Sistem operasi adalah program yang bertindak sebagai perantara antara user de...
Policy Brief perhutanan sosial
1. Jl. Parit Haji Husin II Komplek Permata Paris No. A10, Kelurahan Bangka Belitung Darat, Kota
Pontianak, Kalimantan Barat. Telp/Fax.0561-746584
Email :jariborbar@yahoo.com /sekretariatwilayah@jariborneo.org
Website: jariborneo.org, Facebook :http://www.facebook.com/jariborneobarat
P O L I C Y B R I E F
URGENSI ANGGARAN
DAERAH UNTUK
MENURUNKAN ANGKA
DEFORESTRASI DAN
PENCAPAIAN TARGET
PERHUTANAN SOSIAL DI
KALBAR
URGENSI ANGGARAN
DAERAH UNTUK
MENURUNKAN ANGKA
DEFORESTRASI DAN
PENCAPAIAN TARGET
PERHUTANAN SOSIAL DI
KALBAR
RPJMN 2015-2019 menargetkan perhutanan sosial di
Kalimantan Barat seluas 2,1 juta hektar. Banyak studi yang
menunjukan manfaat perhutanan sosial, seperti terjaganya
kelestarian dan keberlangsungan manfaat
hutan melalui pemanfaatan Hasil Hutan
Bukan Kayu dan Jasa Lingkungan,
Penambahan stok karbon. Melalui
perhutanan sosial, pemerintah tidak perlu
mengalokasikan belanja untuk rehabilitasi
hutan dan lahan, mengingat pengelolaan
perhutanan sosial oleh masyarakat,
dengan mengedepankan kearifan lokal,
dapat menjaga kelestarian fungsi
kawasan.
Pentingnya perhutanan sosial juga
berdampak langsung pada peningkatan
kualitas hidup masyarakat sekitar hutan.
Hal ini cukup beralasan ketika sebagian
besar manfaat hutan hanya dinikmati oleh
pihak lain diluar masyarakat sekitar hutan.
Padahal, pola dan karakteristik hidup
masyarakat sekitar hutan memiliki
ketergantungan tinggi terhadap hutan.
Banyak studi yang menunjukkan manfaat
ekonomi secara signifikan yang dihasilkan
melalui pengelolaan perhutanan sosial.
Semisal, Hasil studi Siti Zunariyah (2002)
yang menunjukkan bahwa pengelolaan
Hutan Desa di Kab. Kulon Progo yang
menunjukkan Net Percent Value (NPV)1
pada pengelolaan di Hutan Produksi
berkisar 2,1 juta per hektar per tahun
hingga 9,3 juta per hektar per tahun.
Sedangkan pengelolaan pada Hutan
Lindung memiliki NPV sebesar 436 ribu
per hektar per tahun hingga 3,4 juta per hektar per tahun.
Pada studi yang lain, (Motoku dkk, 2014) menunjukkan
bahwa pengelolaan Hutan mangrove di Sulawesi Tengah
memiliki manfaat ekonomi lebih dari 1 milyar per tahun
dikawasan seluas 230 hektar.
Keberadaan perhutanan sosial merupakan upaya
optimalisasi potensi hutan untuk dikelola
secara arif dan lestari. Untuk mendukung
pencapaian tujuan nasional, maka penting
bagi tiap daerah, termasuklah Kalimantan
Barat, untuk meninjau ulang pelaksanaan
pembangunan disektor kehutanan.
Beranjak dari banyaknya manfaat
pengelolaan hutan oleh masyarakat, JARI dan
kalangan masyarakat sipil lainnya
berpandangan bahwa pengelolaan hutan yang
lestari dan berkelanjutan tidak dapat lagi
disandarkan pada kekuatan swasta yang
selama ini terbukti secara dominan telah
menghasilkan kerusakan hutan yang parah
akibat dari konsep developmentalism yang
tidak terkontrol. Karena itu sudah saatnya,
pengelolaan hutan diberikan ruang yang
seluasnya kepada masyarakat untuk
mendapatkan akses dan hak untuk mengelola
hutan yang selama ini dekat dengan
kehidupan dan kebudayaan mereka. JARI
memandang bahwa hal in sejalan dengan
prinsip TRI SAKTI PEMBANGUNAN
Pemerintahan JOKOWI -JK . Karena itu
Perhutanan sosial diyakni merupakan
manifestasi dari konsep tersebut dimana
masyarakat mendapat pengakuan atas hak
terhadap hutan (berdaulat di bidang politik),
untuk mendapatkan kesejahteraan melalui
hutan tanpa bertumpu pada kekuatan modal
besar (berdikari di bidang ekonomi) dan tetap
menjalankan kearifan lokal dalam
melestarikan hutan (berkepribadian dalam kebudayaan).
