Komitmen pemberantasan korupsi pemerintah Indonesia tercantum dalam Inpres No. 7/2015 dan Inpres no. 10/2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Sudah sejauh manakah kinerja pemberantasan korupsi ini?
Di sisi lain, adanya Gerakan Nasional Penyelamatan SDA yang mendorong perbaikan tata kelola SDA khususnya hutan dan kebun menjadi momentum perbaikan sektor ini.
Kertas posisi ini disusun oleh koalisi masyarakat sipil di Sumatera yang fokus pada tata kelola sektor kehutanan dan perkebunan dalam rangkaian kegiatan Indonesia Anti Corruption Forum ke 5 di Riau (22-23 Nov 2016). Sejumlah rekomendasi bagi pemerintah pusat dan daerah yang dihasilkan semoga menjadi masukan dalam perbaikan sektor ini.
RUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdf
Korupsi Masih Subur, Hutan Sumatera Semakin Hancur
1. PENDAHULUAN
R
iset Indonesia Corruption Watch (ICW)
memperkirakan kerugian negara dari
sektor non-pajak kawasan hutan men-
capai Rp 169,791 triliun selama tahun
2004-2007. Kerugian akibat korupsi di sek-
tor sumber daya alam (SDA) seperti kehutan-
an, perkebunan dan pertambangan, menurut
Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Ko-
rupsi (KPK), jumlahnya bisa mencapai 500 kali
lipat dari jumlah nilai yang dikorupsi itu sendiri.
KPK bersama kementerian dan lembaga neg-
ara telah mendeklarasikan Gerakan Nasional
Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA)
melalui penandatanganan piagam deklarasi
Penyelamatan Sumber Daya Alam oleh Ketua
KPK, Panglima TNI, Kapolri, dan Jaksa Agung
pada 9 Juni 2014 di Ternate, Maluku Utara.
Deklarasi penyelamatan sumberdaya alam
(SDA) tersebut berisi pernyataan tekad secara
tegas untuk: (1) Mendukung tata kelola SDA In-
donesia yang bebas dari korupsi, kolusi dan nep-
otisme; (2) Mendukung penyelamatan kekayaan
SDA Indonesia; (3) Melaksanakan penegakan
hukum di sektor SDA sesuai dengan kewenan-
gan masing masing. GNP-SDA yang meliputi
sektor Kelautan/Perikanan, Pertambangan, ser-
ta Kehutanan dan Perkebunan tersebut terdiri
atas kelompok kerja yang antara lain meliputi
Tim Litbang KPK bersama Kementerian/Lem-
baga terkait seperti Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian
Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK), Ke-
menterian Keuangan, serta Pemerintah Daerah
dan segenap instansi Penegak Hukum lainnya.
Di dalam GNP-SDA ini juga mengakomodasi
keterlibatan masyarakat sipil secara intensif dan
bersama-sama dalam pelaksanaannya, seper-
ti akademisi dan organisasi non-pemerintah
(Non-Governmental Organisation – NGO).
Dalam rangkaian gerakan GNP-SDA ini misal-
nya diungkap ribuan perusahaan pertamban-
gan tidak memiliki NPWP, beraktivitas tanpa
izin, dan melakukan pelanggaran atas ketentu-
an perundang-undangan yang berlaku, seperti
beraktifitas di hutan konservasi dan hutan lind-
ung secara open pit. Koalisi Masyarakat Sipil
Sumatera menilai implementasi GNP-SDA ini
berguna untuk kampanye pendidikan budaya
anti korupsi, melakukan pengumpulan data dan
penertiban administratif serta perbaikan sistem
dan mekanisme kebijakan. Namun di sisi lain,
GNP-SDA masih lemah dalam melakukan pen-
egakan hukum, serta melembagakan keterbu-
kaan informasi dan partisipasi publik di dalam
sistem tata kelola sektor sumber daya alam,
baik di sektor perkebunan, kehutanan, maupun
pertambangan.
2. Koalisi Masyarakat Sipil Se-Sumatera meny-
usun kertas posisi ini untuk disampaikan da-
lam Kegiatan Forum Anti Korupsi Indonesia
ke-5 (IACF5), guna mengukur kinerja pem-
berantasan korupsi di sektor kehutanan dan
perkebunan serta capaian dari implementasi
GNP-SDA oleh KPK, Kementerian, Lemba-
ga Negara, Institusi Hukum serta pemerintah
daerah. Kertas posisi ini diarahkan untuk men-
jadi rujukan bagi Pemerintah Pusat dan Daer-
ah dalam pencegahan dan pemberantasan
korupsi di sektor SDA.
