SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 22
1 
Membangun Independensi dan Profesionalitas Wartawan 
melalui Kajian Holistik Peran serta Pemerintah 
Karta tulis ini disusun guna memberikan wacana baru 
Mengenai Independensi dan Profesionalitas Wartawan di Indonesia 
Disusun oleh : 
Winda Efanur Fajriyatus S 
10210002 
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM 
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI 
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNANKALIJAGA 
YOGYAKARTA 
2013
2 
BAB I 
PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang Masalah 
Membincang tentang media dan pers memang tidak ada habisnya. 
Selalu “patriotisme” Mei 1998 menjadi tonggak sejarah yang tak 
terlupakan. Bukan hanya sekadar melahirkan pers baru tetapi juga negara 
Indonesia baru (Reformasi). Hal itu tidak terlalu berlebihan mengingat 
urgenitas aspirasi rakyat terakumulasi dan termanifestasikan dalam 
keperkasaan pilar demokrasi ke empat ini. 
Euforia kebebasan pers dari kerangkeng Orde Baru membuat pers 
dikatakan “liar” dalam pemberitaannya. Layaknya seorang bayi yang baru 
lahir- pribadi pers kita masih belajar berproses untuk berjalan. Isu-isu 
independensi, kode etik jurnalistik dan sekat-sekat ranjau kapital-politik 
menjadi nutrisi utama bagi si bayi (baca : pers) ini. Kajian pers selama ini 
juga melulu membahas soal “pribadi” pers. Pers dijadikan objek percobaan 
mencari-cari baju yang cocok untuk iklim “tropis” demokrasi Indonesia. 
Sehingga maraknya kasus-kasus seputar pers, sudah menjadi hal yang 
lumrah terjadi. Tak jarang dari kelumrahan ini mengekor ke persoalan 
yang lebih besar. Tataran massif itu secara langsung memang menyerang 
pada unit terkecil dari pers, wartawan. Di mana pers adalah universitas 
besar dengan wartawan sebagai mahasiswanya. Pihak yang menjadi team 
dari operasional pers ini yang sebenarnya melukis wajah pers kita.
3 
Wartawan ibarat sopir angkot, kebebasan pers adalah jalan raya dan kode 
etik jurnalistik adalah sabuk pengaman yang wajib dipakai untuk 
keselamatan wartawan. 1 
Wartawan sering disudutkan dengan istilah amplop dan bodrex. 
Tema-tema independensi dan profesionalitas seorang wartawan terhimpit 
tangan-tangan kapital dan politik. Citra wartawan yang beredar kini 
semakin minus hingga mengekalkan stigma negatif kepada insan media ini. 
Adanya legitimasi kode etik jurnalistik dan undang-undang no. 40/ 1999 
tentang pers sedikitnya menjadi landasan dan pedoman kemana arah 
wartawan melangkah. Namun saat di lapangan “ulah usil” wartawan juga 
kerap terjadi. Rendahnya pengamalan ke dua kitab suci ini cukup mem-blur- 
kan realisasi visi dan misi pers. 
Berangkat dari uraian di atas penulis tertarik membahas 
independensi dan profesionalitas wartawan. Pasalnya citra baik atau pun 
buruk pers Indonesia dipegang oleh para stakeholder ini. Kesanggupan 
wartawan mengemban amanahnya akan membawa Indonesia ke ruang 
demokrasi yang utuh dan bermartabat. 
A. Rumusan Masalah 
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan 
masalah, Bagaimana membangun independensi dan profesionalitas 
seorang wartawan ? 
B. Tujuan Penelitian 
1 1 Masduki, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik, ( Yogyakarta : UII Press, 2003 ), 
hlm. vi.
4 
Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan penelitian yang 
hendak dicapai yaitu mengetahui cara independensi dan profesionalitas 
seorang wartawan. 
C. Manfaat Penelitian 
1. Manfaat Teoritis 
a. Menambah literatur kualitatif mengenai wacana dunia pers 
pada umumnya 
2. Manfaat Praktis 
a. Penelitian ini berguna untuk bahan rujukan penelitian 
selanjutnya terkait wacana wartawan dan pers pada 
umumnya 
b. Menambah wawasan baru terkait independensi seorang 
wartawan 
D. Kerangka Teoritik 
1. Memahami Isi Media 
Dalam pemahaman sempit media diartikan sebagai sarana 
menyalurkan dan menumpahkan berita dan informasi. Di sisi lain, 
dalam pemahaman yang lebih jauh. Produksi media diartikan sebagai 
sebuah proses panjang yang melibatkan konstruksi realitas yang 
dipadukan dengan ideologi dan kepentingan tertentu hingga 
menghasilkan produk berupa berita. Untuk penjabaran yang lebih 
mendalam, ada tiga pendekatan studi media, yaitu : 
a. Pendekatan Politik-Ekonomi
5 
Menegaskan bahwa isi media lebih ditentukan oleh 
kekuatan-kekuatan ekonomi dan pollitik. Aktor yang muncul dan 
berperan yang aktif di sini adalah pemilik media, modal, dan 
pendapatan media. Ditangan ketiga aktor tersebut berita di seleksi, 
mana berita yang layak dan tidak layak dimuat. Dalam pendekatan 
ini berita diposisikan integral dengan relasi ekonomi dalam struktur 
produksi. Pola dan jenis pemberitaan ditentukan oleh kekuatan-kekuatan 
ekonomi. 2 
b. Pendekatan Organisasi 
Pengelola media sebagai pihak yang aktif dalam proses dan 
pembentukan berita. Berita dilhat sebagai proses dari ruang redaksi. 
praktik kerja, profesionalisme dan tata aturan dalam ruang 
organisasi adalah unsur-unsur yang dinamik yang mempengaruhi 
pemberitaan. Proses produksi berita adalah mekanisme keredaksian 
yang bersifat internal. Media dianggap otonom dalam menentukan 
tidak atau bolehnya yang diberitakan. 3 Nilai berita tidak semata 
dipandang dari sisi ekonomi atau pun politik tetapi lebih pada 
bobot berita itu sendiri. 
Sekilas pendekatan organisasi menitikberatkan pada kinerja 
internal di mana nilai profesionalisme sangat dijunjung tinggi dan 
2 Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hlm. 
2-5. 
3 Ibid,. hlm.3.
6 
rapat di meja redaksi adalah eksekusi mutlak berita yang layak atau 
pun tidak layak cetak. 
c. Pendekatan Kulturalis 
Pendekatan ini merupakan gabungan dai kedua pendekatan 
tersebut. Proses produksi dilihat sebagai proses yang rumit yang 
melibatkan faktor internal dan eksternal media. Kerumitan ini 
sangat kentara saat perdebatan di meja redaksi. Media pada 
dasarnya memang mempunyai mekanisme untuk menentukan pola 
dan aturan organisasi. Tetapi pola organisasi media tersebut tidak 
bisa luput dari kekuatan eksternal (ekonomi-politik) yang 
melingkupinya.4 
Kembali pada perbincangan pendekatan kulturalis, pengaruh 
pihak ekstenal media mempunyai posisi yang berbeda dibandingkan 
dengan pendekatan ekonomi-politik. Dalam pendekatan ekonomi 
politik. Pengaruh eksternal itu digambarkan bersifat langsung dan 
koersif. Misal pengaruh pengiklan, kekuatan modal, atau partai politik 
sangat bisa mempengaruhi isi media berupa pola penulisan dan 
konteks berita yang dituliskan. 5 
Dalam pendekatan kulturalis, intervensi kekuatan ekonomi 
politik dalam suatu pemberitaan tidak bersifat langsung. Misal sebuah 
kasus, seorang wartawan merasa beritanya berimbang dan objektif 
4 Ibid,. hlm. 4. 
5 Ibid,. hal. 5.
7 
padahal sebenarnya berita itu telah menguntungkan pihak ekonomi 
tertentu. Contoh aplikatifnya pemberitaan mengenai antara petani, 
pemilik kebun dan pemerintah. Pemilihan narasumber wartawan 
pemilik kebun dan pemerintah serta meminggirkan porsi petani, tanpa 
sadar telah menguntungkan pihak kapital politik (pemilik kebun dan 
pemerintah).6 
Gambaran pendekatan kulturalis bisa dilihat pada pers paska 
orde baru. Sebagai katalisator gonjang-ganjingnya situasi negara akibat 
reyotnya pilar perekonomian negara. Hingga berujung pada 
“pembebasan “ Mei 1998. 
Persoalannya kemudian apakah pada perkembangan 
selanjutnya pers dapat mempraktikan ide-ide profesionlaisme dan etika 
jurnalistik yang ideal ? Pers telah masuk dalam industri kapiltalisme 
global, dan ada batasan-batasan struktural yang membuat tidak semua 
nilai-nilai ideal pers dapat diwujudkan.7 Bersandingnya pers dengan 
pihak eksternal tidak diharamkan, bagaimana pun juga kekuatan modal 
atau politik secara langsung memang turut berperan dalam kehidupan 
pers. Tantangan ke depan bukan memisahkan antara idealitas pers 
dengan kekuatan eksternal tersebut melainkan mengawinkannya. 
Pasalnya guna mewujudkan iklim demokrasi yang utuh semua elemen 
6 Ibid,. hal. 5. 
7 Ibid,. hlm. 5.
8 
kebangsaan saling menguatkan baik kekuatan eksternal maupun pers 
secara internalnya. 
2. Urgensi Kode Etik Jurnalistik 
Semua profesi memiliki aturan main yang disebut kode etik 
profesi begitu juga dengan wartawan. Dalam kiprahnya di lapangan 
terikat dengan kode etik profesinya. Ada beberapa organisasi 
