SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 43
Baixar para ler offline
Kata Pengantar

Dalam rangka meningkatkan penyebarluasan informasi tentang pengendalian penyakit
dan penyehatan lingkungan di Indonesia, maka berbagai upaya dilakukan antara lain
melalui penerbitan Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Jurnal ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi untuk mengetahui
perkembangan pengendalian penyakit, baik penyakit menular maupun penyakit tidak
menular serta program penyehatan lingkungan yang telah dilaksanakan oleh Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan
Rl.
Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan ini merupakan edisi terbitan
pertama, direncanakan akan terbit setiap tahun.
Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak atas kontribusi yang telah diberikan,
sehingga Jurnal ini dapat diterbitkan.
Semoga informasi yang kami tuliskan pada jurnal ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
1-5

6-8

9 - 11

12 - 16

17 - 21

22 - 27

28 - 31

32 - 37
Deteksi Dini Faktor Risiko Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah
di Kabupaten Bireun, Provinsi Aceh
M. Sugeng Hidayat¹, Rifaunama R¹, Amir Addani²,
Toni Wandra¹
¹Subdit Pengendalian Penyakit jantung dan Pembuluh Darah, Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular,
²Dinas Kesehatan Kabupaten Bireun
Abstract
One of the main activities in controlling
cardiovascular disease is early detection of active
conduct of its risk factor in the community. Through
the early detection of risk factors can be expected
to handle as early as possible, so that the
prevalence of risk factors for heart disease and
blood vessels can be derived as optimal as
possible. The Objectives of this activity is to define
the prevalence of risk factors of cardiovascular
diseases in the community. This survey adopted
observational study design. It was conducted in
Bireun District, Aceh Province. There were 315
respondents involved in the study. Several
measurements were carried out including blood
pressure, weight, height, blood lipid and ECG. The
instrument of questionare was used to gain
anamnesa of behaviour factors. It found that the
percentage of respondent with family history of
cardiovascular disease, hypertension and stroke is
tend to high. The prevalence of daily smoking
prevalence is higher than the provincial and national
levels. Some risk factors of cardiovascular disease
showed an increase that need to take into account.

Latar Belakang
Salah
satu
masalah
kesehatan
masyarakat yang menjadi isu terkini adalah
adanya beban ganda penyakit (double burden
diseases), yaitu disatu pihak masih terdapat
penyakit infeksi yang harus ditangani, dilain
pihak semakin meningkatnya penyakit tidak
menular. Terdapat peningkatan yang cukup
signifikan kematian penyakit tidak menular,
dimana pada tahun 1995 tercatat 41,7%
meningkat menjadi 59,5% pada tahun 2007
(Riskesdas, 2007).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, prevalensi beberapa
faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh
darah seperti berat badan lebih dan obesitas
(obesitas umum) mencapai 19,1%, obesitas
sentral 18,8%, sering makan makanan asin
sebesar 24,5%, sering makan makanan
berlemak sebesar 12,8%, kurang makan sayur
buah 93,6%, kurang aktifitas fisik 48,2%,
gangguan mental emosional 11,6%, perokok
setiap hari 23,7% dan konsumsi alkohol dalam
12 bulan terakhir mencapai 4,6%.

Salah satu kegiatan pokok pengendalian
penyakit jantung dan pembuluh darah adalah
melaksanakan deteksi dini aktif faktor risiko
penyakit jantung dan pembuluh darah di
masyarakat. Melalui kegiatan deteksi dini
faktor risiko diharapkan dapat dilakukan
penanganannya sedini mungkin, sehingga
prevalensi faktor risiko penyakit jantung dan
pembuluh darah dapat diturunkan serendah
mungkin.
Tujuan
Diketahuinya prevalensi faktor risiko
penyakit jantung dan pembuluh darah yang
dapat digunakan dalam penyusunan rencana
kegiatan pengendalian penyakit tidak menular
khususnya penyakit jantung dan pembuluh
darah di Kabupaten Bireun.
Cara
Deteksi dini
aktif
di masyarakat
dilaksanakan di Kecamatan Gandapura,
Kabupaten Bireun Provinsi Aceh pada bulan
Agustus 2011. Jumlah responden sebanyak
315 orang, usia ≥18 tahun. Pemilihan
kecamatan dilakukan secara multi-stage
random sampling.
Sebelum kegiatan deteksi dini, dilakukan
pelatihan tentang cara pengumpulan data
terhadap 20 enumerator yang terdiri dari 10
petugas kesehatan (dokter, perawat, bidan,
analis) Dinas Kesehatan Kabupaten Bireun
dan Puskesmas Gandapura dan 10 kader
kesehatan. Pelatihan petugas kesehatan dan
kader dilaksanakan secara terpisah.
Materi pelatihan meliputi: Cara pengisian
‖Kartu Kontrol‖ dan ‖Kartu Menuju Sehat,
Terhindar dari Faktor Risiko Penyakit Jantung
dan Pembuluh Darah (KMS FR-PJPD)‖;
Penentuan IMT; Pengukuran lingkar perut dan
tekanan darah; Penentuan skor FR-PJPD;
Pengukuran lemak darah dengan cardiocheck;
dan pemeriksaan Electrocardiogram (EKG).
Materi cara pemeriksaan lemak
darah
pemeriksaan EKG hanya diberikan kepada
petugas kesehatan.
Wawancara dan pengukuran dilakukan di
aula masjid desa dengan seizin pemuka
agama setempat. Responden terpilih diminta
hadir di tempat pemeriksaan tiga hari

1
sebelumnya melalui ketua Rukun Warga
setempat. Apabila responden berhalangan
datang ke tempat pemeriksaan, dilakukan
kunjungan rumah oleh petugas.
Pengumpulan data diawali dengan
pengisian KMS-FR-PJPD dan Kartu Kontrol
(KK) dengan wawancara serta pengukuran
berat badan, tinggi badan untuk menentukan
Indeks Massa Tubuh (IMT), lingkar perut dan
tekanan darah. Kemudian dilanjutkan dengan
pemeriksaan
lemak
darah
dengan
menggunakan alat cardiocheck terhadap 100
responden yang dipilih dari total responden
berdasarkan total skor faktor risiko. Semakin
tinggi/banyak faktor risiko pada responden,
semakin diprioritaskan untuk pemeriksaan
lemak darah.
Pemeriksaan ECG dilakukan terhadap 10
responden yang dipilih dari 100 responden
yang diperiksa lemak darahnya apabila yang
bersangkutan memiliki riwayat penyakit
jantung (seperti berdebar-debar dan keluhan
lainnya) atau termasuk dalam kelompok 10-20
responden dengan skor tertinggi. Selanjutnya
KMS FR-PJPD yang telah terisi lengkap
diserahkan/disimpan oleh responden dan
diminta agar KMS-PJPD tersebut dibawa pada
saat kontrol ke Puskesmas bila diperlukan,
sedangkan Kartu Kontrol (KK) FR-PJPD
disimpan oleh petugas.
Hasil dan Pembahasan
1. Karakteristik responden
a. Jenis kelamin
- Laki-laki
: 129 (41%)
- Perempuan
: 186 (59%)
b. Umur responden (tahun)
- 18-24
: 30 (9,5 %)
- 25-34
: 70 (22,2%)
- 35-44
: 94 (29,8%)
- 45-54
: 51 (16,2% )
- 55-64
: 41 (13,0%)
- 65-74
: 25 (7,9%)
- ≥ 75
: 4 (1,3%)
c. Pendidikan Responden
-Tidak Sekolah
: 4 (1,3 %)
-Tidak Tamat SD
: 11 (3,5%)
-Tamat SD
: 81 (25,7%)
-Tamat SMP
: 101 (32,1%)
-Tamat SMA
: 81 (25,7%)
-Tamat Perguruan Tinggi : 37 (11,7%)
d. Pekerjaan responden
Tidak bekerja
: 157 (49,8%)
Sekolah
: 17 (5,4%)

Pedagang
PNS/Guru/TNI/ Polri
Pelajar / Mahasiswa
Lainnya

:
:
:
:

18
16
74
33

(5,7%)
(5,1%)
(23,5%)
(10,5%)

2. Riwayat keluarga
Persentase responden umur 18 tahun
ke atas yang mempunyai riwayat penyakit
jantung adalah 4,4%. Sedangkan responden
yang mempunyai riwayat keluarga dengan
hipertensi 17,5% dan stroke 3,2%. Riwayat
keluarga merupakan salah satu faktor risiko
utama dalam penentuan prioritas pengukuran
lemak darah responden.
3. Perilaku Merokok
Hasil deteksi dini menunjukkan bahwa
prevalensi responden umur 18 tahun ke atas
yang merokok setiap hari adalah 22,2%
(Tabel). Prevalensi responden merokok setiap
hari tertinggi pada kelompok umur 35-44 tahun
(30,9%), diikuti kelompok umur 45-54 tahun
dan 25-34 tahun masing-masing 29,4% dan
15,7%.
Risiko penyakit jantung koroner pada
perokok 2-4 kali lebih besar daripada yang
bukan perokok. Rokok dapat menyebabkan
penurunan kadar oksigen ke jantung,
peningkatan tekanan darah dan denyut nadi,
penurunan kadar kolesterol-HDL (―kolesterol
baik‖), peningkatan penggumpalan darah, dan
kerusakan endotel pembuluh darah koroner.
4. Perilaku Minum Minuman Beralkohol
Informasi minum alkohol diperoleh
dengan menanyakan kepada responden umur
18 tahun ke atas. Karena perilaku minum
alkohol seringkali periodik maka ditanyakan
perilaku minum alkohol dalam periode 12
bulan terakhir.

2
Hasil deteksi memperlihatkan prevalensi
responden umur 18 tahun ke atas peminum
alkohol 12 bulan terakhir, yaitu sebanyak
0,6% (Tabel).
Minuman
beralkohol
dapat
menyebabkan penyakit
gangguan hati,
kerusakan saraf otak dan jaringan di dalam
tubuh serta penyakit jantung dan pembuluh
darah.
5. Sering Makan Makanan Asin
Responden yang sering makan
makanan asin (makanan yang lebih dominan
rasa asin) dianggap sebagai berperilaku
mengkonsumsi makanan berisiko terkena
penyakit jantung dan pembuluh darah.
Perilaku
konsumsi
makanan
asin
dikelompokkan ―sering‖ apabila responden
mengkonsumsi makanan tersebut satu kali
atau lebih setiap hari.
Prevalensi responden umur 18 tahun
ke atas dengan konsumsi makanan asin yaitu
sebesar 43,9% responden (Tabel).
Prevalensi responden sering makan makanan
asin tampak tertinggi pada kelompok umur 75
tahun k atas (75,0%) diikuti kelompok umur
45-54 tahun dan umur 35-44 tahun masingmasing 64,7% dan 37,8%. Sebanyak 41,1%
responden yang sering makan makanan asin
adalah laki-laki.
Menurut pekerjaan, responden yang
paling sering makan makanan asin adalah
Petani/Buruh/Nelayan
(44,6%),
diikuti
responden yang tidak bekerja dan PNS/TNI/
POLRI/BUMN, masing-masing sebesar 44,5%.
Konsumsi makanan asin yang berlebih
terutama yang berasal dari garam dan sumber
lain, seperti produk susu dan bahan makanan
yang diawetkan dengan garam merupakan
pemicu timbulnya hipertensi. Hipertensi
penyebab tersering stroke dan serangan
jantung.
6. Sering Makan Makanan Tinggi Lemak
Responden yang sering makan
makanan tinggi lemak/berlemak (makanan
yang lebih dominan kandungan lemak)
dianggap sebagai berperilaku mengkonsumsi
makanan berisiko terkena penyakit jantung
dan pembuluh darah. Perilaku konsumsi
makanan tinggi lemak dikelompokkan ―sering‖
apabila responden mengkonsumsi makanan
tersebut satu kali atau lebih setiap hari.
Hasil deteksi dini menunjukkan
prevalensi responden umur 18 tahun ke atas
yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak
sebanyak 37,8%.
Prevalensi responden sering makan
makanan
tinggi lemak tertinggi pada
kelompok umur 25-34 (57,1%), sedangkan

menurut pekerjaan, responden yang sering
makan makanan tinggi lemak adalah
responden yang tidak bekerja (39,5%).
Makanan yang mengandung asam lemak tak
jenuh ganda dan tak jenuh tunggal umumnya
berasal dari makanan nabati, kecuali minyak
kelapa. Makanan sumber asam lemak jenuh
umumnya berasal dari hewan. Mengkonsumsi
lemak hewani secara berlebihan dapat
menyebabkan penyempitan pembuluh darah
arteri dan penyakit jantung koroner.
7. Kurang Sayur Buah
Responden
dikategorikan
kurang
sayur buah apabila makan sayur kurang dari 2
kali (2 porsi) perhari dan makan buah kurang
dari 3 kali (3 porsi) per hari selama 7 hari
dalam seminggu.
Survei di Bireun menunjukkan bahwa
secara keseluruhan responden umur 18 tahun
ke atas kurang konsumsi buah sayur sebesar
97,5%.
Prevalensi tertinggi yang kurang
mengkonsumsi sayur buah adalah kelompok
umur 18-24 (100%), diikuti kelompok umur 3544 tahun (98,9%).
Dewasa ini, perubahan pola makan
menjurus ke sajian siap santap yang tidak
sehat
dan
tidak
seimbang,
karena
mengandung kalori, lemak, protein, dan garam
tinggi, tetapi rendah serat pangan (dietary
fiber).
Jenis
makanan
ini
membawa
konsekuensi terhadap perubahan status gizi,
yaitu gizi lebih dan obesitas yang memicu
berkembangnya penyakit degeneratif, seperti
penyakit jantung dan pembuluh darah,
khususnya penyakit jantung koroner.
Makan makanan beraneka ragam
sangat bermanfaat bagi kesehatan, karena
tidak ada satu jenis makanan yang
mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan
seseorang untuk tumbuh kembang menjadi
sehat dan produktif.
8. Kurang Aktivitas Fisik
Prevalensi kurang aktivitas fisik pada
responden 18 tahun ke atas adalah 84,4%.
Menurut jenis pekerjaan, responden yang
kurang aktivitas fisik pada umumnya adalah
pelajar/mahasiswa (94,1%).
Aktivitas
fisik
secara
teratur
bermanfaat untuk mengatur berat badan dan
menguatkan sistem jantung dan pembuluh
darah. Beberapa studi menunjukkan adanya
hubungan antara aktivitas fisik dengan
penyakit jantung dan pembuluh darah. Bila
melakukan latihan fisik (olahraga) minimal 30
menit setiap hari selama 3-4 hari dalam
seminggu, diharapkan tercapai hasil yang

3
optimal setelah latihan 4-6 minggu dan
kemampuan fisik meningkat sebesar 30-33%.
9. Stress
Data stres dikumpulkan secara
kualitatif pada responden umur 18 tahun ke
atas. Dikategorikan stres apabila responden
merasa panik, tegang atau cemas satu kali
atau lebih setiap hari.
Hasil
deteksi
memperlihatkan
prevalensi responden umur 18 tahun ke atas
dengan stres, yaitu sebesar 4,7%.
Prevalensi responden yang sering mengalami
stres tampak tinggi pada kelompok umur ≥75
tahun (25,0%). Prevalensi pada laki-laki
(7,8%) lebih tinggi dibanding dengan
perempuan (2,6%). Sedangkan menurut
pekerjaan, responden yang stres umumnya
adalah Petani/Buruh/Nelayan (5,4%).
Dampak negatif stres antara lain:
Sikap agresif, frustasi, gugup, kejenuhan,
bosan dan kesepian; Alkoholik, merokok,
makan berlebihan, penyimpangan seks; Daya
pikir lemah, tidak mampu membuat keputusan,
tidak konsentrasi; Peningkatan tekanan darah,
denyut jantung, dan gula darah.
10. Obesitas Umum
Status gizi responden umur 18 tahun
ke atas dinilai dengan Indeks Massa Tubuh
(IMT). Indeks Massa Tubuh dihitung
berdasarkan berat badan dan tinggi badan
dengan rumus: BB(Kg)/TB(m)2.
Berikut ini adalah batasan IMT untuk
menilai status gizi responden umur 18 tahun
ke atas:
Kurus: IMT <18,5 (Kg/m2)
Normal: IMT 18,5-24,9 (Kg/m2)
BB lebih: IMT 25-27 (Kg/m2)
Obesitas: IMT >27 (Kg/m2)
Prevalensi responden umur 18 tahun ke atas
dengan obesitas umum adalah sebesar
23,5%. Prevalensi responden dengan obesitas
umum tertinggi pada kelompok umur 25-34
tahun (28,6%), prevalensi obesitas lebih tinggi
pada laki-laki (31,8%) dibandingkan dengan
perempuan (18,8%).
Fakta menunjukkan bahwa distribusi
lemak tubuh berperan penting dalam
peningkatan faktor risiko penyakit jantung dan
pembuluh darah.
11. Lingkar Perut
Indikator status gizi yang lain adalah
ukuran lingkar perut (LP) untuk mengetahui
adanya obesitas sentral. Untuk laki-laki
dengan LP 90 cm atau lebih dan untuk
perempuan LP 80 cm atau lebih dinyatakan
sebagai obesitas sentral.

Dari hasil deteksi dini diketahui
bahwa prevalensi responden umur 18 tahun
ke atas dengan obesitas sentral sebesar
24,1%.
Prevalensi
responden
dengan
obesitas sentral tertinggi pada kelompok umur
45-54 tahun (25,5%). Obesitas sentral akan
meningkatkan risiko penyakit jantung dan
pembuluh darah.
12. Hipertensi
Data hipertensi diperoleh dengan
metode pengukuran. Hipertensi berdasarkan
hasil pengukuran tekanan darah/tensi yang
ditetapkan menggunakan standar baku
pengukuran
tekanan
darah
(sphigmomanometer air raksa manual).
Pengukuran tekanan darah dilakukan pada
responden umur 18 tahun ke atas. Setiap
responden diukur tensinya minimal 2 kali, jika
hasil pengukuran kedua berbeda lebih dari 10
mmHg dibanding pengukuran pertama, maka
dilakukan pengukuran ketiga. Dua data
pengukuran dengan selisih kecil dihitung
reratanya sebagai sebagai hasil ukur tekanan
darah. Kriteria hipertensi yang digunakan
merujuk pada kriteria JNC VII 2003, yaitu hasil
pengukuran tekanan darah sistolik ≥120
mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90
mmHg. Kriteria JNC VII 2003 hanya berlaku
untuk usia 18 tahun ke atas.
Berdasarkan hasil deteksi, prevalensi
responden umur 18 tahun ke atas dengan
hipertensi sebesar 35,6%.
Prevalensi
responden
dengan
hipertensi tertinggi pada kelompok umur 45-54
tahun (61,0%), sedangkan hipertensi pada
kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar
28,6%. Prevalensi hipertensi lebih besar pada
laki-laki
(45,7%).
Sedangkan
menurut
pekerjaan,
prevalensi
tertinggi
adalah
Wiraswasta (47,4%).
Risiko penyakit jantung dan pembuluh
darah meningkat sejalan dengan peningkatan
tekanan darah. Hasil penelitian Framingham
menunjukkan bahwa tekanan darah sistolik
130-139 mmHg dan tekanan diastolik 85-89
mmHg meningkatkan risiko penyakit jantung
dan pembuluh darah sebesar 2 kali
dibandingkan dengan tekanan darah kurang
dari 120/80 mmHg. Hipertensi merupakan
penyebab tersering penyakit jantung koroner
dan stroke, serta faktor utama dalam gagal
jantung kongestif.
13. Dislipidemia
Data dislipidemia pada responden
umur 18 tahun ke atas didapat dengan metode
pemeriksaan lipid darah menggunakan

4
Cardiocheck dan menggunakan standar nilai
normal sebagai berikut:
-Kolesterol total: ≥190 mg/dL
-Kolesterol-LDL: ≥115 mg/dL
-Kolesterol-HDL: <40 mg/dL (laki-laki) dan <45
mg/dL (perempuan)
-Trigliserida: > 150 mg/dL
Istilah dislipidemia digunakan apabila salah
satu atau lebih nilai stadar di atas tidak
normal. Berdasarkan pemeriksaan lemak
darah pada responden umur 18 tahun ke atas
ditemukan prevalensi dislipidemia sebesar
21,0%. Sedangkan responden
dengan
kolesterol total tinggi, kolesterol-LDL tinggi,
kolesterol-HDL rendah dan trigliserida tinggi
berturut-berturut 47,1%, 57,6%, 32,4% dan
35,3%. Prevalensi dislipidemia pada laki-laki
dan perempuan yaitu 96,9% dan 94,3%.
Untuk menurunkan risiko penyakit
jantung dan pembuluh darah, maka nilai
kolesterol total plasma harus <190 mg/dL dan
Low Density Lipoprotein (LDL) <115 mg/dL.
Pada pasien dengan DM atau pasien
asimptomatik dengan risiko penyakit jantung
dan pembuluh darah, maka target kadar
kolesterol total darah harus <175 mg/dL dan
LDL <100 mg/dL. Kadar High Density
Lipoprotein (HDL) <40 mg/dL pada laki-laki
dan <45 mg/dL pada perempuan, serta kadar
trigliserida
puasa
>150
mg/dL
akan
meningkatkan risiko penyakit jantung dan
pembuluh darah.
Perbadingan prevalensi faktor risiko
penyakit jantung dan pembuluh darah di
Kabupaten Bireun dengan prevalensi di
Provinsi Aceh dan Nasional hasil Riskesdas
2007 sebagaimanat terlihat pada Tabel.
Kesimpulan
Persentase responden 18 tahun ke atas
yang mempunyai riwayat keluarga dengan
hipertensi 17,5%, penyakit jantung 4,4% dan
stroke 3,2%.
Prevalensi merokok setiap hari pada
responden umur 18 tahun ke atas yaitu
sebesar 22,2%
Prevalensi peminum alkohol 12 bulan
terakhir adalah 0,6%.
Prevalensi sering mengkonsumsi makanan
asin sebanyak 43,9%.
Prevalensi sering mengkonsumsi makanan
tinggi lemak sebanyak 37,8%.
Prevalensi kurang makan sayur dan buah
sebesar 86,6% dan 96,8%
Prevalensi kurang aktivitas fisik adalah
77,7%.
Prevalensi stres sebesar 90,7%.
Prevalensi Berat Badan Lebih adalah
10,5%.
Prevalensi Obesitas adalah 13,0%.

Prevalensi Obesitas Umum (Berat Badan
Lebih dan Obesitas) adalah 23,5%.
Prevalensi Obesitas sentral adalah 30,2%.
Prevalensi hipertensi adalah 35,6%.
Prevalensi hipertensi sistolik adalah 15,9%.
Prevalensi hipertensi diastolik adalah
35,6%.
Prevalensi kolesterol total tinggi adalah
47,1%.
Prevalensi kolesterol-LDL tinggi adalah
57,6%.
Prevalensi kolesterol-HDL rendah adalah
32,4%.
Prevalensi trigliserida tinggi adalah 35,3%.
Prevalensi dislipidemia sebanyak 21,0%
Saran
Perlu penanganan faktor risiko
penyakit jantung dan pembuluh darah secara
intensif dan berkesinambungan, yaitu upaya
modifikasi gaya hidup (lifestyle) pada
responden dan masyarakat pada umumnya
dengan melaksanakan penyuluhan (KIE)
secara terus-menerus dan kontrol (follow up)
faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh
darah secara berkala.
Daftar Pustaka
1. AHA/ACC Scientific Statement, Assesment of
Cardiovascular Risk by Use of Multiple Risk Factor
Assesment Equations (1999), A Statement for Healthcare,
Professionals from the American Heart Association and
the American College of Cardiology. September 1999
2. AHA Scientific Statement, AHA Guidelines for Primary
prevention of Cardiovascular Diseases and Stroke : 2002
Update. July. 2002
3. Arisman, M.B. (2003). Gizi dalam daur kehidupan.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
4. Bowers, J. (1992). Fat and oil in foods, in Food Theory
and Application. Maxwell Macmillan International.
5. Deteksi Dini Faktor Risiko Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah (2010), Edisi I, cetakan-2, Kementerian
Kesehatan RI, Jakarta
6. Pedoman Pengendalian Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah (2009), Kementerian Kesehatan RI,
Jakarta
7. Sunita Altmatsier. (2003). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

5
Registrasi Kanker Berbasis Populasi
di DKI jakarta
Mugi Wahidin, SKM

Subdit Pengendalian Penyakit Kanker, Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular

Abstrak
Kanker merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Data Riset Kesehatan
Dasar menunjukkan bahwa kanker merupakan
penyebab kematian nomor 7 dari semua jenis
penyakit. Akan tertapi, besaran permasalah kanker
baik angka kesakitan (prevelens, insindes) maupun
angka kematian belum tersedia karena belum ada
registrasi kanker berbasis populasi.
Sejak tahun 2007 sampai 2011, Sub Direkorat
Pengendalian Penyakit Kanker bekerja sama
dengan
berbagai
pihak
yang
berkaitan
mengembangan registrasi kanker berbasis populasi
dengan model di DKI Jakarta.
Registrasi kanker berbasis populasi dengan model
di DKI Jakarta dikembangkan dengan langkahlangkah advokasi dan sosialisasi, pembentukan tim
registrasi kanker tingkat nasional, provinsi DKI
Jakarta, 5 kota. Langkah-langkah reknis dalam
registrasi kanker mencakup pengumpulan data,
verifikasi, validasi, pengolahan, analisis data, dan
publikasi. Proses pengumpulan dan pengolahan
data dilakukan dengan menggunakan abstrak dan
software SRIKANDI, yang terdiri dari 3 komponen
utama yaitu informasi tentang pasien, tumor, dan
tindak lanjut. Sumber data registrasi kanker di DKI
Jakarta adalah 79 rumah sakit, 44 Puskesmas
Kecamatan yang membawahi 301 Puskesmas
Kelurahan, 2 klinik, dan 90 laboratorium patologi.
Variabel yang dikumpulkan dari rumah sakit
sebanyak 32, sedangkan dari sumber lain 18
variabel.
Hasil registrasi menunjukkan bahwa insidens
kanker tertinggi di DKI Jakarta tahun 2005-2007
pada perempuan adalah kanker payudara, kanker
leher rahim/serviks, kanker kolorektal, kanker
bronkhus dan paru, dan kanker ovarium. Kanker
tertinggi pada laki-laki adalah kanker bronkhus dan
paru, kanker prostat, kanker kolorektal, kanker
pharing, dan kanker ginjal-pervis-kandung kemih.
Sedangkan insidens kanker pada anak (0-17 tahun)
adalah 90,5 per 1 juta anak, tertinggi adalah
leukemia, kemudian kanker mata/retinoblastoma,
kanker tulang, CNS, dan limfoma.
Dengan pengembangan model registrasi kanker di
DKI Jakarta, mekanisme kerja registrasi kanker
sudah disepakati, diperoleh insidens kanker
tertinggi pada perempuan, laki-laki, dan anak-anak,
dan kesiapan pengembangan registrasi kanker di
wilayah lain diIndonesia mengacu pada model
Jakarta.

