1. DARI PALIMBUNGAN ACEH BARAT UNTUK INDONESIA
RAPAI CEBREK BERUSIA 400 TAHUN, WARISAN BUDAYA BANGSA
*) Kris Bheda Somerpes (blogger)
BAB I:
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Sejarah adalah ruang organis, sesuatu yang hidup. Sebagai kesatuan organis, sejarah
tidak hanya menjadi storia (kisah) tetapi juga menjadi Geschichte (yang
didokumentasikan dan diceritakan, serta diinterpretasikan). Sejarah tidak hanya
berhubungan dengan fakta-fakta historis yang terungkap dalam dokumen-dokumen dan
peninggalan masa lampau, yang dipelajari, ditafsirkan dan diberi arti demi membantu
pemahaman manusia tentang dirinya, tetapi juga menjadi proses. Sejarah patut
dipahami juga sebagai proses perkembangan yang menandai hakikat manusia yang
hidup dalam ruang dan waktu yang terarah ke masa depan, tetapi senantiasa berakar
pada masa lampau dan berlangsung pada masa kini.
Berangkat dari makna sejarah di atas penelitian sejarah, secara khusus
pendokumentasian atas peninggalan budaya yang hampir punah menjadi penting untuk
dilakukan. Hal ini bertujuan selain memberikan gambaran yang utuh tentang
perkembangan sejarah sebuah wilayah atau daerah juga dimaksudkan untuk
memberikan makna atas pekembangan peradaban sebuah bangsa.
Penulis melihat bahwa Nanggroe Aceh Darusallam, secara khusus Aceh Barat
menyimpan banyak potensi sejarah dan warisan budaya, salah satu di antaranya
adalah, yang selanjutnya akan menjadi fokus pembahasan makalah ini adalah Sejarah
Rapai Cebrek di desa Palimbungan Kawai XVI yang berusia hampir 400 tahun. Melalui
dan dalam penelitian kecil ini, di bawah judul “RAPAI CEBREK BERUSIA 400
TAHUN, WARISAN BUDAYA BANGSA DARI PALIMBUNGAN ACEH BARAT
UNTUK INDONESIA” penulis berharap bahwa potensi dan kekayaan budaya Aceh
Barat dapat memberikan sumbangsih sekaligus makna yang lebih atas penguatan
pilar/sendi budaya dan perkembangan peradaban bangsa kita.
RUMUSAN MASALAH
1|Rapai Cebrek, Rapai Berusia 400 Tahun
2. Titik tolak pertama dalam pembahasan makalah ini berangkat dari kecemasan penulis
atas perkembangan dan sejarah serta warisan budaya daerah yang hampir punah,
lantaran pengaruh masuknya budaya-budaya asing/barat yang tidak disari-cerna secara
bijak. Di tengah pusaran arus modernisasi, tanpa sadar sebenarnya kekayaan nilai
kelokalan kita tercerabut akar-akarnya, selanjutnya kita secara diam-diam dihasut untuk
mengatut system nilai yang sebenarnya bertentangan dengan jati diri kita. Padahal jika
diteliti secara cermat, potensi budaya dan tradisi daerah kita masing-masing
mengandung banyak keutamaan-keutamaan yang dapat dijadikan rujukan dan
pegangan untuk menata kehidupan yang lebih baik.
Hal kedua yang mau dijelaskan secara panjang lebar dalam makalah ini adalah secara
khusus tentang sejarah Rapai Cebrek yang berusia 400 tahun. Apa kekhasan dan
kekhususan Rapai Cebrek dalam perjalanan sejarahnya, bagaimana Rapai Cebrek
berpengaruh dalam membentuk system nilai, menguatkan sendi-sendi sosial, moral dan
peradaban, serta selanjutnya bagaimana seharusnya warisan budaya seperti Rapai
Cebrek ini dijaga dan dirawat: siapa dan seperti apa?