wartawan : Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis 
Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi (IJT), dan lain-lain. Mereka 
masing-masing memiliki kaidah aturan sendiri-sendiri. Namun Dewan 
Pers bersama dengan 29 organisasi wartawan telah menyepakati Kode 
Etik Jurnalistik Indonesia pada tahun 1999 yang memuat 11 pasal dan 
direvisi pada ahun 2006. 8 
Selain peraturan dasar di atas, secara universal Lembaga Pers 
Indonesia menerapkan kaidah kejurnalistikan 9 yang berlaku kepada 
para wartawan, yakni : 
a. Standar / konvensi jurnalistik yang sifatnya universal. 
Berupa materi dasar di mana setiap wartawan harus 
memahami dan menerapakan standar kewartawanan dan 
konvensi jurnalistik yang telah disepakati. 
b. Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Yang dijadikan rujukan insan 
pers adalah yang disusun oleh dewan Pers tahun 2006 . 
8 Sirikat Syah, Rambu-Rambu Jurnalistik dari Undang-Undang Hingga Hati Nurani, 
( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 1. 
9 Ibid,. hlm. 2.
9 
c. Undang-Undang Pers No 40/ 1999 
d. Undang-Undang Penyiaran No 32/ 2002 dan Pedoman 
Perilaku Penyiaran dan Program Standar Siaran (P3-SPS). 
e. Delik Pers dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana 
(KUHP), UU Informasi dan Transaksi (ITE), dan aturan 
hukum lainnya. 
f. Norma masyarakat dan hati nurani. Berupa rambu-rambu 
tidak tertulis, yang mana harus melekat dalam diri 
wartawan. 
Masyarakat profesional jurnalis meyakini bahwa tujuan 
jurnalisme adalah untuk menyajikan kebenaran. 10Sehingga cuplikan 
prinsip etis di atas harus diamalkan sebagaimana mestinya. Selebihnya, 
etika bagi pengelola pers merupakan rumusan perspektif moral yang 
diacu dalam setiap mengambil keputusan peliputan dan pemuatan 
suatu fakta menjadi berita. 11 Etika memiliki dua wilayah, subtantif dan 
operasional. Subtantif adalah wilayah moral yang dianut wartawan 
secara personal misalnya prioritas atas kasus publik ketimbang privat. 
Sedangkan etika operasional lebih memuat panduan etis dan teknis 
seputar balance narasumber, akurasi, dan menolak sogokan. 12 
10 Masduki, Kebebasan pers dan Kode Etik Jurnalistik, (Yogyakarta : UII Pers, 2003), 
hlm. 48. 
11 Ibid,. hlm. 48. 
12 Ibid,. hlm. 48.
10 
Maka penjabaran dari kedua aspek etika tersebut, urgensi kode 
etik jurnalistik yang universal 13 bisa dirumuskan sebagai berikut : 
 Ia akan membawa manfaaat yang obyektif pada masing-masing 
orang dan masyarakat pada waktu yang lama. 
 Memiliki validitas moral yang terhimpun dalam pertanyaan apakah 
baik kalau semua orang melakukan hal itu ? 
 Setiap nilai universal menuntut kesadaran diri, apa yang dianggap 
betul akan selalu sesuai dengan perasaan dan penalaran individu. 
 Nilai universal akan melahirkan kebudayaan dan tindakan 
kepahlawanan yang dihargai. 
Benang merahnya, pengakuan atas nilai-nilai universal adalah 
inti ajaran kode etik jurnalistik. 
E. Metode Penelitian 
1. Pendekatan Penelitian 
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metodologi 
kualitatif. Berperan sebagai prosedur penelitian yang mengahasilkan 
data-data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang 
dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini mengarah pada 
latar dan individu tersebut seacara holistik (Bogdan dan Taylor, 1975 : 
5). 
2. Jenis Penelitian 
13 Ibid,. hlm. 50.
11 
Penelitian ini bersifat deskriptif. Suatu penelitian yang bertujuan 
untuk menampilkan gambaran situasi, setting sosial dan hubungan. 
Penelitian ini memusatkan pada “bagaimana dan siapa” (Wimmer dan 
Dominick, 1991:140) dengan demikian peneliti tidak akan memandang 
memang sesuatu itu memang demikian adanya.14 
3. Unit Observasi dan Unit Analisis 
Unit observasi penelitian ini adalah nilai independensi dan 
profesionalitas wartawan. Sementara unit analisis penelitian ini adalah 
lingkup nilai independensi dan profesionalitas wartawan dalam 
perannya membangun demokrasi yang bermartabat. 
3. Jenis Sumber Data 
Menurut Lofland dan Lofland (1984: 47) sumber data utama 
dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya 
adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.15 
Berdasarkan pemahaman Lofland data yang diambil seputar 
wacana tentang independensi dan profesionalitas wartawan serta 
sumber artikel, dokumentasi terkait kajian yang dibahas. 
4. Teknik Pengumpulan Data 
Sesuai dengan jenis penelitian kualitatif dan sumber data yang 
digunakan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam 
penelitian ini adalah studi kepustakaan. Studi dengan menggali 
14 Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja 
Rosdakarya, 2012), hlm. 6 
15Ibid,. hlm. 157.
12 
informasi dari berbagai literatur, bacaan, artikel, dan sumber lain yang 
relevan terkait permasalahan yang dibahas. 
F. Metode Analisis Data 
Menurut Bogdan, analisis data adalah proses mencari dan menyusun 
secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan 
lapangan dan bahan-bahan lain sehingga mudah dipahaami oleh orang 
lain.16Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pencarian data berdasarkan 
analisis studi pustaka. Meliputi proses resume materi, mengkomparasikan 
wacana-wacana, menganalisisnya dengan teori-teori yang ada lalu 
menyimpulkan hasil analisis. 
16 Prof.Dr.Sugiyono, Metode Penelitan Kuantitatatif dan Kualitatif dan R &D, (Bandung: 
Alfabeta, 2008), hlm. 244.
13 
BAB II 
PEMBAHASAN 
A. Membangun Konsep Baru Media 
Studi tentang media merupakan persoalan yang rumit dan komplek. 
Media selalu menjadi pergulatan wacana yang menyangkut sisi kehidupan 
vital manusia, ekonomi, politik, bahkan bagian ideologi tersempit dari 
masyarakat. Memahami keadaan tersebut perlu adanya pandangan yang 
secara menyeluruh menampung kajian media ini, jangan hanya 
memusatkan kajian pada efek dan rapuhnya independensi wartawan 
sebagaimana yang sering terjadi di masyarakat. Setidaknya ada tiga hal 
yang perlu dipahami tentang studi media, yaitu :17 
1. Menyadarkan bahwa kajian media harus menjadi kajian 
masyarakat atau teori-teori media harus menjadi teori-teori 
masyarakat. 
2. Kajian media tida hanya terkotak soal efek media. Yang lebih 
mendesak adalah kajian holistik yang mampu menawarkan 
rekomendasi kebijakan lebih menyeluruh, makro dan mampu pula 
menyadarkan dan memberdayakan publik dalam persoalan seputar 
operasi media di ranah publik. Kajian media perlu menggeluti 
mengapa masalah simbolik media terasa tidak aman di kalangan 
publik. 
17 Agus Sudibyo, Kebebasan Semu Penjajahan Baru di Jagat Media, (Jakarta : PT. 
Kompas Media Nusantara, 2009), hlm. xi.
14 
3. Kajian media tidak bisa terlepas dari masyarakat. Di mana media 
bersikap respect terhadap perubahan sosial yang terjadi di 
masyarakat. Peran media di sini lebih mengarah pada kekuatan 
mandiri dalam menjaga sikapnya ketika bersinggungan dengan 
operasi modal yang mana- bagian awal perubahan sosial terjadi. 
Melalui ulasan di atas, sedikitnya telah memberikan tawaran solusi 
dalam menyelesaikan masalah terkait media. Pandangan holistik terhadap 
media akan mengarahkan kita pada dunia pers yang paripurna. Bahwa 
media yang memuat pers di dalamnya bukan lah sepenggal tema yang bisa 
diselesaikan dengan satu penyelesaian yang bersifat temporal. Pemahaman 
yang utuh terhadap media, lebih mengarahkan kita pada titik penyelesaian 
yang lebih bermakna. Karena media bukan sebatas kontemplasi makna 
berita dan kebebasannya. 
Lalu terkait dengan wartawan, meyakini adanya media adalah milik 
bagian dari masyarakat- sebuah fakta yang dituturkan tentu tidak dengan 
mudah meremehkan perhatian masyarakat. Porsi keaktifan masyarakat-yang 
dinamis melanggengkan wacana bahwa pengaruh independensi 
wartawan dalam beritanya turut mempengaruhi struktur sosial yang telah 
dibangun sebelumnya. Sehingga wartawan dituntut menjunjung 
profesionalismenya, berita yang dikonsumsi juga merupakan “hak” 
masyarakat yang haus akan informasi. Lantas nilai berita yang bersifat 
penting dan mendesak lebih berarti daripada sekedar cuplikan peristiwa 
yang bombastis.
15 
B. Profesioanalisme Wartawan 
Untuk mengawali kajian ini, lebih dahulu kita memahami arti dari 
wartawan. Wartawan dipandang dalam dua sudut pandang. Pertama, 
