SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 642
Baixar para ler offline
i
DINAMIKA KEHIDUPAN
KEAGAMAAN DI ERA
REFORMASI
Editor:
Haidlor Ali Ahmad
Kementerian Agama RI
Badan Litbang dan Diklat
Pusitbang Kehidupan Keagamaan
Jakarta, 2010
ii
Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT)
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Dinamika Kehidupan Keagamaan di Era Reformasi
Ed. I. Cet. 1. -------
Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama 2010
xii + 612 hlm; 21 x 29 cm
ISBN 978-979-797-285-1
Hak Cipta 2010, pada Penerbit
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara
apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy,
tanpa izin sah dari penerbit
Cetakan Pertama, September 2010
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
DINAMIKA KEHIDUPAN KEAGAMAAN
DI ERA REFORMASI
Editor:
Haidlor Ali Ahmad
Desain cover dan Lay out oleh:
H. Zabidi
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Gedung Bayt al-Qur’an Museum Istiqlal Komplek Taman Mini
Indonesia Indah, Jakarta Telp/Fax. (021) 87790189, 87793540
Diterbitkan oleh:
Maloho Jaya Abadi Press, Jakarta
Anggota IKAPI No. 387/DKI/09
Jl. Jatiwaringin Raya No. 55 Jakarta 13620
Telp. (021) 862 1522, 8661 0137, 9821 5932 Fax. (021) 862 1522
iii
SAMBUTAN
KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT
KEMENTERIAN AGAMA RI
eneliti adalah ujung tombak bagi tugas pokok dan
fungsi Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama. Tugas peneliti yang cukup berat itu
haruslah didukung oleh profesionalisme para penelitinya,
sehingga produk-produk penelitiannya menjadi layak untuk
dirujuk dan dijadikan bahan penyusunan kebijakan pimpinan
Kementerian Agama.
Puslitbang Kehidupan Keagamaan sebagai bagian dari
unit Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama dalam
melaksanakan kegiatan penelitian individual yang dibimbing
oleh para seniornya, memang baik untuk dilanjutkan. Masa
pembinaan sebagai peneliti yang dialami oleh para senior dan
peneliti muda sangatlah berbeda, setidaknya dari sisi waktu
penelitian lapangan, diversifikasi teori dan metodologi
peneliti-an. Para peneliti senior pernah dibina dengan dana
yang cukup besar dan waktu sekitar enam bulan, sehingga
penelitian lapangan dilakukan cukup lama serta bimbingan
penulisan yang seirus dari para mentornya. Oleh karena itu
kualitas produknya cukup baik yang dirasakan dewasa ini,
sementara para peneliti yang saat ini menduduki jabatan
peneliti muda harus dibimbing oleh para peneliti senior itu
agar mempunyai kemampuan yang setara dan berkualitas
baik.
Puslitbang Kehidupan Keagamaan sebagai salah satu
unit kerja penelitian memiliki peran strategis bagi
terlaksananya penelitian di bidang keagamaan. Oleh karena
itu, pelaksanaan kegiatan bimbingan peneliti agar para
peneliti memiliki kemampuan memadai, melakukan
P
iv
penelitian mandiri untuk menjadi peneliti yang berkualitas,
handal, profesional dan obyektif terhadap kebenaran hasil
penelitian menjadi sangat penting. Di samping itu, hasil
kerjanya harus dapat dipertanggungjawabkan secara
akademis dan administratif yang mampu mendukung
kebijakan di bidang pembangunan agama sesuai dengan visi
dan misi Kementerian Agama.
Kami menyambut baik diterbitkannya hasil penelitian
para peserta bimbingan Peneliti Muda Puslitbang Kehidupan
Keagamaan. Semoga bermanfaat.
Jakarta, September 2010
Kepala Badan Litbang dan Diklat
Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA.
NIP: 19570414 198203 1 003
v
PENGANTAR
KEPALA PUSLITBANG
KEHIDUPAN KEAGAMAAN
uslitbang Kehidupan Keagamaan sebagai salah satu
unit kerja penelitian memiliki peran strategis bagi
terlaksananya program-program penelitian dan
pengembangan agama. Peraturan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Departemen Agama, Pasal 776 menyatakan bahwa Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan
mempunyai tugas menyelenggarakan penelitian dan
pengembangan di bidang kehidupan beragama, pengamalan
dan kerukunan antar umat beragama, serta pembinaan UPT
Litbang Agama didasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan
oleh Kepala Badan.
Salah satu faktor yang menjadi pendorong tercapainya
fungsi-fungsi Puslitbang Kehidupan Keagamaan adalah
tenaga peneliti yang memiliki kemampuan memadai untuk
melakukan penelitian atau melakukan tugas-tugas lainnya.
Dalam rangka menyiapkan para peneliti muda untuk menjadi
peneliti yang berkualitas, maka dirasakan perlu memberi
kesempatan kepada para peneliti muda untuk melakukan
penelitian individual mandiri melalui sebuah program yang
disebut Pembimbingan Penelitian. Tujuan kegiatan
Pembimbingan Penelitian ini adalah untuk meningkatkan
kemampuan kepenelitian para peneliti muda di lingkungan
Puslitbang Kehidupan Keagamaan untuk melakukan
penelitian mandiri di bawah bimbingan seorang konsultan
sehingga akan diperoleh hasil penelitian yang lebih
berkualitas.
Buku ini merupakan laporan lengkap hasil kegiatan
Penelitian pembimbingan yang telah dilaksanakan dalam
P
vi
tahun anggaran 2009. Dengan selesainya seluruh proses
kegiatan sampai tersusunnya laporan ini kami mengucapkan
terima kasih kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat yang
telah berkenan mengizinkan kami untuk melaksanakan
kegiatan ini. Terima kasih juga kepada para konsultan dan
peserta Penelitian Pembimbingan yang telah melaksanakan
tugasnya masing-masing. Kami berharap hasil penelitian ini
bermanfaat bagi pihak- pihak terkait untuk merumuskan
berbagai kebijakan tentang kehidupan beragama.
Akhirnya, hanya kepada Allah SWT kami memohon agar
apa yang kami lakukan dapat memberi dan menjadi bagian
dari amal ibadat. Kami juga berharap kritik dan saran dari
pembaca untuk perbaikan kegiatan ini ke depan.
Jakarta, September 2010
Kepala
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Prof. H. Abd.Rahman Mas’ud, Ph.D
NIP. 19600416 198903 1 005
vii
PENGANTAR EDITOR
uji syukur kehadlirat Allah SWT, atas berkat dan
rahmat-Nya buku hasil penelitian peserta
Pembimbingan Peneliti Puslitbang Kehidupan
Keagamaan tahun 2009 ini dapat diterbitkan. Buku yang
berada dihadapan para pembaca ini merupakan tulisan para
peneliti muda Puslitbang Kehidupan Keagamaan tahun 2009
di bawah bimbingan Prof. Dr. HM Ridwan Lubis, Prof. Abd.
Rahman Mas’ud Ph.D. dan Drs. H. Ahmad Syafi’i Mufid, MA,
APU.
Buku ini menyajikan hasil penelitian peserta bimbingan
penelitian sehingga hasilnya cukup variatif, karena masing-
masing peneliti memilih obyek studi dengan berbagai
pertimbangan masing-masing. Hasil penelitian yang
dihimpun dalam buku ini adalah sebagai berikut:
1. Hubungan LSM – Pemerintah, dimana dalam posisinya
masing-masing telah cukup berperan dalam upaya
pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia.
2. Komunitas Betawi mampu mempertahankan tradisi
agamanya, karena semua tradisi itu dikemas dalam bentuk
kegiatan keagamaan sebagai bagian dari kepercayaan dan
ajaran agama yang harus diamalkan.
3. Ada keragaman dalam pandangan aktivis dan tokoh
muslim di Depok terkait dengan pemahaman tentang
HAM, kebebasan beragama dan berkepercayaan. Ada
informan yang berpadangan inklusif dan ada pula yang
eksklusif. Informan yang berpandangan inklusif
menerima gagasan universal HAM termasuk ketentuan
kebebasan beragama atau berkepercayaan. HAM tidak
perlu dipandang sebagai konsep yang bertentangan
dengan Islam. Informan yang berpandangan eksklusif
P
viii
meng-gunakan alasan teologis dan historis. Secara teologis
Islam memiliki sumber autentik yang dapat dijadikan
legitimasi penerimaan umat Islam terhadap HAM, yakni
al-Quran.
4. Kebijakan Walikota Depok melakukan pencabutan IMB
rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati
Gandul dimasudkan dalam rangka menjalankan
kewajiban untuk mencegah terjadinya konflik. Namun
Jemaat HKBP dan persekutuan gereja-gereja setempat
menolak pencabut-an IMB tersebut, karena dianggap tidak
sesuai dengan PBM. Dasar pertimbangan yang kuat
mendukung keputus-an Walikota Depok melakukan
pencabutan IMB tersebut adalah kehendak/kemauan
masyarakat di lingkungan sekitarnya melalui Forum
Solidaritas Umat Muslim (FSUM) Cinere, Pondok Cabe,
Pangkalan Jati, Krukut, Maruyung, Gandul dan Limo.
5. Fenomena menurunnya perolehan suara parpol Islam
karena berbagai faktor, baik internal maupun eksternal.
Faktor dimaksud antara lain adanya friksi-friksi di dalam
partai; kurang jelasnya visi dan misi partai, partai mulai
kehilangan ideologi dan cenderung pragmatis, sistem
kaderisasi yang kurang mapan kecuali PKS; tidak jelasnya
orientasi dalam memperjuangkan kepentingan umat,
khususnya umat Islam; dan terjadinya krisis ketokohan
yang dapat menyatukan umat Islam. Dalam perkem-
bangannya, muncul keinginan terjadinya penggabungan
partai Islam menjadi hanya satu atau dua parpol Islam saja
sehingga dapat menggalang kekuatan untuk mencapai
elektoral treshold.
6. Pengembangan komunitas basis di Paroki Kampung
Sawah dilakukan melalui berbagai bidang yaitu melalui
pember-dayaan ekonomi, perberdayaan lingkungan
hidup, pelayan-an kesehatan gratis, mengangkat kultur
ix
Betawi dalam kegiatan keagamaan. Bentuk pengembangan
komunitas basis melalui inkulturisasi merupakan hal yang
paling dominan di Paroki ini.
Demikian, semoga buku ini bermanfaat untuk
kepentingan penelitian di kemudian hari, dan dapat
menambah wawasan bagi para pembaca umumnya, dan
khususnya dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi
kebijakan pemerintah cq. instansi terkait dalam pembinaan
kehidupan beragama dan berdemokrasi di negeri ini. Atas
segala kekurangan dan kelemahan yang terdapat dalam buku
ini mohon dimaklumi. Kritik dan saran yang konstruktif
senantiasa kami harapkan demi perbaikan di masa depan.
Jakarta, Juli 2010
Editor
Haidlor Ali Ahmad
x
xi
DAFTAR ISI
Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat ............ iii
Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan v
Pengantar Editor............................................................. vii
Daftar Isi.............................................................................. xi
1. Peran dan Hubungan LSM dengan Pemerintah
dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama
di Indonesia
Oleh: Akmal Salim Ruhana, S. HT.I………………….. 1
2. Tradisi dan Varian Keagamaan Komunitas Betawi
di Tangerang Banten
Oleh: Drs. Wakhid Sugiyarto ……………… ……. 81
3. Dakwah Plurasitik Ikatan Jema’ah Ahlul Bayt
Indonesia (IJABI) di Kota Bandung
Oleh: Achmad Rosidi, S. Ag………........ …………… 131
4. Kebebasan Beragama atau Berkepercayaan
dalam Pandangan Tokoh Ormas Islam Kota Depok
Oleh: Imam Syaukani, S. Ag, MH……… ………… 185
5. Pandangan Pemimpin Ormas Islam Tentang
Perolehan Suara Parpol Islam Pada Pemilu Legislatif
2009 di DKI Jakarta
Oleh: Reslawati, S. Ag, M.Si. …………………………. 275
xii
6. Analisis Kebijakan Walikota Depok tentang
Pencabutan IMB Rumah Ibadat dan Gedung
Serba Guna HKBP Pangkalan Jati Gandul,
Kecamatan Limo Kota Depok
Oleh: Drs. Ahsanul Khalikin………………....... 337
7. Respon Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi
Banten terhadap Tayangan Infotainmen di Televisi
Oleh: Muchtar, S. Ag………………………………. 467
8. Gerakan Komunitas Basis di Paroki Kampung
Sawah St. Servatius Bekasi
Oleh: Reza Perwira, S. Th.I ................................. 515
9. Studi Kasus tentang Penetapan Kuota Haji
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat
Tahun 2008
Oleh: Drs. Zaenal Abidin, M. Si ……………………… 569
PERAN DAN HUBUNGAN
LSM DENGAN PEMERINTAH
DALAM PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT
BERAGAMA DI INDONESIA
Oleh:
Akmal Salim Ruhana
  1
PERAN DAN HUBUNGAN LSM DENGAN
PEMERINTAH DALAM PEMELIHARAAN
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
DI INDONESIA
Akmal Salim Ruhana
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
asca runtuhnya pemerintah Orde Baru di tahun 1998,
Indonesia memasuki babak baru yang disebut Orde
Reformasi. Orde ini ditandai dengan terjadinya fase
liberalisasi politik dan berlangsungnya iklim demokratisasi
yang kian membaik. Setelah melalui praktik demokrasi-
setengah-hati di bawah rezim otoritarian, kini demokrasi
Indonesia kian dikokohkan dengan diperkuatnya elemen-
elemen penopangnya, yang salahsatunya ditandai dengan
semakin berperannya kekuatan masyarakat sipil (civil society).
Ada tiga pilar penopang sebuah negara demokrasi, yaitu:
pemerintahan yang kuat, sektor swasta (bisnis dan industrial)
yang kompeten, dan masyarakat sipil yang berdaya. Ketiga
pilar ini bersifat komplementatif, karena ketiadaan salah
satunya akan mengganggu keseluruhan sistem yang berjalan.
Sebuah pemerintahan yang kuat dapat memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Sektor swasta yang kompeten dapat
menciptakan lapangan kerja dan berperan sebagai ladang
tumbuhnya investasi di sebuah negara sehingga demokrasi
dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Dan
P
 2 
sebuah masyarakat sipil yang berdaya akan senantiasa
mendinamisasi perubahan untuk berjalannya peran pemerin-
tahan dan sektor swasta dengan baik.
Salahsatu pilar penguatan masyarakat sipil (civil society)
adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Keberadaannya
kini diyakini sangat diperlukan dalam turut serta memberdaya-
kan masyarakat sekaligus menjadi balancingpower terhadap
peran Pemerintah. Secara kuantitatif jumlahnya pun kian
bertambah. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun
2004, jumlah LSM telah bertambah secara signifikan dari hanya
berjumlah sekitar 10.000 pada tahun 1996 menjadi sekitar 70.000
pada tahun 2000.1 Masyarakat pun kini kian menerima
keberadaan dan perannya, berbeda dengan zaman Orde Baru
dahulu, dimana LSM sering ditolak dan dicurigai karena kerap
diidentikkan dengan kelompok antipemerintah, oposan, atau
bahkan dituduh sebagai agen asing. Demikian juga Pemerintah,
dalam beberapa hal telah merasa terbantu dengan berbagai
program pemberdayaan dan pendampingan masyarakat —
yang notabene adalah sebagian dari tugas pokoknya— yang
dilakukan oleh LSM.
Namun demikian, hubungan LSM dan pemerintah
ternyata tidak selalu berjalan manis. Fungsi balancing dan
pressure LSM dengan corak kritisnya vis a vis paradigma social
order-nya pemerintah dalam pemeliharaan kerukunan,
misalnya, kerapkali menimbulkan konflik wacana yang justeru
membuat masyarakat bingung. Problemnya memang bukan
pada LSM yang harus tidak kritis atau pemerintah yang harus
membiarkan kekacauan, tetapi mungkin pada etika berdemo-
krasi atau justeru pencerdasan masyarakat. Pada kasus pra-
penerbitan SKB tentang Ahmadiyah, misalnya, masyarakat
bingung oleh pembelaan mati-matian kepada Ahmadiyah atas
nama HAM oleh beberapa LSM, di satu sisi, berhadapan
                                                            
1 Lihat http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0404/17/pustaka/ 972516.htm,
diakses pada 19 Juni 2009. 
  3
dengan alasan pemeliharaan ketertiban masyarakat oleh
pemerintah di sisi lain, yang berakibat terbelahnya masyarakat
dan bahkan konflik fisik yang tidak perlu.
Dalam konteks kasus lain, dahulu di masa pemerintahan
Presiden Megawati, disharmoni LSM-pemerintah juga kerap
terjadi. Misalnya, seorang fungsionaris partai melontarkan
kekesalannya terhadap sikap LSM dalam masalah amandemen
UUD 1945, dengan mengatakan LSM sebagai agen kepentingan
asing (Radio Nederland, 17/4/2002). Juga, Jenderal Ryamizard
Ryacudu, saat itu KSAD, saat menanggapi sikap kritis LSM atas
darurat militer di Aceh, menyebut LSM sebagai salah satu pintu
yang digunakan asing untuk kepentingan mereka (Jawa Pos,
1/1/2004). Juga ketika AM Hendropriyono, waktu itu kepala
BIN, yang akan mengusir Sydney Jones (Direktur ICG) dan 20
LSM lain dengan dalih adanya sinyalemen LSM-LSM itu akan
‘menjual’ bangsa (Kompas, 5/6/2004). Sebaliknya, pemerintah
kerapkali dibuat ‘merah telinga’ ketika bahasa kritik yang
disampaikan LSM-LSM itu kurang elegan, yakni terkait
berbagai laporan tahunan (annual report) mereka yang dirilis ke
publik secara masif tanpa ada komunikasi-konfirmasi dari
pihak pemerintah. Pernyataan dan respon atas pernyataan
dalam kasus-kasus ini nyata-nyata telah menciptakan
disharmoni hubungan LSM-pemerintah. Maka ketegangan-
ketegangan yang melibatkan komponen civil society, swasta dan
pemerintah pun terjadi. Hal ini tentu saja mengganggu
keseimbangan ritme tiga penopang demokrasi sebagaimana
disebutkan di atas.
Sementara itu, kerukunan adalah kebutuhan semua
pihak. Pemerintah, pihak swasta, maupun masyarakat sipil
membutuhkan dan mendambakan kondisi rukun tersebut.
Maka, karenanya, pemeliharaan kerukunan adalah tugas-
bersama. Dalam konteks kehidupan beragama, kerukunan
umat beragama adalah tanggungjawab bersama umat
beragama (baca: masyarakat dan swasta) serta pemerintah.
 4 
Tanpa upaya-bersama (sinergi) itu beban pemeliharaan
kerukunan sulit dipikul. Lantas, apa yang sebaiknya
diperankan oleh LSM dan pemerintah dalam menghadapi
kondisi ini? Di sinilah penelitian ini menemukan urgensinya.
Memang, saat ini telah banyak upaya dalam rangka
pemeliharaan kerukunan yang dilakukan baik oleh pemerintah
melalui berbagai peraturan perundang-undangan dan upaya
fasilitasi lainnya, maupun oleh LSM dengan berbagai kiprah-
nya untuk pemeliharaan kerukunan dan perdamaian. Sayang-
nya, berbagai upaya dan program yang dilakukan belum
terintegrasi secara baik melainkan seperti berjalan sendiri-
sendiri dalam rencana dan ekspektasinya masing-masing.
Padahal, hanya ada satu Indonesia, dan semua mengharapkan
kerukunan sejati yang sama. Pemerintah ingin negara ini aman
dan tertib sehingga pembangunan bangsa berjalan dengan baik
ke arah kesejahteraan bersama, di sisi lain, LSM sebagai
komponen civil society pun berupaya membantu masyarakat
meraih kesejahteraan dalam suasana berkeadilan. Penting
ditegaskan, integrasi-sinergis yang perlu dilakukan bukan
dalam arti penyatuan program-teknis, melainkan terciptanya
sikap saling memahami dan sinergi dalam tujuan yang sama
meski dengan pilihan cara yang beragam. Tanpa integrasi-
sinergis itu maka upaya pemeliharaan kerukunan akan
senantiasa parsial dan, boleh jadi dalam kasus tertentu, menjadi
kontraproduktif.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
Penelitian ini dirancang untuk menemukan langkah
integrasi-sinergis yang bisa dilakukan oleh LSM dan
pemerintah dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat
beragama di Indonesia. Hal ini dipandang perlu karena selama
ini upaya yang telah dilakukan oleh masing-masing pihak
masih dinilai belum terintegrasi dengan baik, sehingga dapat
  5
mengakibatkan inefficiency atau bahkan terjadi konfrontasi yang
kontraproduktif bagi kerukunan.
Untuk memperjelas inti permasalahan yang dikaji,
berikut adalah sejumlah pertanyaan penelitian yang dicoba
jawab oleh penelitian ini:
1. Bagaimana peran LSM dan pemerintah dalam upaya
pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia?
2. Bagaimana pola hubungan antara LSM dan pemerintah
dalam proses pemeliharaan kerukunan tersebut?
3. Mungkinkah dilakukan sinergi antara LSM dan pemerintah
dalam proses pemeliharaan kerukunan? Jika ya, dalam
bentuk apa sinergi dapat dilakukan?
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk:
1. Mengetahui peran LSM dan pemerintah dalam upaya
pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia.
2. Mengetahui pola hubungan LSM dan pemerintah dalam
proses pemeliharaan kerukunan tersebut.
3. Mengetahui kemungkinan dilakukannya sinergi antara LSM
dan pemerintah dalam upaya pemeliharaan kerukunan, dan
mengetahui bentuk sinergi dimaksud.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan menghasilkan gambaran tentang
posisi dan peran LSM-pemerintah serta rumusan alternatif
pola-pola hubungan yang dapat dikembangkan untuk
terciptanya sinergi yang baik antara LSM dan pemerintah
dalam upaya-bersama memelihara kerukunan umat beragama
di Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
 6 
memberikan kontribusi positif bagi perkembangan demokra-
tisasi dan kerukunan umat beragama serta kerukunan nasional.
Kerangka Dasar Teoritik
Penelitian ini berangkat dari teori tentang civil society
dalam kaitannya sebagai bagian dari pilar pengokoh suatu
negara demokrasi. Mengoreksi Aristoteles yang mengidentik-
kan civil society dengan negara, juga konsep negara-kotanya
Cicero, atau hanya sisi-etisnya Adam Ferguson, G.W.F. Hegel
mengatakan civil society sebagai elemen ideologis kelas
dominan. Hal ini pun sekaligus reaksi atas tesis Thomas Paine
yang memisahkan civil society dari negara. Namun Hegel
mengabsahkan intervensi terhadap wilayah sipil, dengan
alasan kelemahan masyarakat sipil yang tidak mampu eksis
tanpa adanya pengaturan dari yang otoritatif. Kemudian Marx
mengusulkan pelenyapan civil society yang disebutnya masya-
rakat borjuis, dengan dalih menuju tatanan masyarakat tanpa
kelas. Lebih ideologis, Gramsci justeru melihat civil society itu
perlu sebagai ruang perebutan hegemoni di luar kekuatan
negara. Akhirnya, Tocqueville menegaskan pentingnya civil
society sebagai penyeimbang negara—hasil pengamatannya
pada pengalaman demokrasi Amerika yang demokrasinya kian
kuat dengan adanya kekuatan di luar negara. Membantah
Hegel, Tocqueville meyakini civil society cukup otonom dan
bukan subordinan, serta mempunyai kapasitas politik cukup
tinggi untuk mengimbangi kekuatan negara.2 Dengan
demikian, perimbangan kekuatan itu diyakini akan memper-
kokoh suatu negara demokrasi.
Berikut gambaran pola hubungan elemen civil society,
sektor swasta, dan negara, yang melakukan take and give dan
berjalan seimbang sinergistis.
                                                            
2 Perdebatan konsep civil society ini melalui beberapa fase yang selengkapnya dapat
dibaca di bagian lain tulisan ini (pada pembahasan LSM dan civil society).  
  7
Gambar 1
Skema Hubungan LSM-Pemerintah-Swasta
NEGARA/PEMERINTAH berperan menciptakan kondisi politik, ekonomi
dan sosial yang stabil; membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan;
menyediakan public service yang efektif dan accountable; menegakkan HAM;
melindungi lingkungan hidup; dan mengurus standar kesehatan dan standar
keselamatan publik. SWASTA/PASAR berperan menjalankan industri;
menciptakan lapangan kerja; menyediakan insentif bagi karyawan;
meningkatkan standar hidup masyarakat; memelihara lingkungan hidup;
menaati peraturan; dan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi kepada
masyarakat. CIVIL SOCIETY berperan menjaga agar hak-hak masyarakat
terlindungi; mempengaruhi kebijakan publik; sebagai sarana checks and
balances pemerintah; mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial
pemerintah; mengembangkan SDM; dan sebagai sarana berkomunikasi antar
anggota masyarakat.
Dengan demikian, jika dalam sebuah negara terjadi
ketidakseimbangan di antara ketiga penopang demokrasi itu,
maka negara demokrasi tidak akan kokoh bahkan justeru dapat
bergeser. Maksudnya, jika negara terlalu kuat sementara civil
society dan swasta lemah, maka negara akan cenderung otoriter
dan tidak demokratis lagi. Jika kekuatan civil society terlampau
kuat dan negara lemah, maka negara cenderung ke arah
sosialisme, dan jika pasar terlampau kuat, sementara negara
 8 
dan civil society lemah, maka kekacauan dapat terjadi karena
ketiadaan otoritas pemaksa/penertib.
Sementara itu, negara (baca: pemerintah) sendiri meng-
inginkan dirinya kuat. Karena ideologi developmentalisme
yang dianut negara-negara berkembang sangat meniscayakan
adanya stabilitas sosial, demi tercapainya berbagai rencana
pembangunan. Mansour Fakih3 mengatakan kata ‘pembangun-
an’ (terjemahan dari developmentalisme) menjadi diskursus
yang dominan di Indonesia (sebagai negara berkembang)
terutama pada masa Orde Baru. Kata itu sudah menjadi ruh
bagi periode pembangunan ‘repelita’ di Indonesia selama 32
tahun pemerintahan Soeharto. Namun, kritiknya,
pembangunan itu sering disalahposisikan ke dalam berbagai
konteks, konotasi ideologi dan politik tertentu, padahal
pembangunan adalah bagian dari teori perubahan sosial.
Beberapa teori mengenai hubungan LSM dan Pemerintah
telah banyak disampaikan para ahli. Salahsatunya adalah yang
disampaikan Drs. H. Dadang Solihin, MA, ahli LSM dari
PACIVIS-UI yang juga pernah menjabat Deputi di BAPPENAS.
Menurutnya, relasi antara CSO/Civil Society Organization (yang
LSM berada di dalam lingkupannya) dengan pemerintah, dapat
terjadi dalam lima kondisi.4 Pertama, apa yang disebutnya
autonomous benign neglect. Pada kondisi ini pemerintah tidak
menganggap posisi CSO sebagai ancaman dan tidak
melakukan intervensi terhadap CSO; serta CSO dapat bekerja
secara mandiri dan independen. Kedua, facilitation/ promotion.
Dimana Pemerintah menganggap CSO sebagai entitas yang
keberadaannya bersifat komplementer; dan Tugas pemerintah
                                                            
