SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 175
Baixar para ler offline
ISBN 978-602-98295-0-1

      PENGEMBANGAN PERANGKAT LUNAK DIAGNOSA PENYAKIT
    DIABETES MELLITUS TIPE II BERBASIS TEKNIK KLASIFIKASI DATA

               Rodiyatul FS1, Bayu Adhi Tama2, Megah Mulya3
                1,2,3
                   Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Sriwijaya
     1
      rodiyatulfs@yahoo.co.id, 2bayu@unsri.ac.id, 3megahmulya@unsri.ac.id



                                  ABSTRACT

    Type-2 of Diabetes Mellitus (Type II DM) is the most common type of diabetes
whose patient about 90-95% of all diabetes population. Early Detection of Type II
DM from various risk factors is a way to prevent the complication that causes
mortality. Developing software for diagnosis Type II DM could be utilized as an
alternative and would enhance medical care for the increasing number of patients.
In this paper, the classification technique of data mining with C4.5 algorithm
classifier is employed to acquire valuable information and extract pattern from
medical record data. This pattern is used as knowledge base in medical diagnosis
process. It absolutely helps doctors and other clinicians for making decision
through early detection of Type II DM.

Keywords. data mining, Type II DM, diagnosis, software



                               PENDAHULUAN

   Saat ini penyakit Diabetes Mellitus (DM) Tipe II telah menjadi salah satu
penyakit kronik yang paling sering diderita di Indonesia. Berdasarkan survei,
diperkirakan pada tahun 2020 akan ada 178 juta penduduk berusia diatas 20
tahun memiliki prevelansi terkena DM, suatu jumlah yang besar untuk dapat
ditangani sendiri oleh para ahli DM [4]. Tingginya angka-angka statistik diatas,
tentunya patut diantisipasi oleh pihak penyedia layanan kesehatan seperti rumah
sakit untuk mencegah timbulnya ledakan pasien DM.
   Pada zaman modern ini, banyak rumah sakit telah mengimplementasikan
teknologi informasi untuk meningkatkan pelayanan medis dan mengatur data
warehouse Ketersediaan instrumentasi dan informatika medis modern (telemedis)
seperti adanya suatu perangkat lunak untuk menunjang keputusan seorang dokter
dalam mendiagnosa suatu penyakit sangat dibutuhkan. Teknologi data mining
hadir sebagai solusi nyata bagi para pengambil keputusan seperti dokter dalam
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                             1188
ISBN 978-602-98295-0-1

memprediksi pasien yang beresiko terkena terkena penyakit DM Tipe II. Dengan
menerapkan teknik klasifikasi data mining, dapat ditemukan informasi yang
berharga pada sekumpulan data yang berukuran besar.



                      TEKNIK KLASIFIKASI DATA MINING

   Klasifikasi adalah proses penemuan pola atau fungsi yang menjelaskan dan
membedakan konsep atau kelas data dengan tujuan untuk dapat memprediksi
kelas dari suatu objek yang labelnya tidak diketahui[3]. Konsep klasifikasi dengan
pengawasan (supervised classification) adalah untuk membangun sebuah model
dari data yang telah diketahui, atau sering disebut sebagai classifier. Model atau
fungsi ini kemudian dapat digunakan untuk memetakan data didalam suatu basis
data kepada suatu atribut target, selanjutnya dapat memperkirakan suatu kelas
dari data yang baru
   Tiap rekord berisi banyak atribut dimana masing-masing atribut memiliki satu
dari beberapa kemungkinan nilai. Di dalam klasifikasi diberikan sejumlah rekord
yang dinamakan sekumpulan data latih yang terdiri dari beberapa atribut, dimana
salah satu atribut menunjukkan kelas untuk rekord.



                   ALGORITMA KLASIFIKASI DATA MINING

    Pada paper ini digunakan algoritma klasifikasi C4.5 yang melakukan
pemilihan atribut terbaik berdasarkan informasi gain. Atribut dengan     informasi
gain tertinggi akan dipilih untuk membuat keputusan. Informasi gain merupakan
selisih antara kebutuhan informasi awal (yang hanya bergantung pada jumlah dan
proporsi tiap kelas di dalam D) dan kebutuhan informasi baru (yang diperoleh
setelah melakukan partisi terhadap atribut A). Untuk menghitung gain, digunakan
rumus :


                              Gain (A) = Info (D) - InfoA (D)


Informasi yg dibutuhkan untuk mengklasifikasi sebuah rekord di D diberikan
dengan rumus berikut.
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                              1189
ISBN 978-602-98295-0-1

                                                 m

                              Info (D)       
                                               i 1
                                                      pi Log2 (pi)

    Informasi yg dibutuhkan untuk mengklasifikasi sebuah rekord di D diberikan
dengan rumus berikut berdasarkan hasil partisi di A.
                                           v
                                                 | Dj |
                           Info A (D)     | D | x Info (D )
                                          j 1
                                                                     j


    Psedeucode algoritma C4.5 untuk membangun pohon keputusan adalah
sebagai berikut [7] :

   1. Cek Sekumpulan Data Latih
   2. Pada masing-masing attribut a, hitung informasi gain
   3. Ubah a terbaik ( dengan informasi gain tertinggi) menjadi akar
   4. Buat simpul keputusan yang berakar dari a terbaik
   5. Ulangi proses untuk masing-masing cabang dengan memilih a terbaik
       berikutnya dan jadikan anak dibawah simpul keputusan terakhir.



                                   ANALISIS


1. Data Preparation
    Data utama yang digunakan pada penelitian ini berupa sekumpulan data
rekam medis       pasien rawat inap RSMH Palembang untuk penyakit Diabetes
Mellitus Tipe 2 sepanjang tahun 2008 yang berjumlah 435 instances.



2. Pembangkitan dan Pengujian Model Klasifikasi
    Sebelum pembangkitkan model klasifikasi berupa 39 rules, dibentuk sebuah
pohon keputusan menggunakan algoritma C4.5. Untuk menguji tingkat akurasi
model klasifikasi digunakan pengujian kualitatif dengan mewawancara dua dokter
untuk mengetahui seberapa besar user-acceptance terhadap model klasifikasi.
Dari hasil penilaian, didapatkan 34 rules yang sesuai dengan standar penegakan
diagnosa WHO dan PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia). Disamping



Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                   1190
ISBN 978-602-98295-0-1

itu, dilakukan juga pengujian kuantitatif dengan menggunakan metode confusion
matrix yang menghasilkan tingkat akurasi model sebesar 95,63%.


3. Hasil dan Pembahasan
    Hasil implementasi perangkat lunak dapat dilihat pada beberapa tampilan
berikut :




                  Gambar 4.1 Form Pembangkitan Model Pohon


    Berdasarkan hasil pembangkitan model klasifikasi, maka dapat dilihat bahwa
plasmainsulin memiliki gain ratio yang paling tinggi, oleh karena itu atribut ini
paling berpengaruh terhadap penyakit diabetes mellitus tipe II




Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                             1191
ISBN 978-602-98295-0-1




              Gambar 4.2 Form Pembangkitan Model Klasifikasi




                Gambar 4.3 Form Pengujian Model Klasifikasi




Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                     1192
ISBN 978-602-98295-0-1




                      Gambar 4.4 Form Proses Diagnosa




                          KESIMPULAN DAN SARAN


  Melalui teknik klasifikasi data mining yang digunakan, paper ini telah berhasil
mengumpulkan dan menganalisa data rekam medis pasien diabetes mellitus tipe
II, dan menghasilkan beberapa rules yang dapat digunakan pihak rumah sakit
dalam   pengambilan    keputusan    di    bidang   kesehatan,   khususnya   dalam
mendiagnosa penyakit diabetes mellitus tipe II.
   Kuantitas training data yang digunakan sebaiknya ditambah untuk mengekstrak
kemungkinan munculnya tambahan informasi bernilai lainnya. Disamping itu,
sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan dengan membandingkan algoritma
klasifikasi yang lain pada proses pembangkitan model klasifikasi sehingga
dihasilkan performance yang lebih baik.




Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                              1193
ISBN 978-602-98295-0-1


                              DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. 2004. Diagnosis and Classification of   Diabetes
  Mellitus. American Journal of Diabetes Care. 27. S5-S10

Bramer, Max. Principles of Data Mining, Springer-Verlag London Limited, 2007.

Han, J., et al. Data Mining: Concepts and Techniques 2nd Edition, Morgan
   Kaufmann Publisher, 2006.

Indah. 2009. [Online] Tersedia: www.indahmuhariani.com/index.php /2009/02/01. [
    diakses terakhir tanggal 10 Februari 2009]
Larose, D.T. 2005. Discovering Knowledge in Data : An Introduction to Data
    Mining. John Wiley & Sons, Inc, New Jersey.

Palaniappan, S. and R.Awang. 2008. Intelligent Heart Disease Prediction System
    Using Data Mining Techniques. International Journal of Computer Sciences
    and Network security. 8 (8), 343-350.


Quinlan.2009.C4.5 Algorithm. [Online] Tersedia : http://en.wikipedia.org/wiki
     /C4.5_algorithm. [10 Februari 2009]

Witten, Ian H. And Eibe Frank. Data Mining: Practical Machine Learning Tools and
    Techniques 2nd Edition, Morgan Kaufmann Publisher, 2005.

World Health Organization. 2002. Laboratory Diagnosis and Monitoring of
    Diabetes Mellitus. WHO Publication, Switzerland.




Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                            1194
ISBN 978-602-98295-0-1

     PENGALAMAN MANTAN PENGGUNA DALAM PENYALAHGUNAAN
              NAPZA SUNTIK DI KOTA PALEMBANG
                    ( Studi Fenomenologi )

                                  Budi Santoso

             Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Palembang
                       Email : sant.budi75@yahoo.com




                                      ABSTRACT
        Drugs injects abuse is abnormal behavior that trespass norm in community.
Drugs injects also trigger main problem to individual, family, community and
countries. Until now drugs injects abuse tend to difficult to stopped. Many
prevention of effort and eradiction of drugs haved conducted, but drugs injects
abuse still increase, reffered to in case in Palembang. This studi was aimed to
provide dept understanding and meaning of former user‘s experience in drugs
injects abuse in Palembang. This study was descriptive phenomenology design
with purposive sampling in depth interview and fieldnote for data collecting. Result
of interview was recorded in tape recorder, then transcribed and analyzed with
Collaizi‘s method. The resulth of study identified 9 themes as spesific goal is :
reason to use drugs injects to classification reason in first time and to continues
use drugs injects; drugs injects use of respon is individual respon and parent
respon; perception related to impact efect andmore value, negative impact,
meaning in use, meaning after recovered, the aother support. This study
conclution that drugs injects abuse have to prevent and early treatment. The nurse
specialist community as proffesional in health rule in primary, secondary, and
tertier of prevent to drugs injects abuse.

Keyword : former user‘s, drugs injects, phenomenology



                                 PENDAHULUAN


      Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif lainnya (NAPZA) secara luas
diketahui sebagai salah satu ancaman paling mengkhawatirkan bagi masyarakat,
khususnya generasi muda di lebih 100 negara di dunia ( Asian Harm Reduction
Network (AHRN, 2001). Berbagai survei menunjukan bahwa NAPZA merupakan
ancaman bagi kelompok usia muda dan produktif (Badan Narkotika Nasional
(BNN), 2006). Penyalahgunaan NAPZA tidak hanya menimbulkan penyimpangan
perilaku yang menyalahi norma yang berlaku di masyarakat, namun juga memicu
masalah utama yang memberi efek negatif terhadap fungsi organ tubuh (Syarief,
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                        1195
ISBN 978-602-98295-0-1

2008). Menurut Banks dan Waller (1983, dalam Hawari, 2001) penyalahgunaan
NAPZA mengakibatkan komplikasi medik berupa gangguan pernafasan yaitu
edema paru dan gangguan lever. Walaupun bahaya penyalahgunaan NAPZA
sudah sering disosialisasikan, namun masih banyak masyarakat yang tidak
mempedulikannya, sehingga jumlah pengguna NAPZA terus meningkat.
      Jumlah penyalahguna NAPZA, terutama penyalahguna NAPZA suntik
mengalami peningkatan yang fantasitis. Berdasarkan survei di 10 kota besar di
Indonesia terhadap penyalahguna NAPZA di masyarakat dengan responden
berjumlah 956 orang didapatkan bahwa 56% atau sekitar 572 responden
merupakan    penyalahguna    NAPZA     suntik   (BNN,   2007).   Kecenderungan
peningkatan jumlah penyalahguna NAPZA dari tahun ke tahun dengan berbagai
jenis dan cara, termasuk melalui suntikan. Berdasarkan data AHRN (2003), jumlah
IDU (Injection Drug User) di Indonesia diperkirakan sekitar 30.000 hingga 40.000
orang pada tahun 1997, dan pada tahun menyebutkan bahwa sejak tahun 2002
sampai November 2008, penderita HIV/AIDS berjumlah 401 orang, 20 %
diantaranya penyalahguna NAPZA suntik. Hal ini mengindikasikan bahwa
penyalahguna NAPZA suntik merupakan penyumbang terbesar penularan
HIV/AIDS.
      Besarnya angka di atas menunjukkan tingginya epidemi HIV di kalangan
IDU yang perlu mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan. Peneliti
memandang penyalahguna NAPZA suntik sebagai kelompok yang mempunyai
risiko tinggi untuk mengalami berbagai masalah kesehatan baik fisik maupun
psikologis, khususnya terinfeksi HIV/AIDS. Masalah kelompok ini tidak hanya
berdampak pada kelompok itu sendiri, tetapi juga pada masyarakat di sekitarnya
(Husaini, 2006). Masalah ini merupakan ancaman yang serius bagi masa depan
penyalahguna NAPZA dan membahayakan bagi kelangsungan hidup bangsa dan
negara.
      Perawat komunitas sebagai bagian dari profesi kesehatan, memiliki
tanggung jawab untuk berperan aktif dalam meningkatkan perilaku hidup sehat
masyarakat. Perawat komunitas memiliki peran untuk membantu komunitas
penyalahguna NAPZA suntik untuk secara bertahap berhenti mengkonsumsi
NAPZA secara total melalui usaha-usaha promosi kesehatan. Pender, Murdaug
dan Parsons (2002) menyebutkan bahwa perawat komunitas dalam menyusun
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                  1196
ISBN 978-602-98295-0-1

program anti NAPZA perlu memperhatikan respon-respon individu terhadap
situasi sosial yang melingkupinya seperti pergaulan bebas, gaya hidup, dan
peraturan pemerintah tentang program penanggulangan NAPZA. Namun belum
banyak tereksplorasi perilaku tersebut dalam perspektif keperawatan komunitas,
sehingga upaya antisipasi dirasakan belum optimal.
      Peneliti akan berupaya untuk memahami dan memaknai gambaran
pengalaman    mantan    pengguna     dalam    penyalahgunaan     NAPZA     suntik
menggunakan pendekatan fenomenologi deskriptif. Penelitian bertujuan untuk
mendapatkan gambaran mengenai arti dan makna pengalaman                  mantan
pengguna dalam penyalahgunaan NAPZA suntik di kota Palembang. Peneliti
mengidentifikasi alasan menggunakan NAPZA suntik, respon yang timbul setelah
menggunakan NAPZA suntik, persepsi terkait efek samping dan bahaya NAPZA
suntik, makna menggunakan NAPZA suntik, dan dukungan dari pihak terkait.


                            METODE PENELITIAN


      Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah fenomenologi deskriptif.
Tiga langkah dalam proses fenomenologi deskriptif, yaitu intuiting, analyzing dan
describing seperti yang diungkapkan oleh Spiegelberg (1975 dalam Streubert &
Carpenter,1999). Metode yang digunakan adalah metode Collaizi yang memiliki 9
tahap (1978, dalam Streubert & Carpenter,1999).
      Populasi penelitian yang diteliti adalah mantan pengguna NAPZA suntik di
kota Palembang. Pengambilan sampel pada penelitian ini dengan menggunakan
teknik purposive sampling yang merupakan pemilihan secara sadar oleh peneliti
terhadap subjek/elemen tertentu untuk dimasukkan dalam penelitian. Penelitian ini
tersaturasi pada partisipan ke-7 dimana tidak ada lagi kategori atau tema yang
didapatkan.


                                     HASIL


      Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 7 mantan pengguna yang berada
di kota Palembang. Keseluruhan partisipan adalah laki-laki dengan rentang usia
antara 19 sampai dengan 34 tahun dan bertempat tinggal di Kota Palembang.
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                      1197
ISBN 978-602-98295-0-1

Tingkat pendidikan partisipan bervariasi dari sekolah menengah umum sampai
sarjana. Tiga partisipan berstatus menikah dan empat orang lainnya masih lajang.
Status pekerjaan ada yang belum bekerja dan bekerja di sektor swasta. Usia
pertama kali menyalahgunakan NAPZA bervariasi dari mulai usia 13 sampai 17
tahun. Jenis NAPZA yang pertama disalahgunakan 4 partisipan jenis ganja, 2
partisipan jenis putaw dan 1 partisipan jenis ineks. Lama mengggunakan NAPZA
suntik bervariasi dari mulai 2 bulan sampai 10 tahun.
      Penelitian ini menghaslkan 9 tema sesuai tujuan khusus yaitu : alasan
menggunakan NAPZA suntik tergambar dalam dua tema yaitu alasan pertamakali
menggunakan dan alasan tetap menggunakan; respon yang timbul setelah
menggunakan NAPZA suntik teridentifikasi dalam dua tema yaitu respon personal
dan respon orang tua; persepsi terkait efek samping dan bahaya NAPZA suntik
tergambar dalam dua tema yaitu mempunyai nilai lebih dan.mempunyai dampak
buruk; makna yang tergali dari partisipan yaitu makna selama menggunakan dan
makna setelah sembuh; dan harapan terhadap dukungan pihak terkait
memunculkan tema dukungan terhadap kepolisian, petugas kesehatan dan
pemerinah daerah.


                                 PEMBAHASAN


      Alasan pertama kali menggunakan NAPZA suntik yang teridentifikasi yaitu
alasan utama dan alasan penunjang. Alasan utama bersumber dari lingkungan
sekolah   yaitu   pengaruh   teman.   Lingkungan    sekolah   merupakan   tempat
bertemunya partisipan dengan teman sebayanya, sehingga pengaruh teman
menimbulkan keinginan individu bukan pengguna mengikuti ajakan teman untuk
menggunakan NAPZA suntik. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian
Tasman (2005) bahwa lingkungan teman sebaya sangat berpengaruh terhadap
risiko penyalahgunaan NAPZA. Hasil penelitian ini juga memperkuat hasil
penelitian Hawari (1990) dan Martono (2008) yang menyebutkan bahwa faktor
penyebab remaja menyalahgunakan NAPZA adalah akibat pengaruh/bujukan
teman (peer group) atau berteman dengan penyalahguna NAPZA serta adanya
tekanan atau ancaman dari teman. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Joewana
(2005) bahwa kebutuhan akan pergaulan dengan teman sebaya mendorong
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                1198
ISBN 978-602-98295-0-1

remaja untuk dapat diterima sepenuhnya dalam kelompoknya. NAPZA dapat
meningkatkan atau mempermudah interaksi remaja dengan kelompok sebayanya
(vehicle of social interaction).
       Alasan tetap menggunakan NAPZA suntik yang teridentifikasi pada
penelitian ini adalah aksesibilitas obat, coba-coba, masalah keluarga, dan
ekonomis. Alasan aksesibilitas obat yaitu kemudahan akses terhadap obat dan
informasi. Kemudahan akses terjadi karena kurangnya pengawasan yang selektif,
dengan membiarkan NAPZA beredar dilingkungan masyarakat, khususnya
lingkungan sekolah ditambah kemudahan mengakses informasi juga menjadi
alasan partisipan mengunakan NAPZA. Hal ini sesuai dengan pendapat Martono
(2006) dan Hikmat (2008) bahwa lingkungan sekolah seperti sekolah terletak
dekat tempat hiburan, pembinaan dari sekolah yang kurang maksimal seperti
kurang disiplin, sekolah yang kurang memberi kesempatan pada siswa untuk
mengembangkan diri secara kreatif dan positif merupakan faktor penyebab remaja
menyalahgunakan NAPZA.
       Respon personal yang ditemukan adalah pengetahun tentang NAPZA,
perubahan yang terjadi, upaya mengatasi, kambuh, faktor pendukung berhenti
dan nilai NAPZA. Respon pengetahuan tentang NAPZA yaitu ketidaktahuan
tentang manfaat, bahaya dan risiko penyalahgunaan NAPZA. Pada proses awal
penyalahgunaan NAPZA suntik hampir semua partisipan tidak mengetahui
manfaat, bahaya dan risikonya. Hal ini disebabkan karena keterbatasan informasi
tentang NAPZA suntik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rahayuwati (2006)
tentang pengetahuan dan sikap tentang hubungan narkoba dengan kejadian
HIV/AIDS (studi kualitatif pada SMP di Bandung ) yang menyebutkan bahwa
hampir semua responden tidak mempunyai informasi yang memadai tentang
narkoba. Respon orang tua yang teridentifikasi yaitu perasaan. Perasaan
emosional meliputi kecewa, terpukul dan syok. Hal ini sesuai dengan pendapat
Hikmat (2008) bahwa orang tua akan merasa malu, merasa bersalah, sedih,
marah, dan putus asa karena memiliki anak sebagai pengguna NAPZA.
       Persepsi efek samping yang dirasakan mantan pengguna adalah
mempunyai nilai lebih yaitu perasaan, ekonomis dan proses kerja obat. Efek
samping terhadap perasaan yaitu meningkatkan kenyamanan fisik dan pikiran. Hal
ini sesuai dengan pendapat Joewana (2005) yang menyatakan NAPZA suntik
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                  1199
ISBN 978-602-98295-0-1

jenis heroin (putaw) banyak dikonsumsi dengan alasan untuk dinikmati atau untuk
mengatasi perasaan yang tidak enak ( ketegangan, kecemasan dan kesedihan).
Keberadaan efek samping yang dirasakan saat menggunakan NAPZA suntik baik
sedikit maupun banyak, menyebabkan individu akan terus menggunakan NAPZA
suntik. Hal ini sesuai dengan teori Health Belief Model dari Becker (1977, dalam
Pender, Murdaug, & Parsons, 2002) yang menyebutkan bahwa adanya persepsi
efek samping yang menguntungkan akan mendorong individu untuk terus
mempertahankan suatu perilaku tertentu. Selain meningkatkan kenyamanan fisik
dan pikiran, NAPZA juga mempunyai efek samping ekonomis dan proses kerja
obat lebih cepat.
      Persepsi      bahaya   yang   dirasakan   oleh    mantan   pengguna   adalah
mempunyai dampak buruk terhadap kesehatan fisik yaitu menularkan penyakit
HIV/AIDS dan Hepatitis. Studi ini menemukan dua partisipan yang sudah terinfeksi
HIV. Hal ini sesuai dengan pernyataan Martono (2006) menyebutkan bahwa
dampak penyalahgunaan NAPZA yang paling membahayakan adalah terinfeksi
HIV/AIDS akibat penggunaan jarum suntik tidak steril dan bergantian. Hal ini
didukung oleh pendapat Costigan (1999) bahwa dampak buruk terhadap masalah
kesehatan akibat penggunaan NAPZA suntik dalam jangka panjang adalah
pembuluh darah mengempis, abses, tetanus, hepatitis B dan C, jantung, paru,
sembelit dan ditingkat komunitas terjadi epidemi HIV.
      Makna menyakitkan yang teridentifikasi yaitu perasaan sedih, sakit hati,
hancur dan susah. Studi ini mengungkap hampir semua partisipan mengatakan
bahwa sampai detik ini masih banyak masyarakat memandang seorang pengguna
atau mantan pengguna NAPZA dengan pandangan yang negatif, memperlakukan
pengguna dan mantan pengguna dengan tidak manusiawi. Seorang partisipan
mengatakan bahwa seorang terlibat menyalahgunakan NAPZA itu harus dilihat
apa alasannya, apa latar belakangnya, sehingga tidak membuat kesimpulan
bahwa seorang pengguna itu semuanya sama. Hal ini sesuai dengan pendapat
Joewana (2005) secara sosiokultural, penggunaan zat psikoaktif dipandang
sebagai suatu fenomena kultural, penggunaan zat psikoaktif dapat dipandang
sebagai suatu perilaku yang normal atau perilaku yang menyimpang, bergantung
siapa yang menggunakan, jenis zat yang digunakan, banyaknya (sampai
intoksikasi atau tidak) dan dalam setting apa.
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                              1200
ISBN 978-602-98295-0-1

        Makna setelah sembuh yang teridentifikasi yaitu mempengaruhi sikap,
pengetahuan terhadap NAPZA, sebagai petunjuk dan mempunyai cita – cita.
Sikap lebih manusiawi dan berempati dalam bekerja merupakan makna yang
tersirat dalam diri partisipan, sehingga partisipan akan berbuat dan bertindak lebih
baik dari sebelumnya. Makna pengetahuan terhadap NAPZA tentang efek
samping dan bahayanya merupakan suatu proses belajar pada taraf intelektual
(cognitive learning), informasi yang didapatkan merupakan modal dasar bagi
partisipan untuk memberkan informasi lebih baik lagi. Selain itu makna sebagai
petunjuk merupakan sarana meningkatkan keimanan bagi partisipan.
        Dukungan pihak kepolisian yaitu target dan upaya yang dilakukan harus
tepat target dan upaya. Hal ini sejalan dengan tugas pihak kepolisian yang bekerja
sama dengan BNN dalam melaksanakan tugasnya menggunakan strategi
kerjasama internasional, meningkatkan peran serta masyarakat dan penegakan
hukum dengan mengembangkan pelayanan terapi dan rehabilitasi serta
menggalakkan komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat.
        Dukungan terhadap petugas kesehatan yaitu pelayanan yang profesional
dan     metode    pengobatan    yang   variatif.   Mantan   pengguna     berdasarkan
pengalamannya ingin diberikan pelayanan yang optimal dengan tidak membeda-
bedakan atau mendiskriminasikan pengguna NAPZA dengan pasien lainnya. Hal
ini memang sesuai dengan sumpah profesi seorang petugas kesehatan
khususnya tenaga keperawatan bahwa dalam memberikan pelayanan kepada
pasien tidak membeda-bedakan pangkat, kedudukan dan golongan. Fakta dari
beberapa partisipan masih mengeluhkan pelayanan yang diberikan oleh petugas
kesehatan, apalagi pelayanan kepada mantan pengguna NAPZA.
        Dukungan dari pemerintah yaitu segi fasilitas agar lebih care dan ada
alternatif, Mantan pengguna mempunyai harapan tehadap pemerintah agar
mengembangkan program penanggulangan penyalahgunaan NAPZA dengan
berbagai program alternatif, fasilitas yang lengkap sehingga pengguna yang
mempunyai keinginan berhenti mempunyai pilihan untuk pengobatannya. Hal ini
sesuai dengan Inpres No.3 tahun 2002 dan Keppres No.17 tahun 2002 tentang
tugas    BNN     yaitu   mengkoordinasikan    instansi   pemerintah    terkait   dalam
penyusunan kebijakan dan pelaksanaannya dibidang pencegahan, ketersediaan


Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                   1201
ISBN 978-602-98295-0-1

dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika,
prekusor dan zat adiktif lainnya.


