SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 589
Baixar para ler offline
1


                                  IKHTISAR

       Pembahasan dalam penelitian ini mencoba menjawab tiga permasalahan
yaitu:
(1) Masalah pertama tentang karakteristik lembaga wakaf; (a) Menurut hukum
     positif masalah wakaf telah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan
     terakhir dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf yang
     dapat dikatakan relatif telah menampung hampir seluruh masalah
     perwakafan sesuai dengan aspirasi umat dan kebutuhan hukum masyarakat.
     Undang-undang Wakaf ini mengindikasikan adanya akomodasi bagi
     perbedaan mazhab agar dengan demikian tercapai kepastian hukum
     (rechtzekerheid) dan tercapainya unifikasi dan uniformisiasi aturan wakaf
     yang selama ini tersebar pada berbagai peraturan perundang-undangan. Juga
     undang-undang ini mengisyaratkan perlunya dibentuk beberapa peraturan
     pemerintah antara lain tentang sistem wakaf uang dengan sertifikat wakaf
     melalui bank syariah dan sebagainya yang kini masih dalam penggodokan. (b)
     Menurut Hukum Islam wakaf merupakan satu sistem muamalah (interaksi
     manusia yang bermotif ibadah),sederhana unsur-unsurnya yaitu wakif, benda
     wakaf (maukuf), peruntukan/tujuan wakaf (maukuf alaih) dan ikrar. Wakaf
     berbeda dengan zakat, infak, shadaqah (lembaga hukum Islam), hibah,
     yayasan dan trust (lembaga hukum perdata). Mentoleransi perbedaan mazhab
     (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali dan Syi’ah) mengenai berbagai hal seperti
     definisi, syarat, macam wakaf, benda wakaf yang tidak berfungsi dan
     sebagainya, namun mereka bersepakat dalam menerima wakaf sebagai
     bahagian dari syariat Islam.
(2) Masalah kedua : studi kasus tentang penerapan hukum wakaf dalam
     yurisprudensi terutama mengenai pertimbangan hukum oleh (majelis) hakim;
     pengungkapan dilakukan atas sebelas kasus sengketa (gugatan perkara) wakaf
     yang terjadi di Surabaya, Kudus, Sumedang, Bandung, Sukabumi dan Serang
     (masing-masing 1 kasus), Tasikmalaya ( 3 kasus) dan Cianjur ( 2 kasus). 7
     kasus diperiksa oleh PN/PT dan 4 kasus oleh PA/PTA terutama sesudah
     Undang-undang No.7/1989 tentang Peradilan Agama berlaku.            Sebagian
     besar sengketa antara wakif atau ahli warisnya dengan nazhir atau antara
     nazhir dengan pihak ketiga. Substansi perkara di antaranya mengenai
     keabsahan wakaf, gugatan status tanah sebagai harta warisan dan terjadinya
     tumpang tindih tanah wakaf sekaligus tanah HGB bahkan dibebani hak
     tanggungan, yang nyaris akan disita oleh pengadilan karena debitur (yang juga
     menjabat nazhir) wanprestasi. Terhadap 10 kasus baik pertimbangan hukum
     maupun putusan hakim dinilai telah benar dan tepat sesuai dengan ketentuan
     Hukum Islam dan Hukum Acara Perdata.Satu-satunya yang ditolak
     Mahkamah Agung karena tidak memenuhi syarat suatu permohonan PK
     (Pasal 67 Undang-undang No.14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).
     yaitu kasus Cisayong Tasikmalaya yang mengajukan permohonan PK untuk
     pengukuhan wakaf yang dinazhirinya.
(3) Masalah ketiga: Dua permasalahan tersebut di atas (masalah pertama dan
     masalah kedua apabila dievaluasi ternyata telah sesuai dengan Sistem Hukum
     Nasional antara lain secara ideologis memenuhi cita hukum Pancasila,
     mengandung nilai-nilai filosofis, yuridis dan sosiologis dan memenuhi
     ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan (a.l. Undang –undang
2


No.10 tahun 2004). Juga ternyata telah sejalan/searah dengan asas-asas
Hukum Islam, seperti dalam hal tujuan syariat Islam untuk menyikapi harta
benda yang dimiliki seseorang selain harus diperoleh secara halal dan baik
(thayib) juga dimanfaatkan untuk keperluan ibadah dan kemaslahatan umum,
memotivasi penggunaan dan pemanfaatan harta benda yang dimilikinya
seyogianya sesuai dengan tuntutan dan tuntunan agama yaitu berada pada
jalan yang diridlai Tuhan.
Kata kunci : Wakaf, Undang-undang Wakaf dan Yurisprudensi
3


                                   SUMMARY

The analysis of this research is try to respond three problems as in the
 below:
(1) The first problem is related with the first characteristic of ‘wakf’
    institution, i.e.: (a) in accordance with the Positive Law, the pro-
    blem of ‘wakf’ has been included into the last regulation of legislation, i.e. on
    the Legislation No. 41/2004 about ‘Wakf’, in which is able to be relatively
    thought that it has integrated almost all problematic of ‘wakf’ in accordance
    with the need of the aspiration of members of Islamic community and the need
    of community law. This ‘Wakf’ law indicates the availability of
    accommodation for the difference of Islamic schools in order to obtain the law
    certainty (rechtzekerheid) and to obtain the unification and uniformity of
    ‘wakf’ regulation that till recently were distributed on the regulation of
    legislation. This legislation is also indicates the signals of the need to
    formulate several governmental regulations, among them, in dealing with the
    system of money ‘wakf’ with the certification of ‘wakf’ through Bank of
    ‘Syari’ah’, etc., that is formulated till recently; (b) in accordance with the
    Islamic Law Principles, ‘wakf’ constitutes a system of muamalah (the
    interaction based on the devotion motive and material transaction as far as no
    change the ownership of ‘wakf’ material) with the simple elements,i.e.: wakif
    (the provider of ‘wakf’), maukuf (the material of ‘wakf’), maukuf alaih (the
    intention/allotment of ‘wakf’), and ikrar (the statement/declaration of intent).
    ‘Wakf’ is difference in gradually with zakat (tithe), infak, shadakah, and hibah
    (grant/legacy). In tolerating the difference of Islamic schools (Hanafi, Maliki,
    Syafi’i, Hanbali, and Syi’ah) in dealing with several matters as definition,
    requisite/prerequirement, types of ‘wakf’, the materials of ‘wakf’ in which are
    disfunction, etc., though they agree in considering ‘wakf’ as a part of Islamic
    Law (Syari’at of Islam).
(2) The second problem: the case study about the application of ‘wakf’ law in
    jurisprudence, primarily in the judicial considerations were used by (court)
    judges, the acts of expressing/revealing were done researcher for eleven legal
    action or dispute cases (lawsuits) of ‘wakf’ on Surabaya, Kudus, Sumedang,
    Bandung, Sukabumi, and Serang (one case for each area), Tasikmalaya (three
    cases), Cianjur (two cases), and had been reviewed by public court and
    religious court (after Legislation No. 7/1989 about Religious Court). Almost
    disputes were appeared between wakif (the provider of wakf) or heirs and
    nazhir or between nazhir with third party. Among of lawsuit content were the
    validity of ‘wakf’, suit of land status as material heir, and overlapping of
    ‘wakf’ land together with the right of building usage, and in the contrary it’s
    charged by right of burden which was almost seized by court because of the
    uncompetent debtor (also as nazhir). The judgment and decision of judge are
    assessed for ten cases have been significant and in accordance with the
    conditions of Islamic Law and Civil Law. The only one was refused by
    Supreme Court because of it was unfulfillment the conditions as a proposal of
    Law Review (paragraph 67 of Legislation No. 14/1985 about Supreme Court),
    i.e. the Case of Cisayong, Tasikmalaya that propose the proposal of Law
    Review for strengthening the ‘wakf’.
4


(3) The third problem: Whenever the two problems above (the first and the second
    problem) are evaluated, in fact they have been in accordance with the National
    Law System, among of them, they are in accordance with the intent of
    constitutional law, i.e. Pancasila, have the content of philosophical, juridical,
    and sociological values, and fulfill the conditions of formulating the regulation
    of legislation (e.g. Legislation No. 10/2004); and indeed its also has been in
    accordance with the principles of Islamic Law, as in the intent of Syari’at of
    Islam, in order to behave the someone’s material or property beside must be
    obtained by legal and right ways (thayib), and also it’s used for the
    requirement of the religious service and public usage, to motivate the usage of
    his/her material/property (‘wakf’) in order to be used in accordance with the
    requirement and religious requirement, i.e. exist in accordance with the ways
    are blessing of God.

   Key Words: ‘Wakf’, ‘Wakf’ Legislation, and Jurisprudence.
5


                               SEKAPUR SIRIH

Bismillahir- rahmanir – rahim,
                     Dengan memanjatkan puji syukur ke hadlirat Allah Subhanhu
wa Ta’ala, akhirnya penulisan disertasi ini terselesaikan dengan tuntas.
                     Dalam kaitan ini, penulis teringat petuah Sayidina ‘Ali bin
Abu Thalib seorang Khalifah Nabi Muhammad s.a.w. yang keempat ketika ia
memberi nasehat kepada para penuntut ilmu, isinya kurang lebih sebagai berikut :
“Anda tidak sekali-kali akan memperoleh ilmu yang dalam lagi luas kecuali
menempuh enam syarat, yaitu (1) Kemauan yang keras, (2) kecerdasan yang
memadai, (3) bekal yang mencukupi , (4) kesabaran yang tidak mengenal putus
asa, (5) rela mengikuti bimbingan sang guru, (6) kesediaan dan kesadaran akan
menempuh proses waktu yang cukup lama. Alangkah benarnya petuah itu dengan
yang penulis alami sebagai seorang yang menggapai suatu bidang ilmu dalam
kondisi yang tidak lagi muda usia. Izinkan untuk disisipkan satu lagi dari
kristalisasi pengalaman selama studi yaitu diperlukan semangat laksana dian yang
kunjung padam. Semangatlah yang mendinamisasi segala aktivitas.
                     Penulis menginsyafi betapa sulitnya ketika mencari dan
menjajaki topik penelitan yang dapat mendatangkan kemanfaatan bagi umat dan
sesama manusia. Setelah melalui pertimbangan yang tidak sebentar, pada akhirnya
penulis menentukan pilihannya pada topik lembaga hukum wakaf (bahagian dari
Hukum Islam). Satu bentuk mu’amalah yang bertendensi keagamaan, singkatnya
ilmu duniawi dan ukhrawi atau ilmu hukum yang berlatarbelakang dan
bernafaskan ilmu agama. Tentunya tidak terlepas dari sistem hukum nasional
karena masalah tersebut diterapkan di tanah air Indonesia.
                     Sehubungan dengan itu perkenankan penulis menyampaikan
penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
    1. Promotor, Ko-promotor dan para penguji. Juga kepada Rektor, Ketua
         Program Pasca Sarjana UNPAR dan personil Staf serta segenap para
         pengajar Program Pascasarjana (PPS) bidang Ilmu Hukum baik ketika
         penulis mengikuti kuliah pada Program S-2 maupun Program S-3.
    2. Sudah selayaknya secara agak lebih bersifat pribadi khususnya kepada
         Prof. Dr. Soedjono Dirdjosisworo, SH, MM, MBA; Prof. Dr.H. Lili
         Rasjidi, SH, S.Sos., LL.M., yang dengan tulus telah mendorong penulis
         sebelum penulis memulai kuliah di UNPAR. Prof. Dr. H. Rachmat
         Djatnika, Prof. Dr. H. Abdulgani Abdullah, Ibu Dr. Uswatun Hasanah,
         MA yang dengan senang hati telah memberikan bahan disertasinya. Juga
         Prof. Dr. H.Otje Salman Soemadiningrat, SH dengan tidak jemu-jemunya
         membimbing dan waktu-waktu beliau sering di’ganggu’ penulis selama
         ini. Juga untuk Prof. Dr. B. Arif Sidharta, SH, Prof. Dr. Wila Chandrawila
         Supriadi,SH. dan Dr. I. Bambang Sugiharto.
    3. Beberapa pribadi antara lain Prof. Dardji Darmodihardjo, SH, Prof. Dr.
         Ismangun,.M.Pd, Prof. Abdurrachman Atmosentono (almarhum), Prof.
         Dr. Priyatna Abdurrasyid, SH, Prof. Ahmad Sanusi, SH, Prof. Dr.
         Djalaluddin Rachmat, Prof. Dr. H.M. Tahir Azhari, SH, Dr. H. Rifyal
         Ka’bah, SH, Ibu Hj. Chaerani Wani, SH, Dr. H. Abdurrachman, SH,MH,
         Mayjen TNI Purn. Iskandar Kamil (keempat-empat yang disebut akhir
         semua Hakim Agung) . Bapak Drs. Khalililurrachman,SH, MM, MBA
6


    dan Staf, Direktur Hukum TNI-AD, Ketua Sekolah Tinggi Hukum Militer,
    Rektor Universitas Islam Jakarta, Ketua STIE Perbanas (keempat-
    empatnya di Jakarta), Rektor Universitas Pendidikan Indonesia dan Staf,
    Ketua Sekolah Tinggi Hukum Bandung (kedua-duanya di Bandung) yang
    telah memberi dorongan, nasehat dan bantuan..
4. Ketua/Panitera Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Ketua/Panitera PN
    Kudus, Ketua/Panitera PN Tyasikmalaya, Ketua Pengadilan Agama (PA)
    Tasikmalaya, Ketua/Panitera Pengadilan Negeri Cianjur, Ketua/Panitera
    PN Sumedang, Ketua/Panitera PA Bandung, Ketua/Panitera PA
    Sukabumi, Ketua/Panitera PA Serang, secara khusus Ketua dan Panitera
    Pengadilan Tinggi Agama Bandung serta Panitera Pengadilan Tinggi
    Bandung yang telah memberi bahan dan meminjami literatur secukupnya
    untuk penelitian.
 5. Para pimpinan beberapa yayasan diantaranya Daarut-Tauhiid, Babus
    Salam, At-Taqwa KPAD Gegerkalong, semuanya di Bandung, Yayasan
    Pangeran Sumedang di Sumedang, Dompet Dhu’afa, Yayasan Pendidikan
    Tinggi Dakwah Islam, Yayasan Wakaf Perguruan Tinggi Islam Jakarta
    (semua di Jakarta), Yayasan Ash-Shalihin di Klaten dan Yayasan Badan
    Wakaf Sultan Agung di Semarang yang telah memberi kesempatan untuk
    dilakukan penelitian pada yayasan masing-masing.
 6. . Juga rekan-rekan alumni PPS UNPAR (Dr. Johannes Gunawan, Dr.
    Johannes Ibrahim, Dr. Dwidja Priyatno, Dr. Bernadette Waluyo,
    Dr.Mahidin Gultom dan lain-lain yang pernah membantu penulis.
    Terutama Dr. Shidarta yang pernah membantu mengoreksi draf disertasi.
    Tidak ketinggalan rekan-rekan seangkatan, Dr. Munir Fuady, J.Samosir, H.
    Handoko Kristiyoso, Endang Juandi, yang selama ini saling berdiskusi dan
    bertukar pikiran mengenai perkuliahan; termasuk Yos Faisal Husni,
    Nurzaman, Moch. Basarah, Teddy, Yayan Nurbayan (kandidat Doktor
    IAIN Syarif Hidayatullah).
7. Pimpinan dan para petugas beberapa perpustakaan, antara lain
    Perpustakaan UNPAR, UPI, STHB, ITB,UNPAD (tiga perpustakaan yakni
    Fakultas Hukum, Pascasarjana dan UNPAD sendiri), PN dan PT Bandung,
    PA dan PTA Bandung semua di Bandung, UI Depok, Universitas Islam
    Nageri (UIN,dahulu IAIN) Syarif Hidayatullah semua di Jakarta, UNAIR
    Surabaya, UNDIP Semarang, UII Yogyakarta dan Pondok Modern Gontor
    Ponorogo.
8. Rasanya kurang afdhol sekiranya tidak menyebutkan para dermawan yang
    dengan ikhlas hati telah mengulurkan bantuan ‘logistik’nya demi
    kelancaran studi dan penelitian penulis, yaitu Pimpinan Yayasan Kartika
    Eka Paksi, Ba- pak H. Basofi Sudirman, Bapak H. Saryanto Sarbini,
    Bapak H. Fachrurrazi, (semua di Jakarta), Bapak H. Djalaluddin Pane di
    Medan (warga Paguyuban Punawirawan dan Warakawuri Corps Polisi
    Miiter) dan rekan-rekan Masjid At-Taqwa yang setiap kali selalu bertemu
    muka dan saling bertutur kata.
9. Namun utamanya kepada isteri penulis Ny. Hj. Sri Maryatun Suwadi yang
    dengan tekun dan setia membantu, mendampingi dan ikut memecahkan
    kesulitan apapun yang dihadapi penulis yang tanpa jemu dan lelah
    memberikan perhatiannya yang luar biasa, termasuk anak cucu penulis,
    secara berurutan nanda Basuki & Wiwid dengan kedua anaknya Diana
7


        Habsari (Rine) & Dyas Ambarani (Dire), nanda Dedi & Tetri denga anak
        semata wayang Mazarina Hidanati (Rida), nanda Aris & Dhiena dengan
        trio Rafdi Ghafiki, Nahel Farghani dan Ikbar Farabi, dan nanda Fifi dan
        Faried. Termasuk saudara-saudara kandung/semenda penulis beserta
        suami dan isteri masing-masing bahkan terdapat yang telah lebih dahulu
        mencapai Doktor dari pada penulis (adinda Dr. Djamaluddin Darwis,MA)
        yang selalu mengiringi penulis sejak persiapan masuk ke Program Doktor
        S-3 sampai menjelang kelulusan (promosi).
    10. Terakhir penulis mendoakan kepada kedua orang tua penulis (H.
        Muhammad Darwis Musthafa dan Ibu Hj. Siti Fasyiyah binti H.Dachlan)
        serta kakak dan adik-adik yang telah mendahului menghadap Ilahi Rabbi,
        semoga segala amal baiknya diterima olehNya serta diberi ampunan segala
        dosanya.
     Mudah-mudahan Allah SWT membalas budi baik semua yang tersebut di atas
--dan yang tidak disebut namanya satu persatu karena kekhilafan—dan
menerimanya sebagai amal saleh yang –insya Allah- akan dibalas dengan imbalan
pahala yang berlipat ganda.
  A m i n.

                             Bandung, 26 April 2005
                                     17 Rabi’ul Awal 1426 H

                                                    Penulis


                                                 A.W. Darwis
8


                           DAFTAR ISI DISERTASI


Ikhtisar                     i
Summary              iii
Sekapur Sirih        v
Daftar Isi Disertasi         viii
Daftar Tabel         xi

BAB I     PENDAHULUAN
         A. Latar Belakang Permasalahan            1
              1. Menuju ke Arah Sistem Hukum Nasiona                   1
              2. Lembaga Hukum Wakaf dan Problem-atikanya
                 5
         B. Identifikasi dan Perumusan Masalah      8
         C. Tujuan Penelitian           9
         D. Manfaat Penelitian          9
         E. Tinjauan Pustaka            9
         F. Kerangka Pemikiran
            1. Dengan Acuan Hukum Positif dan Hukum Islam
                                     11
            2. Yurisprudensi Perkara Sengketa Wakaf    22
         G. Metode Penelitian           28
         H. Sistematika Penulisan              37

BAB II WAKAF DALAM TEORI HUKUM DAN TINJAUAN
       HISTORIS
       A. Landasan Teori Sebagai Acuan Analisis              39
          1. Grand Theory : Teori Pembukaan Undang - Undang
              Dasar 1945            40
          2. Middle Range Theory : Teori Manfaat          62
          3. Applied Theory : Teori Pembuktian               72
       B. Wakaf Ditinjau dari Teori Hukum Islam              83
          1. Aspek Religiositas (Religious Aspect)              88
          2. Aspek Kefilsafatan        ( Phylosophical Aspect )
                                94
          3. Aspek Kesyariatan ( The Islamic Law Aspect)
                                96
          4 Aspek Fiqih (The Islamic Yurisprudence Aspect)
                                101
          5. Aspek Ijtihad atau Ra'yu (Rational Aspect)         108
          6. Aspek Kategorisasi       Hukum (Categorisatinal Aspect)
                                124
          7. Aspek (Kandungan) Nilai (Value Aspect)             132
       C. Sejarah Singkat Perwakafan dan Perihal Philantropi
                 142
9


           1. Sejarah Singkat dan Perkembangan Wakaf di Indonesia
                                         142
           2. Praktek Philantropi Dari          Beberapa Agama
                                    158
           3. Wakaf di Dalam dan di Luar Dunia Islam
               162
        D. Hasil Penelitian Wakaf yang Telah Dilakukan di Indonesia
                          178
           1. Dalam Bentuk Disertasi               178
               a. Kusumah Atmadja (Penelitian di Banten)
                   178
               b. Rachmat Djatnika (Penelitian di Jawa Timur)
                                     180
               c. Imam      Suhadi ( Penelitian di Yogyakarta)
                                     186
               d. Uswatun Hasanah (Penelitian di DKI Jakarta Raya)
                                     188
            2. Dalam Bentuk Laporan                191

BAB III LEMBAGA WAKAF MENURUT HUKUM ISLAM/
        HUKUM POSITIF DAN IMPLEMENTASINYA
        A. Wakaf dalam Hukum Positif               193
           1. Pengertian Wakaf           193
           2. Dasar Hukum Wakaf                210
           3. Fungsi, Unsur dan Syarat Wakaf           247
           4. Macam-macam Wakaf                272
           5. Tata Cara Perwakafan             276
           6. Sistem Pengelolaan Wakaf         283
           7. Masalah Sengketa Wakaf dan Tata Cara Penyelesaiannya
                     287
           8. Ketentuan Pidana dalam Peraturan Perundang-undangan
               Wakaf               288
        B. Hukum Wakaf dalam Sistem Hukum Nasional
           291
           1. Latar Belakang Sistem Hukum Nasional           291
           2. Proses Pembinaan Hukum Nasional                303
           3. Langkah Pembinaan Hukum Nasional               316
           4. Cita Hukum dan Jatidiri Hukum Nasional         329
           5. Konsep Asas-asas Hukum Nasional          333
           6. Hukum Wakaf Dalam Sistem Hukum Adat            336
           7. Perbandingan Hukum Wakaf Dengan Sistem Hukum
               Perdata             349
               a. Hukum Wakaf dengan Hukum Hibah               351
               b. Hukum Wakaf dengan Hukum Yayasan             355
               c. Hukum Wakaf dengan Hukum Trust               364
         C. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
             369
             1. Teori Pembentukan Undang-Undang                371
10


             2. Pedoman Pembentukan Peraturan Perundang
                -undangan           375
             3. Tinjauan Undang-Undang Wakaf dari                378
                a. Aspek Sistematika dan Substansi          378
                b. Aspek Filosofis            380
                c. AspekYuridis               390
                d. Aspek Sosiologis           392
          D. Implementasi Wakaf Oleh Unsur Masyarakat
                   398
             1. Yayasan Daarut Tauhiid, Bandung           398
             2. Yayasan Babus Salam, Bandung              402
             3. Yayasan Dompet Dhu`afa Republika, Jakarta
                       407
             4. Yayasan Pangeran       Sumedang, Sumedang, Jawa
                Barat        420
             5.        Yayasan Ash-Sholihin, Klaten, Jawa Tengah
                             422
             6. Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung, Semarang
                       424




BAB IV STUDI KASUS SENGKETA TANAH WAKAF (DALAM
       YURISPRUDENSI)
       A. Yurisprudensi dan Sejarah Singkat Peradilan Agama
                 427
          1. Teori Yurisprudensi
              a. Sumber Hukum dalam Arti Formal              430
              b. Perbedaan Antara Yurisprudensi dengan Undang-
                  Undang               435
          2. Badan Peradilan Agama di Indonesia                 436
              a. Sejarah Singkat Badan Peradilan Agama
                  436
              b. Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
                  Peradilan Agama      438
              c. Asas – asas Umum dan Karakteristik Peradilan
                  Agama                438
       B. Ikhtisar Kasus - kasus Gugatan Perkara Perwakafan
                 440
          1. Kasus Wakaf Surabaya (1956)                 446
          2. Kasus Wakaf Kudus (1957)             447
          3. Kasus Wakaf Singaparna / Tasikmalaya I (1967)
                                448
          4. Kasus Wakaf Sukapura / Tasikmalaya II ( 1968)
                                450
          5. Kasus Wakaf Warung Jambe / Cianjur I ( 1969)
                                452
11


         6. Kasus Wakaf Sumedang (1970)                454
         7. Kasus Wakaf Cisayong / Tasikmalaya III ( 1988)
                             456
         8. Kasus WakafSukabumi (1994)                 457
         9. Kasus Wakaf Cipanas/Cianjur II, (1996)            461
         10. Kasus Wakaf Bandung (2001)                464
         11. Kasus Wakaf Serang (2001)         466
      C. Pembahasan Atas Lima Perkara Pilihan             469
         1. Perkara Wakaf Surabaya (1956)              473
         2. Perkara Wakaf Singaparna / Tasik-malaya I (1967)
                                 483
         3. Perkara Wakaf Sukapura / Tasikmalaya II ( 1968)
                             505
         4. Perkara Wakaf Cisayong/Tasikmalaya III ( 1988 )
                             519
         5. Perkara Wakaf Bandung ( 2001)              540

BAB V    PENUTUP
A. Kesimpulan    571
B. Saran         571

DAFTAR PUSTAKA                        572
DALIL – DALIL           581
RIWAYAT HIDUP               582
12


                                            DAFTAR TABEL

    No       Judul          Bagan                                                            Halaman

    1       Sistematika Syariat Islam                                                            110

    2       Perbedaan Syariat Islam dengan Fiqih                                             115 - 116

    3       Al-Ahkam Al-Khamsah (Kaidah Hukum yang Lima) Versi                                   126
            Pertama
    4       Al-Ahkam Al-Khamsah Versi kedua                                                      126

    5       Perimbangan Ketentuan Mengenai Wakaf Uang                                             266

    6       Perbandingan Unsur Wakaf dengan Unsur Trust                                           368

    7       Struktur Manajemen Dompet Dhuafa Republika                                            409

    8       Resume Keuangan Dompet Dhuafa Republika termasuk                                 418 – 419
            Wakaf Uang
    9       Perbedaan Yurisprudensi dengan Undang-undang                                     435 - 436



                                                    BAB I
                                             PENDAHULUAN

A.                          Latar Belakang Permasalahan

          1. Menuju ke Arah Sistem Hukum Nasional

                     Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi hukum kita pada
              saat ini, di antaranya sebagai berikut :

                     Faktor pertama adalah kemajemukan tatanan hukum nasional kita.
              Adanya pluralisme hukum yang pada kenyataannya tidak dapat dihindarkan;
              hal ini telah berlangsung lama sejak era pra kemerdekaan Republik Indonesia
              baik yang diakibatkan oleh warisan sistem hukum kolonial (pemerintahan
              Hindia Belanda dan Jepang) -- yang masih dialami pada saat kemerdekaan
              diproklamasikan -- maupun pada era Pasca Kemerdekaan,1 yaitu berupa
1
                  John Ball, The Struggle for National Law in Indonesia, Faculty of Law University of Sidney,
        1986, hal. 26 dalam Soetandyo Wignyosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Raja
        Grafindo Persada, Jakarta 1994, hal. 181-198. Lihat pula B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur
        Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000, Cet.II, hal. 56. Baca juga C.V.G. Sunaryati Hartono, Politik
        Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, Cet. I, hal. 58-61. Baca pula
        artikel Komaruddin Hidayat, Mantan Ketua Panitia Pengawas Pemilu (PANWASLU) tahun 2004, Cacat
13


          sistem dan tatanan hukum nasional yang dibuat pada era orde lama dan era
          orde baru, akan tetapi pada era reformasi nasional dewasa ini dipandang
          tidak sesuai lagi dengan iklim dan semangat Reformasi Hukum, yang
          pelaksanaannya sampai sekarang ini belum tuntas, bahkan banyak sekali
          kendala-kendala yang tidak ringan untuk diatasi.