3 Lihat, Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi,
(Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 12-13. 
4 Lihat, “Format Hubungan dan Kerjasama Pemerintah, Media, serta Private Sector
dengan NGO dalam Penguatan Civil Society,” slide pemaparan Drs. H. Dadang
Solihin, MA, dalam Pacivis-NGO-Management Certificate Program, di FISIP-UI
Depok, 17 Maret 2006. Slide diunduh melalui www.4shared.com, atau juga
tersedia di www.dadangsolihin.com. 
  9
untuk menyediakan kondisi yang kondusif bagi beroperasinya
CSO. Ketiga, collaboration cooperation. Kondisi dimana
Pemerintah menganggap bekerja sama dengan CSO lebih
menguntungkan bagi pencapaian tujuan pemerintah. Keempat,
cooptation/-absorbtion. Pada kondisi ini Pemerintah melakukan
kontrol terhadap CSO baik dalam konteks programatik
maupun ideologis. Hal ini dilakukan dengan adanya suplai
finansial, penghambatan terhadap ijin eksekusi program CSO,
dan sebagainya. Dan kelima, containment/ sabotage/dissolution.
Dalam kondisi ini Pemerintah melihat CSO sebagai tantangan
dan juga ancaman, sehingga pemerintah menghambat kerja
CSO, dan bahkan sampai pada tindakan.
Dalam perspektif yang lebih berimbang, Afan Gaffar5
menjelaskan pola hubungan LSM-negara seperti tergambar
dalam tabel berikut ini.
Tabel 1
Pola Hubungan LSM-Negara
Dimensi Ruang
Publik
Strategi LSM vis a vis
Pemerintah/negara
Strategi Pemerintah
vis a vis LSM
Orientasi isu Memengaruhi agenda
pembangunan, mengkritik,
dan mengajukan alternatif
kebijakan.
Menetapkan agenda
dan prioritas
pembangunan, dan
memonitor alternatif
apa yang dapat
diterima.
Finansial Memobilisasi dukungan
dana, sehingga menjadi
mandiri dan terlepas dari
campur tangan dan
pengawasan pemerintah.
Membantu sumber
keuangan Ornop,
mengatur dan
menyetujui
penggunaannya untuk
pembangunan.
Organisasional Menjaga kemandirian,
menghindari campur tangan
pemerintah dalam urusan
Membantu proses
administrasi Ornop,
mengatur kegiatan
                                                            
5 Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi (Jakarta: Pustaka
Pelajar, 1999) hlm. 216, yang juga dikutip Culla, dalam op.cit. hlm. 82. 
 10 
administrasi, pembuatan
keputusan, dan pelaksanaan
di lapangan.
mereka dan
pelaksanaan kegiatan di
lapangan.
Kebijakan Memengaruhi dialog dalam
pembentukan kebijakan
dengan melakukan
advokasi, guna
meningkatkan kualitas
lingkungan pembuatan
kebijakan.
Membantu kebijakan,
melakukan dialog,
mengatur akses ke
pembuatan keputusan,
dan memelihara kontrol
atas lingkungan
pembuatan kebijakan.
Kajian Terdahulu
Penelitian dan kajian tentang LSM telah banyak dila-
kukan oleh para akademisi. Sebuah tulisan yang cukup
komprehensif yang mengkaji tentang geliat LSM di Indonesia
adalah tulisan karya-masterpiece Dr. Mansour Fakih berjudul
Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996). Buku yang merupakan refleksi penulis tentang
sejarah pergolakan LSM 80-90an ini senantiasa menjadi rujukan
para pemerhati gerakan sosial di Indonesia. Melalui proses riset
partisipatif dan studi kolaboratif, Fakih menyimpulkan bahwa
LSM berada dalam posisi struktural ideologi sebagai bagian
dari hegemoni negara, dan karenanya terdapat indikasi teoritis
bahwa sebagian besar gerakan LSM di Indonesia (pada konteks
waktu penelitian itu dilakukan, akhir 80-an dan awal-90-an.
Pen.) lebih merupakan bagian dari negara daripada bagian dari
masyarakat sipil.
Kajian lain tentang LSM, yang relatif baru (2006),
dilakukan oleh Adi Suryadi Culla. Dalam bukunya yang
berasal dari disertasi ini, tergambar dinamika hubungan LSM-
negara yang senantiasa dipengaruhi konstelasi politik dan
interaksi aktor-aktor dan institusi keduanya yang kerap
menimbulkan hubungan keduanya tidak selalu mudah
didefinisikan. Temuannya yang ‘merekonstruksi’ tesis selama
ini tentang hubungan LSM-negara adalah bahwa negara dapat
  11
berperan positif dalam pembentukan masyarakat sipil, artinya
hubungan antara masyarakat sipil dan negara bersifat cross-
cutting dan tidak dikotomis. Kajiannya yang melihat peran
YLBHI dan Walhi ini diberi judul Rekonstruksi Civil Society:
Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2006).
Kajian terdahulu lainnya, sebagaimana disebut oleh Culla
dalam Rekonstruksi Civil Society,6 adalah disertasi karya
Muhammad Atho'illah Shohibul Hikam berjudul The State
Grassroots Politics and Civil Society: A Study of Social Movements
Under Indonesia's New Order,1989-1994 (Amerika Serikat: Uni-
versity of Hawai, 1995) yang mengkaji gerakan politik grassroots
dengan mengangkat beberapa kasus serikat pekerja di
Indonesia era Orde Baru. Kemudian tesis Adi Suryadi Culla
sendiri, berjudul Masyarakat Madani di Indonesia: Studi Kasus
Petisi 50 (Jakarta: Universitas Indonesia, 1999) yang mengkaji
"Petisi 50" dengan menggunakan konsep masyarakat sipil.
Kemudian, dengan perspektif ilmu politik, kajian tentang LSM
dilakukan oleh M. Dawam Rahardjo, dkk. berjudul Gerakan
Keagamaan dalam Penguatan Masyarakat Sipil: Analisis
Perbandingan Misi dan Visi Ornop dan Ormas Berbasis Keagamaan
(1999). Selain itu, penelitian Deden Ridwan dan Dewi
Nurjulianti berjudul Pembangunan Masyarakat Madani dan
Tantangan Demokratisasi di Indonesia: Sebuah Laporan dari
Penelitian dan Seminar (1999), dan penelitian PPIM-IAIN Jakarta
berjudul Islam dan Civil Society: Pandangan Muslim Indonesia
(2002), suntingan Hendro Prasetyo dan Ali Munhanif, dkk.
Kemudian kajian Ahmad Baso berjudul Civil Society versus
Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran "Civil Society" dalam
Islam Indonesia (1999). Selain itu masih banyak kajian berupa
sejumlah disertasi mengenai LSM yang ditulis para doktor yang
turut memperkaya pustaka di bidang kajian LSM ini.
                                                            
6 Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia
(Jakarta: LP3ES, 2006), hlm. 12-14. 
 12 
Dari kajian-kajian terdahulu sebagaimana tersebut di atas,
terlihat penelitian dan kajian yang dilakukan kebanyakan
masih berkutat pada masalah perdebatan mengenai konsep civil
society, hubungan LSM-negara, LSM dalam setting politik
tertentu, dan lainnya. Kecuali penelitian M. Dawam Rahardjo
dkk., penelitian dan kajian tersebut belum ada yang secara
khusus melihat peran LSM bidang agama atau bidang
kerukunan di Indonesia. Maka, terdapat ‘ruang kosong’ yang
mencoba diisi oleh penulis, yakni peran dan hubungan LSM
dan Pemerintah dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat
beragama. LSM yang dimaksud di sini adalah khusus LSM
yang bergerak di bidang kerukunan, dan lingkup perannya
berada pada konteks pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Disinilah distingsi penelitian ini.
Definisi Operasional
Secara etimologis, ‘peran’ diartikan sebagai perangkat
tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedu-
dukan dalam masyarakat.7 Sedangkan dalam konteks
penelitian ini, yang dimaksud peran adalah kiprah atau segala
sesuatu yang dilakukan oleh LSM dan Pemerintah dalam
upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama. Tegasnya,
meliputi visi, misi, tugas-fungsi, program-program, dan
kegiatan yang mereka miliki dan lakukan terkait pemeliharaan
kerukunan umat beragama.
‘Hubungan’ berarti kondisi kontak, sangkut-paut, atau
pertalian.8 Dalam penelitian ini, hubungan yang dimaksud
adalah segala kondisi yang saling menghubungkan antara LSM
dan Pemerintah, baik dalam bentuk kerjasama, aksi-reaksi,
perang wacana, dan sebagainya.
Adapun lembaga swadaya masyarakat (LSM) diartikan
dalam berbagai istilah dan arti. Seperti diketahui, LSM juga
                                                            
7 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999, cet. X. 
8 Ibid. 
  13
seringkali disebut ornop (organisasi non-pemerintah), atau
NGO (non-governmental organization), atau istilah lain
sejenisnya. Dalam penelitian ini, penulis lebih memilih
menggunakan istilah LSM, dengan pertimbangan makna
netral-substantif dan terasa lebih familiar di dalam masyarakat
luas. Secara etimologis, LSM bermakna organisasi yang bukan
bagian dari pemerintah dan melakukan pemberdayaan
masyarakat. Sedangkan secara istilah, LSM berarti organisasi
swasta yang menjalankan kegiatan untuk meringankan
penderitaan, mengentaskan kemiskinan, memelihara
lingkungan hidup, menyediakan layanan sosial dasar atau
melakukan kegiatan pengembangan masyarakat, yang
mencoba untuk mengisi ruang yang tidak akan atau tidak
dapat diisi oleh pemerintah.9 Lebih jauh mengenai istilah, arti,
dan seluk beluk LSM akan dibahas pada bagian tersendiri
tulisan ini.
Dalam penelitian ini, yang dimaksud LSM adalah LSM
yang bergerak di bidang kerukunan umat beragama—
selanjutnya cukup disebut LSM Kerukunan. Yakni LSM yang
dalam program kerjanya atau dalam wacana dan aksinya
tersangkut paut dengan masalah kerukunan umat beragama.
Lebih tegasnya, penelitian ini membatasi pada beberapa LSM
yang dianggap mewakili jenis LSM ini, yaitu: the WAHID
Institute, SETARA Institute, dan ICRP. Ketiga LSM Kerukunan
ini dipilih karena kami nilai mereka sudah cukup konsisten di
bidang ini dan cukup established, terlihat salahsatunya dari
‘kultur’ penerbitan Annual Report Kehidupan Beragama yang
telah secara periodik setiap tahun dikeluarkannya.
‘Pemerintah’ diartikan melalui konsep negara. Bahwa
negara adalah organisasi tertinggi diantara satu kelompok
masyarakat yang mempunyai pemerintahan yang berdaulat.
Sementara itu, dalam negara terdapat tiga unsur, yakni: rakyat,
                                                            
9 Diambil dari ensiklopedia bebas, www.wikipedia.com, dengan kata kunci “NGO”. 
 14 
wilayah, dan pemerintahan. Pemerintahan itu sendiri adalah
alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin organisasi
negara untuk mencapai tujuan bersama didirikannya sebuah
negara. Pemerintahan, melalui aparat dan alat-alat negara, yang
menetapkan hukum, melaksanakan ketertiban dan keamanan,
mengadakan perdamaian dan lainnya dalam rangka
mewujudkan kepentingan warga negaranya yang beragam.10
Adapun ‘Pemerintah’ dalam konteks penelitian ini diwakili
oleh Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri,
Kepolisian, dan Kejaksaan, karena keempat institusi ini
memiliki tugas pokok dan fungsi terkait dengan pemeliharaan
kerukunan umat beragama.
Kerukunan umat beragama, sebagaimana didefinisikan di
dalam PBM No. 9 dan 8 tahun 2006,11 adalah keadaan
hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi,
saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan
dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945. Sedangkan pemeliharaan kerukunan umat
beragama adalah upaya bersama umat beragama dan
pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan, dan pember-
dayaan umat beragama.
Dalam kamus, ‘sinergi’ berarti kegiatan atau operasi
gabungan; kegiatan tergabung yang pengaruhnya biasanya
lebih besar daripada jumlah total pengaruh masing-masing satu
                                                            
10 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak (Peny.), Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan
Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), hlm.
18 
11 Lihat Bab I Pasal I butir 1 dan 2, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan
Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian
Rumah Ibadat, yang diterbitkan tanggal 21 Maret 2006. 
  15
per satu.12 Sedangkan dalam konteks penelitian ini, sinergi
adalah kerjasama yang tidak harus selalu berupa kegiatan atau
program, melainkan adanya kesalingpahaman. Sekali lagi,
kerjasama yang perlu dilakukan bukan dalam arti penyatuan
program-teknis, melainkan terciptanya sikap saling memahami
dan sinergi dalam tujuan sama meski dengan pilihan cara
beragam.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan
motode pokok yang dipergunakan adalah deskriptif-analitis.
Data yang diperoleh dari berbagai bahan pustaka dan
wawancara dipaparkan secara utuh, kemudian dilakukan
proses analisa sesuai kebutuhan problem penelitian ini.
Pengumpulan data terutama dilakukan dengan
menelusuri bahan pustaka, dan kemudian melalui sejumlah
wawancara langsung dan tertulis (melalui email) dengan
berbagai narasumber dan informan kunci yang dianggap
relevan. Diantara yang diwawancarai adalah ketua/anggota
LSM (WI, SETARA, ICRP), pejabat pemerintah dan kalangan
akademisi serta pengamat/praktisi LSM. Informasi dari dunia
maya cukup banyak menyumbang tulisan ini, karena profil dan
informasi seputar kiprah LSM dan pemerintah (yang dibutuh-
kan peneliti) cukup melimpah tersedia di dalamnya. Pemba-
tasan lokasi memang tidak relevan dalam penelitian ini, selain
bahwa pengumpulan data dilakukan kepada LSM-LSM dan
beberapa institusi di tingkat pusat (DKI Jakarta) dan, jika
diperlukan, di kota lain yang dilakukan melalui bantuan email
(wawancara-tertulis) dan telepon (wawancara-jarak jauh).
Dalam menganalisis data digunakan Analisis Data
Kualitatif (Bogdan dan Biklen, 1982), yakni dengan meng-
                                                            
12 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999, c.X. 
 16 
organisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang
dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan
pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari,
dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang
lain.13
Penelitian ini dilakukan sendiri oleh penulis pada bulan
Agustus-Desember 2009, atas biaya dinas.
                                                            
13 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Remaja Rosdakarya,
2006, hlm. 248. 
  17
BAB II
HUBUNGAN LSM DENGAN PEMERINTAH
ntuk memahami peran dan hubungan LSM dan
pemerintah, penting untuk terlebih dahulu
mengenal profil dan kiprah keduanya. Hal ini
untuk menjadi bekal dan landasan dalam melihat posisi-posisi
keduanya dalam percaturan hubungan dimaksud. Berikut
paparan serba sekilas mengenai keduanya.
Memahami LSM
LSM, Ornop/NGO, SHO, atau PVO?
Mengenai istilah mana yang lebih tepat digunakan: LSM,
ornop/NGO, atau PVO, ternyata bukan perkara mudah,
melainkan telah melalui perdebatan yang cukup lama di
kalangan aktivis LSM sendiri. Namun, secara historis, hal ini
dapat dipahami mengingat istilah-istilah itu tidak bebas nilai
dan sangat terkait konteks politik pada setiap masanya. Berikut
gambaran perdebatan istilah tersebut, sebagaimana diulas
dengan baik oleh Culla.14
Pertama, istilah ornop, adalah terjemahan harfiah dari
NGO (non-govermental organizations) yang telah dikenal dalam
pergaulan internasional--sebagaimana tercantum dalam Bab 10
Pasal 71 Piagam PBB. Istilah NGO merujuk pada organisasi
non-negara yang mempunyai kaitan dengan badan-badan PBB
yang perlahan-lahan menyebar dan dipakai oleh komunitas
internasional. Ketika masuk ke Indonesia, istilah asing itu
menjadi Ornop, organisasi non-pemerintah. Pemerintah
kemudian bereaksi keras. Beberapa aktivis juga kurang "sreg"
dengan istilah itu karena dinilai merujuk pada dikotomi
                                                            
14 Adi Suryadi Culla, op. cit., hlm. 63-67. Disarikan dan direformulasi seperlunya oleh
penulis. 
U
 18 
ideologis maupun politis antara pemerintah (government) dan
non-pemerintah (non-government). Istilah NGO atau Ornop
dapat diartikan atau dituduh sebagai kelompok masyarakat
yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah.
Kemudian muncul istilah lembaga swadaya masyarakat
(LSM) dan lembaga pengembangan swadaya masyarakat
(LPSM) yang dipakai sebagai pengganti ornop. Istilah LSM
muncul dari hasil perdebatan para peserta lokakarya kerjasama
terpadu pengembangan pedesaan yang diselenggarakan Sekre-
tariat Bina Desa (SBD) di tahun 1978, di Ungaran, Jawa Tengah.
Sedangkan LPSM muncul dari saran Dr. Ki Sarino Mangun-
pranoto, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang
juga dikenal sebagai salahseorang tokoh gerakan Taman Siswa.
Selanjutnya, beberapa aktivis kemudian menemukan isti-
lah lain dengan membandingkan apa yang sering dipakai oleh
Kementerian Kerja Sama Internasional Jerman Barat, yaitu Self-
Help Promoting Institute (SHPI) dan Self-Help Organization
(SHO). Atas saran Prof. Sayogyo kemudian diperkenalkan
istilah Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM)
untuk SHPI dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk
SHO. Lembaga Swadaya Masyarakat sering kali dipakai secara
bergantian dengan istilah Kelompok Swadaya Masyarakat
(KSM) yang merujuk pada kelompok-kelompok yang dibentuk
oleh masyarakat dalam arti luas. Meskipun LPSM dan KSM
mempunyai varian masing-masing, istilah yang kelihatannya
lebih sering dipergunakan adalah LSM karena esensi
sebenarnya tidak berubah. Maka pada tahun 1981, untuk
memudahkan pemahaman di kalangan masyarakat, disepakati
menggunakan satu istilah saja, yakni LSM. Maka, penulis
menggunakan istilah LSM karena dinilai lebih tepat dan
‘ramah’ digunakan.15
                                                            
15 Bandingkan dengan A.S. Culla dan George Aditjondro yang lebih memilik ornop
daripada LSM, karena dengan menggunakan istilah LSM, katanya, dapat
  19
Sementara itu, di dalam peraturan perundang-undangan
Negara Republik Indonesia, perihal LSM diatur dalam UU No.
8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Namun
pengertian LSM di UU ini lebih bias pada pengertian ormas,
bukan ornop/LSM. Adapun dalam Instruksi Menteri Dalam
Negeri No. 8 Tahun 1990 yang dalam lampiran II-nya menggu-
nakan istilah LSM, mendefinisikan LSM sebagai berikut:
Organisasi/lembaga yang anggotanya adalah masyarakat
warganegara Republik Indonesia yang secara sukarela atau
kehendak sendiri berniat serta bergerak di bidang kegiatan
tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sebagai
wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf
hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitikberatkan
kepada pengabdian secara swadaya.16
Dari definisi ini dan penelusuran yang dilakukan oleh
Culla, ditemukan beberapa ciri umum suatu LSM, yakni:
bersifat kesukarelaan, non-profit oriented (tidak berorientasi
mencari keuntungan), dan non-coersion (tidak menggunakan
kekerasan atau alat pemaksa).17
Majelis Agama dan FKUB: LSM?
Ada pertanyaan yang cukup menarik dalam konteks
umat beragama, apakah majelis-majelis atau ormas-ormas
agama (seperti NU, Muhammadiyah, MUI, PGI, KWI, dsb.)
dapat dikategorikan sebagai LSM? Pertanyaan ini mengemuka
karena asosiasi yang muncul ketika menyebut kata LSM adalah
organisasi-organisasi non-pemerintah yang banyak bergerak di
dunia aksi-advokasi massa, sementara kelompok-kelompok
umat beragama sepertinya keluar dari lingkup istilah ini.
Sebenarnya, dalam hal kenonpemerintahan, majelis/ormas
                                                                                                                              
memungkinkan masuknya LSM yang didukung pemerintah (distingsi pemerintah
dan non-pemerintah jadi kabur); kata ‘swadaya’ menjadi ganjalan karena faktanya
disokong dana dari luar negeri; dan adanya keharusan menjadi sebuah ‘lembaga’
terlebih dahulu (established).  
16 Adi Suryadi Culla, op. cit., hlm. 69. 
17 Ibid., hlm. 72 
 20 
agama pun dapat dikategorikan sebagai LSM. Namun
demikian, sesungguhnya ada perbedaan. Bahwa ormas
mencakup seluruh bidang pembangunan, sedangkan LSM
lebih khusus “meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
sosial.”18 M. Dawam Rahardjo, yang mengutip Tocquiville,
membedakannya dengan menyebut ada empat macam
kelompok bentukan masyarakat: organisasi keagamaan yang
berpusat di gereja, organisasi masyarakat lokal, organisasi
ketetanggaan atau persaudaraan, dan organisasi terkait
kewarganegaraan.19 Meski begitu, Azyumardi Azra menyebut
ormas seperti NU dan Muhammadiyah, misalnya, dengan
sebutan Religious-Based Civil Society.20
Lain halnya dengan FKUB (Forum Kerukunan Umat
Beragama) yang kini telah ada di 33 provinsi dan di 392
kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Di dalam Pasal 1 Butir 6
PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006,21 disebutkan definisinya sebagai
berikut:
Forum Kerukunan Umat Beragama, yang selanjutnya disingkat
FKUB, adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat dan
difasilitasi oleh Pemerintah dalam rangka membangun, meme-
lihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan
dan kesejahteraan.
Maka, FKUB yang merupakan forum (sejenis organisasi)
yang dibentuk oleh masyarakat dan beranggotakan pemuka
agama (baca: warga masyarakat), dalam hal kenonpeme-
rintahannya memang dapat dikategorikan sebagai ornop/LSM.
                                                            
18 Ibid., hlm. 69. 
19 Lihat M. Dawam Rahardjo, “Tiga Dasar Teori LSM”, dalam Republika, 9 November
1994; seperti dikutip Culla, ibid, hlm. 70. 
20 Wawancara-tertulis dengan Azyumardi Azra pada 25 November 2009. 
21 PBM itu selengkapnya adalah “Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan
Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian
Rumah Ibadat.” PBM inilah yang menjadi landasan pembentukan dan keberadaan
FKUB. 
  21
Namun demikian, seperti halnya majelis agama, FKUB belum
dapat disebut sebagai LSM dalam kategori konteks penelitian
ini—selain jikapun dimasukkan LSM maka dikategorikan
‘GoNGO’ (Government NGO) alias ‘LSM plat merah,’ karena
aktivitasnya jelas-jelas difasilitasi dan didanai Pemerintah
melalui APBN/APBD.
LSM dan Konsep Civil Society
Seperti diketahui, kajian tentang LSM tidak dapat
dipisahkan dari penjelasan tentang hakikat civil society, karena
LSM adalah salahsatu bagian penting civil society tersebut.
Wacana tentang civil society memang telah berumur lama,
bahkan sejak zaman filusuf Yunani dahulu. Berikut ini
gambaran rentetan kronologis fase perkembangan pemahaman
civil society dari masa ke masa.22
Aristoteles (384-322 SM) memandang civil society sebagai
sistem kenegaraan atau identik dengan negara itu sendiri.
Pandangan ini merupakan fase pertama sejarah wacana civil
society. Tentu saja pandangan ini telah berubah sama sekali
dengan rumusan civil society yang berkembang dewasa ini,
yakni masyarakat sipil di luar dan penyeimbang lembaga
negara. Mazhab pandangan Aristoteles tersebut selanjutnya
dikembangkan oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), Thomas
Hobbes (1588-1679 M) dan John Locke (1632-1704 M). Pada
masa Aristoteles, civil society dipahami sebagai sistem
kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni
sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung
dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan
keputusan. Istilah koinonia politike yang dikemukakan oleh
Aristoteles ini digunakan untuk menggambarkan sebuah
masyarakat politis dan etis dimana warga negara di dalamnya
berkedudukan sama di depan hukum.
                                                            