                                    KESIMPULAN


Penelitian ini mengungkap alasan mantan pengguna tetap menggunakan NAPZA
suntik didasarkan oleh rasa ingin tahu, informasi yang menantang dan tidak
lengkap dan kebutuhan terhadap NAPZA. Alasan menggunakan NAPZA suntik
mencerminkan kuatnya pengaruh teman sebaya terhadap pembentukan persepsi
pengguna terhadap NAPZA suntik. Selain itu dukungan petugas kesehatan yaitu
pelayanan yang profesional dan variatif dengan pelayanan yang optimal dengan
tidak membeda-bedakan atau mendiskriminasikan pengguna NAPZA dengan
pasien lainnya. Dukungan pemerintah daerah terhadap fasilitas agar lebih care
dan ada alternatif, pemerintah harus menyediakan fasilitas yang lengkap sehingga
pengguna yang mempunyai keinginan berhenti mempunyai pilihan untuk
pengobatannya.


                                       SARAN


Saran untuk pengambil kebijakan yaitu perlunya media promosi yang dapat
memberikan informasi lengkap dan dapat dipahami oleh masyarakat khususnya
remaja, misalnya informasi penyalahgunaan NAPZA disertai dengan gambar
akibat penyalahgunaan NAPZA tersebut. Untuk pelayanan keperawatan perlu
peningkatan    kompetensi    perawat   komunitas   dalam   penyusunan   program
pencegahan dan penanggulangan NAPZA melalui pendidikan dan pelatihan
tentang teknik penyusunan program keperawatan komunitas.
       Penelitian lebih lanjut yaitu studi fenomenologi pengalaman mantan
pengguna NAPZA selama menjalani proses rehabilitasi,studi fenomenologi
pengalaman mantan pengguna dalam upaya berhenti menyalahgunakan NAPZA
suntik, Untuk membandingkan dengan hasil penelitian ini perlu juga diteliti lebih
lanjut dengan metode dan partisipan yang berbeda, misalnya partisipan
perempuan.


Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                             1202
ISBN 978-602-98295-0-1

                               DAFTAR PUSTAKA


Abdul, R.D. (2005). Voicing Concern " Tobacco, Alcohol and Drugs of Abuse ".
    Malaysia : Universitas Sains Malaysia.

AHRN/WHO. (2001). Survey Penyalahgunaan NAPZA di Indonesia. Jakarta :
   AHRN.

AHRN/WHO. (2003). Buku Panduan untuk Pencegahan HIV yang Efektif Diantara
   Pengguna NAPZA. Jakarta : AHRN.

Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. (2002). Kebijakan dan Strategi
    Badan Narkotika Nasional dalam Pencegahan dan Pemberantasan
    Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba. Jakarta: BNN.

Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. (2006). Hasil Survei
    penyalahgunaan NAPZA pada kelompok pelajar dan mahasiswa di Indonesia
    tahun 2006. Jakarta: Puslitbang dan Info Lakhar BNN.
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. (2008). Survey Ekonomi akibat
    Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba di Indonesia. Jakarta:
    Puslitbang dan Info Lakhar BNN

Badan Narkotika Kota Palembang. (2008). Laporan Tahunan Badan Narkotika
    Kota Palembang Tahun 2008. Palembang : BNK.

Creswell, J.W. (1998). Qualitative Inquiri and Research design : choosing among
    (5th Ed.), United Status America (USA): Sage Publication Inc.

Costigan G,.(1999). NAPZA dan Epidemi HIV di Indonesia. Jakarta : UNAIDS

Danielson, C.B, et al. (1993). Families, Health and Illness: Perspective and Coping
     Intervention. St. Louis: Mosby Year Book.

Deany, P.,(2000). HIV and Injecting Drug User : A new Challenge to Sustainable
    Human Development, http://www.who.int/HIV-AIDS/HIV-IDU/html. diperoleh
    tanggal 7 Februari 2009.

Depkes RI (2001). Data Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Jakarta. AHRN Indonesia.

Depkes RI (2001). Buku Pedoman Praktis Bagi Petugas Kesehatan Mengenai
    Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif lainnya (NAPZA).
    Jakarta.

Depkes (2005) Kebijakan dan Program Pencegahan & Penanggulangan NAPZA.
    Jakarta


Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                               1203
ISBN 978-602-98295-0-1

Dinas Kesehatan Kota Palembang (2008). Laporan Tahunan Dinas Kesehatan
     Kota Palembang Tahun 2008, Palembang.

Friedman, et al. (2003). Family Nursing: Research, Theory and Practice. (Fifth
     Edition). New Jersey: Prentice Hall.

Hawari, Dadang. (1991). Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif. Jakarta :
    Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Hawari, Dadang. (2000). Terapi (Detoksifikasi) dan Rehabilitasi (Pesantren)
    Mutakhir (Sistem Terpadu) Pasien "NAZA" (Narkotika, Alkohol, dan Zat
    Adiktif lainnya). Jakarta. UI-Press

Hawari, Dadang. (2001). Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA, Jakarta :
    Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Hawari, Dadang.(2002). Penyalahgunaan NAZA. Jakarta : Fakultas Kedokteran
    Universitas Indonesia

Helvie.C.O.(1998). Advanced Practice Nursing in The Community, Sage
     Publications Thousand Oaks London. New Delhi

Hikmat (2008). Generasi Muda : Awas Narkoba. Bandung : Alphabeta

Hitchcock,JE., Scubert, PE., & Thomas, SA (1999). Community Health Nursing :
     Caring in action. USA : Delmar Publisher

Husaini, A.(2006). Rokok : Pintu Gerbang Narkoba. Jakarta : Pustaka Iman

Jangkar.net. (2003). Lokakarya Penanggulangan HIV/AIDS pada Kelompok
    Penyalahguna Narkoba Suntik bagi Kepolisian. diakses dari http :// www.
    Jangkar.net/workshop / detailrep.asp? = TOR Police & view, tanggal 1 April
    2009

Joewana, Satya. (2005). Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penggunaan Zat
    Psikoaktif (Penyalahgunaan NAPZA/Narkoba). Jakarta: EGC

Kamil, Oktavery. (2004). Pencegahan HIV/AIDS pada Kelompok Pengguna
    Narkoba Suntik. Tesis.FISIP-UI (Tidak Dipublikasikan).

Komisi Penanggulangan AIDS. (2007). ODHA dan Pelayanan Kesehatan Dasar.
    Jakarta. UNAIDS

Martono, L.J., (2006). Pencegahan dan Penanggulangan Narkoba di Sekolah.
     Jakarta : PT. Rosda Karya

Mc.Murray, A. (2003). Community Health and Wellness : a Sociological approach.
    Toronto : Mosby

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                            1204
ISBN 978-602-98295-0-1

Moleong, L.J., ( 2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja
    Rosdakarya

Patton. (1990). Qualitative Evalution and Research Methods. Newbury Park,CA:
     Sage

Pender, N.J, Murdaug, C.L., & Parsons, M.A. (2002). Health promotion in nursing
    practice. 4th ed. Upper Saddle River: Prentice Hall

Poerwandari, E.K. (1998) Pendekatan Kualitatif Dalam Penelitian Psikologi. .
    Jakarta : LPSP3. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Poerwandari, E.K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku
    Manusia. Jakarta : LPSP3. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Polit,D.F., Beck, C.T., & Hungler,B.P. (2001). Essensial of Nursing Research:
      Methods, Appraisal and Utilization. St.Louis: Mosby Year Book Inc.

Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (PPK UI). (2002) Hasil Studi
    Kualitatif pada Kelompok IDU Wanita di Jakarta,Surabaya dan Bandung.
    Jakarta

Riehman, Karas (1996). Injecting Drug Use and AIDS in Developing Countries :
    Determinant and Issues for Policy Consideration, paper prepared for The
    Policy Research Report on AIDS and Development, World Bank, Policy
    Research Departement.

Sarasvita, et al. (2000). Napza dan Kita : Laporan Rapid Assesment and
    Response On Injection Drug Users. Tim Jakarta ; 61 hlm

Spiegelberg, H. (1978). The Phenomenological         Movement:    a    Historical
     Introduction. The Hague: Matinus Nijhoff.

Streubert, H.J.& Carpenter,D.R. (1999). Qualitative Research in Nursing :
     Advancing the Humanistic Imperative. Philadelphia : Lippincott

Syarief, Fatimah. (2008). Bahaya Narkoba di Kalangan Pemuda. Jakarta

Tasman (2005). Hubungan Lingkungan Eksternal Remaja dengan Risiko
    Penyalahgunaan NAPZA pada siswa di SMA/SMK kec. Beji Depok : Thesis
    Program Magister Ilmu Keperawatan FIK-UI : tidak dipublikasikan

UNAIDS/ WHO (2003), AIDS Epidemisc Update, UNAIDS ; 39 hlm




Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                             1205
ISBN 978-602-98295-0-1

  HUBUNGAN KARAKTERISTIK PEKERJA, PENGGUNAAN APD DAN LAMA
    KERJA DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA PEKERJA DI STASIUN
   PENGISIAN BAHAN BAKAR UMUM (SPBU) PALEMBANG TAHUN 2009

      Nurhayati Ramli 1), Diah Navianti 1), M.Ihsan Tarmizi 1), Ummi kaltsum 2)
 1)
      Dosen Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes kementrian kesehatan Palembang
                   2)
                     . Staf Laboratorium klinik Prodia Palembang


                                     ABSTRAK

        Timah hitam atau lebih dikenal dengan sebutan timbal biasa digunakan
sebagai campuran bahan bakar bensin yang dijual hampir di setiap Stasiun
Pompa Bensin Umum (SPBU) di Palembang. Sebagian besar kendaraan
bermotor di Palembang masih menggunakan bensin bertimbal. Bensin bertimbal
ini merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan kejadian anemia
khususnya bagi pekerja SPBU yang telah bekerja dalam jangka waktu yang lama.
        Anemia yang merupakan salah satu gejala keracunan timbal terjadi akibat
penurunan sintesis globin walaupun tak tampak adanya penurunan kadar zat besi
pada serum. Anemia ringan yang terjadi disertai dengan sedikit peningkatan kadar
ALA (Amino Levulinic Acid) urine. Anemia biasanya terjadi pada orang yang
terpapar timbal dalam jangka waktu lama. Misalnya pada penduduk yang tinggal
di sekitar industri yang menggunakan bahan tersebut dan para pekerja.
        Penelitian ini merupakan penelitian analitik yaitu untuk mengetahui
hubungan karakteristik pekerja, penggunaan APD dan lama kerja dengan kejadian
anemia pada pekerja di Stasiun Pompa Bensin Umum (SPBU) Palembang tahun
2009. Teknik pengambilan 96 sampel ini dilakukan secara cluster random
sampling. Kemudian sampel tersebut diperiksa kadar hemoglobinnya di
laboratorium klinik dengan menggunakan alat spektrofotometer.
        Analisis data penelitian ini menggunakan uji Chi Square dan uji T
independent dengan bantuan perangkat lunak software computer.
        Hasil didapat kadar Hb rata rata adalah 15.69 gr % dengan kadar Hb
terendah 10.10 gr% dan kadar Hb tertinggi 27.40 gr%. Status Hb anemia 31 orang
(31.6%), status Hb normal 41 orang (41.8%) dan status Hb polisitemia adalah
sebanyak 26 orang (26.5 %). Hasil uji lebih lanjut didapat tidak ada hubungan
antara jenis kelamin dengan status hemoglobin (p = 0.351), Tidak ada hubungan
antara lama kerja dengan status hemoglobin ( p = 0.545). Dan Ada hubungan
antara penggunaan APD dengan status hemoglobin pekerja SPBU ( p = 0.020 ).
Disarankan adanya upaya managemen pencegahan timbulnya penyakit akibat
kerja pada pekerja SPBU dengan menggunakan alat pelindung diri yang sesuia,
adanya penyuluhan mengenai bahaya lingkungan kerja dan penyuluhan tentang
gizi terhadap pekerja di SPBU.

Kata Kunci : Anemia, Pekerja




Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                              1206
ISBN 978-602-98295-0-1

                                 PENDAHULUAN

       Di Indonesia, prevalensi anemia bervariasi yaitu 50-70 % pada wanita
hamil, 30-40% pada wanita dewasa, 30 - 40 % pada balita, 25 - 30 % pada anak
sekolah, 20 - 30% pekerja berpenghasilan rendah (Husaini, 1989).(1)
       Salah satu faktor penyebab anemia adalah gaya hidup yang kurang sehat,
kurang asupan zat yang dibutuhkan untuk pembentukan hemoglobin seperti zat
besi, folat, dan vitamin B12. Ada penyebab anemia yang lain yaitu timah hitam. (2)
       Timah hitam secara umum dikenal dengan sebutan timbal, biasa digunakan
sebagai campuran bahan bakar bensin. Fungsinya selain meningkatkan daya
pelumasan, juga meningkatkan efisiensi pembakaran sehingga kinerja kendaraan
bermotor
meningkat. Bahan kimia ini bersama bensin dibakar dalam mesin. Sisanya  70%
keluar bersama emisi gas buang hasil pembakaran. Berdasarkan data tahun
2004, beberapa kota besar misalnya         Palembang masih menggunakan bensin
bertimbal dengan kadar 0,199 gr/L. (3,5)
       Timbal lebih tersebar luas dibanding kebanyakan logam toksik lainnya.
Kadarnya    di   lingkungan    meningkat     karena   penambangan,      peleburan,
pembersihan, dan berbagai penggunaannya dalam industri. (4)
       WHO menyatakan tidak ada ambang batas paparan timbal di udara karena
sifatnya logam berat dan      toksik. Kadar Pb dalam darah manusia yang tidak
terpapar oleh Pb adalah sekitar 10-25 µg/100 ml. Konsentrasi Pb dalam darah
pada kadar 40-50 µg/100 ml mampu menghambat hemoglobin yang pada
akhirnya merusak hemoglobin darah.(3)
       Mukono (1991) meneliti status kesehatan dan kadar Pb Blood (Pb-B)
karyawan SPBU (Stasiun Pompa Bensin Umum) di Jawa Timur dan menemukan
bahwa pemeriksaan darah lengkap pada karyawan SPBU dengan penjualan
bensin kurang dari 8 ribu liter per hari lebih baik dari karyawan SPBU yang
menjual bensin lebih dari 10 ribu liter per hari. Didapatkan pula bahwa rerata
kadar Pb-B karyawan SPBU sebesar 77,59 µg/100 ml.(6)
       Suwandi (1995) menemukan bahwa kadar Pb udara di daerah terpapar
pada malam hari adalah 0,0299 mg/ml, yang besarnya sepuluh kali lipat kadar Pb
di daerah tidak terpapar pada malam hari 0,0028 mg/ml. Sedangkan rerata kadar

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                1207
ISBN 978-602-98295-0-1

Pb Blood (Pb-B) di daerah terpapar adalah 170,44 µg/100 ml, yang besarnya tiga
kali lipat kadar Pb di daerah tidak terpapar 45,43 µg/100 ml. Juga ditemukan
semakin tinggi kadar Pb-B semakin rendah kadar hemoglobin-nya.(6)
       Aminah (2006) melakukan penelitian kadar Pb dan Hb dalam darah
karyawan sampling dan non sampling di BBTKL PPM (Balai Besar Teknik
Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular) Surabaya, dimana
karyawan sampling memiliki rata-rata kadar Pb darah 7,08 g/L dengan rata-rata
kadar Hb darah 14,42 g/dL. Sedangkan semua karyawan non sampling memiliki
kadar Pb darah 0 g/L dengan rata-rata kadar Hb 13,34 g/dL (sebagian besar
karyawan non sampling berjenis kelamin wanita).(7)
       Kaltsum (2008) melakukan penelitian kadar Hb pada pekerja SPBU didapat
rata rata kadar Hb 15.68 gr%. Kejadian anemia pada pekerja SPBU sebanyak 31
orang (32.3%)
       Dampak yang ditimbulkan oleh timbal adalah dapat meracuni sistem
pembentukkan sel darah merah sehingga menimbulkan gangguan pembentukkan
sel darah merah, mempengaruhi sistem saraf, dan intelegensia pertumbuhan
anak-anak (IQ). Gejala keracunan timbal ini biasanya mual, sakit di perut, dan
anemia. Keracunan timbal kronik secara terus menerus makin meningkat dalam
jaringan yang akan menyebabkan kelumpuhan serta perubahan hematologik serta
leukemia.(3)
       Anemia yang merupakan salah satu gejala keracunan timbal terjadi akibat
penurunan sintesis globin walaupun tak tampak adanya penurunan kadar zat besi
pada serum. Anemia ringan yang terjadi disertai dengan sedikit peningkatan kadar
ALA (Amino Levulinic Acid) urine. Anemia biasanya terjadi pada orang yang
terpapar timbal dalam jangka waktu lama. Misalnya pada penduduk yang tinggal
di sekitar industri yang menggunakan bahan tersebut dan para pekerja. (6)
Dalam hal ini yang menjadi objek penelitian adalah para pekerja di Stasiun Pompa
Bensin Umum (SPBU). Para pekerja SPBU tersebut rentan terkena anemia
       dikarenakan   keadaan lingkungan kerja mereka yang secara langsung
terpapar timbal dari bensin. Selain itu juga ditunjang dari faktor ekonomi yang
rendah serta kurangnya asupan gizi bagi pekerja tersebut.



Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                             1208
ISBN 978-602-98295-0-1

      Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi status kesehatan pada pekerja di
lingkungan yang terpapar timbal diantaranya jenis kelamin, umur, lama kerja, dan
penggunaan alat pelindung diri (APD). (3,7)
      Rumusan masalah penelitian ini adalah masih ditemukannya kejadian
Anemia pada pekerja berpenghasilan rendah, salah satunya adalah pekerja
SPBU.
      Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan karakteristik
pekerja, penggunaan APD, dan lama kerja dengan kejadian anemia pada pekerja
di stasiun pompa bensin umum (SPBU) Palembang tahun 2009.

                               METODA PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Penelitian secara cross sectional ini di lakukan di 18 SPBU yang terpilih menjadi
subyek penelitian. Cara pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah rancangan stratified random sampling.


Jumlah Sampel

Besar sampel penelitian yang ditetapkan, dihitung dengan menggunakan rumus
Lemeshow et al. (1997) sebagai berikut :

                                    Z21-ά/2 .p (1 – P)
                    n=
                                     d2



        Perhitungan sampel :



                        (1,96)2 . 0.30 (1 – 0.30)
                    n = --------------------------------
                                         (0,1)2

             n = 81 pekerja dibulatkan menjadi 96 pekerja SPBU


Pengumpulan data
        Jenis data yang dikumpulkan dan cara pengumpulan data adalah :
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                              1209
ISBN 978-602-98295-0-1

            1. Data primer, meliputi data :
                Data karakteristik responden, lama kerja, penggunaan APD
                 diperoleh melalui wawancara lansung terhadap responden dengan
                 menggunakan alat bantu kuesioner dan observasi langsung.

                Data kadar Hb diperoleh melalui pemeriksaan darah untuk
                 menentukan   kadar  Hb   dengan   menggunakan    metode
                 cyanmethemoglobin.

            2. Data Skunder, meliputi data :
                Jumlah SPBU dan lokasi SPBU yang diperoleh dari Hiswanamigas
                 Plaju.

Pengolahan data dan cara analisis Data
Pengolahan Data
           Hasil pengukuran Hb responden dengan metode cyanmethemoglobin
            dibandingkan dengan standar rujukan cyanmethemoglobin , kemudian
            dibuat menjadi dua katagori yaitu Kadar Hb < rujukan dan kadar Hb ≥
            Rujukan.
           Seluruh data akan diolah dengan menggunakan software komputer .


Analisis Data
            Analisa Univariat

             Analisa ini digunakan untuk mendiskripsikan variabel bebas dan
             variabel terikat guna mendapatkan gambaran atau karakteristik
             responden dengan membuat tabel distribusi frekuensi.

            Analisa Bivariat

             Analisa ini dilakukan dengan membuat tabel silang antara masing-
             masing variabel bebas terhadap variabel terikat guna memperoleh
             gambaran variabel bebas mana yang diduga ada hubungan dengan
             kejadian Anemia pada pekerja di SPBU kota palembang. Uji statistik
             yang digunakan dalam analisis ini adalah Chi square dan uji t
             independent.

