1. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gula merupakan salah satu kebutuhan pangan yang karena perannya dalam memenuhi
kelengkapan kebutuhan pangan, ditetapkan oleh negara sebagai salah satu komoditas
strategis. Industri pergulaan nasional menarik untuk dikaji mengingat bahwa komoditas gula
menyangkut kebutuhan pokok hidup masyarakat dan Indonesia merupakan salah satu negara
yang terletak di kawasan tropis. Hal ini menjadikan Indonesia menjadi negara yang memiliki
keunggulan komparatif sebagai penghasil gula tebu. Sejarah telah mencatat bahwa pada
tahun 1930 yang menjadi tahun pertama dimasa penjajahan, Belanda mulai membangun
industri gula di Indonesia. Pada saat itu produksi tebu mencapai hampir 26 juta ton dengan
luas tanam hampir 200 ribu hektar atau kira-kira 130,63 ton per hektar pertahun (PSE, 2005).
Namun dengan berjalannya waktu, jumlah produksi gula di Indonesia mengalami
penurunan dan penurunan ini tampak lebih signifikan pada era pasca nasionalisasi
perusahaan-perusahaan gula milik Belanda oleh pemerintah Indonesia. Berbagai usaha telah
banyak dilakukan oleh pemerintah setelah kemerdekaan dalam usaha meningkatkan
produktivitas industri gula di Indonesia melalui beberapa kebijakan terkait pengembangan
industri gula nasional, namun produksi nasional selama ini tidak beranjak meningkat dan
justru menurun baik secara kualitas maupun kuantitas.
Banyaknya kebijakan-kebijakan yang selama ini dirasakan oleh pelaku industri
pergulaan, baik di tingkat petani tebu, pabrik gula, distribusi, dan perdagangan gula yang
saling tumpang tindih tidak terkoordinasi dengan baik, dan justru menimbulkan situasi yang
kontra produktif bagi pengembangan industri pergulaan nasional. Dalam kaitannya dengan
impor gula, pemerintah berfungsi sebagai pengendali pelaksanaan impor tesebut dengan
tujuan menjaga harga gula pada tingkat yang cukup tinggi. Upaya ini dilakukan agar menarik
minat petani untuk menanam tebu.
1.2 Tujuan
1.3 Rumusan Maslah
1
2. BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Gula di Indonesia
Saat masa panen tebu ini umumnya petani tebu bisa mendapat keuntungan setelah masa
tanam selesai apalagi setelah melonjaknya harga gula di pasaran hingga mencapai Rp
11000,00/kg namun pada kenyatannya keuntungan tersebut tidak dinikmati oleh semua kalangan
pergulaan di Indonesia termasuk petani tebu dan pekerja pabrik gula. Masalah gula juga masih
menjadi masalah pelik di Indonesia mengingat kebutuhan gula di Indonesia rata-rata sebesar 4
juta ton sedangkan produksi nasional hanya sekitar 2,3 juta ton saja sehingga sisanya harus
diimpor dari luar. Impor gula inipun juga masih menjadi pro dan kontra karena kalangan petani
dan industri gula menolak penjualan gula rafinasi di tingkat pengecer karena akan merusak harga
gula lokal mengingat gula rafinasi hanya dijual Rp 6000 per kilogram. Ada apa dengan industri
gula di Indonesia? Industri gula adalah industri yang cukup tua di Indonesia karena sudah berdiri
sejak abad 17 dan mencapai puncaknya pada tahun 1930-an dimana produksi saat itu adalah 3
jutan ton serta mengekspor gula hingga 2 juta ton ke luar Indonesia.
