SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 7
Baixar para ler offline
Sengketa Tanah di Bumi Mataram
Oleh:
Anang Zakaria
www.pindai.org | t: @pindaimedia | f: facebook.com/pindai.org | e: redaksi@pindai.org
PINDAI.ORG – Sengketa Tanah di Bumi Mataram / 23 Desember 2015
	
H a l a m a n 	2	|	7	
	
Sengketa Tanah di Bumi Mataram
oleh Anang Zakaria
Tekanan kuasa dan modal yang tak tersentuh telah membawa perubahan besar di Yogakarta.
SUTINAH, berusia 48 tahun, adalah penjual nasi rames. Warungnya di sisi ruas jalan antara
persimpangan Jalan Ibu Ruswo dan Brigjen Katamso, daerah Gondomanan, sekira 1 km dari
Malioboro. Berukuran 4-6 meter persegi, berlantai tanah dan beratap seng, sebilah papan bekas
dijadikan dinding belakang warung itu. Sementara pagar seng dari sebuah proyek gedung dua
lantai dan tembok toko stiker menjadi dinding samping warung tersebut. Beragam perkakas
seperti piring, gelas, sendok, garpu, dan panci tersimpan di sebuah rak besi berkarat di sudut
dinding pagar seng. Warung yang terlihat sangat sederhana, bila bukan seadanya.
Sutinah tidak sendiri menempati warung itu. Menjelang malam ketika dia pulang ke Kasihan,
Bantul, sekira 10 kilometer dari Gondomanan, Suwarni dan Sugiyadi bergantian jualan di
warung itu. Suami Suwarni (biasa dipanggil “Pak Buwang” oleh Sutinah) menikah dengan
kerabat dekat Sutinah. Sementara Sugiyadi adalah anak “Pak Jo”, yang berteman dengan Pak
Buwang. Pak Buwang mendirikan warung itu sejak 1960an dan Pak Jo mengisinya saat malam
dengan berjualan bakmi.
“Jadi Sugi itu meneruskan (jualan) bakmi bapaknya,” kata Sutinah. Selagi Sugiyadi melayani
pembeli bakmi, Suwarni yang melayani pesanan minum. Seringkali, ketika bakmi habis dan
Sugiyadi pulang, Suwarni memilih tinggal dan tidur di warung menanti pagi.
Selain mereka, ada Budiono dan anaknya, Agung, yang membuka jasa duplikat kunci sejak
1980an. Lapak mereka, berupa gerobak mungil, berada di depan warung itu.
“Dulu,” kata Sutinah, “warung ini sampai sana.” Jarinya menunjuk halaman gedung yang
tengah dibangun di belakang warung. Tatapannya membentur pagar seng. Di salah satu sisi
pagar itu menempel spanduk dari Pemerintah Kota Yogyakarta berupa izin pendirian bangunan,
seluas 465 meter persegi, bagi seseorang bernama Eka Aryawan.
Melewati pelbagai perubahan sosial dan politik serta pergantian rezim, kelima rakyat kecil itu,
yang sumber ekonominya ditopang oleh jalinan usaha kaki lima di sepetak tanah, mendadak
limbung ketika sebuah proyek gedung dua lantai itu berdiri. Si pengusaha lewat pengacaranya
mengugat mereka Rp 1,12 miliar!
Bermula dari selembar surat. Pada 28 November 2011, lembaga keraton yang mengelola tanah
kesultanan—biasa disebut ‘panitikismo’—lewat Hadiwinoto menerbitkan ‘kekancingan’ bagi Eka
Aryawan. Hadiwonoto adalah adik Sultan yang mengurusi aset keraton. ‘Kekancingan’ adalah
surat pinjam-pakai atas tanah yang diklaim milik, dan diterbitkan oleh, keraton.
Dalam surat itu, Keraton Yogyakarta memberi izin kepada Eka Aryawan untuk memakai lahan
73 meter persegi. Di atas sebagian kecil lahan itulah terdapat warung Sutinah dan koleganya
serta lapak Budiono. Surat keraton itu memenuhi permohonan hak ‘magersari’ tanah keraton,
di antara sejumlah sebutan hak pinjam-pakai lain, yang intinya seorang warga sipil di
Yogyakarta mengajukan hak atas tanah bukan keprabon yang belum dimanfaatkan oleh
keraton.
Kasultanan Yogyakarta membagi tanah menjadi dua jenis: keprabon dan bukan keprabon.
Tanah keprabon adalah areal yang ditempati bangunan keraton dan upacara adat seperti alun-
PINDAI.ORG – Sengketa Tanah di Bumi Mataram / 23 Desember 2015
	