                Faktor kedua, dewasa ini ‘dunia’ hukum Indonesia sedang berada di
          tengah-tengah proses perwujudan sistem dan tatanan hukum nasional,
          atau dengan kata lain menunjukkan gelagat baru yang positif dalam
          proses mencari identitas hukum menuju ke sistem hukum nasional yang
          definitif.

                Faktor ketiga, mengenai kesadaran hukum bangsa Indonesia (secara
          umum) yang masih memprihatinkan. Kurang dijunjung tingginya hukum
          masih tampak dimana-mana,2 meskipun kita sejak tahun 1998 telah bertekad
          bulat melaksanakan reformasi nasional termasuk bidang hukum.3

                Salah satu arahan pembangunan nasional yaitu menempatkan bidang
          hukum sebagai sasaran utama. Lebih lanjut disebutkan bahwa sasaran
          bidang hukum ini adalah pembentukan dan pemfungsian sistem hukum
          nasional yang mantap, bersumberkan Pancasila dan Undang-Undang
          Dasar 1945, dengan memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang
          berlaku yang mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan
          perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran serta
          mampu mengamankan dan mendukung pembangunan nasional, yang
          didukung oleh aparatur hukum, sarana dan prasarana yang memadai serta



    Bawaan Demokrasi, (Kompas tanggal 4-1-2004, hal.4) yang antara lain mengatakan bahwa “Secara
    historis empiris nampaknya demokrasi dinilai paling unggul (jika dibanding dengan sistem yang lain)
    terutama ketika tingkat pendidikan masyarakat semakin maju bersama telah dialami dengan munculnya
    pluralistic society baik di tingkat nasional maupun di tingkat global”
2
               Dalam artikel yang berjudul Tahun 2004 Momentum Penting Kemajuan Bangsa, Wiranto,
    Mantan Menhankam/Pangab, kini Ketua Dewan Eksekutif Institute for Democracy of Indonesia
    mengatakan bahwa: „ Dewasa ini ruang kebebasan yang lahir dalam kondisi masyarakat yang dilanda
    euforia, sementara hukum tidak tegak (kursif dari Penulis) dan pemerintahan cenderung lemah karena
    berhadapan dengan rupa-rupa realitas baru dalam kehidupan sosial politik dan kemasyarakatan,
    kebebasan sering berbuntut anarki. Ruang-ruang privasi dilanggar, hak orang lainpun bila bisa diambil
    akan diambil. (Kompas, Jum’at tanggal 2 Januari 2004 hal. 4 – 5).
3
               Sekali lagi Komaruddin Hidayat (Ketua Panwaslu Pusat) mengisyaratkan bahwa komponen
    pendukung tumbuhnya demokrasi yang paling vital adalah penegakan hukum yang adil, tegas dan tuntas
    mutlak diperlukan (Kompas, 2 Januari 2004, hal.4).
14


           masyarakat yang sadar dan taat hukum. (kursif dari Penulis).4 Selanjutnya
           dalam Ketetapan Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan
           Negara (1999-2004) lebih dipertegas, bahwasanya yang dimaksud dengan
           hukum yang majemuk itu adalah Hukum Agama (Islam), Hukum Adat,
           Hukum warisan kolonial dan Hukum Nasional yang dibuat pada era
           sebelum reformasi 1998; tetapi di dalamnya terdapat cacat hukum yang
           bernuansa diskriminatif, misalnya ketidakadilan gender dan lain-lain.

                Terobosan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam merintis
           lahirnya sistem hukum nasional, dalam sejarah hukum Indonesia telah
           melampaui beberapa tonggak sejarah, yaitu :

                Tonggak pertama; ketika bangsa Indonesia5 mengambil tindakan yang
           disebut sebagai a hogere politieke beslissing6 (keputusan politik tinggi)
           dalam menentukan nasibnya sendiri telah dimulai dipancangkan tepat pada
           tanggal 17 Agustus 1945 sebagai demarkasi (pembatas) yang memisahkan
           antara tata hukum kolonial dengan tata hukum nasional. Kemudian
           dipertegas dan dikokohkan dalam Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi
           pertama Negara Republik Indonesia; namun sistem hukum nasional yang
           kita cita-citakan selama ini belumlah terwujud sepenuhnya.

                Tonggak kedua; pada saat diletakkan landasan dan asas-asas hukum
           nasional pada tahun 19637 – meskipun belum lengkap atau sempurna
           seluruhnya yang bersamaan waktunya ketika dilahirkan suatu pernyataan

4
              Lihat TAP II/MPR/1993 Bab III E-5. Menurut hemat penulis, materinya secara substansial
    masih valid, meskipun secara formal telah dicabut dan diganti berulang-ulang terakhir dengan TAP
    IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999 – 2004 yang di dalam Bab IV (Arah Kebijakan) bidang Hukum
    memuat 10 buah arahan, antara lain agar lebih memperhatikan HAM, pemberantasan KKN, ratifikasi
    Konvensi Internasional, perwujudan keprofesionalan aparat penegak hukum, perwujudan peradilan yang
    lebih mandiri dan sebagainya
5
              Djokosoetono, Hukum Tata Negara, susunan Harun Al Rasyid, Ghalia, Jakarta, 1959 hal.
    Menurut Pak Djoko (panggilan sehari-hari, dimana penulis pernah menjadi mahasiswanya pada Akademi
    Hukum Militer Angkatan III 1961-1966) dalam kuliahnya bahwa bagi bangsa Indonesia pernah
    mengalami tindakan a hogere politieke beslissing dua kali yaitu sewaktu Proklamasi Kemerdekaan dan
    ketika Dekrit Presiden tanggal 5-7-59 kembali ke UUD 1945
6
              Seperti kita ketahui bahwa konstitusi pertama yang sering kita dengar sebagai UUD Proklamasi
    atau UUD Kilat, sebenarnya opzetnya adalah hanya bersifat sementara, namun sejarah ketatanegaraan kita
    membuktikan bahwa UUD ini akhinya diberlakukan kembali berdasarkan Dekrit Presiden RI tanggal 5
    Juli 1959, yang di antara tenggang waktu itu pernah berlaku Konstitusi RIS (27-12-1949 sampai 17-8-
    1950 dan diganti/dilanjutkan dengan UUD. Sementara sampai dengan terbitnya Dekrit Presiden tersebut
    yang kemudian berlakulah hingga sekarang. UUD 1945 telah mengalami perubahan (amandemen) 4 kali
    yaitu sebagai hasil persidangan MPR tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002.
7
              Merupakan Hasil Seminar Hukum Nasional I tahun 1963 dan dari isi Pidato Pengukuhan
    Doktor Honoris Causa Menteri Kehakiman Sahardjo.
15


              bahwa sifat hukum nasional itu mempunyai fungsi pengayoman bagi
              segenap bangsa Indonesia.8

                   Tonggak ketiga; ketika hukum Indonesia dinyatakan berfungsi sebagai
              sarana perubahan masyarakat dalam pembangunan nasional atau di dalam
              Garis-Garis Besar Haluan Negara 1973 – 1978 dirumuskan secara lebih
              singkat bahwa hukum pada hakekatnya berfungsi atau merupakan sarana
              pembangunan nasional sebagai elaborasi atau reformulasi dari “a law is a
              tool of social engineering”-nya Roscoe Pound.9

                   Faktor keempat adalah ketika dinyatakan sejak 1983 posisi (bidang)
              hukum dinyatakan mandiri tidak lagi ditempatkan di bawah kekuasaan
              (bidang) politik, ini ternyata dalam ketentuan-ketentuan Garis-garis Besar
              Haluan Negara sebelum 1983 adanya pembangunan hukum merupakan
              bagian dari pembangunan bidang politik. Barulah sejak berlakunya TAP
              1983–1988 kedudukan hukum termasuk pembangunan hukum sejajar
              dengan pembangunan bidang-bidang lainnya baik bidang politik, ekonomi,
              sosial budaya dan pertahanan- keamanan.

                   Tonggak kelima; dengan terjadinya reformasi nasional yang
              berlangsung sejak 1998 termasuk reformasi di bidang hukum seusai
              tumbangnya pemerintahan orde baru. Salah satu contoh adanya reformasi
              hukum terutama dalam bidang perubahan konstitusi yang mem”bongkar
              habis”      sejumlah       ketetapan-ketetapan           MPR        yang       bermaksud
              men’sakral’kan Undang-Undang Dasar 1945 dari kemungkinan adanya
              perubahan, bahkan semula secara tegas dinyatakan berulang-ulang
              bahwasanya Undang-Undang Dasar 1945 tetap akan dipertahankan (pada
              waktu     itu    menggunakan           istilah    pelestarian)       sepanjang       masa.
              Sebagaimana diketahui bahwa pendirian dan sikap itu tertuang dalam
              rumusan TAP Nomor I/1983, TAP I/1988 (semua tentang Tata tertib
              Sidang Umum MPR), TAP IV/1983 tentang Referendum yang dijabarkan
              dengan      Undang-undang           Nomor        5/1985),       walaupun        formalnya

8
                Oetojo Oesman dan Alfian, Pancasila sebagai Ideologi, BP-7 Pusat, Jakarta, 1993, Cet. ke-1,
    hal. 15
9
           Rumusan bahwasanya “Hukum sebagai sarana pembangunan nasional” tertuang dalam TAP
    MPR No IV/1973.
16


     menyatakan bahwa ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945
     tentang prosedur perubahan Undang-Undang Dasar tetap masih berlaku.

          Sejalan dengan itu, masyarakat hukum melalui Badan Pembinaan
     Hukum Nasional telah meresponnya melalui sebuah seminar hukum;
     hasilnya    yang     menonjol       adanya     kesimpulan        tentang     keharusan
     menjunjung tinggi dengan menjamin dan menerapkan Hak Asasi
     Manusia, kemandirian hakim dalam peradilan dan lain-lain yang untuk ini
     dikupas lebih lanjut dalam Bab III-C khususnya yang menguraikan
     tentang Proses Pembangunan Hukum Nasional di bawah ini.

          Sistem Hukum Nasional merupakan sebuah sistem hukum yang
     bersifat nasional, yang dibersihkan dari cacat-cacatnya yang melekat pada
     ’warisan’     sistem    yang     sebelumnya        yang     bercorak     kolonialistis,
     diskriminatif, feodalistis atau neo-feodalistis, bahkan dualistis (yang
     didasari oleh politik hukum yang tidak sehat) dalam arti suatu sistem yang
     bulat, terpadu dan berakar kuat serta tumbuh dan berkembang dari sistem
     nilai dan norma dasar negara, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar
     1945 serta mengabdi kepada kepentingan nasional. Dengan demikian,
     sistem hukum nasional milik bangsa Indonesia tidak bisa lain harus
     merupakan sistem hukum Pancasila.10

          Penegakan hukum (law enforcement) dalam kerangka negara hukum
     (Rechtsstaat atau Rule of Law) dan dalam rangka pembinaan Sistem
     Hukum Nasional merupakan suatu keniscayaan dan juga kewajaran,
     sebagaimana dikemukakan oleh Harris bahwa legal system means a
     system of rules of constituting the present of law,11 sedangkan menurut
     H.L.A. Hart menyebutkan bahwa ‘A legal system actual operation is
     complex organism in which structure, substance and culture interact’.12
     Sistem Hukum Nasional haruslah bersumber dari sosio-budaya, sistem
     filsafat (ideologi bangsa) yang mencerminkan jiwa dan semangat rakyat
     dan cita hukumnya. Hal ini sesuai dengan penjelasan Joseph Raz yang
     mensyaratkan bahwa sistem hukum itu harus bermanfaat dan mempunyai
10
       Lihat Majalah Hukum Nasional Nomor 2/1988 tulisan Menteri Kehakiman Ismail Saleh
11
       Harris, J.W., Legal Philosophies, Butterworth, London, 1982, hal.12
12
       Friedmann, Legal Theory, Stevens & Sons, London, 1967, Fifth Edition, hal 16
17


           kekuatan imperatif.13


       2. Lembaga Hukum Wakaf dengan Problematikanya
                 Salah satu pilar atau komponen dari Sistem Hukum Nasional yaitu
           Hukum Islam,14 yang di dalamnya terdapat (Lembaga) Hukum Wakaf,15
           di samping Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan dan Hukum (positif)
           tertulis lainnya.

                 Hingga saat ini tentang pengaturan wakaf yang tuntas baru terbatas
           pada obyek tanah saja, padahal di tengah masyarakat telah berlangsung
           pelaksanaan wakaf yang obyeknya meluas kepada non tanah, misalnya
           berupa hasil sewaan bangunan, hasil panen padi, wakaf uang                           untuk
           mendanai pendirian dan pengelolaan Yayasan, dan wakaf barang-barang
           lain yang bermanfaat untuk kepentingan sosial dan keagamaan. Dengan
           terbitnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, -- untuk
           selanjutnya dalam disertasi ini akan disebut UUW-- maka kebutuhan
           hukum terhadap pengaturan wakaf benda bergerak dan benda tidak
           bergerak non tanah milik telah terpenuhi secara yuridis formal.

                 Adapun ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
           dengan       masalah wakaf tanah yang menjadi dasar pelaksanaan adalah
           Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
           Milik – untuk selanjutnya disingkat dengan PP 28/1977 atau PP.PTM--
           adalah Pasal 14 (1) b Undang-Undang Pokok Agraria yang menyebutkan
           bahwa pemerintah wajib membuat rencana umum mengenai persediaan,
           peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan
           yang terkandung di dalamnya, antara lain untuk keperluan peribadatan dan
           keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.

13
               Lihat Joseph Raz,The Concept of a Legal System, 1980, hal. 16
14
               Busthanul Arifin tak setuju Hukum Islam disebut sebagai sub Sistem Hukum Nasional, karena
     Hukum Nasional itu sampai sekarang belum terwujud, padahal Hukum Islam merupakan salah satu
     hukum yang akan diramu menjadi Hukum Nasional. Lihat Busthanul Arifin, Transformasi Hukum Islam
     ke Hukum Nasional, Yayasan Al-Hikmah, Jakarta, 2001, hal.40-41
15
               Menurut SKB Menteri Agama dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 10-9-1987
     Nomor 58/1987 dan Nomor 0534 b/U/1987 tentang Pembakuan Pedoman Transliterasi Arab Latin,
     tentang penulisan wakaf dan Shadaqah, yang kedua-duanya semula berasal dari Bahasa Arab, sedianya
     ditulis Waqaf dan Sadaqah. Lihat H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A., Hukum Acara Peradilan Agama
     (Edisi Baru), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, Cet.VIII, hal. 37
18


               Selanjutnya     Pasal     49    (3)   Undang-Undang         Pokok      Agraria
         menyebutkan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan
         peraturan pemerintah; dalam hal ini PP. 28/1977 seperti diuraikan di atas.
         Lembaga hukum wakaf dalam arti luas tidak hanya terbatas pada obyek
         wakaf tanah, seperti yang dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam
         (disingkat KHI). Kompilasi ini memuat 3 buku yaitu Buku - I tentang
         Perkawinan, Buku ke-II tentang Kewarisan. termasuk hukum Hibah dan
         Wasiat, dan Buku ke-III tentang Perwakafan termasuk Shadaqah. Produk
         hukum ini, dengan Instruksi            Presiden Nomor 1 tahun 1991, telah
         diinstruksikan kepada Menteri Agama agar menyebarluaskan kompilasi
         tersebut ke segenap            instansi pemerintah dan masyarakat yang
         memerlukannya.

               Problematika      yang     ditemukan      dalam     masyarakat      mengenai
         pelaksanaan wakaf ini merupakan kendala dan hambatan yang cukup
         mengganjal. Kendala-kendala tersebut dapat digolongkan dalam dua
         kelompok. Pertama yang bersifat administratif, sepanjang objek wakaf itu
         menyangkut tanah, ternyata seluruh tanah wakaf itu belum semuanya
         dibuatkan akta ikrar wakaf di hadapan pejabat yang berwenang16. Juga
         belum semuanya didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten /Kota
         setempat ( Secara hukum berarti belum ‘dilindungi’ oleh sertifikat
         wakaf), bahkan kadang kadang sama sekali tidak mempunyai dokumen.
         Belum lagi biaya administrasi yang merupakan kewajiban finansial untuk
         melengkapi dokumen wakaf sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
         Kedua yang bersifat non administratif seperti belum terbinanya secara
         baik para fungsionaris nazhir sehingga belum atau tidak seluruh nazhir
         memahami akan posisi, tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang
         nazhir yang cakap, handal dan amanah Produtifitas wakaf sering tidak
         dapat tercapai karena peran nazhir yang kurang berfungsi. Jikalau kita

16
  Dalam Pasal 5 (1) PP-PTM disebutkan bahwa “ Pihak yang mewakafkan tanahnya harus
mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat
Akte Tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 (2) yang kemudian menuangkannya dalam
bentuk akte Ikrar Wakaf , dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi” Dalam
pasal ini dengan tegas disebutkan bahwa ikrar dan akte adalah merupakan satu keharusan. Sebagai
perbuatan hukum akan melahirkan akibat hukum.Perwakafan tanpa ikrar dan akte akibatnya tidak
sah dan batal demi hukum, kosekwensinya tidak akan dilindungi oleh hukum.
19


         hendak berangkat dari pedoman kerja Badan Pertanahan Nasional yang
         pernah berlaku yang disebut Catur Tertib Pertanahan,17 yaitu (1) Tertib
         hukum pertanahan (2) Tertib administrasi pertanahan (3) Tertib
         Peruntukan dan pemanfaatan tanah, dan (4) tertib pelestarian lingkungan
         hidup; nampaknya dalam kaitannya dengan masalah wakaf masih jauh
         dari memuaskan .

              Sedangkan problematika yang timbul dalam bentuk lain atau yang
         bersifat non-administratif, berupa sengketa wakaf              yang terjadi pada
         hampir setiap propinsi, walaupun belum tentu dalam satu tahun terdapat
         kasus sengketa yang dimaksud. Dari hasil penelitian dijumpai adanya
         gugatan wakaf yang terjadi di beberapa daerah, yaitu masingt-masing satu
         kasus di kota Surabaya (1956), Kota Kudus (1957) , Kota Sukabumi
         (1994), Bandung (2001), Sumedang (1970), Serang (2001). Kemudian
         terjadi dua kasus di Cianjur (1969 dan 1996) serta tiga kasus terjadi
         Tasikmalaya (dua kasus dalam 1967 dan satu kasus dalam tahun 1968).

              Dalam sebelas kasus tersebut sebagian besar terjadi antara pihak
         wakif dengan nazhir, tetapi dalam hal salah satu pihak atau kedua-duanya
         telah meninggal dunia, maka ahli waris merekalah yang tampil sebagai
         penggugat atau tergugat. Tetapi ada juga terjadi kasus antara pihak nazhir
         dengan pihak ketiga. Lebih dari separuh jumlah kasus prosesnya sampai
         ke putusan kasasi, bahkan terdapat satu perkara ( Kasus Tasikmalaya III
         tahun 1988 ) sampai ke tingkat peninjauan kembali (PK). Tentang
         yurisprudensi yang menjadi titik berat penelitian ini akan diulas lebih jauh
         dalam Bab IV – C dan D di bawah.

     B. Identifikasi Masalah
              Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dan untuk
         memungkinkan dilakukan penelitian, syarat utama yang harus dipenuhi
         adalah penentuan perumusan masalahnya terlebih dahulu.

              Kemudian yang menjadi induk permasalahan adalah mencari dan

17
  Catur,artinya empat Hal ini pernah dimasukkan dalm GBHN 1978-1983 dalm pembangunan
bidang Ekonmi khususnya dalam sektor pertanahan. Salah satu persyaratan akan keberhasilan bi-
dang pertanahan adalh teciptanya empat macam tertib, yitu di bidang penegakan huku pertanahan,
20


         memperoleh jawaban atas sebuah pertanyaan mendasar, yaitu “Apakah
         pengaturan wakaf dalam hukum positif tertulis dan dari hasil
         yurisprudensi perkara sengketa perwakafan telah sejalan dengan asas-asas
         Hukum Islam?”18

           Selanjutnya       perlu     dilakukan       identifikasi     lebih     jauh      untuk
     mengungkapkan pokok permasalahan seperti dikemukakan di atas, yang terdiri
     dari sub-sub permasalahan sebagai berikut:

     1) Apakah yang menjadi karakterisik lembaga wakaf dalam Hukum Islam dan
        dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia ?

     2) Apa sajakah dasar-dasar pertimbangan hukum dari hakim dalam
        mengambil putusan perkara gugatan sengketa wakaf dalam Yurisprudensi
        Indonesia?

     3) Bagaimanakah sub-permasalahan pertama dan kedua ditinjau dari sistem
        hukum nasional; sudahkah searah dengan asas-asas hukum Islam?


C. Tujuan Penelitian
        Tujuan penelitian ini untuk mengetahui :

     1. Tentang karakteristik Lembaga Wakaf dalam Hukum Islam dan dalam
        peraturan perundang-undangan.

     2. Dasar-dasar pertimbangan hakim dalam merumuskan putusan hukum
        terhadap perkara gugatan wakaf yang tercermin dalam                      Yurisprudensi
        Indonesia.

     3. Tentang pengaturan wakaf menurut Hukum Islam dan menurut peraturan-
        peraturan perundang-undangan serta hasil yurisprudensi apakah telah

18
   tertib adminitrasi pertanahan, tertib peruntukan tanah dan tertib kelestarian tanah dalam rangka
   peng-sinkron-an dengan pelestarian lingkungan hidup.
Yang dimaksud sebagai hukum positif antara lain UUPA yo UUW, PP 28/1977 dan KHI.
   Permaslahan ini timbul dari teori Efektivitas yang intinya bahwa hukum baik dan representatif
   jika memenuhi unsur-unsur yang bernilai sosiologis, yuridis-filosofis, didukung aparat hukum
   yang handal, tersedianya fasilitas, sarana dan prasarana yang memadai, kesadaran masyarakat
   dan terdapatnya budaya hukum. Masalah Kesadaran masyarakat terhadap hukum menjadi
   topik Disertasi Otje Salman dan masalah Budaya Hukum menjadi topik Pidato Pengukuhan
   Guru Besarnya. Periksa juga Soerjono Soekanto, Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial,
   RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996, Cet. 3, hal.164 – 167
21


        sejalan dengan sistem hukum nasional dan asas-asas hukum Islam.


D. Manfaat Penelitian

   1. Sebagai bahan pengembangan ilmu hukum terutama yang berkaitan
        dengan penelitian lembaga hukum wakaf yang selama ini hanya terbatas
        pada obyek wakaf berupa tanah, serta menjadi awal penelitian obyek
        wakaf non tanah yang diharapkan akan dilanjutkan oleh peneliti
        berikutnya.

   2.                      Sebagai bahan masukan bagi penyempurnaan peraturan
        perundang-undangan wakaf yang telah ada melalui bentuk penyusunan
        aturan pelaksanaan dalam bentuk peraturan pemerintah dan bentuk lainnya
        yang diperlukan.


E. Tinjauan Pustaka

         Topik bahasan dalam disertasi ini mengandung tiga variabel, yaitu 1)
   Hukum Wakaf menurut Hukum Islam sebagai hukum yang bersifat normatif,
   2) Hukum Wakaf menurut Hukum positif tertulis atau peraturan perundang-
   undangan dalam sistem hukum nasional sebagai hukum yang bersifat yuridis
   formal, dan 3) Hukum Wakaf dalam Yurisprudensi Indonesia tentang perkara
   sengketa perwakafan, oleh karena itu, bahan rujukan kepustakaannyapun perlu
   disesuaikan dengan kebutuhan yang sesuai dengan permasalahan yang tersebut
   dalam Bab I. Sub Bab B (Identifikasi dan Rumusan Permasalahan) di atas.

