuka stall di mall untuk mendapatkan uang. Barangkali ini bukan sekedar
reposisi, bukan sekedar reorentasi, tetapi mungkin sudah saatnya lagi kita menggagas lagi dari core kita
sebagai kelompok masyarakat sipil ini. Karena Inovasi bukan sebab , inovasi itu akibat. Karena anda
mengejar tujuan td dengan melakukan banyak hal diantaranya inovasi. Saya ingin membuat point ini
jelas saja, agar kita tidak berilusi. Call saya, kembali kita ke fitrah mendasar, kita ada karena apa? Itu
yang mendasar. Inovasi itu akibat. Risk management itu akibat. Itu catatan pertama.
Yang kedua. Lantas kalau kita bicara kegagalan transfer pengetahuan. Saya kira runutannya tidak jauh
dari akar td. Ketika kita memahami pendampingan, pengorganisasian, bukan pada aktifitasnya tetapi
pada akar mengapa aktifitas itu ada. Yang diwariskan ke generasi ke generasi adalah tekniknya,tetapi
kemampuan mengidentifikasi mengapa sampai perlu FGD itu yang tidak terawariskan. Maka, saya kira
dalam kursus-kursus pengelolaan pengetahuan tentu baik dan perlu. Teknis itu penting, tetapi seringkali
yang tidak tertransfer adalah keprihatinannya itu yang tidak masuk. Penghayatannya yang tidak masuk.
Mengapa? Bahaya yang paling utama saya kira, nanti pergeserannya dari aktifis yang punya komitmen
menjadi pekerja atau karyawan. Kalau itu terjadi jangan meratapi mengapa NGO akan berperilaku
seperti bisnis.
21. Ini bukan soal teknis, tentu teknis penting tetapi bagaimana proses dalam mewariskan pengetahuan dan
gagasan. Kalau mas Idaman senang membaca buku Polangi, satu kata kunci : in dweling. Komitmen itu
in dwelling, yang masuk dan merasuk, karena di hidupi dan mendarah daging. Justru karena manusia
ada dagingnya, itu tidak bisa, kenapa? Gagasan itu di skip dari aspek fisiknya. Itu mengapa anda harus
terjun ke ikut ke desa kakinya ikut berlumpur. Kenapa harus ikut Wahyu Susilo mengurusi buruh-buruh.
Karena pengalaman konkrit ini yang menimbulkan keberhasilan. Itupun tidak jaminan kok. Anda men-
train 20 orang jadi 2 , alhamdullilah itu. Tentu ini bukan untuk meratapi, tetapi inilah petanya.
Pertanyaan terakhir tadi , lalu bagaimana cara berinovasi? Kemarin ketika saya muter dibeberapa
Negara dan juga di Indonesia. Ada yang pernah mendengar grup music Metal di Ujung Berung, Bandung,
namanya Burger Kill. Tahun lalu saya muter selama 6 bulan hanya untuk memetakan kelompok-
kelompok yang kita petakan tidak masuk dalam kategori NGO, mereka itu para blogger dari Madura, dari
Surabaya. Kelompok-kelompok sipil yang tidak teroganisir, tidak memiliki akte notaries , untuk melihat
diluar batas-batas tradisional NGO. Saya ingin melihat apa yang terjadi bawah ini. Burger kill punya
teman namanya Sound Beautic di Jogja. Burger kill adalah kelompok metal yang menggabungkan music
tradisional Karinding dengan alat music modern. Mereka tidak hanya main music, melainkan meng-
injeksikan nilai-nilai keterbukaan, pluralisme di anak-anak muda bandung yang sekarang sudah dicekoki
oleh paham-paham tertutup. Saya berdiskusi dengan mereka tentang apa yang terjadi. Mereka bercerita
Sound Beautic di Jogja berdiri bukan karena tidak punya funding . waktu berdiri, pendirinya itu harus
menjual motor untuk mendirikan kelompok itu. Tujuannya satu, mengembalikan kinerja seni dan
performa sebagai bentuk social. Maksudnya, corak capital ini mengubah cara anda dalam menikmati
seni. Menikmati seni pada dasarnya adalah kegiatan social di ruang public, duduk bareng,mendengarkan
music, ngobrol, itu yang namanya social. Sekarang tidak, anda download, masukkan ke ipod, ke telinga,
dan ketawa-ketawa sendiri. Cara ini dilawan oleh Sound Beautic dan mengembalikan bagaimana
pertunjukan itu menjadi kembali ke ruang public. Hal sama terjadi di Vietnam di Negara yang represif
tidak bisa menggunakan istilah civil society disana. Anda akan dilawan oleh pemerintah. Di Thailand
bagaimana mereka melawan pemerintah harus sekarang secara kritis, tidak bisa sama sekali harus
sembunyi-sembunyi. Transparansi international di Vietnam tidak bisa menggunakan nama itu, mereka
menggunakan Tools transparansi dan terdaftar sebagai perusahaan dan bukan NGO.