Pada masa kolonial pemerintah Belanda memberika peluang pembukaan pabrik gula serta
sistem sewa tanah yang murah kepada penduduk lokal hingga 99 tahun untuk mengelola industri
gula serta perkebunan tebu. Didukung oleh tenaga kerja yang murah serta alih konversi lahan
pertanian kepada perkebunan gula maka produksi gula saat itu mencapai puncaknya namun
setelah Indonesia merdeka mulai terjadi penurunan kuantitas dan kualitas industri gula. Dari data
Proefstation Voor De Java Suikerindustrie – Jaargang 1934 rendemen tebu saat itu mencapai
11% namun saat ini rata-rata rendemen tebu hanya mencapai 7%. Secara garis besar ada
beberapa faktor yang mempengaruhi kemunduran industri gula di Indonesia yaitu
1 Penurunan lahan perkebunan tebu, saat ini lahan tebu yang ada di Indonesia mencapai
400.000 ha turun jika dibandingkan luasan tertinggi pada tahun 1996 yaitu 450.000 ha
2 Penurunan produktivitas lahan, dengan produktivitas lahan 6 ton/ha maka kebutuhan
gula di Indonesia masih perlu dibantu dengan impor. Penurunan ini banyak terjadi
2
3. karena tidak adanya peremajaan secara berkala terhadap tanaman tebu serta kualitas
bahan tanam yang kurang sebagai akibat fluktuasi harga gula nasional serta tidak
adanya kepedulian pemerintah terhadap peningkatan rendemen tebu.
3 Penurunan efisiensi pabrik gula, rata-rata pabrik gula di Indonesia yang berada di bawah
BUMN PT. Rajawali Nasional Indonesia (RNI) adalah pabrik gula peninggalan Belanda
dimana peralatan sudah cukup tua dan proses produksi tentu mengalami degradasi
karena faktor usia.
Tiga faktor dominan diatas adalah penyebab menurunnya produksi nasional sedangkan
kebutuhan nasional akan gula semakin meningkat terutama dengan munculnya industri makanan
dan minuman serta kebutuhan gula untuk rumah tangga. Lalu apa yang seharusnya dilakukan
demi menjaga stok kebutuhan gula nasional? Swasembada pangan termasuk gula bukan hal yang
tidak mungkin dilakukan mengingat sejarah bahwa Indonesia pernah menjadi negara pengekspor
gula ataupun jika terpaksa mengimpor gula maka setidaknya industri gula di Indonesia wajib
diberikan lingkungan usaha yang adil yaitu pengenaan pajak gula impor sehingga harga gula
impor seperti gula rafinasi tidak merusak harga pasar serta pemberian insentif pengembangan
produktivitas lahan serta peningkatan efisiensi pabrik gula dengan peremajaan alat produksi serta
penggunaan bibit tebu yang tinggi rendemennya.
Peningkatan produktivitas tebu tidak harus selalu dengan memperluas lahan perkebunan
tebu. India dan Vietnam sebagai negara pengekspor gula mampu mempertahankan produksi
nasionalnya tanpa harus memperluas areal perkebunan. Di India rata-rata pabrik gula mampu
mencapai produksi 5000 ton/hari dengan rendemen tebu rata-rata sebesar 8% dan jumlah pabrik
sebanyak 553 buah sedangkan Vietnam dengan 37 buah pabrik gulanya mampu memproduksi
gula sebanyak 96300ton/hari. Oleh karena itu industri gula di Indonesia bisa mengejar
ketertinggalan dengan cara peremajaan tanaman tebu serta perbaikan sistem tanam guna
meningkatkan rendemen tebu kiranya ahli perkebunan di Indonesia sudah cukup berkompeten
dalam hal penelitian untuk meningkatkan produktivitas tanaman.
Menurut P3GI (1997), terdapat lima kriteria pokok yang dapat dijadikan pedoman awal untuk
menentukan tidak efisiennya suatu pabrik gula, yaitu :
1.Kesulitan memperoleh lahan.
3
4. 2.Pengembangan lahan tebu mengarah ke lahan kering sehingga biaya angkut tebu meningkat.
3.Jumlah produksi gula kurang dari 250.000 kwintal per tahun, sehingga harga pokok per unit
hasil masih mahal.
4.Mutu bahan baku belum optimal sehingga biaya produksi pabrik gula tidak efisien.