definisi operasional. Menjelaskan bahwa wartawan adalah orang yang 
selalu berhubungan dengan warta/ berita. Dalam UU No 40 tahun 1999, 
wartawan diartikan orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan 
jurnalistik (Subur, 2001). Kedua, definisi filosofis. Menurut Adinegoro 
wartawan berperan sebagai juru berita, ahli berita. 18 
Memahami definisi di atas dalam diri wartawan bersifat aktif 
bahkan hiperaktif merespon terjadinya peristiwa penting. Partisipasinya 
pada suatu peristiwa membawa wartawan pada dua sikap yang berbeda, 
yakni wartawan bersikap meneruskan berita di mana dia berperan 
selayaknya sebuah cermin (netral) ; yang memantulkan fakta secara apa 
adanya. Dan di sisi lain wartawan juga bisa berperan sebagai wakil publik, 
pengkritik pemerintah, pendukung kebijakan dan penentang kebijakan. 
Dalam arah yang lebih jauh, ketika memasuki kerangka isi media. 
Wartawan akan menghadapi tipologi pendekatan isi media sebagaimana 
telah dijelaskan di atas (kerangka teori). Suara hati nurani yang 
termanifestasikan dalam bentuk independensi wartawan ini menjadi 
landasan hidup ideal. Dan kebebasan pers juga tidak diartikan sepihak di 
mana masyarakat bebas untuk memperoleh informasi serta 
18 Masduki, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik, (Yogyakarta : UII Pers, 2003), 
hlm. 30.
16 
mengungkapkan pendapatnya. 19 Inilah wujud yang sebenarnya, kebebasan 
pers merupakan sosok yang esensial dalam masyarakat demokratis. 
Untuk isu klasik seperti intervensi politik atau modal meruntuhkan 
kemandirian (profesionalitas) wartawan jika kesadaran kebebasan pers ini 
disadari oleh awak media, pemerintah dan masyarakat. Ada tiga prasyarat 
yang melandasinya yakni : 
1. Hapusnya ketimpangan sosial dalam masyarakat berupa pemilikan 
kekayaan 
2. Terbentuknya kesadaran tentang keutamaan kepentingan bersama di 
atas kepentingan pribadi 
3. Demokrasi membutuhkan sistem komunikasi politik yang efektif 
19 Ibid,. hlm. 9.
17 
C. Kebebasan Pers Vs Intervensi Politik Pemerintah 
Seorang wartawan yang tersentuh sistem politik ekonomi. Saat 
merekam realitas akan membelitkan dirinya pada ikatan framing yang 
bertendensi tinggi. Tentu sistem penyeleksian alami bermotif personal 
tertentu turut mempengaruhi “tangannya” dalam menuliskan realitas. 
Akumulasi fakta merupakan bahan informasi yang (pasti) direkonstruksi 
agar tercipta makna berita tertentu sesuai penafsiran wartawan tersebut, 
yang mana hal itu merupakan wujud terkecil wartawan “melayani” 
kepentingan elite kekuatan eksternal. 
Tentu wartawan bukan pendongeng yang membariskan berita 
dengan “romantisme istana negeri dongeng” lalu menyempilkan ruas-ruas 
kesalahan raja (penguasa) pada bagian yang dianggap hilang. Lebih dari 
itu, wartawan yang menyandang insan pers adalah agen operasional utama 
pers- melalui profesionalitasnya sebuah fakta diteruskan bukan direka 
bahkan dibentuk. 
Hal itu merupakan contoh kecil, di mana menjadi sebuah 
konsekuensi dari demokrasi keterwakilan yang harus kita terima. Adanya 
kebebasan pers harus berhimpitan dengan supremasi pemerintah. Tetapi 
hal itu bukanlah hambatan pasalnya “atas restu” demokrasi lah pemerintah 
berperan dalam percaturan media dan pers. Walaupun disadari dalam 
pemaknaan ruang publik pemerintah belum tentu mempresentasikan 
aspirasi publik tersebut. Persepsi pemerintah mengenai pers masih 
terdeterminasi phobia masa lalu (Orde Baru).
18 
Kebebasan pers yang disandang oleh wartawan bukan semata label 
keblabasan ilegal yang biasa didengungkan oleh pihak subordinat politik 
media melainkan hak kodrati yang melekat kepada diri wartawan dan 
pengelola media pada umumnya. 
Ancaman intervensi terbesar kebebasan pers di Indonesia berasal 
dari kekuatan elite politik di pemerintahan dan partai politik. Bila di 
antaranya merasa gerah terkait pemberitaannya di media. Hadiah kecil 
akan menyambangi wartawan yang berujung pada ancaman bahkan 
penutupan media terkait. Bahkan disinyalir upaya pemerintah dalam 
menjinakan pers telah memasuki ranah sistemik pada tiga aspek : pertama, 
perundang-undangan yang dibuat elastik seperti UU No 40 tahun 1999 
dengan tanpa law enforcement yang memadai. Kedua, oknum wartawan 
melalui berbagai fasilitas dan anggaran khusus periodik. Ketiga, elite 
pengelola media yang bersangkutan.20 Adanya pers adalah milik bersama 
begitu pun, adminstrasi hukum (tat aturan ) yang ada harus diposisikan 
balance anatara porsi pemerintah, pers, dan masyarakat. Tarik ulur 
kepentingan dalam penggodokan aturan harus berlandaskan kepentingan 
bersama. 
Nah, untuk konsep kebebasan pers Indonesia mengalur pada 
demokrasi Pancasila. Yang mana hal itu disimilarkan oleh Dewan Pers di 
era orde Baru sebagai “pers yang bebas dan bertanggung jawab”.21 Dalam 
20 Ibid,. hlm. 21. 
21 Ibid,. hlm. 14.
19 
arti yang luas istilah bertanggung jawab didasari pemikiran bahwa 
kebebasan pers memegang tanggung jawab kepada masyarakat dalam 
menjalankan fungsinya. Penegasannya terletak pada tanggung jawab 
kepada publik-. Sebuah berita yang dikonstruk oleh wartawan harus 
dijiwai kesadaran dari “amanahnya” kepada publik ini. Sekalipun terjamah 
tangan politik, bukan menjadi ancaman melainkan tantangan sejauh mana 
wartawan menjunjung independensinya ?
20 
BAB III 
PENUTUP 
A. Kesimpulan 
Berdasarkan pembahasan terdahulu dapat disimpulkan bahwa 
terkait independensi wartawan setidaknya memiliki tiga aspek yang perlu 
mendapat perhatian. Pertama, media diapandang sebagai fakultas 
pemikiran yang besar di mana wartawan sebagai unit kecil dari media. 
Perlu pemahaman yang menyeluruh (holistik) dalam menangani masalah 
media. Peran media tidak terfokuskan pada wartawan (produsen berita) 
atau campur tangan pihak lain. Tetapi muara final, yakni masyarakat 
publiklah yang dijadikan fokus utama. Memang sejatinya, target dari 
publikasi berita adalah konsumen/ masyarakat. Dari pandangan inilah 
nantinya tercipta kesadaran bersama bahwa media bukan lagi milik siapa, 
permainan siapa melainkan untuk siapa. Sehingga pola dan bentuk 
pemberitaan adalah milik bersama, yanag mana kualitas dan bobot isi 
berita dapat diandalkan kebermanfaatannya. 
Kedua, pemaknaan dari profesioalitas wartawan adalah suatu sikap 
wartawan meneruskan berita di mana dia berperan selayaknya sebuah 
cermin (netral) ; yang memantulkan fakta secara apa adanya. Dan di sisi 
lain wartawan juga bisa berperan sebagai wakil publik, pengkritik 
pemerintah, pendukung kebijakan dan penentang kebijakan. Kesadaran 
kebebasan pers ini disadari oleh awak media, pemerintah dan masyarakat. 
yang mana hal itu bersandar pada tiga prasyarat : (1) Hapusnya
21 
ketimpangan sosial dalam masyarakat berupa pemilikan kekayaan. (2) 
Terbentuknya kesadaran tentang keutamaan kepentingan bersama di atas 
kepentingan pribadi. (3) Demokrasi membutuhkan sistem komunikasi 
politik yang efektif. 
Ketiga, bagi negara demokrasi peran pemerintah terhadap 
keberlangsungan pers memang tidak bisa diabaikan. Mengingat, baik pers 
dan pemerintah keduanya merupakan elemen kebangsaan yang 
menguatakan satu sama lain. Adanya pers adalah milik bersama begitu 
pun, adminstrasi hukum (tat aturan ) yang ada harus diposisikan balance 
anatara porsi pemerintah, pers, dan masyarakat. Tarik ulur kepentingan 
dalam penggodokan aturan harus berlandaskan kepentingan bersama. 
Pada persoalan kebebasan pers berpatokan pada alur-alur 
demokrasi Pancasila. kebebasan pers memegang tanggung jawab kepada 
masyarakat dalam menjalankan fungsinya. Penegasannya terletak pada 
tanggung jawab kepada publik-. Sebuah berita yang dikonstruk oleh 
wartawan harus dijiwai kesadaran dari “amanahnya” kepada publik ini.
22 
DAFTAR PUSTAKA 
Agus Sudibyo, Kebebasan Semu Penjajahan Baru di Jagat Media, Jakarta : 
PT. Kompas Media Nusantara, 2009. 
Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana, Yogyakarta: LKIS, 
2001. 
Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja 
Rosdakarya, 2012. 
Masduki, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik, Yogyakarta : UII Pers, 
2003. 
Prof.Dr.Sugiyono, Metode Penelitan Kuantitatatif dan Kualitatif dan R &D, 
Bandung: Alfabeta, 2008. 
Sirikat Syah, Rambu-Rambu Jurnalistik dari Undang-Undang Hingga Hati 
Nurani, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011.