22 Dikutip dan direformulasi dari A. Ubaedillah dan Abdul Rozak (Peny.), op.cit., hlm.
244-248. 
 22 
Berbeda dengan Aristoteles, Marcus Tullius Cicero (106-
43 SM) menamakannya dengan societies civilies, yaitu sebuah
komunitas yang mendominasi komunitas yang lain. Istilah
yang digunakan Cicero lebih menekankan pada konsep negara
kota (city-state), yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota
dan bentuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan yang
terorganisir. Menurut Thomas Hobbes (1588-1679 M), sebagai
entitas negara, civil society mempunyai peran untuk meredam
konflik dalam masyarakat sehingga ia harus memiliki
kekuasaan mutlak, sehingga ia mampu mengontrol dan
mengawasi secara ketat pola-pola interaksi (prilaku politik)
setiap warga negara. Sedangkan John Locke (1632-1704 M),
berpendapat, kehadiran civil society adalah untuk melindungi
kebebasan dan hak milik setiap warga negara. Mengingat
sifatnya yang demikian itu, civil society tidaklah absolut dan
harus membatasi perannya pada wilayah yang tidak bisa
dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi
bagi warga negara untuk memperoleh haknya secara adil dan
proporsional.
Fase kedua, pada tahun 1767, Adam Ferguson mengem-
bangkan wacana civil society dengan konteks sosial dan politik
di Skotlandia. Berbeda dengan pendahulunya, Ferguson lebih
menekankan visi etis pada civil society dalam kehidupan sosial.
Pemahamannya ini lahir tidak lepas dari pengaruh dampak
revolusi industri dan kapitalisme yang melahirkan
ketimpangan sosial yang mencolok. Menurut Ferguson,
ketimpangan sosial akibat kapitalisme harus dihilangkan. la
yakin bahwa publik secara alamiah memiliki spirit solidaritas
sosial dan sentimen moral yang dapat menghalangi munculnya
kembali despotisme.
Fase ketiga, pada 1792 Thomas Paine mulai memaknai
wacana civil society sebagai sesuatu yang berlawanan dengan
lembaga negara, bahkan ia dianggap sebagai antitesa negara.
Bersandar pada paradigma ini, peran negara sudah saatnya
  23
dibatasi. Menurut pandangan ini, negara tidak lain hanyalah
keniscayaan buruk belaka. Konsep negara yang absah, menurut
mazhab ini, adalah perwujudan dari delegasi kekuasaan yang
diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan
bersama. Semakin sempurna sesuatu masyarakat sipil, semakin
besar pula peluangnya untuk mengatur kehidupan warganya
sendiri. Menurut Paine, civil society adalah ruang di mana
warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi
peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas tanpa
paksaan, tanpa intervensi negara. Bahkan, civil society harus
lebih dominan dan sanggup mengontrol negara demi
keberlangsungan kebutuhan anggotanya.
Fase keempat, wacana civil society selanjutnya dikem-
bangkan oleh G.W.F Hegel (1770-1831 M), Karl Marx (1818-1883
M) dan Antonio Gramsci (1891-1837 M). Dalam pandangan
ketiganya, civil society merupakan elemen ideologis kelas
dominan. Pemahaman ini adalah reaksi atas pandangan Paine
yang memisahkan civil society dari negara. Berbeda dengan
pandangan Paine, Hegel memandang civil society sebagai
kelompok subordinatif terhadap negara. Lebih lanjut Hegel
menjelaskan bahwa dalam struktur sosial civil society terdapat 3
(tiga) entitas sosial: keluarga, masyarakat sipil, dan negara.
Keluarga merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota
masyarakat yang bercirikan keharmonisan, sedangkan masya-
rakat sipil merupakan lokasi atau tempat berlangsungnya
percaturan berbagai kepentingan pribadi dan golongan teruta-
ma kepentingan ekonomi. Hegel tidak memandang civil society
sebagai arena untuk praktik politik yang mengakibatkan
monopoli negara. Menurutnya, negara merupakan representasi
dari ide universal yang bertugas melindungi kepentingan
politik warganya dan memiliki hak penuh untuk melakukan
intervensi terhadap civil society. Dari pandangan ini, maka
intervensi negara terhadap wilayah masyarakat sipil tidaklah
dianggap sebagai tindakan ilegal (melanggar hukum)
 24 
mengingat posisi negara sebagai pemilik ide universal dan
hanya pada level negara politik bisa berlangsung secara murni
dan utuh. Selain itu, masyarakat sipil memiliki kelemahan yang
identik, dimana mereka tidak mampu mengatasi kelemahannya
sendiri dan tidak mampu mempertahankan keberadaannya
tanpa dukungan keteraturan politik dan ketertundukan pada
institusi yang lebih tinggi yang bernama negara.
Berbeda dengan Hegel, Karl Marx memandang civil
society sebagai masyarakat borjuis. Dalam konteks hubungan
produksi kapitalis, keberadaan civil society merupakan kendala
terbesar bagi upaya pembebasan manusia dari penindasan
kelas pemilik modal. Demi terciptanya proses pembebasan
manusia, civil society harus dilenyapkan untuk mewujudkan
tatanan masyarakat tanpa kelas. Lain lagi Antonio Gramsci, ia
tidak memandang masyarakat sipil dalam konteks relasi
produksi, tetapi lebih pada sisi ideologis. Gramsci meletakannya
pada superstruktur yang berdampingan dengan negara yang ia
sebut sebagai political society. Menurut Gramsci, civil society meru-
pakan tempat perebutan posisi hegemonik di luar kekuatan
negara, aparat hegemoni mengembangkan hegemoni untuk
membentuk konsensus dalam masyarakat. Pandangan Gramsci
ini memberikan peran penting kepada kaum cendekiawan
sebagai aktor utama dalam proses perubahan sosial dan politik.
Fase kelima, wacana civil society sebagai reaksi terhadap
mazhab Hegelian, yang dikembangkan oleh Alexis de
Tocqueville (1805-1859 M). Bersumber dari pengalamannya
mengamati budaya demokrasi Amerika, pemikiran Tocqueville
tentang civil society sebagai kelompok penyeimbang kekuatan
negara. Menurut Tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat
sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi
Amerika mempunyai daya tahan yang kuat. Mengaca pada
kekhasan budaya demokrasi rakyat Amerika yang bercirikan
plural, mandiri, dan kedewasaan berpolitik, menurutnya warga
negara dimana pun akan mampu mengimbangi dan
  25
mengontrol kekuatan negara. Tocqueville lebih menempatkan
masyarakat sipil sebagai sesuatu yang tidak apriori maupun
tersubordinasi dari lembaga negara. Pandangan civil society ala
Tocquevillian ini merupakan model masyarakat sipil yang
tidak hanya berorientasi pada kepentingan individual, tetapi
juga memiliki komitmen terhadap kepentingan publik.
Dari kelima fase tersebut di atas, dapatlah kiranya
tergambar (terasosiasikan) posisi LSM dalam hubungannya
dengan negara (baca: Pemerintah). Fase kelima inilah, yang
menempatkan civil society sebagai kelompok penyeimbang
kekuatan negara, yang berlaku hingga hari ini.
a. Tipologi dan Ideologi LSM
Meruyaknya berbagai LSM di Indonesia, secara sekilas,
memberi kesan tidak adanya satupun ruang di dalam
masyarakat yang tidak diisi oleh salahsatu dari mereka.
Terhadap masalah korupsi, misalnya, banyak LSM bergerak,
seperti: Indonesian Corruption Watch (ICW), Transparancy
International Indonesia (TII), dan lain sebagainya. Di bidang
penegakan HAM lebih banyak lagi, diantaranya: KontraS,
ELSAM, IMPARSIAL, Demos, dan lain sebagainya. Demikian
pula dalam hal yang sangat spesifik, misalnya dalam masalah
penyelenggaraan haji, penggunaan APBN/APBD, reformasi
kepolisian, dan sebagainya. Bak cendawan di musim hujan,
semuanya muncul dan bergerak mengawal kerja dan kinerja
pemerintah. Di sisi lain, ternyata ada pula beberapa LSM yang
terkesan ‘membantu’ peran Pemerintah dalam pelaksanaan
program-programnya. LSM jenis ini lebih mengambil posisi
sebagai perpanjangan tangan dari Pemerintah, partner atau
‘sahabat’ Pemerintah. Di sisi lain lagi, ada LSM yang terkesan
memfasilitasi kepentingan asing dalam kaitannya dengan
agenda-agenda mereka di Indonesia. Mereka pun kerap disebut
LSM komprador asing.
 26 
Untuk mendudukkan secara jelas posisi-posisi LSM
tersebut dalam kaitannya dengan pilar-pilar demokrasi lainnya,
penting menegaskan tipologi dan kategorisasi mereka. Meski
hal ini tidak mudah, namun identifikasi dan positioning ini
harus dilakukan untuk membantu mendudukkan masalah dan
menganalisanya kemudian.
Seperti diketahui bahwa sangat sedikit referensi teoretis
yang dapat dijadikan acuan analisis tentang LSM di Indonesia.
Namun demikian, telah ada beberapa kategorisasi yang telah
dilakukan beberapa akademisi. Misalnya pendapat Philip
Eldridge23 tentang peta LSM di Indonesia yang mendasarkan
pada tiga model pendekatan dalam konteks penjalinan
hubungan antara LSM dan Pemerintah. Pertama, "Kerja Sama
Tingkat Tinggi: Pembangunan Akar Rumput" (High Level
Partnership: Grassroots Development). LSM yang masuk dalam
kategori ini seringkali menekankan kerjasama dalam program-
program pembangunan Pemerintah seraya berusaha
mempengaruhi rancangan maupun implementasi program-
program ini agar bergerak ke arah yang lebih partisipatoris
serta menyentuh dan melibatkan akar-rumput. Kegiatan LSM
jenis ini umumnya lebih mengarah pada hal-hal berkaitan
langsung dengan proyek pembangunan bersifat teknis ketim-
bang advokasi ataupun substansi. Kedua, "Politik Tingkat
Tinggi: Mobilisasi Akar-Rumput" (High Level Politics: Grassroots
Mobilization). LSM dalam kategori ini mempunyai
kecenderungan untuk aktif dalam kegiatan politik, mengem-
bangkan gagasan berdasarkan kerangka berpikir teori sosial-
radikal, aksi kritis terhadap falsafah dan praktik kekuasaan
pemerintah (negara), dan maka kemudian LSM kategori ini
umumnya tidak melibatkan diri dalam program-program
pembangunan pemerintah. Kalaupun melakukan kerja sama,
mereka lebih mementingkan peran sebagai pembela masya-
                                                            
23 Philip Eldridge, “Ornop dan Negara” dalam Prisma, No.7, Thn. XVIII, 1989, hlm.
33-55 dalam Adi Suryadi Culla, op.cit. hlm. 74-75. 
  27
rakat, dan tetap kritis-reaktif terhadap isu-isu kebijakan
Pemerintah. Dan ketiga, "Penguatan Akar-Rumput" (Em-
powerment at the Grassroots). LSM jenis ini biasanya memilih
untuk memusatkan perhatian pada usaha "peningkatan kesa-
daran" dan pemberdayaan masyarakat, terutama di tingkat
akar rumput. LSM tipe ketiga ini tidak terlalu berminat
menjalin kontak dengan pemerintah, dan juga tidak tertarik
untuk melakukan aksi-aksi perubahan politik. LSM jenis ini
biasanya berusaha menghindari program atau kegiatan-
kegiatan yang mempunyai pretensi politis tertentu.
Kategorisasi lain diberikan oleh "Tim Fasilitasi LP3ES
untuk Kode Etik",24 yang mendasarkan pada orientasi kegiatan
LSM tersebut dan masyarakat basis pendukungnya. Ber-
dasarkan sejarah perkembangannya, kegiatan-kegiatan LSM
dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, LSM yang terlibat kegiatan
natural sosial (charity) dan berorientasi karikatif. Mereka
memberi bantuan kepada kaum miskin, masyarakat yang
menderita karena bencana, perang, dan sebagainya. Kedua, LSM
yang bergerak dalam kegiatan berorientasi perubahan dan
pembangunan (change and development) masyarakat serta
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (community
development). LSM tipe kedua ini bekerja untuk dan bersama
masyarakat dalam periode waktu lebih panjang dengan
maksud membantu masyarakat menolong diri sendiri (helping
people to help themselves). LSM tipe ini dikenal sebagai LSM
Pembangunan atau Developmentalis. Dan ketiga, LSM yang
tidak hanya bergerak dalam bidang pelayanan masyarakat,
tetapi juga melakukan pembelaan (advokasi). LSM tipe ini
melihat masalah yang dihadapi masyarakat tidak hanya
bersumber dari mereka sendiri, tetapi juga tidak terlepas dari
struktur yang dipaksakan dari luar. LSM tipe ini dikenal
sebagai LSM advokasi.
                                                            
24 Adi Suryadi Culla, op.cit., hlm. 76-77. 
 28 
Kategori lain yang juga dapat dipakai untuk memahami
LSM di Indonesia adalah kategori yang dibuat oleh Mansour
Fakih25. Berdasarkan konstruksi tipologis paradigma LSM di
Indonesia, Mansour Fakih membuat tiga tipologi LSM. Pertama,
tipe konformis, yang bekerja berdasarkan paradigma bantuan
karitatif. Motivasi utama yang melandasi program dan aktivitas
LSM tipe ini adalah menolong rakyat dan membantu mereka
yang membutuhkan. Mereka berorientasi proyek dan bekerja
sebagai organisasi yang menyesuaikan diri dengan sistem dan
struktur yang ada. Kedua, LSM tipe reformis, yang
mendasarkan pada "ideologi" modernisasi dan develop-
mentalisme. Perlunya meningkatkan "partisipasi" rakyat dalam
pembangunan adalah tema utama paradigma itu. Tesis pokok
paradigma tersebut adalah bahwa keterbelakangan mayoritas
rakyat disebabkan oleh adanya sesuatu yang salah dengan
mentalitas, perilaku, dan kultur rakyat. Di tingkat aksi, untuk
mencapai tujuan itu, hal terpenting adalah berjuang
mempengaruhi pemerintah agar pendekatan dan metodologi
yang ditawarkan akan dipakai dan diimplementasikan peme-
rintah. Ketiga, tipe transformatif, yang mempertanyakan
paradigma mainstream serta ideologi yang tersembunyi di
dalamnya. Menurut perspektif ini, salahsatu penyebab
"masalah" rakyat adalah karena berkembangnya diskursus
pembangunan dan struktur yang timpang dalam sistem yang
ada. LSM yang menggunakan pendekatan transformatif ini
mendasarkan kegiatan pada metodologi transformatif, yaitu
proses pendidikan untuk memunculkan kesadaran kritis dan
menjadikan rakyat sebagai pusat perubahan sosial.
Kategorisasi lain diberikan oleh M. Nurul Amin.26
Menurutnya, jenis LSM dapat dibagi menjadi dua golongan.
Pertama, LSM yang di kalangan aktivis sering dikatakan sebagai
                                                            
25 Ibid, hlm. 77-79. 
26 Seperti disebutkan di dalam artikelnya di Harian Umum Bisnis Indonesia, 6
Desember 1994. Informasi ditemukan melalui googling. 
  29
LSM pelat merah, yakni LSM yang dibentuk atas inisiatif
pemerintah untuk mendukung pelaksanaan pembangunan
pada level tertentu. Perannya lebih banyak pada dukungan atas
program yang dicanangkan pemerintah dan tentu saja dana
berasal dari Pemerintah. Contoh jenis ini antara lain PKK dan
Dharma Wanita. Dan kedua, LSM yang dibentuk oleh kalangan
yang umumnya berada pada kelas menengah, seperti:
intelektual, mahasiswa, ataupun sejumlah orang yang concern
pada kesejahteraan masyarakat. Umumnya LSM jenis ini
mengambil jarak dan kritis terhadap pemerintah, dan bergerak
dengan sokongan dana dari organisasi atau yayasan tertentu di
luar atau dalam negeri. Mereka antara lain LBH, Walhi, dan
banyak lainnya. Namun banyak juga LSM jenis ini yang cukup
akomodatif dengan Pemerintah. Ditambahkan jenis ketiga,
yakni LSM yang dibentuk atas dasar ikatan tradisional, seperti
perkumpulan-perkumpulan primordial kedaerahan, seperti:
Gerakan Masyarakat Jawa Barat (Gema Jabar), Himpunan
Mahasiswa Tasikmalaya (HIMALAYA), dan sebagainya.
b. Profil LSM Kerukunan
Sebagaimana disinggung di dalam latar belakang
masalah, data pada Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2004
menyebutkan, ada sekitar 70.000 buah LSM pada tahun 2000.27
Dalam sumber lain disebutkan data direktori kelompok
masyarakat sipil (baca: LSM) yang spesifik membidangi
masalah perdamaian dan resolusi konflik yang saat ini
mencapai 823 buah.28 Beberapa diantara sekian banyak LSM
tersebut teridentifikasi sebagai LSM yang bergerak di bidang
kebebasan beragama atau kerukunan beragama, yang dalam
kajian ini selanjutnya cukup disebut LSM Kerukunan.
                                                            
27 Lihat http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0404/17/pustaka/ 972516.htm,
diakses pada 19 Juni 2009. 
28 Lihat www.direktori-perdamaian.org 
 30 
Labeling LSM Kerukunan didasarkan pada visi dan misi,
kiprah, serta program-program unggulan yang dilakukan LSM
tersebut, yang bergerak di sekitar masalah kerukunan umat
beragama. Jumlahnya saat ini secara common sense cukup
banyak, terutama dapat teridentifikasi pada saat muncul suatu
kasus keagamaan, seperti Kasus Ahmadiyah beberapa waktu
lalu. Namun demikian, penelitian ini hanya akan membatasi
LSM kerukunan pada 3 buah LSM saja, yakni The WAHID
Institute, SETARA Institute, dan ICRP, yang dinilai telah cukup
established dan konsisten di bidangnya. Ketiga LSM Kerukunan
ini aktif melakukan kegiatan di bidang-bidang yang terkait
dengan agama, mereka juga memiliki wahana informasi di
dunia maya yang cukup ter-update dengan baik (setidaknya
hingga penelitian ini dilakukan), dan memiliki tradisi
penerbitan annual report di bidang kehidupan beragama.
The WAHID Institute (WI) 29
The WAHID Institute didirikan secara resmi pada tanggal
7 September 2004 di Hotel Four Seasons, Kuningan, Jakarta.
Namun demikian, pergulatan ide pendiriannya sesungguhnya
sudah dimulai setahun sebelumnya, sejak didirikannya website
Abdurrahman Wahid, yakni: www.gusdur.net pada 17 Agustus
2001, serta peluncuran buku Biografi Gus Dur versi bahasa
Indonesia; dan website pribadi Gus Dur versi Inggris pada 3 Juli
2003, di Jakarta. Gusdur memang menjadi sentral, buktinya,
selain namanya yang dipakai untuk nama LSM ini, visi yang
diusung LSM inipun berbunyi “untuk mewujudkan prinsip-
prinsip dan cita-cita intelektual Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) untuk membangun pemikiran Islam moderat yang
mendorong terciptanya demokrasi, pluralisme agama-agama,
multikulturalisme dan toleransi di kalangan kaum Muslim di
Indonesia dan seluruh dunia.” Sedangkan misi yang diemban-
nya adalah menyebarkan gagasan Muslim progresif yang
                                                            
29 Sebagian besar informasi di bagian ini dikutip dari www.wahidinstitute.org,
diunduh tanggal 7 September 2009. 
  31
mengedepankan toleransi dan saling pengertian di masyarakat
dunia Islam dan Barat.
Struktur Keorganisasian
The WAHID Institute digagas oleh K.H. Abdurrahman
Wahid, Dr. Gregorius James Barton, Yenny Zannuba Wahid,
dan Ahmad Suaedy. Sejumlah nama besar berjejer sebagai
sesepuh LSM ini, yaitu: K.H. M. A. Sahal Mahfudz, Prof. Dr.
Nurcholish Madjid, K.H. A. Mustofa Bisri, Dr. Alwi Abdur-
rahman Shihab, Prof. Nasr Hamid Abu Zaid, Prof. Abdullahi
Ahmed An-Naim, Prof. Mitsuo Nakamura, Luhut B. Panjaitan,
dan Wimar Witoelar. Selain itu, ada juga dewan pengawas
yang terdiri dari: Drs. M. Sobary, MA, Dr. Moeslim
Abdurrahman, Prof. Dr. Mahfud, MD, Lies Marcoes Natsir,
MA, Dr. Syafii Anwar, dr. Umar Wahid, Yahya C. Staquf, Adhie
M. Massardi, dan Prof. Dr. Sue Kenny.
Sedangkan di jajaran pengurus harian, posisi direktur
dijabat oleh Yenny Zannuba Wahid, dan Ahmad Suaedy
sebagai direktur eksekutif. Keduanya dibantu oleh sejumlah
staf, yaitu: Ainun Chomsun, Gamal Ferdhi, Widhi Cahya, M.
Subhi Azhari, Rifa Ilyasa, Nurul Huda Ma'arif, dan Du'aa.
Selain itu, ada juga dua tenaga outsource, yaitu: Christopher
Paul Holm (editor copy), dan Arif Hakim Budiawan (translator).
Ada juga yang dinamakan “rekanan”, yang terdiri dari: Siane
Indriani, Priya Sembada, KH. Hussen Muhammad, Rm. Benny
Susetyo, JH Wenas, Acep Zamzam Noer, M. Syafiq Hasyim,
Farha Ciciek, A. Rumadi, Marzuki Wahid, Bisri Effendy, Trisno
S. Sutanto, M. Jadul Maula, M. Imam Aziz, Abdul Moqsith
Ghazali, Masykur Maskub, Hikmat Budiman, dan Mufti
Makarim al-Akhlaq.
LSM yang mendapat funding dari The Asia Foundation
ini beralamat di Jl. Taman Amir Hamzah No. 8, Jakarta 10320.
Nomor telepon 021-3928233, 021-3145671, dan nomor faks 021-
 32 
3928250. Di dunia maya, dapat dikunjungi di alamat:
www.wahidinstitute.org dan www.gusdur.net, dan untuk berkirim
surat elektronik melalui: info@wahidinstitute.org dan
redaksi@gusdur.net.
Program
Untuk merealisasikan visi dan misi tersebut di atas,
sejumlah program telah dibuat. Besaran program dimaksud
adalah kampanye islam, pluralisme dan demokrasi; penerbitan
dan perpustakaan; capacity building untuk jaringan muslim
progresif; dan pendidikan. Diantara turunan programnya
antara lain adalah:30
1. Kampanye Pemikiran Islam Progresif dan Pluralisme
melalui: www.wahidinstitute.org, sisipan majalah, sisipan
surat kabar, bulletin (NAWALA), newsletter, dialog televisi,
talkshow radio, index isu pluralisme di Indonesia (MIoRI
dan Annual Report), penerbitan buku, kampanye Islam
damai di mancanegara, membangun komunitas informal,
promosi budaya pesantren, seminar/diskusi, kunjungan
rutin informal ke tokoh agama Islam lokal.
2. Pendidikan Kelas Ushul Fiqh Progresif, terdiri dari: Kelas
“Islam dan Pluralisme”, Pelatihan Creative Writing, dan
Pemberian Beasiswa Riyanto.
3. Perpustakaan, terdiri dari: digitalisasi dokumentasi, dan
penambahan koleksi buku dengan tema buku: Islam,
demokrasi dan pluralisme.
4. Advokasi dan penguatan masyarakat akar rumput
                                                            
30 Lihat, Lampiran Laporan Tahunan The WAHID Institute 2008, Pluralisme
Beragama dan Berkeyakinan, “Menapaki Bangsa yang Kian Retak”, Jakarta: The
WAHID Institute dan TIFA Foundation, 2009, hlm. 125. 
  33
Khusus mengenai program-kegiatan The WAHID
Institute di bidang pemeliharaan kerukunan umat beragama,
antara lain sebagai berikut:31
1. Memfasilitasi dialog para pemimpin agama di atas
(kalangan elit) dan di bawah (grassroot)
2. Memfasilitasi kaum muda untuk berdialog di antara mereka
melalui berbagai cara terutama event budaya dan sosial, dan
juga kerja bareng dalam masyarakat, bukan hanya muda
tapi juga kalangan tua. Di samping dalam bidang ekonomi
dan sosial, juga dalam kesenian dan budaya lainnya.
3. Melakukan riview secara berkesinambungan terhadap
berbagai UU dan peraturan lainnya, baik yang mendorong
maupun menghalangi kerukunan antar umat beragama.
4. Melakukan pemantauan, pendataan, analisis dan briefing
secara publik tentang berbagai problem dan pengalaman
pemecahan masalah melalui berbagai penerbitan (buku,
leaflet, artikel, website) tentang situasi mutakhir, dan
rekomendasi yang perlu dilakukan oleh pemerintah,
masyarakat, politisi, dan lain-lain.
5. Bersama-sama dengan jaringan lain melakukan advokasi
bagi korban yang kontra kerukunan beragama.
Dari paparan visi, misi, dan program The WAHID
Institute di atas, tampak peran besar LSM ini yang turut
mendukung upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama di
Indonesia.
                                                            
31 Wawancara-tertulis dengan A. Suaedy, Direktur Eksekutif the WAHID Institute, 17
Desember 2009. 
 34 
SETARA Institute32
SETARA Institute didirikan tahun 2006 oleh sekumpulan
individu yang peduli pada promosi gagasan dan praksis
pluralisme, humanitarian, demokrasi, dan hak asasi manusia,
yang bersifat perorangan dan suka rela. Para pendiri itu adalah
Abdurrahman Wahid, Ade Rostiana S., Azyumardi Azra,
Bambang Widodo Umar, Bara Hasibuan, Benny K. Harman,
Benny Soesetyo, Bonar Tigor Naipospos, Budi Joehanto, Damia-
nus Taufan, Despen Ompusunggu, Hendardi, Ismail Hasani,
Kamala Chandrakirana, Luhut MP Pangaribuan, M. Chatib Basri,
Muchlis T, Pramono Anung W, Rachlan Nashidik, Rafendi
Djamin, R. Dwiyanto Prihartono, Robertus Robert, Rocky
Gerung, Saurip Kadi, Suryadi A. Radjab, Syarif Bastaman,
Theodorus W. Koerkeritz, dan Zumrotin KS. Mereka adalah
orang-orang yang peduli pada penghapusan atau pengurangan
diskriminasi dan intoleransi atas dasar agama, etnis, suku, warna
kulit, gender, dan strata sosial lainnya serta peningkatan
solidaritas atas mereka yang lemah dan dirugikan. SETARA
Institute didedikasikan bagi pencapaian cita-cita di mana setiap
orang diperlakukan setara dengan menghormati keberagaman,
mengutamakan solidaritas dan bertujuan memuliakan manusia.
SETARA Institute percaya bahwa suatu masyarakat
demokratis akan mengalami kemajuan apabila tumbuh saling
pengertian, penghormatan dan pengakuan terhadap kebera-
gaman. Namun, diskriminasi dan intoleransi masih terus
berlangsung di sekitar kita bahkan mengarah pada kekerasan.
Karena itu langkah-langkah memperkuat rasa hormat atas
keberagaman dan hak-hak manusia dengan membuka partisi-
pasi yang lebih luas diharapkan dapat memajukan demokrasi
                                                            
32 Dikutip dari www.setara-institute.org 
  35
dan perdamaian. SETARA Institute mengambil bagian untuk
mendorong terciptanya kondisi politik yang terbuka
berdasarkan penghormatan atas keberagaman, pembelaan hak-
hak manusia, penghapusan sikap intoleran dan xenophobia.
Visi dan Misi
Visi organisasi ini adalah mewujudkan perlakuan setara,
plural dan bermartabat atas semua orang dalam tata sosial
politik demokratis. Visi ini ditopang oleh sejumlah nilai luhur,
yakni: kesetaraan, kemanusiaan, pluralisme, dan demokrasi.
Untuk mencapai visi tersebut, organisasi ini mengemban
misi: (a) mempromosikan, pluralisme, humanitarian, demokrasi
dan hak asasi manusia; (b) melakukan studi dan advokasi
kebijakan publik di bidang pluralisme, humanitarian,
demokrasi dan hak asasi manusia; (c) melancarkan dialog
dalam penyelesaian konflik; dan (d) melakukan pendidikan
publik.
Struktur Keorganisasian
Di dalam struktur Dewan Nasional, Azyumardi Azra
menjabat sebagai ketua, Benny Soesetyo sebagai sekretaris,
dengan anggota: Kamala Chandrakirana, M. Chatib Basri, dan
Rafendi Djamin. Sedangkan di jajaran Badan Pengurus, ketua
dijabat oleh Hendardi, dengan wakil ketua Bonar Tigor Naipos-
pos, dan sekretaris R. Dwiyanto Prihartono, serta Wakil Sekre-
taris Damianus Taufan. Bendahara dijabat Ade Rostina Sitompul,
dan Ismail Hasani menjabat sebagai Manager Program.
Program
Diantara program unggulan yang dilakukan SETARA
adalah berbagai kajian dan penelitian terkait toleransi dan
kebebasan beragama, yang pada akhir tahun atau pada suatu
 36 
periode tertentu diterbitkan dan di-publish dalam situsnya
(www.setara-institute.org), baik berupa Annual Report (Laporan
Tahunan) maupun laporan penelitian topik tertentu.
Ditambahkan Ismail Hasani, Direktur Program SETARA
Institute,33 diantara program yang berkaitan dengan pemeli-
haraan kerukunan umat beragama antara lain:
1. Secara rutin menerbitkan laporan-laporan tentang kondisi
kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia, yang
berbasis data pemantauan di berbagai daerah. SETARA
berpandangan bahwa kerukunan otentik dan genuine harus
dibangun di atas landasan pengakuan dan penghormatan
terhadap berbagai agama/keyakinan. Kerukunan yang
didesain dengan paksa, dipastikan hanya melahirkan keru-
kunan semu yang mudah terkoyak. Pengalaman selama
masa Orde Baru adalah pelajaran berharga bahwa
kerukunan yang digambarkan dalam bentuk trilogi
kerukunan kenyataannya nihil. Dengan laporan yang
diterbitkan, SETARA Institute berharap ada peningkatan
kesadaran publik tentang pentingnya toleransi. Laporan juga
mengarahkan rekomendasi praktis dan strategis bagi
pemerintah untuk memperkuat toleransi.
2. Hal lain yang dilakukan adalah menggelar diskusi-diskusi
publik untuk membangun pemahaman bersama tentang
penghormatan atas hak beragama/berkeyakinan. Pada
tahun 2008, misalnya, menggelar 10 diskusi di 10 kota.
Sedangkan di tahun 2009 dilakukan 12 diskusi di 12 kota.
Dari paparan visi, misi, dan program di atas, tampak
peran SETARA Institute yang juga turut mendukung upaya
pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia.
                                                            
33 Wawancara-tertulis pada 25 November 2009. 
  37
ICRP 34
ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) adalah
sebuah organisasi berbadan hukum yayasan yang bersifat non-
sektarian, non-profit, non-pemerintah dan independen yang
bergerak di bidang interfaith dan dialog agama-agama.
Dibidani kelahirannya oleh para tokoh antar agama, ICRP
berusaha menyebarkan tradisi dialog dalam pengembangan
kehidupan keberagamaan yang humanis dan pluralis di tanah
air. Para tokoh itu diantaranya ialah Djohan Effendi, Siti
Musdah Mulia, dan Sudhamek AWS. Dalam kepengurusan
2003-2006 juga tercantum nama wakil-wakil kelompok
agama/kepercayaan, seperti Rm Ig Ismartono SJ (Katolik), KH.
Abdul Muhaimin (Islam), Pdt. Yudho Purowidagdo (Kristen
Protestan), KS Lindasari Wiharja (Khonghucu), dan P.
Djatikusumah (Kepercayaan Adat Sunda Wiwitan).35
Jauh sebelum diresmikannya ICRP pada 12 Juli 2000 oleh
Presiden RI Abdurrahman Wahid, upaya-upaya dialog lintas
agama sudah tumbuh dan berkembang di Indonesia. Semenjak
berdirinya, upaya mentradisikan dialog yang terbangun
sebelumnya senantiasa dipertahankan oleh ICRP. Selain itu,
ICRP turut aktif pula berkontribusi dalam pengembangan studi
perdamaian dan resolusi konflik.
ICRP menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga keaga-
maan dan antar-iman maupun individu sebagai bagian dari
pengembangan dialog antaragama serta semangat penghargaan
atas realitas perbedaan keyakinan di masyarakat. Selain itu, ICRP
juga turut aktif berjejaring dengan lembaga-lembaga yang
concern memperjuangkan pluralisme dan perdamaian untuk
melawan ketidakadilan sistem sosial, gender, HAM dsb.
                                                            