         Untuk lebih jelas, uraian seluruh kerangka teoretis yang berkaitan
   dengan bahasan penelitian ini dibagi dalam 3 (tiga) kelompok besar,yaitu :

   1. Yang berkaitan dengan Hukum Wakaf berdasarkan Hukum Islam yang
   mengandung mazhab-mazhab Fiqih, baik yang bersifat klasik/tradisional
   maupun kontemporer/moderen. Setelah mempelajari semua rujukan yang
   dipandang perlu, penulis memprioritaskan kitab-kitab Ilmu Fiqih (berbahasa
   Arab) sebagai sumber utama, yang sistematikanya tersebut memuat mazhab
   tertentu atau ada juga yang memuat gabungan dari beberapa mazhab. Di
22


samping itu, sebagian besar tidak hanya semata-mata memuat Hukum Wakaf
saja, melainkan posisi hukum ini sebagai salah satu bab dari seluruh bab
materi Fiqih yang meliputi berbagai masalah (bersifat umum). Akan tetapi,
kitab yang khusus membahas wakaf jumlahnya relatif masih sedikit; bahkan
kadang-kadang dijadikan satu bab dengan masalah lain, misalnya wakaf
dengan wasiat atau Wakaf dengan Kewarisan. Rupanya para penulis (mazhab)
Fiqih memandang dua atau tiga bidang masalah sebagai satu kesatuan dengan
hak-hak kebendaan dari seseorang. Kalau dibandingkan dengan sistematika
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berasal dari Burgerlijk Wetboek
mengenai penempatan Hukum Wasiat dan Waris, kedua masalah ini masuk
dalam Buku II tentang Hak Kebendaan (Zakenrecht), sedangkan masalah
Wakaf tidak dikenal dalam Hukum Perdata; jika seandainya wakaf itu
diasumsikan sebagai Hibah, maka ia masuk dalam Buku Ketiga tentang
Perikatan (Verbintenis/ Agreement/ Contract

    Dalam kitab Fiqih terdapat beberapa informasi mengenai seluk beluk
wakaf, antara lain dari definisi literal (harfiah) seperti kata sinonim dari wakaf
misalnya habasya, sabala dan sebagainya. Secara terminologis (istilah),
sumber pengambilan dalil-dalil yang menjadi dasar hukumnya, unsur-unsur
wakaf, persyaratan umum (wakaf) dan persyaratan dari masing-masing unsur
(wakif, obyek wakaf atau maukuf, tujuan wakaf dan peruntukan wakaf yang
lazim disebut maukuf ‘alaih, ikrar atau sighat atau ijab. Persoalan kabul atau
pernyataan penerimaan wakaf), belum lagi yang amat mendetail seperti dalam
menghadapi tidak berfungsinya benda wakaf atau tidak lagi terpenuhinya
tujuan wakaf. Persoalan jenis wakaf, yaitu ‘wakaf khairi’ dan wakaf ahli
(dzurri) dan persoalan eksistensi wakaf itu sendiri, apakah syariat wakaf itu
masih berlaku ataukah tidak. Juga tentang cara bagaimana             penanganan
penyelesaian sengketa wakaf. Persoalan apakah jabatan nadzir harus orang lain
di luar   pribadi wakif ( dahulu kala disebut mutawalli) Bolehkah wakif
menunjuk dirinya sendiri sebagai nadzir ?. Bagaimana mengenai wakaf ahli
dalam hal (para) penerima barang wakaf semuanya telah meninggal dunia ke
manakah nasib benda wakaf tadi. Singkatnya seribu satu masalah yang timbul
23


     dapat dijumpai dalam kitab-kitab yang akan disebut di bawah ini19.Mazhab
     Hanafi menganggap bahwa syariat wakaf itu telah kadaluwarsa. Kalau mazhab
     lain menganggap hukum wakaf itu masih eksis, ia berpendapat bahwa
     hubungan hukum antara wakif sebagai (bekas) pemilik benda dengan benda
     wakaf tetap masih berlangsung.ada. Kedudukan status wakaf tidak berbeda
     dengan hubungan sewas menyewa (‘ariah). Dalam kitab-kitab ini sekaligus
     memberikan gambaran uraian persoalan apa yang mencapai kesepakatan antar
     mazhab dan persoalan lain lagi yang tetap menjadi perselisihan pendapat
     dengan argumentasi mereka masing-masing.

           Kitab-kitab fiqih yang memuat wakaf baik yang mandiri (khusus wakaf)
     atau campuran dengan materi lain, umumnya terdiri dari empat mazhab yang
     amat terkenal yaitu:

     a.   Mazhab Hanafi sedikitnya ada enam kitab, antara lain (1) karangan Imam
          ‘Ala’udin Abi Bakar ibn Mas’ud al-Kasani al-Hanafi (587 H), Badai‘u as-
          Shana‘i, jilid V (Bab wakaf pada halaman 218-221); (2) Abi Muhammad
          Ali ibn Muhammad Said ibn Haz (terkenal dengan Ibnu Hazm), Al-
          Muhalla, jilid VI (Bab wakaf halaman 175-185), dan (3) Faisal ibn Abdul
          Aziz Ali Mubarak, Bustan Al-Ahbar Mukhtasar Nailal-Authar. Kitab ini
          sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Mu‘ammal Hamidy, Imran
          A.M dan Umar Fanani Jiid V, (Bab Wakaf pada halaman 2000-2015).
          Dalam kaitan hukum wakaf ini, mazhab Hanafi menganggap bahwa syariat
          wakaf itu telah kedaluwarsa. Kalau mazhab lain menganggap hukum
          wakaf itu masih eksis, Hanafi memberi catatan bahwa hubungan hukum
          antara wakif sebagai (bekas) pemilik benda                   wakaf tetap masih
          berlangsung ada.

     b. Mazhab Maliki, sedikitnya ada tiga kitab, antara lain tulisan Abul Walid
          Muhammad ibn Ahmad al-Qurtubi (595-H) Bidayah al-Mujtahid.

19
              Kitab-kitab Fiqih yang di dalamnya memuat masalah Wakaf sebagai bahagian dari
     Hukum Islam masih banyak ditulis dalam bahasa aslinya (Bahasa Arab) kecuali bagian kecil
     yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Satu di antaranya yang lengkap adalah
     karangan Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi dari judul asli Ahkam al-Waqf fi al-Syari’ah al-
     Islamiyah, terjemahan Ahrul Sani Fathurrahman dan Kuwais Mandiri Cahaya Persada dengan
     judul baru Hukum Wakaf Kajian Kontemporter Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan
     Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf.
24


     c.   Mazhab Syafi’i, kitab-kitab ini yang terbanyak bahkan puluhan jumlahnya
          termasuk   yang beredar di Indonesia. Antara lain karya (1) Mahmud
          Mathroji, Mukhtashor Al-Muzani ‘ala Al-Um,(2) Imam           Muhammad ibn
          Idris asy-Syafi’i (204 H),   Musnad asy-Asyafi’i wa Ikhtilafi al-Hadits,
          tanpa tahun. (Bab Wakaf pada halaman 145 – 146 dan sebagainya).

               Patut dicatat bahwa sebelum lahirnya KHI Departemen Agama
          pernah menganjurkan kepada para hakim agama untuk membatasi
          penggunaan kita-kitab Fiqih. Pembatasan itu dengan maksud agar sejauh
          mungkin tercapai adanya kesatuan hukum dalam memeriksa perkara.
          Kitab-kitab itu untuk digunakan sebagai rujukan pertimbangan hukum
          dalam memutus perkara yang dihadapi. Kitab-kitab yang dimaksud
          berjumlah tiga belas buah, yang hampir semuanya bermazhab Syafi’i, yang
          populer disebut sebagai kitab : (1) Al-Bajuri, (2) Fathul-Mu’in dengan
          Syarahnya, (3) Syarqawi ‘ala at-Tahrir, (4) Qalyubi/Muhalli, (5) Fathu
          al-Wahab dengan Syarahnya, (6) Tuhfah, (7) Targhib al-Musytaq, (8)
          Sayyid ‘Usman bin Yahya, Qawanian asy-Syar’iyah, (9) Sayyid Shadaqah
          Dachlan, Qawanian asy-Syar’iyah, (10) Syamsuri Lil-Faraid, (11)
          Bughyah al-Mustarsyidin, (12) Mughni al-Muhtaj, sedangkan nomor (13)
          kitab Al fiqh ‘alal madzahibil arba’ah adalah kitab yang menguraikan
          empat mazhab. Tersebut nomor 8 ditulis dalam bahasa Melayu (istilah
          waktu itu) dengan aksara Arab.20

     d. Mazhab Hanbali antara lain Muhammad Abu Zahrah (1959), Muhadlarat
          fi al-Waqfi; kitab yang khusus memuat masalah Perwakafan ini terdiri dari
          445 halaman.

                     e. Rujukan yang memuat           berbagai        mazhab        dan
                     mengedepankan adanya perbandingan antar mazhab, meliputi
                     empaat mazhab terkenal seperti tersebut di atas, antara lain

20
  Oleh kepala Biro Peradilan Agama dengan Surat Edaran Nomor B/1/735 tanggal 18 Pebruari
1958 sebagai tindak lanjut dari terbitnya PP 45 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura dengan tujuan agar keragaman pendapat
yang bersumber dari berbagai kitab Fiqih yang berbeda akan mengakibatkan beragamnya pula
putusan hakim walaupun mengenai masalah yang sama, sehingga kepastian hukum kurang
memadai. Dengan edaran ini diharapkan sejauh mungkin tercapai adanya kesatuan persepsi.
H. ABDURRAHMAN, KOMPOLASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA, AKADEMIKA
PRESINDO, JAKARTA, EDISI / CET. PERTAMA, HAL. 22
25


                  (1) Wahbah az-Zukhaili, al-Fiqh al-Islamiyu wa Adillatuh, Jilid
                  VIII, Bab ini memuat bab-bab Wasiat, Wakaf dan Waris.
                  (Khusus tentang Wakaf pada halaman            1 – 229) dan ( 2)
                  Muhammad ‘Ubaid Abdullah al-Kubaisyi, Ahkam al-Waqf fi
                  asy-Syari’ati al-Islamiyah, terdiri dari dua jilid dan semuanya
                  mengenai Wakaf;

     Selain rujukan-rujukan tersebut diatas ada lagi rujukan buku-buku dalam
     bahasa Barat antara lain ( 1) W. Juynboll, Handleiding tot de Kennis van
     De Mohammedaansche Wet (Belanda: khusus mazhab Syafi’i) masalah
     Wakaf pada halaman 275- 285) dan (2) Ter Haar Bzn, Beginselen en
     Stelsel van het Adatrecht yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia
     oleh K.Ng. Soebakti Poesponoto dengan judul Asas-asas dan Susunan
     Hukum Adat yang memuat perwakafan dari segi hukum Adat. Masalah
     Wakaf terdapat dalam halaman 71, 136-138; dan (3) Mohammad
     Muslehuddin, Islamic Jurisprudence and the Rule of Necessity and Need
     yang didalamnnya terdapat pembahasan masalah wakaf 21; dan (4) Joseph
     Schacht, An Intruktions to Islamic law, Oxford at the Clarendon Press
     (Oxford University Press Ely House), London W.I, 1971.

          Selanjutnya terdapat pula beberapa kitab atau buku yang memuat
     juga bab-bab mengenai hukum Wakaf, misalnya Sulaiman Rasyid, Fiqih
     Islam. Kitab ini memuat 15 bab, sedangkan Hukum Wakaf merupakan
     salah satu bagian dari Bab VII tentang Mu’amalah yang terbagi ke dalam
     bahagian-bahagian, antara lain bagian hukum jual beli, bagian sewa
     menyewa dan bagian wakaf; yang disebut terakhir terletak pada halaman
     330 – 335.

          Sedangkan kepustakaan Wakaf mutakhir yang bersifat campuran,
     diantaranya (1) Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan
     Wakaf; (2)      Sofyan Hasan, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf dan

21
  sebagai pengarang ‘Insurance and Islamic Law’, ‘Banking and Islamic Law’, ‘Economic
and Islam’, ‘Commonwealth of Muslim Countries and The Muslim World Bank’ memberikan
sumbangan pemikiran mengenai mu’amalah atau hukum transaksi Islam sebagai bahan rujukan
yang berharga;
26


   sebagainya. Tetapi yang khusus membahas hukum wakaf, antara lain (1)
   Uswatun Hasanah, Peranan Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan
   Sosial, juga disertasi tahun 1997, (2)Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam
   tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah. Ada juga    bahan-bahan lain yang non
   buku misalnya dalam bentuk artikel seperti yang dimuat dalam majalah
   Mimbar Hukum, untuk selanjutnya disingkat MH, penerbitan Departemen
   Agama; sebagai contoh tulisan yang bersifat umum dari A.Qodri Azizy,
   Hukum Islam Sebagai Sumber Hukum Positif dalam Reformasi Hukum
   Nasional (Nomor 54/XII/2001 halaman 73–89); Saifuddin Noorhadi, Titik
   Singgung Undang-Undang Pokok Agraria dengan Hukum Islam (MH
   Nomor 45/X/1999 halaman 31–40); tulisan yang bersifat khusus, dari
   Abdul Gani Abdullah, Hak Tanggungan atas Tanah dan Persentuhannya
   dengan Hukum Perwakafan’ (MH Nomor 41/X/1999 halaman 17–20);
   serta Abdullah Gofar, ‘Nadzir dan Manajemen Pendayagunaan Tanah
   Wakaf’ ( MH Nomor 41/X/1999 halaman 23-36). Ada lagi tulisan dalam
   majalah resmi Mahkamah Agung ‘Suara ULDILAG’ (Singkatan dari
   Urusan Lingkungan Peradilan Agama) yang lebih bersifat umum, yaitu
   dari Bagir Manan, Penegakan Hukum yang Berkeadilan; H. Muchsin,
   Perundang-undangan yang Memperkokoh Hukum Islam (Suara UDILAG
   Edisi II,1 Juli 2003 halaman 8-14 dan 37 –51). Juga Surat Kabar
   Republika edisi tanggal 30 April 2004 terdapat artikel berjudul: ‘Perlu
   Rekonsepsi Fikih Wakaf’ dan artikel ‘Tanah Wakaf Perlu Sertifikat; serta
   artikel tanggal 1 februari 2002’ yang berjudul Saatnya Bank Syariah
   Kelola Aset Wakaf Artikel (semua tulisan oleh Tim Redaksi Republika).

2. Rujukan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan baik berupa
   undang-undang, peraturan pemerintah dan keputusan para menteri (dalam
   hal ini seperti Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri), langsung atau
   tidak langsung berkenaan dengan masalah wakaf. Untuk mempersingkat
   uraian, tentang nomor dan judul peraturan perundang-undangan tersebut
   dapat dibaca dalam Bab ini sub Bab Metode Penelitian yang memperinci
   adanya Data sekunder dari bahan hukum primer.

        Dibawah ini disinggung juga rujukan yang secara tidak langsung ada
27


        hubungannya dengan masalah wakaf, namun mengingat judul disertasi ini
        mencantumkan sistem hukum nasional, maka mau tidak mau penulis perlu
        menyebut beberapa rujukan yang membahas sistem hukum nasional,
        antara lain (1) Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam
        Pembangunan. Gagasan-gagasan yang diawali sejak tahun 1970an ini
        terbit kembali dalam edisi yang memuat 5 bab; (2) Busthanul Arifin,
        Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional22 dan dalam buku-
        bukunya yang lain, dan (3) Muhammad Daud Ali beserta Habibah Daud,
        Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, yang mengemukakan beberapa
        prinsip gagasan mengenai pembangunan sistem hukum nasional, juga
        peran dan sumbangan sistem hukum Islam dinilai amat penting akan tetapi
        tetap dalam kerangka dan koridor kenasionalan. Realisasi hukum nasional
        termasuk bidang peradilannya dalam konteks Sistem Hukum Nasional
        merupakan perjuangan yang panjang23 (3) H. Ichtijanto dalam Hukum
        Islam dan Hukum Nasional, ia mengingatkan tentang adanya sisi-sisa
        pengaruh hukum kolonial pra kemerdekaan yang hingga kini belum lenyap
        sama sekali terutama sikap terhadap Hukum Islam. Padahal Hukum Islam
        mempunyai peran yang tidak kecil bagi pembentukan hukum nasional,
        disamping Hukum Islam juga berfungsi menyaring pengaruh hukum lain
        (hukum Adat dan sisa-sisa hukum Barat) yang kadang-kadang tidak sesuai
        dengan cita-cita dan kesadaran batin manusia Indonesia;

        3.   Yurisprudensi       perkara    sengketa      wakaf     dan    bahan     rujukan
        pendukungnya,antara lain: (1)              Yayasan Al-Hikmah & Departemen
        Agama, Yurisprudensi (Peradilan Agama) & Analisa, perkara perwakafan
        pada halaman 733 – 786, (2) M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan
        dan Acara Peradilan Agama (Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989), dan
        (3) Mahkamah Agung R.I., Masalah Hukum dan Peradilan Agama;

                 Bahan-bahan hukum kelompok ketiga tersebut berisi hasil putusan
22
  Busthanul Arifin, mantan Ketua Muda Mahkamah Agung bidang Peradilan Agama mendapat
anugerah penghargaan sebagai Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Agama Islam dari IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 Desember 1993 atas usul PP Ikatan Hakim Agama (IKA-
HA). Pidato pengukuhannya berjudul Eksistensi, Konsolidasi dan Akltualisasi Pengadilan Agama.
Acara itu berlangsung di baawah wibawa promotor Harun Nasution (Rektor IAIN waktu itu).
Sebelumnya, ia telah dikukuhkan sebagai guru besar luar biasa pada tahun 1980.juga di IAIN.
23
28


          badan-badan peradilan di lingkungan peradilan umum dan lingkungan
          peradilan agama, khususnya yang memeriksa dan mengadili sengketa wakaf
          baik yang terjadi di zaman penjajahan Hindia Belanda maupun pasca
          kemerdekaan. Kalau diperinci lagi perkara yang terjadi sebelum
          terbentuknya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan
          Agama; tepatnya sejak tahun 1937 diperiksa di peradilan umum padahal
          sebelumnya menjadi wewenang peradilan agama. Aturan hukum mengenai
          acara perdata juga dianalisis terhadap putusan-putusan peradilan yang
          dilakukan oleh para ahli hukum melalui tulisan ilmiahnya, yang di sana-sini
          merupakan kekayaan sumber hukum nasional yang pada gilirannya dapat
          menjadi sumbangan yang berharga bagi pembinaan sistem hukum Islam
          khususnya dalam perspektif sistem hukum nasional pada umumnya.


F. Kerangka Pemikiran

     1. Hukum Positif dan Hukum Islam Sebagai Kerangka Pertama

                      Pengaturan tentang wakaf yang kini menjadi Hukum Positif
         (Tertulis) tidak lepas dari pengaruh Hukum Islam, karena dari sanalah
         konsep Perwakafan ini muncul pada hampir 15 abad yang lalu. Pada intinya
         dalam Sub Bab F (kerangka pemikiran), peneliti akan memberikan
         diskripsi mengenai dasar-dasar berpikir atau pola pemikiran (basic’s of
         thinking atau pattern of thinking) tertentu yang berangkat dari penentuan
         judul sebagai ‘terminal awal’, menghampiri semua pertanyaan-pertanyaan
         atau permasalahan-permasalahan sebagai ‘terminal transit’ hingga sampai
         kesimpulan24 pembahasan sebagai ‘terminal akhir’. Sudah barang tentu
         harus menggunakan metodologi penelitian seakan-akan berfungsi sebagai
         ‘rute-rute perjalanan panjang’ yang harus dilaluinya.

               Dalam penelitian ini, terutama mengeni uraian tentang kerangka
         pemikirannya diawali            dan berangkat dari pesan                Filosof Yunani
         Demothenes yang tertuju kepada para jury (hakim) Athena. Ia memberi
24
              Terdapat perbedaan antara kata soal, masalah dan natijah. Masalah itu bukan as’ilah,
     jamak dari su’al, dari akar kata sa’ala, yang kemudian menjadi Bahasa Indonesia ‘soal’
     (pertanyaan), istilah lain dari kata kesimpulan adalah conclusion, result, product, effect (dalam
     Bahasa Arab: Natijah), artinya secara harfiah adalah kesimpulan, hasil atau akibat.
29


         petunjuk nasehat dan peringatan (exhortation)25 agar para juri sebelum
         mereka memulai melaksanakan tugas ke’yuri’annya memegang teguh
         empat hal, yaitu:

                   “Men ought to obey the law for four reasons: because laws were
                   prescribed by God, because were a tradition tought by wise men
                   who knew the good old customs, because were deduction from a
                   eternal and immutable moral code and because they were
                   agreement of men with each other binding them because of moral
                   duty to keep their promises.“ 26

                Dapat dikatakan ungkapan di atas menjelaskan apa yang dinamakan
          ‘Hukum’ serta menjawab mengapa seseorang itu diharuskan menaati
          hukum.

                Mengingat yang sedang dibicarakan itu mengenai masalah hukum,
          maka yang dimaksud dengan Kerangka Pemikiran adalah pemikiran dalam
          kaitannya dengan penelitian disertasi ini yang mengambil topik
          permasalahan yang berfokus pada lembaga hukum wakaf.

                Untuk memungkinkan tersedianya landasan yang kuat atau pangkal
          bahasan yang tepat, terlebih dahulu dikemukakan apa yang dimaksud dengan
          berpikir yuridis.27 Berpikir yuridis adalah metode berpikir yang digunakan
          untuk memperoleh, menata, memahami dan mengaplikasikan pengetahuan
          hukum; sedangkan model berpikirnya adalah model berpikir problematis
          tersistemisasi untuk menjamin stabilitas dan prediktabilitas dengan mengacu
          pada : (a) tujuan hukum, (b) fungsi hukum, dan (c) cita hukum. Sekali lagi
          ditegaskan bahwa dengan melalui proses penalaran ini akan dapat menjawab
          rangkaian pertanyaan apa yang sebenarnya                 (telah) terjadi, atau apa
          sebenarnya masalah yang dihadapi, siapa-siapa pelakunya, apa yang menjadi
          hak dan kewajiban masing-masing pihak, segala sesuatu tadi didasarkan pada
          penalaran hukum. Penalaran hukum tiada lain merupakan proses menalar

25
              Echols John M. & Hassan Shadily menterjemahkan ‘Exhortation’ dalam dua arti yaitu
     nasehat/    peringatan atau desakan (Op.cit., hal.,224); jika digunakan istilah bahasa daerah
     (Jawa) mungkin tepat disebut ‘weling mawant-wanti’.
26
              Roscoe Pound, An Introduction to Philosophy of Law, Yale University, New Haven,
     1961, second printing, hal. 5
27
              Henket, M, Penalaran Hukum dan Teori Argumentasi & Hukum, Terjemahkan Arief
     Sidharta, (diktat) untuk bahan kuliah di lingkungan Fakultas Hukum UNPAR, Laboratorium
     Hukum UNPAR, Bandung, 2004.
30


berdasarkan (dalam kerangka) hukum positif dan di samping itu dalam
memecahkan problimatika hukum khususnya dalam forum peradilan,
sekaligus merupakan proses penggunaan alasan-alasan (legal reasons) dalam
menetapkan sikap atau pendirian yang dirumuskan dalam putusan hukum.

      Tentu saja apa yang diuraikan di atas semata-mata sebagai refleksi dari
aktivitas akal budi untuk memahami pengetahuan hukum yang tak terlepas dari
usaha penguasaan intelektual yang obyeknya hukum; yaitu pemahaman yang
dilaksanakan secara ilmiah, metodikal, rasional, sistematikal dan legal. Namun
terdapat 3 faktor yang tak dapat diabaikan, yaitu: (a) faktor-faktor yang berjalin
bekelindan antar faktor yang berada pada tataran filosofis (filsafat hukum), (b)
faktor yang berada pada tataran konsepsional (teori hukum), dan (c) tataran
hukum positif yang dirangkum dalam Ilmu Hukum. Tiga tataran ini dapat
dilukiskan (divisual)kan seperti garis segi tiga dengan yang runcing berada di
atas. Garis datar sebagai hukum positif yang menaik melalui garis-garis (teori
hukum), sehingga tampak bahwa tiga faktor itu mengerucut dan berpuncak
pada aspek filosofis (filsafat hukum).

      Klasifikasi hukum (akan) selalu tampil dalam wajah (hukum) normatif
dan wajah (hukum) empiris. Wajah normatif sebagai sesuatu yang konseptual
yang harus diuji pada ranah praktikal, sedang wajah empiris selalu berimbangan
dengan yang normatif, sebagai sesuatu realitas yang terdapat pada kenyataan
sikap dan perilaku masyarakat, baik yang bersama-sama berjalan secara paralel
(searah) atau mungkin sebaliknya. Dapat disingkat yang pertama bersifat
abstrak dan yang kedua bersifat konkret. Dengan pendekatan sejumlah teori
tersebut di atas akan dapat digali kandungan topik disertasi tentang perwakafan
ini, baik itu berupa nilai-nilai, asas-asas maupun norma/aturan/kaidah.

