Skripsi ini membahas remisi yang diberikan kepada pelaku pembunuhan menurut Keppres RI No 174 Tahun 1999 dan hukum Islam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketentuan remisi dalam Keppres tersebut dan tinjauan hukum Islam terhadap pemberian remisi kepada pelaku pembunuhan."
1. TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP
PEMBERIAN REMISI KEPADA PELAKU TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN
( Studi Analisis Keppres RI No 174 Tahun 1999 Tentang Remisi )
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh :
MUHAMAD THOHIR
NIM. 072211024
JURUSAN JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH
IAIN WALISONGO SEMARANG
2012
2. Akhmad Arif Junaidi, M.Ag
Jl. Raya Sedayu Indah, Bangetayu Wetan RT 5/II, Genuk Semarang.
Briliyan Erna Wati, SH. M.Hum
Jl. Bukit Agung E.41 Semarang.
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 ( empat ) eks.
Hal : Naskah skripsi
An. Sdr. Muhamad Thohir
Kepada Yth.
Dekan fakultas syariah
IAIN Walisongo Semarang
Di Semarang
Assalamualaikum Wr. Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini
saya kirim naskah skripsi saudara :
Nama : MUHAMAD THOHIR
Nim : 072211024
Jurusan : Siyasah Jinayah
Judul skripsi : Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pemberian
Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (
Studi Analisis Keppres RI No 174 Tahun 1999
Tentang Remisi )
Dengan ini mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera
dimunaqosahkan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima diucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Semarang, 9 Mei 2012
3. KEMENTRIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG
Jl.Raya Boja Km.2 Ngaliyan Telp/Fax. (024) 7601291 Semarang 50185
PENGESAHAN
Nama : MUHAMAD THOHIR
Nim : 072211024
Jurusan : Siyasah Jinayah
Judul skripsi : Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pemberian Remisi
Kepada Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan ( Studi Analisis
Keppres RI No 174 Tahun 1999 Tentang Remisi ).
Telah dimunaqosahkan oleh dewan penguji Fakultas Syariah Institut Agama Islam
Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude / baik /
cukup, pada tanggal : 11 Juni 2012
Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana strata 1 tahun
akademik 2012/2013.
4. DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis
menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah
atau pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Dengan
demikian skripsi ini tidak berisi satupun pikiran orang lain,
kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang
menjadi bahan rujukan.
Semarang, 11 Mei 2012
Deklarator,
Muhamad Thohir
NIM. 072211024
5. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya,
hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diyat) kepada yang
memberi ma'af dengan cara yang baik (pula)....
( QS. Al Baqarah : 178)
6. ABSTRAK
Remisi merupakan pengampunan hukuman yang diberikan kepada
seseorang yang dijatuhi hukuman pidana yang berupa pengurangan masa
hukuman. Remisi diberikan kepada nara pidana dan anak pidana yang melakukan
tindak pidana salah satunya pelaku tindak pidana pembunhan, Kewenangan
pemberi remisi dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Remisi
diberikan kepada anakpidana maupun narapidana yang berkelakuan baik sesuai
dengan peraturan yang berlaku..Remisi di Indonesia diatur dalam Keppres RI No
174 Tahun 1999 yang didalamnya mengatur tentang jenis, syarat, banyaknya
remisi yang diterima, dan sebagainya.Dengan adanya remisi maka putusan hakim
yang mempunyai ketetapan akan menjadi berubah. Karena pada akhirnya
terpidana atau pelaku tindak pembunuhan tidak harus menjalani secara penuh
hukuman yang dijatuhkan kepadannya asalkan dia memenuhi syarat untuk
mendapatkan remisi. Tentu ini kurang adil jika dilihat dari pihak korban.
Dalam skripsi ini mencoba menggali dan mengkaji remisi pembunuhan
menurut Keppres RI No 174 Tahun 1999 maupun dalam fiqh jinayah. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui Bagaimana ketentuan remisi yang terdapat dalam
Keppres RI No 174 tahun 1999 dan Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam
terhadap Keppres RI No 174 tahun 1999 terhadap pemberian remisi kepada
pelaku tindak pidana pembunuhan.
Penelitian ini bersifat deskriptif analilitik dan content analitik karena
metode yang dipakai dalam penelitian ini dengan cara mengumpulkan data-data,
menyusun, menjelaskan dan menganalisa yang kemudian diinterpretasikan dan
disimpulkan. Jenis penelitian ini adalah library reseach atau penelitian
kepustakaan dimana data primernya adalah Keppres RI No 174 tahun 1999
Hasil dari penelitian ini pada dasarnya pemberian remisi pembunuhan
menurut Keppres RI No 174 tahun 1999 ini diberikan kepada pelaku setelah ia
mendapatkan putusan atau dengan kata lain setelah ia melaksanakan hukumannya,
remisi penulis kategorikan sebagai mashlahah mursalah karena perbedaan remisi
dengan pengampunan dalam jarimah qishas diyat. Pengampunan dalam jarimah
qishas dan diyat menyerahkan hukuman kepada pihak ahli waris korban meskipun
tetap dalam pengawasan ulil amri sedangkan remisi dari pihak korban tidak
mempunyai kewengan menjatuhkan hukuman karena sudah ada hakim yang
menjalankan proses peradilannya. Selain itu secara tidak langsung putusan hakim
yang mempunyai ketetapan hukum dapat berubah dengan adanya pengurangan
hukuman, tentu dirasa kurang adil bagi pihak korban yang nyata-nyata telah
kehilangan nyawa keluarganya.
Kata kunci: remisi, qishas diyat, hukum islam
8. KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji syukur Alhamdulillahirobbil’alamin penulis ucapkan kehadirat Allah
SWT atas rahmat, hidayah dan karuniaNya, shalawat serta salam penulis haturkan
kepada junjungan kita Nabiullah Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat-
sahabat dan para pengikutnya yang telah membawa Islam dalam memberikan
pencerahan hidup bagi seluruh umat di bumi ini, Sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul: Tinjauan Hukum Pidana
Islam Terhadap Pemberian Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana
Pembunuhan ( Studi Analisis Keppres RI No 174 Tahun 1999 Tentang
Remisi ), dengan baik tanpa banyak kendala yang berarti.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih
payah penulis secara pribadi. Tetapi semua itu merupakan wujud akumulasi dari
usaha dan bantuan, pertolongan serta do’a dari berbagai pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi tersebut. Oleh karena itu, sudah
sepatutnya penulis menyampaikan terimakasih kepada:
1. Prof. DR. Muhibbin. M.Ag, selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang
2. DR. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang dan pembantu-pembantu Dekan yang telah memberikan ijin kepada
penulis untuk menulis skripsi tersebut dan memberikan fasilitas belajar hingga
kini.
3. Drs. M. Solek, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah dan Rustam
DKAH, M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo Semarang.
4. Kedua Pembimbing penulis, Bapak Akhmad Arif Junaidi. M.Ag dan Ibu
Briliyan Erna Wati. SH. M.Hum yang telah memberikan bimbingan dan
pengarahan dengan sabar dan tulus ikhlas.
5. Kedua orang tua penulis beserta segenap keluarga, atas segala doa, perhatian
dan arahan kasih sayangnya yang tidak dapat penulis ungkapan dalam untaian
kata-kata.
9. 6. Teman-teman senasib seperjuangan jurusan Siyasah Jinayah angkatan 2007 ;
Arif, Anita, Fachrudin, Faqeh, Fajrin, Gufron, Ibad, Kholisudin, Khumaeni,
Nasron, Nunik, Khasan, Setyanto, Tegar, Zeni, Farid, Himam, Muhayati, Tri
Wuryani, Mustofa, dll , biarpun kalian berbeda tempat namun tetap dihati.
7. Teman-teman di UKM Binora. Rofik, Aufa, Duki, Rouf, Wuri, Tegar, Olif,
Tresno, Sulaeman dan masih banyak lagi yang penulis tidak dapat sebutkan.
Sukses slalu buat kalian.
8. Dan Seluruh Keluarga Besar Institut Agama Islam Negeri Walisongo
Semarang yang selalu saya banggakan.
Penulis juga menyadari dengan segala kerendahan hati bahwa penulisan
skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, semua kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca yang budiman
pada umumnya. Amin.
Semarang, 11 Mei 2011
Penulis
Muhamad Thohir
NIM. 072211024
10. PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB – LATIN
Sesuai dengan SKB Menteri Agama RI, Menteri Pendidikan
dan Menteri Kebudayaan RI
No. 158/1987 dan No. 0543 b/U/1987
Tertanggal 22 Januari 1988
A. Konsonan Tunggal
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
ا alif tidak dilambangkan Tidak dilambangkan
ب ba b -
ت ta t -
ث sa s s (dengan titik di atas)
ج jim j -
ح ha’ h h (dengan titik di bawah)
خ kha’ kh -
د dal d -
ذ zal ż z (dengan titik di atas)
ر ra r -
ز za ż -
س sin s -
ش syin sy -
11. ص sad S s (dengan titik di bawah)
ض dad D d (dengan titik di bawah)
ط ta T t (dengan titik di bawah)
ظ za Z z (dengan titik di bawah)
ع ‘ain ‘ koma terbalik ke atas
غ gain G -
ف fa F -
ق qaf Q -
ك kaf K -
ل lam L -
م mim M -
ن nun N -
و wawu W -
ه ha H -
ء hamzah َ◌ apostrof
ي ya’ Y
B. Konsonan Rangkap
Konsonan rangkap, termasuk tanda syaddah, ditulis rangkap. contoh :
ا ﺣـﻤﺪ ditulis Ahmadiyyah
C. Ta’ Marbutah di Akhir Kata
12. 1. Bila dimatikan ditulis h, kecuali untuk kata-kata Arab yang sudah terserap
menjadi Bahasa Indonesia, seperti salat, zakat dan sebagainya. Contoh :
ﺟـﻤﺎ ﻋـﺔditulis jama’ah
2. Bila dihidupkan ditulis t, contoh :
ﻛﺮا ﻣـﺔ اﻷ ditulis karamatul-auliya’
D. Vokal Pendek
Fathah ditulis a, kasrah ditulis i, dan dammah ditulis u.
E. Vokal Panjang
Panjang ditulis ā, i panjang ditulis ī dan u panjang ditulis ū, masing-masing
dengan tanda hubung (-) di atasnya.
F. Vokal Rangkap
1. Fathah + ya’ mati ditulis ai, contoh :
ditulis bainakum,
2. Fathah + wawu mati ditulis au, contoh :
ﻗـﻮ لditulis qaul
G. Vokal-vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan
apostrof (‘)
أاﻧﺘـﻢ ditulis a’antum ﻣﺆ ﻧـﺚditulis mu’annas
H. Kata Sandang Alif + Lam
1. Bila diikuti huruf Qamariyyah, contoh :
اﻟﻘـﺮان ditulis al-Qur’an ditulis al-Qiyas
2. Bila didikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggunakan huruf
Syamsiyyah yang mengikutinya, serta menghilangkan huruf l (el)-nya.
اﻟﺴـﻤﺎء ditulis as-Sama اﻟﺸـﻤﺲ ditulis asy-Syams
I. Penulisan huruf kapital
Meskipun dalam sistem tulisan arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
trasliterasi ini huruf tersebut digunakan juga. Penggunaan itu seperti yang
berlaku pada EYD, diantara huruf kapital digunakan untuk menuliskan huruf
awal, nama diri dan permulaan kalimat. Bila nama diri diawali dengan kata
sandang maka yang ditulis menggunakan huruf kapital tetap huruf awal nama
diri tersebut bukan huruf awal kata sandang.