Karena itu target perhutanan sosial yang telah ditetapkan
oleh Pemerintahan JOKOWI-JK harus diapresiasi dan
1
Selisih antara pengeluaran dan pemasukan yang telah didiskon dengan menggunakan social opportunity cost of capital sebagai diskon
faktor. Dengan kata lain merupakan arus kas yang diperkirakan pada masa yang akan datang yang didiskontokan pada saat ini.
PENDAHULUAN
“Melalui
perhutanan
sosial,
pemerintah
tidak perlu
mengalokasikan
belanja untuk
rehabilitasi
hutan dan
lahan,
mengingat
pengelolaan
perhutanan
sosial oleh
masyarakat,
dengan
mengedepankan
kearifan lokal,
dapat menjaga
kelestarian
fungsi
kawasan”
2. Jl. Parit Haji Husin II Komplek Permata Paris No. A10, Kelurahan Bangka Belitung Darat, Kota
Pontianak, Kalimantan Barat. Telp/Fax.0561-746584
Email :jariborbar@yahoo.com /sekretariatwilayah@jariborneo.org
Website: jariborneo.org, Facebook :http://www.facebook.com/jariborneobarat
diupayakan secara kuat oleh
seluruh komponen . Baik
Pemerintah daerah maupun
pusat juga oleh kalangan
masyarakat sipil dan stake-
holder lainnya. Dalam konteks
mandatory, hal ini jelas sebagai
provinsi yang memiliki potensi
hutan yang luas, maka target
2,1 juta hektar membutuhkan
kerja keras pemerintahan Kali-
mantan Barat untuk men-
capainya.
Target perhutanan sosial
seluas 2,1 juta hektar membu-
tuhkan kerja keras bagi peme-
rintahan Kalimantan Barat.
Luas kawasan yang dicadang-
kan untuk perhutanan sosial
(Hutan Desa, Hutan Kemasya-
rakatan, dan Hutan Tanaman
Rakyat) baru mencapai
11,83% dari target, yaitu se-
luas 265,5 ribu hektar (detail
lokasi, target, dan capaian perhutanan sosial dapat dilihat
pada lampiran 1). Angka tersebut terbatas pada
pencadangan kawasan untuk perhutanan sosial, dan
pastinya mengalami penyusutan untuk kawasan yang telah
memiliki izin pengelolaan. Hanya sebesar 1% atau seluas
15,4 ribu hektar kawasan yang telah memperoleh izin
pengelolaan pada skema perhutanan sosial. Perlunya
penanganan cepat terhadap perhutanan sosial, disamping
alasan ekonomis, ekologis, dan kualitas hidup masyarakat,
juga untuk menghindari habisnya masa berlaku PAK di Kab.
Kayong Utara seluas 15,5 ribu hektar. Hal tersebut terjadi
akibat terbatasnya kemampuan dalam pendampingan dan
fasilitasi oleh Pemerintah Daerah. Dorongan untuk
memperluas perhutanan sosial bukannya tidak beralasan.
Kondisi ini beranjak dari tingginya laju deforestasi dan
luasnya lahan kritis di Kalimantan Barat. Rata-rata
deforestasi pertahun sejak 2003-2012 di Kalimantan Barat
sekitar 71 ribu hektar per tahun. Tingginya angka
deforestasi diperparah dengan luasnya lahan kritis. Pada
tahun 2014, berdasarkan statistik kehutanan Kalimantan
Barat 2014, luas lahan kritis yang teridentifikasi adalah
seluas 1.271.985 Ha.
Beranjak dari tingginya
angka pengurangan tutu-
pan hutan dan luasnya
lahan rusak, maka doro-
ngan untuk memperluas
kawasan perhutanan sosial
menjadi penting. Permasa-
lahannya, penanganan la-
han kritis bernasib sama
dengan upaya mendorong
perhutanan sosial. Jika me-
ngacu pada program ta-
hunan sebagai turunan dari
Renstra Dinas Kehutanan
Kalimantan Barat, hanya
terbatas pada penyediaan
bibit dan mendorong kepe-
dulian masyarakat dalam
perlindungan dan peles-
tarian hutan. Penyediaan
bibit pun sangat terbatas,
yaitu sekitar 1500-an bibit
per tahun. Jika dirata-
ratakan, maka luasan lahan yang dapat ditanami pada bibit
tersebut, adalah sekitar 3,75 s.d 4 hektar.