H a l a m a n 	3	|	7	
	
alun, masjid Gedhe Kauman, pasar Beringharjo, panggung Krapyak, hingga labuhan di gunung
Merapi dan pantai Parangkusumo. Sementara tanah bukan keprabon merupakan tanah yang
belum terikat alas hak.
Pembagian macam ini diterapkan juga untuk tanah Kadipaten Pakualaman. Di Yogyakarta,
klaim atas tanah-tanah keraton dikenal ‘Sultan Ground’ dan tanah kadipaten sebagai
‘Pakualaman Ground’.
Tanah yang jadi sengketa antara Eka Aryawan dan para pedagang kecil itu adalah lahan seluas
99 meter persegi di sayap timur proyek izin bangunan yang dikantungi Eka Aryawan. Ia
berbatasan dengan trotoar. Oleh Aryawan, kehadiran pedagang dinilai “menghalangi sebagian
akses jalan menuju bangunan”.
Mediasi pernah dilakukan. Pada 13 Februari 2013, Aryawan dan pedagang (diwakili Sugiyadi,
Suwarni, dan Sutinah) bertemu di Kantor Kepolisian Sektor Gondomanan. Mereka bersepakat
tentang batas halaman gedung. Dari kesepakatan itu, warung Sutinah hanya perlu bergeser
beberapa meter ke arah selatan, sedikit menutupi proyek gedung. Ia resmi diteken dan
disaksikan oleh ketiga pihak: kuasa hukum Eka Aryawan dari Candra & rekan, kuasa hukum
pedagang dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, dan petugas Polsek Gondomanan
Inspektur II Joko Triyono.
Tetapi kemudian, dengan menggandeng kantor hukum Oncan Poerba & Associates, pada
Agustus 2015 Eka Aryawan meminta pedagang enyah dari seluruh halaman dan mengajukan
gugatan Rp 1,12 miliar. Pihak Aryawan menuding pedagang menempati 28 meter persegi tanah
keraton yang telah dipinjamkan untuknya.
Gugatan itu terang membuat kelu kelima pedagang kecil. Pada 13 September 2015, untuk
mengetuk hati nurani penguasa, mereka melakukan aksi simbolik tapa pepe—satu-satunya
senjata wong cilik yang masih mereka punya dan hayati.
Mengenakan kain lurik kebaya dan surjan, mereka berjalan menuju alun-alun utara Keraton,
menembus sengatan matahari. Lalu mereka berdiri di antara pohon beringin kembar di tengah
alun-alun, kemudian duduk bersila dan menghadap Keraton. Pada zaman dulu, para penjaga
keraton yang melihatnya segera melapor pada sang raja. Raja memanggil pelaku tapa pepe
untuk didengar keluhannya.
“Kami cuma ingin tetap bisa jualan di sana,” kata Budiono kepada para wartawan. “Duit apa
yang kami pakai untuk membayar?”
Setengah jam lamanya mereka berjemur di alun-alun. Tak seorang pun dari utusan raja
menemui mereka. Justru yang ada beberapa wisatawan yang memotret beberapa kali lalu pergi.
Ke mana penjaga? Di mana sang raja?
SUARA Oncan Poerba meninggi. Dia mengatakan, jika para pedagang telah menempati lahan
itu sejak 1960an, mengapa mereka tak punya selembar surat pun yang membuktikan hak
mereka atas tanah itu? Tapi dia meyakini bahwa keraton takkan mengizinkan mereka di sana.
Kehadiran lapak pedagang di sekitar trotoar, menurutnya, akan membuat pemandangan kota
semakin kumuh saja.
“Mereka melanggar keindahan kota,” katanya.
Sejak pertengahan tahun 2015 Oncan menjadi kuasa hukum Eka Aryawan. Dia mengaku telah
menempuh jalur damai atas sengketa ini. Semula ada tiga kelompok pedagang; dan dua di
antaranya bersedia pindah. “Tinggal satu kelompok ini yang ngeyel,” katanya.
PINDAI.ORG – Sengketa Tanah di Bumi Mataram / 23 Desember 2015
	
H a l a m a n 	4	|	7	
	
Meski Oncan mengakui ada kesepakatan antara kliennya dan kelima pedagang, tapi
menurutnya, perjanjian itu bukan berarti membiarkan pedagang bisa tetap menguasai lahan
yang dimiliki kliennya. Kantor hukumnya telah melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri
Kota Yogyakarta.
Eka Aryawan sendiri adalah pengusaha asal Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, yang membuka toko
grosir mainan anak-anak di depan Hotel Melia Purosani, Kota Yogyakarta. Sekitar sepuluh
tahun lalu, Aryawan membeli dua bidang tanah di Jalan Brigjen Katamso. Masing-masing
seluas 99 meter persegi dan 293 meter persegi. Di atas kedua bidang tanah itulah, persis di
sebelah barat tanah sengketa dengan pedagang, dibangun gedung dua lantai. Karena gedung
baru membutuhkan akses jalan, dia mengajukan permohonan hak pinjam-pakai tanah kepada
Keraton Yogyakarta.
Oncan tak tahu pasti dari mana kliennya membeli tanah itu. Yang jelas, meski telah membeli,
Aryawan hanya mampu mengantongi sertifikat Hak Guna Bangunan. “Tidak bisa punya
sertifikat hak milik tanah,” katanya.
Musababnya, Eka Aryawan adalah warga keturunan Tionghoa. “Dia non-pribumi.”
Yogyakarta, yang menyandang status “daerah istimewa”, masih menerapkan aturan yang
berlaku diskriminatif terhadap warga asing dan warga Tionghoa (dianggap ‘non-pribumi’) dan
mengistimewakan warga lainnya. Aturan ini dibuat 5 Maret 1975, diteken oleh wakil gubernur
kala itu Paku Alam VIII, yang isinya sebuah instruksi tentang “penyeragaman policy pemberian
hak atas tanah kepada seorang WNI non-pribumi”.
“Aturan seperti ini hanya di Yogyakarta. Di wilayah Indonesia lainnya sudah tak ada,” kata
Oncan, kali ini bersuara pelan.
WILLIE Sebastian, berusia 65 tahun, adalah Ketua Granad (singkatan untuk Gerakan Anak
Negeri Anti Diskirimasi), sebuah organisasi nonpemerintah yang mendesak pencabutan
instruksi “penyeragaman policy” ke presiden dan pemerintah DIY. Suratnya mendapat
tanggapan dari presiden lewat Badan Pertanahan Nasional. Pada 16 November 2011, BPN
menyurati Kantor Wilayah BPN DIY dengan menyatakan “tidak ada pembedaan layanan
pengurusan sertifikat antara WNI pribumi dan keturunan Tionghoa”.
Namun pemerintah DIY bergeming. Lewat surat sekretariat daerah pada 8 Mei 2012,
Pemerintah DIY menyatakan instruksi “penyeragaman policy” tahun 1975 masih berlaku.
Alasannya, aturan itu merupakan affirmative policy dengan tujuan “melindungi warga pribumi”
agar kepemilikan tanah tidak beralih pada warga atau pemodal yang secara finansial memiliki
kemampuan lebih kuat.
Pada 2014, Granad mengirim surat pengaduan serupa kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang,
Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian RI, Menteri Dalam Negeri, dan Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia. Lembaga terakhir meresponsnya melalui surat rekomendasi kepada
Gubernur DIY supaya menghentikan aturan 1975 karena “bertentangan dengan hak asasi
manusia”.
Alasan sebagai “kebijakan afirmatif”, yang tujuannya memberi lapisan kelas sosial marjinal
untuk punya peluang setara, dinilai Komnas HAM justru sebaliknya. Kebijakan istimewa itu
merupakan tindakan yang hanya boleh ditempuh untuk melindungi kelompok rentan seperti
anak-anak, perempuan, kaum lanjut usia, disabilitas, serta kelompok minoritas. Pembatasannya
hanya bisa didasarkan pada undang-undang. Dan, “… tidak seluruhnya warga keturunan etnis
Tionghoa merupakan warga yang memiliki kelebihan finansial atau tergolong pemodal kuat”.
PINDAI.ORG – Sengketa Tanah di Bumi Mataram / 23 Desember 2015
	
