SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 50
Baixar para ler offline
i
ii
JURNAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN
PENYEHATAN LINGKUNGAN
DEWAN REDAKSI

Penasihat

:

Direktur Jenderal PP dan PL
Sekretaris Ditjen PP dan PL

Penanggung Jawab

:

Kepala Bagian Hukormas

Redaktur

:

drg. Yossy Agustina, MH.Kes
dr. Ita Dahlia, MH.Kes
Dr. dr. Toni Wandra, M.Kes, Ph.D
Dr. Lukman Hakim
Dyah Prabaningrum, SKM

Penyunting/Editor

:

dr. Ratna Budi Hapsari, M.Kes
Dr. Suwito , SKM, M.Kes
Dr. dr. Toni Wandra, M.Kes, Ph.D
Ahmad Abdul Hay, SKM

Design Grafis/ Fotografer :

Eriana Sitompul
Bukhari Iskandar, SKM
Devi Nurdiansyah, Amd

Sekretariat

:

Dewi Nurul Triastuti, SKM
Risma, SKM
Putri Kusumawardani, ST
Aditya Pratama, SI.Kom
Indah Nuraprilyanti, SKM

Penerbit

:

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
Penyehatan Lingkungan
Jl. Percetakan Negara No.29 Jakarta 10560
Telepon/Faks: (021) 4223451
email: humas.p2pl@gmail.com
website: www.pppl.depkes.go.id
facebook: Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

dan

iii
Kata Pengantar
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan karunia-Nya sehingga Jurnal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan ini dapat diterbitkan demi memenuhi
kebutuhan pembaca dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan
khususnya pengendalian penyakit, baik yang menular maupun tidak menular serta
penyehatan lingkungan di Indonesia.

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan ini merupakan edisi 3 yang terbit
di penghujung tahun 2013. Jurnal ini diterbitkan dengan tujuan dapat mempublikasikan hasil
penelitian, karya ilmiah dan review terkait dengan program pengendalian penyakit dan
penyehatan lingkungan. Diharapkan jurnal ini dapat bermanfaat bagi para pembaca yang
ingin mengetahui perkembangan terbaru tentang program pengendalian penyakit dan
penyehatan lingkungan.

Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan jurnal ini.
Kritik dan saran yang membangun kami harapkan demi penyempurnaan dan kemajuan jurnal
ini.

Akhir kata, semoga jurnal ini dapat memberikan motivasi dan dorongan, serta bermanfaat
bagi kita semua.

Jakarta, Desember 2013

iv
Daftar Isi

Halaman
Efektivitas Bacillus Thuringiensis Varian Israelensis Serotipe H-14
Dalam Mematikan Larva Aedes Aegypti pada Skala Lapangan ............................

1-3

Ketahanan Hidup Pasien Kanker Payudara Stadium Awal di Rumah
Sakit kanker Dharmais Jakarta ...............................................................................

4-8

Pengembangan Dispeneser Anti Nyamuk dalam Menurunkan Kepadatan
Nyamuk Demam Berdarah Dengue ........................................................................ 9 - 12
Pelatihan dalam Impelementasi Sistem Skoring TB Anak di
Pelayanan Kesehatan Primer di DKI Jakarta .........................................................

13 - 15

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seks Multipartner pada
Tukang Ojek yang Mangkal di Dekat Lokalisasi Pasar Kembang Kota
Yogyakarta .............................................................................................................. 16 - 23
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keterlambatan Memulai
Pengobatan Pasien TB MDR di RS Persahabatan Jakarta..................................... 24 - 28
Pemeriksaan Pendahuluan Sanitasi Asrama Haji Donohudan Boyolali,
Jawa Tengah Tahun 2013 .....................................................................................

29 - 31

Hambatan Kolaborasi TB-HIV di RS Hasan Sadikin Bandung .............................

32 - 34

Evaluasi Pasca Pelatihan Jabatan Fungsional Entomolog Kesehatan
Tingkat Ahli Balai Besar Pelatihan Kesehatan Ciloto ............................................. 35 - 39
Faktor Risiko Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan di Desa
Bantargadung, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat Tahun 2013 ............................ 40 - 44

v
Efektivitas Bacillus thuringiensis varian israelensis Serotipe H-14
dalam Mematikan Larva Aedes aegypti pada Skala Lapangan
1

2

1

Suwito , Achmad Farich , Winarno , Budi Santoso
1

1

2

Direktorat PPBB, Direktorat Jenderal PP dan PL, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati
Bandar Lampung

Abstrak. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia. Upaya
pencegahan DBD yang paling efektif adalah dengan cara pengendalian vektor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
efektivitas Bacillus thuringiensis varian israelensis (Bti) serotipe H-14 dalam mematikan larva Ae. aegypti pada skala
lapangan. Penelitian ini dilaksanakan bulan Januari-Maret 2012 di Kota Tanjung Karang, Provinsi Lampung dengan desain
rancangan acak lengkap (RAL) terdiri dari 3 populasi kelompok perlakuan. Bti yang digunakan serotipe H-14 formulasi cair
9
mengandung 600 ITU per ml atau1,2 x 10 CFU, dengan dosis 2 tetes per 5 liter air. Kelompok populasi perlakuan I diberikan
sekali aplikasi Bti terhadap semua media perairan yang ada, kelompok populasi perlakuan II diberikan aplikasi Bti setiap
minggu, sedangkan kelompok populasi perlakuan III adalah kelompok kontrol dengan placebo. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pada sekali pemakaia Bti di lapangan efektif mematikan larva Ae. aegypti selama 3 minggu, sedangkan pada aplikasi
setiap minggu menunjukkan hasil yang efektif dan mulai minggu keempat tidak lagi ditemukan jentik nyamuk.
Kata kunci: Bti serotipe H-14, Efikasi, Larva Ae. Aegypti

Koresponden:
Suwito,
Subdit
Pengendalian
Arbovirosis, Direktorat PPBB, Ditjen PP dan PL.
Tep. 081379729578, email: suwito_enk@yahoo.co.id
PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah
satu masalah kesehatan utama di Indonesia.
Penyakit ini sering kali menimbulkan Kejadian Luar
Biasa (KLB) di beberapa kabupaten/kota di
Indonesia. Pada tahun 2012, kasus DBD di Indonesia
dilaporkan sebanyak 90.245 orang dengan kematian
816 orang (Ditjen PP dan PL, 2013). Angka
kesakitan dan kematian DBD yang masih tinggi
disebabkan oleh banyak faktor antara lain
restistensi vektor. Penggunaan insektisida dalam
pengendalian, rumah tangga dan pertanian secara
terus-menerus dapat memicu terjadinya resistensi
vektor (Ponlawat et all., 2005).
Upaya pencegahan DBD yang paling efektif adalah
dengan cara pemutusan mata rantai penularan,
yaitu dengan melakukan pengendalian vektor.
Berdasarkan Permenkes Nomor 374 Tahun 2010
tentang Pengendalian Vektor, dapat dilakukan
secara fisik, biologi dan kimiawi.
Penggunaan bahan pengendali Bacillus thuringiensis
varian israelensis (Bti) serotipe H-14 merupakan
bagian dari pengendalian vektor secara biologi. Bti
menghasilkan kristal protein yang disukai larva
nyamuk. Kristal protein yang dimakan/termakan oleh
larva menempel pada permukaan sel epitel usus,
sehingga membentuk pori atau lubang pada usus

yang pada akhirnya larva akan mengalami
gangguan pencernaan dan mati.
Kelebihan pengendalian vektor secara biologi
antara lain tidak menimbulkan resistensi dan residu
lingkungan yang berbahaya. Penelitian skala laboratorium Bti
telah terbukti mematikan larva Aedes, Culex dan
Anopheles. Aplikasi efikasi Bti skala lapangan
diperlukan untuk mengetahui efektivitas Bti dalam
membunuh larva nyamuk pada skala lapangan dan
penurunan kasus DBD.
Tujuan penelitian ini adalah: 1) Mengetahui efektivitas
Bti serotipe H-14 dalam mematikan larva Ae. aegypti
pada skala lapangan; dan 2) Mengetahui jangka waktu
Bti serotipe H-14 dalam mematikan larva Ae.
aegypti pada skala lapangan.
BAHAN DAN CARA
Waktu dan Tempat
Penelitian efikasi dilaksanakan sejak bulan Januari
sampai dengan Maret 2012. Penelitian dilaksanakan
di kelurahan paling tinggi kasus DBD, yaitu Kelurahan
Tanjung Senang, Kota Bandar Lampung, Provinsi
Lampung.
Bahan
Bahan yang diuji adalah Bti serotipe H-14 formulasi
9
cair yang mengandung 600 ITU per ml atau1,2 x 10
CFU, dengan dosis pemakaian dua tetes per lima liter air.

1
HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Penetesan Bti
Desain
Penelitian efikasi menggunakan desain eksperimen
metode rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3
perlakuan dan 8 ulangan.

Pada pengamatan awal, jumlah seluruh kontainer
sebanyak 1.034 buah, terdiri dari 529 positif larva
Ae. aegypti dan 505 negatif. Pada kelompok I
dengan sekali perlakuan Bti yang positif larva Ae.
aegypti sebanyak 153 kontainer dan negatif 197
kontainer. Pada kelompok II dengan perlakuan Bti
setiap minggu yang positif larva Ae. aegypti
sebanyak 172 kontainer dan negatif 88 kontainer.
Pada kelompok III sebagai kontrol yang positif larva
Ae. aegypti sebanyak 204 kontainer dan negatif 220
kontainer (Gambar 2).

Pengambilan Sampel Rumah
Populasi sampel adalah seluruh rumah yang ada
di tiga rukun tetangga (RT), yaitu RT 7, RT 5 dan RT
8. Populasi sampel di RT 7 dengan sekali perlakuan
Bti (kelompok I), populasi sampel di RT 5 dengan
perlakuan Bti setiap minggu (kelompok II),
sedangkan populasi sampel di RT 8 sebagai kontrol
(kelompok III).
Pengamatan Larva Nyamuk
Sebelum dilakukan pengujian, setiap media
perairan diamati keberadaan larva Ae. aegypti.
Kemudian pengamatan larva nyamuk dilakukan 24
jam pertama setelah perlakuan, selanjutnya setiap
minggu selama tujuh minggu. Selain pengamatan
larva Ae. aegypti, juga dilakukan pengamatan jenis
habitat perkembangbiakan larva Ae. aegypti.
Analisis
Analisis efikasi menggunakan panduan WHO (2003),
sebagai berikut:
- Bti serotipe H-14 dinyatakan efektif apabila
kematian larva≥80%, dan dinyatakan tidak efektif
apabila kematian larva <80%.
- Apabila kematian larva kontrol sebanyak 5-20%,
maka kriteria efikasi berdasakan rumus Abbot:
KL =

% KP - % KK
100 - % KK

Gambar 2. Pengamatan awal kondisi kontainer di
wilayah uji
1. Habitat Perkembangbiakan Ae. aegypti
Jenis kontainer yang positif larva Ae. aegypti
berturut-turut dari yang tertinggi hinggi terendah,
yaitu bak mandi 40,2%, sumur 16,8%, ember 12,8%,
gentong 8,6%, ban 4,1%, kolam ikan 3,7%,
dispenser 3,4%, gelas 2,6%, drum 1,9%, kaleng 1,5%,
aquarium 1,3%, pot bunga 0,9%, kulkas 0,6%,

x 100

KL=Kematian Larva, KP=Kematian Perlakuan, KK=Kematian Kontrol

- Apabila kematian larva kontrol lebih dari 20%,
maka pengujian dianggap gagal dan harus diulang
lagi.

toples 0,4% dan lain-lain 1,3% (Gambar 3).
Gambar 3. Persentase Kontainer Positif Larva Ae.
aegypti

2
2. Efektivitas Bti
Berdasarkan pengamatan pada kelompok I,
pada awal pengamatan didapatkan 153 kontainer
positif larva Ae. aegypti, setelah diberi perlakuan Bti
pada pengamatan 24 jam, 97,4% kontainer bebas
larva Ae. aegypti, pengamatan minggu pertama
sebesar 85% kontainer bebas larva Ae. aegypti,
minggu kedua 80,4%, minggu ketiga 80,4%, minggu
keempat 75,3%, minggu kelima 76,4%, minggu
keenam 80% dan minggu ketujuh 72,7% (Gambar
4).
WHO (2003) menyatakan bahwa sebuah metode
pengendalian dikatakan efektif apabila dapat
mematikan ≥80% vektor/serangga sasaran. Artinya,
pada sekali pemakaian Bti pada skala lapangan
efektif mematikan larva Ae. aegypti hingga tiga
minggu. Pada minggu keenam terjadi peningkatan
hingga 80% dikarenakan perilaku pemberantasan
sarang nyamuk (PSN) masyarakat yang membaik
setelah dikunjungi oleh petugas, bukan karena
efektivitas Bti.
Gambar 4. Efektivitas Bti serotipe H-14 pada sekali

Gambar 5. Efektivitas Bti serotipe H-14 pada
pemakaian tiap minggu dalam mematikan larva Ae.
aegypti pada skala lapangan

KESIMPULAN DAN SARAN
1. Bti serotipe H-14 efektif mematikan larva Ae.
aegypti hingga 3 minggu dalam sekali pemakaian di
lapangan.
2. Bti serotipe H-14 efektif mematikan larva Ae.
aegypti setiap minggu dalam pemakaian setiap
minggu di lapangan dan mulai minggu keempat
tidak lagi ditemukan jentik nyamuk.
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 374/Menkes/Per/III/2010 tentang Pengendalian
Vektor.

pemakaian dalam mematikan larva Ae. aegypti
pada skala lapangan
Berdasarkan pengamatan pada kelompok II setiap
minggu perlakuan Bti, pada awal pengamatan
didapatkan 172 kontainer positif larva Ae. aegypti,
setelah diberi perlakuan Bti pada pengamatan 24
jam, 99,4% kontainer bebas larva Ae. aegypti,
pengamatan minggu pertama sebesar 81,4%
kontainer bebas larva Ae. aegypti, minggu kedua
93%, minggu ketiga 98,3%, minggu keempat
99,3%, minggu kelima 100%, minggu keenam
100% dan minggu ketujuh 100% (Gambar 5). Pada
pemakaian Bti tiap minggu menunjukkan hasil yang
sangat efektif dalam mematikan larva Ae. aegypti
(kematian di atas 80%), bahkan mulai minggu kelima
kematian mencapai 100% (Gambar 5).

Kementerian Kesehatan RI, 2013. Tabulasi Kasus
DBD di Indonesia. Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Ponlawat, A., Scott, J.G., Harrington, L.C., 2005.
Insecticide susceptibility of Aedes aegypti and
Aedes albopictus across. Thailand. J. Medical
Entomol. Bangkok.
World Health Organization, 2003. Entomology and
Vector Control Trial Edition. Genewa.

3
Ketahanan Hidup Pasien Kanker Payudara Stadium Awal
di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta
1

Sorta Rosniuli , Teguh Aryandono
1

2

2

Direktorat PPTM, Direktorat Jenderal PP dan PL, Kemenkes RI, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada

Abstrak. Kanker payudara merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Upaya deteksi dini atau
penemuan kasus secara dini (early diagnosis) dan pengobatan segera (prompt treatment) akan mempengaruhi ketahanan
hidup pasien kanker payudara stadium awal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan lama ketahanan hidup
pasien kanker payudara stadium awal (0-IIB), perbedaan antara 0-IIA dan IIB, dan faktor luar yang berperan dalam
mempengaruhi ketahanan hidup pasien kanker payudara stadium awal. Penelitian ini menggunakan pendekatan kohort
retrospektif. Pasien kanker payudara stadium awal diamati sejak mulai operasi sampai mengalami kematian atau sampai
batas akhir pengamatan dengan menggunakan data sekunder yang direkap dari Form Ikhtisar Perawatan Kanker Payudara
dan Terapi sejak tahun 1995 sampai dengan 2009. Setelah data diperoleh maka dilakukan analisis ketahanan hidup
(survival analysis). Populasi penelitian adalah pasien kanker payudara stadium awal yang menjalani pengobatan di Rumah
Sakit Kanker Dharmais Jakarta. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi adalah pasien kanker payudara yang mendapat
tindakan operasi sejak tahun 1995 sampai 2009.
Kata kunci: Ketahanan hidup, Kanker payudara stadium awal

Koresponden: Sorta Rosniuli, Direktorat PPTM,
Ditjen
PP
dan
PL,
Telp.081383920228,
email:sortarosniuli@yahoo.co.id

memeriksakan diri atau mendapatkan pengobatan.
Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan ketahanan
hidup pasien kanker payudara adalah dengan
melakukan deteksi dini dan pengobatan segera.

PENDAHULUAN
Kanker merupakan salah satu penyakit yang
menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia
termasuk Indonesia. Setiap tahun terdapat 12 juta
orang di seluruh dunia menderita kanker dan 7,6
juta diantaranya meninggal dunia. Jika tidak dilakukan
pengendalian yang memadai, maka pada tahun
2030 diperkirakan 26 juta orang akan menderita
kanker dan 17 juta diantaranya akan meninggal
dunia. Kejadian ini akan terjadi lebih cepat
khususnya di negara miskin dan berkembang (UICC,
2009).
Pasien biasanya datang ke rumah sakit sudah
dalam keadaan stadium lanjut. Hukom, (2002)
menemukan bahwa dari 447 pasien kanker
payudara yang berobat ke Rumah Sakit Kanker
Dharmais (RSKD), hampir setengahnya merupakan
stadium lanjut. Keadaan ini dapat terjadi, karena
kurangnya pengetahuan
masyarakat
tentang
pentingnya melakukan deteksi dini, jarak tempuh ke
fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) yang jauh,
sehingga pasien terlambat datang ke fasyankes untuk

Berdasarkan Kepmenkes No. 796/Menkes/SK/VII/2010
tentang Pedoman Teknis Pengendalian Kanker
Payudara, upaya pengendalian kanker payudara
antara lain dengan melakukan pemeriksaan USG
pada umur<40 tahun dan mammography pada
umur>40 tahun. Pendidikan tinggi, pengetahuan
yang baik, metode yang tepat untuk deteksi dini,
dan pengobatan yang memadai sangat diperlukan
untuk meningkatkan hasil penanganan kanker
payudara (Park et al., 2008). Selain itu peningkatan
peran petugas kesehatan di tingkat pelayanan dasar
sangat efektif dalam penemuan kanker payudara
pada stadium awal (Gorey et al., 2010).
TUJUAN PENELITIAN

1. Mengetahui perbedaan lama ketahanan hidup
pasien kanker payudara stadium awal
2. Mengetahui perbedaan lama ketahanan hidup
kanker payudara stadium awal (0-IIB)
3. Mengetahui faktor luar yang berperan mempengaruhi
ketahanan hidup kanker payudara stadium awal

4
BAHAN DAN CARA
Penelitian ini menggunakan pendekatan kohort
retrospektif. Pasien kanker payudara stadium awal
diamati secara retrospektif sejak mulai operasi di
Rumah Sakit Dharmais sampai mengalami kematian
(event/out come) atau sampai batas akhir pengamatan
dengan menggunakan data sekunder yang direkap
dari Form Ikhtisar Perawatan Kanker Payudara dan
Terapi sejak tahun 1995 sampai dengan 2009.
Setelah data diperoleh maka dilakukan analisis
ketahanan hidup (survival analysis). Populasi penelitian
adalah penderita kanker payudara stadium awal
yang menjalani pengobatan di Rumah Sakit Kanker
Dharmais Jakarta. Sampel yang memenuhi kriteria
inklusi adalah penderita kanker payudara yang
mendapat tindakan operasi sejak tahun 1995
sampai 2009.
Jumlah sampel minimal dihitung sesuai dengan
rumus untuk penelitian kohort uji hipotesis terhadap
risiko relatif (Lameshow et al., 1990) sebagai berikut:

Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan jumlah
sampel minimal sebanyak 98 orang dengan
masing-masing kelompok stadium yang akan diuji

sebanyak 49 orang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, sebagian besar pasien kanker
payudara stadium awal yang datang ke RSKD
adalah stadium 0-IIA, yaitu 119 orang (69,59%).
Dari data karakteristik 178 orang pasien kanker
payudara stadium awal, 123 orang (69,1%)
diantaranya stadium 0-IIA, sedangkan 55 orang
(30,9%) stadium IIB. Dari pasien-pasien kanker
payudara stadium awal tersebut, jumlah yang
meninggal sebanyak 12 orang (6,7%) dan yang
hidup sebanyak 166 orang (93,3%) (Bagan).

Kanker Payudara Stadium Awal Tahun 1995 – 2009
n=178

Stadium 0-IIA

Stadium IIB

n=123

n=55

Hidup

Meninggal

Hidup

Meninggal

119 (96%)

4 (4%)

47 (84,7%)

8 (16,3%)

Bagan

Terdapat hubungan yang bermakna antara ketahanan
hidup kanker payudara dengan stadium klinis
(p=0,02). Bila dibandingkan antara stadium 0-IIA
dan stadium IIB, ditemukan rerata ketahanan hidup
(mean survival life) pada stadium IIB selama 93,63

bulan (CI 95%: 69,91-117,35), sedangkan pada
stadium
0-IIA selama 162,79 bulan (CI 95%:
151,86-173,72) dan median survival life 95 bulan (CI
95%:55,09-134,91) (Gambar).

5
1.0

Stadium
0 - II A (4)
II B (8)
0 - II A-censored (95)
II B-censored (41)

Ketahanan Hidup

0.8

0.6

0.4

0.2

Log Rank=8,804, p=0,003

0.0
0

50

100

150

200

Follow -up(bulan)

Gambar
Dari hasil analisis secara multivariate cox proportional
hazard, terlihat jelas perbedaan ketahanan hidup
kanker payudara stadium awal stadium 0-IIA
dibandingkan IIB. Perbedaan ini dibuktikan dengan
uji log rank yang secara statistik berbeda bermakna
dengan p=0,008. Hasil analisis multivariat dengan
Cox Proportional Hazard, nilai HR=5,22 kali (1,5517,55), artinya risiko kematian pada pasien kanker
payudara stadium IIB adalah 5,22 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan stadium 0-IIA setelah
memperhitungkan variabel kovariat (Tabel).
B

SE

p

Adjusted HR*
(95%CI**)

dan median survival life 95 bulan (95% CI:55,09134,91).
Risiko kematian pada pasien kanker payudara
stadium IIB 5,22 kali (95% CI: 1,55-17,55) lebih tinggi
dibandingkan stadium 0-IIA setelah memperhitungkan
variabel kovariat lainnya.
Letak tumor, umur, status perkawinan, pendidikan,
estrogen reseptor, progesteron reseptor, status p53, ukuran tumor, status kelenjar, HER-2, dan
kelengkapan terapi mempunyai hubungan terhadap
ketahanan hidup pasien kanker payudara stadium
awal, namun dalam penelitian ini setelah dibuktikan
secara statistik hasilnya tidak bermakna.
Saran

Sta1,652
dium

0,619

0,008

5,22 (1,55-17,55)

**Hazard Ratio, **Confidence Interval

Tabel model akhir faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap ketahanan hidup pasien kanker payudara
stadium awal di RSKD Jakarta (analisis Cox Proportional
Hazard)
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Terdapat hubungan yang bermakna antara ketahanan
hidup pasien kanker payudara dengan stadium
klinis (p=0,008). Bila dibandingkan antara stadium
0-IIA dan stadium IIB, rerata ketahanan hidup
(mean survival life) pada stadium IIB lebih rendah,
yaitu 93,63 bulan (95% CI: 69,91-117,35), sedangkan
stadium 0-IIA 162,79 bulan (95% CI: 151,86-173,72)

Kepada pasien
 Untuk menginformasikan dengan jelas dan tepat
tentang tempat tinggal, nomor telepon (baik tetap
maupun sementara), dan keluarga yang bisa
dihubungi dari tempat asal atau yang tinggal di
Jakarta, diharapkan mempunyai inisiatif untuk
menyampaikan kepada petugas RSKD jika pindah
alamat dan atau mengganti nomor telepon.
 Untuk semua perempuan, agar melaksanakan
deteksi dini, dan bagi yang sudah terdiagnosis
kanker payudara stadium awal, agar segera
mengikuti prosedur penanganan dan perawatan
yang lebih baik, sehingga memungkinkan untuk
mendapatkan ketahanan hidup yang lebih tinggi
dan kualitas hidup yang lebih baik. Pengobatan
lebih awal telah terbukti dapat meningkatkan
ketahanan hidup.
 Dianjurkan untuk selalu melakukan kontrol ke rumah
sakit, sehingga dapat terus terpantau dan dapat
segera diketahui jika penyakitnya kambuh lagi.

6
Kepada keluarga pasien
Agar keluarga memberikan dukungan dan perhatian
kepada pasien dalam menjalani pengobatan.
Berdasarkan studi ini pasien yang memiliki pasangan
hidup ketahanan hidupnya lebih baik dibandingkan
pasien yang tidak memiliki pasangan hidup.
Kepada masyarakat
Agar melakukan pemeriksaan deteksi dini dengan
teratur dan lebih meningkatkan wawasannya tentang
gejala dan tanda kanker payudara yang sering tidak
nyata. Apabila ada keluhan seringan apapun, agar
segera memeriksakan diri, sehingga meskipun pada
akhirnya didiagnosis sebagai kanker payudara stadium
awal, maka berdasarkan hasil penelitian ini ketahanan
hidup akan jauh lebih baik dan berkualitas.

Bagi pengelola program pengendalian penyakit
kanker
Baik di tingkat pusat maupun daerah, agar memfasilitasi
akses layanan deteksi dini, memperbaiki sistem
rujukan, meningkatkan akses layanan konseling agar
masyarakat mau untuk deteksi dini secara sukarela.

 Penelitian kohort dengan waktu pengamatan yang
lebih lama dengan jumlah sampel yang lebih
besar yang dilakukan di populasi.
 Menilai kekambuhan dari pasien kanker payudara
stadium awal dan faktor-faktor yang mempengaruhi
kekambuhan.
 Menilai faktor prognostik lain yang berkaitan dengan
ketahanan hidup pasien kanker payudara stadium
awal seperti kegemukan, comorbidity, dan faktor
genetik.
 Menilai perbedaan ketahanan hidup pasien yang
dari awal diagnosis langsung mendapatkan
pengobatan di Rumah Sakit Kanker Dharmais
dibandingkan pasien yang setelah didiagnosa,
lebih dahulu mendapatkan pengobatan di tempat
lain dan akhirnya dirujuk ke Rumah Sakit Kanker
Dharmais.
DAFTAR PUSTAKA
Aryandono T, 2006. Faktor Prognosis Kanker Payudara
Operabel di Yogyakarta. Disertasi. Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta
Clark GM, 2000. Prognostic and Predictive Factors.
Dalam:Harris JR, Lippmann, Morrow M, Osborne
CK, 2000. Disease of the Breast. second edition.
Lippincot. Philadelphia. 467-479.

Kepada tenaga medis dan paramedis
Disarankan agar lebih memperhatikan kelengkapan
rekam medik pasien, karena hanya dengan catatan
yang akurat dapat digunakan untuk rekomendasi
pengobatan yang tepat pada pasien kanker payudara.
Diharapkan juga turut mencatat faktor-faktor risiko
yang berhubungan dengan terjadinya kanker payudara.
Bagi rumah sakit sebagai manajemen data rekam
medik RS Kanker Dharmais.
Diharapkan agar pengelolaan pencatatan dan
pelaporan rekam medik dilakukan lebih baik lagi,
sehingga informasi data rutin dapat lebih lengkap,
missing data dapat diminimalkan dan tidak terjadi
kesulitan dalam menemukan rekam medik terutama
bagi pasien yang sudah meninggal.

Bagi peneliti lain, dianjurkan melakukan penelitian
lebih lanjut seperti:

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006.
Pedoman Kanker Nasional. Direktorat Jenderal
PP dan PL. Direktorat Pengendalian Penyakit
Tidak Menular. Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010.
Pedoman Teknis Pengendalian Kanker Payudara
dan Leher Rahim. Direktorat Jenderal PP dan
PL. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak
Menular. Jakarta.
T.S. Dabakuyo, F.Bonnetain, P.Roignot, M.L.Poillot,
G.Chaplain, T.Altwegg, G.Hedelin, and P.Arveux,
2007. Population Based Study Of Breast Cancer
Survival In Cote D’or (France):Prognostic Factors
And Relative Survival. Annals of Oncology
19:276-283.
Zhang BN, Shao ZM, Qiao XM, Li B, Jiang J, Yang
MT, Wang S, Song ST, Zhang B, Yang HJ,
2005. A Prospective Multicenter Clinical Trial Of

7
Breast Conserving Therapy for Early Breast
Cancer in China. Chinese Academy of Medical
Sciences. Peking Union Medical College. Beijing.

8
Pengembangan Dispenser Anti Nyamuk dalam Menurunkan Kepadatan
Nyamuk Demam Berdarah Dengue
Suwito
Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang, Direktorat Jenderal PP dan PL, Kemenkes RI
Abstrak. Tahun 2012 jumlah penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) sebanyak 90.245 orang dengan kematian 816
orang. Salah satu upaya pengendalian DBD adalah dengan cara pengendalian vektor. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui efektivitas dispenser anti nyamuk dalam menurunkan kepadatan nyamuk DBD. Penelitian dilaksanakan di Bogor
Jawa Barat dengan jumlah responden sebanyak 20 keluarga yang mempunyai dispenser sebagai sarana air minum
keluarga. Jenis penelitian eksperimen dengan desain rancangan acak lengkap. Responden diberikan perlakuan penyuluhan
dan pemasangan stiker anti nyamuk. Kepadatan nyamuk diamati sebelum dan setelah perlakuan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dispenser anti nyamuk efektif menurunkan populasi nyamuk di atas 80% setelah pemakaian minggu
ketujuh.

Kata Kunci: Dispenser Anti Nyamuk, Kepadatan Nyamuk

Koresponden:
Suwito,
Subdit
Pengendalian
Arbovirosis Direktorat PPBB Ditjen PP dan PL. Telp.
081379729578, email: suwito_enk@yahoo.co.id

1. Mengetahui perbedaan kepadatan nyamuk antara
sebelum dan setelah perlakuan dispenser anti nyamuk.
2. Mengetahui efektivitas (efikasi) dispenser anti
nyamuk dalam menurunkan kepadatan nyamuk.

PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah
satu masalah utama kesehatan di Indonesia. Penyakit
ini sering kali menimbulkan Kejadian Luar Biasa
(KLB) di beberapa kabupaten/kota di Indonesia.
Pada tahun 2012 terdapat 497 kabupaten/kota terserang
DBD, dengan total penderita sebanyak 90.245 orang
dan kematian 816 orang (Ditjen PP dan PL, 2013).
Pengendalian DBD yang efektif, yaitu pemutusan
rantai penularan dengan cara pengendalian vektor
(Aedes). Salah satu metode pengendalian vektor adalah
dengan cara modifikasi dan manipulasi lingkungan dan
tempat perkembangbiakan vektor (Ditjen PP dan PL, 2012).
Metode pengendalian secara fisik ini merupakan
alternatif utama sebelum dipilih metode secara kimiawi.
Banyak cara pengendalian secara fisik, antara lain
menggunakan ovitrap. Ovitrap adalah perangkap telur
nyamuk berupa media yang berisikan air untuk memancing
nyamuk meletakkan telurnya. Sebelum tumbuh menjadi
nyamuk dewasa, air di media ovitrap harus dibersihkan.
Tempat pembuangan air pada dispenser merupakan
tempat yang disukai nyamuk untuk meletakan telur
(Suwito, 2012), sehingga dispenser dapat digunakan
sebagai ovitrap, dengan syarat air pada dispenser
harus dibuang setiap minggu sebelum masa pra
dewasa tumbuh menjadi nyamuk dewasa.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis
merasa tertarik mengembangkan dispenser anti nyamuk
sebagai bahan pengendali nyamuk.
Tujuan Penelitian

Metode Penelitian
1. Tempat dan waktu
Penelitian dilaksanakan di perumahan di wilayah
Cinangneng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Perlakuan
dan pengambilan data dilaksanakan selama delapan
minggu pada bulan Maret dan April 2013.
2. Sampel penelitian
Sampel diambil secara purposive sebanyak 20
rumah yang mempunyai dispenser sebagai fasilitas
minum keluarga.
3. Rancangan penelitian
Merupakan penelitian ekperimen dengan Rancangan
Acak Lengkap (RAL).
4. Proses penelitian
a) Memberikan penyuluhan kepada ibu rumah tangga
pada 20 rumah yang terpilih sebagai sampel, dengan
pokok materi penyuluhan bahwa penampungan
air buangan pada dispenser harus diisi air dan harus
dibersihkan setiap hari minggu.
b) Melakukan penempelan stiker pada dispenser
bertuliskan “Dispenser anti nyamuk, penampungan air
buangan dispenser harus diisi dan harus dibersihkan
setiap hari minggu”.
c) Sebelum diberikan penyuluhan dan pemasangan stiker
dilakukan penangkapan nyamuk berupa penangkapan
nyamuk yang hinggap di dinding, baju, lemari dan
lainnya menggunakan aspirator.
d) Setelah dilakukan penyuluhan dan pemasangan stiker
dilakukan penangkapan nyamuk yang hinggap di
dalam rumah menggunakan aspirator setiap minggu.

9
5. Analisis data
Perbedaan kepadatan nyamuk sebelum dan setelah
perlakuan dispenser anti nyamuk dianalisis
menggunakan uji F. Adapun untuk mengetahui
efekasi dispenser anti nyamuk dalam menurunkan
kepadatan nyamuk dihitung menggunakan rumus
WHO (2003), yaitu dispenser anti nyamuk dinyatakan
efektif apabila dapat menurunkan kepadatan
nyamuk hingga minimal 80%.

pemasangan stiker didapatkan penurunan rata-rata
kepadatan nyamuk pada setiap minggu pengamatan,
yaitu: 6,1 per rumah per hari pada pengamatan minggu I,
5,05 minggu II, 4,35 minggu III, 3,85 minggu IV, 3,1
minggu V, 2,55 minggu VI, 1,35 minggu ke VII, dan
1,1 minggu VIII (Tabel 1).
Terjadinya penurunan kepadatan nyamuk, karena
dispenser merupakan tempat potensial sebagai habitat
perkembangbiakan nyamuk, bilamana setiap minggu
(7 hari sekali) dispenser dikuras dan dibersihkan
maka jentik nyamuk tidak akan tumbuh menjadi
nyamuk dewasa. Sebagaimana dikemukakan oleh
Beaty dan Marquardt (1996), bahwa periode pra
dewasa mulai telur, jentik hingga pupa membutuhkan
waktu 10-12 hari.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kepadatan nyamuk sebelum dan setelah perlakuan
Sebelum dilakukan perlakuan dispenser anti nyamuk
didapatkan kepadatan nyamuk rata-rata 6,85 per
rumah per hari. Adapun setelah diberikan perlakuan
dispenser anti nyamuk berupa penyuluhan dan
Tabel 1. Kepadatan nyamuk sebelum dan setelah perlakuan

Kepadatan nyamuk per rumah per hari

No
sampel
rumah

Sebelum
perlakuan

Mgg I

Mgg II

Mgg III

Mgg IV

Mgg V

Mgg VI

Mgg VII

Mgg VIII

1

8

6

5

5

4

4

3

2

1

2

6

6

5

4

4

4

2

2

2

3

8

7

6

5

5

3

3

2

0

4

9

8

6

5

4

4

3

0

1

5

6

6

6

4

4

3

2

0

0

6

7

6

5

4

3

3

2

2

1

7

8

7

5

5

5

3

3

1

1

8

6

6

5

4

3

3

2

1

1

9

6

5

4

4

4

4

3

0

1

10

4

5

7

6

5

3

3

0

0

11

8

7

5

4

4

3

3

3

2

12

6

6

5

4

3

2

2

2

2

13

7

7

5

4

4

3

2

2

2

14

6

6

4

4

3

2

2

2

1

15

3

4

3

2

3

2

1

0

0

16

7

6

5

4

3

2

2

2

2

17

4

3

3

2

2

3

3

1

0

18

9

7

5

6

4

3

3

1

2

19

7

6

6

5

5

4

3

2

1

20

12

8

6

6

5

4

4

2

2

Rata-rata

6,85

6,1

5,05

4,35

3,85

3,1

2,55

1,35

1,1

Setelah perlakuan

10
Perbedaan kepadatan nyamuk sebelum
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kepadatan
nyamuk per rumah per hari antara sebelum dan
setelah perlakuan pada pengamatan minggu
pertama tidak berbeda sacara signifikan. Perbedaan
secara signifikan setelah pengamatan pada
minggu kedua, ketiga dan seterusnya (Tabel 2).

dengan setelah perlakuan.
Hal ini menunjukkan bahwa secara statistik
pemakaian dispenser anti nyamuk
dapat
menurunkan kepadatan nyamuk setelah pemakaian
pada minggu ke dua dan seterusnya.

Tabel 2. Hasil uji beda kepadatan nyamuk sebelum dan setelah perlakuan
Pengamatan kepadatan nyamuk

p (α=0,05)

Keterangan

Sebelum dan setelah perlakuan minggu 1
Sebelum dan setelah perlakuan minggu 2
Sebelum dan setelah perlakuan minggu 3
Sebelum dan setelah perlakuan minggu 4
Sebelum dan setelah perlakuan minggu 5
Sebelum dan setelah perlakuan minggu 6
Sebelum dan setelah perlakuan minggu 7
Sebelum dan setelah perlakuan minggu 8

0,441
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000

Tidak signifikan
Signifikan
Signifikan
Signifikan
Signifikan
Signifikan
Signifikan
Signifikan

Efektivitas dispenser anti nyamuk sebagai
bahan pengendali nyamuk
Efikasi
(efektivitas
membunuh/menurunkan
kepadatan nyamuk) dari dispenser anti nyamuk
menunjukan peningkatan pada setiap minggu
pengamatan. Pada minggu I penurunan kepadatan
nyamuk sebesar 10,9%, minggu II 26,3%, minggu III
36,5%, minggu IV 43,8%, minggu V 54,7%, minggu
VI 62,8%, minggu VII 80,3% dan minggu VIII
83,9% (Tabel 3 dan Gambar).
Sebuah
bahan
atau
peralatan
dapat
direkomendasikan menjadi bahan pengendali

nyamuk apabila bahan atau peralatan tersebut
memenuhi standar efikasi minimal 80% (WHO, 2003).
Berdasarkan hasil penelitian perlakuan dispenser anti
nyamuk dapat menurunkan kepadatan nyamuk di
atas 80% mulai pemakaian minggu ke VII. Hal ini
menjelaskan bahwa pemakaian dispenser anti
nyamuk secara terus menerus, maka mulai
pemakaian minggu VII akan efektif sebagai bahan
pengendali nyamuk.

Tabel 3. Hasil uji efikasi dispenser anti nyamuk
Sebelum
perlakuan
Jumlah nyamuk
Efikasi (%)

137

Mgg I

Mgg II

Mgg III

122
10,9

101
26,3

87
36,5

Setelah perlakuan
Mgg
Mgg
Mgg V
IV
VI
77
62
51
43,8
54,7
62,8

Mgg
VII
27
80,3

Mgg VIII
22
83,9

Gambar 1. Hasil uji efikasi dispenser anti nyamuk

11
KESIMPULAN
Dispenser anti nyamuk dapat digunakan
sebagai alternatif dalam pengendali nyamuk,
karena hasil penelitian menunjukkan 80%
menurunkan
kepadatan
nyamuk
setelah
pemakaian tujuh minggu.
DAFTAR PUSTAKA
Beaty BJ, Marquardt WC. 1996. The Biology of
Diesease Vectors. Corolado, The University Press
of Colorado.
Ditjen PP dan PL. 2012. Peraturan Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
374/Menkes/Per/III/2010 tentang Pengendalian
Vektor. Jakarta.
Service MW. 2000. Medical Entomology for
Students.
United
Kingdom,
Cambridge
University Press.
Subdit Pengendalian Arbovirosis. 2013. Laporan
Penderita DBD Indonesia. Jakarta.
Suwito.
2012.
Habitat
Perkembangbiakan
Nyamuk Aedes aegypti. Laporan Penelitian.
Jakarta.
Taboada O. 1966. Medical Entomology. Maryland
Bethesda, Naval Medical School, National
Naval Medical Center.
WHO. 2003. Malaria Entomology and Vector
Control Trial Edition. Genewa.

12
Pelatihan dalam Implementasi Sistem Skoring TB Anak
di Pelayanan Kesehatan Primer di DKI Jakarta
1

1

2

2

3

Nastiti Kaswandani , Wahyuni Indawati , Ida Kurniawati , Hanif Sri Utami , Retno Budiati
1

2

RS Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta,
3
Subdit Pengendalian TB, Direktorat PPML, Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI

Abstrak. Indonesian Childhood TB Working Group telah mengembangkan sistem skoring yang diadopsi oleh Program TB
Nasional sebagai kebijakan nasional tahun 2008. Tidak terdapat data mengenai implementasi sistem skoring di Pusat
Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Indonesia, terutama performa dokter umum di puskesmas yang menggunakan
skoring ini serta akurasinya dalam mendiagnosis TB anak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik
tenaga kesehatan di puskesmas, pengetahuan dan praktik dokter umum mengenai sistem skoring pada TB anak, dan
akurasi sistem skoring TB anak yang dilakukan oleh dokter umum di Puskesmas DKI Jakarta. Pengetahuan dan praktik
dokter umum dinilai melalui dengan menggunakan kuesioner. Dokter umum dilatih selama 2 hari dan diberikan pedoman
teknis penggunaan sistem skoring TB anak. Dua puluh tiga dokter umum dari 12 puskesmas diikutsertakan pada penelitian
ini dengan rentang usia 27-57 tahun (median 38.5). Pengetahuan dan praktik dokter umum dinilai kurang optimal, setelah 2
hari pelatihan, pengetahuan dokter umum tersebut meningkat. Pasien anak dengan TB yang diikutsertakan pada penelitian
ini adalah 105 pasien, terdiri dari 56 (53.3%) laki-laki dan 49 (46.7%) perempuan. Usia pasien 6 bulan hingga 13 tahun
(median 3 tahun 8 bulan). Akurasi diagnosis TB oleh dokter umum dibandingkan dokter spesialis anak adalah 73.3%,
dengan sensitivitas 85.0% dan spesifisitas 66.2%. Disimpulkan bahwa pengetahuan dasar dan praktik sistem skoring oleh
dokter umum kurang optimal. Akurasi dan sensitivitas diagnosis TB oleh dokter umum di Puskesmas dibandingkan dengan
dokter spesialis anak pada rumah sakit pusat rujukan, masuk kategori cukup atau sedang. Ketidaksesuaian terendah pada
poin skoring adalah pada poin status gizi, batuk kronik, serta foto polos dada. Sesuai hasil pernelitaian, maka perlu
peningkatan implementasi sistem skoring melalui pelatihan, dan pedoman teknis yang lebih fokus pada poin akurasi
terendah pada sistem skoring tersebut.
Kata kunci: TB anak, skoring, Dokter umum, Dokter spesialis anak

Koresponden: Nastiti Kaswandani, Departemen Anak,
RS Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Telp. 08159416858; Retno B,
Subdit Pengendalian TB, Telp. 021-42804154,
081288668597
PENDAHULUAN
Penegakan diagnosis TB pada anak lebih sulit
dibandingkan pada dewasa, karena gejala klinis
kurang spesifik dan konfirmasi diagnosis secara
bakteriologis sangat terbatas. Kelompok kerja TB
anak telah membuat sistem skoring yang telah
diadopsi oleh Subdit TB, Ditjen PP dan PL sebagai
kebijakan nasional. Belum ada data, seberapa optimal
implementasi sistem skoring di puskesmas dan
bagaimana akurasi sistem skoring untuk diagnosis
TB anak.

BAHAN DAN CARA
Studi potong lintang dan uji diagnosis dilaksanakan
untuk mendeskripsikan implementasi sistem skoring
dan akurasinya di puskesmas di DKI Jakarta. Dokter
umum yang melakukan penegakan diagnosis TB
anak diminta mengisi kuesioner tentang pengetahuan
dan perilakunya terhadap pelaksanaan sistem skoring.
Dokter mendapat pelatihan skoring selama 2 hari
termasuk pelatihan melakukan uji tuberculin. Observasi
lapangan dilakukan untuk menilai perilaku dokter dalam
mendiagnosis TB dan fasilitas yang tersedia untuk
menunjang sistem skoring. Diagnosis TB menggunakan
skoring oleh dokter umum di puskesmas dinilai
dengan baku emas diagnosis oleh konsultan pulmonologi
anak di RSCM dan pemantauan kemajuan klinis
setelah 3 bulan penegakan diagnosis.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik,
pengetahuan, dan perilaku dokter umum di puskesmas
terhadap sistem skoring pada TB anak, serta
menentukan akurasi sistem skoring TB anak yang
dilakukan oleh dokter umum di puskesmas.

Dokter umum yang menggunakan sistem skoring
sebanyak 23 dokter umum dari 12 puskesmas di 5
wilayah DKI:
- Rentang usia 27-57 (median 38.5) tahun

13
- Telah bertugas antara 1-10 tahun sebanyak 11
orang, 11-20 tahun 8 orang dan lebih dari 20 tahun
4 orang
- Hanya 2 dari 23 dokter yang telah mendapat pelatihan
skoring.
Untuk menentukan akurasi diagnosis sistem skoring,
sebanyak 105 pasien tersangka TB (usia 6 bulan-13
tahun) dievaluasi oleh dokter umum maupun dokter anak
konsultan paru.
Ketepatan
Akurasi Diagnosis TB anak oleh dokter Puskesmas
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Akurasi diagnosis TB anak oleh dokter puskesmas
Diagnosis

Akurasi (%)

Komponen Sistem Skoring
Foto Toraks

62.8

Status Gizi

66.7

Batuk kronik

66.7

Pembesaran Kelenjar Getah
Bening

70.5

Demam

75.2

Kontak TB

85.7

Sistem Skoring secara
keseluruhan

73.3

Analisis
- Kesalahan paling tinggi pada foto toraks dipengaruhi
oleh pembacaan hasil foto toraks dari ahli radiologi
yang tidak mengetahui kondisi klinis.
- Penelitian lain pun menunjukkan besarnya variasi
pembacaan radiologi sehingga terjadi over
diagnosis jika menggunakan foto toraks sebagai
alat diagnosis.
- Penilaian status gizi yang tidak tepat disebabkan
oleh penilaian berat badan sesuai usia, padahal
seharusnya menggunakan berat badan berdasarkan
tinggi badan atau kesalahan menggunakan grafik
pertumbuhan.

- Pendekatan gejala batuk kronik sering menjadi
over diagnosis karena dokter kurang menggali
gejala batuk secara cermat, seperti menanyakan
durasi, intensitas batuk dari waktu ke waktu, faktor
pencetus batuk, riwayat alergi dan kemungkinan
penyebab batuk selain TB.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Meskipun dalam kesehariannya dokter puskesmas
menyatakan menggunakan skoring, namun hasil
evaluasi mengenai pengetahuan dan sikap yang
tepat untuk menggunakan skoring masih kurang
optimal.
2. Dengan baku emas diagnosis oleh konsultan
(yang dikonfirmasi dengan kemajuan klinis pada
pemantauan setelah 3 bulan), akurasi diagnosis
TB oleh dokter puskesmas dengan menggunakan
skoring adalah 73.3%.
3. Komponen skoring yang memiliki kesalahan atau
ketidaksesuaian paling tinggi adalah penilaian foto
toraks, batuk kronik dan penilaian status gizi.
4. Penerapan sistem skoring tanpa disertai pelatihan
dan ketersediaan fasilitas penunjang dapat
menyebabkan berkurangnya akurasi sistem skoring di
pelayanan kesehatan primer.
5. Implementasi sistem skoring yang baik dapat
mengurangi over/under diagnosis TB anak serta
meningkatkan kualitas laporan di puskesmas.
Saran
1. Penegakan diagnosis TB anak dengan menggunakan
sistem skoring akan optimal jika disertai dengan
pelatihan terutama pada penilaian status gizi anak,
penilaian batuk kronik, dan penggunaan foto
toraks.
2. Dokumentasi/pencatatan kasus TB anak sebaiknya
dibuat secara khusus untuk meningkatkan
penggunaan skoring dan pelaporan kasus.
3. Setiap puskesmas seyogyanya memiliki fasilitas
penunjang diagnosis TB anak yang nilai skoringnya
besar, yaitu uji tuberkulin.
4. Foto toraks tidak direkomendasikan sebagai satusatunya penunjang diagnosis TB anak, karena
memiliki akurasi yang rendah.
5.
DAFTAR PUSTAKA
Coulter JBS. Diagnosis of pulmonary tuberculosis in
young children. Annals of Tropical Paediatrics.
2008; 28: 3-12.

14
Filho JCC, MA Caribe, SCC Caldas, EM Netto. Is
tuberculosis difficult to diagnose in childhood and
adolescence? Journal Brasileiro de Pneumologia. 2011;
37(3): 288-93.
Stop TB Partnership Childhood TB Subgroup, World
Health Organization. Introduction and diagnosis of
tuberculosis in children. The International Journal of
Tuberculosis and Lung Disease. 2006; 10(10):
1091-7.
Swaminathan S, B Rekha. Pediatric tuberculosis:
global overview. Clinical Infectious Disease.
2010; 50(S3): S184-94.
Theart AC, J Marais, RP Gie, AC Hesseling, N Beyers.
Criteria used for the diagnosis of childhood
tuberculosis at primary health care level in a highburden, urban setting. The International Journal
od Tuberculosis and Lung Disease. 2005; 9(11):
1210-4.

15
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seks Multipartner pada Tukang
Ojek yang Mangkal di Dekat Lokalisasi Pasar Kembang Kota Yogyakarta
Lili Junaidi
Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Semarang, Direktorat Jenderal PP dan PL, Kemenkes RI
Abstrak. Tukang ojek yang mangkal di dekat lokalisasi memiliki risiko untuk tertular dan meningkatkan jumlah kasus infeksi
menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS karena tukang ojek mempunyai peran ganda, yaitu menjadi perantara pelanggan
atapun dia sendiri sebagai klien dari Pekerja Seks Komersial (PSK). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi perilaku seks multipartner pada tukang ojek yang mangkal di dekat lokalisasi pasar kembang (Sarkem)
Kota Yogyakarta. Jenis penelitian adalah explanatory research dengan pendekatan belah lintang (cross sectional). Tehnik
sampling yang digunakan exhausting sampling dan diperoleh sampel sebanyak 67 responden dimana terdapat 43
responden yang multipartner. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan metode wawancara. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar tukang ojek berperilaku seks multipartner berisiko. Variabel yang paling berpengaruh
adalah lama bekerja responden tukang ojek, sedangkan kemampuan diri merupakan variabel protektif terhadap perilaku
seks berisiko. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya, baik melalui diskusi yang diprakarsai pemimpin paguyuban atau
penyuluhan yang berkaitan dengan IMS dan HIV/AIDS. Begitu juga penyuluhan tentang bahaya perilaku seks berisiko oleh
institusi resmi atau lembaga sosial masyarakat kepada para tukang ojek. Diharapkan upaya ini dapat meningkatkan
kemampuan diri tukang ojek dalam rangka memperkecil risiko dan melakukan tindakan pencegahan terhadap penularan IMS
dan HIV/AIDS.
Kata kunci: Tukang ojek, Perilaku seks multipartner, Sarkem Yogyakarta

Koresponden: Lili Junaidi, KKP Semarang, Ditjen PP
dan PL, Telp. 081, email: lilijunaidi77@gmail.com
PENDAHULUAN
Di Indonesia kasus HIV dari Januari sampai dengan
bulan Maret 2012 dilaporkan sebanyak 5.991 kasus
baru, dimana persentase kasus HIV tertinggi pada
golongan usia produktif 25-49 tahun (75,4%) dan
persentase faktor risiko tertinggi adalah hubungan
seks tidak aman pada heteroseksual (46,6%).
Sedangkan kasus AIDS dari Bulan Januari sampai
dengan Maret 2012 dilaporkan sebanyak 551 kasus.
Persentase kasus AIDS tertinggi pada kelompok
umur 30-39 tahun (35,2%) dengan persentase faktor
risiko tertinggi adalah hubungan seks tidak aman pada
heteroseksual sebanyak 77% (Ditjen PP dan PL, 2012).
Perkembangan jumlah kasus HIV/AIDS di Kota
Yogyakarta semakin meningkat, yaitu pada tahun
2004 sebanyak 45 kasus HIV dan 8 kasus AIDS,
Pada akhir tahun 2009 terdapat 56 kasus HIV dan
73 kasus AIDS. Dari tahun ke tahun, kelompok
umur yang ditemukan positif HIV selalu tinggi pada
kelompok umur 20-44 tahun, dan 60% diantaranya
adalah laki-laki, 31 persen perempuan dan sisanya
tidak diketahui jenis kelaminnya. Angka ini dinilai
cukup tinggi dibandingkan dengan target nasional
angka penderita HIV/AIDS perempuan tahun 2015,
yakni 25%. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan

Kota Yogyakarta, dari tahun 2004 sampai dengan
Juli 2010, persentase faktor risiko tertinggi kasus
HIV/AIDS adalah hubungan seks tidak aman pada
heteroseksual (Shinta, 2011).
Pria yang potensial menjadi pelanggan Pekerja Seks
Komersial (PSK) adalah pria yang suka bepergian
dalam jangka waktu lama dan pisah dengan pasangan
seks utamanya, seperti pelaut dan anak buah kapal,
nelayan, serta sopir dan kernet truk. Termasuk pula
di dalam kelompok pria yang potensial menjadi
pelanggan PSK adalah tenaga kerja bongkar muat
barang di pelabuhan, dan tukang ojek yang mempunyai
peran ganda, yaitu menjadi perantara pelanggan
ataupun dia sendiri sebagai klien dari PKS (Depkes
RI, 2008). Pola pergaulan antara tukang ojek dengan
PKS menunjukkan hal yang spesifik, yaitu keduanya
bukan lagi berdasarkan materiil tapi ada beberapa
yang bahkan menjalin hubungan sebagai pacar.
Artinya bahwa dalam hubungan seksual mereka tidak
lagi harus membayar karena saling membutuhkan.
Selain itu, sebagai penghasilan tambahan tukang
ojek memberikan pelayanan kepada konsumen/
pelanggannya yang meminta informasi tentang
PSK, sehingga mengakibatkan penularan HIV pada
pelanggan semakin meningkat. Hasil penelitian yang
dilakukan Urbanski, menunjukkan bahwa tukang ojek
yang mangkal di sekitar warung-warung teh poci
simpang lima Semarang mempunyai tiga bentuk
hubungan dengan PSK yang mangkal di warung-

16
warung teh poci, yaitu: 1)sebagai pacar dari PSK
tersebut; 2)mengantarkan PSK (nama lain yang
terkenal di Semarang selain PSK adalah Ciblek) ke
hotel untuk berhubungan seks dengan konsumennya;
dan 3)melarikan ciblek ketika ada operasi dari Satuan
Polisi Pamong Praja (Satpol PP) atau lainnya. Inilah
yang menjadikan posisi tukang ojek mempunyai
peran yang unik dalam laju penularan HIV/AIDS
(Urbanski, 2006).
Tukang ojek yang mangkal di dekat lokalisasi
prostitusi mempunyai risiko tinggi untuk tertular
HIV/AIDS, karena pada dasarnya pekerjaan dan
tempat bekerja mereka dekat dengan kehidupan
malam dan pekerja seks, sehingga tidak menutup
kemungkinan melakukan hubungan seksual dengan
mereka yang mempunyai risiko tinggi untuk
menularkan IMS/HIV. Hasil penelitian di Peruvian
Amozon, 99% tukang ojek berhubungan seks
dengan Wanita Pekerja Seks (WPS), dimana hanya
21% yang selalu menggunakan kondom ketika
berhubungan seks dengan WPS dan 62% dari
mereka pernah menderita IMS. Penelitian di Kota
Benin, Nigeria juga menunjukkan bahwa tukang ojek
mempunyai risiko tinggi tertularnya HIV/AIDS. Dari
66% tukang ojek yang berhubungan seks dengan
WPS, hanya 45% diantaranya yang menggunakan
kondom secara konsisten (Postgrad, 2005).
Di sekitar Lokalisasi Sarkem, Kecamatan Gedong
Tengen Yogyakarta, banyak tukang ojek yang mangkal.
Keberadaan tukang ojek tersebut merupakan kondisi
dimana mereka berada di tempat yang terpapar
yang kemungkinan bisa membawa risiko tertular IMS
dan HIV/AIDS. Proses keterpaparan yang terus
menerus ini akan mendorong pada perilaku yang
berisiko terinfeksi IMS dan HIV/AIDS, karena
mempunyai akses yang mudah untuk memperoleh
pelayanan dari PSK, sehingga pada gilirannya akan
menyebabkan terjangkitnya HIV/AIDS. Oleh karena
itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku tukang
ojek yang multipartner yang mangkal di dekat
lokalisasi Sarkem Kota Yogyakarta.
BAHAN DAN CARA
Metode Desain, Sampel, dan Sampling
Penelitian ini termasuk penelitian penjelasan
(explanatory research) dengan desain penelitian
cross sectional. Sebanyak 67 tukang ojek yang berada
di dekat lokalisasi Sarkem Yogyakarta dijadikan
sebagai sampel dengan teknik exhausting sampling,
yaitu peneliti menggunakan seluruh populasi sumber,
karena seluruh populasi dalam penelitian ini
merupakan populasi berisiko. Kemudian dari sampel

tersebut terdapat 43 orang yang multipartner.
Penelitian dilakukan pada bulan September 2011.
Cara pengukuran
Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara.
Variabel dependen (perilaku seks multipartner)
dikategorikan 2 sub, yaitu perilaku seks multipartner
berisiko dan tidak berisiko. Dikatakan “berisiko” apabila
melakukan hubungan seks dengan berganti-ganti
pasangan dan tidak konsisten (tidak/tidak selalu)
menggunakan kondom ketika berhubungan seks dengan
pasangan tidak tetap. Sedangkan “tidak berisiko”
apabila konsisten (selalu) menggunakan kondom
ketika berhubungan seks dengan pasangan tidak
tetap. Variabel independen meliputi karakteristik
sosio-demografi, persepsi kerentanan IMS dan
HIV/AIDS, persepsi kegawatan IMS dan HIV/AIDS,
pengetahuan tentang IMS dan HIV/AIDS, sikap
tentang perilaku seks berisiko, kemampuan diri untuk
mencegah IMS dan HIV/AIDS, sikap pemimpin
kelompok tentang perilaku seks berisiko, serta
frekuensi akses media informasi tentang pornografi,
IMS dan HIV/AIDS. Instrumen penelitian telah diuji
validitas dan reliabilitasnya.
Analisis data
Data dianalisis secara univariat, bivariat menggunakan
uji chi square dengan alpha 5% dan multivariat
menggunakan uji analisis regresi logistik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Pasar Kembang atau Sarkem berdiri sejak 1818,
itu artinya, sejak zaman penjajahan Belanda sudah
ada. Keberadaan Sarkem ini juga mendapat legalisasi
pemerintah Belanda. Jika seluruh buruh pembuat
jalan kereta api sudah menerima upah dari hasil
keringatnya, maka diharapkan mereka menghabiskan
gajinya ke "Sarkem" yang diciptakan oleh pemerintah
Belanda. Sehingga, perputaran uang tetap kembali lagi
ke pemerintah Belanda di Yogyakarta.
Pada saat ini, di lokalisasi Sarkem terdapat 45
bangunan dengan jumlah PSK 315 orang dan sistem
pengelolaan lokasi berada dalam satu Rukun Warga
(RW), dimana keberadaannya di perkampungan
tengah perkotaan. Bentuk praktiknya secara terbuka
berada di sekitar jalanan Sarkem/ Stasiun Tugu
Yogyakarta dan tertutup berbentuk salon kecantikan
dan rumah indekost sebagai tempat-tempat prostitusi
yang menyediakan layanan pekerja seks. Di lokalisasi
ini masih belum ada peraturan lokal kondom 100%,
namun masih dalam tahap sosialisasi.
Karakteristik Sosio-Demografi

17
Sebagian besar responden adalah laki-laki berumur
41-61 tahun dan telah menikah. Kelompok ini merupakan
populasi berisiko dimana dari hasil wawancara
beberapa responden mengatakan bahwa mereka
jauh dari keluarga (istri) dan tinggal di pangkalan ojek.
Tingkat pendidikan lanjutan (tamat SLTP) lebih
banyak dibandingkan dengan pendidikan dasar.
Selain itu, lama bekerja sebagai tukang ojek lebih
dari 6 bulan menyebabkan paparan yang lebih
sering terhadap lingkungan prostitusi (Tabel 1).
Tabel 1. Distribusi karakteristik sosio-demografi
tukang ojek
Variabel
Kelompok umur
23-40 tahun
41-61 tahun
Total
Tingkat
pendidikan
SD
SMP
Total
Status menikah
Belum Nikah
Menikah
Total
Lama bekerja
≤ 6 Bulan
> 6 Bulan
Total
Aktifitas di waktu
luang
Tdk Berisiko
Berisiko
Total

Frekuensi

Persentase

26
41
67

38.8
61.2
100

23
44
67

34.3
65.7
100

5
62
67

7.5
92.5
100

15
52
67

22.4
77.6
100

28
39
67

41.8
58.2
100

Sebagian besar (58,2%) tukang ojek memiliki
aktifitas waktu luang berisiko. Hal ini ditunjukkan
dari jawaban kuesioner responden yang mempunyai
kebiasaan kadang-kadang menginap di luar rumah
sebanyak 19 (28,4%) dan merokok 28 (41,8%) serta
kadang-kadang minum minuman keras sebanyak 20
(29,9%).
Umur
Hasil penelitian secara univariat menunjukkan
persentase umur responden. Hasil penelitian menunjukkan
distribusi umur responden yang paling banyak
adalah kelompok umur antara 41- 61 tahun, yaitu 41
responden (61,2%).