Latar Belakang
Salah satu masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia adalah penyakit
kanker. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) tahun 2007, kanker merupakan
penyebab kematian nomor 7 dari seluruh
penyebab kematian di Indonesia, sebesar
5,7%. Sedangkan prevalensi nasional sebesar
4,3 per 1000 penduduk.
Data tersebut dapat menjadi data
dasar (baseline data) permasalahan kanker di
masyarakat. Akan tetapi, data tersebut belum
dapat menggambarkan permasalahan yang
valid pada suatu populasi/masyarakat, karena
masih berbentuk survei. Data kanker yang
valid dapat diperoleh melalui registrasi kanker
yang memungkinkan tidak adanya duplikasi
data.
Registrasi kanker adalah suatu proses
pengumpulan data yang sistematik dan terus
menerus yang meliputi kejadian, karakteristik
dan
outcome,
serta
pengolahan,
penyimpanan, dan penganalisaan data
menjadi informasi tentang kanker pada
populasi tertentu. Informasi tersebut dipakai
sebagai
dasar
kebijakan
pengendalian
penyakit kanker. Ada beberapa jenis registrasi
kanker berdasarkan cara perolehan data, yaitu
registasi kanker berbasis rumah sakit dan
registrasi kanker berbasis populasi.
Registrasi berbasis rumah sakit adalah
registrasi yang dilakukan berdasarkan data
kanker yang didiagnosa oleh seluruh bagian
RS yang menanggulangi kanker. Registrasi ini
bertujuan untuk membantu pihak administrasi
dalam merencanakan dan mengorganisir
sumber
daya
untuk
mengoptimalkan
penanggulangan penyakit kanker di RS
tersebut.
Registrasi kanker berbasis populasi/
masyarakat adalah registrasi yang dilakukan
berdasarkan data kanker yang ada di
masyarakat/populasi tertentu dari semua
sarana kesehatan (RS, Puskesmas, Lab,
Klinik, Catatan Sipil, dll) yang mendiagnosa/
terdapat informasi kanker mengenai tempat
dan jumlah penduduk. Registrasi ini bertujuan
mendapatkan besaran masalah kanker, baik
morbiditas (prevalens, insidens) dan kematian
untuk menjadi bahan perencanaan dan
evaluasi program pengendalian penyakit
kanker di masyarakat.
Upaya registrasi kanker telah dimulai
sejak tahun 1970 di Kota Semarang, Jawa
Tengah. Selanjutnya ada beberapa upaya

6
registrasi kanker di beberapa kota di Indonesia
sampai tahun 2004. Akan tetapi, upaya
registrasi kanker tersebut tidak berlanjut
(terhenti), karena berbagai hal, seperti tidak
adanya sumber daya manusia yang fokus
dalam pengembangan registrasi kanker dan
tidak adanya unit khusus di Kementerian
Kesehatan yang bertanggung jawab dalam
pengembangan registrasi kanker.
Untuk itu, sejak berdirinya Subdit
Pengendalian Penyakit Kanker di Direktorat
Pengendalian
Penyakit
Tidak
Menular,
registrasi kanker mulai dikembangkan lagi.
Registrasi kanker berbasis populasi yang
berkelanjutan mulai dikembangkan tahun
2007, dengan model di DKI Jakarta. Registrasi
kanker tersebut awalnya berbasis rumah sakit,
selanjutnya dikembangkan menjadi berbasis
populasi. Model ini dikembangkan oleh Sub
Direktorat Pengendalian Penyakit Kanker
bekerja sama dengan berbagai pihak seperti
Direktorat Bina Upaya Kesehatan Rujukan, RS
Kanker Dharmais, dan Dinas Kesehatan
Provinsi DKI Jakarta. Model di DKI Jakarta ini
akan menjadi referensi dalam pengembangan
registrasi kanker di wilayah lain di Indonesia.
Metodologi
Langkah-langkah
pengembangan
registrasi kanker dengan dengan model di DKI
Jakarta dimulai dengan advokasi dan
sosialisasi, pembentukan tim registrasi kanker
tingkat nasional, provinsi DKI Jakarta, 5 kota
(Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat,
Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan),
penyusunan abstrak dan software, pelatihan,
implementasi di lapangan, monitoring, dan
evaluasi.
Langkah-langkah
reknis
dalam
registrasi kanker mencakup pengumpulan
data, verifikasi, validasi, pengolahan, analisis
data, dan publikasi. Pengumpulan data
dilakukan di fasilitas kesehatan yang
mempunyai data kanker oleh petugas regitrasi
(registrar). Di DKI Jakarta, sumber data adalah
79 rumah sakit, 44 Puskesmas Kecamatan
yang membawahi 301 Puskesmas Kelurahan,
2 klinik, dan 90 laboratorium patologi. Data
dikumpulkan menggunakan formulir abstrak
(ringkasan informasi kanker perorangan) dan
diiput ke dalam Software Sistem Registrasi
Kanker di Indonesia (SRIKANDI). Data mentah
kemudian dikumpulkan ke tim registrasi kanker
kabupaten/kota, dan selanjutnya dikumpulkan
di tim registrasi kanker provinsi. Pengumpulan

data
dilakukan
secara
pasif
mengadakan pertemuan 3 bulanan.

dengan

Verifikasi
data
dilakukan
untuk
memastikan keabsahan data kanker yang
dikumpulkan, jangan sampai ada data selain
kanker yang masuk. Verifikasi data dilakukan
di masing-masing fasilitas kesehatan yang
mengumpulkan data kanker oleh dokter
patologi atau dokter umum terlatih. Validasi
data dilakukan di tingkat kabupaten/kota,
tingkat provinsi, dan tingkat nasional oleh tim
registrasi kanker untuk membersihkan data
dari duplikasi. Selain validasi, di setiap tingkat
juga dilakukan verifikasi kembali dengan
memeriksa keabsahan data.
Pengolahan
dan
analisa
data
dilakukan di tingkat kabupaten/kota, provinsi,
dan nasional. Tim provinsi membantu
pengolahan dan analisa data tingkat provinsi,
dan tim provinsi membantu tim tingkat
kabupaten/kota.
Berhubung
software
SRIKANDI masih terbatas dalam mengolah
dan menganalisa data, kegiatan ini dapat
dilakukan dengan menggunakan Micosoft
Excel atau SPSS. Informasi hasil analisa
berupa angka kesakitan (prevalens, insidens)
maupuan angka kematian. Selanjutnya,
setelah data diolah dan dianalisa, hasilnya
dipublikasi
dengan
mengeluarkan
dokumen/buku resmi, seminar, maupaun lewat
media cetak maupun elektronik
Software
SRIKANDI
merupakan
adaptasi dari software
CanReg 4 yang
dikembangkan oleh International Association
of Cancer Registries (IACR). Software
SRIKANDI berisi 3 bagian pokok yaitu
informasi pasien, informasi tumor, dan tindak
lanjut (follow-up). Software berbasis Microsoft
Access dan bekerja independen (belum
online). Jumlah variabel yang dikumpulkan
untuk RS sebanyak 32 buah, sedangkan untuk
sumber lain (Puskesmas, Laboratorium, klinik)
sebanyak 18 buah.
Hasil dan Pembahasan
Data yang dihasilkan dari registrasi
kanker berbasis populasi di DKI Jakarta
menunjukkan bahwa 5 jenis kanker tertinggi
tahun 2005-2007 pada perempuan adalah
kanker payudara (insidens 31.2 per 100,000
perempuan), kanker leher rahim/serviks (17.6
per 100,000), kanker kolorektal (11.7 per
100,000), kanker bronkhus dan paru (7.7 per
100,000), dan kanker ovarium (7.6 per
100,000).
Kanker tertinggi pada laki-laki adalah
kanker bronkhus dan paru (insindens 19.6 per
100,000 laki-laki), kanker prostat (13.5 per

7
100,000), kanker kolorektal(12.5 per 100,000)
kanker pharing (7.9 per 100,000), dan kanker
ginjal-pervis-kandung kemih (5.1 per 100,000).
Sedangkan insidens kanker pada anak (0-17
tahun) adalah 90,5 per 1 juta anak. Leukemia
merupakan kanker tertinggi pada anak (28 per
1 juta), kemudian kanker mata/retinoblastoma
(24 per 1 juta), kanker tulang (9,7 per 1 juta),
CNS (8 per 1 juta) dan limfoma 7,5 per 1 juta.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Permasalahan kanker tertinggi di DKI
Jakarta adalah kanker payudara dan kanker
leher rahim (pada perempuan), kanker
brokhus dan paru dan kanker prostat (pada
laki-laki), serta leukemia dan kanker
mata/retinoblastoma (pada anak-anak)
Modeling registrasi kanker berbasis
populasi di DKI Jakarta telah dikembangkan
dengan
baik,
meskipun
memerlukan
perbaikan.
- Mekanisme registrasi kanker sudah
disepakati agar dapat diterapkan di wilayah
lain di Indonesia
Saran
Registrasi kanker di DKI Jakarta perlu
terus dilaksanakan agar berkesinambungan,
dengan kerja sama semua pihak yang terlibat

Pengoptimalan kerja tim registrasi kanker
baik di tingkat pusat, provinsi, maupun
kabupaten/kota di DKI Jakarta
Software
registrasi
kanker
perlu
disempurnakan untuk dipergunakan di seluruh
wilayah Indonesia
Pedoman registrasi kanker perlu segera
diterbitkan untuk menjadi panduan dalam
pengembangan registasi kanker
Perlunya intervensi pengendalian kanker
sesuai dengan besaran masalah kanker
berdasarkan hasil registrasi kanker di DKI
Jakarta
Pengembangan registrasi kanker di
wilayah lain di Indonesia dapat dilakukan
dengan mengacu kepada modeling di Jakarta
Daftar Pustaka
1. Parkin D.M., Chen V.W., Ferlay J., Galceran J., Storm
H. H., and Whelan S. L. Comparability and Quality
Control in Cancer Registration. IARC Technical Report
No. 19. Lyon, 1994
2. Parkin D.M., Jensen O.M., et.al. Cancer Registration
Principles and Methods, IARC Scientific Publication
No. 95. Lyon, 1991
3. Registrasi Kanker Berbasis Populasi di Kota
Semarang 1985-1989
4. Riset Kesehatan Dasar, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
RI, 2008

8
Pemberdayaan Tuha Peut (Tokoh Masyarakat) dalam Program
Penanggulangan TB melalui Peningkatan Pengetahuan Masyarakat
di Kabupaten Bireuen Wilayah Pemerintah Aceh Tahun 2009
Mudatsir¹, Muhammad Jamil² , Ikhwanuddin³, Sarah Firdausa¹, Rima Novirianti¹, Chatarina Umbul
Wahyuni⁴
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, ²Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, ³Dinas Kesehatan
Kabupaten Aceh Besar, ⁴Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya

Abstrak
Indonesia adalah penyumbang jumlah penderita TB
nomor lima setelah India, China, Afrika Selatan, dan
Nigeria (WHO, 2010).
Tahun 2009, terdapat
294731 penderita, maka diperkirakan setiap jam
muncul 34 penderita baru dan setiap jam muncul 20
penderita baru yang menular. Demikian juga di
Aceh setiap tahun insiden TB terus meningkat,
terdapat 6000-7000 kasus baru per tahun, 75%
penderita usia produktif (15-50 tahun), dari 4,67 juta
penduduk. Maka setiap 4 hari ada 1 penduduk
Aceh meninggal karena TB (100 orang
meninggal/tahun).
Apabila hal ini tidak
ditanggulangi secara radikal, akan mengakibatkan
kerugian dari segi ekonomi berupa hari kerja yang
hilang sehingga akan menurunkan produktivitasnya.
Permasalahan utama penanggulanan TB di Aceh
adalah rendahnya cakupan suspek atau Case
Detection Rate (CDR). Dengan intervensi kepada
Tuha Peut melalui pelatihan untuk selanjutnya Tuha
Peut menyuluh masyarakat sehingga terdapat
peningkatan pengetahuan masyarakat untuk
mendorong suspek TB mendatangi Puskesmas
untuk diagnosis dan pengobatan TB.
Kajian tentang Pemberdayaan Tuha Peut dalam
program TB yang telah dilakukan bertujuan untuk
mengetahui pengetahuan masyarakat tentang
program TB, angka kunjungan suspek TB ke
Puskesmas dan kendala-kendala Tuha Peut dalam
pemberdayaan masyarakat di daerah intervensi.
Penelitian ini menggunakan rancangan quasi
eksperimen. Dua kabupaten yang jaraknya satu
sama lain berjauhan terpilih sebagai daerah
penelitian (Kabupaten Bireuen sebagai daerah
intervensi dan Kabupaten Aceh Besar sebagai
daerah kontrol).
Panduan kuesioner tentang
program penanggulangan TB digunakan untuk
mengetahui pengetahuan masyarakat sebelum dan
sesudah intervensi oleh Tuha Peut.
Pengetahuan responden tentang program TB
(penyebab, gejala, cara pemeriksaan, cara
penularan, pencegahan, dan penyembuhan TB)
setelah intervensi meningkat pada kelompok
perlakuan, sedangkan pada kelompok kontrol tetap.
Setelah Tuha Peut memberikan penyuluhan kepada
masyarakat dan memotivasinya mengakibatkan
kunjungan ke Puskesmas meningkat dari 64 suspek
pada 3 bulan terakhir (2008) menjadi 112 (2009)
pada periode waktu yang sama. Dimana 67 di
antaranya dikirim oleh Tuha Peut dengan dibekali
T4 card, tetapi hanya 57 suspek (85%) yang
sampai ke Puskesmas.
Pada Tuha Peut kategori 3 (yang tidak mengirim
suspek) terdapat kendala dalam meningkatkan

pengetahuan masyarakat antara lain karena Tuha
Peut sebagai pedagang, tidak ada supervisi yang
berkelanjutan dan adanya stigma tentang TB di
masyarakat.
Kesimpulan:
Dapat
disimpulkan
bahwa
pengetahuan responden tentang TB setelah
perlakuan meningkat signifikan pada kelompok
intervensi, sedangkan pada kelompok kontrol tetap.
Pemberdayaan Tuha Peut dalam program
PenanggulanganTB
dapat
meningkatkan
pengetahuan masyarakat tentang TB dan
kemampuan Tuha Peut dalam memotivasi suspek
TB di masyarakat meningkatkan angka kunjungan
suspek TB ke Puskesmas. Namun kendala Tuha
Peut untuk memberdayakan masyarakat dalam
program TB, antara lain kurangnya waktu sebagian
Tuha Peut untuk berinteraksi dengan masyarakat,
dan adanya stigma tentang TB.
Rekomendasi: Dari hasil penelitian ini dapat
direkomendasikan pelibatan Tuha Peut sebagai
model
lokal
spesifik
dalam
program
penanggulangan TB di Aceh.

Pendahuluan
Data
dari
Dinas
Kesehatan
Pemerintah Aceh tahun 2007, terdapat 7000
kasus baru TB dari 4,2 juta penduduk, dengan
mortalitas 100 orang/tahun. Dari angka
tersebut sekitar 75% penderita berasal dari
usia produktif (15-50 tahun). (M.Thaib, 2008).
Permasalahan utama penanggulangan TB di
Aceh adalah rendahnya cakupan suspek dan
Case Detection Rate (CDR).
Untuk meningkatkan cakupan suspek
dan CDR ini, perlu adanya peran serta
masyarakat melalui peran serta tokoh
masyarakat. Di dalam struktur masyarakat
Aceh, terdapat kelompok yang keberadaannya
sangat berpengaruh yaitu Tuha Peut.
Kelompok ini mempunyai fungsi yang cukup
signifikan. Tuha Peut berfungsi terutama
dalam
mengambil
keputusan
dan
kebijaksanaan yang berkenaan dengan
kehidupan masyarakat. Keberadaan mereka
diakui secara resmi dalam UU RI. No.11 tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun
Aceh No.08 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Gampoeng (desa).
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui efektifitas pemberdayaan Tuha
Peut dalam meningkatkan pengetahuan

9
masyarakat tentang program TB sebelum dan
sesudah perlakuan, menilai hubungan antara
kemampuan Tuha Peut dengan perubahan
angka kunjungan suspek ke puskesmas dan
mengidentifikasi kendala Tuha Peut dalam
meningkatkan pengetahuan masyarakat.
Metode
Penelitian
ini
menggunakan
rancangan quasi eksperimen. Populasi adalah
seluruh masyarakat yang tinggal di Aceh.
Sampel (responden) kasus diambil di
Kabupaten Bireuen dan sampel kontrol di
Kabupaten Aceh Besar yang berjarak 250 km.
Masing-masing sebanyak 210 responden
diambil secara simpel random. Variabel
dependen adalah pengetahuan, kunjungan
suspek dan kemampuan Tuha Peut. Variable
independen adalah karakteristik, tindakan dan
kemampuan motivasi Tuha Peut. Intervensi
dilakukan dengan memberikan pelatihan
kepada Tuha Peut tentang pengetahuan
Program Penanggulangan TB, membekali
tuha peut dengan modul, poster, leaflet, Tuha
Peut Card dan Form aktifitas Tuha Peut.
Selanjutnya
Tuha
Peut
memotivasi
masyarakat yang mempunyai gejala TB untuk
berkunjung ke Puskesmas dan dimonitor
setiap bulan selama 3 bulan dengan melihat
peningkatan jumlah suspek yang berkunjung.
Pengetahuan responden benar apabila
menjawab: penyebab TB karena kuman atau
M.tuberculosis,
Gejalanya;
demam,
berkeringat dan batuk berdarah, Pemeriksaan
Tb dengan laboratorium; Tb dapat menular,
TB dapat dicegah dan TB dapat disembuhkan.
Hasil penelitian dianalisis menggunakan uji
statistik t-Test untuk melihat perbedaan
pengetahuan
responden
sebelum
dan
sesudah perlakuan.
Pembahasan
Hasil Penelitian:
Proporsi responden terbanyak pada kedua
daerah, berumur 26-55 tahun yaitu sekitar
68,8%, responden perempuan lebih dominan
(68,1%),
tingkat
pendidikan
responden
terbanyak adalah tingkat menengah (59,76%),
pekerjaan responden yang paling banyak
adalah ibu rumah tangga (48,85%).
Dari tabel 1 di bawah dapat dilihat bahwa
tingkat pengetahuan responden pada semua
variabel lebih baik pada kelompok intervensi
dibandingkan dengan kelompok kontrol, akan
tetapi pada variabel pencegahan TB di daerah
intervensi lebih banyak menjawab tidak benar
dibandingkan yang menjawab benar. Hasil uji
statistik menunjukkan adanya perbedaan
signifikan antara pengetahuan responden

sebelum dengan sesudah perlakuan pada
daerah kontrol dan intervensi
Tabel 1. Pengetahuan responden tentang TB
di Kabupaten Aceh Besar dan Bireuen
pra dan pasca perlakuan Tahun 2009

Pra Perlakuan
Variabel

Jawaban

Penyebab TB

Benar

Gejala TB

Benar

Pemeriksaan
TB
Penularan TB

Benar
Benar

Pencegahan
Benar
TB
Penyembuhan Benar
TB
Tidak
Benar
Tidak
Tahu

Aceh
Besar
55
(13.1%)
136
(32.4%)
111
(26.4%)
108
(25.7%)
23
(5.5%)
173
(41.2%)
11
(2.6%)
26
(6.2%)

Bireuen
50
(11.9%)
162
(38.6%)
105
(25.0%)
109
(26.0%)
24
(5.7%)
162
(38.6%)
5
(1.2%)
43
(10.2%)

P
Value
0.573
0.005
0.313
0.922
0.887
0.033

Pasca Perlakuan

Penyebab TB

Benar

Gejala TB

Benar

Pemeriksaan TB

Benar

Penularan TB

Benar

Pencegahan TB

Benar

Penyembuhan TB Benar
Tidak
Benar
Tidak
Tahu

56
(13.3%)
55
(13.1%)
90
(21.4%)
83
(19.8%)
31
(7.4%)
184
(43.8%)
10
(2.4%)
16
(3.8%)

107
0.00
(25.5%)
124
0.00
(29,52%)
159
0.00
(37.9%)
137
0.00
(32.6%)
89
0.00
(21.2%)
166
0.001
(39.5%)
4
(1.0%)
(9.5%)

Adanya
motivasi
dari
Tuha
Peut
mengakibatkan kunjungan ke puskesmas
meningkat dari 64 suspek pada 3 bulan
terakhir (2008) menjadi 112 (2009) pada
periode waktu yang sama. Dimana 67
Diantaranya dikirim oleh Tuha Peut dengan
dibekali T4 card, tetapi hanya 57 suspek
(85%)
yang
sampai
ke
puskesmas,
selengkapnya dapat dilihat pada gambar
berikut:
Gambar 1. Hubungan antara kemampuan Tuha Peut
dengan kunjungan suspek ke puskesmas di daerah
intervensi tahun 2009

10
Kendala Tuha Peut dalam meningkatkan
pengetahuan tentang TB antara lain karena
Tuha Peut berprofesi sebagai pedagang
keliling yang hampir setap hari tidak bersama
warga sehingga waktu untuk berinteraksi dan
memberikan penyuluhan menjadi sangat
terbatas dan adanya stigma tentang TB di
masyarakat, yang menganggap bahwa TB
merupakan
penyakit
yang
memalukan
sehingga tidak etis menyuluh di warung kopi,
sedangkan bagi masyarakat Aceh, warung
kopi merupakan pusat informasi, bersosialisasi
dan berinteraksi.

Kesimpulan dan Saran
Dari hasil penelitian itu dapat dilihat bahwa
tingkat pengetahuan masyarakat antara
kelompok kontrol (Aceh Besar) dan kelompok
intervensi (Bireuen) sebelum perlakuan relatif
sama. Sedangkan pascaperlakuan kepada
Tuha peut, pengetahuan responden antara
kelompok kontrol dengan kelompok intervensi
berbeda. Hal ini sesuai dengan temuan Hoa
PP, dkk (2006) bahwa pengetahuan tentang
TB pada masyarakat dipengaruhi oleh
banyaknya sumber informasi yang diakses
dari berbagai media. Dengan demikian
perlakuan terhadap tokoh masyarakat dapat
meningkatkan pengetahuan pada komunitas.
Menurut Ghimire dkk. (2010) di Nepal
menemukan bahwa walaupun pendidikan
masyarakat rendah tetap dapat dilibatkan
untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat
lain di sekitarnya apabila dididik sebelumnya.
Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan
responden tentang TB
setelah perlakuan
meningkat
signifikan
pada
kelompok
intervensi, sedangkan pada kelompok kontrol
tetap. Pemberdayaan Tuha Peut dalam
program
Penanggulangan
TB
dapat

meningkatkan
pengetahuan
masyarakat
tetang TB dan kemampuan Tuha Peut dalam
memotivasi suspek TB di masyarakat
meningkatkan angka kunjungan suspek TB ke
Puskesmas. Namun kendalanya pada Tuha
Peut antara lain kurangnya waktu sebagian
Tuha Peut untuk berinteraksi dengan
masyarakat, dan adanya stigma tentang TB.
Dari
hasil
penelitian
ini
dapat
direkomendasikan pelibatan Tuha Peut
sebagai model lokal spesifik dalam program
penanggulangan TB di Aceh.
Daftar Pustaka

1. Hoa NP, Chuc NT, Thorson A, 2009.
Knowledge, attitudes, and practices about
tuberculosis and choice of communication
channels in a rural community in Vietnam.
Health Policy : 90(1):8-12.
2. Ida Leida, Widyaningrum, Anna Khuzaimah,
Muh. Nasrum Massi, Chatarina Umbul
3. Wahyuni. 2008. Efek Promosi Kesehatan Pada
Kelompok
Masyarakat
Informal
Dalam
Mendeteksi Suspek TB Di Kabupaten Gowa.
Makassar.
4. Mata JI. 1985. Integrating the client's
perspective in planning a tuberculosis education
and treatment program in Honduras. Med
Anthropol. 9(1):57-64.
5. M. Thaib. 2008. Situasi TB di NAD. Dinas
Kesehatan
Provinsi
Nanggroe
Aceh
Darussalam. Banda Aceh
6. Qanun Aceh No. 8 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Gampong (Desa)

11
Potensi Risiko Paparan Kadar PM2,5
Di Sekitar Semburan Lumpur Sidoarjo Tahun 2011
Drs. Arief Bintoro
Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BBTKLPPM) Surabaya
Abstrak
Pada tahun 2011, BBTKLPPM Surabaya melakukan
analisis potensi risiko kesehatan masyarakat yang
ditimbulkan oleh semburan lumpur di Sidoarjo, Jawa
Timur, dengan membandingkan risiko antara jarak yang
dekat dan yang jauh dari pusat semburan lumpur.
Populasi berasal dari 2 desa, yaitu Desa Besuki dan
Desa Semampir Kecamatan Sedati. Analisis ini
bertujuan untuk mengetahui gambaran kadar paparan
PM2,5; kejadian gangguan fungsi faal paru; serta
variabel lain, seperti umur, jenis kelamin, keberadaan
penghuni yang merokok, status gizi, penggunaan obat
nyamuk bakar, kepadatan hunian, dan luas ventilasi
rumah. Hasil analisis antara lain menunjukkan bahwa
ada pengaruh paparan kadar PM2,5 jarak dekat dan
jauh dari pusat semburan lumpur Sidoarjo serta faktor
ventilasi dan kepadatan hunian rumah terhadap
gangguan fungsi faal paru penduduk sekitar pusat
semburan lumpur Sidoarjo. Peningkatan kesehatan
lingkungan permukiman di sekitar pusat semburan
lumpur Sidoarjo merupakan salah satu upaya yang
perlu ditingkatkan dan menjadi perhatian dari pihakpihak terkait bersama masyarakat.

Pendahuluan
Bencana lumpur Sidoarjo diawali dengan
terjadinya penyemburan lumpur panas di lokasi
pengeboran PT Sidoarjo Brantas di Desa
Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten
Sidoarjo, Jawa Timur, pada 27 Mei 2006.
Semburan lumpur panas yang tereksplorasi tidak
terkendali menyebabkan tergenangnya kawasan
permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga
kecamatan di sekitarnya serta memengaruhi
aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Selain itu,
kondisi lingkungan, sosial, dan kesehatan
masyarakat juga ikut terpengaruh. Semburan ini
berdampak
pada
pencemaran
udara
di
permukiman penduduk sekitar, berupa gas
berbahaya, zat kimia, dan debu dengan berbagai
ukuran dan komposisi. Akibat semburan lumpur
Sidoarjo, konsentrasi dan jenis bahan pencemar
udara bertambah di wilayah tersebut.
Gambaran kualitas udara ambien di wilayah
sekitar luapan lumpur Sidoarjo diperoleh dari
pengujian kualitas udara. Parameter pencemar
udara yang diukur, antara lain SO x, NOx, NH3,

H2S, HC, serta debu TSP (total suspended
particulate). Salah satu parameter pencemar yang
tidak memenuhi syarat berdasarkan hasil
pengukuran kualitas udara tersebut adalah debu
TSP, dimana baku mutu TSP sesuai Peraturan
Gubernur Provinsi Jawa Timur Nomor 10 Tahun
3
2009 adalah maksimal 0.26 µg/l (mg/m ).
Data hasil pengukuran kualitas udara,
khususnya TSP, oleh BBTKLPPM Surabaya tiap
tahunnya menunjukkan konsentrasi debu yang
fluktuatif menurut waktu dan tempat. Pada tahun
2007 pengambilan sampel udara di Desa Mindi
3
dengan kadar debu TSP 0.191 µg/m . Tahun
2008 diperoleh konsentrasi debu tertinggi di Desa
3
Siring, yaitu rata-rata 0.3652 µg/m . Pengukuran
kadar debu TSP tahun 2009 dilakukan di Desa
Glagah Arum dengan hasil konsentrasi 0.943
3
µg/m , sedangkan pengukuran konsentrasi debu
TSP tahun 2010 mengambil sampel di Desa
Siring Barat dengan kadar debu TSP maksimal
3
0.439 µg/m .
Penyakit batuk, sakit tenggorokan, bronchitis
akut dan kronik, asma, pneumonia, emphysema
paru dan kanker paru merupakan manifestasi
penyakit saluran pernapasan akibat adanya
paparan terhadap polutan udara secara terusmenerus dan berlangsung cukup lama. Partikulat
debu yang melayang beterbangan selain
mengganggu pernapasan juga dapat menembus
paru-paru. Partikel udara yang lebih kecil, yaitu
PM2,5, dapat terhirup ke dalam paru-paru
dibandingkan partikel debu kasar atau PM10.
Partikel debu yang masuk ke saluran pernapasan
tersebut dapat mengganggu proses respirasi.
Sehubungan dengan situasi tersebut, pada
tahun 2011 BBTKLPPM Surabaya melakukan
analisis potensi risiko pada populasi dengan
membandingkan risiko antara jarak yang dekat
dengan yang jauh dari pusat semburan lumpur,
sehingga dapat diketahui gambaran dampak atau
potensi risiko yang diakibatkan oleh semburan
lumpur Sidoarjo dari segi kesehatan masyarakat.

12
Gambar 1. Lokasi Desa yang Menjadi Tempat Kajian

Metodologi
Pengambilan sampel dilakukan secara
purposive pada 2 desa yang memiliki jarak dekat
dengan pusat semburan lumpur Sidoarjo, yaitu
Desa Besuki dengan jarak ± 500 meter, dan desa
yang memiliki jarak jauh dengan pusat semburan
lumpur
Sidoarjo,
yaitu
Desa
Semampir
Kecamatan Sedati dengan jarak ± 10 km. Adapun
gambaran yang ingin diperoleh adalah :
1. kadar paparan PM2,5;
2. kejadian gangguan fungsi faal paru; serta
3. variabel lain, meliputi umur, jenis kelamin,
keberadaan penghuni yang merokok, status
gizi, penggunaan obat nyamuk bakar,
kepadatan hunian, dan luas ventilasi rumah
yang merupakan faktor risiko terjadinya
gangguan fungsi faal paru.
Secara
rinci distribusi responden
yang
diambil menurut desa terpilih seperti pada Tabel 1
di bawah ini

Tabel 1. Daftar Pengambilan Sampel dan Responden
Lokasi Dekat
Rumah
Ke1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Jumlah

Lokasi Jauh

Jumlah
Penghuni

Jumlah
Responden

Jumlah
Penghuni

Jumlah
Responden

5
5
6
5
4
5
5
6
4
4
4
4
4
-

5
4
5
4
4
5
4
5
4
4
4
4
3
55

5
6
5
4
5
6
5
5
6
6
6
-

5
6
5
4
4
6
5
4
5
6
5
55

Total Responden

110

Hasil dan Pembahasan
Gambaran Potensi Risiko Gangguan Fungsi
Faal Paru akibat paparan PM2,5 di sekitar
semburan lumpur Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo,
dapat diuraikan sebagai berikut.

13
a. Analisis Situasi Berdasarkan Tempat

Grafik 2. Distribusi Responden Menurut Umur

Tabel 2. Distribusi kadar PM2,5 Menurut Jarak
Rumah Ke-

Jarak Dekat
(µg/nm3)

Jarak Jauh
(µg/nm3)

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

56.4
67.3
66.5
43.6
47.5
68.2
66.6
67.2
48.1
43.2
41.4
68.4
71.6

66.4
18.5
32.7
65.7
56.3
53.3
34.6
54.1
67.4
46.8
31.6
#
#

Rata-Rata

58.2

47.9

Berdasarkan Grafik 2, diketahui bahwa
sebanyak 40 responden (36,36%) yang berusia
lebih dari 40 tahun dan 19 responden (17,27%)
yang berusia kurang dari 40 tahun mengalami
gangguan fungsi faal paru.
Grafik 3. Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel 2 di atas dapat diketahui
bahwa rata-rata kadar PM2,5 dalam rumah yang
berada pada jarak dekat dengan pusat semburan
lumpur lebih tinggi dibandingkan dengan kadar
PM2,5 dalam rumah yang berada pada jarak jauh
dengan pusat semburan lumpur.
b. Analisis Situasi Berdasarkan Kasus
Grafik 1. Distribusi Responden Menurut
Status Fungsi Faal Paru

Berdasarkan Grafik 3, diketahui bahwa 27
responden (24,55%) laki-laki dan 32 responden
(29,91%) perempuan mengalami gangguan fungsi
faal paru.
c. Analisis Situasi Berdasarkan Faktor Risiko
Grafik 4. Perbandingan Paparan Kadar PM2,5
pada Jarak Dekat dan Jarak Jauh
dengan Gangguan Fungsi Faal Paru

Berdasarkan Grafik 1, diketahui bahwa
responden yang memiliki gangguan fungsi faal
paru sebanyak 59 orang (54%).

14
Berdasarkan Grafik 4 di atas diketahui bahwa
gangguan fungsi faal paru pada responden yang
berada dekat dengan pusat semburan lumpur
Sidoarjo lebih tinggi dibanding dengan gangguan
fungsi faal paru pada responden yang berada
jauh dengan pusat semburan lumpur Sidoarjo.
Perhitungan secara statistik menunjukkan
bahwa rata-rata kadar PM2,5 responden pada
jarak rumah jauh dari pusat semburan lumpur
Sidoarjo yang tidak mengalami gangguan fungsi
faal paru dengan responden pada jarak rumah
dekat dari pusat semburan lumpur Sidoarjo yang
mengalami gangguan fungsi faal paru memiliki
perbedaan yang bermakna. Selain itu, rata-rata
responden pada jarak rumah jauh dari pusat
semburan lumpur Sidoarjo yang mengalami
gangguan fungsi faal paru dengan responden
pada jarak rumah dekat mengalami gangguan
fungsi faal paru juga memiliki perbedaan yang
bermakna.
Variabel lain yang dapat memengaruhi
kondisi tersebut adalah :
1. Umur
Secara statistik hubungan antara umur dengan
kejadian gangguan fungsi faal paru pada
responden dengan jarak rumah dekat dan jauh
dari pusat semburan lumpur Sidoarjo tidak
bermakna.
2. Jenis kelamin
Secara statistik hubungan antara jenis kelamin
dengan kejadian gangguan fungsi faal paru
pada responden dengan jarak rumah dekat
dan jauh dari pusat semburan lumpur Sidoarjo
tidak bermakna.
3. Keberadaan penghuni yang merokok
Secara statistik hubungan antara keberadaan
penghuni yang merokok dengan kejadian
gangguan fungsi faal paru pada responden
dengan jarak rumah dekat dan jauh dari pusat
semburan lumpur Sidoarjo tidak bermakna.
4. Status gizi
Secara statistik hubungan antara status gizi
dengan kejadian gangguan fungsi faal paru
pada responden dengan jarak rumah dekat
dan jauh dari pusat semburan lumpur Sidoarjo
tidak bermakna.
5. Penggunaan obat nyamuk bakar
Secara statistik hubungan antara penggunaan
obat nyamuk bakar dengan kejadian gangguan
fungsi faal paru pada responden dengan jarak

rumah dekat dan jauh dari pusat semburan
lumpur Sidoarjo tidak bermakna.
6. Kepadatan hunian
Secara statistik hubungan antara kepadatan
hunian dengan kejadian gangguan fungsi faal
paru pada responden dengan jarak rumah jauh
dari pusat semburan lumpur Sidoarjo
bermakna, sedangkan hubungan antara
kepadatan hunian dengan kejadian gangguan
fungsi faal paru pada responden dengan jarak
rumah dekat dari pusat semburan lumpur
Sidoarjo tidak bermakna.
7. Luas ventilasi rumah
Secara statistik hubungan antara luas ventilasi
rumah dengan kejadian gangguan fungsi faal
paru pada responden dengan jarak rumah
dekat dan jauh dari pusat semburan lumpur
Sidoarjo tidak bermakna.
d. Analisis Kecenderungan
Pengaruh partikulat debu bentuk padat
maupun cair yang berada di udara sangat
bergantung pada ukurannya. Ukuran partikulat
debu yang membahayakan kesehatan berkisar
antara 0,1 mikron sampai dengan 10 mikron.
Pada umumnya ukuran partikulat debu sekitar 5
mikron merupakan partikulat udara yang dapat
langsung masuk ke dalam paru-paru dan
mengendap di alveoli. Keadaan ini bukan berarti
bahwa ukuran partikulat yang lebih besar dari 5
mikron tidak berbahaya, karena partikulat yang
lebih
besar
dapat
mengganggu
saluran
pernapasan bagian atas dan menyebabkan iritasi.
Keadaan ini akan lebih bertambah parah apabila
terjadi reaksi sinergistik dengan gas SO2 yang
terdapat di udara juga.
PM2,5 lebih cytotoxic terhadap sel paru-paru in
vitro, rata-rata pajanan individu terhadap PM10 di
antara sekelompok masyarakat yang sensitif
adalah serupa dengan rata-rata konsentrasi PM2,5
di luar ruangan tetapi secara signifikan lebih tinggi
dari rata-rata konsentrasi di dalam ruangan. PM2,5
dan PM10 dapat menyebabkan pneumonia,
gangguan sistem pernapasan, iritasi mata, alergi,
dan bronchitis khronis. PM2,5 dapat masuk ke
dalam paru-paru yang berakibat timbulnya
emfisema paru, asma bronchial, dan kanker paruparu serta
gangguan kardiovaskular atau
kardiovascular (KVS).

