1. 1. Pekerjaan penyangga terowongan
Pada awal terowongan umumnya dijumpai kondisi kedalaman tanah yang relatif
dangkal, sehingga tegangan horizontal tanah/batuan yang terjadi lebih besar dibanding
dengan tegangan vertikalnya. Kondisi topografi permukaan tanah dan kondisi batuan
yang lemah akan mempengaruhi perilaku dan kestabilan terowongan. Perilaku dan
kestabilan pada daerah awal terowongan akan menjadi pertimbangan dalam desain,
termasuk untuk memilih metode galian dan sistem penyangga (support) yang efektif.
Penggunaan
support
diharapkan
dapat
meningkatkan
kestabilan
terowongan.
Berdasarkan hal-hal di atas, kontrol terhadap kestabilan sangat penting dalam
perencanaan serta pelaksanaan konstruksi terowongan.
Tahapan pekerjaan penyangga terowongan, secara umum dapat dibagi dalam tiga tahap
yaitu:
a.
Tahap sebelum penggalian
Dalam rencana penggalian terowongan, terlebih dahulu dimulai dari penyelidikan
lapangan, yaitu penyelidikan kondisi geologi sepanjang rencana jalur terowongan, untuk
mengetahui jenis batuan, struktur geologi, kondisi air tanah, kemungkinan adanya gas
beracun yang ada pada sepanjang rencana jalur terowongan.
Setelah itu masuk pada tahap excavation requirement, dimana pada tahp ini rencana
penggalian yang tepat dan sesuai dengan kondisi batuan yang ada sepanjang
terowongan dapat direncanakan dari awal. Pada tahap ini sudah dapat diprediksi pada
kedalaman berapa galian harus dilaksanakan dengan cara dan penggunaan alat yang
sesuai.
Pada pekerjaan pertambangan yang pelaksanaanya bisa mencapai ratusan kilometer,
galian dengan kondisi batuan yang sangat berfariasi, penggalian terowongan dapat
menggunakan beberapa metode dan alat yang berbeda – beda. Dengan berbedanya cara
penggalian, akan berkaitan dengan penggunaan penyangga yang diberikan.
2. Tahap selanjutnya yaitu desain awal dimana setelah excavation requirement ini,
berkaitan dengan desain awal terhadap penyangga yang akan digunakan sepanjang jalur
terowongan. Tahap ini sudah dapat diprediksi jenis / macam penyangga yang akan
digunakan, volumenya serta lokasi penempatan.
Setelah tahap pendesainan awal, dilakukan tahapan pemilihan sistem monitoring,
dimana pada tahap ini dilakukan pemilihan alat monitoring yang tepat untuk kestabilan
galian
sepanjang
terowongan,
harus
ditentukan
sebelum
galian
terowongan
dilaksanakan. Pemilihan sistem monitoring ini adalah untuk selama waktu penggalian
dan setelah pelaksanaan selesai.
b.
Tahap selama penggalian
Pada tahapan ini semua tahapan sebelum penggalian memasuki tahapan kondisi nyata
(real condition). Pada tahapan ini dilakukan beberapa pekerjaan antara lain
penyelidikan detil lapangan, yaitu setiap jengkal kemajuan penggalian terowongan,
dilakukan pemetaan geologi secara detail yang dimaksudkan untuk melakukan
observasi kondisi batuan pada setiap cycle blasting untuk dilakukan pengklasifikasian
batuan yang ada, guna mengetahui pengaruh kondisi masa batuan dimana
diklasifikasikan berdasarkan nilai RMR nya dalam perencanaan pembuatan penyangga
terowongan tersebut sehingga dapat diketahui jenis penyangga apa yang tepat dan kapan
waktu pemasangannya.
Setelah diketahui kondisi detail terowongan, barulah dilakukan pemasangan penyangga
yang didasarkan dari hasil penyelidikan geologi detil tersebut.
Berdasarkan pengalaman dan kondisi detil, maka akan dilakukan review desain yang
nantinya diperoleh desain baru untuk penyangga terowongan yang mengkoreksi dari
desain yang dibuat sebelumnya yang dibuat berdasarkan asumsi – asumsi awal yang
sebagian besar masih berdasarkan interpretaasi kondisi batuan sepanjang batuan.