H a l a m a n 	5	|	7	
	
Nyatanya rekomendasi ini berakhir sebagai tumpukan di meja kerja pemerintah DIY. Dewo
Isnu Broto, kepala biro hukum pemda Yogyakarta, di depan gedung dewan daerah mengatakan
bahwa pemerintah DIY “memiliki alasan kuat” menolak rekomendasi itu.
Tetapi Willie dan Granad tidak putus harapan. Mereka mengirim surat kepada Presiden Joko
Widodo. Isinya, Sultan HB X (sekaligus Gubernur Yogyakarta) dinilai “berpotesi melakukan
tindakan separatis” karena upayanya mendata tanah Kasultananan dan Pakulaman. Ini sama
artinya menghidupkan kembali aturan kolonial Belanda (Rijskblad) tahun 1918 nomor 16
tentang tanah kasultanan dan nomor 18 tentang tanah pakualaman.
“Apa namanya tak ingin memisahkan diri dari Indonesia kalau sudah merdeka tapi hukumnya
mau dikembalikan seperti era penjajahan?” ujar Willie lewat telepon.
PANGKAL tudingan “menghidupkan aturan kolonial” itu bermula ketika Pemerintah Daerah
Istimewa Yogyakarta mulai mendata tanah Kasultanan dan Pakualaman. Sejatinya ini adalah
perintah Undang-Undang nomor 13 tahun 2013 tentang Keistimewaan DIY. Pada pasal 43
(huruf d), Gubernur DIY Sultan HB dan wakilnya, Paku Alam, ditugaskan melakukan
“inventarisasi dan identitifikasi” tanah Kasultanan dan Kadipaten. Selanjutnya (dalam huruf e)
tanah itu didaftarkan—istilah lain untuk disertifikasi—ke Badan Pertanahan Nasional.
Proses ini berlangsung setidaknya sejak setahun lalu. Awal September 2015, Kepala Biro Tata
Pemerintahan DIY Benny Suharsono mengatakan, sebanyak 10.523 bidang tanah Kasultanan
dan Kadipaten sudah berhasil diinventarisasi. Menelan biaya Rp 10 miliar per tahun, kegiatan
macam ini bakal berlangsung lama hingga seluruh tanah terdata dan mendapat sertifikat dari
BPN. Perkiraan Suharsono, ia baru selesai pada 2024.
Ini pekerjaan besar dan pelik. Ada banyak data dari bermacam versi menyebutkan luasan tanah
yang diklaim milik sultan dan pakualam, tapi tak ada angka yang pasti. Bila merujuk Rijksblad,
kecuali tanah yang telah dimiliki perorangan dan lembaga, sisanya adalah tanah di wilayah
Kasultanan dan Kadipaten.
Sejumlah pertanyaan muncul: Masih adakah ‘Sultan Ground’ dan ‘Pakualaman Ground’?
Kalaupun masih ada, bagaimana posisinya di depan hukum pertanahan nasional?
Saya menemui Ni’’matul Huda, pakar hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia. Dia
sering diminta sebagai pakar ahli pada sesi rapat di dewan daerah mengenai urusan hak
keistimewaan dan tata negara, serta akademisi yang dilibatkan dalam penyusunan draf UU
Keistimewaan DIY. Huda menulis buku Status Hukum Tanah Keraton Yogyakarta Setelah
diberlakukannya UU No 5 tahun 1960 di Provinsi DIY (UII Press, 1997).
Menurutnya, persoalan kedua jenis tanah itu semestinya selesai sejak 1984. Pada tahun itu,
pemerintah DIY menerbitkan Peraturan Daerah nomor 3 tentang Pelaksanaan Berlaku
Sepenuhnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria di DIY. Di tahun yang
sama Presiden Soeharto telah mengeluarkan keputusan nomor 33 tentang hal serupa.
“Selesai dalam arti (tanah SG dan PG) itu diatur menjadi milik negara,” jawabnya.
Dalam Diktum IV (huruf A) pada UU Pokok Agraria, ujar Huda, hak dan wewenang atas bumi
dan air dari Swapraja dan bekas Swapraja dihapus dan beralih menjadi milik negara. Soal
pembagiannya, dia meminta saya melihat peraturan pemerintah nomor 224 tahun 1961 tentang
pelaksanaan pembagian tanah dan pemberian ganti rugi.
Tetapi Sultan punya pendapat sendiri. Menurutnya, “tak ada tanah negara di wilayah
Yogyakarta”, meski dia mengaku “tak tahu pasti” berapa luasan tanah yang menjadi wilayah
keraton. “Hasil ‘Palihan Nagari’ kok tanah negara?” katanya usai mengikuti satu rapat di
PINDAI.ORG – Sengketa Tanah di Bumi Mataram / 23 Desember 2015
	