13. J. Kata dalam rangkaian Frasa dan Kalimat
1. Ditulis kata per kata, contoh :
ذوى اﻟﻔـﺮوضditulis zawi al-furud
2. Ditulis menurut bunyi atau pengucaspan dalam rangkaian tersebut,
contoh:
ditulis ahl as-Sunnah
ﻻﺳـﻼم ditulis Syaikh al-Islam atau Syaikhul-Islam
14. DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ………..…………………….…... ii
HALAMAN PENGESAHAN..............................................................….iii
HALAMAN DEKLARASI .................................................................….iv
HALAMAN MOTTO .........................................................................….v
HALAMAN ABSTRAK ....................................................................….vi
HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................….vii
HALAMAN KATA PENGANTAR ................................................…viii
HALAMAN TRANSLITERASI ......................................................…...x
HALAMAN DAFTAR ISI ................................................................…xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………............... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 7
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ............................................... 7
D. Kajian Pustaka …………………………….……………… 8
E. Metode Penelitian ……………………………………....…… 9
F. Sistematika Penulisan ............................................................ 11
BAB II REMISI DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
A. Pengertian Remisi Menurut Hukum Pidana Islam ................ 13
B. Dasar Hukum Remisi dalam Hukum Pidana Islam .............. 14
C. Tindak Pidana Pembunhaan Dalam Hukum Pidana Islam ....18
1. Pengertian Pembunuhan menurut Hukum Pidana Islam ...19
2. Macam-Macam Pembunuhan Menurut Hukum
Pidana Islam ..................................................................... 20
3. Hukuman terhadap pelaku jarimah pembunuhan
menurut hukum pidana islam ............................................ 22
15. BAB III REMISI BAGI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DALAM
KEPPRES RI NO 174 TAHUN 1999
A. Ketentuan tentang Remisi Menurut Keppres RI No 174
Tahun 1999 ........................................................................ 34
B. Pengertian Tindak Pidana Pembuunhan Menurut
Hukum Positif ....................................................................... 40
C. Pembagian Jenis-Jenis Tindak Pidana Pembunuhan
di dalam KUHP ..................................................................... 41
D. Sanksi Pidana menurut Hukum Positif ................................ 51
E. Ketentuan Pemberian Remisi Kepada Pelaku Tindak
Pidana Pembunuhan menurut Keppres Ri No 174
Tahun 1999 ............................................................................ 61
BAB IV ANALISIS PEMBERIAN REMISI TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
A. Analisis Pemberian Remisi Terhadap Pelaku Tindak
Pidana Pembunuhan menurut Keppres RI No 174
Tahun 1999............................................................................. 65
B. Analisis Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap
Keppres RI No 174 Tahun 1999 tentang Pemberian
Remisi kepada Pelaku Tindak Pidana
Pembunuhan .......................................................................... 74
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................... ............................... 85
B. Saran-Saran ........................................................................... 86
C. Penutup .................................................................................. 87
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
16. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hidup tenteram, damai, tertib serta berkeadilan merupakan dambaan setiap
orang yang hidup di dunia ini. Oleh karena itu untuk mewujudkan tujuan tersebut
perlu adanya suatu aturan yang dibuat untuk ditaati dan dijalankan oleh setiap
individu yang tergabung dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Aturan yang
menyangkut kehidupan orang banyak biasa disebut dengan hukum.
Salah satu hukum yang mengatur tentang kehidupan bermasyarakat adalah
hukum pidana. Banyak pengertian mengenai arti dari hukum pidana salah satunya
adalah menurut Pompe yang mengatakan “ Hukum pidana adalah semua aturan
hukum yang menentukan terhadap tindakan apa yang seharusnya dijatuhkan
pidana dan apa macam pidananya yang bersesuaian"1. Sedangkan di dalam Islam,
hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah yaitu segala
ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan
oleh orang-orang mukallaf, sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum
yang terperinci dari Al Qur’an dan hadis.2
Tujuan hukum pada umumnya adalah menegakkan keadilan berdasarkan
kemauan Pencipta manusia sehingga terwujud ketertiban dan ketentraman
1
Siantury, Kanter, Asas-Asas hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta :
Storia Grafika, 2002. h. 14.
2
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam , Jakarta : Sinar Grafika, 2009. h. 1
1
17. 2
masyarakat. Oleh karena itu putusan hakim haruslah mengandung rasa keadilan
agar dipatuhi oleh masyarakat.3
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) maupun di dalam
hukum pidana Islam, tindak pidana mempunyai macam-macam bentuknya,
ancaman hukuman yang diberikanpun berbeda antar satu tindak pidana, baik dari
pidana yang paling ringan maupun yang terberat sekalipun, Salah satu contohnya
adalah tindak pidana pembunuhan. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana ( KUHP ) hukuman bagi tindak pidana pembunuhanpun berbeda antara
pasal satu dengan pasal yang lain, seperti halnya dalam Pasal 338 KUHP
disebutkan “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain diancam
karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun
penjara”,4 tetapi akan berbeda pula hukumannya jika pembunuhan itu didahului
dengan perencanaan seperti dalam Pasal 339 yang diancam dengan hukuman
seumur hidup.
Di dalam KUHP pidana itu terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan
seperti yang telah tercantum dalam Pasal 10 KUHP bahwa pidana pokok terdiri
dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda , pidana tutupan,
dan juga pidana tambahan yang berupa pencabutan hak tertentu, perampasan
barang-barang, dan pengumuman putusan hakim.5 Sedang di dalam hukum pidana
Islam jenis hukuman dibedakan menjadi dua yaitu jarimah hudud dan jarimah
ta’zir. Hudud adalah ketentuan hukuman yang pasti mengenai berat ringannya
hukuman termasuk qishas dan diyat yang tercantum dalam Al Qur’an dan hadis,
3
Ibid. h. 11
4
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, Jakarta ; Rineka Cipta, 2006. h. 134
5
Ibid. h. 6
18. 3
sedangkan ta’zir adalah ketentuan hukuman yang dibuat oleh hakim melalaui
putusannya.6 Pembunuhan termasuk jarimah atau tindak pidana yang diancam
dengan hukuman qishash.
Di dalam hukum pidana Islam pembunuhan dikelompokkan menjadi tiga
yaitu pembunuhan sengaja, pembunuhan tidak sengaja, dan pembunuhan semi
sengaja. Hukum pidana Islam menjatuhkan sanksi pidana yang sangat berat bagi
pelaku pembunuhan yang disengaja. yaitu dengan tindakan hukuman pidana mati
atau hukuman qishash. Namun pelaksanaan hukuman itu diserahkan pada putusan
keluarga si terbunuh, pilihannya apakah tetap dilaksanakan hukuman qishash atau
dimaafkan dengan penggantian berupa diyat atau denda sebesar yang ditetapkan
oleh keluarga si terbunuh. Meskipun keputusan diserahkan kepada keluarga si
terbunuh, tapi adanya hukuman qishash ini ternyata efektif untuk meminimalisir
terjadinya pembunuhan nyawa orang yang tidak bersalah.7
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al Qur’an surat Al Baqarah
ayat 178 :
....
Artinya. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh..
Qishash ialah mengambil pembalasan yang sama. Qishash itu tidak
dilakukan, bila yang membunuh mendapat pema'afan dari ahli waris yang
terbunuh yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. Pembayaran diat
6
Zainudin Ali. Op. cit. h.11
7
Muhammad Amin Suma, Pidana Islam Di Indonesia Peluang, Prospek, Dan Tantangan,
Jakarta:Pustaka Firdaus, 2001. h. 88
19. 4
diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan
yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak
menangguh-nangguhkannya. Bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan
hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si
pembunuh setelah menerima diat, maka terhadapnya di dunia diambil qishaash
dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih. Jadi qishash itu berarti
memberlakukan seseorang sebagaimana orang itu memperlakukan orang lain.8
Didalam hukum pidana Islam juga dikenal dengan adanya gugurnya
hukuman karena sebab tertentu. Gugurnya hukuman disini adalah tidak dapat
dilaksanakannya hukuman-hukuman yang telah dijatuhkan atau diputuskan oleh
hakim, berhubung tempat ( badan atau bagiannya ) untuk melaksanakan hukuman
sudah tidak ada lagi, atau waktu untuk melaksanakannya sudah lewat. Adapun
sebab-sebab gugurnya hukuman tersebut salah satunya adalah adanya
pengampunan.9 Kasus pembunuhanpun, hukum Islam mengenal asas pemaafan
sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam penggalan surat Al
Baqarah 178 yang berbunyi :
.... ....
Artinya :Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari
saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara
yang baik,
8
Ibid. h. 90
9
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Huum Pidana Islam Fiqh Jinayah, Jakarta :
Sinar Grafika, 2006, h.173
20. 5
Memang dalam sejarah hukum pidana di Indonesia, pelaksanaan pidana mati
masih sangat jarang terjadi, dengan alasan kemanusiaan hukuman mati sering
digantikan dengan hukuman penjara. Pidana penjara merupakan salah satu bentuk
pidana perampasan kemerdekaan.10Pidana penjara atau pidana lain yang
menghilangkan kemerdekaan bergerak seseorang, pada akhir tujuannya adalah
melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan.11 Tetapi apakah demikian
yang terjadi di dalam masyarakat, karena dengan berjalannya masa hukuman,
Presiden melalui Menteri Hukum dan HAM setiap tahun ketika hari hari besar
kenegaraan dan hari besar agama memberikan suatu pengurangan masa tahanan
atau yang sering disebut dengan Remisi. Pengertian remisi adalah sebagai
pembebasan hukuman untuk seluruhnya atau sebagian atau dari seumur hidup
menjadi hukuman terbatas yang diberikan setiap tanggal 17 Agustus. 12 Sedangkan
remisi menurut Keppres RI No 174 tahun 1999 adalah pengurangan masa pidana
yang diberikan kepada setiap narapidana bila yang bersangkutan berkelakuan baik
selama menjalani pidananya.13 Dengan demikian maka nararpidana tidak akan
menjalankan hukuman yang diberikan secara penuh sehingga dengan adanya
remisi ini apakah akan membuat jera bagi pelaku tindak pidana untuk tidak
mengulangi perbuatannya lagi atau menjadi residifis.
KUHP dalam penerapannya sudah mulai disesuaikan dengan prinsip
keadilan bagi masyarakat Indonesia, tetapi mengapa putusan seorang hakim yang
mempunyai putusan tetap dapat berubah dan berkurang dengan adanya remisi ini.
10
Sianturi,. Kanter, op.cit. h.467
11
Widiada Gunakaya, Sejarah Dan Konsepsi Pemasyarakatan, Bandung:CV ARMICO,
1988. h.42
12
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986. h. 503
13
Keppres RI No 174 tahun 1999 pasal 1.
21. 6
Padahal pemberian remisi ini tidak melihat dari jenis tindak pidana yang
dilakukan, akan tetapi hanya pada lamanya masa tahanan yang akan dijalani dan
berperilaku baik selama menjalani hukuman. Seperti pada tindak pidana
pembunuhan sekalipun yang tetap mendapat remisi, padahal tindak pidana
pembunuhan ini telah nyata merampas hak hidup orang lain. Tentu muncul
pertanyaan adilkah remisi ini dilihat dari pihak korban? Tentu ini menjadi
persoalan yang tidak hanya dilihat dari satu sudut pandang semata.