15
Secara umum PM2,5 dan PM10 timbul dari
pengaruh udara luar (kegiatan manusia akibat
pembakaran dan aktifitas industri). Sumber dari
dalam rumah antara lain dapat berasal dari
perilaku merokok, penggunaan energi masak dari
bahan bakar biomassa, dan penggunaan obat
nyamuk bakar.
Berdasarkan
hasil
pemantauan
yang
dilakukan oleh Tim BBTKLPPM Surabaya,
diperoleh bahwa rata-rata kadar PM2,5 responden
pada jarak rumah jauh dari pusat semburan
lumpur Sidoarjo yang tidak mengalami gangguan
fungsi faal paru dengan responden pada jarak
rumah dekat dari pusat semburan lumpur Sidoarjo
yang mengalami gangguan fungsi faal paru
memiliki perbedaan yang bermakna. Sementara
itu, rata-rata responden pada jarak rumah jauh
dari pusat semburan lumpur Sidoarjo yang
mengalami gangguan fungsi faal paru dengan
responden pada jarak rumah dekat mengalami
gangguan fungsi faal paru memiliki perbedaan
yang bermakna.
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah
penduduk yang berada pada jarak dekat
semburan lumpur Sidoarjo agar mendapatkan
penanganan segera sehingga tidak terjadi
dampak buruk terhadap kesehatan dalam jangka
panjang.

3. Analisa Risiko Kesehatan Lingkungan, BTKLPPM Jakarta
(2008)
4. Parameter Pencemar Udara dan Dampaknya terhadap
Kesehatan, Ditjen PPM & PL, Depkes RI (2001)
5. Toksilogi Lingkungan, Mukono, H.J., Airlangga University
Surabaya (2005)
6. Deteksi Pencemar Air Minum, Pitojo Setijo, Aneka Ilmu
(2003)
7. Pedoman Pemantauan Terpadu Kualitas Air Sungai di
Jawa Timur. Bapedal Propinsi Jawa Timur (2007)
8. Permenkes No. 492/Menkes/PER/IV/2010 Tentang
Persyaratan Kualitas Air Minum
9. Pergub Jatim No. 10 tahun 2009 Tentang Baku Mutu
Udara Ambien & Emisi Sumber Tidak Bergerak di Jatim
10. SK Menkes No. 718 tahun 1987 Tentang Kebisingan
11. Kepmenkes RI No. 87/Menkes/SK/VIII/2001 Tentang
Pedoman Teknis ADKL

Kesimpulan dan Saran
Hasil kajian ini secara statistik membuktikan
adanya pengaruh paparan kadar PM2,5 jarak dekat
dan jauh dari pusat semburan lumpur Sidoarjo
terhadap gangguan fungsi faal paru penduduk
sekitar pusat semburan lumpur Sidoarjo. Faktor
ventilasi dan kepadatan hunian rumah juga
berpengaruh terhadap gangguan fungsi faal paru
warga sekitar pusat semburan lumpur Sidoarjo.
Oleh karena itu, disarankan agar pihak-pihak
yang terkait bersama masyarakat perlu lebih
memperhatikan masalah kesehatan yang timbul
akibat bencana lumpur Sidoarjo, khususnya
mengenai kelayakan hidup di sekitar pusat
semburan lumpur Sidoarjo, antara lain melalui
upaya
peningkatan
kesehatan
lingkungan
permukiman.
Daftar Pustaka
1. Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik,
Ditjen PP & PL, Depkes. (2008)
2. Bahan-bahan Berbahaya dan Dampaknya terhadap
Kesehatan manusia, Ditjen PP & PL, Depkes. (2001)

16
Kajian Kualitas Air Kolam Renang
Permenkes 416 tahun 1990
Dr. Hening Darpito, SKM, Dip SE
Dosen Teknik Lingkungan Universitas Satya Negara Indonesia, Ketua I FORKAMI dan Ketua Kolegium
Kesehatan Lingkungan
Abstrak
Persyaratan Kualitas Air Kolam Renang terakhir
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 416 tahun 1990. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan peningkatan kebutuhan manusia
akan kesehatan, kenyamanan dan relaksasi
mendorong kebutuhan akan kualitas air kolam
renang yang lebih baik. Beberapa peristiwa infeksi
penyakit menular pernafasan mencurigai ditularkan
oleh air kolam renang khususnya yang
mempergunakan air panas yang mengandung
bakteri Legionella terutama menginfeksi para
wisatawan manca negara. Untuk meningkatkan
perlindungan kesehatan bagi perenang perlu
ditetapkan persyaratan kesehatan yang baru.
Perlindungan kesehatan dengan penetapan kualitas
air ditujukan pada parameter fisik, kima dan
bakteriologi. Kualitas bakteriologi kolam renang
yang semula ditetapkan untuk Total coliform dan
jumlah kuman diusulkan dipersyarat menjadi E.coli,
jumlah kuman atau HPC dan ditambah parameter
bakteri Legionella dan Pseudomonas. Perlindungan
kesehatan penting lain dilakukuan dengan
memperbaiki persyaratan kandungan sisa klor
bebas dan sisa klor terikat. Perlindungan kesehatan
parameter sisa klor perlu dibedakan untuk air kolam
renang suhu ruangan, suhu panas, air kolam
bermain ataupun air kolam renang yang
mempergunakan sumber air alam.

Pendahuluan
Peningkatan pengguna kolam renang
dan kolam bermain di kota-kota merupakan
kebutuhan masyarakat untuk rekreasi dan olah
raga serta kebutuhan gaya hidup. Disinfeksi
air kolam renang dan kolam bermain bertujuan
untuk
menjamin
keamanan
air
yang
dipergunakan masyarakat. Air kolam harus
aman dan tidak menyebabkan gangguan atau
risiko kesehatan. Air kolam harus mempunyai
sisa
disinfektan
yang
cukup
guna
mengantisipasi bertambah banyaknya mikroorganisme dan organik.
Kolam renang dan kolam bermain dapat
dikategorikan ke dalam tiga kelompok risiko.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pengelompokan risiko adalah beban kolam,
kemampuan pengolahan kualitas air, tingkat
kontaminasi, suhu udara sekitar dan status
kesehatan pengguna kolam. Kolam yang
termasuk dalam kelompok risiko tinggi perlu
terus diawasi oleh tenaga yang mempunyai
kompetensi dan terlatih, pengetesan kualitas
air kolam dilakukan lima kali sehari. Kolam
dangkal yang padat oleh pengguna seperti

kolam bermain merupakan
berisiko tinggi.

kelompok kolam

Kolam risiko sedang, seperti kolam renang
yang ada di hotel dan resot perumahan yang
terbatas penggunanya, tetap memerlukan
pengawasan yang memadai. Kolam kategori
risiko rendah memerlukan pengawasan yang
tidak terlalu ketat, pengetesan kualitas air
dilakukan ketika kolam dipadati pengunjung.
Kolam yang termasuk kategori ini adalah
kolam renang yang berada di rumah,
perumahan yang pengunjungnya sangat
terbatas.
Perenang yang menggunakan kolam
renang kelompok risiko tinggi mempunyai
kesempatan
terkontaminasi
organisme
penyakit lebih beragam daripada yang
menggunakan kolam renang kelompok risiko
di bawahnya, karena kolam ini lebih terbuka
terhadap masyarakat umum. Organisme
penyebab penyakit yang mungkin menginfeksi
berasal dari banyak sumber utamanya dari
para perenang sendiri. Organisme ini bisa
disebarkan oleh perenang melalui kulit, ludah,
kencing atau tinja. Namun ada juga organisme
yang berasal dari debu, kotoran burung, atau
tanah yang terinjak oleh kaki perenang.
Beberapa organisme penyakit tersebut hidup
dan mungkin berkembang atau tumbuh di
dalam air kolam kecuali penyaringan air dan
pembubuhan disinfektan dilakukan terus
menerus sesuai dengan pedoman yang
berlaku.
Tujuan penulisan ini adalah untuk
menyiapkan materi teknis bagi Kementerian
Kesehatan dan para pakar dalam menetapkan
persyaratan kualitas air kolam renang yang
baru guna melindungi kesehatan para
perenang.
Metodologi
Tinjauan Kualitas Air Kolam Renang
Permenkes 416 Tahun 1990 ini dilakukan
dengan melakukan studi kepustakaan dan
diskusi berseri dengan berbagai stakeholder
pengelola,
ahli
laboratorium,
pejabat
pengambil keputusan sector terkait. Studi
kepustakaan dilakukan terhadap Peraturan
Menteri Kesehatan yang berkaitan dengan air
kolam renang, persyaratan kualitas air kolam
renang beberapa negara tetangga dan maju

17
serta pedoman atau guideline WHO terkait
Hasil dan Pembahasan
Suhu
Kolam renang yang mempergunakan air
panas atau suhu tinggi perlu melakukan
pengawasan yang lebih ketat, suhu air kolam
o
tidak boleh lebih tinggi dari 40 C. Standar air
kolam
renang
Queensland,
Australia
menyatakan, bila suhu air lebih tinggi dari
suhu tubuh, dianjurkan perenang dewasa yang
sehat tidak berada di kolam melebihi dari
waktu 20 menit. Permenkes 416 tahun 1990
tentang Syarat-syarat dan Pengawasan
Kualitas Air tidak mempersyaratkan suhu
untuk air kolam renang.
Kejernihan dan Kekeruhan:
Kejernihan air perlu dijaga sampai
mencapai
tingkat yangdipersyaratkan. Kejernihan
air
merupakan faktor penting dalam menjamin
keselamatan perenang. WHO menyatakan
kekeruhan air minum kurang dari 5 NTU masih
bisa diterima oleh masyarakat, sedangkan
untuk mendapatkan efektifitas disinfeksi
diperlukan kekeruhan kurang dari 0,5 NTU.
Untuk mengetahui kejernihan air, bisa
ditandai dengan masih dapat terlihat dengan
jelas marka atau tanda garis yang dibuat pada
dasar kolam terdalam dari tepi kolam.
Demikian pula Piringan Secchi yang diletakkan
di dasar kolam terdalam masih terlihat jelas.
Permenkes 416 tahun 1990 tentang Syaratsyarat dan Pengawasan Kualitas Air
menyatakan piringan Secchi yang diletakkan
pada dasar kolam terdalam dapat dilihat
dengan jelas dari tepi kolam pada jarak lurus 9
meter.
pH
pH ideal air kolam renang sangat diperlukan
untuk menjaga efisiensi proses disinfeksi dan
proses koagulasi, mencegah kerusakan
peralatan dan rasa nyaman. pH antara 7,2 dan
7,8 diperlukan untuk menjaga efektifitas
disinfeksi yang mempergunakan klorin.
Sisa Klor bebas dan sisa klor terikat
Klorin adalah disinfektan yang paling umum
dipergunakan, biasanya berbentuk gas, cair,
padat atau serbuk. Air yang mempunyai sisa
klor dianggap tetap mempunyai kemampuan
mendisinfeksi air dan tetap menjaga
kenyamanan air.
Dalam mengklorinasi air kolam renang
harus melewati Break Pont Chlorination (BPC)
untuk memastikan bahwa sisa klor adalah sisa
klor bebas. Sesudah melewati Breakpoint
Point Chlorination semua bentuk klorin yang

dengan kolam renang.
terikat telah dioksidasi oleh klorin, sehingga
keseluruhan sisa klor adalah sisa klor bebas.
Sisa klor bebas dapat dengan mudah
mengoksidasi bahan organik nitrogen yang
banyak diperoleh dari kencing dan sekresi
perenang. Sisa klor bebas dapat berikatan
dengan ammonia membentuk kloramin, yang
dapat menyebabkan mata terasa pedas
menyengat. Kloramin yang terbentuk masih
mempunyai daya disinfeksi tetapi sangat
lemah dan disebut sebagai sisa klor terikat.
Keberadaan kloramin dalam air kolam renang
harus dijaga seminimal mungkin, bila kloramin
berlebih harus dikurangi
dengan cara
mengklorinasi air kolam renang dengan dosis
tinggi.
Sisa klor bebas ini diperlukan untuk
membunuh kuman yang baru menginfeksi air
atau bahan organik yang dibuang oleh
perenang. Berbagai referensi menyebutkan
angka sisa klor bebas yang harus tetap ada
dalam air kolam renang sebesar 1,0 mg/L atau
bahkan 2,0 mg/L di seluruh bagian kolam
untuk menjaga air kolam tidak menimbulkan
risiko bagi kesehatan. WHO menyatakan sisa
klor bebas air kolam renang adalah 1,0 mg/L
dan untuk kolam air panas sebesar 2 – 3
mg/L.
Sementara itu sisa klor terikat harus
serendah mungkin, ada referensi sisa klor
terikat tidak boleh lebih dari setengah
konsentrasi sisa klor bebas, ada yang
mensyaratkan sebaiknya kandungan sisa klor
terikat kurang dari 0,5 mg/L dan bahkan WHO
mensyaratkan sebaiknya kurang dari 0,2 mg/L.
Air panas untuk hot tubs ataupun air untuk
terapi air (hydrotheraphy) memerlukan sisa
klor bebas yang lebih tinggi karena
mempergunakan suhu air lebih tinggi dan
biasanya rasio jumlah pemakai dan volume air
hot tubs juga lebih tinggi.
Sisa klor untuk kolam renang umum tidak
lebih dari 5 mg/L. Bilamana ozon atau sinar
UV juga dipergunakan sebagai disinfeksi
mendampingi klorin, maka sisa klor sebesar
0,5 mg/L cukup memadai. Jika pengelola
kolam
renang
mempergunakan
asam
isosianurat untuik menstabilkan klorin, maka
asam sianurat tidak boleh lebih dari 100 mg/L.
Sisa asam sianurat yang ada dalam air dijaga
antara 50 – 100 mg/L dan tidak boleh lebih
dari 100 mg/L.
HPC (Heterotrophic Plate Count)
Pemeriksaan
HPC
dilakukan
untuk
mengetahui angka kerapatan bakteri secara
umum dalam air kolam renang. Konsentrasi
HPC diharapkan selalu di bawah suatu angka
tertentu, ada yang menyatakan di bawah 200

18
cfu/mL atau ada yang menyebutkan di bawah
100 cfu/mL (colony form units).

Pertumbuhan kembali
bakteri setelah
pengolahan air di dalam kolam bisa saja
terjadi, hal ini dapat diindikasi dari tingginya
hasil pemeriksaan HPC air sampel.
E. coli
E.coli
adalah
anggota
keluarga
O
Enterobacteriaceae, tumbuh pada 44 – 45 C
pada media yang komplek, menghasilkan
asam dan gas. E.coli dianggap merupakan
indikator paling cocok untuk mengetahui
adanya pencemaran tinja. Secara umum
populasi
bakteri
coliform
termotoleran
didominasi oleh E.coli, dengan demikian E.coli
tepat dipergunakan sebagai indikator dalam
penetapan persyaratan
dan monitoring
kualitas air. E.coli juga dipergunakan sebagai
indikator keberhasilan proses disinfeksi air
tetapi hasilnya diketahui jauh lebih terlambat
dibandingkan
dengan
memeriksa
sisa
disinfektan. Namun demikian, pengetesan
E.coli ini lebih sensitif untuk mengetahui
adanya virus dan protozoa. Kerapatan E.coli
dalam air kolam renang dari semua referensi
harus kurang dari 1/100 mL air.
Pseudomonas aeruginosa
Pseudomonas
aeruginosa
adalah
mikroorganisme
anaerobik
yang banyak
dijumpai dalam air, tanam-tanaman dan tanah.
Manusia yang terinfeksi menjadi sumber
utama P.
aeruginosa di
kolam
renang
dan kolam air panas. Lingkungan sekitar yang
hangat, saluran air, lantai kolam, bisa menjadi
tempat pertumbuhan. P. aeruginosa tumbuh
dengan baik dalam suhu sampai dengan 41
O
C, terutama pada saringan pengolahan air
yang tidak dirawat dengan baik.
Pemeriksaan
P.aeruginosa
secara
teratur direkomendasikan untuk kolam air
panas. Di samping itu, disarankan segera
dilakukan pemeriksaan ketika diketahui terjadi
kegagalan atau masalah dalam sistem
penyaringan air. WHO merekomendasikan air
yang didisinfeksi secara terus menerus jumlah
P. aeruginosa tidak boleh lebih dari 1 per 100
mL, sedangkan air kolam sumber air alam
yang tidak didisinfeksi tidak boleh lebih dari 10
per 100 mL air.
Legionella spp.
Legionella spp. merupakan
bakteri
heterotrofik yang dapat ditemukan di berbagai
lingkungan
air
dan dapat
berkembang
O
biak pada suhu di atas 25 C. Bakteri ini
mungkin ada dalam jumlah banyak di air

panas yang peralatannya kurang terpelihara.
Legionella spp. juga dapat berkembang
pada bahan saringan air, termasuk karbon
aktif.
Pemeriksaan Legionella secara berkala
sangat berguna, terutama kolam air panas,
kerapatan harus kurang dari 1/100 mL.
Bilamana tidak dipenuhi maka kolam harus
ditutup, dikeringkan dan dibersihkan. Apabila
diduga saringan pengolahan air menjadi
sumber Legionella, maka perlu dilakukan
klorinasi
dengan
dosis
tinggi.
WHO
menyarankan air kolam renang yang airnya
didisinfeksi, ketika diperiksa jumlah kuman
Legionella spp. harus kurang dari satu setiap
100 mL sampel, sedangkan untuk air hot tubs
dan natural water juga harus kurang dari 1 per
100 mL.
Kesimpulan dan Saran
O
1. Suhu ( C). Persyaratan kesehatan suhu
air kolam renang perlu diatur, karena bila
o
suhu air melebihi 40 C dikhawatirkan
dapat mengganggu konsentrasi perenang
karena berada di kolam dalam waktu yang
lama dapat meyebabkan gangguan dan
keselamatan.
Beberapa
referensi
menyatakan air yang panas tidak baik
untuk wanita hamil, anak-anak, orang tua,
orang
dengan
kelemahan
jantung.
Temperatur tinggi akan menyebabkan
daya bunuh disinfektan menurun, menjadi
tempat yang ideal untuk pertumbuhan
bakteri seperti Legionella, juga bisa
menyebabkan heat stress.
2. pH air sangat perlu dijaga dalam batas
tertentu
untuk
menjaga
efektifitas
disinfeksi, pengolahan air kolam, dan
kesetimbangan parameter kimia yang lain
seperti kesadahan, korosifitas air dll. pH
air di atas tujuh akan mengurangi daya
atau kekuatan sisa klor bebas demikian
juga pada pH rendah akan menurunkan
kekuatan klorin. Disarankan pH air ideal
adalah antara 7,2 – 7,6; namun bila sulit
dicapai disarankan tidak lebih dari 7,8.
3. Sisa klor bebas berupa Cl2, HOCl atau
OCl merupakan sisa klor yang diharapkan
tetap selalu ada dalam air kolam renang.
Sisa klor rendah kurang dari 1 mg/L
menyebabkan
air
kondusif
untuk
terbentuknya kloramin. Seperti diketahui
saat awal air dibubuhi, klorin akan
bereaksi dengan bahan organik, bakteri
dan amonia. Reaksi klorin dengan amonia
menghasilkan kloramin. Kloramin masih
mempunyai
daya
disinfeksi
walau
kekuatannya tidak sekuat klor bebas,
namun bila konsentrasinya kloramin tinggi
bisa menyebabkan air kolam berbau dan

19
menyebabkan iritasi dan gatal pada kulit.
Dilaporkan penambahan klorin yang
menghasilkan sisa klor bebas akan
mempunyai kekuatan disinfeksi 50 kali
lebih efektif daripada sisa klor terikat.
Penambahan klorin lebih lanjut akan juga
menghancurkan kloramin yang ada.
Kloramin
berlebihan
yang
sulit
dihancurkan bisa dikurangi dengan
melakukan disinfeksi klorin dosis tinggi.
Kondisi ini menjamin bahwa air bebas dari
bakteri peyebab penyakit. Berkaitan
dengan disinfeksi air kolam dengan klorin
disarankan:
a. Air kolam renang yang di disinfeksi
dengan klorin mempunyai sisa klor
bebas ideal 1,0 – 1,5 mg/L, minimal 1,0
mg/L dan maksimal 5,0 mg/L,
b. Air kolam renang yang di disinfeksi
dengan klorin yang dikombinasi dengan
Ozon atau sinar UV disarankan
mempunyai sisa klor bebas ideal 1,0 –
1,5 mg/L, minimal 0,5 mg/L dan
maksimal 5,0 mg/L,
c. Air kolam renang air panas yang
didisinfeksi dengan klorin disarankan
mempunyai sisa klor bebas ideal 2,0 –
3,0 mg/L, minimal 1,0 mg/L dan
maksimal 5,0 mg/L,
d. Air kolam renang yang didisinfeksi
dengan klorin yang dikombinasi dengan
asam sianurat disarankan mempunyai
sisa klor bebas ideal 2,0 – 3,0 mg/L,
minimal 2,0 mg/L dan maksimal 5,0
mg/L,
e. Air kolam bermain yang didisinfeksi
dengan klorin disarankan mempunyai
sisa klor bebas ideal 2,0 – 3,0 mg/L,
minimal 1,5 mg/L dan maksimal 5,0
mg/L,
f. Sisa klor terikat yang ideal untuk
semua air kolam disarankan < 0,5 mg/L
dan maksimal < 1 mg/L.
4. Eschericia coli merupakan mikroba yang
jumlahnya sangat banyak di dalam perut
manusia, binatang dan burung. Air yang
tercemar tinja dikhawatirkan mengandung
mikro-organisme
yang
dapat
menyebabkan
penyakit
bagi
para
perenang.
Dengan
demikian
dipersyaratkan setiap 100 mL air kolam
renang mengandung E.coli kurang dari
satu.
5. Heterotrophic Plate Count atau HPC atau
jumlah kuman secara umum. Pemeriksaan
HPC < 100 per mL yang dilakukan pada
o
suhu 35 – 37 C dalam jangka waktu 48
jam menunjukkan air kondisi baik.
Disarankan kerapatan kuman air kolam
renang adalah < 200 per 100 mL dan

untuk kolam renang air panas adalah <
100 per mL.
6. Monitoring teratur terhadap Pseudomonas
aeroginosa disarankan untuk air kolam
renang air panas dan air sumber alam.
Pemeriksaan juga dilakukan terhadap air
kolam renang yang mengalami masalah
proses penyaringan atau disinfeksi.
Disarankan untuk air yang didisinfeksi
tidak dijumpai P. aeroginosa dalam 100
mL air dan untuk air kolam yang tidak
disinfeksi tidak boleh ada dalam 10 mL air.
7. Pemeriksaan secata teratur Legionella sp.
bermanfaat untuk air kolam panas.
Legionella bisa dijumpai dalam jumlah
yang banyak dalam air sumber alam yang
panas dan tumbuh dalam air kolam panas
yang
tidak
dirawat
dengan
baik.
Disarankan kerapatan Legionella sp untuk
semua jenis air tidak boleh ada dalam 100
mL air.
Kepustakaan
Christiane Höller, Pool water quality–The German
philosophy, Bayerisches Landesamt für,
Gesundheit
und
Lebensmittelsicherheit,
Bavarian Health and Food Safety Authority,
German,
Department of Human Services Victoria, The Pool
Operator’s Handbook 2000,
Australian
Pesticide and Veterinary medicine Autority,
APVMA GUIDE FOR DEMONSTRATING
EFFICACY OF POOL AND SPA SANITISERS,.
APVMA Australia, 2007
Direktorat

Penyehatan Lingkungan, Naskah Teknis
Pedoman Pengawasan Kualitas Air Kolam
Renang, Kementerian Kesehatan, 2011

ENVIRONMENTAL
HEALTH
DEPARTMENT,
ENVIRONMENTAL
PUBLIC
HEALTH
DIVISION, Code Practice on Environmental
Health, NATIONAL ENVIRONMENT AGENCY,
SINGAPORE, 2005
Great Lakes-Upper Mississippi River Board of State and
Province Public Health and Environmental
Managers, Recommended Standard for
Swimming Pools Design and Operation,
USA, 1996

Kementerian Kesehatan RI, Permenkes
416 tahun 1990 tentang Syaratsyarat dan Pengawasan Kualitas
Air, 1990.
New South Wales HEALTH, PUBLIC SWIMMING POOL
AND SPA POOL GUIDELINES, Department of
Health New South Wales, 1996
Oregon Public Health Division, Pool Operator Training
Manual, Oregon Health Authority, 2011
Saskatchewan HEALTH, Swimming pools
Design/Operational
Standards,
The
Swimming Pool Regulations, Saskatchewan,
1999

20
Queensland Government, Queensland Health, Swimming
and Spa Pool Water Quality and Operational
Guidelines, Queensland Health, 2004
WHO,

Guidelines for safe recreational water
environments VOL 2 SWIMMING POOLS
AND SIMILAR ENVIRONMENTS, WHO, 2006

21
Pengembangan Database Registri Cedera
di Rumah Sakit
Dra. Woro Riyadina, M.Kes, Anna Maria Sirait, SKM, M.Kes dan Dra. Marice Sihombing, MSi
Peneliti Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat, Balitbangkes Kemenkes RI

Abstrak
Beban cedera makin meningkat sehingga
dibutuhkan penyediaan dan penyajian data yang
cepat dan terbaru. Sistem dokumentasi data cedera
dari berbagai sumber masih bersifat manual
sehingga pemanfaatan data kurang optimal.
Diperlukan model sistem registri data dasar trauma
yang sederhana, aplikatif, informatif dan mudah
diakses oleh pengguna sebagai penunjang sistem
surveilans cedera. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan model database registri cedera yang
aplikatif dan informatif.
Penelitian ini dilaksanakan dengan rancangan
potong lintang dengan ujicoba formulir dan software
registri cedera di 3 rumah sakit yaitu RSUD Koja
Jakarta Utara, RS Sumber Waras Jakarta Barat dan
RS Dr. Kariadi Semarang, Januari – Agustus 2010
sebanyak 962 kasus. Selanjutnya data dianalisa
dengan uji Kai Kuadrat.
Hasil penelitian berupa model database
(formulir dan software) registri cedera yang berisi 9
variabel inti (core) dan 31 variabel tambahan
(additional). Program (software) cedera2010.exe
menggunakan aplikasi Microsoft Acces dan data
berbentuk .mdb sehingga mudah ditransfer ke
program lain untuk dianalisis lanjut. Tampilan hasil
software berupa grafik batang (jumlah kasus) dan
grafik lingkaran (persentase kasus). Proporsi cedera
pada pasien rawat inap di rumah sakit mayoritas
akibat kecelakaan transportasi darat (59,6%),
mengalami cedera di bagian kepala (47,5%) dengan
jenis luka patah tulang (27,3%) dan mengalami
kematian sekitar 3,2%. Proporsi cedera berbeda
bermakna (p<0.05) menurut jenis rumah sakit.
Model database registri cedera dirancang dan
dibuat sangat praktis aplikatif, informatif dan cepat.
Penelitian lanjut diperlukan untuk ujicoba dan
standarisasi penerapan formulir dan program
(software) registri cedera di rumah sakit.