Secara bivariat menunjukkan bahwa pada kelompok
umur 41-61 tahun, dari 41 responden sebanyak 28
responden (68,3%) berperilaku seks multipatner.
Sedangkan pada kelompok umur 23-40, dari 26
responden, sebanyak 15 (57,7%) yang berperilaku
seks multipatner. Hasil uji statistik diperoleh nilai
p=0,378, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara umur dengan
perilaku tukang ojek yang multipartner.
Perbedaan usia mempengaruhi karakteristik individu
baik dari segi fisik, psikososial maupun perkembangan
kognitifnya. Ciri dari usia dewasa awal adalah masa
penyesuaian diri dengan cara hidup baru dan
memanfaatkan kebebasan yang diperolehnya
(Hurlock, 1973). Usia dewasa awal dimulai pada
umur 18 tahun sampai kira-kira 40 tahun, saat
perubahan fisik dan psikologi (Hurlock, 1980). Pada
usia itu terjadi masa transisi, baik transisi secara
fisik (physically trantition), transisi secara intelektual
(cognitive trantition) serta peran sosial (social role
transtition) (Santrock, 2011). Semakin dewasa seseorang,
maka akan semakin meninggalkan serotip belasan
tahunnya dan seseorang tersebut akan memusatkan
diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status
dewasa, salah satunya yaitu perilaku seksual
(Hurlock,1980).
Tingkat Pendidikan
Hasil penelitian menunjukkan, mayoritas responden
mempunyai pendidikan tingkat lanjut (tamat SLTP).
Dari 67 responden, sebanyak 44 responden (65,7%)
tamat SLTP. Sedangkan responden yang tidak tamat
SLTP atau tamat SD sebanyak 23 responden (34,3%).
Secara bivariat, responden yang mempunyai tingkat
pendidikan lanjutan mempunyai perilaku seks multipartner
lebih tinggi dibandingkan responden yang berpendidikan
dasar (tidak tamat SLTP), yaitu 13 responden (29,5%)
dari 44 responden.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,138, maka
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara tingkat pendidikan dengan perilaku
tukang ojek yang multipartner.
Status Menikah
Secara univariat hasil penelitian menunjukkan
bahwa mayoritas responden sudah menikah, yaitu 62
(92,5%) dari 67 responden. Sedangkan yang belum
menikah sebanyak 5 responden (7,5%). Secara
bivariat, dari 62 responden yang sudah menikah, 21
(33,9%) diantaranya berperilaku multipartner, sedang
responden yang belum menikah, sebanyak 2 (40%)
yang berperilaku multipartner. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p=0,241, maka dapat disimpulkan

18
bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status
pernikahan dengan perilaku seks tukang ojek
multipartner.
Responden yang telah berpengalaman secara seksual
akan mempunyai sikap terhadap seksualitas (sexual
attitude) yang lebih bebas daripada mereka yang
belum pernah melakukan hubungan seksual. Temuan
penelitian ini juga menunjukkan adanya keberagaman
standar norma individu dari batasan tradisional yang
melarang penuh (jangan melakukan hubungan seks
multipartner/PSK) sampai sikap yang lebih permisif
terhadap perilaku hubungan seks multipartner/PSK.

hubungan yang signifikan antara aktifitas di waktu
luang dengan perilaku seks tukang ojek yang multipartner.
Beyth-Marom membuktikan bahwa remaja maupun
orang dewasa memiliki kemungkinan yang sama
untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku
yang berisiko merusak diri (self-destructive). Mereka
juga mengemukakan adanya derajat yang sama
antara remaja dan orang dewasa dalam mempersepsi
self-invulnerability (Beyth,1993). Dengan demikian,
kecenderungan melakukan perilaku berisiko dan
kecenderungan mempersepsi diri invulnerable pada
remaja dan orang dewasa adalah sama.

Lama Bekerja
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar
(77,6%) dari 67 responden telah bekerja lebih dari 6
sebagai tukang ojek. Sedangkan 15 responden (22,4%)
bekerja kurang dari 6 bulan. Hasil analisis bivariat
menunjukkan bahwa sebanyak 36 (69,2%) dari 52
responden yang bekerja lebih dari 6 bulan berperilaku
yang multipartner. Sedangkan 7 (46,7%) dari 15
responden yang lama bekerjanya kurang dari 6 bulan
berperilaku yang multipartner. Hasil uji statistik diperoleh
nilai p=0,108, maka dapat disimpulkan bahwa tidak
ada hubungan yang signifikan antara lama bekerja
responden dengan perilaku tukang ojek yang multipartner.
Perilaku seseorang dapat terbentuk melalui observational
learning. Adanya contoh perilaku seksual yang
didengar dari keseharian berinteraksi dengan teman
sebaya maupun PSK dapat membuat seseorang
penasaran untuk mencoba dan mencontoh perilaku
tersebut. Pengaruh stimulus seksual terhadap
individu baik terhadap faktor fisiologis, afeksi dan
kognisi pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku
seksual. Individu yang membaca/melihat hal-hal
yang negatif akan disuguhi dengan berbagai macam
materi porno yang dapat menimbulkan rangsangan
seksual yang kuat. Individu yang telah terbiasa
mengkonsumsi materi porno, menganggap bahwa
perilaku seksual merupakan perilaku yang wajar dan
menimbulkan kesenangan bagi individu yang melakukannya.

Persepsi Kerentanan terhadap IMS dan HIV/AIDS
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 67
responden, sebagian besar (58,2%) mempunyai
persepsi kerentanan rendah. Hal ini karena adanya
persepsi yang salah dari responden tentang cara
penularan dan cara menghindarkan IMS dan HIV/AIDS,
yaitu sebanyak 86,6% responden mempunyai persepsi
setia pada pasangan tetap akan tidak berisiko
tertular IMS dan HIV/AIDS. Selain itu masih adanya
persepsi bahwa jika menggunakan kondom pada
saat berhubungan seks multipartner, maka tidak
akan mudah tertular IMS dan HIV/AIDS. Sebanyak
26,9% responden mempunyai persepsi bahwa jika
memilih pasangan tidak tetap yang berpenampilan
bersih, maka mereka tidak akan tertular IMS dan
HIV/AIDS, sedangkan sebanyak 25,4% responden
mempersepsikan bahwa hubungan seks multipartner
tidak akan menularkan IMS dan HIV/AIDS (Tabel 2).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tukang
ojek sebagai klien potensial WPS mempunyai
kerentanan yang cukup tinggi untuk tertular IMS dan
HIV/AIDS. Walaupun 86,6% tukang ojek mengetahui
bahwa hubungan seks multipartner akan berisiko
mudah tertular IMS dan HIV/AIDS, tetapi ternyata masih
banyak di antara tukang ojek masih melakukan
hubungan seks tanpa menggunakan kondom. Hal ini
menggambarkan bahwa tukang ojek yang mangkal
di sekitar lokalisasi mempunyai persepsi kerentanan
terhadap IMS dan HIV/AIDS yang cukup baik, namun
belum bisa mempengaruhi perilaku seks mereka.

Aktifitas di Waktu Luang
Dari 67 responden, sebanyak 39 orang (58,2%)
melakukan aktifitas yang berisiko di waktu luang.
Sedangkan responden melakukan aktifitas yang
tidak berisiko di waktu luang sebanyak 28 (41,8%).
Secara bivariat dari 39 responden yang beraktifitas
berisiko di waktu luang, 22 (56,4%) berperilaku seks
multipartner. Sedangkan dari 28 responden yang
beraktifitas tidak berisiko di waktu luang, 21 (75%)
berperilaku seks multipartner. Hasil uji statistik diperoleh
nilai p=0,118, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada

Persepsi Kegawatan IMS dan HIV/AIDS
Sebagian besar (77,6%) tukang ojek mempunyai
persepsi kegawatan yang rendah terhadap penyakit
IMS HIV/AIDS. Hal ini terlihat dari masih banyaknya
responden yang miskonsepsi berkaitan dengan
kegawatan IMS dan HIV/AIDS. Dari 67 responden,
31,3% mempunyai persepsi bahwa HIV tidak akan
berkembang menjadi AIDS, 41,8% mempunyai persepsi
penderita HIV/AIDS tidak selamanya harus minum
ARV, 43,3% mempunyai persepsi AIDS tidak akan

19
menyebabkan kematian, 44,8% mempunyai persepsi
AIDS sama dengan penyakit lainnya karena bisa
disembuhkan.
Pemahaman/persepsi kegawatan IMS dan HIV/AIDS
bisa mempengaruhi perilaku seseorang. Dari 67
responden yang berperilaku multipartner dan tidak
multipartner, 34 (65,4%) yang mempunyai persepsi

kegawatan IMS dan HIV/AIDS rendah, berperilaku
multipartner. Persepsi kegawatan yang rendah
dikarenakan persepsi yang keliru tentang IMS dan
HIV/AIDS. Hal ini menyebabkan mereka merasa
tidak khawatir tertular IMS dan HIV/AIDS, karena
penyakit tersebut tidak berbahaya.

Tabel 2. Persepsi kerentanan terhadap IMS dan HIV/AIDS
Ya
Pertanyaan berkaitan dengan IMS dan HIV/AIDS

Tidak

N

%

N

%

58

86,6

9

13,4

45

67,2

22

32,8

18

26,9

49

73,1

50

74,6

17

25,4

46

68.7

21

31.3

39

58.2

28

41.8

29

43.3

38

56.7

30

44.8

37

55.2

Persepsi Kerentanan

• Setia pada pasangan tetap tidak berisiko
• Selalu menggunakan kondom ketika berhubungan seks multiparner tidak berisiko tertular IMS
dan HIV/AIDS

• Memilih pasangan multipartner yang kelihatan bersih tdk akan tertular IMS dan HIV/AIDS
• Berhubungan seks dengan pasangan multipatner tdk akan mudah tertular IMS dan HIV/AIDS
Persepsi Kegawatan

• Semua orang yang terinfeksi HIV akan menjadi AIDS
• Orang yang menderita HIV/AIDS memerlukan pengobatan ARV selamanya.
• AIDS tidak akan menyebabkan kematian karena sudah ada obatnya
• AIDS adalah sama dengan penyakit yang lainnya karena bisa diobati.
Faktor Personal
Faktor personal yang mempengaruhi perilaku
seks multipartner adalah pengetahuan tentang IMS
dan HIV/AIDS, sikap tukang ojek terhadap perilaku
seks berisiko, dan kemampuan diri (self efficacy)
terhadap pencegahan IMS dan HIV/AIDS. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dari 67 responden,
33 orang (67,3%) dengan tingkat pengetahuan IMS
dan HIV/AIDS rendah berperilaku multipartner. Sedangkan
responden dengan tingkat pengetahuan IMS dan HIV/
AIDS tinggi, 10 orang (55,6%) berperilaku multipartner.
Pengetahuan yang masih rendah tersebut menimbulkan
anggapan yang salah pula tentang penularan HIV/AIDS.
Ditemukan beberapa miskonsepsi terutama tentang
cara penularan IMS dan HIV/AIDS, yaitu 44,8%
responden menjawab HIV dapat ditularkan melalui alat
minum, 44,8% menjawab onani dapat menularkan HIV,
47,8% menjawab HIV ditularkan melalui berenang
bersama penderita, dan 53,7% menjawab bergantiganti pasangan seks tidak menularkan HIV.
Tabel 3. Distribusi faktor personal tukang ojek
Variables
Pengetahuan tentang
IMS dan HIV/AIDS
Rendah

Frequencies

Percent

49

73.1

Tinggi
Total
Sikap perilaku seks
berisiko
Tdk Permisif
Permisif
Total
Self efficacy untuk
mencegah IMS,
HIV/AIDS
Rendah
Tinggi
Total

18
67

26.9
100

27
40
67

40.3
59.7
100

43
24
67

64.2
35.8
100

Sikap tukang ojek (31,3%) yang multipartner
merupakan tindakan untuk mencari kesenangan,
masih adanya kesalahan sikap tukang ojek (25,4%)
yang menyatakan bahwa berhubungan seks multipartner
jika hanya sekali tidak akan tertular IMS dan HIV/
AIDS, boleh melakukan hubungan seks multipartner
dengan tidak berganti-ganti pasangan (43,3%) serta
apabila sudah mengenal lama pasangan multipartnernya
tidak perlu memakai kondom ketika berhubungan
seks (29,9%).
Self efficacy tukang ojek yang mangkal di dekat
lokalisasi Sarkem Yogyakarta untuk mencegah penularan
IMS dan HIV/AIDS sebagian besar tergolong rendah.

20
Diungkapkan bahwa terdapat 43,3% responden yang
bisa menahan diri ketika berhubungan seks meski
tanpa membayar, dan terdapat keyakinan diri bisa
menghindarkan diri berhubungan seks dengan tidak
memakai kondom (64,2%).
Faktor Lingkungan
Tabel 4. Distribusi faktor lingkungan tukang ojek
Variables
Sikap pemimpin
komunitas tentang
perilaku seks berisiko
Tdk Permisif
Permisif
Total

Frequencies

Percent

22
45
67

32.8
67.2
100

Variables
Frekuensi mengakses
media tentang IMS
dan HIV/AIDS
Rendah
Tinggi
Total

Frequencies

Percent

32
35
67

47.8
52.2
100

Berdasarkan tabel di atas, sebagian besar sikap
dari pemimpin paguyuban tukang ojek yang permisif
terhadap perilaku tukang ojek yang multipartner.
Dari 67 responden, 67,2% menyatakan pemimpin
komunitas tidak setuju hubungan seks multipartner
bisa menularkan penyakit kelamin, 8% menyatakan
bahwa pemimpin komunitas setuju bahwa penyakit
AIDS tidak berbahaya karena dapat disembuhkan,
59,7% menyatakan bahwa pemimpin komunitas
setuju hubungan seks dengan beberapa pasangan
tidak tetap merupakan hal yang biasa, dan 56,7%
menyatakan bahwa pemimpin komunitas setuju
hubungan seks multipartner tidak memalukan asal
tidak berganti-ganti pasangan.
Sebanyak 81,2% responden yang mempunyai
frekuensi mengakses media informasi rendah akan
berpeilaku seks multipartner. Sebanyak 44,8%
tukang ojek mengakses media elektronik berupa
film/VCD pornografi beradegan seks, dan 40,3%
tukang ojek sering melihat dan membaca gambar
bertemakan pornografi. Ini artinya bahwa tukang
ojek yang mengakses informasi yang berhubungan
dengan hal-hal yang berkaitan dengan IMS dan
HIV/AIDS berbanding lurus dengan perilaku seks
mereka.

Sebagian besar 64,2% responden memiliki
pasangan seks lebih dari satu (multipartner). Dari
43 responden yang multipartner, 37 responden
(86%) berhubungan seks multipartner. Dari 37
responden, 35 (81,4%) tidak konsisten menggunakan
kondom ketika berhubungan seks multipartner.
Uraian diatas mengungkapkan bahwa mayoritas
tukang ojek yang multipartner di dekat lokalisasi
memiliki perilaku seks berisiko. Dimana kriteria utama
adalah tidak konsisten dalam menggunakan
kondom saat berhubungan seksual dengan
pasangan multipartnernya.
Tabel 6. Distribusi seks berisiko dengan pasangan
multipartner
Variabel
Perilaku Berisiko
Berisiko
Tidak Berisiko
Total

Frekuensi

Persentase

35
8
43

52.2
47.8
100

Berikut ini adalah hasil analisis bivariat untuk
mengetahui hubungan antara variabel dependen
dengan variabel independen.
Tabel 7. Analisis statistik hubungan Variabel
Independen dan Variabel Dependen
Variabel
Independen
Umur

Variabel
Dependent

0,388

Tingkat pendidikan

1,000

Status pernikahan

0,341

Lama bekerja
Aktifitas di waktu
luang
Persepsi kerentanan
Persepsi Kegawatan
Pengetahuan
tentang IMS dan
HIV/AIDS
Sikap perilaku seks
berisiko
Self efficacy untuk
mencegah IMS dan
HIV/AIDS
The attitude of the
community leader
Media access to
information

P
value

0,028
0,270
0,356
The multipartner
sex behavior

1,000

Hasil
Tidak
signifikan
Tidak
signifikan
Tidak
signifikan
signifikan
Tidak
signifikan
Tidak
signifikan
Tidak
signifikan

1,000

Tidak
signifikan

0,270

Tidak
signifikan

0,037

signifikan

1,000
0,692

Tidak
signifikan
Tidak
signifikan

Perilaku Seks Tukang Ojek

21
Tabel 8. Hasil uji regresi logistik antara variabel
independen dengan perilaku tukang ojek yang
multipartner di dekat Lokalisasi Sarkem Yogyakarta.

Variabel

B

S.E.

Lama
2,450 1,237
Bekerja
Kemampuan
-2,450 1,160
diri
Constant
-0.967 0,547

Wald

df

Sig.

Exp
(B)

3,944

1 0,047

11,65

4,459

1 0,035

2,086

3.202

1 0.074

0.376

Hasil analisis statistik multivariat tersebut menunjukkan
bahwa terdapat 2 variabel bebas, yaitu lama bekerja
dan kemampuan diri responden dalam melakukan
pencegahan penularan HIV/ AIDS secara bersamasama signifikan berpengaruh terhadap perilaku
tukang ojek yang multipartner. Variabel yang paling
berpengaruh terhadap perilaku tukang ojek yang
multipartner adalah lama bekerja tukang ojek dengan
nilai OR=11,655.
Lama bekerja responden sebagai tukang ojek dengan
p=0,047 (<0,05) dan OR (Exp B)=11,655. Ini berarti
bahwa responden yang bekerja lebih dari 6 bulan
sebagai tukang ojek, maka akan mempunyai
kemungkinan 11 kali lebih besar untuk berperilaku
seks multipartner jika dibandingkan dengan tukang
ojek yang bekerja kurang dari 6 bulan di dekat
lokalisasi Sarkem Yogyakarta. Sedangkan kemampuan
diri tukang ojek dalam melakukan pencegahan
penularan IMS dan HIV/AIDS dengan p=0,035
(<0,05) dan OR (Exp B) =2,086 dan nilai B=-2,450.
Nilai B negatif menunjukkan bahwa variabel
kemampuan diri merupakan variabel protektif
(pencegah). Hal ini berarti bahwa kemampuan diri
dalam melakukan pencegahan penularan IMS dan
HIV/AIDS tinggi, maka kemungkinan tidak berperilaku
seks multipartner berisiko sebesar 2,086 kali
dibandingkan dengan tukang ojek yang mempunyai
kemampuan diri rendah dalam melakukan pencegahan
penularan IMS dan HIV/AIDS.
DISKUSI
Perilaku seksual adalah bersifat personal akan
tetapi pada umumnya akan selalu berkaitan dengan
social framework. Dimana hubungan terjadi antara
perilaku seksual di kalangan kelompok berisiko tinggi,
yaitu antara client dan WPS terhadap penularan
HIV/AIDS dan konteks sosial di kalangan mereka
serta bagaimana masing-masing saling mempengaruhi.
Masalah integrasi individu dan struktur sosial di satu
sisi, dan agensi dan kultur budaya di sisi yang lain.

Perilaku seksual yang erat hubungannya dengan
keberhasilan program HIV/AIDS adalah konsistensi
memakai kondom ketika berhubungan multipartner.
Perilaku ini merupakan salah satu indikator utamanya,
dimana mencerminkan perilaku berisiko rendah di
samping tidak melakukan hubungan seks (abstinence)
dan setia kepada pasangan seksnya (faithful). Secara
nasional, pemakaian kondom dalam seks komersial
masih rendah, yaitu kurang dari 20%. Demikian juga
dengan penggunaan kondom untuk keperluan keluarga
berencana (kontrasepsi) masih tergolong rendah.
Tukang ojek di dekat lokalisasi Sarkem Yogyakarta
yang multipartner (64,2%) lebih banyak dibandingkan
yang single partner (35,8%). Sebagian besar tukang
ojek yang multipartner mempunyai perilaku seks
berisiko. Hal ini dikarenakan mereka melakukan hubungan
seks dengan pasangan tidak tetap dengan bergantiganti pasangan (86%) dan tidak konsisten memakai
kondom ketika berhubungan seks dengan PSK (81,4%).
Perilaku seks tukang ojek yang berisiko terjadinya
penularan IMS dan HIV/AIDS adalah perilaku yang
multipartner dengan tidak menggunakan kondom.
Dari 41 responden (95,3%) yang berstatus sudah
menikah dan multipartner, 34 responden (82,9%)
mempunyai perilaku seks multipartner berisiko.
Artinya bila dilihat potensi penularan HIV, maka
kelompok berisiko yang berstatus menikah atau
mempunyai pasangan tetap, akan mempunyai
peluang menularkan ke pasangan tetapnya/istrinya.
Selain itu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
bayi yang dikandung oleh istri/pasangan tetap mereka
tertular HIV/AIDS.
Pola pergaulan antara tukang ojek yang mangkal
di dekat lokalisasi Sarkem Kodya Yogyakarta dengan
PSK dalam hal hubungan seks, bahwa hubungan
keduanya bukan lagi berdasarkan materil, mereka tidak
lagi harus membayar karena saling membutuhkan.
Ada pula tukang ojek mendapatkan pelayanan berupa
hubungan seks dari pasangan tidak tetapnya (PSK)
dari mereka yang mengantarkan PSK ke suatu
tempat, dimana pada saat itu PSK sedang tidak
mempunyai uang karena “sepi” pelanggan. Selain
itu di lokalisasi Sarkem Yogyakarta, belum ada
peraturan lokal 100% kondom. Hasil penelitian ini
menggambarkan bahwa tingkat risiko penularan
IMS dan HIV/AIDS dikalangan tukang ojek tinggi.
Karena PSK tidak mampu menolak partner seks
dalam hal ini tukang ojek untuk berhubungan seks
walaupun tidak menggunakan kondom.
Kondisi lingkungan tukang ojek yang mangkal di
dekat lokalisasi Sarkem tersebut merupakan kondisi
dimana mereka berada di tempat yang terpapar,
yang kemungkinan bisa membawa risiko tertular
IMS dan HIV/AIDS. Proses keterpaparan yang terus

22
menerus akan mendorong pada perilaku yang berisiko
terinfeksi IMS dan HIV/AIDS, karena mempunyai akses
yang mudah untuk memperoleh pelayanan dari PSK.
KESIMPULAN
Perilaku seks tukang ojek yang mangkal di dekat
lokalisasi Sarkem Yogyakarta adalah sebagian
besar mempunyai pasangan seks multipartner.
Variabel yang berpengaruh terhadap perilaku seks
multipartner adalah lama bekerja dan kemampuan
diri tukang ojek dalam melakukan pencegahan
penularan IMS dan HIV/AIDS. Variabel yang paling
berpengaruh adalah lama bekerja dengan p=0,047
(<0,05) dan OR (Exp B)=11,655. Hal ini berarti
bahwa tukang ojek yang bekerja lebih dari 6 bulan
akan mempunyai kemungkinan 11 kali lebih besar
untuk berperilaku seks multipartner dibandingkan
dengan yang bekerja kurang dari 6 bulan di dekat
lokalisasi Sarkem Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan. BPS. 2007. Surveilans terpadu
biologis perilaku pada kelompok berisiko tinggi di
Indonesia. Jakarta.
Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penyehatan
Lingkungan. 2012. Laporan Perkembangan HIVAIDS Triwulan 1. In: RI D, ed. Jakarta.
Hurlock.1990. Psychology for child, Adolescence and
Adult. In: McGraw-Hill, ed. Psychology Centrum.
Boston. Polo alto University.
Hurlock EC. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu
Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Vol
Edisi Ke-5. Jakarta: Erlangga.
Paris MM, MPH Gotuzzo, Eduardo MD. Motorcycle
Taxi Drivers and Sexually Transmitted Infections
in a Peruvian Amazon City. PUBMed. January
2001;28(1):11-13.
Postgrad N. 2005. Sexual behaviour, perception of
HIV/AIDS and condom use among commercial
motorcylists in Benin City. Medline.12:262.
Shinta. Para Istri di Kota Yogyakarta Berisiko
Tertular HIV/AIDS. www.aids-ina.org.modules.
Accessed 10 Maret 2011.
Urbanski C. 2006. Peningkatan Dan Penurunan
Persekutuan Antara Penjual Teh Poci dan
Pelacuran Di Kawasan Simpang Lima Semarang.
Australian Consortium For In-Country Indonesian
Studies (ACICIS). Desember.

23
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keterlambatan Memulai
Pengobatan Pasien TB MDR di RS Persahabatan Jakarta
1

1

2

3

4

1

Diah Handayani , Windi Novriani , Ahmad Fuady , Winarto , Tjatur Kuat Sagoro , Erlina Burhan ,
5
6
Sumanto Simon , Chatarina Umbul Wahyuni

1

2

3

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan Jakarta, Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur,
4
5
Unika Atmajaya, Jakarta, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya

Abstrak. Tuberkulosis kebal obat (multi-drug resistant, TB MDR) merupakan salah satu masalah yang besar dalam
pengendalian TB di Indonesia. Indonesia masih berada di urutan ke-8 sebagai negara dengan beban tinggi TB MDR.
Pengendalian TB MDR di Indonesia atau Programmatic Management Drug Resistant (PMDT) telah dimulai sejak tahun 2009
di RS Persahabatan Jakarta dan 4 RS lain di Indonesia. Salah satu indikator PMDT adalah pengobatan bagi semua pasien
yang telah terdiagnosis termasuk pemberian pengobatan secepatnya, karena keterlambatan pengobatan akan meningkatkan
morbiditas, mortalitas dan waktu penularan TB MDR di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor
yang berhubungan dengan keterlambatan pengobatan pasien TB MDR di RS Persahabatan Jakarta. Penelitian ini
merupakan penelitian potong lintang. Pengambilan data dilakukan Agustus 2012-Agustus 2013 dengan menggunakan
kuesioner dan data sekunder. Waktu yang dibutuhkan untuk memulai terapi adalah 27 hari. Analisis survival menggunakan
Kaplan Meyer menunjukkan pasien yang membutuhkan waktu lebih lama adalah kelompok pasien laki-laki, kelompok umur
31-40 tahun, pasien yang bekerja, dan pasien dengan pengetahuan tentang TB MDR lebih baik. Sebaliknya pengobatan
lebih cepat didapatkan pada pasien yang pindah mendekati RS. Pemberian terapi awal membutuhkan berbagai persiapan,
sehingga sangat mungkin terjadi keterlambatan pengobatan. Waktu untuk memulai pengobatan dapat berhubungan dengan
jenis kelamin, pekerjaan, persiapan untuk pindah mendekati RS, dan pengetahuan pasien. Beberapa hal lain terkait program
yang berhubungan dengan waktu berobat adalah pada awal pengobatan pasien harus menjalani perawatan di RS selama 2
minggu.
Kata kunci: Tuberkulosis kebal obat, Keterlambatan pengobatan

Korespondensi: Diah Handayani, Departemen
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS
Persahabatan Jakarta. Telp. 081315431753. email:
diahzulfitri@yahoo.com

Pemberian terapi awal membutuhkan berbagai
persiapan, sehingga sangat mungkin terjadi keterlambatan
pengobatan. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi
terhadap keterlambatan pengobatan. Pengobatan
TB MDR membutuhkan persiapan dan manajemen
yang baik, karena membutuhkan waktu yang lama,

PENDAHULUAN
Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan
utama dalam kelompok penyakit infeksi dan TB kebal
obat (multi-drug resistant, TB MDR) merupakan
salah satu masalah yang besar dalam pengendalian
TB di Indonesia. Indonesia masih berada di urutan
ke-8 sebagai negara dengan beban tinggi TB MDR.
Pengendalian TB MDR di Indonesia atau
Programmatic Management Drug Resistant (PMDT)
telah dimulai sejak tahun 2009 di RS Persahabatan
Jakarta dan 4 RS lain di Indonesia. Salah satu
indikator PMDT adalah pengobatan bagi semua
pasien yang telah terdiagnosis termasuk pemberian
pengobatan secepatnya, karena keterlambatan
pengobatan akan meningkatkan morbiditas, mortalitas
dan waktu penularan TB MDR di masyarakat.

mencapai 20-24 bulan dengan obat yang banyak dan
harus dilakukan dengan pengawasan yang ketat,
sehingga pasien harus datang setiap hari ke
fasilitas kesehatan untuk TB MDR.
Waktu menuju terapi merupakan salah satu
indikator utama program pengobatan TB MDR, karena
keterlambatan pengobatan akan mempengaruhi
morbiditas, mortalitas dan penyebaran penyakit.
Berbagai hambatan untuk menjangkau pengobatan
TB dapat dipengaruhi oleh hambatan ekonomi,
kondisi geografi seperti jarak ke fasilitas pelayanan
kesehatan, hambatan sistem pelayanan kesehatan
termasuk kurangnya tanggung jawab pemberi layanan
kesehatan dan juga desentralisasi. Penelitian ini
mendapatkan beberapa faktor sosio-ekonomi dan

24
geografik yang diduga terkait dengan pengobatan
TB MDR.
BAHAN DAN CARA
Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang.
Pengambilan data dilakukan pada Agustus 2012.
Penelitian ini dilakukan dengan melihat data pasien
TB MDR di RS Persahabatan, dilanjutkan dengan
wawancara menggunakan kuesioner yang telah
divalidasi untuk melihat pengetahuan pasien dan
data demografi dan sosial terkait pengobatan TB
MDR. Setiap pasien yang diwawancarai telah
mendapatkan penjelasan dan menandatangani
informed consent. Penelitian ini telah disetujui oleh
Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Analisis statistik yang digunakan adalah
Kaplan Meyer untuk melihat hubungan antara waktu
keterlambatan pengobatan dengan faktor
demografis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Di RS Persahabatan hingga Juli 2011 terdapat
233 kasus TB MDR, tetapi 73 (31,33%) tidak
diobati dengan alasan 22 pasien menolak, 6 pasien
tidak dapat dihubungi dan 4 pasien tidak memenuhi
kriteria klinis untuk diobati, 13 pasien meninggal
dan 28 pasien dalam persiapan terapi, sehingga

terdapat 160 pasien dalam pengobatan. Pada
penelitian ini tidak semua pasien dapat diambil
kuesioner karena menolak atau tidak dapat
dihubungi atau ditemui untuk wawancara sehingga
kuesioner diambil dari 82 pasien.
Hasil demografi menunjukkan jumlah yang seimbang
baik laki-laki maupun perempuan, dengan median
umur adalah 38 tahun. Tingkat pendidikan pasien
baik (63% SMA atau lebih). Kondisi ekonomi pasien
umumnya adalah rendah dengan median
penghasilan keluarga adalah Rp 1.500.000 (Rp
1.224.162-Rp 2.000.000) jika dibandingkan dengan
upah minimal regional untuk provinsi DKI dan
Jabodetabek dan kebutuhan biaya transportasi sekitar
Rp 450.000 dan status pekerjaan mengalami
perubahan, karena pasien harus berhenti bekerja
untuk mendapatkan pengobatan. Sebelum pengobatan,
sebanyak 55 orang (67,1%) pasien bekerja,
sedangkan setelah pengobatan sekitar 37,8%
pasien kehilangan pekerjaan, karena menjalani
pengobatan TB MDR. Jarak dari rumah ke RS sekitar 10
km, dan pasien menggunakan kendaraan umum,
kendaraan pribadi dan ojek dengan biaya sekitar
Rp 15.000 dan waktu tempuh sekitar 30 menit,
karena banyak yang menggunakan motor sebagai
kendaraan pribadi. Dukungan keluarga terhadap
pasien umumnya baik. Karakteristik pasien TB MDR
dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kondisi Sosio-ekonomi pasien TB MDR
Variabel

Penghasilan keluarga (juta rupiah)

15-52

< 10

43

57,3

18

24

14

18,7

Median (IDR/$US)

15.000/1,5

Bekerja

30

36,6

21

25,6

Menjadi tidak bekerja

Pekerjaan

27

Tidak bekerja

Biaya transportasi ke fasyankes

Median (days)

> 30

Jarak (km) (n=75)

Frekuensi/median

11-30

Waktu menuju terapi

Kriteria

Persentasi/ 95%CI

31

37,8

<1

26

34,7

1-3 juta

31

41,3

10000/1,1-20.000/2,1

25
>3

18

24

Jalan kaki

5

6,1

Kendaraan pribadi

34

41,4

Kendaraan umum

40

48,8

Ojek

3

3,7

mendukung

18

22,2

sangat mendukung

63

77,8

Ya

16

20,5

Tidak

62

79,5

Ya

39

48,2

Tidak

42

51,8

Baik

23

30,7

Sangat baik

52

69,3

Sarana transportasi

Dukungan keluarga (n=81)

Pindah mendekati fasyankes

Hambatan untuk berobat (n=81)

Pengetahuan tentang TB MDR
(n=75)

Persepsi pasien terhadap pengobatan menunjukkan
bahwa 70% pasien merasa obatnya terlalu banyak
dan waktu terlalu lama.
Waktu yang dibutuhkan untuk memulai terapi
adalah 27 hari. Analisis survival menggunakan Kaplan
Meyer menunjukkan pasien yang membutuhkan
waktu lebih lama adalah kelompok pasien laki- laki,
kelompok umur 31-40 tahun, dan pasien yang
bekerja, dan pasien dengan pengetahuan tentang
TB MDR lebih baik. Sebaliknya pengobatan lebih
cepat didapatkan pada pasien yang pindah
mendekati RS. Hasil analisis Kaplan Mayer dapat
dilihat pada Gambar 1.

