1. MEMBANTU SI MISKIN DENGAN KEIKHLASAN TIADA TARA
Jika bukan atas dukungan dan kesabaran suaminya, maka ibu Nuryani tentu tak dapat leluasa
berbuat sejumlah kebaikan kepada banyak orang di kelurahan Waliobuku kecamatan Bugi Kota Bau-Bau.
Perempuan kelahiran 1982 ini sudah menikah sejak usia 16 tahun dan baru dikarunai seorang putri pada
23 Februari 2005. Namanya Cahaya Muqaddimah, yang artinya cahaya permulaan yang menerangi.
Panggilan keseharian putrinya adalah Caca. Itulah megapa ia lebih sering disapa oleh keluarga, kerabat
maupun tetangga dan kawan-kawannya, Mama Caca. Pemberian nama ini seolah menjadi penerang di
keluarga kecil ini. Kehadiran caca yang membawa cahaya baginya itu pulalah yang membuatnya
menerangi jalan bagi orang-orang yang membutuhkan pelitanya, khususnya mereka yang secara
finansial berkekurangan dan secara politik tidak berdaya.
Mama Caca adalah seorang perempuan dengan multi talenta. Ia menjadi kader posyandu sejak
tahun 2000 di kelurahannya, Liabuku. Saat terjadi pemekaran di kelurahannya, di mana wilayah
tinggalnya berada di kelurahan Waliabuku, maka ia lalu menjadi kader posyandu untuk kelurahan ini
pada 2008.
Rupanya, selain menjadi seorang kader posyandu, ia juga seorang penyuluh agama non-PNS,
ketua Majelis Ta’lim, guru mengaji di TPA, kader PKK, dan menjadi pengurus PIPM serta kini dipercaya
sebagai ketua Aliansi Kader Posyandu Kota Bau-Bau.
Ya, tentu saja ia menjadi perempuan yang amat sibuk. Sejak kelahiran anak keduanya, Yaumul
Al-Fath pada 25 Desember 2012, ia harus membawa Al Fath kemanapun ia melangkah. Suatu hari, saat
usia Al Fath baru 6 bulan, Ibu Nuryani membawa anak lelakinya ini ke Raha di Pulau Muna untuk
mengikuti suatu kegiatan penting yang berkaitan dengan tanggung jawabnya sebagai pengurus PIPM.
Tak sedikitpun ia mengeluh. Baginya, tanggung jawab itu mesti dipikulnya dan ia memandangnya
sebagai tanggung jawab kemanusiaan. Ibunya, seorang guru mengaji, merupakan tauladan utamanya
yang setiap waktu mengajarkannya agar berbuat kebajikan kepada orang lain.
Suatu hari, seorang lelaki tetangganya yang merupakan pendatang dari Raha dan sudah tinggal
selama setahun dikelurahannya datang menyampaikan keluh kesah. Katanya, istrinya baru saja
keguguran dan mesti dikurep. Berbekal kartu Jamkesmas istrinya dikurep di rumah sakit daerah.
Sayangnya proses kurep itu membuatnya mengalami pendarahan. Pihak rumah sakit tidak memiliki stok
darah. Golongan darahnya B. Dokter menyarankan si suami ke kantor PMI sebagai institusi penyedia
darah. Barangkali ia bisa memeroleh dua kantung darah secara cuma-cuma.
Sang suami akhirnya ke kantor PMI. Di sana ia dimintai uang 500 ribu untuk dua kantong darah.
Lelaki bersahaja ini hanya bisa menunjukkan kartu Jamkesmas kepada petugas. Namun, itu tak cukup
mampu membuat petugas PMI bergeming. Ia lalu mendatangi Mama Caca dan menumpahkan keluh
kesahnya. Kepada dialah ia bisa berharap sebuah kemudahan.
Mama Caca, merasa ragu dengan kebenaran aturan itu. Sepengetahuannya, seberapapun darah
yang dibutuhkan oleh pasien dengan kartu Jamkesmas akan ditanggung oleh asuransi yang sudah
dibayarkan negara kepada setiap rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan lainnya. Ia pun
memutuskan meminta keterangan yang sebenarnya di kantor PMI. Mama Caca ditemani oleh lelaki itu.
Setiba di sana, mulanya ia bertanya ringan dengan amat sopan kepada petugas PMI [dengar
rekaman lagi].
“Apakah tersedia dua kantung darah golongan B?” tanyanya.