Jika mengacu pada peraturan perundangan sebelum
terbitnya UU No. 23/ 2014, penanganan lahan kritis peme-
rintah provinsi terbatas pada rehabilitasi hutan dan lahan
pada Taman Hutan Raya2
. Namun saat, kewenangan ter-
sebut bertambah. Tak hanya Tahura, namun pula Lahan
Kritis diluar kawasan hutan negara, yaitu seluas 604.602
Ha. Jika tetap mempertahankan pola penanganan seperti
sebelumnya, maka kontribusi per tahun hanya sebesar
sebesar 0,00062% dari total luas lahan kritis diluar
kawasan hutan.
2
Peraturan Pemerintah No. 76 tahun 2008 pasal 35 ayat (2)
Gambar 1. Realisasi dan Target Perhutanan Sosial Kalimantan
Barat
“Target Perhutanan Sosial
Kalbar baru mencapai 11,83%
dari target RPJMN”
ALOKASI ANGGARAN VS ANCAMAN LAHAN KRITIS
Rendahnya capaian pada Perhutanan Sosial dan Reha-
bilitasi Lahan Kritiis dipengaruhi oleh rendahnya alokasi
belanja per tahun untuk urusan kehutanan. Alokasi belanja
pada Dinas Kehutanan cenderung menga-
lami penurunan pada tiap APBD Peruba-
han. Meskipun disaat bersamaan, terjadi
kenaikan ruang fiskal yang diakibatkan oleh
meningkatnya pendapatan, dan berakibat
pada perubahan total belanja daerah.
Gambar 2 menunjukkan peningkatan
pendapatan dan bertambahnya ruang fiskal
pada tiap APBD Perubahan tidak ber-
dampak pada peningkatan belanja urusan
kehutanan. Justru sebaliknya, pada tiap kali
perubahan APBD justru mengakibatkan
berkurangnya belanja urusan kehutanan.
Kondisi ini menunjukkan adanya pengabai-
an terhadap urusan kehutanan ditingkat
Pemerintah Provinsi.
Cenderung menurunnya alokasi belan-
ja untuk urusan kehutanan, diperparah dengan besarnya
alokasi untuk belanja tidak langsung. Hal tersebut secara
otomatis mengakibatkan terbatasnya penggunaan belanja
langsung.
Gambar 2. Persentase perubahan dari APBDM ke APBDP
3. Jl. Parit Haji Husin II Komplek Permata Paris No. A10, Kelurahan Bangka Belitung Darat, Kota
Pontianak, Kalimantan Barat. Telp/Fax.0561-746584
Email :jariborbar@yahoo.com /sekretariatwilayah@jariborneo.org
Website: jariborneo.org, Facebook :http://www.facebook.com/jariborneobarat
Gambar 4. Komposisi Pengunaan Belanja urusan Kehutanan
Lebih dari separuh belanja pertahun pada Dinas Kehu-
tanan diperuntukkan pada Belanja Tak Langsung. Hal ini
berakibat pada semakin rendahnya porsi belanja untuk pen-
capaian tujuan program yang dialokasikan melalui Belanja
Langsung. Belum lagi, tidak seluruh alokasi pada Belanja
Langsung diperuntukkan pada pencapaian tujuan program.
Sekitar 40% dari total belanja langsung diperuntukkan bagi
kepentingan operasional kantor ataupun dikenal dengan
belanja generik.
Berdasarkan gambar 4, dapat terlihat bahwa keterbata-
san alokasi belanja untuk urusan kehutanan, tidak sepe-
nuhnya diperuntukkan bagi pencapaian tujuan. Hanya
sekitar 27% dari total alokasi belanja yang diperuntukkan
bagi pencapaian tujuan rencana strategis Dinas Kehutanan.
ALOKASI BELANJA MINIMAL UNTUK MENDORONG PERHUTANAN SOSIAL
Dalam pandangan JARI, skema perhutanan sosial yang
saat ini mendapatkan apresiasi dari masyarakat dengan
banyaknya usulan untuk mendapatkan akses pengelolaan
hutan, menunjukkan bahwa ada keyakinan yang besar dari
masyarakat sekitar hutan yang selama ini mendapatkan
manfaat yang berlimpah dari hutan dengan
hak pengelolaan yang dimiliki, maka akan
terjadi peningkatan pendapatan yang
berujung pada peningkatan kesejahteraan
dan martabat yang siginifikan dari hutan.
Karena itu jelas mereka memiliki kepen-
tingan yang kuat agar hutan tetap lestari
dan berkelanjutan. Dalam konteks yang
lebih makro, Pemerintah daerah juga ber-
kepentingan dengan perhutanan sosial,
baik dalam kepentingan yang pragmatis
(mendapatkan insentif dari diversifikasi
produk hutan yan non-timber minded)
maupun yang substantif (peningkatan
indeks pembangunan manusia dan
pertumbuhan ekonomi lokal).