      Dalam mencermati fungsi hukum sebagai sarana pembangunan dan
perubahan masyarakat, maka penerapan hukum (termasuk hukum wakaf)
tidak hanya bersifat konvensional belaka,( tercapainya fungsi ketertiban dan
keadilan) melainkan juga sebagai sarana pengawasan (control) masyarakat.
Demikian pula mengenai makna dan relevansi uraian di atas dengan tiga
permasalahan yang dikemukakan dalam disertasi (Bab I Pendahuluan sub
bab B tentang rumusan masalah) ini.
31


     Persoalan pertama mempermasalahkan apa yang menjadi indikator
dan karakteristik lembaga hukum wakaf. Indikasi ini tercermin dalam
rumusan pengertian wakaf yang tertuang dalam Pasal 1 (1) PP 28/ 1977,
Pasal 251 (1) KHI dan terakhir Pasal 1 (1) UU W 2004 yang rumusannya
mirip satu sama lain. Intinya mengandung hal-hal yang esensial, seperti
adanya komponen-komponen yang menentukan keabsahan wakaf, yaitu (1)
Adanya perbuatan hukum memisahkan, menyerahkan dan melembagakan
sesuatu benda untuk selama-lamanya atau untuk jangka waktu tertentu; (2)
adanya subyek hukum, dalam arti seseorang, organisasi atau badan hukum;
(3) mengenai obyek hukum, berupa harta benda bergerak atau benda tidak
bergerak (sepeti tanah milik, uang dan sebagainya) (4) peruntukan dan
tujuan wakaf, yaitu untuk kepentingan peribadatan atau keperluan
(kesejahteraan) umum yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.

     Berwakaf ditinjau dari hukum Islam termasuk kategori interaksi
anggota masyarakat (mu’amalah) yang hukumnya sunnah, yang menurut
kesepakatan ahli Hukum Islam (Fiqih) mempuyai 4 (empat) unsur juga
yang menjadi sumber pengambilan rumusan hukum positif tersebut,
walaupun dengan istilah yang berbeda, yaitu : (1) Wakif, (2) Obyek wakaf,
sebagai benda (‘ain) disebut Maukuf (dari Mauquf,lengkapnya Mauquf
bihi atau Mauquf bih); (3) Tujuan dan peruntukan wakaf, disebut Maukuf
‘alaih (dari Mauquf ‘alaihi);dan (4)     Pernyataan (ikrar) wakaf,    atau
istilah yang sinonim (muradif) yaitu Sighat.
     Dalam proses perkembangan hukum positif dan diikuti oleh praktik
wakaf selanjutnya, ternyata 4 (empat) unsur seperti diuraikan di atas tidak
memenuhi kebutuhan (hukum) masyarakat sebagai akibat dinamika zaman
yang semaikin modern. Dalam hal ini pelengkapnya adalah unsur nazhir
yang akan mengelola wakaf baik menyangkut tugas administratif dan tugas
operasional,   agar   harta   benda    wakaf    dapat   lebih   meningkat
produktifitasnya. Menurut pendapat penulis mengenai unsur keenam
(masalah jangka waktu ) yang menurut Pasal (6) UUW lebih tepat
dimasukkan sebagai persyaratan seperti halnya kehadiran saksi-saksi; dua-
duanya sebagai pelengkap persyaratan yang melekat pada Ikrar Wakaf;
32


          sudah barang tentu saksi          yang memenuhi syarat; jumlah saksi setidak-
          tidaknya terdiri dari dua orang (Pasal 5 (1) PP. 28/1977 yuncto Pasal 9 (4)
          PP 28/1977 yuncto Peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1978 tentang
          Peraturan Pelaksanaan PP Nomor 28/1977, selanjutnya disingkat dengan
          PMAg Nomor 1/1978).

                Unsur ikrar dapat juga disebut unsur Ijab dan Kabul (kabul ini dalam
          Fiqih semula bersifat pro memori). Jadi tidak cukup adanya pernyataan
          sepihak atau ikrar lisan saja, akan tetapi harus dituangkan dalam bentuk
          tulisan yang modelnya telah dibakukan (Pasal 5 [1] yuncto Peraturan
          Menteri Agama Nomor 1 tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP
          Nomor 28/1977 yang dalam Pasal 2 [1] berbunyi “Ikrar wakaf dilakukan
          secara tertulis”).

                Perlu dijelaskan bahwa penggunaan istilah Ikrar (Arab: Iqrar, kata
          masdar dari kata kerja aqarra) artinya mengaku atau menyatakan. Jadi, Iqrar
          artinya pengakuan atau pernyataan. Bandingkan dengan kata masdar taqrir
          (yang sinonim dengan tatsbit dari tsabata) berasal dari karta kerja qarrara,
          yuqarriru (artinya menetapkan), taqrir (artinya penetapan atau ketetapan),
          selanjutnya Maqrur (artinya yang ditetapkan) mengindikasikan bahwa
          perbuatan itu adalah (boleh) bersifat sepihak dan dalam hal ini tidak
          mengharuskan kehadiran pihak yang menerima ikrar atau yang disebut kabul.28

     2. Yurisprudensi Perkara Sengketa Wakaf Sebagai Kerangka Kedua

                Permasalahan        kedua     adalah     apa    yang     menjadi     dasar-dasar
28
               Memang secara tersurat dan kongkrit tak dijelaskan secara tegas akan halnya Kabul
     (Arab Qabul, arti harfiahnya: penerimaan; semula dari kata kerja qabila/taqabbala sinonim
     dengan akhadza artinya menerima atau mengambil, dapat juga dari qabala = menetapi seperti
     menetapi waktu atau qabbala = mencium, al-qublah = ciuman atau kecupan, istaqbala =
     menghadap,atau qubul/qub=alat kelamin wanita, qiblat/qiblah suatu titik yang menjadi
     arah hadapan sholat, atau qabilah = kabilah atau suku/etnis, karena adanya Kabul itu sebagai
     akibat adanya (sebab). Ijab (Arab: dari Ajaba arti harfiahnya memenuhi, Ijabah artinya balasan
     atau jawaban yang sinonim dengan kata jawab). Dua kata itu itu adalah berimbalan atau
     berimbangan sebagai kata yang bersifat berpasangan, misalnya kata ‘memberi’ pasangannya
     kata ‘menerima’ dsb.nya. Namun secara tata bahasa terdapat kerancuan makna, yang semula
     kata ijab berarti menjawab dan membalas bergeser artinya menjadi memberi yang berimbalan
     dengan menerima (kabul), walaupun asal muasalnya berkonotasi makna yang sama, misalnya
     ‘permohonan dikabulkan searti dengan doanya diijabahi.(dari kata ijab). Tetapi ternyata telah
     ‘terlanjur’ menjadi bahasa remi misalnya dalam acara aqad nikah perkawinan tentang
     keabsahan sahnya perkawinan harus ada unsur ijab (pernyataan dalam arti penyerahan dari
     pihak wali mempelai perempuan kepada mempelai laki-laki) dan kabul (penerimaan dari
     mempelai laki-laki).
33


          pertimbangan hakim dalam merumuskan solusi hukum, sebagai bentuk
          putusan yang mengikat dalam rangka usaha menemukan produk
          penyelesain hukum terhadap sengketa wakaf yang dihadapinya.

                Masalah ini tak terlepas dari hukum acara, karena yang dibahas
          adalah sesatu yang berada dalam lingkup hukum acara, terutama proses
          peradilan yang akan melakukan pemeriksaan dan memberi putusan yang
          seadil-adilnya sejak pemeriksaan tingkat pertama, tingkat kedua (banding)
          hingga ke kasasi ke Mahkamah Agung.

                Berbicara mengenai yurisprudensi dapat dikatakan bahwa hal ini
          agaknya dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain filsafat hukum dan
          aliran-aliran hukum mana yang dianut, politik hukum yang akan
          menentukan corak peradilan sesuai dengan kebijakan (policy) penguasa
          yang memerintah dalam periode tertentu, dan juga faktor sejarah hukum
          yang meliputi praktek dan perjalanan suatu peradilan dari masa ke masa.
          Hal-hal tersebut yang akan menetukan atau setidak-tidaknya amat
          mempengaruhi penerapan hukum materiil dan hukum formil pada periode-
          periode tertentu.

                Untuk menjawab pertanyaan di atas diperlukan terlebih dahulu
          penelusuran yang saksama mengenai beberapa hal, misalnya faktor-faktor
          yang mempengaruhi dasar-dasar pertimbangan yang diambil oleh hakim
          dalam menetapkan keputusannya terhadap perkara sengketa perwakafan.
          Hal itu antara lain disebabkan oleh :

          a. Pengaruh berbagai aliran filsafat hukum. Secara garis besar dunia
              peradilan dipengaruhi oleh dua aliran filsafat hukum yang berbeda.
              Pertama, aliran Positivisme Hukum29 termasuk Legisme yang intinya
              bahwa hukum itu identik dengan undang-undang, seakan-akan tak ada
29
              Dardji Darmodihardjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia, Jakarta,
     2002, Cet. Ke IV, hal.114-115, baca juga Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar
     Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002, Cet.III, hal 55-56. Perhatikan juga Edgar
     Bodenheimer, Jurisprudence The Philosophy & Method of The Law, Harvard University Press,
     Cambridge, 1970, Cet.III, hal. 89 -100. Austin pertama-tama membedakan hukum dalam dua
     jenis yaitu : a) Hukum dari Tuhan yang dibuat untuk manusia (The Divine of Law) dan b)
     hukum yang dibuat oleh manusia; yang pada berikutnya terdiri dari dua golongan, yaitu : a)
     hukum yang sebenarnya, dan b) hukum yang tidak sebenarnya. Yang disebut a) juga disebut
     sebagai Hukum Positif yang meliputi emnpat unsur, yaitu (a) perintah (command), (b) sanksi
     (sanction), (c) kewajiban (duty),dan (d) kedaulatan (souveregnity).
34


              hukum di luar undang-undang. Kedudukan dan fungsi hakim sekedar
              corong undang-undang belaka. Aliran ini merupakan aliran yang
              terkenal dengan nama Civil Law System atau Sistem Hukum
              Kontinental. Sistem hukum ini disebut Civil Law karena dari
              bermacam cabang hukum yang ada di zaman Romawi kuno (abad VI
              semasa Kaisar Justitianus berkuasa,) cabang hukum perdata (private
              law atau civil law) yaitu hukum yang mengatur hubungan antar
              individu di dalam masyarakat, yang pertama tumbuh dan paling pesat
              perkembangannya. Civil Law dikenal sebagai law created by the
              enactment of legislatures. Salah satu kebanggaan dari sistem ini adalah
              produk kodifikasinya yang mempunyai 4 (empat) macam ciri, yaitu :

              •   the law be written essentially in the form of statutes, rather than in
                  the form of court opinion;
              •   the provisions of the code be drafted and arranged systematically ;
              •   the code be dealt with by courts and subsequent legislatures in
                  unified qfashion ;
              •   the code be constructered by experts rather than lay persons30

                  Yang kedua dipengaruhi oleh aliran (American) Sociological
              Jurisprudence yang berpegang pada “law as it is decided by judges
              through judicial processes” yang bertolak dari pandangan bahwa
              hukum adalah ‘apa yang diputuskan oleh hakim in concreto’;
              berorientasi pada ‘behavioral’ dan sosiologis, menggunakan metode
              doktrinal dan non-doktrinal dengan perangkat atau sarana Logika
              Induktif.31 Aliran ini hidup dengan subur dan berkembang di dunia
              hukum Anglo Saxon yang terkenal dengan sistem Common law. Istilah
              ‘Common law’ berasal dari ‘common-ley’ (Perancis), artinya adat
              kebiasaan (customs) yang bersifat umum, bukanlah adat kebiasaan
              lokal. Sistem ini menganut pendirian bahwa yurisprudensilah sumber
              hukum yang utama. Sejarah singkat lahirnya sistem ini bahwasanya
              pada abad ke-11 adat kebiasaan di bidang hukum belum terbentuk

30
             Firdinand Stone, A Primer on Codification, 1955 dalam Kapita Selekta Perbandingan
     Hukum Bisnis, kuliah dari Johannes Gunawan pada Program Pasca Sarjana (Magister Hukum)
     UNPAR th.1999.
31
             B.Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,
     2000, Cet.2 hal. 158
35


              secara konkret, sehingga setiap ada perkara yang diperiksa dan
              ditangani oleh Pengadilan setempat (country/ hundreds courts)
              diselesaikan berdasarkan hukum adat (kebiasaan) lokal. Akibat dari
              putusan ini membawa kepastian hukum pada tingkat yang amat rendah.
              Berdasarkan pengalaman-pengalaman itulah maka sejak abad ke-19
              dengan tujuan agar kepastian hukum menjadi meningkat, mulailah asas
              hukum The Rule of Precedent dijadikan pedoman pokok. Selain istilah
              The Rule of Precedent ada istilah lain lagi yaitu Stare Decisis yang
              berarti to stand by (previous) decisions (berpegang pada putusan yang
              telah diambil sebelumnya). Dari himpunan berbagai putusan hakim
              itulah lama kelamaan terbentuk hukum (terkenal dengan semboyan
              Judge-made Law). Dengan demikian, dalam sistem Common Law
              hakim      mempunyai         peran    untuk     menerapkan        hukum       (rechts
              toepassing), dan membuat hukum (judge made law).

                     Dalam Common law tak dikenal perbedaan antara hukum perdata
              dengan hukum publik, kemudian berkembang dengan apa yang mirip
              dengan perbedaan Common law dengan Equity (law). Seperti diketahui
              bahwa dalam hukum perdata amat menekankan kebenaran formal
              belaka, sehingga kebenaran material yang berinti pada keadilan yang
              sejati menjadi terabaikan. Oleh sebab itu untuk menghindari
              ketimpangan ini, maka di negara Inggris dibentuklah apa yang disebut
              sebagai The High Court of Chancery (sebuah pengadilan tinggi yang
              menerapkan asas Equity pada hukum dalam rangka mewujudkan
              keadilan seperti pada tujuan hukum publik)32. Sekali lagi semboyannya
              yaitu Judgment made law; terkenal dengan Common Law System atau
              Hukum Anglo Saxon.33

32
              Equity adalah : is that system of justice which was developed in and administreted by
     the High Court of Chancery in England in the extraordinary jurisdiction etc. (Garner Bryan
     A., Black’s Law Dictionary, Book 1Edisi ke 7, West Group, St. Paul, Minn., 1999, hal. 560)
     Di tempat lain disebut Equity adalah Justice administreted           according to fairness as
     contrasted with the strictly formulated rules of common law. It is based on a system of rules of
     principles which originated in England as in alternative to the harsh rules of common law
     which were based on what was fair in a particular situation. etc. (Garnrr Bryan A., Ibid, hal.
     561)
33
              Dardji Darmodihartdjo dan Shidarta, Ibid, hal.27 – 131. Lihat juga Edgar
     Bodenheimer, Ibid hal. 103-110.
36


     Bagi Indonesia sebagai negara yang sedang dalam proses mencari
identitas sistem hukum nasionalnya serta membenahi tatanan hukum
nasional menerima pengaruh dari kedua aliran hukum; walaupun dari
sudut proses sejarah hukum, sebagai bekas daerah jajahan Belanda.
mula-mula amat dipengaruhi hukum kontinental . Belanda yang semula
menerima pengaruh hukum Perancis memberlakukan asas konkordansi
bagi Indonesia. Kalau dilihat ketentuan yang terdapat dalam Pasal 14
Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman beserta Penjelasannya, bahwa
pengadilan (baca Hakim) wajib melakukan pemeriksaan dan mengadili
perkara apapun juga. Artinya sama sekali tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadilinya dengan dalih bahwa hukum yang
mengatur kurang atau tidak jelas ataupun belum ada pengaturannya.
Dalam hal ini hakim selaku institusi peradilan, dianggap (selalu)
memahami hukum (apapun), karenanya ia wajib memenuhi pencari
keadilan yang datang kepadanya. Seandainya sesuatu perbuatan atau
ketentuan itu belum diatur dalam hukum positif tertulis, ia wajib
mencari, menggali dan menemukan hukumnya kendatipun dari hukum
tidak tertulis, semata-mata demi menjaga wibawa hukum dan tanggung
jawabnya kepada Tuhan, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara.

     Dengan demikian maka apa yang kita saksikan pada dewasa ini di
berbagai negara telah terjadi pendekatan satu sama lain antara Sistem
Hukum Kontinental (Civil Law System) dengan Sistem Hukum Anglo
Saxon (Common Law System), misalnya di Amerika Serikat terdapat
United States Code (US Code), juga di Inggris terdapat The Bill of
Exchange Act (1882) dan The Sales of Goods Act (1893). Tegasnya di
negara-negara penganut Civil Law terdapat kecenderungan untuk
menggunakan putusan hakim (yurisprudensi/ case law) sebagai sumber
hukum, sebaliknya di negara penganut Common Law terdapat
kecenderungan yang sama untuk mengkompilasi putusan hakim dan
kemudian menyusunnya sebagai sebuah sistem peraturan yang mirip
37


               dengan kodifikasi.34 Negara-negara yang dahulu di bawah pengaruh
               Inggris, seperti Mesir dan Syria telah menerbitkan undang-undang
               wakaf berdasarkan Hukum Islam; misalnya untuk Mesir dengan
               Undang-undang Nomor 48 tahun 1946 tentang Perwakafan, kemudian
               dengan Undang-undang Nomor 180 tahun 1952 ditentukan penghapusan
               wakaf ahli (wakaf keluarga) sebagai bentuk wakaf khusus, dan undang-
               undang berikutnya bersifat penyempurnaan aturan wakaf. Contoh lain
               adalah undang-undang yang dibuat oleh                  Yordania, yaitu Undang-
               Undang Nomor 26 tahun 1966 juga tentang Perwakafan. Di Srilangka,
               Pemerintah Inggris sewaktu masih berkuasa di situ telah mengeluarkan
               sebuah ordonansi (setingkat dengan undang-undang) Nomor 31 tahun
               1931 dan menunjuk pengadilan distrik sebagai peradilan yang
               mempunyai wewenang untuk memeriksa dan mengadili masalah wakaf.
               Lembaga peradilan ini didirikan sejak tahun 1956 setelah didirikan
               Mahkamah (Pengadilan) Syari’ah, yang berwenang memeriksa dan
               mengadili urusan sengketa wakaf yang selanjutnya dialihkan dari
               pengadilan distrik ke pengadilan syari’ah yang telah dibentuk.35


          b. Sistem hukum yang berlaku untuk kasus wakaf adalah sistem hukum
               yang digunakan untuk memeriksa dan memberikan putusan perkara
               gugatan wakaf; sisem hukum inilah yang menentukan macam
               peradilannya.

                  Mengingat kebijakan negara kita yang menganut pluralisme hukum
               di samping tetap memegang cita-cita unifikasi hukum, maka sistem
               hukum yang berlaku amat tergantung pada politik hukum pemerintah
               yang sedang memegang kendali kekuasaan. Hukum Wakafpun sebagai
               bagian Hukum Islam mengalami pasang surut yang secara garis besar
               mula-mula diperlakukan sistem Hukum Islam, tetapi sejak tahun 1937
               (masih pada pemerintahan Hindia Belanda) diperlakukan Hukum Adat

34
            Johannes Gunawan, Perbandingan Hukum Bisnis, Program Pasca Sarjana UNPAR,
     Bandung 1999, tidak dipublikasi/terbitkankan, hal. 8
35
               Uswatun Hasanah, Peranan Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial, Disertasi di IAIN
     Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1997, belum diterbitkan, hal.88-91, 107-108, dan 119
38


               yang menerima resepsi dari Hukum Islam36. Barulah sejak tahun 1989
               berlaku sepenuhnya Sistem Hukum Islam. Ini terlihat dan tampak jelas
               dalam uraian dasar-dasar pertimbangan dan rumusan putusan hakim
               sebelum Undang-undang Peradilan Agama (1989) berlaku maupun
               sesudahnya. Hal ini akan diuraikan secara luas dalam Bab III dan Bab
               IV di bawah ini.

           c. Sistem peradilan yang berwenang memeriksa kasus wakaf.

               Lembaga peradilan apa yang berwenang (mempunyai competentie van
               bevoegsheid) memeriksa sengketa wakaf ?

                      Selanjutnya kriteria-kriteria yang bagaimana yang digunakan
               dalam menunjuk hakim yang dipandang memenuhi persyaratan tertentu
               dan mampu memeriksa dan menyelesaikan perkara wakaf ?

                      Dalam kaitan ini sejalan dengan uraian dalam menjawab
               permasalahan kedua, dapatlah dikatakan bahwa lembaga peradilan
               yang menanganinya pun tergantung pada sistem hukum (khususnya
               yang berhubungan sistem peradilan) yang diperlakukan untuk
               menyelesaikan perkara wakaf ini.

                      Secara garis besar dapat dikatakan bahwa sejak masuknya Agama
               Islam jauh sebelum kedatangan koloni Belanda ke Indonesia, lepas dari
               bentuk peradilannya, masalah wakaf masuk kompetensi institusi
               Peradilan Agama, sampai munculnya ketentuan-ketentuan baru yang
               dibuat oleh penguasa Belanda. Keanekaragaman peradilan di Indonesia
               nampaknya membuat hukum wakaf menjadi terabaikan. Sebelum
               berlakunya Undang-undang Peradilan Agama yang definitif sejak
               1989, maka Peradilan Agama di Indonesia dinyatakan berwenang
               mengadili perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf dan
               shadaqah.

     G. Metoda Penelitian

              Berkenaan dengan fokus penelitian mengenai Lembaga Hukum Wakaf

36
       Ketentuan pembatasan ini hanya berlaku di Jawa dan Madura, sedangkan di luar Jawa dan Madura
     kewenangan peradilan agama termasuk pemeriksaan wakaf masih seperti yang dulu.
39


        yang bersumber dari Hukum Islam dan yang pengaturannya telah
        ditetapkan dalam Hukum Agraria, Undang-Undang Pokok Agraria dan
        semua peraturan pelaksanaannya) serta Hukum Islam (hukum posif
        tertulis, seperti Kompilasi Hukum Islam 1991, Undang-undang tentang
        Peradilan Agama dan sebagainya), maka metode yang digunakan dalam
        penelitian ini adalah metode deskriptif melalui pendekatan yuridis
        kualitatif37 dengan menggunakan                bantuan bahan-bahan di samping
        Yuridis juga non yuridis. Atau                 kalau disingkat menjadi metode
        penelitian yuridis kualitatif.

           Untuk membedakan             penelitian yuridis normatif dengan penelitian
    yuridis kualitatif, perlu dijelaskan bahwa yang disebut pertama adalah sebuah
    metode penelitian yang hanya meletakkan rumusan ketentuan hukum semata,
    tanpa mencari makna normatif dari sisi lain yakni makna yang terkandung di
    dalamnya secara kualitatif. Metode penelitian yuridis normatif ini adalah suatu
    cara untuk mencari makna yuridis yang ada pada sistim ketentuan hukum.
    Yang ditempuh menurut pola yuridis normatif hanya cenderung pada pendapat
    pelaku     analisa,    dan     tidak    memperdulikan        atau     bahkan     cenderung
    menyampingkan pendapat orang lain                 yang terletak di luar diri pembuat
    analisa, sekalipun pendapat orang lain itu digunakan juga sebagai
    perbandingan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam metode yuridis
    analisis normatif ini cenderung bersifat subyektif. Dapat pula dijelaskan
    bahwa pendekatan yuridis normatif ini mengandung arti perlu memperhatikan
    5 faktor yaitu teori interpretasi (penfsiran) hukum, konstruksi hukum, filsafat
    hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum.

           Sebaliknya metode penelitian yuridis kualitatif berusaha mencari makna
    normatif dari suatu ketentuan hukum tidak didasarkan pada ketentuan tertentu
    atau ketentuan yang tertuang dalam naskah (teks) belaka, melainkan
    menempatkan pendapat pelaku analisis sebagai hal yang tidak dominan.
    Dengan demikian seorang penganalisis menempatkan pendapat analisisnya
perbedaan antara penelitian kualitatif dengan penelitian kuantitatif dalam bidang ilmu sosial yang
dibuat dalam bentuk sebuah tabel.
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007
2001822007

Mais conteúdo relacionado

Mais procurados

Hukum islam dan kontribusi umat islam indonesia
Hukum islam dan kontribusi umat islam indonesiaHukum islam dan kontribusi umat islam indonesia
Hukum islam dan kontribusi umat islam indonesiaRaja fath
 
Istihsan (استحسان)
Istihsan (استحسان)Istihsan (استحسان)
Istihsan (استحسان)Nana Cahmaxcy
 
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh Jingga Matahari
 
Ra'yu dengan ijtihad (Tugas Agama)
Ra'yu dengan ijtihad (Tugas Agama)Ra'yu dengan ijtihad (Tugas Agama)
Ra'yu dengan ijtihad (Tugas Agama)chikaa22
 
Hukum acara perdata - Fungsi, tujuan, dan sumber hukum acara perdata (Idik Sa...
Hukum acara perdata - Fungsi, tujuan, dan sumber hukum acara perdata (Idik Sa...Hukum acara perdata - Fungsi, tujuan, dan sumber hukum acara perdata (Idik Sa...
Hukum acara perdata - Fungsi, tujuan, dan sumber hukum acara perdata (Idik Sa...Idik Saeful Bahri
 
Makalah metode ijtihad dan macam macam ijtihad
Makalah  metode ijtihad dan macam macam ijtihadMakalah  metode ijtihad dan macam macam ijtihad
Makalah metode ijtihad dan macam macam ijtihadInternet Explorer
 
BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUANBAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUANvit28
 
Ijtihad sebagai sumber dan metode study islam (autosaved)
Ijtihad sebagai sumber dan metode study islam (autosaved)Ijtihad sebagai sumber dan metode study islam (autosaved)
Ijtihad sebagai sumber dan metode study islam (autosaved)Hilmy Fauzan Rafi
 
1,hbl, riski ariyani, hapzi ali, umb, 2019
1,hbl, riski ariyani, hapzi ali, umb, 20191,hbl, riski ariyani, hapzi ali, umb, 2019
1,hbl, riski ariyani, hapzi ali, umb, 2019riskiariyani2976
 
Makalah benda berwujud dan tidak berwujud
Makalah benda berwujud dan tidak berwujud Makalah benda berwujud dan tidak berwujud
Makalah benda berwujud dan tidak berwujud Yeepe
 
Benda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukum
Benda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukumBenda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukum
Benda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukumrabu12
 

Mais procurados (20)

Hukum islam dan kontribusi umat islam indonesia
Hukum islam dan kontribusi umat islam indonesiaHukum islam dan kontribusi umat islam indonesia
Hukum islam dan kontribusi umat islam indonesia
 
Istihsan (استحسان)
Istihsan (استحسان)Istihsan (استحسان)
Istihsan (استحسان)
 
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
 
Ra'yu dengan ijtihad (Tugas Agama)
Ra'yu dengan ijtihad (Tugas Agama)Ra'yu dengan ijtihad (Tugas Agama)
Ra'yu dengan ijtihad (Tugas Agama)
 
Hukum acara perdata - Fungsi, tujuan, dan sumber hukum acara perdata (Idik Sa...
Hukum acara perdata - Fungsi, tujuan, dan sumber hukum acara perdata (Idik Sa...Hukum acara perdata - Fungsi, tujuan, dan sumber hukum acara perdata (Idik Sa...
Hukum acara perdata - Fungsi, tujuan, dan sumber hukum acara perdata (Idik Sa...
 