KONDISI HUTAN SUMATERA
DAN BURUKNYA PERIZINAN
Luas kawasan hutan Sumatera yang ditetap-
kan dengan Surat Keputusan Menteri Ke-
hutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) hing-
ga saat ini berjumlah 23,2 juta hektar (KLHK,
2014). Sementara berdasarkan penafsiran
Citra Satelit Landsat 7 ETM+ 2014, rekapit-
ulasi luas penutupan lahan dalam kawasan
hutan di Sumatera adalah 25,3 juta hektar
dengan persentase areal non-hutan sebesar
48,4 persen (KLHK, 2014). Dari data tersebut
terlihat dari keseluruhan luas kawasan hutan
yang ditetapkan melalui SK Menteri LHK han-
ya 13,06 juta hektar atau 51,6 persen diantara-
nya yang benar-benar berhutan.
Selama periode 2009-2013, tutupan hutan di
Sumatera mengalami deforestasi seluas 1,5
juta hektar dengan laju deforestasi sebesar
382 ribu hektar per tahunnya. Provinsi Riau
adalah provinsi yang mengalami deforestasi
terluas sebesar 687 ribu hektar, disusul Jambi
seluas 225 ribu hektar dan Sumatera Selatan
seluas 164 ribu hektar. Berbeda dengan hasil
kajian KLHK, FWI menemukan hingga tahun
2013, hutan alam di Sumatera termasuk di pu-
lau-pulau kecil tersisa hanya sekitar 11,3 juta
hektar atau sekitar 24 persen dari luas daratan
pulau Sumatera (FWI, 2013).
Di Sumatera Selatan misalnya, Surat Keputu-
san (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Ke-
hutanan No. 866 tahun 2014 menyatakan, luas
kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan
sebesar 3.495.374,19 ha. Dari luasan terse-
but, yang memiliki fungsi lindung dan konser-
vasi sekitar 40 persen. Namun akibat buruknya
tata kelola hutan dan lahan, kawasan tersebut
terus dibebani izin. Dari sektor perkebunan,
terdapat 101.610,2 hektar perkebunan masuk
dalam kawasan hutan, 89 persen diantaranya
dikuasai komoditi perkebunan kelapa sawit
(PKS) dengan 112 izin perusahaan.
Buruknya tata kelola hutan dan lahan juga
terjadi di Riau, Jikalahari menemukan bahwa
luasan kawasan hutan di Riau yang tertulis di
atas kertas dengan fakta di lapangan sering ti-
dak sejalan. Banyak areal-areal yang fungsin-
ya dinyatakan sebagai hutan lindung ataupun
konservasi, namun pada kenyataannya telah
berubah menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI)
ataupun perkebunan kelapa sawit. Temuan
Jikalahari diperkuat dengan temuan Pansus
Monitoring dan Evaluasi (Monev) Perizinan
DPRD Provinsi Riau. Pansus menyampaikan,
KOTAK I
GAMBAR 1.
LAJU
DEFORESTASI
HUTAN
DI SUMATERA
3. Izin Usaha Perkebunan (IUP) yang ada di Riau
seluas 2.587.257 hektar sedangkan pelepas-
an kawasan hutan sesuai data dari Kementri-
an Kehutanan hanya 1.705.516 hektar. Artin-
ya, ada lebih dari 900 ribu hektar lahan di Riau
yang diusahakan sebagai perkebunan namun
tidak memiliki SK Izin Pelepasan Kawasan
Hutan (IPKH).
Alih fungsi lahan untuk perkebunan sawit ini,
berdasarkan data Direktorat Jenderal Perke-
bunan untuk periode 2013-2016, mayoritas
dikelola masyarakat melalui skema Perkebu-
nan Rakyat (Dirjen Perkebunan, 2016).
Gambar 2. Luas Lahan Perkebunan Kelapa
Sawit di Sumatra Menurut Status
Kepengusahaan
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan,
Statistik Perkebunan Indonesia : Kelapa Sawit
2013-2015 dan 2014-2016.
SAWIT DAN ILUSI
KESEJAHTERAAN
MASYARAKAT
Sayangnya, luas lahan perkebunan sawit yang
dikelola masyarakat tidak berkorelasi positif
dengan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Terbukti, tingkat kemiskinan di Sumatera ta-
hun 2015 dan 2016 mengalami peningkatan
dibanding 2014. Di tahun 2016 saja, penduduk
miskin di Sumatera berjumlah 6.273.730 jiwa
atau 11,22 persen dari keseluruhan penduduk
(BPS, 2016). Penyebabnya karena masih
berkuasanya sektor swasta, terutama dalam
kepemilikan fasilitas pengolahan kelapa sawit.