Pekerjaan terakhir pada tahap ini yaitu pemasangan sistem monitoring yang berdasarkan
perencanaan peralatan pada tahap sebelum penggalian, atau jika diperlukan akan
ditambahkan peralatan tambahan. Sistem monitoring ini untuk memantau efektifitas alat
penyangga yang dipasang efektif atau tidak. Bila penyangga yang digunakan tepat,
3. maka tidak akan terjadi deformasi batuan dan bila dari hasil monitoring masih terjadi
deformasi batuan, maka penyangga akan diperkuat lagi, alat yang digunakan dalam
sistem monitoring ini antara lain:
− Crown settlement (dipasang di atap terowongan)
− Digunakan untuk mengetahui penurunan atap terowongan melalui alat survey.
− Convergence meter ( dipasang pada sisi dinding terowongan)
− Alat ini berfungsi untuk mengetahui defleksi terowongan kearah dalam atau luar.
− Extensometer (dipasang pada sekeliling terowongan pada kedalaman tertentu)
− Berfungsi sebagai alat untuk mengetahui deformasi batuan atau tanah disekeliling
terowongan pada kedalaman tertentu.
− Ground presure meter (dipasang pada batas antara lining concrete dan batuan)
− Alat ini berguna untuk mengetahui pengaruh tekanan batuan atau tanah pada
terowongan.
− Spring settlement
− Alat ini digunakan untuk mengetahui penurunan dinding terowongan melalui alat
ukur.
− Shocrete / concrete stress meter (dipasang pada batas lining concrete dan batuan)
− Berfungsi untuk memantau perubahan stress dari shocrete dan batuan.
− Rock bolt axial force
Yaitu alat untuk memantau perubahan gaya axial pada rock bolt.
− Steel support stress
Untuk memantau perubahan stress pada steel support.
− Steel support bending moment
Berfungsi untuk memantau perubahan moment pada steel support.
− Crack displacement meter
Yaitu alat yang digunakan untuk memantau rekahan yang telah terjadi.
c.
Tahap setelah penggalian
Pada tahap akhir ini hanya dilakukan pekerjaan pemasangan monitoring jangka panjang
dimana tujuan pemasangan sistem monitoring ini adalah untuk memantau deformasi
4. pada lubang terowongan setelah dipasang penyangga permanen secara jangka panjang,
serta memantau kondisi air tanah disekitar terowongan.
Dalam pelaksanaan pembuatan terowongan, pastinya menemukan masalah – masalah
yang berkaitan dengan kondisi massa batuan antara lain jalur terowongan yang
melewati zona patahan atau sesar aktif dapat membahayakan apabila elevasi
terowongan dibawah muka air. Arah sesar terhadap sumbu terowongan harus
dipertimbangkan dengan seksama.
Untuk menentukan efek join pada konstruksi terowongan, Bieniawski (1974)
mengelompokkan massa batuan menjadi lima kelompok untuk mengetahui metode yang
cocok digunakan untuk pelaksanaan. Material batuan dengan banyak joint dapat digali
dengan menggunakan ripper.
Bidang permukaan joint yang lebar sering dijumpai dalam pelaksanaan terowongan.
Jika arahnya sejajar atau hampir sejajar dengan as terowongan maka dapat
menimbulkan masalah besar dalam pelaksanaannya.
Jangka waktu dimana masa batuan masih dalam kondisi stabil tanpa perlu sokongan
disebut dengan stand-up time atau bridging capacity. Stand-up time ini tergantung dari
lebar bukaan, kekuatan batuan dan pola diskontinuitas. Bila stand-up time rendah berarti
segera setelah dilakukan pembukaan atau penggalian harus segera dilakukan proteksi
atau supporting terhadap massa batuan yang ada. Penciutan pada lubang terowongan
yang digali dapat terjadi sebagai akibat perubahan kondisi tegangan, munculnya
tegangan geser sesar dan adanya lapisan lempung espansif.