H a l a m a n 	6	|	7	
	
gedung dewan pada 15 September 2015. ‘Palihan Nagari’ dikenal pembagian wilayah Kasultanan
Mataram menjadi dua, Kasunanan Surakarta dan Keraton Yogyakarta, dari hasil Perjanjian
Giyanti pada 1755.
Satu di antara berhektar-hektar lahan yang disebut tanah Kasultanan adalah Gumuk Pasir di
Pantai Parangtritis. Pada 11 September 2015, kawasan itu diresmikan sebagai Laboratorium
Geopasial Parangtritis. Peresmiannya dihadiri Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi
Mohammad Nasir dan, tentu saja, Sultan. Di sana juga berdiri Parangtritis Geomaritime Science
Park. Ini lembaga hasil kerjasama antara Badan Informasi Geospasial Fakultas Geografi UGM,
Pemerintah DIY, dan Pemerintah Kabupaten Bantul.
Peresmian itu diisi acara pemasangan patok kawasan Gumuk Pasir. Di patok itu tertera plakat
bertuliskan ‘Kagungan Dalem’ lengkap dengan logo Keraton Yogyakarta.
Menurut Sultan, gumuk pasir ini adalah satu di antara tanah Kasultanan. Dan negara mengakui
keberadaannya dalam “hak asal-usul” tanah. “UUPA memang tidak sepenuhnya berlaku di
Yogya,” katanya.
Bagaimana dengan warga yang bersengketa di atas lahan-lahan itu?
“Bukan urusanku.”
Baginya, keraton telah memberikan hak pakai pada seseorang. Jika hak itu diambil orang lain,
maka yang terjadi adalah urusan antara penerima hak dan orang tersebut.
Pada akhir September 2015, saya mengikuti sebuah aksi protes yang digalang Komite Aksi
untuk Reformasi Agraria di halaman gedung dewan daerah. Di sana ada Sri Kus Antoro,
sekretaris Granad serta juru bicara komite itu. “Mari kita tengok bunyinya (Perjanjian Giyanti
1755) seperti apa?” kata Kus menanggapi pernyataan Sultan.
Menurutnya, pasal 1 (alinea ke-7 hingga ke-8) dalam Perjanjian Giyanti menyebutkan, Sultan
Hamengku Buwono I, raja pertama Kasultanan Yogyakarta, diangkat oleh Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC), sebuah kongsi dagang Hindia Belanda. Pembagian wilayah itu
merupakan usaha VOC menyelesaikan konflik internal di Mataram. Sultan diangkat menjadi
raja Kasultanan dan dipinjami tanah untuk wilayahnya.
Dia mengatakan “pinjaman tanah” sebagai wilayah kasultanan karena sebelumnya, pada 1749,
Raja Mataram Paku Buwono II telah menyerahkan kekuasaan dan wilayahnya kepada VOC.
“Sehingga Perjanjian Giyanti adalah ikutan dari perjanjian sebelumnya,” kata Kus.
Pada 1940, Sultan Hamengku Buwono IX pernah mengadakan perjanjian dengan Belanda.
Dalam perjanjian itu disebutkan Kasultanan Yogyakarta adalah bagian dari Kerajaan Belanda.
“Negara merdeka mana yang diargumentasikan?”
Pertanyaan tentang negara merdeka itu merujuk pada Sabdatama Sultan HB X pada 10 Mei
2012. Pada paragraf ketiganya tertulis “Mataram iku negri kan merdika lan nduweni paugeran
lan tata kaprajan dewe”. Maksudnya, Kerajaan Mataram adalah negara merdeka yang punya
aturan (paugeran) dan tata pemerintahan sendiri.
“Kalau tidak ada yang mencegah, DIY akan menjadi contoh praktik negara dalam negara,” ujar
Kus.
HARI bahkan belum sore benar tapi langit Yogyakarta sudah gelap ketika saya menemui
Budiono, 20 Desember 2015, di tempat dia membuat duplikat kunci. Jalan padat kendaraan,
mobil dan sepeda motor menderu, bercampur suara bising dan asap knalpot. Tangan Budiono
terampil mengoperasikan knop mesin pembuat kunci.
PINDAI.ORG – Sengketa Tanah di Bumi Mataram / 23 Desember 2015
	
H a l a m a n 	7	|	7	
	
“Saya membeli mesin ini tahun 1985,” katanya. “Sebelum ada mesin ini, saya membuat kunci
hanya dengan itu.” Tangannya menunjuk sejumlah alat pengikir besi yang berserakan di
permukaan gerobak.
Dulu mesin itu dibelinya dengan harga Rp 2 juta, yang dia bilang sendiri “sangat besar” pada
saat itu, dan dia tidak menyesal. Bertahun-tahun, dari mesin itulah dia mendapat penghidupan
bagi keluarganya. Bahkan kini dua anaknya, Agung dan Ari, bisa bekerja sebagai pembuat kunci
dengan memanfaatkan mesin tersebut.
Mereka telah memiliki pelanggan tetap. “Ya, itu juga, kalau saya pindah alias digusur,
bagaimana dengan pelanggan?
Lapaknya bersama warung milik Sutinah, Suwarni, dan Sugiyadi terancam hilang di sebuah
tempat yang telah mereka huni sebagai sumber ekonomi selama 30-50 tahun. Kini hampir tiap
pekan mereka harus menjalani sidang di Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta untuk menghadapi
gugatan dari pihak Eka Aryawan.
Agenda persidangan terdekat, saat saya menemuinya, adalah pemeriksaan saksi dari pihaknya.
Proses persidangan itu bagi Budiono “melelahkan”. Tetapi dia menilai itu adalah bagian
perjuangan untuk mempertahankan tempat mereka dari penggusuran. Para pegiat sosial dan
perkotaan menggalang solidaritas termasuk dengan mengumpulkan koin. Di atas gerobaknya
tergantung sebuah spanduk bertuliskan “Posko Koin untuk 5 PKL”.
Sudah berapa uang terkumpul?
“Tiga jutaan,” katanya singkat.
Saya diam, lalu membayangkan butuh berapa lagi untuk mengumpulkan koin hingga mencapai
Rp 1,12 miliar?*
______
Anang Zakaria. Pernah menjadi reporter suratkabar lokal di Probolinggo dan Denpasar, kini
koresponden Tempo dan tinggal di Yogyakarta. Bisa dihubungi di anang.zakaria@gmail.com.