Pekebun seringkali tidak memiliki pilihan lain
selain menjual hasil kebunnya kepada perusa-
haan. Posisi tawar pekebun dalam hal ini su-
dah tentu lebih rendah dibanding perusahaan
yang memiliki pengolahan kelapa sawit.
Selain itu, berdasarkan temuan TuK Indone-
sia, terjadi pula fenomena landbanking dima-
na penguasaan lahan oleh perkebunan swas-
ta terkonsentrasi di bawah kendali 25 grup
dengan 3 penguasa lahan terbesar terdiri dari
Grup Sinar Mas, Grup Salim, dan Grup Jar-
dine Matheson (TuK Indonesia, 2013). Dalam
hal ini, tujuan sawit rakyat untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat belum tercapai.
IZIN PERTAMBANGAN DI
KAWASAN HUTAN
Selain oleh pemberian izin perkebunan, keru-
sakan hutan dan lahan di Sumatera diperpar-
ah oleh Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang
berada di kawasan hutan. Berdasarkan data
KPK, dari hasil Koordinasi dan Supervisi Ke-
menterian/Lembaga KPK per Oktober 2016,
dari 34,7 juta hektar luas IUP Tambang yang
dikeluarkan secara nasional, 22,9 juta berada
di dalam kawasan hutan. Dimana IUP yang
berada di kawasan hutan lindung dan hutan
konservasi yang seharusnya bebas dari aktivi-
tas pertambangan, mencapai 6,3 Juta Hektar.
Berdasarkan data ESDM, di Sumatera Selatan
terdapat 169 IUP Tambang yang berada dalam
kawasan hutan dengan total luasan mencapai
767.773. Di tahun 2016 terdapat pengurangan
(pemberhentian) izin bermasalah mencapai
lebih dari 80 izin, dimana 32 masuk dalam ka-
wasan hutan dengan luasan 240,502.66 hek-
KOTAK 2
TABEL 1. KOMPOSISI KEPEMILIKAN IPKH PERUSAHAAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI PROVINSI RIAU
TAHUN 2016
4. tar. Sementara di Bangka Belitung, perusahaan
tambang timah baik swasta maupun BUMN
beroperasi dalam semua fungsi kawasan hutan,
mulai dari Hutan Produksi hingga hutan konser-
vasi. Hingga tahun 2014, ditemukan 121 peru-
sahaan melakukan aktivitas produksi dalam ka-
wasan hutan seluas 158.276,67 hektar. Ribuan
hektar lahan pertanian rakyat di Bangka Be-
litung telah dikonversi menjadi areal pertamban-
gan setiap tahun. Setiap tahunnya terjadi kon-
versi lahan (hutan, lahan pertanian, perkebunan
rakyat) menjadi pertambangan seluas 5.400
hektar di setiap kabupaten di Bangka Belitung.
Di Sumatera Barat, tumpang tindih antara ka-
wasan hutan dan pemberian IUP juga terjadi.
Berdasarkan rekapitulasi data IUP yang dilaku-
kan Kementerian Energi dan Sumber Daya Min-
eral, pada agustus Tahun 2016, terdapat 278
IUP Tambang di Provinsi Sumatera Barat. Dari
total IUP tersebut, sebanyak 153 IUP dinyatakan
belum memenuhi persyaratan administratif,
kewilayahan, teknis, lingkungan dan keuangan
oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara,
atau belum berstatus Clear and Clean (CnC).
Sementara Direktorat Dirjen Planologi Kemente-
rian LHK melalui Surat No. S.704/VII-WKH/2014
tanggal 10 Juli 2014, menyatakan 78 (tujuh pu-
luh delapan) IUP di Sumbar arealnya terindikasi
berada dalam kawasan hutan yang terdiri dari
11 IUP pada kawasan hutan konservasi seluas
190,16 hektar dan 67 IUP pada kawasan hutan
lindung seluas 97.014,06 hektar.
Setelah berlakunya Undang-Undang No. 4 Ta-
hun 2009 tentang Pertambangan, terdapat ke-
cenderungan penambahan izin yang dikeluar-
kan Pemerintah Daerah. Izin tersebut bahkan
diberikan di kawasan konservasi dan lindung.
Sebagai contoh, di Bengkulu terdapat 5.960,3
hektar wilayah pertambangan yang masuk hutan
konservasi yang terdiri atas 31 izin tambang (1
KK, 30 IUP). Hutan lindung dan konservasi di
Bengkulu yang luasnya mencapai 713.715 hek-
tar, sebanyak 118.699,72 hektar atau 17 persen
telah diterbitkan IUP sebanyak 41 IUP.
