1. 1
IKHTISAR
Pembahasan dalam penelitian ini mencoba menjawab tiga permasalahan
yaitu:
(1) Masalah pertama tentang karakteristik lembaga wakaf; (a) Menurut hukum
positif masalah wakaf telah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan
terakhir dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf yang
dapat dikatakan relatif telah menampung hampir seluruh masalah
perwakafan sesuai dengan aspirasi umat dan kebutuhan hukum masyarakat.
Undang-undang Wakaf ini mengindikasikan adanya akomodasi bagi
perbedaan mazhab agar dengan demikian tercapai kepastian hukum
(rechtzekerheid) dan tercapainya unifikasi dan uniformisiasi aturan wakaf
yang selama ini tersebar pada berbagai peraturan perundang-undangan. Juga
undang-undang ini mengisyaratkan perlunya dibentuk beberapa peraturan
pemerintah antara lain tentang sistem wakaf uang dengan sertifikat wakaf
melalui bank syariah dan sebagainya yang kini masih dalam penggodokan. (b)
Menurut Hukum Islam wakaf merupakan satu sistem muamalah (interaksi
manusia yang bermotif ibadah),sederhana unsur-unsurnya yaitu wakif, benda
wakaf (maukuf), peruntukan/tujuan wakaf (maukuf alaih) dan ikrar. Wakaf
berbeda dengan zakat, infak, shadaqah (lembaga hukum Islam), hibah,
yayasan dan trust (lembaga hukum perdata). Mentoleransi perbedaan mazhab
(Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali dan Syi’ah) mengenai berbagai hal seperti
definisi, syarat, macam wakaf, benda wakaf yang tidak berfungsi dan
sebagainya, namun mereka bersepakat dalam menerima wakaf sebagai
bahagian dari syariat Islam.
(2) Masalah kedua : studi kasus tentang penerapan hukum wakaf dalam
yurisprudensi terutama mengenai pertimbangan hukum oleh (majelis) hakim;
pengungkapan dilakukan atas sebelas kasus sengketa (gugatan perkara) wakaf
yang terjadi di Surabaya, Kudus, Sumedang, Bandung, Sukabumi dan Serang
(masing-masing 1 kasus), Tasikmalaya ( 3 kasus) dan Cianjur ( 2 kasus). 7
kasus diperiksa oleh PN/PT dan 4 kasus oleh PA/PTA terutama sesudah
Undang-undang No.7/1989 tentang Peradilan Agama berlaku. Sebagian
besar sengketa antara wakif atau ahli warisnya dengan nazhir atau antara
nazhir dengan pihak ketiga. Substansi perkara di antaranya mengenai
keabsahan wakaf, gugatan status tanah sebagai harta warisan dan terjadinya
tumpang tindih tanah wakaf sekaligus tanah HGB bahkan dibebani hak
tanggungan, yang nyaris akan disita oleh pengadilan karena debitur (yang juga
menjabat nazhir) wanprestasi. Terhadap 10 kasus baik pertimbangan hukum
maupun putusan hakim dinilai telah benar dan tepat sesuai dengan ketentuan
Hukum Islam dan Hukum Acara Perdata.Satu-satunya yang ditolak
Mahkamah Agung karena tidak memenuhi syarat suatu permohonan PK
(Pasal 67 Undang-undang No.14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).
yaitu kasus Cisayong Tasikmalaya yang mengajukan permohonan PK untuk
pengukuhan wakaf yang dinazhirinya.
(3) Masalah ketiga: Dua permasalahan tersebut di atas (masalah pertama dan
masalah kedua apabila dievaluasi ternyata telah sesuai dengan Sistem Hukum
Nasional antara lain secara ideologis memenuhi cita hukum Pancasila,
mengandung nilai-nilai filosofis, yuridis dan sosiologis dan memenuhi
ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan (a.l. Undang –undang
2. 2
No.10 tahun 2004). Juga ternyata telah sejalan/searah dengan asas-asas
Hukum Islam, seperti dalam hal tujuan syariat Islam untuk menyikapi harta
benda yang dimiliki seseorang selain harus diperoleh secara halal dan baik
(thayib) juga dimanfaatkan untuk keperluan ibadah dan kemaslahatan umum,
memotivasi penggunaan dan pemanfaatan harta benda yang dimilikinya
seyogianya sesuai dengan tuntutan dan tuntunan agama yaitu berada pada
jalan yang diridlai Tuhan.
Kata kunci : Wakaf, Undang-undang Wakaf dan Yurisprudensi
3. 3
SUMMARY
The analysis of this research is try to respond three problems as in the
below:
(1) The first problem is related with the first characteristic of ‘wakf’
institution, i.e.: (a) in accordance with the Positive Law, the pro-
blem of ‘wakf’ has been included into the last regulation of legislation, i.e. on
the Legislation No. 41/2004 about ‘Wakf’, in which is able to be relatively
thought that it has integrated almost all problematic of ‘wakf’ in accordance
with the need of the aspiration of members of Islamic community and the need
of community law. This ‘Wakf’ law indicates the availability of
accommodation for the difference of Islamic schools in order to obtain the law
certainty (rechtzekerheid) and to obtain the unification and uniformity of
‘wakf’ regulation that till recently were distributed on the regulation of
legislation. This legislation is also indicates the signals of the need to
formulate several governmental regulations, among them, in dealing with the
system of money ‘wakf’ with the certification of ‘wakf’ through Bank of
‘Syari’ah’, etc., that is formulated till recently; (b) in accordance with the
Islamic Law Principles, ‘wakf’ constitutes a system of muamalah (the
interaction based on the devotion motive and material transaction as far as no
change the ownership of ‘wakf’ material) with the simple elements,i.e.: wakif
(the provider of ‘wakf’), maukuf (the material of ‘wakf’), maukuf alaih (the
intention/allotment of ‘wakf’), and ikrar (the statement/declaration of intent).
‘Wakf’ is difference in gradually with zakat (tithe), infak, shadakah, and hibah
(grant/legacy). In tolerating the difference of Islamic schools (Hanafi, Maliki,
Syafi’i, Hanbali, and Syi’ah) in dealing with several matters as definition,
requisite/prerequirement, types of ‘wakf’, the materials of ‘wakf’ in which are
disfunction, etc., though they agree in considering ‘wakf’ as a part of Islamic
Law (Syari’at of Islam).
(2) The second problem: the case study about the application of ‘wakf’ law in
jurisprudence, primarily in the judicial considerations were used by (court)
judges, the acts of expressing/revealing were done researcher for eleven legal
action or dispute cases (lawsuits) of ‘wakf’ on Surabaya, Kudus, Sumedang,
Bandung, Sukabumi, and Serang (one case for each area), Tasikmalaya (three
cases), Cianjur (two cases), and had been reviewed by public court and
religious court (after Legislation No. 7/1989 about Religious Court). Almost
disputes were appeared between wakif (the provider of wakf) or heirs and
nazhir or between nazhir with third party. Among of lawsuit content were the
validity of ‘wakf’, suit of land status as material heir, and overlapping of
‘wakf’ land together with the right of building usage, and in the contrary it’s
charged by right of burden which was almost seized by court because of the
uncompetent debtor (also as nazhir). The judgment and decision of judge are
assessed for ten cases have been significant and in accordance with the
conditions of Islamic Law and Civil Law. The only one was refused by
Supreme Court because of it was unfulfillment the conditions as a proposal of
Law Review (paragraph 67 of Legislation No. 14/1985 about Supreme Court),
i.e. the Case of Cisayong, Tasikmalaya that propose the proposal of Law
Review for strengthening the ‘wakf’.
4. 4
(3) The third problem: Whenever the two problems above (the first and the second
problem) are evaluated, in fact they have been in accordance with the National
Law System, among of them, they are in accordance with the intent of
constitutional law, i.e. Pancasila, have the content of philosophical, juridical,
and sociological values, and fulfill the conditions of formulating the regulation
of legislation (e.g. Legislation No. 10/2004); and indeed its also has been in
accordance with the principles of Islamic Law, as in the intent of Syari’at of
Islam, in order to behave the someone’s material or property beside must be
obtained by legal and right ways (thayib), and also it’s used for the
requirement of the religious service and public usage, to motivate the usage of
his/her material/property (‘wakf’) in order to be used in accordance with the
requirement and religious requirement, i.e. exist in accordance with the ways
are blessing of God.
Key Words: ‘Wakf’, ‘Wakf’ Legislation, and Jurisprudence.
5. 5
SEKAPUR SIRIH
Bismillahir- rahmanir – rahim,
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadlirat Allah Subhanhu
wa Ta’ala, akhirnya penulisan disertasi ini terselesaikan dengan tuntas.
Dalam kaitan ini, penulis teringat petuah Sayidina ‘Ali bin
Abu Thalib seorang Khalifah Nabi Muhammad s.a.w. yang keempat ketika ia
memberi nasehat kepada para penuntut ilmu, isinya kurang lebih sebagai berikut :
“Anda tidak sekali-kali akan memperoleh ilmu yang dalam lagi luas kecuali
menempuh enam syarat, yaitu (1) Kemauan yang keras, (2) kecerdasan yang
memadai, (3) bekal yang mencukupi , (4) kesabaran yang tidak mengenal putus
asa, (5) rela mengikuti bimbingan sang guru, (6) kesediaan dan kesadaran akan
menempuh proses waktu yang cukup lama. Alangkah benarnya petuah itu dengan
yang penulis alami sebagai seorang yang menggapai suatu bidang ilmu dalam
kondisi yang tidak lagi muda usia. Izinkan untuk disisipkan satu lagi dari
kristalisasi pengalaman selama studi yaitu diperlukan semangat laksana dian yang
kunjung padam. Semangatlah yang mendinamisasi segala aktivitas.
Penulis menginsyafi betapa sulitnya ketika mencari dan
menjajaki topik penelitan yang dapat mendatangkan kemanfaatan bagi umat dan
sesama manusia. Setelah melalui pertimbangan yang tidak sebentar, pada akhirnya
penulis menentukan pilihannya pada topik lembaga hukum wakaf (bahagian dari
Hukum Islam). Satu bentuk mu’amalah yang bertendensi keagamaan, singkatnya
ilmu duniawi dan ukhrawi atau ilmu hukum yang berlatarbelakang dan
bernafaskan ilmu agama. Tentunya tidak terlepas dari sistem hukum nasional
karena masalah tersebut diterapkan di tanah air Indonesia.
Sehubungan dengan itu perkenankan penulis menyampaikan
penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Promotor, Ko-promotor dan para penguji. Juga kepada Rektor, Ketua
Program Pasca Sarjana UNPAR dan personil Staf serta segenap para
pengajar Program Pascasarjana (PPS) bidang Ilmu Hukum baik ketika
penulis mengikuti kuliah pada Program S-2 maupun Program S-3.
2. Sudah selayaknya secara agak lebih bersifat pribadi khususnya kepada
Prof. Dr. Soedjono Dirdjosisworo, SH, MM, MBA; Prof. Dr.H. Lili
Rasjidi, SH, S.Sos., LL.M., yang dengan tulus telah mendorong penulis
sebelum penulis memulai kuliah di UNPAR. Prof. Dr. H. Rachmat
Djatnika, Prof. Dr. H. Abdulgani Abdullah, Ibu Dr. Uswatun Hasanah,
MA yang dengan senang hati telah memberikan bahan disertasinya. Juga
Prof. Dr. H.Otje Salman Soemadiningrat, SH dengan tidak jemu-jemunya
membimbing dan waktu-waktu beliau sering di’ganggu’ penulis selama
ini. Juga untuk Prof. Dr. B. Arif Sidharta, SH, Prof. Dr. Wila Chandrawila
Supriadi,SH. dan Dr. I. Bambang Sugiharto.
3. Beberapa pribadi antara lain Prof. Dardji Darmodihardjo, SH, Prof. Dr.
Ismangun,.M.Pd, Prof. Abdurrachman Atmosentono (almarhum), Prof.
Dr. Priyatna Abdurrasyid, SH, Prof. Ahmad Sanusi, SH, Prof. Dr.