                                     HASIL PENELITIAN

   Kadar Hemoglobin (Hb) pekerja SPBU
                 Hasil analis didapat distribusi statistic kadar Hb pekerja SPBU
   adalah sebagai berikut

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                    1210
ISBN 978-602-98295-0-1

           Tabel. 4.1. Distribusi statistik kadar Hb pekerja SPBU
                       di Kota Palembang tahun 2009
     Variabel       Mean
                      Median        SD       Min - Maks      95 % CI
  Kadar Hb          15.69        3.31        10.10 – 27.4    15.03 –
                    15.45                                    16.36
  Hasil analisis didapatkan rata rata kadar Hb adalah 15.69 gr % ( 95% CI :
  15.03 – 16.36), Median 15.45gr % dengan standar deviasi 3.31 gr % . Kadar
  Hb terendah 10.10 gr % dan kadar Hb tertinggi 27.4 gr %. Dari hasil estimasi
  interval dapat disimpulkan bahwa 95 % diyakini bahwa rata rata kadar Hb
  antara 15.03 gr % sampai 16.36 gr %.
  Status Hemoglobin (Hb) pekerja SPBU
             Hasil analisis didapat distribusi frekuensi kadar Hb pekerja SPBU
  adalah sebagai berikut
            Tabel. 4.2. Distribusi frekuensi Status Hb pekerja SPBU
                         di Kota Palembang tahun 2009
          Status Hb                 Jumlah             Persentase
  Anemia                              31                  31.6
  Normal                              41                  41.8
  Polisitemia                         26                  26.5
           Jumlah                     98                  100


  Distribusi status Hb pekerja SPBU hampir merata, yaitu status anemia
  sebanyak 31 orang (31.6 %), status Hb normal 41 orang (41.8 %) dan Status
  Hb polisitemia sebanyak 26 orang (26.5 %).

  Status Hemoglobin (Hb) pekerja SPBU

  Hasil analisis didapat distribusi frekuensi kadar Hb pekerja SPBU adalah
  sebagai berikut
           Tabel. 4.2. Distribusi frekuensi Status Hb pekerja SPBU
                        di Kota Palembang tahun 2009
         Status Hb                 Jumlah             Persentase
  Normal                             41                  41.8
  Tidak Normal                       57                  58.2
          Jumlah                     98                  100



Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                               1211
ISBN 978-602-98295-0-1

  Distribusi status Hb pekerja SPBU hampir merata, yaitu status Hb yang normal
  sebanyak 41 orang (41.8 %), dan status Hb yang tak normal 57 orang (58.2
  %).
   Jenis Kelamin pekerja SPBU
  Hasil analisis didapat distribusi frekuensi jenis kelamin pekerja SPBU adalah
  sebagai berikut
          Tabel. 4.2. Distribusi frekuensi Jenis kelamin pekerja SPBU
                         di Kota Palembang tahun 2009
        Jenis Kelamin               Jumlah             Persentase
  Laki laki                           74                  75.5
  Perempuan                           24                  24.5

            Jumlah                    98                    100

  Distribusi jenis kelamin pekerja SPBU yaitu laki laki sebanyak 74 orang
  (75.5%), dan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 24 orang (24.5 %).


  Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
        Hasil analisis didapat distribusi frekuensi penggunaan APD pekerja
  SPBU adalah sebagai berikut
       Tabel. 4.2. Distribusi frekuensi Penggunaan APD pekerja SPBU
                         di Kota Palembang tahun 2009
           APD                     Jumlah           Persentase
  Sesuai                             7                  7.1
  Tidak Sesuai                       91                92.9
          Jumlah                     98                100

  Distribusi Penggunaan APD pekerja SPBU yaitu Penggunaan APD yang
  sesuai sebanyak 7 orang (7.1%), dan yang menggunakan tidak sesuai
  sebanyak 91 orang (92.9 %).


  Lama Kerja Pekerja SPBU
  Hasil analis didapat distribusi statistic lama kerja pekerja SPBU adalah sebagai
  berikut




Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                              1212
ISBN 978-602-98295-0-1



          Tabel. 4.1. Distribusi statistik Lama kerja pekerja SPBU
                       di Kota Palembang tahun 2009
     Variabel        Mean
                     Median         SD      Min - Maks      95 % CI
  Lama kerja     5.45           5.93        1 – 30          4.26 – 6.64
                 3.00


  Hasil analisis didapatkan rata rata lama kerja adalah 5.45 tahun ( 95% CI :
  4.26 – 6.64), Median 3.00 tahun dengan standar deviasi 5.93 tahun . Lama
  kerja terendah adalah 1 tahun dan lama kerja tertinggi 30 tahun. Dari hasil
  estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95 % diyakini bahwa rata rata lama
  kerja antara 4.26 tahun sampai 6.64 tahun.
  Lama kerja Pekerja SPBU
         Hasil analisis didapat distribusi frekuensi lama kerja pekerja SPBU
  adalah sebagai berikut
            Tabel. 4.2. Distribusi frekuensi Lama kerja pekerja SPBU
                          di Kota Palembang tahun 2009
          Lama kerja                 Jumlah            Persentase
    3 tahun                           56                 57.1
   > 3 tahun                           42                 42.9

            Jumlah                     98                   100

  Distribusi lama kerja pekerja SPBU yaitu  3 tahun sebanyak 56 orang (57.1
  %), dan lama kerja > 3 tahun sebanyak 42 orang ( 42.9 %).
  Umur pekerja SPBU
  Hasil analis didapat distribusi statistic umur pekerja SPBU adalah sebagai
  berikut
              Tabel. 4.1. Distribusi statistik Umur pekerja SPBU
                        di Kota Palembang tahun 2009
     Variabel         Mean
                     Median         SD      Min - Maks      95 % CI
  Umur           28.31             7.30     18 - 54         26.84 –
                 27.50                                      29.77



Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                1213
ISBN 978-602-98295-0-1

   Hasil analisis didapatkan rata rata umur pekerja adalah 28.31 tahun ( 95% CI :
   26.84 – 29.77), Median 27.50 tahun dengan standar deviasi 7.30 tahun . Umur
   pekerja termuda adalah 18 tahun dan umur pekerja tertua adalah 54 tahun.
   Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95 % diyakini bahwa rata
   rata umur pekerja antara 26.84 tahun sampai 29.77 tahun.


Hubungan karakteristik pekerja dengan status hemoglobin pekerja SPBU
   1. Jenis Kelamin dengan status hemoglobin
             Tabel. 4.9.1. Distribusi responden menurut jenis kelamin
                           dan status hemoglobin pekerja SPBU

               Status Hemoglobin
Jenis         Normal       Tidak         Total         OR          P value
kelamin                   normal                       95 % CI
             n      %    n      %      N          %
Laki laki    29 39.2 45 60.8           74        100   0.6
                                                       (0.25 –     0.351
Perempu      12   50.0    12    50.0   24        100   1.63
an
Jumlah       41   41.8    57    58.2   98        100

Hasil analisis hubungan antara jenis kelamin dengan status hemoglobin pekerja
SPBU didapat bahwa ada sebanyak 45 pekerja (60.8 %) dari 74 orang pekerja
yang ber jenis kelamin laki laki memiliki status hemoglobin tidak normal.
Sedangkan diantara pekerja yang berjenis kelamin perempuan ada 12 pekerja
(50.0%) yang mempunyai status hemoglobin yang tidak normal. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p = 0.351, maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang
signifikan antara jenis kelamin dengan status hemoglobin pekerja SPBU di kota
Palembang.


2. Umur dengan status hemoglobin
   Tabel.4.9.1. Distribusi rata rata umur responden menurut status hemoglobin
                         Pekerja SPBU di kota Palembang

    Variabel          Mean      SD          SE           P value   N
    Status Hb
    - Normal          27.56     8.24        1.29         0.395     41
    - Tidak           28.84     6.58        0.87                   57
       normal

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                              1214
ISBN 978-602-98295-0-1


Rata rata umur pekerja yang mempunyai status Hb normal adalah 27.56 tahun
dengan standar deviasi 8.24 tahun. Sedangkan untuk pekerja yang status Hb nya
tidak normal, rata rata umurnya adalah 28.84 tahun dengan standar deviasi 6.58
tahun.
Hasil uji didapat p = 0.395, berarti pada alpha 5 % terlihat tidak ada perbedaan
yang signifikan rata rata umur pekerja antara pekerja yang status Hb nya normal
dengan pekerja yang status Hbnya tidak normal.


Hubungan Penggunaan APD dengan status Hemoglobin pekerja SPBU
           Tabel. 4.10. Distribusi responden menurut Penggunaan APD
                           dan status hemoglobin pekerja SPBU

               Status Hemoglobin
Pengguna      Normal       Tidak             Total    OR            P value
an APD                    normal                      95 % CI
              n     %    n      %        N       %
Sesuai        6    85.7  1     14.3      7      100   9.60
                                                      (1.11-83.1)   0.020
Tidak        35    38.5    56    61.5    91     100
sesuai
Jumlah       41    41.8    57    58.2    98     100

Hasil analisis hubungan antara penggunaan APD dengan status hemoglobin
pekerja SPBU didapat bahwa ada sebanyak 1 pekerja (14.3 %) dari 7 orang
pekerja yang menggunakan APD sesuai memiliki status hemoglobin tidak normal.
Sedangkan diantara pekerja yang menggunakan APD tidak sesuai ada 56 pekerja
(61.5%) yang mempunyai status hemoglobin yang tidak normal. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p = 0.020, maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan
antara penggunaan APD dengan status hemoglobin pekerja SPBU di kota
Palembang.
Dari hasil analisis diperoleh nilai OR = 9.60 (95%CI : 1.11 – 83.1), artinya pekerja
yang menggunakan APD yang tidak sesuai memiliki peluang 9.60 kali mempunyai
status hemoglobin tidak normal dibanding pekerja yang menggunakan APD yang
sesuai.




Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                 1215
ISBN 978-602-98295-0-1




Hubungan lama kerja dengan status hemoglobin pekerja SPBU
Tabel.4.9.1. Distribusi rata rata lama kerja responden menurut status hemoglobin
                          Pekerja SPBU di kota Palembang

    Variabel            Mean     SD        SE          P value     N
    Status Hb
    - Normal            5.024    5.42      0.85        0.545       41
    - Tidak             5.76     6.29      0.83                    57
       normal

Rata rata lama kerja pekerja yang mempunyai status Hb normal adalah 5.04
tahun dengan standar deviasi 5.42 tahun. Sedangkan untuk pekerja yang status
Hb nya tidak normal, rata rata lama kerjanya adalah 5.76 tahun dengan standar
deviasi 6.29 tahun.
Hasil uji didapat p = 0.545, berarti pada alpha 5 % terlihat tidak ada perbedaan
yang signifikan rata rata lama kerja pekerja antara pekerja yang status Hb nya
normal dengan pekerja yang status Hbnya tidak normal.


                                  PEMBAHASAN


A. Kadar Hemoglobin (Hb) pekerja SPBU

          Dari hasil penelitian yang dilakukan pada 98 pekerja di SPBU

   Palembang tahun 2009 didapatkan rata-rata kadar hemoglobin pekerja SPBU

   adalah 15.69       gr/dL, dengan kadar hemoglobin terendah 10.10      gr/dL dan

   tertinggi 27.4 gr/dL.

          Hasil kadar hemoglobin yang didapat memiliki kadar yang sangat jauh.

   dimana terdapat 2 perbedaan hasil yang rendah dan sangat tinggi. Tingginya

   kadar hemoglobin ini dapat disebabkan banyak faktor, yaitu karena kadar

   oksigen di dalam udara terlalu rendah dan waktu pengambilan sample. Jika

   kadar oksigen di udara rendah, maka jaringan mungkin menerima terlalu
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                    1216
ISBN 978-602-98295-0-1

  sedikit oksigen. Waktu pengambilan sampel pada penelitian ini beraneka

  ragam. Mulai dari pagi, siang, dan sore hari.

        Waktu pengambilan sampel di siang hari juga mempengaruhi tingginya

  hasil kadar hemoglobin, dimana pekerja yang diambil sampelnya dalam kondisi

  yang tidak begitu baik. Kondisi yang tidak baik disini adalah pekerja di siang

  hari tepatnya sekitar pukul 11.00-14.00 melakukan pergantian shift. Pada saat

  pergantian shift, mereka belum mengkonsumsi makan siang dan kurangnya

  minum, ditambah dengan keadaan lingkungan yang panas. Terlihat pula

  kelelahan mereka bekerja dikarenakan aktifitas padat seharian yang banyak

  mengeluarkan tenaga sehingga pekerja juga sangat kurang mengkonsumsi air

  putih dan terjadi dehidrasi secara mikro di dalam tubuh..

     Penyebab lain tingginya kadar hemoglobin juga dapat dilihat pada saat

  pemeriksaan di laboratorium. Hasil pemeriksaan kadar hemoglobin penelitian

  pada hari pertama umumnya seimbang, tetapi pada hari kedua hasilnya

  terdapat ketidakseimbangan. Hal ini bisa dikarenakan standar hemoglobin

  yang dibaca berulang-ulang sehingga tutup standar sering terbuka. Jika

  standar menguap dapat mempengaruhi hasil kadar hemoglobin menjadi tinggi

  dari hasil yang sebenarnya.



B. Status Hemoglobin (HB) pekerja SPBU

        Distribusi frekuensi status Hb pada pekerja di SPBU Palembang tahun

  2009 diperoleh hasil pekerja yang status Hb nya anemia sebanyak 31 orang

  (31,6%).




Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                            1217
ISBN 978-602-98295-0-1

          Hasil ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan penelitian Husaini (1989)

  bahwa di Indonesia prevalensi anemia pada pekerja berpenghasilan rendah

  sebanyak 20-30% (Nyoman M, 2004)

          Anemia yang terjadi pada pekerja SPBU dapat disebabkan oleh

  beberapa faktor. Faktor utama diduga dari paparan timbal pada bensin dalam

  jangka waktu yang lama. Menurut penelitian di lapangan pada saat

  pengambilan sampel, umumnya pekerja yang anemia telah memiliki dampak

  dari pekerjaan sebelumnya seperti ada beberapa pekerja SPBU tersebut yang

  sebelumnya telah bekerja di SPBU juga. Sedangkan faktor lain dapat berasal

  dari rendahnya faktor ekonomi serta kurangnya asupan gizi bagi pekerja

  tersebut.

          Gangguan    kesehatan     seperti   anemia    dapat   berpengaruh   pada

  produktifitas kaum pekerja SPBU dimana daya tahan fisik pekerja terkendala

  karena rendahnya kadar hemoglobin dalam darah. Akibatnya para pekerja

  tidak dapat bekerja dengan optimal misalnya saja para pekerja sering izin tidak

  dapat bekerja dikarenakan sakit. Anemia merupakan penyakit yang bukan

  sepele karena jangka panjang dapat mengakibatkan kerusakan syaraf, fungsi

  otak,           serangan            jantung           bahkan           kematian.

  (http://portalcbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx/.)

          Selain timbal, di dalam bensin juga ada zat kimia lain yang berbahaya

  yaitu benzena. Data menunjukkan adanya insiden terjadinya anemia aplastik

  akibat inhalasi benzene di eropa dan Israel sebanyak dua kasus per 1 juta

  populasi setiap tahunnya. Di Thailand dan Cina angka kejadiannya sebanyak

  lima hingga tujuh orang per 1 juta populasi per tahunnya ( Kasper, Braunwald,

   faunci et al, 2004).
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                               1218
ISBN 978-602-98295-0-1

         Pemajanan zat kimia terhadap pekerja beserta lingkungan kerjanya

   secara terus-menerus akan merupakan beban fisik dan psikologis bagi tenaga

   kerja yang akhirnya menyebabkan penyakit akibat kerja. Peraturan Menteri

   Tenaga Kerja Nomor Per. 01/Men/1981 mengenai kewajiban melapor penyakit

   akibat kerja, mengatur bahwa terdapat 30 jenis penyakit akibat kerja yang

   berhubungan dengan bahan kimia termasuk benzena. Salah satu bahaya dari

   benzen adalah leukemia, dimana tanda-tanda awal dari leukemia adalah

   anemia.(Lu, Frank. 1995).

         Selain itu dari hasil analisis didapat adanya kejadian polisitemia

   sebanyak 26 orang (26.5%). Polisitemia adalah keadaan dimana terjadi

   peningkatan jumlah sel darah merah akibat pembentukan sel darah merah

   yang berlebihan oleh sumsum tulang. Polisitemia terjadi akibat kekurangan

   kadar oksigen, dehidrasi dan pada beberapa kasus yang berkaitan dengan

   neoplasma. (Brown A B, 1975)



C. Hubungan Karakteristik responden dengan status Hemoglobin pekerja

  SPBU

         Dari hasil uji didapat bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin

   dengan status hemoglobin.

         Hasil ini bertolak belakang dengan penelitian sebelumnya Aminah

   (2006) di Surabaya bahwa perempuan lebih rentan terkena anemia yang

   disebabkan oleh keracunan timbal daripada laki-laki. Beberapa penelitian

   (Husaini dkk) melaporkan dikalangan tenaga kerja wanita 30-40% menderita

   anemia, dan hasil studi di Tangerang tahun 1999 menunjukan prevalensi

   anemia pada pekerja wanita 69%.(Aminah, 2006 dan Depkes, 1999).
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                         1219
ISBN 978-602-98295-0-1

        Menurut teorinya, perempuan lebih berisiko terkena anemia daripada

  laki-laki. Disamping dari pengaruh hormon akibat menstruasi dan kehamilan,

  banyak perempuan yang melakukan diet tidak sehat seperti minum obat-obat

  pelangsing yang mempunyai efek samping yang buruk serta mengurangi

  mengkonsumsi makanan yang mengandung vitamin. Aktifitas perempuan juga

  lebih banyak dibanding laki-laki karena selain bekerja di luar rumah,

  perempuan juga mengurus rumah tangga.(Wahyuni, sri, 2007)

        Distribusi jenis kelamin pada pekerja SPBU di kota Palembang didapat

  bahwa Jumlah pekerja berjenis kelamin perempuan sangat sedikit yaitu 24

  orang (24,5%) dari 98 orang pekerja. Dengan proporsi ini maka hubungan

  antara jenis kelamin dengan status hemoglobin tidak terdeteksi karena jenis

  kelamin mendekati homogen.

        Hasil uji juga di dapat tidak ada hubungan antara umur dengan status

  hemoglobin. Hal ini bertolak belakang dengan teori dari buku kasper,

  braunwald, fauci et al (2004) yang menyatakan bahwa distribusi umur biasanya

  biphasik, yang artinya puncak kejadiannya pada remaja dan puncak kedua

  pada orang lanjut usia.

        Distribusi umur pada pekerja di SPBU kota palembang, umur rata rata

  28.31 tahun. Umur termuda 18 dan umur tertua 54 tahun. Dari distribusi ini,

  terlihat bahwa rentang usia sangat jauh berbeda dan jumlah usia tua sangat

  sedikit. Sehingga data cukup homogen di usia produktif. Dengan homogennya

  umur pekerja ini maka tidak didapat hubungan antara umur dengan status

  hemoglobin.



D. Hubungan Lama kerja dengan status hemoglobin pekerja SPBU
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                          1220
ISBN 978-602-98295-0-1

          Dari hasil uji didapat bahwa tidak ada hubungan antara lama kerja

   dengan status hemoglobin pekerja SPBU.

          Hal ini bertentangan dengan penelitian sebelumnya Aminah (2006) di

   Surabaya yang menyatakan bahwa lebih lama seseorang bekerja dalam

   lingkungan yang terpapar timbal akan lebih besar kemungkinan keracunan.

          Berdasarkan    teorinya,   semakin    lama    seseorang    bekerja   dalam

   lingkungan yang terpapar timbal maka semakin besar terkena keracunan

   karena dalam jangka waktu yang lama konsentrasi timbal berlebih akan

   terakumulasi dalam darah. Namun demikian, tidak hanya lama kerja yang

   merupakan faktor penyebab anemia dari keracunan timbal, tetapi masih

   banyak faktor lainnya diantaranya status gizi yang buruk, dan kesejahteraan

   pekerja SPBU.

  (Aminah, 2007 dan http://portalcbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx/.).

          Distribusi lama kerja di dapat, rata rata lama kerja 5.45 tahun.

   Sedangkan lama kerja terendah adalah 1 tahun dan lama kerja tertinggi adalah

   30 tahun. Dari distribusi ini terlihat begitu lebar jarak rentang lama kerja antara

   sesama pekerja. Dan sebagian besar pekerja mempunyai lama kerja antara

   4.26 tahun sampai 6.64 tahun. Dari data ini, maka dapat disimpulkan bahwa

   proses keterpaparan pekerja oleh bahan bahan toksik di dalam bensin

   mendekati homogen antara sesama pekerja.



E. Hubungan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dengan status

hemoglobin

          Hasil analisis didapat Ada hubungan antara penggunaan APD dengan

   status hemoglobin pekerja SPBU di kota Palembang.
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                  1221
ISBN 978-602-98295-0-1

        Dari pengamatan di lapangan, didapatkan 91 orang pekerja SPBU

  (92.9%) tidak menggunakan alat pelindung diri yang sesuai sedangkan hanya

  7 orang (7.1%) yang menggunakan alat pelindung diri yang sesuai. Hasil ini

  hampir sama dengan penelitian Aminah (2006) di Surabaya dimana seluruh

  karyawan 100% tidak menggunakan alat pelindung diri.

        Penyebab utamanya adalah tidak tersedianya alat pelindung diri yang

  sesuai di SPBU tersebut diantaranya sepatu, sarung tangan, dan masker.

  Walaupun ada beberapa SPBU yang menyediakan fasilitas tersebut, tetapi

  para pekerja tidak menggunakannya dengan baik. Tidak diketahui alasannya

  secara pasti tetapi hal tersebut juga merupakan kesalahan dari pihak atasan

  karena tidak adanya     tindakan tegas bagi para       pekerja yang tidak

  menggunakan alat pelindung diri yang sesuai.

        Alat pelindung diri sangat penting digunakan pada pekerja SPBU.

  Lingkungan kerja yang terpapar timbal dari bensin dapat mengakibatkan

  gangguan kesehatan bagi pekerja SPBU tersebut. Pentingnya alat pelindung

  diri terutama masker mengingat dimana timbal dapat masuk ke dalam tubuh

  85% melalui pernapasan, 14% melalui pencernaan, dan 1% melalui

  kulit.(KPBB, 1999)

     Keracunan melalui mulut kemudian masuk ke dalam pencernaan akan

  menimbulkan tanda-tanda seperti muntah, denyut         nadi cepat, hilang

  kesadaran, kehilangan kestabilan, dan koma. Keracunan melalui kulit

  merupakan iritan kuat yang dapat menimbulkan bercak merah dan terbakar

  serta menghilangkan lemak pada lapisan keratin yang menyebabkan kulit

  kering serta bersisik. Pada keracunan melalui pernapasan, tanda-tanda

   utamanya ialah perasaan mengantuk, pusing, sakit kepala, vertigo, dan
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                      1222
ISBN 978-602-98295-0-1

  kehilangan    kesadaran.    Keracunan     ini   berpengaruh    terhadap    sel    sel

  hemopoetik darah tepi dan sumsum tulang.(Wisaksono, 2004).

                                  KESIMPULAN

  1. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan status hemoglobin

     pekerja SPBU di kota Palembang tahun 2009

  2. Tidak ada hubungan antara lama kerja dengan status hemoglobin pekerja

     SPBU di kota Palembang tahun 2009

  3. Ada hubungan antara penggunaan alat pelindung diri (APD) dengan status

     hemoglobin pekerja SPBU di kota Palembang tahun 2009.

                                     SARAN

  1. Pemilik SPBU diharapkan memberikan fasilitas alat pelindung diri yang

     sesuai untuk pekerja SPBU guna mencegah timbulnya gangguan

     kesehatan seperti anemia atau penyakit akibat kerja lain nya.

  2. Pekerja SPBU diharapkan mengkonsumsi gizi yang seimbang setiap

     harinya.

  3. Perlu adanya penyuluhan bagi pekerja SPBU oleh petugas kesehatan

     mengenai bahaya lingkungan kerja, khususnya dampak timbal dan benzen

     bagi kesehatan.

  4. Kepada peneliti lain, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut antara lain:

         a. Pemeriksaan penunjang lain seperti pemeriksaan hitung jumlah

            eritrosit, retikulosit, dan pemeriksaan sediaan hapus darah.

         b. Dilakukan pemeriksaan seperti di atas tetapi dengan objek penelitian

            yang berbeda misalnya pada pedagang asongan, anak-anak

            jalanan, sopir angkutan umum, dan polisi lalu lintas yang terpapar

            timbal dari gas buang kendaraan.
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                    1223
ISBN 978-602-98295-0-1

                                DAFTAR PUSTAKA

Murtiyasa, Nyoman. 2004. Faktor Resiko Kejadian Anemia pada Pekerja
       Wanita. (http://adln.lib.unair.ac.id/go.php/. Diakses 7 Januari 2008).