TUJUAN PENULISAN DAN PENELITIAN
Seperti yang sudah disinggung secara sepintas pada bagian lantar belakang bahwa
penelitian sederhana ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang utuh atas
potensi dan kekayaan warisan budaya di Aceh Barat. Penulis berharap bahwa potensi
dan kekayaan budaya Aceh Barat dapat memberikan sumbangsih sekaligus makna yang
lebih atas penguatan pilar/sendi budaya dan perkembangan peradaban bangsa kita
Di bawah tujuan umum di atas sebenarnya ada dua tujuan khusus yang mau dicapai
penulis, yakni pertama, secara teoretis penelitian ini dapat menjadi bagian dari sebuah
catatan dan atau pendokumentasian sejarah, yang diharapkan dapat diketahui, dibaca
dan ditafsirkan secara kontekstual oleh para peneliti sejarah dan budaya. Kedua,
secara praktis mau menunjukkan kepada kita semua, sebagai missal sebuah promosi
budaya, bahwa ada warisan budaya di Aceh Barat yang berusia ratusan tahun yang
hingga kini masih ada dan dijaga secara baik, walaupun maksimal untuk dikmbangkan
dan dipromosikan.
BAB II:
RAPAI BERUSIA 400 TAHUN
DESA PALIMBUNGAN
2|Rapai Cebrek, Rapai Berusia 400 Tahun
3. Rapai Cebrek sekarang berada di desa Palimbungan, Kecamatan Kawai XVI Kabupaten
Aceh Barat propinsi Nanggroe Aceh Darusallam yang dijaga dan dirawat oleh Syech
Usman. Sebagaimana halnya mayoritas penduduk Palimbungan yang sehari-harinya
bekerja sebagai petani sawah dan ladang, Syech kelahiran 1 Juli 1960 ini juga adalah
seorang petani. Namun demikian sebagai pewaris Rapai Cebrek yang memiliki makna
sejarah, nilai pemersatu gampoeng (kampong), Syech Usman adalah juga seorang
sesepuh di desa Palimbungan.
ASAL MULA RAPAI CEBREK
Syech Usman, generasi kelima pewaris tunggal Rapai Cebrek mengisahkan bahwa
beliau diamanatkan ayahnya yang bernama Syech Basah untuk menjaga Rapai Cebrek
dan mewariskan sejarah tarian rapai duablah (dua belas) yang nyaris punah.
Pada mulanya, menurut Syech Usman. Di Palimbungan terdapat sebatang pohon
Cebrek tua yang tumbang melintang membelah krueng (sungai) Palimbungan. Haji Ben,
yang kebetulan melintas di tepi krueng tidak membiarkan Cebrek itu hanyut. Beliau
memotong selanjutnya membentuknya menjadi kerangka rapai. Kulit rapai diambilnya
dari kulit seekor kambing jantan dengan „bule seribe‟ warna (berbulu seribu).
Maksudnya kambing yang memiliki bulu bercorak banyak atau banyak warna.
Sudah sejak Haji Ben membuat rapai dari pohon Cebrek dan dipentaskan dalam setiap
tarian rapai dua blah, grup tari Haji Ben tidak pernah kalah, selalu menang, sehingga
membuatnya sangat terkenal di Aceh Barat. Lantaran itu, Rapai Cebrek diyakini
memiliki kekuatan tersendiri secara supranatural. Karena selain selalu menang dalam
setiap perlombaan, juga memberikan makna pemersatu dan kekuatan moral bagi
penduduk Palimbungan.
Namun, ketika rapai Cebrek sampai ke generasi Syech Usman, Syech Usman tidak
pernah menggunakannya lagi untuk ditabuh. “Kecuali kalau ada hajatan di
gampoeng, maka saya akan menggunakannya. Dan itu pun ditabuh secara perlahan
sebanyak tujuh kali di telinga orang yang melaksanakan hajatan seperti penikahan atau
sunatan‟ kata Syech Usman.