Mais conteúdo relacionado

Mais de Pindai Media

Mais de Pindai Media (20)

Ditimang Irama Bang Haji
Ditimang Irama Bang HajiDitimang Irama Bang Haji
Ditimang Irama Bang Haji
 
Aroma Cengkeh di Kaki Menoreh
Aroma Cengkeh di Kaki MenorehAroma Cengkeh di Kaki Menoreh
Aroma Cengkeh di Kaki Menoreh
 
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan ParipurnaPoncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
 
Ugur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
Ugur Mumcu dan Mereka yang DilenyapkanUgur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
Ugur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
 
Paranoid indonesia, nestapa papua phelim kine
Paranoid indonesia, nestapa papua   phelim kineParanoid indonesia, nestapa papua   phelim kine
Paranoid indonesia, nestapa papua phelim kine
 
Media dalam Terorisme
Media dalam TerorismeMedia dalam Terorisme
Media dalam Terorisme
 
Orang-Orang Tegaldowo
Orang-Orang TegaldowoOrang-Orang Tegaldowo
Orang-Orang Tegaldowo
 
Menari di Medan yang Riuh
Menari di Medan yang RiuhMenari di Medan yang Riuh
Menari di Medan yang Riuh
 
Pak Raden dan Buku Dongeng
Pak Raden dan Buku DongengPak Raden dan Buku Dongeng
Pak Raden dan Buku Dongeng
 
Putu Wijaya Berputar di Planet
Putu Wijaya Berputar di PlanetPutu Wijaya Berputar di Planet
Putu Wijaya Berputar di Planet
 
Semangat Anti-Tank
Semangat Anti-TankSemangat Anti-Tank
Semangat Anti-Tank
 
Senjakala Media Cetak
Senjakala Media CetakSenjakala Media Cetak
Senjakala Media Cetak
 
Merumahkan Orang Rimba
Merumahkan Orang RimbaMerumahkan Orang Rimba
Merumahkan Orang Rimba
 
Serikat Buruh dan Media Propaganda
Serikat Buruh dan Media PropagandaSerikat Buruh dan Media Propaganda
Serikat Buruh dan Media Propaganda
 
Anomali Industri Buku
Anomali Industri BukuAnomali Industri Buku
Anomali Industri Buku
 
Hikayat Virginia
Hikayat VirginiaHikayat Virginia
Hikayat Virginia
 
Perang Balon
Perang BalonPerang Balon
Perang Balon
 
Mario
MarioMario
Mario
 
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara BukuOrhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
 