Djalaluddin Rachmat, Prof. Dr. H.M. Tahir Azhari, SH, Dr. H. Rifyal
Ka’bah, SH, Ibu Hj. Chaerani Wani, SH, Dr. H. Abdurrachman, SH,MH,
Mayjen TNI Purn. Iskandar Kamil (keempat-empat yang disebut akhir
semua Hakim Agung) . Bapak Drs. Khalililurrachman,SH, MM, MBA
6. 6
dan Staf, Direktur Hukum TNI-AD, Ketua Sekolah Tinggi Hukum Militer,
Rektor Universitas Islam Jakarta, Ketua STIE Perbanas (keempat-
empatnya di Jakarta), Rektor Universitas Pendidikan Indonesia dan Staf,
Ketua Sekolah Tinggi Hukum Bandung (kedua-duanya di Bandung) yang
telah memberi dorongan, nasehat dan bantuan..
4. Ketua/Panitera Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Ketua/Panitera PN
Kudus, Ketua/Panitera PN Tyasikmalaya, Ketua Pengadilan Agama (PA)
Tasikmalaya, Ketua/Panitera Pengadilan Negeri Cianjur, Ketua/Panitera
PN Sumedang, Ketua/Panitera PA Bandung, Ketua/Panitera PA
Sukabumi, Ketua/Panitera PA Serang, secara khusus Ketua dan Panitera
Pengadilan Tinggi Agama Bandung serta Panitera Pengadilan Tinggi
Bandung yang telah memberi bahan dan meminjami literatur secukupnya
untuk penelitian.
5. Para pimpinan beberapa yayasan diantaranya Daarut-Tauhiid, Babus
Salam, At-Taqwa KPAD Gegerkalong, semuanya di Bandung, Yayasan
Pangeran Sumedang di Sumedang, Dompet Dhu’afa, Yayasan Pendidikan
Tinggi Dakwah Islam, Yayasan Wakaf Perguruan Tinggi Islam Jakarta
(semua di Jakarta), Yayasan Ash-Shalihin di Klaten dan Yayasan Badan
Wakaf Sultan Agung di Semarang yang telah memberi kesempatan untuk
dilakukan penelitian pada yayasan masing-masing.
6. . Juga rekan-rekan alumni PPS UNPAR (Dr. Johannes Gunawan, Dr.
Johannes Ibrahim, Dr. Dwidja Priyatno, Dr. Bernadette Waluyo,
Dr.Mahidin Gultom dan lain-lain yang pernah membantu penulis.
Terutama Dr. Shidarta yang pernah membantu mengoreksi draf disertasi.
Tidak ketinggalan rekan-rekan seangkatan, Dr. Munir Fuady, J.Samosir, H.
Handoko Kristiyoso, Endang Juandi, yang selama ini saling berdiskusi dan
bertukar pikiran mengenai perkuliahan; termasuk Yos Faisal Husni,
Nurzaman, Moch. Basarah, Teddy, Yayan Nurbayan (kandidat Doktor
IAIN Syarif Hidayatullah).
7. Pimpinan dan para petugas beberapa perpustakaan, antara lain
Perpustakaan UNPAR, UPI, STHB, ITB,UNPAD (tiga perpustakaan yakni
Fakultas Hukum, Pascasarjana dan UNPAD sendiri), PN dan PT Bandung,
PA dan PTA Bandung semua di Bandung, UI Depok, Universitas Islam
Nageri (UIN,dahulu IAIN) Syarif Hidayatullah semua di Jakarta, UNAIR
Surabaya, UNDIP Semarang, UII Yogyakarta dan Pondok Modern Gontor
Ponorogo.
8. Rasanya kurang afdhol sekiranya tidak menyebutkan para dermawan yang
dengan ikhlas hati telah mengulurkan bantuan ‘logistik’nya demi
kelancaran studi dan penelitian penulis, yaitu Pimpinan Yayasan Kartika
Eka Paksi, Ba- pak H. Basofi Sudirman, Bapak H. Saryanto Sarbini,
Bapak H. Fachrurrazi, (semua di Jakarta), Bapak H. Djalaluddin Pane di
Medan (warga Paguyuban Punawirawan dan Warakawuri Corps Polisi
Miiter) dan rekan-rekan Masjid At-Taqwa yang setiap kali selalu bertemu
muka dan saling bertutur kata.
9. Namun utamanya kepada isteri penulis Ny. Hj. Sri Maryatun Suwadi yang
dengan tekun dan setia membantu, mendampingi dan ikut memecahkan
kesulitan apapun yang dihadapi penulis yang tanpa jemu dan lelah
memberikan perhatiannya yang luar biasa, termasuk anak cucu penulis,
secara berurutan nanda Basuki & Wiwid dengan kedua anaknya Diana
7. 7
Habsari (Rine) & Dyas Ambarani (Dire), nanda Dedi & Tetri denga anak
semata wayang Mazarina Hidanati (Rida), nanda Aris & Dhiena dengan
trio Rafdi Ghafiki, Nahel Farghani dan Ikbar Farabi, dan nanda Fifi dan
Faried. Termasuk saudara-saudara kandung/semenda penulis beserta
suami dan isteri masing-masing bahkan terdapat yang telah lebih dahulu
mencapai Doktor dari pada penulis (adinda Dr. Djamaluddin Darwis,MA)
yang selalu mengiringi penulis sejak persiapan masuk ke Program Doktor
S-3 sampai menjelang kelulusan (promosi).
10. Terakhir penulis mendoakan kepada kedua orang tua penulis (H.
Muhammad Darwis Musthafa dan Ibu Hj. Siti Fasyiyah binti H.Dachlan)
serta kakak dan adik-adik yang telah mendahului menghadap Ilahi Rabbi,
semoga segala amal baiknya diterima olehNya serta diberi ampunan segala
dosanya.
Mudah-mudahan Allah SWT membalas budi baik semua yang tersebut di atas
--dan yang tidak disebut namanya satu persatu karena kekhilafan—dan
menerimanya sebagai amal saleh yang –insya Allah- akan dibalas dengan imbalan
pahala yang berlipat ganda.
A m i n.
Bandung, 26 April 2005
17 Rabi’ul Awal 1426 H
Penulis
A.W. Darwis
8. 8
DAFTAR ISI DISERTASI
Ikhtisar i
Summary iii
Sekapur Sirih v
Daftar Isi Disertasi viii
Daftar Tabel xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan 1
1. Menuju ke Arah Sistem Hukum Nasiona 1
2. Lembaga Hukum Wakaf dan Problem-atikanya
5
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah 8
C. Tujuan Penelitian 9
D. Manfaat Penelitian 9
E. Tinjauan Pustaka 9
F. Kerangka Pemikiran
1. Dengan Acuan Hukum Positif dan Hukum Islam
11
2. Yurisprudensi Perkara Sengketa Wakaf 22
G. Metode Penelitian 28
H. Sistematika Penulisan 37
BAB II WAKAF DALAM TEORI HUKUM DAN TINJAUAN
HISTORIS
A. Landasan Teori Sebagai Acuan Analisis 39
1. Grand Theory : Teori Pembukaan Undang - Undang
Dasar 1945 40
2. Middle Range Theory : Teori Manfaat 62
3. Applied Theory : Teori Pembuktian 72
B. Wakaf Ditinjau dari Teori Hukum Islam 83
1. Aspek Religiositas (Religious Aspect) 88
2. Aspek Kefilsafatan ( Phylosophical Aspect )
94
3. Aspek Kesyariatan ( The Islamic Law Aspect)
96
4 Aspek Fiqih (The Islamic Yurisprudence Aspect)
101
5. Aspek Ijtihad atau Ra'yu (Rational Aspect) 108
6. Aspek Kategorisasi Hukum (Categorisatinal Aspect)
124
7. Aspek (Kandungan) Nilai (Value Aspect) 132
C. Sejarah Singkat Perwakafan dan Perihal Philantropi
142
9. 9
1. Sejarah Singkat dan Perkembangan Wakaf di Indonesia
142
2. Praktek Philantropi Dari Beberapa Agama
158
3. Wakaf di Dalam dan di Luar Dunia Islam
162
D. Hasil Penelitian Wakaf yang Telah Dilakukan di Indonesia
178
1. Dalam Bentuk Disertasi 178
a. Kusumah Atmadja (Penelitian di Banten)
178
b. Rachmat Djatnika (Penelitian di Jawa Timur)
180
c. Imam Suhadi ( Penelitian di Yogyakarta)
186
d. Uswatun Hasanah (Penelitian di DKI Jakarta Raya)
188
2. Dalam Bentuk Laporan 191
BAB III LEMBAGA WAKAF MENURUT HUKUM ISLAM/
HUKUM POSITIF DAN IMPLEMENTASINYA
A. Wakaf dalam Hukum Positif 193
1. Pengertian Wakaf 193
2. Dasar Hukum Wakaf 210
3. Fungsi, Unsur dan Syarat Wakaf 247
4. Macam-macam Wakaf 272
5. Tata Cara Perwakafan 276
6. Sistem Pengelolaan Wakaf 283
7. Masalah Sengketa Wakaf dan Tata Cara Penyelesaiannya
287
8. Ketentuan Pidana dalam Peraturan Perundang-undangan
Wakaf 288
B. Hukum Wakaf dalam Sistem Hukum Nasional
291
1. Latar Belakang Sistem Hukum Nasional 291
2. Proses Pembinaan Hukum Nasional 303
3. Langkah Pembinaan Hukum Nasional 316
4. Cita Hukum dan Jatidiri Hukum Nasional 329
5. Konsep Asas-asas Hukum Nasional 333
6. Hukum Wakaf Dalam Sistem Hukum Adat 336
7. Perbandingan Hukum Wakaf Dengan Sistem Hukum
Perdata 349
a. Hukum Wakaf dengan Hukum Hibah 351
b. Hukum Wakaf dengan Hukum Yayasan 355
c. Hukum Wakaf dengan Hukum Trust 364
C. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
369
1. Teori Pembentukan Undang-Undang 371
10. 10
2. Pedoman Pembentukan Peraturan Perundang
-undangan 375
3. Tinjauan Undang-Undang Wakaf dari 378
a. Aspek Sistematika dan Substansi 378
b. Aspek Filosofis 380
c. AspekYuridis 390
d. Aspek Sosiologis 392
D. Implementasi Wakaf Oleh Unsur Masyarakat
398
1. Yayasan Daarut Tauhiid, Bandung 398
2. Yayasan Babus Salam, Bandung 402
3. Yayasan Dompet Dhu`afa Republika, Jakarta
407
4. Yayasan Pangeran Sumedang, Sumedang, Jawa
Barat 420
5. Yayasan Ash-Sholihin, Klaten, Jawa Tengah
422
6. Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung, Semarang
424
BAB IV STUDI KASUS SENGKETA TANAH WAKAF (DALAM
YURISPRUDENSI)
A. Yurisprudensi dan Sejarah Singkat Peradilan Agama
427
1. Teori Yurisprudensi
a. Sumber Hukum dalam Arti Formal 430
b. Perbedaan Antara Yurisprudensi dengan Undang-
Undang 435
2. Badan Peradilan Agama di Indonesia 436
a. Sejarah Singkat Badan Peradilan Agama
436
b. Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama 438
c. Asas – asas Umum dan Karakteristik Peradilan
Agama 438
B. Ikhtisar Kasus - kasus Gugatan Perkara Perwakafan
440
1. Kasus Wakaf Surabaya (1956) 446
2. Kasus Wakaf Kudus (1957) 447
3. Kasus Wakaf Singaparna / Tasikmalaya I (1967)
448
4. Kasus Wakaf Sukapura / Tasikmalaya II ( 1968)
450
5. Kasus Wakaf Warung Jambe / Cianjur I ( 1969)
452
11. 11
6. Kasus Wakaf Sumedang (1970) 454
7. Kasus Wakaf Cisayong / Tasikmalaya III ( 1988)
456
8. Kasus WakafSukabumi (1994) 457
9. Kasus Wakaf Cipanas/Cianjur II, (1996) 461
10. Kasus Wakaf Bandung (2001) 464
11. Kasus Wakaf Serang (2001) 466
C. Pembahasan Atas Lima Perkara Pilihan 469
1. Perkara Wakaf Surabaya (1956) 473
2. Perkara Wakaf Singaparna / Tasik-malaya I (1967)
483
3. Perkara Wakaf Sukapura / Tasikmalaya II ( 1968)
505
4. Perkara Wakaf Cisayong/Tasikmalaya III ( 1988 )
519
5. Perkara Wakaf Bandung ( 2001) 540
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 571
B. Saran 571
DAFTAR PUSTAKA 572
DALIL – DALIL 581
RIWAYAT HIDUP 582
12. 12
DAFTAR TABEL
No Judul Bagan Halaman
1 Sistematika Syariat Islam 110
2 Perbedaan Syariat Islam dengan Fiqih 115 - 116
3 Al-Ahkam Al-Khamsah (Kaidah Hukum yang Lima) Versi 126
Pertama
4 Al-Ahkam Al-Khamsah Versi kedua 126
5 Perimbangan Ketentuan Mengenai Wakaf Uang 266
6 Perbandingan Unsur Wakaf dengan Unsur Trust 368
7 Struktur Manajemen Dompet Dhuafa Republika 409
8 Resume Keuangan Dompet Dhuafa Republika termasuk 418 – 419
Wakaf Uang
9 Perbedaan Yurisprudensi dengan Undang-undang 435 - 436
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
1. Menuju ke Arah Sistem Hukum Nasional
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi hukum kita pada
saat ini, di antaranya sebagai berikut :
Faktor pertama adalah kemajemukan tatanan hukum nasional kita.