0.00

0.25

0.50

0.75

1.00

Kaplan-Meier survival estimates Moved with Time to treat

0

50

100
analysis time
moved

150
Not moved

200

Gambar 1.Hubungan keterlambatan pengobatan
dengan kepindahan pasien

Diskusi
Keterlambatan pengobatan terkadang tidak dapat
dicegah apabila sumber penularan tidak dapat
diidentifikasi dan pemeriksaan kultur dan resistensi
tidak dilakukan secara rutin.
Waktu untuk memulai pengobatan dapat berhubungan
dengan jenis kelamin, pekerjaan, persiapan untuk
pindah mendekati RS, dan pengetahuan pasien.
Beberapa hal lain terkait program yang dapat
berhubungan dengan waktu berobat adalah pada
awal pengobatan pasien harus menjalani perawatan
di RS selama 2 minggu, dan pasien harus tinggal di
wilayah Jakarta Timur, sehingga beberapa pasien
harus menyiapkan tempat tinggal di sekitar RS atau
masih dalam wilayah Jakarta Timur, tetapi hal ini
telah berubah sejak tahun 2010 sehingga semakin
banyak pasien yang dapat menjalani pengobatan.
Hal lain adalah dilakukan verifikasi data pasien oleh
petugas puskesmas untuk memastikan tempat
tinggal pasien. Hal lain yang harus dipersiapkan
dalam pengobatan TB MDR adalah memeriksa

26
kondisi klinis pasien secara keseluruhan, meliputi
pemeriksaan fungsi hati, fungsi ginjal, kardiovaskular,
hormon tiroid dan audiometri. Pemeriksaan hormon tiroid
membutuhkan waktu minimal 1 minggu atau 7 hari
kerja dan pemeriksaan audiometri hanya dilakukan
pada sore hari menunggu pasien non- TB MDR
selesai menjalani pemeriksaan, sehingga pasien TB
MDR harus menunggu jadwal pemeriksaan audiometri
untuk mendapatkan data dasar fungsi pendengaran.
WHO menetapkan beberapa indikator spesifik
untuk program TB MDR meliputi deteksi, inklusi,
analisis interim dan luaran akhir. Inklusi pasien
dalam pengobatan meliputi jangkauan pengobatan
kepada semua pasien yang telah terdiagnosis TB
MDR, dan waktu untuk memulai pengobatan. Waktu
memulai pengobatan juga merupakan hal yang
penting dalam inklusi, karena keterlambatan
pengobatan akan meningkatan morbiditas dan
mortalitas pasien. Strategi pengobatan TB MDR
sangat kompleks, karena biaya tinggi , durasi yang
panjang serta keharusan pasien datang ke
pelayanan kesehatan setiap hari untuk menelan
obat dengan pengawasan langsung (directly
observed treatment, DOT). Hal ini membutuhkan
persiapan dari sisi pemberi layanan maupun pasien,
sehingga berdampak pada waktu memulai
pengobatan. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa waktu menuju terapi adalah 27 hari (15-52).
Lamanya memulai pengobatan berpotensi untuk
menambah jumlah pasien yang tidak mendapatkan
pengobatan, sehingga terus menjadi sumber
penularan di masyarakat.
Sebuah penelitian di Cape Town mendapatkan
bahwa keterlambatan memulai pengobatan TB
MDR sekitar 5-6 minggu. Hal yang menyebabkan
keterlambatan tersebut dapat disebabkan oleh
faktor provider, sistem dan pasien. Faktor pasien
yang berperan pada keterlambatan mencari pengobatan
diantaranya adalah stigma masyarakat mengenai
penyakit tuberkulosis itu sendiri. Rerata waktu mulai
timbulnya gejala sampai pasien datang ke fasilitas
kesehatan adalah 6,41 minggu pada pasien yang
masih mempercayai stigma TB, sedangkan yang tidak
mempercayai stigma TB waktunya lebih pendek yaitu
4,99 minggu. Penelitian di Kwazulu mendapatkan
hanya sekitar 25% pasien yang memulai pengobatan
tanpa keterlambatan, sedangkan 75% pasien mengalami
keterlambatan pengobatan sampai dengan 22 minggu.
Hal ini dapat menyebabkan peningkatan penularan
karena sekitar 90% pasien mempunyai gejala batuk.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Waktu menuju terapi adalah 27 hari
2. Pengobatan TB MDR membutuhkan biaya
transportasi cukup besar, lebih dari sepertiga
median penghasilan keluarga pasien TB MDR
3. Sebagian pasien harus pindah rumah untuk
mendekatkan diri ke Rumah Sakit
4. Pengobatan TB MDR mempengaruhi pekerjaan
pasien, terdapat 37,8% pasien kehilangan
pekerjaan selama menjalani pengobatan TB MDR.
5. Waktu menuju pengobatan lebih singkat pada
pasien perempuan, pasien yang pindah untuk
mendekatkan diri ke RS, pasien yang didukung
penuh oleh keluarga serta pasien yang tidak bekerja.
Saran
1. Mempersingkat waktu pengobatan akan menekan
morbiditas, mortalitas dan penyebaran penyakit
dan pada akhirnya meningkatkan cakupan pasien
TB MDR yang diobati.
2. Mempersingkat waktu pengobatan menghindari
ancaman TB XDR dan TDR.
3. Strategi pengobatan TB MDR perlu disesuaikan
untuk mempermudah pasien dan tidak menimbulkan
dampak sosio-ekonomi yang tinggi dengan cara
menyediakan sarana pelayanan TB MDR yang
dekat, waktu yang fleksibel.
4. Desentralisasi ke RS terdekat dipercepat dengan
meningkatkan kualitas RS satelit TB MDR.
DAFTAR PUSTAKA
Bamford CM, Taljaard JJ. Potential for nosocomial
transmission of multidrug-resistant tuberculosis
(MDR TB) in a South African hospital. SAfr Med
J. 2010;100(7):438-441.
Johnson R, Warren G, van der Spuy N, et al. Drugresistant tuberculosis epidemic in the Western
Cape driven by a virulent Beijing genotype
strain. Int J Tuberc Lung Dis. 2010; 14:119-121.
Kurspahić-Mujčić A, Hasanović A, Sivić S.
Tuberculosis related stigma and delay in
seeking care after the onset of symptoms
associated with tuberculosis. Med Glas
(Zenica). 2013 Aug;10(2):272-7.

27
Narasimooloo R, Ross A. Delay in commencing
treatment for MDR TB at a specialised TB
treatment centre in KwaZulu-Natal. S Afr Med J.
2012;102(6):360-362.
Qazi F, Khan U, Khowaja S, Javaid M, Ahmed A,
Salahuddin N, et al. Predictors of delayed culture
conversion in patients treated for multidrugresistant tuberculosis in Pakistan. Int J Tuberc
Lung Dis. 2011;15(11):1556–1559
Schaaf HS, Shean K, Donald PR. Culture confirmed
multidrug resistant tuberculosis: diagnostic
delay, clinical features, and outcome. Arch Dis
Child. 2003;88:1106–1111.
WHO. Global Tuberculosis Report. 2013
WHO. Guidelines for the programmatic management
of drug-resistant tuberculosis. 2011 update.
WHO. Multidrugresistant Tuberculosis (MDR-TB)
Indicators. A minimum set of indicators for the
programmatic management of MDR-TB in
national tuberculosis control programmes. 2011.

28
Pemeriksaan Pendahuluan Sanitasi Asrama Haji Donohudan Boyolali,
Jawa Tengah Tahun 2013
Anas Ma’ruf, Suprapto, Ismail Marzuki, Soeparlan, Mukhammad Pujianto, Windy Cintya Dewi, Ridwan Rahmadi
Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Semarang
Abstrak. Penyelenggaraan ibadah haji bertujuan untuk memberikan pembinaan pelayanan dan perlindungan yang
sebaik-baiknya bagi jamaah haji, sehingga pelaksanaan ibadah haji dapat berjalan dengan aman, tertib, lancar dan
nyaman dan jamaah haji dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan ketentuan ajaran agama Islam. Pemerintah
melalui kementerian kesehatan berupaya untuk melakukan pembinaan dan pelayanan kesehatan pada jamaah haji, baik
pada saat persiapan, operasional ibadah haji dan setelah penyelenggaraan ibadah haji melalui kewaspadaan terhadap
penularan penyakit yang terbawa oleh jamaah haji. Upaya yang dilakukan pada saat persiapan adalah upaya penyehatan
lingkungan melalui pemeriksaan pendahuluan sanitasi asrama haji, yaitu kegiatan pemeriksaan, pemantauan, kajian dan
rekomendasi. Kegiatan ini bertujuan untuk melakukan penilaian terhadap kondisi sanitasi asrama pada saat sebelum
digunakan, sehingga bisa diketahui kekurangan yang ada. Dari hasil pemeriksaan akan muncul rekomendasi terhadap
kekurangan yang yang ada dengan harapan dapat dilakukan perbaikan, sehingga saat opersional, asrama haji layak
untuk digunakan. Pemeriksaan pendahuluan ini menggunakan metode pengamatan langsung dengan kuesioner
pedoman penyelenggaraan kesehatan lingkungan asrama haji di Indonesia. Dari kegiatan yang telah dilakukan terdapat
beberapa rekomendasi antara lain perlu adanya saluran pembuangan air limbah, perbaikan langit-langit di ruang pantry,
pemasangan jeruji besi di saluran air dapur untuk pencegahan masuknya tikus maupun hewan yang lain, pemisahan
jenis sampah dan tindakan penyehatan air (berupa pengurasan reservoir dan pemberian chlorin).
Kata Kunci: Pemeriksaan pendahuluan, Sanitasi asrama haji

Koresponden: Anas Ma’ruf, Suprapto, Ismail Marzuki,
Soeparlan, Mukhammad Pujianto, Windy, Telp
081384216822, email: anasmaruf2003@yahoo.com

limbah, ruang makan, poliklinik, masjid), penyehatan
sanitasi air, pengolahan limbah, pengendalian vektor
dan jasa boga.

PENDAHULUAN

Oleh karena itu perlu dilaksanakan pemeriksaan
pendahuluan agar dapat diketahui kondisi sanitasi

Undang-Undang RI No.13 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji menyebutkan bahwa
kebijakan dan pelaksanaan penyelenggaraan ibadah
haji merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung
jawab pemerintah. Pemerintah berkewajiban melakukan
pembinaan, pelayanan dan perlindungan dengan
menyediakan layanan administrasi, bimbingan ibadah
haji, akomodasi, transportasi, pelayanan kesehatan,
dan hal-hal lain yang diperlukan oleh jemaah haji.
Di dalam lampiran Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 442/MENKES/SK/VI/2009 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Kesehatan Haji Indonesia disebutkan
bahwa prioritas penyehatan lingkungan adalah
pengendalian vektor penular penyakit, penyediaan
kamar tidur, air mandi dan air minum di asrama
embarkasi/debarkasi, pondokan di Arab Saudi dan
di tempat-tempat pelayanan jemaah haji.
Salah satu kegiatan yang dilaksanakan, yaitu
pemeriksaan pendahuluan sanitasi asrama haji.
Kegiatan yang dilaksanakan 3 bulan sebelum
operasional haji ini bertujuan untuk mengetahui
kondisi sanitasi lingkungan asrama, sehingga dapat
dilakukan perbaikan dan persiapan seperlunya
sebelum asrama haji digunakan. Obyek yang
diperiksa meliputi: kesehatan lingkungan asrama
haji (kamar tidur, kamar mandi, dapur, saluran air

asrama haji, sehingga dapat dilakukan perbaikan
dan persiapan seperlunya sebelum asrama haji
digunakan. Dalam hal ini Kantor Kesehatan
Pelabuhan Kelas II Semarang telah melaksanakan
pemeriksaan pendahuluan sanitasi asrama haji
tahun 2013 pada tanggal 18 Juni 2013 dengan tim
pemeriksaan yang berasal dari; Pusat Kesehatan
Haji Kementerian Kesehatan RI, KKP Kelas II
Semarang, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah,
BBTKL-PP Yogyakarta, Balai Labkes Provinsi Jawa
Tengah, Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Tengah,
DPPAD Provinsi Jawa Tengah serta Unit Pendapatan
Pengelolaan dan Pemberdayaan Aset Daerah
(UP3AD) Surakarta selaku Pengelola Asrama Haji.
BAHAN DAN CARA
Kegiatan pemeriksaan pendahuluan sanitasi
asrama haji dilakukan di Asrama Haji Donohudan
Boyolali selama satu hari, menggunakan metode
pengamatan langsung dengan kuesioner pedoman
penyelenggaraan kesehatan lingkungan asrama
haji di Indonesia dari Pusat Kesehatan Haji
Kementerian Kesehatan. Kuesioner tersebut memuat
antara lain tentang persyaratan kesehatan lingkungan
asrama haji, penyehatan sanitasi air, pengolahan
limbah, pengendalian vektor dan pemeriksaan jasa

29
boga. Nantinya hasil dari kegiatan pemeriksaan
pendahuluan akan menghasilkan rekomendasi yang
akan menjadi acuan untuk pemeriksaan lanjutan I dan II.

penyediaan tempat sampah tertutup, pemisahan
jenis sampah dan tindakan penyehatan air berupa
pengurasan reservoir dan pemberian chlorin.

HASIL DAN PEMBAHASAN

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil pemeriksaan secara langsung terhadap
kondisi sanitasi dan keadaan bangunan asrama
haji adalah sebagai berikut:

Kesimpulan

1. Persyaratan kesehatan lingkungan asrama haji,
salah satunya dengan melakukan pengukuran
air bersih dan fisik ruangan dapur. Hasil yang
didapat yaitu:
a. sisa chlor: 0 (Baku Mutu Permenkes RI No.
416/Menkes/Per/IX/1990, sisa chlor air bersih
≥ 0,2 mg/l)
b. pH: 8,8 (Baku Mutu Permenkes RI No.
416/Menkes/Per/IX/1990, pH air bersih
6,5-9,0)
c. TDS: 147 (Baku Mutu Permenkes RI No.
416/Menkes/Per/IX/1990,TDS air bersih
<1500 mg/l)
0
d. Suhu: 28,5 C (Baku Mutu Permenkes RI
0
No. 416/Menkes/Per/IX/1990, suhu ± 3 C)
e. Kelembaban: 76% (40 – 70 %)
f. Pencahayaan: 410 lux
Keadaan umum bangunan asrama haji
Donohudan Boyolali sudah cukup memadai,
namun masih diperlukan perbaikan-perbaikan
di beberapa bagian (langit-langit ruang pantry,
saluran air limbah, exhauser dapur) dan
penambahan sarana prasarana (penyediaan
tempat sampah tertutup) untuk menunjang
operasional haji.
2. Penyehatan sanitasi air, dengan melakukan
pemeriksaan fisika dan kimia terbatas terhadap
kualitas air di asrama haji dengan parameter
yang diukur meliputi: bau, warna, rasa, sisa khlor,
pH, TDS, temperatur dan TDS. Sedangkan
untuk pemeriksaan secara bakteriologis belum
dilakukan.
3. Belum tersedia sarana Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL) dan sarana pengolahan limbah
medis.
4. Pengendalian vektor akan dioptimalkan saat
operasional haji, meliputi kegiatan pemberantasan
nyamuk dan lalat.
Secara umum kondisi sanitasi asrama haji
Donohudan Boyolali sudah cukup baik, sudah ada
penambahan ruang pengambilan spesimen dahak
di poliklinik. Untuk menunjang kelancaran operasional
penyelengaraan ibadah haji masih diperlukan
adanya perbaikan saluran pembuangan air limbah,
perbaikan langit-langit di ruang pantry, pemasangan
jeruji besi di saluran air dapur untuk pencegahan
masuknya tikus maupun hewan yang lain,

1. Secara umum keadaan sanitasi Asrama Haji
Donohudan Boyolali sudah cukup baik dan siap
digunakan.
2. Telah dilakukan perbaikan untuk menunjang
kegiatan haji, antara lain penambahan ruang
untuk pengambilan spesimen dahak di poliklinik
dan penambahan lift di gedung Mekkah.
3. Perlunya dilakukan pembersihan rutin terhadap
sarana penunjang ibadah (alas sholat).
4. Kerjasama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten
Boyolali dalam pengolahan limbah medis selama
operasional penyelenggaraan haji.

Saran
1. Bagi Pengelola Asrama Haji:
a. Pembersihan karpet/alas sholat secara rutin
dan penambahan keset di tempat yang
kontak dengan air.
b. Perbaikan langit-langit yang rusak pada
ruang pantry (penyiapan makanan) di gedung
Mekkah dan Madinah.
c. Pembuatan saluran instalasi pengolahan air
limbah.
d. Pemasangan jeruji besi pada saluran
pembuangan air limbah.
e. Tindakan penyehatan air bersih secara rutin
berupa chlorinasi.
f. Penyediaan tempat sampah tertutup dan
pemisahan jenis sampah kering dan basah.
g. Perlu disediakan pula tempat sampah untuk
rokok dan pesan larangan merokok pada
area tertentu.
2. Bagi Lintas Sektor terkait (Dinas Kesehatan):
Kerjasama dalam pengolahan limbah medis
yang dihasilkan selama kegiatan operasional haji.
3. Bagi Kantor Kesehatan Pelabuhan: Tindakan
pemberantasan vektor baik sebelum maupun
pada saat operasional haji.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang RI Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
442/MENKES/SK/VI/2009 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Kesehatan Haji Indonesia.

30
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
416/MENKES/SK/IX/90 tentang Syarat-syarat
dan Pengawasan Kualitas Air.

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
492/MENKES/PER/IV/2010 tentang Persyaratan
Kualitas Air Minum.

31
Hambatan Kolaborasi TB-HIV di RS Hasan Sadikin Bandung
1

2

1

3

1

4

Yovita Hartantri , Bony Wiem Lestari , Intan Meilana , Dedi Suyanto , Basti Andriyoko , Annyk , Rudi
1
1
5,
6
Wisaksana , Bachti Alisjahbana , Ari Probandari Retno Budiati
1

RS Hasan Sadikin-Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung , Fakultas Kedokteran Universitas
2
3
4
Padjajaran Bandung , RS Hasan Sadikin , Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat , Fakultas Kedokteran
5
6
Universitas Sebelas Maret Surakarta , Subdit Pengendalian TB, Direktorat PPML, Ditjen PP dan PL
Abstrak. Kegiatan kolaborasi TB-HIV bertujuan membentuk mekanisme kolaborasi, menurunkan kejadian TB pada
penderita HIV melalui program 3 I’s dan menurunkan kejadian HIV pada penderita yang diduga TB. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui hambatan apa saja yang ditemui dalam kolaborasi TB-HIV di Rumah Sakit Hasan Sadikin,
Bandung. Penelitian ini merupakan penelitian action research, terbagi menjadi tahap diagnosis (assessment),
perencanaan dan intervensi serta evaluasi. Data kualitatif diperoleh dari observasi, notulensi rapat dan wawancara
secara mendalam, dan diskusi kelompok terarah pada para penentu kebijakan serta pelaksana unit layanan. Data
kuantitatif diperoleh dari laporan bulanan dan triwulan TB-HIV, serta perhitungan proporsi variabel-variabel kolaborasi
sebelum dan sesudah intervensi. Hasil tahap assessment, ada perbedaan persepsi kolaborasi, akibatnya prioritas
program masing-masing unit berbeda. Kurang koordinasi disebabkan kurangnya komunikasi, tidak ada pertemuan, serta
tidak ada monitoring dan evaluasi. Standar Operasional Prosedur (SOP) belum disosialisasikan, sehingga tidak jelas alur
layanan pasien-pasien ko-infeksi TB-HIV. Pada tahap perencanaan dan intervensi dilakukan upaya advokasi,
pertemuan, dan pelatihan untuk menyamakan persepsi dan tujuan layanan, melakukan komunikasi dan koordinasi, serta
membuat kesepakatan alur layanan dan perbaikan SOP. Pada tahap evaluasi, data kualitatif maupun kuantitatif belum
memperlihatkan adanya perubahan walau sudah dilakukan advokasi dan pertemuan. Masih ditemukan adanya kendala,
terutama masalah kehadiran dalam pertemuan dan komitmen. Di samping itu karena terbatasnya waktu dalam menilai
fase evaluasi, perhitungan indikator kolaborasi TB-HIV belum terlihat perbedaan yang nyata. Masih diperlukan intervensi
tambahan untuk memperbaiki kolaborasi TB-HIV. Walaupun telah diidentifikasi beberapa faktor penghambat, tetapi
masih rendahnya komitmen mematuhi hasil yang diinginkan, mungkin diperlukan adanya intermediary actor yang akan
memediasi kedua unit layanan. Aktor tersebut diharapkan bukan merupakan bagian dari kedua unit layanan TB atau
HIV, namun mengerti mengenai kegiatan kolaborasi TB-HIV dan mampu mengintegrasikan dua unit layanan tersebut.
Kata Kunci: Kolaborasi TB-HIV, RS Hasan Sadikin Bandung

Koresponden: Yovita Hartantri, RS Hasan Sadikin,
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Bandung, Telp. 08124807131; Retno B, Subdit
Pengendalian TB, Telp. 021-42804154, 081288668597
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab kematian
utama pada penderita HIV (Human Immunodeficiency
Virus). Infeksi HIV merupakan faktor risiko yang
potensial untuk terjadinya TB. TB dan HIV bekerja
secara sinergi meningkatkan angka kematian dan
angka kesakitan di masyarakat. Untuk mengatasi
infeksi ganda TB-HIV, WHO (2004) memberikan
panduan yang disebut 3 I’s, yaitu Intensifikasi
penemuan kasus TB, pengobatan pencegahan TB
dengan isoniazid, dan pengendalian infeksi terhadap
TB. Di Indonesia, strategi kolaborasi TB-HIV mulai
dilaksanakan di seluruh rumah sakit sejak 2007.
Data lapangan menunjukkan bahwa pencapaian
indikator kolaborasi TB-HIV di Indonesia masih di
bawah target. Indikator kegiatan kolaborasi TB-HIV
beserta targetnya adalah sebagaimana terlihat
pada Tabel 1.

Tabel 1. Indikator kolaborasi TB-HIV
Indikator
Pasien TB yang ditawarkan tes HIV
Pasien TB-HIV yang mendapat ART
Pasien TB-HIV yang mendapat CPT
Pasien HIV yang diskrining TB
Pasien TB-HIV yang mendapat OAT
Pencegahan INH

Target
(%)
15
60
80
80
80
NA

Sumber: Kemenkes, 2012

Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Hasan Sadikin
di Kota Bandung merupakan pusat rujukan tertinggi
di Jawa Barat. Jumlah kasus HIV di Jawa Barat
hingga September 2012 sebanyak 6.640 dengan
prevalensi TB sebesar 81,11 per 100.000 penduduk.
Hal ini menunjukkan beban ko-infeksi TB-HIV cukup
besar di Jawa Barat.
Pada tahun 2012 penderita TB yang menjalani
pemeriksaan HIV di klinik DOTS hanya 2,2% (22
dari 1.041 penderita), masih jauh di bawah target
nasional. Program kolaborasi TB-HIV sendiri di RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung telah diimplementasikan
sejak tahun 2008, namun hingga saat ini penerapannya
belum optimal.

32
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun  2013
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun  2013
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun  2013
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun  2013
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun  2013
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun  2013
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun  2013
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun  2013
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun  2013
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun  2013
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun  2013
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun  2013
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun  2013

Mais conteúdo relacionado

Mais procurados

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis - 2013
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis - 2013Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis - 2013
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis - 2013Dayu Agung Dewi Sawitri
 
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi AntiretroviralTatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi AntiretroviralSurya Amal
 
Warta Ditjen PP dan PL Edisi II Tahun 2014
Warta Ditjen PP dan PL Edisi II Tahun 2014Warta Ditjen PP dan PL Edisi II Tahun 2014
Warta Ditjen PP dan PL Edisi II Tahun 2014Ditjen P2P Kemenkes
 
NEWSLETTER DITJEN P2P KEMENKES RI EDISI IV TAHUN 2017
NEWSLETTER DITJEN P2P KEMENKES RI EDISI IV TAHUN 2017NEWSLETTER DITJEN P2P KEMENKES RI EDISI IV TAHUN 2017
NEWSLETTER DITJEN P2P KEMENKES RI EDISI IV TAHUN 2017Ditjen P2P Kemenkes
 
PETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAK
PETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAKPETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAK
PETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAKSurya Amal
 
Journal of Tuberculosis Nasional University Syiah Kuala
Journal of Tuberculosis Nasional University Syiah KualaJournal of Tuberculosis Nasional University Syiah Kuala
Journal of Tuberculosis Nasional University Syiah KualaSyiah Kuala University
 
Pharmaceutical Care HIV/AIDS
Pharmaceutical Care HIV/AIDSPharmaceutical Care HIV/AIDS
Pharmaceutical Care HIV/AIDSSurya Amal
 
MAKALAH EPIDEMIOLOGI UKURAN ASOSIASI (KHUSUS) PENYAKIT DIARE DI WILAYAH DALAM...
MAKALAH EPIDEMIOLOGI UKURAN ASOSIASI (KHUSUS) PENYAKIT DIARE DI WILAYAH DALAM...MAKALAH EPIDEMIOLOGI UKURAN ASOSIASI (KHUSUS) PENYAKIT DIARE DI WILAYAH DALAM...
MAKALAH EPIDEMIOLOGI UKURAN ASOSIASI (KHUSUS) PENYAKIT DIARE DI WILAYAH DALAM...dwiputri123
 
Baru mi2 pengamatan epidemiologi - bbpk ciloto nov 2020
Baru mi2  pengamatan epidemiologi - bbpk ciloto nov 2020Baru mi2  pengamatan epidemiologi - bbpk ciloto nov 2020
Baru mi2 pengamatan epidemiologi - bbpk ciloto nov 2020BidangTFBBPKCiloto
 
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utaraEpidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utaraRinaa Anggraini
 
Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis cet 8 (2002)
Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis cet 8 (2002)Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis cet 8 (2002)
Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis cet 8 (2002)Mamang Bagiansah
 
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara (indonesia)
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara (indonesia)Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara (indonesia)
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara (indonesia)Rinaa Anggraini
 
Jf ahli klb_ slide 1(investigasi klb)
Jf ahli klb_ slide 1(investigasi klb)Jf ahli klb_ slide 1(investigasi klb)
Jf ahli klb_ slide 1(investigasi klb)BidangTFBBPKCiloto
 
Md.3 dasar-dasar epidemiologi kesehatan dan kode etik profesi epidemiolgi k...
Md.3   dasar-dasar epidemiologi kesehatan dan kode etik profesi epidemiolgi k...Md.3   dasar-dasar epidemiologi kesehatan dan kode etik profesi epidemiolgi k...
Md.3 dasar-dasar epidemiologi kesehatan dan kode etik profesi epidemiolgi k...BidangTFBBPKCiloto
 
Dasar2 epid jafung epid nov 2020 (1)(1)
Dasar2 epid jafung epid nov 2020 (1)(1)Dasar2 epid jafung epid nov 2020 (1)(1)
Dasar2 epid jafung epid nov 2020 (1)(1)BidangTFBBPKCiloto
 

Mais procurados (20)

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis - 2013
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis - 2013Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis - 2013
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis - 2013
 
Nl.edisi 3.2013
Nl.edisi 3.2013Nl.edisi 3.2013
Nl.edisi 3.2013
 
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi AntiretroviralTatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral
 
Warta Ditjen PP dan PL Edisi II Tahun 2014
Warta Ditjen PP dan PL Edisi II Tahun 2014Warta Ditjen PP dan PL Edisi II Tahun 2014
Warta Ditjen PP dan PL Edisi II Tahun 2014
 
JURNAL KESEHATAN TAHUN 2019
JURNAL KESEHATAN TAHUN 2019JURNAL KESEHATAN TAHUN 2019
JURNAL KESEHATAN TAHUN 2019
 
NEWSLETTER DITJEN P2P KEMENKES RI EDISI IV TAHUN 2017
NEWSLETTER DITJEN P2P KEMENKES RI EDISI IV TAHUN 2017NEWSLETTER DITJEN P2P KEMENKES RI EDISI IV TAHUN 2017
NEWSLETTER DITJEN P2P KEMENKES RI EDISI IV TAHUN 2017
 
Jurnal klinik sanitasi
Jurnal klinik sanitasiJurnal klinik sanitasi
Jurnal klinik sanitasi
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
PETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAK
PETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAKPETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAK
PETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAK
 
Journal of Tuberculosis Nasional University Syiah Kuala
Journal of Tuberculosis Nasional University Syiah KualaJournal of Tuberculosis Nasional University Syiah Kuala
Journal of Tuberculosis Nasional University Syiah Kuala
 
Jurnal pengetahuan masker
Jurnal pengetahuan maskerJurnal pengetahuan masker
Jurnal pengetahuan masker
 
Pharmaceutical Care HIV/AIDS
Pharmaceutical Care HIV/AIDSPharmaceutical Care HIV/AIDS
Pharmaceutical Care HIV/AIDS
 
MAKALAH EPIDEMIOLOGI UKURAN ASOSIASI (KHUSUS) PENYAKIT DIARE DI WILAYAH DALAM...
MAKALAH EPIDEMIOLOGI UKURAN ASOSIASI (KHUSUS) PENYAKIT DIARE DI WILAYAH DALAM...MAKALAH EPIDEMIOLOGI UKURAN ASOSIASI (KHUSUS) PENYAKIT DIARE DI WILAYAH DALAM...
MAKALAH EPIDEMIOLOGI UKURAN ASOSIASI (KHUSUS) PENYAKIT DIARE DI WILAYAH DALAM...
 
Baru mi2 pengamatan epidemiologi - bbpk ciloto nov 2020
Baru mi2  pengamatan epidemiologi - bbpk ciloto nov 2020Baru mi2  pengamatan epidemiologi - bbpk ciloto nov 2020
Baru mi2 pengamatan epidemiologi - bbpk ciloto nov 2020
 
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utaraEpidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara
 
Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis cet 8 (2002)
Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis cet 8 (2002)Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis cet 8 (2002)
Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis cet 8 (2002)
 
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara (indonesia)
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara (indonesia)Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara (indonesia)
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara (indonesia)
 
Jf ahli klb_ slide 1(investigasi klb)
Jf ahli klb_ slide 1(investigasi klb)Jf ahli klb_ slide 1(investigasi klb)
Jf ahli klb_ slide 1(investigasi klb)
 
Md.3 dasar-dasar epidemiologi kesehatan dan kode etik profesi epidemiolgi k...
Md.3   dasar-dasar epidemiologi kesehatan dan kode etik profesi epidemiolgi k...Md.3   dasar-dasar epidemiologi kesehatan dan kode etik profesi epidemiolgi k...
Md.3 dasar-dasar epidemiologi kesehatan dan kode etik profesi epidemiolgi k...
 