34 Bagian ini dikutip dari: www.icrp-online.org 
35 St. Sularto, “Mencari Model Hubungan Antarkelompok,” H.U. Kompas, 26 Oktober
2007. 
 38 
Program
Untuk mencapai tujuannya, ICRP didukung oleh 6
bidang kerja: Bidang Advokasi dan Jaringan, Bidang
Pendidikan dan Pelatihan, Bidang Penelitian dan
Pengembangan, Bidang Informasi, Komunikasi & Publikasi,
Bidang Perempuan & Agama dan Bidang Pemuda.36
1. Bidang Advokasi dan Jaringan. Bidang ini melakukan
program kerja: Memediasi dialog antar tokoh-tokoh agama
dan kepercayaan dan antara pemuka agama & kepercayaan
dengan pemerintah dalam kerangka perjuangan hak-hak
kebebasan berkeyakinan dan studi perdamaian di Indonesia;
mengembangkan kerjasama dan jaringan dengan organisasi
maupun individu yang peduli atas berbagai isu agama
untuk perdamaian; melakukan advokasi atas kasus-kasus
kekerasan atas nama agama; dan melaksanakan rangkaian
kegiatan terpadu untuk memperjuangkan kebijakan pro-
pluralisme dan perdamaian dalam kehidupan lintas agama
di Indonesia.
2. Bidang Pendidikan dan Pelatihan. Program kerjanya yaitu:
menyelenggarakan pelatihan dalam kerangka pengem-
bangan wacana interfaith, rekonsiliasi, pluralisme dan
perdamaian; menyelenggarakan pendidikan kuliah agama-
agama bekerja sama dengan perguruan tinggi maupun
lembaga lain yang memiliki visi-misi serupa; memfasilitasi
diskusi untuk pengembangan wacana interfaith dan
pluralisme di kalangan komunitas agama, aktivis dan
masyarakat luas; dan menyelenggarakan pendidikan
perdamaian untuk kalangan akademisi, praktisi dan pegiat
pendidikan di tiap tingkatan.
3. Bidang Penelitian dan Pengembangan. Bidang ini memiliki
program kerja: melakukan studi/penelitian untuk mema-
                                                            
36 Ibid. 
  39
hami dinamika pluralisme iman/agama di Indonesia;
mengembangkan jaringan (networking) penelitian bertema
interfaith; merumuskan rekomendasi bagi perubahan
kebijakan (policy reform) dalam memperkuat pluralisme
agama/iman; dan membangun database bertemakan plura-
lisme agama/iman.
4. Bidang Informasi, Komunikasi & Publikasi. Diantara
programnya ialah: mengelola penerbitan majalah (interfaith
magazine), buku, website dan lainnya sebagai wahana
publikasi dan komunikasi-informasi seputar dinamika
pluralisme dan perdamaian di Indonesia; mengembangkan
dan mengelola perpustakaan sebagai pusat dokumentasi
dan informasi agama untuk perdamaian; mendokumen-
tasikan berbagai informasi relevan tentang dinamika
pluralisme di Indonesia; dan mengkomunikasikan aktivitas
dan perjuangan interfaith pada khalayak melalui berbagai
media yang relevan.
5. Bidang Perempuan dan Agama. Program kerjanya yaitu:
mengampanyekan prinsip kesadaran dan kesetaraan gender
pada tiap lini kehidupan terutama dalam kerangka lintas
iman; mendorong penekanan gender mainstreaming dalam
setiap aktivitas dan kebijakan internal maupun eksternal
lembaga; mengadvokasi kebijakan yang pro-keadilan dan
kesetaraan gender; dan mengembangkan jaringan dan
kerjasama dengan lembaga maupun individu pemerhati
masalah perempuan.
6. Bidang Pemuda. Bidang ini memiliki program: membangun
kesadaran pluralisme di kalangan generasi muda melalui
berbagai aktivitas; melaksanakan rangkaian kegiatan
terpadu untuk pengembangan wacana pluralisme dan
perdamaian di kalangan generasi muda; mengelola kegiatan
lintas iman yang berorientasi pada pengembangan pemuda
untuk perdamaian; dan memfasilitasi pemberdayaan
 40 
jaringan kemitraan di kalangan generasi muda untuk
mengembangkan pemahaman pluralisme di Indonesia.
Selain itu, ditambahkan oleh Djohan Effendi,37 yang
terkait pemeliharaan kerukunan umat beragama, diantara hal-
hal yang dilakukan ICRP yaitu:
1. Menghimpun pribadi-pribadi yang “concern” dan punya
komitmen terhadap masalah kerukunan umat beragama.
2. Menggalang masyarakat sipil untuk memperjuangkan kebe-
basan berkeyakinan.
3. Membela dan memperjuangkan kelompok-kelompok mino-
ritas yang hak kebebasan berkeyakinan mereka diperkosa.
4. Mengingatkan kalangan penguasa bahwa tanggung jawab
konstitusional mereka untuk menegakkan konstitusi
termasuk kebebasan berkeyakinan.
Dari paparan di atas, tampak ICRP juga memiliki peran
yang cukup besar dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat
beragama di Indonesia.
Memahami Pemerintah
Paradigma Pemerintah
Pemerintah adalah alat kelengkapan negara yang
bertugas memimpin organisasi negara untuk mencapai tujuan
bersama didirikannya sebuah negara. Pemerintah, melalui
aparat dan alat-alat negara, yang menetapkan hukum,
melaksanakan ketertiban dan keamanan, mengadakan
perdamaian dan lainnya dalam rangka mewujudkan
kepentingan warga negaranya yang beragam.
Untuk mewujudkan dan melayani kepentingan warga
negaranya, Pemerintah melakukan berbagai langkah dan upaya
terencana dan sistematis. Langkah dan upaya itulah yang
                                                            
37 Wawancara-tertulis pada 6 Desember 2009. 
  41
dinamakan pembangunan. Sementara itu, pembangunan juga
merupakan paradigma yang biasa dipakai oleh negara-negara
dunia ketiga atau negara berkembang yang baru bangkit pasca
Perang Dunia II. Kata ini sejalan dengan teori development-
talisme atau modernisasi di Barat. Tetapi kata ‘pembangunan’
di Indonesia telah disalahartikan dengan lebih politis, yakni
ketika masa Orde Baru, dimana kata itu seakan-akan telah
diakuisisi sebagai trademark pemerintahannya. Maka dikenallah
REPELITA dan PELITA lima tahunan itu. Dikatakan Mansour
Fakih:
Sejak tahun 1967, pemerintahan militer di Indonesia di bawah
Soeharto menjadi pelaksana teori pertumbuhan Rostow ini dan
menjadikannya landasan pembangunan jangka panjang
Indonesia yang ditetapkan secara berkala untuk waktu lima
tahunan, yang terkenal dengan Pembangunan Lima Tahun
(PELITA). Dengan demikian, selama pemerintahan Orde Baru,
Indonesia sepenuhnya mengimplementasikan teori pembangu-
nan kapitalistik yang bertumpu pada ideologi dan teori
modernisasi dan adaptasi serta implementasi teori pertum-
buhan itu.38
Hingga saat ini Indonesia masih terus membangun.
Meski tanpa PELITA dan GBHN, Pemerintah tetap membuat
rencana capaian pembangunan yang dikenal dengan RPJMN
(Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) yang
dibuat lima tahunan. Untuk merealisasikan rencana tersebut,
Pemerintah sangat memerlukan adanya stabilitas sosial, politik
dan keamanan nasioanal. Stabilitas tersebut merupakan
prasyarat adanya pembangunan. Karena tanpa adanya
keamanan, misalnya, Pemerintah tidak dapat membangun
infrastruktur dan berbagai fasilitas yang dibutuhkan
masyarakat. Demikian pula, tanpa keamanan, investor asing
yang ingin turut membangun negeri tidak dapat berinvestasi.
                                                            
38 Dr. Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta:
INSIST Press dan Pustaka Pelajar, 2002. Hlm. 57 
 42 
Singkat kata, paradigma yang dianut Pemerintah adalah
paradigma pembangunan, yang untuk ini sangat memper-
syaratkan adanya stabilitas sosial, politik, dan keamanan
masyarakat. Stabilitas tersebut dapat terejawantah dengan
adanya keteraturan melalui berbagai peraturan perundangan
dan kebijakan Pemerintah, demi ketenteraman dan ketertiban.
‘Pemerintah’ dalam Konteks
Dalam penelitian ini, Pemerintah diwakili oleh 4 institusi,
yaitu: Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, Kepoli-
sian RI, dan Kejaksaan Agung RI. Keempat institusi ini perlu
dikenali, tertutama pada tugas, fungsi, visi, misi, dan program
kegiatannya untuk melihat gambaran tentang perannya dalam
pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia. Berikut
profil mereka.
Departemen Agama
Bagian dari aparat pemerintah yang membidangi
masalah agama adalah Departemen Agama. Departemen ini
dipimpin oleh seorang Menteri Agama, seorang Sekretaris
Jenderal dan sejumlah Eselon I, yakni: Direktur Jenderal
Bimbingan Agama Islam, Direktur Jenderal Bimbingan Agama
Kristen, Direktur Jenderal Bimbingan Agama Katolik, Direktur
Jenderal Bimbingan Agama Hindu, Direktur Jenderal
Bimbingan Agama Buddha, Direktur Jenderal Pendidikan
Islam, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh, dan
Kepala Badan Litbang dan Diklat.
Departemen Agama pusat berkantor di Jalan Lapangan
Banteng Barat No. 3-4 Jakarta Pusat. Beberapa eselon I dan II
berada di luar komplek kantor pusat ini, yakni Pusat
Kerukunan Umat Beragama yang berkantor di Jl. Kramat Raya,
Jakarta; Badan Litbang dan Diklat yang berkantor-sementara di
Gd. Bayt Al-Qur’an Komplek TMII Jakarta Timur; dan
Inspektorat Jenderal Departemen Agama yang berkantor-
sementara di Jl. Cipete Raya, Jakarta Selatan. Dua yang terakhir
  43
ini semula berkantor-tetap di Jl. M.H. Thamrin (gedung lama
Departemen Agama), namun kantor tersebut saat ini sedang
dalam proses renovasi.
Tugas dan Fungsi
Departemen ini mempunyai tugas pokok membantu
Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerin-
tahan di bidang keagamaan, dan memiliki fungsi menyeleng-
garakan hal-hal berikut: 1. Perumusan kebijakan nasional,
kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis di bidang
keagamaan; 2. Pelaksanaan urusan Pemerintah di bidang
keagamaan; 3. Pengelolaan barang milik/kekayaan Negara; 4.
Pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidang pembinaan
kehidupan keagamaan; dan 5. Penyampaian laporan hasil
evaluasi, saran dan pertimbangan di bidang pelaksanaan tugas
dan fungsi Departemen kepada Presiden. 39
Visi dan Misi
Adapun visi yang diusung Departemen Agama,
sebagaimana ditegaskan di dalam Peraturan Menteri Agama
(PMA) No. 8 Tahun 2006, adalah “terwujudnya masyarakat
Indonesia yang taat beragama, maju, sejahtera, dan cerdas serta
saling menghormati antar sesama pemeluk agama dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Untuk
mewujudkan visi tersebut, dibuat sejumlah misi (yang juga
termuat di dalam PMA yang sama), sebagai berikut: 1.
Meningkatkan kualitas bimbingan, pemahaman, pengamalan,
dan pelayanan kehidupan beragama; 2. Meningkatkan pengha-
yatan moral dan etika keagamaan; 3. Meningkatkan kualitas
pendidikan umat beragama; 4. Meningkatkan kualitas penye-
lenggaraan haji; 5. Memberdayakan umat beragama dan
lembaga keagamaan; 6. Memperkokoh kerukunan umat
                                                            
39 Selengkapnya tugas pokok dan fungsi diatur di dalam Peraturan Menteri Agama No.
3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama. 
 44 
beragama; dan 7. Mengembangkan keselarasan pemahaman
keagamaan dengan wawasan kebangsaan Indonesia.
Program terkait Kerukunan Umat Beragama
Departemen Agama menegaskan dua kebijakan besar
dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, yaitu: (1)
Memberdayakan masyarakat, kelompok-kelompok agama,
serta pemuka agama untuk menyelesaikan sendiri masalah
kerukunan umat beragama (KUB), dan (2) Memberikan rambu-
rambu dalam pengelolaan kerukunan umat beragama.
Sejalan dengan tugas-fungsi serta visi-misi di atas,
Departemen Agama juga melakukan sejumlah kegiatan yang
mengejawantahkan harapan dan misi tersebut. Diantara
program-program yang berkaitan dengan upaya pemeliharaan
kerukunan umat beragama adalah sebagai berikut: 1. Pening-
katkan pemahaman keagamaan yang moderat; 2. Perubahan
paradigma pendekatan dalam membangun kerukunan antar
umat beragama dari pendekatan formal, struktural menjadi
pendekatan humanis-kultural; 3. Penanganan daerah konflik; 4.
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB); 5.
Orientasi pemberdayaan tenaga rekonsiliasi; 6. Peningkatan
wawasan multikultural bagi para guru agama; 7. Peningkatan
wawasan kerukunan bagi para penyiar agama; 8. Perkemahan
pemuda lintas agama; dan 9. Temu karya pemuda lintas
agama40
Adapun upaya-upaya yang dilakukan dalam mendorong
kerukunan umat beragama, adalah sebagai berikut:41
1. Memperkuat landasan/dasar-dasar (aturan/etika bersama)
tentang kerukunan internal dan antar umat beragama
                                                            
40 Lihat, Pemaparan (slide) berjudul “Kebijakan Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama di Indonesia”, yang disampaikan oleh Kepala Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama, Prof. DR. HM. Atho Mudzhar, dalam berbagai acara/seminar
terkait pemeliharaan kerukunan umat beragama. 
41 Ibid. 
  45
2. Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional dalam
bentuk upaya mendorong dan mengarahkan seluruh umat
beragama untuk hidup rukun dalam bingkai teologi yang
ideal untuk menciptakan kebersamaan dan sikap toleransi
3. Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif
dalam rangka memantapkan pendalaman dan penghayatan
agama serta pengamalan agama yang mendukung bagi
pembinaan kerukunan hidup intern dan antar umat
beragama
4. Melakukan eksplorasi secara luas tentang pentingnya nilai-
nilai kemanusiaan dari seluruh keyakinan plural umat
manusia
5. Melakukan pendalaman nilai-nilai spiritual yang implemen-
ttatif bagi kemanusiaan yang mengarahkan kepada nilai-
nilai Ketuhanan
6. Mengembangkan wawasan multikultural bagi segenap
unsur dan lapisan masyarakat
7. Menumbuhkan kesadaran dalam masyarakat bahwa
perbedaan adalah suatu realita dalam kehidupan bermasya-
rakat, oleh karena itu hendaknya hal ini dapat dijadikan
mozaik yang dapat memperindah fenomena kehidupan
beragama.
Departemen Dalam Negeri
Berkantor di Jl. Medan Merdeka, Departemen Dalam
Negeri dipimpin oleh seorang Menteri Dalam Negeri, dengan
seorang Sekretaris Jenderal, dan sejumlah eselon I, seperti
Direktur Jenderal Otonomi Daerah, dan Direktur Jenderal
Kesatuan Bangsa dan Politik. Terkait dengan LSM, pada Ditjen
Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri ini
terdapat Direktorat Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan dan
Politik, lebih spesifik lagi, Sub Direktorat Fasilitasi Organisasi
Keagamaan dan LSM, yang memiliki tugas dan fungsi
 46 
salahsatunya melakukan pendataan, pembinaan, dan penga-
wasan terhadap ormas-ormas keagamaan dan LSM-LSM.42
Departemen Dalam Negeri mempunyai tugas membantu
Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerin-
tahan di bidang urusan dalam negeri. Fungsi-fungsi yang
diampunya adalah sebagai berikut:
a. Pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang urusan dalam
negeri dan otonomi daerah;
b. Pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas serta pela-
yanan administrasi Departemen;
c. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan terapan serta
pendidikan dan pelatihan tertentu dalam rangka
mendukung kebijakan di bidang urusan dalam negeri dan
otonomi daerah;
d. Pelaksanaan pengawasan fungsional.
Visi dan Misi
Visi yang ingin dicapainya adalah “terwujudnya penye-
lenggaraan pemerintahan yang desentralistik, sistem politik
yang demokratis, pembangunan daerah dan pemberdayaan
masyarakat dalam wadah NKRI.” Adapun misi yang
diembannya adalah menetapkan kebijaksanaan nasional dan
memfasilitasi penyelenggaraan pemerintahan dalam upaya :
1. Memelihara dan memantapkan keutuhan NKRI;
2. Memelihara ketentraman dan ketertiban umum dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara:
3. Memantapkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan
pemerintahan yang desentralistik;.
                                                            
42 Wawancara dengan Drs. Denty Ierdan, Kasubdit Fasilitasi Ormas Keagamaan dan
LSM, pada 20 Desember 2009. 
  47
4. Memantapkan pengelolaan keuangan daerah yang efektif,
efisien, akuntabel dan auditabel;
5. Memantapkan sistem politik dalam negeri yang demokratis
dalam negara kesatuan republik indonesia;
6. Meningkatkan keberdayaan masyarakat dalam aspek
ekonomi, sosial budaya, dan politik;
7. Mengembangkan keserasian hubungan pusat-daerah, antar
daerah dan antar kawasan, serta kemandirian daerah dalam
pengelolaan pembangunan secara berkelanjutan dan
berbasis kependudukan.
Selain visi dan misi tersebut, Departemen Dalam Negeri
juga menetapkan strategi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi-
nya. Strategi dimaksud adalah menetapkan kebijaksanaan
nasional dan memfasilitasi penyelenggaraan pemerintahan
dalam upaya: 1. Menjamin keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia; 2. Memantapkan efektifitas pemerintahan
daerah; 3. Memberdayakan masyarakat; 4. Mengembangkan
keserasian hubungan pusat-daerah serta keserasian antar
daerah dan antar kawasan; dan 5. Memelihara ketentraman dan
ketertiban umum dalam bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Program Strategis
Kemudian, mengacu pada visi, misi, tujuan, sasaran dan
kebijakan, Departemen Dalam Negeri menetapkan 13 program
strategis yang terbagi atas 8 program utama dan 5 program
penunjang. Yang termasuk program utama adalah: 1. Program
penguatan integrasi nasional; 2. Program pengembangan mana-
jemen perlindungan dan ketentraman masyarakat, serta
ketertiban umum; 3. Program fasilitas dan pemantapan
implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah; 4.
Program pemantapan pengelolaan keuangan daerah; 5.
Program pengembangan kelembagaan dan sistem politik
 48 
demokratis: 6. Program peningkatan keberdayaan masyarakat
dan penanggulangan kemiskinan: 7. Program pembinaan
pembangunan daerah dan wilayah; dan 8. Program pengem-
bangan dan pembinaan administrasi kependudukan.
Sedangkan program penunjang, adalah: 1. Program
pengembangan kerjasama internasional; 2. Program pembinaan
dan penegakan hukum serta peningkatan kepemerintahan
yang baik; 3. Program penelitian dan pengembangan
pemerintahan dan politik dalam negeri; 4. Program pening-
katan kapasitas SDM aparatur; dan 5. Program peningkatan
kelembagaan pengelolaan sumber daya alam dan konservasi
lingkungan.
3. Kepolisian Negara Republik Indonesia43
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah
kepolisian nasional di Indonesia, yang bertanggung jawab
langsung di bawah Presiden. Unsur pimpinan Mabes Polri
adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri),
yang dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh Wakil Kapolri
(Wakapolri), serta sejumlah unsur pembantu pimpinan dan staf
pelaksana.
Visi dan Misi
Polri yang mampu menjadi pelindung, pengayom, dan
pelayan masyarakat yang selalu dekat dan bersama-sama
masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang profesional
dan proposional yang selalu menjunjung tinggi supermasi
hukum dan hak azasi manusia, pemelihara keamanan dan
ketertiban serta mewujudkan keamanan dalam negeri dalam
suatu kehidupan nasional yang demokratis dan masyarakat
yang sejahtera.
                                                            
43 Informasi utama pada bagian ini diambil dari situs resmi Kepolisian Negara
Republik Indonesia, yang beralamat di: www.polri.go.id dan ensiklopedia bebas
www.wikipedia.com. 
  49
Adapun misi Polri adalah sebagai berikut: 1. Memberikan
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat
(meliputi aspek security, surety, safety dan peace) sehingga
masyarakat bebas dari gangguan fisik maupun psikis; 2.
Memberikan bimbingan kepada masyarakat melalui upaya
preventif yang dapat meningkatkan kesadaran dan kekuatan
serta kepatuhan hukum masyarakat (law abiding citizenship); 3.
Menegakkan hukum secara profesional dan proporsional
dengan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak azasi
manusia menuju kepada adanya kepastian hukum dan rasa
keadilan; 4. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
dengan tetap memperhatikan norma-norma dan nilai-nilai
yang berlaku dalam bingkai integritas wilayah hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia; 5. Mengelola SDM Polri secara
profesional dalam mencapai tujuan Polri yaitu terwujudnya
keamanan dalam negeri sehingga dapat mendorong
meningkatnya gairah kerja guna mencapai kesejahteraan
masyarakat; 6. Meningkatkan upaya konsolidasi ke dalam
(internal Polri) sebagai upaya menyamakan visi dan misi Polri
ke depan; 7. Memelihara soliditas institusi Polri dari berbagai
pengaruh eksternal yang sangat merugikan organisasi; 8.
Melanjutkan operasi pemulihan keamanan di beberapa wilayah
konflik guna menjamin keutuhan NKRI; dan 9. Meningkatkan
kesadaran hukum dan kesadaran berbangsa dari masyarakat
yang berbhineka tunggal ika.
Dalam rangka mewujudkan visi dan misi Polri tersebut di
atas, telah ditetapkan sasaran yang hendak dicapai, yaitu:
a. Di bidang kamtibmas: tercapainya situasi kamtibmas yang
kondusif bagi penyelenggaraan pembangunan nasional;
terciptanya suatu proses penegakan hukum yang konsisten
dan berkeadilan, bebas KKN dan menjunjung tinggi hak
azasi manusia; terwujudnya aparat penegak hukum yang
memiliki integritas dan kemampuan profesional yang tinggi
serta mampu bertindak tegas adil dan berwibawa; kesadaran
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag
M. Fadli, S.Ag., M.Ag

Mais conteúdo relacionado

Mais procurados

Revisi makalah-etika-budaya-nusantara-dan-reaktualisasi-pancasila
Revisi makalah-etika-budaya-nusantara-dan-reaktualisasi-pancasilaRevisi makalah-etika-budaya-nusantara-dan-reaktualisasi-pancasila
Revisi makalah-etika-budaya-nusantara-dan-reaktualisasi-pancasilaIntanSaidah1
 
Makalah Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional
Makalah Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan NasionalMakalah Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional
Makalah Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan NasionalFAJAR MENTARI
 
MAKALAH “PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN DALAM BERMASYARAKAT, BERBANGSA...
MAKALAH “PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN DALAM BERMASYARAKAT, BERBANGSA...MAKALAH “PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN DALAM BERMASYARAKAT, BERBANGSA...
MAKALAH “PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN DALAM BERMASYARAKAT, BERBANGSA...Nurfaizatul Jannah
 
Pengantar pendidikan pancasila
Pengantar pendidikan pancasilaPengantar pendidikan pancasila
Pengantar pendidikan pancasilaRobet Saputra
 
ideologi pancasila
ideologi pancasilaideologi pancasila
ideologi pancasilaLtfltf
 
Guru pelopor moderasi beragama converted
Guru pelopor moderasi beragama convertedGuru pelopor moderasi beragama converted
Guru pelopor moderasi beragama convertedWah Si Mbah
 
CARA MENULIS DISKUSI KELOMPOK DR YANI
CARA MENULIS DISKUSI KELOMPOK DR YANICARA MENULIS DISKUSI KELOMPOK DR YANI
CARA MENULIS DISKUSI KELOMPOK DR YANIYani Antariksa
 
Kkn ber budai unissula
Kkn ber budai unissulaKkn ber budai unissula
Kkn ber budai unissulacicit123
 
RPP SKI KELAS VII
RPP SKI KELAS VIIRPP SKI KELAS VII
RPP SKI KELAS VIIcingmat
 
pancasila sebagai ideologi negara
pancasila  sebagai ideologi negarapancasila  sebagai ideologi negara
pancasila sebagai ideologi negaraS Madina Kharisma
 
Pendidikan Pancasila - Pancasila dalam sejarah indonesia
Pendidikan Pancasila - Pancasila dalam sejarah indonesiaPendidikan Pancasila - Pancasila dalam sejarah indonesia
Pendidikan Pancasila - Pancasila dalam sejarah indonesiaTri Maulidya
 
Makalah Pendidikan Pancasila: Pancasila sebagai Semangat Nasionalisme dalam M...
Makalah Pendidikan Pancasila: Pancasila sebagai Semangat Nasionalisme dalam M...Makalah Pendidikan Pancasila: Pancasila sebagai Semangat Nasionalisme dalam M...
Makalah Pendidikan Pancasila: Pancasila sebagai Semangat Nasionalisme dalam M...UNESA
 
Pancasila sebagai paradigma_reformasi
Pancasila sebagai paradigma_reformasiPancasila sebagai paradigma_reformasi
Pancasila sebagai paradigma_reformasiOman Syahroni Somad
 
Proker Keputrian Rohis SMK Negeri 1 Jakarta
Proker Keputrian Rohis SMK Negeri 1 JakartaProker Keputrian Rohis SMK Negeri 1 Jakarta
Proker Keputrian Rohis SMK Negeri 1 JakartaRizky Nurcahyati
 

Mais procurados (20)

Revisi makalah-etika-budaya-nusantara-dan-reaktualisasi-pancasila
Revisi makalah-etika-budaya-nusantara-dan-reaktualisasi-pancasilaRevisi makalah-etika-budaya-nusantara-dan-reaktualisasi-pancasila
Revisi makalah-etika-budaya-nusantara-dan-reaktualisasi-pancasila
 
Makalah Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional
Makalah Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan NasionalMakalah Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional
Makalah Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional
 
Program strategis kementerian agama
Program strategis kementerian agamaProgram strategis kementerian agama
Program strategis kementerian agama
 
MAKALAH “PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN DALAM BERMASYARAKAT, BERBANGSA...
MAKALAH “PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN DALAM BERMASYARAKAT, BERBANGSA...MAKALAH “PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN DALAM BERMASYARAKAT, BERBANGSA...
MAKALAH “PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN DALAM BERMASYARAKAT, BERBANGSA...
 
Pengantar pendidikan pancasila
Pengantar pendidikan pancasilaPengantar pendidikan pancasila
Pengantar pendidikan pancasila
 
ideologi pancasila
ideologi pancasilaideologi pancasila
ideologi pancasila
 
Guru pelopor moderasi beragama converted
Guru pelopor moderasi beragama convertedGuru pelopor moderasi beragama converted
Guru pelopor moderasi beragama converted
 
Keselarasan pkn
Keselarasan pknKeselarasan pkn
Keselarasan pkn
 
CARA MENULIS DISKUSI KELOMPOK DR YANI
CARA MENULIS DISKUSI KELOMPOK DR YANICARA MENULIS DISKUSI KELOMPOK DR YANI
CARA MENULIS DISKUSI KELOMPOK DR YANI
 
Kkn ber budai unissula
Kkn ber budai unissulaKkn ber budai unissula
Kkn ber budai unissula
 
Modul 6 kb 2
Modul 6 kb 2Modul 6 kb 2
Modul 6 kb 2
 
RPP SKI KELAS VII
RPP SKI KELAS VIIRPP SKI KELAS VII
RPP SKI KELAS VII
 
pancasila sebagai ideologi negara
pancasila  sebagai ideologi negarapancasila  sebagai ideologi negara
pancasila sebagai ideologi negara
 
MATERI PPKN KELAS 8
MATERI PPKN KELAS 8MATERI PPKN KELAS 8
MATERI PPKN KELAS 8
 
Pendidikan Pancasila - Pancasila dalam sejarah indonesia
Pendidikan Pancasila - Pancasila dalam sejarah indonesiaPendidikan Pancasila - Pancasila dalam sejarah indonesia
Pendidikan Pancasila - Pancasila dalam sejarah indonesia
 
Makalah Pendidikan Pancasila: Pancasila sebagai Semangat Nasionalisme dalam M...
Makalah Pendidikan Pancasila: Pancasila sebagai Semangat Nasionalisme dalam M...Makalah Pendidikan Pancasila: Pancasila sebagai Semangat Nasionalisme dalam M...
Makalah Pendidikan Pancasila: Pancasila sebagai Semangat Nasionalisme dalam M...
 