Adanya pluralisme hukum yang pada kenyataannya tidak dapat dihindarkan;
hal ini telah berlangsung lama sejak era pra kemerdekaan Republik Indonesia
baik yang diakibatkan oleh warisan sistem hukum kolonial (pemerintahan
Hindia Belanda dan Jepang) -- yang masih dialami pada saat kemerdekaan
diproklamasikan -- maupun pada era Pasca Kemerdekaan,1 yaitu berupa
1
John Ball, The Struggle for National Law in Indonesia, Faculty of Law University of Sidney,
1986, hal. 26 dalam Soetandyo Wignyosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Raja
Grafindo Persada, Jakarta 1994, hal. 181-198. Lihat pula B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur
Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000, Cet.II, hal. 56. Baca juga C.V.G. Sunaryati Hartono, Politik
Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, Cet. I, hal. 58-61. Baca pula
artikel Komaruddin Hidayat, Mantan Ketua Panitia Pengawas Pemilu (PANWASLU) tahun 2004, Cacat
13. 13
sistem dan tatanan hukum nasional yang dibuat pada era orde lama dan era
orde baru, akan tetapi pada era reformasi nasional dewasa ini dipandang
tidak sesuai lagi dengan iklim dan semangat Reformasi Hukum, yang
pelaksanaannya sampai sekarang ini belum tuntas, bahkan banyak sekali
kendala-kendala yang tidak ringan untuk diatasi.
Faktor kedua, dewasa ini ‘dunia’ hukum Indonesia sedang berada di
tengah-tengah proses perwujudan sistem dan tatanan hukum nasional,
atau dengan kata lain menunjukkan gelagat baru yang positif dalam
proses mencari identitas hukum menuju ke sistem hukum nasional yang
definitif.
Faktor ketiga, mengenai kesadaran hukum bangsa Indonesia (secara
umum) yang masih memprihatinkan. Kurang dijunjung tingginya hukum
masih tampak dimana-mana,2 meskipun kita sejak tahun 1998 telah bertekad
bulat melaksanakan reformasi nasional termasuk bidang hukum.3
Salah satu arahan pembangunan nasional yaitu menempatkan bidang
hukum sebagai sasaran utama. Lebih lanjut disebutkan bahwa sasaran
bidang hukum ini adalah pembentukan dan pemfungsian sistem hukum
nasional yang mantap, bersumberkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, dengan memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang
berlaku yang mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan
perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran serta
mampu mengamankan dan mendukung pembangunan nasional, yang
didukung oleh aparatur hukum, sarana dan prasarana yang memadai serta
Bawaan Demokrasi, (Kompas tanggal 4-1-2004, hal.4) yang antara lain mengatakan bahwa “Secara
historis empiris nampaknya demokrasi dinilai paling unggul (jika dibanding dengan sistem yang lain)
terutama ketika tingkat pendidikan masyarakat semakin maju bersama telah dialami dengan munculnya
pluralistic society baik di tingkat nasional maupun di tingkat global”
2
Dalam artikel yang berjudul Tahun 2004 Momentum Penting Kemajuan Bangsa, Wiranto,
Mantan Menhankam/Pangab, kini Ketua Dewan Eksekutif Institute for Democracy of Indonesia
mengatakan bahwa: „ Dewasa ini ruang kebebasan yang lahir dalam kondisi masyarakat yang dilanda
euforia, sementara hukum tidak tegak (kursif dari Penulis) dan pemerintahan cenderung lemah karena
berhadapan dengan rupa-rupa realitas baru dalam kehidupan sosial politik dan kemasyarakatan,
kebebasan sering berbuntut anarki. Ruang-ruang privasi dilanggar, hak orang lainpun bila bisa diambil
akan diambil. (Kompas, Jum’at tanggal 2 Januari 2004 hal. 4 – 5).
3
Sekali lagi Komaruddin Hidayat (Ketua Panwaslu Pusat) mengisyaratkan bahwa komponen
pendukung tumbuhnya demokrasi yang paling vital adalah penegakan hukum yang adil, tegas dan tuntas
mutlak diperlukan (Kompas, 2 Januari 2004, hal.4).
14. 14
masyarakat yang sadar dan taat hukum. (kursif dari Penulis).4 Selanjutnya
dalam Ketetapan Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan
Negara (1999-2004) lebih dipertegas, bahwasanya yang dimaksud dengan
hukum yang majemuk itu adalah Hukum Agama (Islam), Hukum Adat,
Hukum warisan kolonial dan Hukum Nasional yang dibuat pada era
sebelum reformasi 1998; tetapi di dalamnya terdapat cacat hukum yang
bernuansa diskriminatif, misalnya ketidakadilan gender dan lain-lain.
Terobosan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam merintis
lahirnya sistem hukum nasional, dalam sejarah hukum Indonesia telah
melampaui beberapa tonggak sejarah, yaitu :
Tonggak pertama; ketika bangsa Indonesia5 mengambil tindakan yang
disebut sebagai a hogere politieke beslissing6 (keputusan politik tinggi)
dalam menentukan nasibnya sendiri telah dimulai dipancangkan tepat pada
tanggal 17 Agustus 1945 sebagai demarkasi (pembatas) yang memisahkan
antara tata hukum kolonial dengan tata hukum nasional. Kemudian
dipertegas dan dikokohkan dalam Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi
pertama Negara Republik Indonesia; namun sistem hukum nasional yang
kita cita-citakan selama ini belumlah terwujud sepenuhnya.
Tonggak kedua; pada saat diletakkan landasan dan asas-asas hukum
nasional pada tahun 19637 – meskipun belum lengkap atau sempurna
seluruhnya yang bersamaan waktunya ketika dilahirkan suatu pernyataan
4
Lihat TAP II/MPR/1993 Bab III E-5. Menurut hemat penulis, materinya secara substansial
masih valid, meskipun secara formal telah dicabut dan diganti berulang-ulang terakhir dengan TAP
IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999 – 2004 yang di dalam Bab IV (Arah Kebijakan) bidang Hukum
memuat 10 buah arahan, antara lain agar lebih memperhatikan HAM, pemberantasan KKN, ratifikasi
Konvensi Internasional, perwujudan keprofesionalan aparat penegak hukum, perwujudan peradilan yang
lebih mandiri dan sebagainya
5
Djokosoetono, Hukum Tata Negara, susunan Harun Al Rasyid, Ghalia, Jakarta, 1959 hal.
Menurut Pak Djoko (panggilan sehari-hari, dimana penulis pernah menjadi mahasiswanya pada Akademi
Hukum Militer Angkatan III 1961-1966) dalam kuliahnya bahwa bagi bangsa Indonesia pernah
mengalami tindakan a hogere politieke beslissing dua kali yaitu sewaktu Proklamasi Kemerdekaan dan
ketika Dekrit Presiden tanggal 5-7-59 kembali ke UUD 1945
6
Seperti kita ketahui bahwa konstitusi pertama yang sering kita dengar sebagai UUD Proklamasi
atau UUD Kilat, sebenarnya opzetnya adalah hanya bersifat sementara, namun sejarah ketatanegaraan kita
membuktikan bahwa UUD ini akhinya diberlakukan kembali berdasarkan Dekrit Presiden RI tanggal 5
Juli 1959, yang di antara tenggang waktu itu pernah berlaku Konstitusi RIS (27-12-1949 sampai 17-8-
1950 dan diganti/dilanjutkan dengan UUD. Sementara sampai dengan terbitnya Dekrit Presiden tersebut
yang kemudian berlakulah hingga sekarang. UUD 1945 telah mengalami perubahan (amandemen) 4 kali
yaitu sebagai hasil persidangan MPR tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002.
7
Merupakan Hasil Seminar Hukum Nasional I tahun 1963 dan dari isi Pidato Pengukuhan
Doktor Honoris Causa Menteri Kehakiman Sahardjo.
15. 15
bahwa sifat hukum nasional itu mempunyai fungsi pengayoman bagi
segenap bangsa Indonesia.8
Tonggak ketiga; ketika hukum Indonesia dinyatakan berfungsi sebagai
sarana perubahan masyarakat dalam pembangunan nasional atau di dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara 1973 – 1978 dirumuskan secara lebih
singkat bahwa hukum pada hakekatnya berfungsi atau merupakan sarana
pembangunan nasional sebagai elaborasi atau reformulasi dari “a law is a
tool of social engineering”-nya Roscoe Pound.9
Faktor keempat adalah ketika dinyatakan sejak 1983 posisi (bidang)
hukum dinyatakan mandiri tidak lagi ditempatkan di bawah kekuasaan
(bidang) politik, ini ternyata dalam ketentuan-ketentuan Garis-garis Besar
Haluan Negara sebelum 1983 adanya pembangunan hukum merupakan
bagian dari pembangunan bidang politik. Barulah sejak berlakunya TAP
1983–1988 kedudukan hukum termasuk pembangunan hukum sejajar
dengan pembangunan bidang-bidang lainnya baik bidang politik, ekonomi,
sosial budaya dan pertahanan- keamanan.
Tonggak kelima; dengan terjadinya reformasi nasional yang
berlangsung sejak 1998 termasuk reformasi di bidang hukum seusai
tumbangnya pemerintahan orde baru. Salah satu contoh adanya reformasi
hukum terutama dalam bidang perubahan konstitusi yang mem”bongkar
habis” sejumlah ketetapan-ketetapan MPR yang bermaksud
men’sakral’kan Undang-Undang Dasar 1945 dari kemungkinan adanya
perubahan, bahkan semula secara tegas dinyatakan berulang-ulang
bahwasanya Undang-Undang Dasar 1945 tetap akan dipertahankan (pada
waktu itu menggunakan istilah pelestarian) sepanjang masa.
Sebagaimana diketahui bahwa pendirian dan sikap itu tertuang dalam
rumusan TAP Nomor I/1983, TAP I/1988 (semua tentang Tata tertib
Sidang Umum MPR), TAP IV/1983 tentang Referendum yang dijabarkan
dengan Undang-undang Nomor 5/1985), walaupun formalnya
8
Oetojo Oesman dan Alfian, Pancasila sebagai Ideologi, BP-7 Pusat, Jakarta, 1993, Cet. ke-1,
hal. 15
9
Rumusan bahwasanya “Hukum sebagai sarana pembangunan nasional” tertuang dalam TAP
MPR No IV/1973.
16. 16
menyatakan bahwa ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945
tentang prosedur perubahan Undang-Undang Dasar tetap masih berlaku.
Sejalan dengan itu, masyarakat hukum melalui Badan Pembinaan
Hukum Nasional telah meresponnya melalui sebuah seminar hukum;
hasilnya yang menonjol adanya kesimpulan tentang keharusan
menjunjung tinggi dengan menjamin dan menerapkan Hak Asasi
Manusia, kemandirian hakim dalam peradilan dan lain-lain yang untuk ini
dikupas lebih lanjut dalam Bab III-C khususnya yang menguraikan
tentang Proses Pembangunan Hukum Nasional di bawah ini.