Ironinya, tren peningkatan penerbitan izin
nyatanya tidak berperan signifikan dalam
penerimaan pendapatan negara. Data Pemer-
intah Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2015
menyebutkan, dari 38 pemegang IUP mineral
logam & batubara hanya 12 perusahaan yang
membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP) sementara 26 perusahaan tidak mau
melakukan kewajibannya sehingga negara
diperkirakan mengalami kerugian pada tahun
2014 sebesar Rp. 31.771.231.486. Kerugian
tersebut diperhitungkan berasal dari tidak di-
bayarkannya Iuran Tetap/land rent sebesar
Rp.6.805.271.113 dan Royalti/Iuran Produk-
si sebesar Rp. 24.965.960.373. Sementara
di Sumatera Barat, sejak tahun 2010 – 2013
diperkirakan potensi kerugian penerimaan neg-
ara dari land rent mencapai Rp. 4,6 miliar.
KONFLIK TENURIAL DAN
BENCANA ALAM
Selain permasalahan pemberian izin di ka-
wasan hutan yang tidak sesuai dengan ketentu-
an peraturan perundang-undangan, ketidakjela-
san penetapan kawasan hutan juga berpotensi
menimbulkan konflik tenurial baik antara mas-
yarakat versus pemerintah, masyarakat versus
perusahaan atau pemerintah versus perusa-
haan. Ketimpangan penguasaan dan kepemi-
likan lahan memicu terjadinya konflik agraria
yang tidak berkesudahan. Berdasarkan data
WALHI Sumsel tahun 2013, sekitar 35 konf-
lik agraria terjadi antara masyarakat dengan
perkebunan, tambang dan kawasan hutan. Se-
lama 2012 -2013, sekitar 70 orang yang terdiri
dari petani, aktivis dan masyarakat lokal dikrim-
inalisasi karena mempertahankan lahan dan
lingkungan hidupnya.
Selain rawan konflik, deforestasi hutan di Su-
matera ini berdampak terhadap peningkatan
kejadian bencana seperti banjir, longsor serta
kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
mencatat, karhutla pada 2015 telah menyebab-
kan 24 orang meninggal dunia, lebih dari 600
ribu jiwa menderita ISPA, 2,61 juta hektar hutan
dan lahan terbakar, lebih dari 60 juta jiwa terpa-
5. par asap serta kerugian ekonomi Rp 221 triliun.
Ini diluar sektor kesehatan dan pendidikan.
Di Riau, kasus karhutla terparah terjadi di ta-
hun 2015 yang menyebabkan jatuhnya korban
secara masif. Sebanyak 97.239 orang men-
derita penyakit pernapasan dan iritasi, serta 6
korban meninggal yang dipicu oleh asap. Salah
satu penyebab karhutla menurut BNPB kare-
na praktik pembersihan dan perluasan lahan
perkebunan terutama sawit dengan cara mem-
bakar yang dilakukan dengan sengaja. Hingga
2013, terdapat 370 IUP sawit dengan luas lahan
3,428,136 hektar. Riau adalah provinsi dengan
IUP sawit terbanyak, 164 dengan total luas lah-
an 2,11 juta hektar (FWI, 2013).
Jika di Riau kebakaran yang terjadi cukup mas-
if, lain lagi dengan di Sumatera Barat. Di Kabu-
paten Solok Selatan hampir 80 persen izin-iz-
in yang muncul berada dalam Hutan Lindung,
Hutan Produksi bahkan Hutan Konservasi,
beberapa diantaranya telah beroperasi dan
melakukan aktivitas eksploitasi tambang terbu-
ka, tanpa dilengkapi Izin Pinjam Pakai Kawasan
Hutan. Lemahnya penegakan hukum dalam
menindak pelaku tambang ilegal mengakibat-
kan daerah ini dilanda bencana banjir dan long-
sor terparah sepanjang sejarah pada Februari
2016. Total 4 orang meninggal dunia, 2 orang
dinyatakan hilang, dan 175 rumah serta tiga se-
kolah terendam banjir akibat meluapnya sungai
Batang Pungkur dan Batang Salak.
Selain di Sumatera Barat, bencana banjir akibat
buruknya tata kelola hutan juga terjadi di Aceh.