Anonim. 2006. Anemia.
      (http://portalcbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx/.   Diakses    7     Januari
      2008).

Komite Penghapusan Bensin Bertimbal. 1999. Analisis Dampak Pemakaian
      Bensin Bertimbal dan Kesehatan.
      (http://www.kpbb.org/makalah-ind/. Diakses 29 September 2007).

Komite Penghapusan Bensin Bertimbal. 2005. Pengujian Kadar Pb pada
      Bensin Premium TT.
      (http://www.kpbb.org/makalah_ing/LeadPhaseOutRevised.pdf.
      Diakses 7 Januari 2008).

Lu, Frank C. 1995. Toksikologi Dasar. Edisi Kedua. Penerbit Universitas
   Indonesia, Jakarta.

Sudarmaji, J. Mukono, Corie I.P. 2006. Toksikologi Logam Berat B3 dan
     Dampaknya Terhadap Kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol.2
     No.2.
     (http://www.journal.unair.ac.id/login/journal/filer/KESLING-2-2-03.pdf.
     Diakses
     29 September 2007).

Aminah, Noery. 2006. Perbandingan Kadar Pb, Hb, Fungsi Hati, Fungsi
     Ginjal.      Jurnal       Kesehatan         Lingkungan       Vol.2          No.2.
     (http://www.journal.unair.ac.id/login/jurnal/filer/KESLING-2-2-01.pdf.
     Diakses 3 Oktober 2007).

Depkes RI Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan. 1989. Hematologi. Jakarta.

Hadiat, dkk. 2004. Kamus Sains. Balai Pustaka, Jakarta.

De Maeyer, E.M. 1993. Pencegahan Dan Pengawasan Anemia Defisiensi Besi.
     Widya Medika, Jakarta.

Sitompul, Johan Intan. 1983. Patohematologi. Penerbit Medipress, Jakarta.


Wahyuni, Sri. 2007. Anemia dan Wanita.
(http://www.medanbisnisonline.com/rubrik.php. Diakses 4 Juli 2008).

Notoatmodjo, Soekidjo. 1996. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Penerbit Rineka
      Cipta, Jakarta.

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                   1224
ISBN 978-602-98295-0-1

Firdaus, Lutfi. Bensin.
      (http://www.chem-is-try.org/?sect=fokus&ext=17. Diakses 7 Januari 2008).

Sartono, Drs. 2002. Racun dan Keracunan. Widya Medika, Jakarta.

Polar, Heryando. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Penerbit
       Rineka Cipta, Jakarta.

dr U Syamsudin, dr F D Suyatna. 1978. Keracunan Pb.
(http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/10KeracunanPb013.pdf/. Diakses 7 Januari
        2008).

Komite Penghapusan Bensin Bertimbal. 1999. Kebijakan Energi Bersih melalui
        Penghapusan Bensin Bertimbal (Pb).
(http://www.kpbb.org/makalah_ind/Kebijakan%20Energi%20Bersih%20Melalui%2
        0Penghapusan%20Bensin%20Bertimbel.pdf. Diakses 7 Januari 2008).

Azwar, A. 1988. Pengantar Epidemiologi Edisi Pertama. PT.Bina Rupa
      Aksara, Jakarta.

Imamkhasani, Soemarto. 1990. Keselamatan Kerja dalam Laboratorium Kimia.
     Penerbit PT.Gramedia, Jakarta.

Martin, David W.JR dkk. 1992. Biokimia Harper Edisi 20. Penerbit Buku
       Kedokteran EGC, Jakarta.

Kresno, Siti Boedina. 1988. Pengantar Hematologi dan Imunohematologi.1988.
      Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

Wisaksono, Satmoko. 2004. Resiko Pemajanan Benzen terhadap Pekerja dan
      Cara Pemantauan Biologis. Jakarta.

Gandasoebrata, R. 2004. Penuntun Laboratorium Klnik. Dian Rakyat, Jakarta.

Tjokronegoro, Arjatmo dkk. 1992. Pemeriksaan Laboratorium Hematologi
      Sederhana. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

Notoatmojo, Soekidjo. 1993. Dasar-dasar Metodelogi Penelitian Kesehatan.
      Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.

Widman K.F. 1995. Tinjauan klinis atas hasil Pemeriksaan Laboratorium. Ed 9
     UI.Jakarta

Brown Barbara. 1975. Principles and Procedure. Lea & Febiger. Philadelphia




Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                              1225
ISBN 978-602-98295-0-1

    ANALISIS FAKTOR RESIKO PENULARAN HIV/AIDS DI KOTA MEDAN

                            Erledis Simanjuntak
  Mahasiswa tugas belajar pada Program Doktor Ilmu-Ilmu Lingkungan Di PPS
                              Unsri Palembang

                                   ABSTRAK

       HIV/AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan Global. Di seluruh
negara saat ini sedang terancam dengan penyebaran virus yang mematikan ini.
Tidak hanya di negara maju, tetapi juga di negara sedang berkembang seperti
Indonesia, termasuk di Kota Medan.Berbagai faktor resiko penyebab HIV/AIDS,
seperti: hubungan sex bebas (beresiko), pemakaian jarum suntik narkoba,
penularan melalui transfusi darah, dan transmisi dari ibu ke anak. Di samping itu
faktor karakteristik juga berperan terhadap resiko penularan HIV/AIDS, seperti
umur, jenis, pekerjaan, dan pendidikan.Desain penelitian ini Kasus Kontrol,
dengan 230 sampel (115:115). Data diambil dari pasien HIV/AIDS dan Kontrol
yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan tahun
2010, yang berdomisili di Kota Medan. Dilakukan Analisis Deskriptif, Bivariat (Uji
Chi-Square), dan Multivariat (Uji Regressi Logistik), dengan Program SPSS For
Windos 17. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan pada
tingkat kepercayaan 95 % pada variabel : Pemakai jarum suntik narkoba
(P=0,000), Hubungan sex bebas (P=0,000), Kelompok umur 15 – 24 tahun, 25-
34 tahun, 35-44 tahun (P=0,000), jenis kelamin Laki-laki (P=0,000), Tidak bekerja,
Wiraswasta, Pegawai Swasta (P= 0,000), Pendidikan SD, SLTP (P=0,000), SLTA
(P=0,001). Uji Multivariat menunjukkan faktor resiko yang dominan terhadap
penularan HIV/AIDS di Kota Medan adalah: Pemakaian jarum suntik narkoba
(OR=66,551), hubungan sex bebas (OR=25,419), Pendidikan (OR=2,653),
Pekerjaan (OR= 2,288).
Kata Kunci : Kesehatan, Faktor Resiko HIV/AIDS, Kasus Kontrol.



                                PENDAHULUAN

      Kasus HIV/ AIDS dewasa ini telah mengalami peningkatan jumlah secara
cepat dari tahun – ketahun. Menurut data yang ada, sampai dengan 30 Juni 2010
secara komulatif kasus AIDS yang dilaporkan sejak tahun1978 sejumlah 21.770
kasus dari 32 provinsi dan 300 Kabupaten. Kasus terbanyak diperoleh di DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Papua, Bali, Jawa tengah, Kalimantan Barat,
Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Barat. Rate tertinggi
berada di Provinsi Papua (14,34 kali) dari angka Nasional. Rasio Kasus AIDS
antara laki-laki dengan perempuan adalah 3:1.


Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                              1226
ISBN 978-602-98295-0-1

      Sedangkan kasus HIV positf sampai dengan 30 Juni 2010 sejak dilaporkan
tahun1978 secara komulatif = 44.292. Daerah yang paling banyak terjadi kasus
HIV positf adalah DKI Jakarta (9,804 kasus), Jawa Timur (5.973 kasus), Jawa
Barat (3.798 kasus), Sumatera Utara (3.391 kasus), Papua (2,947 kasus), Bali
(2,505 Kasus). Jumlah ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS yang masih dalam
pengobatan Anti Retro Virus tertinggi di DKI Jakarta (7.242 Kasus), Jawa Barat
(2.001), Jawa Timur (1.517 Kasus), Bali (984 Kasus), Papua (685 Kasus), Jawa
Tengah (575 Kasus), Sumatera Utara (575 Kasus), Kalimantan Barat (463 Kasus),
Kepulauan Riau (426 kasus), Sulawesi Selatan (343 Kasus) (Depkes RI, 2010).
      Beberapa faktor resiko penularan hiv/aids adalah melalui hubungan
seksual, melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercampur virus
hiv, melalui jarum suntik yang tidak steril, transplantasi organ pengidap hiv dan
penularan dari ibu ke anaknya saat di kandungan (Nursalam , 2007).
      Hingga saat ini belum ada data yang akurat tentang jumlah kasus, dan
faktor risiko yang mempengaruhi berkembangnya penularan HIV diberbagai
wilayah di indonesia, termasuk di Kota Medan. Oleh sebab itu perlu dilakukan
penelitian tentang ― Analisis Faktor Resiko HIV/AIDS Di Kota Medan―. Dengan
diketahuinya faktor resiko penularan HIV/AIDS secara jelas, diharapkan dapat
menjadi masukan terhadap pemerintah         untuk membuat perioritas program
penanggulangan HIV/ AIDS secara tepat, efektif sesuai dengan sumber daya
yang ada.
                     BAHAN DAN METODE PENELITIAN

      Penelitian ini dilakukan di ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Haji Adam
Malik Medan.W aktu penelitian selama enam bulan (Mei - September tahun 2010).
Desain penelitian ini adalah studi kasus kontrol (case control study). Sampel
dalam penelitian terdiri dari dua kelompok yaitu satu kelompok kasus (penderita
HIV/AIDS), dan satu kelompok kontrol (bukan penderita HIV/AIDS) yang
berdomisili di Kota Medan. Besar sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan
rumus (Murti, 1996., Sudigdo, 2002) sebagai berikut:




Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                             1227
ISBN 978-602-98295-0-1

                              2
                       
           z  z  PQ 
      n 2             
            p 1 
           
             
                     
                    2 
              R
      p
           1  R 
      Q  1  p 
Keterangan :
R = Perkiraan Odds Ratio = 2., = 0,05., Z=1,64.,      = 0,10.,   Z= 1,28
                                  2
         1,64         2 1
               1,28. . 
      n 2            3 3
              2 1      
                      
              3 2      
                          2
         0,82  0,89 
      n             
         0,16 
       n= 115 (jumlah sampel dalam adalah 230, terdiri dari 115 kasus, dan 115
Kontrol). Pengambilan sampel dilakukan secara porposif. dengan menggunakan
Angket, berupa kuesioner yang diisi langsung oleh responden.
      Bahan yang dianalisis dalam penelitian ini berupa Data Primer Primer yang
dikumpulkan dengan menggunakan Angket. Data dianalisis secara Deskriptif,
Analisis Bivariat (Uji Chi-Square), dilakukan perhitungan terhadap Odds Ratio
(OR), dengan Confident Interval 95%. Analisis terhadap       Odds Ratio dilakukan
dengan membandingkan Odds pada kelompok kasus dengan Odds pada
kelompok Kontrol (Sudigdo,2002). Selanjutnya dilakukan Analisis Multivariat (Uji
Regressi Logistik), melalui           Program SPSS For W indos 17 dengan metode
Stepwise (Hastono,2001).




Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                1228
ISBN 978-602-98295-0-1

                            HASIL DAN PEMBAHASAN

                                 Tabel .1.
  Distribusi Gambaran Karakteristik Sampel Kasus HIV/AIDS dan Kontrol Di Kota
                          Medan Tahun 2010.
No      Variabel                 Kasus       Kontrol       Total
                                 n      %    n       %     n     %
1       Umur : 15-24 Tahun       15     13,0 13      11,3  28    12,2
                 25-34 Tahun     63     54,8 15      13,0  78    33,9
               35-44 Tahun       27     23,5 32      27,8  59    25,7
               45- 64 Tahun      10     8,7  55      47,8  65    28,3
       Jumlah                    115 100 115         100   230 100
2      Jenis Kelamin: Laki-laki  96     83,5 70      60,9  166 72,2
                    Perempuan 19        16,5 45      39,1  64    27,8
       Jumlah                    115 100 115         100   230 100
3      Pekerjaan: Tidak Bekerja 51      44,3 20      17,4  71    30,9
                 Wiraswasta      43     37,4 27      23,5  70    30,4
                 Pegawai         20     17,4 26      22,6  46    20,0
        Swasta
                 PNS             1      0,9  42      36,5  43    18,7
       Jumlah                    115 100 115         100   230 100
4      Pendidikan: SD            9      7,8  2       1,7   11    4,8
                  SLTP           39     33,9 25      21,7  64    27,8
                  SLTA           65     56,5 70      60,9  135 58,7
                  PT/Akademi     2      1,7  18      15,7  20    8,7
       Jumlah                    115 100 115         100   230 100


   1. Umur.

      Hasil penelitian    pada Tabel.3.1. Menunjukkan bahwa proporsi kasus
HIV/AIDS ditemukan tertinggi pada Umur 25-34        tahun (54,8%),    35-44 tahun
(23,5%). Hasil uji Bivariat (Tabel. 3.3.) Menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan antara umur dan HIV/AIDS (p=0,000), dan jika dilihat dari nilai OR, maka
dapat disimpulkan bahwa Usia yang paling beresiko terhadap HIV/AIDS adalah
umur 25-34 tahun (OR=23,100),       Usia 15-24 tahun (OR=6,346), 35-44 Tahun
(OR=4,641).
      Usia remaja,    dan    usia produktif sangat beresiko terhadap penularan
HIV/AIDS. Infeksi HIV/AIDS sebagian besar (>80%) diderita oleh kelompok usia
produktif (15-49 tahun) (Wandoyo, 2007). Banyak faktor yang menyebabkan
tingginya kasus HIV/AIDS pada kelompok usia remaja, usia produktif . Menurut
Tanjung (2004), remaja sangat rentan dengan HIV/AIDS, oleh karena usia remaja

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                               1229
ISBN 978-602-98295-0-1

identik dengan semangat bergelora, terjadi peningkatan libido. Selain itu resiko ini
disebabkan faktor lingkungan remaja.
   Tabel.2. Resiko Kejadian HIV/AIDS Pada Sampel Menurut Umur dan Jenis
                    Kelamin Di Kota Medan Tahun 2010.
No Variabel          Kasus       Kontrol    χ²        OR
                     N     %     n     %    (Nilai P) (CI 95%)
 1 Umur :
     15-24 Tahun 15       60,0 13     19,1 14,519    6,346
     45- 64 Tahun 10      40,0 55     80,9 (0,000)    (2,326-
      Jumlah         25    100 68      100            17,299).
     25-34 Tahun 63       86,3 15     21,4 60,656    23,100
     45- 64 Tahun 10      13,7 55     78,6 (0,000)   (6,600 -
      Jumlah         73    100 70      100            55,586)
     35-44 Tahun 27       73,0 32     36,8 13,633    4,641
     45- 64 Tahun 10      27,0 55     63,2 (0,000)   (1,991-10,818)
      Jumlah         37    100 87      100
 2    Jenis                                 14,635    3,248
      Kelamin:                               (0,000) (1,750-6,028).
     Laki-laki      96    83,5 70     60,9
     Perempuan      19    16,5 45     39,1
      Jumlah         115 100 115 100


     2. Jenis Kelamin.
       Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah kasus HIV/AIDS lebih
tinggi pada laki-laki sejumlah (83,5%), dibanding dengan perempuan sejumlah
(16,5). Resiko laki-laki menderita HIV/AIDS jika dilihat dari nilai OR adalah 3,248
kali lebih tinggi dari perempuan (Tabel.2). Hal ini sejalan dengan data prevalensi
HIV/AIDS tahun 2003, dari 22 provinsi yang telah ada kasus HIV di Indonesia
diperoleh data bahwa penyebaran HIV/AIDS berdasarkan Gender, laki-laki 57,71
%, dan perempuan 42,29 % (Notoadmojo,2007). Menurut Depkes RI (2010),
Rasio Kasus AIDS antara laki-laki dengan perempuan adalah 3:1. Menurut
Wandoyo (2007) bahwa infeksi HIV sebagian besar (>80%) diderita oleh kelompok
usia produktif (15-49 Tahun), terutama laki-laki. Akan tetapi jumlah penderita
wanita cenderung meningkat. Resiko AIDS yang tertinggi pada pria homoseks,
mungkin sekali kerena seringnya hubungan seksual dengan pasangan yang
berbeda-beda. ( Noor , 1997).
a.    Pekerjaan


Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                1230
ISBN 978-602-98295-0-1

       Tabel.1. Memperlihatkan Proporsi     Sampel yang tidak bekerja pada
kelompok Kasus HIV/AIDS (44,3%), wiraswasta (37,4%). PNS (0,9%). Hasil Uji
Bivariat (Tabel.3.)memperlihatkan   Ada hubungan yang signifikan antara jenis
pekerjaan dengan HIV/AIDS P < 0,005. Bila dilihat dari besarnya nilai OR maka
Sampel yang tidak bekerja mempunyai resiko tertinggi untuk kemungkinan
menderita HIV/AIDS (OR=107,100), selanjutnya      bekerja sebagai wiraswasta
(OR=66,889), Pegawai Swasta (OR=32,308 ). Muninjaya (1999), menyebutkan
bahwa HIV ditularkan oleh para Traveler (turis, nelayan asing), kepada kelompok
Pekerja Sex Komersial, kemudian menyebar kepada para pelanggan yang
menggunakan jasa meraka.
b. Pendidikan

     Tabel.3. Resiko Kejadian HIV/AIDS Pada Sampel Menurut Pekerjaan dan
                      Pendidikan Di Kota Medan Tahun 2010.
No    Variabel         Kasus      Kontrol   χ²        OR
                       N    %     n    %    (Nilai P) (CI 95%)
 1    Pekerjaan :
 A     Tidak          51 98,1 20 32,3 52,152         107,100
        Bekerja                             (0,000)   (13,795-
       PNS            1    1,9   42 67,7             831,499)
        Jumlah         52 100 62 100
 B     Wiraswasta     43 97,7 27 39,1 39,135         66,889
       PNS            1    2,3   42 60,9 (0,000)     (8,691-514,786)
        Jumlah         44 100 69 100
 C     Pegawai        20 95,2 26 38,2 20,878         32,308
        Swasta                              (0,000)   (4,089-255,282)
       PNS            1    4,8   42 61,8
        Jumlah         21 100 68 100
 2      Pendidikan:
 A     SD             9    81,8 2     10,0 15,989    40,500
       PT/Akademi     2    18,2 18 90,0 (0,000)      (4,876-336,401)
        Jumlah         11 100 20 100
 B     SLTP           39 95,1 25 58,1 15,824         14,040
       PT/Akademi 2        4,9   18 41,9 (0,000)     (2,996-65,804)
        Jumlah         41 100 43 100
 C     SLTA           65 97,0 70 79,5 10,330         8,357
       PT/Akademi 2        3,0   18 20,5 (0,001)     (1,866-37,431)
        Jumlah         67 100 88 100

Ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dan HIV/AIDS (p < 0,05). Nilai
OR tertinggi pada sampel    (Tabel.3.) berpendidikan SD (nilai OR = 40,500,),
Sampel berpendidikan SLTP (OR =14,040), berpendidikan SLTA (OR =8,357).
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                    1231
ISBN 978-602-98295-0-1

Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin rendah pendidikan
sampel, maka semakin tinggi resiko menderita HIV/AIDS.
        Dalam masyarakat dimana taraf kecerdasan masih rendah, masyarakat
belum berpartisipasi dalam pencegahan penyakit dan baru mencari pemecahan
persoalan bila masalah sudah nyata (Entjang, 2002). tingkat pendidikan individu
dan masyarakat dapat berpengaruh terhadap penerimaan pendidikan kesehatan
Herawani (2002), bahwa. Oleh sebab itu sosialisai (komunikasi, informasi dan
edukasi,pencegahan HIV/AIDS harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan
masyarakat.
c. Hubungan Sex Bebas

          Hasil penelitian Pada Tabel.4. Memperlihatkan bahwa ada hubungan
yang signifikan antara hubungan sex bebas dengan HIV/AIDS (P=0,000). Resiko
sampel yang melakukan hubungan sex bebas 9,966 lebih tinggi menderita
HIV/AIDS dibandingkan dengan Sampel yang tidak melakukan hubungan sex
bebas.    Menurut data yang diperoleh dari Depkes RI (2010), cara penularan
terbanyak HIV/AIDS melalui hubungan heterosexual (51,3%). Dengan semakin
banyaknya perilaku hubungan sex bebas, tempat pelacuran, serta kemiskinan
moral    sangat berpotensi menularkan HIV. Adanya kebiasaan berganti-ganti
pasangan dan melakukan anal sex menyebabkan rentan tertular HIV (Duarsa,
2007). Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari hubungan sex
beresiko, setia pada pasangan suami/istri.
  Tabel.4. Resiko Kejadian HIV/AIDS Pada Sampel Menurut Cara Penularan Di
                           Kota Medan Tahun 2010.
No   Variabel         Kasus         Kontrol         χ²            OR
                      N     %       N       %       (Nilai P)     (CI 95%)
 1  Hubungan Sex
    Bebas:
     Ya              56     48,7   10       8,7    44,963        9,966
     Tidak           59     51,3   105      91,3   (0,000)       (4,733-20,985)
      Jumlah          115    100    115      100
 2 Pemakaian Jarum
   Suntik Narkoba:
     Ya              62     53,9   6        5,2    65,476        21,252
     Tidak           53     46,1   109      94,8   (0,000)       (8,641 -52,268)
      Jumlah          115    100    115      100
 3 Transfusi Darah
     Ya              2      1,7    7        6,1    2,891         0,273
     Tidak           113    98,3   108      93,9   (0,089)       (0,055-1,344)
      Jumlah          115    100    115      100


Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                     1232
ISBN 978-602-98295-0-1

3.6. Pemakaian Jarum Suntik Narkoba
         Ada hubungan pemakaian jarum suntik narkoba, dengan HIV/AIDS (P=
0,000). Sampel Pemakai Jarum suntik narkoba kemungkinan 21,252 kali lebih
tinggi menderita HIV/AIDS dibandingkan dengan sampel yang tidak menggunakan
Jarum suntik narkoba. Resiko penggunaan jarum suntik tidak steril/pemakaian
bersama pengguna narkoba sekitar 0,5 – 1 % dan terdapat 5-10 % dari total
kasus sedunia. Depkes RI (2010) melaporkan cara penularan HIV/AIDS melalui
Pengguna Narkoba Suntik/Panasun (39,6%).
         Di negara - negara Amerika Latin dilaporkan 7.215 kasus AIDS melanda
kaum muda berusia 20-49 tahun yang sebagian besar adalah kaum homoseksual
dan pengguna obat-obat suntik (Wandoyo, 2007). Di beberapa negara sekitar 50
% lebih pengguna narkotik dengan jarum suntik hidup dengan HIV/AIDS. Sekitar
50-70 % pengguna         narkotik suntik (penasun), telah terinfeksi HIV   (Tanjung,
2004).
         Remaja memerlukan perhatian, bimbingan dan pembinaan terhadap
seluruh aspek kehidupan mereka, baik secara bio, psiko, social, budaya, dan
Spiritual.


3.7. Melalui Transfusi Barah
         Hasil Analisis Bivariat hubungan transfusi darah dengan HIV/AIDS
diperoleh nilai p > 0,05 atau nilai p = (0,089), artinya tidak ada hubungan yang
bermakna antara transfusi darah dengan HIV/AIDS pada sampel. Hal ini
kemungkinan       karena penyediaan produk darah yang diberikan kepada sampel
telah diperiksa oleh Palang Merah Indonesia, dan bebas HIV.
         Berdasarkan Hasil akhir Uji Multivariat, diperohasil bahwa ada 4 variabel
faktor resiko yang dominan terhadap kejadian HIV/AIDS pada sampel di Kota
Medan Yaitu : Pemakaian jarum suntik narkoba, hubungan sex bebas, pendidikan,
dan pekerjaan.