Dasar2 epid jafung epid nov 2020 (1)(1)
Dasar2 epid jafung epid nov 2020 (1)(1)Dasar2 epid jafung epid nov 2020 (1)(1)
Dasar2 epid jafung epid nov 2020 (1)(1)
 

Destaque

Buku informasi pp pl 2013
Buku informasi pp pl 2013Buku informasi pp pl 2013
Buku informasi pp pl 2013Ditjen P2P
 
WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI IV TAHUN 2015
WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI IV TAHUN 2015WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI IV TAHUN 2015
WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI IV TAHUN 2015Ditjen P2P Kemenkes
 
Analisis Data Survival
Analisis Data SurvivalAnalisis Data Survival
Analisis Data SurvivalAdhitya Akbar
 
WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI III TAHUN 2015
WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI III TAHUN 2015WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI III TAHUN 2015
WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI III TAHUN 2015Ditjen P2P Kemenkes
 
Health and Ageing A Discussion Paper. Who nmh hps_01.1
Health and Ageing A Discussion Paper. Who nmh hps_01.1Health and Ageing A Discussion Paper. Who nmh hps_01.1
Health and Ageing A Discussion Paper. Who nmh hps_01.1Gláucia Castro
 
Jurnal akun keuangan indonesia
Jurnal akun keuangan indonesiaJurnal akun keuangan indonesia
Jurnal akun keuangan indonesiaDicky Setiawan
 
Kaleidoskop 2012 Ditjen PP dan PL
Kaleidoskop 2012 Ditjen PP dan PLKaleidoskop 2012 Ditjen PP dan PL
Kaleidoskop 2012 Ditjen PP dan PLDitjen P2P
 
Jurnal ari prastiono
Jurnal ari prastionoJurnal ari prastiono
Jurnal ari prastionosapakademik
 
Buku Data Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Semester I Tahun 2014
Buku Data Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Semester I Tahun 2014Buku Data Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Semester I Tahun 2014
Buku Data Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Semester I Tahun 2014Ditjen P2P
 
RNTCP CME update 2011
RNTCP CME update 2011RNTCP CME update 2011
RNTCP CME update 2011Shybin Usman
 

Destaque (20)

Buku informasi pp pl 2013
Buku informasi pp pl 2013Buku informasi pp pl 2013
Buku informasi pp pl 2013
 
WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI IV TAHUN 2015
WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI IV TAHUN 2015WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI IV TAHUN 2015
WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI IV TAHUN 2015
 
Analisis Data Survival
Analisis Data SurvivalAnalisis Data Survival
Analisis Data Survival
 
WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI III TAHUN 2015
WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI III TAHUN 2015WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI III TAHUN 2015
WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI III TAHUN 2015
 
Profil PP dan PL Tahun 2014
Profil PP dan PL Tahun 2014Profil PP dan PL Tahun 2014
Profil PP dan PL Tahun 2014
 
Health and Ageing A Discussion Paper. Who nmh hps_01.1
Health and Ageing A Discussion Paper. Who nmh hps_01.1Health and Ageing A Discussion Paper. Who nmh hps_01.1
Health and Ageing A Discussion Paper. Who nmh hps_01.1
 
Nl.edisi 3.2011
Nl.edisi 3.2011Nl.edisi 3.2011
Nl.edisi 3.2011
 
Nl.edisi 2.2011
Nl.edisi 2.2011Nl.edisi 2.2011
Nl.edisi 2.2011
 
Nl.edisi 1.2010
Nl.edisi 1.2010Nl.edisi 1.2010
Nl.edisi 1.2010
 
Nl.edisi 4.2010
Nl.edisi 4.2010Nl.edisi 4.2010
Nl.edisi 4.2010
 
Nl.edisi 2.2010
Nl.edisi 2.2010Nl.edisi 2.2010
Nl.edisi 2.2010
 
Nl.edisi 3.2010
Nl.edisi 3.2010Nl.edisi 3.2010
Nl.edisi 3.2010
 
Nl.edisi 1.2011
Nl.edisi 1.2011Nl.edisi 1.2011
Nl.edisi 1.2011
 
Jurnal akun keuangan indonesia
Jurnal akun keuangan indonesiaJurnal akun keuangan indonesia
Jurnal akun keuangan indonesia
 
Kaleidoskop 2012 Ditjen PP dan PL
Kaleidoskop 2012 Ditjen PP dan PLKaleidoskop 2012 Ditjen PP dan PL
Kaleidoskop 2012 Ditjen PP dan PL
 
Jurnal ari prastiono
Jurnal ari prastionoJurnal ari prastiono
Jurnal ari prastiono
 
Lakip 2014
Lakip 2014Lakip 2014
Lakip 2014
 
Buku Data Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Semester I Tahun 2014
Buku Data Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Semester I Tahun 2014Buku Data Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Semester I Tahun 2014
Buku Data Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Semester I Tahun 2014
 
RNTCP CME update 2011
RNTCP CME update 2011RNTCP CME update 2011
RNTCP CME update 2011
 
Newsletter Edisi 4 Tahun 2016
Newsletter Edisi 4 Tahun 2016Newsletter Edisi 4 Tahun 2016
Newsletter Edisi 4 Tahun 2016
 

Semelhante a Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2013

16588 40402-1-sm (1)-dikonversi
16588 40402-1-sm (1)-dikonversi16588 40402-1-sm (1)-dikonversi
16588 40402-1-sm (1)-dikonversiFidara Aprionika
 
Pengaruh Penggunaan Lilin dengan Ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum) Terhad...
Pengaruh Penggunaan Lilin dengan Ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum) Terhad...Pengaruh Penggunaan Lilin dengan Ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum) Terhad...
Pengaruh Penggunaan Lilin dengan Ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum) Terhad...hastutimarlina1
 
Pemanfaatan Mikroorganisme Sebagai Agen Pengendali Penyakit Tanaman
Pemanfaatan Mikroorganisme Sebagai Agen Pengendali Penyakit TanamanPemanfaatan Mikroorganisme Sebagai Agen Pengendali Penyakit Tanaman
Pemanfaatan Mikroorganisme Sebagai Agen Pengendali Penyakit TanamanAri Sugiarto
 
1-3-20 Uji Daya Bunuh Ekstrak daun Acacia nilotica terhadap Bakteri-Syarifah-...
1-3-20 Uji Daya Bunuh Ekstrak daun Acacia nilotica terhadap Bakteri-Syarifah-...1-3-20 Uji Daya Bunuh Ekstrak daun Acacia nilotica terhadap Bakteri-Syarifah-...
1-3-20 Uji Daya Bunuh Ekstrak daun Acacia nilotica terhadap Bakteri-Syarifah-...SyarifahMiftahulELJa1
 
Laporan praktikum inokulasi
Laporan praktikum inokulasiLaporan praktikum inokulasi
Laporan praktikum inokulasiTidar University
 
5 ely korlina-pengendalian hayatii
5 ely korlina-pengendalian hayatii5 ely korlina-pengendalian hayatii
5 ely korlina-pengendalian hayatiixie_yeuw_jack
 
Herfina yv j1f111217
Herfina yv   j1f111217Herfina yv   j1f111217
Herfina yv j1f111217Finayv
 
Herfina yv j1f111217 laporan akhir
Herfina yv   j1f111217 laporan akhirHerfina yv   j1f111217 laporan akhir
Herfina yv j1f111217 laporan akhirFinayv
 
Aplikasi ilmu genetika dalam kehidupan sehari dwi meliyani
Aplikasi ilmu genetika dalam kehidupan sehari dwi meliyaniAplikasi ilmu genetika dalam kehidupan sehari dwi meliyani
Aplikasi ilmu genetika dalam kehidupan sehari dwi meliyaniratnisarirkuka
 
Aplikasi ilmu genetika dalam kehidupan sehari dwi meliyani
Aplikasi ilmu genetika dalam kehidupan sehari dwi meliyaniAplikasi ilmu genetika dalam kehidupan sehari dwi meliyani
Aplikasi ilmu genetika dalam kehidupan sehari dwi meliyaniratnisarirkuka
 
PEMBUATAN SUSPENSI JAMUR ENTOMOPATOGEN
PEMBUATAN SUSPENSI JAMUR ENTOMOPATOGENPEMBUATAN SUSPENSI JAMUR ENTOMOPATOGEN
PEMBUATAN SUSPENSI JAMUR ENTOMOPATOGENdiana novitasari
 
SISTEM INTEGUMENT SERANGGA
SISTEM INTEGUMENT SERANGGASISTEM INTEGUMENT SERANGGA
SISTEM INTEGUMENT SERANGGAJosua Sitorus
 
Jurnal penelitian yusnawan
Jurnal penelitian yusnawanJurnal penelitian yusnawan
Jurnal penelitian yusnawanAbd Wahid
 
Jurnal DDPT Hemiptera
Jurnal DDPT HemipteraJurnal DDPT Hemiptera
Jurnal DDPT HemipteraSurya Agus
 
171-37-974-1-10-20181007.pdf
171-37-974-1-10-20181007.pdf171-37-974-1-10-20181007.pdf
171-37-974-1-10-20181007.pdfPedroDaSilvaTL
 

Semelhante a Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2013 (20)

16588 40402-1-sm (1)-dikonversi
16588 40402-1-sm (1)-dikonversi16588 40402-1-sm (1)-dikonversi
16588 40402-1-sm (1)-dikonversi
 
Pengaruh Penggunaan Lilin dengan Ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum) Terhad...
Pengaruh Penggunaan Lilin dengan Ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum) Terhad...Pengaruh Penggunaan Lilin dengan Ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum) Terhad...
Pengaruh Penggunaan Lilin dengan Ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum) Terhad...
 
Pemanfaatan Mikroorganisme Sebagai Agen Pengendali Penyakit Tanaman
Pemanfaatan Mikroorganisme Sebagai Agen Pengendali Penyakit TanamanPemanfaatan Mikroorganisme Sebagai Agen Pengendali Penyakit Tanaman
Pemanfaatan Mikroorganisme Sebagai Agen Pengendali Penyakit Tanaman
 
Laporan pkm fogging
Laporan pkm foggingLaporan pkm fogging
Laporan pkm fogging
 
1-3-20 Uji Daya Bunuh Ekstrak daun Acacia nilotica terhadap Bakteri-Syarifah-...
1-3-20 Uji Daya Bunuh Ekstrak daun Acacia nilotica terhadap Bakteri-Syarifah-...1-3-20 Uji Daya Bunuh Ekstrak daun Acacia nilotica terhadap Bakteri-Syarifah-...
1-3-20 Uji Daya Bunuh Ekstrak daun Acacia nilotica terhadap Bakteri-Syarifah-...
 
PRODUKSI FERMENTASI ANTIBIOTIK PENISILIN
PRODUKSI FERMENTASI ANTIBIOTIK PENISILINPRODUKSI FERMENTASI ANTIBIOTIK PENISILIN
PRODUKSI FERMENTASI ANTIBIOTIK PENISILIN
 
Laporan praktikum inokulasi
Laporan praktikum inokulasiLaporan praktikum inokulasi
Laporan praktikum inokulasi
 
5 ely korlina-pengendalian hayatii
5 ely korlina-pengendalian hayatii5 ely korlina-pengendalian hayatii
5 ely korlina-pengendalian hayatii
 
Herfina yv j1f111217
Herfina yv   j1f111217Herfina yv   j1f111217
Herfina yv j1f111217
 
Herfina yv j1f111217 laporan akhir
Herfina yv   j1f111217 laporan akhirHerfina yv   j1f111217 laporan akhir
Herfina yv j1f111217 laporan akhir
 
Aplikasi ilmu genetika dalam kehidupan sehari dwi meliyani
Aplikasi ilmu genetika dalam kehidupan sehari dwi meliyaniAplikasi ilmu genetika dalam kehidupan sehari dwi meliyani
Aplikasi ilmu genetika dalam kehidupan sehari dwi meliyani
 
Aplikasi ilmu genetika dalam kehidupan sehari dwi meliyani
Aplikasi ilmu genetika dalam kehidupan sehari dwi meliyaniAplikasi ilmu genetika dalam kehidupan sehari dwi meliyani
Aplikasi ilmu genetika dalam kehidupan sehari dwi meliyani
 
PEMBUATAN SUSPENSI JAMUR ENTOMOPATOGEN
PEMBUATAN SUSPENSI JAMUR ENTOMOPATOGENPEMBUATAN SUSPENSI JAMUR ENTOMOPATOGEN
PEMBUATAN SUSPENSI JAMUR ENTOMOPATOGEN
 
50 ste-final
50 ste-final50 ste-final
50 ste-final
 
SISTEM INTEGUMENT SERANGGA
SISTEM INTEGUMENT SERANGGASISTEM INTEGUMENT SERANGGA
SISTEM INTEGUMENT SERANGGA
 
Jurnal penelitian yusnawan
Jurnal penelitian yusnawanJurnal penelitian yusnawan
Jurnal penelitian yusnawan
 
Jurnal DDPT Hemiptera
Jurnal DDPT HemipteraJurnal DDPT Hemiptera
Jurnal DDPT Hemiptera
 
171-37-974-1-10-20181007.pdf
171-37-974-1-10-20181007.pdf171-37-974-1-10-20181007.pdf
171-37-974-1-10-20181007.pdf
 
Pekerti gitam adura
Pekerti gitam aduraPekerti gitam adura
Pekerti gitam adura
 
14bookcabe
14bookcabe14bookcabe
14bookcabe
 

Mais de humasditjenppdanpl (6)