Pada periode 2011 – 2015, sebanyak 168 kasus
bencana banjir terjadi di Aceh. Sedangkan ta-
hun 2016, Walhi Aceh mencatat lebih 30 kasus
bencana banjir terjadi yang tersebar di 17 ka-
bupaten/kota di Aceh. Bencana banjir tersebut
telah berdampak serius terhadap hilang/rusak
infrastruktur pelayanan publik, ekonomi warga,
dan korban jiwa.
PENILAIAN KINERJA
PENCEGAHAN KORUPSI
Penilaian Kinerja Pencegahan Korupsi
Strategi pencegahan oleh pemerintah daer-
ah menjadi salah satu hal yang utama dalam
GN-PSDA, Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2015
tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi Tahun 2015, dan Instruksi Presiden No.
10 Tahun 2016 Tentang Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi Tahun 2016-2017. Ket-
erbukaan informasi merupakan hal utama dalam
pencegahan korupsi. Tanpa adanya transparan-
si, maka dapat dipastikan akan terjadi korupsi.
Salah satu strategi pencegahan melalui penga-
lihan kewenangan perizinan dan non perizinan
kepada Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).
Di Aceh, sudah terdapat Badan Pelayanan
Perizinan Terpadu (BP2T) yang sudah menye-
diakan informasi mengenai tata cara perizinan
dan layanan perizinan online. Sedikit berbe-
da dengan Aceh, BP2T di Riau belum menye-
diakan informasi mengenai tata cara perizinan
dan layanan perizinan online di website. Namun,
pengalihan kewenangan kepada PTSP tersebut
harus dicermati lagi, apakah memang berimp-
likasi positif untuk lingkungan hidup atau justru
hanya mempermudah investasi dan menambah
permasalahan baru. Faktanya, sejak Januari
hingga Juni 2016 saja PTSP Badan Koordina-
si Penanaman Modal (BKPM) sudah menerbit-
kan sekitar 300 IUP Tambang. Cepatnya proses
perizinan tidak dibarengi dengan pertimbangan
teknis yang matang karena terhadap izin yang
diajukan hanya dilakukan desk verification. Hal
ini tentunya menjadi kontraproduktif dengan
tujuan penataan perizinan dan moratorium izin
tambang di tahun 2015.
Pengalaman di Sumatera menunjukkan bahwa
keterbukaan informasi publik sesuai dengan
amanat UU No. 14 tahun 2008 tentang Keter-
bukaan Informasi Publik belum cukup baik. Di
Riau, keberadaan badan publik yang mem-
bentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Doku-
mentasi (PPID) sebagai tolak ukur kepatuhan
terhadap UU tersebut masih minim. Untuk ke-
terbukaan informasi publik di kabupaten/kota
daerah Riau, Fitra Riau menemukan bahwa
hanya satu daerah yakni Indragiri Hulu yang
sudah memiliki sistem pengelolaan informasi
yang lebih baik dibandingkan daerah lainnya.
Namun secara umum, ketersediaan informasi
yang dapat diakses dengan mudah oleh publik
Papan ISPU di Kota Pekanbaru, Riau menunjukkan
pencemaran udara yang diakibatkan karhutla sudah
berada dalam level berbahaya untuk dihirup.
@Jikalahari
6. di website masing-masing dinas terkait masih
minim. Untuk pelayanan informasi di Kepoli-
sian dan Kejaksaan sudah lebih baik karena
sudah disajikan alur permohonan permintaan
informasi. Namun untuk Dinas Kehutanan dan
Perkebunan belum maksimal karena beberapa
website masih dalam proses maintenance dan
ada website yang menyediakan kolom informasi
data, namun kanal informasi belum terisi oleh
data apapun. Sampai saat ini, jika masyarakat
ingin memperoleh informasi dan mengalami ke-
sulitan dengan lembaga pemerintah umumnya
dilakukan melalui sidang sengketa informasi
agar informasi yang dibutuhkan dapat diperoleh.
Pengalaman dalam melakukan permohonan
informasi yang berakhir di sidang sengketa in-
formasi banyak dirasakan oleh MaTA Aceh. Di
provinsi Aceh, belum semua Satuan Kerja Pe-
merintah Aceh (SKPA) yang mempublikasikan
alur permohonan informasi di website mas-
ing-masing. Hanya PPID Utama Provinsi Aceh
yang sudah memiliki kelengkapan pelayanan in-
formasi publik. Dari 3 sengketa informasi men-
genai sektor kehutanan yang diajukan MaTA, 2
diantaranya berhasil mendapatkan keseluruhan
dokumen yang diajukan.