Berdasarkan latar belakang yang penulis sampaikan di atas, menarik minat
penulis untuk mengetahui bagimana remisi itu diberikan mengingat hanya
narapidana yang mempunyai syarat-syarat tertentu saja yang bisa mendapatkan
remisi itu lebih-lebih untuk kasus seperti pembunuhan. Selain itu penulis marasa
tertarik untuk mengetahui remisi itu ditinjau dari sudut pandang atau perspektif
hukum pidana Islam ( Fiqh Jinayah ), kemudian penulis mencoba menganalisis
dalam bentuk karya ilmiah yang disusun dalam bentuk skripsi yang berjudul
Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap Pemberian Remisi Kepada Pelaku Tindak
Pidana Pembunuhan ( Studi Analisis Keputusan Presiden RI Nomor 174 Tahun
1999 tentang Remisi )
22. 7
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka penulis
merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Dapatkah ketentuan remisi yang terdapat dalam Keppres RI No 174 tahun
1999 diterapkan kepada pelaku tindak pidana pembunuhan ?
2. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap Keppres RI No 174 tahun
1999 terhadap pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana pembunuhan ?
C. Tujuan dan Manfaat Analisa
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam kajian ini adalah :
1. Untuk mendapatkan pengetahuan mengenai ketentuan remisi yang terdapat
dalam Keppres RI No 174 tahun 1999.
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam terhadap Keppres RI No
174 tahun 1999 terhadap pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana
pembunuhan.
Dengan tercapainya tujuan di atas, diharapkan hasil penelitian ini akan
memperoleh manfaat dan kegunaan sebagai berikut :
1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah dapat memberikan ilmu
pengetahuan baru mengenai pemberian remisi baik dari sudut pandang
hukum pidana Islam maupun hukum pidana di Indonesia.
2. Menjadikan sumber inspirasi dalam rangka memberikan kontribusi ilmiah
mengenai masalah pemberian remisi, sejalan dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia. Dan memperkaya ilmu pengetahuan khususnya mengenai
23. 8
masalah remisi bagi masyarakat awam umumnya yang kurang begitu jelas
tentang pemberian remisi.
D. Kajian Pustaka
Dalam kajian pustaka ini, penulis akan memaparkan tentang beberapa
sumber yang membicarakan masalah tersebut di antaranya :
Skripsi karya Inayatur Rahman mahasiswi Fakultas Syariah Institut Agama
Islam Sunan Ampel Surabaya yang berjudul, ”Tinjauan Filsafat Hukum Islam
Terhadap Pelaksanaan Remisi Bagi Pelaku Tindak Pidana ( Analisis Yuridis
Keppres RI No 174 Tahun 1999 )”. Skripsi ini memberikan gambaran pemberian
remisi menurut filsafat hukum Islam sehingga memberikan perbedaan dengan
skripsi yang penulis buat karena berbeda dalam sudut pandangnya.14
Skripsi Zaenal Arifin, mahasiswa fakultas syariah Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Pemberian Remisi pada Narapidana”. Skripsi ini memberikan gambaran tentang
remisi pada umumnya sehingga belum ada klasifikasi secara khusus terutama
mengenai tindak pidana yang dilakukan. Dengan kata lain skripsi ini hanya
memberikan gambaran umum tentang remisi baik dilihat dari sudut pandang
hukum Islam.15
Skripsi karya Lasiyo mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul “ Pemberian Remisi Terhadap
Koruptor dalam Sudut Pandang Fiqh Jinyah”. Skripsi ini merupakan karya tulis
14
Inayatur Rahman, ” skripsi Tinjauan Filsafat Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan
Remisi Bagi Pelaku Tindak Pidana ( Analisis Yuridis Keppres RI No 174 Tahun 1999
)”, Surabaya : IAIN Sunan Ampel : 2009.
15
Zaenal Arifin, “skripsi Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Remisi Pada
Narapidana, ,Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2009.
24. 9
yang cukup memberikan gambaran mengenai remisi, terutama yang menyangkut
tentang tindak pidana korupsi.16
Dari berbagai kajian di atas jelas membedakan dengan penelitian yang
penulis buat. Hal ini nampak jelas dari permasalahan yang diangkat. Peneliti
dalam tulisan ini mengangkat pemberian remisi terhadap suatu tindak pidana
pembunuhan. Sehingga penelitian tentang Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap
Pemberian Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan ( Studi Analisis
Keputusan Presiden RI Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi ) diharapkan
dapat menambah khasanah ilmu dan wawasan baru terutama di bidang ilmu
hukum pada umumnya.
E. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, yang juga
sering disebut dengan penelitian kepustakaan ( Library Research ), yaitu dengan
melakukan penelitian terhadap sumber-sumber tertulis, maka penelitian ini
bersifat kualitatif. Menurut Bambang Sunggono,SH.,M.S pada penelitian ini
peneliti mencari landasan teoritis dari perrmasalahan penelitiannya sehingga
penelitian yang dilakukan bukanlah aktivitas yang bersifat ” trial and error”.17
Penelitian ini dilakukan dengan mengkaji dokumen atau sumber tertulis seperti
buku, majalah, jurnal dan berbagai sumber lainnya.
2. Sumber Data
16
Lasiyo, Skripsi Pemberian Remisi Terhadap Koruptor Dalam Sudut Pandang Fiqh
Jinyah, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2011.
17
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum , Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
.1998. h. 114
25. 10
Sumber data merupakan bahan-bahan yang diperoleh berdasarkan dari data-
data primer dan sekunder.
1) Data Primer : Keppres RI nomor 174 tahun 1999. sebagai data pokok yang
dianalisis dalam skripsi ini.
2) Data Sekunder : berupa buku-buku atau bahan-bahan hukum yang diambil
dari pendapat atau tulisan-tulisan para ahli dalam bidang remisi untuk
digunakan dalam membuat konsep-konsep hukum yang berkaitan dengan
penelitian ini dan dianggap sangat penting.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini, pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan metode Studi kepustakaan yaitu mendapatkan data melalui bahan-
bahan kepustakaan yang dilakukan dengan cara membaca dan mempelajari
peraturan perundang-undangan, teori-teori atau tulisan-tulisan yang terdapat
dalam buku-buku literatur, catatan kuliah, surat kabar, dan bahan-bahan bacaan
ilmiah yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang diangkat. 18
4. Analisis Data
Adapun untuk menganalisis data, penulis menggunakan deskriptif analisis,
karena sebagian sumber data dari penelitian ini berupa informasi dan berupa teks
dokumen. Maka penulis dalam menganalisis menggunakan teknik analisis
dokumen yang sering disebut content analisys. Disamping itu data yang dipakai
adalah data yang bersifat deskriptif, yang mengungkapkan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian
18
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia,1986. hlm.21
26. 11
dan analisis data yang dipergunakan dengan pendekatan kualitatif terhadap data
primer dan data sekunder.
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Sistematika penulisan memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai hal
yang akan penulis bahas dalam penulisan skripsi ini, yaitu menguraikan isi
penulisan dalam lima bab, dengan sistematika sebagai berikut.
BAB I : Pendahuluan
Dalam bab ini diuraikan mengenai Latar Belakang Masalah, Rumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kajian Pustaka, Metodologi Penelitian,
Sistematika Penulisan Skripsi
BAB II : Remisi Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam
Pada bab dua ini diuraikan Remisi dari sudut pandang Islam yaitu
Pengertian Remisi dalam hukum Islam, Dasar hukum Remisi dalam hukum
pidana Islam, Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Pidana Islam
BAB III : Pemberian Remisi Bagi Tindak Pidana Pembunuhan Menurut
Keppres RI No 174 Tahun 1999
Dalam bab tiga ini diuraikan Ketentuan tentang Remisi menurut Keppres
RI No 174 Tahun 1999 , Pengertian tindak pidana Pembunuhan Menurut Hukum
Positif, Pembagian Jenis-Jenis Tindak Pidana Pembunuhan di dalam KUHP,
Sanksi pidana Menurut Hukum Positif
27. 12
BAB IV : Analisis Hukum Pidana Islam Tentang Pemberian Remisi
Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan.
Dalam bab empat ini berisikan tentang Analisis Ketentuan Pemberian
Remisi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan menurut Keppres RI No 174
tahun 1999 dan Analisis Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Keppres RI No
174 Tahun 1999 Tentang Pemberian Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana
Pembunuhan.
BAB V : Penutup
Bab yang terakhir ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan
dari hasil pembahasan serta saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian yang
dilakukan.
28. BAB II
REMISI DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
A. Pengertian Remisi Menurut Hukum Pidana Islam
Kata remisi berasal dari bahasa Inggris yaitu remission. Re yang berarti
kembali dan mission yang berarti mengirim, mengutus. Remisi diartikan
pengampunan atau pengurangan hukuman. Dari pengertian tersebut, Remisi
merupakan kata serapan yang diambil dari bahasa asing yang kemudian
digunakan dalam pengistilahan hukum di Indonesia. Sebagaimana Remisi
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengurangan hukuman yang
diberikan kepada orang yang terhukum.1 Selain itu menurut kamus hukum karya
Soedarsono, remisi mempunyai arti pengampunan hukuman yang diberikan
kepada seseorang yang dijatuhi hukuman pidana.2
Dalam istilah Arab memang tidak dijumpai pengertian yang pasti mengenai
kata remisi, tetapi ada beberapa istilah yang hampir sepadan dengan makna remisi
itu sendiri, yaitu al-Afu’ (maaf, ampunan), ghafar (ampunan), rukhsah
(keringanan), syafa’at (pertolongan), tahfif (pengurangan). Selain itu menurut
Sayid Sabiq memaafkan disebut juga dengan Al-Qawdu’ “menggiring” atau
memaafkan yang ada halnya dengan diyat atau rekonsiliasi tanpa diyat walau
melebihinya.3 Dalam hukum pidana Islam istilah yang sering digunakan dan
memiliki makna hampir menyerupai istilah remisi adalah tahfiful uqubah
1
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai
Pustaka, 2005. h. 945
2
Soedarsono, Kamus Hukum, Jakarta : Rhineka Cipta, 1992. h.402
3
Sayyid Sabiq (ed.), Fiqih Sunah, Diterjemahkan Oleh Nor Hasanuddin Dari ”Fiqhus
Sunah”, Jakarta : Pena Pundi Aksara.2006.h.419
13
29. 14
(peringanan hukuman). Dalam Ensiklopedi Hukum Pidana Islam peringanan atau
pengampunan hukuman merupakan salah satu sebab pengurungan (pembatalan)
hukuman, baik diberikan oleh korban, walinya, maupun penguasa. 4
B. Dasar Hukum Remisi dalam Hukum Pidana Islam
Dasar pengampunan hukuman yang menjadi hak korban/walinya terdapat
dalam Al-Qur’an dan Hadis. Dasar dari Al-Qur’an adalah firman Allah SWT
dalam surat Al Baqaarah ayat 178 yaitu:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang
merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan
cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar
(diyat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula).
yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan
suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu,
Maka baginya siksa yang sangat pedih.”5
Adapun sebab diturunkannya ayat ini adalah riwayat yang berasal dari
Qatadah yang menceritakan bahwa penduduk jahiliyah suka melakukan
penganiayaan dan tunduk kepada setan. Jika terjadi permusuhan di antara mereka
4
Abdul Qadir Audah ( ed ), Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, Diterjemahkan Oleh
Ahsin Sakho Muhammad dkk dari. “Al tasryi’ Al-jina’I Al-Islami” Jakarta: PT
Kharisma Ilmu. 2008. h.168
5
Departeman Agama RI, Al Qur’an Dan Terjemahannya, Semarang : Cv Asy Syifa’,
2000. h.21
30. 15
maka budak mereka akan membunuh budak orang yang dimusuhinya. Mereka
juga sering mengatakan , “ kami hanya akan membunuh orang merdeka sebagai
ganti dari budak itu.” Sebagai ungkapan bahwa mereka lebih mulia dari suku lain.