Nl.edisi 2.2013
Nl.edisi 2.2013Nl.edisi 2.2013
Nl.edisi 2.2013
 
Nl.edisi 1.2013
Nl.edisi 1.2013Nl.edisi 1.2013
Nl.edisi 1.2013
 
Nl.edisi 4.2012
Nl.edisi 4.2012Nl.edisi 4.2012
Nl.edisi 4.2012
 
Nl.edisi 3.2012
Nl.edisi 3.2012Nl.edisi 3.2012
Nl.edisi 3.2012
 
Nl.edisi 2.2012
Nl.edisi 2.2012Nl.edisi 2.2012
Nl.edisi 2.2012
 
Nl.edisi 1.2012
Nl.edisi 1.2012Nl.edisi 1.2012
Nl.edisi 1.2012
 

Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2013

  • 1. i
  • 2. ii
  • 3. JURNAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN DEWAN REDAKSI Penasihat : Direktur Jenderal PP dan PL Sekretaris Ditjen PP dan PL Penanggung Jawab : Kepala Bagian Hukormas Redaktur : drg. Yossy Agustina, MH.Kes dr. Ita Dahlia, MH.Kes Dr. dr. Toni Wandra, M.Kes, Ph.D Dr. Lukman Hakim Dyah Prabaningrum, SKM Penyunting/Editor : dr. Ratna Budi Hapsari, M.Kes Dr. Suwito , SKM, M.Kes Dr. dr. Toni Wandra, M.Kes, Ph.D Ahmad Abdul Hay, SKM Design Grafis/ Fotografer : Eriana Sitompul Bukhari Iskandar, SKM Devi Nurdiansyah, Amd Sekretariat : Dewi Nurul Triastuti, SKM Risma, SKM Putri Kusumawardani, ST Aditya Pratama, SI.Kom Indah Nuraprilyanti, SKM Penerbit : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Penyehatan Lingkungan Jl. Percetakan Negara No.29 Jakarta 10560 Telepon/Faks: (021) 4223451 email: humas.p2pl@gmail.com website: www.pppl.depkes.go.id facebook: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan dan iii
  • 4. Kata Pengantar Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan karunia-Nya sehingga Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan ini dapat diterbitkan demi memenuhi kebutuhan pembaca dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan khususnya pengendalian penyakit, baik yang menular maupun tidak menular serta penyehatan lingkungan di Indonesia. Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan ini merupakan edisi 3 yang terbit di penghujung tahun 2013. Jurnal ini diterbitkan dengan tujuan dapat mempublikasikan hasil penelitian, karya ilmiah dan review terkait dengan program pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Diharapkan jurnal ini dapat bermanfaat bagi para pembaca yang ingin mengetahui perkembangan terbaru tentang program pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan jurnal ini. Kritik dan saran yang membangun kami harapkan demi penyempurnaan dan kemajuan jurnal ini. Akhir kata, semoga jurnal ini dapat memberikan motivasi dan dorongan, serta bermanfaat bagi kita semua. Jakarta, Desember 2013 iv
  • 5. Daftar Isi Halaman Efektivitas Bacillus Thuringiensis Varian Israelensis Serotipe H-14 Dalam Mematikan Larva Aedes Aegypti pada Skala Lapangan ............................ 1-3 Ketahanan Hidup Pasien Kanker Payudara Stadium Awal di Rumah Sakit kanker Dharmais Jakarta ............................................................................... 4-8 Pengembangan Dispeneser Anti Nyamuk dalam Menurunkan Kepadatan Nyamuk Demam Berdarah Dengue ........................................................................ 9 - 12 Pelatihan dalam Impelementasi Sistem Skoring TB Anak di Pelayanan Kesehatan Primer di DKI Jakarta ......................................................... 13 - 15 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seks Multipartner pada Tukang Ojek yang Mangkal di Dekat Lokalisasi Pasar Kembang Kota Yogyakarta .............................................................................................................. 16 - 23 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keterlambatan Memulai Pengobatan Pasien TB MDR di RS Persahabatan Jakarta..................................... 24 - 28 Pemeriksaan Pendahuluan Sanitasi Asrama Haji Donohudan Boyolali, Jawa Tengah Tahun 2013 ..................................................................................... 29 - 31 Hambatan Kolaborasi TB-HIV di RS Hasan Sadikin Bandung ............................. 32 - 34 Evaluasi Pasca Pelatihan Jabatan Fungsional Entomolog Kesehatan Tingkat Ahli Balai Besar Pelatihan Kesehatan Ciloto ............................................. 35 - 39 Faktor Risiko Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan di Desa Bantargadung, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat Tahun 2013 ............................ 40 - 44 v
  • 6. Efektivitas Bacillus thuringiensis varian israelensis Serotipe H-14 dalam Mematikan Larva Aedes aegypti pada Skala Lapangan 1 2 1 Suwito , Achmad Farich , Winarno , Budi Santoso 1 1 2 Direktorat PPBB, Direktorat Jenderal PP dan PL, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati Bandar Lampung Abstrak. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia. Upaya pencegahan DBD yang paling efektif adalah dengan cara pengendalian vektor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas Bacillus thuringiensis varian israelensis (Bti) serotipe H-14 dalam mematikan larva Ae. aegypti pada skala lapangan. Penelitian ini dilaksanakan bulan Januari-Maret 2012 di Kota Tanjung Karang, Provinsi Lampung dengan desain rancangan acak lengkap (RAL) terdiri dari 3 populasi kelompok perlakuan. Bti yang digunakan serotipe H-14 formulasi cair 9 mengandung 600 ITU per ml atau1,2 x 10 CFU, dengan dosis 2 tetes per 5 liter air. Kelompok populasi perlakuan I diberikan sekali aplikasi Bti terhadap semua media perairan yang ada, kelompok populasi perlakuan II diberikan aplikasi Bti setiap minggu, sedangkan kelompok populasi perlakuan III adalah kelompok kontrol dengan placebo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada sekali pemakaia Bti di lapangan efektif mematikan larva Ae. aegypti selama 3 minggu, sedangkan pada aplikasi setiap minggu menunjukkan hasil yang efektif dan mulai minggu keempat tidak lagi ditemukan jentik nyamuk. Kata kunci: Bti serotipe H-14, Efikasi, Larva Ae. Aegypti Koresponden: Suwito, Subdit Pengendalian Arbovirosis, Direktorat PPBB, Ditjen PP dan PL. Tep. 081379729578, email: suwito_enk@yahoo.co.id PENDAHULUAN Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia. Penyakit ini sering kali menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) di beberapa kabupaten/kota di Indonesia. Pada tahun 2012, kasus DBD di Indonesia dilaporkan sebanyak 90.245 orang dengan kematian 816 orang (Ditjen PP dan PL, 2013). Angka kesakitan dan kematian DBD yang masih tinggi disebabkan oleh banyak faktor antara lain restistensi vektor. Penggunaan insektisida dalam pengendalian, rumah tangga dan pertanian secara terus-menerus dapat memicu terjadinya resistensi vektor (Ponlawat et all., 2005). Upaya pencegahan DBD yang paling efektif adalah dengan cara pemutusan mata rantai penularan, yaitu dengan melakukan pengendalian vektor. Berdasarkan Permenkes Nomor 374 Tahun 2010 tentang Pengendalian Vektor, dapat dilakukan secara fisik, biologi dan kimiawi. Penggunaan bahan pengendali Bacillus thuringiensis varian israelensis (Bti) serotipe H-14 merupakan bagian dari pengendalian vektor secara biologi. Bti menghasilkan kristal protein yang disukai larva nyamuk. Kristal protein yang dimakan/termakan oleh larva menempel pada permukaan sel epitel usus, sehingga membentuk pori atau lubang pada usus yang pada akhirnya larva akan mengalami gangguan pencernaan dan mati. Kelebihan pengendalian vektor secara biologi antara lain tidak menimbulkan resistensi dan residu lingkungan yang berbahaya. Penelitian skala laboratorium Bti telah terbukti mematikan larva Aedes, Culex dan Anopheles. Aplikasi efikasi Bti skala lapangan diperlukan untuk mengetahui efektivitas Bti dalam membunuh larva nyamuk pada skala lapangan dan penurunan kasus DBD. Tujuan penelitian ini adalah: 1) Mengetahui efektivitas Bti serotipe H-14 dalam mematikan larva Ae. aegypti pada skala lapangan; dan 2) Mengetahui jangka waktu Bti serotipe H-14 dalam mematikan larva Ae. aegypti pada skala lapangan. BAHAN DAN CARA Waktu dan Tempat Penelitian efikasi dilaksanakan sejak bulan Januari sampai dengan Maret 2012. Penelitian dilaksanakan di kelurahan paling tinggi kasus DBD, yaitu Kelurahan Tanjung Senang, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung. Bahan Bahan yang diuji adalah Bti serotipe H-14 formulasi 9 cair yang mengandung 600 ITU per ml atau1,2 x 10 CFU, dengan dosis pemakaian dua tetes per lima liter air. 1
  • 7. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 1. Penetesan Bti Desain Penelitian efikasi menggunakan desain eksperimen metode rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 8 ulangan. Pada pengamatan awal, jumlah seluruh kontainer sebanyak 1.034 buah, terdiri dari 529 positif larva Ae. aegypti dan 505 negatif. Pada kelompok I dengan sekali perlakuan Bti yang positif larva Ae. aegypti sebanyak 153 kontainer dan negatif 197 kontainer. Pada kelompok II dengan perlakuan Bti setiap minggu yang positif larva Ae. aegypti sebanyak 172 kontainer dan negatif 88 kontainer. Pada kelompok III sebagai kontrol yang positif larva Ae. aegypti sebanyak 204 kontainer dan negatif 220 kontainer (Gambar 2). Pengambilan Sampel Rumah Populasi sampel adalah seluruh rumah yang ada di tiga rukun tetangga (RT), yaitu RT 7, RT 5 dan RT 8. Populasi sampel di RT 7 dengan sekali perlakuan Bti (kelompok I), populasi sampel di RT 5 dengan perlakuan Bti setiap minggu (kelompok II), sedangkan populasi sampel di RT 8 sebagai kontrol (kelompok III). Pengamatan Larva Nyamuk Sebelum dilakukan pengujian, setiap media perairan diamati keberadaan larva Ae. aegypti. Kemudian pengamatan larva nyamuk dilakukan 24 jam pertama setelah perlakuan, selanjutnya setiap minggu selama tujuh minggu. Selain pengamatan larva Ae. aegypti, juga dilakukan pengamatan jenis habitat perkembangbiakan larva Ae. aegypti. Analisis Analisis efikasi menggunakan panduan WHO (2003), sebagai berikut: - Bti serotipe H-14 dinyatakan efektif apabila kematian larva≥80%, dan dinyatakan tidak efektif apabila kematian larva <80%. - Apabila kematian larva kontrol sebanyak 5-20%, maka kriteria efikasi berdasakan rumus Abbot: KL = % KP - % KK 100 - % KK Gambar 2. Pengamatan awal kondisi kontainer di wilayah uji 1. Habitat Perkembangbiakan Ae. aegypti Jenis kontainer yang positif larva Ae. aegypti berturut-turut dari yang tertinggi hinggi terendah, yaitu bak mandi 40,2%, sumur 16,8%, ember 12,8%, gentong 8,6%, ban 4,1%, kolam ikan 3,7%, dispenser 3,4%, gelas 2,6%, drum 1,9%, kaleng 1,5%, aquarium 1,3%, pot bunga 0,9%, kulkas 0,6%, x 100 KL=Kematian Larva, KP=Kematian Perlakuan, KK=Kematian Kontrol - Apabila kematian larva kontrol lebih dari 20%, maka pengujian dianggap gagal dan harus diulang lagi. toples 0,4% dan lain-lain 1,3% (Gambar 3). Gambar 3. Persentase Kontainer Positif Larva Ae. aegypti 2
  • 8. 2. Efektivitas Bti Berdasarkan pengamatan pada kelompok I, pada awal pengamatan didapatkan 153 kontainer positif larva Ae. aegypti, setelah diberi perlakuan Bti pada pengamatan 24 jam, 97,4% kontainer bebas larva Ae. aegypti, pengamatan minggu pertama sebesar 85% kontainer bebas larva Ae. aegypti, minggu kedua 80,4%, minggu ketiga 80,4%, minggu keempat 75,3%, minggu kelima 76,4%, minggu keenam 80% dan minggu ketujuh 72,7% (Gambar 4). WHO (2003) menyatakan bahwa sebuah metode pengendalian dikatakan efektif apabila dapat mematikan ≥80% vektor/serangga sasaran. Artinya, pada sekali pemakaian Bti pada skala lapangan efektif mematikan larva Ae. aegypti hingga tiga minggu. Pada minggu keenam terjadi peningkatan hingga 80% dikarenakan perilaku pemberantasan sarang nyamuk (PSN) masyarakat yang membaik setelah dikunjungi oleh petugas, bukan karena efektivitas Bti. Gambar 4. Efektivitas Bti serotipe H-14 pada sekali Gambar 5. Efektivitas Bti serotipe H-14 pada pemakaian tiap minggu dalam mematikan larva Ae. aegypti pada skala lapangan KESIMPULAN DAN SARAN 1. Bti serotipe H-14 efektif mematikan larva Ae. aegypti hingga 3 minggu dalam sekali pemakaian di lapangan. 2. Bti serotipe H-14 efektif mematikan larva Ae. aegypti setiap minggu dalam pemakaian setiap minggu di lapangan dan mulai minggu keempat tidak lagi ditemukan jentik nyamuk. DAFTAR PUSTAKA Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 374/Menkes/Per/III/2010 tentang Pengendalian Vektor. pemakaian dalam mematikan larva Ae. aegypti pada skala lapangan Berdasarkan pengamatan pada kelompok II setiap minggu perlakuan Bti, pada awal pengamatan didapatkan 172 kontainer positif larva Ae. aegypti, setelah diberi perlakuan Bti pada pengamatan 24 jam, 99,4% kontainer bebas larva Ae. aegypti, pengamatan minggu pertama sebesar 81,4% kontainer bebas larva Ae. aegypti, minggu kedua 93%, minggu ketiga 98,3%, minggu keempat 99,3%, minggu kelima 100%, minggu keenam 100% dan minggu ketujuh 100% (Gambar 5). Pada pemakaian Bti tiap minggu menunjukkan hasil yang sangat efektif dalam mematikan larva Ae. aegypti (kematian di atas 80%), bahkan mulai minggu kelima kematian mencapai 100% (Gambar 5). Kementerian Kesehatan RI, 2013. Tabulasi Kasus DBD di Indonesia. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Ponlawat, A., Scott, J.G., Harrington, L.C., 2005. Insecticide susceptibility of Aedes aegypti and Aedes albopictus across. Thailand. J. Medical Entomol. Bangkok. World Health Organization, 2003. Entomology and Vector Control Trial Edition. Genewa. 3
  • 9. Ketahanan Hidup Pasien Kanker Payudara Stadium Awal di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta 1 Sorta Rosniuli , Teguh Aryandono 1 2 2 Direktorat PPTM, Direktorat Jenderal PP dan PL, Kemenkes RI, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada Abstrak. Kanker payudara merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Upaya deteksi dini atau penemuan kasus secara dini (early diagnosis) dan pengobatan segera (prompt treatment) akan mempengaruhi ketahanan hidup pasien kanker payudara stadium awal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan lama ketahanan hidup pasien kanker payudara stadium awal (0-IIB), perbedaan antara 0-IIA dan IIB, dan faktor luar yang berperan dalam mempengaruhi ketahanan hidup pasien kanker payudara stadium awal. Penelitian ini menggunakan pendekatan kohort retrospektif. Pasien kanker payudara stadium awal diamati sejak mulai operasi sampai mengalami kematian atau sampai batas akhir pengamatan dengan menggunakan data sekunder yang direkap dari Form Ikhtisar Perawatan Kanker Payudara dan Terapi sejak tahun 1995 sampai dengan 2009. Setelah data diperoleh maka dilakukan analisis ketahanan hidup (survival analysis). Populasi penelitian adalah pasien kanker payudara stadium awal yang menjalani pengobatan di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi adalah pasien kanker payudara yang mendapat tindakan operasi sejak tahun 1995 sampai 2009. Kata kunci: Ketahanan hidup, Kanker payudara stadium awal Koresponden: Sorta Rosniuli, Direktorat PPTM, Ditjen PP dan PL, Telp.081383920228, email:sortarosniuli@yahoo.co.id memeriksakan diri atau mendapatkan pengobatan. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan ketahanan hidup pasien kanker payudara adalah dengan melakukan deteksi dini dan pengobatan segera. PENDAHULUAN Kanker merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Setiap tahun terdapat 12 juta orang di seluruh dunia menderita kanker dan 7,6 juta diantaranya meninggal dunia. Jika tidak dilakukan pengendalian yang memadai, maka pada tahun 2030 diperkirakan 26 juta orang akan menderita kanker dan 17 juta diantaranya akan meninggal dunia. Kejadian ini akan terjadi lebih cepat khususnya di negara miskin dan berkembang (UICC, 2009). Pasien biasanya datang ke rumah sakit sudah dalam keadaan stadium lanjut. Hukom, (2002) menemukan bahwa dari 447 pasien kanker payudara yang berobat ke Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD), hampir setengahnya merupakan stadium lanjut. Keadaan ini dapat terjadi, karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya melakukan deteksi dini, jarak tempuh ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) yang jauh, sehingga pasien terlambat datang ke fasyankes untuk Berdasarkan Kepmenkes No. 796/Menkes/SK/VII/2010 tentang Pedoman Teknis Pengendalian Kanker Payudara, upaya pengendalian kanker payudara antara lain dengan melakukan pemeriksaan USG pada umur<40 tahun dan mammography pada umur>40 tahun. Pendidikan tinggi, pengetahuan yang baik, metode yang tepat untuk deteksi dini, dan pengobatan yang memadai sangat diperlukan untuk meningkatkan hasil penanganan kanker payudara (Park et al., 2008). Selain itu peningkatan peran petugas kesehatan di tingkat pelayanan dasar sangat efektif dalam penemuan kanker payudara pada stadium awal (Gorey et al., 2010). TUJUAN PENELITIAN 1. Mengetahui perbedaan lama ketahanan hidup pasien kanker payudara stadium awal 2. Mengetahui perbedaan lama ketahanan hidup kanker payudara stadium awal (0-IIB) 3. Mengetahui faktor luar yang berperan mempengaruhi ketahanan hidup kanker payudara stadium awal 4
  • 10. BAHAN DAN CARA Penelitian ini menggunakan pendekatan kohort retrospektif. Pasien kanker payudara stadium awal diamati secara retrospektif sejak mulai operasi di Rumah Sakit Dharmais sampai mengalami kematian (event/out come) atau sampai batas akhir pengamatan dengan menggunakan data sekunder yang direkap dari Form Ikhtisar Perawatan Kanker Payudara dan Terapi sejak tahun 1995 sampai dengan 2009. Setelah data diperoleh maka dilakukan analisis ketahanan hidup (survival analysis). Populasi penelitian adalah penderita kanker payudara stadium awal yang menjalani pengobatan di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi adalah penderita kanker payudara yang mendapat tindakan operasi sejak tahun 1995 sampai 2009. Jumlah sampel minimal dihitung sesuai dengan rumus untuk penelitian kohort uji hipotesis terhadap risiko relatif (Lameshow et al., 1990) sebagai berikut: Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan jumlah sampel minimal sebanyak 98 orang dengan masing-masing kelompok stadium yang akan diuji sebanyak 49 orang. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini, sebagian besar pasien kanker payudara stadium awal yang datang ke RSKD adalah stadium 0-IIA, yaitu 119 orang (69,59%). Dari data karakteristik 178 orang pasien kanker payudara stadium awal, 123 orang (69,1%) diantaranya stadium 0-IIA, sedangkan 55 orang (30,9%) stadium IIB. Dari pasien-pasien kanker payudara stadium awal tersebut, jumlah yang meninggal sebanyak 12 orang (6,7%) dan yang hidup sebanyak 166 orang (93,3%) (Bagan). Kanker Payudara Stadium Awal Tahun 1995 – 2009 n=178 Stadium 0-IIA Stadium IIB n=123 n=55 Hidup Meninggal Hidup Meninggal 119 (96%) 4 (4%) 47 (84,7%) 8 (16,3%) Bagan Terdapat hubungan yang bermakna antara ketahanan hidup kanker payudara dengan stadium klinis (p=0,02). Bila dibandingkan antara stadium 0-IIA dan stadium IIB, ditemukan rerata ketahanan hidup (mean survival life) pada stadium IIB selama 93,63 bulan (CI 95%: 69,91-117,35), sedangkan pada stadium 0-IIA selama 162,79 bulan (CI 95%: 151,86-173,72) dan median survival life 95 bulan (CI 95%:55,09-134,91) (Gambar). 5
  • 11. 1.0 Stadium 0 - II A (4) II B (8) 0 - II A-censored (95) II B-censored (41) Ketahanan Hidup 0.8 0.6 0.4 0.2 Log Rank=8,804, p=0,003 0.0 0 50 100 150 200 Follow -up(bulan) Gambar Dari hasil analisis secara multivariate cox proportional hazard, terlihat jelas perbedaan ketahanan hidup kanker payudara stadium awal stadium 0-IIA dibandingkan IIB. Perbedaan ini dibuktikan dengan uji log rank yang secara statistik berbeda bermakna dengan p=0,008. Hasil analisis multivariat dengan Cox Proportional Hazard, nilai HR=5,22 kali (1,5517,55), artinya risiko kematian pada pasien kanker payudara stadium IIB adalah 5,22 kali lebih tinggi dibandingkan dengan stadium 0-IIA setelah memperhitungkan variabel kovariat (Tabel). B SE p Adjusted HR* (95%CI**) dan median survival life 95 bulan (95% CI:55,09134,91). Risiko kematian pada pasien kanker payudara stadium IIB 5,22 kali (95% CI: 1,55-17,55) lebih tinggi dibandingkan stadium 0-IIA setelah memperhitungkan variabel kovariat lainnya. Letak tumor, umur, status perkawinan, pendidikan, estrogen reseptor, progesteron reseptor, status p53, ukuran tumor, status kelenjar, HER-2, dan kelengkapan terapi mempunyai hubungan terhadap ketahanan hidup pasien kanker payudara stadium awal, namun dalam penelitian ini setelah dibuktikan secara statistik hasilnya tidak bermakna. Saran Sta1,652 dium 0,619 0,008 5,22 (1,55-17,55) **Hazard Ratio, **Confidence Interval Tabel model akhir faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan hidup pasien kanker payudara stadium awal di RSKD Jakarta (analisis Cox Proportional Hazard) KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Terdapat hubungan yang bermakna antara ketahanan hidup pasien kanker payudara dengan stadium klinis (p=0,008). Bila dibandingkan antara stadium 0-IIA dan stadium IIB, rerata ketahanan hidup (mean survival life) pada stadium IIB lebih rendah, yaitu 93,63 bulan (95% CI: 69,91-117,35), sedangkan stadium 0-IIA 162,79 bulan (95% CI: 151,86-173,72) Kepada pasien  Untuk menginformasikan dengan jelas dan tepat tentang tempat tinggal, nomor telepon (baik tetap maupun sementara), dan keluarga yang bisa dihubungi dari tempat asal atau yang tinggal di Jakarta, diharapkan mempunyai inisiatif untuk menyampaikan kepada petugas RSKD jika pindah alamat dan atau mengganti nomor telepon.  Untuk semua perempuan, agar melaksanakan deteksi dini, dan bagi yang sudah terdiagnosis kanker payudara stadium awal, agar segera mengikuti prosedur penanganan dan perawatan yang lebih baik, sehingga memungkinkan untuk mendapatkan ketahanan hidup yang lebih tinggi dan kualitas hidup yang lebih baik. Pengobatan lebih awal telah terbukti dapat meningkatkan ketahanan hidup.  Dianjurkan untuk selalu melakukan kontrol ke rumah sakit, sehingga dapat terus terpantau dan dapat segera diketahui jika penyakitnya kambuh lagi. 6
  • 12. Kepada keluarga pasien Agar keluarga memberikan dukungan dan perhatian kepada pasien dalam menjalani pengobatan. Berdasarkan studi ini pasien yang memiliki pasangan hidup ketahanan hidupnya lebih baik dibandingkan pasien yang tidak memiliki pasangan hidup. Kepada masyarakat Agar melakukan pemeriksaan deteksi dini dengan teratur dan lebih meningkatkan wawasannya tentang gejala dan tanda kanker payudara yang sering tidak nyata. Apabila ada keluhan seringan apapun, agar segera memeriksakan diri, sehingga meskipun pada akhirnya didiagnosis sebagai kanker payudara stadium awal, maka berdasarkan hasil penelitian ini ketahanan hidup akan jauh lebih baik dan berkualitas. Bagi pengelola program pengendalian penyakit kanker Baik di tingkat pusat maupun daerah, agar memfasilitasi akses layanan deteksi dini, memperbaiki sistem rujukan, meningkatkan akses layanan konseling agar masyarakat mau untuk deteksi dini secara sukarela.  Penelitian kohort dengan waktu pengamatan yang lebih lama dengan jumlah sampel yang lebih besar yang dilakukan di populasi.  Menilai kekambuhan dari pasien kanker payudara stadium awal dan faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan.  Menilai faktor prognostik lain yang berkaitan dengan ketahanan hidup pasien kanker payudara stadium awal seperti kegemukan, comorbidity, dan faktor genetik.  Menilai perbedaan ketahanan hidup pasien yang dari awal diagnosis langsung mendapatkan pengobatan di Rumah Sakit Kanker Dharmais dibandingkan pasien yang setelah didiagnosa, lebih dahulu mendapatkan pengobatan di tempat lain dan akhirnya dirujuk ke Rumah Sakit Kanker Dharmais. DAFTAR PUSTAKA Aryandono T, 2006. Faktor Prognosis Kanker Payudara Operabel di Yogyakarta. Disertasi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Clark GM, 2000. Prognostic and Predictive Factors. Dalam:Harris JR, Lippmann, Morrow M, Osborne CK, 2000. Disease of the Breast. second edition. Lippincot. Philadelphia. 467-479. Kepada tenaga medis dan paramedis Disarankan agar lebih memperhatikan kelengkapan rekam medik pasien, karena hanya dengan catatan yang akurat dapat digunakan untuk rekomendasi pengobatan yang tepat pada pasien kanker payudara. Diharapkan juga turut mencatat faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya kanker payudara. Bagi rumah sakit sebagai manajemen data rekam medik RS Kanker Dharmais. Diharapkan agar pengelolaan pencatatan dan pelaporan rekam medik dilakukan lebih baik lagi, sehingga informasi data rutin dapat lebih lengkap, missing data dapat diminimalkan dan tidak terjadi kesulitan dalam menemukan rekam medik terutama bagi pasien yang sudah meninggal. Bagi peneliti lain, dianjurkan melakukan penelitian lebih lanjut seperti: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Pedoman Kanker Nasional. Direktorat Jenderal PP dan PL. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010. Pedoman Teknis Pengendalian Kanker Payudara dan Leher Rahim. Direktorat Jenderal PP dan PL. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Jakarta. T.S. Dabakuyo, F.Bonnetain, P.Roignot, M.L.Poillot, G.Chaplain, T.Altwegg, G.Hedelin, and P.Arveux, 2007. Population Based Study Of Breast Cancer Survival In Cote D’or (France):Prognostic Factors And Relative Survival. Annals of Oncology 19:276-283. Zhang BN, Shao ZM, Qiao XM, Li B, Jiang J, Yang MT, Wang S, Song ST, Zhang B, Yang HJ, 2005. A Prospective Multicenter Clinical Trial Of 7
  • 13. Breast Conserving Therapy for Early Breast Cancer in China. Chinese Academy of Medical Sciences. Peking Union Medical College. Beijing. 8
  • 14. Pengembangan Dispenser Anti Nyamuk dalam Menurunkan Kepadatan Nyamuk Demam Berdarah Dengue Suwito Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang, Direktorat Jenderal PP dan PL, Kemenkes RI Abstrak. Tahun 2012 jumlah penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) sebanyak 90.245 orang dengan kematian 816 orang. Salah satu upaya pengendalian DBD adalah dengan cara pengendalian vektor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas dispenser anti nyamuk dalam menurunkan kepadatan nyamuk DBD. Penelitian dilaksanakan di Bogor Jawa Barat dengan jumlah responden sebanyak 20 keluarga yang mempunyai dispenser sebagai sarana air minum keluarga. Jenis penelitian eksperimen dengan desain rancangan acak lengkap. Responden diberikan perlakuan penyuluhan dan pemasangan stiker anti nyamuk. Kepadatan nyamuk diamati sebelum dan setelah perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dispenser anti nyamuk efektif menurunkan populasi nyamuk di atas 80% setelah pemakaian minggu ketujuh. Kata Kunci: Dispenser Anti Nyamuk, Kepadatan Nyamuk Koresponden: Suwito, Subdit Pengendalian Arbovirosis Direktorat PPBB Ditjen PP dan PL. Telp. 081379729578, email: suwito_enk@yahoo.co.id 1. Mengetahui perbedaan kepadatan nyamuk antara sebelum dan setelah perlakuan dispenser anti nyamuk. 2. Mengetahui efektivitas (efikasi) dispenser anti nyamuk dalam menurunkan kepadatan nyamuk. PENDAHULUAN Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah utama kesehatan di Indonesia. Penyakit ini sering kali menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) di beberapa kabupaten/kota di Indonesia. Pada tahun 2012 terdapat 497 kabupaten/kota terserang DBD, dengan total penderita sebanyak 90.245 orang dan kematian 816 orang (Ditjen PP dan PL, 2013). Pengendalian DBD yang efektif, yaitu pemutusan rantai penularan dengan cara pengendalian vektor (Aedes). Salah satu metode pengendalian vektor adalah dengan cara modifikasi dan manipulasi lingkungan dan tempat perkembangbiakan vektor (Ditjen PP dan PL, 2012). Metode pengendalian secara fisik ini merupakan alternatif utama sebelum dipilih metode secara kimiawi. Banyak cara pengendalian secara fisik, antara lain menggunakan ovitrap. Ovitrap adalah perangkap telur nyamuk berupa media yang berisikan air untuk memancing nyamuk meletakkan telurnya. Sebelum tumbuh menjadi nyamuk dewasa, air di media ovitrap harus dibersihkan. Tempat pembuangan air pada dispenser merupakan tempat yang disukai nyamuk untuk meletakan telur (Suwito, 2012), sehingga dispenser dapat digunakan sebagai ovitrap, dengan syarat air pada dispenser harus dibuang setiap minggu sebelum masa pra dewasa tumbuh menjadi nyamuk dewasa. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis merasa tertarik mengembangkan dispenser anti nyamuk sebagai bahan pengendali nyamuk. Tujuan Penelitian Metode Penelitian 1. Tempat dan waktu Penelitian dilaksanakan di perumahan di wilayah Cinangneng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Perlakuan dan pengambilan data dilaksanakan selama delapan minggu pada bulan Maret dan April 2013. 2. Sampel penelitian Sampel diambil secara purposive sebanyak 20 rumah yang mempunyai dispenser sebagai fasilitas minum keluarga. 3. Rancangan penelitian Merupakan penelitian ekperimen dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). 4. Proses penelitian a) Memberikan penyuluhan kepada ibu rumah tangga pada 20 rumah yang terpilih sebagai sampel, dengan pokok materi penyuluhan bahwa penampungan air buangan pada dispenser harus diisi air dan harus dibersihkan setiap hari minggu. b) Melakukan penempelan stiker pada dispenser bertuliskan “Dispenser anti nyamuk, penampungan air buangan dispenser harus diisi dan harus dibersihkan setiap hari minggu”. c) Sebelum diberikan penyuluhan dan pemasangan stiker dilakukan penangkapan nyamuk berupa penangkapan nyamuk yang hinggap di dinding, baju, lemari dan lainnya menggunakan aspirator. d) Setelah dilakukan penyuluhan dan pemasangan stiker dilakukan penangkapan nyamuk yang hinggap di dalam rumah menggunakan aspirator setiap minggu. 9
  • 15. 5. Analisis data Perbedaan kepadatan nyamuk sebelum dan setelah perlakuan dispenser anti nyamuk dianalisis menggunakan uji F. Adapun untuk mengetahui efekasi dispenser anti nyamuk dalam menurunkan kepadatan nyamuk dihitung menggunakan rumus WHO (2003), yaitu dispenser anti nyamuk dinyatakan efektif apabila dapat menurunkan kepadatan nyamuk hingga minimal 80%. pemasangan stiker didapatkan penurunan rata-rata kepadatan nyamuk pada setiap minggu pengamatan, yaitu: 6,1 per rumah per hari pada pengamatan minggu I, 5,05 minggu II, 4,35 minggu III, 3,85 minggu IV, 3,1 minggu V, 2,55 minggu VI, 1,35 minggu ke VII, dan 1,1 minggu VIII (Tabel 1). Terjadinya penurunan kepadatan nyamuk, karena dispenser merupakan tempat potensial sebagai habitat perkembangbiakan nyamuk, bilamana setiap minggu (7 hari sekali) dispenser dikuras dan dibersihkan maka jentik nyamuk tidak akan tumbuh menjadi nyamuk dewasa. Sebagaimana dikemukakan oleh Beaty dan Marquardt (1996), bahwa periode pra dewasa mulai telur, jentik hingga pupa membutuhkan waktu 10-12 hari. HASIL DAN PEMBAHASAN Kepadatan nyamuk sebelum dan setelah perlakuan Sebelum dilakukan perlakuan dispenser anti nyamuk didapatkan kepadatan nyamuk rata-rata 6,85 per rumah per hari. Adapun setelah diberikan perlakuan dispenser anti nyamuk berupa penyuluhan dan Tabel 1. Kepadatan nyamuk sebelum dan setelah perlakuan Kepadatan nyamuk per rumah per hari No sampel rumah Sebelum perlakuan Mgg I Mgg II Mgg III Mgg IV Mgg V Mgg VI Mgg VII Mgg VIII 1 8 6 5 5 4 4 3 2 1 2 6 6 5 4 4 4 2 2 2 3 8 7 6 5 5 3 3 2 0 4 9 8 6 5 4 4 3 0 1 5 6 6 6 4 4 3 2 0 0 6 7 6 5 4 3 3 2 2 1 7 8 7 5 5 5 3 3 1 1 8 6 6 5 4 3 3 2 1 1 9 6 5 4 4 4 4 3 0 1 10 4 5 7 6 5 3 3 0 0 11 8 7 5 4 4 3 3 3 2 12 6 6 5 4 3 2 2 2 2 13 7 7 5 4 4 3 2 2 2 14 6 6 4 4 3 2 2 2 1 15 3 4 3 2 3 2 1 0 0 16 7 6 5 4 3 2 2 2 2 17 4 3 3 2 2 3 3 1 0 18 9 7 5 6 4 3 3 1 2 19 7 6 6 5 5 4 3 2 1 20 12 8 6 6 5 4 4 2 2 Rata-rata 6,85 6,1 5,05 4,35 3,85 3,1 2,55 1,35 1,1 Setelah perlakuan 10
  • 16. Perbedaan kepadatan nyamuk sebelum Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kepadatan nyamuk per rumah per hari antara sebelum dan setelah perlakuan pada pengamatan minggu pertama tidak berbeda sacara signifikan. Perbedaan secara signifikan setelah pengamatan pada minggu kedua, ketiga dan seterusnya (Tabel 2). dengan setelah perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa secara statistik pemakaian dispenser anti nyamuk dapat menurunkan kepadatan nyamuk setelah pemakaian pada minggu ke dua dan seterusnya. Tabel 2. Hasil uji beda kepadatan nyamuk sebelum dan setelah perlakuan Pengamatan kepadatan nyamuk p (α=0,05) Keterangan Sebelum dan setelah perlakuan minggu 1 Sebelum dan setelah perlakuan minggu 2 Sebelum dan setelah perlakuan minggu 3 Sebelum dan setelah perlakuan minggu 4 Sebelum dan setelah perlakuan minggu 5 Sebelum dan setelah perlakuan minggu 6 Sebelum dan setelah perlakuan minggu 7 Sebelum dan setelah perlakuan minggu 8 0,441 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 Tidak signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Efektivitas dispenser anti nyamuk sebagai bahan pengendali nyamuk Efikasi (efektivitas membunuh/menurunkan kepadatan nyamuk) dari dispenser anti nyamuk menunjukan peningkatan pada setiap minggu pengamatan. Pada minggu I penurunan kepadatan nyamuk sebesar 10,9%, minggu II 26,3%, minggu III 36,5%, minggu IV 43,8%, minggu V 54,7%, minggu VI 62,8%, minggu VII 80,3% dan minggu VIII 83,9% (Tabel 3 dan Gambar). Sebuah bahan atau peralatan dapat direkomendasikan menjadi bahan pengendali nyamuk apabila bahan atau peralatan tersebut memenuhi standar efikasi minimal 80% (WHO, 2003). Berdasarkan hasil penelitian perlakuan dispenser anti nyamuk dapat menurunkan kepadatan nyamuk di atas 80% mulai pemakaian minggu ke VII. Hal ini menjelaskan bahwa pemakaian dispenser anti nyamuk secara terus menerus, maka mulai pemakaian minggu VII akan efektif sebagai bahan pengendali nyamuk. Tabel 3. Hasil uji efikasi dispenser anti nyamuk Sebelum perlakuan Jumlah nyamuk Efikasi (%) 137 Mgg I Mgg II Mgg III 122 10,9 101 26,3 87 36,5 Setelah perlakuan Mgg Mgg Mgg V IV VI 77 62 51 43,8 54,7 62,8 Mgg VII 27 80,3 Mgg VIII 22 83,9 Gambar 1. Hasil uji efikasi dispenser anti nyamuk 11