KEUNIKAN RAPAI CEBREK
Kekhasan dan keunikan sejarah rapai Cebrek dapat penulis gambarkan dalam tabel
tokoh-tokoh pewaris berikut ini:
Gene- Penemu/ Posisi Dalam
rasi Pewaris Keluarga Usia Keturunan
I Haji Ben Anak laki-laki +/- 80 Aceh Utara, selanjutnya
3|Rapai Cebrek, Rapai Berusia 400 Tahun
4. sulung thn menetap di Palimbungan
Anak laki-laki +/- 90 Lahir dan dibesarkan di
II Sulaiman Pase
sulung thn Palimbungan
Anak laki-laki +/- 70 Lahir dan dibesarkan di
III Khalifah Ben
sulung thn Palimbungan
Anak laki-laki +/- 80 Lahir dan dibesarkan di
IV Syech Basah
sulung thn Palimbungan
Anak laki-laki Msh Lahir dan dibesarkan di
V Shech Usman
sulung hidup Palimbungan
Tiga anak perempuan Syech Usman - Lahir dan dibesarkan di
VI
Palimbungan
Seperti yang tercatat dalam tabel di atas bahwa Haji Ben merupakan penemu Rapai
Cebrek. Beliau merupakan keturunan dari Aceh Utara yang datang ke Palimbungan
Kawai XVI untuk membuka lahan dan berkebun. Dalam keluarga, Haji Ben adalah anak
laki-laki sulung dan anak sulung. Inilah kekhasan dalam pewarisan Rapai Cebrek dari
Haji Ben sampai Syech Usman bahwa rapai Cebrek diwariskan oleh anak laki-laki dalam
keluarga yang secara bersamaan merupakan anak sulung.
Namun baru setelah generasi kelima memasuki generasi keenam, Rapai Cebrek seperti
berhenti, lantaran anak-anak Syech Usman semuanya adalah perempuan. Menurut
Syech Usman, ini menjadi tanda seperti berakhirnya sebuah sejarah pewarisan. Namun
di tengah kecemasan tersebut Syech Usman masih percaya kedua putrinya masih bisa
meneruskan dan mewariskan warisan budaya tersebut.
MAKNA KEBERADAAN RAPAI CEBREK
Ada tiga makna dan nilai yang hendak disampaikan dari dan dalam keberadaan Rapai
Cebrek. Yakni sebagai berikut:
• Makna Historis dan Cultural (sejarah dan budaya)
Rapai Cebrek telah melewati sejarah yang panjang. Sebagai satu-satunya
warisan budaya yang langka, Rapai Cebrek tidak hanya selamat dari gempuran
arus modernisasi yang kian secular dan tidak bermakna, tetapi juga selamat dari
konflik Aceh yang berkepanjangan. Jika dihitung secara matematis, itu artinya
sudah sejak zaman belanda sampai dengan masa pemberontakan Gerakan Aceh
Merdeka, Rapai Cebrek tetap dijaga sebagai pusaka.
Perjalanan panjang sejarah Rapai Cebrek ini menunjukkan secara jelas kekuatan
sejarah, tradisi dan budaya bahwa keutamaan dan jati diri budaya dan
peradaban tidak akan pernah musnah sekalipun diterjang oleh arus zaman dan
konflik yang berkepanjangan. Sejarah dan tradisi serta budaya selalu keluar
menjadi pemenang, bukan hanya untuk menunjukkan martabat sebuah daerah
atau wilayah, tetapi juga martabat sebuah keberadaan dan peradaban.
4|Rapai Cebrek, Rapai Berusia 400 Tahun
5. • Makna Moral dan Sosial
Rapai Cebrek juga diyakini memberikan kekuatan social yakni memberikan
persatuan dan perdamaian. Rapai Cebrek dalam perjalanan sejarahnya tidak
hanya mengangkat moral social penduduk desa Palimbungan akan tarian rapai
dua blah-nya tetapi juga menjadi pengikat dan pengerat jalinan social
masyarakat Aceh Barat pada zamannya.
Inilah sesungguhnya peran dari sejarah, makna dari sebuah tradisi dan nilai dari
sebuah warisan budaya. Bahwa selain meletakan sebuah wilayah dan atau
daerah pada tempat yang bermartabat dan beradab, juga pada saat yang sama
memancarkan nilai-nilai social, seperti persatuan, perdamaian, kesetaraan,
keharmonisan dan juga penghargaan atas budaya. Rapai Cebrek dengan
demikian secara tidak langsung mengajarkan kepada generasi penerus perihal
pernghargaan terhadap budaya dan jati diri bangsa.