Seandainya seorang wanita dari mereka membunuh wanita lainnya, merekapun
berkata, “ kami hanya akan membunuh seorang lelaki sebagai ganti wanita
tersebut”, maka Allah menurunkan firman-Nya yang berbunyi ” Orang merdeka
dengan orang merdeka , hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.” 6
Diriwayatkan juga dari Said bin Jubair rahimahullah bahwa sesaat sebelum
Islam datang, bangsa Arab Jahiliyah terbiasa membunuh. Terjadi pembunuhan
dan saling melukai diantara mereka hingga merekapun membunuh budak dan
kaum wanita. Mereka tidak menerapkan qishas dalam pembunuhan tersebut
hingga mereka masuk Islam, bahkan salah seorang dari mereka melampaui batas
dengan melakukan permusuhan dan mengambil harta orang lain. Mereka juga
bersumpah untuk tidak merelakan sampai dapat membunuh orang yang merdeka
sebagai ganti budak yang terbunuh, dan membunuh seorang laki-laki sebagai
ganti dari wanita yang terbunuh, maka Allah menurunkan firman-Nya, ” Hai
orang-orang yang beriman, diwajibbkan atas kamu Qishash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh.”7
Selain mewajibkan Qishash , Islam juga lebih menganjurkan pemberian
maaf, dan mengatur tata cara ( hududnya ), sehingga sikap pemberian maaf ini
terasa sangat adil dan muncul setelah penetapan Qishash . Anjuran pemberian
maaf ini bertujuan untuk mencapai kemuliaan , bukan suatu keharusan , sehingga
6
Abdurrahman Kasdi Dan Umma Farida , Tafsir Ayat-Ayat Yaa Ayyuhal-Ladziina
Aamanuu 1, Jakarta : Pustaka Al Kautsar, 2005. h. 63
7
Ibid, h. 64
31. 16
bertentangan dengan naluri manusia dan membebani manusia dengan hal-hal di
luar kemampuan mereka. Allah SWT berfirman, ” Maka Barangsiapa yang
mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar
(diyat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula)”.
Selain itu terdapat juga dalam surat Al Maaidah ayat 45 :
Artinya : Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At
Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata,
hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan
luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak
kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Q.S. al-
Ma’idah: 45)8
Ayat ini menekankan bahwa ketetapan hukum diyat tersebut ditetapkan
kepada mereka mareka Bani Isra’il di dalam kitab Taurat. Penekanan ini
disamping bertujuan membuktikan betapa mereka melanggar ketentuan-ketentuan
hukum yang ada dalam kitab suci mereka, juga untuk menekankan bahwa prinsip-
prinsip yang ditetapkan oleh Al Qur’an ini pada hakekatnya serupa dengan
prinsip-prinsip yang ditetapkan Allah terhadap umat-umat yang lalu. Dengan
8
Departeman Agama RI, op. cit. h.92
32. 17
demikian diharapkan ketentuan hukum tersebut dapat diterima dan dilaksanakan
oleh semua umat termasuk umat Islam.9
Penafsiran dalam penutupan ayat ini, ” Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-
orang yang zalim” mengesankan bahwa anjuran memberi maaf bukan berarti
melecehkan hukum Qishas karena hukum ini mengandung tujuan yang sangat
agung, antara lain menghalangi siapapun melakukan penganiayaan, mengobati
hati yang teraniaya atau keluarganya, menghalangi adanya balas dendam dan lain-
lain. Sehingga jika hukum ini dilecehkan maka kemaslahatan itu tidak akan
tercapai dan ketika itu dapat terjadi kedzaliman. Oleh sebab itu putuskanlah
perkara sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah, memberi maaf atau
melaksanakan qishash. Karena barang siapa yang tidak melaksanakan hal tersebut
yakni tidak memberi maaf atau tidak menegakkan pembalasan yang seimbang,
maka dia termasuk orang yang zalim.
Disamping dasar pengampunan dari Al Qu‘ran Selain itu terdapat pula
dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra dan HR Ahmad, Abu
Daud, An Nasa-Ydan Ibnu Majah; Al Muntaqa yaitu :
ٌ ﺷ َﻲ ْ ء َ و َ ﺳ َ ﻠﱠﻢ َ ر ُ ﻓِﻊ ُ اﻟﻨﱠﺒِﻲ ﱠ ﺻ َ ﻠ ﷲ ﱠ
ﱠﻰ ﻋ َﻦ ْ أَﻧَﺲِ ﺑْﻦ ِ ﻣ َﺎﻟِﻚ ٍ ﻗَﺎل َ ﻣ َﺎ
10
.ﺑِﺎﻟْﻌ َ ﻔْﻮ َ ﻗِﺼ َ ﺎصإِﻻ ﱠ أَﻣ َﺮ
ٌ
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il berkata, telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin bakr bin Abdullah Al Muzani
dari Atha bin Abu Maimunah dari Anas bin Malik ia berkata, "Aku
tidak pernah melihat Nabi shallAllahu 'alaihi wasallam mendapat
9
M. Quraishi Shihab, Tafsir Al Misbah, Pesan, Kesan Dan Keserasian Al Quran, Jakarta :
Lentera Hati, 2002. h.107
10
Abu Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud, Beirut-Lebanon: Dar Al-Kotob Al Ilmiyah 173
33. 18
pengaduan yang padanya ada Qishas, kecuali beliau menganjurkan
untuk memaafkan." ( HR.Ahmad Abu Daud 4497 )
C. Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Pidana Islam
Di dalam hukum pidana Islam perbuatan yang dilarang oleh syara’ biasa
disebut dengan jarimah, sedangkan hukumannya disebut dengan uqubah. Jarimah
ditinjau dari segi hukumannya terbagi menjadi tiga bagian, yaitu jarimah hudud,
jarimah qishas dan diyat serta jarimah ta’zir.11 Jarimah hudud merupakan jarimah
yang diancam dengan hukuman had, sedangkan jarimah qishas dan diyat
merupakan jarimah yang diancam dengan hukuman qishas atau diyat, dan jarimah
ta’zir merupakan jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir . Perbedaan dari
ketiga jarimah itu adalah jika hukuman had merupakan hak Allah sepenuhnya
sedangkan qishas dan diyat serta ta’zir merupakan hak individu ( hak manusia ).
Jarimah pembunuhan termasuk kedalam jarimah qisas dan diyat karena terdapat
hak individu disamping hak Allah SWT.
Setiap jarimah harus mempunyai unsur-unsur yang harus dipenuhi yaitu;
a) Nas yang melarang perbuatan dan mengancam hukuman terhadapnya, dan
unsur ini biasa disebut dengan Unsur Formil
b) Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan-
perbuatan nyata ataupun sikap tidak berbuat, dan unsur ini biasa disebut
dengan Unsur Materiil .
11
Ahmad Wardi Muslich, op. cit. h. IX
34. 19
c) Pembuat adalah orang mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai
pertanggunganjawab terhadap jarimah yang diperbuatnya, dan unsur ini
biasa disebut dengan Unsur Moriil
1. Pengertian Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam.
Tindak pidana pembunuhan termasuk kedalam ketegori jarimah qisas dan
diyat. Dalam bahasa arab, pembunuhan disebut ( ) ﻗﺘﻞyang sinonimya ()اﻣﺖ
artinya mematikan. Para ulama mempunyai definisi yang berbeda-beda walaupun
kesimpulannya sama yaitu tentang menghilangkan nyawa orang lain.
Berbagai ulama’ yang mendefinisikan pembunuhan dengan suatu
perbuatan manusia yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Yang
pertama adalah didefiniskan oleh Wahbah Az-Zuhayliy yang mengutip pendapat
Khatib Syarbini sebagai berikut ”Pembunuhan adalah perbuatan yang
menghilangkan atau mencabut nyawa seseorang”, Selain itu Abdul Qadir Al
Audah menerangkan bahwa pembunuhan adalah perbuatan seseorang yang
menghilangkan kehidupan, yang berarti menghilangkan jiwa anak adam oleh
perbuatan anak adam yang lain.12 Sedangkan menurut Ahmad Wardi Muslich
definisi pembunuhan adalah perbuatan seseorang terhadap orang lain yang
mengakibatkan hilangnya nyawa, baik perbuatan tersebut dilakukan dengan
sengaja maupun tidak sengaja,13 Pengertian jarimah pembunuhan menurut
Zainudin Ali dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana Islam adalah suatu
aktivitas yang dilakukan seseorang dan atau beberapa orang yang mengakibatkan
12
Abdul Qadir Audah ( ed ), op. cit. h.177
13
Ahmad Wardi Muslich,.Hukum Pidana Islam, op.cit h.137
35. 20
seseorang dan/atau beberapa orang meninggal dunia.14 Jadi, banyak sekali
pengertian-pengertian yang dapat ditarik kesimpulan bahwa pembunuhan itu
merupakan aktifitas menghilangkan nyawa orang lain yang dapat dilihat dari
berbagai aspek tinjauan hukum.
2. Macam-Macam Pembunuhan dalam Hukum Pidana Islam
Tidak semua tindakan kejam terhadap jiwa membawa konsekuensi untuk
hukum Qishas. Sebab, diantara tindakan kejam itu ada yang disengaja, ada yang
menyerupai kesengajaan, ada kalanya kesalahan, dan ada kalanya diluar itu
semua. Jarimah Qishas dan Diyat sebenarnya dibagi menjadi dua, yaitu
pembunuhan dan penganiayaan. Para fuqahapun membagi pembunuhan dengan
pembagian yang berbeda-beda sesuai dengan cara pandang masing-masing. Tetapi
apabila dilihat dari segi sifat perbuatannya pembunuhan dapat dibagi lagi menjadi
tiga15, yaitu :
a. Pembunuhan Disengaja ( amd ),
Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk
membunuh orang lain dengan menggunakan alat yang dipandang layak untuk
membunuh. Sedangkan unsur-unsur dari pembunuhan sengaja yaitu korban yang
dibunuh adalah manusia yang hidup, kematian adalah hasil dari perbuatan pelaku,
pelaku tersebut menghendaki terjadinya kematian.16Dalam hukum Islam
pembunuhan disengaja termasuk dosa paling besar dan tindak pidana paling jahat.