Berbeda dengan pengalaman MaTA di Aceh,
Pemerintah Daerah Sumatera Barat cenderung
tertutup akan permintaan informasi seperti do-
kumen izin pertambangan. Civil Society Orga-
nization (CSO) di Sumatera Barat yang mem-
bangun komunikasi dengan Pemerintah untuk
mendapatkan dokumen perizinan sejak awal
2016, hingga kini belum berhasil mendapatkan-
nya. Pemerintah selalu beralasan terkendala di
peralihan kewenangan antara pemerintah daer-
ah kabupaten dan provinsi.
PENILAIAN KINERJA
PENEGAKAN HUKUM ATAS
KASUS KORUPSI
Penyebab kerusakan hutan di Sumatera ada-
lah korupsi, baik yang dilakukan dengan peny-
alahgunaan kewenangan maupun praktik suap
dalam proses perizinan dan alih fungsi lahan.
Dari tujuh kasus korupsi sektor kehutanan yang
ditangani KPK di Sumatera, sebagian besar ter-
jadi di Provinsi Riau. Berdasarkan persidangan
tujuh kasus tersebut, terdapat 15 orang penye-
lenggara negara dan 3 orang dari sektor swas-
ta yang divonis bersalah dengan total kerugian
negara mencapai Rp 1,7 triliun dan 209 ribu
dolar Singapura (ICW 2016). Selain itu masih
ada satu kasus dengan nama terdakwa Edison
Marudut Marsadauli yang proses persidangann-
ya masih berjalan di PN Bandung.
Dari sekian banyak kasus korupsi yang ditan-
gani KPK di Sumatera, hingga saat ini belum
ada korporasi yang dikenakan pertanggung-
jawaban pidana walaupun keterlibatannya ter-
gambarkan dengan cukup jelas dari keteran-
gan-keterangan dalam persidangan. Bahkan,
korporasi-korporasi tersebut masih beroperasi
hingga saat ini. Hal ini tentunya menimbulkan
ketidakadilan, sebab UU No. 31 Tahun 1999 jo.
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sudah memasukkan kor-
porasi sebagai salah satu subjek yang dapat
dikenakan pertanggungjawaban pidana, hanya
saja masih minim dalam implementasinya.
Praktik korupsi di atas merupakan cerminan bu-
ruknya tata kelola hutan dan lahan yang dapat
mengakibatkan hutan Sumatera hilang dalam
kurun waktu 69 tahun. Apabila tidak dilakukan
perbaikan, Riau diproyeksi menjadi provinsi ter-
cepat kehilangan luasan hutan yakni hanya da-
lam waktu 14 tahun (FWI, 2013).
Salah satu penyebabnya karena pemerin-
tah daerah belum melaksanakan tanggung
jawabnya dalam pencegahan secara efektif.
Temuan Fitra Riau, Jikalahari dan Walhi Riau
menunjukkan, Pemerintah Provinsi Riau be-
lum melaksanakan mandat UU No. 14/2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik, terbukti
jumlah badan publik yang membentuk Pejabat
Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
masih minim. Selain itu, amanat Inpres tentang
Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
untuk pelimpahan kewenangan penerbitan izin
dan non-izin di daerah serta pengintegrasian
layanan perizinan di PTSP juga belum optimal.
Sementara itu, penegakan hukum terhadap du-
gaan korupsi yang ditemukan oleh publik baik
masyarakat maupun CSO masih lemah. Lapo-
7. ran kasus yang disampaikan publik banyak yang
tidak ditindaklanjuti lembaga penegak hukum
dengan alasan teknis seperti dokumen pelapo-
ran yang alat buktinya belum lengkap ataupun
belum matangnya konstruksi perbuatan terse-
but dengan pasal-pasal dalam UU Pemberan-
tasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal ini,
beban yang diberikan kepada publik yang mel-
apor terlalu berat hingga sampai pada beban
pembuktian (burden of proof). Padahal sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan beban
pembuktian tersebut bukan terletak pada publik
yang jelas-jelas tidak memiliki kewenangan pro
justisia.
DiAceh, sampai akhir Oktober 2016 ada 6 kasus
yang disampaikan Organisasi Masyarakat Sipil
ke KPK, namun hingga hari ini belum ada tindak-
lanjutnya. Dalam prosesnya, salah satu dugaan
suap yang dilaporkan MaTA ditolak dengan ala-
san kurangnya alat bukti. Sementara di Riau,
pada Agustus lalu Jikalahari melaporkan adan-
ya dugaan korupsi yang dilakukan oleh Mantan
Bupati Indragiri Hilir, IMA terkait penerbitan izin
PT SAL. Pelaporan tersebut didasarkan pada
temuan Jikalahari dan hasil Pansus Monev Per-
izinan DPRD Riau bahwa PT SAL merupakan
salah satu dari perusahaan yang tidak memiliki
pelepasan kawasan hutan di Riau namun tetap
beroperasi sejak tahun 2012. Laporan Jikala-
hari tersebut kemudian ditolak dengan alasan
kurangnya alat bukti yang dapat menunjukkan
keterlibatan langsung IMA dengan penerbitan
izin. Berdasarkan pengalaman di kedua daerah
tersebut terlihat bahwa terdapat kesalahan par-
adigma aparat penegak hukum mengenai pel-
aporan publik atas dugaan korupsi yang men-
gakbatkan sistem pelaporannya menjadi rumit
dan menghambat proses penegakan hukum.