Studi hukum islam
Studi hukum islamStudi hukum islam
Studi hukum islam
 
Makalah metode ijtihad dan macam macam ijtihad
Makalah  metode ijtihad dan macam macam ijtihadMakalah  metode ijtihad dan macam macam ijtihad
Makalah metode ijtihad dan macam macam ijtihad
 
Hukum islam
Hukum islamHukum islam
Hukum islam
 
BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUANBAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN
 
Studi hukum islam
Studi hukum islamStudi hukum islam
Studi hukum islam
 
Ijtihad
IjtihadIjtihad
Ijtihad
 
sumber sumber hukum
 sumber sumber hukum sumber sumber hukum
sumber sumber hukum
 
Ushul fiqh ppt
Ushul fiqh pptUshul fiqh ppt
Ushul fiqh ppt
 
Ijtihad sebagai sumber dan metode study islam (autosaved)
Ijtihad sebagai sumber dan metode study islam (autosaved)Ijtihad sebagai sumber dan metode study islam (autosaved)
Ijtihad sebagai sumber dan metode study islam (autosaved)
 
1,hbl, riski ariyani, hapzi ali, umb, 2019
1,hbl, riski ariyani, hapzi ali, umb, 20191,hbl, riski ariyani, hapzi ali, umb, 2019
1,hbl, riski ariyani, hapzi ali, umb, 2019
 
Makalah benda berwujud dan tidak berwujud
Makalah benda berwujud dan tidak berwujud Makalah benda berwujud dan tidak berwujud
Makalah benda berwujud dan tidak berwujud
 
01 pengantar-ushul-fiqh
01 pengantar-ushul-fiqh01 pengantar-ushul-fiqh
01 pengantar-ushul-fiqh
 
Benda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukum
Benda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukumBenda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukum
Benda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukum
 
Ijtihad
IjtihadIjtihad
Ijtihad
 
Studi hukum islam
Studi hukum islam Studi hukum islam
Studi hukum islam
 

Semelhante a 2001822007

SISTEMATIKA HUKUM PERDATA.pptx
SISTEMATIKA HUKUM PERDATA.pptxSISTEMATIKA HUKUM PERDATA.pptx
SISTEMATIKA HUKUM PERDATA.pptxFitraMegaKurniawan
 
Pengantar Ilmu Pengetahuan Perundang Undangan
Pengantar Ilmu Pengetahuan Perundang UndanganPengantar Ilmu Pengetahuan Perundang Undangan
Pengantar Ilmu Pengetahuan Perundang UndanganImbang Jaya Trenggana
 
Hukum Acara Pengadilan Agama
Hukum Acara Pengadilan AgamaHukum Acara Pengadilan Agama
Hukum Acara Pengadilan AgamaSiddiki Syadzily
 
53920 id-dinamika-aspek-hukum-zakat-dan-wakaf-di
53920 id-dinamika-aspek-hukum-zakat-dan-wakaf-di53920 id-dinamika-aspek-hukum-zakat-dan-wakaf-di
53920 id-dinamika-aspek-hukum-zakat-dan-wakaf-dirangganurjaman
 
Hukum Acara Pengadilan Agama
Hukum Acara Pengadilan AgamaHukum Acara Pengadilan Agama
Hukum Acara Pengadilan AgamaSiddiki Syadzily
 
Jurnal sharia law ed 01 | SHARIA LAW INSTITUTE
Jurnal sharia law ed 01 | SHARIA LAW INSTITUTEJurnal sharia law ed 01 | SHARIA LAW INSTITUTE
Jurnal sharia law ed 01 | SHARIA LAW INSTITUTEChandra Irawan
 
Contoh rpp sesuai standar ukin
Contoh rpp sesuai standar ukinContoh rpp sesuai standar ukin
Contoh rpp sesuai standar ukinNurulsampit
 
Sejarah pa indonesia
Sejarah pa indonesiaSejarah pa indonesia
Sejarah pa indonesiaSafran Nasoha
 
Ciri-ciri Syariah.pptx
Ciri-ciri Syariah.pptxCiri-ciri Syariah.pptx
Ciri-ciri Syariah.pptxSallyYeo9
 
Daniel Ismanto E0018101 - Religious Legal System.pptx
Daniel Ismanto E0018101 - Religious Legal System.pptxDaniel Ismanto E0018101 - Religious Legal System.pptx
Daniel Ismanto E0018101 - Religious Legal System.pptxDatriNurmansyah2
 
Bab II Pembahasan
Bab II PembahasanBab II Pembahasan
Bab II PembahasanRezki2704
 
Jawaban UTS HPI upload scribd.docx
Jawaban UTS HPI upload scribd.docxJawaban UTS HPI upload scribd.docx
Jawaban UTS HPI upload scribd.docxFaridAhkram
 
Pengertian sistem hukum
Pengertian sistem hukumPengertian sistem hukum
Pengertian sistem hukumaziz paloh
 

Semelhante a 2001822007 (20)

SISTEMATIKA HUKUM PERDATA.pptx
SISTEMATIKA HUKUM PERDATA.pptxSISTEMATIKA HUKUM PERDATA.pptx
SISTEMATIKA HUKUM PERDATA.pptx
 
Pengantar Ilmu Pengetahuan Perundang Undangan
Pengantar Ilmu Pengetahuan Perundang UndanganPengantar Ilmu Pengetahuan Perundang Undangan
Pengantar Ilmu Pengetahuan Perundang Undangan
 
Hukum Acara Pengadilan Agama
Hukum Acara Pengadilan AgamaHukum Acara Pengadilan Agama
Hukum Acara Pengadilan Agama
 
Studi hukum islam kel.2
Studi hukum islam kel.2Studi hukum islam kel.2
Studi hukum islam kel.2
 
Studi hukum islam kel.2
Studi hukum islam kel.2Studi hukum islam kel.2
Studi hukum islam kel.2
 
53920 id-dinamika-aspek-hukum-zakat-dan-wakaf-di
53920 id-dinamika-aspek-hukum-zakat-dan-wakaf-di53920 id-dinamika-aspek-hukum-zakat-dan-wakaf-di
53920 id-dinamika-aspek-hukum-zakat-dan-wakaf-di
 
Hukum Acara Pengadilan Agama
Hukum Acara Pengadilan AgamaHukum Acara Pengadilan Agama
Hukum Acara Pengadilan Agama
 
Hukum_Acara_Pengadilan_Agama.pptx
Hukum_Acara_Pengadilan_Agama.pptxHukum_Acara_Pengadilan_Agama.pptx
Hukum_Acara_Pengadilan_Agama.pptx
 
Jurnal sharia law ed 01 | SHARIA LAW INSTITUTE
Jurnal sharia law ed 01 | SHARIA LAW INSTITUTEJurnal sharia law ed 01 | SHARIA LAW INSTITUTE
Jurnal sharia law ed 01 | SHARIA LAW INSTITUTE
 
Makalah u. fiqh
Makalah u. fiqhMakalah u. fiqh
Makalah u. fiqh
 
Contoh rpp sesuai standar ukin
Contoh rpp sesuai standar ukinContoh rpp sesuai standar ukin
Contoh rpp sesuai standar ukin
 
Sejarah pa indonesia
Sejarah pa indonesiaSejarah pa indonesia
Sejarah pa indonesia
 
Bab 6 ushul fikih
Bab 6 ushul fikihBab 6 ushul fikih
Bab 6 ushul fikih
 
SKETSA PERADILAN AGAMA
SKETSA PERADILAN AGAMASKETSA PERADILAN AGAMA
SKETSA PERADILAN AGAMA
 
Ciri-ciri Syariah.pptx
Ciri-ciri Syariah.pptxCiri-ciri Syariah.pptx
Ciri-ciri Syariah.pptx
 
Daniel Ismanto E0018101 - Religious Legal System.pptx
Daniel Ismanto E0018101 - Religious Legal System.pptxDaniel Ismanto E0018101 - Religious Legal System.pptx
Daniel Ismanto E0018101 - Religious Legal System.pptx
 
Bab II Pembahasan
Bab II PembahasanBab II Pembahasan
Bab II Pembahasan
 
Bab II Pembahasan
Bab II PembahasanBab II Pembahasan
Bab II Pembahasan
 
Jawaban UTS HPI upload scribd.docx
Jawaban UTS HPI upload scribd.docxJawaban UTS HPI upload scribd.docx
Jawaban UTS HPI upload scribd.docx
 
Pengertian sistem hukum
Pengertian sistem hukumPengertian sistem hukum
Pengertian sistem hukum
 