Efek Proust
Efek ProustEfek Proust
Efek Proust
 

Sengketa tanah di bumi mataram anang zakaria

  • 1. Sengketa Tanah di Bumi Mataram Oleh: Anang Zakaria www.pindai.org | t: @pindaimedia | f: facebook.com/pindai.org | e: redaksi@pindai.org
  • 2. PINDAI.ORG – Sengketa Tanah di Bumi Mataram / 23 Desember 2015 H a l a m a n 2 | 7 Sengketa Tanah di Bumi Mataram oleh Anang Zakaria Tekanan kuasa dan modal yang tak tersentuh telah membawa perubahan besar di Yogakarta. SUTINAH, berusia 48 tahun, adalah penjual nasi rames. Warungnya di sisi ruas jalan antara persimpangan Jalan Ibu Ruswo dan Brigjen Katamso, daerah Gondomanan, sekira 1 km dari Malioboro. Berukuran 4-6 meter persegi, berlantai tanah dan beratap seng, sebilah papan bekas dijadikan dinding belakang warung itu. Sementara pagar seng dari sebuah proyek gedung dua lantai dan tembok toko stiker menjadi dinding samping warung tersebut. Beragam perkakas seperti piring, gelas, sendok, garpu, dan panci tersimpan di sebuah rak besi berkarat di sudut dinding pagar seng. Warung yang terlihat sangat sederhana, bila bukan seadanya. Sutinah tidak sendiri menempati warung itu. Menjelang malam ketika dia pulang ke Kasihan, Bantul, sekira 10 kilometer dari Gondomanan, Suwarni dan Sugiyadi bergantian jualan di warung itu. Suami Suwarni (biasa dipanggil “Pak Buwang” oleh Sutinah) menikah dengan kerabat dekat Sutinah. Sementara Sugiyadi adalah anak “Pak Jo”, yang berteman dengan Pak Buwang. Pak Buwang mendirikan warung itu sejak 1960an dan Pak Jo mengisinya saat malam dengan berjualan bakmi. “Jadi Sugi itu meneruskan (jualan) bakmi bapaknya,” kata Sutinah. Selagi Sugiyadi melayani pembeli bakmi, Suwarni yang melayani pesanan minum. Seringkali, ketika bakmi habis dan Sugiyadi pulang, Suwarni memilih tinggal dan tidur di warung menanti pagi. Selain mereka, ada Budiono dan anaknya, Agung, yang membuka jasa duplikat kunci sejak 1980an. Lapak mereka, berupa gerobak mungil, berada di depan warung itu. “Dulu,” kata Sutinah, “warung ini sampai sana.” Jarinya menunjuk halaman gedung yang tengah dibangun di belakang warung. Tatapannya membentur pagar seng. Di salah satu sisi pagar itu menempel spanduk dari Pemerintah Kota Yogyakarta berupa izin pendirian bangunan, seluas 465 meter persegi, bagi seseorang bernama Eka Aryawan. Melewati pelbagai perubahan sosial dan politik serta pergantian rezim, kelima rakyat kecil itu, yang sumber ekonominya ditopang oleh jalinan usaha kaki lima di sepetak tanah, mendadak limbung ketika sebuah proyek gedung dua lantai itu berdiri. Si pengusaha lewat pengacaranya mengugat mereka Rp 1,12 miliar! Bermula dari selembar surat. Pada 28 November 2011, lembaga keraton yang mengelola tanah kesultanan—biasa disebut ‘panitikismo’—lewat Hadiwinoto menerbitkan ‘kekancingan’ bagi Eka Aryawan. Hadiwonoto adalah adik Sultan yang mengurusi aset keraton. ‘Kekancingan’ adalah surat pinjam-pakai atas tanah yang diklaim milik, dan diterbitkan oleh, keraton. Dalam surat itu, Keraton Yogyakarta memberi izin kepada Eka Aryawan untuk memakai lahan 73 meter persegi. Di atas sebagian kecil lahan itulah terdapat warung Sutinah dan koleganya serta lapak Budiono. Surat keraton itu memenuhi permohonan hak ‘magersari’ tanah keraton, di antara sejumlah sebutan hak pinjam-pakai lain, yang intinya seorang warga sipil di Yogyakarta mengajukan hak atas tanah bukan keprabon yang belum dimanfaatkan oleh keraton. Kasultanan Yogyakarta membagi tanah menjadi dua jenis: keprabon dan bukan keprabon. Tanah keprabon adalah areal yang ditempati bangunan keraton dan upacara adat seperti alun-
  • 3. PINDAI.ORG – Sengketa Tanah di Bumi Mataram / 23 Desember 2015 H a l a m a n 3 | 7 alun, masjid Gedhe Kauman, pasar Beringharjo, panggung Krapyak, hingga labuhan di gunung Merapi dan pantai Parangkusumo. Sementara tanah bukan keprabon merupakan tanah yang belum terikat alas hak. Pembagian macam ini diterapkan juga untuk tanah Kadipaten Pakualaman. Di Yogyakarta, klaim atas tanah-tanah keraton dikenal ‘Sultan Ground’ dan tanah kadipaten sebagai ‘Pakualaman Ground’. Tanah yang jadi sengketa antara Eka Aryawan dan para pedagang kecil itu adalah lahan seluas 99 meter persegi di sayap timur proyek izin bangunan yang dikantungi Eka Aryawan. Ia berbatasan dengan trotoar. Oleh Aryawan, kehadiran pedagang dinilai “menghalangi sebagian akses jalan menuju bangunan”. Mediasi pernah dilakukan. Pada 13 Februari 2013, Aryawan dan pedagang (diwakili Sugiyadi, Suwarni, dan Sutinah) bertemu di Kantor Kepolisian Sektor Gondomanan. Mereka bersepakat tentang batas halaman gedung. Dari kesepakatan itu, warung Sutinah hanya perlu bergeser beberapa meter ke arah selatan, sedikit menutupi proyek gedung. Ia resmi diteken dan disaksikan oleh ketiga pihak: kuasa hukum Eka Aryawan dari Candra & rekan, kuasa hukum pedagang dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, dan petugas Polsek Gondomanan Inspektur II Joko Triyono. Tetapi kemudian, dengan menggandeng kantor hukum Oncan Poerba & Associates, pada Agustus 2015 Eka Aryawan meminta pedagang enyah dari seluruh halaman dan mengajukan gugatan Rp 1,12 miliar. Pihak Aryawan menuding pedagang menempati 28 meter persegi tanah keraton yang telah dipinjamkan untuknya. Gugatan itu terang membuat kelu kelima pedagang kecil. Pada 13 September 2015, untuk mengetuk hati nurani penguasa, mereka melakukan aksi simbolik tapa pepe—satu-satunya senjata wong cilik yang masih mereka punya dan hayati. Mengenakan kain lurik kebaya dan surjan, mereka berjalan menuju alun-alun utara Keraton, menembus sengatan matahari. Lalu mereka berdiri di antara pohon beringin kembar di tengah alun-alun, kemudian duduk bersila dan menghadap Keraton. Pada zaman dulu, para penjaga keraton yang melihatnya segera melapor pada sang raja. Raja memanggil pelaku tapa pepe untuk didengar keluhannya. “Kami cuma ingin tetap bisa jualan di sana,” kata Budiono kepada para wartawan. “Duit apa yang kami pakai untuk membayar?” Setengah jam lamanya mereka berjemur di alun-alun. Tak seorang pun dari utusan raja menemui mereka. Justru yang ada beberapa wisatawan yang memotret beberapa kali lalu pergi. Ke mana penjaga? Di mana sang raja? SUARA Oncan Poerba meninggi. Dia mengatakan, jika para pedagang telah menempati lahan itu sejak 1960an, mengapa mereka tak punya selembar surat pun yang membuktikan hak mereka atas tanah itu? Tapi dia meyakini bahwa keraton takkan mengizinkan mereka di sana. Kehadiran lapak pedagang di sekitar trotoar, menurutnya, akan membuat pemandangan kota semakin kumuh saja. “Mereka melanggar keindahan kota,” katanya. Sejak pertengahan tahun 2015 Oncan menjadi kuasa hukum Eka Aryawan. Dia mengaku telah menempuh jalur damai atas sengketa ini. Semula ada tiga kelompok pedagang; dan dua di antaranya bersedia pindah. “Tinggal satu kelompok ini yang ngeyel,” katanya.