• Makna Religius (keagamaan)
Menurut Syech Usman, Rapai Cebrek selalu menjadi medium perjumpaan antara
manusia dengan Allah. Rapai Cebrek selalu hadir dalam setiap hajatan
masyarakat Palimbungan baik dalam upacara penikahan, turun anak maupun
sunatan. Hal ini selain memberikan kekuatan kepada masyarakat perihal
keharmonisan kedekatan manusia dengan Allah, juga pada saat yang sama
memberikan makna bahwa Allah Swt adalah segala-galanya, empunya kehidupan
dan penciptaan semesta.
KECEMASAN DAN KENDALA DALAM UPAYA PEWARISAN
Kecemasan dan kendala terbesar yang dihadapi Syech Usman dalam upaya pewarisan
Rapai Cebrek mencakup tiga hal penting yakni:
• Penerus atau Pewaris
Menurut Syech Usman, perjalanan sejarah Rapai Cebrek sepertinya berhenti
pada generasinya. Dalam berbagai kesempatan Rapai Cebrek yang dipentas-
tarikan dalam rapai dua blah jarang ditampilkan. Lantaran usianya yang sudah
tua dan penyakit mata yang dideritanya. Menurut Syech Usman, ketika Rapai
Cebrek sampai di tangannya, dia lebih banyak mengistirahatkan Rapai Cebrek.
Rapai Cebrek baru akan keluar dari rumahnya apabila ada hajatan gampoeng
(kampong).
Kecemasan dan kendala lain yang dihadapi Syech Usman dalam pewarisan Rapai
Cebrek adalah ketika Rapai Cebrek akan sampai ke tangan anak-anaknya. “Tapi,
saya tidak punya anak laki-laki. Tiga anak saya adalah perempuan. Apakah ini
artinya sudah habis masanya?” keluhnya ketika penulis mewawancarainya.
5|Rapai Cebrek, Rapai Berusia 400 Tahun
6. • Minat Generasi Muda
Tantangan lain yang sudah menjadi rahasia umum dan tantangan budaya secara
luas adalah minat generasi muda yang kian berkurang terhadap tradisi dan
budaya sendiri. Terbukanya arus komunikasi dan informasi serta pengaruh-
pengaruh pop yang datang dari luar yang selanjutnya diterima secara
serampangan, menegaskan bahwa budaya dan tradisi sendiri sebagai yang tidak
berguna dan dipandang kolot.
Menurut Syech Usman, generasi muda sudah tidak lagi berminat berlatih rapai
dua blah apalagi menabuh Rapai Cebrek karena dianggap bukan tarian modern.
Banyak generasi muda, termasuk generasi muda Palimbungan lebih tertarik
dengan music dan tradisi popular seperti tarian kreasi baru dan music pop.
Kalaupun ada generasi muda yang berlatih tarian rapai dua blah, itu pun kalau
ada perlombaan, bukan untuk dihayati dan dimaknai. “Banyak anak-anak muda
sekarang yang berlatih rapai, tetapi semangat dan roh yang ada di dalam rapai
belum seluruhnya diserap” keluh Syech Usman.
• Kurangnya Dukungan
Selain minat generasi muda yang kurang terhadap tradisi dan budaya sendiri,
sebenarnya tantangan lain yang dihadapi Syech Usman adalah tidak adanya
dukungan dari pegiat seni, pelaku seni dan juga pemerintah dalam mengangkat
tradisi-tradisi yang hamper punah seperti Rapai Cebrek.
Dalam berbagai kesempatan seperti pameran datau promosi budaya, Rapai
Cebrek tidak pernah diikutsertakan. Hal ini tidak hanya menjadi pukulan
tersendiri bagi Syech Usman, tetapi juga menjadi pukulan berat bagi nilai,
khasanah dan potensi budaya sebuah budaya.
UPAYA PEWARISAN YANG TELAH DILAKUKAN
Di tengah kecemasan dan kendala yang dihadapi, Syech Usman sesungguhnya yakin
dan optimis bahwa keutamaan sebuah warisan budaya, kesakralan sebuah sejarah
tidak akan musnah begitu saja. Lantaran itu, sampai hari ini Syech Usman, walaupun
menghadapi banyak tantangan terus berjuang mewariskan dan memperkenalkan Rapai
Cebrek.