Pendahuluan
Cedera telah menjadi masalah utama
kesehatan masyarakat. Lebih dari dua per tiga
masalah cedera dialami oleh negara-negara
1,2
berkembang. Kematian
akibat
cedera
diproyeksikan meningkat dari 5,1 juta menjadi
8,4 juta (9,2% dari kematian global) dan
diestimasikan menempati peringkat ketiga dari
DALYs (Disability adjusted life years) pada
3,4
tahun 2020. Cedera menduduki peringkat ke
delapan dari 15 penyebab kematian pada
kelompok umur 15-29 tahun terutama untuk
cedera akibat kecelakaan lalu lintas, bunuh diri,

dibunuh,
tenggelam,
terbakar,
perang,
5
keracunan dan jatuh.
Masalah cedera
memberikan kontribusi pada kematian 15%,
beban penyakit 25% dan kerugian ekonomi 5%
6
GDP (Growth Development Product). Hasil
Riset kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun
2007 menunjukkan bahwa prevalensi cedera
sekitar 8% sedangkan menurut laporan rutin
dari rumah sakit menggambarkan bahwa
jumlah korban cedera mengalami kenaikan
yang cukup signifikan dari tahun ke tahun yaitu
56.818 kasus pada tahun 2004 menjadi 72.281
8
kasus di tahun 2005.
Permasalahan ketersediaan data cedera
di Indonesia membutuhkan perhatian yang
serius. Data dari berbagai sumber tersebut
perlu digabung menjadi satu set data sehingga
informasi lebih lengkap. Untuk itu diperlukan
suatu sistem atau jejaring informasi data
cedera yang mudah diakses. Sistem surveilans
cedera merupakan salah satu solusi sebagai
jejaring data cedera lintas sektor. Jejaring
informasi data cedera antar rumah sakit perlu
dibentuk sebagai embrio dari sistem surveilans
cedera lintas sektor.
Database registri cedera merupakan
upaya menyatukan (agregrasi) data dari
berbagai sumber data baik yang ada di rumah
sakit ataupun dari lintas sektor. Data dari
registri data dasar trauma seharusnya dapat
digabung
dalam
registri
regional
dan
disambungkan dengan data dari seluruh
tahapan perawatan (pre rumah sakit, di rumah
sakit dan rehabilitasi) yang mudah diakses
9
dalam 1 set data.
Selain itu, registri data dan pelaporan
cedera di rumah sakit yang ada sekarang ini
masih bersifat laporan rutin yang bersifat
manual sehingga belum optimal. Untuk itu
diperlukan suatu sistem elektronik registri data
dasar trauma (computerized) yang aplikatif
sehingga memudahkan input data dan
pembuatan laporannya serta informatif. Data
dasar tersebut diupayakan dapat disambung
(link) dengan jejaring antar rumah sakit dan
atau pihak terkait untuk dimanfaatkan.
Untuk menjawab tantangan tersebut maka
diperlukan suatu pengembangan model
database dengan cara merancang model

22
database registri cedera yang aplikatif dan
informatif. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan model database registri
cedera yang aplikatif dan informatif berupa
formulir dan program/software. Rancangan
registri data dasar trauma ini diharapkan dapat
digunakan oleh petugas rumah sakit untuk
memudahkan menyimpan data dan membuat
laporan rutin serta dimanfaatkan sebagai
penyedia informasi data yang standar
penunjang sistem surveilans cedera secara
keseluruhan. Manfaat lain diharapkan dapat
sebagai embrio untuk terbentuknya jejaring
surveilans cedera antar rumah sakit dan lintas
sektor dalam perencanaan upaya pencegahan
cedera.
Metodologi
Artikel ini merupakan sebagian hasil dari
penelitian ―Pengembangan Database Registri
Trauma sebagai Penunjang Sistem Surveilans
Cedera‖. Tahapan penelitian ini meliputi
pengembangan formulir dan pembuatan
program (software) registri cedera. Penelitian
dengan desain potong lintang dengan metode
pengisian formulir (abstraksi) dan ujicoba entri
962 kasus cedera pada pasien rawat inap di
bagian rekam medis 3 rumah sakit (RSUD Koja
Jakarta Utara, RS Sumber Waras Jakarta Barat
dan RSUP Dr. Kariadi Semarang, Jawa
Tengah) dari bulan Januari – Agustus 2010.
Data dianalisis secara deskriptif dengan
aplikasi software cedera2010.exe dan analisis
lanjut dengan uji statistik kai kuadrat.
Hasil dan Pembahasan
Penelitian
ini
merupakan
tahapan
kegiatan merancang model database registri
cedera meliputi kegiatan penyusunan formulir
dan membuat software registri cedera.
a.Formulir Registri Cedera
Tahap awal merancang database cedera
adalah dengan penyusunan formulir registri
cedera sebagai bahan materi (substansi) untuk
merancang software database registri cedera.
Formulir registri cedera yang sudah disepakati
dalam pertemuan dengan lintas sektor terdiri 2
halaman tampilan atau 1 lembar bolak-balik.
Jumlah keseluruhan variabel ada 40 variabel
yang terdiri dari 9 variabel inti dan 31 variabel
tambahan.
Penambahan jumlah variabel atau data
suplemen masih sangat dimungkinkan untuk
mengakomodasi perkembangan kebutuhan
data dan informasi.

b.Pengisian
formulir
registri
cedera
(abstraksi)
Langkah awal untuk membuat database cedera
yang lengkap adalah dengan melakukan
proses abstraksi (menyalin data) dari rekam
medis ke dalam formulir registri cedera. Proses
ini memerlukan upaya mencari sumber data
selain di rekam medis, seperti data biaya
perawatan di rumah sakit dari bagian
bendahara. Idealnya semua variabel dalam
formulir registri bisa terisi untuk mendapatkan
data yang lengkap. Kenyataannya bahwa ada
beberapa variabel yang tidak dapat terisi
dikarenakan kesulitan untuk mendapatkan
informasi (tabel 1).
Tabel 1.
Prosentase variabel yang sulit mendapatkan informasi

No.

Nama variable

Jumlah
yang
kosong
(missing)

%

1.

Aktivitas menjelang
cedera

332

34,5

2.

Pemakaian helm

237

24,6

3.

Cara angkut pasien

230

23,9

4.

Pekerjaan

225

23,1

5.

Pendidikan

171

17,8

6.

Jam kejadian cedera

118

12,3

7.

Biaya pengobatan di
rumah sakit

51

5,3

Tabel 1 terlihat bahwa variabel aktivitas
menjelang cedera merupakan variabel yang
paling banyak tidak terisi atau diisi tidak tahu
yaitu sebanyak 34%. Data demografi pasien
untuk pendidikan dan pekerjaan yang
merupakan variabel inti (core) dalam registri
cedera perlu ditegaskan agar data penting
tersebut bisa diisi secara lengkap. Biaya
perawatan cedera diperlukan untuk kebutuhan
analisis biaya terkait dengan beban ekonomi.
Idealnya untuk formulir registri cedera
seharusnya digabung dalam rekam medis.
Secara teknis formulir diisi oleh petugas di
bagian IGD dan tahap akhir dilengkapi oleh
petugas di bagian rekam medis.
Ada empat jenis kesalahan utama yang
teridentifikasi dalam registri trauma meliputi
kegagalan untuk mengidentifikasi pasien yang
terkait, inklusi pasien yang tidak sesuai, record
data rumah sakit tidak cukup atau tidak akurat
dan data di registri trauma tidak cukup atau
tidak akurat. Registri trauma di Queensland
10
menemukan 5% kesalahan data rumah sakit.

23
c. Software Registri Cedera
Software registri cedera terdapat dalam satu
folder CEDERA yang terdiri dari 3 file yaitu
dbase-cedera, file cedera2010.exe dan file
INITDB.UDL. Tampilan program terdiri dari 2
sheet (halaman) yaitu halaman registri dan
halaman laporan (tabel dan grafik). Tampilan
program entri (registri) terdiri dari 5 layar yang
menunjukkan sub bagian dalam formulir yaitu
identitas pasien (variabel 01 – 09), penyebab
luar cedera (variabel 10 – 16), penyebab luar
cedera (variabel 17 – 20), penanganan di UGD
RS (variabel 22 – 31) dan jenis cedera dan
anggota tubuh cedera (32 – 40). Fasilitas
tampilan grafik dalam bentuk Bar (batang) dan
Pie (lingkaran). Program (software) ini
dirancang sangat praktis dan mudah dalam
pengoperasiannya (entri, edit dan analisis)
serta menghasilkan produk laporan dalam
tampilan grafik yang menarik dan informatif.
Aplikasi pembuatan laporan dalam bentuk
grafik tersedia menurut 11 variabel yaitu jenis
kelamin,
kelompok
umur,
pendidikan,
pekerjaan, domisili, sumber biaya, penyebab
luar cedera, tempat kejadian, hari kejadian,
bagian tubuh cedera, sifat/jenis cedera.
Pengembangan awal registri cedera harus
melibatkan teknisi dalam mengoperasikan
sistem seperti hardware, software, sistem
operasionalisasi, dukungan memori dan
keamanan
(security).
Database
cedera
membutuhkan biaya yang mahal dan apabila
tidak dirancang dengan baik maka akan tidak
11
efektif.
d. Tampilan hasil analisis dari program
(software) registri cedera
Salah satu kelebihan program (software)
registri cedera adalah menampilkan laporan
hasil dalam bentuk grafik yang menarik dan
informatif dengan cara yang sangat mudah.
Kemudahan
ditunjukkan
dengan
hanya
mengaplikasikan ―mouse‖ (―klik‖) pada pilihan
laporan yang ingin ditampilkan. Grafik tersebut
dapat secara langsung dilakukan cetak
hasilnya apabila langsung dihubungkan dengan
printer.
Analisis deskriptif dihasilkan dalam bentuk
tampilan grafik batang (jumlah kasus) dan
lingkaran (persentase/proporsi). Contoh grafik
untuk jumlah kasus dan proporsi cedera
menurut jenis kelamin dan kelompok umur
ditampilkan pada gambar 1 dan 2

Gambar 1.
Jumlah Kasus Cedera Menurut Jenis Kelamin Pasien
Rawat Inap di Rumah Sakit Koja Jakarta Utara,
Januari-Agustus 2010

Gambar 2.
Persentase Kasus Cedera Menurut Kelompok Umur pada
Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Koja Jakarta Utara,
Januari-Agustus 2010

e. Proporsi cedera pada pasien rawat inap
di rumah sakit.
Sumber data berasal dari database cedera di 3
rumah sakit yang merupakan hasil entri dengan
program (software) cedera 2010.exe. Data
dianalisis lanjut dengan melakukan transfer
data.mdb ke data.sav, selanjutnya dianalisis
dengan uji Kai Kuadrat di program SPSS.
Urutan proporsi terbanyak penyebab cedera
pada pasien rawat inap menurut rumah sakit
disajikan pada tabel 2.

24
Tabel 2.
Urutan proporsi terbanyak penyebab luar cedera menurut
rumah sakit

Tabel 3.
Proporsi bagian tubuh yang terkena cedera menurut RS
RumahSakit

RumahSakit
Penyebab luar
cedera

Bagian tubuh yang
terkena cedera

RS
RS
Sumber RS Koja
Kariadi
Waras
n (%)
n (%)
n (%)

Total
n (%)

Kepala

379
(52,7)

197
(27,4)

143
(19,9)

749
(100)

Leher

4
(44,5)

2
(22,2)

3
(33,3)

9
(100)

Dada

67
(77,0)

3
(3,5)

17
(19,5)

87
(100)

21 (60,0) 35 (100)

Perut,punggung,
pinggang,panggul

23
(40,4)

19
(33,3)

15
(26,3)

57
(100)

11 (42,3)

7 (26,9) 26 (100)

Bahu, lenganatas

12 (48,0)

7 (28,0) 25 (100)

59
(69,4)

20
(23,5)

6
(7,1)

85
(100)

Siku , lengan
bawah

36
(52,9)

14
(20,6)

18
(26,5)

68
(100)

Pergelangan
tangan,

56
(58,9)

17
(17,9)

22
(23,2)

95
(100)

Sendi pinggul,
Tungkai atas

26
(49,1)

15
(28,3)

12
(22,6)

56
(100)

Lutut, tungkai
bawah

30
(43,5)

20
(29,0)

19
(27,5)

69
(100)

RS
Kariadi
n (%)

RS
Sumber
Waras
n (%)

RS Koja
n (%)

Total
n (%)

Transportasi
darat

240
(41,9)

196
(34,2)

137
(23,9)

573
(100)

Terjatuh

35
(26,0)

77
(57,0)

23
(17,0)

135
(100)

Terkena benda
tajam

7
(6,0)

10
(8,5)

100
(85,5)

117
(100)

5 (14,3)

9 (25,7)

Terkena mesin 8 (30,8)
Kejatuhan
benda

6 (24,0)

Terkena api

0 (0,0)

1 (12,5)

7 (87,5)

8 (100)

KDRT

0 (0,0)

1 (14,3)

6 (85,7)

7 (100)

Kriminalitas

Terkena benda 0 (0,0)
1 (20,0) 4 (80,0) 5 (100)
panas
*Proporsi penyebab luar cedera yang lain di bawah ≤ 0,1%

Proporsi penyebab luar cedera yang
menempati urutan teratas adalah transportasi
darat untuk ketiga rumah sakit. Apabila
dibandingkan ketiga rumah sakit tersebut
tampak bahwa proporsi tertinggi ada di Rumah
Sakit Kariadi Semarang yaitu sekitar 41,9%.
Hasil ini lebih jauh lebih tinggi jika dibandingkan
hasil survei di populasi masyarakat (Riskesdas
12
tahun 2007)
yaitu 27%. Urutan kedua
penyebab cedera terbanyak adalah terjatuh
dan proporsi terbesar terdapat di RS Sumber
Waras yaitu 57%. Hasil tersebut hampir sesuai
dengan hasil Riskedas 2007 yaitu sekitar
59,5%. Sedangkan posisi ke tiga penyebab
cedera adalah terkena benda tajam yang
mayoritas pasiennya dirawat di RS Koja yakni
sebesar 85,5%. Hasil analisis lanjut ini
menambah bukti bahwa penanganan dan
pencegahan cedera akibat transportasi darat
perlu segera dilakukan dan diprioritaskan.
Perbedaan proporsi bagian tubuh yang
terkena cedera menurut rumah sakit tercantum
dalam tabel 3.

Pergelangan kaki

10
17
18
46
(21,7)
(37,0)
(41,3)
(100)
* Daerah cedera bisa lebih dari satu (multiple injuries)
* Proporsi cedera berbeda bermakna: p = 0,000 > 0,05

Proporsi cedera terbanyak adalah bagian
kepala. Sebagian besar proporsi cedera di
hampir semua bagian tubuh didominasi oleh
pasien yang dirawat di RS Kariadi, hanya untuk
cedera di bagian pergelangan kaki tertinggi
pada pasien di RS Koja yaitu 41,3%.
Karakteristik bagian tubuh yang cedera
menurut rumah sakit akan memberikan
masukan dan infomasi bagi rumah sakit untuk
ketersediaan sarana dan prasarana pendukung
untuk peningkatan pelayanan pasien cedera.
Perbedaan proporsi jenis cedera menurut
rumah sakit disajikan dalam tabel 4.
Tabel 4
Proporsi jenis cedera menurut rumah sakit
RumahSakit
Jenis cedera

RS
Kariadi
n (%)

RS
Sumber RS Koja
Waras
n (%)
n (%)

Total
n (%)

Superfisial

28
(31,1)

50
(55,6)

12
(13,3)

90
(100)

Luka terbuka

52
(28,7)

20
(11,1)

109
(60,2)

181
(100)

Patah tulang
(gigi)

276
(66,8)

87
(21,1)

50
(12,1)

413
(100)

Dislokasi/sprain,
strain

15
(68,2)

6
(27,3)

1
(4,5)

22
(100)

Cedera
saraf/sumsum
tulang belakang

2
(33,3)

1
(16,7)

3
(50,0)

6
(100)

25
RumahSakit
Jenis cedera

RS
Kariadi
n (%)

RS
Sumber RS Koja
Waras
n (%)
n (%)

Total
n (%)

Superfisial

28
(31,1)

50
(55,6)

12
(13,3)

90
(100)

Luka terbuka

52
(28,7)

20
(11,1)

109
(60,2)

276
(66,8)

87
(21,1)

50
(12,1)

413
(100)

Dislokasi/sprain,
strain

15
(68,2)

6
(27,3)

1
(4,5)

22
(100)

Cedera
saraf/sumsum
tulang belakang

2
(33,3)

1
(16,7)

3
(50,0)

6
(100)

Cedera
pembuluh darah

1
(14,3)

6
(85,7)

0
(0,0)

Cedera otot dan
tendo

7
(50,0)

3
(21,4)

Cedera mata

12
(85,7)

Cedera
jantung/organ
intra abdomen

Tabel 5.
Proporsi keadaan pasien cedera saat keluar dari rumah
sakitmenurut rumah sakit

181
(100)

Patah tulang
(gigi)

Mortalitas akibat cedera pada pasien rawat
inap di rumah sakit diperlihatkan dengan
proporsi keadaan pasien saat keluar dari
rumah sakit (tabel 5).

RumahSakit
Keadaanpasie
RS
nsaatkeluar
RS
Sumber RS Koja
RS
Kariadi
Waras
n (%)
n (%)
n (%)

Total
n (%)

Hidup

294
(91,8)

321
(99,4)

316
(99,1)

931
(96,8)

7
(100)

Meninggal

26
(83,9)

2
(6,5)

3
(0,9)

31
(3,2)

4
(28,6)

14
(100)

Total

320
(32,3)

323
(33,5)

319
(33,2)

962
(100)

1
(7,2)

1
(7,1)

14
(100)

5
(62,5)

2
(25,0)

1
(12,5)

8
(100)

Cedera organ
thorax
lainnya/pelvis

29
(70,7)

5
(12,2)

7
(17,1)

41
(100)

Komosiocerebri

82
(33,9)

94
(38,8)

66
(27,3)

242
(100)

Kontusio,
laserasi dan
perdarahan
dalam otak

95
(85,6)

7
(6,3)

9
(8,1)

111
(100)

Perdarahan
epidural

26
(74,3)

6
(17,1)

3
(8,6)

35
(100)

Perdarahan
subdural

36
(87,8)

4
(9,8)

1
(2,4)

41
(100)

Remuk

2
(100,0)

0
(0,0)

0
(0,0)

2
(100)

Amputasi

7 (63,6) 2 (18,2) 2 (18,2) 11 (100)

Lainnya

15
30
5
50
(30,0)
(60,0)
(10,0)
(100)
*Daerah cedera bisa lebih dari satu (multiple injuries)
* Proporsi cedera berbeda bermakna: p = 0,000 > 0,05

Proporsi terbesar untuk cedera superfisial
terbanyak dialami oleh pasien di rumah sakit
Sumber Waras (55,6%), luka terbuka di RS
Koja (60,2%), patah tulang di RS Kariadi
(66,8%), komosio cerebri di RS Sumber Waras
(38,8%), kontusio, laserasi dan pendarahan
dalam otak di RS Kariadi (85,6%), perdarahan
epidural dan subdural di RS Kariadi masingmasing 74,3% dan 87,8%. Proporsi jenis
cedera ini dapat menggambarkan tingkat
keparahan pasien cedera. Pola cedera pada
pasien rawat inap di rumah sakit sangat
berbeda dengan hasil Riskesdas 2007
dikarenakan untuk pola cedera di masyarakat
menunjukkan cedera yang lebih ringan tingkat
keparahannya dibandingkan dengan pasien
cedera yang harus dirawat inap.

Mortalitas pasien cedera yang dirawat inap di
rumah sakit sekitar 3,2%. Hasil tersebut
tampak lebih tinggi apabila dibandingkan
dengan hasil Riskesdas 2007 sekitar 6,5 per
mil dan merupakan penyebab kematian urutan
ke 4 setelah strok, TB dan hipertensi. Hasil ini
bisa dijadikan data untuk evaluasi pelayanan
dan tingkat keparahan cedera. Proporsi
kematian pasien cedera di RS Kariadi paling
tinggi (83,9%) dibandingkan dengan RS lain.
Hal tersebut sesuai dengan tingkat keparahan
cedera pada pasien yang dirawat di RS Kariadi.
Kesimpulan dan Saran
Hasil penelitian mendapatkan model
database (formulir dan program/software)
registri cedera yang berisi elemen 9 variabel
inti (core) dan 31 variabel tambahan
(additional).
Program
(software)
cedera2010.exe
menggunakan
aplikasi
Microsoft Acces dan data berbentuk .mdb
sehingga mudah ditransfer ke program lain
untuk dianalisis lanjut. Laporan hasil analisis
dalam bentuk grafik batang (jumlah kasus) dan
grafik lingkaran (persentase). Pola cedera
pasien rawat inap menunjukkan bahwa
proporsi cedera mayoritas akibat kecelakaan
transportasi darat (59,6%), mengalami cedera
di bagian kepala (47,5%) dengan jenis luka
patah tulang (27,3%) dan mengalami kematian
sekitar 3,2%. Proporsi cedera berbeda
bermakna (p<0,05) menurut jenis rumah sakit.
Model database registri cedera dirancang dan
dibuat sangat praktis aplikatif, informatif dan
cepat. Penelitian selanjutnya diperlukan untuk
melakukan ujicoba dan standarisasi penerapan
formulir dan program (software) registri cedera
di rumah sakit.

26
Daftar Pustaka
1. Smith GS, Barss P: Unintentional injuries in developing
countries:
Epidemiology of neglected problem.
Epidemiol Rev 1991, 13:228-66.
2. Forjuoh SN, Gyebi-Ofosu E: Injury Surveiillance: should
it be a concern to developing countries?. J Public
Health Pol 1993, 14:355-9.
3.

8.

9.
information

4.

5.

6.

7.

systems-Projections

of

mortality

and

http://www.who.int.
Murray CJ, Lopez AD: Alternative projections of
mortality and disability by cause 1990-2020: Global
Burden of Diseases Study. Lancet 1997, 349:1498-504.
Injuries, Violence and Disabilities BIENNIAL REPORT
2004–2005, World Health Organization 2006, WHO
Press. Geneva.
Etienne G., Krug, MD,MPH.,Gyanendra K., Sharma,
MD, MSc and Rafael, Lozano, MD, MSC, The global
burden of injuries, Am J Public Health. 2000;90:523526.
Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Indonesia tahun 2007. Badan Penelitian dan

10.

11.

12.

Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan
RI. Desember 2008, hal: 160 – 169.
Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Dirjen
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Depkes RI. Kebijakan Pelaksanaan Program
Gangguan Akibat Kecelakaan dan Tindak Kekerasan.
Makalah. Subdit Gangguan Akibat Cedera. Direktorat
Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Depkes RI.
Jakarta. 2007.
Clark,DE And Hahn,DR. Hospital Trauma Registries
Linked with Population-Based Data. J Trauma. 1999
Sep;47(3):448-54
McKenzie K, Walker S, Besenyei A, Aitken LM, Allison
B. Assessing the concordance of trauma registry data
and hospital records.HIM J. 2005;34(1):3-7.
Acosta JA, Hatzigeorgiou C, Smith LS. Developing a
trauma registry in a forward deployed military hospital:
Preliminary report. J Trauma. 2006;61:256–260.
Riyadina,W. Pola dan Determinan Cedera di Indonesia.
Analisis lanjut data Riskesdas 2007. Laporan Hasil.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan
Penyakit. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.Jakarta. 2008

27
Ujicoba Efektivitas Desinfektan Kaporit Dan Lisol Terhadap Jarum Suntik Yang
Dihancurkan/Tanpa Dihancurkan
Hadi Suhatman, S.Si
Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BBTKLPPM) Jakarta

Abstrak
Menurut laporan WHO tahun 1999, melaporkan
bahwa di Prancis pernah terjadi 8 kasus pekerja
kesehatan terinfeksi HIV melalui luka, 2 kasus
diantaranya menimpa petugas yang menangani
limbah medis. Pemakaian alat suntik setiap bulan
untuk pengobatan mencapai 10 juta pelayanan.
Padahal selain untuk pengobatan, alat suntik juga
digunakan dalam program imunisasi bagi bayi dan
anak-anak yang setiap tahunnya mencapai 4.9 juta
anak dan setiap anak memerlukan 8 suntikan.
Dengan demikian jumlah limbah medis tajam di
indonesia menjadi sangat tinggi.
Kemampuan kaporit sebagai desinfektan sangat
baik dibandingkan dengan lisol dengan diperoleh
-0,126
hubungan sebagai berikut Ntk = Ntl 0,0096 [C]
,
dengan variasi konsentrasi yang sama untuk
desinfektan yang digunakan jumlah kuman setelah
dikontakan untuk kaporit lebih kecil dibandingkan
dengan lisol.
Terhadap variasi waktu perendaman terhadap
penurunan jumlah kuman, untuk lisol memiliki hasil
uji F berbeda bermakna, artinya sifat desinfeksi
tergantung dari konsentrasi sedangkan terhadap
variasi konsentrasi terhadap jumlah penurunan
kuman tidak berbeda bermakna, artinya variasi
konsentrasi menghasilkan grafik jumlah penurunan
kuman yang sama.

Pendahuluan
Limbah tajam adalah obyek atau alat
yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung atau
bagian menonjol yang dapat memotong atau
menusuk kulit seperti jarum hipodermik,
perlengkapan
intravena,
pipet
pasteur,
pecahan gelas, dan pisau bedah. Semua
benda tajam ini memiliki potensi bahaya dan
dapat menyebabkan cidera melalui sobekan
atau tusukan. Benda-benda tajam yang
terbuang tersebut mungkin terkontaminasi
oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi,
bahan beracun yang mempunyai risiko untuk
menularkan penyakit atau bahaya lainnya.
Menurut laporan WHO tahun 1999,
melaporkan bahwa di Prancis pernah terjadi 8
kasus pekerja kesehatan terinfeksi HIV melalui
luka, 2 kasus diantaranya menimpa petugas
yang menangani limbah medis. Pemakaian
alat suntik setiap bulan untuk pengobatan
mencapai 10 juta pelayanan. Padahal selain
untuk pengobatan, alat suntik juga digunakan
dalam program imunisasi

bagi bayi dan anak-anak yang setiap
tahunnya mencapai 4.9 juta anak dan setiap
anak memerlukan 8 suntikan. Dengan
demikian jumlah limbah medis tajam di
Indonesia menjadi sangat tinggi.
Hasil survey dilakukan di dua puskesmas di
Kabupaten Tangerang oleh BBTKL-PPM
Jakarta tahun 2007, menunjukkan bahwa
penggunaan jarum suntik rata-rata perbulan
untuk Puskesmas Balaraja sebanyak 9.348
buah dan Puskesmas Kresek sebanyak 1.912
buah. Sebagian besar limbah tersebut beasal
dari kegiatan imunisasi. Jumlah puskesmas
yang ada di Kabupaten Tangerang ± 46
puskesmas.
Total
kapasitas
limbah
diperkirakan 87.952 – 430.008 buah/bulan,
kapasitas limbah tersebut belum termasuk
kegiatan rumah sakit, laboratorium klinik dan
balai pengobatan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas,
BBTKL-PPM Jakarta merasa terpanggil sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya untuk
mencari alternatif penanganan limbah tajam
dari jarum suntik yang aman dan akseptik.
Penanganan
limbah
tersebut
dengan
menggunakan sistem pengikisan secara
mekanikal.
Tujuan
Tujuan Umum
Memberikan
kontribusi
dalam
meningkatkan kesehatan manusia untuk
mencegah kontaminasi limbah tajam dengan
menciptakan alat pengolah limbahnya.
Tujuan Khusus
Mencari limit kadar dan jenis desinfektan
komersil dan efektif.
Metodologi
Metodologi yang digunakan dalam
penangan limbah tajam infeksius (jarum
suntik) terdiri atas dua tahap :
a) Uji dosis desinfektan
Tahap ini dilakukan ujicoba dosis
efektivitas
desinfektan
untuk
membunuh bakteri, virus dan lain-lain.
Desinfektan yang digunakan adalah
kaporit dan lisol dengan variasi
konsentrasi.

28
b) Uji dosis terhadap variasi waktu
Ujicoba dilakukan dengan variasi
waktu perendaman terhadap jumlah
kuman dengan variasi konsentrasi
desinfektan
Alat dan Bahan
Alat :
Gurinda dengan pengaman
Alat Pelindung Personal
BSL Tipe 1
Petri Dish
Bunsen
Korek Api
Pinset
Pipet 1 mL / 10 mL
Bahan :
Alkohol 70%
Spiritus
Plate Count Agar (APHA)
Limbah jarum infeksius dan spuit
Lisol
Kaporit
Prosedur
1. Siapkan cairan desinfeksi yang umum
digunakan (seperti lisol dan kaporit)
pada berbagai kadar untuk merendam
serpihan jarum hasil gurinda
2. Lakukan gurinda untuk limbah tajam
infeksius, seperti limbah jarum.
3. Rendam jarum hasil gurinda/tanpa
dihancurkan cairan desinfektan yang
telah dipersiapkan tersebut dengan
pembedaan
durasi
waktu
pendesinfeksian.
4. Secara aseptis ambil 1 mL cairan
desinfektan yang telah dimasuki jarum
hasil gurinda, letakkan dalam petri
steril (spesimen cairan).
5. Secara aseptis ambil pula sejumlah
serpihan
jarum
dengan
pinset,
letakkan dalam petri steril (spesimen
jarum).
6. Tuangkan PCA hangat (jangan terlalu
panas) ke dalam petri yang telah berisi
baik
spesimen
cairan
maupun
spesimen jarum.
7. Inkubasikan dalam inkubator suhu
37C selama 48 jam.
8. Amati dan hitung koloni kuman yang
tumbuh.
9. Catat
dalam
buku
catatan
pemeriksaan
hasil
untuk
menginterpretasikan hasil penelitian
uji limbah tersebut.

Hasil dan Pembahasan
Tabel 1
Jumlah kuman pada cairan desinfektan dan jarum
suntik (tanpa dihancurkan) terhadap variasi
konsentrasi desinfektan selama perendaman 24 jam

Konsentrasi
Lisol
Blanko
L – 0,1%
L – 0,5%
L – 1,0%
L – 5,0%
L – 10%
L – 30%

Konsentrasi
Kaporit

Angka Kuman
(CFU/mL)
Jarum
0
3
0
19
68
0
10

Angka Kuman
(CFU/mL)
Cairan
411
214
154
30
109
0
0

Angka Kuman
(CFU/mL)
Jarum

Blanko
K – 0,1%
K – 0,5%
K – 1,0%
K – 5,0%
K – 10%
K – 30%

17
1
1
1
1
1
0

Angka
Kuman
(CFU/mL)
Cairan
392
3
1
1
0
0
0

Tabel 2
Jumlah kuman pada cairan desinfektan dan hancuran jarum
terhadap variasi waktu perendaman

Konsentrasi
Desinfektan

Lisol 2, 5 %

Lisol 5 %

Lisol 7,5 %

Kaporit 0,1 %

Kaporit 0,5 %

Kaporit 1 %

Blanko Positip

Waktu Ke(Menit)
5
20
35
50
65
5
20
35
50
65
5
20
35
50
65
5
20
35
50
65
5
20
35
50
65
5
20
35
50
65

Angka
Kuman
(CFU/mL)
Cairan
27
21
18
14
15
4
2
3
7
2
1
1
1
2
2

Angka
Kuman
(CFU/mL)
Jarum
3
1
7
6
3
0
1
1
3
2
2
2
2
2
1

0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
1
0
0
143

0
0
0
2
0
1
0
0
0
1
1
0
0
0
0
Positip

29
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2011
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2011
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2011
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2011
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2011
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2011
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2011
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2011
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2011

Mais conteúdo relacionado

Mais procurados

Presentasi sidang proposal skripsi, Lutfi Bahtiyar, 2014
Presentasi sidang proposal skripsi, Lutfi Bahtiyar, 2014Presentasi sidang proposal skripsi, Lutfi Bahtiyar, 2014
Presentasi sidang proposal skripsi, Lutfi Bahtiyar, 2014
Ns. Lutfi
 
Epidemiologi Deskriptif Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Keraton M...
Epidemiologi Deskriptif Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Keraton M...Epidemiologi Deskriptif Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Keraton M...
Epidemiologi Deskriptif Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Keraton M...
sofian.alfarisi
 

Mais procurados (20)

Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016
Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016
Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016
 
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi AntiretroviralTatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral
 
PETUNJUK TEKNIS PENGOBATAN PENCEGAHAN DENGAN ISONIAZID UNTUK ODHA DI INDONESIA
PETUNJUK TEKNIS PENGOBATAN PENCEGAHAN DENGAN ISONIAZID UNTUK ODHA DI INDONESIAPETUNJUK TEKNIS PENGOBATAN PENCEGAHAN DENGAN ISONIAZID UNTUK ODHA DI INDONESIA
PETUNJUK TEKNIS PENGOBATAN PENCEGAHAN DENGAN ISONIAZID UNTUK ODHA DI INDONESIA
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis - 2013
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis - 2013Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis - 2013
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis - 2013
 
Presentasi sidang proposal skripsi, Lutfi Bahtiyar, 2014
Presentasi sidang proposal skripsi, Lutfi Bahtiyar, 2014Presentasi sidang proposal skripsi, Lutfi Bahtiyar, 2014
Presentasi sidang proposal skripsi, Lutfi Bahtiyar, 2014
 
Surveilans TBC
Surveilans TBC Surveilans TBC
Surveilans TBC
 
Pedoman Nasiaonal Penyakit TB 2014
Pedoman Nasiaonal Penyakit TB 2014Pedoman Nasiaonal Penyakit TB 2014
Pedoman Nasiaonal Penyakit TB 2014
 
Pharmaceutical Care HIV/AIDS
Pharmaceutical Care HIV/AIDSPharmaceutical Care HIV/AIDS
Pharmaceutical Care HIV/AIDS
 
Epidemiologi Deskriptif Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Keraton M...
Epidemiologi Deskriptif Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Keraton M...Epidemiologi Deskriptif Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Keraton M...
Epidemiologi Deskriptif Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Keraton M...
 