Bagaimana berinnovasi? Saya kira kalau inovasinya menjadi sebab, kita akan macet. Kalau kita tidak
mengembalikan pada fitrah dasar panggilan kita sendiri sebagai public guardiance. Kepentingan public
ini semacam malaikat pelindung kepentingan-kepentingan public yang semakin lama semakin dihabisi.
Tidak lagi ada warga tetapi konsumen. Kalau anda tidak kaya anda tidak bisa sekolah, kalau anda tidak
kaya tidak bisa minum, tidak ada lg notion warga dan and refleksikan itu terjadi disemua sector. Yang
disebut mas idaman bicara soal teknis kalau mengikuti alur akan terjadi inovasi. Menurut saya, lebih baik
kembali melihat 3 pertanyaan tadi. Cara, kemudian persoalan proses, dan persoalan implikasi. Tetapi
menempatkan itu dalam gambar besar skarang mudah-mudahan lebih utuh. Bahwa: satu, krisis ini tidak
lepas dengan yang lain. Krisis bukan terjadi di NGO, bisnis mengalami hal yang sama dan pemerintah kita
mengalami hal yang sama. Maksud saya sama karena ini terkait bukan sama persis tetapi terkait. Karena
dunia ini sedang krisis, artinya krisis kita tidak terlepas dengan yang lain yang sedang terjadi. Kedua,
bahwa krisis seharusnya itu memaksa kita untuk kemudian meninggalkan yang “bunga-bunga” dan
kembali ke pokoknya.
22. --
HARWIB
Menanggapi yang terakhir itu tadi, saya rasa kata kuncinya memang komitmen yang disebutkan yanuar
td, yang saya kawatirkan tidak terwariskan. Justru saya mau masalah yang konkret yang disebut wahyu
“seribu untuk TKI”. Saya pernah memposting dan mengkritik tentang koin prita. Kritik saya, kenapa yang
dicatat jumlah uangnya, kenapa yang tidak dicatatat siapa penyumbangnya. Komoditi membuat (yang
dikonversikan menjadi uang) manusia yang menjadi hilang/ anonym disetarakan dengan uang.
Akibatnya tdk terbangun korelasi antara orang yang menyumbang (relasinya itu dikonversikan dalam
bentuk uang),sehingga akuntabilitas dan transparansi tidak ada.
Kemudia akibat yang kedua, orientasinya pada kuantitas uang, maka ketika Ical ikut menyumbang orang
tidak dibatasi. Pada seharusnya koin untuk prita, orang tidak dibatasi menyumbang 10 juta, bahkan 100
juta. Pasti hasil lebih dari yang dimaksudkan dari tujuan semula. Mendukung prita membayar tuntutan
sekitar 200 juta kalau saya tidak salah. Lebih dari 500 juta yang terkumpul. Ada contoh yg lain di india,
koin untuk buruh anak, gagasan pengumpulan koin di Indonesia memang baru pada kasus prita. Tetapi
itu bukan hal yang baru dalam dunia NGO. Saya tidak mengerti mengapa uang koin itu dikonversikan
sebagai uang kertas. Yang saya bayangkan pada moment itu, kalau uang itu dibiarkan sebagai koin yang
sebanyak itu di timbun di depan RS Omni, akan jadi apa? Efek fisik dari uang itu juga tidak di politisir,
dalam arti tidak dibuat dalam suatu kekuatan politik. Dua hal kita hilang disitu, manusianya
disembunyikan , tidak ada akuntabilitasnya. Saya rasa mengaris bawahi yg disebut yanuar, aspek cara
berfikir yang politis dalam arti kata kita berhadapan dengan manusia. Semangat untuk mengorganisir
orang, tidak peduli jumlah uangnya berapa itu yang saya rasa hilang.
Saya gembira di era reformasi, banyak serikat buruh yang tumbuh, yang tidak dalam konteks NGO-NGO
seperti saya dulu di YLBHI. Sekarang serikat-serikat buruh. Yang menarik dari pengamatan saya
memperhatikan serikat buruh ini adalah kelemahan mereka dalam iuran. Padahal, iuran arti pentingnya
bukan dari jumlah iurannya tetapi ada berapa banyak orang yang melakukan iuran. Inilah yang saya
sebut aspek politik dari NGO. CSO. Pada tahun 80an, bicara tentang NGO yang keluar adalah kategori-
kategori plat merah dan hitam. Saya berfikir yang sekarang ini Jangan-jangan kategori itu salah.
Sebenarnya yang saya omongkan tadi lebih tepatnya NGO plat putih. Kategori plat ini bisa membantu
kita untuk membantu diskusi seperti ini diteruskan, seperti yang keluar tadi adalah problem teknis itu
gampang tetapi persoalnya ini adalah persoalan politik.