Tiga hal yang sudah dilakukan sebagai upaya menjaga dan mewariskan sejarah Rapai
Cebrek adalah sebagai berikut:
• Mengajarkan kepada anak-anaknya tentang makna dan nilai
Syech Usman optimis bahwa Rapai Cebrek akan tetap menjadi nyawa bagi warga
dan gampoeng (kampong) Palimbungan. “Saya yakin, tentang rapai Cebrek,
walaupun sampai ke tangan anak-anak saya yang perempuan, saya yakin
6|Rapai Cebrek, Rapai Berusia 400 Tahun
7. mereka bisa melanjutkan dan meneruskan kekuatan Rapai Cebrek ini. Mereka
bisa menjaga kedewasaan gampoeng Palimbungan ini”.
Lantaran itu dalam berbagai kesempatan hajatan gampoeng, Syech Usman tidak
hanya mengikutsertakan anak-anaknya tetapi juga mengajarkan kepada anak-
anakknya perihal ritualisasi penggunaan Rapai Cebrek. “Anak-anak saya sudah
bisa berjalan sendiri dan membuat upacara sendiri” demikian kata Syech Usman.
• Sanggar seni
Selain mengajarkan kepada anak-anaknya perihal fungsi dan keutamaan Rapai
Cebrek, Syech Usman dan kawan-kawannya yang tergabung dalam rapai grup
dua blah tetap berusaha mengajarkan tarian rapai dua blah kepada generasi
muda Palimbungan. Dalam dan melalui sanggar seni yang mereka dirikan
diharapkan generasi muda Palimbungan dapat meneruskan roh dan nilai sejarah
kampung mereka.
• Ikut serta dalam pementasan
Pada tahun 2008, Rapai Cebrek pernah diikutsertakan dalam perjalanan promosi
perdamaian yang diselenggarakan oleh Komunitas Seni Damee Meulaboh
bekerjasama dengan Lembada Swadaya Masyarakat SUNSPIRIT, For Justice and
Peace ke Jakarta. Dalam pementasan teater tari yang berjudul „She Lagee‟ yang
dimainkan oleh gabungan para seniman dari 20 gampoeng (kampong) di Aceh
Barat di taman Ismail Marzuki Jakarta, Rapai Cebrek dijadikan mascot utama
sebagai „Panulang Pusaka‟.
Syech Usman berharap bahwa melalui kegiatan-kegiatan seperti promosi budaya,
selain memperkenalkan tentang tradisi sebuah daerah juga mengampanyekan
tentang nilai-nilai budaya yang bisa dimaknai secara bersama-sama untuk
kepentingan bangsa dan Negara.
RAPAI CEBREK, DARI PALIMBUNGAN UNTUK INDONESIA
Menelusuri perjalanan sejarah, makna keberadaannya, tantangan dan peluang yang
dihadapi Syech Usman dalam menerus-wariskan tradisi dan sejarah Rapai Cebrek,
penulis berkeyakinan bahwa sejarah dan tradisi sebuah daerah tidak hanya
menegaskan kekhasan dan keberadaan sebuah wilayah budaya tertentu tetapi juga
memiliki makna dan nilai universal yang bisa dijadikan pegangan sebagai sebuah
bangsa, tetapi juga pembelajaran bagi generasi bangsa akan pentingnya sejarah.
Hal ini tentu saja menjadi pertimbangan tersendiri segenap kita sebagai bangsa. Bukan
merupakan suatu gejala yang baru untuk dikemukakan bahwa warisan budaya dan
seharah bangsa harus diwariskan dengan cara yang baik. Hal ini dimaksudkan sebagai
pengingat untuk generasi yang akan datang akan pentinganya warisan budaya bangsa,
juga sebagai bentuk penghargaan kita terhadap masa depan seharag bangsa.
7|Rapai Cebrek, Rapai Berusia 400 Tahun
8. Bukan tidak mungkin bahwa wariasan budaya bangsa yang sementara ini bertebaran
hampir di sleuruh peunjuru tanaj air tidak dijaga-wariskan secara bijaksana oleh
segenap bangsa. Hal ini disebabkan selain karena keteledoran kita sebagai generasi
penerus bangsa, juga karena kesadaran kita atas makna kebudayaan yang rencah.
8|Rapai Cebrek, Rapai Berusia 400 Tahun