Masalah yang serius terjadi pada saat penggalian terowongan adalah adanya aliran air
yang bersifat tiba – tiba dalam jumlah besar. Kondisi air tanah adalah factor penyebab
utamanya. Untuk terowongan yang berada dibawah sungai atau laut, maka bocoran
harus sama sekali dihindarkan, karena jumlah air yang dapat memasuki lubang
terowongan akan sulit terkontrol. Pada terowongan sipil yang biasanya dangkal maka
temperatur tidak tidak terlalu berpengaruh pada pelaksanaannya namun demikian
biasanya hal tersebut dapat diantisipasi sepenuhnya dengan membuat ventilasi sistem
5. yang baik, hal ini juga sangat berguna untuk mengantisipasi adanya gas – gas berbahaya
yang timbul dari massa batuan yang ada.
Getaran gempa adalah faktor penting yang harus diperhatikan dalam perencanaan lining
dan supporting sistem. Pengaruh gempa biasanya relatif lebih kecil dibandingkan pada
struktur yang terdapat diatas permukaan tanah.
Di dalam geoteknik, klasifikasi massa batuan yang pertama diperkenalkan sekitar 60
tahun yang lalu yang ditujukan untuk terowongan dengan penyanggaan menggunakan
penyangga baja. Kemudian klasifikasi dikembangkan untuk penyangga non-baja untuk
terowongan, lereng, dan pondasi. Tiga pendekatan desain yang biasa digunakan untuk
penggalian pada batuan yaitu analitik, observasi dan empirik. Salah satu yang paling
banyak digunakan adalah pendekatan desain dengan menggunakan metode empiric.
Klasifikasi massa batuan dikembangkan untuk mengatasi permasalahan yang timbul di
lapangan secaracepat dan tidak ditujukan untuk mengganti studi analitik, observasi
lapangan, pengukuran, dan engineering
judgement. Tujuan dari klasifikasi massa
batuan adalah untuk:
a.
Mengidentifikasi parameter-parameter yang mempengaruhi kelakuan/sifat massa
batuan.
b.
Membagi massa batuan ke dalam kelompok-kelompok yang mempunyai kesamaan
sifat dan kualitas.
c.
Menyediakan pengertian dasar mengenai sifat karakteristik setiap kelas massa
batuan.
d.
Menghubungkan berdasarkan pengalaman kondisi massa batuan di suatu tempat
dengan kondisi massa batuan di tempat lain.
e.
Memperoleh data kuantitatif dan acuan untuk desain teknik.
f.
Menyediakan dasar acuan untuk komuniukasi antara geologist dan engineer.
Keuntungan dari digunakannya klasifikasi massa batuan yaitu:
a.
Meningkatkan kualitas penyelidikan lapangan berdasarkan data masukan sebagai
parameterklasifikasi.
b.
Menyediakan informasi kuantitatif untuk tujuan desain.
6. c.
Memungkinkan kebijakan teknik yang lebih baik dan komunikasi yang lebih efektif
pada suatu proyek.
Dikarenakan kompleknya suatu massa batuan, beberapa penelitian berusaha untuk
mencari hubungan antara desain galian batu dengan parameter massa batuan. Banyak
dari metode-metode tersebut telah dimodifikasi oleh yang lainnya dan sekarang
banyak digunakan untuk penelitian awal atau bahkan untuk desain akhir. Beberapa
klasifikasi massa batuan yang dikenal saat ini adalah:
a.
Metode klasifikasi beban batuan (rock load)
Metode ini diperkenalkan oleh Karl von Terzaghi pada tahun 1946. Merupakan metode
pertama yangcukup rasional yang mengevaluasi beban batuan untuk desain terowongan
dengan penyangga baja. Metode ini telah dipakai secara berhasil di Amerika selama
kurun waktu 50 tahun. Akan tetapi pada saat ini metode ini sudah tidak cocok lagi
dimana banyak sekali terowongan saat ini yang dibangun dengan menggunakan
penyangga beton dan rock bolts.
b.
Klasifikasi stand-up time
Metode ini diperkenalkan oleh Laufer pada 1958. Dasar dari metode ini adalah bahwa
dengan bertambahnya span terowongan akan menyebabkan berkurangnya waktu
berdirinya terowongan tersebut tanpa penyanggaan. Metode ini sangat berpengaruh
terhadap perkembangan klasifikasi massa batuan selanjutnya. Faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap stand-up time adalah arah sumbu terowongan, bentuk potongan
melintang, metode penggalian, dan metode penyanggaan.
c.