Pancasila sebagai paradigma_reformasi
Pancasila sebagai paradigma_reformasiPancasila sebagai paradigma_reformasi
Pancasila sebagai paradigma_reformasi
 
Rpp
RppRpp
Rpp
 
Rpp
RppRpp
Rpp
 
Proker Keputrian Rohis SMK Negeri 1 Jakarta
Proker Keputrian Rohis SMK Negeri 1 JakartaProker Keputrian Rohis SMK Negeri 1 Jakarta
Proker Keputrian Rohis SMK Negeri 1 Jakarta
 

Semelhante a M. Fadli, S.Ag., M.Ag

Dinamika Riset dan Inovasi_Aji Sofanudin 2022.pdf
Dinamika Riset dan Inovasi_Aji Sofanudin 2022.pdfDinamika Riset dan Inovasi_Aji Sofanudin 2022.pdf
Dinamika Riset dan Inovasi_Aji Sofanudin 2022.pdfAbuSalik
 
15943675792_Need_Assesment.pdf
15943675792_Need_Assesment.pdf15943675792_Need_Assesment.pdf
15943675792_Need_Assesment.pdfBidang22
 
IMPLEMENTASI MODERASI BERAGAMA DALAM PAI.pdf
IMPLEMENTASI MODERASI BERAGAMA DALAM PAI.pdfIMPLEMENTASI MODERASI BERAGAMA DALAM PAI.pdf
IMPLEMENTASI MODERASI BERAGAMA DALAM PAI.pdfWENGDRIYANTO
 
18-Article Text-56-1-10-20200121.pdf
18-Article Text-56-1-10-20200121.pdf18-Article Text-56-1-10-20200121.pdf
18-Article Text-56-1-10-20200121.pdfYulianaChornaliaBeng1
 
M. romli, s.ag, s.hi
M. romli, s.ag, s.hiM. romli, s.ag, s.hi
M. romli, s.ag, s.hiDarman II
 
islam sebagai objek kajian dan penelitian
islam sebagai objek kajian dan penelitianislam sebagai objek kajian dan penelitian
islam sebagai objek kajian dan penelitianRoisMansur
 
Pancasila dalam sejarah indonesia
Pancasila dalam sejarah indonesiaPancasila dalam sejarah indonesia
Pancasila dalam sejarah indonesiaRokhma Wahyuni
 
MODERASI_BERAGAMA untuk semua kalangan kemenag
MODERASI_BERAGAMA untuk semua kalangan  kemenagMODERASI_BERAGAMA untuk semua kalangan  kemenag
MODERASI_BERAGAMA untuk semua kalangan kemenagrobotikmanduwo
 
01 Orientasi Pendidikan Agama di PT.pdf
01 Orientasi Pendidikan Agama di PT.pdf01 Orientasi Pendidikan Agama di PT.pdf
01 Orientasi Pendidikan Agama di PT.pdfUsmanJambak1
 
Kumpulan_RPS_smt_Ganjil_D.III_Keperawatan.pdf
Kumpulan_RPS_smt_Ganjil_D.III_Keperawatan.pdfKumpulan_RPS_smt_Ganjil_D.III_Keperawatan.pdf
Kumpulan_RPS_smt_Ganjil_D.III_Keperawatan.pdfMarnini2
 
Makalah tentang-pancasila-sebagai-paradigma-dalam-kehidupan-masyarakat-berban...
Makalah tentang-pancasila-sebagai-paradigma-dalam-kehidupan-masyarakat-berban...Makalah tentang-pancasila-sebagai-paradigma-dalam-kehidupan-masyarakat-berban...
Makalah tentang-pancasila-sebagai-paradigma-dalam-kehidupan-masyarakat-berban...gendhissila
 
Surat Edaran Pelaksanaan Pendidikan Karakter Melalui Pesantren Kilat pada Sek...
Surat Edaran Pelaksanaan Pendidikan Karakter Melalui Pesantren Kilat pada Sek...Surat Edaran Pelaksanaan Pendidikan Karakter Melalui Pesantren Kilat pada Sek...
Surat Edaran Pelaksanaan Pendidikan Karakter Melalui Pesantren Kilat pada Sek...Anis Masykhur
 
Pondok kreatif sebagai wahana pengembangan akademik berwawasan islami dan pen...
Pondok kreatif sebagai wahana pengembangan akademik berwawasan islami dan pen...Pondok kreatif sebagai wahana pengembangan akademik berwawasan islami dan pen...
Pondok kreatif sebagai wahana pengembangan akademik berwawasan islami dan pen...Najmoel Mochammad
 
Pondok kreatif sebagai wahana pengembangan akademik berwawasan islami dan pen...
Pondok kreatif sebagai wahana pengembangan akademik berwawasan islami dan pen...Pondok kreatif sebagai wahana pengembangan akademik berwawasan islami dan pen...
Pondok kreatif sebagai wahana pengembangan akademik berwawasan islami dan pen...Afad93
 
iSTTS Pancasila - Kel.5 - Implementasi Pancasila di Kampus
iSTTS Pancasila - Kel.5 - Implementasi Pancasila di KampusiSTTS Pancasila - Kel.5 - Implementasi Pancasila di Kampus
iSTTS Pancasila - Kel.5 - Implementasi Pancasila di KampusYohanes Nugroho
 
Hadist Pendekatan Pendidikan Islam.docx
Hadist Pendekatan Pendidikan Islam.docxHadist Pendekatan Pendidikan Islam.docx
Hadist Pendekatan Pendidikan Islam.docxZukét Printing
 

Semelhante a M. Fadli, S.Ag., M.Ag (20)

Dinamika Riset dan Inovasi_Aji Sofanudin 2022.pdf
Dinamika Riset dan Inovasi_Aji Sofanudin 2022.pdfDinamika Riset dan Inovasi_Aji Sofanudin 2022.pdf
Dinamika Riset dan Inovasi_Aji Sofanudin 2022.pdf
 
15943675792_Need_Assesment.pdf
15943675792_Need_Assesment.pdf15943675792_Need_Assesment.pdf
15943675792_Need_Assesment.pdf
 
IMPLEMENTASI MODERASI BERAGAMA DALAM PAI.pdf
IMPLEMENTASI MODERASI BERAGAMA DALAM PAI.pdfIMPLEMENTASI MODERASI BERAGAMA DALAM PAI.pdf
IMPLEMENTASI MODERASI BERAGAMA DALAM PAI.pdf
 
18-Article Text-56-1-10-20200121.pdf
18-Article Text-56-1-10-20200121.pdf18-Article Text-56-1-10-20200121.pdf
18-Article Text-56-1-10-20200121.pdf
 
M. romli, s.ag, s.hi
M. romli, s.ag, s.hiM. romli, s.ag, s.hi
M. romli, s.ag, s.hi
 
islam sebagai objek kajian dan penelitian
islam sebagai objek kajian dan penelitianislam sebagai objek kajian dan penelitian
islam sebagai objek kajian dan penelitian
 
Diktat Filsafat PAK
Diktat Filsafat PAKDiktat Filsafat PAK
Diktat Filsafat PAK
 
Moderasi beragama
Moderasi beragamaModerasi beragama
Moderasi beragama
 
Pancasila dalam sejarah indonesia
Pancasila dalam sejarah indonesiaPancasila dalam sejarah indonesia
Pancasila dalam sejarah indonesia
 
MODERASI_BERAGAMA untuk semua kalangan kemenag
MODERASI_BERAGAMA untuk semua kalangan  kemenagMODERASI_BERAGAMA untuk semua kalangan  kemenag
MODERASI_BERAGAMA untuk semua kalangan kemenag
 
Moderasi beragama
Moderasi beragamaModerasi beragama
Moderasi beragama
 
Makalah pendidikan agama plural
Makalah pendidikan agama pluralMakalah pendidikan agama plural
Makalah pendidikan agama plural
 
01 Orientasi Pendidikan Agama di PT.pdf
01 Orientasi Pendidikan Agama di PT.pdf01 Orientasi Pendidikan Agama di PT.pdf
01 Orientasi Pendidikan Agama di PT.pdf
 
Kumpulan_RPS_smt_Ganjil_D.III_Keperawatan.pdf
Kumpulan_RPS_smt_Ganjil_D.III_Keperawatan.pdfKumpulan_RPS_smt_Ganjil_D.III_Keperawatan.pdf
Kumpulan_RPS_smt_Ganjil_D.III_Keperawatan.pdf
 
Makalah tentang-pancasila-sebagai-paradigma-dalam-kehidupan-masyarakat-berban...
Makalah tentang-pancasila-sebagai-paradigma-dalam-kehidupan-masyarakat-berban...Makalah tentang-pancasila-sebagai-paradigma-dalam-kehidupan-masyarakat-berban...
Makalah tentang-pancasila-sebagai-paradigma-dalam-kehidupan-masyarakat-berban...
 
Surat Edaran Pelaksanaan Pendidikan Karakter Melalui Pesantren Kilat pada Sek...
Surat Edaran Pelaksanaan Pendidikan Karakter Melalui Pesantren Kilat pada Sek...Surat Edaran Pelaksanaan Pendidikan Karakter Melalui Pesantren Kilat pada Sek...
Surat Edaran Pelaksanaan Pendidikan Karakter Melalui Pesantren Kilat pada Sek...
 
Pondok kreatif sebagai wahana pengembangan akademik berwawasan islami dan pen...
Pondok kreatif sebagai wahana pengembangan akademik berwawasan islami dan pen...Pondok kreatif sebagai wahana pengembangan akademik berwawasan islami dan pen...
Pondok kreatif sebagai wahana pengembangan akademik berwawasan islami dan pen...
 
Pondok kreatif sebagai wahana pengembangan akademik berwawasan islami dan pen...
Pondok kreatif sebagai wahana pengembangan akademik berwawasan islami dan pen...Pondok kreatif sebagai wahana pengembangan akademik berwawasan islami dan pen...
Pondok kreatif sebagai wahana pengembangan akademik berwawasan islami dan pen...
 
iSTTS Pancasila - Kel.5 - Implementasi Pancasila di Kampus
iSTTS Pancasila - Kel.5 - Implementasi Pancasila di KampusiSTTS Pancasila - Kel.5 - Implementasi Pancasila di Kampus
iSTTS Pancasila - Kel.5 - Implementasi Pancasila di Kampus
 
Hadist Pendekatan Pendidikan Islam.docx
Hadist Pendekatan Pendidikan Islam.docxHadist Pendekatan Pendidikan Islam.docx
Hadist Pendekatan Pendidikan Islam.docx
 

Último

SBM_Kelompok-7_Alat dan Media Pembelajaran.pptx
SBM_Kelompok-7_Alat dan Media Pembelajaran.pptxSBM_Kelompok-7_Alat dan Media Pembelajaran.pptx
SBM_Kelompok-7_Alat dan Media Pembelajaran.pptxFardanassegaf
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdftsaniasalftn18
 
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnasPembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnasAZakariaAmien1
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxFuzaAnggriana
 
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup BangsaDinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup BangsaEzraCalva
 
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques Rousseau.pdf
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques  Rousseau.pdfPEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques  Rousseau.pdf
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques Rousseau.pdfMMeizaFachri
 
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKAPPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKARenoMardhatillahS
 
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikanTPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikanNiKomangRaiVerawati
 
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxJurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxBambang440423
 
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docxSILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docxrahmaamaw03
 
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiEdukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiIntanHanifah4
 
Materi power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .pptMateri power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .pptAcemediadotkoM1
 
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxAKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxWirionSembiring2
 
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptxSKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptxg66527130
 
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptx
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptxPRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptx
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptxPCMBANDUNGANKabSemar
 
Teknik Menjawab Kertas P.Moral SPM 2024.pptx
Teknik Menjawab Kertas P.Moral SPM  2024.pptxTeknik Menjawab Kertas P.Moral SPM  2024.pptx
Teknik Menjawab Kertas P.Moral SPM 2024.pptxwongcp2
 
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMP
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMPPOWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMP
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMPAnaNoorAfdilla
 
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 TesalonikaMateri Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 TesalonikaSABDA
 
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptxPPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptxHeruFebrianto3
 
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxPanduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxsudianaade137
 

Último (20)

SBM_Kelompok-7_Alat dan Media Pembelajaran.pptx
SBM_Kelompok-7_Alat dan Media Pembelajaran.pptxSBM_Kelompok-7_Alat dan Media Pembelajaran.pptx
SBM_Kelompok-7_Alat dan Media Pembelajaran.pptx
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
 
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnasPembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
 
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup BangsaDinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
 
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques Rousseau.pdf
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques  Rousseau.pdfPEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques  Rousseau.pdf
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques Rousseau.pdf
 
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKAPPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
 
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikanTPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
 
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxJurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
 
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docxSILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
 
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiEdukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
 
Materi power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .pptMateri power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .ppt
 
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxAKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
 
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptxSKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
 
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptx
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptxPRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptx
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptx
 
Teknik Menjawab Kertas P.Moral SPM 2024.pptx
Teknik Menjawab Kertas P.Moral SPM  2024.pptxTeknik Menjawab Kertas P.Moral SPM  2024.pptx
Teknik Menjawab Kertas P.Moral SPM 2024.pptx
 
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMP
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMPPOWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMP
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMP
 
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 TesalonikaMateri Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
 
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptxPPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
 
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxPanduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
 