3.8. Kesimpulan

             Faktor resiko yang berhubungan secara signifikan (CI:(95%) terhadap
kejadia HIV/AIDS pada sampel di Kota Medan Adalah: Pemakai jarum suntik

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                1233
ISBN 978-602-98295-0-1

narkoba, Hubungan sex bebas, Kelompok umur 15 – 24 tahun, 25-34 tahun, 35-
44 tahun, jenis kelamin Laki-laki, sampel yang tidak Tidak bekerja mempunyai
resiko lebih tinggi disbanding sampel yang bekerja, resiko pada sampel dengan
pendidikan yang lebih rendah menjadi HIV/AIDS lebih tingggi dibanding dengan
sampel berpendidikan tinggi.

         Faktor resiko yang dominan terhadap penularan        HIV/AIDS di Kota
Medan adalah: Pemakai jarum suntik narkoba, hubungan sex bebas, Pendidikan,
dan Pekerjaan.

                               DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI, Dirjen P2M dan PL:2009 Statistik Umum HIV/AIDS di Indonesia.
         http//www./LP3Y.org/Content/AIDS/Sti.html.

Depkes RI, Dirjen P2M dan PL:2010. Kasus HIV/AIDS di Indonesia sampai
        September 2010. http//www.Puskom Depkes @mail.com.
Duarsa, W . 2007. Infeksi Menular Seksual, Balai Penerbit Fk-Ui.Jakarta.Entjang,
         Indan., 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat, PT.Citra Adiya Bakti,
         Bandung.Hastono, S.P., 2001. Modul Analisis Data . Fakultas
         Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Irianto, K. 2000. Gizi Dan Pola Hidup Sehat., Penerbit Yrama W idya. Jakarta.
Muninjawa, G. 1999. Aids Di Indonesia Masalah Dan Kebijakan
            Penanggulangannya. Penerbit Buku Kedokteran Egc. Jakarta.

Murti, B. 1997. Prinsip Dan Metode Riset Epidemiologi., Gadjah Mada University
           Press. Yogyakarta.

Noor,N.N., 1997. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Penerbit Rineka
         Cipta. Jakarta

Notoadmodjo, S., 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu Seni., Penerbit Rineka Cipta.
        Jakarta.

Nursalam, M., 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi Hiv/Aids.
         Penerbit Salemba Medika. Jakarta.

Sudigdo, S. 2002. Dasar-Dasar Metode Penelitian Klinis. Edisi Kedua. Jakarta.

Wadoyo, G.2007. Awas Hiv-Aids. Penerbit Dinamika Media. Jakarta.

Tanjung, M., 2004. Kenali Kejahatan Narkoba Hiv-Aids. Lembaga Terpadu
         Pemasyarakatan Anti Narkoba. Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                  1234
ISBN 978-602-98295-0-1

REFINERY PRODUCED WASTEWATER TREATMENT BY PVDF COMPOSITE
               HOLLOW FIBER ULTRAFILTRATION

                                  Erna Yuliwatia,b
a
 Advanced Membrane Technology Research Centre Universiti Teknologi Malaysia
                        b
                         Universitas Bina Darma


                                    ABSTRACT

       The aim of this study is to investigate the effect of surface- modified of
PVDF membranes by adding the hydrophilic additives for refinery produced
wastewater treatment. This paper presents the results of a research on direct
clean water treatment using hollow fiber ultrafiltration equipment. The source of
water is the synthetic refinery wastewater with mixed liquor suspended solids
(MLSS) concentration of 3 g/l. All experiments were conducted at 25 oC and using
vacuum pump. The data were collected during a period of 72 h.                The
morphological and performance tests were conducted on PVDF ultrafiltration
membranes prepared from different additives concentrations. The cross- sectional
area of the hollow fiber membranes was observed using a field emission scanning
electron microscope (FESEM). The surface wettability of porous membranes was
determined by measurement of contact angle. Mean pore size and surface
porosity were calculated based on the permeate flux. The results also indicated
that the PVDF composite membranes with lower additives concentration loading
possessed smaller mean pore size, more apertures inside the membranes with
enhanced membrane hydrophilicity. The flux and rejection of refinery wastewater
using PVDF composite membranes achieved were improved and the system is
ready for field employment.



                                 INTRODUCTION




    Waterborne outbreaks of enteric diseases are a major public health concern,
yet monitoring and identifying the disease-causing microorganism from water
samples remain difficult. Produced water is by far the largest contaminated stream
resulting from thermal heavy oil recovery operations and its treatment and reuse is
essential for the sustainability of oil sands processing [1]. Organic contaminants in
produced waters are toxic and corrosive leading to environmental and operational
problems. From an environmental sustainability and perspective, it is necessary to
recycle produced water and thus it must undergo proper treatment in order to
avoid potentially negative impacts on drinking water supplies and aquatic
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                     1235
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat

Mais conteúdo relacionado

Semelhante a 6. sesi kesehatan dan obat

Jurnal biaya pasien rawat inap penyakit jantung
Jurnal biaya pasien rawat inap penyakit jantungJurnal biaya pasien rawat inap penyakit jantung
Jurnal biaya pasien rawat inap penyakit jantungAndy Murtanto
 
Presentation Team 2 TK2 Data Science by (Arif , Taufan , Nazmi).pptx
Presentation Team 2 TK2 Data Science by (Arif , Taufan , Nazmi).pptxPresentation Team 2 TK2 Data Science by (Arif , Taufan , Nazmi).pptx
Presentation Team 2 TK2 Data Science by (Arif , Taufan , Nazmi).pptxdiklatMSU
 
Enkripsi dan dekripsi_data_pasien_pada_s
Enkripsi dan dekripsi_data_pasien_pada_sEnkripsi dan dekripsi_data_pasien_pada_s
Enkripsi dan dekripsi_data_pasien_pada_sAnggi Shinta
 
data mining
data miningdata mining
data miningdewi2093
 
INFORMATIKA RUMPUN KESEHATAN SMK KELAS X_BAB 6 ANALISIS DATA DAN DAMPAK SOSIA...
INFORMATIKA RUMPUN KESEHATAN SMK KELAS X_BAB 6 ANALISIS DATA DAN DAMPAK SOSIA...INFORMATIKA RUMPUN KESEHATAN SMK KELAS X_BAB 6 ANALISIS DATA DAN DAMPAK SOSIA...
INFORMATIKA RUMPUN KESEHATAN SMK KELAS X_BAB 6 ANALISIS DATA DAN DAMPAK SOSIA...andiekuA
 
Eps3 - Data Adalah Kunci.pdf
Eps3 - Data Adalah Kunci.pdfEps3 - Data Adalah Kunci.pdf
Eps3 - Data Adalah Kunci.pdfProGaming290098
 
Jurnal metode clustering dengan algoritma fuzzy c means untuk rekomendasi pem...
Jurnal metode clustering dengan algoritma fuzzy c means untuk rekomendasi pem...Jurnal metode clustering dengan algoritma fuzzy c means untuk rekomendasi pem...
Jurnal metode clustering dengan algoritma fuzzy c means untuk rekomendasi pem...ym.ygrex@comp
 
Pertemuan 3 Model Data Mining.pptx
Pertemuan 3 Model Data Mining.pptxPertemuan 3 Model Data Mining.pptx
Pertemuan 3 Model Data Mining.pptxArwansyahDipanegara
 
Procceding_KNIT_2_97-102_AndikaDwiHadiri
Procceding_KNIT_2_97-102_AndikaDwiHadiriProcceding_KNIT_2_97-102_AndikaDwiHadiri
Procceding_KNIT_2_97-102_AndikaDwiHadiriAndika Dwi Hadiri
 
Tik in organisation
Tik in organisationTik in organisation
Tik in organisationrusdicinere
 
8 modul 8-dts-fitur dan cleaning data-univ-gunadarma
8 modul 8-dts-fitur dan cleaning data-univ-gunadarma8 modul 8-dts-fitur dan cleaning data-univ-gunadarma
8 modul 8-dts-fitur dan cleaning data-univ-gunadarmaArdianDwiPraba
 
SIM, Fitri Febriani, Hapzi Ali, Sistem Manajemen Database, Universitas Mercu ...
SIM, Fitri Febriani, Hapzi Ali, Sistem Manajemen Database, Universitas Mercu ...SIM, Fitri Febriani, Hapzi Ali, Sistem Manajemen Database, Universitas Mercu ...
SIM, Fitri Febriani, Hapzi Ali, Sistem Manajemen Database, Universitas Mercu ...Fitri Febriani
 
01 pengantar kdd
01 pengantar kdd01 pengantar kdd
01 pengantar kddAslam Janto
 
ppt metopen kel 09.pptx
ppt metopen kel 09.pptxppt metopen kel 09.pptx
ppt metopen kel 09.pptxRahmaNatasyah
 
Sistem informasi prediksi harga kebutuhan bahan pokok
Sistem informasi prediksi harga kebutuhan bahan pokokSistem informasi prediksi harga kebutuhan bahan pokok
Sistem informasi prediksi harga kebutuhan bahan pokokAbdul Fauzan
 
Analisis dan penyajian data
Analisis dan penyajian dataAnalisis dan penyajian data
Analisis dan penyajian dataKacung Abdullah
 

Semelhante a 6. sesi kesehatan dan obat (20)

Jurnal biaya pasien rawat inap penyakit jantung
Jurnal biaya pasien rawat inap penyakit jantungJurnal biaya pasien rawat inap penyakit jantung
Jurnal biaya pasien rawat inap penyakit jantung
 
Presentation Team 2 TK2 Data Science by (Arif , Taufan , Nazmi).pptx
Presentation Team 2 TK2 Data Science by (Arif , Taufan , Nazmi).pptxPresentation Team 2 TK2 Data Science by (Arif , Taufan , Nazmi).pptx
Presentation Team 2 TK2 Data Science by (Arif , Taufan , Nazmi).pptx
 
Enkripsi dan dekripsi_data_pasien_pada_s
Enkripsi dan dekripsi_data_pasien_pada_sEnkripsi dan dekripsi_data_pasien_pada_s
Enkripsi dan dekripsi_data_pasien_pada_s
 
data mining
data miningdata mining
data mining
 
INFORMATIKA RUMPUN KESEHATAN SMK KELAS X_BAB 6 ANALISIS DATA DAN DAMPAK SOSIA...
INFORMATIKA RUMPUN KESEHATAN SMK KELAS X_BAB 6 ANALISIS DATA DAN DAMPAK SOSIA...INFORMATIKA RUMPUN KESEHATAN SMK KELAS X_BAB 6 ANALISIS DATA DAN DAMPAK SOSIA...
INFORMATIKA RUMPUN KESEHATAN SMK KELAS X_BAB 6 ANALISIS DATA DAN DAMPAK SOSIA...
 
Eps3 - Data Adalah Kunci.pdf
Eps3 - Data Adalah Kunci.pdfEps3 - Data Adalah Kunci.pdf
Eps3 - Data Adalah Kunci.pdf
 
Presentation1.pptx
Presentation1.pptxPresentation1.pptx
Presentation1.pptx
 
DATA MINING
DATA MININGDATA MINING
DATA MINING
 
Jurnal metode clustering dengan algoritma fuzzy c means untuk rekomendasi pem...
Jurnal metode clustering dengan algoritma fuzzy c means untuk rekomendasi pem...Jurnal metode clustering dengan algoritma fuzzy c means untuk rekomendasi pem...
Jurnal metode clustering dengan algoritma fuzzy c means untuk rekomendasi pem...
 
Pertemuan 3 Model Data Mining.pptx
Pertemuan 3 Model Data Mining.pptxPertemuan 3 Model Data Mining.pptx
Pertemuan 3 Model Data Mining.pptx
 
Procceding_KNIT_2_97-102_AndikaDwiHadiri
Procceding_KNIT_2_97-102_AndikaDwiHadiriProcceding_KNIT_2_97-102_AndikaDwiHadiri
Procceding_KNIT_2_97-102_AndikaDwiHadiri
 
Tik in organisation
Tik in organisationTik in organisation
Tik in organisation
 
8 modul 8-dts-fitur dan cleaning data-univ-gunadarma
8 modul 8-dts-fitur dan cleaning data-univ-gunadarma8 modul 8-dts-fitur dan cleaning data-univ-gunadarma
8 modul 8-dts-fitur dan cleaning data-univ-gunadarma
 
Haikal muqoddasy 1418191
Haikal muqoddasy 1418191Haikal muqoddasy 1418191
Haikal muqoddasy 1418191
 
SIM, Fitri Febriani, Hapzi Ali, Sistem Manajemen Database, Universitas Mercu ...
SIM, Fitri Febriani, Hapzi Ali, Sistem Manajemen Database, Universitas Mercu ...SIM, Fitri Febriani, Hapzi Ali, Sistem Manajemen Database, Universitas Mercu ...
SIM, Fitri Febriani, Hapzi Ali, Sistem Manajemen Database, Universitas Mercu ...
 
01 pengantar kdd
01 pengantar kdd01 pengantar kdd
01 pengantar kdd
 
SIM-09_pdf
SIM-09_pdfSIM-09_pdf
SIM-09_pdf
 
ppt metopen kel 09.pptx
ppt metopen kel 09.pptxppt metopen kel 09.pptx
ppt metopen kel 09.pptx
 
Sistem informasi prediksi harga kebutuhan bahan pokok
Sistem informasi prediksi harga kebutuhan bahan pokokSistem informasi prediksi harga kebutuhan bahan pokok
Sistem informasi prediksi harga kebutuhan bahan pokok
 
Analisis dan penyajian data
Analisis dan penyajian dataAnalisis dan penyajian data
Analisis dan penyajian data
 

Mais de Henny Wijaya

Mais de Henny Wijaya (14)

Peran balitbangnov ipkm
Peran balitbangnov ipkmPeran balitbangnov ipkm
Peran balitbangnov ipkm
 
2. daftar isi
2. daftar isi2. daftar isi
2. daftar isi
 
1.cover prosiding
1.cover prosiding1.cover prosiding
1.cover prosiding
 
2. daftar isi
2. daftar isi2. daftar isi
2. daftar isi
 
4. sesi pangan
4. sesi pangan4. sesi pangan
4. sesi pangan
 
5. sesi ekonomi dan kemiskinan
5. sesi  ekonomi dan kemiskinan5. sesi  ekonomi dan kemiskinan
5. sesi ekonomi dan kemiskinan
 
7. sesi otonomi daerah
7. sesi otonomi daerah7. sesi otonomi daerah
7. sesi otonomi daerah
 
8. rumusan seminar
8. rumusan seminar8. rumusan seminar
8. rumusan seminar
 
Asosiasi
AsosiasiAsosiasi
Asosiasi
 
9. rumusan diskusi
9. rumusan diskusi9. rumusan diskusi
9. rumusan diskusi
 
8. rumusan seminar
8. rumusan seminar8. rumusan seminar
8. rumusan seminar
 
11. alamat pemakalah
11. alamat pemakalah11. alamat pemakalah
11. alamat pemakalah
 