LILI
Dari diskusi tadi, yang bisa saya refleksikan ke belakang, tampaknya kita dalam proses refleksi NGO ini
adalah jalan ditempat. Boleh dikatakan involusi sedang terjadi. Misalnya kita tarik kebelakang, paska
reformasi INFID menginisiasi membuat reposisi ornop. Kemudian kumpul dari seluruh Indonesia
kemudian situasi juga masih tidak berkembang seperti yg kita harapkan. Bisa jadi itu disebabkan
katakanlah orang-orang seperti saya dan harwib yang tdk mendistribusikan pengetahuan yang lama itu.
Saya kawatir dosa turunan akan terjadi pada kawan-kawan yang hadir pada saat ini.
23. Terkait dengan krisis yang terjadi terus terang saya ingin banyak belajar dari kawan-kawan, saya sepakat
dari catatan mas idaman. Tambahan dari saya, satu krisis yg terjadi adalah krisis sinergi antara kita.
Sinergi yang saya maksud disini memang bukan sinergi seperti ke panitiaan td. Menjelang perayaan hari
buruh lalu kemudian merapat tetapi mau kemana langkah NGO paska yang berubah sekarang ini. Dulu
musuh bersama muncul sehingga itu yang mengikat kita mampu bersama. Saya melihat, kita
kekurangan musuh. Itu salah satu yang penting untuk kita temukan jalan keluarnya. Kedepan
bagaimana membangun satu sinergi dalam konteks sinergi untuk menggagas satu gerakan perubahan
yang terarah kedepan. Kembali ke “kejayaan NGO” karena kita mampu memproduksi gagasan-gagasan
tanding dari mainstream ketika smua bicara development, ketika NGO muncul dengan gagasan
partisipator, berbagai gagasan tandingan yang semua itu sudah dicaplok. Barangkali, reproduksi wacana
tanding ini jadi satu PR bagi kita bersama. Kalaupun kita masih tetap kekeuh dengan wacana yang dulu
kita kembangkan menurut saya beyond dari itu. Harus mulai muncul dalam konteks ini bahwa
kompetensi, kapasitas menjadi yang sangat dibutuhkan ketika pada tataran politik, pada tataran
ideology kita sudah khatam. Maka kemudian ada banyak sekali hal-hal yang terkait pada kompetensi
yang kita kedodoran. Yang ketiga, ketika melihat kedepan, apa yang harus kita gagas ketika bicara
mencoba bicara keragaman keorganisasian NGO pada saat ini. Kita yakin bahwa kita bukan partai politik
dimana seperti mesin bahwa satu kata semua bergerak. Ada keunikan, di NGO itu independensi antar
sesamanya sangat tinggi, dan itu sebagai suatu kekuatan pada sisi yang lain menjadi sebuah kelemahan.
Kelemahan yang terlihat ketika ngobrol dengan teman-teman Bappenas yang mereka ingin membangun
satu multi pihak. Mereka bertanya siapa kira-kira NGO yang bisa masuk disini. Karena setiap NGO lalu
dia mengatakan dia bukan wakil saya. Pada satu sisi barangkali jadi satu kekuatan ketika dulu kita
khawatir dalam satu payung yang kemudian, sekali waktu pucuk dihabisi kebawahnya akan hancur.
Barangkali kita fikirkan baru apakah memang harus mulai berfikir bagaimana membangun satu sinergi
yang sangat kuat itu. Kedua, sinergi ini berbasiskan isu atau kewilayahan. Tadi ada kawan yang
mengatakan isu sektoral membuat sinergi tidak terjadi. itu Saya berfikir kalau kita melakukan sesuatu
dari beragam isu pada 1 wilayah tertentu. Disitu kemudian, setiap kita berperan tergantung dari apa
yang kita miliki, kalau kita bergerak di satu kabupaten Jambi kita keroyok, sebagai satu contoh saja.
Kemudian Walhi berperan dengan isu lingkungannya kemudian ICW dengan isu korupsinya, jadi satu
perubahan ditingkat kabupaten lebih mudah kita lihat disbanding dengan sebuah wacana yang cukup
tinggi tetapi tidak turun pada tataran aslinya. Saya kira itu beberapa point saya dari diskusi ini.
PENUTUP
RN: terimakasih buat teman-teman yang sudah hadir maupun yang sudah senior dan junior. Saya sendiri
sudah lama tidak bertemu dengan teman-teman karena saya sedang menyiapkan pada regenerasi pada
organisasi saya. Jadi saya senang bisa bertemu dengan teman-teman dan ada beberapa ajakan yang
bagus untuk kita tindak lanjuti lagi yaitu soal bagaimana kita merebut inovasi itu kembali dan mari kita
ber-sinergi lagi. Terimakasih. Ass.wr.wb.