2001822007

  • 1. 1 IKHTISAR Pembahasan dalam penelitian ini mencoba menjawab tiga permasalahan yaitu: (1) Masalah pertama tentang karakteristik lembaga wakaf; (a) Menurut hukum positif masalah wakaf telah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan terakhir dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf yang dapat dikatakan relatif telah menampung hampir seluruh masalah perwakafan sesuai dengan aspirasi umat dan kebutuhan hukum masyarakat. Undang-undang Wakaf ini mengindikasikan adanya akomodasi bagi perbedaan mazhab agar dengan demikian tercapai kepastian hukum (rechtzekerheid) dan tercapainya unifikasi dan uniformisiasi aturan wakaf yang selama ini tersebar pada berbagai peraturan perundang-undangan. Juga undang-undang ini mengisyaratkan perlunya dibentuk beberapa peraturan pemerintah antara lain tentang sistem wakaf uang dengan sertifikat wakaf melalui bank syariah dan sebagainya yang kini masih dalam penggodokan. (b) Menurut Hukum Islam wakaf merupakan satu sistem muamalah (interaksi manusia yang bermotif ibadah),sederhana unsur-unsurnya yaitu wakif, benda wakaf (maukuf), peruntukan/tujuan wakaf (maukuf alaih) dan ikrar. Wakaf berbeda dengan zakat, infak, shadaqah (lembaga hukum Islam), hibah, yayasan dan trust (lembaga hukum perdata). Mentoleransi perbedaan mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali dan Syi’ah) mengenai berbagai hal seperti definisi, syarat, macam wakaf, benda wakaf yang tidak berfungsi dan sebagainya, namun mereka bersepakat dalam menerima wakaf sebagai bahagian dari syariat Islam. (2) Masalah kedua : studi kasus tentang penerapan hukum wakaf dalam yurisprudensi terutama mengenai pertimbangan hukum oleh (majelis) hakim; pengungkapan dilakukan atas sebelas kasus sengketa (gugatan perkara) wakaf yang terjadi di Surabaya, Kudus, Sumedang, Bandung, Sukabumi dan Serang (masing-masing 1 kasus), Tasikmalaya ( 3 kasus) dan Cianjur ( 2 kasus). 7 kasus diperiksa oleh PN/PT dan 4 kasus oleh PA/PTA terutama sesudah Undang-undang No.7/1989 tentang Peradilan Agama berlaku. Sebagian besar sengketa antara wakif atau ahli warisnya dengan nazhir atau antara nazhir dengan pihak ketiga. Substansi perkara di antaranya mengenai keabsahan wakaf, gugatan status tanah sebagai harta warisan dan terjadinya tumpang tindih tanah wakaf sekaligus tanah HGB bahkan dibebani hak tanggungan, yang nyaris akan disita oleh pengadilan karena debitur (yang juga menjabat nazhir) wanprestasi. Terhadap 10 kasus baik pertimbangan hukum maupun putusan hakim dinilai telah benar dan tepat sesuai dengan ketentuan Hukum Islam dan Hukum Acara Perdata.Satu-satunya yang ditolak Mahkamah Agung karena tidak memenuhi syarat suatu permohonan PK (Pasal 67 Undang-undang No.14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung). yaitu kasus Cisayong Tasikmalaya yang mengajukan permohonan PK untuk pengukuhan wakaf yang dinazhirinya. (3) Masalah ketiga: Dua permasalahan tersebut di atas (masalah pertama dan masalah kedua apabila dievaluasi ternyata telah sesuai dengan Sistem Hukum Nasional antara lain secara ideologis memenuhi cita hukum Pancasila, mengandung nilai-nilai filosofis, yuridis dan sosiologis dan memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan (a.l. Undang –undang
  • 2. 2 No.10 tahun 2004). Juga ternyata telah sejalan/searah dengan asas-asas Hukum Islam, seperti dalam hal tujuan syariat Islam untuk menyikapi harta benda yang dimiliki seseorang selain harus diperoleh secara halal dan baik (thayib) juga dimanfaatkan untuk keperluan ibadah dan kemaslahatan umum, memotivasi penggunaan dan pemanfaatan harta benda yang dimilikinya seyogianya sesuai dengan tuntutan dan tuntunan agama yaitu berada pada jalan yang diridlai Tuhan. Kata kunci : Wakaf, Undang-undang Wakaf dan Yurisprudensi
  • 3. 3 SUMMARY The analysis of this research is try to respond three problems as in the below: (1) The first problem is related with the first characteristic of ‘wakf’ institution, i.e.: (a) in accordance with the Positive Law, the pro- blem of ‘wakf’ has been included into the last regulation of legislation, i.e. on the Legislation No. 41/2004 about ‘Wakf’, in which is able to be relatively thought that it has integrated almost all problematic of ‘wakf’ in accordance with the need of the aspiration of members of Islamic community and the need of community law. This ‘Wakf’ law indicates the availability of accommodation for the difference of Islamic schools in order to obtain the law certainty (rechtzekerheid) and to obtain the unification and uniformity of ‘wakf’ regulation that till recently were distributed on the regulation of legislation. This legislation is also indicates the signals of the need to formulate several governmental regulations, among them, in dealing with the system of money ‘wakf’ with the certification of ‘wakf’ through Bank of ‘Syari’ah’, etc., that is formulated till recently; (b) in accordance with the Islamic Law Principles, ‘wakf’ constitutes a system of muamalah (the interaction based on the devotion motive and material transaction as far as no change the ownership of ‘wakf’ material) with the simple elements,i.e.: wakif (the provider of ‘wakf’), maukuf (the material of ‘wakf’), maukuf alaih (the intention/allotment of ‘wakf’), and ikrar (the statement/declaration of intent). ‘Wakf’ is difference in gradually with zakat (tithe), infak, shadakah, and hibah (grant/legacy). In tolerating the difference of Islamic schools (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, and Syi’ah) in dealing with several matters as definition, requisite/prerequirement, types of ‘wakf’, the materials of ‘wakf’ in which are disfunction, etc., though they agree in considering ‘wakf’ as a part of Islamic Law (Syari’at of Islam). (2) The second problem: the case study about the application of ‘wakf’ law in jurisprudence, primarily in the judicial considerations were used by (court) judges, the acts of expressing/revealing were done researcher for eleven legal action or dispute cases (lawsuits) of ‘wakf’ on Surabaya, Kudus, Sumedang, Bandung, Sukabumi, and Serang (one case for each area), Tasikmalaya (three cases), Cianjur (two cases), and had been reviewed by public court and religious court (after Legislation No. 7/1989 about Religious Court). Almost disputes were appeared between wakif (the provider of wakf) or heirs and nazhir or between nazhir with third party. Among of lawsuit content were the validity of ‘wakf’, suit of land status as material heir, and overlapping of ‘wakf’ land together with the right of building usage, and in the contrary it’s charged by right of burden which was almost seized by court because of the uncompetent debtor (also as nazhir). The judgment and decision of judge are assessed for ten cases have been significant and in accordance with the conditions of Islamic Law and Civil Law. The only one was refused by Supreme Court because of it was unfulfillment the conditions as a proposal of Law Review (paragraph 67 of Legislation No. 14/1985 about Supreme Court), i.e. the Case of Cisayong, Tasikmalaya that propose the proposal of Law Review for strengthening the ‘wakf’.
  • 4. 4 (3) The third problem: Whenever the two problems above (the first and the second problem) are evaluated, in fact they have been in accordance with the National Law System, among of them, they are in accordance with the intent of constitutional law, i.e. Pancasila, have the content of philosophical, juridical, and sociological values, and fulfill the conditions of formulating the regulation of legislation (e.g. Legislation No. 10/2004); and indeed its also has been in accordance with the principles of Islamic Law, as in the intent of Syari’at of Islam, in order to behave the someone’s material or property beside must be obtained by legal and right ways (thayib), and also it’s used for the requirement of the religious service and public usage, to motivate the usage of his/her material/property (‘wakf’) in order to be used in accordance with the requirement and religious requirement, i.e. exist in accordance with the ways are blessing of God. Key Words: ‘Wakf’, ‘Wakf’ Legislation, and Jurisprudence.
  • 5. 5 SEKAPUR SIRIH Bismillahir- rahmanir – rahim, Dengan memanjatkan puji syukur ke hadlirat Allah Subhanhu wa Ta’ala, akhirnya penulisan disertasi ini terselesaikan dengan tuntas. Dalam kaitan ini, penulis teringat petuah Sayidina ‘Ali bin Abu Thalib seorang Khalifah Nabi Muhammad s.a.w. yang keempat ketika ia memberi nasehat kepada para penuntut ilmu, isinya kurang lebih sebagai berikut : “Anda tidak sekali-kali akan memperoleh ilmu yang dalam lagi luas kecuali menempuh enam syarat, yaitu (1) Kemauan yang keras, (2) kecerdasan yang memadai, (3) bekal yang mencukupi , (4) kesabaran yang tidak mengenal putus asa, (5) rela mengikuti bimbingan sang guru, (6) kesediaan dan kesadaran akan menempuh proses waktu yang cukup lama. Alangkah benarnya petuah itu dengan yang penulis alami sebagai seorang yang menggapai suatu bidang ilmu dalam kondisi yang tidak lagi muda usia. Izinkan untuk disisipkan satu lagi dari kristalisasi pengalaman selama studi yaitu diperlukan semangat laksana dian yang kunjung padam. Semangatlah yang mendinamisasi segala aktivitas. Penulis menginsyafi betapa sulitnya ketika mencari dan menjajaki topik penelitan yang dapat mendatangkan kemanfaatan bagi umat dan sesama manusia. Setelah melalui pertimbangan yang tidak sebentar, pada akhirnya penulis menentukan pilihannya pada topik lembaga hukum wakaf (bahagian dari Hukum Islam). Satu bentuk mu’amalah yang bertendensi keagamaan, singkatnya ilmu duniawi dan ukhrawi atau ilmu hukum yang berlatarbelakang dan bernafaskan ilmu agama. Tentunya tidak terlepas dari sistem hukum nasional karena masalah tersebut diterapkan di tanah air Indonesia. Sehubungan dengan itu perkenankan penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada : 1. Promotor, Ko-promotor dan para penguji. Juga kepada Rektor, Ketua Program Pasca Sarjana UNPAR dan personil Staf serta segenap para pengajar Program Pascasarjana (PPS) bidang Ilmu Hukum baik ketika penulis mengikuti kuliah pada Program S-2 maupun Program S-3. 2. Sudah selayaknya secara agak lebih bersifat pribadi khususnya kepada Prof. Dr. Soedjono Dirdjosisworo, SH, MM, MBA; Prof. Dr.H. Lili Rasjidi, SH, S.Sos., LL.M., yang dengan tulus telah mendorong penulis sebelum penulis memulai kuliah di UNPAR. Prof. Dr. H. Rachmat Djatnika, Prof. Dr. H. Abdulgani Abdullah, Ibu Dr. Uswatun Hasanah, MA yang dengan senang hati telah memberikan bahan disertasinya. Juga Prof. Dr. H.Otje Salman Soemadiningrat, SH dengan tidak jemu-jemunya membimbing dan waktu-waktu beliau sering di’ganggu’ penulis selama ini. Juga untuk Prof. Dr. B. Arif Sidharta, SH, Prof. Dr. Wila Chandrawila Supriadi,SH. dan Dr. I. Bambang Sugiharto. 3. Beberapa pribadi antara lain Prof. Dardji Darmodihardjo, SH, Prof. Dr. Ismangun,.M.Pd, Prof. Abdurrachman Atmosentono (almarhum), Prof. Dr. Priyatna Abdurrasyid, SH, Prof. Ahmad Sanusi, SH, Prof. Dr. Djalaluddin Rachmat, Prof. Dr. H.M. Tahir Azhari, SH, Dr. H. Rifyal Ka’bah, SH, Ibu Hj. Chaerani Wani, SH, Dr. H. Abdurrachman, SH,MH, Mayjen TNI Purn. Iskandar Kamil (keempat-empat yang disebut akhir semua Hakim Agung) . Bapak Drs. Khalililurrachman,SH, MM, MBA
  • 6. 6 dan Staf, Direktur Hukum TNI-AD, Ketua Sekolah Tinggi Hukum Militer, Rektor Universitas Islam Jakarta, Ketua STIE Perbanas (keempat- empatnya di Jakarta), Rektor Universitas Pendidikan Indonesia dan Staf, Ketua Sekolah Tinggi Hukum Bandung (kedua-duanya di Bandung) yang telah memberi dorongan, nasehat dan bantuan.. 4. Ketua/Panitera Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Ketua/Panitera PN Kudus, Ketua/Panitera PN Tyasikmalaya, Ketua Pengadilan Agama (PA) Tasikmalaya, Ketua/Panitera Pengadilan Negeri Cianjur, Ketua/Panitera PN Sumedang, Ketua/Panitera PA Bandung, Ketua/Panitera PA Sukabumi, Ketua/Panitera PA Serang, secara khusus Ketua dan Panitera Pengadilan Tinggi Agama Bandung serta Panitera Pengadilan Tinggi Bandung yang telah memberi bahan dan meminjami literatur secukupnya untuk penelitian. 5. Para pimpinan beberapa yayasan diantaranya Daarut-Tauhiid, Babus Salam, At-Taqwa KPAD Gegerkalong, semuanya di Bandung, Yayasan Pangeran Sumedang di Sumedang, Dompet Dhu’afa, Yayasan Pendidikan Tinggi Dakwah Islam, Yayasan Wakaf Perguruan Tinggi Islam Jakarta (semua di Jakarta), Yayasan Ash-Shalihin di Klaten dan Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung di Semarang yang telah memberi kesempatan untuk dilakukan penelitian pada yayasan masing-masing. 6. . Juga rekan-rekan alumni PPS UNPAR (Dr. Johannes Gunawan, Dr. Johannes Ibrahim, Dr. Dwidja Priyatno, Dr. Bernadette Waluyo, Dr.Mahidin Gultom dan lain-lain yang pernah membantu penulis. Terutama Dr. Shidarta yang pernah membantu mengoreksi draf disertasi. Tidak ketinggalan rekan-rekan seangkatan, Dr. Munir Fuady, J.Samosir, H. Handoko Kristiyoso, Endang Juandi, yang selama ini saling berdiskusi dan bertukar pikiran mengenai perkuliahan; termasuk Yos Faisal Husni, Nurzaman, Moch. Basarah, Teddy, Yayan Nurbayan (kandidat Doktor IAIN Syarif Hidayatullah). 7. Pimpinan dan para petugas beberapa perpustakaan, antara lain Perpustakaan UNPAR, UPI, STHB, ITB,UNPAD (tiga perpustakaan yakni Fakultas Hukum, Pascasarjana dan UNPAD sendiri), PN dan PT Bandung, PA dan PTA Bandung semua di Bandung, UI Depok, Universitas Islam Nageri (UIN,dahulu IAIN) Syarif Hidayatullah semua di Jakarta, UNAIR Surabaya, UNDIP Semarang, UII Yogyakarta dan Pondok Modern Gontor Ponorogo. 8. Rasanya kurang afdhol sekiranya tidak menyebutkan para dermawan yang dengan ikhlas hati telah mengulurkan bantuan ‘logistik’nya demi kelancaran studi dan penelitian penulis, yaitu Pimpinan Yayasan Kartika Eka Paksi, Ba- pak H. Basofi Sudirman, Bapak H. Saryanto Sarbini, Bapak H. Fachrurrazi, (semua di Jakarta), Bapak H. Djalaluddin Pane di Medan (warga Paguyuban Punawirawan dan Warakawuri Corps Polisi Miiter) dan rekan-rekan Masjid At-Taqwa yang setiap kali selalu bertemu muka dan saling bertutur kata. 9. Namun utamanya kepada isteri penulis Ny. Hj. Sri Maryatun Suwadi yang dengan tekun dan setia membantu, mendampingi dan ikut memecahkan kesulitan apapun yang dihadapi penulis yang tanpa jemu dan lelah memberikan perhatiannya yang luar biasa, termasuk anak cucu penulis, secara berurutan nanda Basuki & Wiwid dengan kedua anaknya Diana
  • 7. 7 Habsari (Rine) & Dyas Ambarani (Dire), nanda Dedi & Tetri denga anak semata wayang Mazarina Hidanati (Rida), nanda Aris & Dhiena dengan trio Rafdi Ghafiki, Nahel Farghani dan Ikbar Farabi, dan nanda Fifi dan Faried. Termasuk saudara-saudara kandung/semenda penulis beserta suami dan isteri masing-masing bahkan terdapat yang telah lebih dahulu mencapai Doktor dari pada penulis (adinda Dr. Djamaluddin Darwis,MA) yang selalu mengiringi penulis sejak persiapan masuk ke Program Doktor S-3 sampai menjelang kelulusan (promosi). 10. Terakhir penulis mendoakan kepada kedua orang tua penulis (H. Muhammad Darwis Musthafa dan Ibu Hj. Siti Fasyiyah binti H.Dachlan) serta kakak dan adik-adik yang telah mendahului menghadap Ilahi Rabbi, semoga segala amal baiknya diterima olehNya serta diberi ampunan segala dosanya. Mudah-mudahan Allah SWT membalas budi baik semua yang tersebut di atas --dan yang tidak disebut namanya satu persatu karena kekhilafan—dan menerimanya sebagai amal saleh yang –insya Allah- akan dibalas dengan imbalan pahala yang berlipat ganda. A m i n. Bandung, 26 April 2005 17 Rabi’ul Awal 1426 H Penulis A.W. Darwis
  • 8. 8 DAFTAR ISI DISERTASI Ikhtisar i Summary iii Sekapur Sirih v Daftar Isi Disertasi viii Daftar Tabel xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1 1. Menuju ke Arah Sistem Hukum Nasiona 1 2. Lembaga Hukum Wakaf dan Problem-atikanya 5 B. Identifikasi dan Perumusan Masalah 8 C. Tujuan Penelitian 9 D. Manfaat Penelitian 9 E. Tinjauan Pustaka 9 F. Kerangka Pemikiran 1. Dengan Acuan Hukum Positif dan Hukum Islam 11 2. Yurisprudensi Perkara Sengketa Wakaf 22 G. Metode Penelitian 28 H. Sistematika Penulisan 37 BAB II WAKAF DALAM TEORI HUKUM DAN TINJAUAN HISTORIS A. Landasan Teori Sebagai Acuan Analisis 39 1. Grand Theory : Teori Pembukaan Undang - Undang Dasar 1945 40 2. Middle Range Theory : Teori Manfaat 62 3. Applied Theory : Teori Pembuktian 72 B. Wakaf Ditinjau dari Teori Hukum Islam 83 1. Aspek Religiositas (Religious Aspect) 88 2. Aspek Kefilsafatan ( Phylosophical Aspect ) 94 3. Aspek Kesyariatan ( The Islamic Law Aspect) 96 4 Aspek Fiqih (The Islamic Yurisprudence Aspect) 101 5. Aspek Ijtihad atau Ra'yu (Rational Aspect) 108 6. Aspek Kategorisasi Hukum (Categorisatinal Aspect) 124 7. Aspek (Kandungan) Nilai (Value Aspect) 132 C. Sejarah Singkat Perwakafan dan Perihal Philantropi 142
  • 9. 9 1. Sejarah Singkat dan Perkembangan Wakaf di Indonesia 142 2. Praktek Philantropi Dari Beberapa Agama 158 3. Wakaf di Dalam dan di Luar Dunia Islam 162 D. Hasil Penelitian Wakaf yang Telah Dilakukan di Indonesia 178 1. Dalam Bentuk Disertasi 178 a. Kusumah Atmadja (Penelitian di Banten) 178 b. Rachmat Djatnika (Penelitian di Jawa Timur) 180 c. Imam Suhadi ( Penelitian di Yogyakarta) 186 d. Uswatun Hasanah (Penelitian di DKI Jakarta Raya) 188 2. Dalam Bentuk Laporan 191 BAB III LEMBAGA WAKAF MENURUT HUKUM ISLAM/ HUKUM POSITIF DAN IMPLEMENTASINYA A. Wakaf dalam Hukum Positif 193 1. Pengertian Wakaf 193 2. Dasar Hukum Wakaf 210 3. Fungsi, Unsur dan Syarat Wakaf 247 4. Macam-macam Wakaf 272 5. Tata Cara Perwakafan 276 6. Sistem Pengelolaan Wakaf 283 7. Masalah Sengketa Wakaf dan Tata Cara Penyelesaiannya 287 8. Ketentuan Pidana dalam Peraturan Perundang-undangan Wakaf 288 B. Hukum Wakaf dalam Sistem Hukum Nasional 291 1. Latar Belakang Sistem Hukum Nasional 291 2. Proses Pembinaan Hukum Nasional 303 3. Langkah Pembinaan Hukum Nasional 316 4. Cita Hukum dan Jatidiri Hukum Nasional 329 5. Konsep Asas-asas Hukum Nasional 333 6. Hukum Wakaf Dalam Sistem Hukum Adat 336 7. Perbandingan Hukum Wakaf Dengan Sistem Hukum Perdata 349 a. Hukum Wakaf dengan Hukum Hibah 351 b. Hukum Wakaf dengan Hukum Yayasan 355 c. Hukum Wakaf dengan Hukum Trust 364 C. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf 369 1. Teori Pembentukan Undang-Undang 371
  • 10. 10 2. Pedoman Pembentukan Peraturan Perundang -undangan 375 3. Tinjauan Undang-Undang Wakaf dari 378 a. Aspek Sistematika dan Substansi 378 b. Aspek Filosofis 380 c. AspekYuridis 390 d. Aspek Sosiologis 392 D. Implementasi Wakaf Oleh Unsur Masyarakat 398 1. Yayasan Daarut Tauhiid, Bandung 398 2. Yayasan Babus Salam, Bandung 402 3. Yayasan Dompet Dhu`afa Republika, Jakarta 407 4. Yayasan Pangeran Sumedang, Sumedang, Jawa Barat 420 5. Yayasan Ash-Sholihin, Klaten, Jawa Tengah 422 6. Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung, Semarang 424 BAB IV STUDI KASUS SENGKETA TANAH WAKAF (DALAM YURISPRUDENSI) A. Yurisprudensi dan Sejarah Singkat Peradilan Agama 427 1. Teori Yurisprudensi a. Sumber Hukum dalam Arti Formal 430 b. Perbedaan Antara Yurisprudensi dengan Undang- Undang 435 2. Badan Peradilan Agama di Indonesia 436 a. Sejarah Singkat Badan Peradilan Agama 436 b. Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama 438 c. Asas – asas Umum dan Karakteristik Peradilan Agama 438 B. Ikhtisar Kasus - kasus Gugatan Perkara Perwakafan 440 1. Kasus Wakaf Surabaya (1956) 446 2. Kasus Wakaf Kudus (1957) 447 3. Kasus Wakaf Singaparna / Tasikmalaya I (1967) 448 4. Kasus Wakaf Sukapura / Tasikmalaya II ( 1968) 450 5. Kasus Wakaf Warung Jambe / Cianjur I ( 1969) 452
  • 11. 11 6. Kasus Wakaf Sumedang (1970) 454 7. Kasus Wakaf Cisayong / Tasikmalaya III ( 1988) 456 8. Kasus WakafSukabumi (1994) 457 9. Kasus Wakaf Cipanas/Cianjur II, (1996) 461 10. Kasus Wakaf Bandung (2001) 464 11. Kasus Wakaf Serang (2001) 466 C. Pembahasan Atas Lima Perkara Pilihan 469 1. Perkara Wakaf Surabaya (1956) 473 2. Perkara Wakaf Singaparna / Tasik-malaya I (1967) 483 3. Perkara Wakaf Sukapura / Tasikmalaya II ( 1968) 505 4. Perkara Wakaf Cisayong/Tasikmalaya III ( 1988 ) 519 5. Perkara Wakaf Bandung ( 2001) 540 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 571 B. Saran 571 DAFTAR PUSTAKA 572 DALIL – DALIL 581 RIWAYAT HIDUP 582
  • 12. 12 DAFTAR TABEL No Judul Bagan Halaman 1 Sistematika Syariat Islam 110 2 Perbedaan Syariat Islam dengan Fiqih 115 - 116 3 Al-Ahkam Al-Khamsah (Kaidah Hukum yang Lima) Versi 126 Pertama 4 Al-Ahkam Al-Khamsah Versi kedua 126 5 Perimbangan Ketentuan Mengenai Wakaf Uang 266 6 Perbandingan Unsur Wakaf dengan Unsur Trust 368 7 Struktur Manajemen Dompet Dhuafa Republika 409 8 Resume Keuangan Dompet Dhuafa Republika termasuk 418 – 419 Wakaf Uang 9 Perbedaan Yurisprudensi dengan Undang-undang 435 - 436 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Menuju ke Arah Sistem Hukum Nasional Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi hukum kita pada saat ini, di antaranya sebagai berikut : Faktor pertama adalah kemajemukan tatanan hukum nasional kita. Adanya pluralisme hukum yang pada kenyataannya tidak dapat dihindarkan; hal ini telah berlangsung lama sejak era pra kemerdekaan Republik Indonesia baik yang diakibatkan oleh warisan sistem hukum kolonial (pemerintahan Hindia Belanda dan Jepang) -- yang masih dialami pada saat kemerdekaan diproklamasikan -- maupun pada era Pasca Kemerdekaan,1 yaitu berupa 1 John Ball, The Struggle for National Law in Indonesia, Faculty of Law University of Sidney, 1986, hal. 26 dalam Soetandyo Wignyosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1994, hal. 181-198. Lihat pula B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000, Cet.II, hal. 56. Baca juga C.V.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, Cet. I, hal. 58-61. Baca pula artikel Komaruddin Hidayat, Mantan Ketua Panitia Pengawas Pemilu (PANWASLU) tahun 2004, Cacat
  • 13. 13 sistem dan tatanan hukum nasional yang dibuat pada era orde lama dan era orde baru, akan tetapi pada era reformasi nasional dewasa ini dipandang tidak sesuai lagi dengan iklim dan semangat Reformasi Hukum, yang pelaksanaannya sampai sekarang ini belum tuntas, bahkan banyak sekali kendala-kendala yang tidak ringan untuk diatasi. Faktor kedua, dewasa ini ‘dunia’ hukum Indonesia sedang berada di tengah-tengah proses perwujudan sistem dan tatanan hukum nasional, atau dengan kata lain menunjukkan gelagat baru yang positif dalam proses mencari identitas hukum menuju ke sistem hukum nasional yang definitif. Faktor ketiga, mengenai kesadaran hukum bangsa Indonesia (secara umum) yang masih memprihatinkan. Kurang dijunjung tingginya hukum masih tampak dimana-mana,2 meskipun kita sejak tahun 1998 telah bertekad bulat melaksanakan reformasi nasional termasuk bidang hukum.3 Salah satu arahan pembangunan nasional yaitu menempatkan bidang hukum sebagai sasaran utama. Lebih lanjut disebutkan bahwa sasaran bidang hukum ini adalah pembentukan dan pemfungsian sistem hukum nasional yang mantap, bersumberkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dengan memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku yang mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran serta mampu mengamankan dan mendukung pembangunan nasional, yang didukung oleh aparatur hukum, sarana dan prasarana yang memadai serta Bawaan Demokrasi, (Kompas tanggal 4-1-2004, hal.4) yang antara lain mengatakan bahwa “Secara historis empiris nampaknya demokrasi dinilai paling unggul (jika dibanding dengan sistem yang lain) terutama ketika tingkat pendidikan masyarakat semakin maju bersama telah dialami dengan munculnya pluralistic society baik di tingkat nasional maupun di tingkat global” 2 Dalam artikel yang berjudul Tahun 2004 Momentum Penting Kemajuan Bangsa, Wiranto, Mantan Menhankam/Pangab, kini Ketua Dewan Eksekutif Institute for Democracy of Indonesia mengatakan bahwa: „ Dewasa ini ruang kebebasan yang lahir dalam kondisi masyarakat yang dilanda euforia, sementara hukum tidak tegak (kursif dari Penulis) dan pemerintahan cenderung lemah karena berhadapan dengan rupa-rupa realitas baru dalam kehidupan sosial politik dan kemasyarakatan, kebebasan sering berbuntut anarki. Ruang-ruang privasi dilanggar, hak orang lainpun bila bisa diambil akan diambil. (Kompas, Jum’at tanggal 2 Januari 2004 hal. 4 – 5). 3 Sekali lagi Komaruddin Hidayat (Ketua Panwaslu Pusat) mengisyaratkan bahwa komponen pendukung tumbuhnya demokrasi yang paling vital adalah penegakan hukum yang adil, tegas dan tuntas mutlak diperlukan (Kompas, 2 Januari 2004, hal.4).
  • 14. 14 masyarakat yang sadar dan taat hukum. (kursif dari Penulis).4 Selanjutnya dalam Ketetapan Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (1999-2004) lebih dipertegas, bahwasanya yang dimaksud dengan hukum yang majemuk itu adalah Hukum Agama (Islam), Hukum Adat, Hukum warisan kolonial dan Hukum Nasional yang dibuat pada era sebelum reformasi 1998; tetapi di dalamnya terdapat cacat hukum yang bernuansa diskriminatif, misalnya ketidakadilan gender dan lain-lain. Terobosan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam merintis lahirnya sistem hukum nasional, dalam sejarah hukum Indonesia telah melampaui beberapa tonggak sejarah, yaitu : Tonggak pertama; ketika bangsa Indonesia5 mengambil tindakan yang disebut sebagai a hogere politieke beslissing6 (keputusan politik tinggi) dalam menentukan nasibnya sendiri telah dimulai dipancangkan tepat pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai demarkasi (pembatas) yang memisahkan antara tata hukum kolonial dengan tata hukum nasional. Kemudian dipertegas dan dikokohkan dalam Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi pertama Negara Republik Indonesia; namun sistem hukum nasional yang kita cita-citakan selama ini belumlah terwujud sepenuhnya. Tonggak kedua; pada saat diletakkan landasan dan asas-asas hukum nasional pada tahun 19637 – meskipun belum lengkap atau sempurna seluruhnya yang bersamaan waktunya ketika dilahirkan suatu pernyataan 4 Lihat TAP II/MPR/1993 Bab III E-5. Menurut hemat penulis, materinya secara substansial masih valid, meskipun secara formal telah dicabut dan diganti berulang-ulang terakhir dengan TAP IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999 – 2004 yang di dalam Bab IV (Arah Kebijakan) bidang Hukum memuat 10 buah arahan, antara lain agar lebih memperhatikan HAM, pemberantasan KKN, ratifikasi Konvensi Internasional, perwujudan keprofesionalan aparat penegak hukum, perwujudan peradilan yang lebih mandiri dan sebagainya 5 Djokosoetono, Hukum Tata Negara, susunan Harun Al Rasyid, Ghalia, Jakarta, 1959 hal. Menurut Pak Djoko (panggilan sehari-hari, dimana penulis pernah menjadi mahasiswanya pada Akademi Hukum Militer Angkatan III 1961-1966) dalam kuliahnya bahwa bagi bangsa Indonesia pernah mengalami tindakan a hogere politieke beslissing dua kali yaitu sewaktu Proklamasi Kemerdekaan dan ketika Dekrit Presiden tanggal 5-7-59 kembali ke UUD 1945 6 Seperti kita ketahui bahwa konstitusi pertama yang sering kita dengar sebagai UUD Proklamasi atau UUD Kilat, sebenarnya opzetnya adalah hanya bersifat sementara, namun sejarah ketatanegaraan kita membuktikan bahwa UUD ini akhinya diberlakukan kembali berdasarkan Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959, yang di antara tenggang waktu itu pernah berlaku Konstitusi RIS (27-12-1949 sampai 17-8- 1950 dan diganti/dilanjutkan dengan UUD. Sementara sampai dengan terbitnya Dekrit Presiden tersebut yang kemudian berlakulah hingga sekarang. UUD 1945 telah mengalami perubahan (amandemen) 4 kali yaitu sebagai hasil persidangan MPR tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. 7 Merupakan Hasil Seminar Hukum Nasional I tahun 1963 dan dari isi Pidato Pengukuhan Doktor Honoris Causa Menteri Kehakiman Sahardjo.