2. Petugas itu menjawab singkat, “tersedia.”
“Bagaimana jika yang membutuhkan adalah pemegang kartu Jamkesmas, Jampersal, dan
Bahtera Mas, apakah cuma-Cuma atau dibeli?” tanya Mama Caca. Jawaban petugas itu adalah harus
tetap membayar. Jumlahnya 250 ribu rupiah perkantungnya. Jadi si pemohon harus membayar sejumlah
500 ribu rupiah.
“Apa yang menjadi dasar hukum sehingga darah ini mesti dibayar walau si pemohon sudah
memiliki kartu Jamkesmas?” Mama Caca bertanya lagi.
“Kenapa kah ibu ini banyak bertanya!” ketus petugas ini.
“Ya saya mau tahu, karena sepengetahuan kami darah itu gratis,” jawab Ibu Nuriani.
“Darahnya memang gratis, tetapi kantungnya dibayar, bu,” petugas ini berkeras.
“Loh, apakah boleh saya lihat bunyi aturannya?” tanya Mama Caca lagi.
Petugas itu semakin jengkel. Ia masih berkeras. Kini ia katakan, “bayar jaminan dulu setelah
urusan administrasi selesai baru dikembalikan jaminan ini.
Cercaan pertanyaan yang tiada henti ini menjadi dialog penting bagaimana seorang perempuan
biasa mempertanyakan dasar hukum sebuah aktifitas pelayanan publik. Dialog yang sepertinya mulai tak
banyak orang sudi melakukannya. Kebanyakan orang menafikan percakapan yang ‘penuh selidik’ ini dan
memilih jalur pintas, mengalah, dan mengeluarkan sejumlah uang untuk memeroleh—katakanlah—
sebentuk kemudahan. Hanya karena tak ingin dipersulit oleh pelayan publik, lantas bersedia membayar
sesuatu yang tak perlu dibayar, atau menyuap pelayan publik demi sebuah kemewahan yang berarti
‘kemudahan’.
Mungkin saya atau Anda adalah salah satu yang pernah menempuh cara yang tak terpuji itu.
sekali lagi dengan satu tujuan, Kemudahan!
Akhir dari percakapan yang sengit itu membuahkan hasil, keluarga kecil perantau yang tak
memiliki cukup uang untuk membiayai ongkos pembelian darah ini akhirnya tak perlu mengeluarkan
sepeserpun uang yang memang tak dimilikinya itu. Kekurangan darah sang istri teratasi pada akhirnya.
Lain hari, seorang ibu berusia lanjut mengeluh sakit pada kakinya. Ada benjolan di kaki kiri tepat
di belakang tempurung lututnya. Sejenis kista kata sang dokter kepada Mama Caca saat ia mengantar
ibu ini di rumah sakit. Dokter menyarankan agar si ibu dioperasi. Lagi -lagi kartu Jamkesmas bisa
meringankan bebannya. Ia tak harus memikirkan di mana ia akan berhutang demi menanggung sebuah
operasi. Malangnya, setelah operasi petugas rumah sakit baru menyadari kalau obat bius untuk
mengurangi rasa sakit pasca operasi telah tandas. Seseorang mesti membelinya di apotek. Mama Caca
lagi-lagi membantunya. Ia mengandalkan kartu jamkesmas si ibu. Rupanya Ia mesti membayarnya
terlebih dahulu. Harganya 200 ribu rupiah. Akan diganti jika persyaratan administrasi jamkesmas
diselesaikan. Setelah persyaratan administrasi ia penuhi, rupanya uangnya hanya diganti 100 ribu. Untuk
kali ini ia tak mampu mendebatnya. Namun ia berjanji suatu saat akan bertindak lebih tegas jika ia atau
orang lain mengalami nasib serupa.
3. Bukan sekali dua kali keluarga, kerabat, dan kawan-kawannya datang kepadanya dan meminta
bantuannya. Banyak orang, khususnya orang-orang kecil yang tak punya daya dan keberanian menuntut
hak-haknya bergantung padanya. Beruntunglah berkali-kali keluar rumah untuk urusan kemanusiaan ini
sang suami yang merupakan tukang pembuat mebel kayu selalu mengijinkannya membantu menolong
orang lain. Ia sudah bersama istrinya sejak tahun 1997, berarti enam belas tahun. Sehingga ia tahu betul
prinsip hidup istrinya, yaitu ‘Perilaku yang paling berharga di dunia ini adalah menanam kebaikan!’