5.Kapasitas giling masih banyak yang dibawah 2000 ton tebu per hari.
Berdasarkan lima kriteria pokok tersebut terdapat indikasi bahwa efisiensi pabrik gula
Indonesia masihrendah khususnya pabrik gula milik BUMN yang dapat disebabkan karena biaya
produksi gula belum efisien (Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 1997)
Sedangkan dalam perbandingan efektifitas untuk cara pembuatan gula di Indonesia dan
gula impor memang benar namun untuk proses gula impor lebih cepat dan efektif karena
teknologinya yang lebih baik dan canggih serta dapat memenuhi kebutuhan konsumen serta hasil
gula akhir yang lebih baik.
Revitalisasi pabrik gula di Indonesia adalah hal yang perlu dilakukan mengingat
berkurangnya jumlah pabrik gula di Indonesia sejak masa kemeredekaan dari 176 buah pabrik
menjadi 43 pabrik yang dikelola BUMN dan 17 pabrik dikelola swasta (Dewan Gula Indonesia,
2000). Pembangunan pabrik baru apabila tidak disertai dengan manajemen yang baik serta
kualitas SDM yang teruji tidak akan membawa dampak yang signifikan. Diantara tahun 1970-
1990 pemerintah telah membangun kurang lebih 9 pabrik gula baru namun produksinya tidak
mencapai 5000 ton/hari maka dari sini bisa dianalisa bahwa pembangunan pabrik gula baru tidak
selalu berarti penambahan produksi secara nasional jika manajemennya gagal mengelola pabrik.
Gula di Indonesia akan menjadi menurun jika pengelolaan tidak efisien serta semakin
berkurang produksi nasionalnya dan terpaksa mengandalkan impor semata sehingga harganya
harus mengikuti pasaran internasional mengingat negara-negara industri justru melindungi
produk pertanian dan perkebunan mereka dengan menaikkan pajak impor produk agrobisnis dan
mendorong pertumbuhan ekspor hasil pertaniannya ke negara-negara berkembang.
2.2 Mengatasi Masalah Gula di Indonesia
4
5. Terkait dengan segmentasi pasar gula, kebijakan pemisahan pasar gula kristal dan gula
rafinasi dalam jangka panjang idealnya dihilangkan karena kebijakan tersebut dapat menghalangi
masyarakat untuk membeli dan mengonsumsi secara langsung gula rafinasi yang lebih bersih dan
lebih murah. Apabila kebijakan ini dapat dilakukan maka berarti di pasar gula Indonesia hanya
diterapkan satu jenis gula yang bisa dikonsumsi langsung dan untuk keperluan industri makanan
dan minuman. Masalahnya adalah, harga gula di pasar internasional masih jauh lebih rendah
daripada biaya produksi gula kristal dalam negeri. Tanpa perlindungan yang memadai, petani
tebu dan pabrik gula di Indonesia akan dirugikan dan dalam jangka panjang berhenti
menghasilkan gula. Untuk itu diperlukan perubahan bertahap seiring dengan pencapaian
keberhasilan program revitalisasi pabrik gula.
Apabila segmentasi pasar gula ingin tetap dipertahankan, maka ada beberapa langkah
kebijakan untuk meningkatkan produksi gula dalam negeri.
1 Pertama, perlu adanya penerapan tarif impor gula mentah yang disesuaikan dengan harga
pokok produksi gula kristal dalam negeri. Tarif impor disesuaikan dengan harga gula mentah
di pasar internasional, sehingga harga jual gula rafinasi minimal sama dengan harga pokok
produksi gula kristal.
2 Kedua, stabilisasi harga gula konsumsi di tingkat konsumen perlu terus dijaga agar tidak
merugikan industri makanan minuman skala mikro dan rumah tangga sehingga tidak
menyumbang pada inflasi. Hal ini dapat dilakukan dengan memastikan kebutuhan pasar gula
konsumsi (gula kristal) terpenuhi, baik dari produksi gula petani maupun dari gula rafinasi
(apabila masih kurang).