Mais conteúdo relacionado

Mais procurados

Pers pada masa orde baru
Pers pada masa orde baruPers pada masa orde baru
Pers pada masa orde baruOdy Hari
 
Bab "Pers" Kewarganegaraan XII
Bab "Pers" Kewarganegaraan XIIBab "Pers" Kewarganegaraan XII
Bab "Pers" Kewarganegaraan XIINurul Annisa
 
Peranan Pers dalam Masyarakat
Peranan Pers dalam MasyarakatPeranan Pers dalam Masyarakat
Peranan Pers dalam MasyarakatRahmayani Astuti
 
Peranan pers dalam masyarakat demokratis
Peranan pers dalam masyarakat demokratisPeranan pers dalam masyarakat demokratis
Peranan pers dalam masyarakat demokratisginanurulazhar
 
Mengevaluasi Peranan Pers Dalam Masyarakat Demokrasi
Mengevaluasi Peranan Pers Dalam Masyarakat DemokrasiMengevaluasi Peranan Pers Dalam Masyarakat Demokrasi
Mengevaluasi Peranan Pers Dalam Masyarakat DemokrasiTia's Diary
 
Peranan Pers ( P Kn X I I S M A)
Peranan  Pers ( P Kn  X I I  S M A)Peranan  Pers ( P Kn  X I I  S M A)
Peranan Pers ( P Kn X I I S M A)Nasyukha Apnapryka
 
Bab iii-pers-dlm-masyarakat
Bab iii-pers-dlm-masyarakatBab iii-pers-dlm-masyarakat
Bab iii-pers-dlm-masyarakatPutra Ivan
 
Perkembangan pers di indonesia
Perkembangan pers di indonesiaPerkembangan pers di indonesia
Perkembangan pers di indonesiawardatul_fijriya
 
Peranan pers
Peranan persPeranan pers
Peranan persputrices
 
Suara Pers, Suara Siapa?
Suara Pers, Suara Siapa?Suara Pers, Suara Siapa?
Suara Pers, Suara Siapa?Pindai Media
 
Keberpihakan media pada kepentingan publik
Keberpihakan media pada kepentingan publikKeberpihakan media pada kepentingan publik
Keberpihakan media pada kepentingan publikWahyu Dhyatmika
 
Perkembangan Pers di Indonesia
Perkembangan Pers di IndonesiaPerkembangan Pers di Indonesia
Perkembangan Pers di IndonesiaYunndBoregh
 
Peranan pers dalam masyarakat demokrasi
Peranan pers dalam masyarakat demokrasiPeranan pers dalam masyarakat demokrasi
Peranan pers dalam masyarakat demokrasiDita Fadhila
 
Hukum dan kode etik pers
Hukum dan kode etik persHukum dan kode etik pers
Hukum dan kode etik persDanu Putra
 

Mais procurados (20)

Pers pada masa orde baru
Pers pada masa orde baruPers pada masa orde baru
Pers pada masa orde baru
 
Bab ii
Bab iiBab ii
Bab ii
 
Bab "Pers" Kewarganegaraan XII
Bab "Pers" Kewarganegaraan XIIBab "Pers" Kewarganegaraan XII
Bab "Pers" Kewarganegaraan XII
 
Peranan pers dalam peningkatan pembelajaran
Peranan pers dalam peningkatan pembelajaranPeranan pers dalam peningkatan pembelajaran
Peranan pers dalam peningkatan pembelajaran
 
Peranan Pers dalam Masyarakat
Peranan Pers dalam MasyarakatPeranan Pers dalam Masyarakat
Peranan Pers dalam Masyarakat
 
Peranan pers dalam masyarakat demokratis
Peranan pers dalam masyarakat demokratisPeranan pers dalam masyarakat demokratis
Peranan pers dalam masyarakat demokratis
 
Modul p kn kelas xi
Modul p kn kelas xiModul p kn kelas xi
Modul p kn kelas xi
 
Bab 3 awal pers kls xii
Bab 3 awal pers kls xiiBab 3 awal pers kls xii
Bab 3 awal pers kls xii
 
Mengevaluasi Peranan Pers Dalam Masyarakat Demokrasi
Mengevaluasi Peranan Pers Dalam Masyarakat DemokrasiMengevaluasi Peranan Pers Dalam Masyarakat Demokrasi
Mengevaluasi Peranan Pers Dalam Masyarakat Demokrasi
 
Peranan Pers
Peranan PersPeranan Pers
Peranan Pers
 
Peranan Pers ( P Kn X I I S M A)
Peranan  Pers ( P Kn  X I I  S M A)Peranan  Pers ( P Kn  X I I  S M A)
Peranan Pers ( P Kn X I I S M A)
 
Bab iii-pers-dlm-masyarakat
Bab iii-pers-dlm-masyarakatBab iii-pers-dlm-masyarakat
Bab iii-pers-dlm-masyarakat
 
Perkembangan pers di indonesia
Perkembangan pers di indonesiaPerkembangan pers di indonesia
Perkembangan pers di indonesia
 
Peranan pers
Peranan persPeranan pers
Peranan pers
 
Suara Pers, Suara Siapa?
Suara Pers, Suara Siapa?Suara Pers, Suara Siapa?
Suara Pers, Suara Siapa?
 