Untuk itu maka menjadi penting dalam
melihat sejauhmana komitmen pemerintah
daerah dalam mendorong perhutanan sosi-
al yang kami batasi pada dua skema yakni hutan desa dan
hutan kemasyarakatan. Karena itu berdasarkan kewena-
ngan dan konsepsi program kerja yang dimiliki oleh Dinas
Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat, maka analisis ang-
garan yang ideal untuk skema perhutanan sosial adalah
sebagai berikut :
Hutan Desa (HD)
Alokasi belanja pada Hutan Desa berada pada “Kegiatan
Fasilitasi Pembentukan Pengelolaan Pembangunan Hutan
Desa.” Nominal belanja yang diperuntukkan pada kegiatan
ini cenderung mengalami penurunan, meskipun pada saat
bersamaan nominal belanja pada Dinas Kehutanan
mengalami peningkatan.
Jika dirata-ratakan sejak 2013, biaya yang diperuntukkan
dalam melakukan fasilitasi sekitar Rp. 30,3 juta per tahun.
Jumlah tersebut diharuskan untuk memfasilitasi 65,9 ribu
hektar hutan desa yang telah memperoleh SK Penetapan
Areal Kerja (PAK). Maka, biaya riil yang diperuntukkan dalam
memfasilitasi hutan desa hanya sebesar Rp. 459 per
hektar3
. Tentunya angka tersebut sangat kecil jika
dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh dari hasil
Hutan Desa.
Namun, jumlah tersebut mampu mendorong 4 usulan
Hutan Desa memperoleh Izin HPHD (Hak Pengelolaan Hu-
tan Desa). Artinya alokasi sebesar Rp. 30,3 juta per tahun
Gambar 5. Alokasi Belanja Dinas Kehutanan dan Kegiatan
Fasilitasi Hutan Desa
“Biaya riil yang
diperuntukkan
dalam
memfasilitasi
hutan desa
hanya sebesar
Rp. 459 per
hektar”
mampu memfasilitasi seluas 7.040 hektar untuk mem-
peroleh HPHD. Maka angka minimal yang dibutuhkan ada-
lah sebesar Rp. 4.300 per hektar4
.
Untuk mendorong percepatan agar lahan 65,9 ribu
hektar yang telah memperoleh PAK, namun belum memiliki
HPHD, dibutuhkan anggaran sebesar Rp.
283,5 juta5
. Jumlah tersebut ditambah
pula dengan jumlah usulan HD yang di-
asumsikan memperoleh PAK, yaitu
sebesar Rp. 302.5 juta6
. Sehingga to-
tal untuk memperoleh HPHD dari kawa-
san yang telah memperoleh PAK dan
usulan desa terhadap pengelolaan Hutan
Desa adalah sekitar Rp. 586 juta.
Dari jumlah 586 juta tersebut, sebesar
Rp. 131.795.000 harus dapat
dikucurkan pada tahun 2016. Hal ini
mengingat masa berlaku PAK hanya 2
tahun dan usulan yang telah memperoleh
PAK ditahun 2014 seluas 22,2 ribu hektar
dan 2015 seluas 8,5 ribu hektar.
Keseluruhan angka diatas hanya untuk
melakukan fasilitasi dalam memperoleh
HPHD bagi usulan yang telah mempero-
leh PAK. Namun, masih terdapat seluas 70.350 hektar
usulan HD yang belum memperoleh PAK. Jika diasumsikan
kegiatan pendampingan untuk memperoleh PAK sama
dengan fasilitasi dalam memperoleh HPHD, maka biaya
yang dibutuhkan adalah sebesar Rp. 302.5 juta7
.
3
Diperoleh melalui (rata-rata belanja pertahun)/(PAK-HPHD)
4
Diperoleh melalui (rata-rata belanja pertahun)/(HPHD)
5
Diperoleh melalui (HPHD-PAK) x 4.300
6
Diasumsikan usulan HD telah memperoleh PAK, maka (Usulan
HD-(PAK + HPHD) x 4.300)
7
Diperoleh melalui (Usulan HD-(PAK + HPHD) x 4.300)
4. Jl. Parit Haji Husin II Komplek Permata Paris No. A10, Kelurahan Bangka Belitung Darat, Kota
Pontianak, Kalimantan Barat. Telp/Fax.0561-746584
Email :jariborbar@yahoo.com /sekretariatwilayah@jariborneo.org
Website: jariborneo.org, Facebook :http://www.facebook.com/jariborneobarat
Hutan Kemasyarakatan (HKm)
Sebelum diberlakukannya UU No. 23/2014, kewenangan
provinsi sangat terbatas. Mengacu pada Peraturan Menteri
Kehutanan No. P.88/Menhut-II/2014. Pada pasal 8 ayat (6),
fasilitasi yang dilakukan dalam pengusulan areal kerja HKm
Gambar 7. Komposisi Status HKm
Gambar 8. Logika Alokasi Belanja Hutan Kemasyarakatan
8
Diperoleh melalui (PAK-IUPHKm) x 4.300
9
Diperoleh melalui (usulan HKm-(PAK+IUPHKm) x 4.300
10
Diperoleh melalui (usulan HKm-(IUPHKm) x 4.300
Mengacu pada hasil perhitungan diatas, maka belanja
minimal yang perlu dialokasikan untuk fasilitasi dan pen-
dampingan adalah sebesar Rp. 888,6 juta untuk lahan
seluas 136,2 ribu hektar atau 6% dari target perhutanan
sosial pada RPJMN.