Berniat berbuat kebaikan lebih banyak lagi membuatnya berpikiran terbuka. Pada awal 2012,
serangkaian kegiatan yang sedang dilancarkan oleh APPAK untuk membangun kesadaran warga agar
terlibat dalam mengawasi praktik pelayanan publik di tingkat desa dan kelurahan ia ikuti secara rutin.
Kebetulan salah satu pintu yang digunakan oleh tim fasilitator APPAK adalah Pos Pelayanan Terpadu
kelurahan Waliabuku. Pilihan APPAK bukan tanpa alasan. Posyandu adalah salah satu organisasi tingkat
kampung yang paling aktif dan masih bertahan hingga saat ini. Secara nasional, Posyandu dibentuk di
awan tahun 1980an di desa-desa di seluruh Indonesia melalui regulasi [lihat aturannya].
Pada tanggal 9 Maret 2012 lembaga pengawas pelayanan publik oleh warga ini terbentuk di
kelurahan Waliabuku. Namanya Pusat Informasi Pembelajaran dan Mediasi warga di singkat PIPM.
Ketuanya adalah [tanyakan siapa ketuanya]. Sejak itu, para pengurus PIPM di empat kabupaten/kota
secara rutin diikutkan dalam penguatan kapasitas pengurus PIPM dalam kaitannya dengan pengawasan
pelayanan publik dan teknik mediasi jika terjadi masalah di desa. Mereka melatih kemampuan
pengorganisasian PIPM sesuai fungsinya: Menghimpun, mempelajari, dan mengolah informasi serta
menyebarluaskannya. Selain itu dibutuhkan juga agar anggota PIPM mampu memediasi warga jika
mengeluhkan jeleknya pelayanan diberikan pemerintah setempat kepada warga [untuk penguatan
kapasitas lihat boks].
Walaupun beragam kesibukan, Mama Caca tetaplah seorang kader Posyandu. Bagaimanapun
waktunya lebih banyak dihabiskan untuk meningkatkan daya sehat warga dikelurahannya. Ia
membangun mimpi-mimpinya di Pos Pelayanan Terpadu ini bersama kawan-kawannya. Salah satu
mimpinya adalah membangun Bank Darah tingkat kelurahan. Ia ingin mengajak warga lain
mendonorkan darahnya di Bank Darah dan akan digunakan seluas-luasnya untuk kepentingan warga
sekelurahan jika membutuhkan segera. Demikian pula saat ada ide dari APPAK mendirikan sebuah
Aliansi Kader Posyandu se-kota Bau-Bau. Ia amat bersemangat untuk turut serta mewujudkan ide itu.
Baginya, aliansi tingkat kota akan memiliki posisi tawar yang lebih kuat bagi kader Posyandu untuk
mendorong kepentingan warga, baik secara khusus kepada dinas kesehatan maupun kepada kepala
desa, camat, hingga pemerintah kota.
Pada Februari 2012, aliansi ini berdiri di kecamatannya, Waliabuku. Aliansi yang sama juga
terbangun di beberapa kecamatan lain di kota Bau-bau. Pada bulan yang sama, deklarasi pendirian
aliansi kader posyandu tingkat kota dipekikkan. Setelah kurang lebih tiga bulan melakukan konsolidasi,
akhirnya pada bulan Mei 2012 pemilihan ketua aliansi digelar dan Ibu Nuryani atau Mama Caca terpilih.
Saat ini ada 743 kader Posyandu di Kota Bau-Bau.
Terpilihnya Mama Caca tidak membuatnya besar kepala. Saat menutup perbincangan kami ia
menyatakan bahwa keaktifannya dalam membantu masyarakat didorong oleh prinsip hidup yang
dianutnya. Ada empat prinsip ia sampaikan: ikhlas, sabar, optimis, dan yakin! Ia menyadari betul bahwa
dengan membantu warga, waktunya akan tersita, pikirannya akan terkuras, tenaganya akan terpakai,
dan tentu saja waktu bersama keluarganya, khususnya suami dan kedua anaknya akan terbagi dengan
4. interaksinya dengan orang banyak. Untuk itu, ia mengutamakan keikhlasan dalam dirinya berbagi.
Semuanya jelas untuk kebaikan bersama. Ia percaya, kebaikan yang ia tanam sekarang akan berbuah
kebajikan atau pahala yang berlipat-lipat yang menyenangkan di masa mendatang[].