Terhadap pelaku pembunuhan yang disengaja pihak keluarga korban dapat
14
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, op. cit. h. 24
15
Ibid , h 24
16
Ahmad Wardi muslich, Hukum Pidana Islam, op.cit. h. 141
36. 21
memutuskan salah satu dari tiga pilihan hukuman yaitu qishas, diyat, atau pihak
keluarga memaafkannya apakah dengan syarat atau tanpa syarat.17. selain itu
pembunuhan sengaja akan membawa akibat selain dari tiga hukuman tersebut
yaitu dosa dan terhalang dari hak waris dan menerima wasiat.
b. Pembunuhan semi sengaja ( syibul amd )
Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja tetapi tidak
ada niat dalam diri pelaku untuk membunuh korban. Sedangkan unsur-unsur yang
terdapat dalam pembunuhan semi sengaja adalah adanya perbuatan dari pelaku
yang mengakibatkan kematian, adanya kesengajaan dalam melakukan perbuatan,
kematian adalah akibat perbuatan pelaku.18. Dalam hal ini hukumannya tidak
seperti pembunuhan sengaja karena pelaku tidak berniat membunuh. Hukuman
pokok dari pembunuhan semi sengaja selain dosa karena ia telah membunuh
seseorang yang darahnya diharamkan Allah dialirkan, kecuali karena haq ( Alasan
syari’ ) adalah diyat dan kafarat, dan hukuman penggantinya adalah ta’zir dan
puasa dan ada hukuman tambahan yaitu pencabutan hak mewaris dan pencabutan
hak menerima wasiat19
c. Pembunuhan tidak disengaja ( khata )
Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tidak ada unsur
kesengajaan yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia. Sedangkan unsur-
unsur dari pembunuhan karena kesalahan yaitu sebagaimana yang dikemukakan
17
Ali, Zainudin, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika. 2006. h.127
18
Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam, op.cit. h 142
19
Abdul Qadir Audah ( ed ), op. cit. h.338
37. 22
oleh Abdul Qadir Al Audah ada tiga bagian, yaitu adanya perbuatan yang
mengakibatkan matinya korban, perbuatan tersebut terjadi karena kesalahan
pelaku, antara perbuatan kekeliruan dan kematian korban terdapat hubungan
sebab akibat. Hukuman bagi pembunuhan tersalah hampir sama dengan
pembunuhan menyerupai sengaja yaitu hukuman pokok diyat dan kafarat, dan
hukuman penggantinya adalah ta’zir dan puasa dan ada hukuman tambahan yaitu
pencabutan hak mewaris dan pencabutan hak menerima wasiat.
3. Hukuman Terhadap Pelaku Jarimah Pembunuhan Menurut Hukum
Pidana Islam.
Pembunuhan dalam syariat Islam diancam dengan beberapa macam
hukuman, sebagian hukuman pokok dan dan pengganti. Berikut ini akan
dijelaskan macam-macam hukuman bagi tindak pidana pembunuhan menurut
hukum pidana Islam.
a. Hukuman Qishas
1) Pengertian Qishas
Qishas dalam arti bahasa adalah artinya menyelusuri jejak. Selain
itu qishas dapat diartikan keseimbangan dan kesepadanan. Sedangkan menurut
istilah syara, Qishash adalah memberikan balasan yang kepada pelaku sesuai
dengan perbuatannya. Karena perbuatan yang dilakukan oleh pelaku adalah
menghilangkan nyawa orang lain ( membunuh ), maka hukuman yang setimpal
adalah dibunuh atau hukuman mati.
38. 23
2) Dasar Hukum Qishash
Dasar dari hukuman qishas dalam jarimah pembunuhan yaitu Al-Qur’an
surat Al Baqaarah ayat 178 dan al maaidah ayat 45 yang telah tercantum dalam
halaman diatas. Selain dari dua ayat tersebut dasar hukum dari hukum qishash
juga terdapat dalam Al-Qur’an surat Al Baqaarah ayat 179 yang berbunyi :
Artinya : Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (QS.
Al Baqaarah 179)
Selain itu hukuman Qishash ini dijelaskan dalam hadits An-Nas’i yang
berbunyi :
ْ ﻋ َﻦ ْ ﻋ َ ﻤ ْ ﺮٍوﻋ َﻦ ْ و َ أَﻧَﺎأَﺳ ْ ﻤ َ ﻊُﻋ َﻦ ًﻗِﺮ َ اء َ ة ُ ﻗَﺎل َاﻟْﺤ َ ﺎرِث ُ ﺑْﻦ
ْ اﻟْﻘِﺼ َ ﺎص ُ و َ ﻟَﻢ ْﺗَﻜ ُﻦ ﻋ َﻦ ْ اﺑْﻦ ِ ﻋ َ ﺒﱠﺎسٍ ﻗَﺎلﻛ َﺎن َ ﻓِﻲ ﺑَﻨِﻲ
اﻟْﻘِﺼ َ ﺎص ُ ﻓِﻲ اﻟْﻘَﺘْﻠَﻰاﻟْﺤ ُﺮ ﱡ ﺑِﺎﻟْﺤ ُ ﺮ ﱢ َ ﻓَﺄَﻧْﺰ َ ل َﷲ ﱠ ُ ﻋ َ ﺰ ﱠو َ ﺟ َ ﻞ ّ )ﻛُ ﺘِﺐ
ٌﺷ َﻲ ْ ء ٌ ﻓَﺎﺗﱢﺒَﺎع ْ ﻓَ ﻦ ْ ﻋ ُ ﻔِﻲ َ ﻣ ِﻦ
َﻤ و َ اﻟْﻌ َ ﺒْﺪ ُ ﺑِﺎﻟْﻌ َ ﺒْﺪَِ اﻷ ْ ُﻧْﺜَﻰِﺎﻷ ْ ُﻧْﺜَﻰ إِﻟَﻰ
ﺑ و
ٌﻓِﻲاﻟْﻌ َ ﻤ ْ ﺪ ِ و َ اﺗﱢﺒَﺎع ْ ﺑِﺈِﺣ ْ ﺴ َﺎن ٍ ( ﻓَﺎﻟْﻌ َ ﻔْﻮ ُ أَن ٌ ﺑِﺎﻟْﻤ َ ﻌ ْ ﺮ ُوف ِ و َ أَد َاء
ٍ ﺑِﺈِﺣ ْ ﺴ َﺎن ٍ ﺑِﺈِﺣ ْ ﺴ َﺎن ٌ ﺑِﺎﻟْﻤ َ ﻌ ْ ﺮ ُوف ِو َ أَد َاء ٍ ﺑِﻤ َ ﻌ ْ ﺮ ُوف
ﻣ ِﻦ ْ ر َ ﺑﱢﻜ ُ ﻢو َ ر َﺣ ْ ﻤ َ ﺔٌ ﻣ ِ ﻤ ﱠﺎ ﻛ ُ ﺘِﺐ َ ﻋ َ ﻠَﻰﻣ َﻦ ْ ﻛ َﺎن َ ﻗَﺒْﻠَﻜ ُﻢ ْ إِﻧﱠﻤ َﺎ
ْ َ ذ َ ﻟِﻚ
20
ُ اﻟْﻘِﺼ َ ﺎص
20
Imam Abdurrrohman Ahmad Syuaib Nasa’i, Kitab Sunan Al-Kubro, Beirut-Lebanon :
Dar Al-Kotob Al Ilmiyah.1991. h.229
39. 24
(NASAI - 6983) : Al Harits bin Miskin berkata dengan
membacakan riwayat dan saya mendengar dari Sufyan dari
'Amru dari Mujahid dari Ibnu Abbas, dia berkata; dahulu pada
Bani Israil terdapat hukum qishas namun tidak ada diyat pada
mereka, lalu Allah Azza wa jalla menurunkan ayat: (Hai orang-
orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari
saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan
cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar
(diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula)).
Pemberian maaf itu adalah menerima diyat pada pembunuhan
dengan sengaja, dan hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti
dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af)
membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang
baik (pula)), serta melaksanakan ini dengan kebaikan. Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat dari apa yang diwajibkan atas kaum sebelum kalian,
sesungguhnya hal tersebut adalah qishas bukan diyat.
3) Syarat-syarat Qishas
Untuk melaksanakan hukuman qishas perlu adanya syarat-syarat yang harus
terpenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi syarat-syarat untuk pelaku ( pembunuh
), korban ( yang dibunuh ), perbuatan pembunuhannya dan wali dari korban21 .
adapun penjelasannya adalah sebagai berikut ;
a) Syarat-Syarat Pelaku ( Pembunuh )
menurut Ahmad Wardi Muslich yang mengutip dari Wahbah Zuhaily
mengatakan ada syarat yang harus terpenuhi oleh pelaku ( pembunuh ) untuk
diterapkannya hukuman Qishash , syarat tersebut adalah pelaku harus mukallaf,
yaitu baligh dan berakal, pelaku melakukan pembunuhan dengan sengaja, pelaku (
pembunuh ) harus orang yang mempunyai kebebasan.22
21
Zainudin Ali,Hukum Pidana Islam .op. cit h. 151
22
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam. op.cit. h.152
40. 25
b) Korban ( yang dibunuh ),
Untuk dapat diterapkannya hukuman qishas kepada pelaku harus memenuhi
syarat-syarat yang berkaitan dengan korban, syarat-syarat tersebut adalah korban
harus orang orang yang ma’shum ad-dam artinya korban adalah orang yang
dijamin keselamatannya oleh negara Islam, korban bukan bagian dari pelaku,
artinya bahwa keduanya tidak ada hubungan bapak dan anak, adanya
keseimbangan antara pelaku dengan korban ( tetapi para jumhur ulama saling
berbeda pendapat dalam keseimbangan ini).
c) Perbuatan Pembunuhannya
Dalam hal perbuatan menurut hanafiyah pelaku diisyaratkan harus perbuatan
langsung ( mubasyaroh), bukan perbuatn tidak langsung ( tasabbub ). Apabila
tassabub maka hukumannya bukan qishas melainkan diyat. Akan tetapi, ulama-
ulama selain hanafiyah tidak mensyaratkan hal ini, mereka berpendapat bahwa
pembunuhan tidak langsung juga dapat dikenakan hukuman Qishash.
d) Wali ( Keluarga ) dari Korban
Wali dari korban harus jelas diketahui, dan apabila wali korban tidak
diketahui keberadaanya maka Qishash tidak bisa dilaksankan. Akan tetapi ulama-
ulama yang lain tidak mensyaratkan hal ini.
4) Hal-Hal yang Menggugurkan Hukuman Qishas
Ada beberapa sebab yang dapat menjadikan hukuman itu gugur, tetapi sebab
ini tidaklah dapat dijadikan sebab yang bersifat umum yang dapat membatalkan
seluruh hukuman, tetapi sebab-sebab tersebut memiliki pengaruh yang berbeda-
41. 26
beda terhadap hukuman.23 Adapun sebab-sebab yang dapat menggugurkan
hukuman adalah :
a) Meninggalnya pelaku tindak pidana,
b) Hilangnya tempat melakukan qishas
c) Tobatnya pelaku tindak pidana,
d) Perdamaian,
e) Pengampunan,
f) Diwarisnya qishas,
g) Kadaluarsa ( at-taqadum )
Dari beberapa sebab-sebab yang dapat menggugurkan hukuman yang paling
mendekati dengan Remisi adalah sebab yang ke lima yaitu pengampunan.
b. Hukuman Diyat
1) Pengertian Diyat
Pengertian diyat yang sebagaimana dikutip dari sayid sabiq adalah harta
benda yang wajib ditunaikan karena tindakan kejahatan yang diberikan kepada
korban kajahatan atau walinya.24
Diyat diwajibkan dalam kasus pembunuhan sengaja dimana kehormatan
orang yang terbunuh lebih rendah dari pada kehormatan pembunuh, seperti
seorang laki-laki merdeka membunuh hamba sahaya. Selain itu diyat diwajibkan
atas pembunuh yang dibantu oleh para Aqilahnya ( saudara-saudara laki-laki dari
pihak ayah ), hal ini bilamana pembunh mempunyai saudara. Ini diwajibkan atas
23
Soedarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta; PT. Rineka Cipta, 1993.
24
Sayyid Sabiq (ed.), op. cit. h.451
42. 27
kasus pembunuhan serupa kesengajaan dan pembunuhan karena suatu
kesalahan.25
2) Jenis Diyat Dan Kadarnya
Menurut Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad Ibn Hasan, dan Imam Ahmad Ibn
Hanbal, jenis diat itu ada 6 macam, yaitu ;26
1. Unta,
2. Emas
3. Perak,
4. Sapi,
5. Kambing, atau
6. Pakaian.
Diyat itu ada kalanya berat dan adakalanya ringan. Diyat yang ringan
dibebankan atas pembunhan yang tidak disengaja, dan diyat yang berat
dibebankan atas pembunhan yang serupa kesengajaan.