Gambar 6. Logika Alokasi Belanja Hutan Desa
merupakan kewenangan Bupati/Walikota. Pemerintah pro-
vinsi, dapat terlibat, namun keberadaannya bukan meru-
pakan kewajiban (pasal 11 ayat 4).
Hingga 2016, luas hutan kemasyarakatan yang telah
memperoleh izin pengelolaan (IUPHKm) adalah seluas
8.900 hektar, atau 26% dari total usulan HKm yang seluas
33,7 ribu hektar. Diakibatkan keterbatasan kewenangan
tersebut, maka tidak dapat dilacak apakah keberadaan 8,9
ribu hektar IUPHHKm tersebut merupakan kontribusi pe-
merintah provinsi ataukah pemerintah kabupaten. Perma-
salahannya, berdasarkan UU No. 23/2014, Pemerintah
Kabupaten tidak lagi memiliki kewenangan dalam
perhutanan sosial, dan dipindahkan ke Pemerintah Provinsi.
Jika diasumsikan bahwa belanja perhektar pada HKm
sama dengan belanja fasilitasi HD, maka biaya yang
dibutuhkan untuk memfasilitasi wilayah yang telah
memperoleh PAK namun belum memperoleh IUPHKm
adalah seluas Rp. 2,7 juta8
. Namun terdapat pula seluas
24 ribu hektar usulan yang belum memperoleh PAK. Jika
diasumsikan luas usulan tersebut telah memperoleh PAK,
maka total biaya fasilitasi HKm adalah sebesar Rp. 104
juta9
untuk 24 ribu hektar HKm. Sehingga total biaya
fasilitasi HKm untuk memperoleh IUPHKm adalah sebesar
Rp. 106,7 juta10
untuk lahan seluas 24,8 ribu hektar, atau
seluas 1% dari target perhutanan sosial pada RPJMN.
Namun, sebelum 24 ribu hektar HKm tersebut
memperoleh PAK, dibutuhkan pendampingan dan
pematangan bagi masyarakat yang mengusulkan HKm.
Diasumsikan pula, bahwa nominal belanja perhektar sama
dengan belanja yang digunakan pada HD, yaitu sebesar
Rp. 4.300 per hektar. Sehingga jumlah yang dibutuhkan
untuk mendorong usulan masyarakat dalam memperoleh
PAK adalah sebesar Rp. 104 juta. Total biaya yang
dibutuhkan untuk perwujudan perhutanan sosial melalui
HKm adalah sebesar Rp. 210,5 juta.
Total biaya yang
dibutuhkan untuk
perwujudan perhutanan
sosial melalui HKm adalah
sebesar Rp. 210,5 juta
5. Jl. Parit Haji Husin II Komplek Permata Paris No. A10, Kelurahan Bangka Belitung Darat, Kota
Pontianak, Kalimantan Barat. Telp/Fax.0561-746584
Email :jariborbar@yahoo.com /sekretariatwilayah@jariborneo.org
Website: jariborneo.org, Facebook :http://www.facebook.com/jariborneobarat
Belanja Minimal Perhutanan Sosial
Berdasarkan kajian diatas, jika hanya menindaklanjuti
usulan yang sudah ada pada HD (Rp. 888,6 juta) dan HKm
(Rp. 201,5 juta), maka total belanja yang dibutuhkan adalah
sekitar Rp. 1 milyar. Jumlah tersebut hanya mampu
menangani 161 ribu hektar atau hanya sebesar 8% dari
target perhutanan sosial di Kalimantan Barat. Jika
diasumsikan bahwa sebesar 161 ribu hektar tersebut telah
memperoleh izin pengelolaan, ditambah dengan
perhutanan sosial yang saat ini telah memperoleh izin
pengelolaan, maka total luas wilayah perhutanan sosial
adalah 177 ribu hektar. Setidaknya dibutuhkan sekitar
1,9 juta hektar atau 11 kali lipat untuk mencapai target
RPJMN. Sehingga total yang biaya minimal yang dibutuhkan
hingga 2019, adalah sekitar Rp. 12 milyar11
. Angka
tersebut belum memasukkan kegiatan yang mendorong
masyarakat untuk mengusulkan perhutanan sosial.