2. daftar isi
2. daftar isi2. daftar isi
2. daftar isi
 
1.cover prosiding
1.cover prosiding1.cover prosiding
1.cover prosiding
 

6. sesi kesehatan dan obat

  • 1. ISBN 978-602-98295-0-1 PENGEMBANGAN PERANGKAT LUNAK DIAGNOSA PENYAKIT DIABETES MELLITUS TIPE II BERBASIS TEKNIK KLASIFIKASI DATA Rodiyatul FS1, Bayu Adhi Tama2, Megah Mulya3 1,2,3 Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Sriwijaya 1 rodiyatulfs@yahoo.co.id, 2bayu@unsri.ac.id, 3megahmulya@unsri.ac.id ABSTRACT Type-2 of Diabetes Mellitus (Type II DM) is the most common type of diabetes whose patient about 90-95% of all diabetes population. Early Detection of Type II DM from various risk factors is a way to prevent the complication that causes mortality. Developing software for diagnosis Type II DM could be utilized as an alternative and would enhance medical care for the increasing number of patients. In this paper, the classification technique of data mining with C4.5 algorithm classifier is employed to acquire valuable information and extract pattern from medical record data. This pattern is used as knowledge base in medical diagnosis process. It absolutely helps doctors and other clinicians for making decision through early detection of Type II DM. Keywords. data mining, Type II DM, diagnosis, software PENDAHULUAN Saat ini penyakit Diabetes Mellitus (DM) Tipe II telah menjadi salah satu penyakit kronik yang paling sering diderita di Indonesia. Berdasarkan survei, diperkirakan pada tahun 2020 akan ada 178 juta penduduk berusia diatas 20 tahun memiliki prevelansi terkena DM, suatu jumlah yang besar untuk dapat ditangani sendiri oleh para ahli DM [4]. Tingginya angka-angka statistik diatas, tentunya patut diantisipasi oleh pihak penyedia layanan kesehatan seperti rumah sakit untuk mencegah timbulnya ledakan pasien DM. Pada zaman modern ini, banyak rumah sakit telah mengimplementasikan teknologi informasi untuk meningkatkan pelayanan medis dan mengatur data warehouse Ketersediaan instrumentasi dan informatika medis modern (telemedis) seperti adanya suatu perangkat lunak untuk menunjang keputusan seorang dokter dalam mendiagnosa suatu penyakit sangat dibutuhkan. Teknologi data mining hadir sebagai solusi nyata bagi para pengambil keputusan seperti dokter dalam Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1188
  • 2. ISBN 978-602-98295-0-1 memprediksi pasien yang beresiko terkena terkena penyakit DM Tipe II. Dengan menerapkan teknik klasifikasi data mining, dapat ditemukan informasi yang berharga pada sekumpulan data yang berukuran besar. TEKNIK KLASIFIKASI DATA MINING Klasifikasi adalah proses penemuan pola atau fungsi yang menjelaskan dan membedakan konsep atau kelas data dengan tujuan untuk dapat memprediksi kelas dari suatu objek yang labelnya tidak diketahui[3]. Konsep klasifikasi dengan pengawasan (supervised classification) adalah untuk membangun sebuah model dari data yang telah diketahui, atau sering disebut sebagai classifier. Model atau fungsi ini kemudian dapat digunakan untuk memetakan data didalam suatu basis data kepada suatu atribut target, selanjutnya dapat memperkirakan suatu kelas dari data yang baru Tiap rekord berisi banyak atribut dimana masing-masing atribut memiliki satu dari beberapa kemungkinan nilai. Di dalam klasifikasi diberikan sejumlah rekord yang dinamakan sekumpulan data latih yang terdiri dari beberapa atribut, dimana salah satu atribut menunjukkan kelas untuk rekord. ALGORITMA KLASIFIKASI DATA MINING Pada paper ini digunakan algoritma klasifikasi C4.5 yang melakukan pemilihan atribut terbaik berdasarkan informasi gain. Atribut dengan informasi gain tertinggi akan dipilih untuk membuat keputusan. Informasi gain merupakan selisih antara kebutuhan informasi awal (yang hanya bergantung pada jumlah dan proporsi tiap kelas di dalam D) dan kebutuhan informasi baru (yang diperoleh setelah melakukan partisi terhadap atribut A). Untuk menghitung gain, digunakan rumus : Gain (A) = Info (D) - InfoA (D) Informasi yg dibutuhkan untuk mengklasifikasi sebuah rekord di D diberikan dengan rumus berikut. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1189
  • 3. ISBN 978-602-98295-0-1 m Info (D)    i 1 pi Log2 (pi) Informasi yg dibutuhkan untuk mengklasifikasi sebuah rekord di D diberikan dengan rumus berikut berdasarkan hasil partisi di A. v | Dj | Info A (D)   | D | x Info (D ) j 1 j Psedeucode algoritma C4.5 untuk membangun pohon keputusan adalah sebagai berikut [7] : 1. Cek Sekumpulan Data Latih 2. Pada masing-masing attribut a, hitung informasi gain 3. Ubah a terbaik ( dengan informasi gain tertinggi) menjadi akar 4. Buat simpul keputusan yang berakar dari a terbaik 5. Ulangi proses untuk masing-masing cabang dengan memilih a terbaik berikutnya dan jadikan anak dibawah simpul keputusan terakhir. ANALISIS 1. Data Preparation Data utama yang digunakan pada penelitian ini berupa sekumpulan data rekam medis pasien rawat inap RSMH Palembang untuk penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2 sepanjang tahun 2008 yang berjumlah 435 instances. 2. Pembangkitan dan Pengujian Model Klasifikasi Sebelum pembangkitkan model klasifikasi berupa 39 rules, dibentuk sebuah pohon keputusan menggunakan algoritma C4.5. Untuk menguji tingkat akurasi model klasifikasi digunakan pengujian kualitatif dengan mewawancara dua dokter untuk mengetahui seberapa besar user-acceptance terhadap model klasifikasi. Dari hasil penilaian, didapatkan 34 rules yang sesuai dengan standar penegakan diagnosa WHO dan PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia). Disamping Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1190
  • 4. ISBN 978-602-98295-0-1 itu, dilakukan juga pengujian kuantitatif dengan menggunakan metode confusion matrix yang menghasilkan tingkat akurasi model sebesar 95,63%. 3. Hasil dan Pembahasan Hasil implementasi perangkat lunak dapat dilihat pada beberapa tampilan berikut : Gambar 4.1 Form Pembangkitan Model Pohon Berdasarkan hasil pembangkitan model klasifikasi, maka dapat dilihat bahwa plasmainsulin memiliki gain ratio yang paling tinggi, oleh karena itu atribut ini paling berpengaruh terhadap penyakit diabetes mellitus tipe II Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1191
  • 5. ISBN 978-602-98295-0-1 Gambar 4.2 Form Pembangkitan Model Klasifikasi Gambar 4.3 Form Pengujian Model Klasifikasi Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1192
  • 6. ISBN 978-602-98295-0-1 Gambar 4.4 Form Proses Diagnosa KESIMPULAN DAN SARAN Melalui teknik klasifikasi data mining yang digunakan, paper ini telah berhasil mengumpulkan dan menganalisa data rekam medis pasien diabetes mellitus tipe II, dan menghasilkan beberapa rules yang dapat digunakan pihak rumah sakit dalam pengambilan keputusan di bidang kesehatan, khususnya dalam mendiagnosa penyakit diabetes mellitus tipe II. Kuantitas training data yang digunakan sebaiknya ditambah untuk mengekstrak kemungkinan munculnya tambahan informasi bernilai lainnya. Disamping itu, sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan dengan membandingkan algoritma klasifikasi yang lain pada proses pembangkitan model klasifikasi sehingga dihasilkan performance yang lebih baik. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1193
  • 7. ISBN 978-602-98295-0-1 DAFTAR PUSTAKA American Diabetes Association. 2004. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. American Journal of Diabetes Care. 27. S5-S10 Bramer, Max. Principles of Data Mining, Springer-Verlag London Limited, 2007. Han, J., et al. Data Mining: Concepts and Techniques 2nd Edition, Morgan Kaufmann Publisher, 2006. Indah. 2009. [Online] Tersedia: www.indahmuhariani.com/index.php /2009/02/01. [ diakses terakhir tanggal 10 Februari 2009] Larose, D.T. 2005. Discovering Knowledge in Data : An Introduction to Data Mining. John Wiley & Sons, Inc, New Jersey. Palaniappan, S. and R.Awang. 2008. Intelligent Heart Disease Prediction System Using Data Mining Techniques. International Journal of Computer Sciences and Network security. 8 (8), 343-350. Quinlan.2009.C4.5 Algorithm. [Online] Tersedia : http://en.wikipedia.org/wiki /C4.5_algorithm. [10 Februari 2009] Witten, Ian H. And Eibe Frank. Data Mining: Practical Machine Learning Tools and Techniques 2nd Edition, Morgan Kaufmann Publisher, 2005. World Health Organization. 2002. Laboratory Diagnosis and Monitoring of Diabetes Mellitus. WHO Publication, Switzerland. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1194
  • 8. ISBN 978-602-98295-0-1 PENGALAMAN MANTAN PENGGUNA DALAM PENYALAHGUNAAN NAPZA SUNTIK DI KOTA PALEMBANG ( Studi Fenomenologi ) Budi Santoso Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Palembang Email : sant.budi75@yahoo.com ABSTRACT Drugs injects abuse is abnormal behavior that trespass norm in community. Drugs injects also trigger main problem to individual, family, community and countries. Until now drugs injects abuse tend to difficult to stopped. Many prevention of effort and eradiction of drugs haved conducted, but drugs injects abuse still increase, reffered to in case in Palembang. This studi was aimed to provide dept understanding and meaning of former user‘s experience in drugs injects abuse in Palembang. This study was descriptive phenomenology design with purposive sampling in depth interview and fieldnote for data collecting. Result of interview was recorded in tape recorder, then transcribed and analyzed with Collaizi‘s method. The resulth of study identified 9 themes as spesific goal is : reason to use drugs injects to classification reason in first time and to continues use drugs injects; drugs injects use of respon is individual respon and parent respon; perception related to impact efect andmore value, negative impact, meaning in use, meaning after recovered, the aother support. This study conclution that drugs injects abuse have to prevent and early treatment. The nurse specialist community as proffesional in health rule in primary, secondary, and tertier of prevent to drugs injects abuse. Keyword : former user‘s, drugs injects, phenomenology PENDAHULUAN Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif lainnya (NAPZA) secara luas diketahui sebagai salah satu ancaman paling mengkhawatirkan bagi masyarakat, khususnya generasi muda di lebih 100 negara di dunia ( Asian Harm Reduction Network (AHRN, 2001). Berbagai survei menunjukan bahwa NAPZA merupakan ancaman bagi kelompok usia muda dan produktif (Badan Narkotika Nasional (BNN), 2006). Penyalahgunaan NAPZA tidak hanya menimbulkan penyimpangan perilaku yang menyalahi norma yang berlaku di masyarakat, namun juga memicu masalah utama yang memberi efek negatif terhadap fungsi organ tubuh (Syarief, Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1195
  • 9. ISBN 978-602-98295-0-1 2008). Menurut Banks dan Waller (1983, dalam Hawari, 2001) penyalahgunaan NAPZA mengakibatkan komplikasi medik berupa gangguan pernafasan yaitu edema paru dan gangguan lever. Walaupun bahaya penyalahgunaan NAPZA sudah sering disosialisasikan, namun masih banyak masyarakat yang tidak mempedulikannya, sehingga jumlah pengguna NAPZA terus meningkat. Jumlah penyalahguna NAPZA, terutama penyalahguna NAPZA suntik mengalami peningkatan yang fantasitis. Berdasarkan survei di 10 kota besar di Indonesia terhadap penyalahguna NAPZA di masyarakat dengan responden berjumlah 956 orang didapatkan bahwa 56% atau sekitar 572 responden merupakan penyalahguna NAPZA suntik (BNN, 2007). Kecenderungan peningkatan jumlah penyalahguna NAPZA dari tahun ke tahun dengan berbagai jenis dan cara, termasuk melalui suntikan. Berdasarkan data AHRN (2003), jumlah IDU (Injection Drug User) di Indonesia diperkirakan sekitar 30.000 hingga 40.000 orang pada tahun 1997, dan pada tahun menyebutkan bahwa sejak tahun 2002 sampai November 2008, penderita HIV/AIDS berjumlah 401 orang, 20 % diantaranya penyalahguna NAPZA suntik. Hal ini mengindikasikan bahwa penyalahguna NAPZA suntik merupakan penyumbang terbesar penularan HIV/AIDS. Besarnya angka di atas menunjukkan tingginya epidemi HIV di kalangan IDU yang perlu mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan. Peneliti memandang penyalahguna NAPZA suntik sebagai kelompok yang mempunyai risiko tinggi untuk mengalami berbagai masalah kesehatan baik fisik maupun psikologis, khususnya terinfeksi HIV/AIDS. Masalah kelompok ini tidak hanya berdampak pada kelompok itu sendiri, tetapi juga pada masyarakat di sekitarnya (Husaini, 2006). Masalah ini merupakan ancaman yang serius bagi masa depan penyalahguna NAPZA dan membahayakan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara. Perawat komunitas sebagai bagian dari profesi kesehatan, memiliki tanggung jawab untuk berperan aktif dalam meningkatkan perilaku hidup sehat masyarakat. Perawat komunitas memiliki peran untuk membantu komunitas penyalahguna NAPZA suntik untuk secara bertahap berhenti mengkonsumsi NAPZA secara total melalui usaha-usaha promosi kesehatan. Pender, Murdaug dan Parsons (2002) menyebutkan bahwa perawat komunitas dalam menyusun Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1196
  • 10. ISBN 978-602-98295-0-1 program anti NAPZA perlu memperhatikan respon-respon individu terhadap situasi sosial yang melingkupinya seperti pergaulan bebas, gaya hidup, dan peraturan pemerintah tentang program penanggulangan NAPZA. Namun belum banyak tereksplorasi perilaku tersebut dalam perspektif keperawatan komunitas, sehingga upaya antisipasi dirasakan belum optimal. Peneliti akan berupaya untuk memahami dan memaknai gambaran pengalaman mantan pengguna dalam penyalahgunaan NAPZA suntik menggunakan pendekatan fenomenologi deskriptif. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai arti dan makna pengalaman mantan pengguna dalam penyalahgunaan NAPZA suntik di kota Palembang. Peneliti mengidentifikasi alasan menggunakan NAPZA suntik, respon yang timbul setelah menggunakan NAPZA suntik, persepsi terkait efek samping dan bahaya NAPZA suntik, makna menggunakan NAPZA suntik, dan dukungan dari pihak terkait. METODE PENELITIAN Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah fenomenologi deskriptif. Tiga langkah dalam proses fenomenologi deskriptif, yaitu intuiting, analyzing dan describing seperti yang diungkapkan oleh Spiegelberg (1975 dalam Streubert & Carpenter,1999). Metode yang digunakan adalah metode Collaizi yang memiliki 9 tahap (1978, dalam Streubert & Carpenter,1999). Populasi penelitian yang diteliti adalah mantan pengguna NAPZA suntik di kota Palembang. Pengambilan sampel pada penelitian ini dengan menggunakan teknik purposive sampling yang merupakan pemilihan secara sadar oleh peneliti terhadap subjek/elemen tertentu untuk dimasukkan dalam penelitian. Penelitian ini tersaturasi pada partisipan ke-7 dimana tidak ada lagi kategori atau tema yang didapatkan. HASIL Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 7 mantan pengguna yang berada di kota Palembang. Keseluruhan partisipan adalah laki-laki dengan rentang usia antara 19 sampai dengan 34 tahun dan bertempat tinggal di Kota Palembang. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1197
  • 11. ISBN 978-602-98295-0-1 Tingkat pendidikan partisipan bervariasi dari sekolah menengah umum sampai sarjana. Tiga partisipan berstatus menikah dan empat orang lainnya masih lajang. Status pekerjaan ada yang belum bekerja dan bekerja di sektor swasta. Usia pertama kali menyalahgunakan NAPZA bervariasi dari mulai usia 13 sampai 17 tahun. Jenis NAPZA yang pertama disalahgunakan 4 partisipan jenis ganja, 2 partisipan jenis putaw dan 1 partisipan jenis ineks. Lama mengggunakan NAPZA suntik bervariasi dari mulai 2 bulan sampai 10 tahun. Penelitian ini menghaslkan 9 tema sesuai tujuan khusus yaitu : alasan menggunakan NAPZA suntik tergambar dalam dua tema yaitu alasan pertamakali menggunakan dan alasan tetap menggunakan; respon yang timbul setelah menggunakan NAPZA suntik teridentifikasi dalam dua tema yaitu respon personal dan respon orang tua; persepsi terkait efek samping dan bahaya NAPZA suntik tergambar dalam dua tema yaitu mempunyai nilai lebih dan.mempunyai dampak buruk; makna yang tergali dari partisipan yaitu makna selama menggunakan dan makna setelah sembuh; dan harapan terhadap dukungan pihak terkait memunculkan tema dukungan terhadap kepolisian, petugas kesehatan dan pemerinah daerah. PEMBAHASAN Alasan pertama kali menggunakan NAPZA suntik yang teridentifikasi yaitu alasan utama dan alasan penunjang. Alasan utama bersumber dari lingkungan sekolah yaitu pengaruh teman. Lingkungan sekolah merupakan tempat bertemunya partisipan dengan teman sebayanya, sehingga pengaruh teman menimbulkan keinginan individu bukan pengguna mengikuti ajakan teman untuk menggunakan NAPZA suntik. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Tasman (2005) bahwa lingkungan teman sebaya sangat berpengaruh terhadap risiko penyalahgunaan NAPZA. Hasil penelitian ini juga memperkuat hasil penelitian Hawari (1990) dan Martono (2008) yang menyebutkan bahwa faktor penyebab remaja menyalahgunakan NAPZA adalah akibat pengaruh/bujukan teman (peer group) atau berteman dengan penyalahguna NAPZA serta adanya tekanan atau ancaman dari teman. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Joewana (2005) bahwa kebutuhan akan pergaulan dengan teman sebaya mendorong Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1198
  • 12. ISBN 978-602-98295-0-1 remaja untuk dapat diterima sepenuhnya dalam kelompoknya. NAPZA dapat meningkatkan atau mempermudah interaksi remaja dengan kelompok sebayanya (vehicle of social interaction). Alasan tetap menggunakan NAPZA suntik yang teridentifikasi pada penelitian ini adalah aksesibilitas obat, coba-coba, masalah keluarga, dan ekonomis. Alasan aksesibilitas obat yaitu kemudahan akses terhadap obat dan informasi. Kemudahan akses terjadi karena kurangnya pengawasan yang selektif, dengan membiarkan NAPZA beredar dilingkungan masyarakat, khususnya lingkungan sekolah ditambah kemudahan mengakses informasi juga menjadi alasan partisipan mengunakan NAPZA. Hal ini sesuai dengan pendapat Martono (2006) dan Hikmat (2008) bahwa lingkungan sekolah seperti sekolah terletak dekat tempat hiburan, pembinaan dari sekolah yang kurang maksimal seperti kurang disiplin, sekolah yang kurang memberi kesempatan pada siswa untuk mengembangkan diri secara kreatif dan positif merupakan faktor penyebab remaja menyalahgunakan NAPZA. Respon personal yang ditemukan adalah pengetahun tentang NAPZA, perubahan yang terjadi, upaya mengatasi, kambuh, faktor pendukung berhenti dan nilai NAPZA. Respon pengetahuan tentang NAPZA yaitu ketidaktahuan tentang manfaat, bahaya dan risiko penyalahgunaan NAPZA. Pada proses awal penyalahgunaan NAPZA suntik hampir semua partisipan tidak mengetahui manfaat, bahaya dan risikonya. Hal ini disebabkan karena keterbatasan informasi tentang NAPZA suntik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rahayuwati (2006) tentang pengetahuan dan sikap tentang hubungan narkoba dengan kejadian HIV/AIDS (studi kualitatif pada SMP di Bandung ) yang menyebutkan bahwa hampir semua responden tidak mempunyai informasi yang memadai tentang narkoba. Respon orang tua yang teridentifikasi yaitu perasaan. Perasaan emosional meliputi kecewa, terpukul dan syok. Hal ini sesuai dengan pendapat Hikmat (2008) bahwa orang tua akan merasa malu, merasa bersalah, sedih, marah, dan putus asa karena memiliki anak sebagai pengguna NAPZA. Persepsi efek samping yang dirasakan mantan pengguna adalah mempunyai nilai lebih yaitu perasaan, ekonomis dan proses kerja obat. Efek samping terhadap perasaan yaitu meningkatkan kenyamanan fisik dan pikiran. Hal ini sesuai dengan pendapat Joewana (2005) yang menyatakan NAPZA suntik Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1199
  • 13. ISBN 978-602-98295-0-1 jenis heroin (putaw) banyak dikonsumsi dengan alasan untuk dinikmati atau untuk mengatasi perasaan yang tidak enak ( ketegangan, kecemasan dan kesedihan). Keberadaan efek samping yang dirasakan saat menggunakan NAPZA suntik baik sedikit maupun banyak, menyebabkan individu akan terus menggunakan NAPZA suntik. Hal ini sesuai dengan teori Health Belief Model dari Becker (1977, dalam Pender, Murdaug, & Parsons, 2002) yang menyebutkan bahwa adanya persepsi efek samping yang menguntungkan akan mendorong individu untuk terus mempertahankan suatu perilaku tertentu. Selain meningkatkan kenyamanan fisik dan pikiran, NAPZA juga mempunyai efek samping ekonomis dan proses kerja obat lebih cepat. Persepsi bahaya yang dirasakan oleh mantan pengguna adalah mempunyai dampak buruk terhadap kesehatan fisik yaitu menularkan penyakit HIV/AIDS dan Hepatitis. Studi ini menemukan dua partisipan yang sudah terinfeksi HIV. Hal ini sesuai dengan pernyataan Martono (2006) menyebutkan bahwa dampak penyalahgunaan NAPZA yang paling membahayakan adalah terinfeksi HIV/AIDS akibat penggunaan jarum suntik tidak steril dan bergantian. Hal ini didukung oleh pendapat Costigan (1999) bahwa dampak buruk terhadap masalah kesehatan akibat penggunaan NAPZA suntik dalam jangka panjang adalah pembuluh darah mengempis, abses, tetanus, hepatitis B dan C, jantung, paru, sembelit dan ditingkat komunitas terjadi epidemi HIV. Makna menyakitkan yang teridentifikasi yaitu perasaan sedih, sakit hati, hancur dan susah. Studi ini mengungkap hampir semua partisipan mengatakan bahwa sampai detik ini masih banyak masyarakat memandang seorang pengguna atau mantan pengguna NAPZA dengan pandangan yang negatif, memperlakukan pengguna dan mantan pengguna dengan tidak manusiawi. Seorang partisipan mengatakan bahwa seorang terlibat menyalahgunakan NAPZA itu harus dilihat apa alasannya, apa latar belakangnya, sehingga tidak membuat kesimpulan bahwa seorang pengguna itu semuanya sama. Hal ini sesuai dengan pendapat Joewana (2005) secara sosiokultural, penggunaan zat psikoaktif dipandang sebagai suatu fenomena kultural, penggunaan zat psikoaktif dapat dipandang sebagai suatu perilaku yang normal atau perilaku yang menyimpang, bergantung siapa yang menggunakan, jenis zat yang digunakan, banyaknya (sampai intoksikasi atau tidak) dan dalam setting apa. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1200
  • 14. ISBN 978-602-98295-0-1 Makna setelah sembuh yang teridentifikasi yaitu mempengaruhi sikap, pengetahuan terhadap NAPZA, sebagai petunjuk dan mempunyai cita – cita. Sikap lebih manusiawi dan berempati dalam bekerja merupakan makna yang tersirat dalam diri partisipan, sehingga partisipan akan berbuat dan bertindak lebih baik dari sebelumnya. Makna pengetahuan terhadap NAPZA tentang efek samping dan bahayanya merupakan suatu proses belajar pada taraf intelektual (cognitive learning), informasi yang didapatkan merupakan modal dasar bagi partisipan untuk memberkan informasi lebih baik lagi. Selain itu makna sebagai petunjuk merupakan sarana meningkatkan keimanan bagi partisipan. Dukungan pihak kepolisian yaitu target dan upaya yang dilakukan harus tepat target dan upaya. Hal ini sejalan dengan tugas pihak kepolisian yang bekerja sama dengan BNN dalam melaksanakan tugasnya menggunakan strategi kerjasama internasional, meningkatkan peran serta masyarakat dan penegakan hukum dengan mengembangkan pelayanan terapi dan rehabilitasi serta menggalakkan komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat. Dukungan terhadap petugas kesehatan yaitu pelayanan yang profesional dan metode pengobatan yang variatif. Mantan pengguna berdasarkan pengalamannya ingin diberikan pelayanan yang optimal dengan tidak membeda- bedakan atau mendiskriminasikan pengguna NAPZA dengan pasien lainnya. Hal ini memang sesuai dengan sumpah profesi seorang petugas kesehatan khususnya tenaga keperawatan bahwa dalam memberikan pelayanan kepada pasien tidak membeda-bedakan pangkat, kedudukan dan golongan. Fakta dari beberapa partisipan masih mengeluhkan pelayanan yang diberikan oleh petugas kesehatan, apalagi pelayanan kepada mantan pengguna NAPZA. Dukungan dari pemerintah yaitu segi fasilitas agar lebih care dan ada alternatif, Mantan pengguna mempunyai harapan tehadap pemerintah agar mengembangkan program penanggulangan penyalahgunaan NAPZA dengan berbagai program alternatif, fasilitas yang lengkap sehingga pengguna yang mempunyai keinginan berhenti mempunyai pilihan untuk pengobatannya. Hal ini sesuai dengan Inpres No.3 tahun 2002 dan Keppres No.17 tahun 2002 tentang tugas BNN yaitu mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaannya dibidang pencegahan, ketersediaan Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1201