Sistem Hukum Nasional merupakan sebuah sistem hukum yang
bersifat nasional, yang dibersihkan dari cacat-cacatnya yang melekat pada
’warisan’ sistem yang sebelumnya yang bercorak kolonialistis,
diskriminatif, feodalistis atau neo-feodalistis, bahkan dualistis (yang
didasari oleh politik hukum yang tidak sehat) dalam arti suatu sistem yang
bulat, terpadu dan berakar kuat serta tumbuh dan berkembang dari sistem
nilai dan norma dasar negara, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 serta mengabdi kepada kepentingan nasional. Dengan demikian,
sistem hukum nasional milik bangsa Indonesia tidak bisa lain harus
merupakan sistem hukum Pancasila.10
Penegakan hukum (law enforcement) dalam kerangka negara hukum
(Rechtsstaat atau Rule of Law) dan dalam rangka pembinaan Sistem
Hukum Nasional merupakan suatu keniscayaan dan juga kewajaran,
sebagaimana dikemukakan oleh Harris bahwa legal system means a
system of rules of constituting the present of law,11 sedangkan menurut
H.L.A. Hart menyebutkan bahwa ‘A legal system actual operation is
complex organism in which structure, substance and culture interact’.12
Sistem Hukum Nasional haruslah bersumber dari sosio-budaya, sistem
filsafat (ideologi bangsa) yang mencerminkan jiwa dan semangat rakyat
dan cita hukumnya. Hal ini sesuai dengan penjelasan Joseph Raz yang
mensyaratkan bahwa sistem hukum itu harus bermanfaat dan mempunyai
10
Lihat Majalah Hukum Nasional Nomor 2/1988 tulisan Menteri Kehakiman Ismail Saleh
11
Harris, J.W., Legal Philosophies, Butterworth, London, 1982, hal.12
12
Friedmann, Legal Theory, Stevens & Sons, London, 1967, Fifth Edition, hal 16
17. 17
kekuatan imperatif.13
2. Lembaga Hukum Wakaf dengan Problematikanya
Salah satu pilar atau komponen dari Sistem Hukum Nasional yaitu
Hukum Islam,14 yang di dalamnya terdapat (Lembaga) Hukum Wakaf,15
di samping Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan dan Hukum (positif)
tertulis lainnya.
Hingga saat ini tentang pengaturan wakaf yang tuntas baru terbatas
pada obyek tanah saja, padahal di tengah masyarakat telah berlangsung
pelaksanaan wakaf yang obyeknya meluas kepada non tanah, misalnya
berupa hasil sewaan bangunan, hasil panen padi, wakaf uang untuk
mendanai pendirian dan pengelolaan Yayasan, dan wakaf barang-barang
lain yang bermanfaat untuk kepentingan sosial dan keagamaan. Dengan
terbitnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, -- untuk
selanjutnya dalam disertasi ini akan disebut UUW-- maka kebutuhan
hukum terhadap pengaturan wakaf benda bergerak dan benda tidak
bergerak non tanah milik telah terpenuhi secara yuridis formal.
Adapun ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan masalah wakaf tanah yang menjadi dasar pelaksanaan adalah
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik – untuk selanjutnya disingkat dengan PP 28/1977 atau PP.PTM--
adalah Pasal 14 (1) b Undang-Undang Pokok Agraria yang menyebutkan
bahwa pemerintah wajib membuat rencana umum mengenai persediaan,
peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan
yang terkandung di dalamnya, antara lain untuk keperluan peribadatan dan
keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
13
Lihat Joseph Raz,The Concept of a Legal System, 1980, hal. 16
14
Busthanul Arifin tak setuju Hukum Islam disebut sebagai sub Sistem Hukum Nasional, karena
Hukum Nasional itu sampai sekarang belum terwujud, padahal Hukum Islam merupakan salah satu
hukum yang akan diramu menjadi Hukum Nasional. Lihat Busthanul Arifin, Transformasi Hukum Islam
ke Hukum Nasional, Yayasan Al-Hikmah, Jakarta, 2001, hal.40-41
15
Menurut SKB Menteri Agama dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 10-9-1987
Nomor 58/1987 dan Nomor 0534 b/U/1987 tentang Pembakuan Pedoman Transliterasi Arab Latin,
tentang penulisan wakaf dan Shadaqah, yang kedua-duanya semula berasal dari Bahasa Arab, sedianya
ditulis Waqaf dan Sadaqah. Lihat H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A., Hukum Acara Peradilan Agama
(Edisi Baru), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, Cet.VIII, hal. 37
18. 18
Selanjutnya Pasal 49 (3) Undang-Undang Pokok Agraria
menyebutkan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan
peraturan pemerintah; dalam hal ini PP. 28/1977 seperti diuraikan di atas.
Lembaga hukum wakaf dalam arti luas tidak hanya terbatas pada obyek
wakaf tanah, seperti yang dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam
(disingkat KHI). Kompilasi ini memuat 3 buku yaitu Buku - I tentang
Perkawinan, Buku ke-II tentang Kewarisan. termasuk hukum Hibah dan
Wasiat, dan Buku ke-III tentang Perwakafan termasuk Shadaqah. Produk
hukum ini, dengan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991, telah
diinstruksikan kepada Menteri Agama agar menyebarluaskan kompilasi
tersebut ke segenap instansi pemerintah dan masyarakat yang
memerlukannya.
Problematika yang ditemukan dalam masyarakat mengenai
pelaksanaan wakaf ini merupakan kendala dan hambatan yang cukup
mengganjal. Kendala-kendala tersebut dapat digolongkan dalam dua
kelompok. Pertama yang bersifat administratif, sepanjang objek wakaf itu
menyangkut tanah, ternyata seluruh tanah wakaf itu belum semuanya
dibuatkan akta ikrar wakaf di hadapan pejabat yang berwenang16. Juga
belum semuanya didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten /Kota
setempat ( Secara hukum berarti belum ‘dilindungi’ oleh sertifikat
wakaf), bahkan kadang kadang sama sekali tidak mempunyai dokumen.
Belum lagi biaya administrasi yang merupakan kewajiban finansial untuk
melengkapi dokumen wakaf sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kedua yang bersifat non administratif seperti belum terbinanya secara
baik para fungsionaris nazhir sehingga belum atau tidak seluruh nazhir
memahami akan posisi, tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang
nazhir yang cakap, handal dan amanah Produtifitas wakaf sering tidak
dapat tercapai karena peran nazhir yang kurang berfungsi. Jikalau kita
16
Dalam Pasal 5 (1) PP-PTM disebutkan bahwa “ Pihak yang mewakafkan tanahnya harus
mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat
Akte Tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 (2) yang kemudian menuangkannya dalam
bentuk akte Ikrar Wakaf , dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi” Dalam
pasal ini dengan tegas disebutkan bahwa ikrar dan akte adalah merupakan satu keharusan. Sebagai
perbuatan hukum akan melahirkan akibat hukum.Perwakafan tanpa ikrar dan akte akibatnya tidak
sah dan batal demi hukum, kosekwensinya tidak akan dilindungi oleh hukum.
19. 19
hendak berangkat dari pedoman kerja Badan Pertanahan Nasional yang
pernah berlaku yang disebut Catur Tertib Pertanahan,17 yaitu (1) Tertib
hukum pertanahan (2) Tertib administrasi pertanahan (3) Tertib
Peruntukan dan pemanfaatan tanah, dan (4) tertib pelestarian lingkungan
hidup; nampaknya dalam kaitannya dengan masalah wakaf masih jauh
dari memuaskan .
Sedangkan problematika yang timbul dalam bentuk lain atau yang
bersifat non-administratif, berupa sengketa wakaf yang terjadi pada
hampir setiap propinsi, walaupun belum tentu dalam satu tahun terdapat
kasus sengketa yang dimaksud. Dari hasil penelitian dijumpai adanya
gugatan wakaf yang terjadi di beberapa daerah, yaitu masingt-masing satu
kasus di kota Surabaya (1956), Kota Kudus (1957) , Kota Sukabumi
(1994), Bandung (2001), Sumedang (1970), Serang (2001). Kemudian
terjadi dua kasus di Cianjur (1969 dan 1996) serta tiga kasus terjadi
Tasikmalaya (dua kasus dalam 1967 dan satu kasus dalam tahun 1968).
Dalam sebelas kasus tersebut sebagian besar terjadi antara pihak
wakif dengan nazhir, tetapi dalam hal salah satu pihak atau kedua-duanya
telah meninggal dunia, maka ahli waris merekalah yang tampil sebagai
penggugat atau tergugat. Tetapi ada juga terjadi kasus antara pihak nazhir
dengan pihak ketiga. Lebih dari separuh jumlah kasus prosesnya sampai
ke putusan kasasi, bahkan terdapat satu perkara ( Kasus Tasikmalaya III
tahun 1988 ) sampai ke tingkat peninjauan kembali (PK). Tentang
yurisprudensi yang menjadi titik berat penelitian ini akan diulas lebih jauh
dalam Bab IV – C dan D di bawah.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dan untuk
memungkinkan dilakukan penelitian, syarat utama yang harus dipenuhi
adalah penentuan perumusan masalahnya terlebih dahulu.
Kemudian yang menjadi induk permasalahan adalah mencari dan
17
Catur,artinya empat Hal ini pernah dimasukkan dalm GBHN 1978-1983 dalm pembangunan
bidang Ekonmi khususnya dalam sektor pertanahan. Salah satu persyaratan akan keberhasilan bi-
dang pertanahan adalh teciptanya empat macam tertib, yitu di bidang penegakan huku pertanahan,
20. 20
memperoleh jawaban atas sebuah pertanyaan mendasar, yaitu “Apakah
pengaturan wakaf dalam hukum positif tertulis dan dari hasil
yurisprudensi perkara sengketa perwakafan telah sejalan dengan asas-asas
Hukum Islam?”18
Selanjutnya perlu dilakukan identifikasi lebih jauh untuk
mengungkapkan pokok permasalahan seperti dikemukakan di atas, yang terdiri
dari sub-sub permasalahan sebagai berikut:
1) Apakah yang menjadi karakterisik lembaga wakaf dalam Hukum Islam dan
dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia ?
2) Apa sajakah dasar-dasar pertimbangan hukum dari hakim dalam
mengambil putusan perkara gugatan sengketa wakaf dalam Yurisprudensi
Indonesia?
3) Bagaimanakah sub-permasalahan pertama dan kedua ditinjau dari sistem
hukum nasional; sudahkah searah dengan asas-asas hukum Islam?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui :
1. Tentang karakteristik Lembaga Wakaf dalam Hukum Islam dan dalam
peraturan perundang-undangan.
2. Dasar-dasar pertimbangan hakim dalam merumuskan putusan hukum
terhadap perkara gugatan wakaf yang tercermin dalam Yurisprudensi
Indonesia.
3. Tentang pengaturan wakaf menurut Hukum Islam dan menurut peraturan-
peraturan perundang-undangan serta hasil yurisprudensi apakah telah
18
tertib adminitrasi pertanahan, tertib peruntukan tanah dan tertib kelestarian tanah dalam rangka
peng-sinkron-an dengan pelestarian lingkungan hidup.
Yang dimaksud sebagai hukum positif antara lain UUPA yo UUW, PP 28/1977 dan KHI.
Permaslahan ini timbul dari teori Efektivitas yang intinya bahwa hukum baik dan representatif
jika memenuhi unsur-unsur yang bernilai sosiologis, yuridis-filosofis, didukung aparat hukum
yang handal, tersedianya fasilitas, sarana dan prasarana yang memadai, kesadaran masyarakat
dan terdapatnya budaya hukum. Masalah Kesadaran masyarakat terhadap hukum menjadi
topik Disertasi Otje Salman dan masalah Budaya Hukum menjadi topik Pidato Pengukuhan
Guru Besarnya. Periksa juga Soerjono Soekanto, Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996, Cet. 3, hal.164 – 167
21. 21
sejalan dengan sistem hukum nasional dan asas-asas hukum Islam.
D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan pengembangan ilmu hukum terutama yang berkaitan
dengan penelitian lembaga hukum wakaf yang selama ini hanya terbatas
pada obyek wakaf berupa tanah, serta menjadi awal penelitian obyek
wakaf non tanah yang diharapkan akan dilanjutkan oleh peneliti
berikutnya.
2. Sebagai bahan masukan bagi penyempurnaan peraturan
perundang-undangan wakaf yang telah ada melalui bentuk penyusunan
aturan pelaksanaan dalam bentuk peraturan pemerintah dan bentuk lainnya
yang diperlukan.