  • 15. 15 bahwa sifat hukum nasional itu mempunyai fungsi pengayoman bagi segenap bangsa Indonesia.8 Tonggak ketiga; ketika hukum Indonesia dinyatakan berfungsi sebagai sarana perubahan masyarakat dalam pembangunan nasional atau di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara 1973 – 1978 dirumuskan secara lebih singkat bahwa hukum pada hakekatnya berfungsi atau merupakan sarana pembangunan nasional sebagai elaborasi atau reformulasi dari “a law is a tool of social engineering”-nya Roscoe Pound.9 Faktor keempat adalah ketika dinyatakan sejak 1983 posisi (bidang) hukum dinyatakan mandiri tidak lagi ditempatkan di bawah kekuasaan (bidang) politik, ini ternyata dalam ketentuan-ketentuan Garis-garis Besar Haluan Negara sebelum 1983 adanya pembangunan hukum merupakan bagian dari pembangunan bidang politik. Barulah sejak berlakunya TAP 1983–1988 kedudukan hukum termasuk pembangunan hukum sejajar dengan pembangunan bidang-bidang lainnya baik bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan- keamanan. Tonggak kelima; dengan terjadinya reformasi nasional yang berlangsung sejak 1998 termasuk reformasi di bidang hukum seusai tumbangnya pemerintahan orde baru. Salah satu contoh adanya reformasi hukum terutama dalam bidang perubahan konstitusi yang mem”bongkar habis” sejumlah ketetapan-ketetapan MPR yang bermaksud men’sakral’kan Undang-Undang Dasar 1945 dari kemungkinan adanya perubahan, bahkan semula secara tegas dinyatakan berulang-ulang bahwasanya Undang-Undang Dasar 1945 tetap akan dipertahankan (pada waktu itu menggunakan istilah pelestarian) sepanjang masa. Sebagaimana diketahui bahwa pendirian dan sikap itu tertuang dalam rumusan TAP Nomor I/1983, TAP I/1988 (semua tentang Tata tertib Sidang Umum MPR), TAP IV/1983 tentang Referendum yang dijabarkan dengan Undang-undang Nomor 5/1985), walaupun formalnya 8 Oetojo Oesman dan Alfian, Pancasila sebagai Ideologi, BP-7 Pusat, Jakarta, 1993, Cet. ke-1, hal. 15 9 Rumusan bahwasanya “Hukum sebagai sarana pembangunan nasional” tertuang dalam TAP MPR No IV/1973.
  • 16. 16 menyatakan bahwa ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945 tentang prosedur perubahan Undang-Undang Dasar tetap masih berlaku. Sejalan dengan itu, masyarakat hukum melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional telah meresponnya melalui sebuah seminar hukum; hasilnya yang menonjol adanya kesimpulan tentang keharusan menjunjung tinggi dengan menjamin dan menerapkan Hak Asasi Manusia, kemandirian hakim dalam peradilan dan lain-lain yang untuk ini dikupas lebih lanjut dalam Bab III-C khususnya yang menguraikan tentang Proses Pembangunan Hukum Nasional di bawah ini. Sistem Hukum Nasional merupakan sebuah sistem hukum yang bersifat nasional, yang dibersihkan dari cacat-cacatnya yang melekat pada ’warisan’ sistem yang sebelumnya yang bercorak kolonialistis, diskriminatif, feodalistis atau neo-feodalistis, bahkan dualistis (yang didasari oleh politik hukum yang tidak sehat) dalam arti suatu sistem yang bulat, terpadu dan berakar kuat serta tumbuh dan berkembang dari sistem nilai dan norma dasar negara, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta mengabdi kepada kepentingan nasional. Dengan demikian, sistem hukum nasional milik bangsa Indonesia tidak bisa lain harus merupakan sistem hukum Pancasila.10 Penegakan hukum (law enforcement) dalam kerangka negara hukum (Rechtsstaat atau Rule of Law) dan dalam rangka pembinaan Sistem Hukum Nasional merupakan suatu keniscayaan dan juga kewajaran, sebagaimana dikemukakan oleh Harris bahwa legal system means a system of rules of constituting the present of law,11 sedangkan menurut H.L.A. Hart menyebutkan bahwa ‘A legal system actual operation is complex organism in which structure, substance and culture interact’.12 Sistem Hukum Nasional haruslah bersumber dari sosio-budaya, sistem filsafat (ideologi bangsa) yang mencerminkan jiwa dan semangat rakyat dan cita hukumnya. Hal ini sesuai dengan penjelasan Joseph Raz yang mensyaratkan bahwa sistem hukum itu harus bermanfaat dan mempunyai 10 Lihat Majalah Hukum Nasional Nomor 2/1988 tulisan Menteri Kehakiman Ismail Saleh 11 Harris, J.W., Legal Philosophies, Butterworth, London, 1982, hal.12 12 Friedmann, Legal Theory, Stevens & Sons, London, 1967, Fifth Edition, hal 16
  • 17. 17 kekuatan imperatif.13 2. Lembaga Hukum Wakaf dengan Problematikanya Salah satu pilar atau komponen dari Sistem Hukum Nasional yaitu Hukum Islam,14 yang di dalamnya terdapat (Lembaga) Hukum Wakaf,15 di samping Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan dan Hukum (positif) tertulis lainnya. Hingga saat ini tentang pengaturan wakaf yang tuntas baru terbatas pada obyek tanah saja, padahal di tengah masyarakat telah berlangsung pelaksanaan wakaf yang obyeknya meluas kepada non tanah, misalnya berupa hasil sewaan bangunan, hasil panen padi, wakaf uang untuk mendanai pendirian dan pengelolaan Yayasan, dan wakaf barang-barang lain yang bermanfaat untuk kepentingan sosial dan keagamaan. Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, -- untuk selanjutnya dalam disertasi ini akan disebut UUW-- maka kebutuhan hukum terhadap pengaturan wakaf benda bergerak dan benda tidak bergerak non tanah milik telah terpenuhi secara yuridis formal. Adapun ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah wakaf tanah yang menjadi dasar pelaksanaan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik – untuk selanjutnya disingkat dengan PP 28/1977 atau PP.PTM-- adalah Pasal 14 (1) b Undang-Undang Pokok Agraria yang menyebutkan bahwa pemerintah wajib membuat rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan yang terkandung di dalamnya, antara lain untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. 13 Lihat Joseph Raz,The Concept of a Legal System, 1980, hal. 16 14 Busthanul Arifin tak setuju Hukum Islam disebut sebagai sub Sistem Hukum Nasional, karena Hukum Nasional itu sampai sekarang belum terwujud, padahal Hukum Islam merupakan salah satu hukum yang akan diramu menjadi Hukum Nasional. Lihat Busthanul Arifin, Transformasi Hukum Islam ke Hukum Nasional, Yayasan Al-Hikmah, Jakarta, 2001, hal.40-41 15 Menurut SKB Menteri Agama dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 10-9-1987 Nomor 58/1987 dan Nomor 0534 b/U/1987 tentang Pembakuan Pedoman Transliterasi Arab Latin, tentang penulisan wakaf dan Shadaqah, yang kedua-duanya semula berasal dari Bahasa Arab, sedianya ditulis Waqaf dan Sadaqah. Lihat H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A., Hukum Acara Peradilan Agama (Edisi Baru), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, Cet.VIII, hal. 37
  • 18. 18 Selanjutnya Pasal 49 (3) Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah; dalam hal ini PP. 28/1977 seperti diuraikan di atas. Lembaga hukum wakaf dalam arti luas tidak hanya terbatas pada obyek wakaf tanah, seperti yang dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (disingkat KHI). Kompilasi ini memuat 3 buku yaitu Buku - I tentang Perkawinan, Buku ke-II tentang Kewarisan. termasuk hukum Hibah dan Wasiat, dan Buku ke-III tentang Perwakafan termasuk Shadaqah. Produk hukum ini, dengan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991, telah diinstruksikan kepada Menteri Agama agar menyebarluaskan kompilasi tersebut ke segenap instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya. Problematika yang ditemukan dalam masyarakat mengenai pelaksanaan wakaf ini merupakan kendala dan hambatan yang cukup mengganjal. Kendala-kendala tersebut dapat digolongkan dalam dua kelompok. Pertama yang bersifat administratif, sepanjang objek wakaf itu menyangkut tanah, ternyata seluruh tanah wakaf itu belum semuanya dibuatkan akta ikrar wakaf di hadapan pejabat yang berwenang16. Juga belum semuanya didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten /Kota setempat ( Secara hukum berarti belum ‘dilindungi’ oleh sertifikat wakaf), bahkan kadang kadang sama sekali tidak mempunyai dokumen. Belum lagi biaya administrasi yang merupakan kewajiban finansial untuk melengkapi dokumen wakaf sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kedua yang bersifat non administratif seperti belum terbinanya secara baik para fungsionaris nazhir sehingga belum atau tidak seluruh nazhir memahami akan posisi, tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang nazhir yang cakap, handal dan amanah Produtifitas wakaf sering tidak dapat tercapai karena peran nazhir yang kurang berfungsi. Jikalau kita 16 Dalam Pasal 5 (1) PP-PTM disebutkan bahwa “ Pihak yang mewakafkan tanahnya harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akte Tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 (2) yang kemudian menuangkannya dalam bentuk akte Ikrar Wakaf , dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi” Dalam pasal ini dengan tegas disebutkan bahwa ikrar dan akte adalah merupakan satu keharusan. Sebagai perbuatan hukum akan melahirkan akibat hukum.Perwakafan tanpa ikrar dan akte akibatnya tidak sah dan batal demi hukum, kosekwensinya tidak akan dilindungi oleh hukum.
  • 19. 19 hendak berangkat dari pedoman kerja Badan Pertanahan Nasional yang pernah berlaku yang disebut Catur Tertib Pertanahan,17 yaitu (1) Tertib hukum pertanahan (2) Tertib administrasi pertanahan (3) Tertib Peruntukan dan pemanfaatan tanah, dan (4) tertib pelestarian lingkungan hidup; nampaknya dalam kaitannya dengan masalah wakaf masih jauh dari memuaskan . Sedangkan problematika yang timbul dalam bentuk lain atau yang bersifat non-administratif, berupa sengketa wakaf yang terjadi pada hampir setiap propinsi, walaupun belum tentu dalam satu tahun terdapat kasus sengketa yang dimaksud. Dari hasil penelitian dijumpai adanya gugatan wakaf yang terjadi di beberapa daerah, yaitu masingt-masing satu kasus di kota Surabaya (1956), Kota Kudus (1957) , Kota Sukabumi (1994), Bandung (2001), Sumedang (1970), Serang (2001). Kemudian terjadi dua kasus di Cianjur (1969 dan 1996) serta tiga kasus terjadi Tasikmalaya (dua kasus dalam 1967 dan satu kasus dalam tahun 1968). Dalam sebelas kasus tersebut sebagian besar terjadi antara pihak wakif dengan nazhir, tetapi dalam hal salah satu pihak atau kedua-duanya telah meninggal dunia, maka ahli waris merekalah yang tampil sebagai penggugat atau tergugat. Tetapi ada juga terjadi kasus antara pihak nazhir dengan pihak ketiga. Lebih dari separuh jumlah kasus prosesnya sampai ke putusan kasasi, bahkan terdapat satu perkara ( Kasus Tasikmalaya III tahun 1988 ) sampai ke tingkat peninjauan kembali (PK). Tentang yurisprudensi yang menjadi titik berat penelitian ini akan diulas lebih jauh dalam Bab IV – C dan D di bawah. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dan untuk memungkinkan dilakukan penelitian, syarat utama yang harus dipenuhi adalah penentuan perumusan masalahnya terlebih dahulu. Kemudian yang menjadi induk permasalahan adalah mencari dan 17 Catur,artinya empat Hal ini pernah dimasukkan dalm GBHN 1978-1983 dalm pembangunan bidang Ekonmi khususnya dalam sektor pertanahan. Salah satu persyaratan akan keberhasilan bi- dang pertanahan adalh teciptanya empat macam tertib, yitu di bidang penegakan huku pertanahan,
  • 20. 20 memperoleh jawaban atas sebuah pertanyaan mendasar, yaitu “Apakah pengaturan wakaf dalam hukum positif tertulis dan dari hasil yurisprudensi perkara sengketa perwakafan telah sejalan dengan asas-asas Hukum Islam?”18 Selanjutnya perlu dilakukan identifikasi lebih jauh untuk mengungkapkan pokok permasalahan seperti dikemukakan di atas, yang terdiri dari sub-sub permasalahan sebagai berikut: 1) Apakah yang menjadi karakterisik lembaga wakaf dalam Hukum Islam dan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia ? 2) Apa sajakah dasar-dasar pertimbangan hukum dari hakim dalam mengambil putusan perkara gugatan sengketa wakaf dalam Yurisprudensi Indonesia? 3) Bagaimanakah sub-permasalahan pertama dan kedua ditinjau dari sistem hukum nasional; sudahkah searah dengan asas-asas hukum Islam? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk mengetahui : 1. Tentang karakteristik Lembaga Wakaf dalam Hukum Islam dan dalam peraturan perundang-undangan. 2. Dasar-dasar pertimbangan hakim dalam merumuskan putusan hukum terhadap perkara gugatan wakaf yang tercermin dalam Yurisprudensi Indonesia. 3. Tentang pengaturan wakaf menurut Hukum Islam dan menurut peraturan- peraturan perundang-undangan serta hasil yurisprudensi apakah telah 18 tertib adminitrasi pertanahan, tertib peruntukan tanah dan tertib kelestarian tanah dalam rangka peng-sinkron-an dengan pelestarian lingkungan hidup. Yang dimaksud sebagai hukum positif antara lain UUPA yo UUW, PP 28/1977 dan KHI. Permaslahan ini timbul dari teori Efektivitas yang intinya bahwa hukum baik dan representatif jika memenuhi unsur-unsur yang bernilai sosiologis, yuridis-filosofis, didukung aparat hukum yang handal, tersedianya fasilitas, sarana dan prasarana yang memadai, kesadaran masyarakat dan terdapatnya budaya hukum. Masalah Kesadaran masyarakat terhadap hukum menjadi topik Disertasi Otje Salman dan masalah Budaya Hukum menjadi topik Pidato Pengukuhan Guru Besarnya. Periksa juga Soerjono Soekanto, Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996, Cet. 3, hal.164 – 167
  • 21. 21 sejalan dengan sistem hukum nasional dan asas-asas hukum Islam. D. Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan pengembangan ilmu hukum terutama yang berkaitan dengan penelitian lembaga hukum wakaf yang selama ini hanya terbatas pada obyek wakaf berupa tanah, serta menjadi awal penelitian obyek wakaf non tanah yang diharapkan akan dilanjutkan oleh peneliti berikutnya. 2. Sebagai bahan masukan bagi penyempurnaan peraturan perundang-undangan wakaf yang telah ada melalui bentuk penyusunan aturan pelaksanaan dalam bentuk peraturan pemerintah dan bentuk lainnya yang diperlukan. E. Tinjauan Pustaka Topik bahasan dalam disertasi ini mengandung tiga variabel, yaitu 1) Hukum Wakaf menurut Hukum Islam sebagai hukum yang bersifat normatif, 2) Hukum Wakaf menurut Hukum positif tertulis atau peraturan perundang- undangan dalam sistem hukum nasional sebagai hukum yang bersifat yuridis formal, dan 3) Hukum Wakaf dalam Yurisprudensi Indonesia tentang perkara sengketa perwakafan, oleh karena itu, bahan rujukan kepustakaannyapun perlu disesuaikan dengan kebutuhan yang sesuai dengan permasalahan yang tersebut dalam Bab I. Sub Bab B (Identifikasi dan Rumusan Permasalahan) di atas. Untuk lebih jelas, uraian seluruh kerangka teoretis yang berkaitan dengan bahasan penelitian ini dibagi dalam 3 (tiga) kelompok besar,yaitu : 1. Yang berkaitan dengan Hukum Wakaf berdasarkan Hukum Islam yang mengandung mazhab-mazhab Fiqih, baik yang bersifat klasik/tradisional maupun kontemporer/moderen. Setelah mempelajari semua rujukan yang dipandang perlu, penulis memprioritaskan kitab-kitab Ilmu Fiqih (berbahasa Arab) sebagai sumber utama, yang sistematikanya tersebut memuat mazhab tertentu atau ada juga yang memuat gabungan dari beberapa mazhab. Di
  • 22. 22 samping itu, sebagian besar tidak hanya semata-mata memuat Hukum Wakaf saja, melainkan posisi hukum ini sebagai salah satu bab dari seluruh bab materi Fiqih yang meliputi berbagai masalah (bersifat umum). Akan tetapi, kitab yang khusus membahas wakaf jumlahnya relatif masih sedikit; bahkan kadang-kadang dijadikan satu bab dengan masalah lain, misalnya wakaf dengan wasiat atau Wakaf dengan Kewarisan. Rupanya para penulis (mazhab) Fiqih memandang dua atau tiga bidang masalah sebagai satu kesatuan dengan hak-hak kebendaan dari seseorang. Kalau dibandingkan dengan sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berasal dari Burgerlijk Wetboek mengenai penempatan Hukum Wasiat dan Waris, kedua masalah ini masuk dalam Buku II tentang Hak Kebendaan (Zakenrecht), sedangkan masalah Wakaf tidak dikenal dalam Hukum Perdata; jika seandainya wakaf itu diasumsikan sebagai Hibah, maka ia masuk dalam Buku Ketiga tentang Perikatan (Verbintenis/ Agreement/ Contract Dalam kitab Fiqih terdapat beberapa informasi mengenai seluk beluk wakaf, antara lain dari definisi literal (harfiah) seperti kata sinonim dari wakaf misalnya habasya, sabala dan sebagainya. Secara terminologis (istilah), sumber pengambilan dalil-dalil yang menjadi dasar hukumnya, unsur-unsur wakaf, persyaratan umum (wakaf) dan persyaratan dari masing-masing unsur (wakif, obyek wakaf atau maukuf, tujuan wakaf dan peruntukan wakaf yang lazim disebut maukuf ‘alaih, ikrar atau sighat atau ijab. Persoalan kabul atau pernyataan penerimaan wakaf), belum lagi yang amat mendetail seperti dalam menghadapi tidak berfungsinya benda wakaf atau tidak lagi terpenuhinya tujuan wakaf. Persoalan jenis wakaf, yaitu ‘wakaf khairi’ dan wakaf ahli (dzurri) dan persoalan eksistensi wakaf itu sendiri, apakah syariat wakaf itu masih berlaku ataukah tidak. Juga tentang cara bagaimana penanganan penyelesaian sengketa wakaf. Persoalan apakah jabatan nadzir harus orang lain di luar pribadi wakif ( dahulu kala disebut mutawalli) Bolehkah wakif menunjuk dirinya sendiri sebagai nadzir ?. Bagaimana mengenai wakaf ahli dalam hal (para) penerima barang wakaf semuanya telah meninggal dunia ke manakah nasib benda wakaf tadi. Singkatnya seribu satu masalah yang timbul
  • 23. 23 dapat dijumpai dalam kitab-kitab yang akan disebut di bawah ini19.Mazhab Hanafi menganggap bahwa syariat wakaf itu telah kadaluwarsa. Kalau mazhab lain menganggap hukum wakaf itu masih eksis, ia berpendapat bahwa hubungan hukum antara wakif sebagai (bekas) pemilik benda dengan benda wakaf tetap masih berlangsung.ada. Kedudukan status wakaf tidak berbeda dengan hubungan sewas menyewa (‘ariah). Dalam kitab-kitab ini sekaligus memberikan gambaran uraian persoalan apa yang mencapai kesepakatan antar mazhab dan persoalan lain lagi yang tetap menjadi perselisihan pendapat dengan argumentasi mereka masing-masing. Kitab-kitab fiqih yang memuat wakaf baik yang mandiri (khusus wakaf) atau campuran dengan materi lain, umumnya terdiri dari empat mazhab yang amat terkenal yaitu: a. Mazhab Hanafi sedikitnya ada enam kitab, antara lain (1) karangan Imam ‘Ala’udin Abi Bakar ibn Mas’ud al-Kasani al-Hanafi (587 H), Badai‘u as- Shana‘i, jilid V (Bab wakaf pada halaman 218-221); (2) Abi Muhammad Ali ibn Muhammad Said ibn Haz (terkenal dengan Ibnu Hazm), Al- Muhalla, jilid VI (Bab wakaf halaman 175-185), dan (3) Faisal ibn Abdul Aziz Ali Mubarak, Bustan Al-Ahbar Mukhtasar Nailal-Authar. Kitab ini sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Mu‘ammal Hamidy, Imran A.M dan Umar Fanani Jiid V, (Bab Wakaf pada halaman 2000-2015). Dalam kaitan hukum wakaf ini, mazhab Hanafi menganggap bahwa syariat wakaf itu telah kedaluwarsa. Kalau mazhab lain menganggap hukum wakaf itu masih eksis, Hanafi memberi catatan bahwa hubungan hukum antara wakif sebagai (bekas) pemilik benda wakaf tetap masih berlangsung ada. b. Mazhab Maliki, sedikitnya ada tiga kitab, antara lain tulisan Abul Walid Muhammad ibn Ahmad al-Qurtubi (595-H) Bidayah al-Mujtahid. 19 Kitab-kitab Fiqih yang di dalamnya memuat masalah Wakaf sebagai bahagian dari Hukum Islam masih banyak ditulis dalam bahasa aslinya (Bahasa Arab) kecuali bagian kecil yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Satu di antaranya yang lengkap adalah karangan Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi dari judul asli Ahkam al-Waqf fi al-Syari’ah al- Islamiyah, terjemahan Ahrul Sani Fathurrahman dan Kuwais Mandiri Cahaya Persada dengan judul baru Hukum Wakaf Kajian Kontemporter Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf.
  • 24. 24 c. Mazhab Syafi’i, kitab-kitab ini yang terbanyak bahkan puluhan jumlahnya termasuk yang beredar di Indonesia. Antara lain karya (1) Mahmud Mathroji, Mukhtashor Al-Muzani ‘ala Al-Um,(2) Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (204 H), Musnad asy-Asyafi’i wa Ikhtilafi al-Hadits, tanpa tahun. (Bab Wakaf pada halaman 145 – 146 dan sebagainya). Patut dicatat bahwa sebelum lahirnya KHI Departemen Agama pernah menganjurkan kepada para hakim agama untuk membatasi penggunaan kita-kitab Fiqih. Pembatasan itu dengan maksud agar sejauh mungkin tercapai adanya kesatuan hukum dalam memeriksa perkara. Kitab-kitab itu untuk digunakan sebagai rujukan pertimbangan hukum dalam memutus perkara yang dihadapi. Kitab-kitab yang dimaksud berjumlah tiga belas buah, yang hampir semuanya bermazhab Syafi’i, yang populer disebut sebagai kitab : (1) Al-Bajuri, (2) Fathul-Mu’in dengan Syarahnya, (3) Syarqawi ‘ala at-Tahrir, (4) Qalyubi/Muhalli, (5) Fathu al-Wahab dengan Syarahnya, (6) Tuhfah, (7) Targhib al-Musytaq, (8) Sayyid ‘Usman bin Yahya, Qawanian asy-Syar’iyah, (9) Sayyid Shadaqah Dachlan, Qawanian asy-Syar’iyah, (10) Syamsuri Lil-Faraid, (11) Bughyah al-Mustarsyidin, (12) Mughni al-Muhtaj, sedangkan nomor (13) kitab Al fiqh ‘alal madzahibil arba’ah adalah kitab yang menguraikan empat mazhab. Tersebut nomor 8 ditulis dalam bahasa Melayu (istilah waktu itu) dengan aksara Arab.20 d. Mazhab Hanbali antara lain Muhammad Abu Zahrah (1959), Muhadlarat fi al-Waqfi; kitab yang khusus memuat masalah Perwakafan ini terdiri dari 445 halaman. e. Rujukan yang memuat berbagai mazhab dan mengedepankan adanya perbandingan antar mazhab, meliputi empaat mazhab terkenal seperti tersebut di atas, antara lain 20 Oleh kepala Biro Peradilan Agama dengan Surat Edaran Nomor B/1/735 tanggal 18 Pebruari 1958 sebagai tindak lanjut dari terbitnya PP 45 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura dengan tujuan agar keragaman pendapat yang bersumber dari berbagai kitab Fiqih yang berbeda akan mengakibatkan beragamnya pula putusan hakim walaupun mengenai masalah yang sama, sehingga kepastian hukum kurang memadai. Dengan edaran ini diharapkan sejauh mungkin tercapai adanya kesatuan persepsi. H. ABDURRAHMAN, KOMPOLASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA, AKADEMIKA PRESINDO, JAKARTA, EDISI / CET. PERTAMA, HAL. 22
  • 25. 25 (1) Wahbah az-Zukhaili, al-Fiqh al-Islamiyu wa Adillatuh, Jilid VIII, Bab ini memuat bab-bab Wasiat, Wakaf dan Waris. (Khusus tentang Wakaf pada halaman 1 – 229) dan ( 2) Muhammad ‘Ubaid Abdullah al-Kubaisyi, Ahkam al-Waqf fi asy-Syari’ati al-Islamiyah, terdiri dari dua jilid dan semuanya mengenai Wakaf; Selain rujukan-rujukan tersebut diatas ada lagi rujukan buku-buku dalam bahasa Barat antara lain ( 1) W. Juynboll, Handleiding tot de Kennis van De Mohammedaansche Wet (Belanda: khusus mazhab Syafi’i) masalah Wakaf pada halaman 275- 285) dan (2) Ter Haar Bzn, Beginselen en Stelsel van het Adatrecht yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh K.Ng. Soebakti Poesponoto dengan judul Asas-asas dan Susunan Hukum Adat yang memuat perwakafan dari segi hukum Adat. Masalah Wakaf terdapat dalam halaman 71, 136-138; dan (3) Mohammad Muslehuddin, Islamic Jurisprudence and the Rule of Necessity and Need yang didalamnnya terdapat pembahasan masalah wakaf 21; dan (4) Joseph Schacht, An Intruktions to Islamic law, Oxford at the Clarendon Press (Oxford University Press Ely House), London W.I, 1971. Selanjutnya terdapat pula beberapa kitab atau buku yang memuat juga bab-bab mengenai hukum Wakaf, misalnya Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam. Kitab ini memuat 15 bab, sedangkan Hukum Wakaf merupakan salah satu bagian dari Bab VII tentang Mu’amalah yang terbagi ke dalam bahagian-bahagian, antara lain bagian hukum jual beli, bagian sewa menyewa dan bagian wakaf; yang disebut terakhir terletak pada halaman 330 – 335. Sedangkan kepustakaan Wakaf mutakhir yang bersifat campuran, diantaranya (1) Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf; (2) Sofyan Hasan, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf dan 21 sebagai pengarang ‘Insurance and Islamic Law’, ‘Banking and Islamic Law’, ‘Economic and Islam’, ‘Commonwealth of Muslim Countries and The Muslim World Bank’ memberikan sumbangan pemikiran mengenai mu’amalah atau hukum transaksi Islam sebagai bahan rujukan yang berharga;
  • 26. 26 sebagainya. Tetapi yang khusus membahas hukum wakaf, antara lain (1) Uswatun Hasanah, Peranan Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial, juga disertasi tahun 1997, (2)Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah. Ada juga bahan-bahan lain yang non buku misalnya dalam bentuk artikel seperti yang dimuat dalam majalah Mimbar Hukum, untuk selanjutnya disingkat MH, penerbitan Departemen Agama; sebagai contoh tulisan yang bersifat umum dari A.Qodri Azizy, Hukum Islam Sebagai Sumber Hukum Positif dalam Reformasi Hukum Nasional (Nomor 54/XII/2001 halaman 73–89); Saifuddin Noorhadi, Titik Singgung Undang-Undang Pokok Agraria dengan Hukum Islam (MH Nomor 45/X/1999 halaman 31–40); tulisan yang bersifat khusus, dari Abdul Gani Abdullah, Hak Tanggungan atas Tanah dan Persentuhannya dengan Hukum Perwakafan’ (MH Nomor 41/X/1999 halaman 17–20); serta Abdullah Gofar, ‘Nadzir dan Manajemen Pendayagunaan Tanah Wakaf’ ( MH Nomor 41/X/1999 halaman 23-36). Ada lagi tulisan dalam majalah resmi Mahkamah Agung ‘Suara ULDILAG’ (Singkatan dari Urusan Lingkungan Peradilan Agama) yang lebih bersifat umum, yaitu dari Bagir Manan, Penegakan Hukum yang Berkeadilan; H. Muchsin, Perundang-undangan yang Memperkokoh Hukum Islam (Suara UDILAG Edisi II,1 Juli 2003 halaman 8-14 dan 37 –51). Juga Surat Kabar Republika edisi tanggal 30 April 2004 terdapat artikel berjudul: ‘Perlu Rekonsepsi Fikih Wakaf’ dan artikel ‘Tanah Wakaf Perlu Sertifikat; serta artikel tanggal 1 februari 2002’ yang berjudul Saatnya Bank Syariah Kelola Aset Wakaf Artikel (semua tulisan oleh Tim Redaksi Republika). 2. Rujukan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah dan keputusan para menteri (dalam hal ini seperti Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri), langsung atau tidak langsung berkenaan dengan masalah wakaf. Untuk mempersingkat uraian, tentang nomor dan judul peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibaca dalam Bab ini sub Bab Metode Penelitian yang memperinci adanya Data sekunder dari bahan hukum primer. Dibawah ini disinggung juga rujukan yang secara tidak langsung ada
  • 27. 27 hubungannya dengan masalah wakaf, namun mengingat judul disertasi ini mencantumkan sistem hukum nasional, maka mau tidak mau penulis perlu menyebut beberapa rujukan yang membahas sistem hukum nasional, antara lain (1) Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan. Gagasan-gagasan yang diawali sejak tahun 1970an ini terbit kembali dalam edisi yang memuat 5 bab; (2) Busthanul Arifin, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional22 dan dalam buku- bukunya yang lain, dan (3) Muhammad Daud Ali beserta Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, yang mengemukakan beberapa prinsip gagasan mengenai pembangunan sistem hukum nasional, juga peran dan sumbangan sistem hukum Islam dinilai amat penting akan tetapi tetap dalam kerangka dan koridor kenasionalan. Realisasi hukum nasional termasuk bidang peradilannya dalam konteks Sistem Hukum Nasional merupakan perjuangan yang panjang23 (3) H. Ichtijanto dalam Hukum Islam dan Hukum Nasional, ia mengingatkan tentang adanya sisi-sisa pengaruh hukum kolonial pra kemerdekaan yang hingga kini belum lenyap sama sekali terutama sikap terhadap Hukum Islam. Padahal Hukum Islam mempunyai peran yang tidak kecil bagi pembentukan hukum nasional, disamping Hukum Islam juga berfungsi menyaring pengaruh hukum lain (hukum Adat dan sisa-sisa hukum Barat) yang kadang-kadang tidak sesuai dengan cita-cita dan kesadaran batin manusia Indonesia; 3. Yurisprudensi perkara sengketa wakaf dan bahan rujukan pendukungnya,antara lain: (1) Yayasan Al-Hikmah & Departemen Agama, Yurisprudensi (Peradilan Agama) & Analisa, perkara perwakafan pada halaman 733 – 786, (2) M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989), dan (3) Mahkamah Agung R.I., Masalah Hukum dan Peradilan Agama; Bahan-bahan hukum kelompok ketiga tersebut berisi hasil putusan 22 Busthanul Arifin, mantan Ketua Muda Mahkamah Agung bidang Peradilan Agama mendapat anugerah penghargaan sebagai Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Agama Islam dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 Desember 1993 atas usul PP Ikatan Hakim Agama (IKA- HA). Pidato pengukuhannya berjudul Eksistensi, Konsolidasi dan Akltualisasi Pengadilan Agama. Acara itu berlangsung di baawah wibawa promotor Harun Nasution (Rektor IAIN waktu itu). Sebelumnya, ia telah dikukuhkan sebagai guru besar luar biasa pada tahun 1980.juga di IAIN. 23