Newletter DItjen P2P Edisi II Tahun 2020
Newletter DItjen P2P Edisi II Tahun 2020Newletter DItjen P2P Edisi II Tahun 2020
Newletter DItjen P2P Edisi II Tahun 2020
 
Jurnal Fitria Ramadani
Jurnal Fitria RamadaniJurnal Fitria Ramadani
Jurnal Fitria Ramadani
 
Jurnal PP dan PL Edisi 5 Tahun 2015
Jurnal PP dan PL Edisi 5 Tahun 2015Jurnal PP dan PL Edisi 5 Tahun 2015
Jurnal PP dan PL Edisi 5 Tahun 2015
 
Ppt proposal
Ppt proposalPpt proposal
Ppt proposal
 
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENINGKATAN ANGKA PENDERITA HIV/AIDS
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENINGKATAN ANGKA PENDERITA HIV/AIDSFAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENINGKATAN ANGKA PENDERITA HIV/AIDS
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENINGKATAN ANGKA PENDERITA HIV/AIDS
 
Pedoman ART 2011
Pedoman ART 2011Pedoman ART 2011
Pedoman ART 2011
 
Newsletter Ditjen P2P Edisi I Tahun 2020
Newsletter Ditjen P2P Edisi I Tahun 2020Newsletter Ditjen P2P Edisi I Tahun 2020
Newsletter Ditjen P2P Edisi I Tahun 2020
 
MAKALAH EPIDEMIOLOGI UKURAN ASOSIASI (KHUSUS) PENYAKIT DIARE DI WILAYAH DALAM...
MAKALAH EPIDEMIOLOGI UKURAN ASOSIASI (KHUSUS) PENYAKIT DIARE DI WILAYAH DALAM...MAKALAH EPIDEMIOLOGI UKURAN ASOSIASI (KHUSUS) PENYAKIT DIARE DI WILAYAH DALAM...
MAKALAH EPIDEMIOLOGI UKURAN ASOSIASI (KHUSUS) PENYAKIT DIARE DI WILAYAH DALAM...
 
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utaraEpidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara
 
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara (indonesia)
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara (indonesia)Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara (indonesia)
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara (indonesia)
 

Destaque

jurnal trastuzumab ca mammae
jurnal trastuzumab ca mammaejurnal trastuzumab ca mammae
jurnal trastuzumab ca mammae
M Aziz Rosidi
 
Buku informasi pp pl 2013
Buku informasi pp pl 2013Buku informasi pp pl 2013
Buku informasi pp pl 2013
Ditjen P2P
 

Destaque (14)

Nl.edisi 1.2011
Nl.edisi 1.2011Nl.edisi 1.2011
Nl.edisi 1.2011
 
Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2013
Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2013 Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2013
Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2013
 
Profil PP dan PL Tahun 2014
Profil PP dan PL Tahun 2014Profil PP dan PL Tahun 2014
Profil PP dan PL Tahun 2014
 
Nl.edisi 3.2011
Nl.edisi 3.2011Nl.edisi 3.2011
Nl.edisi 3.2011
 
Nl.edisi 1.2010
Nl.edisi 1.2010Nl.edisi 1.2010
Nl.edisi 1.2010
 
Nl.edisi 2.2011
Nl.edisi 2.2011Nl.edisi 2.2011
Nl.edisi 2.2011
 
Nl.edisi 2.2010
Nl.edisi 2.2010Nl.edisi 2.2010
Nl.edisi 2.2010
 
Nl.edisi 3.2010
Nl.edisi 3.2010Nl.edisi 3.2010
Nl.edisi 3.2010
 
Nl.edisi 4.2010
Nl.edisi 4.2010Nl.edisi 4.2010
Nl.edisi 4.2010
 
jurnal trastuzumab ca mammae
jurnal trastuzumab ca mammaejurnal trastuzumab ca mammae
jurnal trastuzumab ca mammae
 
Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan tahun 2011
Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan tahun 2011Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan tahun 2011
Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan tahun 2011
 
Buku informasi pp pl 2013
Buku informasi pp pl 2013Buku informasi pp pl 2013
Buku informasi pp pl 2013
 
Contoh jurnal
Contoh jurnalContoh jurnal
Contoh jurnal
 
Kepmenkes no-129-tahun-2008-standar-pelayanan-minimal-rs
Kepmenkes no-129-tahun-2008-standar-pelayanan-minimal-rsKepmenkes no-129-tahun-2008-standar-pelayanan-minimal-rs
Kepmenkes no-129-tahun-2008-standar-pelayanan-minimal-rs
 

Semelhante a Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2011

POPOSAL SUNNAH REVISI (AutoRecovered) (2)-1.docx
POPOSAL SUNNAH REVISI (AutoRecovered) (2)-1.docxPOPOSAL SUNNAH REVISI (AutoRecovered) (2)-1.docx
POPOSAL SUNNAH REVISI (AutoRecovered) (2)-1.docx
NiyaCimut
 
Tugas online 8 , Ima Rusdiana, Erlina Puspitaloka Mahadewi, Hasyim Ahmad, Pas...
Tugas online 8 , Ima Rusdiana, Erlina Puspitaloka Mahadewi, Hasyim Ahmad, Pas...Tugas online 8 , Ima Rusdiana, Erlina Puspitaloka Mahadewi, Hasyim Ahmad, Pas...
Tugas online 8 , Ima Rusdiana, Erlina Puspitaloka Mahadewi, Hasyim Ahmad, Pas...
imarusdiana
 
Hipertensi dan gambaran karakteristik ppt
Hipertensi  dan gambaran karakteristik pptHipertensi  dan gambaran karakteristik ppt
Hipertensi dan gambaran karakteristik ppt
uaganaomi
 
Contoh PICO 2 sdfghjkl;;cvbnmvvbnmnvcvbjhgfdfghjkl.pdf
Contoh PICO 2 sdfghjkl;;cvbnmvvbnmnvcvbjhgfdfghjkl.pdfContoh PICO 2 sdfghjkl;;cvbnmvvbnmnvcvbjhgfdfghjkl.pdf
Contoh PICO 2 sdfghjkl;;cvbnmvvbnmnvcvbjhgfdfghjkl.pdf
AriefWijaksono1
 
PP Ujian Proposal REKI.pptx
PP Ujian Proposal REKI.pptxPP Ujian Proposal REKI.pptx
PP Ujian Proposal REKI.pptx
MahruriSaputra
 
Kedokteran Komunitas Case Hipertensi
Kedokteran Komunitas Case HipertensiKedokteran Komunitas Case Hipertensi
Kedokteran Komunitas Case Hipertensi
Zollananda
 

Semelhante a Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2011 (20)

POPOSAL SUNNAH REVISI (AutoRecovered) (2)-1.docx
POPOSAL SUNNAH REVISI (AutoRecovered) (2)-1.docxPOPOSAL SUNNAH REVISI (AutoRecovered) (2)-1.docx
POPOSAL SUNNAH REVISI (AutoRecovered) (2)-1.docx
 
Jurnal faktor risiko hipertensi
Jurnal faktor risiko hipertensiJurnal faktor risiko hipertensi
Jurnal faktor risiko hipertensi
 
Tugas online 8 , Ima Rusdiana, Erlina Puspitaloka Mahadewi, Hasyim Ahmad, Pas...
Tugas online 8 , Ima Rusdiana, Erlina Puspitaloka Mahadewi, Hasyim Ahmad, Pas...Tugas online 8 , Ima Rusdiana, Erlina Puspitaloka Mahadewi, Hasyim Ahmad, Pas...
Tugas online 8 , Ima Rusdiana, Erlina Puspitaloka Mahadewi, Hasyim Ahmad, Pas...
 
Tugas bu ira noviana .pdf
Tugas bu ira noviana .pdfTugas bu ira noviana .pdf
Tugas bu ira noviana .pdf
 
HIPERTENSI.pdf
HIPERTENSI.pdfHIPERTENSI.pdf
HIPERTENSI.pdf
 
PPT Mini Project.pptx
PPT Mini Project.pptxPPT Mini Project.pptx
PPT Mini Project.pptx
 
Makanan minahasa dan penyakit jantung
Makanan minahasa dan penyakit jantungMakanan minahasa dan penyakit jantung
Makanan minahasa dan penyakit jantung
 
Hipertensi dan gambaran karakteristik ppt
Hipertensi  dan gambaran karakteristik pptHipertensi  dan gambaran karakteristik ppt
Hipertensi dan gambaran karakteristik ppt
 
REFARAT HIPERTENSI REZA.pptx
REFARAT HIPERTENSI REZA.pptxREFARAT HIPERTENSI REZA.pptx
REFARAT HIPERTENSI REZA.pptx
 
Bab I PBL Desa Damit Hulu
Bab I PBL Desa Damit HuluBab I PBL Desa Damit Hulu
Bab I PBL Desa Damit Hulu
 
Waspada Stroke Mengincar Anda tips kesehatan.pdf
Waspada Stroke Mengincar Anda tips kesehatan.pdfWaspada Stroke Mengincar Anda tips kesehatan.pdf
Waspada Stroke Mengincar Anda tips kesehatan.pdf
 
Contoh PICO 2 sdfghjkl;;cvbnmvvbnmnvcvbjhgfdfghjkl.pdf
Contoh PICO 2 sdfghjkl;;cvbnmvvbnmnvcvbjhgfdfghjkl.pdfContoh PICO 2 sdfghjkl;;cvbnmvvbnmnvcvbjhgfdfghjkl.pdf
Contoh PICO 2 sdfghjkl;;cvbnmvvbnmnvcvbjhgfdfghjkl.pdf
 
BAB IV-V PUS (1).docx
BAB IV-V PUS (1).docxBAB IV-V PUS (1).docx
BAB IV-V PUS (1).docx
 
Andrew hidayat 106149-id-faktor-risiko-kejadian-hipertensi-pada-s
 Andrew hidayat   106149-id-faktor-risiko-kejadian-hipertensi-pada-s Andrew hidayat   106149-id-faktor-risiko-kejadian-hipertensi-pada-s
Andrew hidayat 106149-id-faktor-risiko-kejadian-hipertensi-pada-s
 
PP Ujian Proposal REKI.pptx
PP Ujian Proposal REKI.pptxPP Ujian Proposal REKI.pptx
PP Ujian Proposal REKI.pptx
 
Naskah publikasi
Naskah publikasiNaskah publikasi
Naskah publikasi
 
strategi apoteker dalam meningkatkan kesehatan masyarakat dengan konseling ob...
strategi apoteker dalam meningkatkan kesehatan masyarakat dengan konseling ob...strategi apoteker dalam meningkatkan kesehatan masyarakat dengan konseling ob...
strategi apoteker dalam meningkatkan kesehatan masyarakat dengan konseling ob...
 
puskesmas
puskesmaspuskesmas
puskesmas
 
Kedokteran Komunitas Case Hipertensi
Kedokteran Komunitas Case HipertensiKedokteran Komunitas Case Hipertensi
Kedokteran Komunitas Case Hipertensi
 
Makalah hipertensi
Makalah hipertensiMakalah hipertensi
Makalah hipertensi
 

Mais de humasditjenppdanpl (6)