E. Tinjauan Pustaka
Topik bahasan dalam disertasi ini mengandung tiga variabel, yaitu 1)
Hukum Wakaf menurut Hukum Islam sebagai hukum yang bersifat normatif,
2) Hukum Wakaf menurut Hukum positif tertulis atau peraturan perundang-
undangan dalam sistem hukum nasional sebagai hukum yang bersifat yuridis
formal, dan 3) Hukum Wakaf dalam Yurisprudensi Indonesia tentang perkara
sengketa perwakafan, oleh karena itu, bahan rujukan kepustakaannyapun perlu
disesuaikan dengan kebutuhan yang sesuai dengan permasalahan yang tersebut
dalam Bab I. Sub Bab B (Identifikasi dan Rumusan Permasalahan) di atas.
Untuk lebih jelas, uraian seluruh kerangka teoretis yang berkaitan
dengan bahasan penelitian ini dibagi dalam 3 (tiga) kelompok besar,yaitu :
1. Yang berkaitan dengan Hukum Wakaf berdasarkan Hukum Islam yang
mengandung mazhab-mazhab Fiqih, baik yang bersifat klasik/tradisional
maupun kontemporer/moderen. Setelah mempelajari semua rujukan yang
dipandang perlu, penulis memprioritaskan kitab-kitab Ilmu Fiqih (berbahasa
Arab) sebagai sumber utama, yang sistematikanya tersebut memuat mazhab
tertentu atau ada juga yang memuat gabungan dari beberapa mazhab. Di
22. 22
samping itu, sebagian besar tidak hanya semata-mata memuat Hukum Wakaf
saja, melainkan posisi hukum ini sebagai salah satu bab dari seluruh bab
materi Fiqih yang meliputi berbagai masalah (bersifat umum). Akan tetapi,
kitab yang khusus membahas wakaf jumlahnya relatif masih sedikit; bahkan
kadang-kadang dijadikan satu bab dengan masalah lain, misalnya wakaf
dengan wasiat atau Wakaf dengan Kewarisan. Rupanya para penulis (mazhab)
Fiqih memandang dua atau tiga bidang masalah sebagai satu kesatuan dengan
hak-hak kebendaan dari seseorang. Kalau dibandingkan dengan sistematika
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berasal dari Burgerlijk Wetboek
mengenai penempatan Hukum Wasiat dan Waris, kedua masalah ini masuk
dalam Buku II tentang Hak Kebendaan (Zakenrecht), sedangkan masalah
Wakaf tidak dikenal dalam Hukum Perdata; jika seandainya wakaf itu
diasumsikan sebagai Hibah, maka ia masuk dalam Buku Ketiga tentang
Perikatan (Verbintenis/ Agreement/ Contract
Dalam kitab Fiqih terdapat beberapa informasi mengenai seluk beluk
wakaf, antara lain dari definisi literal (harfiah) seperti kata sinonim dari wakaf
misalnya habasya, sabala dan sebagainya. Secara terminologis (istilah),
sumber pengambilan dalil-dalil yang menjadi dasar hukumnya, unsur-unsur
wakaf, persyaratan umum (wakaf) dan persyaratan dari masing-masing unsur
(wakif, obyek wakaf atau maukuf, tujuan wakaf dan peruntukan wakaf yang
lazim disebut maukuf ‘alaih, ikrar atau sighat atau ijab. Persoalan kabul atau
pernyataan penerimaan wakaf), belum lagi yang amat mendetail seperti dalam
menghadapi tidak berfungsinya benda wakaf atau tidak lagi terpenuhinya
tujuan wakaf. Persoalan jenis wakaf, yaitu ‘wakaf khairi’ dan wakaf ahli
(dzurri) dan persoalan eksistensi wakaf itu sendiri, apakah syariat wakaf itu
masih berlaku ataukah tidak. Juga tentang cara bagaimana penanganan
penyelesaian sengketa wakaf. Persoalan apakah jabatan nadzir harus orang lain
di luar pribadi wakif ( dahulu kala disebut mutawalli) Bolehkah wakif
menunjuk dirinya sendiri sebagai nadzir ?. Bagaimana mengenai wakaf ahli
dalam hal (para) penerima barang wakaf semuanya telah meninggal dunia ke
manakah nasib benda wakaf tadi. Singkatnya seribu satu masalah yang timbul
23. 23
dapat dijumpai dalam kitab-kitab yang akan disebut di bawah ini19.Mazhab
Hanafi menganggap bahwa syariat wakaf itu telah kadaluwarsa. Kalau mazhab
lain menganggap hukum wakaf itu masih eksis, ia berpendapat bahwa
hubungan hukum antara wakif sebagai (bekas) pemilik benda dengan benda
wakaf tetap masih berlangsung.ada. Kedudukan status wakaf tidak berbeda
dengan hubungan sewas menyewa (‘ariah). Dalam kitab-kitab ini sekaligus
memberikan gambaran uraian persoalan apa yang mencapai kesepakatan antar
mazhab dan persoalan lain lagi yang tetap menjadi perselisihan pendapat
dengan argumentasi mereka masing-masing.
Kitab-kitab fiqih yang memuat wakaf baik yang mandiri (khusus wakaf)
atau campuran dengan materi lain, umumnya terdiri dari empat mazhab yang
amat terkenal yaitu:
a. Mazhab Hanafi sedikitnya ada enam kitab, antara lain (1) karangan Imam
‘Ala’udin Abi Bakar ibn Mas’ud al-Kasani al-Hanafi (587 H), Badai‘u as-
Shana‘i, jilid V (Bab wakaf pada halaman 218-221); (2) Abi Muhammad
Ali ibn Muhammad Said ibn Haz (terkenal dengan Ibnu Hazm), Al-
Muhalla, jilid VI (Bab wakaf halaman 175-185), dan (3) Faisal ibn Abdul
Aziz Ali Mubarak, Bustan Al-Ahbar Mukhtasar Nailal-Authar. Kitab ini
sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Mu‘ammal Hamidy, Imran
A.M dan Umar Fanani Jiid V, (Bab Wakaf pada halaman 2000-2015).
Dalam kaitan hukum wakaf ini, mazhab Hanafi menganggap bahwa syariat
wakaf itu telah kedaluwarsa. Kalau mazhab lain menganggap hukum
wakaf itu masih eksis, Hanafi memberi catatan bahwa hubungan hukum
antara wakif sebagai (bekas) pemilik benda wakaf tetap masih
berlangsung ada.
b. Mazhab Maliki, sedikitnya ada tiga kitab, antara lain tulisan Abul Walid
Muhammad ibn Ahmad al-Qurtubi (595-H) Bidayah al-Mujtahid.
19
Kitab-kitab Fiqih yang di dalamnya memuat masalah Wakaf sebagai bahagian dari
Hukum Islam masih banyak ditulis dalam bahasa aslinya (Bahasa Arab) kecuali bagian kecil
yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Satu di antaranya yang lengkap adalah
karangan Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi dari judul asli Ahkam al-Waqf fi al-Syari’ah al-
Islamiyah, terjemahan Ahrul Sani Fathurrahman dan Kuwais Mandiri Cahaya Persada dengan
judul baru Hukum Wakaf Kajian Kontemporter Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan
Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf.
24. 24
c. Mazhab Syafi’i, kitab-kitab ini yang terbanyak bahkan puluhan jumlahnya
termasuk yang beredar di Indonesia. Antara lain karya (1) Mahmud
Mathroji, Mukhtashor Al-Muzani ‘ala Al-Um,(2) Imam Muhammad ibn
Idris asy-Syafi’i (204 H), Musnad asy-Asyafi’i wa Ikhtilafi al-Hadits,
tanpa tahun. (Bab Wakaf pada halaman 145 – 146 dan sebagainya).
Patut dicatat bahwa sebelum lahirnya KHI Departemen Agama
pernah menganjurkan kepada para hakim agama untuk membatasi
penggunaan kita-kitab Fiqih. Pembatasan itu dengan maksud agar sejauh
mungkin tercapai adanya kesatuan hukum dalam memeriksa perkara.
Kitab-kitab itu untuk digunakan sebagai rujukan pertimbangan hukum
dalam memutus perkara yang dihadapi. Kitab-kitab yang dimaksud
berjumlah tiga belas buah, yang hampir semuanya bermazhab Syafi’i, yang
populer disebut sebagai kitab : (1) Al-Bajuri, (2) Fathul-Mu’in dengan
Syarahnya, (3) Syarqawi ‘ala at-Tahrir, (4) Qalyubi/Muhalli, (5) Fathu
al-Wahab dengan Syarahnya, (6) Tuhfah, (7) Targhib al-Musytaq, (8)
Sayyid ‘Usman bin Yahya, Qawanian asy-Syar’iyah, (9) Sayyid Shadaqah
Dachlan, Qawanian asy-Syar’iyah, (10) Syamsuri Lil-Faraid, (11)
Bughyah al-Mustarsyidin, (12) Mughni al-Muhtaj, sedangkan nomor (13)
kitab Al fiqh ‘alal madzahibil arba’ah adalah kitab yang menguraikan
empat mazhab. Tersebut nomor 8 ditulis dalam bahasa Melayu (istilah
waktu itu) dengan aksara Arab.20
d. Mazhab Hanbali antara lain Muhammad Abu Zahrah (1959), Muhadlarat
fi al-Waqfi; kitab yang khusus memuat masalah Perwakafan ini terdiri dari
445 halaman.
e. Rujukan yang memuat berbagai mazhab dan
mengedepankan adanya perbandingan antar mazhab, meliputi
empaat mazhab terkenal seperti tersebut di atas, antara lain
20
Oleh kepala Biro Peradilan Agama dengan Surat Edaran Nomor B/1/735 tanggal 18 Pebruari
1958 sebagai tindak lanjut dari terbitnya PP 45 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura dengan tujuan agar keragaman pendapat
yang bersumber dari berbagai kitab Fiqih yang berbeda akan mengakibatkan beragamnya pula
putusan hakim walaupun mengenai masalah yang sama, sehingga kepastian hukum kurang
memadai. Dengan edaran ini diharapkan sejauh mungkin tercapai adanya kesatuan persepsi.
H. ABDURRAHMAN, KOMPOLASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA, AKADEMIKA
PRESINDO, JAKARTA, EDISI / CET. PERTAMA, HAL. 22
25. 25
(1) Wahbah az-Zukhaili, al-Fiqh al-Islamiyu wa Adillatuh, Jilid
VIII, Bab ini memuat bab-bab Wasiat, Wakaf dan Waris.
(Khusus tentang Wakaf pada halaman 1 – 229) dan ( 2)
Muhammad ‘Ubaid Abdullah al-Kubaisyi, Ahkam al-Waqf fi
asy-Syari’ati al-Islamiyah, terdiri dari dua jilid dan semuanya
mengenai Wakaf;
Selain rujukan-rujukan tersebut diatas ada lagi rujukan buku-buku dalam
bahasa Barat antara lain ( 1) W. Juynboll, Handleiding tot de Kennis van
De Mohammedaansche Wet (Belanda: khusus mazhab Syafi’i) masalah
Wakaf pada halaman 275- 285) dan (2) Ter Haar Bzn, Beginselen en
Stelsel van het Adatrecht yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia
oleh K.Ng. Soebakti Poesponoto dengan judul Asas-asas dan Susunan
Hukum Adat yang memuat perwakafan dari segi hukum Adat. Masalah
Wakaf terdapat dalam halaman 71, 136-138; dan (3) Mohammad
Muslehuddin, Islamic Jurisprudence and the Rule of Necessity and Need
yang didalamnnya terdapat pembahasan masalah wakaf 21; dan (4) Joseph
Schacht, An Intruktions to Islamic law, Oxford at the Clarendon Press
(Oxford University Press Ely House), London W.I, 1971.
Selanjutnya terdapat pula beberapa kitab atau buku yang memuat
juga bab-bab mengenai hukum Wakaf, misalnya Sulaiman Rasyid, Fiqih
Islam. Kitab ini memuat 15 bab, sedangkan Hukum Wakaf merupakan
salah satu bagian dari Bab VII tentang Mu’amalah yang terbagi ke dalam
bahagian-bahagian, antara lain bagian hukum jual beli, bagian sewa
menyewa dan bagian wakaf; yang disebut terakhir terletak pada halaman
330 – 335.