11
Diperoleh melalui 11 milyar untuk 1,9 juta hektar target yang
belum diusulkan + 1 milyar pada luas yang telah diusulkan
ALOKASI BELANJA MINIMAL REHABILITASI LAHAN KRITIS
Pada RPJMN 2015-2019, dalam konteks rehabilitasi lahan
kritis, target nasional pertahun yang ingin dicapai adalah
5,5 juta hektar (kumulatif). Jika target tersebut
disandingkan dengan daftar lahan kritis secara nasional,
luas lahan kritis di Kalbar adalah 4% dari total lahan kritis
secara nasional12
. Secara sederhana, target akumulatif yang
harus ditangani kalbar hingga 2015 adalah seluas 220 ribu
hektar. Meskipun angka tersebut tidak dapat menutupi
luasan lahan kritis di Kalimantan Barat, namun dalam rangka
mendukung kebijakan nasional, target RPJMN dapat
menyelesaikan seluas 17% dari total lahan kritis13
.
12
Statistik BPDAS 2014
13
Luas lahan kritis di Kalbar, berdasarkan Statistik Kehutanan
Kalimantan Barat 2014 adalah seluas 1.271.985 hektar yang
terbagi menjadi 667.383 Ha didalam kawasan hutan, dan 604.602
Ha diluar kawasan hutan negara
14
Asumsi jarak antar bibit yang ditanam adalam 5 x 5 meter, dan
hasil diperoleh melalui 1500 bibit x 25 m2
15
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.9/Menhut-II/2013 tentang
Tata Cara Pelaksanaan, Kegiatan Pendukung dan Pemberian
Insentif Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan pasal 9 ayat (3)
yang menjelaskan bahwa penanaman 1.600 bibit/hektar untuk
hutan dan lahan kategori kritis dan sangat kritis (prioritas I),
ataupun 1.100 bibit/hektar untuk hutan dan lahan kategori agak
kritis (prioritas II). Untuk kawasan mangrove membutuhkan bibit
yang lebih banyak, yaitu 3.300 batang/hektar untuk prioritas I,
dan 6.000 batang u
ntuk prioritas II.
16
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.9/Menhut-II/2013 pasal 5
ayat (1)
17
Peraturan Pemerintah No. 76 tahun 2008 pasal 35 ayat (2)
18
Peraturan Pemerintah No. 76 tahun 2008 pasal 34 ayat (1)
Terbatasnya peran dalam penanganan lahan kritis
diakibatkan rendahnya alokasi belanja pertahunnya.
Pengelompokkan kegiatan yang masuk pada kategori
rehabilitasi hutan dan lahan yang ada pada Dinas Kehutanan
terbatas pada koordinasi, monitoring, dan evaluasi.
Outputnya, terbatas pada penyediaan bibit dan mendorong
kepedulian masyarakat dalam perlindungan dan pelestarian
hutan.
Ironisnya, penyediaan bibit pun sangat terbatas, yaitu
sekitar 1500 bibit per tahun. Jika dirata-ratakan, maka
luasan lahan yang dapat ditanami pada bibit tersebut,
adalah sekitar 3,75 hektar14
per tahun.
Jika dalam 1 tahun, maka kontribusi penanganan lahan
kritis oleh Dinas Kehutanan hanya seluas 3,75 Ha pertahun,
maka upaya penyelesaian yang dilakukan hanya sebesar
0,00062% dari total luas lahan kritis pertahun. Bahkan,
jika mengacu pada Permenhut No. P.9/Menhut-II/201315
1500 bibit hanya dapat diperuntukkan bagi 1-2 Hektar.
Jika kondisi ini dibiarkan, maka untuk menangani lahan
kritis diluar kawasan hutan, dibutuhkan waktu ratusan ribu
tahun (161.227 tahun). Kecilnya kontribusi dinas kehutanan
provinsi, memungkinkan akan semakin menjadi lebih kecil
ketika rehabilitasi hutan dan lahan tidak hanya sebatas pada
kegiatan pembibitan dan persemaian, namun juga perlu
dilakukan aktivitas lanjutan, seperti (1) penanaman, (2)
pemeliharaan tanaman, (3) pengamanan, dan (4) kegiatan
pendukung16
.
Disamping itu, pengadaan bibit sebagaimana yang
dijelaskan diatas hanya diakomodir oleh dua kegiatan, yaitu
(1) kegiatan Pengelolaan Lokasi Pengembangan Tanaman
Unggulan Lokal, dan (2) Kegiatan Pengelolaan Persemaian
Dinas Kehutanan Prov. Kalbar. Rata-rata alokasi belanja
yang diperuntukkan bagi dua kegiatan tersebut sebesar
Rp. 115.772.000 untuk pengadaan dan persemaian bibit.