M. Fadli, S.Ag., M.Ag

  • 1. i DINAMIKA KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI ERA REFORMASI Editor: Haidlor Ali Ahmad Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Pusitbang Kehidupan Keagamaan Jakarta, 2010
  • 2. ii Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Puslitbang Kehidupan Keagamaan Dinamika Kehidupan Keagamaan di Era Reformasi Ed. I. Cet. 1. ------- Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama 2010 xii + 612 hlm; 21 x 29 cm ISBN 978-979-797-285-1 Hak Cipta 2010, pada Penerbit Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa izin sah dari penerbit Cetakan Pertama, September 2010 Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama DINAMIKA KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI ERA REFORMASI Editor: Haidlor Ali Ahmad Desain cover dan Lay out oleh: H. Zabidi Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Gedung Bayt al-Qur’an Museum Istiqlal Komplek Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Telp/Fax. (021) 87790189, 87793540 Diterbitkan oleh: Maloho Jaya Abadi Press, Jakarta Anggota IKAPI No. 387/DKI/09 Jl. Jatiwaringin Raya No. 55 Jakarta 13620 Telp. (021) 862 1522, 8661 0137, 9821 5932 Fax. (021) 862 1522
  • 3. iii SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA RI eneliti adalah ujung tombak bagi tugas pokok dan fungsi Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Tugas peneliti yang cukup berat itu haruslah didukung oleh profesionalisme para penelitinya, sehingga produk-produk penelitiannya menjadi layak untuk dirujuk dan dijadikan bahan penyusunan kebijakan pimpinan Kementerian Agama. Puslitbang Kehidupan Keagamaan sebagai bagian dari unit Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama dalam melaksanakan kegiatan penelitian individual yang dibimbing oleh para seniornya, memang baik untuk dilanjutkan. Masa pembinaan sebagai peneliti yang dialami oleh para senior dan peneliti muda sangatlah berbeda, setidaknya dari sisi waktu penelitian lapangan, diversifikasi teori dan metodologi peneliti-an. Para peneliti senior pernah dibina dengan dana yang cukup besar dan waktu sekitar enam bulan, sehingga penelitian lapangan dilakukan cukup lama serta bimbingan penulisan yang seirus dari para mentornya. Oleh karena itu kualitas produknya cukup baik yang dirasakan dewasa ini, sementara para peneliti yang saat ini menduduki jabatan peneliti muda harus dibimbing oleh para peneliti senior itu agar mempunyai kemampuan yang setara dan berkualitas baik. Puslitbang Kehidupan Keagamaan sebagai salah satu unit kerja penelitian memiliki peran strategis bagi terlaksananya penelitian di bidang keagamaan. Oleh karena itu, pelaksanaan kegiatan bimbingan peneliti agar para peneliti memiliki kemampuan memadai, melakukan P
  • 4. iv penelitian mandiri untuk menjadi peneliti yang berkualitas, handal, profesional dan obyektif terhadap kebenaran hasil penelitian menjadi sangat penting. Di samping itu, hasil kerjanya harus dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan administratif yang mampu mendukung kebijakan di bidang pembangunan agama sesuai dengan visi dan misi Kementerian Agama. Kami menyambut baik diterbitkannya hasil penelitian para peserta bimbingan Peneliti Muda Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Semoga bermanfaat. Jakarta, September 2010 Kepala Badan Litbang dan Diklat Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA. NIP: 19570414 198203 1 003
  • 5. v PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN uslitbang Kehidupan Keagamaan sebagai salah satu unit kerja penelitian memiliki peran strategis bagi terlaksananya program-program penelitian dan pengembangan agama. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, Pasal 776 menyatakan bahwa Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan mempunyai tugas menyelenggarakan penelitian dan pengembangan di bidang kehidupan beragama, pengamalan dan kerukunan antar umat beragama, serta pembinaan UPT Litbang Agama didasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Kepala Badan. Salah satu faktor yang menjadi pendorong tercapainya fungsi-fungsi Puslitbang Kehidupan Keagamaan adalah tenaga peneliti yang memiliki kemampuan memadai untuk melakukan penelitian atau melakukan tugas-tugas lainnya. Dalam rangka menyiapkan para peneliti muda untuk menjadi peneliti yang berkualitas, maka dirasakan perlu memberi kesempatan kepada para peneliti muda untuk melakukan penelitian individual mandiri melalui sebuah program yang disebut Pembimbingan Penelitian. Tujuan kegiatan Pembimbingan Penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan kepenelitian para peneliti muda di lingkungan Puslitbang Kehidupan Keagamaan untuk melakukan penelitian mandiri di bawah bimbingan seorang konsultan sehingga akan diperoleh hasil penelitian yang lebih berkualitas. Buku ini merupakan laporan lengkap hasil kegiatan Penelitian pembimbingan yang telah dilaksanakan dalam P
  • 6. vi tahun anggaran 2009. Dengan selesainya seluruh proses kegiatan sampai tersusunnya laporan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat yang telah berkenan mengizinkan kami untuk melaksanakan kegiatan ini. Terima kasih juga kepada para konsultan dan peserta Penelitian Pembimbingan yang telah melaksanakan tugasnya masing-masing. Kami berharap hasil penelitian ini bermanfaat bagi pihak- pihak terkait untuk merumuskan berbagai kebijakan tentang kehidupan beragama. Akhirnya, hanya kepada Allah SWT kami memohon agar apa yang kami lakukan dapat memberi dan menjadi bagian dari amal ibadat. Kami juga berharap kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan kegiatan ini ke depan. Jakarta, September 2010 Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Prof. H. Abd.Rahman Mas’ud, Ph.D NIP. 19600416 198903 1 005
  • 7. vii PENGANTAR EDITOR uji syukur kehadlirat Allah SWT, atas berkat dan rahmat-Nya buku hasil penelitian peserta Pembimbingan Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan tahun 2009 ini dapat diterbitkan. Buku yang berada dihadapan para pembaca ini merupakan tulisan para peneliti muda Puslitbang Kehidupan Keagamaan tahun 2009 di bawah bimbingan Prof. Dr. HM Ridwan Lubis, Prof. Abd. Rahman Mas’ud Ph.D. dan Drs. H. Ahmad Syafi’i Mufid, MA, APU. Buku ini menyajikan hasil penelitian peserta bimbingan penelitian sehingga hasilnya cukup variatif, karena masing- masing peneliti memilih obyek studi dengan berbagai pertimbangan masing-masing. Hasil penelitian yang dihimpun dalam buku ini adalah sebagai berikut: 1. Hubungan LSM – Pemerintah, dimana dalam posisinya masing-masing telah cukup berperan dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia. 2. Komunitas Betawi mampu mempertahankan tradisi agamanya, karena semua tradisi itu dikemas dalam bentuk kegiatan keagamaan sebagai bagian dari kepercayaan dan ajaran agama yang harus diamalkan. 3. Ada keragaman dalam pandangan aktivis dan tokoh muslim di Depok terkait dengan pemahaman tentang HAM, kebebasan beragama dan berkepercayaan. Ada informan yang berpadangan inklusif dan ada pula yang eksklusif. Informan yang berpandangan inklusif menerima gagasan universal HAM termasuk ketentuan kebebasan beragama atau berkepercayaan. HAM tidak perlu dipandang sebagai konsep yang bertentangan dengan Islam. Informan yang berpandangan eksklusif P
  • 8. viii meng-gunakan alasan teologis dan historis. Secara teologis Islam memiliki sumber autentik yang dapat dijadikan legitimasi penerimaan umat Islam terhadap HAM, yakni al-Quran. 4. Kebijakan Walikota Depok melakukan pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul dimasudkan dalam rangka menjalankan kewajiban untuk mencegah terjadinya konflik. Namun Jemaat HKBP dan persekutuan gereja-gereja setempat menolak pencabut-an IMB tersebut, karena dianggap tidak sesuai dengan PBM. Dasar pertimbangan yang kuat mendukung keputus-an Walikota Depok melakukan pencabutan IMB tersebut adalah kehendak/kemauan masyarakat di lingkungan sekitarnya melalui Forum Solidaritas Umat Muslim (FSUM) Cinere, Pondok Cabe, Pangkalan Jati, Krukut, Maruyung, Gandul dan Limo. 5. Fenomena menurunnya perolehan suara parpol Islam karena berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Faktor dimaksud antara lain adanya friksi-friksi di dalam partai; kurang jelasnya visi dan misi partai, partai mulai kehilangan ideologi dan cenderung pragmatis, sistem kaderisasi yang kurang mapan kecuali PKS; tidak jelasnya orientasi dalam memperjuangkan kepentingan umat, khususnya umat Islam; dan terjadinya krisis ketokohan yang dapat menyatukan umat Islam. Dalam perkem- bangannya, muncul keinginan terjadinya penggabungan partai Islam menjadi hanya satu atau dua parpol Islam saja sehingga dapat menggalang kekuatan untuk mencapai elektoral treshold. 6. Pengembangan komunitas basis di Paroki Kampung Sawah dilakukan melalui berbagai bidang yaitu melalui pember-dayaan ekonomi, perberdayaan lingkungan hidup, pelayan-an kesehatan gratis, mengangkat kultur
  • 9. ix Betawi dalam kegiatan keagamaan. Bentuk pengembangan komunitas basis melalui inkulturisasi merupakan hal yang paling dominan di Paroki ini. Demikian, semoga buku ini bermanfaat untuk kepentingan penelitian di kemudian hari, dan dapat menambah wawasan bagi para pembaca umumnya, dan khususnya dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi kebijakan pemerintah cq. instansi terkait dalam pembinaan kehidupan beragama dan berdemokrasi di negeri ini. Atas segala kekurangan dan kelemahan yang terdapat dalam buku ini mohon dimaklumi. Kritik dan saran yang konstruktif senantiasa kami harapkan demi perbaikan di masa depan. Jakarta, Juli 2010 Editor Haidlor Ali Ahmad
  • 10. x
  • 11. xi DAFTAR ISI Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat ............ iii Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan v Pengantar Editor............................................................. vii Daftar Isi.............................................................................. xi 1. Peran dan Hubungan LSM dengan Pemerintah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama di Indonesia Oleh: Akmal Salim Ruhana, S. HT.I………………….. 1 2. Tradisi dan Varian Keagamaan Komunitas Betawi di Tangerang Banten Oleh: Drs. Wakhid Sugiyarto ……………… ……. 81 3. Dakwah Plurasitik Ikatan Jema’ah Ahlul Bayt Indonesia (IJABI) di Kota Bandung Oleh: Achmad Rosidi, S. Ag………........ …………… 131 4. Kebebasan Beragama atau Berkepercayaan dalam Pandangan Tokoh Ormas Islam Kota Depok Oleh: Imam Syaukani, S. Ag, MH……… ………… 185 5. Pandangan Pemimpin Ormas Islam Tentang Perolehan Suara Parpol Islam Pada Pemilu Legislatif 2009 di DKI Jakarta Oleh: Reslawati, S. Ag, M.Si. …………………………. 275
  • 12. xii 6. Analisis Kebijakan Walikota Depok tentang Pencabutan IMB Rumah Ibadat dan Gedung Serba Guna HKBP Pangkalan Jati Gandul, Kecamatan Limo Kota Depok Oleh: Drs. Ahsanul Khalikin………………....... 337 7. Respon Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi Banten terhadap Tayangan Infotainmen di Televisi Oleh: Muchtar, S. Ag………………………………. 467 8. Gerakan Komunitas Basis di Paroki Kampung Sawah St. Servatius Bekasi Oleh: Reza Perwira, S. Th.I ................................. 515 9. Studi Kasus tentang Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 Oleh: Drs. Zaenal Abidin, M. Si ……………………… 569
  • 13. PERAN DAN HUBUNGAN LSM DENGAN PEMERINTAH DALAM PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI INDONESIA Oleh: Akmal Salim Ruhana
  • 14.
  • 15.   1 PERAN DAN HUBUNGAN LSM DENGAN PEMERINTAH DALAM PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI INDONESIA Akmal Salim Ruhana BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah asca runtuhnya pemerintah Orde Baru di tahun 1998, Indonesia memasuki babak baru yang disebut Orde Reformasi. Orde ini ditandai dengan terjadinya fase liberalisasi politik dan berlangsungnya iklim demokratisasi yang kian membaik. Setelah melalui praktik demokrasi- setengah-hati di bawah rezim otoritarian, kini demokrasi Indonesia kian dikokohkan dengan diperkuatnya elemen- elemen penopangnya, yang salahsatunya ditandai dengan semakin berperannya kekuatan masyarakat sipil (civil society). Ada tiga pilar penopang sebuah negara demokrasi, yaitu: pemerintahan yang kuat, sektor swasta (bisnis dan industrial) yang kompeten, dan masyarakat sipil yang berdaya. Ketiga pilar ini bersifat komplementatif, karena ketiadaan salah satunya akan mengganggu keseluruhan sistem yang berjalan. Sebuah pemerintahan yang kuat dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sektor swasta yang kompeten dapat menciptakan lapangan kerja dan berperan sebagai ladang tumbuhnya investasi di sebuah negara sehingga demokrasi dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Dan P
  • 16.  2  sebuah masyarakat sipil yang berdaya akan senantiasa mendinamisasi perubahan untuk berjalannya peran pemerin- tahan dan sektor swasta dengan baik. Salahsatu pilar penguatan masyarakat sipil (civil society) adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Keberadaannya kini diyakini sangat diperlukan dalam turut serta memberdaya- kan masyarakat sekaligus menjadi balancingpower terhadap peran Pemerintah. Secara kuantitatif jumlahnya pun kian bertambah. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2004, jumlah LSM telah bertambah secara signifikan dari hanya berjumlah sekitar 10.000 pada tahun 1996 menjadi sekitar 70.000 pada tahun 2000.1 Masyarakat pun kini kian menerima keberadaan dan perannya, berbeda dengan zaman Orde Baru dahulu, dimana LSM sering ditolak dan dicurigai karena kerap diidentikkan dengan kelompok antipemerintah, oposan, atau bahkan dituduh sebagai agen asing. Demikian juga Pemerintah, dalam beberapa hal telah merasa terbantu dengan berbagai program pemberdayaan dan pendampingan masyarakat — yang notabene adalah sebagian dari tugas pokoknya— yang dilakukan oleh LSM. Namun demikian, hubungan LSM dan pemerintah ternyata tidak selalu berjalan manis. Fungsi balancing dan pressure LSM dengan corak kritisnya vis a vis paradigma social order-nya pemerintah dalam pemeliharaan kerukunan, misalnya, kerapkali menimbulkan konflik wacana yang justeru membuat masyarakat bingung. Problemnya memang bukan pada LSM yang harus tidak kritis atau pemerintah yang harus membiarkan kekacauan, tetapi mungkin pada etika berdemo- krasi atau justeru pencerdasan masyarakat. Pada kasus pra- penerbitan SKB tentang Ahmadiyah, misalnya, masyarakat bingung oleh pembelaan mati-matian kepada Ahmadiyah atas nama HAM oleh beberapa LSM, di satu sisi, berhadapan                                                              1 Lihat http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0404/17/pustaka/ 972516.htm, diakses pada 19 Juni 2009. 
  • 17.   3 dengan alasan pemeliharaan ketertiban masyarakat oleh pemerintah di sisi lain, yang berakibat terbelahnya masyarakat dan bahkan konflik fisik yang tidak perlu. Dalam konteks kasus lain, dahulu di masa pemerintahan Presiden Megawati, disharmoni LSM-pemerintah juga kerap terjadi. Misalnya, seorang fungsionaris partai melontarkan kekesalannya terhadap sikap LSM dalam masalah amandemen UUD 1945, dengan mengatakan LSM sebagai agen kepentingan asing (Radio Nederland, 17/4/2002). Juga, Jenderal Ryamizard Ryacudu, saat itu KSAD, saat menanggapi sikap kritis LSM atas darurat militer di Aceh, menyebut LSM sebagai salah satu pintu yang digunakan asing untuk kepentingan mereka (Jawa Pos, 1/1/2004). Juga ketika AM Hendropriyono, waktu itu kepala BIN, yang akan mengusir Sydney Jones (Direktur ICG) dan 20 LSM lain dengan dalih adanya sinyalemen LSM-LSM itu akan ‘menjual’ bangsa (Kompas, 5/6/2004). Sebaliknya, pemerintah kerapkali dibuat ‘merah telinga’ ketika bahasa kritik yang disampaikan LSM-LSM itu kurang elegan, yakni terkait berbagai laporan tahunan (annual report) mereka yang dirilis ke publik secara masif tanpa ada komunikasi-konfirmasi dari pihak pemerintah. Pernyataan dan respon atas pernyataan dalam kasus-kasus ini nyata-nyata telah menciptakan disharmoni hubungan LSM-pemerintah. Maka ketegangan- ketegangan yang melibatkan komponen civil society, swasta dan pemerintah pun terjadi. Hal ini tentu saja mengganggu keseimbangan ritme tiga penopang demokrasi sebagaimana disebutkan di atas. Sementara itu, kerukunan adalah kebutuhan semua pihak. Pemerintah, pihak swasta, maupun masyarakat sipil membutuhkan dan mendambakan kondisi rukun tersebut. Maka, karenanya, pemeliharaan kerukunan adalah tugas- bersama. Dalam konteks kehidupan beragama, kerukunan umat beragama adalah tanggungjawab bersama umat beragama (baca: masyarakat dan swasta) serta pemerintah.
  • 18.  4  Tanpa upaya-bersama (sinergi) itu beban pemeliharaan kerukunan sulit dipikul. Lantas, apa yang sebaiknya diperankan oleh LSM dan pemerintah dalam menghadapi kondisi ini? Di sinilah penelitian ini menemukan urgensinya. Memang, saat ini telah banyak upaya dalam rangka pemeliharaan kerukunan yang dilakukan baik oleh pemerintah melalui berbagai peraturan perundang-undangan dan upaya fasilitasi lainnya, maupun oleh LSM dengan berbagai kiprah- nya untuk pemeliharaan kerukunan dan perdamaian. Sayang- nya, berbagai upaya dan program yang dilakukan belum terintegrasi secara baik melainkan seperti berjalan sendiri- sendiri dalam rencana dan ekspektasinya masing-masing. Padahal, hanya ada satu Indonesia, dan semua mengharapkan kerukunan sejati yang sama. Pemerintah ingin negara ini aman dan tertib sehingga pembangunan bangsa berjalan dengan baik ke arah kesejahteraan bersama, di sisi lain, LSM sebagai komponen civil society pun berupaya membantu masyarakat meraih kesejahteraan dalam suasana berkeadilan. Penting ditegaskan, integrasi-sinergis yang perlu dilakukan bukan dalam arti penyatuan program-teknis, melainkan terciptanya sikap saling memahami dan sinergi dalam tujuan yang sama meski dengan pilihan cara yang beragam. Tanpa integrasi- sinergis itu maka upaya pemeliharaan kerukunan akan senantiasa parsial dan, boleh jadi dalam kasus tertentu, menjadi kontraproduktif. Pembatasan dan Perumusan Masalah Penelitian ini dirancang untuk menemukan langkah integrasi-sinergis yang bisa dilakukan oleh LSM dan pemerintah dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia. Hal ini dipandang perlu karena selama ini upaya yang telah dilakukan oleh masing-masing pihak masih dinilai belum terintegrasi dengan baik, sehingga dapat
  • 19.   5 mengakibatkan inefficiency atau bahkan terjadi konfrontasi yang kontraproduktif bagi kerukunan. Untuk memperjelas inti permasalahan yang dikaji, berikut adalah sejumlah pertanyaan penelitian yang dicoba jawab oleh penelitian ini: 1. Bagaimana peran LSM dan pemerintah dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia? 2. Bagaimana pola hubungan antara LSM dan pemerintah dalam proses pemeliharaan kerukunan tersebut? 3. Mungkinkah dilakukan sinergi antara LSM dan pemerintah dalam proses pemeliharaan kerukunan? Jika ya, dalam bentuk apa sinergi dapat dilakukan? Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui peran LSM dan pemerintah dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia. 2. Mengetahui pola hubungan LSM dan pemerintah dalam proses pemeliharaan kerukunan tersebut. 3. Mengetahui kemungkinan dilakukannya sinergi antara LSM dan pemerintah dalam upaya pemeliharaan kerukunan, dan mengetahui bentuk sinergi dimaksud. Manfaat Penelitian Penelitian ini akan menghasilkan gambaran tentang posisi dan peran LSM-pemerintah serta rumusan alternatif pola-pola hubungan yang dapat dikembangkan untuk terciptanya sinergi yang baik antara LSM dan pemerintah dalam upaya-bersama memelihara kerukunan umat beragama di Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
  • 20.  6  memberikan kontribusi positif bagi perkembangan demokra- tisasi dan kerukunan umat beragama serta kerukunan nasional. Kerangka Dasar Teoritik Penelitian ini berangkat dari teori tentang civil society dalam kaitannya sebagai bagian dari pilar pengokoh suatu negara demokrasi. Mengoreksi Aristoteles yang mengidentik- kan civil society dengan negara, juga konsep negara-kotanya Cicero, atau hanya sisi-etisnya Adam Ferguson, G.W.F. Hegel mengatakan civil society sebagai elemen ideologis kelas dominan. Hal ini pun sekaligus reaksi atas tesis Thomas Paine yang memisahkan civil society dari negara. Namun Hegel mengabsahkan intervensi terhadap wilayah sipil, dengan alasan kelemahan masyarakat sipil yang tidak mampu eksis tanpa adanya pengaturan dari yang otoritatif. Kemudian Marx mengusulkan pelenyapan civil society yang disebutnya masya- rakat borjuis, dengan dalih menuju tatanan masyarakat tanpa kelas. Lebih ideologis, Gramsci justeru melihat civil society itu perlu sebagai ruang perebutan hegemoni di luar kekuatan negara. Akhirnya, Tocqueville menegaskan pentingnya civil society sebagai penyeimbang negara—hasil pengamatannya pada pengalaman demokrasi Amerika yang demokrasinya kian kuat dengan adanya kekuatan di luar negara. Membantah Hegel, Tocqueville meyakini civil society cukup otonom dan bukan subordinan, serta mempunyai kapasitas politik cukup tinggi untuk mengimbangi kekuatan negara.2 Dengan demikian, perimbangan kekuatan itu diyakini akan memper- kokoh suatu negara demokrasi. Berikut gambaran pola hubungan elemen civil society, sektor swasta, dan negara, yang melakukan take and give dan berjalan seimbang sinergistis.                                                              2 Perdebatan konsep civil society ini melalui beberapa fase yang selengkapnya dapat dibaca di bagian lain tulisan ini (pada pembahasan LSM dan civil society).  
  • 21.   7 Gambar 1 Skema Hubungan LSM-Pemerintah-Swasta NEGARA/PEMERINTAH berperan menciptakan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabil; membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan; menyediakan public service yang efektif dan accountable; menegakkan HAM; melindungi lingkungan hidup; dan mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik. SWASTA/PASAR berperan menjalankan industri; menciptakan lapangan kerja; menyediakan insentif bagi karyawan; meningkatkan standar hidup masyarakat; memelihara lingkungan hidup; menaati peraturan; dan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat. CIVIL SOCIETY berperan menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi; mempengaruhi kebijakan publik; sebagai sarana checks and balances pemerintah; mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah; mengembangkan SDM; dan sebagai sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat. Dengan demikian, jika dalam sebuah negara terjadi ketidakseimbangan di antara ketiga penopang demokrasi itu, maka negara demokrasi tidak akan kokoh bahkan justeru dapat bergeser. Maksudnya, jika negara terlalu kuat sementara civil society dan swasta lemah, maka negara akan cenderung otoriter dan tidak demokratis lagi. Jika kekuatan civil society terlampau kuat dan negara lemah, maka negara cenderung ke arah sosialisme, dan jika pasar terlampau kuat, sementara negara
  • 22.  8  dan civil society lemah, maka kekacauan dapat terjadi karena ketiadaan otoritas pemaksa/penertib. Sementara itu, negara (baca: pemerintah) sendiri meng- inginkan dirinya kuat. Karena ideologi developmentalisme yang dianut negara-negara berkembang sangat meniscayakan adanya stabilitas sosial, demi tercapainya berbagai rencana pembangunan. Mansour Fakih3 mengatakan kata ‘pembangun- an’ (terjemahan dari developmentalisme) menjadi diskursus yang dominan di Indonesia (sebagai negara berkembang) terutama pada masa Orde Baru. Kata itu sudah menjadi ruh bagi periode pembangunan ‘repelita’ di Indonesia selama 32 tahun pemerintahan Soeharto. Namun, kritiknya, pembangunan itu sering disalahposisikan ke dalam berbagai konteks, konotasi ideologi dan politik tertentu, padahal pembangunan adalah bagian dari teori perubahan sosial. Beberapa teori mengenai hubungan LSM dan Pemerintah telah banyak disampaikan para ahli. Salahsatunya adalah yang disampaikan Drs. H. Dadang Solihin, MA, ahli LSM dari PACIVIS-UI yang juga pernah menjabat Deputi di BAPPENAS. Menurutnya, relasi antara CSO/Civil Society Organization (yang LSM berada di dalam lingkupannya) dengan pemerintah, dapat terjadi dalam lima kondisi.4 Pertama, apa yang disebutnya autonomous benign neglect. Pada kondisi ini pemerintah tidak menganggap posisi CSO sebagai ancaman dan tidak melakukan intervensi terhadap CSO; serta CSO dapat bekerja secara mandiri dan independen. Kedua, facilitation/ promotion. Dimana Pemerintah menganggap CSO sebagai entitas yang keberadaannya bersifat komplementer; dan Tugas pemerintah                                                              3 Lihat, Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 12-13.  4 Lihat, “Format Hubungan dan Kerjasama Pemerintah, Media, serta Private Sector dengan NGO dalam Penguatan Civil Society,” slide pemaparan Drs. H. Dadang Solihin, MA, dalam Pacivis-NGO-Management Certificate Program, di FISIP-UI Depok, 17 Maret 2006. Slide diunduh melalui www.4shared.com, atau juga tersedia di www.dadangsolihin.com. 
  • 23.   9 untuk menyediakan kondisi yang kondusif bagi beroperasinya CSO. Ketiga, collaboration cooperation. Kondisi dimana Pemerintah menganggap bekerja sama dengan CSO lebih menguntungkan bagi pencapaian tujuan pemerintah. Keempat, cooptation/-absorbtion. Pada kondisi ini Pemerintah melakukan kontrol terhadap CSO baik dalam konteks programatik maupun ideologis. Hal ini dilakukan dengan adanya suplai finansial, penghambatan terhadap ijin eksekusi program CSO, dan sebagainya. Dan kelima, containment/ sabotage/dissolution. Dalam kondisi ini Pemerintah melihat CSO sebagai tantangan dan juga ancaman, sehingga pemerintah menghambat kerja CSO, dan bahkan sampai pada tindakan. Dalam perspektif yang lebih berimbang, Afan Gaffar5 menjelaskan pola hubungan LSM-negara seperti tergambar dalam tabel berikut ini. Tabel 1 Pola Hubungan LSM-Negara Dimensi Ruang Publik Strategi LSM vis a vis Pemerintah/negara Strategi Pemerintah vis a vis LSM Orientasi isu Memengaruhi agenda pembangunan, mengkritik, dan mengajukan alternatif kebijakan. Menetapkan agenda dan prioritas pembangunan, dan memonitor alternatif apa yang dapat diterima. Finansial Memobilisasi dukungan dana, sehingga menjadi mandiri dan terlepas dari campur tangan dan pengawasan pemerintah. Membantu sumber keuangan Ornop, mengatur dan menyetujui penggunaannya untuk pembangunan. Organisasional Menjaga kemandirian, menghindari campur tangan pemerintah dalam urusan Membantu proses administrasi Ornop, mengatur kegiatan                                                              5 Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1999) hlm. 216, yang juga dikutip Culla, dalam op.cit. hlm. 82. 
  • 24.  10  administrasi, pembuatan keputusan, dan pelaksanaan di lapangan. mereka dan pelaksanaan kegiatan di lapangan. Kebijakan Memengaruhi dialog dalam pembentukan kebijakan dengan melakukan advokasi, guna meningkatkan kualitas lingkungan pembuatan kebijakan. Membantu kebijakan, melakukan dialog, mengatur akses ke pembuatan keputusan, dan memelihara kontrol atas lingkungan pembuatan kebijakan. Kajian Terdahulu Penelitian dan kajian tentang LSM telah banyak dila- kukan oleh para akademisi. Sebuah tulisan yang cukup komprehensif yang mengkaji tentang geliat LSM di Indonesia adalah tulisan karya-masterpiece Dr. Mansour Fakih berjudul Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996). Buku yang merupakan refleksi penulis tentang sejarah pergolakan LSM 80-90an ini senantiasa menjadi rujukan para pemerhati gerakan sosial di Indonesia. Melalui proses riset partisipatif dan studi kolaboratif, Fakih menyimpulkan bahwa LSM berada dalam posisi struktural ideologi sebagai bagian dari hegemoni negara, dan karenanya terdapat indikasi teoritis bahwa sebagian besar gerakan LSM di Indonesia (pada konteks waktu penelitian itu dilakukan, akhir 80-an dan awal-90-an. Pen.) lebih merupakan bagian dari negara daripada bagian dari masyarakat sipil. Kajian lain tentang LSM, yang relatif baru (2006), dilakukan oleh Adi Suryadi Culla. Dalam bukunya yang berasal dari disertasi ini, tergambar dinamika hubungan LSM- negara yang senantiasa dipengaruhi konstelasi politik dan interaksi aktor-aktor dan institusi keduanya yang kerap menimbulkan hubungan keduanya tidak selalu mudah didefinisikan. Temuannya yang ‘merekonstruksi’ tesis selama ini tentang hubungan LSM-negara adalah bahwa negara dapat
  • 25.   11 berperan positif dalam pembentukan masyarakat sipil, artinya hubungan antara masyarakat sipil dan negara bersifat cross- cutting dan tidak dikotomis. Kajiannya yang melihat peran YLBHI dan Walhi ini diberi judul Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2006). Kajian terdahulu lainnya, sebagaimana disebut oleh Culla dalam Rekonstruksi Civil Society,6 adalah disertasi karya Muhammad Atho'illah Shohibul Hikam berjudul The State Grassroots Politics and Civil Society: A Study of Social Movements Under Indonesia's New Order,1989-1994 (Amerika Serikat: Uni- versity of Hawai, 1995) yang mengkaji gerakan politik grassroots dengan mengangkat beberapa kasus serikat pekerja di Indonesia era Orde Baru. Kemudian tesis Adi Suryadi Culla sendiri, berjudul Masyarakat Madani di Indonesia: Studi Kasus Petisi 50 (Jakarta: Universitas Indonesia, 1999) yang mengkaji "Petisi 50" dengan menggunakan konsep masyarakat sipil. Kemudian, dengan perspektif ilmu politik, kajian tentang LSM dilakukan oleh M. Dawam Rahardjo, dkk. berjudul Gerakan Keagamaan dalam Penguatan Masyarakat Sipil: Analisis Perbandingan Misi dan Visi Ornop dan Ormas Berbasis Keagamaan (1999). Selain itu, penelitian Deden Ridwan dan Dewi Nurjulianti berjudul Pembangunan Masyarakat Madani dan Tantangan Demokratisasi di Indonesia: Sebuah Laporan dari Penelitian dan Seminar (1999), dan penelitian PPIM-IAIN Jakarta berjudul Islam dan Civil Society: Pandangan Muslim Indonesia (2002), suntingan Hendro Prasetyo dan Ali Munhanif, dkk. Kemudian kajian Ahmad Baso berjudul Civil Society versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran "Civil Society" dalam Islam Indonesia (1999). Selain itu masih banyak kajian berupa sejumlah disertasi mengenai LSM yang ditulis para doktor yang turut memperkaya pustaka di bidang kajian LSM ini.                                                              6 Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2006), hlm. 12-14. 
  • 26.  12  Dari kajian-kajian terdahulu sebagaimana tersebut di atas, terlihat penelitian dan kajian yang dilakukan kebanyakan masih berkutat pada masalah perdebatan mengenai konsep civil society, hubungan LSM-negara, LSM dalam setting politik tertentu, dan lainnya. Kecuali penelitian M. Dawam Rahardjo dkk., penelitian dan kajian tersebut belum ada yang secara khusus melihat peran LSM bidang agama atau bidang kerukunan di Indonesia. Maka, terdapat ‘ruang kosong’ yang mencoba diisi oleh penulis, yakni peran dan hubungan LSM dan Pemerintah dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama. LSM yang dimaksud di sini adalah khusus LSM yang bergerak di bidang kerukunan, dan lingkup perannya berada pada konteks pemeliharaan kerukunan umat beragama. Disinilah distingsi penelitian ini. Definisi Operasional Secara etimologis, ‘peran’ diartikan sebagai perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedu- dukan dalam masyarakat.7 Sedangkan dalam konteks penelitian ini, yang dimaksud peran adalah kiprah atau segala sesuatu yang dilakukan oleh LSM dan Pemerintah dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama. Tegasnya, meliputi visi, misi, tugas-fungsi, program-program, dan kegiatan yang mereka miliki dan lakukan terkait pemeliharaan kerukunan umat beragama. ‘Hubungan’ berarti kondisi kontak, sangkut-paut, atau pertalian.8 Dalam penelitian ini, hubungan yang dimaksud adalah segala kondisi yang saling menghubungkan antara LSM dan Pemerintah, baik dalam bentuk kerjasama, aksi-reaksi, perang wacana, dan sebagainya. Adapun lembaga swadaya masyarakat (LSM) diartikan dalam berbagai istilah dan arti. Seperti diketahui, LSM juga                                                              7 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999, cet. X.  8 Ibid. 