  • 17. KESIMPULAN Dispenser anti nyamuk dapat digunakan sebagai alternatif dalam pengendali nyamuk, karena hasil penelitian menunjukkan 80% menurunkan kepadatan nyamuk setelah pemakaian tujuh minggu. DAFTAR PUSTAKA Beaty BJ, Marquardt WC. 1996. The Biology of Diesease Vectors. Corolado, The University Press of Colorado. Ditjen PP dan PL. 2012. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 374/Menkes/Per/III/2010 tentang Pengendalian Vektor. Jakarta. Service MW. 2000. Medical Entomology for Students. United Kingdom, Cambridge University Press. Subdit Pengendalian Arbovirosis. 2013. Laporan Penderita DBD Indonesia. Jakarta. Suwito. 2012. Habitat Perkembangbiakan Nyamuk Aedes aegypti. Laporan Penelitian. Jakarta. Taboada O. 1966. Medical Entomology. Maryland Bethesda, Naval Medical School, National Naval Medical Center. WHO. 2003. Malaria Entomology and Vector Control Trial Edition. Genewa. 12
  • 18. Pelatihan dalam Implementasi Sistem Skoring TB Anak di Pelayanan Kesehatan Primer di DKI Jakarta 1 1 2 2 3 Nastiti Kaswandani , Wahyuni Indawati , Ida Kurniawati , Hanif Sri Utami , Retno Budiati 1 2 RS Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, 3 Subdit Pengendalian TB, Direktorat PPML, Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI Abstrak. Indonesian Childhood TB Working Group telah mengembangkan sistem skoring yang diadopsi oleh Program TB Nasional sebagai kebijakan nasional tahun 2008. Tidak terdapat data mengenai implementasi sistem skoring di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Indonesia, terutama performa dokter umum di puskesmas yang menggunakan skoring ini serta akurasinya dalam mendiagnosis TB anak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik tenaga kesehatan di puskesmas, pengetahuan dan praktik dokter umum mengenai sistem skoring pada TB anak, dan akurasi sistem skoring TB anak yang dilakukan oleh dokter umum di Puskesmas DKI Jakarta. Pengetahuan dan praktik dokter umum dinilai melalui dengan menggunakan kuesioner. Dokter umum dilatih selama 2 hari dan diberikan pedoman teknis penggunaan sistem skoring TB anak. Dua puluh tiga dokter umum dari 12 puskesmas diikutsertakan pada penelitian ini dengan rentang usia 27-57 tahun (median 38.5). Pengetahuan dan praktik dokter umum dinilai kurang optimal, setelah 2 hari pelatihan, pengetahuan dokter umum tersebut meningkat. Pasien anak dengan TB yang diikutsertakan pada penelitian ini adalah 105 pasien, terdiri dari 56 (53.3%) laki-laki dan 49 (46.7%) perempuan. Usia pasien 6 bulan hingga 13 tahun (median 3 tahun 8 bulan). Akurasi diagnosis TB oleh dokter umum dibandingkan dokter spesialis anak adalah 73.3%, dengan sensitivitas 85.0% dan spesifisitas 66.2%. Disimpulkan bahwa pengetahuan dasar dan praktik sistem skoring oleh dokter umum kurang optimal. Akurasi dan sensitivitas diagnosis TB oleh dokter umum di Puskesmas dibandingkan dengan dokter spesialis anak pada rumah sakit pusat rujukan, masuk kategori cukup atau sedang. Ketidaksesuaian terendah pada poin skoring adalah pada poin status gizi, batuk kronik, serta foto polos dada. Sesuai hasil pernelitaian, maka perlu peningkatan implementasi sistem skoring melalui pelatihan, dan pedoman teknis yang lebih fokus pada poin akurasi terendah pada sistem skoring tersebut. Kata kunci: TB anak, skoring, Dokter umum, Dokter spesialis anak Koresponden: Nastiti Kaswandani, Departemen Anak, RS Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Telp. 08159416858; Retno B, Subdit Pengendalian TB, Telp. 021-42804154, 081288668597 PENDAHULUAN Penegakan diagnosis TB pada anak lebih sulit dibandingkan pada dewasa, karena gejala klinis kurang spesifik dan konfirmasi diagnosis secara bakteriologis sangat terbatas. Kelompok kerja TB anak telah membuat sistem skoring yang telah diadopsi oleh Subdit TB, Ditjen PP dan PL sebagai kebijakan nasional. Belum ada data, seberapa optimal implementasi sistem skoring di puskesmas dan bagaimana akurasi sistem skoring untuk diagnosis TB anak. BAHAN DAN CARA Studi potong lintang dan uji diagnosis dilaksanakan untuk mendeskripsikan implementasi sistem skoring dan akurasinya di puskesmas di DKI Jakarta. Dokter umum yang melakukan penegakan diagnosis TB anak diminta mengisi kuesioner tentang pengetahuan dan perilakunya terhadap pelaksanaan sistem skoring. Dokter mendapat pelatihan skoring selama 2 hari termasuk pelatihan melakukan uji tuberculin. Observasi lapangan dilakukan untuk menilai perilaku dokter dalam mendiagnosis TB dan fasilitas yang tersedia untuk menunjang sistem skoring. Diagnosis TB menggunakan skoring oleh dokter umum di puskesmas dinilai dengan baku emas diagnosis oleh konsultan pulmonologi anak di RSCM dan pemantauan kemajuan klinis setelah 3 bulan penegakan diagnosis. HASIL DAN PEMBAHASAN Tujuan Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik, pengetahuan, dan perilaku dokter umum di puskesmas terhadap sistem skoring pada TB anak, serta menentukan akurasi sistem skoring TB anak yang dilakukan oleh dokter umum di puskesmas. Dokter umum yang menggunakan sistem skoring sebanyak 23 dokter umum dari 12 puskesmas di 5 wilayah DKI: - Rentang usia 27-57 (median 38.5) tahun 13
  • 19. - Telah bertugas antara 1-10 tahun sebanyak 11 orang, 11-20 tahun 8 orang dan lebih dari 20 tahun 4 orang - Hanya 2 dari 23 dokter yang telah mendapat pelatihan skoring. Untuk menentukan akurasi diagnosis sistem skoring, sebanyak 105 pasien tersangka TB (usia 6 bulan-13 tahun) dievaluasi oleh dokter umum maupun dokter anak konsultan paru. Ketepatan Akurasi Diagnosis TB anak oleh dokter Puskesmas dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Akurasi diagnosis TB anak oleh dokter puskesmas Diagnosis Akurasi (%) Komponen Sistem Skoring Foto Toraks 62.8 Status Gizi 66.7 Batuk kronik 66.7 Pembesaran Kelenjar Getah Bening 70.5 Demam 75.2 Kontak TB 85.7 Sistem Skoring secara keseluruhan 73.3 Analisis - Kesalahan paling tinggi pada foto toraks dipengaruhi oleh pembacaan hasil foto toraks dari ahli radiologi yang tidak mengetahui kondisi klinis. - Penelitian lain pun menunjukkan besarnya variasi pembacaan radiologi sehingga terjadi over diagnosis jika menggunakan foto toraks sebagai alat diagnosis. - Penilaian status gizi yang tidak tepat disebabkan oleh penilaian berat badan sesuai usia, padahal seharusnya menggunakan berat badan berdasarkan tinggi badan atau kesalahan menggunakan grafik pertumbuhan. - Pendekatan gejala batuk kronik sering menjadi over diagnosis karena dokter kurang menggali gejala batuk secara cermat, seperti menanyakan durasi, intensitas batuk dari waktu ke waktu, faktor pencetus batuk, riwayat alergi dan kemungkinan penyebab batuk selain TB. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Meskipun dalam kesehariannya dokter puskesmas menyatakan menggunakan skoring, namun hasil evaluasi mengenai pengetahuan dan sikap yang tepat untuk menggunakan skoring masih kurang optimal. 2. Dengan baku emas diagnosis oleh konsultan (yang dikonfirmasi dengan kemajuan klinis pada pemantauan setelah 3 bulan), akurasi diagnosis TB oleh dokter puskesmas dengan menggunakan skoring adalah 73.3%. 3. Komponen skoring yang memiliki kesalahan atau ketidaksesuaian paling tinggi adalah penilaian foto toraks, batuk kronik dan penilaian status gizi. 4. Penerapan sistem skoring tanpa disertai pelatihan dan ketersediaan fasilitas penunjang dapat menyebabkan berkurangnya akurasi sistem skoring di pelayanan kesehatan primer. 5. Implementasi sistem skoring yang baik dapat mengurangi over/under diagnosis TB anak serta meningkatkan kualitas laporan di puskesmas. Saran 1. Penegakan diagnosis TB anak dengan menggunakan sistem skoring akan optimal jika disertai dengan pelatihan terutama pada penilaian status gizi anak, penilaian batuk kronik, dan penggunaan foto toraks. 2. Dokumentasi/pencatatan kasus TB anak sebaiknya dibuat secara khusus untuk meningkatkan penggunaan skoring dan pelaporan kasus. 3. Setiap puskesmas seyogyanya memiliki fasilitas penunjang diagnosis TB anak yang nilai skoringnya besar, yaitu uji tuberkulin. 4. Foto toraks tidak direkomendasikan sebagai satusatunya penunjang diagnosis TB anak, karena memiliki akurasi yang rendah. 5. DAFTAR PUSTAKA Coulter JBS. Diagnosis of pulmonary tuberculosis in young children. Annals of Tropical Paediatrics. 2008; 28: 3-12. 14
  • 20. Filho JCC, MA Caribe, SCC Caldas, EM Netto. Is tuberculosis difficult to diagnose in childhood and adolescence? Journal Brasileiro de Pneumologia. 2011; 37(3): 288-93. Stop TB Partnership Childhood TB Subgroup, World Health Organization. Introduction and diagnosis of tuberculosis in children. The International Journal of Tuberculosis and Lung Disease. 2006; 10(10): 1091-7. Swaminathan S, B Rekha. Pediatric tuberculosis: global overview. Clinical Infectious Disease. 2010; 50(S3): S184-94. Theart AC, J Marais, RP Gie, AC Hesseling, N Beyers. Criteria used for the diagnosis of childhood tuberculosis at primary health care level in a highburden, urban setting. The International Journal od Tuberculosis and Lung Disease. 2005; 9(11): 1210-4. 15
  • 21. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seks Multipartner pada Tukang Ojek yang Mangkal di Dekat Lokalisasi Pasar Kembang Kota Yogyakarta Lili Junaidi Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Semarang, Direktorat Jenderal PP dan PL, Kemenkes RI Abstrak. Tukang ojek yang mangkal di dekat lokalisasi memiliki risiko untuk tertular dan meningkatkan jumlah kasus infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS karena tukang ojek mempunyai peran ganda, yaitu menjadi perantara pelanggan atapun dia sendiri sebagai klien dari Pekerja Seks Komersial (PSK). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seks multipartner pada tukang ojek yang mangkal di dekat lokalisasi pasar kembang (Sarkem) Kota Yogyakarta. Jenis penelitian adalah explanatory research dengan pendekatan belah lintang (cross sectional). Tehnik sampling yang digunakan exhausting sampling dan diperoleh sampel sebanyak 67 responden dimana terdapat 43 responden yang multipartner. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan metode wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar tukang ojek berperilaku seks multipartner berisiko. Variabel yang paling berpengaruh adalah lama bekerja responden tukang ojek, sedangkan kemampuan diri merupakan variabel protektif terhadap perilaku seks berisiko. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya, baik melalui diskusi yang diprakarsai pemimpin paguyuban atau penyuluhan yang berkaitan dengan IMS dan HIV/AIDS. Begitu juga penyuluhan tentang bahaya perilaku seks berisiko oleh institusi resmi atau lembaga sosial masyarakat kepada para tukang ojek. Diharapkan upaya ini dapat meningkatkan kemampuan diri tukang ojek dalam rangka memperkecil risiko dan melakukan tindakan pencegahan terhadap penularan IMS dan HIV/AIDS. Kata kunci: Tukang ojek, Perilaku seks multipartner, Sarkem Yogyakarta Koresponden: Lili Junaidi, KKP Semarang, Ditjen PP dan PL, Telp. 081, email: lilijunaidi77@gmail.com PENDAHULUAN Di Indonesia kasus HIV dari Januari sampai dengan bulan Maret 2012 dilaporkan sebanyak 5.991 kasus baru, dimana persentase kasus HIV tertinggi pada golongan usia produktif 25-49 tahun (75,4%) dan persentase faktor risiko tertinggi adalah hubungan seks tidak aman pada heteroseksual (46,6%). Sedangkan kasus AIDS dari Bulan Januari sampai dengan Maret 2012 dilaporkan sebanyak 551 kasus. Persentase kasus AIDS tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun (35,2%) dengan persentase faktor risiko tertinggi adalah hubungan seks tidak aman pada heteroseksual sebanyak 77% (Ditjen PP dan PL, 2012). Perkembangan jumlah kasus HIV/AIDS di Kota Yogyakarta semakin meningkat, yaitu pada tahun 2004 sebanyak 45 kasus HIV dan 8 kasus AIDS, Pada akhir tahun 2009 terdapat 56 kasus HIV dan 73 kasus AIDS. Dari tahun ke tahun, kelompok umur yang ditemukan positif HIV selalu tinggi pada kelompok umur 20-44 tahun, dan 60% diantaranya adalah laki-laki, 31 persen perempuan dan sisanya tidak diketahui jenis kelaminnya. Angka ini dinilai cukup tinggi dibandingkan dengan target nasional angka penderita HIV/AIDS perempuan tahun 2015, yakni 25%. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, dari tahun 2004 sampai dengan Juli 2010, persentase faktor risiko tertinggi kasus HIV/AIDS adalah hubungan seks tidak aman pada heteroseksual (Shinta, 2011). Pria yang potensial menjadi pelanggan Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah pria yang suka bepergian dalam jangka waktu lama dan pisah dengan pasangan seks utamanya, seperti pelaut dan anak buah kapal, nelayan, serta sopir dan kernet truk. Termasuk pula di dalam kelompok pria yang potensial menjadi pelanggan PSK adalah tenaga kerja bongkar muat barang di pelabuhan, dan tukang ojek yang mempunyai peran ganda, yaitu menjadi perantara pelanggan ataupun dia sendiri sebagai klien dari PKS (Depkes RI, 2008). Pola pergaulan antara tukang ojek dengan PKS menunjukkan hal yang spesifik, yaitu keduanya bukan lagi berdasarkan materiil tapi ada beberapa yang bahkan menjalin hubungan sebagai pacar. Artinya bahwa dalam hubungan seksual mereka tidak lagi harus membayar karena saling membutuhkan. Selain itu, sebagai penghasilan tambahan tukang ojek memberikan pelayanan kepada konsumen/ pelanggannya yang meminta informasi tentang PSK, sehingga mengakibatkan penularan HIV pada pelanggan semakin meningkat. Hasil penelitian yang dilakukan Urbanski, menunjukkan bahwa tukang ojek yang mangkal di sekitar warung-warung teh poci simpang lima Semarang mempunyai tiga bentuk hubungan dengan PSK yang mangkal di warung- 16
  • 22. warung teh poci, yaitu: 1)sebagai pacar dari PSK tersebut; 2)mengantarkan PSK (nama lain yang terkenal di Semarang selain PSK adalah Ciblek) ke hotel untuk berhubungan seks dengan konsumennya; dan 3)melarikan ciblek ketika ada operasi dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) atau lainnya. Inilah yang menjadikan posisi tukang ojek mempunyai peran yang unik dalam laju penularan HIV/AIDS (Urbanski, 2006). Tukang ojek yang mangkal di dekat lokalisasi prostitusi mempunyai risiko tinggi untuk tertular HIV/AIDS, karena pada dasarnya pekerjaan dan tempat bekerja mereka dekat dengan kehidupan malam dan pekerja seks, sehingga tidak menutup kemungkinan melakukan hubungan seksual dengan mereka yang mempunyai risiko tinggi untuk menularkan IMS/HIV. Hasil penelitian di Peruvian Amozon, 99% tukang ojek berhubungan seks dengan Wanita Pekerja Seks (WPS), dimana hanya 21% yang selalu menggunakan kondom ketika berhubungan seks dengan WPS dan 62% dari mereka pernah menderita IMS. Penelitian di Kota Benin, Nigeria juga menunjukkan bahwa tukang ojek mempunyai risiko tinggi tertularnya HIV/AIDS. Dari 66% tukang ojek yang berhubungan seks dengan WPS, hanya 45% diantaranya yang menggunakan kondom secara konsisten (Postgrad, 2005). Di sekitar Lokalisasi Sarkem, Kecamatan Gedong Tengen Yogyakarta, banyak tukang ojek yang mangkal. Keberadaan tukang ojek tersebut merupakan kondisi dimana mereka berada di tempat yang terpapar yang kemungkinan bisa membawa risiko tertular IMS dan HIV/AIDS. Proses keterpaparan yang terus menerus ini akan mendorong pada perilaku yang berisiko terinfeksi IMS dan HIV/AIDS, karena mempunyai akses yang mudah untuk memperoleh pelayanan dari PSK, sehingga pada gilirannya akan menyebabkan terjangkitnya HIV/AIDS. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku tukang ojek yang multipartner yang mangkal di dekat lokalisasi Sarkem Kota Yogyakarta. BAHAN DAN CARA Metode Desain, Sampel, dan Sampling Penelitian ini termasuk penelitian penjelasan (explanatory research) dengan desain penelitian cross sectional. Sebanyak 67 tukang ojek yang berada di dekat lokalisasi Sarkem Yogyakarta dijadikan sebagai sampel dengan teknik exhausting sampling, yaitu peneliti menggunakan seluruh populasi sumber, karena seluruh populasi dalam penelitian ini merupakan populasi berisiko. Kemudian dari sampel tersebut terdapat 43 orang yang multipartner. Penelitian dilakukan pada bulan September 2011. Cara pengukuran Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara. Variabel dependen (perilaku seks multipartner) dikategorikan 2 sub, yaitu perilaku seks multipartner berisiko dan tidak berisiko. Dikatakan “berisiko” apabila melakukan hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan dan tidak konsisten (tidak/tidak selalu) menggunakan kondom ketika berhubungan seks dengan pasangan tidak tetap. Sedangkan “tidak berisiko” apabila konsisten (selalu) menggunakan kondom ketika berhubungan seks dengan pasangan tidak tetap. Variabel independen meliputi karakteristik sosio-demografi, persepsi kerentanan IMS dan HIV/AIDS, persepsi kegawatan IMS dan HIV/AIDS, pengetahuan tentang IMS dan HIV/AIDS, sikap tentang perilaku seks berisiko, kemampuan diri untuk mencegah IMS dan HIV/AIDS, sikap pemimpin kelompok tentang perilaku seks berisiko, serta frekuensi akses media informasi tentang pornografi, IMS dan HIV/AIDS. Instrumen penelitian telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Analisis data Data dianalisis secara univariat, bivariat menggunakan uji chi square dengan alpha 5% dan multivariat menggunakan uji analisis regresi logistik. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pasar Kembang atau Sarkem berdiri sejak 1818, itu artinya, sejak zaman penjajahan Belanda sudah ada. Keberadaan Sarkem ini juga mendapat legalisasi pemerintah Belanda. Jika seluruh buruh pembuat jalan kereta api sudah menerima upah dari hasil keringatnya, maka diharapkan mereka menghabiskan gajinya ke "Sarkem" yang diciptakan oleh pemerintah Belanda. Sehingga, perputaran uang tetap kembali lagi ke pemerintah Belanda di Yogyakarta. Pada saat ini, di lokalisasi Sarkem terdapat 45 bangunan dengan jumlah PSK 315 orang dan sistem pengelolaan lokasi berada dalam satu Rukun Warga (RW), dimana keberadaannya di perkampungan tengah perkotaan. Bentuk praktiknya secara terbuka berada di sekitar jalanan Sarkem/ Stasiun Tugu Yogyakarta dan tertutup berbentuk salon kecantikan dan rumah indekost sebagai tempat-tempat prostitusi yang menyediakan layanan pekerja seks. Di lokalisasi ini masih belum ada peraturan lokal kondom 100%, namun masih dalam tahap sosialisasi. Karakteristik Sosio-Demografi 17
  • 23. Sebagian besar responden adalah laki-laki berumur 41-61 tahun dan telah menikah. Kelompok ini merupakan populasi berisiko dimana dari hasil wawancara beberapa responden mengatakan bahwa mereka jauh dari keluarga (istri) dan tinggal di pangkalan ojek. Tingkat pendidikan lanjutan (tamat SLTP) lebih banyak dibandingkan dengan pendidikan dasar. Selain itu, lama bekerja sebagai tukang ojek lebih dari 6 bulan menyebabkan paparan yang lebih sering terhadap lingkungan prostitusi (Tabel 1). Tabel 1. Distribusi karakteristik sosio-demografi tukang ojek Variabel Kelompok umur 23-40 tahun 41-61 tahun Total Tingkat pendidikan SD SMP Total Status menikah Belum Nikah Menikah Total Lama bekerja ≤ 6 Bulan > 6 Bulan Total Aktifitas di waktu luang Tdk Berisiko Berisiko Total Frekuensi Persentase 26 41 67 38.8 61.2 100 23 44 67 34.3 65.7 100 5 62 67 7.5 92.5 100 15 52 67 22.4 77.6 100 28 39 67 41.8 58.2 100 Sebagian besar (58,2%) tukang ojek memiliki aktifitas waktu luang berisiko. Hal ini ditunjukkan dari jawaban kuesioner responden yang mempunyai kebiasaan kadang-kadang menginap di luar rumah sebanyak 19 (28,4%) dan merokok 28 (41,8%) serta kadang-kadang minum minuman keras sebanyak 20 (29,9%). Umur Hasil penelitian secara univariat menunjukkan persentase umur responden. Hasil penelitian menunjukkan distribusi umur responden yang paling banyak adalah kelompok umur antara 41- 61 tahun, yaitu 41 responden (61,2%). Secara bivariat menunjukkan bahwa pada kelompok umur 41-61 tahun, dari 41 responden sebanyak 28 responden (68,3%) berperilaku seks multipatner. Sedangkan pada kelompok umur 23-40, dari 26 responden, sebanyak 15 (57,7%) yang berperilaku seks multipatner. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,378, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara umur dengan perilaku tukang ojek yang multipartner. Perbedaan usia mempengaruhi karakteristik individu baik dari segi fisik, psikososial maupun perkembangan kognitifnya. Ciri dari usia dewasa awal adalah masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru dan memanfaatkan kebebasan yang diperolehnya (Hurlock, 1973). Usia dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira 40 tahun, saat perubahan fisik dan psikologi (Hurlock, 1980). Pada usia itu terjadi masa transisi, baik transisi secara fisik (physically trantition), transisi secara intelektual (cognitive trantition) serta peran sosial (social role transtition) (Santrock, 2011). Semakin dewasa seseorang, maka akan semakin meninggalkan serotip belasan tahunnya dan seseorang tersebut akan memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, salah satunya yaitu perilaku seksual (Hurlock,1980). Tingkat Pendidikan Hasil penelitian menunjukkan, mayoritas responden mempunyai pendidikan tingkat lanjut (tamat SLTP). Dari 67 responden, sebanyak 44 responden (65,7%) tamat SLTP. Sedangkan responden yang tidak tamat SLTP atau tamat SD sebanyak 23 responden (34,3%). Secara bivariat, responden yang mempunyai tingkat pendidikan lanjutan mempunyai perilaku seks multipartner lebih tinggi dibandingkan responden yang berpendidikan dasar (tidak tamat SLTP), yaitu 13 responden (29,5%) dari 44 responden. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,138, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan perilaku tukang ojek yang multipartner. Status Menikah Secara univariat hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden sudah menikah, yaitu 62 (92,5%) dari 67 responden. Sedangkan yang belum menikah sebanyak 5 responden (7,5%). Secara bivariat, dari 62 responden yang sudah menikah, 21 (33,9%) diantaranya berperilaku multipartner, sedang responden yang belum menikah, sebanyak 2 (40%) yang berperilaku multipartner. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,241, maka dapat disimpulkan 18
  • 24. bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status pernikahan dengan perilaku seks tukang ojek multipartner. Responden yang telah berpengalaman secara seksual akan mempunyai sikap terhadap seksualitas (sexual attitude) yang lebih bebas daripada mereka yang belum pernah melakukan hubungan seksual. Temuan penelitian ini juga menunjukkan adanya keberagaman standar norma individu dari batasan tradisional yang melarang penuh (jangan melakukan hubungan seks multipartner/PSK) sampai sikap yang lebih permisif terhadap perilaku hubungan seks multipartner/PSK. hubungan yang signifikan antara aktifitas di waktu luang dengan perilaku seks tukang ojek yang multipartner. Beyth-Marom membuktikan bahwa remaja maupun orang dewasa memiliki kemungkinan yang sama untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku yang berisiko merusak diri (self-destructive). Mereka juga mengemukakan adanya derajat yang sama antara remaja dan orang dewasa dalam mempersepsi self-invulnerability (Beyth,1993). Dengan demikian, kecenderungan melakukan perilaku berisiko dan kecenderungan mempersepsi diri invulnerable pada remaja dan orang dewasa adalah sama. Lama Bekerja Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (77,6%) dari 67 responden telah bekerja lebih dari 6 sebagai tukang ojek. Sedangkan 15 responden (22,4%) bekerja kurang dari 6 bulan. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa sebanyak 36 (69,2%) dari 52 responden yang bekerja lebih dari 6 bulan berperilaku yang multipartner. Sedangkan 7 (46,7%) dari 15 responden yang lama bekerjanya kurang dari 6 bulan berperilaku yang multipartner. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,108, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara lama bekerja responden dengan perilaku tukang ojek yang multipartner. Perilaku seseorang dapat terbentuk melalui observational learning. Adanya contoh perilaku seksual yang didengar dari keseharian berinteraksi dengan teman sebaya maupun PSK dapat membuat seseorang penasaran untuk mencoba dan mencontoh perilaku tersebut. Pengaruh stimulus seksual terhadap individu baik terhadap faktor fisiologis, afeksi dan kognisi pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku seksual. Individu yang membaca/melihat hal-hal yang negatif akan disuguhi dengan berbagai macam materi porno yang dapat menimbulkan rangsangan seksual yang kuat. Individu yang telah terbiasa mengkonsumsi materi porno, menganggap bahwa perilaku seksual merupakan perilaku yang wajar dan menimbulkan kesenangan bagi individu yang melakukannya. Persepsi Kerentanan terhadap IMS dan HIV/AIDS Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 67 responden, sebagian besar (58,2%) mempunyai persepsi kerentanan rendah. Hal ini karena adanya persepsi yang salah dari responden tentang cara penularan dan cara menghindarkan IMS dan HIV/AIDS, yaitu sebanyak 86,6% responden mempunyai persepsi setia pada pasangan tetap akan tidak berisiko tertular IMS dan HIV/AIDS. Selain itu masih adanya persepsi bahwa jika menggunakan kondom pada saat berhubungan seks multipartner, maka tidak akan mudah tertular IMS dan HIV/AIDS. Sebanyak 26,9% responden mempunyai persepsi bahwa jika memilih pasangan tidak tetap yang berpenampilan bersih, maka mereka tidak akan tertular IMS dan HIV/AIDS, sedangkan sebanyak 25,4% responden mempersepsikan bahwa hubungan seks multipartner tidak akan menularkan IMS dan HIV/AIDS (Tabel 2). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tukang ojek sebagai klien potensial WPS mempunyai kerentanan yang cukup tinggi untuk tertular IMS dan HIV/AIDS. Walaupun 86,6% tukang ojek mengetahui bahwa hubungan seks multipartner akan berisiko mudah tertular IMS dan HIV/AIDS, tetapi ternyata masih banyak di antara tukang ojek masih melakukan hubungan seks tanpa menggunakan kondom. Hal ini menggambarkan bahwa tukang ojek yang mangkal di sekitar lokalisasi mempunyai persepsi kerentanan terhadap IMS dan HIV/AIDS yang cukup baik, namun belum bisa mempengaruhi perilaku seks mereka. Aktifitas di Waktu Luang Dari 67 responden, sebanyak 39 orang (58,2%) melakukan aktifitas yang berisiko di waktu luang. Sedangkan responden melakukan aktifitas yang tidak berisiko di waktu luang sebanyak 28 (41,8%). Secara bivariat dari 39 responden yang beraktifitas berisiko di waktu luang, 22 (56,4%) berperilaku seks multipartner. Sedangkan dari 28 responden yang beraktifitas tidak berisiko di waktu luang, 21 (75%) berperilaku seks multipartner. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,118, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada Persepsi Kegawatan IMS dan HIV/AIDS Sebagian besar (77,6%) tukang ojek mempunyai persepsi kegawatan yang rendah terhadap penyakit IMS HIV/AIDS. Hal ini terlihat dari masih banyaknya responden yang miskonsepsi berkaitan dengan kegawatan IMS dan HIV/AIDS. Dari 67 responden, 31,3% mempunyai persepsi bahwa HIV tidak akan berkembang menjadi AIDS, 41,8% mempunyai persepsi penderita HIV/AIDS tidak selamanya harus minum ARV, 43,3% mempunyai persepsi AIDS tidak akan 19
  • 25. menyebabkan kematian, 44,8% mempunyai persepsi AIDS sama dengan penyakit lainnya karena bisa disembuhkan. Pemahaman/persepsi kegawatan IMS dan HIV/AIDS bisa mempengaruhi perilaku seseorang. Dari 67 responden yang berperilaku multipartner dan tidak multipartner, 34 (65,4%) yang mempunyai persepsi kegawatan IMS dan HIV/AIDS rendah, berperilaku multipartner. Persepsi kegawatan yang rendah dikarenakan persepsi yang keliru tentang IMS dan HIV/AIDS. Hal ini menyebabkan mereka merasa tidak khawatir tertular IMS dan HIV/AIDS, karena penyakit tersebut tidak berbahaya. Tabel 2. Persepsi kerentanan terhadap IMS dan HIV/AIDS Ya Pertanyaan berkaitan dengan IMS dan HIV/AIDS Tidak N % N % 58 86,6 9 13,4 45 67,2 22 32,8 18 26,9 49 73,1 50 74,6 17 25,4 46 68.7 21 31.3 39 58.2 28 41.8 29 43.3 38 56.7 30 44.8 37 55.2 Persepsi Kerentanan • Setia pada pasangan tetap tidak berisiko • Selalu menggunakan kondom ketika berhubungan seks multiparner tidak berisiko tertular IMS dan HIV/AIDS • Memilih pasangan multipartner yang kelihatan bersih tdk akan tertular IMS dan HIV/AIDS • Berhubungan seks dengan pasangan multipatner tdk akan mudah tertular IMS dan HIV/AIDS Persepsi Kegawatan • Semua orang yang terinfeksi HIV akan menjadi AIDS • Orang yang menderita HIV/AIDS memerlukan pengobatan ARV selamanya. • AIDS tidak akan menyebabkan kematian karena sudah ada obatnya • AIDS adalah sama dengan penyakit yang lainnya karena bisa diobati. Faktor Personal Faktor personal yang mempengaruhi perilaku seks multipartner adalah pengetahuan tentang IMS dan HIV/AIDS, sikap tukang ojek terhadap perilaku seks berisiko, dan kemampuan diri (self efficacy) terhadap pencegahan IMS dan HIV/AIDS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 67 responden, 33 orang (67,3%) dengan tingkat pengetahuan IMS dan HIV/AIDS rendah berperilaku multipartner. Sedangkan responden dengan tingkat pengetahuan IMS dan HIV/ AIDS tinggi, 10 orang (55,6%) berperilaku multipartner. Pengetahuan yang masih rendah tersebut menimbulkan anggapan yang salah pula tentang penularan HIV/AIDS. Ditemukan beberapa miskonsepsi terutama tentang cara penularan IMS dan HIV/AIDS, yaitu 44,8% responden menjawab HIV dapat ditularkan melalui alat minum, 44,8% menjawab onani dapat menularkan HIV, 47,8% menjawab HIV ditularkan melalui berenang bersama penderita, dan 53,7% menjawab bergantiganti pasangan seks tidak menularkan HIV. Tabel 3. Distribusi faktor personal tukang ojek Variables Pengetahuan tentang IMS dan HIV/AIDS Rendah Frequencies Percent 49 73.1 Tinggi Total Sikap perilaku seks berisiko Tdk Permisif Permisif Total Self efficacy untuk mencegah IMS, HIV/AIDS Rendah Tinggi Total 18 67 26.9 100 27 40 67 40.3 59.7 100 43 24 67 64.2 35.8 100 Sikap tukang ojek (31,3%) yang multipartner merupakan tindakan untuk mencari kesenangan, masih adanya kesalahan sikap tukang ojek (25,4%) yang menyatakan bahwa berhubungan seks multipartner jika hanya sekali tidak akan tertular IMS dan HIV/ AIDS, boleh melakukan hubungan seks multipartner dengan tidak berganti-ganti pasangan (43,3%) serta apabila sudah mengenal lama pasangan multipartnernya tidak perlu memakai kondom ketika berhubungan seks (29,9%). Self efficacy tukang ojek yang mangkal di dekat lokalisasi Sarkem Yogyakarta untuk mencegah penularan IMS dan HIV/AIDS sebagian besar tergolong rendah. 20
  • 26. Diungkapkan bahwa terdapat 43,3% responden yang bisa menahan diri ketika berhubungan seks meski tanpa membayar, dan terdapat keyakinan diri bisa menghindarkan diri berhubungan seks dengan tidak memakai kondom (64,2%). Faktor Lingkungan Tabel 4. Distribusi faktor lingkungan tukang ojek Variables Sikap pemimpin komunitas tentang perilaku seks berisiko Tdk Permisif Permisif Total Frequencies Percent 22 45 67 32.8 67.2 100 Variables Frekuensi mengakses media tentang IMS dan HIV/AIDS Rendah Tinggi Total Frequencies Percent 32 35 67 47.8 52.2 100 Berdasarkan tabel di atas, sebagian besar sikap dari pemimpin paguyuban tukang ojek yang permisif terhadap perilaku tukang ojek yang multipartner. Dari 67 responden, 67,2% menyatakan pemimpin komunitas tidak setuju hubungan seks multipartner bisa menularkan penyakit kelamin, 8% menyatakan bahwa pemimpin komunitas setuju bahwa penyakit AIDS tidak berbahaya karena dapat disembuhkan, 59,7% menyatakan bahwa pemimpin komunitas setuju hubungan seks dengan beberapa pasangan tidak tetap merupakan hal yang biasa, dan 56,7% menyatakan bahwa pemimpin komunitas setuju hubungan seks multipartner tidak memalukan asal tidak berganti-ganti pasangan. Sebanyak 81,2% responden yang mempunyai frekuensi mengakses media informasi rendah akan berpeilaku seks multipartner. Sebanyak 44,8% tukang ojek mengakses media elektronik berupa film/VCD pornografi beradegan seks, dan 40,3% tukang ojek sering melihat dan membaca gambar bertemakan pornografi. Ini artinya bahwa tukang ojek yang mengakses informasi yang berhubungan dengan hal-hal yang berkaitan dengan IMS dan HIV/AIDS berbanding lurus dengan perilaku seks mereka. Sebagian besar 64,2% responden memiliki pasangan seks lebih dari satu (multipartner). Dari 43 responden yang multipartner, 37 responden (86%) berhubungan seks multipartner. Dari 37 responden, 35 (81,4%) tidak konsisten menggunakan kondom ketika berhubungan seks multipartner. Uraian diatas mengungkapkan bahwa mayoritas tukang ojek yang multipartner di dekat lokalisasi memiliki perilaku seks berisiko. Dimana kriteria utama adalah tidak konsisten dalam menggunakan kondom saat berhubungan seksual dengan pasangan multipartnernya. Tabel 6. Distribusi seks berisiko dengan pasangan multipartner Variabel Perilaku Berisiko Berisiko Tidak Berisiko Total Frekuensi Persentase 35 8 43 52.2 47.8 100 Berikut ini adalah hasil analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen. Tabel 7. Analisis statistik hubungan Variabel Independen dan Variabel Dependen Variabel Independen Umur Variabel Dependent 0,388 Tingkat pendidikan 1,000 Status pernikahan 0,341 Lama bekerja Aktifitas di waktu luang Persepsi kerentanan Persepsi Kegawatan Pengetahuan tentang IMS dan HIV/AIDS Sikap perilaku seks berisiko Self efficacy untuk mencegah IMS dan HIV/AIDS The attitude of the community leader Media access to information P value 0,028 0,270 0,356 The multipartner sex behavior 1,000 Hasil Tidak signifikan Tidak signifikan Tidak signifikan signifikan Tidak signifikan Tidak signifikan Tidak signifikan 1,000 Tidak signifikan 0,270 Tidak signifikan 0,037 signifikan 1,000 0,692 Tidak signifikan Tidak signifikan Perilaku Seks Tukang Ojek 21