Mengevaluasi peranan pers dalam masyarakat demokrasi
Mengevaluasi peranan pers dalam masyarakat demokrasiMengevaluasi peranan pers dalam masyarakat demokrasi
Mengevaluasi peranan pers dalam masyarakat demokrasi
 
Keberpihakan media pada kepentingan publik
Keberpihakan media pada kepentingan publikKeberpihakan media pada kepentingan publik
Keberpihakan media pada kepentingan publik
 
Perkembangan Pers di Indonesia
Perkembangan Pers di IndonesiaPerkembangan Pers di Indonesia
Perkembangan Pers di Indonesia
 
Peranan pers dalam masyarakat demokrasi
Peranan pers dalam masyarakat demokrasiPeranan pers dalam masyarakat demokrasi
Peranan pers dalam masyarakat demokrasi
 
Hukum dan kode etik pers
Hukum dan kode etik persHukum dan kode etik pers
Hukum dan kode etik pers
 

Semelhante a Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik peran serta pemerintah

Artikel b.indo revisi 2 (1)
Artikel b.indo revisi 2  (1)Artikel b.indo revisi 2  (1)
Artikel b.indo revisi 2 (1)AgungSFajar
 
Kebebasan pers dan dampak penyalahgunaan kebebasan media massa dalam masyarak...
Kebebasan pers dan dampak penyalahgunaan kebebasan media massa dalam masyarak...Kebebasan pers dan dampak penyalahgunaan kebebasan media massa dalam masyarak...
Kebebasan pers dan dampak penyalahgunaan kebebasan media massa dalam masyarak...VJ Asenk
 
Etika komunikasi massa
Etika komunikasi massaEtika komunikasi massa
Etika komunikasi massaHafiza .h
 
Babiiipersdlmmasyarakat
BabiiipersdlmmasyarakatBabiiipersdlmmasyarakat
BabiiipersdlmmasyarakatAwis Mirad
 
Bab 3 teknik penyiaran
Bab 3 teknik penyiaranBab 3 teknik penyiaran
Bab 3 teknik penyiaranEKO SUPRIYADI
 
Syarif, jurnalisme perdamaian, resolusi konflik sosial
Syarif, jurnalisme perdamaian, resolusi konflik sosialSyarif, jurnalisme perdamaian, resolusi konflik sosial
Syarif, jurnalisme perdamaian, resolusi konflik sosialSyarifudin Amq
 
Syarif, jurnalisme perdamaian, resolusi konflik sosial
Syarif, jurnalisme perdamaian, resolusi konflik sosialSyarif, jurnalisme perdamaian, resolusi konflik sosial
Syarif, jurnalisme perdamaian, resolusi konflik sosialSyarifudin Amq
 
Pembingkaian berita lgbt_di_media_online
Pembingkaian berita lgbt_di_media_onlinePembingkaian berita lgbt_di_media_online
Pembingkaian berita lgbt_di_media_onlineDenny Kodrat
 
Makalah binter
Makalah binterMakalah binter
Makalah binterindirardn
 
ppt jurnalis hati.pptx
ppt jurnalis hati.pptxppt jurnalis hati.pptx
ppt jurnalis hati.pptxHusniSuwandi2
 
Kewarganegaraan1 1
Kewarganegaraan1 1Kewarganegaraan1 1
Kewarganegaraan1 1rohis
 
Class Week 14 - UI Demokratisasi Penyiaran Des 2013 by Amir Effendi Siregar
Class Week 14 - UI Demokratisasi Penyiaran Des 2013 by Amir Effendi SiregarClass Week 14 - UI Demokratisasi Penyiaran Des 2013 by Amir Effendi Siregar
Class Week 14 - UI Demokratisasi Penyiaran Des 2013 by Amir Effendi SiregarE Wandari
 
Syarifudin, dakwah melalui media cetak
Syarifudin, dakwah melalui media cetakSyarifudin, dakwah melalui media cetak
Syarifudin, dakwah melalui media cetakSyarifudin Amq
 

Semelhante a Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik peran serta pemerintah (20)

Bab 3 kelas 3
Bab 3 kelas 3Bab 3 kelas 3
Bab 3 kelas 3
 
Artikel b.indo revisi 2 (1)
Artikel b.indo revisi 2  (1)Artikel b.indo revisi 2  (1)
Artikel b.indo revisi 2 (1)
 
Kebebasan pers dan dampak penyalahgunaan kebebasan media massa dalam masyarak...
Kebebasan pers dan dampak penyalahgunaan kebebasan media massa dalam masyarak...Kebebasan pers dan dampak penyalahgunaan kebebasan media massa dalam masyarak...
Kebebasan pers dan dampak penyalahgunaan kebebasan media massa dalam masyarak...
 
Kliping
KlipingKliping
Kliping
 
Isi
IsiIsi
Isi
 
Etika komunikasi massa
Etika komunikasi massaEtika komunikasi massa
Etika komunikasi massa
 
Babiiipersdlmmasyarakat
BabiiipersdlmmasyarakatBabiiipersdlmmasyarakat
Babiiipersdlmmasyarakat
 
Bab 3 teknik penyiaran
Bab 3 teknik penyiaranBab 3 teknik penyiaran
Bab 3 teknik penyiaran
 
Taqiya m 12 ipa1 pers_pkn
Taqiya m 12 ipa1 pers_pknTaqiya m 12 ipa1 pers_pkn
Taqiya m 12 ipa1 pers_pkn
 
Syarif, jurnalisme perdamaian, resolusi konflik sosial
Syarif, jurnalisme perdamaian, resolusi konflik sosialSyarif, jurnalisme perdamaian, resolusi konflik sosial
Syarif, jurnalisme perdamaian, resolusi konflik sosial
 
Syarif, jurnalisme perdamaian, resolusi konflik sosial
Syarif, jurnalisme perdamaian, resolusi konflik sosialSyarif, jurnalisme perdamaian, resolusi konflik sosial
Syarif, jurnalisme perdamaian, resolusi konflik sosial
 
Pembingkaian berita lgbt_di_media_online
Pembingkaian berita lgbt_di_media_onlinePembingkaian berita lgbt_di_media_online
Pembingkaian berita lgbt_di_media_online
 
Makalah binter
Makalah binterMakalah binter
Makalah binter
 
ppt jurnalis hati.pptx
ppt jurnalis hati.pptxppt jurnalis hati.pptx
ppt jurnalis hati.pptx
 
Kewarganegaraan1 1
Kewarganegaraan1 1Kewarganegaraan1 1
Kewarganegaraan1 1
 
Bab 1 NKP sespimmen POLRI
Bab 1 NKP sespimmen POLRIBab 1 NKP sespimmen POLRI
Bab 1 NKP sespimmen POLRI
 
Class Week 14 - UI Demokratisasi Penyiaran Des 2013 by Amir Effendi Siregar
Class Week 14 - UI Demokratisasi Penyiaran Des 2013 by Amir Effendi SiregarClass Week 14 - UI Demokratisasi Penyiaran Des 2013 by Amir Effendi Siregar
Class Week 14 - UI Demokratisasi Penyiaran Des 2013 by Amir Effendi Siregar
 
Syarifudin, dakwah melalui media cetak
Syarifudin, dakwah melalui media cetakSyarifudin, dakwah melalui media cetak
Syarifudin, dakwah melalui media cetak
 
Potret pers jakarta 2013
Potret pers jakarta 2013Potret pers jakarta 2013
Potret pers jakarta 2013
 
Namakunana 04_09_23 Fix.docx
Namakunana 04_09_23 Fix.docxNamakunana 04_09_23 Fix.docx
Namakunana 04_09_23 Fix.docx
 

Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik peran serta pemerintah

  • 1. 1 Membangun Independensi dan Profesionalitas Wartawan melalui Kajian Holistik Peran serta Pemerintah Karta tulis ini disusun guna memberikan wacana baru Mengenai Independensi dan Profesionalitas Wartawan di Indonesia Disusun oleh : Winda Efanur Fajriyatus S 10210002 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNANKALIJAGA YOGYAKARTA 2013
  • 2. 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membincang tentang media dan pers memang tidak ada habisnya. Selalu “patriotisme” Mei 1998 menjadi tonggak sejarah yang tak terlupakan. Bukan hanya sekadar melahirkan pers baru tetapi juga negara Indonesia baru (Reformasi). Hal itu tidak terlalu berlebihan mengingat urgenitas aspirasi rakyat terakumulasi dan termanifestasikan dalam keperkasaan pilar demokrasi ke empat ini. Euforia kebebasan pers dari kerangkeng Orde Baru membuat pers dikatakan “liar” dalam pemberitaannya. Layaknya seorang bayi yang baru lahir- pribadi pers kita masih belajar berproses untuk berjalan. Isu-isu independensi, kode etik jurnalistik dan sekat-sekat ranjau kapital-politik menjadi nutrisi utama bagi si bayi (baca : pers) ini. Kajian pers selama ini juga melulu membahas soal “pribadi” pers. Pers dijadikan objek percobaan mencari-cari baju yang cocok untuk iklim “tropis” demokrasi Indonesia. Sehingga maraknya kasus-kasus seputar pers, sudah menjadi hal yang lumrah terjadi. Tak jarang dari kelumrahan ini mengekor ke persoalan yang lebih besar. Tataran massif itu secara langsung memang menyerang pada unit terkecil dari pers, wartawan. Di mana pers adalah universitas besar dengan wartawan sebagai mahasiswanya. Pihak yang menjadi team dari operasional pers ini yang sebenarnya melukis wajah pers kita.
  • 3. 3 Wartawan ibarat sopir angkot, kebebasan pers adalah jalan raya dan kode etik jurnalistik adalah sabuk pengaman yang wajib dipakai untuk keselamatan wartawan. 1 Wartawan sering disudutkan dengan istilah amplop dan bodrex. Tema-tema independensi dan profesionalitas seorang wartawan terhimpit tangan-tangan kapital dan politik. Citra wartawan yang beredar kini semakin minus hingga mengekalkan stigma negatif kepada insan media ini. Adanya legitimasi kode etik jurnalistik dan undang-undang no. 40/ 1999 tentang pers sedikitnya menjadi landasan dan pedoman kemana arah wartawan melangkah. Namun saat di lapangan “ulah usil” wartawan juga kerap terjadi. Rendahnya pengamalan ke dua kitab suci ini cukup mem-blur- kan realisasi visi dan misi pers. Berangkat dari uraian di atas penulis tertarik membahas independensi dan profesionalitas wartawan. Pasalnya citra baik atau pun buruk pers Indonesia dipegang oleh para stakeholder ini. Kesanggupan wartawan mengemban amanahnya akan membawa Indonesia ke ruang demokrasi yang utuh dan bermartabat. A. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah, Bagaimana membangun independensi dan profesionalitas seorang wartawan ? B. Tujuan Penelitian 1 1 Masduki, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik, ( Yogyakarta : UII Press, 2003 ), hlm. vi.
  • 4. 4 Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan penelitian yang hendak dicapai yaitu mengetahui cara independensi dan profesionalitas seorang wartawan. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Menambah literatur kualitatif mengenai wacana dunia pers pada umumnya 2. Manfaat Praktis a. Penelitian ini berguna untuk bahan rujukan penelitian selanjutnya terkait wacana wartawan dan pers pada umumnya b. Menambah wawasan baru terkait independensi seorang wartawan D. Kerangka Teoritik 1. Memahami Isi Media Dalam pemahaman sempit media diartikan sebagai sarana menyalurkan dan menumpahkan berita dan informasi. Di sisi lain, dalam pemahaman yang lebih jauh. Produksi media diartikan sebagai sebuah proses panjang yang melibatkan konstruksi realitas yang dipadukan dengan ideologi dan kepentingan tertentu hingga menghasilkan produk berupa berita. Untuk penjabaran yang lebih mendalam, ada tiga pendekatan studi media, yaitu : a. Pendekatan Politik-Ekonomi
  • 5. 5 Menegaskan bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan pollitik. Aktor yang muncul dan berperan yang aktif di sini adalah pemilik media, modal, dan pendapatan media. Ditangan ketiga aktor tersebut berita di seleksi, mana berita yang layak dan tidak layak dimuat. Dalam pendekatan ini berita diposisikan integral dengan relasi ekonomi dalam struktur produksi. Pola dan jenis pemberitaan ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi. 2 b. Pendekatan Organisasi Pengelola media sebagai pihak yang aktif dalam proses dan pembentukan berita. Berita dilhat sebagai proses dari ruang redaksi. praktik kerja, profesionalisme dan tata aturan dalam ruang organisasi adalah unsur-unsur yang dinamik yang mempengaruhi pemberitaan. Proses produksi berita adalah mekanisme keredaksian yang bersifat internal. Media dianggap otonom dalam menentukan tidak atau bolehnya yang diberitakan. 3 Nilai berita tidak semata dipandang dari sisi ekonomi atau pun politik tetapi lebih pada bobot berita itu sendiri. Sekilas pendekatan organisasi menitikberatkan pada kinerja internal di mana nilai profesionalisme sangat dijunjung tinggi dan 2 Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hlm. 2-5. 3 Ibid,. hlm.3.
  • 6. 6 rapat di meja redaksi adalah eksekusi mutlak berita yang layak atau pun tidak layak cetak. c. Pendekatan Kulturalis Pendekatan ini merupakan gabungan dai kedua pendekatan tersebut. Proses produksi dilihat sebagai proses yang rumit yang melibatkan faktor internal dan eksternal media. Kerumitan ini sangat kentara saat perdebatan di meja redaksi. Media pada dasarnya memang mempunyai mekanisme untuk menentukan pola dan aturan organisasi. Tetapi pola organisasi media tersebut tidak bisa luput dari kekuatan eksternal (ekonomi-politik) yang melingkupinya.4 Kembali pada perbincangan pendekatan kulturalis, pengaruh pihak ekstenal media mempunyai posisi yang berbeda dibandingkan dengan pendekatan ekonomi-politik. Dalam pendekatan ekonomi politik. Pengaruh eksternal itu digambarkan bersifat langsung dan koersif. Misal pengaruh pengiklan, kekuatan modal, atau partai politik sangat bisa mempengaruhi isi media berupa pola penulisan dan konteks berita yang dituliskan. 5 Dalam pendekatan kulturalis, intervensi kekuatan ekonomi politik dalam suatu pemberitaan tidak bersifat langsung. Misal sebuah kasus, seorang wartawan merasa beritanya berimbang dan objektif 4 Ibid,. hlm. 4. 5 Ibid,. hal. 5.
  • 7. 7 padahal sebenarnya berita itu telah menguntungkan pihak ekonomi tertentu. Contoh aplikatifnya pemberitaan mengenai antara petani, pemilik kebun dan pemerintah. Pemilihan narasumber wartawan pemilik kebun dan pemerintah serta meminggirkan porsi petani, tanpa sadar telah menguntungkan pihak kapital politik (pemilik kebun dan pemerintah).6 Gambaran pendekatan kulturalis bisa dilihat pada pers paska orde baru. Sebagai katalisator gonjang-ganjingnya situasi negara akibat reyotnya pilar perekonomian negara. Hingga berujung pada “pembebasan “ Mei 1998. Persoalannya kemudian apakah pada perkembangan selanjutnya pers dapat mempraktikan ide-ide profesionlaisme dan etika jurnalistik yang ideal ? Pers telah masuk dalam industri kapiltalisme global, dan ada batasan-batasan struktural yang membuat tidak semua nilai-nilai ideal pers dapat diwujudkan.7 Bersandingnya pers dengan pihak eksternal tidak diharamkan, bagaimana pun juga kekuatan modal atau politik secara langsung memang turut berperan dalam kehidupan pers. Tantangan ke depan bukan memisahkan antara idealitas pers dengan kekuatan eksternal tersebut melainkan mengawinkannya. Pasalnya guna mewujudkan iklim demokrasi yang utuh semua elemen 6 Ibid,. hal. 5. 7 Ibid,. hlm. 5.