Rock Quality Designation (RQD)
RQD dikembangkan pada tahun 1964 oleh Deere. Metode ini didasarkan pada
penghitungan persentase inti terambil yang mempunyai panjang 10 cm atau lebih.
Dalam hal ini, inti terambil yang lunak atau tidak keras tidak perlu dihitung walaupun
mempunyai panjang lebih dari 10 cm. Diameter inti optimal yaitu 47.5mm. Nilai RQD
ini dapat pula dipakai untuk memperkirakan penyanggaan terowongan. Saat ini RQD
sebagai parameter standar dalam pemerian inti pemboran dan merupakan salah satu
parameter dalam penentuan klasifikasi massa batuan RMR dan Q-system.
7. Walaupun metode penghitungan dengan RQD ini sangat mudah dan cepat, akan tetapi
metode ini tidak memperhitung factor orientasi bidang diskontinu, material pengisi, dan
lain-lain, sehingga metode ini kurang dapat menggambarkan keadaan massa batuan
yang sebenarnya.
d.
Rock Structure Rating (RSR)
RSR diperkenalkan pertama kali oleh Wickam, Tiedemann dan Skinner pada tahun
1972 di AS. Konsep ini merupakan metode kuantitatif untuk menggambarkan kualitas
suatu massa batuan dan menentukan jenis penyanggaan di terowongan. Motode ini
merupakan metode pertama untuk menentukan klasifikasi massa batuan yang komplit
setelah diperkenalkannya klasifikasi massa batuan oleh Terzaghi1946. Konsep RSR ini
selangkah lebih maju dibandingkan konsep-konsep yang ada sebelumnya. Pada konsep
RSR terdapat klasifikasi kuantitatif dibandingkan dengan Terzaghi yang hanya
klasifikasi kulitatif saja. Pada RSR ini juga terdapat cukup banyak parameter yang
terlibat jika dibandingkan dengan RQD yang hanya melibatkan kualitas inti terambil
dari hasil pemboran saja. Pada RSR ini juga terdapat klasifikasiyang mempunyai data
masukan dan data keluaran yang lengkap tidak seperti Lauffer yang hanya menyajikan
data keluaran yang berupa stand-up time dan span.
RSR merupakan penjumlahan rating dari parameter-parameter pembentuknya yang
terdiri dari dua katagori umum, yaitu:
a.
Parameter geoteknik; jenis batuan, pola kekar, arah kekar, jenis bidang lemah,
sesar, geseran, danlipatan, sifat material; pelapukan, dan alterasi.
b.
Parameter konstruksi; ukuran terowongan, arah penggalian, metode penggalian
RSR merupakan metode yang cukup baik untuk menentukan penyanggaan dengan
penyangga baja tetapi tidak direkomendasikan untuk menentukan penyanggaan dengan
penyangga rock bolt dan beton.
8. e.
Rock Mass Rating (RMR)
Bieniawski (1976) mempublikasikan suatu klasifikasi massa batuan yang disebut
Klasifikasi Geomekanika atau lebih dikenal dengan Rock Mass Rating (RMR).
Setelah bertahun-tahun, klasifikasi massa batuan initelah mengalami penyesuaian
dikarenakan adanya penambahan data masukan sehingga Bieniawski membuat
perubahan nilai rating pada parameter yang digunakan untuk penilaian klasifikasi massa
batuan tersebut. Pada penelitian ini, klasifikasi massa batuan yang digunakan adalah
klasifikasi massa batuan versi tahun 1989 (Bieniawski, 1989).
Parameter yang digunakan dalam klasifikasi massa batuan menggunakan Sistim RMR
yaitu:
-
Kuat tekan uniaxial batuan utuh.
-
Rock Quality Designatian (RQD)
-
Spasi bidang dikontinyu.
-
Kondisi bidang diskontinyu.
-
Kondisi air tanah.
-
Orientasi/arah bidang diskontinyu.
Pada penggunaan sistem klasifikasi ini, massa batuan dibagi kedalam daerah struktural
yang memiliki kesamaan sifat berdasarkan enam parameter di atas dan klasifikasi massa
batuan untuk setiap daerah tersebut dibuat terpisah. Batas dari daerah struktur tersebut
biasanya disesuaikan dengan kenampakan perubahan struktur geologi seperti patahan,
perubahan kerapatan kekar, dan perubahan jenis batuan. RMR ini dapat digunakan
untuk terowongan. lereng, dan pondasi.
f.