  • 4. PINDAI.ORG – Sengketa Tanah di Bumi Mataram / 23 Desember 2015 H a l a m a n 4 | 7 Meski Oncan mengakui ada kesepakatan antara kliennya dan kelima pedagang, tapi menurutnya, perjanjian itu bukan berarti membiarkan pedagang bisa tetap menguasai lahan yang dimiliki kliennya. Kantor hukumnya telah melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta. Eka Aryawan sendiri adalah pengusaha asal Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, yang membuka toko grosir mainan anak-anak di depan Hotel Melia Purosani, Kota Yogyakarta. Sekitar sepuluh tahun lalu, Aryawan membeli dua bidang tanah di Jalan Brigjen Katamso. Masing-masing seluas 99 meter persegi dan 293 meter persegi. Di atas kedua bidang tanah itulah, persis di sebelah barat tanah sengketa dengan pedagang, dibangun gedung dua lantai. Karena gedung baru membutuhkan akses jalan, dia mengajukan permohonan hak pinjam-pakai tanah kepada Keraton Yogyakarta. Oncan tak tahu pasti dari mana kliennya membeli tanah itu. Yang jelas, meski telah membeli, Aryawan hanya mampu mengantongi sertifikat Hak Guna Bangunan. “Tidak bisa punya sertifikat hak milik tanah,” katanya. Musababnya, Eka Aryawan adalah warga keturunan Tionghoa. “Dia non-pribumi.” Yogyakarta, yang menyandang status “daerah istimewa”, masih menerapkan aturan yang berlaku diskriminatif terhadap warga asing dan warga Tionghoa (dianggap ‘non-pribumi’) dan mengistimewakan warga lainnya. Aturan ini dibuat 5 Maret 1975, diteken oleh wakil gubernur kala itu Paku Alam VIII, yang isinya sebuah instruksi tentang “penyeragaman policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI non-pribumi”. “Aturan seperti ini hanya di Yogyakarta. Di wilayah Indonesia lainnya sudah tak ada,” kata Oncan, kali ini bersuara pelan. WILLIE Sebastian, berusia 65 tahun, adalah Ketua Granad (singkatan untuk Gerakan Anak Negeri Anti Diskirimasi), sebuah organisasi nonpemerintah yang mendesak pencabutan instruksi “penyeragaman policy” ke presiden dan pemerintah DIY. Suratnya mendapat tanggapan dari presiden lewat Badan Pertanahan Nasional. Pada 16 November 2011, BPN menyurati Kantor Wilayah BPN DIY dengan menyatakan “tidak ada pembedaan layanan pengurusan sertifikat antara WNI pribumi dan keturunan Tionghoa”. Namun pemerintah DIY bergeming. Lewat surat sekretariat daerah pada 8 Mei 2012, Pemerintah DIY menyatakan instruksi “penyeragaman policy” tahun 1975 masih berlaku. Alasannya, aturan itu merupakan affirmative policy dengan tujuan “melindungi warga pribumi” agar kepemilikan tanah tidak beralih pada warga atau pemodal yang secara finansial memiliki kemampuan lebih kuat. Pada 2014, Granad mengirim surat pengaduan serupa kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian RI, Menteri Dalam Negeri, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Lembaga terakhir meresponsnya melalui surat rekomendasi kepada Gubernur DIY supaya menghentikan aturan 1975 karena “bertentangan dengan hak asasi manusia”. Alasan sebagai “kebijakan afirmatif”, yang tujuannya memberi lapisan kelas sosial marjinal untuk punya peluang setara, dinilai Komnas HAM justru sebaliknya. Kebijakan istimewa itu merupakan tindakan yang hanya boleh ditempuh untuk melindungi kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan, kaum lanjut usia, disabilitas, serta kelompok minoritas. Pembatasannya hanya bisa didasarkan pada undang-undang. Dan, “… tidak seluruhnya warga keturunan etnis Tionghoa merupakan warga yang memiliki kelebihan finansial atau tergolong pemodal kuat”.
  • 5. PINDAI.ORG – Sengketa Tanah di Bumi Mataram / 23 Desember 2015 H a l a m a n 5 | 7 Nyatanya rekomendasi ini berakhir sebagai tumpukan di meja kerja pemerintah DIY. Dewo Isnu Broto, kepala biro hukum pemda Yogyakarta, di depan gedung dewan daerah mengatakan bahwa pemerintah DIY “memiliki alasan kuat” menolak rekomendasi itu. Tetapi Willie dan Granad tidak putus harapan. Mereka mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo. Isinya, Sultan HB X (sekaligus Gubernur Yogyakarta) dinilai “berpotesi melakukan tindakan separatis” karena upayanya mendata tanah Kasultananan dan Pakulaman. Ini sama artinya menghidupkan kembali aturan kolonial Belanda (Rijskblad) tahun 1918 nomor 16 tentang tanah kasultanan dan nomor 18 tentang tanah pakualaman. “Apa namanya tak ingin memisahkan diri dari Indonesia kalau sudah merdeka tapi hukumnya mau dikembalikan seperti era penjajahan?” ujar Willie lewat telepon. PANGKAL tudingan “menghidupkan aturan kolonial” itu bermula ketika Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mulai mendata tanah Kasultanan dan Pakualaman. Sejatinya ini adalah perintah Undang-Undang nomor 13 tahun 2013 tentang Keistimewaan DIY. Pada pasal 43 (huruf d), Gubernur DIY Sultan HB dan wakilnya, Paku Alam, ditugaskan melakukan “inventarisasi dan identitifikasi” tanah Kasultanan dan Kadipaten. Selanjutnya (dalam huruf e) tanah itu didaftarkan—istilah lain untuk disertifikasi—ke Badan Pertanahan Nasional. Proses ini berlangsung setidaknya sejak setahun lalu. Awal September 2015, Kepala Biro Tata Pemerintahan DIY Benny Suharsono mengatakan, sebanyak 10.523 bidang tanah Kasultanan dan Kadipaten sudah berhasil diinventarisasi. Menelan biaya Rp 10 miliar per tahun, kegiatan macam ini bakal berlangsung lama hingga seluruh tanah terdata dan mendapat sertifikat dari BPN. Perkiraan Suharsono, ia baru selesai pada 2024. Ini pekerjaan besar dan pelik. Ada banyak data dari bermacam versi menyebutkan luasan tanah yang diklaim milik sultan dan pakualam, tapi tak ada angka yang pasti. Bila merujuk Rijksblad, kecuali tanah yang telah dimiliki perorangan dan lembaga, sisanya adalah tanah di wilayah Kasultanan dan Kadipaten. Sejumlah pertanyaan muncul: Masih adakah ‘Sultan Ground’ dan ‘Pakualaman Ground’? Kalaupun masih ada, bagaimana posisinya di depan hukum pertanahan nasional? Saya menemui Ni’’matul Huda, pakar hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia. Dia sering diminta sebagai pakar