  • 15. ISBN 978-602-98295-0-1 dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekusor dan zat adiktif lainnya. KESIMPULAN Penelitian ini mengungkap alasan mantan pengguna tetap menggunakan NAPZA suntik didasarkan oleh rasa ingin tahu, informasi yang menantang dan tidak lengkap dan kebutuhan terhadap NAPZA. Alasan menggunakan NAPZA suntik mencerminkan kuatnya pengaruh teman sebaya terhadap pembentukan persepsi pengguna terhadap NAPZA suntik. Selain itu dukungan petugas kesehatan yaitu pelayanan yang profesional dan variatif dengan pelayanan yang optimal dengan tidak membeda-bedakan atau mendiskriminasikan pengguna NAPZA dengan pasien lainnya. Dukungan pemerintah daerah terhadap fasilitas agar lebih care dan ada alternatif, pemerintah harus menyediakan fasilitas yang lengkap sehingga pengguna yang mempunyai keinginan berhenti mempunyai pilihan untuk pengobatannya. SARAN Saran untuk pengambil kebijakan yaitu perlunya media promosi yang dapat memberikan informasi lengkap dan dapat dipahami oleh masyarakat khususnya remaja, misalnya informasi penyalahgunaan NAPZA disertai dengan gambar akibat penyalahgunaan NAPZA tersebut. Untuk pelayanan keperawatan perlu peningkatan kompetensi perawat komunitas dalam penyusunan program pencegahan dan penanggulangan NAPZA melalui pendidikan dan pelatihan tentang teknik penyusunan program keperawatan komunitas. Penelitian lebih lanjut yaitu studi fenomenologi pengalaman mantan pengguna NAPZA selama menjalani proses rehabilitasi,studi fenomenologi pengalaman mantan pengguna dalam upaya berhenti menyalahgunakan NAPZA suntik, Untuk membandingkan dengan hasil penelitian ini perlu juga diteliti lebih lanjut dengan metode dan partisipan yang berbeda, misalnya partisipan perempuan. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1202
  • 16. ISBN 978-602-98295-0-1 DAFTAR PUSTAKA Abdul, R.D. (2005). Voicing Concern " Tobacco, Alcohol and Drugs of Abuse ". Malaysia : Universitas Sains Malaysia. AHRN/WHO. (2001). Survey Penyalahgunaan NAPZA di Indonesia. Jakarta : AHRN. AHRN/WHO. (2003). Buku Panduan untuk Pencegahan HIV yang Efektif Diantara Pengguna NAPZA. Jakarta : AHRN. Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. (2002). Kebijakan dan Strategi Badan Narkotika Nasional dalam Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba. Jakarta: BNN. Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. (2006). Hasil Survei penyalahgunaan NAPZA pada kelompok pelajar dan mahasiswa di Indonesia tahun 2006. Jakarta: Puslitbang dan Info Lakhar BNN. Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. (2008). Survey Ekonomi akibat Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba di Indonesia. Jakarta: Puslitbang dan Info Lakhar BNN Badan Narkotika Kota Palembang. (2008). Laporan Tahunan Badan Narkotika Kota Palembang Tahun 2008. Palembang : BNK. Creswell, J.W. (1998). Qualitative Inquiri and Research design : choosing among (5th Ed.), United Status America (USA): Sage Publication Inc. Costigan G,.(1999). NAPZA dan Epidemi HIV di Indonesia. Jakarta : UNAIDS Danielson, C.B, et al. (1993). Families, Health and Illness: Perspective and Coping Intervention. St. Louis: Mosby Year Book. Deany, P.,(2000). HIV and Injecting Drug User : A new Challenge to Sustainable Human Development, http://www.who.int/HIV-AIDS/HIV-IDU/html. diperoleh tanggal 7 Februari 2009. Depkes RI (2001). Data Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Jakarta. AHRN Indonesia. Depkes RI (2001). Buku Pedoman Praktis Bagi Petugas Kesehatan Mengenai Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif lainnya (NAPZA). Jakarta. Depkes (2005) Kebijakan dan Program Pencegahan & Penanggulangan NAPZA. Jakarta Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1203
  • 17. ISBN 978-602-98295-0-1 Dinas Kesehatan Kota Palembang (2008). Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kota Palembang Tahun 2008, Palembang. Friedman, et al. (2003). Family Nursing: Research, Theory and Practice. (Fifth Edition). New Jersey: Prentice Hall. Hawari, Dadang. (1991). Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Hawari, Dadang. (2000). Terapi (Detoksifikasi) dan Rehabilitasi (Pesantren) Mutakhir (Sistem Terpadu) Pasien "NAZA" (Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif lainnya). Jakarta. UI-Press Hawari, Dadang. (2001). Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Hawari, Dadang.(2002). Penyalahgunaan NAZA. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Helvie.C.O.(1998). Advanced Practice Nursing in The Community, Sage Publications Thousand Oaks London. New Delhi Hikmat (2008). Generasi Muda : Awas Narkoba. Bandung : Alphabeta Hitchcock,JE., Scubert, PE., & Thomas, SA (1999). Community Health Nursing : Caring in action. USA : Delmar Publisher Husaini, A.(2006). Rokok : Pintu Gerbang Narkoba. Jakarta : Pustaka Iman Jangkar.net. (2003). Lokakarya Penanggulangan HIV/AIDS pada Kelompok Penyalahguna Narkoba Suntik bagi Kepolisian. diakses dari http :// www. Jangkar.net/workshop / detailrep.asp? = TOR Police & view, tanggal 1 April 2009 Joewana, Satya. (2005). Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penggunaan Zat Psikoaktif (Penyalahgunaan NAPZA/Narkoba). Jakarta: EGC Kamil, Oktavery. (2004). Pencegahan HIV/AIDS pada Kelompok Pengguna Narkoba Suntik. Tesis.FISIP-UI (Tidak Dipublikasikan). Komisi Penanggulangan AIDS. (2007). ODHA dan Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta. UNAIDS Martono, L.J., (2006). Pencegahan dan Penanggulangan Narkoba di Sekolah. Jakarta : PT. Rosda Karya Mc.Murray, A. (2003). Community Health and Wellness : a Sociological approach. Toronto : Mosby Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1204
  • 18. ISBN 978-602-98295-0-1 Moleong, L.J., ( 2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Patton. (1990). Qualitative Evalution and Research Methods. Newbury Park,CA: Sage Pender, N.J, Murdaug, C.L., & Parsons, M.A. (2002). Health promotion in nursing practice. 4th ed. Upper Saddle River: Prentice Hall Poerwandari, E.K. (1998) Pendekatan Kualitatif Dalam Penelitian Psikologi. . Jakarta : LPSP3. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Poerwandari, E.K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta : LPSP3. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Polit,D.F., Beck, C.T., & Hungler,B.P. (2001). Essensial of Nursing Research: Methods, Appraisal and Utilization. St.Louis: Mosby Year Book Inc. Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (PPK UI). (2002) Hasil Studi Kualitatif pada Kelompok IDU Wanita di Jakarta,Surabaya dan Bandung. Jakarta Riehman, Karas (1996). Injecting Drug Use and AIDS in Developing Countries : Determinant and Issues for Policy Consideration, paper prepared for The Policy Research Report on AIDS and Development, World Bank, Policy Research Departement. Sarasvita, et al. (2000). Napza dan Kita : Laporan Rapid Assesment and Response On Injection Drug Users. Tim Jakarta ; 61 hlm Spiegelberg, H. (1978). The Phenomenological Movement: a Historical Introduction. The Hague: Matinus Nijhoff. Streubert, H.J.& Carpenter,D.R. (1999). Qualitative Research in Nursing : Advancing the Humanistic Imperative. Philadelphia : Lippincott Syarief, Fatimah. (2008). Bahaya Narkoba di Kalangan Pemuda. Jakarta Tasman (2005). Hubungan Lingkungan Eksternal Remaja dengan Risiko Penyalahgunaan NAPZA pada siswa di SMA/SMK kec. Beji Depok : Thesis Program Magister Ilmu Keperawatan FIK-UI : tidak dipublikasikan UNAIDS/ WHO (2003), AIDS Epidemisc Update, UNAIDS ; 39 hlm Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1205
  • 19. ISBN 978-602-98295-0-1 HUBUNGAN KARAKTERISTIK PEKERJA, PENGGUNAAN APD DAN LAMA KERJA DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA PEKERJA DI STASIUN PENGISIAN BAHAN BAKAR UMUM (SPBU) PALEMBANG TAHUN 2009 Nurhayati Ramli 1), Diah Navianti 1), M.Ihsan Tarmizi 1), Ummi kaltsum 2) 1) Dosen Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes kementrian kesehatan Palembang 2) . Staf Laboratorium klinik Prodia Palembang ABSTRAK Timah hitam atau lebih dikenal dengan sebutan timbal biasa digunakan sebagai campuran bahan bakar bensin yang dijual hampir di setiap Stasiun Pompa Bensin Umum (SPBU) di Palembang. Sebagian besar kendaraan bermotor di Palembang masih menggunakan bensin bertimbal. Bensin bertimbal ini merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan kejadian anemia khususnya bagi pekerja SPBU yang telah bekerja dalam jangka waktu yang lama. Anemia yang merupakan salah satu gejala keracunan timbal terjadi akibat penurunan sintesis globin walaupun tak tampak adanya penurunan kadar zat besi pada serum. Anemia ringan yang terjadi disertai dengan sedikit peningkatan kadar ALA (Amino Levulinic Acid) urine. Anemia biasanya terjadi pada orang yang terpapar timbal dalam jangka waktu lama. Misalnya pada penduduk yang tinggal di sekitar industri yang menggunakan bahan tersebut dan para pekerja. Penelitian ini merupakan penelitian analitik yaitu untuk mengetahui hubungan karakteristik pekerja, penggunaan APD dan lama kerja dengan kejadian anemia pada pekerja di Stasiun Pompa Bensin Umum (SPBU) Palembang tahun 2009. Teknik pengambilan 96 sampel ini dilakukan secara cluster random sampling. Kemudian sampel tersebut diperiksa kadar hemoglobinnya di laboratorium klinik dengan menggunakan alat spektrofotometer. Analisis data penelitian ini menggunakan uji Chi Square dan uji T independent dengan bantuan perangkat lunak software computer. Hasil didapat kadar Hb rata rata adalah 15.69 gr % dengan kadar Hb terendah 10.10 gr% dan kadar Hb tertinggi 27.40 gr%. Status Hb anemia 31 orang (31.6%), status Hb normal 41 orang (41.8%) dan status Hb polisitemia adalah sebanyak 26 orang (26.5 %). Hasil uji lebih lanjut didapat tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan status hemoglobin (p = 0.351), Tidak ada hubungan antara lama kerja dengan status hemoglobin ( p = 0.545). Dan Ada hubungan antara penggunaan APD dengan status hemoglobin pekerja SPBU ( p = 0.020 ). Disarankan adanya upaya managemen pencegahan timbulnya penyakit akibat kerja pada pekerja SPBU dengan menggunakan alat pelindung diri yang sesuia, adanya penyuluhan mengenai bahaya lingkungan kerja dan penyuluhan tentang gizi terhadap pekerja di SPBU. Kata Kunci : Anemia, Pekerja Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1206
  • 20. ISBN 978-602-98295-0-1 PENDAHULUAN Di Indonesia, prevalensi anemia bervariasi yaitu 50-70 % pada wanita hamil, 30-40% pada wanita dewasa, 30 - 40 % pada balita, 25 - 30 % pada anak sekolah, 20 - 30% pekerja berpenghasilan rendah (Husaini, 1989).(1) Salah satu faktor penyebab anemia adalah gaya hidup yang kurang sehat, kurang asupan zat yang dibutuhkan untuk pembentukan hemoglobin seperti zat besi, folat, dan vitamin B12. Ada penyebab anemia yang lain yaitu timah hitam. (2) Timah hitam secara umum dikenal dengan sebutan timbal, biasa digunakan sebagai campuran bahan bakar bensin. Fungsinya selain meningkatkan daya pelumasan, juga meningkatkan efisiensi pembakaran sehingga kinerja kendaraan bermotor meningkat. Bahan kimia ini bersama bensin dibakar dalam mesin. Sisanya  70% keluar bersama emisi gas buang hasil pembakaran. Berdasarkan data tahun 2004, beberapa kota besar misalnya Palembang masih menggunakan bensin bertimbal dengan kadar 0,199 gr/L. (3,5) Timbal lebih tersebar luas dibanding kebanyakan logam toksik lainnya. Kadarnya di lingkungan meningkat karena penambangan, peleburan, pembersihan, dan berbagai penggunaannya dalam industri. (4) WHO menyatakan tidak ada ambang batas paparan timbal di udara karena sifatnya logam berat dan toksik. Kadar Pb dalam darah manusia yang tidak terpapar oleh Pb adalah sekitar 10-25 µg/100 ml. Konsentrasi Pb dalam darah pada kadar 40-50 µg/100 ml mampu menghambat hemoglobin yang pada akhirnya merusak hemoglobin darah.(3) Mukono (1991) meneliti status kesehatan dan kadar Pb Blood (Pb-B) karyawan SPBU (Stasiun Pompa Bensin Umum) di Jawa Timur dan menemukan bahwa pemeriksaan darah lengkap pada karyawan SPBU dengan penjualan bensin kurang dari 8 ribu liter per hari lebih baik dari karyawan SPBU yang menjual bensin lebih dari 10 ribu liter per hari. Didapatkan pula bahwa rerata kadar Pb-B karyawan SPBU sebesar 77,59 µg/100 ml.(6) Suwandi (1995) menemukan bahwa kadar Pb udara di daerah terpapar pada malam hari adalah 0,0299 mg/ml, yang besarnya sepuluh kali lipat kadar Pb di daerah tidak terpapar pada malam hari 0,0028 mg/ml. Sedangkan rerata kadar Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1207
  • 21. ISBN 978-602-98295-0-1 Pb Blood (Pb-B) di daerah terpapar adalah 170,44 µg/100 ml, yang besarnya tiga kali lipat kadar Pb di daerah tidak terpapar 45,43 µg/100 ml. Juga ditemukan semakin tinggi kadar Pb-B semakin rendah kadar hemoglobin-nya.(6) Aminah (2006) melakukan penelitian kadar Pb dan Hb dalam darah karyawan sampling dan non sampling di BBTKL PPM (Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular) Surabaya, dimana karyawan sampling memiliki rata-rata kadar Pb darah 7,08 g/L dengan rata-rata kadar Hb darah 14,42 g/dL. Sedangkan semua karyawan non sampling memiliki kadar Pb darah 0 g/L dengan rata-rata kadar Hb 13,34 g/dL (sebagian besar karyawan non sampling berjenis kelamin wanita).(7) Kaltsum (2008) melakukan penelitian kadar Hb pada pekerja SPBU didapat rata rata kadar Hb 15.68 gr%. Kejadian anemia pada pekerja SPBU sebanyak 31 orang (32.3%) Dampak yang ditimbulkan oleh timbal adalah dapat meracuni sistem pembentukkan sel darah merah sehingga menimbulkan gangguan pembentukkan sel darah merah, mempengaruhi sistem saraf, dan intelegensia pertumbuhan anak-anak (IQ). Gejala keracunan timbal ini biasanya mual, sakit di perut, dan anemia. Keracunan timbal kronik secara terus menerus makin meningkat dalam jaringan yang akan menyebabkan kelumpuhan serta perubahan hematologik serta leukemia.(3) Anemia yang merupakan salah satu gejala keracunan timbal terjadi akibat penurunan sintesis globin walaupun tak tampak adanya penurunan kadar zat besi pada serum. Anemia ringan yang terjadi disertai dengan sedikit peningkatan kadar ALA (Amino Levulinic Acid) urine. Anemia biasanya terjadi pada orang yang terpapar timbal dalam jangka waktu lama. Misalnya pada penduduk yang tinggal di sekitar industri yang menggunakan bahan tersebut dan para pekerja. (6) Dalam hal ini yang menjadi objek penelitian adalah para pekerja di Stasiun Pompa Bensin Umum (SPBU). Para pekerja SPBU tersebut rentan terkena anemia dikarenakan keadaan lingkungan kerja mereka yang secara langsung terpapar timbal dari bensin. Selain itu juga ditunjang dari faktor ekonomi yang rendah serta kurangnya asupan gizi bagi pekerja tersebut. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1208
  • 22. ISBN 978-602-98295-0-1 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi status kesehatan pada pekerja di lingkungan yang terpapar timbal diantaranya jenis kelamin, umur, lama kerja, dan penggunaan alat pelindung diri (APD). (3,7) Rumusan masalah penelitian ini adalah masih ditemukannya kejadian Anemia pada pekerja berpenghasilan rendah, salah satunya adalah pekerja SPBU. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan karakteristik pekerja, penggunaan APD, dan lama kerja dengan kejadian anemia pada pekerja di stasiun pompa bensin umum (SPBU) Palembang tahun 2009. METODA PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian secara cross sectional ini di lakukan di 18 SPBU yang terpilih menjadi subyek penelitian. Cara pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan stratified random sampling. Jumlah Sampel Besar sampel penelitian yang ditetapkan, dihitung dengan menggunakan rumus Lemeshow et al. (1997) sebagai berikut : Z21-ά/2 .p (1 – P) n= d2 Perhitungan sampel : (1,96)2 . 0.30 (1 – 0.30) n = -------------------------------- (0,1)2 n = 81 pekerja dibulatkan menjadi 96 pekerja SPBU Pengumpulan data Jenis data yang dikumpulkan dan cara pengumpulan data adalah : Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1209
  • 23. ISBN 978-602-98295-0-1 1. Data primer, meliputi data :  Data karakteristik responden, lama kerja, penggunaan APD diperoleh melalui wawancara lansung terhadap responden dengan menggunakan alat bantu kuesioner dan observasi langsung.  Data kadar Hb diperoleh melalui pemeriksaan darah untuk menentukan kadar Hb dengan menggunakan metode cyanmethemoglobin. 2. Data Skunder, meliputi data :  Jumlah SPBU dan lokasi SPBU yang diperoleh dari Hiswanamigas Plaju. Pengolahan data dan cara analisis Data Pengolahan Data  Hasil pengukuran Hb responden dengan metode cyanmethemoglobin dibandingkan dengan standar rujukan cyanmethemoglobin , kemudian dibuat menjadi dua katagori yaitu Kadar Hb < rujukan dan kadar Hb ≥ Rujukan.  Seluruh data akan diolah dengan menggunakan software komputer . Analisis Data  Analisa Univariat Analisa ini digunakan untuk mendiskripsikan variabel bebas dan variabel terikat guna mendapatkan gambaran atau karakteristik responden dengan membuat tabel distribusi frekuensi.  Analisa Bivariat Analisa ini dilakukan dengan membuat tabel silang antara masing- masing variabel bebas terhadap variabel terikat guna memperoleh gambaran variabel bebas mana yang diduga ada hubungan dengan kejadian Anemia pada pekerja di SPBU kota palembang. Uji statistik yang digunakan dalam analisis ini adalah Chi square dan uji t independent. HASIL PENELITIAN Kadar Hemoglobin (Hb) pekerja SPBU Hasil analis didapat distribusi statistic kadar Hb pekerja SPBU adalah sebagai berikut Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1210
  • 24. ISBN 978-602-98295-0-1 Tabel. 4.1. Distribusi statistik kadar Hb pekerja SPBU di Kota Palembang tahun 2009 Variabel Mean Median SD Min - Maks 95 % CI Kadar Hb 15.69 3.31 10.10 – 27.4 15.03 – 15.45 16.36 Hasil analisis didapatkan rata rata kadar Hb adalah 15.69 gr % ( 95% CI : 15.03 – 16.36), Median 15.45gr % dengan standar deviasi 3.31 gr % . Kadar Hb terendah 10.10 gr % dan kadar Hb tertinggi 27.4 gr %. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95 % diyakini bahwa rata rata kadar Hb antara 15.03 gr % sampai 16.36 gr %. Status Hemoglobin (Hb) pekerja SPBU Hasil analisis didapat distribusi frekuensi kadar Hb pekerja SPBU adalah sebagai berikut Tabel. 4.2. Distribusi frekuensi Status Hb pekerja SPBU di Kota Palembang tahun 2009 Status Hb Jumlah Persentase Anemia 31 31.6 Normal 41 41.8 Polisitemia 26 26.5 Jumlah 98 100 Distribusi status Hb pekerja SPBU hampir merata, yaitu status anemia sebanyak 31 orang (31.6 %), status Hb normal 41 orang (41.8 %) dan Status Hb polisitemia sebanyak 26 orang (26.5 %). Status Hemoglobin (Hb) pekerja SPBU Hasil analisis didapat distribusi frekuensi kadar Hb pekerja SPBU adalah sebagai berikut Tabel. 4.2. Distribusi frekuensi Status Hb pekerja SPBU di Kota Palembang tahun 2009 Status Hb Jumlah Persentase Normal 41 41.8 Tidak Normal 57 58.2 Jumlah 98 100 Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1211
  • 25. ISBN 978-602-98295-0-1 Distribusi status Hb pekerja SPBU hampir merata, yaitu status Hb yang normal sebanyak 41 orang (41.8 %), dan status Hb yang tak normal 57 orang (58.2 %). Jenis Kelamin pekerja SPBU Hasil analisis didapat distribusi frekuensi jenis kelamin pekerja SPBU adalah sebagai berikut Tabel. 4.2. Distribusi frekuensi Jenis kelamin pekerja SPBU di Kota Palembang tahun 2009 Jenis Kelamin Jumlah Persentase Laki laki 74 75.5 Perempuan 24 24.5 Jumlah 98 100 Distribusi jenis kelamin pekerja SPBU yaitu laki laki sebanyak 74 orang (75.5%), dan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 24 orang (24.5 %). Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Hasil analisis didapat distribusi frekuensi penggunaan APD pekerja SPBU adalah sebagai berikut Tabel. 4.2. Distribusi frekuensi Penggunaan APD pekerja SPBU di Kota Palembang tahun 2009 APD Jumlah Persentase Sesuai 7 7.1 Tidak Sesuai 91 92.9 Jumlah 98 100 Distribusi Penggunaan APD pekerja SPBU yaitu Penggunaan APD yang sesuai sebanyak 7 orang (7.1%), dan yang menggunakan tidak sesuai sebanyak 91 orang (92.9 %). Lama Kerja Pekerja SPBU Hasil analis didapat distribusi statistic lama kerja pekerja SPBU adalah sebagai berikut Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1212
  • 26. ISBN 978-602-98295-0-1 Tabel. 4.1. Distribusi statistik Lama kerja pekerja SPBU di Kota Palembang tahun 2009 Variabel Mean Median SD Min - Maks 95 % CI Lama kerja 5.45 5.93 1 – 30 4.26 – 6.64 3.00 Hasil analisis didapatkan rata rata lama kerja adalah 5.45 tahun ( 95% CI : 4.26 – 6.64), Median 3.00 tahun dengan standar deviasi 5.93 tahun . Lama kerja terendah adalah 1 tahun dan lama kerja tertinggi 30 tahun. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95 % diyakini bahwa rata rata lama kerja antara 4.26 tahun sampai 6.64 tahun. Lama kerja Pekerja SPBU Hasil analisis didapat distribusi frekuensi lama kerja pekerja SPBU adalah sebagai berikut Tabel. 4.2. Distribusi frekuensi Lama kerja pekerja SPBU di Kota Palembang tahun 2009 Lama kerja Jumlah Persentase  3 tahun 56 57.1 > 3 tahun 42 42.9 Jumlah 98 100 Distribusi lama kerja pekerja SPBU yaitu  3 tahun sebanyak 56 orang (57.1 %), dan lama kerja > 3 tahun sebanyak 42 orang ( 42.9 %). Umur pekerja SPBU Hasil analis didapat distribusi statistic umur pekerja SPBU adalah sebagai berikut Tabel. 4.1. Distribusi statistik Umur pekerja SPBU di Kota Palembang tahun 2009 Variabel Mean Median SD Min - Maks 95 % CI Umur 28.31 7.30 18 - 54 26.84 – 27.50 29.77 Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1213
  • 27. ISBN 978-602-98295-0-1 Hasil analisis didapatkan rata rata umur pekerja adalah 28.31 tahun ( 95% CI : 26.84 – 29.77), Median 27.50 tahun dengan standar deviasi 7.30 tahun . Umur pekerja termuda adalah 18 tahun dan umur pekerja tertua adalah 54 tahun. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95 % diyakini bahwa rata rata umur pekerja antara 26.84 tahun sampai 29.77 tahun. Hubungan karakteristik pekerja dengan status hemoglobin pekerja SPBU 1. Jenis Kelamin dengan status hemoglobin Tabel. 4.9.1. Distribusi responden menurut jenis kelamin dan status hemoglobin pekerja SPBU Status Hemoglobin Jenis Normal Tidak Total OR P value kelamin normal 95 % CI n % n % N % Laki laki 29 39.2 45 60.8 74 100 0.6 (0.25 – 0.351 Perempu 12 50.0 12 50.0 24 100 1.63 an Jumlah 41 41.8 57 58.2 98 100 Hasil analisis hubungan antara jenis kelamin dengan status hemoglobin pekerja SPBU didapat bahwa ada sebanyak 45 pekerja (60.8 %) dari 74 orang pekerja yang ber jenis kelamin laki laki memiliki status hemoglobin tidak normal. Sedangkan diantara pekerja yang berjenis kelamin perempuan ada 12 pekerja (50.0%) yang mempunyai status hemoglobin yang tidak normal. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0.351, maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan status hemoglobin pekerja SPBU di kota Palembang. 2. Umur dengan status hemoglobin Tabel.4.9.1. Distribusi rata rata umur responden menurut status hemoglobin Pekerja SPBU di kota Palembang Variabel Mean SD SE P value N Status Hb - Normal 27.56 8.24 1.29 0.395 41 - Tidak 28.84 6.58 0.87 57 normal Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1214
  • 28. ISBN 978-602-98295-0-1 Rata rata umur pekerja yang mempunyai status Hb normal adalah 27.56 tahun dengan standar deviasi 8.24 tahun. Sedangkan untuk pekerja yang status Hb nya tidak normal, rata rata umurnya adalah 28.84 tahun dengan standar deviasi 6.58 tahun. Hasil uji didapat p = 0.395, berarti pada alpha 5 % terlihat tidak ada perbedaan yang signifikan rata rata umur pekerja antara pekerja yang status Hb nya normal dengan pekerja yang status Hbnya tidak normal. Hubungan Penggunaan APD dengan status Hemoglobin pekerja SPBU Tabel. 4.10. Distribusi responden menurut Penggunaan APD dan status hemoglobin pekerja SPBU Status Hemoglobin Pengguna Normal Tidak Total OR P value an APD normal 95 % CI n % n % N % Sesuai 6 85.7 1 14.3 7 100 9.60 (1.11-83.1) 0.020 Tidak 35 38.5 56 61.5 91 100 sesuai Jumlah 41 41.8 57 58.2 98 100 Hasil analisis hubungan antara penggunaan APD dengan status hemoglobin pekerja SPBU didapat bahwa ada sebanyak 1 pekerja (14.3 %) dari 7 orang pekerja yang menggunakan APD sesuai memiliki status hemoglobin tidak normal. Sedangkan diantara pekerja yang menggunakan APD tidak sesuai ada 56 pekerja (61.5%) yang mempunyai status hemoglobin yang tidak normal. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0.020, maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara penggunaan APD dengan status hemoglobin pekerja SPBU di kota Palembang. Dari hasil analisis diperoleh nilai OR = 9.60 (95%CI : 1.11 – 83.1), artinya pekerja yang menggunakan APD yang tidak sesuai memiliki peluang 9.60 kali mempunyai status hemoglobin tidak normal dibanding pekerja yang menggunakan APD yang sesuai. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1215