  • 27.   13 seringkali disebut ornop (organisasi non-pemerintah), atau NGO (non-governmental organization), atau istilah lain sejenisnya. Dalam penelitian ini, penulis lebih memilih menggunakan istilah LSM, dengan pertimbangan makna netral-substantif dan terasa lebih familiar di dalam masyarakat luas. Secara etimologis, LSM bermakna organisasi yang bukan bagian dari pemerintah dan melakukan pemberdayaan masyarakat. Sedangkan secara istilah, LSM berarti organisasi swasta yang menjalankan kegiatan untuk meringankan penderitaan, mengentaskan kemiskinan, memelihara lingkungan hidup, menyediakan layanan sosial dasar atau melakukan kegiatan pengembangan masyarakat, yang mencoba untuk mengisi ruang yang tidak akan atau tidak dapat diisi oleh pemerintah.9 Lebih jauh mengenai istilah, arti, dan seluk beluk LSM akan dibahas pada bagian tersendiri tulisan ini. Dalam penelitian ini, yang dimaksud LSM adalah LSM yang bergerak di bidang kerukunan umat beragama— selanjutnya cukup disebut LSM Kerukunan. Yakni LSM yang dalam program kerjanya atau dalam wacana dan aksinya tersangkut paut dengan masalah kerukunan umat beragama. Lebih tegasnya, penelitian ini membatasi pada beberapa LSM yang dianggap mewakili jenis LSM ini, yaitu: the WAHID Institute, SETARA Institute, dan ICRP. Ketiga LSM Kerukunan ini dipilih karena kami nilai mereka sudah cukup konsisten di bidang ini dan cukup established, terlihat salahsatunya dari ‘kultur’ penerbitan Annual Report Kehidupan Beragama yang telah secara periodik setiap tahun dikeluarkannya. ‘Pemerintah’ diartikan melalui konsep negara. Bahwa negara adalah organisasi tertinggi diantara satu kelompok masyarakat yang mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Sementara itu, dalam negara terdapat tiga unsur, yakni: rakyat,                                                              9 Diambil dari ensiklopedia bebas, www.wikipedia.com, dengan kata kunci “NGO”. 
  • 28.  14  wilayah, dan pemerintahan. Pemerintahan itu sendiri adalah alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin organisasi negara untuk mencapai tujuan bersama didirikannya sebuah negara. Pemerintahan, melalui aparat dan alat-alat negara, yang menetapkan hukum, melaksanakan ketertiban dan keamanan, mengadakan perdamaian dan lainnya dalam rangka mewujudkan kepentingan warga negaranya yang beragam.10 Adapun ‘Pemerintah’ dalam konteks penelitian ini diwakili oleh Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, Kepolisian, dan Kejaksaan, karena keempat institusi ini memiliki tugas pokok dan fungsi terkait dengan pemeliharaan kerukunan umat beragama. Kerukunan umat beragama, sebagaimana didefinisikan di dalam PBM No. 9 dan 8 tahun 2006,11 adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah upaya bersama umat beragama dan pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan, dan pember- dayaan umat beragama. Dalam kamus, ‘sinergi’ berarti kegiatan atau operasi gabungan; kegiatan tergabung yang pengaruhnya biasanya lebih besar daripada jumlah total pengaruh masing-masing satu                                                              10 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak (Peny.), Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), hlm. 18  11 Lihat Bab I Pasal I butir 1 dan 2, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, yang diterbitkan tanggal 21 Maret 2006. 
  • 29.   15 per satu.12 Sedangkan dalam konteks penelitian ini, sinergi adalah kerjasama yang tidak harus selalu berupa kegiatan atau program, melainkan adanya kesalingpahaman. Sekali lagi, kerjasama yang perlu dilakukan bukan dalam arti penyatuan program-teknis, melainkan terciptanya sikap saling memahami dan sinergi dalam tujuan sama meski dengan pilihan cara beragam. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan motode pokok yang dipergunakan adalah deskriptif-analitis. Data yang diperoleh dari berbagai bahan pustaka dan wawancara dipaparkan secara utuh, kemudian dilakukan proses analisa sesuai kebutuhan problem penelitian ini. Pengumpulan data terutama dilakukan dengan menelusuri bahan pustaka, dan kemudian melalui sejumlah wawancara langsung dan tertulis (melalui email) dengan berbagai narasumber dan informan kunci yang dianggap relevan. Diantara yang diwawancarai adalah ketua/anggota LSM (WI, SETARA, ICRP), pejabat pemerintah dan kalangan akademisi serta pengamat/praktisi LSM. Informasi dari dunia maya cukup banyak menyumbang tulisan ini, karena profil dan informasi seputar kiprah LSM dan pemerintah (yang dibutuh- kan peneliti) cukup melimpah tersedia di dalamnya. Pemba- tasan lokasi memang tidak relevan dalam penelitian ini, selain bahwa pengumpulan data dilakukan kepada LSM-LSM dan beberapa institusi di tingkat pusat (DKI Jakarta) dan, jika diperlukan, di kota lain yang dilakukan melalui bantuan email (wawancara-tertulis) dan telepon (wawancara-jarak jauh). Dalam menganalisis data digunakan Analisis Data Kualitatif (Bogdan dan Biklen, 1982), yakni dengan meng-                                                              12 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999, c.X. 
  • 30.  16  organisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang lain.13 Penelitian ini dilakukan sendiri oleh penulis pada bulan Agustus-Desember 2009, atas biaya dinas.                                                              13 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2006, hlm. 248. 
  • 31.   17 BAB II HUBUNGAN LSM DENGAN PEMERINTAH ntuk memahami peran dan hubungan LSM dan pemerintah, penting untuk terlebih dahulu mengenal profil dan kiprah keduanya. Hal ini untuk menjadi bekal dan landasan dalam melihat posisi-posisi keduanya dalam percaturan hubungan dimaksud. Berikut paparan serba sekilas mengenai keduanya. Memahami LSM LSM, Ornop/NGO, SHO, atau PVO? Mengenai istilah mana yang lebih tepat digunakan: LSM, ornop/NGO, atau PVO, ternyata bukan perkara mudah, melainkan telah melalui perdebatan yang cukup lama di kalangan aktivis LSM sendiri. Namun, secara historis, hal ini dapat dipahami mengingat istilah-istilah itu tidak bebas nilai dan sangat terkait konteks politik pada setiap masanya. Berikut gambaran perdebatan istilah tersebut, sebagaimana diulas dengan baik oleh Culla.14 Pertama, istilah ornop, adalah terjemahan harfiah dari NGO (non-govermental organizations) yang telah dikenal dalam pergaulan internasional--sebagaimana tercantum dalam Bab 10 Pasal 71 Piagam PBB. Istilah NGO merujuk pada organisasi non-negara yang mempunyai kaitan dengan badan-badan PBB yang perlahan-lahan menyebar dan dipakai oleh komunitas internasional. Ketika masuk ke Indonesia, istilah asing itu menjadi Ornop, organisasi non-pemerintah. Pemerintah kemudian bereaksi keras. Beberapa aktivis juga kurang "sreg" dengan istilah itu karena dinilai merujuk pada dikotomi                                                              14 Adi Suryadi Culla, op. cit., hlm. 63-67. Disarikan dan direformulasi seperlunya oleh penulis.  U
  • 32.  18  ideologis maupun politis antara pemerintah (government) dan non-pemerintah (non-government). Istilah NGO atau Ornop dapat diartikan atau dituduh sebagai kelompok masyarakat yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah. Kemudian muncul istilah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lembaga pengembangan swadaya masyarakat (LPSM) yang dipakai sebagai pengganti ornop. Istilah LSM muncul dari hasil perdebatan para peserta lokakarya kerjasama terpadu pengembangan pedesaan yang diselenggarakan Sekre- tariat Bina Desa (SBD) di tahun 1978, di Ungaran, Jawa Tengah. Sedangkan LPSM muncul dari saran Dr. Ki Sarino Mangun- pranoto, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang juga dikenal sebagai salahseorang tokoh gerakan Taman Siswa. Selanjutnya, beberapa aktivis kemudian menemukan isti- lah lain dengan membandingkan apa yang sering dipakai oleh Kementerian Kerja Sama Internasional Jerman Barat, yaitu Self- Help Promoting Institute (SHPI) dan Self-Help Organization (SHO). Atas saran Prof. Sayogyo kemudian diperkenalkan istilah Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM) untuk SHPI dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk SHO. Lembaga Swadaya Masyarakat sering kali dipakai secara bergantian dengan istilah Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang merujuk pada kelompok-kelompok yang dibentuk oleh masyarakat dalam arti luas. Meskipun LPSM dan KSM mempunyai varian masing-masing, istilah yang kelihatannya lebih sering dipergunakan adalah LSM karena esensi sebenarnya tidak berubah. Maka pada tahun 1981, untuk memudahkan pemahaman di kalangan masyarakat, disepakati menggunakan satu istilah saja, yakni LSM. Maka, penulis menggunakan istilah LSM karena dinilai lebih tepat dan ‘ramah’ digunakan.15                                                              15 Bandingkan dengan A.S. Culla dan George Aditjondro yang lebih memilik ornop daripada LSM, karena dengan menggunakan istilah LSM, katanya, dapat
  • 33.   19 Sementara itu, di dalam peraturan perundang-undangan Negara Republik Indonesia, perihal LSM diatur dalam UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Namun pengertian LSM di UU ini lebih bias pada pengertian ormas, bukan ornop/LSM. Adapun dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 8 Tahun 1990 yang dalam lampiran II-nya menggu- nakan istilah LSM, mendefinisikan LSM sebagai berikut: Organisasi/lembaga yang anggotanya adalah masyarakat warganegara Republik Indonesia yang secara sukarela atau kehendak sendiri berniat serta bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya.16 Dari definisi ini dan penelusuran yang dilakukan oleh Culla, ditemukan beberapa ciri umum suatu LSM, yakni: bersifat kesukarelaan, non-profit oriented (tidak berorientasi mencari keuntungan), dan non-coersion (tidak menggunakan kekerasan atau alat pemaksa).17 Majelis Agama dan FKUB: LSM? Ada pertanyaan yang cukup menarik dalam konteks umat beragama, apakah majelis-majelis atau ormas-ormas agama (seperti NU, Muhammadiyah, MUI, PGI, KWI, dsb.) dapat dikategorikan sebagai LSM? Pertanyaan ini mengemuka karena asosiasi yang muncul ketika menyebut kata LSM adalah organisasi-organisasi non-pemerintah yang banyak bergerak di dunia aksi-advokasi massa, sementara kelompok-kelompok umat beragama sepertinya keluar dari lingkup istilah ini. Sebenarnya, dalam hal kenonpemerintahan, majelis/ormas                                                                                                                                memungkinkan masuknya LSM yang didukung pemerintah (distingsi pemerintah dan non-pemerintah jadi kabur); kata ‘swadaya’ menjadi ganjalan karena faktanya disokong dana dari luar negeri; dan adanya keharusan menjadi sebuah ‘lembaga’ terlebih dahulu (established).   16 Adi Suryadi Culla, op. cit., hlm. 69.  17 Ibid., hlm. 72 
  • 34.  20  agama pun dapat dikategorikan sebagai LSM. Namun demikian, sesungguhnya ada perbedaan. Bahwa ormas mencakup seluruh bidang pembangunan, sedangkan LSM lebih khusus “meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan sosial.”18 M. Dawam Rahardjo, yang mengutip Tocquiville, membedakannya dengan menyebut ada empat macam kelompok bentukan masyarakat: organisasi keagamaan yang berpusat di gereja, organisasi masyarakat lokal, organisasi ketetanggaan atau persaudaraan, dan organisasi terkait kewarganegaraan.19 Meski begitu, Azyumardi Azra menyebut ormas seperti NU dan Muhammadiyah, misalnya, dengan sebutan Religious-Based Civil Society.20 Lain halnya dengan FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) yang kini telah ada di 33 provinsi dan di 392 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Di dalam Pasal 1 Butir 6 PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006,21 disebutkan definisinya sebagai berikut: Forum Kerukunan Umat Beragama, yang selanjutnya disingkat FKUB, adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam rangka membangun, meme- lihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan. Maka, FKUB yang merupakan forum (sejenis organisasi) yang dibentuk oleh masyarakat dan beranggotakan pemuka agama (baca: warga masyarakat), dalam hal kenonpeme- rintahannya memang dapat dikategorikan sebagai ornop/LSM.                                                              18 Ibid., hlm. 69.  19 Lihat M. Dawam Rahardjo, “Tiga Dasar Teori LSM”, dalam Republika, 9 November 1994; seperti dikutip Culla, ibid, hlm. 70.  20 Wawancara-tertulis dengan Azyumardi Azra pada 25 November 2009.  21 PBM itu selengkapnya adalah “Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.” PBM inilah yang menjadi landasan pembentukan dan keberadaan FKUB. 
  • 35.   21 Namun demikian, seperti halnya majelis agama, FKUB belum dapat disebut sebagai LSM dalam kategori konteks penelitian ini—selain jikapun dimasukkan LSM maka dikategorikan ‘GoNGO’ (Government NGO) alias ‘LSM plat merah,’ karena aktivitasnya jelas-jelas difasilitasi dan didanai Pemerintah melalui APBN/APBD. LSM dan Konsep Civil Society Seperti diketahui, kajian tentang LSM tidak dapat dipisahkan dari penjelasan tentang hakikat civil society, karena LSM adalah salahsatu bagian penting civil society tersebut. Wacana tentang civil society memang telah berumur lama, bahkan sejak zaman filusuf Yunani dahulu. Berikut ini gambaran rentetan kronologis fase perkembangan pemahaman civil society dari masa ke masa.22 Aristoteles (384-322 SM) memandang civil society sebagai sistem kenegaraan atau identik dengan negara itu sendiri. Pandangan ini merupakan fase pertama sejarah wacana civil society. Tentu saja pandangan ini telah berubah sama sekali dengan rumusan civil society yang berkembang dewasa ini, yakni masyarakat sipil di luar dan penyeimbang lembaga negara. Mazhab pandangan Aristoteles tersebut selanjutnya dikembangkan oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), Thomas Hobbes (1588-1679 M) dan John Locke (1632-1704 M). Pada masa Aristoteles, civil society dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Istilah koinonia politike yang dikemukakan oleh Aristoteles ini digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana warga negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum.                                                              22 Dikutip dan direformulasi dari A. Ubaedillah dan Abdul Rozak (Peny.), op.cit., hlm. 244-248. 
  • 36.  22  Berbeda dengan Aristoteles, Marcus Tullius Cicero (106- 43 SM) menamakannya dengan societies civilies, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas yang lain. Istilah yang digunakan Cicero lebih menekankan pada konsep negara kota (city-state), yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota dan bentuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan yang terorganisir. Menurut Thomas Hobbes (1588-1679 M), sebagai entitas negara, civil society mempunyai peran untuk meredam konflik dalam masyarakat sehingga ia harus memiliki kekuasaan mutlak, sehingga ia mampu mengontrol dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi (prilaku politik) setiap warga negara. Sedangkan John Locke (1632-1704 M), berpendapat, kehadiran civil society adalah untuk melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara. Mengingat sifatnya yang demikian itu, civil society tidaklah absolut dan harus membatasi perannya pada wilayah yang tidak bisa dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi bagi warga negara untuk memperoleh haknya secara adil dan proporsional. Fase kedua, pada tahun 1767, Adam Ferguson mengem- bangkan wacana civil society dengan konteks sosial dan politik di Skotlandia. Berbeda dengan pendahulunya, Ferguson lebih menekankan visi etis pada civil society dalam kehidupan sosial. Pemahamannya ini lahir tidak lepas dari pengaruh dampak revolusi industri dan kapitalisme yang melahirkan ketimpangan sosial yang mencolok. Menurut Ferguson, ketimpangan sosial akibat kapitalisme harus dihilangkan. la yakin bahwa publik secara alamiah memiliki spirit solidaritas sosial dan sentimen moral yang dapat menghalangi munculnya kembali despotisme. Fase ketiga, pada 1792 Thomas Paine mulai memaknai wacana civil society sebagai sesuatu yang berlawanan dengan lembaga negara, bahkan ia dianggap sebagai antitesa negara. Bersandar pada paradigma ini, peran negara sudah saatnya
  • 37.   23 dibatasi. Menurut pandangan ini, negara tidak lain hanyalah keniscayaan buruk belaka. Konsep negara yang absah, menurut mazhab ini, adalah perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan bersama. Semakin sempurna sesuatu masyarakat sipil, semakin besar pula peluangnya untuk mengatur kehidupan warganya sendiri. Menurut Paine, civil society adalah ruang di mana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas tanpa paksaan, tanpa intervensi negara. Bahkan, civil society harus lebih dominan dan sanggup mengontrol negara demi keberlangsungan kebutuhan anggotanya. Fase keempat, wacana civil society selanjutnya dikem- bangkan oleh G.W.F Hegel (1770-1831 M), Karl Marx (1818-1883 M) dan Antonio Gramsci (1891-1837 M). Dalam pandangan ketiganya, civil society merupakan elemen ideologis kelas dominan. Pemahaman ini adalah reaksi atas pandangan Paine yang memisahkan civil society dari negara. Berbeda dengan pandangan Paine, Hegel memandang civil society sebagai kelompok subordinatif terhadap negara. Lebih lanjut Hegel menjelaskan bahwa dalam struktur sosial civil society terdapat 3 (tiga) entitas sosial: keluarga, masyarakat sipil, dan negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan keharmonisan, sedangkan masya- rakat sipil merupakan lokasi atau tempat berlangsungnya percaturan berbagai kepentingan pribadi dan golongan teruta- ma kepentingan ekonomi. Hegel tidak memandang civil society sebagai arena untuk praktik politik yang mengakibatkan monopoli negara. Menurutnya, negara merupakan representasi dari ide universal yang bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan memiliki hak penuh untuk melakukan intervensi terhadap civil society. Dari pandangan ini, maka intervensi negara terhadap wilayah masyarakat sipil tidaklah dianggap sebagai tindakan ilegal (melanggar hukum)
  • 38.  24  mengingat posisi negara sebagai pemilik ide universal dan hanya pada level negara politik bisa berlangsung secara murni dan utuh. Selain itu, masyarakat sipil memiliki kelemahan yang identik, dimana mereka tidak mampu mengatasi kelemahannya sendiri dan tidak mampu mempertahankan keberadaannya tanpa dukungan keteraturan politik dan ketertundukan pada institusi yang lebih tinggi yang bernama negara. Berbeda dengan Hegel, Karl Marx memandang civil society sebagai masyarakat borjuis. Dalam konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaan civil society merupakan kendala terbesar bagi upaya pembebasan manusia dari penindasan kelas pemilik modal. Demi terciptanya proses pembebasan manusia, civil society harus dilenyapkan untuk mewujudkan tatanan masyarakat tanpa kelas. Lain lagi Antonio Gramsci, ia tidak memandang masyarakat sipil dalam konteks relasi produksi, tetapi lebih pada sisi ideologis. Gramsci meletakannya pada superstruktur yang berdampingan dengan negara yang ia sebut sebagai political society. Menurut Gramsci, civil society meru- pakan tempat perebutan posisi hegemonik di luar kekuatan negara, aparat hegemoni mengembangkan hegemoni untuk membentuk konsensus dalam masyarakat. Pandangan Gramsci ini memberikan peran penting kepada kaum cendekiawan sebagai aktor utama dalam proses perubahan sosial dan politik. Fase kelima, wacana civil society sebagai reaksi terhadap mazhab Hegelian, yang dikembangkan oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859 M). Bersumber dari pengalamannya mengamati budaya demokrasi Amerika, pemikiran Tocqueville tentang civil society sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara. Menurut Tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi Amerika mempunyai daya tahan yang kuat. Mengaca pada kekhasan budaya demokrasi rakyat Amerika yang bercirikan plural, mandiri, dan kedewasaan berpolitik, menurutnya warga negara dimana pun akan mampu mengimbangi dan
  • 39.   25 mengontrol kekuatan negara. Tocqueville lebih menempatkan masyarakat sipil sebagai sesuatu yang tidak apriori maupun tersubordinasi dari lembaga negara. Pandangan civil society ala Tocquevillian ini merupakan model masyarakat sipil yang tidak hanya berorientasi pada kepentingan individual, tetapi juga memiliki komitmen terhadap kepentingan publik. Dari kelima fase tersebut di atas, dapatlah kiranya tergambar (terasosiasikan) posisi LSM dalam hubungannya dengan negara (baca: Pemerintah). Fase kelima inilah, yang menempatkan civil society sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara, yang berlaku hingga hari ini. a. Tipologi dan Ideologi LSM Meruyaknya berbagai LSM di Indonesia, secara sekilas, memberi kesan tidak adanya satupun ruang di dalam masyarakat yang tidak diisi oleh salahsatu dari mereka. Terhadap masalah korupsi, misalnya, banyak LSM bergerak, seperti: Indonesian Corruption Watch (ICW), Transparancy International Indonesia (TII), dan lain sebagainya. Di bidang penegakan HAM lebih banyak lagi, diantaranya: KontraS, ELSAM, IMPARSIAL, Demos, dan lain sebagainya. Demikian pula dalam hal yang sangat spesifik, misalnya dalam masalah penyelenggaraan haji, penggunaan APBN/APBD, reformasi kepolisian, dan sebagainya. Bak cendawan di musim hujan, semuanya muncul dan bergerak mengawal kerja dan kinerja pemerintah. Di sisi lain, ternyata ada pula beberapa LSM yang terkesan ‘membantu’ peran Pemerintah dalam pelaksanaan program-programnya. LSM jenis ini lebih mengambil posisi sebagai perpanjangan tangan dari Pemerintah, partner atau ‘sahabat’ Pemerintah. Di sisi lain lagi, ada LSM yang terkesan memfasilitasi kepentingan asing dalam kaitannya dengan agenda-agenda mereka di Indonesia. Mereka pun kerap disebut LSM komprador asing.
  • 40.  26  Untuk mendudukkan secara jelas posisi-posisi LSM tersebut dalam kaitannya dengan pilar-pilar demokrasi lainnya, penting menegaskan tipologi dan kategorisasi mereka. Meski hal ini tidak mudah, namun identifikasi dan positioning ini harus dilakukan untuk membantu mendudukkan masalah dan menganalisanya kemudian. Seperti diketahui bahwa sangat sedikit referensi teoretis yang dapat dijadikan acuan analisis tentang LSM di Indonesia. Namun demikian, telah ada beberapa kategorisasi yang telah dilakukan beberapa akademisi. Misalnya pendapat Philip Eldridge23 tentang peta LSM di Indonesia yang mendasarkan pada tiga model pendekatan dalam konteks penjalinan hubungan antara LSM dan Pemerintah. Pertama, "Kerja Sama Tingkat Tinggi: Pembangunan Akar Rumput" (High Level Partnership: Grassroots Development). LSM yang masuk dalam kategori ini seringkali menekankan kerjasama dalam program- program pembangunan Pemerintah seraya berusaha mempengaruhi rancangan maupun implementasi program- program ini agar bergerak ke arah yang lebih partisipatoris serta menyentuh dan melibatkan akar-rumput. Kegiatan LSM jenis ini umumnya lebih mengarah pada hal-hal berkaitan langsung dengan proyek pembangunan bersifat teknis ketim- bang advokasi ataupun substansi. Kedua, "Politik Tingkat Tinggi: Mobilisasi Akar-Rumput" (High Level Politics: Grassroots Mobilization). LSM dalam kategori ini mempunyai kecenderungan untuk aktif dalam kegiatan politik, mengem- bangkan gagasan berdasarkan kerangka berpikir teori sosial- radikal, aksi kritis terhadap falsafah dan praktik kekuasaan pemerintah (negara), dan maka kemudian LSM kategori ini umumnya tidak melibatkan diri dalam program-program pembangunan pemerintah. Kalaupun melakukan kerja sama, mereka lebih mementingkan peran sebagai pembela masya-                                                              23 Philip Eldridge, “Ornop dan Negara” dalam Prisma, No.7, Thn. XVIII, 1989, hlm. 33-55 dalam Adi Suryadi Culla, op.cit. hlm. 74-75. 
  • 41.   27 rakat, dan tetap kritis-reaktif terhadap isu-isu kebijakan Pemerintah. Dan ketiga, "Penguatan Akar-Rumput" (Em- powerment at the Grassroots). LSM jenis ini biasanya memilih untuk memusatkan perhatian pada usaha "peningkatan kesa- daran" dan pemberdayaan masyarakat, terutama di tingkat akar rumput. LSM tipe ketiga ini tidak terlalu berminat menjalin kontak dengan pemerintah, dan juga tidak tertarik untuk melakukan aksi-aksi perubahan politik. LSM jenis ini biasanya berusaha menghindari program atau kegiatan- kegiatan yang mempunyai pretensi politis tertentu. Kategorisasi lain diberikan oleh "Tim Fasilitasi LP3ES untuk Kode Etik",24 yang mendasarkan pada orientasi kegiatan LSM tersebut dan masyarakat basis pendukungnya. Ber- dasarkan sejarah perkembangannya, kegiatan-kegiatan LSM dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, LSM yang terlibat kegiatan natural sosial (charity) dan berorientasi karikatif. Mereka memberi bantuan kepada kaum miskin, masyarakat yang menderita karena bencana, perang, dan sebagainya. Kedua, LSM yang bergerak dalam kegiatan berorientasi perubahan dan pembangunan (change and development) masyarakat serta pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (community development). LSM tipe kedua ini bekerja untuk dan bersama masyarakat dalam periode waktu lebih panjang dengan maksud membantu masyarakat menolong diri sendiri (helping people to help themselves). LSM tipe ini dikenal sebagai LSM Pembangunan atau Developmentalis. Dan ketiga, LSM yang tidak hanya bergerak dalam bidang pelayanan masyarakat, tetapi juga melakukan pembelaan (advokasi). LSM tipe ini melihat masalah yang dihadapi masyarakat tidak hanya bersumber dari mereka sendiri, tetapi juga tidak terlepas dari struktur yang dipaksakan dari luar. LSM tipe ini dikenal sebagai LSM advokasi.                                                              24 Adi Suryadi Culla, op.cit., hlm. 76-77. 
  • 42.  28  Kategori lain yang juga dapat dipakai untuk memahami LSM di Indonesia adalah kategori yang dibuat oleh Mansour Fakih25. Berdasarkan konstruksi tipologis paradigma LSM di Indonesia, Mansour Fakih membuat tiga tipologi LSM. Pertama, tipe konformis, yang bekerja berdasarkan paradigma bantuan karitatif. Motivasi utama yang melandasi program dan aktivitas LSM tipe ini adalah menolong rakyat dan membantu mereka yang membutuhkan. Mereka berorientasi proyek dan bekerja sebagai organisasi yang menyesuaikan diri dengan sistem dan struktur yang ada. Kedua, LSM tipe reformis, yang mendasarkan pada "ideologi" modernisasi dan develop- mentalisme. Perlunya meningkatkan "partisipasi" rakyat dalam pembangunan adalah tema utama paradigma itu. Tesis pokok paradigma tersebut adalah bahwa keterbelakangan mayoritas rakyat disebabkan oleh adanya sesuatu yang salah dengan mentalitas, perilaku, dan kultur rakyat. Di tingkat aksi, untuk mencapai tujuan itu, hal terpenting adalah berjuang mempengaruhi pemerintah agar pendekatan dan metodologi yang ditawarkan akan dipakai dan diimplementasikan peme- rintah. Ketiga, tipe transformatif, yang mempertanyakan paradigma mainstream serta ideologi yang tersembunyi di dalamnya. Menurut perspektif ini, salahsatu penyebab "masalah" rakyat adalah karena berkembangnya diskursus pembangunan dan struktur yang timpang dalam sistem yang ada. LSM yang menggunakan pendekatan transformatif ini mendasarkan kegiatan pada metodologi transformatif, yaitu proses pendidikan untuk memunculkan kesadaran kritis dan menjadikan rakyat sebagai pusat perubahan sosial. Kategorisasi lain diberikan oleh M. Nurul Amin.26 Menurutnya, jenis LSM dapat dibagi menjadi dua golongan. Pertama, LSM yang di kalangan aktivis sering dikatakan sebagai                                                              25 Ibid, hlm. 77-79.  26 Seperti disebutkan di dalam artikelnya di Harian Umum Bisnis Indonesia, 6 Desember 1994. Informasi ditemukan melalui googling. 
  • 43.   29 LSM pelat merah, yakni LSM yang dibentuk atas inisiatif pemerintah untuk mendukung pelaksanaan pembangunan pada level tertentu. Perannya lebih banyak pada dukungan atas program yang dicanangkan pemerintah dan tentu saja dana berasal dari Pemerintah. Contoh jenis ini antara lain PKK dan Dharma Wanita. Dan kedua, LSM yang dibentuk oleh kalangan yang umumnya berada pada kelas menengah, seperti: intelektual, mahasiswa, ataupun sejumlah orang yang concern pada kesejahteraan masyarakat. Umumnya LSM jenis ini mengambil jarak dan kritis terhadap pemerintah, dan bergerak dengan sokongan dana dari organisasi atau yayasan tertentu di luar atau dalam negeri. Mereka antara lain LBH, Walhi, dan banyak lainnya. Namun banyak juga LSM jenis ini yang cukup akomodatif dengan Pemerintah. Ditambahkan jenis ketiga, yakni LSM yang dibentuk atas dasar ikatan tradisional, seperti perkumpulan-perkumpulan primordial kedaerahan, seperti: Gerakan Masyarakat Jawa Barat (Gema Jabar), Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya (HIMALAYA), dan sebagainya. b. Profil LSM Kerukunan Sebagaimana disinggung di dalam latar belakang masalah, data pada Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2004 menyebutkan, ada sekitar 70.000 buah LSM pada tahun 2000.27 Dalam sumber lain disebutkan data direktori kelompok masyarakat sipil (baca: LSM) yang spesifik membidangi masalah perdamaian dan resolusi konflik yang saat ini mencapai 823 buah.28 Beberapa diantara sekian banyak LSM tersebut teridentifikasi sebagai LSM yang bergerak di bidang kebebasan beragama atau kerukunan beragama, yang dalam kajian ini selanjutnya cukup disebut LSM Kerukunan.                                                              27 Lihat http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0404/17/pustaka/ 972516.htm, diakses pada 19 Juni 2009.  28 Lihat www.direktori-perdamaian.org 
  • 44.  30  Labeling LSM Kerukunan didasarkan pada visi dan misi, kiprah, serta program-program unggulan yang dilakukan LSM tersebut, yang bergerak di sekitar masalah kerukunan umat beragama. Jumlahnya saat ini secara common sense cukup banyak, terutama dapat teridentifikasi pada saat muncul suatu kasus keagamaan, seperti Kasus Ahmadiyah beberapa waktu lalu. Namun demikian, penelitian ini hanya akan membatasi LSM kerukunan pada 3 buah LSM saja, yakni The WAHID Institute, SETARA Institute, dan ICRP, yang dinilai telah cukup established dan konsisten di bidangnya. Ketiga LSM Kerukunan ini aktif melakukan kegiatan di bidang-bidang yang terkait dengan agama, mereka juga memiliki wahana informasi di dunia maya yang cukup ter-update dengan baik (setidaknya hingga penelitian ini dilakukan), dan memiliki tradisi penerbitan annual report di bidang kehidupan beragama. The WAHID Institute (WI) 29 The WAHID Institute didirikan secara resmi pada tanggal 7 September 2004 di Hotel Four Seasons, Kuningan, Jakarta. Namun demikian, pergulatan ide pendiriannya sesungguhnya sudah dimulai setahun sebelumnya, sejak didirikannya website Abdurrahman Wahid, yakni: www.gusdur.net pada 17 Agustus 2001, serta peluncuran buku Biografi Gus Dur versi bahasa Indonesia; dan website pribadi Gus Dur versi Inggris pada 3 Juli 2003, di Jakarta. Gusdur memang menjadi sentral, buktinya, selain namanya yang dipakai untuk nama LSM ini, visi yang diusung LSM inipun berbunyi “untuk mewujudkan prinsip- prinsip dan cita-cita intelektual Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk membangun pemikiran Islam moderat yang mendorong terciptanya demokrasi, pluralisme agama-agama, multikulturalisme dan toleransi di kalangan kaum Muslim di Indonesia dan seluruh dunia.” Sedangkan misi yang diemban- nya adalah menyebarkan gagasan Muslim progresif yang                                                              29 Sebagian besar informasi di bagian ini dikutip dari www.wahidinstitute.org, diunduh tanggal 7 September 2009. 