Sedangkan kepustakaan Wakaf mutakhir yang bersifat campuran,
diantaranya (1) Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan
Wakaf; (2) Sofyan Hasan, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf dan
21
sebagai pengarang ‘Insurance and Islamic Law’, ‘Banking and Islamic Law’, ‘Economic
and Islam’, ‘Commonwealth of Muslim Countries and The Muslim World Bank’ memberikan
sumbangan pemikiran mengenai mu’amalah atau hukum transaksi Islam sebagai bahan rujukan
yang berharga;
26. 26
sebagainya. Tetapi yang khusus membahas hukum wakaf, antara lain (1)
Uswatun Hasanah, Peranan Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan
Sosial, juga disertasi tahun 1997, (2)Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam
tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah. Ada juga bahan-bahan lain yang non
buku misalnya dalam bentuk artikel seperti yang dimuat dalam majalah
Mimbar Hukum, untuk selanjutnya disingkat MH, penerbitan Departemen
Agama; sebagai contoh tulisan yang bersifat umum dari A.Qodri Azizy,
Hukum Islam Sebagai Sumber Hukum Positif dalam Reformasi Hukum
Nasional (Nomor 54/XII/2001 halaman 73–89); Saifuddin Noorhadi, Titik
Singgung Undang-Undang Pokok Agraria dengan Hukum Islam (MH
Nomor 45/X/1999 halaman 31–40); tulisan yang bersifat khusus, dari
Abdul Gani Abdullah, Hak Tanggungan atas Tanah dan Persentuhannya
dengan Hukum Perwakafan’ (MH Nomor 41/X/1999 halaman 17–20);
serta Abdullah Gofar, ‘Nadzir dan Manajemen Pendayagunaan Tanah
Wakaf’ ( MH Nomor 41/X/1999 halaman 23-36). Ada lagi tulisan dalam
majalah resmi Mahkamah Agung ‘Suara ULDILAG’ (Singkatan dari
Urusan Lingkungan Peradilan Agama) yang lebih bersifat umum, yaitu
dari Bagir Manan, Penegakan Hukum yang Berkeadilan; H. Muchsin,
Perundang-undangan yang Memperkokoh Hukum Islam (Suara UDILAG
Edisi II,1 Juli 2003 halaman 8-14 dan 37 –51). Juga Surat Kabar
Republika edisi tanggal 30 April 2004 terdapat artikel berjudul: ‘Perlu
Rekonsepsi Fikih Wakaf’ dan artikel ‘Tanah Wakaf Perlu Sertifikat; serta
artikel tanggal 1 februari 2002’ yang berjudul Saatnya Bank Syariah
Kelola Aset Wakaf Artikel (semua tulisan oleh Tim Redaksi Republika).
2. Rujukan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan baik berupa
undang-undang, peraturan pemerintah dan keputusan para menteri (dalam
hal ini seperti Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri), langsung atau
tidak langsung berkenaan dengan masalah wakaf. Untuk mempersingkat
uraian, tentang nomor dan judul peraturan perundang-undangan tersebut
dapat dibaca dalam Bab ini sub Bab Metode Penelitian yang memperinci
adanya Data sekunder dari bahan hukum primer.
Dibawah ini disinggung juga rujukan yang secara tidak langsung ada
27. 27
hubungannya dengan masalah wakaf, namun mengingat judul disertasi ini
mencantumkan sistem hukum nasional, maka mau tidak mau penulis perlu
menyebut beberapa rujukan yang membahas sistem hukum nasional,
antara lain (1) Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam
Pembangunan. Gagasan-gagasan yang diawali sejak tahun 1970an ini
terbit kembali dalam edisi yang memuat 5 bab; (2) Busthanul Arifin,
Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional22 dan dalam buku-
bukunya yang lain, dan (3) Muhammad Daud Ali beserta Habibah Daud,
Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, yang mengemukakan beberapa
prinsip gagasan mengenai pembangunan sistem hukum nasional, juga
peran dan sumbangan sistem hukum Islam dinilai amat penting akan tetapi
tetap dalam kerangka dan koridor kenasionalan. Realisasi hukum nasional
termasuk bidang peradilannya dalam konteks Sistem Hukum Nasional
merupakan perjuangan yang panjang23 (3) H. Ichtijanto dalam Hukum
Islam dan Hukum Nasional, ia mengingatkan tentang adanya sisi-sisa
pengaruh hukum kolonial pra kemerdekaan yang hingga kini belum lenyap
sama sekali terutama sikap terhadap Hukum Islam. Padahal Hukum Islam
mempunyai peran yang tidak kecil bagi pembentukan hukum nasional,
disamping Hukum Islam juga berfungsi menyaring pengaruh hukum lain
(hukum Adat dan sisa-sisa hukum Barat) yang kadang-kadang tidak sesuai
dengan cita-cita dan kesadaran batin manusia Indonesia;
3. Yurisprudensi perkara sengketa wakaf dan bahan rujukan
pendukungnya,antara lain: (1) Yayasan Al-Hikmah & Departemen
Agama, Yurisprudensi (Peradilan Agama) & Analisa, perkara perwakafan
pada halaman 733 – 786, (2) M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan
dan Acara Peradilan Agama (Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989), dan
(3) Mahkamah Agung R.I., Masalah Hukum dan Peradilan Agama;
Bahan-bahan hukum kelompok ketiga tersebut berisi hasil putusan
22
Busthanul Arifin, mantan Ketua Muda Mahkamah Agung bidang Peradilan Agama mendapat
anugerah penghargaan sebagai Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Agama Islam dari IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 Desember 1993 atas usul PP Ikatan Hakim Agama (IKA-
HA). Pidato pengukuhannya berjudul Eksistensi, Konsolidasi dan Akltualisasi Pengadilan Agama.
Acara itu berlangsung di baawah wibawa promotor Harun Nasution (Rektor IAIN waktu itu).
Sebelumnya, ia telah dikukuhkan sebagai guru besar luar biasa pada tahun 1980.juga di IAIN.
23
28. 28
badan-badan peradilan di lingkungan peradilan umum dan lingkungan
peradilan agama, khususnya yang memeriksa dan mengadili sengketa wakaf
baik yang terjadi di zaman penjajahan Hindia Belanda maupun pasca
kemerdekaan. Kalau diperinci lagi perkara yang terjadi sebelum
terbentuknya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama; tepatnya sejak tahun 1937 diperiksa di peradilan umum padahal
sebelumnya menjadi wewenang peradilan agama. Aturan hukum mengenai
acara perdata juga dianalisis terhadap putusan-putusan peradilan yang
dilakukan oleh para ahli hukum melalui tulisan ilmiahnya, yang di sana-sini
merupakan kekayaan sumber hukum nasional yang pada gilirannya dapat
menjadi sumbangan yang berharga bagi pembinaan sistem hukum Islam
khususnya dalam perspektif sistem hukum nasional pada umumnya.
F. Kerangka Pemikiran
1. Hukum Positif dan Hukum Islam Sebagai Kerangka Pertama
Pengaturan tentang wakaf yang kini menjadi Hukum Positif
(Tertulis) tidak lepas dari pengaruh Hukum Islam, karena dari sanalah
konsep Perwakafan ini muncul pada hampir 15 abad yang lalu. Pada intinya
dalam Sub Bab F (kerangka pemikiran), peneliti akan memberikan
diskripsi mengenai dasar-dasar berpikir atau pola pemikiran (basic’s of
thinking atau pattern of thinking) tertentu yang berangkat dari penentuan
judul sebagai ‘terminal awal’, menghampiri semua pertanyaan-pertanyaan
atau permasalahan-permasalahan sebagai ‘terminal transit’ hingga sampai
kesimpulan24 pembahasan sebagai ‘terminal akhir’. Sudah barang tentu
harus menggunakan metodologi penelitian seakan-akan berfungsi sebagai
‘rute-rute perjalanan panjang’ yang harus dilaluinya.
Dalam penelitian ini, terutama mengeni uraian tentang kerangka
pemikirannya diawali dan berangkat dari pesan Filosof Yunani
Demothenes yang tertuju kepada para jury (hakim) Athena. Ia memberi
24
Terdapat perbedaan antara kata soal, masalah dan natijah. Masalah itu bukan as’ilah,
jamak dari su’al, dari akar kata sa’ala, yang kemudian menjadi Bahasa Indonesia ‘soal’
(pertanyaan), istilah lain dari kata kesimpulan adalah conclusion, result, product, effect (dalam
Bahasa Arab: Natijah), artinya secara harfiah adalah kesimpulan, hasil atau akibat.
29. 29
petunjuk nasehat dan peringatan (exhortation)25 agar para juri sebelum
mereka memulai melaksanakan tugas ke’yuri’annya memegang teguh
empat hal, yaitu:
“Men ought to obey the law for four reasons: because laws were
prescribed by God, because were a tradition tought by wise men
who knew the good old customs, because were deduction from a
eternal and immutable moral code and because they were
agreement of men with each other binding them because of moral
duty to keep their promises.“ 26
Dapat dikatakan ungkapan di atas menjelaskan apa yang dinamakan
‘Hukum’ serta menjawab mengapa seseorang itu diharuskan menaati
hukum.
Mengingat yang sedang dibicarakan itu mengenai masalah hukum,
maka yang dimaksud dengan Kerangka Pemikiran adalah pemikiran dalam
kaitannya dengan penelitian disertasi ini yang mengambil topik
permasalahan yang berfokus pada lembaga hukum wakaf.
Untuk memungkinkan tersedianya landasan yang kuat atau pangkal
bahasan yang tepat, terlebih dahulu dikemukakan apa yang dimaksud dengan
berpikir yuridis.27 Berpikir yuridis adalah metode berpikir yang digunakan
untuk memperoleh, menata, memahami dan mengaplikasikan pengetahuan
hukum; sedangkan model berpikirnya adalah model berpikir problematis
tersistemisasi untuk menjamin stabilitas dan prediktabilitas dengan mengacu
pada : (a) tujuan hukum, (b) fungsi hukum, dan (c) cita hukum. Sekali lagi
ditegaskan bahwa dengan melalui proses penalaran ini akan dapat menjawab
rangkaian pertanyaan apa yang sebenarnya (telah) terjadi, atau apa
sebenarnya masalah yang dihadapi, siapa-siapa pelakunya, apa yang menjadi
hak dan kewajiban masing-masing pihak, segala sesuatu tadi didasarkan pada
penalaran hukum. Penalaran hukum tiada lain merupakan proses menalar
25
Echols John M. & Hassan Shadily menterjemahkan ‘Exhortation’ dalam dua arti yaitu
nasehat/ peringatan atau desakan (Op.cit., hal.,224); jika digunakan istilah bahasa daerah
(Jawa) mungkin tepat disebut ‘weling mawant-wanti’.
26
Roscoe Pound, An Introduction to Philosophy of Law, Yale University, New Haven,
1961, second printing, hal. 5
27
Henket, M, Penalaran Hukum dan Teori Argumentasi & Hukum, Terjemahkan Arief
Sidharta, (diktat) untuk bahan kuliah di lingkungan Fakultas Hukum UNPAR, Laboratorium
Hukum UNPAR, Bandung, 2004.
30. 30
berdasarkan (dalam kerangka) hukum positif dan di samping itu dalam
memecahkan problimatika hukum khususnya dalam forum peradilan,
sekaligus merupakan proses penggunaan alasan-alasan (legal reasons) dalam
menetapkan sikap atau pendirian yang dirumuskan dalam putusan hukum.
Tentu saja apa yang diuraikan di atas semata-mata sebagai refleksi dari
aktivitas akal budi untuk memahami pengetahuan hukum yang tak terlepas dari
usaha penguasaan intelektual yang obyeknya hukum; yaitu pemahaman yang
dilaksanakan secara ilmiah, metodikal, rasional, sistematikal dan legal. Namun
terdapat 3 faktor yang tak dapat diabaikan, yaitu: (a) faktor-faktor yang berjalin
bekelindan antar faktor yang berada pada tataran filosofis (filsafat hukum), (b)
faktor yang berada pada tataran konsepsional (teori hukum), dan (c) tataran
hukum positif yang dirangkum dalam Ilmu Hukum. Tiga tataran ini dapat
dilukiskan (divisual)kan seperti garis segi tiga dengan yang runcing berada di
atas. Garis datar sebagai hukum positif yang menaik melalui garis-garis (teori
hukum), sehingga tampak bahwa tiga faktor itu mengerucut dan berpuncak
pada aspek filosofis (filsafat hukum).