3) Sebab-Sebab Yang Menimbulkan Diyat
Menurut H. Moh Anwar, sebab-sebab yang dapat menimbulkan diyat
ialah:27
a) Karena adanya pengampunan dari qishas oleh ahli waris korban, maka dapat
diganti dengan diyat.
b) Pembunuhan dimana pelakunya lari akan tetapi sudah dapat diketahuai
orangnya, maka diyatnya dibebankan kepada ahli waris pembunuh. Ini
25
Ibid. h.456
26
Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam .op.cit. h168
27
Soedarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta; PT. Rineka Cipta, 1993. h.536
43. 28
dikarenakan untuk memperbaiki adat kaun jahiliyah dahulu yang di mana jika
terjadi pembunuhan yang disebabkan oleh kesalahan mereka suka membela
pembunuhagar dibebaskan dari diyat dan secara logika untuk menjamin
keamanan yang menyeluruh, sehingga para setiap anggaota keluarga saling
menjaga dari kekejaman yang dapat menimbulkan penderitaan orang lain.
c) Karena sukar atau susah melakasanakan Qishas.
Bila wali memberi maaf atau ampunan terhadap pembunhan yang disengaja
maka menurut imam syafi’i dan hanbali berpendapat harus diyat yang diperberat.
Tetapi menurut Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam kasus pembunuhan
sengaja tidak ada diyat , tetapi yang wajib adalah berdasarkan persetujuan dari
kedua belah pihak ( wali korban dengan pelaku pembunuh) dan wajib dibayar
seketika dengan tidak boleh ditangguhkan.28
c.
Ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang
hukumannya belum ditentukan oleh syara’29Dengan kata lain ta’zir adalah
hukuman yang bersaifat edukatifyang ditenukan oleh hakim.30
Adapun jenis dari hukuman ta’zir bermacam-macam, menurut H. Zainudin
Ali jenis hukuamn yang termasuk ta’zir antara lain hukuman penjara, skors atau
pemecatan, ganti rugi, pukulan, teguran dengan kata-kata, dan jenis-jenis
hukuman lain yang dipandang sesuai dengan pelanggaran dari pelakunya. Bahkan
menurut abu hanifah , pelanggaran ringan yang dilakukan oleh seseorang berulang
28
Sayyid Sabiq (ed.), op. cit. h.454
29
Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam op.cit. h.249
30
Sayyid Sabiq (ed.), op. cit. h.491
44. 29
kali, hakim dapat menjatuhkan hukuman mati, seperti seorang pencuri yang
dipenjara tetapi masih tetap mengulangi perbuatan tercela itu ketika ia dipenjara,
maka hakim berwenang menjatuhi hukuman mati kepadanya.
Hukuman pengganti yang ke dua setelah diyat yaitu ta’zir. Apabila hukuman
diyat gugur karena sebab pengampunan atau lainnya, hukuman tersebut diganti
dengan hukuman ta’zir. Seperti halnya dalam pembunhan sengaja, dalam
pembunuhan yang menyerupai sengaja ini, hakim diberi kebebasan untuk memilih
jenis hukuman ta’zir yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.
d. Pidana Penjara Dalam Hukum Pidana Islam
Dalam bahasa Arab ada dua istilah untuk hukuman penjara pertama Al-
Habsu; kedua As-sijnu. Pengertian Al-Habsu menurut bahasa adalah Al-Man’u
yang artinya mencegah atau menahan. Menurut imam ibn al qayyim al jauziyah
yang dimaksud dengan al-habsu menurut syara’ bukanlah menahan pelaku
ditempat yang sempit, melainkan menahan seseorang dan mencegahnya agar ia
tidak melakukan perbuatan hukum, baik penahanan tersebut di dalam rumah, atau
masjid, maupun tempat lainnya, penahanan seperti itulah yang dilakukan pada
masa Nabi dan Abu Bakar. Pada masa Nabi dan Abu Bakar tidak ada tempat yang
khusus disediakan untuk menahan seaorang pelaku tindak pidana. Dan barulah
pada masa Pemerintahan Khalifah Umar menyediakan penjara dengan cara
membeli rumah Shafwan Ibn Umayah sebagai penjaranya.31
Hukuman penjara dalam syariat Islam dibagi menjadi dua, yaitu ;
a) Hukuman Penjara Terbatas
31
Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam .op.cit. h.261
45. 30
Hukuman penjara terbatas adalah hpukuman penjara yang lama waktunya
dibatasi secara tegas. Tentang batas tertinggi dan terendah dari hukuman penjara
dikalangan ulama’pun tidak ada yang bersepakat. Dengan tidak adanya ketentuan
yang pasti ini maka para ulama hanya menyerahkan kepada ijtihat Imam ( Ulil
Amri ) tentang batas terendah dan tertinggi untuk hukuman penjara.32
Sebagai akibat dari perbedaan pendapat tersebut banyak orang yang
mendapatkan hukuman kawalan pada negara-negara yang memakai hukum
positif, sedang pada Negara yang memakai hukum Islam akan lebih sedikit
jumlahnya.33
b) Hukuman Penjara Tidak Terbatas
Yaitu hukuman penjara yang tidak dibatasi waktunya, melainkan
berlangsung terus menerus sampai orang yang terhukum mati atau sampai ia
bertobat. Dalam istilah lain dapat disebut dengan hukuman seumur hidup.
e. Pengampunan Dalam Jarimah Pembunuhan.
Pengampunan bagi tindak pelaku pembunuhan merupakan hak dari wali
korban. Wali diberi wewenang untuk mengampuni hukuman qishas. Apabila ia
memaafkan maka gugurlah hukuman qishas tersebut. Dalam hal pemberian
ampunan bisa saja dari ahli waris korban memberikan dengan Cuma-Cuma atau
dengan meminta diyat. Tetapi meskipun demikian tidaklah menjadi penghalang
bagi penguasa untuk menjatuhkan hukuman takzir yang sesuai terhadap pelaku.
Wali korban boleh memaafkan secara cuma-cuma dan inilah yang lebih
utama, oleh karena Allah SWT. telah berfirman dalam surat Al Baqarah 237 ;
32
Ibid, h.263
33
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta:PT Bulan Bintang , 1993, h.309
46. 31
....
“Dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah
kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.”
Menurut madzab syafi’i dan madzab hambali, pengampunan dari qishas
mempunyai pengertian ganda, yaitu pengampunan dari qishas saja atau
pengampunan dari qishas dan diganti dengan diyat. Kedua pengertian tersebut
merupakan pembebasan hukuman dari pihak korban tanpa menunggu persetujuan
dari pihak pelaku.34Sedangkan menurut imam malik dan abu hanifah,
pengampunan itu hanya pembebasan dari hukuman qishas saja sedangkan diyat
menurut keduanya hanya bersifat perdamaian ( Sulh ).
Memang pada dasarnya di dalam perkara pidana umum korban dan walinya
tidak mempunyai wewenang untuk memberikan pengampunan tetapi lainnya
halnya dalam pidana qishas dan diyat, korban dan walinya diberi wewenang
untuk memberikan pengampunan terhadap pelaku sebagai pengecualian karena
tindak pidana ini sangat erat hubungannya dengan pribadi korban, selain itu tindak
pidana ini lebih banyak menyentuh pribadi korban dari pada keamanan
masyarakat, sehingga pihak korban atau walinya diberikan hak tersebut.
Selain itu dalam jarimah hudud pengampunan tidak memiliki pengaruh
apapun bagi tindak piadana yang dijatuhi hukuamna hudud, baik itu diberikan
oleh wali korbannya maupun penguasa. Karena hukuman dalam hudud bersifat
34
Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam. op cit. h. 195
47. 32
wajib dan harus dilaksanakan. Para ulama menyebut tindak pidana hudud sebagai
hak Allah sehingga tidak boleh diampuni atau dibatalkan.35
Begitu juga dalam tindak pidana ta’zir sudah disepakati bahwa penguasa
memiliki hak pengampunan yang sempurna pada tindak pidana ta’zir. Karena itu
penguasa boleh memberi ampunan dan hukumannya baik sebagian maupun
keseluruhannya. 36
Adapun yang berhak memberikan pengampunan adalah korban itu sendiri
apabila ia telah baligh dan berakal. Apabila dia belum baligh dan akalnya tidak
sehat menurut madzab Syafi’i dan madzab Hambali, hak itu dimiliki oleh walinya.
Sedangkan menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, wali dan washi (
pemegang wasiat ) tidak memiliki hak maaf, melainkan hanya hak untuk
mengadakan perdamaian ( shulh) saja37.
Pengampunan terhadap qishas dibolehkan menurut kesepakatan para fuqaha,
bahkan lebih utama dibandingkan dengan pelaksanaannya. Hal ini didasarkan
kepada firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 178.
... ....
…Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari
saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diyat)
kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula)....( QS. Al
Baqarah : 178)38
35
Abdul Qadir Audah ( ed ), op.cit. h.169
36
Ibid.h.171
37
Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam. op cit. h. 195
38
Departeman Agama RI, Al Qur’an Dan Terjemahannya,h.21
48. 33
Selain itu dalam surat AL Maidah ayat 45 tentang pelukaan disebutkan :
... ...
Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak
itu (menjadi) penebus dosa baginya. ..( QS Al maaidah : 45 )39
Dalam hadits Nabi melalui Anas ibn Malik, ia berkata;
ٌ ﺷ َﻲ ْ ء َ و َ ﺳ َ ﻠﱠﻢ َ ر ُ ﻓِﻊ ُ اﻟﻨﱠﺒِﻲ ﱠ ﺻ َ ﻠﱠ ﷲ ﱠ
ﻰ ﻋ َﻦ ْ أَﻧَﺲِ ﺑْﻦ ِ ﻣ َﺎﻟِﻚ ٍ ﻗَﺎل َ ﻣ َﺎ
40
ِﺑِﺎﻟْﻌ َ ﻔْﻮ َ ﻗِﺼ َ ﺎصإِﻻ ﱠ أَﻣ َﺮ
ٌ
( HR.Ahmad Abu Daud : 4497 ) Telah menceritakan kepada kami
Musa bin Isma'il berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah
bin bakr bin Abdullah Al Muzani dari Atha bin Abu Maimunah dari
Anas bin Malik ia berkata, "Aku tidak pernah melihat Nabi
shallAllahu 'alaihi wasallam mendapat pengaduan yang padanya ada
Qishas, kecuali beliau menganjurkan untuk memaafkan."
Pernyataan untuk memberikan pengampunan tersebut dapat dilakukan secar
lisan maupun tertulis. Redaksinya bisa dengan lafaz ( kata ) memaafkan,
membebaskan, menggugurkan, melepaskan, memberikan dan sebagainya.
39
Ibid.h.92
40
Abu Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud. Beirut-Lebanon: Dar Al-Kotob Al Ilmiyah.
1996.h.173
49. BAB III
REMISI BAGI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DALAM KEPPRES RI
NO 174 TAHUN 1999
A. Ketentuan tentang Remisi menurut Keppres RI No 174 Tahun 1999
1. Pengertian Remisi
Pengertian Remisi memang tidak hanya terpaku dalam satu pengertian saja.