  • 45.   31 mengedepankan toleransi dan saling pengertian di masyarakat dunia Islam dan Barat. Struktur Keorganisasian The WAHID Institute digagas oleh K.H. Abdurrahman Wahid, Dr. Gregorius James Barton, Yenny Zannuba Wahid, dan Ahmad Suaedy. Sejumlah nama besar berjejer sebagai sesepuh LSM ini, yaitu: K.H. M. A. Sahal Mahfudz, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, K.H. A. Mustofa Bisri, Dr. Alwi Abdur- rahman Shihab, Prof. Nasr Hamid Abu Zaid, Prof. Abdullahi Ahmed An-Naim, Prof. Mitsuo Nakamura, Luhut B. Panjaitan, dan Wimar Witoelar. Selain itu, ada juga dewan pengawas yang terdiri dari: Drs. M. Sobary, MA, Dr. Moeslim Abdurrahman, Prof. Dr. Mahfud, MD, Lies Marcoes Natsir, MA, Dr. Syafii Anwar, dr. Umar Wahid, Yahya C. Staquf, Adhie M. Massardi, dan Prof. Dr. Sue Kenny. Sedangkan di jajaran pengurus harian, posisi direktur dijabat oleh Yenny Zannuba Wahid, dan Ahmad Suaedy sebagai direktur eksekutif. Keduanya dibantu oleh sejumlah staf, yaitu: Ainun Chomsun, Gamal Ferdhi, Widhi Cahya, M. Subhi Azhari, Rifa Ilyasa, Nurul Huda Ma'arif, dan Du'aa. Selain itu, ada juga dua tenaga outsource, yaitu: Christopher Paul Holm (editor copy), dan Arif Hakim Budiawan (translator). Ada juga yang dinamakan “rekanan”, yang terdiri dari: Siane Indriani, Priya Sembada, KH. Hussen Muhammad, Rm. Benny Susetyo, JH Wenas, Acep Zamzam Noer, M. Syafiq Hasyim, Farha Ciciek, A. Rumadi, Marzuki Wahid, Bisri Effendy, Trisno S. Sutanto, M. Jadul Maula, M. Imam Aziz, Abdul Moqsith Ghazali, Masykur Maskub, Hikmat Budiman, dan Mufti Makarim al-Akhlaq. LSM yang mendapat funding dari The Asia Foundation ini beralamat di Jl. Taman Amir Hamzah No. 8, Jakarta 10320. Nomor telepon 021-3928233, 021-3145671, dan nomor faks 021-
  • 46.  32  3928250. Di dunia maya, dapat dikunjungi di alamat: www.wahidinstitute.org dan www.gusdur.net, dan untuk berkirim surat elektronik melalui: info@wahidinstitute.org dan redaksi@gusdur.net. Program Untuk merealisasikan visi dan misi tersebut di atas, sejumlah program telah dibuat. Besaran program dimaksud adalah kampanye islam, pluralisme dan demokrasi; penerbitan dan perpustakaan; capacity building untuk jaringan muslim progresif; dan pendidikan. Diantara turunan programnya antara lain adalah:30 1. Kampanye Pemikiran Islam Progresif dan Pluralisme melalui: www.wahidinstitute.org, sisipan majalah, sisipan surat kabar, bulletin (NAWALA), newsletter, dialog televisi, talkshow radio, index isu pluralisme di Indonesia (MIoRI dan Annual Report), penerbitan buku, kampanye Islam damai di mancanegara, membangun komunitas informal, promosi budaya pesantren, seminar/diskusi, kunjungan rutin informal ke tokoh agama Islam lokal. 2. Pendidikan Kelas Ushul Fiqh Progresif, terdiri dari: Kelas “Islam dan Pluralisme”, Pelatihan Creative Writing, dan Pemberian Beasiswa Riyanto. 3. Perpustakaan, terdiri dari: digitalisasi dokumentasi, dan penambahan koleksi buku dengan tema buku: Islam, demokrasi dan pluralisme. 4. Advokasi dan penguatan masyarakat akar rumput                                                              30 Lihat, Lampiran Laporan Tahunan The WAHID Institute 2008, Pluralisme Beragama dan Berkeyakinan, “Menapaki Bangsa yang Kian Retak”, Jakarta: The WAHID Institute dan TIFA Foundation, 2009, hlm. 125. 
  • 47.   33 Khusus mengenai program-kegiatan The WAHID Institute di bidang pemeliharaan kerukunan umat beragama, antara lain sebagai berikut:31 1. Memfasilitasi dialog para pemimpin agama di atas (kalangan elit) dan di bawah (grassroot) 2. Memfasilitasi kaum muda untuk berdialog di antara mereka melalui berbagai cara terutama event budaya dan sosial, dan juga kerja bareng dalam masyarakat, bukan hanya muda tapi juga kalangan tua. Di samping dalam bidang ekonomi dan sosial, juga dalam kesenian dan budaya lainnya. 3. Melakukan riview secara berkesinambungan terhadap berbagai UU dan peraturan lainnya, baik yang mendorong maupun menghalangi kerukunan antar umat beragama. 4. Melakukan pemantauan, pendataan, analisis dan briefing secara publik tentang berbagai problem dan pengalaman pemecahan masalah melalui berbagai penerbitan (buku, leaflet, artikel, website) tentang situasi mutakhir, dan rekomendasi yang perlu dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, politisi, dan lain-lain. 5. Bersama-sama dengan jaringan lain melakukan advokasi bagi korban yang kontra kerukunan beragama. Dari paparan visi, misi, dan program The WAHID Institute di atas, tampak peran besar LSM ini yang turut mendukung upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia.                                                              31 Wawancara-tertulis dengan A. Suaedy, Direktur Eksekutif the WAHID Institute, 17 Desember 2009. 
  • 48.  34  SETARA Institute32 SETARA Institute didirikan tahun 2006 oleh sekumpulan individu yang peduli pada promosi gagasan dan praksis pluralisme, humanitarian, demokrasi, dan hak asasi manusia, yang bersifat perorangan dan suka rela. Para pendiri itu adalah Abdurrahman Wahid, Ade Rostiana S., Azyumardi Azra, Bambang Widodo Umar, Bara Hasibuan, Benny K. Harman, Benny Soesetyo, Bonar Tigor Naipospos, Budi Joehanto, Damia- nus Taufan, Despen Ompusunggu, Hendardi, Ismail Hasani, Kamala Chandrakirana, Luhut MP Pangaribuan, M. Chatib Basri, Muchlis T, Pramono Anung W, Rachlan Nashidik, Rafendi Djamin, R. Dwiyanto Prihartono, Robertus Robert, Rocky Gerung, Saurip Kadi, Suryadi A. Radjab, Syarif Bastaman, Theodorus W. Koerkeritz, dan Zumrotin KS. Mereka adalah orang-orang yang peduli pada penghapusan atau pengurangan diskriminasi dan intoleransi atas dasar agama, etnis, suku, warna kulit, gender, dan strata sosial lainnya serta peningkatan solidaritas atas mereka yang lemah dan dirugikan. SETARA Institute didedikasikan bagi pencapaian cita-cita di mana setiap orang diperlakukan setara dengan menghormati keberagaman, mengutamakan solidaritas dan bertujuan memuliakan manusia. SETARA Institute percaya bahwa suatu masyarakat demokratis akan mengalami kemajuan apabila tumbuh saling pengertian, penghormatan dan pengakuan terhadap kebera- gaman. Namun, diskriminasi dan intoleransi masih terus berlangsung di sekitar kita bahkan mengarah pada kekerasan. Karena itu langkah-langkah memperkuat rasa hormat atas keberagaman dan hak-hak manusia dengan membuka partisi- pasi yang lebih luas diharapkan dapat memajukan demokrasi                                                              32 Dikutip dari www.setara-institute.org 
  • 49.   35 dan perdamaian. SETARA Institute mengambil bagian untuk mendorong terciptanya kondisi politik yang terbuka berdasarkan penghormatan atas keberagaman, pembelaan hak- hak manusia, penghapusan sikap intoleran dan xenophobia. Visi dan Misi Visi organisasi ini adalah mewujudkan perlakuan setara, plural dan bermartabat atas semua orang dalam tata sosial politik demokratis. Visi ini ditopang oleh sejumlah nilai luhur, yakni: kesetaraan, kemanusiaan, pluralisme, dan demokrasi. Untuk mencapai visi tersebut, organisasi ini mengemban misi: (a) mempromosikan, pluralisme, humanitarian, demokrasi dan hak asasi manusia; (b) melakukan studi dan advokasi kebijakan publik di bidang pluralisme, humanitarian, demokrasi dan hak asasi manusia; (c) melancarkan dialog dalam penyelesaian konflik; dan (d) melakukan pendidikan publik. Struktur Keorganisasian Di dalam struktur Dewan Nasional, Azyumardi Azra menjabat sebagai ketua, Benny Soesetyo sebagai sekretaris, dengan anggota: Kamala Chandrakirana, M. Chatib Basri, dan Rafendi Djamin. Sedangkan di jajaran Badan Pengurus, ketua dijabat oleh Hendardi, dengan wakil ketua Bonar Tigor Naipos- pos, dan sekretaris R. Dwiyanto Prihartono, serta Wakil Sekre- taris Damianus Taufan. Bendahara dijabat Ade Rostina Sitompul, dan Ismail Hasani menjabat sebagai Manager Program. Program Diantara program unggulan yang dilakukan SETARA adalah berbagai kajian dan penelitian terkait toleransi dan kebebasan beragama, yang pada akhir tahun atau pada suatu
  • 50.  36  periode tertentu diterbitkan dan di-publish dalam situsnya (www.setara-institute.org), baik berupa Annual Report (Laporan Tahunan) maupun laporan penelitian topik tertentu. Ditambahkan Ismail Hasani, Direktur Program SETARA Institute,33 diantara program yang berkaitan dengan pemeli- haraan kerukunan umat beragama antara lain: 1. Secara rutin menerbitkan laporan-laporan tentang kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia, yang berbasis data pemantauan di berbagai daerah. SETARA berpandangan bahwa kerukunan otentik dan genuine harus dibangun di atas landasan pengakuan dan penghormatan terhadap berbagai agama/keyakinan. Kerukunan yang didesain dengan paksa, dipastikan hanya melahirkan keru- kunan semu yang mudah terkoyak. Pengalaman selama masa Orde Baru adalah pelajaran berharga bahwa kerukunan yang digambarkan dalam bentuk trilogi kerukunan kenyataannya nihil. Dengan laporan yang diterbitkan, SETARA Institute berharap ada peningkatan kesadaran publik tentang pentingnya toleransi. Laporan juga mengarahkan rekomendasi praktis dan strategis bagi pemerintah untuk memperkuat toleransi. 2. Hal lain yang dilakukan adalah menggelar diskusi-diskusi publik untuk membangun pemahaman bersama tentang penghormatan atas hak beragama/berkeyakinan. Pada tahun 2008, misalnya, menggelar 10 diskusi di 10 kota. Sedangkan di tahun 2009 dilakukan 12 diskusi di 12 kota. Dari paparan visi, misi, dan program di atas, tampak peran SETARA Institute yang juga turut mendukung upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia.                                                              33 Wawancara-tertulis pada 25 November 2009. 
  • 51.   37 ICRP 34 ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) adalah sebuah organisasi berbadan hukum yayasan yang bersifat non- sektarian, non-profit, non-pemerintah dan independen yang bergerak di bidang interfaith dan dialog agama-agama. Dibidani kelahirannya oleh para tokoh antar agama, ICRP berusaha menyebarkan tradisi dialog dalam pengembangan kehidupan keberagamaan yang humanis dan pluralis di tanah air. Para tokoh itu diantaranya ialah Djohan Effendi, Siti Musdah Mulia, dan Sudhamek AWS. Dalam kepengurusan 2003-2006 juga tercantum nama wakil-wakil kelompok agama/kepercayaan, seperti Rm Ig Ismartono SJ (Katolik), KH. Abdul Muhaimin (Islam), Pdt. Yudho Purowidagdo (Kristen Protestan), KS Lindasari Wiharja (Khonghucu), dan P. Djatikusumah (Kepercayaan Adat Sunda Wiwitan).35 Jauh sebelum diresmikannya ICRP pada 12 Juli 2000 oleh Presiden RI Abdurrahman Wahid, upaya-upaya dialog lintas agama sudah tumbuh dan berkembang di Indonesia. Semenjak berdirinya, upaya mentradisikan dialog yang terbangun sebelumnya senantiasa dipertahankan oleh ICRP. Selain itu, ICRP turut aktif pula berkontribusi dalam pengembangan studi perdamaian dan resolusi konflik. ICRP menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga keaga- maan dan antar-iman maupun individu sebagai bagian dari pengembangan dialog antaragama serta semangat penghargaan atas realitas perbedaan keyakinan di masyarakat. Selain itu, ICRP juga turut aktif berjejaring dengan lembaga-lembaga yang concern memperjuangkan pluralisme dan perdamaian untuk melawan ketidakadilan sistem sosial, gender, HAM dsb.                                                              34 Bagian ini dikutip dari: www.icrp-online.org  35 St. Sularto, “Mencari Model Hubungan Antarkelompok,” H.U. Kompas, 26 Oktober 2007. 
  • 52.  38  Program Untuk mencapai tujuannya, ICRP didukung oleh 6 bidang kerja: Bidang Advokasi dan Jaringan, Bidang Pendidikan dan Pelatihan, Bidang Penelitian dan Pengembangan, Bidang Informasi, Komunikasi & Publikasi, Bidang Perempuan & Agama dan Bidang Pemuda.36 1. Bidang Advokasi dan Jaringan. Bidang ini melakukan program kerja: Memediasi dialog antar tokoh-tokoh agama dan kepercayaan dan antara pemuka agama & kepercayaan dengan pemerintah dalam kerangka perjuangan hak-hak kebebasan berkeyakinan dan studi perdamaian di Indonesia; mengembangkan kerjasama dan jaringan dengan organisasi maupun individu yang peduli atas berbagai isu agama untuk perdamaian; melakukan advokasi atas kasus-kasus kekerasan atas nama agama; dan melaksanakan rangkaian kegiatan terpadu untuk memperjuangkan kebijakan pro- pluralisme dan perdamaian dalam kehidupan lintas agama di Indonesia. 2. Bidang Pendidikan dan Pelatihan. Program kerjanya yaitu: menyelenggarakan pelatihan dalam kerangka pengem- bangan wacana interfaith, rekonsiliasi, pluralisme dan perdamaian; menyelenggarakan pendidikan kuliah agama- agama bekerja sama dengan perguruan tinggi maupun lembaga lain yang memiliki visi-misi serupa; memfasilitasi diskusi untuk pengembangan wacana interfaith dan pluralisme di kalangan komunitas agama, aktivis dan masyarakat luas; dan menyelenggarakan pendidikan perdamaian untuk kalangan akademisi, praktisi dan pegiat pendidikan di tiap tingkatan. 3. Bidang Penelitian dan Pengembangan. Bidang ini memiliki program kerja: melakukan studi/penelitian untuk mema-                                                              36 Ibid. 
  • 53.   39 hami dinamika pluralisme iman/agama di Indonesia; mengembangkan jaringan (networking) penelitian bertema interfaith; merumuskan rekomendasi bagi perubahan kebijakan (policy reform) dalam memperkuat pluralisme agama/iman; dan membangun database bertemakan plura- lisme agama/iman. 4. Bidang Informasi, Komunikasi & Publikasi. Diantara programnya ialah: mengelola penerbitan majalah (interfaith magazine), buku, website dan lainnya sebagai wahana publikasi dan komunikasi-informasi seputar dinamika pluralisme dan perdamaian di Indonesia; mengembangkan dan mengelola perpustakaan sebagai pusat dokumentasi dan informasi agama untuk perdamaian; mendokumen- tasikan berbagai informasi relevan tentang dinamika pluralisme di Indonesia; dan mengkomunikasikan aktivitas dan perjuangan interfaith pada khalayak melalui berbagai media yang relevan. 5. Bidang Perempuan dan Agama. Program kerjanya yaitu: mengampanyekan prinsip kesadaran dan kesetaraan gender pada tiap lini kehidupan terutama dalam kerangka lintas iman; mendorong penekanan gender mainstreaming dalam setiap aktivitas dan kebijakan internal maupun eksternal lembaga; mengadvokasi kebijakan yang pro-keadilan dan kesetaraan gender; dan mengembangkan jaringan dan kerjasama dengan lembaga maupun individu pemerhati masalah perempuan. 6. Bidang Pemuda. Bidang ini memiliki program: membangun kesadaran pluralisme di kalangan generasi muda melalui berbagai aktivitas; melaksanakan rangkaian kegiatan terpadu untuk pengembangan wacana pluralisme dan perdamaian di kalangan generasi muda; mengelola kegiatan lintas iman yang berorientasi pada pengembangan pemuda untuk perdamaian; dan memfasilitasi pemberdayaan
  • 54.  40  jaringan kemitraan di kalangan generasi muda untuk mengembangkan pemahaman pluralisme di Indonesia. Selain itu, ditambahkan oleh Djohan Effendi,37 yang terkait pemeliharaan kerukunan umat beragama, diantara hal- hal yang dilakukan ICRP yaitu: 1. Menghimpun pribadi-pribadi yang “concern” dan punya komitmen terhadap masalah kerukunan umat beragama. 2. Menggalang masyarakat sipil untuk memperjuangkan kebe- basan berkeyakinan. 3. Membela dan memperjuangkan kelompok-kelompok mino- ritas yang hak kebebasan berkeyakinan mereka diperkosa. 4. Mengingatkan kalangan penguasa bahwa tanggung jawab konstitusional mereka untuk menegakkan konstitusi termasuk kebebasan berkeyakinan. Dari paparan di atas, tampak ICRP juga memiliki peran yang cukup besar dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia. Memahami Pemerintah Paradigma Pemerintah Pemerintah adalah alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin organisasi negara untuk mencapai tujuan bersama didirikannya sebuah negara. Pemerintah, melalui aparat dan alat-alat negara, yang menetapkan hukum, melaksanakan ketertiban dan keamanan, mengadakan perdamaian dan lainnya dalam rangka mewujudkan kepentingan warga negaranya yang beragam. Untuk mewujudkan dan melayani kepentingan warga negaranya, Pemerintah melakukan berbagai langkah dan upaya terencana dan sistematis. Langkah dan upaya itulah yang                                                              37 Wawancara-tertulis pada 6 Desember 2009. 
  • 55.   41 dinamakan pembangunan. Sementara itu, pembangunan juga merupakan paradigma yang biasa dipakai oleh negara-negara dunia ketiga atau negara berkembang yang baru bangkit pasca Perang Dunia II. Kata ini sejalan dengan teori development- talisme atau modernisasi di Barat. Tetapi kata ‘pembangunan’ di Indonesia telah disalahartikan dengan lebih politis, yakni ketika masa Orde Baru, dimana kata itu seakan-akan telah diakuisisi sebagai trademark pemerintahannya. Maka dikenallah REPELITA dan PELITA lima tahunan itu. Dikatakan Mansour Fakih: Sejak tahun 1967, pemerintahan militer di Indonesia di bawah Soeharto menjadi pelaksana teori pertumbuhan Rostow ini dan menjadikannya landasan pembangunan jangka panjang Indonesia yang ditetapkan secara berkala untuk waktu lima tahunan, yang terkenal dengan Pembangunan Lima Tahun (PELITA). Dengan demikian, selama pemerintahan Orde Baru, Indonesia sepenuhnya mengimplementasikan teori pembangu- nan kapitalistik yang bertumpu pada ideologi dan teori modernisasi dan adaptasi serta implementasi teori pertum- buhan itu.38 Hingga saat ini Indonesia masih terus membangun. Meski tanpa PELITA dan GBHN, Pemerintah tetap membuat rencana capaian pembangunan yang dikenal dengan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) yang dibuat lima tahunan. Untuk merealisasikan rencana tersebut, Pemerintah sangat memerlukan adanya stabilitas sosial, politik dan keamanan nasioanal. Stabilitas tersebut merupakan prasyarat adanya pembangunan. Karena tanpa adanya keamanan, misalnya, Pemerintah tidak dapat membangun infrastruktur dan berbagai fasilitas yang dibutuhkan masyarakat. Demikian pula, tanpa keamanan, investor asing yang ingin turut membangun negeri tidak dapat berinvestasi.                                                              38 Dr. Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: INSIST Press dan Pustaka Pelajar, 2002. Hlm. 57 
  • 56.  42  Singkat kata, paradigma yang dianut Pemerintah adalah paradigma pembangunan, yang untuk ini sangat memper- syaratkan adanya stabilitas sosial, politik, dan keamanan masyarakat. Stabilitas tersebut dapat terejawantah dengan adanya keteraturan melalui berbagai peraturan perundangan dan kebijakan Pemerintah, demi ketenteraman dan ketertiban. ‘Pemerintah’ dalam Konteks Dalam penelitian ini, Pemerintah diwakili oleh 4 institusi, yaitu: Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, Kepoli- sian RI, dan Kejaksaan Agung RI. Keempat institusi ini perlu dikenali, tertutama pada tugas, fungsi, visi, misi, dan program kegiatannya untuk melihat gambaran tentang perannya dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia. Berikut profil mereka. Departemen Agama Bagian dari aparat pemerintah yang membidangi masalah agama adalah Departemen Agama. Departemen ini dipimpin oleh seorang Menteri Agama, seorang Sekretaris Jenderal dan sejumlah Eselon I, yakni: Direktur Jenderal Bimbingan Agama Islam, Direktur Jenderal Bimbingan Agama Kristen, Direktur Jenderal Bimbingan Agama Katolik, Direktur Jenderal Bimbingan Agama Hindu, Direktur Jenderal Bimbingan Agama Buddha, Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh, dan Kepala Badan Litbang dan Diklat. Departemen Agama pusat berkantor di Jalan Lapangan Banteng Barat No. 3-4 Jakarta Pusat. Beberapa eselon I dan II berada di luar komplek kantor pusat ini, yakni Pusat Kerukunan Umat Beragama yang berkantor di Jl. Kramat Raya, Jakarta; Badan Litbang dan Diklat yang berkantor-sementara di Gd. Bayt Al-Qur’an Komplek TMII Jakarta Timur; dan Inspektorat Jenderal Departemen Agama yang berkantor- sementara di Jl. Cipete Raya, Jakarta Selatan. Dua yang terakhir
  • 57.   43 ini semula berkantor-tetap di Jl. M.H. Thamrin (gedung lama Departemen Agama), namun kantor tersebut saat ini sedang dalam proses renovasi. Tugas dan Fungsi Departemen ini mempunyai tugas pokok membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerin- tahan di bidang keagamaan, dan memiliki fungsi menyeleng- garakan hal-hal berikut: 1. Perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis di bidang keagamaan; 2. Pelaksanaan urusan Pemerintah di bidang keagamaan; 3. Pengelolaan barang milik/kekayaan Negara; 4. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidang pembinaan kehidupan keagamaan; dan 5. Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran dan pertimbangan di bidang pelaksanaan tugas dan fungsi Departemen kepada Presiden. 39 Visi dan Misi Adapun visi yang diusung Departemen Agama, sebagaimana ditegaskan di dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 8 Tahun 2006, adalah “terwujudnya masyarakat Indonesia yang taat beragama, maju, sejahtera, dan cerdas serta saling menghormati antar sesama pemeluk agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Untuk mewujudkan visi tersebut, dibuat sejumlah misi (yang juga termuat di dalam PMA yang sama), sebagai berikut: 1. Meningkatkan kualitas bimbingan, pemahaman, pengamalan, dan pelayanan kehidupan beragama; 2. Meningkatkan pengha- yatan moral dan etika keagamaan; 3. Meningkatkan kualitas pendidikan umat beragama; 4. Meningkatkan kualitas penye- lenggaraan haji; 5. Memberdayakan umat beragama dan lembaga keagamaan; 6. Memperkokoh kerukunan umat                                                              39 Selengkapnya tugas pokok dan fungsi diatur di dalam Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama. 
  • 58.  44  beragama; dan 7. Mengembangkan keselarasan pemahaman keagamaan dengan wawasan kebangsaan Indonesia. Program terkait Kerukunan Umat Beragama Departemen Agama menegaskan dua kebijakan besar dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, yaitu: (1) Memberdayakan masyarakat, kelompok-kelompok agama, serta pemuka agama untuk menyelesaikan sendiri masalah kerukunan umat beragama (KUB), dan (2) Memberikan rambu- rambu dalam pengelolaan kerukunan umat beragama. Sejalan dengan tugas-fungsi serta visi-misi di atas, Departemen Agama juga melakukan sejumlah kegiatan yang mengejawantahkan harapan dan misi tersebut. Diantara program-program yang berkaitan dengan upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah sebagai berikut: 1. Pening- katkan pemahaman keagamaan yang moderat; 2. Perubahan paradigma pendekatan dalam membangun kerukunan antar umat beragama dari pendekatan formal, struktural menjadi pendekatan humanis-kultural; 3. Penanganan daerah konflik; 4. Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB); 5. Orientasi pemberdayaan tenaga rekonsiliasi; 6. Peningkatan wawasan multikultural bagi para guru agama; 7. Peningkatan wawasan kerukunan bagi para penyiar agama; 8. Perkemahan pemuda lintas agama; dan 9. Temu karya pemuda lintas agama40 Adapun upaya-upaya yang dilakukan dalam mendorong kerukunan umat beragama, adalah sebagai berikut:41 1. Memperkuat landasan/dasar-dasar (aturan/etika bersama) tentang kerukunan internal dan antar umat beragama                                                              40 Lihat, Pemaparan (slide) berjudul “Kebijakan Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama di Indonesia”, yang disampaikan oleh Kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Prof. DR. HM. Atho Mudzhar, dalam berbagai acara/seminar terkait pemeliharaan kerukunan umat beragama.  41 Ibid. 
  • 59.   45 2. Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional dalam bentuk upaya mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun dalam bingkai teologi yang ideal untuk menciptakan kebersamaan dan sikap toleransi 3. Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif dalam rangka memantapkan pendalaman dan penghayatan agama serta pengamalan agama yang mendukung bagi pembinaan kerukunan hidup intern dan antar umat beragama 4. Melakukan eksplorasi secara luas tentang pentingnya nilai- nilai kemanusiaan dari seluruh keyakinan plural umat manusia 5. Melakukan pendalaman nilai-nilai spiritual yang implemen- ttatif bagi kemanusiaan yang mengarahkan kepada nilai- nilai Ketuhanan 6. Mengembangkan wawasan multikultural bagi segenap unsur dan lapisan masyarakat 7. Menumbuhkan kesadaran dalam masyarakat bahwa perbedaan adalah suatu realita dalam kehidupan bermasya- rakat, oleh karena itu hendaknya hal ini dapat dijadikan mozaik yang dapat memperindah fenomena kehidupan beragama. Departemen Dalam Negeri Berkantor di Jl. Medan Merdeka, Departemen Dalam Negeri dipimpin oleh seorang Menteri Dalam Negeri, dengan seorang Sekretaris Jenderal, dan sejumlah eselon I, seperti Direktur Jenderal Otonomi Daerah, dan Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik. Terkait dengan LSM, pada Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri ini terdapat Direktorat Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan dan Politik, lebih spesifik lagi, Sub Direktorat Fasilitasi Organisasi Keagamaan dan LSM, yang memiliki tugas dan fungsi
  • 60.  46  salahsatunya melakukan pendataan, pembinaan, dan penga- wasan terhadap ormas-ormas keagamaan dan LSM-LSM.42 Departemen Dalam Negeri mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerin- tahan di bidang urusan dalam negeri. Fungsi-fungsi yang diampunya adalah sebagai berikut: a. Pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang urusan dalam negeri dan otonomi daerah; b. Pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas serta pela- yanan administrasi Departemen; c. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan terapan serta pendidikan dan pelatihan tertentu dalam rangka mendukung kebijakan di bidang urusan dalam negeri dan otonomi daerah; d. Pelaksanaan pengawasan fungsional. Visi dan Misi Visi yang ingin dicapainya adalah “terwujudnya penye- lenggaraan pemerintahan yang desentralistik, sistem politik yang demokratis, pembangunan daerah dan pemberdayaan masyarakat dalam wadah NKRI.” Adapun misi yang diembannya adalah menetapkan kebijaksanaan nasional dan memfasilitasi penyelenggaraan pemerintahan dalam upaya : 1. Memelihara dan memantapkan keutuhan NKRI; 2. Memelihara ketentraman dan ketertiban umum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara: 3. Memantapkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan yang desentralistik;.                                                              42 Wawancara dengan Drs. Denty Ierdan, Kasubdit Fasilitasi Ormas Keagamaan dan LSM, pada 20 Desember 2009. 
  • 61.   47 4. Memantapkan pengelolaan keuangan daerah yang efektif, efisien, akuntabel dan auditabel; 5. Memantapkan sistem politik dalam negeri yang demokratis dalam negara kesatuan republik indonesia; 6. Meningkatkan keberdayaan masyarakat dalam aspek ekonomi, sosial budaya, dan politik; 7. Mengembangkan keserasian hubungan pusat-daerah, antar daerah dan antar kawasan, serta kemandirian daerah dalam pengelolaan pembangunan secara berkelanjutan dan berbasis kependudukan. Selain visi dan misi tersebut, Departemen Dalam Negeri juga menetapkan strategi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi- nya. Strategi dimaksud adalah menetapkan kebijaksanaan nasional dan memfasilitasi penyelenggaraan pemerintahan dalam upaya: 1. Menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2. Memantapkan efektifitas pemerintahan daerah; 3. Memberdayakan masyarakat; 4. Mengembangkan keserasian hubungan pusat-daerah serta keserasian antar daerah dan antar kawasan; dan 5. Memelihara ketentraman dan ketertiban umum dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Program Strategis Kemudian, mengacu pada visi, misi, tujuan, sasaran dan kebijakan, Departemen Dalam Negeri menetapkan 13 program strategis yang terbagi atas 8 program utama dan 5 program penunjang. Yang termasuk program utama adalah: 1. Program penguatan integrasi nasional; 2. Program pengembangan mana- jemen perlindungan dan ketentraman masyarakat, serta ketertiban umum; 3. Program fasilitas dan pemantapan implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah; 4. Program pemantapan pengelolaan keuangan daerah; 5. Program pengembangan kelembagaan dan sistem politik
  • 62.  48  demokratis: 6. Program peningkatan keberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan: 7. Program pembinaan pembangunan daerah dan wilayah; dan 8. Program pengem- bangan dan pembinaan administrasi kependudukan. Sedangkan program penunjang, adalah: 1. Program pengembangan kerjasama internasional; 2. Program pembinaan dan penegakan hukum serta peningkatan kepemerintahan yang baik; 3. Program penelitian dan pengembangan pemerintahan dan politik dalam negeri; 4. Program pening- katan kapasitas SDM aparatur; dan 5. Program peningkatan kelembagaan pengelolaan sumber daya alam dan konservasi lingkungan. 3. Kepolisian Negara Republik Indonesia43 Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah kepolisian nasional di Indonesia, yang bertanggung jawab langsung di bawah Presiden. Unsur pimpinan Mabes Polri adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), yang dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh Wakil Kapolri (Wakapolri), serta sejumlah unsur pembantu pimpinan dan staf pelaksana. Visi dan Misi Polri yang mampu menjadi pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat yang selalu dekat dan bersama-sama masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang profesional dan proposional yang selalu menjunjung tinggi supermasi hukum dan hak azasi manusia, pemelihara keamanan dan ketertiban serta mewujudkan keamanan dalam negeri dalam suatu kehidupan nasional yang demokratis dan masyarakat yang sejahtera.                                                              43 Informasi utama pada bagian ini diambil dari situs resmi Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang beralamat di: www.polri.go.id dan ensiklopedia bebas www.wikipedia.com. 
  • 63.   49 Adapun misi Polri adalah sebagai berikut: 1. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (meliputi aspek security, surety, safety dan peace) sehingga masyarakat bebas dari gangguan fisik maupun psikis; 2. Memberikan bimbingan kepada masyarakat melalui upaya preventif yang dapat meningkatkan kesadaran dan kekuatan serta kepatuhan hukum masyarakat (law abiding citizenship); 3. Menegakkan hukum secara profesional dan proporsional dengan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak azasi manusia menuju kepada adanya kepastian hukum dan rasa keadilan; 4. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dengan tetap memperhatikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam bingkai integritas wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia; 5. Mengelola SDM Polri secara profesional dalam mencapai tujuan Polri yaitu terwujudnya keamanan dalam negeri sehingga dapat mendorong meningkatnya gairah kerja guna mencapai kesejahteraan masyarakat; 6. Meningkatkan upaya konsolidasi ke dalam (internal Polri) sebagai upaya menyamakan visi dan misi Polri ke depan; 7. Memelihara soliditas institusi Polri dari berbagai pengaruh eksternal yang sangat merugikan organisasi; 8. Melanjutkan operasi pemulihan keamanan di beberapa wilayah konflik guna menjamin keutuhan NKRI; dan 9. Meningkatkan kesadaran hukum dan kesadaran berbangsa dari masyarakat yang berbhineka tunggal ika. Dalam rangka mewujudkan visi dan misi Polri tersebut di atas, telah ditetapkan sasaran yang hendak dicapai, yaitu: a. Di bidang kamtibmas: tercapainya situasi kamtibmas yang kondusif bagi penyelenggaraan pembangunan nasional; terciptanya suatu proses penegakan hukum yang konsisten dan berkeadilan, bebas KKN dan menjunjung tinggi hak azasi manusia; terwujudnya aparat penegak hukum yang memiliki integritas dan kemampuan profesional yang tinggi serta mampu bertindak tegas adil dan berwibawa; kesadaran