Klasifikasi hukum (akan) selalu tampil dalam wajah (hukum) normatif
dan wajah (hukum) empiris. Wajah normatif sebagai sesuatu yang konseptual
yang harus diuji pada ranah praktikal, sedang wajah empiris selalu berimbangan
dengan yang normatif, sebagai sesuatu realitas yang terdapat pada kenyataan
sikap dan perilaku masyarakat, baik yang bersama-sama berjalan secara paralel
(searah) atau mungkin sebaliknya. Dapat disingkat yang pertama bersifat
abstrak dan yang kedua bersifat konkret. Dengan pendekatan sejumlah teori
tersebut di atas akan dapat digali kandungan topik disertasi tentang perwakafan
ini, baik itu berupa nilai-nilai, asas-asas maupun norma/aturan/kaidah.
Dalam mencermati fungsi hukum sebagai sarana pembangunan dan
perubahan masyarakat, maka penerapan hukum (termasuk hukum wakaf)
tidak hanya bersifat konvensional belaka,( tercapainya fungsi ketertiban dan
keadilan) melainkan juga sebagai sarana pengawasan (control) masyarakat.
Demikian pula mengenai makna dan relevansi uraian di atas dengan tiga
permasalahan yang dikemukakan dalam disertasi (Bab I Pendahuluan sub
bab B tentang rumusan masalah) ini.
31. 31
Persoalan pertama mempermasalahkan apa yang menjadi indikator
dan karakteristik lembaga hukum wakaf. Indikasi ini tercermin dalam
rumusan pengertian wakaf yang tertuang dalam Pasal 1 (1) PP 28/ 1977,
Pasal 251 (1) KHI dan terakhir Pasal 1 (1) UU W 2004 yang rumusannya
mirip satu sama lain. Intinya mengandung hal-hal yang esensial, seperti
adanya komponen-komponen yang menentukan keabsahan wakaf, yaitu (1)
Adanya perbuatan hukum memisahkan, menyerahkan dan melembagakan
sesuatu benda untuk selama-lamanya atau untuk jangka waktu tertentu; (2)
adanya subyek hukum, dalam arti seseorang, organisasi atau badan hukum;
(3) mengenai obyek hukum, berupa harta benda bergerak atau benda tidak
bergerak (sepeti tanah milik, uang dan sebagainya) (4) peruntukan dan
tujuan wakaf, yaitu untuk kepentingan peribadatan atau keperluan
(kesejahteraan) umum yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Berwakaf ditinjau dari hukum Islam termasuk kategori interaksi
anggota masyarakat (mu’amalah) yang hukumnya sunnah, yang menurut
kesepakatan ahli Hukum Islam (Fiqih) mempuyai 4 (empat) unsur juga
yang menjadi sumber pengambilan rumusan hukum positif tersebut,
walaupun dengan istilah yang berbeda, yaitu : (1) Wakif, (2) Obyek wakaf,
sebagai benda (‘ain) disebut Maukuf (dari Mauquf,lengkapnya Mauquf
bihi atau Mauquf bih); (3) Tujuan dan peruntukan wakaf, disebut Maukuf
‘alaih (dari Mauquf ‘alaihi);dan (4) Pernyataan (ikrar) wakaf, atau
istilah yang sinonim (muradif) yaitu Sighat.
Dalam proses perkembangan hukum positif dan diikuti oleh praktik
wakaf selanjutnya, ternyata 4 (empat) unsur seperti diuraikan di atas tidak
memenuhi kebutuhan (hukum) masyarakat sebagai akibat dinamika zaman
yang semaikin modern. Dalam hal ini pelengkapnya adalah unsur nazhir
yang akan mengelola wakaf baik menyangkut tugas administratif dan tugas
operasional, agar harta benda wakaf dapat lebih meningkat
produktifitasnya. Menurut pendapat penulis mengenai unsur keenam
(masalah jangka waktu ) yang menurut Pasal (6) UUW lebih tepat
dimasukkan sebagai persyaratan seperti halnya kehadiran saksi-saksi; dua-
duanya sebagai pelengkap persyaratan yang melekat pada Ikrar Wakaf;
32. 32
sudah barang tentu saksi yang memenuhi syarat; jumlah saksi setidak-
tidaknya terdiri dari dua orang (Pasal 5 (1) PP. 28/1977 yuncto Pasal 9 (4)
PP 28/1977 yuncto Peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1978 tentang
Peraturan Pelaksanaan PP Nomor 28/1977, selanjutnya disingkat dengan
PMAg Nomor 1/1978).
Unsur ikrar dapat juga disebut unsur Ijab dan Kabul (kabul ini dalam
Fiqih semula bersifat pro memori). Jadi tidak cukup adanya pernyataan
sepihak atau ikrar lisan saja, akan tetapi harus dituangkan dalam bentuk
tulisan yang modelnya telah dibakukan (Pasal 5 [1] yuncto Peraturan
Menteri Agama Nomor 1 tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP
Nomor 28/1977 yang dalam Pasal 2 [1] berbunyi “Ikrar wakaf dilakukan
secara tertulis”).
Perlu dijelaskan bahwa penggunaan istilah Ikrar (Arab: Iqrar, kata
masdar dari kata kerja aqarra) artinya mengaku atau menyatakan. Jadi, Iqrar
artinya pengakuan atau pernyataan. Bandingkan dengan kata masdar taqrir
(yang sinonim dengan tatsbit dari tsabata) berasal dari karta kerja qarrara,
yuqarriru (artinya menetapkan), taqrir (artinya penetapan atau ketetapan),
selanjutnya Maqrur (artinya yang ditetapkan) mengindikasikan bahwa
perbuatan itu adalah (boleh) bersifat sepihak dan dalam hal ini tidak
mengharuskan kehadiran pihak yang menerima ikrar atau yang disebut kabul.28
2. Yurisprudensi Perkara Sengketa Wakaf Sebagai Kerangka Kedua
Permasalahan kedua adalah apa yang menjadi dasar-dasar
28
Memang secara tersurat dan kongkrit tak dijelaskan secara tegas akan halnya Kabul
(Arab Qabul, arti harfiahnya: penerimaan; semula dari kata kerja qabila/taqabbala sinonim
dengan akhadza artinya menerima atau mengambil, dapat juga dari qabala = menetapi seperti
menetapi waktu atau qabbala = mencium, al-qublah = ciuman atau kecupan, istaqbala =
menghadap,atau qubul/qub=alat kelamin wanita, qiblat/qiblah suatu titik yang menjadi
arah hadapan sholat, atau qabilah = kabilah atau suku/etnis, karena adanya Kabul itu sebagai
akibat adanya (sebab). Ijab (Arab: dari Ajaba arti harfiahnya memenuhi, Ijabah artinya balasan
atau jawaban yang sinonim dengan kata jawab). Dua kata itu itu adalah berimbalan atau
berimbangan sebagai kata yang bersifat berpasangan, misalnya kata ‘memberi’ pasangannya
kata ‘menerima’ dsb.nya. Namun secara tata bahasa terdapat kerancuan makna, yang semula
kata ijab berarti menjawab dan membalas bergeser artinya menjadi memberi yang berimbalan
dengan menerima (kabul), walaupun asal muasalnya berkonotasi makna yang sama, misalnya
‘permohonan dikabulkan searti dengan doanya diijabahi.(dari kata ijab). Tetapi ternyata telah
‘terlanjur’ menjadi bahasa remi misalnya dalam acara aqad nikah perkawinan tentang
keabsahan sahnya perkawinan harus ada unsur ijab (pernyataan dalam arti penyerahan dari
pihak wali mempelai perempuan kepada mempelai laki-laki) dan kabul (penerimaan dari
mempelai laki-laki).
33. 33
pertimbangan hakim dalam merumuskan solusi hukum, sebagai bentuk
putusan yang mengikat dalam rangka usaha menemukan produk
penyelesain hukum terhadap sengketa wakaf yang dihadapinya.
Masalah ini tak terlepas dari hukum acara, karena yang dibahas
adalah sesatu yang berada dalam lingkup hukum acara, terutama proses
peradilan yang akan melakukan pemeriksaan dan memberi putusan yang
seadil-adilnya sejak pemeriksaan tingkat pertama, tingkat kedua (banding)
hingga ke kasasi ke Mahkamah Agung.
Berbicara mengenai yurisprudensi dapat dikatakan bahwa hal ini
agaknya dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain filsafat hukum dan
aliran-aliran hukum mana yang dianut, politik hukum yang akan
menentukan corak peradilan sesuai dengan kebijakan (policy) penguasa
yang memerintah dalam periode tertentu, dan juga faktor sejarah hukum
yang meliputi praktek dan perjalanan suatu peradilan dari masa ke masa.
Hal-hal tersebut yang akan menetukan atau setidak-tidaknya amat
mempengaruhi penerapan hukum materiil dan hukum formil pada periode-
periode tertentu.
Untuk menjawab pertanyaan di atas diperlukan terlebih dahulu
penelusuran yang saksama mengenai beberapa hal, misalnya faktor-faktor
yang mempengaruhi dasar-dasar pertimbangan yang diambil oleh hakim
dalam menetapkan keputusannya terhadap perkara sengketa perwakafan.
Hal itu antara lain disebabkan oleh :
a. Pengaruh berbagai aliran filsafat hukum. Secara garis besar dunia
peradilan dipengaruhi oleh dua aliran filsafat hukum yang berbeda.
Pertama, aliran Positivisme Hukum29 termasuk Legisme yang intinya
bahwa hukum itu identik dengan undang-undang, seakan-akan tak ada
29
Dardji Darmodihardjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia, Jakarta,
2002, Cet. Ke IV, hal.114-115, baca juga Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar
Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002, Cet.III, hal 55-56. Perhatikan juga Edgar
Bodenheimer, Jurisprudence The Philosophy & Method of The Law, Harvard University Press,
Cambridge, 1970, Cet.III, hal. 89 -100. Austin pertama-tama membedakan hukum dalam dua
jenis yaitu : a) Hukum dari Tuhan yang dibuat untuk manusia (The Divine of Law) dan b)
hukum yang dibuat oleh manusia; yang pada berikutnya terdiri dari dua golongan, yaitu : a)
hukum yang sebenarnya, dan b) hukum yang tidak sebenarnya. Yang disebut a) juga disebut
sebagai Hukum Positif yang meliputi emnpat unsur, yaitu (a) perintah (command), (b) sanksi
(sanction), (c) kewajiban (duty),dan (d) kedaulatan (souveregnity).
34. 34
hukum di luar undang-undang. Kedudukan dan fungsi hakim sekedar
corong undang-undang belaka. Aliran ini merupakan aliran yang
terkenal dengan nama Civil Law System atau Sistem Hukum
Kontinental. Sistem hukum ini disebut Civil Law karena dari
bermacam cabang hukum yang ada di zaman Romawi kuno (abad VI
semasa Kaisar Justitianus berkuasa,) cabang hukum perdata (private
law atau civil law) yaitu hukum yang mengatur hubungan antar
individu di dalam masyarakat, yang pertama tumbuh dan paling pesat
perkembangannya. Civil Law dikenal sebagai law created by the
enactment of legislatures. Salah satu kebanggaan dari sistem ini adalah
produk kodifikasinya yang mempunyai 4 (empat) macam ciri, yaitu :
• the law be written essentially in the form of statutes, rather than in
the form of court opinion;
• the provisions of the code be drafted and arranged systematically ;
• the code be dealt with by courts and subsequent legislatures in
unified qfashion ;
• the code be constructered by experts rather than lay persons30
Yang kedua dipengaruhi oleh aliran (American) Sociological
Jurisprudence yang berpegang pada “law as it is decided by judges
through judicial processes” yang bertolak dari pandangan bahwa
hukum adalah ‘apa yang diputuskan oleh hakim in concreto’;
berorientasi pada ‘behavioral’ dan sosiologis, menggunakan metode
doktrinal dan non-doktrinal dengan perangkat atau sarana Logika
Induktif.31 Aliran ini hidup dengan subur dan berkembang di dunia
hukum Anglo Saxon yang terkenal dengan sistem Common law. Istilah
‘Common law’ berasal dari ‘common-ley’ (Perancis), artinya adat
kebiasaan (customs) yang bersifat umum, bukanlah adat kebiasaan
lokal. Sistem ini menganut pendirian bahwa yurisprudensilah sumber
hukum yang utama. Sejarah singkat lahirnya sistem ini bahwasanya
pada abad ke-11 adat kebiasaan di bidang hukum belum terbentuk
30
Firdinand Stone, A Primer on Codification, 1955 dalam Kapita Selekta Perbandingan
Hukum Bisnis, kuliah dari Johannes Gunawan pada Program Pasca Sarjana (Magister Hukum)
UNPAR th.1999.