3 Ketiga, untuk menjaga stabilitas harga gula petani, maka perlu dicegah rembesan gula
rafinasi ke pasar gula konsumsi. Harga lelang gula kristal milik petani dan pabrik gula harus
mampu memberikan insentif untuk petani meningkatkan produksinya. Biaya usahatani dan
pengolahan tebu perlu dihitung dengan cermat untuk dapat menentukan HPP gula yang
masih memberikan keuntungan memadai bagi petani tebu.
4 Keempat, untuk mencegah harga gula menyumbang pada inflasi, maka perlu kebijakan
stabilisasi harga di dua tingkatan, yaitu stabilisasi harga di tingkat pasar lelang gula milik
petani tebu dan stabilisasi harga di tingkat pasar konsumsi gula kristal. Untuk stabilisasi
5
6. harga di dua tingkatan pasar ini, pemerintah perlu memiliki lembaga yang dapat dijadikan
instrumen. Jika ada lembaga yang ditunjuk sebagai lembaga dengan tugas menjaga stabilisasi
harga di dua tingkatan ini, maka harus ada penguatan dan mekanisme yang membuat
lembaga tersebut efektif. Stabilisasi harga di pasar lelang gula milik petani berarti lembaga
tersebut harus membeli pada saat harga di bawah HPP. Artinya, membeli dengan harga yang
lebih mahal dari seharusnya. Sebaliknya, untuk stabilisasi harga di pasar konsumsi gula
kristal, lembaga ini harus mampu menekan harga gula pada saat harga naik di tingkat eceran.
Artinya, lembaga ini harus menjual gula dengan harga yang lebih murah dibanding harga
yang sedang berlaku agar harga pasar turun. Dengan kondisi harga gula refinasi (impor) yang
jauh lebih rendah daripada harga gula di pasar konsumsi domestik dan mudahnya gula
rafinasi merembes ke pasar konsumsi gula kristal, maka tingkat efektivitas lembaga ini
sebagai stabilisator harga akan rendah jika tidak ada mekanisme penguatannya.
Hal-hal yang perlu mendapat perhatian bagi strategi dan kebijakan untuk keluar dari perangkap
lower middle income dan menjadi negara high income adalah:
a. Memperkuat Sektor Pertanian
Sektor pertanian masih merupakan sektor strategis karena penyerapan tenaga kerja tetap
yang terbesar, namun ketersediaan lahan pertanian dan faktor produksi semakin menurun.
Sektor pertanian memiliki peran penting untuk meningkatkan kesejahteraan di pedesaan
dan menyediakan pasokan pangan secara mandiri dan berkelanjutan. Revitalisasi sektor
pertanian harus dilakukan secara menyeluruh mulai dari strategi intensifikasi
(peningkatan kualitas bibit, pupuk, irigasi), ekstensifikasi (pembukaan dan pencetakan
lahan pertanian baru), penanganan pada saat panen dan paska panen, hingga akses pasar
untuk mendapatkan harga jual yang lebih tinggi, sehingga petani mendapatkan manfaat
yang lebih besar dan lebih sejahtera.
b. Transformasi Struktural ke Sektor yang Lebih Produktif
Pengembangan sektor industri manufaktur perlu diakselerasi untuk meningkatkan
penyediaan lapangan kerja dengan tingkat upah yang lebih layak dan produk barang yang
lebih murah, lebih baikdan lebih inovatif. Peningkatan teknologi dan nilai tambah dalam
sektor Industri mutlak harus dilakukan untuk beralih dari ketergantungan terhadap
6
7. sumber daya alam alokasi tenaga kerja murah (resources and low cost-driven
growth)menjadi industri yang bernilai tambah tinggi dengan memanfaatkan modal fisik
dan sumber daya manusia terampil (productivity-driven growth), termasuk
pengembangan industri agribisnis serta hilirisasi produk pertanian (karet, CPO, kakao)
dan mineral (besi, nikel, aluminium). Untuk menghasilkan produk yang lebih baik dan
lebih inovatif, maka diperlukan kemudahan usaha dan akses produksi (peningkatan
konektivitas dan sistem logistik) serta insentif bagi sektor industri untuk mengembangkan
kegiatan riset dan teknologi untuk menghasilkan produk yang lebih inovatif dan berdaya
saing tinggi di pasar domestik dan global.
c. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
Untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik dan memenuhi kebutuhan sumber daya
manusia yang lebih trampil, maka program peningkatan kualitas sumber daya manusia
perlu terus ditingkatkan, baik di bidang kesehatan, pendidikan dan ketrampilan.
Modernisasi dan globalisasi ekonomi memacu kompetisi dan persaingan yang sangat
ketat melintasi batas-batas negara, sehingga kualitas dan ketrampilan tenaga kerja
menjadi faktor penentu untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan produktivitas
yang lebih tinggi. Tantangan berikutnya adalah penyediaan dan penciptaan lapangan
kerja yang sesuai dengan harapan, ketrampilan dan latar belakang pendidikan dari pencari
kerja.
d. Konsolidasi Fiskal
Pengalokasian anggaran belanja Pemerintah harus lebih efisien, terutama terkait dengan
pengeluaran subsidi. Kebijakan subsidi harus lebih tepat sasaran, sehingga subsidi harus
diarahkan bagi penerima yang berhak dan bukan terhadap produk (seperti BBM) yang
berlaku umum serta lebih banyak dinikmati oleh golongan yang mampu. Begitu pula
dengan anggaran belanja untuk pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan dan infrastruktur)
7
8. dan perlindungan sosial harus diperbesar, khususnya di daerah yang tertinggal untuk
mengurangi ketimpangan daerah, mengurangi kemiskinan dan mewujudkan pemerataan.
e. Mempertahankan Stabilitas Makro Ekonomi
Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat bersumber dari pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan. Agar pertumbuhan ekonomi terus tinggi dan dirasakan
manfaat oleh semua lapisan masyarakat (pertumbuhan inklusif) maka diperlukan
landasan stabilitasi makro ekonomi seperti tingkat inflasi yang terkendali, menjaga nilai
tukar rupiahdan mempertahankan daya beli. Untuk mengatasi defisit neraca perdagangan
akibat ketergantungan pada energi fossil (impor minyak bumi yang semakin besar), maka
perlu dikembangkanpemanfaatan energi baru terbarukan bagi transportasi, pembangkitan
listrik dan industri.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
8
9. DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS): Profil Kemiskinan di Indonesia September 2013, Berita Resmi
Statistik Nomor 06/01/Th. XVII, Januari 2014.
Badan Pusat Statistik (BPS): Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan III/2013, November
2013.
Badan Pusat Statistik (BPS): Laporan Data Sosial Ekonomi, November 2013.
9
10. Bambang P.S. Brodjonegoro: Technical Workshop Report untuk Konferensi “Avoiding the
Middle Income Trap: Lesson Learnt and Strategies for Indonesia to Grow Equitably and
Sustainably”, Bali, 12-13 Desember 2013.
Iwan Jaya Azis: Asia and Middle Income Trap, paper dalam Konferensi “Avoiding the Middle
Income Trap: Lesson Learnt and Strategies for Indonesia to Grow Equitably and Sustainably”,
Bali, 12-13 Desember 2013.
Jesus Felipe: Structural Transformation and the Middle Income Trap Notes on Indonesia,
paper dalam Konferensi “Avoiding the Middle Income Trap: Lesson Learnt and Strategies for
Indonesia to Grow Equitably and Sustainably”, Bali, 12-13 Desember 2013.
Mudrajad Kuncoro: Mengurangi Ketimpangan, Artikel dalam Harian Kompas, 2 Maret 2013.
Muhammad Chatib Basri: Jebakan Negara Berpendapatan Menengah, Artikel dalam Harian
Kompas, 14 Mei 2012.
10