Nl.edisi 2.2013
Nl.edisi 2.2013Nl.edisi 2.2013
Nl.edisi 2.2013
 
Nl.edisi 1.2013
Nl.edisi 1.2013Nl.edisi 1.2013
Nl.edisi 1.2013
 
Nl.edisi 4.2012
Nl.edisi 4.2012Nl.edisi 4.2012
Nl.edisi 4.2012
 
Nl.edisi 3.2012
Nl.edisi 3.2012Nl.edisi 3.2012
Nl.edisi 3.2012
 
Nl.edisi 2.2012
Nl.edisi 2.2012Nl.edisi 2.2012
Nl.edisi 2.2012
 
Nl.edisi 1.2012
Nl.edisi 1.2012Nl.edisi 1.2012
Nl.edisi 1.2012
 

Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2011

  • 1.
  • 2.
  • 3.
  • 4. Kata Pengantar Dalam rangka meningkatkan penyebarluasan informasi tentang pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan di Indonesia, maka berbagai upaya dilakukan antara lain melalui penerbitan Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jurnal ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi untuk mengetahui perkembangan pengendalian penyakit, baik penyakit menular maupun penyakit tidak menular serta program penyehatan lingkungan yang telah dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan Rl. Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan ini merupakan edisi terbitan pertama, direncanakan akan terbit setiap tahun. Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak atas kontribusi yang telah diberikan, sehingga Jurnal ini dapat diterbitkan. Semoga informasi yang kami tuliskan pada jurnal ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
  • 5. 1-5 6-8 9 - 11 12 - 16 17 - 21 22 - 27 28 - 31 32 - 37
  • 6. Deteksi Dini Faktor Risiko Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Kabupaten Bireun, Provinsi Aceh M. Sugeng Hidayat¹, Rifaunama R¹, Amir Addani², Toni Wandra¹ ¹Subdit Pengendalian Penyakit jantung dan Pembuluh Darah, Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular, ²Dinas Kesehatan Kabupaten Bireun Abstract One of the main activities in controlling cardiovascular disease is early detection of active conduct of its risk factor in the community. Through the early detection of risk factors can be expected to handle as early as possible, so that the prevalence of risk factors for heart disease and blood vessels can be derived as optimal as possible. The Objectives of this activity is to define the prevalence of risk factors of cardiovascular diseases in the community. This survey adopted observational study design. It was conducted in Bireun District, Aceh Province. There were 315 respondents involved in the study. Several measurements were carried out including blood pressure, weight, height, blood lipid and ECG. The instrument of questionare was used to gain anamnesa of behaviour factors. It found that the percentage of respondent with family history of cardiovascular disease, hypertension and stroke is tend to high. The prevalence of daily smoking prevalence is higher than the provincial and national levels. Some risk factors of cardiovascular disease showed an increase that need to take into account. Latar Belakang Salah satu masalah kesehatan masyarakat yang menjadi isu terkini adalah adanya beban ganda penyakit (double burden diseases), yaitu disatu pihak masih terdapat penyakit infeksi yang harus ditangani, dilain pihak semakin meningkatnya penyakit tidak menular. Terdapat peningkatan yang cukup signifikan kematian penyakit tidak menular, dimana pada tahun 1995 tercatat 41,7% meningkat menjadi 59,5% pada tahun 2007 (Riskesdas, 2007). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi beberapa faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah seperti berat badan lebih dan obesitas (obesitas umum) mencapai 19,1%, obesitas sentral 18,8%, sering makan makanan asin sebesar 24,5%, sering makan makanan berlemak sebesar 12,8%, kurang makan sayur buah 93,6%, kurang aktifitas fisik 48,2%, gangguan mental emosional 11,6%, perokok setiap hari 23,7% dan konsumsi alkohol dalam 12 bulan terakhir mencapai 4,6%. Salah satu kegiatan pokok pengendalian penyakit jantung dan pembuluh darah adalah melaksanakan deteksi dini aktif faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah di masyarakat. Melalui kegiatan deteksi dini faktor risiko diharapkan dapat dilakukan penanganannya sedini mungkin, sehingga prevalensi faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah dapat diturunkan serendah mungkin. Tujuan Diketahuinya prevalensi faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah yang dapat digunakan dalam penyusunan rencana kegiatan pengendalian penyakit tidak menular khususnya penyakit jantung dan pembuluh darah di Kabupaten Bireun. Cara Deteksi dini aktif di masyarakat dilaksanakan di Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireun Provinsi Aceh pada bulan Agustus 2011. Jumlah responden sebanyak 315 orang, usia ≥18 tahun. Pemilihan kecamatan dilakukan secara multi-stage random sampling. Sebelum kegiatan deteksi dini, dilakukan pelatihan tentang cara pengumpulan data terhadap 20 enumerator yang terdiri dari 10 petugas kesehatan (dokter, perawat, bidan, analis) Dinas Kesehatan Kabupaten Bireun dan Puskesmas Gandapura dan 10 kader kesehatan. Pelatihan petugas kesehatan dan kader dilaksanakan secara terpisah. Materi pelatihan meliputi: Cara pengisian ‖Kartu Kontrol‖ dan ‖Kartu Menuju Sehat, Terhindar dari Faktor Risiko Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (KMS FR-PJPD)‖; Penentuan IMT; Pengukuran lingkar perut dan tekanan darah; Penentuan skor FR-PJPD; Pengukuran lemak darah dengan cardiocheck; dan pemeriksaan Electrocardiogram (EKG). Materi cara pemeriksaan lemak darah pemeriksaan EKG hanya diberikan kepada petugas kesehatan. Wawancara dan pengukuran dilakukan di aula masjid desa dengan seizin pemuka agama setempat. Responden terpilih diminta hadir di tempat pemeriksaan tiga hari 1
  • 7. sebelumnya melalui ketua Rukun Warga setempat. Apabila responden berhalangan datang ke tempat pemeriksaan, dilakukan kunjungan rumah oleh petugas. Pengumpulan data diawali dengan pengisian KMS-FR-PJPD dan Kartu Kontrol (KK) dengan wawancara serta pengukuran berat badan, tinggi badan untuk menentukan Indeks Massa Tubuh (IMT), lingkar perut dan tekanan darah. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan lemak darah dengan menggunakan alat cardiocheck terhadap 100 responden yang dipilih dari total responden berdasarkan total skor faktor risiko. Semakin tinggi/banyak faktor risiko pada responden, semakin diprioritaskan untuk pemeriksaan lemak darah. Pemeriksaan ECG dilakukan terhadap 10 responden yang dipilih dari 100 responden yang diperiksa lemak darahnya apabila yang bersangkutan memiliki riwayat penyakit jantung (seperti berdebar-debar dan keluhan lainnya) atau termasuk dalam kelompok 10-20 responden dengan skor tertinggi. Selanjutnya KMS FR-PJPD yang telah terisi lengkap diserahkan/disimpan oleh responden dan diminta agar KMS-PJPD tersebut dibawa pada saat kontrol ke Puskesmas bila diperlukan, sedangkan Kartu Kontrol (KK) FR-PJPD disimpan oleh petugas. Hasil dan Pembahasan 1. Karakteristik responden a. Jenis kelamin - Laki-laki : 129 (41%) - Perempuan : 186 (59%) b. Umur responden (tahun) - 18-24 : 30 (9,5 %) - 25-34 : 70 (22,2%) - 35-44 : 94 (29,8%) - 45-54 : 51 (16,2% ) - 55-64 : 41 (13,0%) - 65-74 : 25 (7,9%) - ≥ 75 : 4 (1,3%) c. Pendidikan Responden -Tidak Sekolah : 4 (1,3 %) -Tidak Tamat SD : 11 (3,5%) -Tamat SD : 81 (25,7%) -Tamat SMP : 101 (32,1%) -Tamat SMA : 81 (25,7%) -Tamat Perguruan Tinggi : 37 (11,7%) d. Pekerjaan responden Tidak bekerja : 157 (49,8%) Sekolah : 17 (5,4%) Pedagang PNS/Guru/TNI/ Polri Pelajar / Mahasiswa Lainnya : : : : 18 16 74 33 (5,7%) (5,1%) (23,5%) (10,5%) 2. Riwayat keluarga Persentase responden umur 18 tahun ke atas yang mempunyai riwayat penyakit jantung adalah 4,4%. Sedangkan responden yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi 17,5% dan stroke 3,2%. Riwayat keluarga merupakan salah satu faktor risiko utama dalam penentuan prioritas pengukuran lemak darah responden. 3. Perilaku Merokok Hasil deteksi dini menunjukkan bahwa prevalensi responden umur 18 tahun ke atas yang merokok setiap hari adalah 22,2% (Tabel). Prevalensi responden merokok setiap hari tertinggi pada kelompok umur 35-44 tahun (30,9%), diikuti kelompok umur 45-54 tahun dan 25-34 tahun masing-masing 29,4% dan 15,7%. Risiko penyakit jantung koroner pada perokok 2-4 kali lebih besar daripada yang bukan perokok. Rokok dapat menyebabkan penurunan kadar oksigen ke jantung, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi, penurunan kadar kolesterol-HDL (―kolesterol baik‖), peningkatan penggumpalan darah, dan kerusakan endotel pembuluh darah koroner. 4. Perilaku Minum Minuman Beralkohol Informasi minum alkohol diperoleh dengan menanyakan kepada responden umur 18 tahun ke atas. Karena perilaku minum alkohol seringkali periodik maka ditanyakan perilaku minum alkohol dalam periode 12 bulan terakhir. 2
  • 8. Hasil deteksi memperlihatkan prevalensi responden umur 18 tahun ke atas peminum alkohol 12 bulan terakhir, yaitu sebanyak 0,6% (Tabel). Minuman beralkohol dapat menyebabkan penyakit gangguan hati, kerusakan saraf otak dan jaringan di dalam tubuh serta penyakit jantung dan pembuluh darah. 5. Sering Makan Makanan Asin Responden yang sering makan makanan asin (makanan yang lebih dominan rasa asin) dianggap sebagai berperilaku mengkonsumsi makanan berisiko terkena penyakit jantung dan pembuluh darah. Perilaku konsumsi makanan asin dikelompokkan ―sering‖ apabila responden mengkonsumsi makanan tersebut satu kali atau lebih setiap hari. Prevalensi responden umur 18 tahun ke atas dengan konsumsi makanan asin yaitu sebesar 43,9% responden (Tabel). Prevalensi responden sering makan makanan asin tampak tertinggi pada kelompok umur 75 tahun k atas (75,0%) diikuti kelompok umur 45-54 tahun dan umur 35-44 tahun masingmasing 64,7% dan 37,8%. Sebanyak 41,1% responden yang sering makan makanan asin adalah laki-laki. Menurut pekerjaan, responden yang paling sering makan makanan asin adalah Petani/Buruh/Nelayan (44,6%), diikuti responden yang tidak bekerja dan PNS/TNI/ POLRI/BUMN, masing-masing sebesar 44,5%. Konsumsi makanan asin yang berlebih terutama yang berasal dari garam dan sumber lain, seperti produk susu dan bahan makanan yang diawetkan dengan garam merupakan pemicu timbulnya hipertensi. Hipertensi penyebab tersering stroke dan serangan jantung. 6. Sering Makan Makanan Tinggi Lemak Responden yang sering makan makanan tinggi lemak/berlemak (makanan yang lebih dominan kandungan lemak) dianggap sebagai berperilaku mengkonsumsi makanan berisiko terkena penyakit jantung dan pembuluh darah. Perilaku konsumsi makanan tinggi lemak dikelompokkan ―sering‖ apabila responden mengkonsumsi makanan tersebut satu kali atau lebih setiap hari. Hasil deteksi dini menunjukkan prevalensi responden umur 18 tahun ke atas yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak sebanyak 37,8%. Prevalensi responden sering makan makanan tinggi lemak tertinggi pada kelompok umur 25-34 (57,1%), sedangkan menurut pekerjaan, responden yang sering makan makanan tinggi lemak adalah responden yang tidak bekerja (39,5%). Makanan yang mengandung asam lemak tak jenuh ganda dan tak jenuh tunggal umumnya berasal dari makanan nabati, kecuali minyak kelapa. Makanan sumber asam lemak jenuh umumnya berasal dari hewan. Mengkonsumsi lemak hewani secara berlebihan dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah arteri dan penyakit jantung koroner. 7. Kurang Sayur Buah Responden dikategorikan kurang sayur buah apabila makan sayur kurang dari 2 kali (2 porsi) perhari dan makan buah kurang dari 3 kali (3 porsi) per hari selama 7 hari dalam seminggu. Survei di Bireun menunjukkan bahwa secara keseluruhan responden umur 18 tahun ke atas kurang konsumsi buah sayur sebesar 97,5%. Prevalensi tertinggi yang kurang mengkonsumsi sayur buah adalah kelompok umur 18-24 (100%), diikuti kelompok umur 3544 tahun (98,9%). Dewasa ini, perubahan pola makan menjurus ke sajian siap santap yang tidak sehat dan tidak seimbang, karena mengandung kalori, lemak, protein, dan garam tinggi, tetapi rendah serat pangan (dietary fiber). Jenis makanan ini membawa konsekuensi terhadap perubahan status gizi, yaitu gizi lebih dan obesitas yang memicu berkembangnya penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, khususnya penyakit jantung koroner. Makan makanan beraneka ragam sangat bermanfaat bagi kesehatan, karena tidak ada satu jenis makanan yang mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan seseorang untuk tumbuh kembang menjadi sehat dan produktif. 8. Kurang Aktivitas Fisik Prevalensi kurang aktivitas fisik pada responden 18 tahun ke atas adalah 84,4%. Menurut jenis pekerjaan, responden yang kurang aktivitas fisik pada umumnya adalah pelajar/mahasiswa (94,1%). Aktivitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem jantung dan pembuluh darah. Beberapa studi menunjukkan adanya hubungan antara aktivitas fisik dengan penyakit jantung dan pembuluh darah. Bila melakukan latihan fisik (olahraga) minimal 30 menit setiap hari selama 3-4 hari dalam seminggu, diharapkan tercapai hasil yang 3
  • 9. optimal setelah latihan 4-6 minggu dan kemampuan fisik meningkat sebesar 30-33%. 9. Stress Data stres dikumpulkan secara kualitatif pada responden umur 18 tahun ke atas. Dikategorikan stres apabila responden merasa panik, tegang atau cemas satu kali atau lebih setiap hari. Hasil deteksi memperlihatkan prevalensi responden umur 18 tahun ke atas dengan stres, yaitu sebesar 4,7%. Prevalensi responden yang sering mengalami stres tampak tinggi pada kelompok umur ≥75 tahun (25,0%). Prevalensi pada laki-laki (7,8%) lebih tinggi dibanding dengan perempuan (2,6%). Sedangkan menurut pekerjaan, responden yang stres umumnya adalah Petani/Buruh/Nelayan (5,4%). Dampak negatif stres antara lain: Sikap agresif, frustasi, gugup, kejenuhan, bosan dan kesepian; Alkoholik, merokok, makan berlebihan, penyimpangan seks; Daya pikir lemah, tidak mampu membuat keputusan, tidak konsentrasi; Peningkatan tekanan darah, denyut jantung, dan gula darah. 10. Obesitas Umum Status gizi responden umur 18 tahun ke atas dinilai dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks Massa Tubuh dihitung berdasarkan berat badan dan tinggi badan dengan rumus: BB(Kg)/TB(m)2. Berikut ini adalah batasan IMT untuk menilai status gizi responden umur 18 tahun ke atas: Kurus: IMT <18,5 (Kg/m2) Normal: IMT 18,5-24,9 (Kg/m2) BB lebih: IMT 25-27 (Kg/m2) Obesitas: IMT >27 (Kg/m2) Prevalensi responden umur 18 tahun ke atas dengan obesitas umum adalah sebesar 23,5%. Prevalensi responden dengan obesitas umum tertinggi pada kelompok umur 25-34 tahun (28,6%), prevalensi obesitas lebih tinggi pada laki-laki (31,8%) dibandingkan dengan perempuan (18,8%). Fakta menunjukkan bahwa distribusi lemak tubuh berperan penting dalam peningkatan faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah. 11. Lingkar Perut Indikator status gizi yang lain adalah ukuran lingkar perut (LP) untuk mengetahui adanya obesitas sentral. Untuk laki-laki dengan LP 90 cm atau lebih dan untuk perempuan LP 80 cm atau lebih dinyatakan sebagai obesitas sentral. Dari hasil deteksi dini diketahui bahwa prevalensi responden umur 18 tahun ke atas dengan obesitas sentral sebesar 24,1%. Prevalensi responden dengan obesitas sentral tertinggi pada kelompok umur 45-54 tahun (25,5%). Obesitas sentral akan meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah. 12. Hipertensi Data hipertensi diperoleh dengan metode pengukuran. Hipertensi berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah/tensi yang ditetapkan menggunakan standar baku pengukuran tekanan darah (sphigmomanometer air raksa manual). Pengukuran tekanan darah dilakukan pada responden umur 18 tahun ke atas. Setiap responden diukur tensinya minimal 2 kali, jika hasil pengukuran kedua berbeda lebih dari 10 mmHg dibanding pengukuran pertama, maka dilakukan pengukuran ketiga. Dua data pengukuran dengan selisih kecil dihitung reratanya sebagai sebagai hasil ukur tekanan darah. Kriteria hipertensi yang digunakan merujuk pada kriteria JNC VII 2003, yaitu hasil pengukuran tekanan darah sistolik ≥120 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg. Kriteria JNC VII 2003 hanya berlaku untuk usia 18 tahun ke atas. Berdasarkan hasil deteksi, prevalensi responden umur 18 tahun ke atas dengan hipertensi sebesar 35,6%. Prevalensi responden dengan hipertensi tertinggi pada kelompok umur 45-54 tahun (61,0%), sedangkan hipertensi pada kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar 28,6%. Prevalensi hipertensi lebih besar pada laki-laki (45,7%). Sedangkan menurut pekerjaan, prevalensi tertinggi adalah Wiraswasta (47,4%). Risiko penyakit jantung dan pembuluh darah meningkat sejalan dengan peningkatan tekanan darah. Hasil penelitian Framingham menunjukkan bahwa tekanan darah sistolik 130-139 mmHg dan tekanan diastolik 85-89 mmHg meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah sebesar 2 kali dibandingkan dengan tekanan darah kurang dari 120/80 mmHg. Hipertensi merupakan penyebab tersering penyakit jantung koroner dan stroke, serta faktor utama dalam gagal jantung kongestif. 13. Dislipidemia Data dislipidemia pada responden umur 18 tahun ke atas didapat dengan metode pemeriksaan lipid darah menggunakan 4
  • 10. Cardiocheck dan menggunakan standar nilai normal sebagai berikut: -Kolesterol total: ≥190 mg/dL -Kolesterol-LDL: ≥115 mg/dL -Kolesterol-HDL: <40 mg/dL (laki-laki) dan <45 mg/dL (perempuan) -Trigliserida: > 150 mg/dL Istilah dislipidemia digunakan apabila salah satu atau lebih nilai stadar di atas tidak normal. Berdasarkan pemeriksaan lemak darah pada responden umur 18 tahun ke atas ditemukan prevalensi dislipidemia sebesar 21,0%. Sedangkan responden dengan kolesterol total tinggi, kolesterol-LDL tinggi, kolesterol-HDL rendah dan trigliserida tinggi berturut-berturut 47,1%, 57,6%, 32,4% dan 35,3%. Prevalensi dislipidemia pada laki-laki dan perempuan yaitu 96,9% dan 94,3%. Untuk menurunkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah, maka nilai kolesterol total plasma harus <190 mg/dL dan Low Density Lipoprotein (LDL) <115 mg/dL. Pada pasien dengan DM atau pasien asimptomatik dengan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah, maka target kadar kolesterol total darah harus <175 mg/dL dan LDL <100 mg/dL. Kadar High Density Lipoprotein (HDL) <40 mg/dL pada laki-laki dan <45 mg/dL pada perempuan, serta kadar trigliserida puasa >150 mg/dL akan meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah. Perbadingan prevalensi faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah di Kabupaten Bireun dengan prevalensi di Provinsi Aceh dan Nasional hasil Riskesdas 2007 sebagaimanat terlihat pada Tabel. Kesimpulan Persentase responden 18 tahun ke atas yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi 17,5%, penyakit jantung 4,4% dan stroke 3,2%. Prevalensi merokok setiap hari pada responden umur 18 tahun ke atas yaitu sebesar 22,2% Prevalensi peminum alkohol 12 bulan terakhir adalah 0,6%. Prevalensi sering mengkonsumsi makanan asin sebanyak 43,9%. Prevalensi sering mengkonsumsi makanan tinggi lemak sebanyak 37,8%. Prevalensi kurang makan sayur dan buah sebesar 86,6% dan 96,8% Prevalensi kurang aktivitas fisik adalah 77,7%. Prevalensi stres sebesar 90,7%. Prevalensi Berat Badan Lebih adalah 10,5%. Prevalensi Obesitas adalah 13,0%. Prevalensi Obesitas Umum (Berat Badan Lebih dan Obesitas) adalah 23,5%. Prevalensi Obesitas sentral adalah 30,2%. Prevalensi hipertensi adalah 35,6%. Prevalensi hipertensi sistolik adalah 15,9%. Prevalensi hipertensi diastolik adalah 35,6%. Prevalensi kolesterol total tinggi adalah 47,1%. Prevalensi kolesterol-LDL tinggi adalah 57,6%. Prevalensi kolesterol-HDL rendah adalah 32,4%. Prevalensi trigliserida tinggi adalah 35,3%. Prevalensi dislipidemia sebanyak 21,0% Saran Perlu penanganan faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah secara intensif dan berkesinambungan, yaitu upaya modifikasi gaya hidup (lifestyle) pada responden dan masyarakat pada umumnya dengan melaksanakan penyuluhan (KIE) secara terus-menerus dan kontrol (follow up) faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah secara berkala. Daftar Pustaka 1. AHA/ACC Scientific Statement, Assesment of Cardiovascular Risk by Use of Multiple Risk Factor Assesment Equations (1999), A Statement for Healthcare, Professionals from the American Heart Association and the American College of Cardiology. September 1999 2. AHA Scientific Statement, AHA Guidelines for Primary prevention of Cardiovascular Diseases and Stroke : 2002 Update. July. 2002 3. Arisman, M.B. (2003). Gizi dalam daur kehidupan. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta 4. Bowers, J. (1992). Fat and oil in foods, in Food Theory and Application. Maxwell Macmillan International. 5. Deteksi Dini Faktor Risiko Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (2010), Edisi I, cetakan-2, Kementerian Kesehatan RI, Jakarta 6. Pedoman Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (2009), Kementerian Kesehatan RI, Jakarta 7. Sunita Altmatsier. (2003). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta 5
  • 11. Registrasi Kanker Berbasis Populasi di DKI jakarta Mugi Wahidin, SKM Subdit Pengendalian Penyakit Kanker, Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Abstrak Kanker merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar menunjukkan bahwa kanker merupakan penyebab kematian nomor 7 dari semua jenis penyakit. Akan tertapi, besaran permasalah kanker baik angka kesakitan (prevelens, insindes) maupun angka kematian belum tersedia karena belum ada registrasi kanker berbasis populasi. Sejak tahun 2007 sampai 2011, Sub Direkorat Pengendalian Penyakit Kanker bekerja sama dengan berbagai pihak yang berkaitan mengembangan registrasi kanker berbasis populasi dengan model di DKI Jakarta. Registrasi kanker berbasis populasi dengan model di DKI Jakarta dikembangkan dengan langkahlangkah advokasi dan sosialisasi, pembentukan tim registrasi kanker tingkat nasional, provinsi DKI Jakarta, 5 kota. Langkah-langkah reknis dalam registrasi kanker mencakup pengumpulan data, verifikasi, validasi, pengolahan, analisis data, dan publikasi. Proses pengumpulan dan pengolahan data dilakukan dengan menggunakan abstrak dan software SRIKANDI, yang terdiri dari 3 komponen utama yaitu informasi tentang pasien, tumor, dan tindak lanjut. Sumber data registrasi kanker di DKI Jakarta adalah 79 rumah sakit, 44 Puskesmas Kecamatan yang membawahi 301 Puskesmas Kelurahan, 2 klinik, dan 90 laboratorium patologi. Variabel yang dikumpulkan dari rumah sakit sebanyak 32, sedangkan dari sumber lain 18 variabel. Hasil registrasi menunjukkan bahwa insidens kanker tertinggi di DKI Jakarta tahun 2005-2007 pada perempuan adalah kanker payudara, kanker leher rahim/serviks, kanker kolorektal, kanker bronkhus dan paru, dan kanker ovarium. Kanker tertinggi pada laki-laki adalah kanker bronkhus dan paru, kanker prostat, kanker kolorektal, kanker pharing, dan kanker ginjal-pervis-kandung kemih. Sedangkan insidens kanker pada anak (0-17 tahun) adalah 90,5 per 1 juta anak, tertinggi adalah leukemia, kemudian kanker mata/retinoblastoma, kanker tulang, CNS, dan limfoma. Dengan pengembangan model registrasi kanker di DKI Jakarta, mekanisme kerja registrasi kanker sudah disepakati, diperoleh insidens kanker tertinggi pada perempuan, laki-laki, dan anak-anak, dan kesiapan pengembangan registrasi kanker di wilayah lain diIndonesia mengacu pada model Jakarta. Latar Belakang Salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia adalah penyakit kanker. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, kanker merupakan penyebab kematian nomor 7 dari seluruh penyebab kematian di Indonesia, sebesar 5,7%. Sedangkan prevalensi nasional sebesar 4,3 per 1000 penduduk. Data tersebut dapat menjadi data dasar (baseline data) permasalahan kanker di masyarakat. Akan tetapi, data tersebut belum dapat menggambarkan permasalahan yang valid pada suatu populasi/masyarakat, karena masih berbentuk survei. Data kanker yang valid dapat diperoleh melalui registrasi kanker yang memungkinkan tidak adanya duplikasi data. Registrasi kanker adalah suatu proses pengumpulan data yang sistematik dan terus menerus yang meliputi kejadian, karakteristik dan outcome, serta pengolahan, penyimpanan, dan penganalisaan data menjadi informasi tentang kanker pada populasi tertentu. Informasi tersebut dipakai sebagai dasar kebijakan pengendalian penyakit kanker. Ada beberapa jenis registrasi kanker berdasarkan cara perolehan data, yaitu registasi kanker berbasis rumah sakit dan registrasi kanker berbasis populasi. Registrasi berbasis rumah sakit adalah registrasi yang dilakukan berdasarkan data kanker yang didiagnosa oleh seluruh bagian RS yang menanggulangi kanker. Registrasi ini bertujuan untuk membantu pihak administrasi dalam merencanakan dan mengorganisir sumber daya untuk mengoptimalkan penanggulangan penyakit kanker di RS tersebut. Registrasi kanker berbasis populasi/ masyarakat adalah registrasi yang dilakukan berdasarkan data kanker yang ada di masyarakat/populasi tertentu dari semua sarana kesehatan (RS, Puskesmas, Lab, Klinik, Catatan Sipil, dll) yang mendiagnosa/ terdapat informasi kanker mengenai tempat dan jumlah penduduk. Registrasi ini bertujuan mendapatkan besaran masalah kanker, baik morbiditas (prevalens, insidens) dan kematian untuk menjadi bahan perencanaan dan evaluasi program pengendalian penyakit kanker di masyarakat. Upaya registrasi kanker telah dimulai sejak tahun 1970 di Kota Semarang, Jawa Tengah. Selanjutnya ada beberapa upaya 6
  • 12. registrasi kanker di beberapa kota di Indonesia sampai tahun 2004. Akan tetapi, upaya registrasi kanker tersebut tidak berlanjut (terhenti), karena berbagai hal, seperti tidak adanya sumber daya manusia yang fokus dalam pengembangan registrasi kanker dan tidak adanya unit khusus di Kementerian Kesehatan yang bertanggung jawab dalam pengembangan registrasi kanker. Untuk itu, sejak berdirinya Subdit Pengendalian Penyakit Kanker di Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular, registrasi kanker mulai dikembangkan lagi. Registrasi kanker berbasis populasi yang berkelanjutan mulai dikembangkan tahun 2007, dengan model di DKI Jakarta. Registrasi kanker tersebut awalnya berbasis rumah sakit, selanjutnya dikembangkan menjadi berbasis populasi. Model ini dikembangkan oleh Sub Direktorat Pengendalian Penyakit Kanker bekerja sama dengan berbagai pihak seperti Direktorat Bina Upaya Kesehatan Rujukan, RS Kanker Dharmais, dan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Model di DKI Jakarta ini akan menjadi referensi dalam pengembangan registrasi kanker di wilayah lain di Indonesia. Metodologi Langkah-langkah pengembangan registrasi kanker dengan dengan model di DKI Jakarta dimulai dengan advokasi dan sosialisasi, pembentukan tim registrasi kanker tingkat nasional, provinsi DKI Jakarta, 5 kota (Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan), penyusunan abstrak dan software, pelatihan, implementasi di lapangan, monitoring, dan evaluasi. Langkah-langkah reknis dalam registrasi kanker mencakup pengumpulan data, verifikasi, validasi, pengolahan, analisis data, dan publikasi. Pengumpulan data dilakukan di fasilitas kesehatan yang mempunyai data kanker oleh petugas regitrasi (registrar). Di DKI Jakarta, sumber data adalah 79 rumah sakit, 44 Puskesmas Kecamatan yang membawahi 301 Puskesmas Kelurahan, 2 klinik, dan 90 laboratorium patologi. Data dikumpulkan menggunakan formulir abstrak (ringkasan informasi kanker perorangan) dan diiput ke dalam Software Sistem Registrasi Kanker di Indonesia (SRIKANDI). Data mentah kemudian dikumpulkan ke tim registrasi kanker kabupaten/kota, dan selanjutnya dikumpulkan di tim registrasi kanker provinsi. Pengumpulan data dilakukan secara pasif mengadakan pertemuan 3 bulanan. dengan Verifikasi data dilakukan untuk memastikan keabsahan data kanker yang dikumpulkan, jangan sampai ada data selain kanker yang masuk. Verifikasi data dilakukan di masing-masing fasilitas kesehatan yang mengumpulkan data kanker oleh dokter patologi atau dokter umum terlatih. Validasi data dilakukan di tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, dan tingkat nasional oleh tim registrasi kanker untuk membersihkan data dari duplikasi. Selain validasi, di setiap tingkat juga dilakukan verifikasi kembali dengan memeriksa keabsahan data. Pengolahan dan analisa data dilakukan di tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Tim provinsi membantu pengolahan dan analisa data tingkat provinsi, dan tim provinsi membantu tim tingkat kabupaten/kota. Berhubung software SRIKANDI masih terbatas dalam mengolah dan menganalisa data, kegiatan ini dapat dilakukan dengan menggunakan Micosoft Excel atau SPSS. Informasi hasil analisa berupa angka kesakitan (prevalens, insidens) maupuan angka kematian. Selanjutnya, setelah data diolah dan dianalisa, hasilnya dipublikasi dengan mengeluarkan dokumen/buku resmi, seminar, maupaun lewat media cetak maupun elektronik Software SRIKANDI merupakan adaptasi dari software CanReg 4 yang dikembangkan oleh International Association of Cancer Registries (IACR). Software SRIKANDI berisi 3 bagian pokok yaitu informasi pasien, informasi tumor, dan tindak lanjut (follow-up). Software berbasis Microsoft Access dan bekerja independen (belum online). Jumlah variabel yang dikumpulkan untuk RS sebanyak 32 buah, sedangkan untuk sumber lain (Puskesmas, Laboratorium, klinik) sebanyak 18 buah. Hasil dan Pembahasan Data yang dihasilkan dari registrasi kanker berbasis populasi di DKI Jakarta menunjukkan bahwa 5 jenis kanker tertinggi tahun 2005-2007 pada perempuan adalah kanker payudara (insidens 31.2 per 100,000 perempuan), kanker leher rahim/serviks (17.6 per 100,000), kanker kolorektal (11.7 per 100,000), kanker bronkhus dan paru (7.7 per 100,000), dan kanker ovarium (7.6 per 100,000). Kanker tertinggi pada laki-laki adalah kanker bronkhus dan paru (insindens 19.6 per 100,000 laki-laki), kanker prostat (13.5 per 7
  • 13. 100,000), kanker kolorektal(12.5 per 100,000) kanker pharing (7.9 per 100,000), dan kanker ginjal-pervis-kandung kemih (5.1 per 100,000). Sedangkan insidens kanker pada anak (0-17 tahun) adalah 90,5 per 1 juta anak. Leukemia merupakan kanker tertinggi pada anak (28 per 1 juta), kemudian kanker mata/retinoblastoma (24 per 1 juta), kanker tulang (9,7 per 1 juta), CNS (8 per 1 juta) dan limfoma 7,5 per 1 juta. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Permasalahan kanker tertinggi di DKI Jakarta adalah kanker payudara dan kanker leher rahim (pada perempuan), kanker brokhus dan paru dan kanker prostat (pada laki-laki), serta leukemia dan kanker mata/retinoblastoma (pada anak-anak) Modeling registrasi kanker berbasis populasi di DKI Jakarta telah dikembangkan dengan baik, meskipun memerlukan perbaikan. - Mekanisme registrasi kanker sudah disepakati agar dapat diterapkan di wilayah lain di Indonesia Saran Registrasi kanker di DKI Jakarta perlu terus dilaksanakan agar berkesinambungan, dengan kerja sama semua pihak yang terlibat Pengoptimalan kerja tim registrasi kanker baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota di DKI Jakarta Software registrasi kanker perlu disempurnakan untuk dipergunakan di seluruh wilayah Indonesia Pedoman registrasi kanker perlu segera diterbitkan untuk menjadi panduan dalam pengembangan registasi kanker Perlunya intervensi pengendalian kanker sesuai dengan besaran masalah kanker berdasarkan hasil registrasi kanker di DKI Jakarta Pengembangan registrasi kanker di wilayah lain di Indonesia dapat dilakukan dengan mengacu kepada modeling di Jakarta Daftar Pustaka 1. Parkin D.M., Chen V.W., Ferlay J., Galceran J., Storm H. H., and Whelan S. L. Comparability and Quality Control in Cancer Registration. IARC Technical Report No. 19. Lyon, 1994 2. Parkin D.M., Jensen O.M., et.al. Cancer Registration Principles and Methods, IARC Scientific Publication No. 95. Lyon, 1991 3. Registrasi Kanker Berbasis Populasi di Kota Semarang 1985-1989 4. Riset Kesehatan Dasar, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2008 8