Banyak pengertian yang diberikan oleh para ahli maupun yang sudah tercantum
dalam peraturan perundang-undangan. Walaupun dalam KeppresRI No 174 Tahun
1999 tidak memberikan pengertian Remisi dengan jelas karena di dalam keppres
ini hanya menyebutkan “ setiap Narapidana dan Anak Pidana yang menjalani
pidana penjara sementara dan pidana kurungan dapat diberikan Remisi apabila
yang bersangkutan berkelakuan baik selama menjalani pidana “.
Remisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengurangan
hukuman yang diberikan kepada orang yang terhukum.1 Kamus Hukum karya Drs
Soedarsono SH memberikan pengertian bahwa Remisi adalah pengampunan
hukuman yang diberikan kepada seseorang yang dijatuhi hukuman pidana.2
Sedangkan yang dikemukakan oleh Andi Hamzah dalam dalam Kamus Hukum
karyanya, beliau memberikan pengertian Remisi adalah sebagai suatu pembebasan
untuk seluruhnya atau sebagian atau dari hukuman seumur hidup menjadi
hukuman terbatas yang diberikan setiap tanggal 17 agustus3. Selain itu pengertian
Remisi juga terdapat dalam peraturan Pemerintah republik Indonesia no 32 tahun
1
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Op. Cit. h. 945
2
Soedarsono, Op. Cit h.402
3
Andi Hamzah, Kamus Hukum , Op. Cit. h.503
34
50. 35
1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan,
dalam pasal 1 ( satu ) ayat 6 ( enam ) yang berbunyi ; “Remisi adalah pengurangan
masa menjalani pidana yang diberikan kepada nara pidana dan Anak Pidana yng
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Dari berbagai pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan tentang pengertian
Remisi, yaitu pengampunan atau pengurangan masa hukuman kepada Narapidana
atau Anak Pidana yang sedang menjalakan hukumannya sesuai dengan syarat-
syarat yang berlaku.
2. Dasar Hukum Pemberian Remisi
Dasar hukum pemberian Remisi sudah mengalami bebrapa kali perubahan,
bahkan untuk tahun 1999 telah dikeluarkan Keppres No. 69 tahun 1999 dan belum
sempat diterapkan akan tetapi kemudian dicabut kembali dengan Keppres No. 174
Tahun 1999. Remisi yang belaku dan pernah berlaku di Indonesia sejak jaman
belanda sampai sekarang adalah berturut-turut sebagai berikut :
a. Gouvernement besluit tanggal 10 agustus 1935 No. 23 bijblad N0. 13515 jo.
9 juli 1841 No. 12 dan 26 januari 1942 No. 22 : merupakan yang diberikan
sebagai hadiah semata-mata pada hari kelahiran sri ratu belanda.
b. Keputusan Presiden nomor 156 tanggal 19 April 1950 yang termuat dalam
Berita Negara No. 26 tanggal 28 April 1950 Jo. Peraturan Presiden RI No.1
tahun 1946 tanggal 8 Agustus 1946 dan Peraturan Menteri Kehakiman RI
No .G.8/106 tanggal 10 Januari 1947 jo. Keputusan Presiden RI No. 120
tahun 1955, tanggal 23 juli 1955 tentang ampunan.
c. Keputusan Presiden No.5 tahun 1987 jo. Keputusan Menteri Kehakiman RI
No. 01.HN.02.01 tahun 1987 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden No.5
51. 36
tahun 1987, Keputusan Menteri Kehakiman Ri No. 04.HN.02.01 tahun 1988
tanggal 14 mei 1988 tentang Tambahan Remisi Bagi Narapidana Yang
Menjadi Donor Organ Tubuh Dan Donor Darah Dan Keputusan Menteri
Kehakimanri No.03.HN.02.01 tahun 1988 tanggal 10 maret 1988 tentang
Tata Cara Permohonan Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi
Pidana Penjara Sementara Berdasarkan Keputusan Presiden RI N0. 5 tahun
1987.
d. Keputusan Presiden No. 69 tahun 1999 tentang pengurangan masa pidana (
Remisi );
e. Keputusan Presiden No 174 tahun 1999 jo. Keputusan Menteri Hukum Dan
Perundang-Undangan RI No . M.09.HN.02.01 Tahun 1999 tentang
Pelaksanaan Keputusan Presiden No. 174 Tahun 1999, Keputusan Menteri
Hukum Dan Perundang-Undangan No. M.10.HN.02.01 Tahun 1999 tentang
Pelimpahan Wewenang Pemberian Remisi Khusus.
Ketentuan yang masih berlaku adalah ketentuan yang terbaru, yaitu nomor
lima (e) tetapi ketentuan tersebut masih ditambahkan dengan beberapa ketentuan
yang lain, sehingga ketentuan yang masih berlaku untuk Remisi saat ini adalah4 :
a) Keputusan Presiden RI No 120 Tahun 1955, Tanggal 23 Juli 1955 tentang
Ampunan Istimewa.
b) Keputusan Menteri Kehakiman RI No. 04.HN.02.01 Tahun 1988 Tanggal 14
Mei Tahun 1988 Tentang Tambahan Remisi Bagi Narapidana Yang Menjadi
Donor Organ Tubuh Dan Donor Darah.
4
Dwidja Priyatno, op. cit. h.135
52. 37
c) Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan RI No.
M.09.HN.02.01 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden No
174 Tahun 1999.
d) Keputusan Menteri Hukum Dan Perundang-Undangan RI No.
M.10.HN.02.01 Tahun 1999 Tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian
Remisi Khusus.
e) Surat Edaran No. E.PS.01-03-15 Tanggal 26 Mei 2000 tentang Perubahan
Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara.
f) Surat Edaran No. W8-Pk.04.01-2586, Tanggal 14 april 1993 tentang
pengangkatan pemuka kerja.
3. Klasifikasi dan syarat-syarat pemberian Remisi
Remisi menurut KeppresRI No 174 Tahun 1999 dibagi menjadi tiga (3)
yaitu 5:
a. Remisi umum yaitu Remisi yang diberikan pada hari peringatan Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus
b. Remisi khusus yaitu Remisi yang diberikan pada hari besar keagamaan yang
dianut oleh Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan, dengan
ketentuan jika suatu agama mempunyai lebih dari satu hari besar keagamaan
dalam setahun, maka yang dipilih adalah hari besar yang paling dimuliakan
oleh penganut agama yang bersangkutan.
c. Remisi tambahan yaitu Remisi yang diberikan apabila Narapidana atau
Anak Pidana yang bersangkutan selama menjalani pidana berbuat jasa
kepada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau
5
Indonesia, Keputusan Presiden RI No 174 Tahun 1999
53. 38
kemanusiaan , atau melakukan perbuatan yang membantu kegiatan
pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan.
4. Prosedur dalam pemberian Remisi
a. Remisi umum
Pemberian Remisi umum dilaksanakan sebagai berikut:
1) pada tahun pertama diberikan Remisi sebagaimana dimaksud dalam ayat
satu (1);
2) pada tahun kedua diberikan Remisi 3 (tiga) bulan;
3) pada tahun ketiga diberikan Remisi 4 (empat) bulan;
4) pada tahun keempat dan kelima masing-masing diberikan Remisi 5 (lima)
bulan; dan
5) pada tahun keenam dan seterusnya diberikan Remisi 6 (enam bulan) setiap
tahun.
Besarnya Remisi umum adalah:
1) 1 (satu) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani
pidana selama 6 (enam) sampai 12 (dua belas) bulan; dan
2) 2 (dua) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani pidana
selama 12 (duabelas) bulan atau lebih.
b. Remisi khusus
Pemberian Remisi khusus dilaksanakan sebagai berikut:
1) pada tahun pertama diberikan Remisi sebagaimana dimaksudkan dalam
ayat (1);
54. 39
2) pada tahun kedua dan ketiga masing-masing diberikan Remisi 1 (satu)
bulan;
3) pada tahun keempat dan kelima masing-masing diberikan Remisi 1
(satu) bulan 15 (lima belas) hari; dan
4) pada tahun keenam dan seterusnya diberikan Remisi 2 (dua) bulan setiap
tahun.
Besarnya Remisi khusus adalah:
1) 15 (lima belas) hari bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah
menjalani pidana selama 6. (enam) sampai 12 (dua belas) bulan; dan
2) 1 (satu) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani
pidana selama 12 (dua belas) bulan atau lebih.
c. Remisi tambahan
Besarnya Remisi tambahan adalah:
1) 1/2 (satu perdua) dari Remisi umum yang diperoleh pada tahun yang
bersangkutan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang berbuat jasa
kepada negara atau melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara
atau kemanusiaan; dan
2) 1/3 (satu pertiga) dari Remisi umum yang diperoleh pada tahun yang
bersangkutan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah melakukan
perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan sebagai pemuka.
55. 40
B. Pengertian tindak pidana Pembunuhan Menurut Hukum Positif
Pembunuhan secara terminologi adalah perkara membunuh; perbuatan (hal,
dsb) membunuh.6 Sedangkan dalam istilah KUHP pembunuhan adalah
kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain.7 Pembunuhan adalah perbuatan
yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang, di mana perbuatan tersebut
merupakan kejahatan yang telah diatur dalam ketentuan yang ada dalam KUHP
Untuk menghilangkan nyawa orang lain seorang harus melakukan sesuatu
atau serangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain dengan
catatan opzet (kesengajaan) dari pelakunya harus ditujukan pada akibat yang
berupa meninggalnya orang lain itu. Jadi tindak pidana pembunuhan itu
merupakan suatu delik materiil yang artinya delik yang baru dapat dianggap
sebagai telah selesai dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang
dilarang atau yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.9
6
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. 5 ,Jakarta: Balai Pustaka,
1982, h.169.
7
P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus, cet. 1, Bandung: Bina Cipta, 1986, h. 1.
8
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, h. 22
9
P.A.F Lamintang, Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, & Kesehatan:Op. Cit..h. 2
56. 41
C. Pembagian Jenis-Jenis Tindak Pidana Pembunuhan di dalam KUHP
Dalam KUHP, ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan yang ditujukan
terhadap nyawa orang lain diatur dalam buku II bab XIX, yang terdiri dari 13
Pasal, yakni Pasal 338 sampai Pasal 350. Ketentuan yang dirumuskan dalam pasal
338 KUHP itu merupakan suatu ketentuan pidana umum, sedang ketentuan yang
dirumuskan dalam pasal 339 sampai 349 merupakan ketentuan-ketentuan pidana
khusus.10
Kejahatan
1. Pembunuhan Biasa
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP merupakan tindak
pidana dalam bentuk yang pokok, yaitu delik yang telah dirumuskan secara
lengkap dengan semua unsur-unsurnya.11 Adapun rumusan Pasal 338 KUHP
adalah : “barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam,
karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama limabelas tahun”.
Sedangkan Pasal 340 KUHP menyatakan ”Barang siapa dengan sengaja dan
10
Ibid. h. 23
11
P.A.F. Lamintang, Delik-delik khusus., Op. Cit . h..17.
57. 42
dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
Dari ketentuan dalam Pasal tersebut, maka unsur-unsur dalam pembunuhan
biasa adalah sebagai berikut :
a) Unsur subyektif : perbuatan dengan sengaja ,
b) Unsur obyektif : perbuatan menghilangkan, nyawa, dan orang lain.
Kesengajaan di sini ditujukan kepada hilangnya nyawa orang lain, inilah
yang membedakan dengan penganiayaan yang mengakibatkan kematian, karena
dalam penganiayaan tidak ada maksud atau kesengajaan untuk menghilangkan
nyawa orang lain.12 Sedangkan yang dimaksud sengaja dalam Pasal 340 adalah
suatu perbuatan yang disengaja untuk menghilangkan nyawa orang lain yang
terbentuk dengan direncanakan terlebih dahulu13. Dengan demikian unsur-unsur
dalam pasal 340 ini adalah unsur obyektifnya selain menghilangkan nyawa orang
lain tetapi juga ada unsur dengan direncanakan terlebih dahulu.