ahli pada sesi rapat di dewan daerah mengenai urusan hak keistimewaan dan tata negara, serta akademisi yang dilibatkan dalam penyusunan draf UU Keistimewaan DIY. Huda menulis buku Status Hukum Tanah Keraton Yogyakarta Setelah diberlakukannya UU No 5 tahun 1960 di Provinsi DIY (UII Press, 1997). Menurutnya, persoalan kedua jenis tanah itu semestinya selesai sejak 1984. Pada tahun itu, pemerintah DIY menerbitkan Peraturan Daerah nomor 3 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria di DIY. Di tahun yang sama Presiden Soeharto telah mengeluarkan keputusan nomor 33 tentang hal serupa. “Selesai dalam arti (tanah SG dan PG) itu diatur menjadi milik negara,” jawabnya. Dalam Diktum IV (huruf A) pada UU Pokok Agraria, ujar Huda, hak dan wewenang atas bumi dan air dari Swapraja dan bekas Swapraja dihapus dan beralih menjadi milik negara. Soal pembagiannya, dia meminta saya melihat peraturan pemerintah nomor 224 tahun 1961 tentang pelaksanaan pembagian tanah dan pemberian ganti rugi. Tetapi Sultan punya pendapat sendiri. Menurutnya, “tak ada tanah negara di wilayah Yogyakarta”, meski dia mengaku “tak tahu pasti” berapa luasan tanah yang menjadi wilayah keraton. “Hasil ‘Palihan Nagari’ kok tanah negara?” katanya usai mengikuti satu rapat di
  • 6. PINDAI.ORG – Sengketa Tanah di Bumi Mataram / 23 Desember 2015 H a l a m a n 6 | 7 gedung dewan pada 15 September 2015. ‘Palihan Nagari’ dikenal pembagian wilayah Kasultanan Mataram menjadi dua, Kasunanan Surakarta dan Keraton Yogyakarta, dari hasil Perjanjian Giyanti pada 1755. Satu di antara berhektar-hektar lahan yang disebut tanah Kasultanan adalah Gumuk Pasir di Pantai Parangtritis. Pada 11 September 2015, kawasan itu diresmikan sebagai Laboratorium Geopasial Parangtritis. Peresmiannya dihadiri Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir dan, tentu saja, Sultan. Di sana juga berdiri Parangtritis Geomaritime Science Park. Ini lembaga hasil kerjasama antara Badan Informasi Geospasial Fakultas Geografi UGM, Pemerintah DIY, dan Pemerintah Kabupaten Bantul. Peresmian itu diisi acara pemasangan patok kawasan Gumuk Pasir. Di patok itu tertera plakat bertuliskan ‘Kagungan Dalem’ lengkap dengan logo Keraton Yogyakarta. Menurut Sultan, gumuk pasir ini adalah satu di antara tanah Kasultanan. Dan negara mengakui keberadaannya dalam “hak asal-usul” tanah. “UUPA memang tidak sepenuhnya berlaku di Yogya,” katanya. Bagaimana dengan warga yang bersengketa di atas lahan-lahan itu? “Bukan urusanku.” Baginya, keraton telah memberikan hak pakai pada seseorang. Jika hak itu diambil orang lain, maka yang terjadi adalah urusan antara penerima hak dan orang tersebut. Pada akhir September 2015, saya mengikuti sebuah aksi protes yang digalang Komite Aksi untuk Reformasi Agraria di halaman gedung dewan daerah. Di sana ada Sri Kus Antoro, sekretaris Granad serta juru bicara komite itu. “Mari kita tengok bunyinya (Perjanjian Giyanti 1755) seperti apa?” kata Kus menanggapi pernyataan Sultan. Menurutnya, pasal 1 (alinea ke-7 hingga ke-8) dalam Perjanjian Giyanti menyebutkan, Sultan Hamengku Buwono I, raja pertama Kasultanan Yogyakarta, diangkat oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), sebuah kongsi dagang Hindia Belanda. Pembagian wilayah itu merupakan usaha VOC menyelesaikan konflik internal di Mataram. Sultan diangkat menjadi raja Kasultanan dan dipinjami tanah untuk wilayahnya. Dia mengatakan “pinjaman tanah” sebagai wilayah kasultanan karena sebelumnya, pada 1749, Raja Mataram Paku Buwono II telah menyerahkan kekuasaan dan wilayahnya kepada VOC. “Sehingga Perjanjian Giyanti adalah ikutan dari perjanjian sebelumnya,” kata Kus. Pada 1940, Sultan Hamengku Buwono IX pernah mengadakan perjanjian dengan Belanda. Dalam perjanjian itu disebutkan Kasultanan Yogyakarta adalah bagian dari Kerajaan Belanda. “Negara merdeka mana yang diargumentasikan?” Pertanyaan tentang negara merdeka itu merujuk pada Sabdatama Sultan HB X pada 10 Mei 2012. Pada paragraf ketiganya tertulis “Mataram iku negri kan merdika lan nduweni paugeran lan tata kaprajan dewe”. Maksudnya, Kerajaan Mataram adalah negara merdeka yang punya aturan (paugeran) dan tata pemerintahan sendiri. “Kalau tidak ada yang mencegah, DIY akan menjadi contoh praktik negara dalam negara,” ujar Kus. HARI bahkan belum sore benar tapi langit Yogyakarta sudah gelap ketika saya menemui Budiono, 20 Desember 2015, di tempat dia membuat duplikat kunci. Jalan padat kendaraan, mobil dan sepeda motor menderu, bercampur suara bising dan asap knalpot. Tangan Budiono terampil mengoperasikan knop mesin pembuat kunci.
  • 7. PINDAI.ORG – Sengketa Tanah di Bumi Mataram / 23 Desember 2015 H a l a m a n 7 | 7 “Saya membeli mesin ini tahun 1985,” katanya. “Sebelum ada mesin ini, saya membuat kunci hanya dengan itu.” Tangannya menunjuk sejumlah alat pengikir besi yang berserakan di permukaan gerobak. Dulu mesin itu dibelinya dengan harga Rp 2 juta, yang dia bilang sendiri “sangat besar” pada saat itu, dan dia tidak menyesal. Bertahun-tahun, dari mesin itulah dia mendapat penghidupan bagi keluarganya. Bahkan kini dua anaknya, Agung dan Ari, bisa bekerja sebagai pembuat kunci dengan memanfaatkan mesin tersebut. Mereka telah memiliki pelanggan tetap. “Ya, itu juga, kalau saya pindah alias digusur, bagaimana dengan pelanggan? Lapaknya bersama warung milik Sutinah, Suwarni, dan Sugiyadi terancam hilang di sebuah tempat yang telah mereka huni sebagai sumber ekonomi selama 30-50 tahun. Kini hampir tiap pekan mereka harus menjalani sidang di Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta untuk menghadapi gugatan dari pihak Eka Aryawan. Agenda persidangan terdekat, saat saya menemuinya, adalah pemeriksaan saksi dari pihaknya. Proses persidangan itu bagi Budiono “melelahkan”. Tetapi dia menilai itu adalah bagian perjuangan untuk mempertahankan tempat mereka dari penggusuran. Para pegiat sosial dan perkotaan menggalang solidaritas termasuk dengan mengumpulkan koin. Di atas gerobaknya tergantung sebuah spanduk bertuliskan “Posko Koin untuk 5 PKL”. Sudah berapa uang terkumpul? “Tiga jutaan,” katanya singkat. Saya diam, lalu membayangkan butuh berapa lagi untuk mengumpulkan koin hingga mencapai Rp 1,12 miliar?* ______ Anang Zakaria. Pernah menjadi reporter suratkabar lokal di Probolinggo dan Denpasar, kini koresponden Tempo dan tinggal di Yogyakarta. Bisa dihubungi di anang.zakaria@gmail.com.