Jumlah rata-rata belanja tersebut, jika dibagi dengan jumlah
bibit yang tersedia, yaitu sebesar Rp. 77.181 untuk
penyediaan dan penyemaian 1 batang bibit. Ironisnya, bibit
tersebut tidak dipersiapkan untuk penanganan rehabilitasi
Rendahnya Kemampuan dalam
Penanganan Lahan Kritis
hutan dan lahan secara langsung oleh Dinas Kehutanan,
melainkan untuk kebutuhan pihak lain yang membutuhkan
untuk kepentingan studi, riset, ataupun penanaman yang
berada diluar kendali Dinas Kehutanan Provinsi. Sehingga
dapat dikatakan bahwa kontribusi yang dilakukan
Dinas Kehutanan terhadap rehabilitasi hutan dan
lahan sangat kecil, yaitu hanya sebesar 0,00062%.
Kecilnya kontribusi yang dimiliki oleh Dinas Kehutanan
Provinsi diakibatkan oleh terbatasnya kewenangan yang
dimilki. Jika mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 76
tahun 2008, Pemerintah Provinsi hanya dapat
melakukan rehabilitasi hutan dan lahan pada
Taman Hutan Raya17
. Dan kegiatan yang dilakukan
tersebut hanya sebatas kegiatan pendukung untuk
pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan18
. Pelaksana
rehabilitasi hutan dan lahan berada pada pemerintah pusat
(kawasan hutan konservasi kecuali taman hutan raya),
pemerintah kabupaten/kota (kawasan hutan produksi dan
hutan lindung yang tidak dibebani hak atau izin), dan
pemegang izin.
Berdasarkan ketentuan tersebut, keterbatasan kewe-
nangan pada pemerintah provinsi berakibat pada kecilnya
kontribusi untuk rehabilitasi hutan dan lahan. Hal ini
berakibat pula pada terbatasnya alokasi belanja yang
diperuntukkan pada penangan urusan tersebut.
Kontribusi penanganan lahan
kritis hanya seluas 3,75 Ha
pertahun
6. Jl. Parit Haji Husin II Komplek Permata Paris No. A10, Kelurahan Bangka Belitung Darat, Kota
Pontianak, Kalimantan Barat. Telp/Fax.0561-746584
Email :jariborbar@yahoo.com /sekretariatwilayah@jariborneo.org
Website: jariborneo.org, Facebook :http://www.facebook.com/jariborneobarat
Jika mengacu pada UU No. 23 tahun 2014, terjadi
penambahan kewenangan pada Pemerintah Provinsi dalam
urusan kehutanan. Dalam konteks rehabilitasi lahan,
pemerintah provinsi berkewajiban melakukan Pelaksanaan
rehabilitasi di luar kawasan hutan negara. Jika sebelumnya
pemerintah Kabupaten memiliki kewenangan serupa dalam
kawasan hutan skala kabupaten, kewenangan tersebut
dialihkan pada pemerintahan provinsi.
Perubahan kewenangan dalam penanganan lahan kritis
membutuhkan perumusan ulang terhadap alokasi belanja
penanganan lahan kritis. Jumlah yang selama ini
dialokasikan untuk penanganan masih sangat rendah. Jika
mengacu pada Permenhut No. P.26/Menhut-II/2009
tentang Standar Biaya Pembangunan Hutan Tanaman
Industri dan Hutan Tanaman Rakyat, untuk biaya terendah
kegiatan penanaman (termasuklah (1) persemaian dan
pembibitan, (2) persiapan lahan, dan (3) penanaman)
adalah sebesar Rp. 5.320.40019
. Biaya tersebut tidak
termasuk kegiatan pemeliharaan, perlindungan, dan
pengamanan hutan dan lahan.
Rumusan Biaya Minimal Penanganan Lahan Kritis
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, target
akumulatif yang harus ditangani kalbar hingga 2015
(mengacu pada target capaian RPJMN) adalah seluas 220
ribu hektar. Ataupun 17% dari total lahan kritis dapat diatasi
hingga 2019.
Anggap saja target 220 ribu hektar tersebut dibagi
penanganannya antara Pemerintah Pusat (lahan kritis
didalam kawasan hutan) dan pemerintah provinsi (diluar
kawasan hutan), sehingga masing-masing memiliki target
110 ribu hektar hingga 2019. Tersisa waktu 3 tahun untuk
mencapai target tersebut, sehingga target tahunan yang
harus dipenuhi oleh pemerintah provinsi adalah 36,7 ribu
hektar. Jika menggunakan standar biaya penanaman,
dengan jumlah minimal per hektar adalah Rp. 5.320.400,
maka biaya yang perlu dialokasikan pertahun adalah Rp.