31
B.Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,
2000, Cet.2 hal. 158
35. 35
secara konkret, sehingga setiap ada perkara yang diperiksa dan
ditangani oleh Pengadilan setempat (country/ hundreds courts)
diselesaikan berdasarkan hukum adat (kebiasaan) lokal. Akibat dari
putusan ini membawa kepastian hukum pada tingkat yang amat rendah.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman itulah maka sejak abad ke-19
dengan tujuan agar kepastian hukum menjadi meningkat, mulailah asas
hukum The Rule of Precedent dijadikan pedoman pokok. Selain istilah
The Rule of Precedent ada istilah lain lagi yaitu Stare Decisis yang
berarti to stand by (previous) decisions (berpegang pada putusan yang
telah diambil sebelumnya). Dari himpunan berbagai putusan hakim
itulah lama kelamaan terbentuk hukum (terkenal dengan semboyan
Judge-made Law). Dengan demikian, dalam sistem Common Law
hakim mempunyai peran untuk menerapkan hukum (rechts
toepassing), dan membuat hukum (judge made law).
Dalam Common law tak dikenal perbedaan antara hukum perdata
dengan hukum publik, kemudian berkembang dengan apa yang mirip
dengan perbedaan Common law dengan Equity (law). Seperti diketahui
bahwa dalam hukum perdata amat menekankan kebenaran formal
belaka, sehingga kebenaran material yang berinti pada keadilan yang
sejati menjadi terabaikan. Oleh sebab itu untuk menghindari
ketimpangan ini, maka di negara Inggris dibentuklah apa yang disebut
sebagai The High Court of Chancery (sebuah pengadilan tinggi yang
menerapkan asas Equity pada hukum dalam rangka mewujudkan
keadilan seperti pada tujuan hukum publik)32. Sekali lagi semboyannya
yaitu Judgment made law; terkenal dengan Common Law System atau
Hukum Anglo Saxon.33
32
Equity adalah : is that system of justice which was developed in and administreted by
the High Court of Chancery in England in the extraordinary jurisdiction etc. (Garner Bryan
A., Black’s Law Dictionary, Book 1Edisi ke 7, West Group, St. Paul, Minn., 1999, hal. 560)
Di tempat lain disebut Equity adalah Justice administreted according to fairness as
contrasted with the strictly formulated rules of common law. It is based on a system of rules of
principles which originated in England as in alternative to the harsh rules of common law
which were based on what was fair in a particular situation. etc. (Garnrr Bryan A., Ibid, hal.
561)
33
Dardji Darmodihartdjo dan Shidarta, Ibid, hal.27 – 131. Lihat juga Edgar
Bodenheimer, Ibid hal. 103-110.
36. 36
Bagi Indonesia sebagai negara yang sedang dalam proses mencari
identitas sistem hukum nasionalnya serta membenahi tatanan hukum
nasional menerima pengaruh dari kedua aliran hukum; walaupun dari
sudut proses sejarah hukum, sebagai bekas daerah jajahan Belanda.
mula-mula amat dipengaruhi hukum kontinental . Belanda yang semula
menerima pengaruh hukum Perancis memberlakukan asas konkordansi
bagi Indonesia. Kalau dilihat ketentuan yang terdapat dalam Pasal 14
Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman beserta Penjelasannya, bahwa
pengadilan (baca Hakim) wajib melakukan pemeriksaan dan mengadili
perkara apapun juga. Artinya sama sekali tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadilinya dengan dalih bahwa hukum yang
mengatur kurang atau tidak jelas ataupun belum ada pengaturannya.
Dalam hal ini hakim selaku institusi peradilan, dianggap (selalu)
memahami hukum (apapun), karenanya ia wajib memenuhi pencari
keadilan yang datang kepadanya. Seandainya sesuatu perbuatan atau
ketentuan itu belum diatur dalam hukum positif tertulis, ia wajib
mencari, menggali dan menemukan hukumnya kendatipun dari hukum
tidak tertulis, semata-mata demi menjaga wibawa hukum dan tanggung
jawabnya kepada Tuhan, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara.
Dengan demikian maka apa yang kita saksikan pada dewasa ini di
berbagai negara telah terjadi pendekatan satu sama lain antara Sistem
Hukum Kontinental (Civil Law System) dengan Sistem Hukum Anglo
Saxon (Common Law System), misalnya di Amerika Serikat terdapat
United States Code (US Code), juga di Inggris terdapat The Bill of
Exchange Act (1882) dan The Sales of Goods Act (1893). Tegasnya di
negara-negara penganut Civil Law terdapat kecenderungan untuk
menggunakan putusan hakim (yurisprudensi/ case law) sebagai sumber
hukum, sebaliknya di negara penganut Common Law terdapat
kecenderungan yang sama untuk mengkompilasi putusan hakim dan
kemudian menyusunnya sebagai sebuah sistem peraturan yang mirip
37. 37
dengan kodifikasi.34 Negara-negara yang dahulu di bawah pengaruh
Inggris, seperti Mesir dan Syria telah menerbitkan undang-undang
wakaf berdasarkan Hukum Islam; misalnya untuk Mesir dengan
Undang-undang Nomor 48 tahun 1946 tentang Perwakafan, kemudian
dengan Undang-undang Nomor 180 tahun 1952 ditentukan penghapusan
wakaf ahli (wakaf keluarga) sebagai bentuk wakaf khusus, dan undang-
undang berikutnya bersifat penyempurnaan aturan wakaf. Contoh lain
adalah undang-undang yang dibuat oleh Yordania, yaitu Undang-
Undang Nomor 26 tahun 1966 juga tentang Perwakafan. Di Srilangka,
Pemerintah Inggris sewaktu masih berkuasa di situ telah mengeluarkan
sebuah ordonansi (setingkat dengan undang-undang) Nomor 31 tahun
1931 dan menunjuk pengadilan distrik sebagai peradilan yang
mempunyai wewenang untuk memeriksa dan mengadili masalah wakaf.
Lembaga peradilan ini didirikan sejak tahun 1956 setelah didirikan
Mahkamah (Pengadilan) Syari’ah, yang berwenang memeriksa dan
mengadili urusan sengketa wakaf yang selanjutnya dialihkan dari
pengadilan distrik ke pengadilan syari’ah yang telah dibentuk.35
b. Sistem hukum yang berlaku untuk kasus wakaf adalah sistem hukum
yang digunakan untuk memeriksa dan memberikan putusan perkara
gugatan wakaf; sisem hukum inilah yang menentukan macam
peradilannya.
Mengingat kebijakan negara kita yang menganut pluralisme hukum
di samping tetap memegang cita-cita unifikasi hukum, maka sistem
hukum yang berlaku amat tergantung pada politik hukum pemerintah
yang sedang memegang kendali kekuasaan. Hukum Wakafpun sebagai
bagian Hukum Islam mengalami pasang surut yang secara garis besar
mula-mula diperlakukan sistem Hukum Islam, tetapi sejak tahun 1937
(masih pada pemerintahan Hindia Belanda) diperlakukan Hukum Adat
34
Johannes Gunawan, Perbandingan Hukum Bisnis, Program Pasca Sarjana UNPAR,
Bandung 1999, tidak dipublikasi/terbitkankan, hal. 8
35
Uswatun Hasanah, Peranan Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial, Disertasi di IAIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1997, belum diterbitkan, hal.88-91, 107-108, dan 119
38. 38
yang menerima resepsi dari Hukum Islam36. Barulah sejak tahun 1989
berlaku sepenuhnya Sistem Hukum Islam. Ini terlihat dan tampak jelas
dalam uraian dasar-dasar pertimbangan dan rumusan putusan hakim
sebelum Undang-undang Peradilan Agama (1989) berlaku maupun
sesudahnya. Hal ini akan diuraikan secara luas dalam Bab III dan Bab
IV di bawah ini.
c. Sistem peradilan yang berwenang memeriksa kasus wakaf.
Lembaga peradilan apa yang berwenang (mempunyai competentie van
bevoegsheid) memeriksa sengketa wakaf ?
Selanjutnya kriteria-kriteria yang bagaimana yang digunakan
dalam menunjuk hakim yang dipandang memenuhi persyaratan tertentu
dan mampu memeriksa dan menyelesaikan perkara wakaf ?
Dalam kaitan ini sejalan dengan uraian dalam menjawab
permasalahan kedua, dapatlah dikatakan bahwa lembaga peradilan
yang menanganinya pun tergantung pada sistem hukum (khususnya
yang berhubungan sistem peradilan) yang diperlakukan untuk
menyelesaikan perkara wakaf ini.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa sejak masuknya Agama
Islam jauh sebelum kedatangan koloni Belanda ke Indonesia, lepas dari
bentuk peradilannya, masalah wakaf masuk kompetensi institusi
Peradilan Agama, sampai munculnya ketentuan-ketentuan baru yang
dibuat oleh penguasa Belanda. Keanekaragaman peradilan di Indonesia
nampaknya membuat hukum wakaf menjadi terabaikan. Sebelum
berlakunya Undang-undang Peradilan Agama yang definitif sejak
1989, maka Peradilan Agama di Indonesia dinyatakan berwenang
mengadili perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf dan
shadaqah.
G. Metoda Penelitian
Berkenaan dengan fokus penelitian mengenai Lembaga Hukum Wakaf
36
Ketentuan pembatasan ini hanya berlaku di Jawa dan Madura, sedangkan di luar Jawa dan Madura
kewenangan peradilan agama termasuk pemeriksaan wakaf masih seperti yang dulu.
39. 39
yang bersumber dari Hukum Islam dan yang pengaturannya telah
ditetapkan dalam Hukum Agraria, Undang-Undang Pokok Agraria dan
semua peraturan pelaksanaannya) serta Hukum Islam (hukum posif
tertulis, seperti Kompilasi Hukum Islam 1991, Undang-undang tentang
Peradilan Agama dan sebagainya), maka metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif melalui pendekatan yuridis
kualitatif37 dengan menggunakan bantuan bahan-bahan di samping
Yuridis juga non yuridis. Atau kalau disingkat menjadi metode
penelitian yuridis kualitatif.
Untuk membedakan penelitian yuridis normatif dengan penelitian
yuridis kualitatif, perlu dijelaskan bahwa yang disebut pertama adalah sebuah
metode penelitian yang hanya meletakkan rumusan ketentuan hukum semata,
tanpa mencari makna normatif dari sisi lain yakni makna yang terkandung di
dalamnya secara kualitatif. Metode penelitian yuridis normatif ini adalah suatu
cara untuk mencari makna yuridis yang ada pada sistim ketentuan hukum.
Yang ditempuh menurut pola yuridis normatif hanya cenderung pada pendapat
pelaku analisa, dan tidak memperdulikan atau bahkan cenderung
menyampingkan pendapat orang lain yang terletak di luar diri pembuat
analisa, sekalipun pendapat orang lain itu digunakan juga sebagai
perbandingan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam metode yuridis
analisis normatif ini cenderung bersifat subyektif. Dapat pula dijelaskan
bahwa pendekatan yuridis normatif ini mengandung arti perlu memperhatikan
5 faktor yaitu teori interpretasi (penfsiran) hukum, konstruksi hukum, filsafat
hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum.
Sebaliknya metode penelitian yuridis kualitatif berusaha mencari makna
normatif dari suatu ketentuan hukum tidak didasarkan pada ketentuan tertentu
atau ketentuan yang tertuang dalam naskah (teks) belaka, melainkan
menempatkan pendapat pelaku analisis sebagai hal yang tidak dominan.
Dengan demikian seorang penganalisis menempatkan pendapat analisisnya
perbedaan antara penelitian kualitatif dengan penelitian kuantitatif dalam bidang ilmu sosial yang
dibuat dalam bentuk sebuah tabel.