  • 28. 28 badan-badan peradilan di lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan agama, khususnya yang memeriksa dan mengadili sengketa wakaf baik yang terjadi di zaman penjajahan Hindia Belanda maupun pasca kemerdekaan. Kalau diperinci lagi perkara yang terjadi sebelum terbentuknya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama; tepatnya sejak tahun 1937 diperiksa di peradilan umum padahal sebelumnya menjadi wewenang peradilan agama. Aturan hukum mengenai acara perdata juga dianalisis terhadap putusan-putusan peradilan yang dilakukan oleh para ahli hukum melalui tulisan ilmiahnya, yang di sana-sini merupakan kekayaan sumber hukum nasional yang pada gilirannya dapat menjadi sumbangan yang berharga bagi pembinaan sistem hukum Islam khususnya dalam perspektif sistem hukum nasional pada umumnya. F. Kerangka Pemikiran 1. Hukum Positif dan Hukum Islam Sebagai Kerangka Pertama Pengaturan tentang wakaf yang kini menjadi Hukum Positif (Tertulis) tidak lepas dari pengaruh Hukum Islam, karena dari sanalah konsep Perwakafan ini muncul pada hampir 15 abad yang lalu. Pada intinya dalam Sub Bab F (kerangka pemikiran), peneliti akan memberikan diskripsi mengenai dasar-dasar berpikir atau pola pemikiran (basic’s of thinking atau pattern of thinking) tertentu yang berangkat dari penentuan judul sebagai ‘terminal awal’, menghampiri semua pertanyaan-pertanyaan atau permasalahan-permasalahan sebagai ‘terminal transit’ hingga sampai kesimpulan24 pembahasan sebagai ‘terminal akhir’. Sudah barang tentu harus menggunakan metodologi penelitian seakan-akan berfungsi sebagai ‘rute-rute perjalanan panjang’ yang harus dilaluinya. Dalam penelitian ini, terutama mengeni uraian tentang kerangka pemikirannya diawali dan berangkat dari pesan Filosof Yunani Demothenes yang tertuju kepada para jury (hakim) Athena. Ia memberi 24 Terdapat perbedaan antara kata soal, masalah dan natijah. Masalah itu bukan as’ilah, jamak dari su’al, dari akar kata sa’ala, yang kemudian menjadi Bahasa Indonesia ‘soal’ (pertanyaan), istilah lain dari kata kesimpulan adalah conclusion, result, product, effect (dalam Bahasa Arab: Natijah), artinya secara harfiah adalah kesimpulan, hasil atau akibat.
  • 29. 29 petunjuk nasehat dan peringatan (exhortation)25 agar para juri sebelum mereka memulai melaksanakan tugas ke’yuri’annya memegang teguh empat hal, yaitu: “Men ought to obey the law for four reasons: because laws were prescribed by God, because were a tradition tought by wise men who knew the good old customs, because were deduction from a eternal and immutable moral code and because they were agreement of men with each other binding them because of moral duty to keep their promises.“ 26 Dapat dikatakan ungkapan di atas menjelaskan apa yang dinamakan ‘Hukum’ serta menjawab mengapa seseorang itu diharuskan menaati hukum. Mengingat yang sedang dibicarakan itu mengenai masalah hukum, maka yang dimaksud dengan Kerangka Pemikiran adalah pemikiran dalam kaitannya dengan penelitian disertasi ini yang mengambil topik permasalahan yang berfokus pada lembaga hukum wakaf. Untuk memungkinkan tersedianya landasan yang kuat atau pangkal bahasan yang tepat, terlebih dahulu dikemukakan apa yang dimaksud dengan berpikir yuridis.27 Berpikir yuridis adalah metode berpikir yang digunakan untuk memperoleh, menata, memahami dan mengaplikasikan pengetahuan hukum; sedangkan model berpikirnya adalah model berpikir problematis tersistemisasi untuk menjamin stabilitas dan prediktabilitas dengan mengacu pada : (a) tujuan hukum, (b) fungsi hukum, dan (c) cita hukum. Sekali lagi ditegaskan bahwa dengan melalui proses penalaran ini akan dapat menjawab rangkaian pertanyaan apa yang sebenarnya (telah) terjadi, atau apa sebenarnya masalah yang dihadapi, siapa-siapa pelakunya, apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing pihak, segala sesuatu tadi didasarkan pada penalaran hukum. Penalaran hukum tiada lain merupakan proses menalar 25 Echols John M. & Hassan Shadily menterjemahkan ‘Exhortation’ dalam dua arti yaitu nasehat/ peringatan atau desakan (Op.cit., hal.,224); jika digunakan istilah bahasa daerah (Jawa) mungkin tepat disebut ‘weling mawant-wanti’. 26 Roscoe Pound, An Introduction to Philosophy of Law, Yale University, New Haven, 1961, second printing, hal. 5 27 Henket, M, Penalaran Hukum dan Teori Argumentasi & Hukum, Terjemahkan Arief Sidharta, (diktat) untuk bahan kuliah di lingkungan Fakultas Hukum UNPAR, Laboratorium Hukum UNPAR, Bandung, 2004.
  • 30. 30 berdasarkan (dalam kerangka) hukum positif dan di samping itu dalam memecahkan problimatika hukum khususnya dalam forum peradilan, sekaligus merupakan proses penggunaan alasan-alasan (legal reasons) dalam menetapkan sikap atau pendirian yang dirumuskan dalam putusan hukum. Tentu saja apa yang diuraikan di atas semata-mata sebagai refleksi dari aktivitas akal budi untuk memahami pengetahuan hukum yang tak terlepas dari usaha penguasaan intelektual yang obyeknya hukum; yaitu pemahaman yang dilaksanakan secara ilmiah, metodikal, rasional, sistematikal dan legal. Namun terdapat 3 faktor yang tak dapat diabaikan, yaitu: (a) faktor-faktor yang berjalin bekelindan antar faktor yang berada pada tataran filosofis (filsafat hukum), (b) faktor yang berada pada tataran konsepsional (teori hukum), dan (c) tataran hukum positif yang dirangkum dalam Ilmu Hukum. Tiga tataran ini dapat dilukiskan (divisual)kan seperti garis segi tiga dengan yang runcing berada di atas. Garis datar sebagai hukum positif yang menaik melalui garis-garis (teori hukum), sehingga tampak bahwa tiga faktor itu mengerucut dan berpuncak pada aspek filosofis (filsafat hukum). Klasifikasi hukum (akan) selalu tampil dalam wajah (hukum) normatif dan wajah (hukum) empiris. Wajah normatif sebagai sesuatu yang konseptual yang harus diuji pada ranah praktikal, sedang wajah empiris selalu berimbangan dengan yang normatif, sebagai sesuatu realitas yang terdapat pada kenyataan sikap dan perilaku masyarakat, baik yang bersama-sama berjalan secara paralel (searah) atau mungkin sebaliknya. Dapat disingkat yang pertama bersifat abstrak dan yang kedua bersifat konkret. Dengan pendekatan sejumlah teori tersebut di atas akan dapat digali kandungan topik disertasi tentang perwakafan ini, baik itu berupa nilai-nilai, asas-asas maupun norma/aturan/kaidah. Dalam mencermati fungsi hukum sebagai sarana pembangunan dan perubahan masyarakat, maka penerapan hukum (termasuk hukum wakaf) tidak hanya bersifat konvensional belaka,( tercapainya fungsi ketertiban dan keadilan) melainkan juga sebagai sarana pengawasan (control) masyarakat. Demikian pula mengenai makna dan relevansi uraian di atas dengan tiga permasalahan yang dikemukakan dalam disertasi (Bab I Pendahuluan sub bab B tentang rumusan masalah) ini.
  • 31. 31 Persoalan pertama mempermasalahkan apa yang menjadi indikator dan karakteristik lembaga hukum wakaf. Indikasi ini tercermin dalam rumusan pengertian wakaf yang tertuang dalam Pasal 1 (1) PP 28/ 1977, Pasal 251 (1) KHI dan terakhir Pasal 1 (1) UU W 2004 yang rumusannya mirip satu sama lain. Intinya mengandung hal-hal yang esensial, seperti adanya komponen-komponen yang menentukan keabsahan wakaf, yaitu (1) Adanya perbuatan hukum memisahkan, menyerahkan dan melembagakan sesuatu benda untuk selama-lamanya atau untuk jangka waktu tertentu; (2) adanya subyek hukum, dalam arti seseorang, organisasi atau badan hukum; (3) mengenai obyek hukum, berupa harta benda bergerak atau benda tidak bergerak (sepeti tanah milik, uang dan sebagainya) (4) peruntukan dan tujuan wakaf, yaitu untuk kepentingan peribadatan atau keperluan (kesejahteraan) umum yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Berwakaf ditinjau dari hukum Islam termasuk kategori interaksi anggota masyarakat (mu’amalah) yang hukumnya sunnah, yang menurut kesepakatan ahli Hukum Islam (Fiqih) mempuyai 4 (empat) unsur juga yang menjadi sumber pengambilan rumusan hukum positif tersebut, walaupun dengan istilah yang berbeda, yaitu : (1) Wakif, (2) Obyek wakaf, sebagai benda (‘ain) disebut Maukuf (dari Mauquf,lengkapnya Mauquf bihi atau Mauquf bih); (3) Tujuan dan peruntukan wakaf, disebut Maukuf ‘alaih (dari Mauquf ‘alaihi);dan (4) Pernyataan (ikrar) wakaf, atau istilah yang sinonim (muradif) yaitu Sighat. Dalam proses perkembangan hukum positif dan diikuti oleh praktik wakaf selanjutnya, ternyata 4 (empat) unsur seperti diuraikan di atas tidak memenuhi kebutuhan (hukum) masyarakat sebagai akibat dinamika zaman yang semaikin modern. Dalam hal ini pelengkapnya adalah unsur nazhir yang akan mengelola wakaf baik menyangkut tugas administratif dan tugas operasional, agar harta benda wakaf dapat lebih meningkat produktifitasnya. Menurut pendapat penulis mengenai unsur keenam (masalah jangka waktu ) yang menurut Pasal (6) UUW lebih tepat dimasukkan sebagai persyaratan seperti halnya kehadiran saksi-saksi; dua- duanya sebagai pelengkap persyaratan yang melekat pada Ikrar Wakaf;
  • 32. 32 sudah barang tentu saksi yang memenuhi syarat; jumlah saksi setidak- tidaknya terdiri dari dua orang (Pasal 5 (1) PP. 28/1977 yuncto Pasal 9 (4) PP 28/1977 yuncto Peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP Nomor 28/1977, selanjutnya disingkat dengan PMAg Nomor 1/1978). Unsur ikrar dapat juga disebut unsur Ijab dan Kabul (kabul ini dalam Fiqih semula bersifat pro memori). Jadi tidak cukup adanya pernyataan sepihak atau ikrar lisan saja, akan tetapi harus dituangkan dalam bentuk tulisan yang modelnya telah dibakukan (Pasal 5 [1] yuncto Peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP Nomor 28/1977 yang dalam Pasal 2 [1] berbunyi “Ikrar wakaf dilakukan secara tertulis”). Perlu dijelaskan bahwa penggunaan istilah Ikrar (Arab: Iqrar, kata masdar dari kata kerja aqarra) artinya mengaku atau menyatakan. Jadi, Iqrar artinya pengakuan atau pernyataan. Bandingkan dengan kata masdar taqrir (yang sinonim dengan tatsbit dari tsabata) berasal dari karta kerja qarrara, yuqarriru (artinya menetapkan), taqrir (artinya penetapan atau ketetapan), selanjutnya Maqrur (artinya yang ditetapkan) mengindikasikan bahwa perbuatan itu adalah (boleh) bersifat sepihak dan dalam hal ini tidak mengharuskan kehadiran pihak yang menerima ikrar atau yang disebut kabul.28 2. Yurisprudensi Perkara Sengketa Wakaf Sebagai Kerangka Kedua Permasalahan kedua adalah apa yang menjadi dasar-dasar 28 Memang secara tersurat dan kongkrit tak dijelaskan secara tegas akan halnya Kabul (Arab Qabul, arti harfiahnya: penerimaan; semula dari kata kerja qabila/taqabbala sinonim dengan akhadza artinya menerima atau mengambil, dapat juga dari qabala = menetapi seperti menetapi waktu atau qabbala = mencium, al-qublah = ciuman atau kecupan, istaqbala = menghadap,atau qubul/qub=alat kelamin wanita, qiblat/qiblah suatu titik yang menjadi arah hadapan sholat, atau qabilah = kabilah atau suku/etnis, karena adanya Kabul itu sebagai akibat adanya (sebab). Ijab (Arab: dari Ajaba arti harfiahnya memenuhi, Ijabah artinya balasan atau jawaban yang sinonim dengan kata jawab). Dua kata itu itu adalah berimbalan atau berimbangan sebagai kata yang bersifat berpasangan, misalnya kata ‘memberi’ pasangannya kata ‘menerima’ dsb.nya. Namun secara tata bahasa terdapat kerancuan makna, yang semula kata ijab berarti menjawab dan membalas bergeser artinya menjadi memberi yang berimbalan dengan menerima (kabul), walaupun asal muasalnya berkonotasi makna yang sama, misalnya ‘permohonan dikabulkan searti dengan doanya diijabahi.(dari kata ijab). Tetapi ternyata telah ‘terlanjur’ menjadi bahasa remi misalnya dalam acara aqad nikah perkawinan tentang keabsahan sahnya perkawinan harus ada unsur ijab (pernyataan dalam arti penyerahan dari pihak wali mempelai perempuan kepada mempelai laki-laki) dan kabul (penerimaan dari mempelai laki-laki).
  • 33. 33 pertimbangan hakim dalam merumuskan solusi hukum, sebagai bentuk putusan yang mengikat dalam rangka usaha menemukan produk penyelesain hukum terhadap sengketa wakaf yang dihadapinya. Masalah ini tak terlepas dari hukum acara, karena yang dibahas adalah sesatu yang berada dalam lingkup hukum acara, terutama proses peradilan yang akan melakukan pemeriksaan dan memberi putusan yang seadil-adilnya sejak pemeriksaan tingkat pertama, tingkat kedua (banding) hingga ke kasasi ke Mahkamah Agung. Berbicara mengenai yurisprudensi dapat dikatakan bahwa hal ini agaknya dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain filsafat hukum dan aliran-aliran hukum mana yang dianut, politik hukum yang akan menentukan corak peradilan sesuai dengan kebijakan (policy) penguasa yang memerintah dalam periode tertentu, dan juga faktor sejarah hukum yang meliputi praktek dan perjalanan suatu peradilan dari masa ke masa. Hal-hal tersebut yang akan menetukan atau setidak-tidaknya amat mempengaruhi penerapan hukum materiil dan hukum formil pada periode- periode tertentu. Untuk menjawab pertanyaan di atas diperlukan terlebih dahulu penelusuran yang saksama mengenai beberapa hal, misalnya faktor-faktor yang mempengaruhi dasar-dasar pertimbangan yang diambil oleh hakim dalam menetapkan keputusannya terhadap perkara sengketa perwakafan. Hal itu antara lain disebabkan oleh : a. Pengaruh berbagai aliran filsafat hukum. Secara garis besar dunia peradilan dipengaruhi oleh dua aliran filsafat hukum yang berbeda. Pertama, aliran Positivisme Hukum29 termasuk Legisme yang intinya bahwa hukum itu identik dengan undang-undang, seakan-akan tak ada 29 Dardji Darmodihardjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia, Jakarta, 2002, Cet. Ke IV, hal.114-115, baca juga Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002, Cet.III, hal 55-56. Perhatikan juga Edgar Bodenheimer, Jurisprudence The Philosophy & Method of The Law, Harvard University Press, Cambridge, 1970, Cet.III, hal. 89 -100. Austin pertama-tama membedakan hukum dalam dua jenis yaitu : a) Hukum dari Tuhan yang dibuat untuk manusia (The Divine of Law) dan b) hukum yang dibuat oleh manusia; yang pada berikutnya terdiri dari dua golongan, yaitu : a) hukum yang sebenarnya, dan b) hukum yang tidak sebenarnya. Yang disebut a) juga disebut sebagai Hukum Positif yang meliputi emnpat unsur, yaitu (a) perintah (command), (b) sanksi (sanction), (c) kewajiban (duty),dan (d) kedaulatan (souveregnity).
  • 34. 34 hukum di luar undang-undang. Kedudukan dan fungsi hakim sekedar corong undang-undang belaka. Aliran ini merupakan aliran yang terkenal dengan nama Civil Law System atau Sistem Hukum Kontinental. Sistem hukum ini disebut Civil Law karena dari bermacam cabang hukum yang ada di zaman Romawi kuno (abad VI semasa Kaisar Justitianus berkuasa,) cabang hukum perdata (private law atau civil law) yaitu hukum yang mengatur hubungan antar individu di dalam masyarakat, yang pertama tumbuh dan paling pesat perkembangannya. Civil Law dikenal sebagai law created by the enactment of legislatures. Salah satu kebanggaan dari sistem ini adalah produk kodifikasinya yang mempunyai 4 (empat) macam ciri, yaitu : • the law be written essentially in the form of statutes, rather than in the form of court opinion; • the provisions of the code be drafted and arranged systematically ; • the code be dealt with by courts and subsequent legislatures in unified qfashion ; • the code be constructered by experts rather than lay persons30 Yang kedua dipengaruhi oleh aliran (American) Sociological Jurisprudence yang berpegang pada “law as it is decided by judges through judicial processes” yang bertolak dari pandangan bahwa hukum adalah ‘apa yang diputuskan oleh hakim in concreto’; berorientasi pada ‘behavioral’ dan sosiologis, menggunakan metode doktrinal dan non-doktrinal dengan perangkat atau sarana Logika Induktif.31 Aliran ini hidup dengan subur dan berkembang di dunia hukum Anglo Saxon yang terkenal dengan sistem Common law. Istilah ‘Common law’ berasal dari ‘common-ley’ (Perancis), artinya adat kebiasaan (customs) yang bersifat umum, bukanlah adat kebiasaan lokal. Sistem ini menganut pendirian bahwa yurisprudensilah sumber hukum yang utama. Sejarah singkat lahirnya sistem ini bahwasanya pada abad ke-11 adat kebiasaan di bidang hukum belum terbentuk 30 Firdinand Stone, A Primer on Codification, 1955 dalam Kapita Selekta Perbandingan Hukum Bisnis, kuliah dari Johannes Gunawan pada Program Pasca Sarjana (Magister Hukum) UNPAR th.1999. 31 B.Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000, Cet.2 hal. 158
  • 35. 35 secara konkret, sehingga setiap ada perkara yang diperiksa dan ditangani oleh Pengadilan setempat (country/ hundreds courts) diselesaikan berdasarkan hukum adat (kebiasaan) lokal. Akibat dari putusan ini membawa kepastian hukum pada tingkat yang amat rendah. Berdasarkan pengalaman-pengalaman itulah maka sejak abad ke-19 dengan tujuan agar kepastian hukum menjadi meningkat, mulailah asas hukum The Rule of Precedent dijadikan pedoman pokok. Selain istilah The Rule of Precedent ada istilah lain lagi yaitu Stare Decisis yang berarti to stand by (previous) decisions (berpegang pada putusan yang telah diambil sebelumnya). Dari himpunan berbagai putusan hakim itulah lama kelamaan terbentuk hukum (terkenal dengan semboyan Judge-made Law). Dengan demikian, dalam sistem Common Law hakim mempunyai peran untuk menerapkan hukum (rechts toepassing), dan membuat hukum (judge made law). Dalam Common law tak dikenal perbedaan antara hukum perdata dengan hukum publik, kemudian berkembang dengan apa yang mirip dengan perbedaan Common law dengan Equity (law). Seperti diketahui bahwa dalam hukum perdata amat menekankan kebenaran formal belaka, sehingga kebenaran material yang berinti pada keadilan yang sejati menjadi terabaikan. Oleh sebab itu untuk menghindari ketimpangan ini, maka di negara Inggris dibentuklah apa yang disebut sebagai The High Court of Chancery (sebuah pengadilan tinggi yang menerapkan asas Equity pada hukum dalam rangka mewujudkan keadilan seperti pada tujuan hukum publik)32. Sekali lagi semboyannya yaitu Judgment made law; terkenal dengan Common Law System atau Hukum Anglo Saxon.33 32 Equity adalah : is that system of justice which was developed in and administreted by the High Court of Chancery in England in the extraordinary jurisdiction etc. (Garner Bryan A., Black’s Law Dictionary, Book 1Edisi ke 7, West Group, St. Paul, Minn., 1999, hal. 560) Di tempat lain disebut Equity adalah Justice administreted according to fairness as contrasted with the strictly formulated rules of common law. It is based on a system of rules of principles which originated in England as in alternative to the harsh rules of common law which were based on what was fair in a particular situation. etc. (Garnrr Bryan A., Ibid, hal. 561) 33 Dardji Darmodihartdjo dan Shidarta, Ibid, hal.27 – 131. Lihat juga Edgar Bodenheimer, Ibid hal. 103-110.
  • 36. 36 Bagi Indonesia sebagai negara yang sedang dalam proses mencari identitas sistem hukum nasionalnya serta membenahi tatanan hukum nasional menerima pengaruh dari kedua aliran hukum; walaupun dari sudut proses sejarah hukum, sebagai bekas daerah jajahan Belanda. mula-mula amat dipengaruhi hukum kontinental . Belanda yang semula menerima pengaruh hukum Perancis memberlakukan asas konkordansi bagi Indonesia. Kalau dilihat ketentuan yang terdapat dalam Pasal 14 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman beserta Penjelasannya, bahwa pengadilan (baca Hakim) wajib melakukan pemeriksaan dan mengadili perkara apapun juga. Artinya sama sekali tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya dengan dalih bahwa hukum yang mengatur kurang atau tidak jelas ataupun belum ada pengaturannya. Dalam hal ini hakim selaku institusi peradilan, dianggap (selalu) memahami hukum (apapun), karenanya ia wajib memenuhi pencari keadilan yang datang kepadanya. Seandainya sesuatu perbuatan atau ketentuan itu belum diatur dalam hukum positif tertulis, ia wajib mencari, menggali dan menemukan hukumnya kendatipun dari hukum tidak tertulis, semata-mata demi menjaga wibawa hukum dan tanggung jawabnya kepada Tuhan, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. Dengan demikian maka apa yang kita saksikan pada dewasa ini di berbagai negara telah terjadi pendekatan satu sama lain antara Sistem Hukum Kontinental (Civil Law System) dengan Sistem Hukum Anglo Saxon (Common Law System), misalnya di Amerika Serikat terdapat United States Code (US Code), juga di Inggris terdapat The Bill of Exchange Act (1882) dan The Sales of Goods Act (1893). Tegasnya di negara-negara penganut Civil Law terdapat kecenderungan untuk menggunakan putusan hakim (yurisprudensi/ case law) sebagai sumber hukum, sebaliknya di negara penganut Common Law terdapat kecenderungan yang sama untuk mengkompilasi putusan hakim dan kemudian menyusunnya sebagai sebuah sistem peraturan yang mirip
  • 37. 37 dengan kodifikasi.34 Negara-negara yang dahulu di bawah pengaruh Inggris, seperti Mesir dan Syria telah menerbitkan undang-undang wakaf berdasarkan Hukum Islam; misalnya untuk Mesir dengan Undang-undang Nomor 48 tahun 1946 tentang Perwakafan, kemudian dengan Undang-undang Nomor 180 tahun 1952 ditentukan penghapusan wakaf ahli (wakaf keluarga) sebagai bentuk wakaf khusus, dan undang- undang berikutnya bersifat penyempurnaan aturan wakaf. Contoh lain adalah undang-undang yang dibuat oleh Yordania, yaitu Undang- Undang Nomor 26 tahun 1966 juga tentang Perwakafan. Di Srilangka, Pemerintah Inggris sewaktu masih berkuasa di situ telah mengeluarkan sebuah ordonansi (setingkat dengan undang-undang) Nomor 31 tahun 1931 dan menunjuk pengadilan distrik sebagai peradilan yang mempunyai wewenang untuk memeriksa dan mengadili masalah wakaf. Lembaga peradilan ini didirikan sejak tahun 1956 setelah didirikan Mahkamah (Pengadilan) Syari’ah, yang berwenang memeriksa dan mengadili urusan sengketa wakaf yang selanjutnya dialihkan dari pengadilan distrik ke pengadilan syari’ah yang telah dibentuk.35 b. Sistem hukum yang berlaku untuk kasus wakaf adalah sistem hukum yang digunakan untuk memeriksa dan memberikan putusan perkara gugatan wakaf; sisem hukum inilah yang menentukan macam peradilannya. Mengingat kebijakan negara kita yang menganut pluralisme hukum di samping tetap memegang cita-cita unifikasi hukum, maka sistem hukum yang berlaku amat tergantung pada politik hukum pemerintah yang sedang memegang kendali kekuasaan. Hukum Wakafpun sebagai bagian Hukum Islam mengalami pasang surut yang secara garis besar mula-mula diperlakukan sistem Hukum Islam, tetapi sejak tahun 1937 (masih pada pemerintahan Hindia Belanda) diperlakukan Hukum Adat 34 Johannes Gunawan, Perbandingan Hukum Bisnis, Program Pasca Sarjana UNPAR, Bandung 1999, tidak dipublikasi/terbitkankan, hal. 8 35 Uswatun Hasanah, Peranan Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial, Disertasi di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1997, belum diterbitkan, hal.88-91, 107-108, dan 119
  • 38. 38 yang menerima resepsi dari Hukum Islam36. Barulah sejak tahun 1989 berlaku sepenuhnya Sistem Hukum Islam. Ini terlihat dan tampak jelas dalam uraian dasar-dasar pertimbangan dan rumusan putusan hakim sebelum Undang-undang Peradilan Agama (1989) berlaku maupun sesudahnya. Hal ini akan diuraikan secara luas dalam Bab III dan Bab IV di bawah ini. c. Sistem peradilan yang berwenang memeriksa kasus wakaf. Lembaga peradilan apa yang berwenang (mempunyai competentie van bevoegsheid) memeriksa sengketa wakaf ? Selanjutnya kriteria-kriteria yang bagaimana yang digunakan dalam menunjuk hakim yang dipandang memenuhi persyaratan tertentu dan mampu memeriksa dan menyelesaikan perkara wakaf ? Dalam kaitan ini sejalan dengan uraian dalam menjawab permasalahan kedua, dapatlah dikatakan bahwa lembaga peradilan yang menanganinya pun tergantung pada sistem hukum (khususnya yang berhubungan sistem peradilan) yang diperlakukan untuk menyelesaikan perkara wakaf ini. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa sejak masuknya Agama Islam jauh sebelum kedatangan koloni Belanda ke Indonesia, lepas dari bentuk peradilannya, masalah wakaf masuk kompetensi institusi Peradilan Agama, sampai munculnya ketentuan-ketentuan baru yang dibuat oleh penguasa Belanda. Keanekaragaman peradilan di Indonesia nampaknya membuat hukum wakaf menjadi terabaikan. Sebelum berlakunya Undang-undang Peradilan Agama yang definitif sejak 1989, maka Peradilan Agama di Indonesia dinyatakan berwenang mengadili perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. G. Metoda Penelitian Berkenaan dengan fokus penelitian mengenai Lembaga Hukum Wakaf 36 Ketentuan pembatasan ini hanya berlaku di Jawa dan Madura, sedangkan di luar Jawa dan Madura kewenangan peradilan agama termasuk pemeriksaan wakaf masih seperti yang dulu.
  • 39. 39 yang bersumber dari Hukum Islam dan yang pengaturannya telah ditetapkan dalam Hukum Agraria, Undang-Undang Pokok Agraria dan semua peraturan pelaksanaannya) serta Hukum Islam (hukum posif tertulis, seperti Kompilasi Hukum Islam 1991, Undang-undang tentang Peradilan Agama dan sebagainya), maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif melalui pendekatan yuridis kualitatif37 dengan menggunakan bantuan bahan-bahan di samping Yuridis juga non yuridis. Atau kalau disingkat menjadi metode penelitian yuridis kualitatif. Untuk membedakan penelitian yuridis normatif dengan penelitian yuridis kualitatif, perlu dijelaskan bahwa yang disebut pertama adalah sebuah metode penelitian yang hanya meletakkan rumusan ketentuan hukum semata, tanpa mencari makna normatif dari sisi lain yakni makna yang terkandung di dalamnya secara kualitatif. Metode penelitian yuridis normatif ini adalah suatu cara untuk mencari makna yuridis yang ada pada sistim ketentuan hukum. Yang ditempuh menurut pola yuridis normatif hanya cenderung pada pendapat pelaku analisa, dan tidak memperdulikan atau bahkan cenderung menyampingkan pendapat orang lain yang terletak di luar diri pembuat analisa, sekalipun pendapat orang lain itu digunakan juga sebagai perbandingan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam metode yuridis analisis normatif ini cenderung bersifat subyektif. Dapat pula dijelaskan bahwa pendekatan yuridis normatif ini mengandung arti perlu memperhatikan 5 faktor yaitu teori interpretasi (penfsiran) hukum, konstruksi hukum, filsafat hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum. Sebaliknya metode penelitian yuridis kualitatif berusaha mencari makna normatif dari suatu ketentuan hukum tidak didasarkan pada ketentuan tertentu atau ketentuan yang tertuang dalam naskah (teks) belaka, melainkan menempatkan pendapat pelaku analisis sebagai hal yang tidak dominan. Dengan demikian seorang penganalisis menempatkan pendapat analisisnya perbedaan antara penelitian kualitatif dengan penelitian kuantitatif dalam bidang ilmu sosial yang dibuat dalam bentuk sebuah tabel.