  • 14. Pemberdayaan Tuha Peut (Tokoh Masyarakat) dalam Program Penanggulangan TB melalui Peningkatan Pengetahuan Masyarakat di Kabupaten Bireuen Wilayah Pemerintah Aceh Tahun 2009 Mudatsir¹, Muhammad Jamil² , Ikhwanuddin³, Sarah Firdausa¹, Rima Novirianti¹, Chatarina Umbul Wahyuni⁴ Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, ²Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, ³Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar, ⁴Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya Abstrak Indonesia adalah penyumbang jumlah penderita TB nomor lima setelah India, China, Afrika Selatan, dan Nigeria (WHO, 2010). Tahun 2009, terdapat 294731 penderita, maka diperkirakan setiap jam muncul 34 penderita baru dan setiap jam muncul 20 penderita baru yang menular. Demikian juga di Aceh setiap tahun insiden TB terus meningkat, terdapat 6000-7000 kasus baru per tahun, 75% penderita usia produktif (15-50 tahun), dari 4,67 juta penduduk. Maka setiap 4 hari ada 1 penduduk Aceh meninggal karena TB (100 orang meninggal/tahun). Apabila hal ini tidak ditanggulangi secara radikal, akan mengakibatkan kerugian dari segi ekonomi berupa hari kerja yang hilang sehingga akan menurunkan produktivitasnya. Permasalahan utama penanggulanan TB di Aceh adalah rendahnya cakupan suspek atau Case Detection Rate (CDR). Dengan intervensi kepada Tuha Peut melalui pelatihan untuk selanjutnya Tuha Peut menyuluh masyarakat sehingga terdapat peningkatan pengetahuan masyarakat untuk mendorong suspek TB mendatangi Puskesmas untuk diagnosis dan pengobatan TB. Kajian tentang Pemberdayaan Tuha Peut dalam program TB yang telah dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengetahuan masyarakat tentang program TB, angka kunjungan suspek TB ke Puskesmas dan kendala-kendala Tuha Peut dalam pemberdayaan masyarakat di daerah intervensi. Penelitian ini menggunakan rancangan quasi eksperimen. Dua kabupaten yang jaraknya satu sama lain berjauhan terpilih sebagai daerah penelitian (Kabupaten Bireuen sebagai daerah intervensi dan Kabupaten Aceh Besar sebagai daerah kontrol). Panduan kuesioner tentang program penanggulangan TB digunakan untuk mengetahui pengetahuan masyarakat sebelum dan sesudah intervensi oleh Tuha Peut. Pengetahuan responden tentang program TB (penyebab, gejala, cara pemeriksaan, cara penularan, pencegahan, dan penyembuhan TB) setelah intervensi meningkat pada kelompok perlakuan, sedangkan pada kelompok kontrol tetap. Setelah Tuha Peut memberikan penyuluhan kepada masyarakat dan memotivasinya mengakibatkan kunjungan ke Puskesmas meningkat dari 64 suspek pada 3 bulan terakhir (2008) menjadi 112 (2009) pada periode waktu yang sama. Dimana 67 di antaranya dikirim oleh Tuha Peut dengan dibekali T4 card, tetapi hanya 57 suspek (85%) yang sampai ke Puskesmas. Pada Tuha Peut kategori 3 (yang tidak mengirim suspek) terdapat kendala dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat antara lain karena Tuha Peut sebagai pedagang, tidak ada supervisi yang berkelanjutan dan adanya stigma tentang TB di masyarakat. Kesimpulan: Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan responden tentang TB setelah perlakuan meningkat signifikan pada kelompok intervensi, sedangkan pada kelompok kontrol tetap. Pemberdayaan Tuha Peut dalam program PenanggulanganTB dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang TB dan kemampuan Tuha Peut dalam memotivasi suspek TB di masyarakat meningkatkan angka kunjungan suspek TB ke Puskesmas. Namun kendala Tuha Peut untuk memberdayakan masyarakat dalam program TB, antara lain kurangnya waktu sebagian Tuha Peut untuk berinteraksi dengan masyarakat, dan adanya stigma tentang TB. Rekomendasi: Dari hasil penelitian ini dapat direkomendasikan pelibatan Tuha Peut sebagai model lokal spesifik dalam program penanggulangan TB di Aceh. Pendahuluan Data dari Dinas Kesehatan Pemerintah Aceh tahun 2007, terdapat 7000 kasus baru TB dari 4,2 juta penduduk, dengan mortalitas 100 orang/tahun. Dari angka tersebut sekitar 75% penderita berasal dari usia produktif (15-50 tahun). (M.Thaib, 2008). Permasalahan utama penanggulangan TB di Aceh adalah rendahnya cakupan suspek dan Case Detection Rate (CDR). Untuk meningkatkan cakupan suspek dan CDR ini, perlu adanya peran serta masyarakat melalui peran serta tokoh masyarakat. Di dalam struktur masyarakat Aceh, terdapat kelompok yang keberadaannya sangat berpengaruh yaitu Tuha Peut. Kelompok ini mempunyai fungsi yang cukup signifikan. Tuha Peut berfungsi terutama dalam mengambil keputusan dan kebijaksanaan yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat. Keberadaan mereka diakui secara resmi dalam UU RI. No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Aceh No.08 tahun 2004 tentang Pemerintahan Gampoeng (desa). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pemberdayaan Tuha Peut dalam meningkatkan pengetahuan 9
  • 15. masyarakat tentang program TB sebelum dan sesudah perlakuan, menilai hubungan antara kemampuan Tuha Peut dengan perubahan angka kunjungan suspek ke puskesmas dan mengidentifikasi kendala Tuha Peut dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat. Metode Penelitian ini menggunakan rancangan quasi eksperimen. Populasi adalah seluruh masyarakat yang tinggal di Aceh. Sampel (responden) kasus diambil di Kabupaten Bireuen dan sampel kontrol di Kabupaten Aceh Besar yang berjarak 250 km. Masing-masing sebanyak 210 responden diambil secara simpel random. Variabel dependen adalah pengetahuan, kunjungan suspek dan kemampuan Tuha Peut. Variable independen adalah karakteristik, tindakan dan kemampuan motivasi Tuha Peut. Intervensi dilakukan dengan memberikan pelatihan kepada Tuha Peut tentang pengetahuan Program Penanggulangan TB, membekali tuha peut dengan modul, poster, leaflet, Tuha Peut Card dan Form aktifitas Tuha Peut. Selanjutnya Tuha Peut memotivasi masyarakat yang mempunyai gejala TB untuk berkunjung ke Puskesmas dan dimonitor setiap bulan selama 3 bulan dengan melihat peningkatan jumlah suspek yang berkunjung. Pengetahuan responden benar apabila menjawab: penyebab TB karena kuman atau M.tuberculosis, Gejalanya; demam, berkeringat dan batuk berdarah, Pemeriksaan Tb dengan laboratorium; Tb dapat menular, TB dapat dicegah dan TB dapat disembuhkan. Hasil penelitian dianalisis menggunakan uji statistik t-Test untuk melihat perbedaan pengetahuan responden sebelum dan sesudah perlakuan. Pembahasan Hasil Penelitian: Proporsi responden terbanyak pada kedua daerah, berumur 26-55 tahun yaitu sekitar 68,8%, responden perempuan lebih dominan (68,1%), tingkat pendidikan responden terbanyak adalah tingkat menengah (59,76%), pekerjaan responden yang paling banyak adalah ibu rumah tangga (48,85%). Dari tabel 1 di bawah dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan responden pada semua variabel lebih baik pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol, akan tetapi pada variabel pencegahan TB di daerah intervensi lebih banyak menjawab tidak benar dibandingkan yang menjawab benar. Hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara pengetahuan responden sebelum dengan sesudah perlakuan pada daerah kontrol dan intervensi Tabel 1. Pengetahuan responden tentang TB di Kabupaten Aceh Besar dan Bireuen pra dan pasca perlakuan Tahun 2009 Pra Perlakuan Variabel Jawaban Penyebab TB Benar Gejala TB Benar Pemeriksaan TB Penularan TB Benar Benar Pencegahan Benar TB Penyembuhan Benar TB Tidak Benar Tidak Tahu Aceh Besar 55 (13.1%) 136 (32.4%) 111 (26.4%) 108 (25.7%) 23 (5.5%) 173 (41.2%) 11 (2.6%) 26 (6.2%) Bireuen 50 (11.9%) 162 (38.6%) 105 (25.0%) 109 (26.0%) 24 (5.7%) 162 (38.6%) 5 (1.2%) 43 (10.2%) P Value 0.573 0.005 0.313 0.922 0.887 0.033 Pasca Perlakuan Penyebab TB Benar Gejala TB Benar Pemeriksaan TB Benar Penularan TB Benar Pencegahan TB Benar Penyembuhan TB Benar Tidak Benar Tidak Tahu 56 (13.3%) 55 (13.1%) 90 (21.4%) 83 (19.8%) 31 (7.4%) 184 (43.8%) 10 (2.4%) 16 (3.8%) 107 0.00 (25.5%) 124 0.00 (29,52%) 159 0.00 (37.9%) 137 0.00 (32.6%) 89 0.00 (21.2%) 166 0.001 (39.5%) 4 (1.0%) (9.5%) Adanya motivasi dari Tuha Peut mengakibatkan kunjungan ke puskesmas meningkat dari 64 suspek pada 3 bulan terakhir (2008) menjadi 112 (2009) pada periode waktu yang sama. Dimana 67 Diantaranya dikirim oleh Tuha Peut dengan dibekali T4 card, tetapi hanya 57 suspek (85%) yang sampai ke puskesmas, selengkapnya dapat dilihat pada gambar berikut: Gambar 1. Hubungan antara kemampuan Tuha Peut dengan kunjungan suspek ke puskesmas di daerah intervensi tahun 2009 10
  • 16. Kendala Tuha Peut dalam meningkatkan pengetahuan tentang TB antara lain karena Tuha Peut berprofesi sebagai pedagang keliling yang hampir setap hari tidak bersama warga sehingga waktu untuk berinteraksi dan memberikan penyuluhan menjadi sangat terbatas dan adanya stigma tentang TB di masyarakat, yang menganggap bahwa TB merupakan penyakit yang memalukan sehingga tidak etis menyuluh di warung kopi, sedangkan bagi masyarakat Aceh, warung kopi merupakan pusat informasi, bersosialisasi dan berinteraksi. Kesimpulan dan Saran Dari hasil penelitian itu dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan masyarakat antara kelompok kontrol (Aceh Besar) dan kelompok intervensi (Bireuen) sebelum perlakuan relatif sama. Sedangkan pascaperlakuan kepada Tuha peut, pengetahuan responden antara kelompok kontrol dengan kelompok intervensi berbeda. Hal ini sesuai dengan temuan Hoa PP, dkk (2006) bahwa pengetahuan tentang TB pada masyarakat dipengaruhi oleh banyaknya sumber informasi yang diakses dari berbagai media. Dengan demikian perlakuan terhadap tokoh masyarakat dapat meningkatkan pengetahuan pada komunitas. Menurut Ghimire dkk. (2010) di Nepal menemukan bahwa walaupun pendidikan masyarakat rendah tetap dapat dilibatkan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat lain di sekitarnya apabila dididik sebelumnya. Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan responden tentang TB setelah perlakuan meningkat signifikan pada kelompok intervensi, sedangkan pada kelompok kontrol tetap. Pemberdayaan Tuha Peut dalam program Penanggulangan TB dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tetang TB dan kemampuan Tuha Peut dalam memotivasi suspek TB di masyarakat meningkatkan angka kunjungan suspek TB ke Puskesmas. Namun kendalanya pada Tuha Peut antara lain kurangnya waktu sebagian Tuha Peut untuk berinteraksi dengan masyarakat, dan adanya stigma tentang TB. Dari hasil penelitian ini dapat direkomendasikan pelibatan Tuha Peut sebagai model lokal spesifik dalam program penanggulangan TB di Aceh. Daftar Pustaka 1. Hoa NP, Chuc NT, Thorson A, 2009. Knowledge, attitudes, and practices about tuberculosis and choice of communication channels in a rural community in Vietnam. Health Policy : 90(1):8-12. 2. Ida Leida, Widyaningrum, Anna Khuzaimah, Muh. Nasrum Massi, Chatarina Umbul 3. Wahyuni. 2008. Efek Promosi Kesehatan Pada Kelompok Masyarakat Informal Dalam Mendeteksi Suspek TB Di Kabupaten Gowa. Makassar. 4. Mata JI. 1985. Integrating the client's perspective in planning a tuberculosis education and treatment program in Honduras. Med Anthropol. 9(1):57-64. 5. M. Thaib. 2008. Situasi TB di NAD. Dinas Kesehatan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh 6. Qanun Aceh No. 8 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Gampong (Desa) 11
  • 17. Potensi Risiko Paparan Kadar PM2,5 Di Sekitar Semburan Lumpur Sidoarjo Tahun 2011 Drs. Arief Bintoro Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BBTKLPPM) Surabaya Abstrak Pada tahun 2011, BBTKLPPM Surabaya melakukan analisis potensi risiko kesehatan masyarakat yang ditimbulkan oleh semburan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur, dengan membandingkan risiko antara jarak yang dekat dan yang jauh dari pusat semburan lumpur. Populasi berasal dari 2 desa, yaitu Desa Besuki dan Desa Semampir Kecamatan Sedati. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kadar paparan PM2,5; kejadian gangguan fungsi faal paru; serta variabel lain, seperti umur, jenis kelamin, keberadaan penghuni yang merokok, status gizi, penggunaan obat nyamuk bakar, kepadatan hunian, dan luas ventilasi rumah. Hasil analisis antara lain menunjukkan bahwa ada pengaruh paparan kadar PM2,5 jarak dekat dan jauh dari pusat semburan lumpur Sidoarjo serta faktor ventilasi dan kepadatan hunian rumah terhadap gangguan fungsi faal paru penduduk sekitar pusat semburan lumpur Sidoarjo. Peningkatan kesehatan lingkungan permukiman di sekitar pusat semburan lumpur Sidoarjo merupakan salah satu upaya yang perlu ditingkatkan dan menjadi perhatian dari pihakpihak terkait bersama masyarakat. Pendahuluan Bencana lumpur Sidoarjo diawali dengan terjadinya penyemburan lumpur panas di lokasi pengeboran PT Sidoarjo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, pada 27 Mei 2006. Semburan lumpur panas yang tereksplorasi tidak terkendali menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya serta memengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Selain itu, kondisi lingkungan, sosial, dan kesehatan masyarakat juga ikut terpengaruh. Semburan ini berdampak pada pencemaran udara di permukiman penduduk sekitar, berupa gas berbahaya, zat kimia, dan debu dengan berbagai ukuran dan komposisi. Akibat semburan lumpur Sidoarjo, konsentrasi dan jenis bahan pencemar udara bertambah di wilayah tersebut. Gambaran kualitas udara ambien di wilayah sekitar luapan lumpur Sidoarjo diperoleh dari pengujian kualitas udara. Parameter pencemar udara yang diukur, antara lain SO x, NOx, NH3, H2S, HC, serta debu TSP (total suspended particulate). Salah satu parameter pencemar yang tidak memenuhi syarat berdasarkan hasil pengukuran kualitas udara tersebut adalah debu TSP, dimana baku mutu TSP sesuai Peraturan Gubernur Provinsi Jawa Timur Nomor 10 Tahun 3 2009 adalah maksimal 0.26 µg/l (mg/m ). Data hasil pengukuran kualitas udara, khususnya TSP, oleh BBTKLPPM Surabaya tiap tahunnya menunjukkan konsentrasi debu yang fluktuatif menurut waktu dan tempat. Pada tahun 2007 pengambilan sampel udara di Desa Mindi 3 dengan kadar debu TSP 0.191 µg/m . Tahun 2008 diperoleh konsentrasi debu tertinggi di Desa 3 Siring, yaitu rata-rata 0.3652 µg/m . Pengukuran kadar debu TSP tahun 2009 dilakukan di Desa Glagah Arum dengan hasil konsentrasi 0.943 3 µg/m , sedangkan pengukuran konsentrasi debu TSP tahun 2010 mengambil sampel di Desa Siring Barat dengan kadar debu TSP maksimal 3 0.439 µg/m . Penyakit batuk, sakit tenggorokan, bronchitis akut dan kronik, asma, pneumonia, emphysema paru dan kanker paru merupakan manifestasi penyakit saluran pernapasan akibat adanya paparan terhadap polutan udara secara terusmenerus dan berlangsung cukup lama. Partikulat debu yang melayang beterbangan selain mengganggu pernapasan juga dapat menembus paru-paru. Partikel udara yang lebih kecil, yaitu PM2,5, dapat terhirup ke dalam paru-paru dibandingkan partikel debu kasar atau PM10. Partikel debu yang masuk ke saluran pernapasan tersebut dapat mengganggu proses respirasi. Sehubungan dengan situasi tersebut, pada tahun 2011 BBTKLPPM Surabaya melakukan analisis potensi risiko pada populasi dengan membandingkan risiko antara jarak yang dekat dengan yang jauh dari pusat semburan lumpur, sehingga dapat diketahui gambaran dampak atau potensi risiko yang diakibatkan oleh semburan lumpur Sidoarjo dari segi kesehatan masyarakat. 12
  • 18. Gambar 1. Lokasi Desa yang Menjadi Tempat Kajian Metodologi Pengambilan sampel dilakukan secara purposive pada 2 desa yang memiliki jarak dekat dengan pusat semburan lumpur Sidoarjo, yaitu Desa Besuki dengan jarak ± 500 meter, dan desa yang memiliki jarak jauh dengan pusat semburan lumpur Sidoarjo, yaitu Desa Semampir Kecamatan Sedati dengan jarak ± 10 km. Adapun gambaran yang ingin diperoleh adalah : 1. kadar paparan PM2,5; 2. kejadian gangguan fungsi faal paru; serta 3. variabel lain, meliputi umur, jenis kelamin, keberadaan penghuni yang merokok, status gizi, penggunaan obat nyamuk bakar, kepadatan hunian, dan luas ventilasi rumah yang merupakan faktor risiko terjadinya gangguan fungsi faal paru. Secara rinci distribusi responden yang diambil menurut desa terpilih seperti pada Tabel 1 di bawah ini Tabel 1. Daftar Pengambilan Sampel dan Responden Lokasi Dekat Rumah Ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Jumlah Lokasi Jauh Jumlah Penghuni Jumlah Responden Jumlah Penghuni Jumlah Responden 5 5 6 5 4 5 5 6 4 4 4 4 4 - 5 4 5 4 4 5 4 5 4 4 4 4 3 55 5 6 5 4 5 6 5 5 6 6 6 - 5 6 5 4 4 6 5 4 5 6 5 55 Total Responden 110 Hasil dan Pembahasan Gambaran Potensi Risiko Gangguan Fungsi Faal Paru akibat paparan PM2,5 di sekitar semburan lumpur Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo, dapat diuraikan sebagai berikut. 13
  • 19. a. Analisis Situasi Berdasarkan Tempat Grafik 2. Distribusi Responden Menurut Umur Tabel 2. Distribusi kadar PM2,5 Menurut Jarak Rumah Ke- Jarak Dekat (µg/nm3) Jarak Jauh (µg/nm3) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 56.4 67.3 66.5 43.6 47.5 68.2 66.6 67.2 48.1 43.2 41.4 68.4 71.6 66.4 18.5 32.7 65.7 56.3 53.3 34.6 54.1 67.4 46.8 31.6 # # Rata-Rata 58.2 47.9 Berdasarkan Grafik 2, diketahui bahwa sebanyak 40 responden (36,36%) yang berusia lebih dari 40 tahun dan 19 responden (17,27%) yang berusia kurang dari 40 tahun mengalami gangguan fungsi faal paru. Grafik 3. Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin Berdasarkan tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa rata-rata kadar PM2,5 dalam rumah yang berada pada jarak dekat dengan pusat semburan lumpur lebih tinggi dibandingkan dengan kadar PM2,5 dalam rumah yang berada pada jarak jauh dengan pusat semburan lumpur. b. Analisis Situasi Berdasarkan Kasus Grafik 1. Distribusi Responden Menurut Status Fungsi Faal Paru Berdasarkan Grafik 3, diketahui bahwa 27 responden (24,55%) laki-laki dan 32 responden (29,91%) perempuan mengalami gangguan fungsi faal paru. c. Analisis Situasi Berdasarkan Faktor Risiko Grafik 4. Perbandingan Paparan Kadar PM2,5 pada Jarak Dekat dan Jarak Jauh dengan Gangguan Fungsi Faal Paru Berdasarkan Grafik 1, diketahui bahwa responden yang memiliki gangguan fungsi faal paru sebanyak 59 orang (54%). 14
  • 20. Berdasarkan Grafik 4 di atas diketahui bahwa gangguan fungsi faal paru pada responden yang berada dekat dengan pusat semburan lumpur Sidoarjo lebih tinggi dibanding dengan gangguan fungsi faal paru pada responden yang berada jauh dengan pusat semburan lumpur Sidoarjo. Perhitungan secara statistik menunjukkan bahwa rata-rata kadar PM2,5 responden pada jarak rumah jauh dari pusat semburan lumpur Sidoarjo yang tidak mengalami gangguan fungsi faal paru dengan responden pada jarak rumah dekat dari pusat semburan lumpur Sidoarjo yang mengalami gangguan fungsi faal paru memiliki perbedaan yang bermakna. Selain itu, rata-rata responden pada jarak rumah jauh dari pusat semburan lumpur Sidoarjo yang mengalami gangguan fungsi faal paru dengan responden pada jarak rumah dekat mengalami gangguan fungsi faal paru juga memiliki perbedaan yang bermakna. Variabel lain yang dapat memengaruhi kondisi tersebut adalah : 1. Umur Secara statistik hubungan antara umur dengan kejadian gangguan fungsi faal paru pada responden dengan jarak rumah dekat dan jauh dari pusat semburan lumpur Sidoarjo tidak bermakna. 2. Jenis kelamin Secara statistik hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian gangguan fungsi faal paru pada responden dengan jarak rumah dekat dan jauh dari pusat semburan lumpur Sidoarjo tidak bermakna. 3. Keberadaan penghuni yang merokok Secara statistik hubungan antara keberadaan penghuni yang merokok dengan kejadian gangguan fungsi faal paru pada responden dengan jarak rumah dekat dan jauh dari pusat semburan lumpur Sidoarjo tidak bermakna. 4. Status gizi Secara statistik hubungan antara status gizi dengan kejadian gangguan fungsi faal paru pada responden dengan jarak rumah dekat dan jauh dari pusat semburan lumpur Sidoarjo tidak bermakna. 5. Penggunaan obat nyamuk bakar Secara statistik hubungan antara penggunaan obat nyamuk bakar dengan kejadian gangguan fungsi faal paru pada responden dengan jarak rumah dekat dan jauh dari pusat semburan lumpur Sidoarjo tidak bermakna. 6. Kepadatan hunian Secara statistik hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian gangguan fungsi faal paru pada responden dengan jarak rumah jauh dari pusat semburan lumpur Sidoarjo bermakna, sedangkan hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian gangguan fungsi faal paru pada responden dengan jarak rumah dekat dari pusat semburan lumpur Sidoarjo tidak bermakna. 7. Luas ventilasi rumah Secara statistik hubungan antara luas ventilasi rumah dengan kejadian gangguan fungsi faal paru pada responden dengan jarak rumah dekat dan jauh dari pusat semburan lumpur Sidoarjo tidak bermakna. d. Analisis Kecenderungan Pengaruh partikulat debu bentuk padat maupun cair yang berada di udara sangat bergantung pada ukurannya. Ukuran partikulat debu yang membahayakan kesehatan berkisar antara 0,1 mikron sampai dengan 10 mikron. Pada umumnya ukuran partikulat debu sekitar 5 mikron merupakan partikulat udara yang dapat langsung masuk ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Keadaan ini bukan berarti bahwa ukuran partikulat yang lebih besar dari 5 mikron tidak berbahaya, karena partikulat yang lebih besar dapat mengganggu saluran pernapasan bagian atas dan menyebabkan iritasi. Keadaan ini akan lebih bertambah parah apabila terjadi reaksi sinergistik dengan gas SO2 yang terdapat di udara juga. PM2,5 lebih cytotoxic terhadap sel paru-paru in vitro, rata-rata pajanan individu terhadap PM10 di antara sekelompok masyarakat yang sensitif adalah serupa dengan rata-rata konsentrasi PM2,5 di luar ruangan tetapi secara signifikan lebih tinggi dari rata-rata konsentrasi di dalam ruangan. PM2,5 dan PM10 dapat menyebabkan pneumonia, gangguan sistem pernapasan, iritasi mata, alergi, dan bronchitis khronis. PM2,5 dapat masuk ke dalam paru-paru yang berakibat timbulnya emfisema paru, asma bronchial, dan kanker paruparu serta gangguan kardiovaskular atau kardiovascular (KVS). 15
  • 21. Secara umum PM2,5 dan PM10 timbul dari pengaruh udara luar (kegiatan manusia akibat pembakaran dan aktifitas industri). Sumber dari dalam rumah antara lain dapat berasal dari perilaku merokok, penggunaan energi masak dari bahan bakar biomassa, dan penggunaan obat nyamuk bakar. Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan oleh Tim BBTKLPPM Surabaya, diperoleh bahwa rata-rata kadar PM2,5 responden pada jarak rumah jauh dari pusat semburan lumpur Sidoarjo yang tidak mengalami gangguan fungsi faal paru dengan responden pada jarak rumah dekat dari pusat semburan lumpur Sidoarjo yang mengalami gangguan fungsi faal paru memiliki perbedaan yang bermakna. Sementara itu, rata-rata responden pada jarak rumah jauh dari pusat semburan lumpur Sidoarjo yang mengalami gangguan fungsi faal paru dengan responden pada jarak rumah dekat mengalami gangguan fungsi faal paru memiliki perbedaan yang bermakna. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah penduduk yang berada pada jarak dekat semburan lumpur Sidoarjo agar mendapatkan penanganan segera sehingga tidak terjadi dampak buruk terhadap kesehatan dalam jangka panjang. 3. Analisa Risiko Kesehatan Lingkungan, BTKLPPM Jakarta (2008) 4. Parameter Pencemar Udara dan Dampaknya terhadap Kesehatan, Ditjen PPM & PL, Depkes RI (2001) 5. Toksilogi Lingkungan, Mukono, H.J., Airlangga University Surabaya (2005) 6. Deteksi Pencemar Air Minum, Pitojo Setijo, Aneka Ilmu (2003) 7. Pedoman Pemantauan Terpadu Kualitas Air Sungai di Jawa Timur. Bapedal Propinsi Jawa Timur (2007) 8. Permenkes No. 492/Menkes/PER/IV/2010 Tentang Persyaratan Kualitas Air Minum 9. Pergub Jatim No. 10 tahun 2009 Tentang Baku Mutu Udara Ambien & Emisi Sumber Tidak Bergerak di Jatim 10. SK Menkes No. 718 tahun 1987 Tentang Kebisingan 11. Kepmenkes RI No. 87/Menkes/SK/VIII/2001 Tentang Pedoman Teknis ADKL Kesimpulan dan Saran Hasil kajian ini secara statistik membuktikan adanya pengaruh paparan kadar PM2,5 jarak dekat dan jauh dari pusat semburan lumpur Sidoarjo terhadap gangguan fungsi faal paru penduduk sekitar pusat semburan lumpur Sidoarjo. Faktor ventilasi dan kepadatan hunian rumah juga berpengaruh terhadap gangguan fungsi faal paru warga sekitar pusat semburan lumpur Sidoarjo. Oleh karena itu, disarankan agar pihak-pihak yang terkait bersama masyarakat perlu lebih memperhatikan masalah kesehatan yang timbul akibat bencana lumpur Sidoarjo, khususnya mengenai kelayakan hidup di sekitar pusat semburan lumpur Sidoarjo, antara lain melalui upaya peningkatan kesehatan lingkungan permukiman. Daftar Pustaka 1. Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik, Ditjen PP & PL, Depkes. (2008) 2. Bahan-bahan Berbahaya dan Dampaknya terhadap Kesehatan manusia, Ditjen PP & PL, Depkes. (2001) 16
  • 22. Kajian Kualitas Air Kolam Renang Permenkes 416 tahun 1990 Dr. Hening Darpito, SKM, Dip SE Dosen Teknik Lingkungan Universitas Satya Negara Indonesia, Ketua I FORKAMI dan Ketua Kolegium Kesehatan Lingkungan Abstrak Persyaratan Kualitas Air Kolam Renang terakhir ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416 tahun 1990. Kemajuan ilmu pengetahuan dan peningkatan kebutuhan manusia akan kesehatan, kenyamanan dan relaksasi mendorong kebutuhan akan kualitas air kolam renang yang lebih baik. Beberapa peristiwa infeksi penyakit menular pernafasan mencurigai ditularkan oleh air kolam renang khususnya yang mempergunakan air panas yang mengandung bakteri Legionella terutama menginfeksi para wisatawan manca negara. Untuk meningkatkan perlindungan kesehatan bagi perenang perlu ditetapkan persyaratan kesehatan yang baru. Perlindungan kesehatan dengan penetapan kualitas air ditujukan pada parameter fisik, kima dan bakteriologi. Kualitas bakteriologi kolam renang yang semula ditetapkan untuk Total coliform dan jumlah kuman diusulkan dipersyarat menjadi E.coli, jumlah kuman atau HPC dan ditambah parameter bakteri Legionella dan Pseudomonas. Perlindungan kesehatan penting lain dilakukuan dengan memperbaiki persyaratan kandungan sisa klor bebas dan sisa klor terikat. Perlindungan kesehatan parameter sisa klor perlu dibedakan untuk air kolam renang suhu ruangan, suhu panas, air kolam bermain ataupun air kolam renang yang mempergunakan sumber air alam. Pendahuluan Peningkatan pengguna kolam renang dan kolam bermain di kota-kota merupakan kebutuhan masyarakat untuk rekreasi dan olah raga serta kebutuhan gaya hidup. Disinfeksi air kolam renang dan kolam bermain bertujuan untuk menjamin keamanan air yang dipergunakan masyarakat. Air kolam harus aman dan tidak menyebabkan gangguan atau risiko kesehatan. Air kolam harus mempunyai sisa disinfektan yang cukup guna mengantisipasi bertambah banyaknya mikroorganisme dan organik. Kolam renang dan kolam bermain dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok risiko. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengelompokan risiko adalah beban kolam, kemampuan pengolahan kualitas air, tingkat kontaminasi, suhu udara sekitar dan status kesehatan pengguna kolam. Kolam yang termasuk dalam kelompok risiko tinggi perlu terus diawasi oleh tenaga yang mempunyai kompetensi dan terlatih, pengetesan kualitas air kolam dilakukan lima kali sehari. Kolam dangkal yang padat oleh pengguna seperti kolam bermain merupakan berisiko tinggi. kelompok kolam Kolam risiko sedang, seperti kolam renang yang ada di hotel dan resot perumahan yang terbatas penggunanya, tetap memerlukan pengawasan yang memadai. Kolam kategori risiko rendah memerlukan pengawasan yang tidak terlalu ketat, pengetesan kualitas air dilakukan ketika kolam dipadati pengunjung. Kolam yang termasuk kategori ini adalah kolam renang yang berada di rumah, perumahan yang pengunjungnya sangat terbatas. Perenang yang menggunakan kolam renang kelompok risiko tinggi mempunyai kesempatan terkontaminasi organisme penyakit lebih beragam daripada yang menggunakan kolam renang kelompok risiko di bawahnya, karena kolam ini lebih terbuka terhadap masyarakat umum. Organisme penyebab penyakit yang mungkin menginfeksi berasal dari banyak sumber utamanya dari para perenang sendiri. Organisme ini bisa disebarkan oleh perenang melalui kulit, ludah, kencing atau tinja. Namun ada juga organisme yang berasal dari debu, kotoran burung, atau tanah yang terinjak oleh kaki perenang. Beberapa organisme penyakit tersebut hidup dan mungkin berkembang atau tumbuh di dalam air kolam kecuali penyaringan air dan pembubuhan disinfektan dilakukan terus menerus sesuai dengan pedoman yang berlaku. Tujuan penulisan ini adalah untuk menyiapkan materi teknis bagi Kementerian Kesehatan dan para pakar dalam menetapkan persyaratan kualitas air kolam renang yang baru guna melindungi kesehatan para perenang. Metodologi Tinjauan Kualitas Air Kolam Renang Permenkes 416 Tahun 1990 ini dilakukan dengan melakukan studi kepustakaan dan diskusi berseri dengan berbagai stakeholder pengelola, ahli laboratorium, pejabat pengambil keputusan sector terkait. Studi kepustakaan dilakukan terhadap Peraturan Menteri Kesehatan yang berkaitan dengan air kolam renang, persyaratan kualitas air kolam renang beberapa negara tetangga dan maju 17
  • 23. serta pedoman atau guideline WHO terkait Hasil dan Pembahasan Suhu Kolam renang yang mempergunakan air panas atau suhu tinggi perlu melakukan pengawasan yang lebih ketat, suhu air kolam o tidak boleh lebih tinggi dari 40 C. Standar air kolam renang Queensland, Australia menyatakan, bila suhu air lebih tinggi dari suhu tubuh, dianjurkan perenang dewasa yang sehat tidak berada di kolam melebihi dari waktu 20 menit. Permenkes 416 tahun 1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air tidak mempersyaratkan suhu untuk air kolam renang. Kejernihan dan Kekeruhan: Kejernihan air perlu dijaga sampai mencapai tingkat yangdipersyaratkan. Kejernihan air merupakan faktor penting dalam menjamin keselamatan perenang. WHO menyatakan kekeruhan air minum kurang dari 5 NTU masih bisa diterima oleh masyarakat, sedangkan untuk mendapatkan efektifitas disinfeksi diperlukan kekeruhan kurang dari 0,5 NTU. Untuk mengetahui kejernihan air, bisa ditandai dengan masih dapat terlihat dengan jelas marka atau tanda garis yang dibuat pada dasar kolam terdalam dari tepi kolam. Demikian pula Piringan Secchi yang diletakkan di dasar kolam terdalam masih terlihat jelas. Permenkes 416 tahun 1990 tentang Syaratsyarat dan Pengawasan Kualitas Air menyatakan piringan Secchi yang diletakkan pada dasar kolam terdalam dapat dilihat dengan jelas dari tepi kolam pada jarak lurus 9 meter. pH pH ideal air kolam renang sangat diperlukan untuk menjaga efisiensi proses disinfeksi dan proses koagulasi, mencegah kerusakan peralatan dan rasa nyaman. pH antara 7,2 dan 7,8 diperlukan untuk menjaga efektifitas disinfeksi yang mempergunakan klorin. Sisa Klor bebas dan sisa klor terikat Klorin adalah disinfektan yang paling umum dipergunakan, biasanya berbentuk gas, cair, padat atau serbuk. Air yang mempunyai sisa klor dianggap tetap mempunyai kemampuan mendisinfeksi air dan tetap menjaga kenyamanan air. Dalam mengklorinasi air kolam renang harus melewati Break Pont Chlorination (BPC) untuk memastikan bahwa sisa klor adalah sisa klor bebas. Sesudah melewati Breakpoint Point Chlorination semua bentuk klorin yang dengan kolam renang. terikat telah dioksidasi oleh klorin, sehingga keseluruhan sisa klor adalah sisa klor bebas. Sisa klor bebas dapat dengan mudah mengoksidasi bahan organik nitrogen yang banyak diperoleh dari kencing dan sekresi perenang. Sisa klor bebas dapat berikatan dengan ammonia membentuk kloramin, yang dapat menyebabkan mata terasa pedas menyengat. Kloramin yang terbentuk masih mempunyai daya disinfeksi tetapi sangat lemah dan disebut sebagai sisa klor terikat. Keberadaan kloramin dalam air kolam renang harus dijaga seminimal mungkin, bila kloramin berlebih harus dikurangi dengan cara mengklorinasi air kolam renang dengan dosis tinggi. Sisa klor bebas ini diperlukan untuk membunuh kuman yang baru menginfeksi air atau bahan organik yang dibuang oleh perenang. Berbagai referensi menyebutkan angka sisa klor bebas yang harus tetap ada dalam air kolam renang sebesar 1,0 mg/L atau bahkan 2,0 mg/L di seluruh bagian kolam untuk menjaga air kolam tidak menimbulkan risiko bagi kesehatan. WHO menyatakan sisa klor bebas air kolam renang adalah 1,0 mg/L dan untuk kolam air panas sebesar 2 – 3 mg/L. Sementara itu sisa klor terikat harus serendah mungkin, ada referensi sisa klor terikat tidak boleh lebih dari setengah konsentrasi sisa klor bebas, ada yang mensyaratkan sebaiknya kandungan sisa klor terikat kurang dari 0,5 mg/L dan bahkan WHO mensyaratkan sebaiknya kurang dari 0,2 mg/L. Air panas untuk hot tubs ataupun air untuk terapi air (hydrotheraphy) memerlukan sisa klor bebas yang lebih tinggi karena mempergunakan suhu air lebih tinggi dan biasanya rasio jumlah pemakai dan volume air hot tubs juga lebih tinggi. Sisa klor untuk kolam renang umum tidak lebih dari 5 mg/L. Bilamana ozon atau sinar UV juga dipergunakan sebagai disinfeksi mendampingi klorin, maka sisa klor sebesar 0,5 mg/L cukup memadai. Jika pengelola kolam renang mempergunakan asam isosianurat untuik menstabilkan klorin, maka asam sianurat tidak boleh lebih dari 100 mg/L. Sisa asam sianurat yang ada dalam air dijaga antara 50 – 100 mg/L dan tidak boleh lebih dari 100 mg/L. HPC (Heterotrophic Plate Count) Pemeriksaan HPC dilakukan untuk mengetahui angka kerapatan bakteri secara umum dalam air kolam renang. Konsentrasi HPC diharapkan selalu di bawah suatu angka tertentu, ada yang menyatakan di bawah 200 18