  • 8. 8 kebangsaan saling menguatkan baik kekuatan eksternal maupun pers secara internalnya. 2. Urgensi Kode Etik Jurnalistik Semua profesi memiliki aturan main yang disebut kode etik profesi begitu juga dengan wartawan. Dalam kiprahnya di lapangan terikat dengan kode etik profesinya. Ada beberapa organisasi wartawan : Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi (IJT), dan lain-lain. Mereka masing-masing memiliki kaidah aturan sendiri-sendiri. Namun Dewan Pers bersama dengan 29 organisasi wartawan telah menyepakati Kode Etik Jurnalistik Indonesia pada tahun 1999 yang memuat 11 pasal dan direvisi pada ahun 2006. 8 Selain peraturan dasar di atas, secara universal Lembaga Pers Indonesia menerapkan kaidah kejurnalistikan 9 yang berlaku kepada para wartawan, yakni : a. Standar / konvensi jurnalistik yang sifatnya universal. Berupa materi dasar di mana setiap wartawan harus memahami dan menerapakan standar kewartawanan dan konvensi jurnalistik yang telah disepakati. b. Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Yang dijadikan rujukan insan pers adalah yang disusun oleh dewan Pers tahun 2006 . 8 Sirikat Syah, Rambu-Rambu Jurnalistik dari Undang-Undang Hingga Hati Nurani, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 1. 9 Ibid,. hlm. 2.
  • 9. 9 c. Undang-Undang Pers No 40/ 1999 d. Undang-Undang Penyiaran No 32/ 2002 dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Program Standar Siaran (P3-SPS). e. Delik Pers dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), UU Informasi dan Transaksi (ITE), dan aturan hukum lainnya. f. Norma masyarakat dan hati nurani. Berupa rambu-rambu tidak tertulis, yang mana harus melekat dalam diri wartawan. Masyarakat profesional jurnalis meyakini bahwa tujuan jurnalisme adalah untuk menyajikan kebenaran. 10Sehingga cuplikan prinsip etis di atas harus diamalkan sebagaimana mestinya. Selebihnya, etika bagi pengelola pers merupakan rumusan perspektif moral yang diacu dalam setiap mengambil keputusan peliputan dan pemuatan suatu fakta menjadi berita. 11 Etika memiliki dua wilayah, subtantif dan operasional. Subtantif adalah wilayah moral yang dianut wartawan secara personal misalnya prioritas atas kasus publik ketimbang privat. Sedangkan etika operasional lebih memuat panduan etis dan teknis seputar balance narasumber, akurasi, dan menolak sogokan. 12 10 Masduki, Kebebasan pers dan Kode Etik Jurnalistik, (Yogyakarta : UII Pers, 2003), hlm. 48. 11 Ibid,. hlm. 48. 12 Ibid,. hlm. 48.
  • 10. 10 Maka penjabaran dari kedua aspek etika tersebut, urgensi kode etik jurnalistik yang universal 13 bisa dirumuskan sebagai berikut :  Ia akan membawa manfaaat yang obyektif pada masing-masing orang dan masyarakat pada waktu yang lama.  Memiliki validitas moral yang terhimpun dalam pertanyaan apakah baik kalau semua orang melakukan hal itu ?  Setiap nilai universal menuntut kesadaran diri, apa yang dianggap betul akan selalu sesuai dengan perasaan dan penalaran individu.  Nilai universal akan melahirkan kebudayaan dan tindakan kepahlawanan yang dihargai. Benang merahnya, pengakuan atas nilai-nilai universal adalah inti ajaran kode etik jurnalistik. E. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metodologi kualitatif. Berperan sebagai prosedur penelitian yang mengahasilkan data-data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini mengarah pada latar dan individu tersebut seacara holistik (Bogdan dan Taylor, 1975 : 5). 2. Jenis Penelitian 13 Ibid,. hlm. 50.
  • 11. 11 Penelitian ini bersifat deskriptif. Suatu penelitian yang bertujuan untuk menampilkan gambaran situasi, setting sosial dan hubungan. Penelitian ini memusatkan pada “bagaimana dan siapa” (Wimmer dan Dominick, 1991:140) dengan demikian peneliti tidak akan memandang memang sesuatu itu memang demikian adanya.14 3. Unit Observasi dan Unit Analisis Unit observasi penelitian ini adalah nilai independensi dan profesionalitas wartawan. Sementara unit analisis penelitian ini adalah lingkup nilai independensi dan profesionalitas wartawan dalam perannya membangun demokrasi yang bermartabat. 3. Jenis Sumber Data Menurut Lofland dan Lofland (1984: 47) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.15 Berdasarkan pemahaman Lofland data yang diambil seputar wacana tentang independensi dan profesionalitas wartawan serta sumber artikel, dokumentasi terkait kajian yang dibahas. 4. Teknik Pengumpulan Data Sesuai dengan jenis penelitian kualitatif dan sumber data yang digunakan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Studi dengan menggali 14 Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 6 15Ibid,. hlm. 157.
  • 12. 12 informasi dari berbagai literatur, bacaan, artikel, dan sumber lain yang relevan terkait permasalahan yang dibahas. F. Metode Analisis Data Menurut Bogdan, analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain sehingga mudah dipahaami oleh orang lain.16Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pencarian data berdasarkan analisis studi pustaka. Meliputi proses resume materi, mengkomparasikan wacana-wacana, menganalisisnya dengan teori-teori yang ada lalu menyimpulkan hasil analisis. 16 Prof.Dr.Sugiyono, Metode Penelitan Kuantitatatif dan Kualitatif dan R &D, (Bandung: Alfabeta, 2008), hlm. 244.
  • 13. 13 BAB II PEMBAHASAN A. Membangun Konsep Baru Media Studi tentang media merupakan persoalan yang rumit dan komplek. Media selalu menjadi pergulatan wacana yang menyangkut sisi kehidupan vital manusia, ekonomi, politik, bahkan bagian ideologi tersempit dari masyarakat. Memahami keadaan tersebut perlu adanya pandangan yang secara menyeluruh menampung kajian media ini, jangan hanya memusatkan kajian pada efek dan rapuhnya independensi wartawan sebagaimana yang sering terjadi di masyarakat. Setidaknya ada tiga hal yang perlu dipahami tentang studi media, yaitu :17 1. Menyadarkan bahwa kajian media harus menjadi kajian masyarakat atau teori-teori media harus menjadi teori-teori masyarakat. 2. Kajian media tida hanya terkotak soal efek media. Yang lebih mendesak adalah kajian holistik yang mampu menawarkan rekomendasi kebijakan lebih menyeluruh, makro dan mampu pula menyadarkan dan memberdayakan publik dalam persoalan seputar operasi media di ranah publik. Kajian media perlu menggeluti mengapa masalah simbolik media terasa tidak aman di kalangan publik. 17 Agus Sudibyo, Kebebasan Semu Penjajahan Baru di Jagat Media, (Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara, 2009), hlm. xi.
  • 14. 14 3. Kajian media tidak bisa terlepas dari masyarakat. Di mana media bersikap respect terhadap perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Peran media di sini lebih mengarah pada kekuatan mandiri dalam menjaga sikapnya ketika bersinggungan dengan operasi modal yang mana- bagian awal perubahan sosial terjadi. Melalui ulasan di atas, sedikitnya telah memberikan tawaran solusi dalam menyelesaikan masalah terkait media. Pandangan holistik terhadap media akan mengarahkan kita pada dunia pers yang paripurna. Bahwa media yang memuat pers di dalamnya bukan lah sepenggal tema yang bisa diselesaikan dengan satu penyelesaian yang bersifat temporal. Pemahaman yang utuh terhadap media, lebih mengarahkan kita pada titik penyelesaian yang lebih bermakna. Karena media bukan sebatas kontemplasi makna berita dan kebebasannya. Lalu terkait dengan wartawan, meyakini adanya media adalah milik bagian dari masyarakat- sebuah fakta yang dituturkan tentu tidak dengan mudah meremehkan perhatian masyarakat. Porsi keaktifan masyarakat-yang dinamis melanggengkan wacana bahwa pengaruh independensi wartawan dalam beritanya turut mempengaruhi struktur sosial yang telah dibangun sebelumnya. Sehingga wartawan dituntut menjunjung profesionalismenya, berita yang dikonsumsi juga merupakan “hak” masyarakat yang haus akan informasi. Lantas nilai berita yang bersifat penting dan mendesak lebih berarti daripada sekedar cuplikan peristiwa yang bombastis.