Q-system
2. Penyangga kayu
Kayu adalah suatu material berat-ringan, mudah diangkut dan mudah dibentuk dalam
sistem penyangga. Kayu sebelas kali lebih ringan, tetapi dua kali lebih lemah dari baja.
Keuntungan menggunakan penyangga kayu adalah sebagai berikut:
a. Ringan, mudah dibawa, mudah dipotong, dibentuk dan ditempatkan dalam bentuk
suatu penyangga tambang.
9. b. Kerusakan kayu sepanjang struktur serat, memberikan tanda sebelum rusak
(kenampakan, suara)
c. Sisa potongan kayu dapat digunakan sebagai wedge, pengisi.
Sedangkan kerugian dari penyangga kayu adalah :
a. Kekuatan mekanik tergantung pada struktur serat dan kerusakan alami dalam kayu.
b. Kelembaban sangat berpengaruh pada kekuatan
c. Banyak jamur yang hidup dalam kondisi lembab.
d. Mudah terbakar, apinya cepat menyebar dan menghasilkan gas-gas yang sifatnya
beracun.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kayu sebagai berikut:
a. Air
≅ 25 % kandungan air ada dalam sel hidup kayu, dan 75% dalam pori-pori serat. Pohon
yang baru ditebang 35 – 50% kandungan airnya, kayu yang miliki < 20% air dinyatakan
kering .
b. Cacat kayu
Mata kayu,pangkal dari cabang pohon dapat mempengaruhi bending strength.
Yang menjadikan kayu digunakan sebagai salah satu material untuk penyangga
terowongan adalah kekuatan dari kayu tersebut, yaitu:
a. Kuat tarik
merupakan kekuatan terbesar dari kayu.kuat tarik kayu yang sejajar serat adalah yang
paling tinggi, dapat mencapai 3000 kg/cm2. Bobot isi memiliki hubungan yang positif
terhadap kuat tarik. Sementara air mengurangi kuat tarik, mata kayu dan cabang juga
mengurangi kekuatan kayu.
b. Kuat tekan
Faktor yang mempengaruhi kuat tekan hampir sama dengan kuat tarik. Serat yang
terbaji dan tersemen sangat tinggi kuat tariknya, tetapi dalam penekanan memungkinkan
10. terjadi pembengkokan serat individu dan mulai failure. Pengaruh sudut pembebanan dan
arah struktur serat sangat nyata dalam kuat tekan daripada kuat kayu.
c. Kuat pembengkokan
Kuat pembengkokan diukur sejajar serat pada sumbu kayu.
σ=
π 2E
λ2
σ = σ c (1 − aλ + bλ2 )
λ > 100 ……… 1
λ < 100 ……… 2
Dimana:
λ
= nisbah kerampingan = 4 l/d
E
= modulus elastis kayu
σ
= kuat pembengkokan kayu
σc = kuat tekan kayu
a,b = konstanta kualitas kayu; untuk kayu tambang a=0, b=2
l
= panjang kayu
d
= diameter kayu
d. Kuat pelengkungan
Kayu horisontal cenderung berkondisi tegangan lengkung (serat teratas mengalami
tekanan dan serat terbawah mengalami tarikan).
Zona deformasi :
a. Zona elastik → beban dan pelengkungannya proporsional
b. Zona II → hubungan seperti zona I tetap berlanjut meskipun derajatnya berkurang.
c. Beban puncak pk→ serat terluar patah. Patahan tidak mendadak melainkan meregang
dari serat ke serat. Sementara pembebanan masih berlangsung, sehingga memberikan
cukup waktu untuk mengganti penyangga dalam tambang.
11. e. Kuat geser
3. Rancangan Penyangga Kayu
Prinsip dalam merancang penyangga kayu :
a. Penyangga harus dapat menopang beban secara aman
b. Jumlah material dan pekerjaan yang ditangani seminim mungkin.
Langkah-langkah rancangan :
a. Sistem dikemas,model statik digambarkan.
b. Evaluasi tekanan diturunkan dari beberapa persamaan
c. Hitung
besarnya
diagram
momen,
momen
maksimum,
tegangan
geser
maksimum,penampang momen serta gesernya dihitung dan dimensinya ditentukan.