  • 24. cfu/mL atau ada yang menyebutkan di bawah 100 cfu/mL (colony form units). Pertumbuhan kembali bakteri setelah pengolahan air di dalam kolam bisa saja terjadi, hal ini dapat diindikasi dari tingginya hasil pemeriksaan HPC air sampel. E. coli E.coli adalah anggota keluarga O Enterobacteriaceae, tumbuh pada 44 – 45 C pada media yang komplek, menghasilkan asam dan gas. E.coli dianggap merupakan indikator paling cocok untuk mengetahui adanya pencemaran tinja. Secara umum populasi bakteri coliform termotoleran didominasi oleh E.coli, dengan demikian E.coli tepat dipergunakan sebagai indikator dalam penetapan persyaratan dan monitoring kualitas air. E.coli juga dipergunakan sebagai indikator keberhasilan proses disinfeksi air tetapi hasilnya diketahui jauh lebih terlambat dibandingkan dengan memeriksa sisa disinfektan. Namun demikian, pengetesan E.coli ini lebih sensitif untuk mengetahui adanya virus dan protozoa. Kerapatan E.coli dalam air kolam renang dari semua referensi harus kurang dari 1/100 mL air. Pseudomonas aeruginosa Pseudomonas aeruginosa adalah mikroorganisme anaerobik yang banyak dijumpai dalam air, tanam-tanaman dan tanah. Manusia yang terinfeksi menjadi sumber utama P. aeruginosa di kolam renang dan kolam air panas. Lingkungan sekitar yang hangat, saluran air, lantai kolam, bisa menjadi tempat pertumbuhan. P. aeruginosa tumbuh dengan baik dalam suhu sampai dengan 41 O C, terutama pada saringan pengolahan air yang tidak dirawat dengan baik. Pemeriksaan P.aeruginosa secara teratur direkomendasikan untuk kolam air panas. Di samping itu, disarankan segera dilakukan pemeriksaan ketika diketahui terjadi kegagalan atau masalah dalam sistem penyaringan air. WHO merekomendasikan air yang didisinfeksi secara terus menerus jumlah P. aeruginosa tidak boleh lebih dari 1 per 100 mL, sedangkan air kolam sumber air alam yang tidak didisinfeksi tidak boleh lebih dari 10 per 100 mL air. Legionella spp. Legionella spp. merupakan bakteri heterotrofik yang dapat ditemukan di berbagai lingkungan air dan dapat berkembang O biak pada suhu di atas 25 C. Bakteri ini mungkin ada dalam jumlah banyak di air panas yang peralatannya kurang terpelihara. Legionella spp. juga dapat berkembang pada bahan saringan air, termasuk karbon aktif. Pemeriksaan Legionella secara berkala sangat berguna, terutama kolam air panas, kerapatan harus kurang dari 1/100 mL. Bilamana tidak dipenuhi maka kolam harus ditutup, dikeringkan dan dibersihkan. Apabila diduga saringan pengolahan air menjadi sumber Legionella, maka perlu dilakukan klorinasi dengan dosis tinggi. WHO menyarankan air kolam renang yang airnya didisinfeksi, ketika diperiksa jumlah kuman Legionella spp. harus kurang dari satu setiap 100 mL sampel, sedangkan untuk air hot tubs dan natural water juga harus kurang dari 1 per 100 mL. Kesimpulan dan Saran O 1. Suhu ( C). Persyaratan kesehatan suhu air kolam renang perlu diatur, karena bila o suhu air melebihi 40 C dikhawatirkan dapat mengganggu konsentrasi perenang karena berada di kolam dalam waktu yang lama dapat meyebabkan gangguan dan keselamatan. Beberapa referensi menyatakan air yang panas tidak baik untuk wanita hamil, anak-anak, orang tua, orang dengan kelemahan jantung. Temperatur tinggi akan menyebabkan daya bunuh disinfektan menurun, menjadi tempat yang ideal untuk pertumbuhan bakteri seperti Legionella, juga bisa menyebabkan heat stress. 2. pH air sangat perlu dijaga dalam batas tertentu untuk menjaga efektifitas disinfeksi, pengolahan air kolam, dan kesetimbangan parameter kimia yang lain seperti kesadahan, korosifitas air dll. pH air di atas tujuh akan mengurangi daya atau kekuatan sisa klor bebas demikian juga pada pH rendah akan menurunkan kekuatan klorin. Disarankan pH air ideal adalah antara 7,2 – 7,6; namun bila sulit dicapai disarankan tidak lebih dari 7,8. 3. Sisa klor bebas berupa Cl2, HOCl atau OCl merupakan sisa klor yang diharapkan tetap selalu ada dalam air kolam renang. Sisa klor rendah kurang dari 1 mg/L menyebabkan air kondusif untuk terbentuknya kloramin. Seperti diketahui saat awal air dibubuhi, klorin akan bereaksi dengan bahan organik, bakteri dan amonia. Reaksi klorin dengan amonia menghasilkan kloramin. Kloramin masih mempunyai daya disinfeksi walau kekuatannya tidak sekuat klor bebas, namun bila konsentrasinya kloramin tinggi bisa menyebabkan air kolam berbau dan 19
  • 25. menyebabkan iritasi dan gatal pada kulit. Dilaporkan penambahan klorin yang menghasilkan sisa klor bebas akan mempunyai kekuatan disinfeksi 50 kali lebih efektif daripada sisa klor terikat. Penambahan klorin lebih lanjut akan juga menghancurkan kloramin yang ada. Kloramin berlebihan yang sulit dihancurkan bisa dikurangi dengan melakukan disinfeksi klorin dosis tinggi. Kondisi ini menjamin bahwa air bebas dari bakteri peyebab penyakit. Berkaitan dengan disinfeksi air kolam dengan klorin disarankan: a. Air kolam renang yang di disinfeksi dengan klorin mempunyai sisa klor bebas ideal 1,0 – 1,5 mg/L, minimal 1,0 mg/L dan maksimal 5,0 mg/L, b. Air kolam renang yang di disinfeksi dengan klorin yang dikombinasi dengan Ozon atau sinar UV disarankan mempunyai sisa klor bebas ideal 1,0 – 1,5 mg/L, minimal 0,5 mg/L dan maksimal 5,0 mg/L, c. Air kolam renang air panas yang didisinfeksi dengan klorin disarankan mempunyai sisa klor bebas ideal 2,0 – 3,0 mg/L, minimal 1,0 mg/L dan maksimal 5,0 mg/L, d. Air kolam renang yang didisinfeksi dengan klorin yang dikombinasi dengan asam sianurat disarankan mempunyai sisa klor bebas ideal 2,0 – 3,0 mg/L, minimal 2,0 mg/L dan maksimal 5,0 mg/L, e. Air kolam bermain yang didisinfeksi dengan klorin disarankan mempunyai sisa klor bebas ideal 2,0 – 3,0 mg/L, minimal 1,5 mg/L dan maksimal 5,0 mg/L, f. Sisa klor terikat yang ideal untuk semua air kolam disarankan < 0,5 mg/L dan maksimal < 1 mg/L. 4. Eschericia coli merupakan mikroba yang jumlahnya sangat banyak di dalam perut manusia, binatang dan burung. Air yang tercemar tinja dikhawatirkan mengandung mikro-organisme yang dapat menyebabkan penyakit bagi para perenang. Dengan demikian dipersyaratkan setiap 100 mL air kolam renang mengandung E.coli kurang dari satu. 5. Heterotrophic Plate Count atau HPC atau jumlah kuman secara umum. Pemeriksaan HPC < 100 per mL yang dilakukan pada o suhu 35 – 37 C dalam jangka waktu 48 jam menunjukkan air kondisi baik. Disarankan kerapatan kuman air kolam renang adalah < 200 per 100 mL dan untuk kolam renang air panas adalah < 100 per mL. 6. Monitoring teratur terhadap Pseudomonas aeroginosa disarankan untuk air kolam renang air panas dan air sumber alam. Pemeriksaan juga dilakukan terhadap air kolam renang yang mengalami masalah proses penyaringan atau disinfeksi. Disarankan untuk air yang didisinfeksi tidak dijumpai P. aeroginosa dalam 100 mL air dan untuk air kolam yang tidak disinfeksi tidak boleh ada dalam 10 mL air. 7. Pemeriksaan secata teratur Legionella sp. bermanfaat untuk air kolam panas. Legionella bisa dijumpai dalam jumlah yang banyak dalam air sumber alam yang panas dan tumbuh dalam air kolam panas yang tidak dirawat dengan baik. Disarankan kerapatan Legionella sp untuk semua jenis air tidak boleh ada dalam 100 mL air. Kepustakaan Christiane Höller, Pool water quality–The German philosophy, Bayerisches Landesamt für, Gesundheit und Lebensmittelsicherheit, Bavarian Health and Food Safety Authority, German, Department of Human Services Victoria, The Pool Operator’s Handbook 2000, Australian Pesticide and Veterinary medicine Autority, APVMA GUIDE FOR DEMONSTRATING EFFICACY OF POOL AND SPA SANITISERS,. APVMA Australia, 2007 Direktorat Penyehatan Lingkungan, Naskah Teknis Pedoman Pengawasan Kualitas Air Kolam Renang, Kementerian Kesehatan, 2011 ENVIRONMENTAL HEALTH DEPARTMENT, ENVIRONMENTAL PUBLIC HEALTH DIVISION, Code Practice on Environmental Health, NATIONAL ENVIRONMENT AGENCY, SINGAPORE, 2005 Great Lakes-Upper Mississippi River Board of State and Province Public Health and Environmental Managers, Recommended Standard for Swimming Pools Design and Operation, USA, 1996 Kementerian Kesehatan RI, Permenkes 416 tahun 1990 tentang Syaratsyarat dan Pengawasan Kualitas Air, 1990. New South Wales HEALTH, PUBLIC SWIMMING POOL AND SPA POOL GUIDELINES, Department of Health New South Wales, 1996 Oregon Public Health Division, Pool Operator Training Manual, Oregon Health Authority, 2011 Saskatchewan HEALTH, Swimming pools Design/Operational Standards, The Swimming Pool Regulations, Saskatchewan, 1999 20
  • 26. Queensland Government, Queensland Health, Swimming and Spa Pool Water Quality and Operational Guidelines, Queensland Health, 2004 WHO, Guidelines for safe recreational water environments VOL 2 SWIMMING POOLS AND SIMILAR ENVIRONMENTS, WHO, 2006 21
  • 27. Pengembangan Database Registri Cedera di Rumah Sakit Dra. Woro Riyadina, M.Kes, Anna Maria Sirait, SKM, M.Kes dan Dra. Marice Sihombing, MSi Peneliti Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat, Balitbangkes Kemenkes RI Abstrak Beban cedera makin meningkat sehingga dibutuhkan penyediaan dan penyajian data yang cepat dan terbaru. Sistem dokumentasi data cedera dari berbagai sumber masih bersifat manual sehingga pemanfaatan data kurang optimal. Diperlukan model sistem registri data dasar trauma yang sederhana, aplikatif, informatif dan mudah diakses oleh pengguna sebagai penunjang sistem surveilans cedera. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model database registri cedera yang aplikatif dan informatif. Penelitian ini dilaksanakan dengan rancangan potong lintang dengan ujicoba formulir dan software registri cedera di 3 rumah sakit yaitu RSUD Koja Jakarta Utara, RS Sumber Waras Jakarta Barat dan RS Dr. Kariadi Semarang, Januari – Agustus 2010 sebanyak 962 kasus. Selanjutnya data dianalisa dengan uji Kai Kuadrat. Hasil penelitian berupa model database (formulir dan software) registri cedera yang berisi 9 variabel inti (core) dan 31 variabel tambahan (additional). Program (software) cedera2010.exe menggunakan aplikasi Microsoft Acces dan data berbentuk .mdb sehingga mudah ditransfer ke program lain untuk dianalisis lanjut. Tampilan hasil software berupa grafik batang (jumlah kasus) dan grafik lingkaran (persentase kasus). Proporsi cedera pada pasien rawat inap di rumah sakit mayoritas akibat kecelakaan transportasi darat (59,6%), mengalami cedera di bagian kepala (47,5%) dengan jenis luka patah tulang (27,3%) dan mengalami kematian sekitar 3,2%. Proporsi cedera berbeda bermakna (p<0.05) menurut jenis rumah sakit. Model database registri cedera dirancang dan dibuat sangat praktis aplikatif, informatif dan cepat. Penelitian lanjut diperlukan untuk ujicoba dan standarisasi penerapan formulir dan program (software) registri cedera di rumah sakit. Pendahuluan Cedera telah menjadi masalah utama kesehatan masyarakat. Lebih dari dua per tiga masalah cedera dialami oleh negara-negara 1,2 berkembang. Kematian akibat cedera diproyeksikan meningkat dari 5,1 juta menjadi 8,4 juta (9,2% dari kematian global) dan diestimasikan menempati peringkat ketiga dari DALYs (Disability adjusted life years) pada 3,4 tahun 2020. Cedera menduduki peringkat ke delapan dari 15 penyebab kematian pada kelompok umur 15-29 tahun terutama untuk cedera akibat kecelakaan lalu lintas, bunuh diri, dibunuh, tenggelam, terbakar, perang, 5 keracunan dan jatuh. Masalah cedera memberikan kontribusi pada kematian 15%, beban penyakit 25% dan kerugian ekonomi 5% 6 GDP (Growth Development Product). Hasil Riset kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi cedera sekitar 8% sedangkan menurut laporan rutin dari rumah sakit menggambarkan bahwa jumlah korban cedera mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun yaitu 56.818 kasus pada tahun 2004 menjadi 72.281 8 kasus di tahun 2005. Permasalahan ketersediaan data cedera di Indonesia membutuhkan perhatian yang serius. Data dari berbagai sumber tersebut perlu digabung menjadi satu set data sehingga informasi lebih lengkap. Untuk itu diperlukan suatu sistem atau jejaring informasi data cedera yang mudah diakses. Sistem surveilans cedera merupakan salah satu solusi sebagai jejaring data cedera lintas sektor. Jejaring informasi data cedera antar rumah sakit perlu dibentuk sebagai embrio dari sistem surveilans cedera lintas sektor. Database registri cedera merupakan upaya menyatukan (agregrasi) data dari berbagai sumber data baik yang ada di rumah sakit ataupun dari lintas sektor. Data dari registri data dasar trauma seharusnya dapat digabung dalam registri regional dan disambungkan dengan data dari seluruh tahapan perawatan (pre rumah sakit, di rumah sakit dan rehabilitasi) yang mudah diakses 9 dalam 1 set data. Selain itu, registri data dan pelaporan cedera di rumah sakit yang ada sekarang ini masih bersifat laporan rutin yang bersifat manual sehingga belum optimal. Untuk itu diperlukan suatu sistem elektronik registri data dasar trauma (computerized) yang aplikatif sehingga memudahkan input data dan pembuatan laporannya serta informatif. Data dasar tersebut diupayakan dapat disambung (link) dengan jejaring antar rumah sakit dan atau pihak terkait untuk dimanfaatkan. Untuk menjawab tantangan tersebut maka diperlukan suatu pengembangan model database dengan cara merancang model 22
  • 28. database registri cedera yang aplikatif dan informatif. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model database registri cedera yang aplikatif dan informatif berupa formulir dan program/software. Rancangan registri data dasar trauma ini diharapkan dapat digunakan oleh petugas rumah sakit untuk memudahkan menyimpan data dan membuat laporan rutin serta dimanfaatkan sebagai penyedia informasi data yang standar penunjang sistem surveilans cedera secara keseluruhan. Manfaat lain diharapkan dapat sebagai embrio untuk terbentuknya jejaring surveilans cedera antar rumah sakit dan lintas sektor dalam perencanaan upaya pencegahan cedera. Metodologi Artikel ini merupakan sebagian hasil dari penelitian ―Pengembangan Database Registri Trauma sebagai Penunjang Sistem Surveilans Cedera‖. Tahapan penelitian ini meliputi pengembangan formulir dan pembuatan program (software) registri cedera. Penelitian dengan desain potong lintang dengan metode pengisian formulir (abstraksi) dan ujicoba entri 962 kasus cedera pada pasien rawat inap di bagian rekam medis 3 rumah sakit (RSUD Koja Jakarta Utara, RS Sumber Waras Jakarta Barat dan RSUP Dr. Kariadi Semarang, Jawa Tengah) dari bulan Januari – Agustus 2010. Data dianalisis secara deskriptif dengan aplikasi software cedera2010.exe dan analisis lanjut dengan uji statistik kai kuadrat. Hasil dan Pembahasan Penelitian ini merupakan tahapan kegiatan merancang model database registri cedera meliputi kegiatan penyusunan formulir dan membuat software registri cedera. a.Formulir Registri Cedera Tahap awal merancang database cedera adalah dengan penyusunan formulir registri cedera sebagai bahan materi (substansi) untuk merancang software database registri cedera. Formulir registri cedera yang sudah disepakati dalam pertemuan dengan lintas sektor terdiri 2 halaman tampilan atau 1 lembar bolak-balik. Jumlah keseluruhan variabel ada 40 variabel yang terdiri dari 9 variabel inti dan 31 variabel tambahan. Penambahan jumlah variabel atau data suplemen masih sangat dimungkinkan untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan data dan informasi. b.Pengisian formulir registri cedera (abstraksi) Langkah awal untuk membuat database cedera yang lengkap adalah dengan melakukan proses abstraksi (menyalin data) dari rekam medis ke dalam formulir registri cedera. Proses ini memerlukan upaya mencari sumber data selain di rekam medis, seperti data biaya perawatan di rumah sakit dari bagian bendahara. Idealnya semua variabel dalam formulir registri bisa terisi untuk mendapatkan data yang lengkap. Kenyataannya bahwa ada beberapa variabel yang tidak dapat terisi dikarenakan kesulitan untuk mendapatkan informasi (tabel 1). Tabel 1. Prosentase variabel yang sulit mendapatkan informasi No. Nama variable Jumlah yang kosong (missing) % 1. Aktivitas menjelang cedera 332 34,5 2. Pemakaian helm 237 24,6 3. Cara angkut pasien 230 23,9 4. Pekerjaan 225 23,1 5. Pendidikan 171 17,8 6. Jam kejadian cedera 118 12,3 7. Biaya pengobatan di rumah sakit 51 5,3 Tabel 1 terlihat bahwa variabel aktivitas menjelang cedera merupakan variabel yang paling banyak tidak terisi atau diisi tidak tahu yaitu sebanyak 34%. Data demografi pasien untuk pendidikan dan pekerjaan yang merupakan variabel inti (core) dalam registri cedera perlu ditegaskan agar data penting tersebut bisa diisi secara lengkap. Biaya perawatan cedera diperlukan untuk kebutuhan analisis biaya terkait dengan beban ekonomi. Idealnya untuk formulir registri cedera seharusnya digabung dalam rekam medis. Secara teknis formulir diisi oleh petugas di bagian IGD dan tahap akhir dilengkapi oleh petugas di bagian rekam medis. Ada empat jenis kesalahan utama yang teridentifikasi dalam registri trauma meliputi kegagalan untuk mengidentifikasi pasien yang terkait, inklusi pasien yang tidak sesuai, record data rumah sakit tidak cukup atau tidak akurat dan data di registri trauma tidak cukup atau tidak akurat. Registri trauma di Queensland 10 menemukan 5% kesalahan data rumah sakit. 23
  • 29. c. Software Registri Cedera Software registri cedera terdapat dalam satu folder CEDERA yang terdiri dari 3 file yaitu dbase-cedera, file cedera2010.exe dan file INITDB.UDL. Tampilan program terdiri dari 2 sheet (halaman) yaitu halaman registri dan halaman laporan (tabel dan grafik). Tampilan program entri (registri) terdiri dari 5 layar yang menunjukkan sub bagian dalam formulir yaitu identitas pasien (variabel 01 – 09), penyebab luar cedera (variabel 10 – 16), penyebab luar cedera (variabel 17 – 20), penanganan di UGD RS (variabel 22 – 31) dan jenis cedera dan anggota tubuh cedera (32 – 40). Fasilitas tampilan grafik dalam bentuk Bar (batang) dan Pie (lingkaran). Program (software) ini dirancang sangat praktis dan mudah dalam pengoperasiannya (entri, edit dan analisis) serta menghasilkan produk laporan dalam tampilan grafik yang menarik dan informatif. Aplikasi pembuatan laporan dalam bentuk grafik tersedia menurut 11 variabel yaitu jenis kelamin, kelompok umur, pendidikan, pekerjaan, domisili, sumber biaya, penyebab luar cedera, tempat kejadian, hari kejadian, bagian tubuh cedera, sifat/jenis cedera. Pengembangan awal registri cedera harus melibatkan teknisi dalam mengoperasikan sistem seperti hardware, software, sistem operasionalisasi, dukungan memori dan keamanan (security). Database cedera membutuhkan biaya yang mahal dan apabila tidak dirancang dengan baik maka akan tidak 11 efektif. d. Tampilan hasil analisis dari program (software) registri cedera Salah satu kelebihan program (software) registri cedera adalah menampilkan laporan hasil dalam bentuk grafik yang menarik dan informatif dengan cara yang sangat mudah. Kemudahan ditunjukkan dengan hanya mengaplikasikan ―mouse‖ (―klik‖) pada pilihan laporan yang ingin ditampilkan. Grafik tersebut dapat secara langsung dilakukan cetak hasilnya apabila langsung dihubungkan dengan printer. Analisis deskriptif dihasilkan dalam bentuk tampilan grafik batang (jumlah kasus) dan lingkaran (persentase/proporsi). Contoh grafik untuk jumlah kasus dan proporsi cedera menurut jenis kelamin dan kelompok umur ditampilkan pada gambar 1 dan 2 Gambar 1. Jumlah Kasus Cedera Menurut Jenis Kelamin Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Koja Jakarta Utara, Januari-Agustus 2010 Gambar 2. Persentase Kasus Cedera Menurut Kelompok Umur pada Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Koja Jakarta Utara, Januari-Agustus 2010 e. Proporsi cedera pada pasien rawat inap di rumah sakit. Sumber data berasal dari database cedera di 3 rumah sakit yang merupakan hasil entri dengan program (software) cedera 2010.exe. Data dianalisis lanjut dengan melakukan transfer data.mdb ke data.sav, selanjutnya dianalisis dengan uji Kai Kuadrat di program SPSS. Urutan proporsi terbanyak penyebab cedera pada pasien rawat inap menurut rumah sakit disajikan pada tabel 2. 24
  • 30. Tabel 2. Urutan proporsi terbanyak penyebab luar cedera menurut rumah sakit Tabel 3. Proporsi bagian tubuh yang terkena cedera menurut RS RumahSakit RumahSakit Penyebab luar cedera Bagian tubuh yang terkena cedera RS RS Sumber RS Koja Kariadi Waras n (%) n (%) n (%) Total n (%) Kepala 379 (52,7) 197 (27,4) 143 (19,9) 749 (100) Leher 4 (44,5) 2 (22,2) 3 (33,3) 9 (100) Dada 67 (77,0) 3 (3,5) 17 (19,5) 87 (100) 21 (60,0) 35 (100) Perut,punggung, pinggang,panggul 23 (40,4) 19 (33,3) 15 (26,3) 57 (100) 11 (42,3) 7 (26,9) 26 (100) Bahu, lenganatas 12 (48,0) 7 (28,0) 25 (100) 59 (69,4) 20 (23,5) 6 (7,1) 85 (100) Siku , lengan bawah 36 (52,9) 14 (20,6) 18 (26,5) 68 (100) Pergelangan tangan, 56 (58,9) 17 (17,9) 22 (23,2) 95 (100) Sendi pinggul, Tungkai atas 26 (49,1) 15 (28,3) 12 (22,6) 56 (100) Lutut, tungkai bawah 30 (43,5) 20 (29,0) 19 (27,5) 69 (100) RS Kariadi n (%) RS Sumber Waras n (%) RS Koja n (%) Total n (%) Transportasi darat 240 (41,9) 196 (34,2) 137 (23,9) 573 (100) Terjatuh 35 (26,0) 77 (57,0) 23 (17,0) 135 (100) Terkena benda tajam 7 (6,0) 10 (8,5) 100 (85,5) 117 (100) 5 (14,3) 9 (25,7) Terkena mesin 8 (30,8) Kejatuhan benda 6 (24,0) Terkena api 0 (0,0) 1 (12,5) 7 (87,5) 8 (100) KDRT 0 (0,0) 1 (14,3) 6 (85,7) 7 (100) Kriminalitas Terkena benda 0 (0,0) 1 (20,0) 4 (80,0) 5 (100) panas *Proporsi penyebab luar cedera yang lain di bawah ≤ 0,1% Proporsi penyebab luar cedera yang menempati urutan teratas adalah transportasi darat untuk ketiga rumah sakit. Apabila dibandingkan ketiga rumah sakit tersebut tampak bahwa proporsi tertinggi ada di Rumah Sakit Kariadi Semarang yaitu sekitar 41,9%. Hasil ini lebih jauh lebih tinggi jika dibandingkan hasil survei di populasi masyarakat (Riskesdas 12 tahun 2007) yaitu 27%. Urutan kedua penyebab cedera terbanyak adalah terjatuh dan proporsi terbesar terdapat di RS Sumber Waras yaitu 57%. Hasil tersebut hampir sesuai dengan hasil Riskedas 2007 yaitu sekitar 59,5%. Sedangkan posisi ke tiga penyebab cedera adalah terkena benda tajam yang mayoritas pasiennya dirawat di RS Koja yakni sebesar 85,5%. Hasil analisis lanjut ini menambah bukti bahwa penanganan dan pencegahan cedera akibat transportasi darat perlu segera dilakukan dan diprioritaskan. Perbedaan proporsi bagian tubuh yang terkena cedera menurut rumah sakit tercantum dalam tabel 3. Pergelangan kaki 10 17 18 46 (21,7) (37,0) (41,3) (100) * Daerah cedera bisa lebih dari satu (multiple injuries) * Proporsi cedera berbeda bermakna: p = 0,000 > 0,05 Proporsi cedera terbanyak adalah bagian kepala. Sebagian besar proporsi cedera di hampir semua bagian tubuh didominasi oleh pasien yang dirawat di RS Kariadi, hanya untuk cedera di bagian pergelangan kaki tertinggi pada pasien di RS Koja yaitu 41,3%. Karakteristik bagian tubuh yang cedera menurut rumah sakit akan memberikan masukan dan infomasi bagi rumah sakit untuk ketersediaan sarana dan prasarana pendukung untuk peningkatan pelayanan pasien cedera. Perbedaan proporsi jenis cedera menurut rumah sakit disajikan dalam tabel 4. Tabel 4 Proporsi jenis cedera menurut rumah sakit RumahSakit Jenis cedera RS Kariadi n (%) RS Sumber RS Koja Waras n (%) n (%) Total n (%) Superfisial 28 (31,1) 50 (55,6) 12 (13,3) 90 (100) Luka terbuka 52 (28,7) 20 (11,1) 109 (60,2) 181 (100) Patah tulang (gigi) 276 (66,8) 87 (21,1) 50 (12,1) 413 (100) Dislokasi/sprain, strain 15 (68,2) 6 (27,3) 1 (4,5) 22 (100) Cedera saraf/sumsum tulang belakang 2 (33,3) 1 (16,7) 3 (50,0) 6 (100) 25
  • 31. RumahSakit Jenis cedera RS Kariadi n (%) RS Sumber RS Koja Waras n (%) n (%) Total n (%) Superfisial 28 (31,1) 50 (55,6) 12 (13,3) 90 (100) Luka terbuka 52 (28,7) 20 (11,1) 109 (60,2) 276 (66,8) 87 (21,1) 50 (12,1) 413 (100) Dislokasi/sprain, strain 15 (68,2) 6 (27,3) 1 (4,5) 22 (100) Cedera saraf/sumsum tulang belakang 2 (33,3) 1 (16,7) 3 (50,0) 6 (100) Cedera pembuluh darah 1 (14,3) 6 (85,7) 0 (0,0) Cedera otot dan tendo 7 (50,0) 3 (21,4) Cedera mata 12 (85,7) Cedera jantung/organ intra abdomen Tabel 5. Proporsi keadaan pasien cedera saat keluar dari rumah sakitmenurut rumah sakit 181 (100) Patah tulang (gigi) Mortalitas akibat cedera pada pasien rawat inap di rumah sakit diperlihatkan dengan proporsi keadaan pasien saat keluar dari rumah sakit (tabel 5). RumahSakit Keadaanpasie RS nsaatkeluar RS Sumber RS Koja RS Kariadi Waras n (%) n (%) n (%) Total n (%) Hidup 294 (91,8) 321 (99,4) 316 (99,1) 931 (96,8) 7 (100) Meninggal 26 (83,9) 2 (6,5) 3 (0,9) 31 (3,2) 4 (28,6) 14 (100) Total 320 (32,3) 323 (33,5) 319 (33,2) 962 (100) 1 (7,2) 1 (7,1) 14 (100) 5 (62,5) 2 (25,0) 1 (12,5) 8 (100) Cedera organ thorax lainnya/pelvis 29 (70,7) 5 (12,2) 7 (17,1) 41 (100) Komosiocerebri 82 (33,9) 94 (38,8) 66 (27,3) 242 (100) Kontusio, laserasi dan perdarahan dalam otak 95 (85,6) 7 (6,3) 9 (8,1) 111 (100) Perdarahan epidural 26 (74,3) 6 (17,1) 3 (8,6) 35 (100) Perdarahan subdural 36 (87,8) 4 (9,8) 1 (2,4) 41 (100) Remuk 2 (100,0) 0 (0,0) 0 (0,0) 2 (100) Amputasi 7 (63,6) 2 (18,2) 2 (18,2) 11 (100) Lainnya 15 30 5 50 (30,0) (60,0) (10,0) (100) *Daerah cedera bisa lebih dari satu (multiple injuries) * Proporsi cedera berbeda bermakna: p = 0,000 > 0,05 Proporsi terbesar untuk cedera superfisial terbanyak dialami oleh pasien di rumah sakit Sumber Waras (55,6%), luka terbuka di RS Koja (60,2%), patah tulang di RS Kariadi (66,8%), komosio cerebri di RS Sumber Waras (38,8%), kontusio, laserasi dan pendarahan dalam otak di RS Kariadi (85,6%), perdarahan epidural dan subdural di RS Kariadi masingmasing 74,3% dan 87,8%. Proporsi jenis cedera ini dapat menggambarkan tingkat keparahan pasien cedera. Pola cedera pada pasien rawat inap di rumah sakit sangat berbeda dengan hasil Riskesdas 2007 dikarenakan untuk pola cedera di masyarakat menunjukkan cedera yang lebih ringan tingkat keparahannya dibandingkan dengan pasien cedera yang harus dirawat inap. Mortalitas pasien cedera yang dirawat inap di rumah sakit sekitar 3,2%. Hasil tersebut tampak lebih tinggi apabila dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2007 sekitar 6,5 per mil dan merupakan penyebab kematian urutan ke 4 setelah strok, TB dan hipertensi. Hasil ini bisa dijadikan data untuk evaluasi pelayanan dan tingkat keparahan cedera. Proporsi kematian pasien cedera di RS Kariadi paling tinggi (83,9%) dibandingkan dengan RS lain. Hal tersebut sesuai dengan tingkat keparahan cedera pada pasien yang dirawat di RS Kariadi. Kesimpulan dan Saran Hasil penelitian mendapatkan model database (formulir dan program/software) registri cedera yang berisi elemen 9 variabel inti (core) dan 31 variabel tambahan (additional). Program (software) cedera2010.exe menggunakan aplikasi Microsoft Acces dan data berbentuk .mdb sehingga mudah ditransfer ke program lain untuk dianalisis lanjut. Laporan hasil analisis dalam bentuk grafik batang (jumlah kasus) dan grafik lingkaran (persentase). Pola cedera pasien rawat inap menunjukkan bahwa proporsi cedera mayoritas akibat kecelakaan transportasi darat (59,6%), mengalami cedera di bagian kepala (47,5%) dengan jenis luka patah tulang (27,3%) dan mengalami kematian sekitar 3,2%. Proporsi cedera berbeda bermakna (p<0,05) menurut jenis rumah sakit. Model database registri cedera dirancang dan dibuat sangat praktis aplikatif, informatif dan cepat. Penelitian selanjutnya diperlukan untuk melakukan ujicoba dan standarisasi penerapan formulir dan program (software) registri cedera di rumah sakit. 26
  • 32. Daftar Pustaka 1. Smith GS, Barss P: Unintentional injuries in developing countries: Epidemiology of neglected problem. Epidemiol Rev 1991, 13:228-66. 2. Forjuoh SN, Gyebi-Ofosu E: Injury Surveiillance: should it be a concern to developing countries?. J Public Health Pol 1993, 14:355-9. 3. 8. 9. information 4. 5. 6. 7. systems-Projections of mortality and http://www.who.int. Murray CJ, Lopez AD: Alternative projections of mortality and disability by cause 1990-2020: Global Burden of Diseases Study. Lancet 1997, 349:1498-504. Injuries, Violence and Disabilities BIENNIAL REPORT 2004–2005, World Health Organization 2006, WHO Press. Geneva. Etienne G., Krug, MD,MPH.,Gyanendra K., Sharma, MD, MSc and Rafael, Lozano, MD, MSC, The global burden of injuries, Am J Public Health. 2000;90:523526. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2007. Badan Penelitian dan 10. 11. 12. Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. Desember 2008, hal: 160 – 169. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes RI. Kebijakan Pelaksanaan Program Gangguan Akibat Kecelakaan dan Tindak Kekerasan. Makalah. Subdit Gangguan Akibat Cedera. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Depkes RI. Jakarta. 2007. Clark,DE And Hahn,DR. Hospital Trauma Registries Linked with Population-Based Data. J Trauma. 1999 Sep;47(3):448-54 McKenzie K, Walker S, Besenyei A, Aitken LM, Allison B. Assessing the concordance of trauma registry data and hospital records.HIM J. 2005;34(1):3-7. Acosta JA, Hatzigeorgiou C, Smith LS. Developing a trauma registry in a forward deployed military hospital: Preliminary report. J Trauma. 2006;61:256–260. Riyadina,W. Pola dan Determinan Cedera di Indonesia. Analisis lanjut data Riskesdas 2007. Laporan Hasil. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.Jakarta. 2008 27
  • 33. Ujicoba Efektivitas Desinfektan Kaporit Dan Lisol Terhadap Jarum Suntik Yang Dihancurkan/Tanpa Dihancurkan Hadi Suhatman, S.Si Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BBTKLPPM) Jakarta Abstrak Menurut laporan WHO tahun 1999, melaporkan bahwa di Prancis pernah terjadi 8 kasus pekerja kesehatan terinfeksi HIV melalui luka, 2 kasus diantaranya menimpa petugas yang menangani limbah medis. Pemakaian alat suntik setiap bulan untuk pengobatan mencapai 10 juta pelayanan. Padahal selain untuk pengobatan, alat suntik juga digunakan dalam program imunisasi bagi bayi dan anak-anak yang setiap tahunnya mencapai 4.9 juta anak dan setiap anak memerlukan 8 suntikan. Dengan demikian jumlah limbah medis tajam di indonesia menjadi sangat tinggi. Kemampuan kaporit sebagai desinfektan sangat baik dibandingkan dengan lisol dengan diperoleh -0,126 hubungan sebagai berikut Ntk = Ntl 0,0096 [C] , dengan variasi konsentrasi yang sama untuk desinfektan yang digunakan jumlah kuman setelah dikontakan untuk kaporit lebih kecil dibandingkan dengan lisol. Terhadap variasi waktu perendaman terhadap penurunan jumlah kuman, untuk lisol memiliki hasil uji F berbeda bermakna, artinya sifat desinfeksi tergantung dari konsentrasi sedangkan terhadap variasi konsentrasi terhadap jumlah penurunan kuman tidak berbeda bermakna, artinya variasi konsentrasi menghasilkan grafik jumlah penurunan kuman yang sama. Pendahuluan Limbah tajam adalah obyek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung atau bagian menonjol yang dapat memotong atau menusuk kulit seperti jarum hipodermik, perlengkapan intravena, pipet pasteur, pecahan gelas, dan pisau bedah. Semua benda tajam ini memiliki potensi bahaya dan dapat menyebabkan cidera melalui sobekan atau tusukan. Benda-benda tajam yang terbuang tersebut mungkin terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi, bahan beracun yang mempunyai risiko untuk menularkan penyakit atau bahaya lainnya. Menurut laporan WHO tahun 1999, melaporkan bahwa di Prancis pernah terjadi 8 kasus pekerja kesehatan terinfeksi HIV melalui luka, 2 kasus diantaranya menimpa petugas yang menangani limbah medis. Pemakaian alat suntik setiap bulan untuk pengobatan mencapai 10 juta pelayanan. Padahal selain untuk pengobatan, alat suntik juga digunakan dalam program imunisasi bagi bayi dan anak-anak yang setiap tahunnya mencapai 4.9 juta anak dan setiap anak memerlukan 8 suntikan. Dengan demikian jumlah limbah medis tajam di Indonesia menjadi sangat tinggi. Hasil survey dilakukan di dua puskesmas di Kabupaten Tangerang oleh BBTKL-PPM Jakarta tahun 2007, menunjukkan bahwa penggunaan jarum suntik rata-rata perbulan untuk Puskesmas Balaraja sebanyak 9.348 buah dan Puskesmas Kresek sebanyak 1.912 buah. Sebagian besar limbah tersebut beasal dari kegiatan imunisasi. Jumlah puskesmas yang ada di Kabupaten Tangerang ± 46 puskesmas. Total kapasitas limbah diperkirakan 87.952 – 430.008 buah/bulan, kapasitas limbah tersebut belum termasuk kegiatan rumah sakit, laboratorium klinik dan balai pengobatan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, BBTKL-PPM Jakarta merasa terpanggil sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya untuk mencari alternatif penanganan limbah tajam dari jarum suntik yang aman dan akseptik. Penanganan limbah tersebut dengan menggunakan sistem pengikisan secara mekanikal. Tujuan Tujuan Umum Memberikan kontribusi dalam meningkatkan kesehatan manusia untuk mencegah kontaminasi limbah tajam dengan menciptakan alat pengolah limbahnya. Tujuan Khusus Mencari limit kadar dan jenis desinfektan komersil dan efektif. Metodologi Metodologi yang digunakan dalam penangan limbah tajam infeksius (jarum suntik) terdiri atas dua tahap : a) Uji dosis desinfektan Tahap ini dilakukan ujicoba dosis efektivitas desinfektan untuk membunuh bakteri, virus dan lain-lain. Desinfektan yang digunakan adalah kaporit dan lisol dengan variasi konsentrasi. 28
  • 34. b) Uji dosis terhadap variasi waktu Ujicoba dilakukan dengan variasi waktu perendaman terhadap jumlah kuman dengan variasi konsentrasi desinfektan Alat dan Bahan Alat : Gurinda dengan pengaman Alat Pelindung Personal BSL Tipe 1 Petri Dish Bunsen Korek Api Pinset Pipet 1 mL / 10 mL Bahan : Alkohol 70% Spiritus Plate Count Agar (APHA) Limbah jarum infeksius dan spuit Lisol Kaporit Prosedur 1. Siapkan cairan desinfeksi yang umum digunakan (seperti lisol dan kaporit) pada berbagai kadar untuk merendam serpihan jarum hasil gurinda 2. Lakukan gurinda untuk limbah tajam infeksius, seperti limbah jarum. 3. Rendam jarum hasil gurinda/tanpa dihancurkan cairan desinfektan yang telah dipersiapkan tersebut dengan pembedaan durasi waktu pendesinfeksian. 4. Secara aseptis ambil 1 mL cairan desinfektan yang telah dimasuki jarum hasil gurinda, letakkan dalam petri steril (spesimen cairan). 5. Secara aseptis ambil pula sejumlah serpihan jarum dengan pinset, letakkan dalam petri steril (spesimen jarum). 6. Tuangkan PCA hangat (jangan terlalu panas) ke dalam petri yang telah berisi baik spesimen cairan maupun spesimen jarum. 7. Inkubasikan dalam inkubator suhu 37C selama 48 jam. 8. Amati dan hitung koloni kuman yang tumbuh. 9. Catat dalam buku catatan pemeriksaan hasil untuk menginterpretasikan hasil penelitian uji limbah tersebut. Hasil dan Pembahasan Tabel 1 Jumlah kuman pada cairan desinfektan dan jarum suntik (tanpa dihancurkan) terhadap variasi konsentrasi desinfektan selama perendaman 24 jam Konsentrasi Lisol Blanko L – 0,1% L – 0,5% L – 1,0% L – 5,0% L – 10% L – 30% Konsentrasi Kaporit Angka Kuman (CFU/mL) Jarum 0 3 0 19 68 0 10 Angka Kuman (CFU/mL) Cairan 411 214 154 30 109 0 0 Angka Kuman (CFU/mL) Jarum Blanko K – 0,1% K – 0,5% K – 1,0% K – 5,0% K – 10% K – 30% 17 1 1 1 1 1 0 Angka Kuman (CFU/mL) Cairan 392 3 1 1 0 0 0 Tabel 2 Jumlah kuman pada cairan desinfektan dan hancuran jarum terhadap variasi waktu perendaman Konsentrasi Desinfektan Lisol 2, 5 % Lisol 5 % Lisol 7,5 % Kaporit 0,1 % Kaporit 0,5 % Kaporit 1 % Blanko Positip Waktu Ke(Menit) 5 20 35 50 65 5 20 35 50 65 5 20 35 50 65 5 20 35 50 65 5 20 35 50 65 5 20 35 50 65 Angka Kuman (CFU/mL) Cairan 27 21 18 14 15 4 2 3 7 2 1 1 1 2 2 Angka Kuman (CFU/mL) Jarum 3 1 7 6 3 0 1 1 3 2 2 2 2 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 143 0 0 0 2 0 1 0 0 0 1 1 0 0 0 0 Positip 29