  • 27. Tabel 8. Hasil uji regresi logistik antara variabel independen dengan perilaku tukang ojek yang multipartner di dekat Lokalisasi Sarkem Yogyakarta. Variabel B S.E. Lama 2,450 1,237 Bekerja Kemampuan -2,450 1,160 diri Constant -0.967 0,547 Wald df Sig. Exp (B) 3,944 1 0,047 11,65 4,459 1 0,035 2,086 3.202 1 0.074 0.376 Hasil analisis statistik multivariat tersebut menunjukkan bahwa terdapat 2 variabel bebas, yaitu lama bekerja dan kemampuan diri responden dalam melakukan pencegahan penularan HIV/ AIDS secara bersamasama signifikan berpengaruh terhadap perilaku tukang ojek yang multipartner. Variabel yang paling berpengaruh terhadap perilaku tukang ojek yang multipartner adalah lama bekerja tukang ojek dengan nilai OR=11,655. Lama bekerja responden sebagai tukang ojek dengan p=0,047 (<0,05) dan OR (Exp B)=11,655. Ini berarti bahwa responden yang bekerja lebih dari 6 bulan sebagai tukang ojek, maka akan mempunyai kemungkinan 11 kali lebih besar untuk berperilaku seks multipartner jika dibandingkan dengan tukang ojek yang bekerja kurang dari 6 bulan di dekat lokalisasi Sarkem Yogyakarta. Sedangkan kemampuan diri tukang ojek dalam melakukan pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS dengan p=0,035 (<0,05) dan OR (Exp B) =2,086 dan nilai B=-2,450. Nilai B negatif menunjukkan bahwa variabel kemampuan diri merupakan variabel protektif (pencegah). Hal ini berarti bahwa kemampuan diri dalam melakukan pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS tinggi, maka kemungkinan tidak berperilaku seks multipartner berisiko sebesar 2,086 kali dibandingkan dengan tukang ojek yang mempunyai kemampuan diri rendah dalam melakukan pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS. DISKUSI Perilaku seksual adalah bersifat personal akan tetapi pada umumnya akan selalu berkaitan dengan social framework. Dimana hubungan terjadi antara perilaku seksual di kalangan kelompok berisiko tinggi, yaitu antara client dan WPS terhadap penularan HIV/AIDS dan konteks sosial di kalangan mereka serta bagaimana masing-masing saling mempengaruhi. Masalah integrasi individu dan struktur sosial di satu sisi, dan agensi dan kultur budaya di sisi yang lain. Perilaku seksual yang erat hubungannya dengan keberhasilan program HIV/AIDS adalah konsistensi memakai kondom ketika berhubungan multipartner. Perilaku ini merupakan salah satu indikator utamanya, dimana mencerminkan perilaku berisiko rendah di samping tidak melakukan hubungan seks (abstinence) dan setia kepada pasangan seksnya (faithful). Secara nasional, pemakaian kondom dalam seks komersial masih rendah, yaitu kurang dari 20%. Demikian juga dengan penggunaan kondom untuk keperluan keluarga berencana (kontrasepsi) masih tergolong rendah. Tukang ojek di dekat lokalisasi Sarkem Yogyakarta yang multipartner (64,2%) lebih banyak dibandingkan yang single partner (35,8%). Sebagian besar tukang ojek yang multipartner mempunyai perilaku seks berisiko. Hal ini dikarenakan mereka melakukan hubungan seks dengan pasangan tidak tetap dengan bergantiganti pasangan (86%) dan tidak konsisten memakai kondom ketika berhubungan seks dengan PSK (81,4%). Perilaku seks tukang ojek yang berisiko terjadinya penularan IMS dan HIV/AIDS adalah perilaku yang multipartner dengan tidak menggunakan kondom. Dari 41 responden (95,3%) yang berstatus sudah menikah dan multipartner, 34 responden (82,9%) mempunyai perilaku seks multipartner berisiko. Artinya bila dilihat potensi penularan HIV, maka kelompok berisiko yang berstatus menikah atau mempunyai pasangan tetap, akan mempunyai peluang menularkan ke pasangan tetapnya/istrinya. Selain itu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan bayi yang dikandung oleh istri/pasangan tetap mereka tertular HIV/AIDS. Pola pergaulan antara tukang ojek yang mangkal di dekat lokalisasi Sarkem Kodya Yogyakarta dengan PSK dalam hal hubungan seks, bahwa hubungan keduanya bukan lagi berdasarkan materil, mereka tidak lagi harus membayar karena saling membutuhkan. Ada pula tukang ojek mendapatkan pelayanan berupa hubungan seks dari pasangan tidak tetapnya (PSK) dari mereka yang mengantarkan PSK ke suatu tempat, dimana pada saat itu PSK sedang tidak mempunyai uang karena “sepi” pelanggan. Selain itu di lokalisasi Sarkem Yogyakarta, belum ada peraturan lokal 100% kondom. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa tingkat risiko penularan IMS dan HIV/AIDS dikalangan tukang ojek tinggi. Karena PSK tidak mampu menolak partner seks dalam hal ini tukang ojek untuk berhubungan seks walaupun tidak menggunakan kondom. Kondisi lingkungan tukang ojek yang mangkal di dekat lokalisasi Sarkem tersebut merupakan kondisi dimana mereka berada di tempat yang terpapar, yang kemungkinan bisa membawa risiko tertular IMS dan HIV/AIDS. Proses keterpaparan yang terus 22
  • 28. menerus akan mendorong pada perilaku yang berisiko terinfeksi IMS dan HIV/AIDS, karena mempunyai akses yang mudah untuk memperoleh pelayanan dari PSK. KESIMPULAN Perilaku seks tukang ojek yang mangkal di dekat lokalisasi Sarkem Yogyakarta adalah sebagian besar mempunyai pasangan seks multipartner. Variabel yang berpengaruh terhadap perilaku seks multipartner adalah lama bekerja dan kemampuan diri tukang ojek dalam melakukan pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS. Variabel yang paling berpengaruh adalah lama bekerja dengan p=0,047 (<0,05) dan OR (Exp B)=11,655. Hal ini berarti bahwa tukang ojek yang bekerja lebih dari 6 bulan akan mempunyai kemungkinan 11 kali lebih besar untuk berperilaku seks multipartner dibandingkan dengan yang bekerja kurang dari 6 bulan di dekat lokalisasi Sarkem Yogyakarta. DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan. BPS. 2007. Surveilans terpadu biologis perilaku pada kelompok berisiko tinggi di Indonesia. Jakarta. Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penyehatan Lingkungan. 2012. Laporan Perkembangan HIVAIDS Triwulan 1. In: RI D, ed. Jakarta. Hurlock.1990. Psychology for child, Adolescence and Adult. In: McGraw-Hill, ed. Psychology Centrum. Boston. Polo alto University. Hurlock EC. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Vol Edisi Ke-5. Jakarta: Erlangga. Paris MM, MPH Gotuzzo, Eduardo MD. Motorcycle Taxi Drivers and Sexually Transmitted Infections in a Peruvian Amazon City. PUBMed. January 2001;28(1):11-13. Postgrad N. 2005. Sexual behaviour, perception of HIV/AIDS and condom use among commercial motorcylists in Benin City. Medline.12:262. Shinta. Para Istri di Kota Yogyakarta Berisiko Tertular HIV/AIDS. www.aids-ina.org.modules. Accessed 10 Maret 2011. Urbanski C. 2006. Peningkatan Dan Penurunan Persekutuan Antara Penjual Teh Poci dan Pelacuran Di Kawasan Simpang Lima Semarang. Australian Consortium For In-Country Indonesian Studies (ACICIS). Desember. 23
  • 29. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keterlambatan Memulai Pengobatan Pasien TB MDR di RS Persahabatan Jakarta 1 1 2 3 4 1 Diah Handayani , Windi Novriani , Ahmad Fuady , Winarto , Tjatur Kuat Sagoro , Erlina Burhan , 5 6 Sumanto Simon , Chatarina Umbul Wahyuni 1 2 3 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan Jakarta, Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur, 4 5 Unika Atmajaya, Jakarta, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya Abstrak. Tuberkulosis kebal obat (multi-drug resistant, TB MDR) merupakan salah satu masalah yang besar dalam pengendalian TB di Indonesia. Indonesia masih berada di urutan ke-8 sebagai negara dengan beban tinggi TB MDR. Pengendalian TB MDR di Indonesia atau Programmatic Management Drug Resistant (PMDT) telah dimulai sejak tahun 2009 di RS Persahabatan Jakarta dan 4 RS lain di Indonesia. Salah satu indikator PMDT adalah pengobatan bagi semua pasien yang telah terdiagnosis termasuk pemberian pengobatan secepatnya, karena keterlambatan pengobatan akan meningkatkan morbiditas, mortalitas dan waktu penularan TB MDR di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan keterlambatan pengobatan pasien TB MDR di RS Persahabatan Jakarta. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang. Pengambilan data dilakukan Agustus 2012-Agustus 2013 dengan menggunakan kuesioner dan data sekunder. Waktu yang dibutuhkan untuk memulai terapi adalah 27 hari. Analisis survival menggunakan Kaplan Meyer menunjukkan pasien yang membutuhkan waktu lebih lama adalah kelompok pasien laki-laki, kelompok umur 31-40 tahun, pasien yang bekerja, dan pasien dengan pengetahuan tentang TB MDR lebih baik. Sebaliknya pengobatan lebih cepat didapatkan pada pasien yang pindah mendekati RS. Pemberian terapi awal membutuhkan berbagai persiapan, sehingga sangat mungkin terjadi keterlambatan pengobatan. Waktu untuk memulai pengobatan dapat berhubungan dengan jenis kelamin, pekerjaan, persiapan untuk pindah mendekati RS, dan pengetahuan pasien. Beberapa hal lain terkait program yang berhubungan dengan waktu berobat adalah pada awal pengobatan pasien harus menjalani perawatan di RS selama 2 minggu. Kata kunci: Tuberkulosis kebal obat, Keterlambatan pengobatan Korespondensi: Diah Handayani, Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan Jakarta. Telp. 081315431753. email: diahzulfitri@yahoo.com Pemberian terapi awal membutuhkan berbagai persiapan, sehingga sangat mungkin terjadi keterlambatan pengobatan. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi terhadap keterlambatan pengobatan. Pengobatan TB MDR membutuhkan persiapan dan manajemen yang baik, karena membutuhkan waktu yang lama, PENDAHULUAN Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan utama dalam kelompok penyakit infeksi dan TB kebal obat (multi-drug resistant, TB MDR) merupakan salah satu masalah yang besar dalam pengendalian TB di Indonesia. Indonesia masih berada di urutan ke-8 sebagai negara dengan beban tinggi TB MDR. Pengendalian TB MDR di Indonesia atau Programmatic Management Drug Resistant (PMDT) telah dimulai sejak tahun 2009 di RS Persahabatan Jakarta dan 4 RS lain di Indonesia. Salah satu indikator PMDT adalah pengobatan bagi semua pasien yang telah terdiagnosis termasuk pemberian pengobatan secepatnya, karena keterlambatan pengobatan akan meningkatkan morbiditas, mortalitas dan waktu penularan TB MDR di masyarakat. mencapai 20-24 bulan dengan obat yang banyak dan harus dilakukan dengan pengawasan yang ketat, sehingga pasien harus datang setiap hari ke fasilitas kesehatan untuk TB MDR. Waktu menuju terapi merupakan salah satu indikator utama program pengobatan TB MDR, karena keterlambatan pengobatan akan mempengaruhi morbiditas, mortalitas dan penyebaran penyakit. Berbagai hambatan untuk menjangkau pengobatan TB dapat dipengaruhi oleh hambatan ekonomi, kondisi geografi seperti jarak ke fasilitas pelayanan kesehatan, hambatan sistem pelayanan kesehatan termasuk kurangnya tanggung jawab pemberi layanan kesehatan dan juga desentralisasi. Penelitian ini mendapatkan beberapa faktor sosio-ekonomi dan 24
  • 30. geografik yang diduga terkait dengan pengobatan TB MDR. BAHAN DAN CARA Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang. Pengambilan data dilakukan pada Agustus 2012. Penelitian ini dilakukan dengan melihat data pasien TB MDR di RS Persahabatan, dilanjutkan dengan wawancara menggunakan kuesioner yang telah divalidasi untuk melihat pengetahuan pasien dan data demografi dan sosial terkait pengobatan TB MDR. Setiap pasien yang diwawancarai telah mendapatkan penjelasan dan menandatangani informed consent. Penelitian ini telah disetujui oleh Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Analisis statistik yang digunakan adalah Kaplan Meyer untuk melihat hubungan antara waktu keterlambatan pengobatan dengan faktor demografis. HASIL DAN PEMBAHASAN Di RS Persahabatan hingga Juli 2011 terdapat 233 kasus TB MDR, tetapi 73 (31,33%) tidak diobati dengan alasan 22 pasien menolak, 6 pasien tidak dapat dihubungi dan 4 pasien tidak memenuhi kriteria klinis untuk diobati, 13 pasien meninggal dan 28 pasien dalam persiapan terapi, sehingga terdapat 160 pasien dalam pengobatan. Pada penelitian ini tidak semua pasien dapat diambil kuesioner karena menolak atau tidak dapat dihubungi atau ditemui untuk wawancara sehingga kuesioner diambil dari 82 pasien. Hasil demografi menunjukkan jumlah yang seimbang baik laki-laki maupun perempuan, dengan median umur adalah 38 tahun. Tingkat pendidikan pasien baik (63% SMA atau lebih). Kondisi ekonomi pasien umumnya adalah rendah dengan median penghasilan keluarga adalah Rp 1.500.000 (Rp 1.224.162-Rp 2.000.000) jika dibandingkan dengan upah minimal regional untuk provinsi DKI dan Jabodetabek dan kebutuhan biaya transportasi sekitar Rp 450.000 dan status pekerjaan mengalami perubahan, karena pasien harus berhenti bekerja untuk mendapatkan pengobatan. Sebelum pengobatan, sebanyak 55 orang (67,1%) pasien bekerja, sedangkan setelah pengobatan sekitar 37,8% pasien kehilangan pekerjaan, karena menjalani pengobatan TB MDR. Jarak dari rumah ke RS sekitar 10 km, dan pasien menggunakan kendaraan umum, kendaraan pribadi dan ojek dengan biaya sekitar Rp 15.000 dan waktu tempuh sekitar 30 menit, karena banyak yang menggunakan motor sebagai kendaraan pribadi. Dukungan keluarga terhadap pasien umumnya baik. Karakteristik pasien TB MDR dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kondisi Sosio-ekonomi pasien TB MDR Variabel Penghasilan keluarga (juta rupiah) 15-52 < 10 43 57,3 18 24 14 18,7 Median (IDR/$US) 15.000/1,5 Bekerja 30 36,6 21 25,6 Menjadi tidak bekerja Pekerjaan 27 Tidak bekerja Biaya transportasi ke fasyankes Median (days) > 30 Jarak (km) (n=75) Frekuensi/median 11-30 Waktu menuju terapi Kriteria Persentasi/ 95%CI 31 37,8 <1 26 34,7 1-3 juta 31 41,3 10000/1,1-20.000/2,1 25
  • 31. >3 18 24 Jalan kaki 5 6,1 Kendaraan pribadi 34 41,4 Kendaraan umum 40 48,8 Ojek 3 3,7 mendukung 18 22,2 sangat mendukung 63 77,8 Ya 16 20,5 Tidak 62 79,5 Ya 39 48,2 Tidak 42 51,8 Baik 23 30,7 Sangat baik 52 69,3 Sarana transportasi Dukungan keluarga (n=81) Pindah mendekati fasyankes Hambatan untuk berobat (n=81) Pengetahuan tentang TB MDR (n=75) Persepsi pasien terhadap pengobatan menunjukkan bahwa 70% pasien merasa obatnya terlalu banyak dan waktu terlalu lama. Waktu yang dibutuhkan untuk memulai terapi adalah 27 hari. Analisis survival menggunakan Kaplan Meyer menunjukkan pasien yang membutuhkan waktu lebih lama adalah kelompok pasien laki- laki, kelompok umur 31-40 tahun, dan pasien yang bekerja, dan pasien dengan pengetahuan tentang TB MDR lebih baik. Sebaliknya pengobatan lebih cepat didapatkan pada pasien yang pindah mendekati RS. Hasil analisis Kaplan Mayer dapat dilihat pada Gambar 1. 0.00 0.25 0.50 0.75 1.00 Kaplan-Meier survival estimates Moved with Time to treat 0 50 100 analysis time moved 150 Not moved 200 Gambar 1.Hubungan keterlambatan pengobatan dengan kepindahan pasien Diskusi Keterlambatan pengobatan terkadang tidak dapat dicegah apabila sumber penularan tidak dapat diidentifikasi dan pemeriksaan kultur dan resistensi tidak dilakukan secara rutin. Waktu untuk memulai pengobatan dapat berhubungan dengan jenis kelamin, pekerjaan, persiapan untuk pindah mendekati RS, dan pengetahuan pasien. Beberapa hal lain terkait program yang dapat berhubungan dengan waktu berobat adalah pada awal pengobatan pasien harus menjalani perawatan di RS selama 2 minggu, dan pasien harus tinggal di wilayah Jakarta Timur, sehingga beberapa pasien harus menyiapkan tempat tinggal di sekitar RS atau masih dalam wilayah Jakarta Timur, tetapi hal ini telah berubah sejak tahun 2010 sehingga semakin banyak pasien yang dapat menjalani pengobatan. Hal lain adalah dilakukan verifikasi data pasien oleh petugas puskesmas untuk memastikan tempat tinggal pasien. Hal lain yang harus dipersiapkan dalam pengobatan TB MDR adalah memeriksa 26
  • 32. kondisi klinis pasien secara keseluruhan, meliputi pemeriksaan fungsi hati, fungsi ginjal, kardiovaskular, hormon tiroid dan audiometri. Pemeriksaan hormon tiroid membutuhkan waktu minimal 1 minggu atau 7 hari kerja dan pemeriksaan audiometri hanya dilakukan pada sore hari menunggu pasien non- TB MDR selesai menjalani pemeriksaan, sehingga pasien TB MDR harus menunggu jadwal pemeriksaan audiometri untuk mendapatkan data dasar fungsi pendengaran. WHO menetapkan beberapa indikator spesifik untuk program TB MDR meliputi deteksi, inklusi, analisis interim dan luaran akhir. Inklusi pasien dalam pengobatan meliputi jangkauan pengobatan kepada semua pasien yang telah terdiagnosis TB MDR, dan waktu untuk memulai pengobatan. Waktu memulai pengobatan juga merupakan hal yang penting dalam inklusi, karena keterlambatan pengobatan akan meningkatan morbiditas dan mortalitas pasien. Strategi pengobatan TB MDR sangat kompleks, karena biaya tinggi , durasi yang panjang serta keharusan pasien datang ke pelayanan kesehatan setiap hari untuk menelan obat dengan pengawasan langsung (directly observed treatment, DOT). Hal ini membutuhkan persiapan dari sisi pemberi layanan maupun pasien, sehingga berdampak pada waktu memulai pengobatan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa waktu menuju terapi adalah 27 hari (15-52). Lamanya memulai pengobatan berpotensi untuk menambah jumlah pasien yang tidak mendapatkan pengobatan, sehingga terus menjadi sumber penularan di masyarakat. Sebuah penelitian di Cape Town mendapatkan bahwa keterlambatan memulai pengobatan TB MDR sekitar 5-6 minggu. Hal yang menyebabkan keterlambatan tersebut dapat disebabkan oleh faktor provider, sistem dan pasien. Faktor pasien yang berperan pada keterlambatan mencari pengobatan diantaranya adalah stigma masyarakat mengenai penyakit tuberkulosis itu sendiri. Rerata waktu mulai timbulnya gejala sampai pasien datang ke fasilitas kesehatan adalah 6,41 minggu pada pasien yang masih mempercayai stigma TB, sedangkan yang tidak mempercayai stigma TB waktunya lebih pendek yaitu 4,99 minggu. Penelitian di Kwazulu mendapatkan hanya sekitar 25% pasien yang memulai pengobatan tanpa keterlambatan, sedangkan 75% pasien mengalami keterlambatan pengobatan sampai dengan 22 minggu. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan penularan karena sekitar 90% pasien mempunyai gejala batuk. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Waktu menuju terapi adalah 27 hari 2. Pengobatan TB MDR membutuhkan biaya transportasi cukup besar, lebih dari sepertiga median penghasilan keluarga pasien TB MDR 3. Sebagian pasien harus pindah rumah untuk mendekatkan diri ke Rumah Sakit 4. Pengobatan TB MDR mempengaruhi pekerjaan pasien, terdapat 37,8% pasien kehilangan pekerjaan selama menjalani pengobatan TB MDR. 5. Waktu menuju pengobatan lebih singkat pada pasien perempuan, pasien yang pindah untuk mendekatkan diri ke RS, pasien yang didukung penuh oleh keluarga serta pasien yang tidak bekerja. Saran 1. Mempersingkat waktu pengobatan akan menekan morbiditas, mortalitas dan penyebaran penyakit dan pada akhirnya meningkatkan cakupan pasien TB MDR yang diobati. 2. Mempersingkat waktu pengobatan menghindari ancaman TB XDR dan TDR. 3. Strategi pengobatan TB MDR perlu disesuaikan untuk mempermudah pasien dan tidak menimbulkan dampak sosio-ekonomi yang tinggi dengan cara menyediakan sarana pelayanan TB MDR yang dekat, waktu yang fleksibel. 4. Desentralisasi ke RS terdekat dipercepat dengan meningkatkan kualitas RS satelit TB MDR. DAFTAR PUSTAKA Bamford CM, Taljaard JJ. Potential for nosocomial transmission of multidrug-resistant tuberculosis (MDR TB) in a South African hospital. SAfr Med J. 2010;100(7):438-441. Johnson R, Warren G, van der Spuy N, et al. Drugresistant tuberculosis epidemic in the Western Cape driven by a virulent Beijing genotype strain. Int J Tuberc Lung Dis. 2010; 14:119-121. Kurspahić-Mujčić A, Hasanović A, Sivić S. Tuberculosis related stigma and delay in seeking care after the onset of symptoms associated with tuberculosis. Med Glas (Zenica). 2013 Aug;10(2):272-7. 27
  • 33. Narasimooloo R, Ross A. Delay in commencing treatment for MDR TB at a specialised TB treatment centre in KwaZulu-Natal. S Afr Med J. 2012;102(6):360-362. Qazi F, Khan U, Khowaja S, Javaid M, Ahmed A, Salahuddin N, et al. Predictors of delayed culture conversion in patients treated for multidrugresistant tuberculosis in Pakistan. Int J Tuberc Lung Dis. 2011;15(11):1556–1559 Schaaf HS, Shean K, Donald PR. Culture confirmed multidrug resistant tuberculosis: diagnostic delay, clinical features, and outcome. Arch Dis Child. 2003;88:1106–1111. WHO. Global Tuberculosis Report. 2013 WHO. Guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis. 2011 update. WHO. Multidrugresistant Tuberculosis (MDR-TB) Indicators. A minimum set of indicators for the programmatic management of MDR-TB in national tuberculosis control programmes. 2011. 28
  • 34. Pemeriksaan Pendahuluan Sanitasi Asrama Haji Donohudan Boyolali, Jawa Tengah Tahun 2013 Anas Ma’ruf, Suprapto, Ismail Marzuki, Soeparlan, Mukhammad Pujianto, Windy Cintya Dewi, Ridwan Rahmadi Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Semarang Abstrak. Penyelenggaraan ibadah haji bertujuan untuk memberikan pembinaan pelayanan dan perlindungan yang sebaik-baiknya bagi jamaah haji, sehingga pelaksanaan ibadah haji dapat berjalan dengan aman, tertib, lancar dan nyaman dan jamaah haji dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan ketentuan ajaran agama Islam. Pemerintah melalui kementerian kesehatan berupaya untuk melakukan pembinaan dan pelayanan kesehatan pada jamaah haji, baik pada saat persiapan, operasional ibadah haji dan setelah penyelenggaraan ibadah haji melalui kewaspadaan terhadap penularan penyakit yang terbawa oleh jamaah haji. Upaya yang dilakukan pada saat persiapan adalah upaya penyehatan lingkungan melalui pemeriksaan pendahuluan sanitasi asrama haji, yaitu kegiatan pemeriksaan, pemantauan, kajian dan rekomendasi. Kegiatan ini bertujuan untuk melakukan penilaian terhadap kondisi sanitasi asrama pada saat sebelum digunakan, sehingga bisa diketahui kekurangan yang ada. Dari hasil pemeriksaan akan muncul rekomendasi terhadap kekurangan yang yang ada dengan harapan dapat dilakukan perbaikan, sehingga saat opersional, asrama haji layak untuk digunakan. Pemeriksaan pendahuluan ini menggunakan metode pengamatan langsung dengan kuesioner pedoman penyelenggaraan kesehatan lingkungan asrama haji di Indonesia. Dari kegiatan yang telah dilakukan terdapat beberapa rekomendasi antara lain perlu adanya saluran pembuangan air limbah, perbaikan langit-langit di ruang pantry, pemasangan jeruji besi di saluran air dapur untuk pencegahan masuknya tikus maupun hewan yang lain, pemisahan jenis sampah dan tindakan penyehatan air (berupa pengurasan reservoir dan pemberian chlorin). Kata Kunci: Pemeriksaan pendahuluan, Sanitasi asrama haji Koresponden: Anas Ma’ruf, Suprapto, Ismail Marzuki, Soeparlan, Mukhammad Pujianto, Windy, Telp 081384216822, email: anasmaruf2003@yahoo.com limbah, ruang makan, poliklinik, masjid), penyehatan sanitasi air, pengolahan limbah, pengendalian vektor dan jasa boga. PENDAHULUAN Oleh karena itu perlu dilaksanakan pemeriksaan pendahuluan agar dapat diketahui kondisi sanitasi Undang-Undang RI No.13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menyebutkan bahwa kebijakan dan pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan dan perlindungan dengan menyediakan layanan administrasi, bimbingan ibadah haji, akomodasi, transportasi, pelayanan kesehatan, dan hal-hal lain yang diperlukan oleh jemaah haji. Di dalam lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 442/MENKES/SK/VI/2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji Indonesia disebutkan bahwa prioritas penyehatan lingkungan adalah pengendalian vektor penular penyakit, penyediaan kamar tidur, air mandi dan air minum di asrama embarkasi/debarkasi, pondokan di Arab Saudi dan di tempat-tempat pelayanan jemaah haji. Salah satu kegiatan yang dilaksanakan, yaitu pemeriksaan pendahuluan sanitasi asrama haji. Kegiatan yang dilaksanakan 3 bulan sebelum operasional haji ini bertujuan untuk mengetahui kondisi sanitasi lingkungan asrama, sehingga dapat dilakukan perbaikan dan persiapan seperlunya sebelum asrama haji digunakan. Obyek yang diperiksa meliputi: kesehatan lingkungan asrama haji (kamar tidur, kamar mandi, dapur, saluran air asrama haji, sehingga dapat dilakukan perbaikan dan persiapan seperlunya sebelum asrama haji digunakan. Dalam hal ini Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Semarang telah melaksanakan pemeriksaan pendahuluan sanitasi asrama haji tahun 2013 pada tanggal 18 Juni 2013 dengan tim pemeriksaan yang berasal dari; Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan RI, KKP Kelas II Semarang, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, BBTKL-PP Yogyakarta, Balai Labkes Provinsi Jawa Tengah, Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Tengah, DPPAD Provinsi Jawa Tengah serta Unit Pendapatan Pengelolaan dan Pemberdayaan Aset Daerah (UP3AD) Surakarta selaku Pengelola Asrama Haji. BAHAN DAN CARA Kegiatan pemeriksaan pendahuluan sanitasi asrama haji dilakukan di Asrama Haji Donohudan Boyolali selama satu hari, menggunakan metode pengamatan langsung dengan kuesioner pedoman penyelenggaraan kesehatan lingkungan asrama haji di Indonesia dari Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan. Kuesioner tersebut memuat antara lain tentang persyaratan kesehatan lingkungan asrama haji, penyehatan sanitasi air, pengolahan limbah, pengendalian vektor dan pemeriksaan jasa 29
  • 35. boga. Nantinya hasil dari kegiatan pemeriksaan pendahuluan akan menghasilkan rekomendasi yang akan menjadi acuan untuk pemeriksaan lanjutan I dan II. penyediaan tempat sampah tertutup, pemisahan jenis sampah dan tindakan penyehatan air berupa pengurasan reservoir dan pemberian chlorin. HASIL DAN PEMBAHASAN KESIMPULAN DAN SARAN Hasil pemeriksaan secara langsung terhadap kondisi sanitasi dan keadaan bangunan asrama haji adalah sebagai berikut: Kesimpulan 1. Persyaratan kesehatan lingkungan asrama haji, salah satunya dengan melakukan pengukuran air bersih dan fisik ruangan dapur. Hasil yang didapat yaitu: a. sisa chlor: 0 (Baku Mutu Permenkes RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990, sisa chlor air bersih ≥ 0,2 mg/l) b. pH: 8,8 (Baku Mutu Permenkes RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990, pH air bersih 6,5-9,0) c. TDS: 147 (Baku Mutu Permenkes RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990,TDS air bersih <1500 mg/l) 0 d. Suhu: 28,5 C (Baku Mutu Permenkes RI 0 No. 416/Menkes/Per/IX/1990, suhu ± 3 C) e. Kelembaban: 76% (40 – 70 %) f. Pencahayaan: 410 lux Keadaan umum bangunan asrama haji Donohudan Boyolali sudah cukup memadai, namun masih diperlukan perbaikan-perbaikan di beberapa bagian (langit-langit ruang pantry, saluran air limbah, exhauser dapur) dan penambahan sarana prasarana (penyediaan tempat sampah tertutup) untuk menunjang operasional haji. 2. Penyehatan sanitasi air, dengan melakukan pemeriksaan fisika dan kimia terbatas terhadap kualitas air di asrama haji dengan parameter yang diukur meliputi: bau, warna, rasa, sisa khlor, pH, TDS, temperatur dan TDS. Sedangkan untuk pemeriksaan secara bakteriologis belum dilakukan. 3. Belum tersedia sarana Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan sarana pengolahan limbah medis. 4. Pengendalian vektor akan dioptimalkan saat operasional haji, meliputi kegiatan pemberantasan nyamuk dan lalat. Secara umum kondisi sanitasi asrama haji Donohudan Boyolali sudah cukup baik, sudah ada penambahan ruang pengambilan spesimen dahak di poliklinik. Untuk menunjang kelancaran operasional penyelengaraan ibadah haji masih diperlukan adanya perbaikan saluran pembuangan air limbah, perbaikan langit-langit di ruang pantry, pemasangan jeruji besi di saluran air dapur untuk pencegahan masuknya tikus maupun hewan yang lain, 1. Secara umum keadaan sanitasi Asrama Haji Donohudan Boyolali sudah cukup baik dan siap digunakan. 2. Telah dilakukan perbaikan untuk menunjang kegiatan haji, antara lain penambahan ruang untuk pengambilan spesimen dahak di poliklinik dan penambahan lift di gedung Mekkah. 3. Perlunya dilakukan pembersihan rutin terhadap sarana penunjang ibadah (alas sholat). 4. Kerjasama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali dalam pengolahan limbah medis selama operasional penyelenggaraan haji. Saran 1. Bagi Pengelola Asrama Haji: a. Pembersihan karpet/alas sholat secara rutin dan penambahan keset di tempat yang kontak dengan air. b. Perbaikan langit-langit yang rusak pada ruang pantry (penyiapan makanan) di gedung Mekkah dan Madinah. c. Pembuatan saluran instalasi pengolahan air limbah. d. Pemasangan jeruji besi pada saluran pembuangan air limbah. e. Tindakan penyehatan air bersih secara rutin berupa chlorinasi. f. Penyediaan tempat sampah tertutup dan pemisahan jenis sampah kering dan basah. g. Perlu disediakan pula tempat sampah untuk rokok dan pesan larangan merokok pada area tertentu. 2. Bagi Lintas Sektor terkait (Dinas Kesehatan): Kerjasama dalam pengolahan limbah medis yang dihasilkan selama kegiatan operasional haji. 3. Bagi Kantor Kesehatan Pelabuhan: Tindakan pemberantasan vektor baik sebelum maupun pada saat operasional haji. DAFTAR PUSTAKA Undang-undang RI Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 442/MENKES/SK/VI/2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji Indonesia. 30
  • 36. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416/MENKES/SK/IX/90 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. 31
  • 37. Hambatan Kolaborasi TB-HIV di RS Hasan Sadikin Bandung 1 2 1 3 1 4 Yovita Hartantri , Bony Wiem Lestari , Intan Meilana , Dedi Suyanto , Basti Andriyoko , Annyk , Rudi 1 1 5, 6 Wisaksana , Bachti Alisjahbana , Ari Probandari Retno Budiati 1 RS Hasan Sadikin-Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung , Fakultas Kedokteran Universitas 2 3 4 Padjajaran Bandung , RS Hasan Sadikin , Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat , Fakultas Kedokteran 5 6 Universitas Sebelas Maret Surakarta , Subdit Pengendalian TB, Direktorat PPML, Ditjen PP dan PL Abstrak. Kegiatan kolaborasi TB-HIV bertujuan membentuk mekanisme kolaborasi, menurunkan kejadian TB pada penderita HIV melalui program 3 I’s dan menurunkan kejadian HIV pada penderita yang diduga TB. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hambatan apa saja yang ditemui dalam kolaborasi TB-HIV di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Penelitian ini merupakan penelitian action research, terbagi menjadi tahap diagnosis (assessment), perencanaan dan intervensi serta evaluasi. Data kualitatif diperoleh dari observasi, notulensi rapat dan wawancara secara mendalam, dan diskusi kelompok terarah pada para penentu kebijakan serta pelaksana unit layanan. Data kuantitatif diperoleh dari laporan bulanan dan triwulan TB-HIV, serta perhitungan proporsi variabel-variabel kolaborasi sebelum dan sesudah intervensi. Hasil tahap assessment, ada perbedaan persepsi kolaborasi, akibatnya prioritas program masing-masing unit berbeda. Kurang koordinasi disebabkan kurangnya komunikasi, tidak ada pertemuan, serta tidak ada monitoring dan evaluasi. Standar Operasional Prosedur (SOP) belum disosialisasikan, sehingga tidak jelas alur layanan pasien-pasien ko-infeksi TB-HIV. Pada tahap perencanaan dan intervensi dilakukan upaya advokasi, pertemuan, dan pelatihan untuk menyamakan persepsi dan tujuan layanan, melakukan komunikasi dan koordinasi, serta membuat kesepakatan alur layanan dan perbaikan SOP. Pada tahap evaluasi, data kualitatif maupun kuantitatif belum memperlihatkan adanya perubahan walau sudah dilakukan advokasi dan pertemuan. Masih ditemukan adanya kendala, terutama masalah kehadiran dalam pertemuan dan komitmen. Di samping itu karena terbatasnya waktu dalam menilai fase evaluasi, perhitungan indikator kolaborasi TB-HIV belum terlihat perbedaan yang nyata. Masih diperlukan intervensi tambahan untuk memperbaiki kolaborasi TB-HIV. Walaupun telah diidentifikasi beberapa faktor penghambat, tetapi masih rendahnya komitmen mematuhi hasil yang diinginkan, mungkin diperlukan adanya intermediary actor yang akan memediasi kedua unit layanan. Aktor tersebut diharapkan bukan merupakan bagian dari kedua unit layanan TB atau HIV, namun mengerti mengenai kegiatan kolaborasi TB-HIV dan mampu mengintegrasikan dua unit layanan tersebut. Kata Kunci: Kolaborasi TB-HIV, RS Hasan Sadikin Bandung Koresponden: Yovita Hartantri, RS Hasan Sadikin, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung, Telp. 08124807131; Retno B, Subdit Pengendalian TB, Telp. 021-42804154, 081288668597 PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab kematian utama pada penderita HIV (Human Immunodeficiency Virus). Infeksi HIV merupakan faktor risiko yang potensial untuk terjadinya TB. TB dan HIV bekerja secara sinergi meningkatkan angka kematian dan angka kesakitan di masyarakat. Untuk mengatasi infeksi ganda TB-HIV, WHO (2004) memberikan panduan yang disebut 3 I’s, yaitu Intensifikasi penemuan kasus TB, pengobatan pencegahan TB dengan isoniazid, dan pengendalian infeksi terhadap TB. Di Indonesia, strategi kolaborasi TB-HIV mulai dilaksanakan di seluruh rumah sakit sejak 2007. Data lapangan menunjukkan bahwa pencapaian indikator kolaborasi TB-HIV di Indonesia masih di bawah target. Indikator kegiatan kolaborasi TB-HIV beserta targetnya adalah sebagaimana terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Indikator kolaborasi TB-HIV Indikator Pasien TB yang ditawarkan tes HIV Pasien TB-HIV yang mendapat ART Pasien TB-HIV yang mendapat CPT Pasien HIV yang diskrining TB Pasien TB-HIV yang mendapat OAT Pencegahan INH Target (%) 15 60 80 80 80 NA Sumber: Kemenkes, 2012 Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Hasan Sadikin di Kota Bandung merupakan pusat rujukan tertinggi di Jawa Barat. Jumlah kasus HIV di Jawa Barat hingga September 2012 sebanyak 6.640 dengan prevalensi TB sebesar 81,11 per 100.000 penduduk. Hal ini menunjukkan beban ko-infeksi TB-HIV cukup besar di Jawa Barat. Pada tahun 2012 penderita TB yang menjalani pemeriksaan HIV di klinik DOTS hanya 2,2% (22 dari 1.041 penderita), masih jauh di bawah target nasional. Program kolaborasi TB-HIV sendiri di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung telah diimplementasikan sejak tahun 2008, namun hingga saat ini penerapannya belum optimal. 32