Permasalahan lainnya adalah, belum tersedi-
anya database sistem informasi penanganan
kasus secara online yang bisa diakses publik
secara luas yang merupakan amanat dari In-
pres No. 7 Tahun 2015 dan Inpres No. 10 Tahun
2016. Hal ini memperlemah kontrol publik terh-
adap proses penanganan kasus korupsi sektor
SDA, sebab akses publik terhadap kasus yang
ditangani oleh aparat penegak hukum sangat
terbatas. Dalam konteks lain, tidak mengher-
ankan jika kemudian terdapat keterlambatan
penyikapan CSO atas pemberian SP3 terhadap
15 perusahaan dalam kasus kebakaran hutan
dan lahan.
KESIMPULAN DAN
REKOMENDASI
GNP-SDA serta Inpres No. 7 Tahun 2015 dan
Inpres No. 10 Tahun 2016 Tentang Aksi Pence-
gahan dan Pemberantasan Korupsi, sudah se-
mestinya digunakan sebagai instrumen untuk
pemberantasan korupsi di sektor SDA. Namun
faktanya, instrumen tersebut belum efektif da-
lam mengatasi masalah korupsi sektor SDA
yang ada di Sumatera karena sistem pencega-
han korupsi yang baik belum terbangun. Selain
itu lemahnya penegakan hukum serta kontrol
publik atas penanganan kasus juga turut memi-
liki andil.
Karena itu Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera
merekomendasikan :
1. Mendorong KLHK untuk segera menyele-
saikan pengukuhan kawasan hutan agar ter-
dapat kejelasan mengenai status kawasan;
2. KLHK dan Pemerintah Daerah harus ber-
komitmen dalam melakukan evaluasi atas
izin yang berada dalam kawasan hutan di
masing-masing daerahnya;
3. Pemerintah Pusat harus mengevaluasi
efektifitas dan efisiensi sistem perizinan
tambang, kebun, dan hutan melalui PTSP;
4. Pemerintah Daerah harus berkomitmen
penuh dalam melaksanakan amanat GNP-
SDA, Inpres No. 7 Tahun 2015, dan Inpres
No. 10 Tahun 2016 bagi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi di sektor SDA, ter-
masuk dalam mendorong keterbukaan infor-
masi dan partisipasi publik di masing-mas-
ing SKPD;
5. Pemerintah Daerah harus membuat ren-
cana kerja yang terukur serta melaporkan
perkembangan pelaksanaannya ke publik
dalam melaksanakan amanat GNP-SDA,
Inpres No. 7 Tahun 2015, dan Inpres No. 10
Tahun 2016 bagi Pencegahan dan Pember-
antasan Korupsi di sektor SDA, termasuk
dalam mendorong keterbukaan informa-
si dan partisipasi publik di masing-masing
SKPD;
6. Pengembangan kolaborasi strategis dengan
berbagai pihak dalam pencegahan dan pen-
anganan kasus korupsi sektor SDA, diawali
dengan pembuatan sistem pelaporan perk-
ara yang sederhana dan tidak rumit untuk
memastikan partisipasi publik dapat diopti-
malkan; dan
7. Aparat Penegak Hukum harus berkomitmen
melaksanakan amanat UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi untuk tidak hanya
mengenakan pertanggungjawaban pidana
kepada penyelenggara negara ataupun in-
dividu swasta melainkan juga korporasi.
8. S
epanjang tahun 2016, seluas 4.097
hektar hutan di Kawasan Ekosistem
Leuser (KEL) Provinsi Aceh beru-
bah fungsi. Pada Januari 2016, luas
hutan KEL mencapai 1.820.726 hektare,
namun luas tersebut berkurang menjadi
1.816.629 hektare pada Juni 2016. Kehilan-
gan kawasan hutan (forest loss) akibat alih
fungsi menjadi kawasan perkebunan, per-
tambangan illegal, dan ancaman terbesar
akibat aktivitas ilegal logging. Selain kehil-
angan kawasan hutan, periode Januari hing-
ga Juni 2016 terpantau 187 titik api, pada
umumnya titik api berada dalam area perke-
bunan.