  • 15. 15 B. Profesioanalisme Wartawan Untuk mengawali kajian ini, lebih dahulu kita memahami arti dari wartawan. Wartawan dipandang dalam dua sudut pandang. Pertama, definisi operasional. Menjelaskan bahwa wartawan adalah orang yang selalu berhubungan dengan warta/ berita. Dalam UU No 40 tahun 1999, wartawan diartikan orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik (Subur, 2001). Kedua, definisi filosofis. Menurut Adinegoro wartawan berperan sebagai juru berita, ahli berita. 18 Memahami definisi di atas dalam diri wartawan bersifat aktif bahkan hiperaktif merespon terjadinya peristiwa penting. Partisipasinya pada suatu peristiwa membawa wartawan pada dua sikap yang berbeda, yakni wartawan bersikap meneruskan berita di mana dia berperan selayaknya sebuah cermin (netral) ; yang memantulkan fakta secara apa adanya. Dan di sisi lain wartawan juga bisa berperan sebagai wakil publik, pengkritik pemerintah, pendukung kebijakan dan penentang kebijakan. Dalam arah yang lebih jauh, ketika memasuki kerangka isi media. Wartawan akan menghadapi tipologi pendekatan isi media sebagaimana telah dijelaskan di atas (kerangka teori). Suara hati nurani yang termanifestasikan dalam bentuk independensi wartawan ini menjadi landasan hidup ideal. Dan kebebasan pers juga tidak diartikan sepihak di mana masyarakat bebas untuk memperoleh informasi serta 18 Masduki, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik, (Yogyakarta : UII Pers, 2003), hlm. 30.
  • 16. 16 mengungkapkan pendapatnya. 19 Inilah wujud yang sebenarnya, kebebasan pers merupakan sosok yang esensial dalam masyarakat demokratis. Untuk isu klasik seperti intervensi politik atau modal meruntuhkan kemandirian (profesionalitas) wartawan jika kesadaran kebebasan pers ini disadari oleh awak media, pemerintah dan masyarakat. Ada tiga prasyarat yang melandasinya yakni : 1. Hapusnya ketimpangan sosial dalam masyarakat berupa pemilikan kekayaan 2. Terbentuknya kesadaran tentang keutamaan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi 3. Demokrasi membutuhkan sistem komunikasi politik yang efektif 19 Ibid,. hlm. 9.
  • 17. 17 C. Kebebasan Pers Vs Intervensi Politik Pemerintah Seorang wartawan yang tersentuh sistem politik ekonomi. Saat merekam realitas akan membelitkan dirinya pada ikatan framing yang bertendensi tinggi. Tentu sistem penyeleksian alami bermotif personal tertentu turut mempengaruhi “tangannya” dalam menuliskan realitas. Akumulasi fakta merupakan bahan informasi yang (pasti) direkonstruksi agar tercipta makna berita tertentu sesuai penafsiran wartawan tersebut, yang mana hal itu merupakan wujud terkecil wartawan “melayani” kepentingan elite kekuatan eksternal. Tentu wartawan bukan pendongeng yang membariskan berita dengan “romantisme istana negeri dongeng” lalu menyempilkan ruas-ruas kesalahan raja (penguasa) pada bagian yang dianggap hilang. Lebih dari itu, wartawan yang menyandang insan pers adalah agen operasional utama pers- melalui profesionalitasnya sebuah fakta diteruskan bukan direka bahkan dibentuk. Hal itu merupakan contoh kecil, di mana menjadi sebuah konsekuensi dari demokrasi keterwakilan yang harus kita terima. Adanya kebebasan pers harus berhimpitan dengan supremasi pemerintah. Tetapi hal itu bukanlah hambatan pasalnya “atas restu” demokrasi lah pemerintah berperan dalam percaturan media dan pers. Walaupun disadari dalam pemaknaan ruang publik pemerintah belum tentu mempresentasikan aspirasi publik tersebut. Persepsi pemerintah mengenai pers masih terdeterminasi phobia masa lalu (Orde Baru).
  • 18. 18 Kebebasan pers yang disandang oleh wartawan bukan semata label keblabasan ilegal yang biasa didengungkan oleh pihak subordinat politik media melainkan hak kodrati yang melekat kepada diri wartawan dan pengelola media pada umumnya. Ancaman intervensi terbesar kebebasan pers di Indonesia berasal dari kekuatan elite politik di pemerintahan dan partai politik. Bila di antaranya merasa gerah terkait pemberitaannya di media. Hadiah kecil akan menyambangi wartawan yang berujung pada ancaman bahkan penutupan media terkait. Bahkan disinyalir upaya pemerintah dalam menjinakan pers telah memasuki ranah sistemik pada tiga aspek : pertama, perundang-undangan yang dibuat elastik seperti UU No 40 tahun 1999 dengan tanpa law enforcement yang memadai. Kedua, oknum wartawan melalui berbagai fasilitas dan anggaran khusus periodik. Ketiga, elite pengelola media yang bersangkutan.20 Adanya pers adalah milik bersama begitu pun, adminstrasi hukum (tat aturan ) yang ada harus diposisikan balance anatara porsi pemerintah, pers, dan masyarakat. Tarik ulur kepentingan dalam penggodokan aturan harus berlandaskan kepentingan bersama. Nah, untuk konsep kebebasan pers Indonesia mengalur pada demokrasi Pancasila. Yang mana hal itu disimilarkan oleh Dewan Pers di era orde Baru sebagai “pers yang bebas dan bertanggung jawab”.21 Dalam 20 Ibid,. hlm. 21. 21 Ibid,. hlm. 14.
  • 19. 19 arti yang luas istilah bertanggung jawab didasari pemikiran bahwa kebebasan pers memegang tanggung jawab kepada masyarakat dalam menjalankan fungsinya. Penegasannya terletak pada tanggung jawab kepada publik-. Sebuah berita yang dikonstruk oleh wartawan harus dijiwai kesadaran dari “amanahnya” kepada publik ini. Sekalipun terjamah tangan politik, bukan menjadi ancaman melainkan tantangan sejauh mana wartawan menjunjung independensinya ?
  • 20. 20 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan terdahulu dapat disimpulkan bahwa terkait independensi wartawan setidaknya memiliki tiga aspek yang perlu mendapat perhatian. Pertama, media diapandang sebagai fakultas pemikiran yang besar di mana wartawan sebagai unit kecil dari media. Perlu pemahaman yang menyeluruh (holistik) dalam menangani masalah media. Peran media tidak terfokuskan pada wartawan (produsen berita) atau campur tangan pihak lain. Tetapi muara final, yakni masyarakat publiklah yang dijadikan fokus utama. Memang sejatinya, target dari publikasi berita adalah konsumen/ masyarakat. Dari pandangan inilah nantinya tercipta kesadaran bersama bahwa media bukan lagi milik siapa, permainan siapa melainkan untuk siapa. Sehingga pola dan bentuk pemberitaan adalah milik bersama, yanag mana kualitas dan bobot isi berita dapat diandalkan kebermanfaatannya. Kedua, pemaknaan dari profesioalitas wartawan adalah suatu sikap wartawan meneruskan berita di mana dia berperan selayaknya sebuah cermin (netral) ; yang memantulkan fakta secara apa adanya. Dan di sisi lain wartawan juga bisa berperan sebagai wakil publik, pengkritik pemerintah, pendukung kebijakan dan penentang kebijakan. Kesadaran kebebasan pers ini disadari oleh awak media, pemerintah dan masyarakat. yang mana hal itu bersandar pada tiga prasyarat : (1) Hapusnya
  • 21. 21 ketimpangan sosial dalam masyarakat berupa pemilikan kekayaan. (2) Terbentuknya kesadaran tentang keutamaan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. (3) Demokrasi membutuhkan sistem komunikasi politik yang efektif. Ketiga, bagi negara demokrasi peran pemerintah terhadap keberlangsungan pers memang tidak bisa diabaikan. Mengingat, baik pers dan pemerintah keduanya merupakan elemen kebangsaan yang menguatakan satu sama lain. Adanya pers adalah milik bersama begitu pun, adminstrasi hukum (tat aturan ) yang ada harus diposisikan balance anatara porsi pemerintah, pers, dan masyarakat. Tarik ulur kepentingan dalam penggodokan aturan harus berlandaskan kepentingan bersama. Pada persoalan kebebasan pers berpatokan pada alur-alur demokrasi Pancasila. kebebasan pers memegang tanggung jawab kepada masyarakat dalam menjalankan fungsinya. Penegasannya terletak pada tanggung jawab kepada publik-. Sebuah berita yang dikonstruk oleh wartawan harus dijiwai kesadaran dari “amanahnya” kepada publik ini.
  • 22. 22 DAFTAR PUSTAKA Agus Sudibyo, Kebebasan Semu Penjajahan Baru di Jagat Media, Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara, 2009. Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana, Yogyakarta: LKIS, 2001. Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012. Masduki, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik, Yogyakarta : UII Pers, 2003. Prof.Dr.Sugiyono, Metode Penelitan Kuantitatatif dan Kualitatif dan R &D, Bandung: Alfabeta, 2008. Sirikat Syah, Rambu-Rambu Jurnalistik dari Undang-Undang Hingga Hati Nurani, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011.