2. Pembunuhan Dengan Pemberatan
Ketentuan pidana tentang tindak pidana pembunuhan dengan keadaan-
keadaan yang memberatkan dalam hal ini diatur Pasal 339 KUHP yang bunyinya
sebagai berikut :
“Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh suatu delik, yang
dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah
pelaksanaanya, atau untuk melepaskan dirisendiri maupun peserta lainnya
dari pidana dalam hal tertangkap tanga, ataupun untuk memastikan
penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam
12
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu ( Special Delicten) Di Dalam KUHP, Jakarta Sinar
Grafika 2010, h. 45
13
P.A.F. Lamintang, Delik-delik khusus., Op. Cit.h. 30-31.
58. 43
dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling
lama 20 tahun.”
Yang menjadikan perbedaan unsur dengan unsur pembunuhan Pasal 338
KUHP ialah :unsur obyektifnya terdapat “diikuti, disertai, atau didahului oleh
tindak pidana”. Unsur didahului oleh perbuatan lain berarti pembunuhan
dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan agar perrbuatan lain dapat
dilakukan atau mungkin dilakukan, sedang unsur disertai oleh perbuatan lain yang
dapat dihukum berarti pembunuhan dilakukan dengan maksud untuk
mempermudah pelaksanaan perrbuatan tindak pidana lain, dan unsur diikuti oleh
perbuatan lain dapat dihukum berarti pembunuhan dengan maksud agar ketika
tertangkap tangan pelaku atau peserta lain dapat menghindarkan diri dan jaminan
untuk memperoleh barang yang diperolehnya dengan melawan hukum.14
3. Pembunuhan Berencana
Tindak pidana pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu yang oleh
undang-undang disebut dengan moord diatur dalam pasal 340 KUHP yang
berbunyi :
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu
merampas orang lain, diancam karena pembunuhan berencana dengan
pidana mati atau dengan pidana seumur hidup, atau selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun.”
Dalam pasal 340 diatas mempunyai unsur-unsur :
a) Unsur subyektif : dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu.
b) Unsur obyektifnya : menghilangkan nyawa orang lain.
14
H.A.K Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
1989. h. 92
59. 44
Tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan direncanakan terlebih
dahulu ternyata undang-undang tidak memberikan penjelasannya, sehingga timbul
suatu masalah apakah jangka waktu tertentu antara waktu seorang pelaku
menyusun rencananya dengan waktu pelaksanaan dari rencana tersebut
merupakan syarat untuk memastikan tentang adanya suatu perencanaan terlebih
dahulu (voorbedachte raad )15.
4. Tindak Pidana Pembunuhan Anak ( kinder-doodslag )
Tindak pidana anak yang oleh undang-undang disebut dengan
kinderdoodslag diatur dalam pasal 341 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
“Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak pada saat
anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa
anaknya, diancam karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun”.
Unsur pokok dalam Pasal 341 di atas adalah :
a) Unsur subyektifnya : dengan sengaja
b) Unsur obyektifnya : seorang ibu dan menghilangkan nyawa anaknya.
Berdasarkan unsur unsur tersebut, perbuatan yang dengan sengaja
menimbulkan hilangnya jiwa seorang anak, dengan kekhususan pembunuhan
dilakukan oleh seorang ibu dan sedang atau tidak lama dilahirkan dengan alasan
atau motif ketakutan karena takut diketahui melahirkan maka alasan ini
memberikan keringanan hukuman karena membunuh anaknya sendiri dan seorang
ibu disini adalah wanita yang belum menikah.16
15
P.A.F. Lamintang, Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, Dan Kesehatan. Jakarta; Sinar
Grafika.2010. h 53
16
H.A.K. Moch Anwar, Op. Cit. h.94
60. 45
5. Pembunuhan Anak Dengan Direncanakan Lebih Dahulu ( kinder-moord )
Hal ini diatur oleh Pasal 342 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
“Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut
akan ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan
atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam karena
melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan penjara
paling lama Sembilan tahun”.
Adapun unsur daripada pasal 342 adalah sebagai berikut :
a) Unsur subyektifnya : dengan sengaja.
b) Unsur obyektifnya : seorang ibu menghilangkan nyawa anaknya, dan atau
untuk melaksanakan keputusan yang diambilnya
Unsur yang terdapat dalam pasal 342 sebenarnya tidak jauh beda dengan
pasal 341, hanya saja bahwa perbuatan menghilangkan nyawa anaknya sendiri
oleh seorang ibu di dalam pembunuhan anak dengan direncanakan terlebih
dahulu. Dengan motif terdorong oleh perasaan takut akan ketahuan bahwa ia
melahirkan seorang anak.17
6. Keturutsertaan Dalam Tindak Pidana Anak
Keturutsertaan atau deelneming pada tindak pidana pembunuhan anak itu
pertanggungjawaban para peserta atau deelnemer, yang tercantum dalam pasal
343 KUHP yang berbunyi :
“Kejahatan yang diterangkan dalam pasal 341 dan 342 dipandang bagi orang
lain yang turut serta melakukan, sebagai pembunuhan atau pembunuhan
anak berencana”.
Dari ketentuan yang diatur dalam pasal 343 KUHP tersebut, orang dapat
mengetahui bahwa keringanan yang berlaku bagi pelaku dari tindak pidana
17
P.A.F. Lamintang,. Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, Dan Kesehatan. Op. Cit. h 67
61. 46
pembunuhan anak atau tindak pidana anak dengan direncanakan terlebih dahulu
itu tidak diberlakukan terhadap mereka yang telah turut serta dalam tindak-tindak
pidana tersebut. Jika turut serta dalam tindak pembunuhan biasa seperti yang
diatur dalam pasal 338 KUHP hingga sesuai dengan ketentuan pasal 55 KUHP,
maka keturutsertaanya tersebut dapat diancam pidana penjara selama-lamanya
lima belas tahun, sedangkan mereka yang turut serta dalam pembunuhan anak
dengan direncanakan lebih dulu seperti dalam pasal 342, pasal 340 dan pasal 55
KUHP mereka dapat diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau
pidana sementara selama-lamanya dua puluh tahun.18
7. Pembunuhan Atas Permintaan Sendiri
Pembunhan atas permintaan korban terdapat dalam pasal 344 KUHP yang
berbunyi :
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri
yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahuan.”
Dari rumusan di atas dapat diketahui bahwa pasal tersebut tidak mempunyai
unsur obyektif melainkan hanya mempunyai unsur obyektif yaitu menghilangkan
nyawa atas permintaan orang itu sendiri. Tidak disebutkannya “dengan sengaja”
dalam pasal ini tidak berarti tidak diisyaratkan adanya kesengajaan. Kesengajaan
sudah terbenih di dalam rumusan itu sendiri.19 Unsur adanya permintaan yang
sifatnya tegas dan sungguh-sungguh dari korban merupakan dasar yang
18
Ibid. h. 69
19
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu, Op. cit h. 60
62. 47
meringankan pidana bagi tindak pidana pembunuhan seperti yang diatur dalam
pasal 344 KUHP.20
8. Kesengajaan Mendorong Orang Lain Melakukan Bunuh Diri.
Kesengajaan mendorong orang lain melakukan bunuh diri, merupakan
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, sesuai
dengan yang tercantum dalam pasal 345 KUHP yang berbunyi :
“Barang siapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang itu jadi
bunuh diri”.
Ketentuan pidana yang diatur dalam pasal ini memiliki unsur-unsur :
a) Unsur subjektifnya : dengan sengaja.
b) Unsur objektifnya : mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya
dalam perbuatan itu atau memberi sarana untuk itu, atau orang iru jadi
bunuh diri.
Mendorong orang dengan sengaja untuk bunuh diri merupakan larangan,
jika itu dilakukan maka ia melanggarnya dan mempunyai akibat hukum yaitu
dapat dipidananya pelanggar itu yang tentunya tergantung kepada kenyataan
apakah sesuatu kejadian yang dilarang itu kemuadian benar-benar timbul atau
tidak, yaitu terjadinya bunuh diri.21
9. Tindak Pidana Menyebabkan Atau Menyuruh Menyebabkan Gugurnya
Kandungan Atau Matinya Janin Yang Berada Dalam Kandungan.
20
P.A.F. Lamintang,. Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, Dan Kesehatan.Op. cit. h 77
21
Ibid. h 83
63. 48
Tindak pidana menyebabkan atau menyuruh menyebabkan gugurnya
kandungan atau matinya janin yang berada dalam kandungan oleh wanita yang
mengandung janin itu telah diatur dalam pasal 346 KUHP yang rumusannya
sebagai berikut :
“Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu. Diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.”
Ketentuan pidana yang diatur dalam pasal ini memiliki unsur-unsur :
a) Unsur subjektifnya : dengan sengaja.
b) Unsur objektifnya : menggugurkan kandungan atau membiarkan orang lain
untuk itu.
Dari unsur subjektif yang pertama diatas dapat diketahui bahwa laranga
untuk melakukan tindakan-tindakan seperti yang disebutkan dalam pasal 346
KUHP itu sebenarnya ditujukan kepada wanita yang mengandung janin, yang
menjadi objek dari tindak pidana pengguguran atau pembunuhan seperti
dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang didalam ketentuan pidana yang
telah dirumuskan dalam pasal 346 KUHP. Karena perbuatan menyebabkan gugur
atau matinya janin didalam kandungan, ketentuan pidana tersebut juga dapat
dilakukan orang lain yang suruh untuk berbuat demikian. Orang lain yang
menyebabkan gugur atau matinya janin yang dikandung oleh seorang wanita itu
tidak dapat dituntut karena telah melakukan sesuatu bentuk keturutsertaan
(deelneming) dalam tindak pidana menurut pasal 346 KUHP, melainkan ia dapat
dituntut karena bersalah telah melanggar larangan-larangan yang diatur dalam
pasal 347, pasal 348 dan pasal 349 KUHP, yakni pada kenyataan apakah ia
64. 49
merupakan orang yang secara limitatif telah disebutkan dalam pasal 349 KUHP
(dokter, bidan atau peramu obat-obatan) atau tidak.22
10. Tindak Pidana Menyebabkan Gugurnya Tanggunggan Atau Matinya Janin
Yang Berada Dalam Kandungan, Dengan Ijin Atau Tanpa Ijin Wanita Yang
Mengandung .
Undang-undang telah mengatur hal ini dalam pasal 347 ayat (1) yang
berbunyi :
“Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.”
Adapun tindak pidana yang menyebabkan gugurnya kandungan atau
matinya janin yang berada dalam kandungan seorang wanita dengan ijin wanita
itu sendiri, oleh undang-undang telah diatur dalam pasal 348 ayat (1) yang
berbunyi
“Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun enam bulan.”
Dilihat dari rumusan kedua ketentuan pidana diatas mempunyai unsur yang
sama yaitu :
a) Unsur subjektif: dengan sengaja.
b) Unsur objektif: menyebabkan gugur, menyebabkan mati
Perbedaan dari kedua pasal tersebut dilakukan tanpa ijin dan dilakukan
dengan seijin wanita yang bersangkutan. Menurut rumusannya didalam undang-
undang terletak dibelakang unsur dengan sengaja (opzettelijk) hingga unsur-unsur
22
P.A.F. Lamintang,. Loc, cit