Area perkebunan di Aceh sudah mencapai
1.195.528 ha (21,06 persen dari total luas
daratan Aceh), perkebunan besar 385.435
ha, perkebunan rakyat 810.093 ha. Dari jum-
lah tersebut, sebagian besar perkebunan
besar merupakan perkebunan kelapa sawit
yang dikelola melalui HGU, setidaknya ada
127 perusahaan perkebunan di Aceh.
Lain halnya dengan sektor pertambangan,
melalui Instruksi Gubernur Nomor 11/IN-
STR/2014 tentang Moratorium Izin Usaha
Pertambangan Mineral Logam dan Batuba-
ra, Pemerintah Aceh telah melakukan eval-
uasi IUP pertambangan yang ada. Tercatat,
2007 – 2014, jumlah izin usaha pertamban-
gan (IUP) di Aceh mencapai 138 izin. Sejak
moratorium dan evaluasi tambang diberlaku-
kan, pada 2016, jumlah IUP tersisa hanya
46 izin. Sebagian besar izin pertambangan
dicabut karena berada di hutan lindung, juga
di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
Hilangnya kawasan hutan telah berdampak
serius terhadap keberlangsungan lingkungan
hidup dan HAM di Aceh. Terjadinya sejumlah
bencana banjir dan tanah longsor tidak terle-
pas dari faktor tersebut. Bencana banjir telah
berdampak serius terhadap hilang/rusak in-
frastruktur pelayanan publik, ekonomi warga,
dan korban jiwa. Terkait bencana ini, pemer-
intah mengakui faktor utama terjadinya ban-
jir karena kerusakan dan alih fungsi kawasan
hutan untuk pertambangan dan perkebunan
kelapa sawit di daerah hulu dan hilir. Na-
mun, dalam waktu yang sama pemerintah
juga mengalokasikan anggaran pengadaan
bibit kelapa sawit dalam anggaran daerah.
Hasil tracking Walhi Aceh, setidaknya dalam
periode 2013 – 2016 anggaran pemerintah
untuk pengadaan bibit kelapa sawit sebesar
Rp. 104.786.341.059.
Secara regulasi Aceh juga memiliki mas-
alah yang cukup serius. Qanun No. 19 Ta-
hun 2013 Tentang RTRW Aceh tidak mema-
sukkan klausul Kawasan Ekosistem Leuser
(KEL) yang merupakan kawasan strategis
nasional. Selain itu, secara tata ruang, Pe-
merintah Aceh juga belum mengalokasikan
ruang terhadap Mukim (adat). Selain itu, pe-
merintah Aceh juga masih kurang keterbu-
kaan informasi publik terkait sektor pengelo-
laan sumber daya alam. Tidak sedikit kasus
sengketa informasi publik masuk ke Komisi
Informasi Aceh (KIA) yang didominasi oleh
masyarakat sipil.
Ekspansi lahan untuk perkebunan dan per-
tambangan di Aceh menjadi ancaman terh-
adap wilayah kelola masyarakat. Contoh ka-
sus, Bupati Aceh Tamiang menerbitkan izin
lingkungan untuk pabrik semen dalam area
Hutan Kemasyarakatan. Tumpang tindih
kawasan HGU perkebunan dengan perke-
bunan rakyat juga merupakan contoh kasus
yang mendominasi konflik agraria di Aceh
yang sampai hari ini belum mampu disele-
saikan oleh Pemerintah Aceh.
Kertas Posisi ini disusun oleh: KOALISI ANTI MAFIA HUTAN. Dipersiapkan untuk pre-event
IACF V “Kinerja Pemberantasan Korupsi di Sektor Kehutanan dan Perkebunan”. PADA 22 - 23
November 2016. Nama Lembaga :
1. Walhi Aceh
2. Yayasan HAkA
3. MaTA
4. Walhi Sumut
5. Walhi Sumbar
6. Walhi Babel
7. Walhi Bengkulu
8. YCMM
9. Perkumpulan Qbar
10. LBH Padang
11. Walhi Riau
12. Jikalahari
13. Fitra Riau
14. LBH Pekanbaru
15. Yayasan Mitra Insani
16. Walhi Sumsel
17. HaKI
18. FWI
19. ICW
20. Yayasan Auriga
21. PWYP Indonesia
22. TuK Indonesia
23. Eknas Walhi
KOTAK 3
KAWASAN EKOSISTEM LEUSER YANG KINI TERANCAM