195 milyar per tahun.
19
Biaya terendah sebesar Rp. 5.320.400 dan tertinggi adalah Rp.
7.315.551
REKOMENDASI KEBIJAKAN
1. Mendudukan konsep pemahaman bahwa urusan
kehutanan (yang merupakan urusan pilihan) bukan
lagi dianggap sebagai urusan yang bukan
prioritas seperti yang dipahami oleh mainstream,
Namun menjadi prioritas karena memang urusan pilihan
lebih karena karakter wilayah dan secara nyata telah
memberikan dampak yang dashyat (bencana alam,
hilangnya sumber daya ekonomi dsb) yang ditimbulkan
dari kerusakan hutan.
2. Banyaknya masyarakat sekitar hutan yang memiliki
hukum adat namun tidak memiliki / berkurangnya
wilayah adat mereka karena tergerus oleh ekspansi
lahan yang diakibatkan oleh pemilik konsesi, hendaknya
menjadi peluang untuk melakukan revitalisasi nilai-nilai
adat melalui pengakuan terhadap hak atas pengelolaan
hutan yang mandiri dan berkelanjutan
3. Melakukan review terhadap rencana kerja tahunan
untuk program perhutanan sosial di Dinas kehutanan
yang hanya setiap tahunnya menargetkan 2 skema
perhutanan sosial yakni 1 hutan desa dan 1 hutan
kemasyarakatan yang mendapatkan hak pengeloaan
menjadi 20 pada tahun 2017 mendatang
4. Perlunya alokasi belanja sebesar 283,5 juta ditahun
2016 dan 302,5 juta ditahun berikutnya, untuk
melakukan fasilitasi Hutan Desa yang telah memperoleh
SK PAK agar memperoleh HPHD. Hal ini dapat
dialokasikan pada APBD Perubahan 2016 ,
mengingat adanya masa kadaluarsa status
penetapan areal kerja hutan desa yang jika tidak
segera diproses akan berpengaruh terhadap
proses pengurusan perizinannya.
5. Perlunya alokasi belanja sebesar 302,5 juta ditahun
2016, untuk melakukan pendampingan terhadap usulan
Hutan Desa agar memperoleh SK PAK
6. Perlunya alokasi belanja sebesar 2,7 juta ditahun 2016
dan 104 ditahun berikutnya untuk meningkatkan sta-
tus HKm yang telah memperoleh PAK menjadi IUPHKm
7. Perlunya alokasi belanja sebesar 104 juta ditahun 2016
untuk melakukan pendampingan terhadap usulan HKm
agar memperoleh SK PAK
8. Perlunya pendampingan secara aktif dalam mendorong
perhutanan sosial dari Pemerintah Daerah dalam
mencapai target perhutanan sosial yang diamanahkan
oleh RPJMN
9. Perlu alokasi belanja sebesar 195 milyar per tahun untuk
rehabilitasi lahan kritis
SUMBER
1. APBDM dan APBDP Provinsi Kalimantan Barat 2013,
2014, 2015, dan 2016
2. Statistik Kehutanan Kalimantan Barat 2014
3. Statistik BPDAS 2014
4. Perkembangan Hutan Desa di Kalimantan Barat 2016,
Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat
5. Perkembangan Hutan Kemasyarakatan di Kalimantan
Barat 2015, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat
6. Luas Pencandangan dan Luas Realisasi Penerbitan
IUPHHK-HTR 2016, Dinas Kehutanan Provinsi
Kalimantan Barat
7. Lampiran RPJMN 2015-2019
8. RKP Pusat 2016
9. Siti Zunariyah (2002), Analisa Ekonomi Dan Finansial
Pengelolaan Hutan desa Di kabupaten Kulon Progo DIY,
http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/
RegionalStudies/ Analisa%20Ekonomi%20Finansial
%20Pengelolaan %20Hutan%20Desa.pdf, diakses pada
20 Mei 2016
10. Abner Widoyo Motoku, Syukur Umar, Bau Toknok
(2014), Nilai Manfaat Hutan Mangrove Di Desa Sausu
Peore Kecamatan Sausu Kabupaten Parigi Moutong,
http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/
WartaRimba/article/view/3619/2622, diakses pada 20
Mei 2016
7. Jl. Parit Haji Husin II Komplek Permata Paris No. A10, Kelurahan Bangka Belitung Darat, Kota
Pontianak, Kalimantan Barat. Telp/Fax.0561-746584
Email :jariborbar@yahoo.com /sekretariatwilayah@jariborneo.org
Website: jariborneo.org, Facebook :http://www.facebook.com/jariborneobarat
Lampiran1.TargetdanCapaianPerhutananSosial