Mx= 0.5 qt.Lb.x – 0.5 qt.x2
12. Mmax= 0.125 qt.Lb2
x = ½ Lb
Tx= δM/δx = 0.5 qt.Lb – 0.5 qt.x
Tegangan dan momen pelengkungan maksimum :
qt = σt.a
Mmax= 0.125 qt.Lb2
W = 0.098 db3
σb =
M max
< σ sf
W
1/ 3
q
d b ≥1.084 t L2
b
σ
sf
Dimana :
qt
= beban seragam
σt
= tekanan seragam
a
= jarak antar set
Mmax = momen pelengkungan maksimum
Lb
= panjang cap
σb
= tegangan pelengkungan
σsf
= tegangan pelengkungan yang diijinkan untuk kayu kelas II, 110 kg/cm2
db
= diameter cap
α
= baik =0.25 ; sedang= 0.5; jelek= 1
Beban dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
qt = α.a.γ.Lb
1/ 3
α a.γ
.
d b =1.084 Lb
σ
sf
Untuk kondisi normal α = 0.5; γ = 0.0025 kg/m3
a
d b = 0.117 Lb
σ
sf
1/ 3
13. Pada sisi pojok, cap dipotong untuk menempatkan post. Sehingga ada pengurangan
diameter.
T
< Tsf
F
T = 0.5.qt .Lb = 0.5σ f Lb .a
Tmax = K
2
F = 0.785d b
Tmax =
4 0.5.σt Lb .a
2
3 0.785.d b
Tmax = 0.849
σt Lb .a d b
d c2
dc
Dalam tambang bawah tanah mengacu pada metode pengambilan bahan mineral yang
dilakukan dengan membuat terowongan menuju lokasi mineral tersebut. Berbagai
macam logam bisa diambil melalui metode ini seperti emas, tembaga, seng, nikel, dan
timbal. Karena letak cadangan yang umumnya berada jauh dibawah tanah, jalan masuk
perlu dibuat untuk mencapai lokasi cadangan.
Jalan masuk dapat dibedakan menjadi:
- Ramp, jalan masuk ini berbentuk spiral atau melingkar mulai dari permukaan tanah
menuju kedalaman yang dimaksud. Ramp biasanya digunakan untuk jalan kendaraan
atau alat-alat berat menuju dan dari bawah tanah.
- Shaft, yang berupa lubang tegak (vertikal) yang digali dari permukaan menuju
cadangan mineral. Shaft ini kemudian dipasangi semacam lift yang dapat difungsikan
mengangkut orang, alat, atau bijih.
- Adit, yaitu terowongan mendatar (horisontal) yang umumnya dibuat disisi bukit atau
pegunungan menuju ke lokasi bijih.
Ada dua tahap utama dalam metode tambang bawah tanah yaitu development
(pengembangan) dan production (produksi). Pada tahap development, semua yang digali
adalah batuan tak berharga. Tahap development termasuk pembuatan jalan masuk dan
14. penggalian fasilitas-fasilitas bawah tanah lain. Sedangkan tahap production adalah
pekerjaan menggali sumber bijih itu sendiri. Tempat bijih digali disebut stope
(lombong).
Gambar 2
Siklus Pertambangan Bawah Tanah
Dengan semua pekerjaan yang dilakukan di bawah tanah dengan panjang terowongan
yang mencapai ribuan meter, maka diperlukan usaha khusus untuk mengalirkan udara
ke semua sudut terowongan. Pekerjaan ini menjadi tugas tim ventilasi tambang. Selain
mensuplai jumlah oksigen yang cukup, ventilasi juga mesti memastikan agar semua
udara kotor hasil pembuangan alat-alat diesel dan gas beracun yang ditimbulkan oleh
15. peledakan bisa segera dibuang keluar. Untuk memaksa agar udara mengalir ke
terowongan, digunakanlah fan (kipas) raksasa dengan berbagai ukuran dan teknik
pemasangan.
Untuk menjaga kestabilan terowongan diperlukan pula penyangga-penyangga
terowongan. Berbagai metode penyanggaan (ground support) telah dikembangkan.
Penyanggaan yang optimal akan mendukung kelangsungan kinerja dan juga
keselamatan semua pekerja.