  • 29. ISBN 978-602-98295-0-1 Hubungan lama kerja dengan status hemoglobin pekerja SPBU Tabel.4.9.1. Distribusi rata rata lama kerja responden menurut status hemoglobin Pekerja SPBU di kota Palembang Variabel Mean SD SE P value N Status Hb - Normal 5.024 5.42 0.85 0.545 41 - Tidak 5.76 6.29 0.83 57 normal Rata rata lama kerja pekerja yang mempunyai status Hb normal adalah 5.04 tahun dengan standar deviasi 5.42 tahun. Sedangkan untuk pekerja yang status Hb nya tidak normal, rata rata lama kerjanya adalah 5.76 tahun dengan standar deviasi 6.29 tahun. Hasil uji didapat p = 0.545, berarti pada alpha 5 % terlihat tidak ada perbedaan yang signifikan rata rata lama kerja pekerja antara pekerja yang status Hb nya normal dengan pekerja yang status Hbnya tidak normal. PEMBAHASAN A. Kadar Hemoglobin (Hb) pekerja SPBU Dari hasil penelitian yang dilakukan pada 98 pekerja di SPBU Palembang tahun 2009 didapatkan rata-rata kadar hemoglobin pekerja SPBU adalah 15.69 gr/dL, dengan kadar hemoglobin terendah 10.10 gr/dL dan tertinggi 27.4 gr/dL. Hasil kadar hemoglobin yang didapat memiliki kadar yang sangat jauh. dimana terdapat 2 perbedaan hasil yang rendah dan sangat tinggi. Tingginya kadar hemoglobin ini dapat disebabkan banyak faktor, yaitu karena kadar oksigen di dalam udara terlalu rendah dan waktu pengambilan sample. Jika kadar oksigen di udara rendah, maka jaringan mungkin menerima terlalu Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1216
  • 30. ISBN 978-602-98295-0-1 sedikit oksigen. Waktu pengambilan sampel pada penelitian ini beraneka ragam. Mulai dari pagi, siang, dan sore hari. Waktu pengambilan sampel di siang hari juga mempengaruhi tingginya hasil kadar hemoglobin, dimana pekerja yang diambil sampelnya dalam kondisi yang tidak begitu baik. Kondisi yang tidak baik disini adalah pekerja di siang hari tepatnya sekitar pukul 11.00-14.00 melakukan pergantian shift. Pada saat pergantian shift, mereka belum mengkonsumsi makan siang dan kurangnya minum, ditambah dengan keadaan lingkungan yang panas. Terlihat pula kelelahan mereka bekerja dikarenakan aktifitas padat seharian yang banyak mengeluarkan tenaga sehingga pekerja juga sangat kurang mengkonsumsi air putih dan terjadi dehidrasi secara mikro di dalam tubuh.. Penyebab lain tingginya kadar hemoglobin juga dapat dilihat pada saat pemeriksaan di laboratorium. Hasil pemeriksaan kadar hemoglobin penelitian pada hari pertama umumnya seimbang, tetapi pada hari kedua hasilnya terdapat ketidakseimbangan. Hal ini bisa dikarenakan standar hemoglobin yang dibaca berulang-ulang sehingga tutup standar sering terbuka. Jika standar menguap dapat mempengaruhi hasil kadar hemoglobin menjadi tinggi dari hasil yang sebenarnya. B. Status Hemoglobin (HB) pekerja SPBU Distribusi frekuensi status Hb pada pekerja di SPBU Palembang tahun 2009 diperoleh hasil pekerja yang status Hb nya anemia sebanyak 31 orang (31,6%). Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1217
  • 31. ISBN 978-602-98295-0-1 Hasil ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan penelitian Husaini (1989) bahwa di Indonesia prevalensi anemia pada pekerja berpenghasilan rendah sebanyak 20-30% (Nyoman M, 2004) Anemia yang terjadi pada pekerja SPBU dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor utama diduga dari paparan timbal pada bensin dalam jangka waktu yang lama. Menurut penelitian di lapangan pada saat pengambilan sampel, umumnya pekerja yang anemia telah memiliki dampak dari pekerjaan sebelumnya seperti ada beberapa pekerja SPBU tersebut yang sebelumnya telah bekerja di SPBU juga. Sedangkan faktor lain dapat berasal dari rendahnya faktor ekonomi serta kurangnya asupan gizi bagi pekerja tersebut. Gangguan kesehatan seperti anemia dapat berpengaruh pada produktifitas kaum pekerja SPBU dimana daya tahan fisik pekerja terkendala karena rendahnya kadar hemoglobin dalam darah. Akibatnya para pekerja tidak dapat bekerja dengan optimal misalnya saja para pekerja sering izin tidak dapat bekerja dikarenakan sakit. Anemia merupakan penyakit yang bukan sepele karena jangka panjang dapat mengakibatkan kerusakan syaraf, fungsi otak, serangan jantung bahkan kematian. (http://portalcbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx/.) Selain timbal, di dalam bensin juga ada zat kimia lain yang berbahaya yaitu benzena. Data menunjukkan adanya insiden terjadinya anemia aplastik akibat inhalasi benzene di eropa dan Israel sebanyak dua kasus per 1 juta populasi setiap tahunnya. Di Thailand dan Cina angka kejadiannya sebanyak lima hingga tujuh orang per 1 juta populasi per tahunnya ( Kasper, Braunwald, faunci et al, 2004). Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1218
  • 32. ISBN 978-602-98295-0-1 Pemajanan zat kimia terhadap pekerja beserta lingkungan kerjanya secara terus-menerus akan merupakan beban fisik dan psikologis bagi tenaga kerja yang akhirnya menyebabkan penyakit akibat kerja. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per. 01/Men/1981 mengenai kewajiban melapor penyakit akibat kerja, mengatur bahwa terdapat 30 jenis penyakit akibat kerja yang berhubungan dengan bahan kimia termasuk benzena. Salah satu bahaya dari benzen adalah leukemia, dimana tanda-tanda awal dari leukemia adalah anemia.(Lu, Frank. 1995). Selain itu dari hasil analisis didapat adanya kejadian polisitemia sebanyak 26 orang (26.5%). Polisitemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan jumlah sel darah merah akibat pembentukan sel darah merah yang berlebihan oleh sumsum tulang. Polisitemia terjadi akibat kekurangan kadar oksigen, dehidrasi dan pada beberapa kasus yang berkaitan dengan neoplasma. (Brown A B, 1975) C. Hubungan Karakteristik responden dengan status Hemoglobin pekerja SPBU Dari hasil uji didapat bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan status hemoglobin. Hasil ini bertolak belakang dengan penelitian sebelumnya Aminah (2006) di Surabaya bahwa perempuan lebih rentan terkena anemia yang disebabkan oleh keracunan timbal daripada laki-laki. Beberapa penelitian (Husaini dkk) melaporkan dikalangan tenaga kerja wanita 30-40% menderita anemia, dan hasil studi di Tangerang tahun 1999 menunjukan prevalensi anemia pada pekerja wanita 69%.(Aminah, 2006 dan Depkes, 1999). Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1219
  • 33. ISBN 978-602-98295-0-1 Menurut teorinya, perempuan lebih berisiko terkena anemia daripada laki-laki. Disamping dari pengaruh hormon akibat menstruasi dan kehamilan, banyak perempuan yang melakukan diet tidak sehat seperti minum obat-obat pelangsing yang mempunyai efek samping yang buruk serta mengurangi mengkonsumsi makanan yang mengandung vitamin. Aktifitas perempuan juga lebih banyak dibanding laki-laki karena selain bekerja di luar rumah, perempuan juga mengurus rumah tangga.(Wahyuni, sri, 2007) Distribusi jenis kelamin pada pekerja SPBU di kota Palembang didapat bahwa Jumlah pekerja berjenis kelamin perempuan sangat sedikit yaitu 24 orang (24,5%) dari 98 orang pekerja. Dengan proporsi ini maka hubungan antara jenis kelamin dengan status hemoglobin tidak terdeteksi karena jenis kelamin mendekati homogen. Hasil uji juga di dapat tidak ada hubungan antara umur dengan status hemoglobin. Hal ini bertolak belakang dengan teori dari buku kasper, braunwald, fauci et al (2004) yang menyatakan bahwa distribusi umur biasanya biphasik, yang artinya puncak kejadiannya pada remaja dan puncak kedua pada orang lanjut usia. Distribusi umur pada pekerja di SPBU kota palembang, umur rata rata 28.31 tahun. Umur termuda 18 dan umur tertua 54 tahun. Dari distribusi ini, terlihat bahwa rentang usia sangat jauh berbeda dan jumlah usia tua sangat sedikit. Sehingga data cukup homogen di usia produktif. Dengan homogennya umur pekerja ini maka tidak didapat hubungan antara umur dengan status hemoglobin. D. Hubungan Lama kerja dengan status hemoglobin pekerja SPBU Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1220
  • 34. ISBN 978-602-98295-0-1 Dari hasil uji didapat bahwa tidak ada hubungan antara lama kerja dengan status hemoglobin pekerja SPBU. Hal ini bertentangan dengan penelitian sebelumnya Aminah (2006) di Surabaya yang menyatakan bahwa lebih lama seseorang bekerja dalam lingkungan yang terpapar timbal akan lebih besar kemungkinan keracunan. Berdasarkan teorinya, semakin lama seseorang bekerja dalam lingkungan yang terpapar timbal maka semakin besar terkena keracunan karena dalam jangka waktu yang lama konsentrasi timbal berlebih akan terakumulasi dalam darah. Namun demikian, tidak hanya lama kerja yang merupakan faktor penyebab anemia dari keracunan timbal, tetapi masih banyak faktor lainnya diantaranya status gizi yang buruk, dan kesejahteraan pekerja SPBU. (Aminah, 2007 dan http://portalcbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx/.). Distribusi lama kerja di dapat, rata rata lama kerja 5.45 tahun. Sedangkan lama kerja terendah adalah 1 tahun dan lama kerja tertinggi adalah 30 tahun. Dari distribusi ini terlihat begitu lebar jarak rentang lama kerja antara sesama pekerja. Dan sebagian besar pekerja mempunyai lama kerja antara 4.26 tahun sampai 6.64 tahun. Dari data ini, maka dapat disimpulkan bahwa proses keterpaparan pekerja oleh bahan bahan toksik di dalam bensin mendekati homogen antara sesama pekerja. E. Hubungan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dengan status hemoglobin Hasil analisis didapat Ada hubungan antara penggunaan APD dengan status hemoglobin pekerja SPBU di kota Palembang. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1221
  • 35. ISBN 978-602-98295-0-1 Dari pengamatan di lapangan, didapatkan 91 orang pekerja SPBU (92.9%) tidak menggunakan alat pelindung diri yang sesuai sedangkan hanya 7 orang (7.1%) yang menggunakan alat pelindung diri yang sesuai. Hasil ini hampir sama dengan penelitian Aminah (2006) di Surabaya dimana seluruh karyawan 100% tidak menggunakan alat pelindung diri. Penyebab utamanya adalah tidak tersedianya alat pelindung diri yang sesuai di SPBU tersebut diantaranya sepatu, sarung tangan, dan masker. Walaupun ada beberapa SPBU yang menyediakan fasilitas tersebut, tetapi para pekerja tidak menggunakannya dengan baik. Tidak diketahui alasannya secara pasti tetapi hal tersebut juga merupakan kesalahan dari pihak atasan karena tidak adanya tindakan tegas bagi para pekerja yang tidak menggunakan alat pelindung diri yang sesuai. Alat pelindung diri sangat penting digunakan pada pekerja SPBU. Lingkungan kerja yang terpapar timbal dari bensin dapat mengakibatkan gangguan kesehatan bagi pekerja SPBU tersebut. Pentingnya alat pelindung diri terutama masker mengingat dimana timbal dapat masuk ke dalam tubuh 85% melalui pernapasan, 14% melalui pencernaan, dan 1% melalui kulit.(KPBB, 1999) Keracunan melalui mulut kemudian masuk ke dalam pencernaan akan menimbulkan tanda-tanda seperti muntah, denyut nadi cepat, hilang kesadaran, kehilangan kestabilan, dan koma. Keracunan melalui kulit merupakan iritan kuat yang dapat menimbulkan bercak merah dan terbakar serta menghilangkan lemak pada lapisan keratin yang menyebabkan kulit kering serta bersisik. Pada keracunan melalui pernapasan, tanda-tanda utamanya ialah perasaan mengantuk, pusing, sakit kepala, vertigo, dan Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1222
  • 36. ISBN 978-602-98295-0-1 kehilangan kesadaran. Keracunan ini berpengaruh terhadap sel sel hemopoetik darah tepi dan sumsum tulang.(Wisaksono, 2004). KESIMPULAN 1. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan status hemoglobin pekerja SPBU di kota Palembang tahun 2009 2. Tidak ada hubungan antara lama kerja dengan status hemoglobin pekerja SPBU di kota Palembang tahun 2009 3. Ada hubungan antara penggunaan alat pelindung diri (APD) dengan status hemoglobin pekerja SPBU di kota Palembang tahun 2009. SARAN 1. Pemilik SPBU diharapkan memberikan fasilitas alat pelindung diri yang sesuai untuk pekerja SPBU guna mencegah timbulnya gangguan kesehatan seperti anemia atau penyakit akibat kerja lain nya. 2. Pekerja SPBU diharapkan mengkonsumsi gizi yang seimbang setiap harinya. 3. Perlu adanya penyuluhan bagi pekerja SPBU oleh petugas kesehatan mengenai bahaya lingkungan kerja, khususnya dampak timbal dan benzen bagi kesehatan. 4. Kepada peneliti lain, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut antara lain: a. Pemeriksaan penunjang lain seperti pemeriksaan hitung jumlah eritrosit, retikulosit, dan pemeriksaan sediaan hapus darah. b. Dilakukan pemeriksaan seperti di atas tetapi dengan objek penelitian yang berbeda misalnya pada pedagang asongan, anak-anak jalanan, sopir angkutan umum, dan polisi lalu lintas yang terpapar timbal dari gas buang kendaraan. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1223
  • 37. ISBN 978-602-98295-0-1 DAFTAR PUSTAKA Murtiyasa, Nyoman. 2004. Faktor Resiko Kejadian Anemia pada Pekerja Wanita. (http://adln.lib.unair.ac.id/go.php/. Diakses 7 Januari 2008). Anonim. 2006. Anemia. (http://portalcbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx/. Diakses 7 Januari 2008). Komite Penghapusan Bensin Bertimbal. 1999. Analisis Dampak Pemakaian Bensin Bertimbal dan Kesehatan. (http://www.kpbb.org/makalah-ind/. Diakses 29 September 2007). Komite Penghapusan Bensin Bertimbal. 2005. Pengujian Kadar Pb pada Bensin Premium TT. (http://www.kpbb.org/makalah_ing/LeadPhaseOutRevised.pdf. Diakses 7 Januari 2008). Lu, Frank C. 1995. Toksikologi Dasar. Edisi Kedua. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Sudarmaji, J. Mukono, Corie I.P. 2006. Toksikologi Logam Berat B3 dan Dampaknya Terhadap Kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol.2 No.2. (http://www.journal.unair.ac.id/login/journal/filer/KESLING-2-2-03.pdf. Diakses 29 September 2007). Aminah, Noery. 2006. Perbandingan Kadar Pb, Hb, Fungsi Hati, Fungsi Ginjal. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol.2 No.2. (http://www.journal.unair.ac.id/login/jurnal/filer/KESLING-2-2-01.pdf. Diakses 3 Oktober 2007). Depkes RI Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan. 1989. Hematologi. Jakarta. Hadiat, dkk. 2004. Kamus Sains. Balai Pustaka, Jakarta. De Maeyer, E.M. 1993. Pencegahan Dan Pengawasan Anemia Defisiensi Besi. Widya Medika, Jakarta. Sitompul, Johan Intan. 1983. Patohematologi. Penerbit Medipress, Jakarta. Wahyuni, Sri. 2007. Anemia dan Wanita. (http://www.medanbisnisonline.com/rubrik.php. Diakses 4 Juli 2008). Notoatmodjo, Soekidjo. 1996. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1224
  • 38. ISBN 978-602-98295-0-1 Firdaus, Lutfi. Bensin. (http://www.chem-is-try.org/?sect=fokus&ext=17. Diakses 7 Januari 2008). Sartono, Drs. 2002. Racun dan Keracunan. Widya Medika, Jakarta. Polar, Heryando. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. dr U Syamsudin, dr F D Suyatna. 1978. Keracunan Pb. (http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/10KeracunanPb013.pdf/. Diakses 7 Januari 2008). Komite Penghapusan Bensin Bertimbal. 1999. Kebijakan Energi Bersih melalui Penghapusan Bensin Bertimbal (Pb). (http://www.kpbb.org/makalah_ind/Kebijakan%20Energi%20Bersih%20Melalui%2 0Penghapusan%20Bensin%20Bertimbel.pdf. Diakses 7 Januari 2008). Azwar, A. 1988. Pengantar Epidemiologi Edisi Pertama. PT.Bina Rupa Aksara, Jakarta. Imamkhasani, Soemarto. 1990. Keselamatan Kerja dalam Laboratorium Kimia. Penerbit PT.Gramedia, Jakarta. Martin, David W.JR dkk. 1992. Biokimia Harper Edisi 20. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Kresno, Siti Boedina. 1988. Pengantar Hematologi dan Imunohematologi.1988. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Wisaksono, Satmoko. 2004. Resiko Pemajanan Benzen terhadap Pekerja dan Cara Pemantauan Biologis. Jakarta. Gandasoebrata, R. 2004. Penuntun Laboratorium Klnik. Dian Rakyat, Jakarta. Tjokronegoro, Arjatmo dkk. 1992. Pemeriksaan Laboratorium Hematologi Sederhana. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Notoatmojo, Soekidjo. 1993. Dasar-dasar Metodelogi Penelitian Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Widman K.F. 1995. Tinjauan klinis atas hasil Pemeriksaan Laboratorium. Ed 9 UI.Jakarta Brown Barbara. 1975. Principles and Procedure. Lea & Febiger. Philadelphia Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1225
  • 39. ISBN 978-602-98295-0-1 ANALISIS FAKTOR RESIKO PENULARAN HIV/AIDS DI KOTA MEDAN Erledis Simanjuntak Mahasiswa tugas belajar pada Program Doktor Ilmu-Ilmu Lingkungan Di PPS Unsri Palembang ABSTRAK HIV/AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan Global. Di seluruh negara saat ini sedang terancam dengan penyebaran virus yang mematikan ini. Tidak hanya di negara maju, tetapi juga di negara sedang berkembang seperti Indonesia, termasuk di Kota Medan.Berbagai faktor resiko penyebab HIV/AIDS, seperti: hubungan sex bebas (beresiko), pemakaian jarum suntik narkoba, penularan melalui transfusi darah, dan transmisi dari ibu ke anak. Di samping itu faktor karakteristik juga berperan terhadap resiko penularan HIV/AIDS, seperti umur, jenis, pekerjaan, dan pendidikan.Desain penelitian ini Kasus Kontrol, dengan 230 sampel (115:115). Data diambil dari pasien HIV/AIDS dan Kontrol yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan tahun 2010, yang berdomisili di Kota Medan. Dilakukan Analisis Deskriptif, Bivariat (Uji Chi-Square), dan Multivariat (Uji Regressi Logistik), dengan Program SPSS For Windos 17. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95 % pada variabel : Pemakai jarum suntik narkoba (P=0,000), Hubungan sex bebas (P=0,000), Kelompok umur 15 – 24 tahun, 25- 34 tahun, 35-44 tahun (P=0,000), jenis kelamin Laki-laki (P=0,000), Tidak bekerja, Wiraswasta, Pegawai Swasta (P= 0,000), Pendidikan SD, SLTP (P=0,000), SLTA (P=0,001). Uji Multivariat menunjukkan faktor resiko yang dominan terhadap penularan HIV/AIDS di Kota Medan adalah: Pemakaian jarum suntik narkoba (OR=66,551), hubungan sex bebas (OR=25,419), Pendidikan (OR=2,653), Pekerjaan (OR= 2,288). Kata Kunci : Kesehatan, Faktor Resiko HIV/AIDS, Kasus Kontrol. PENDAHULUAN Kasus HIV/ AIDS dewasa ini telah mengalami peningkatan jumlah secara cepat dari tahun – ketahun. Menurut data yang ada, sampai dengan 30 Juni 2010 secara komulatif kasus AIDS yang dilaporkan sejak tahun1978 sejumlah 21.770 kasus dari 32 provinsi dan 300 Kabupaten. Kasus terbanyak diperoleh di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Papua, Bali, Jawa tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Barat. Rate tertinggi berada di Provinsi Papua (14,34 kali) dari angka Nasional. Rasio Kasus AIDS antara laki-laki dengan perempuan adalah 3:1. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1226
  • 40. ISBN 978-602-98295-0-1 Sedangkan kasus HIV positf sampai dengan 30 Juni 2010 sejak dilaporkan tahun1978 secara komulatif = 44.292. Daerah yang paling banyak terjadi kasus HIV positf adalah DKI Jakarta (9,804 kasus), Jawa Timur (5.973 kasus), Jawa Barat (3.798 kasus), Sumatera Utara (3.391 kasus), Papua (2,947 kasus), Bali (2,505 Kasus). Jumlah ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS yang masih dalam pengobatan Anti Retro Virus tertinggi di DKI Jakarta (7.242 Kasus), Jawa Barat (2.001), Jawa Timur (1.517 Kasus), Bali (984 Kasus), Papua (685 Kasus), Jawa Tengah (575 Kasus), Sumatera Utara (575 Kasus), Kalimantan Barat (463 Kasus), Kepulauan Riau (426 kasus), Sulawesi Selatan (343 Kasus) (Depkes RI, 2010). Beberapa faktor resiko penularan hiv/aids adalah melalui hubungan seksual, melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercampur virus hiv, melalui jarum suntik yang tidak steril, transplantasi organ pengidap hiv dan penularan dari ibu ke anaknya saat di kandungan (Nursalam , 2007). Hingga saat ini belum ada data yang akurat tentang jumlah kasus, dan faktor risiko yang mempengaruhi berkembangnya penularan HIV diberbagai wilayah di indonesia, termasuk di Kota Medan. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian tentang ― Analisis Faktor Resiko HIV/AIDS Di Kota Medan―. Dengan diketahuinya faktor resiko penularan HIV/AIDS secara jelas, diharapkan dapat menjadi masukan terhadap pemerintah untuk membuat perioritas program penanggulangan HIV/ AIDS secara tepat, efektif sesuai dengan sumber daya yang ada. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan.W aktu penelitian selama enam bulan (Mei - September tahun 2010). Desain penelitian ini adalah studi kasus kontrol (case control study). Sampel dalam penelitian terdiri dari dua kelompok yaitu satu kelompok kasus (penderita HIV/AIDS), dan satu kelompok kontrol (bukan penderita HIV/AIDS) yang berdomisili di Kota Medan. Besar sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan rumus (Murti, 1996., Sudigdo, 2002) sebagai berikut: Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1227
  • 41. ISBN 978-602-98295-0-1 2    z  z  PQ  n 2    p 1       2  R p 1  R  Q  1  p  Keterangan : R = Perkiraan Odds Ratio = 2., = 0,05., Z=1,64., = 0,10., Z= 1,28 2  1,64 2 1   1,28. .  n 2 3 3  2 1        3 2  2  0,82  0,89  n   0,16  n= 115 (jumlah sampel dalam adalah 230, terdiri dari 115 kasus, dan 115 Kontrol). Pengambilan sampel dilakukan secara porposif. dengan menggunakan Angket, berupa kuesioner yang diisi langsung oleh responden. Bahan yang dianalisis dalam penelitian ini berupa Data Primer Primer yang dikumpulkan dengan menggunakan Angket. Data dianalisis secara Deskriptif, Analisis Bivariat (Uji Chi-Square), dilakukan perhitungan terhadap Odds Ratio (OR), dengan Confident Interval 95%. Analisis terhadap Odds Ratio dilakukan dengan membandingkan Odds pada kelompok kasus dengan Odds pada kelompok Kontrol (Sudigdo,2002). Selanjutnya dilakukan Analisis Multivariat (Uji Regressi Logistik), melalui Program SPSS For W indos 17 dengan metode Stepwise (Hastono,2001). Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1228
  • 42. ISBN 978-602-98295-0-1 HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel .1. Distribusi Gambaran Karakteristik Sampel Kasus HIV/AIDS dan Kontrol Di Kota Medan Tahun 2010. No Variabel Kasus Kontrol Total n % n % n % 1 Umur : 15-24 Tahun 15 13,0 13 11,3 28 12,2 25-34 Tahun 63 54,8 15 13,0 78 33,9 35-44 Tahun 27 23,5 32 27,8 59 25,7 45- 64 Tahun 10 8,7 55 47,8 65 28,3 Jumlah 115 100 115 100 230 100 2 Jenis Kelamin: Laki-laki 96 83,5 70 60,9 166 72,2 Perempuan 19 16,5 45 39,1 64 27,8 Jumlah 115 100 115 100 230 100 3 Pekerjaan: Tidak Bekerja 51 44,3 20 17,4 71 30,9 Wiraswasta 43 37,4 27 23,5 70 30,4 Pegawai 20 17,4 26 22,6 46 20,0 Swasta PNS 1 0,9 42 36,5 43 18,7 Jumlah 115 100 115 100 230 100 4 Pendidikan: SD 9 7,8 2 1,7 11 4,8 SLTP 39 33,9 25 21,7 64 27,8 SLTA 65 56,5 70 60,9 135 58,7 PT/Akademi 2 1,7 18 15,7 20 8,7 Jumlah 115 100 115 100 230 100 1. Umur. Hasil penelitian pada Tabel.3.1. Menunjukkan bahwa proporsi kasus HIV/AIDS ditemukan tertinggi pada Umur 25-34 tahun (54,8%), 35-44 tahun (23,5%). Hasil uji Bivariat (Tabel. 3.3.) Menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara umur dan HIV/AIDS (p=0,000), dan jika dilihat dari nilai OR, maka dapat disimpulkan bahwa Usia yang paling beresiko terhadap HIV/AIDS adalah umur 25-34 tahun (OR=23,100), Usia 15-24 tahun (OR=6,346), 35-44 Tahun (OR=4,641). Usia remaja, dan usia produktif sangat beresiko terhadap penularan HIV/AIDS. Infeksi HIV/AIDS sebagian besar (>80%) diderita oleh kelompok usia produktif (15-49 tahun) (Wandoyo, 2007). Banyak faktor yang menyebabkan tingginya kasus HIV/AIDS pada kelompok usia remaja, usia produktif . Menurut Tanjung (2004), remaja sangat rentan dengan HIV/AIDS, oleh karena usia remaja Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1229
  • 43. ISBN 978-602-98295-0-1 identik dengan semangat bergelora, terjadi peningkatan libido. Selain itu resiko ini disebabkan faktor lingkungan remaja. Tabel.2. Resiko Kejadian HIV/AIDS Pada Sampel Menurut Umur dan Jenis Kelamin Di Kota Medan Tahun 2010. No Variabel Kasus Kontrol χ² OR N % n % (Nilai P) (CI 95%) 1 Umur :  15-24 Tahun 15 60,0 13 19,1 14,519 6,346  45- 64 Tahun 10 40,0 55 80,9 (0,000) (2,326- Jumlah 25 100 68 100 17,299).  25-34 Tahun 63 86,3 15 21,4 60,656 23,100  45- 64 Tahun 10 13,7 55 78,6 (0,000) (6,600 - Jumlah 73 100 70 100 55,586)  35-44 Tahun 27 73,0 32 36,8 13,633 4,641  45- 64 Tahun 10 27,0 55 63,2 (0,000) (1,991-10,818) Jumlah 37 100 87 100 2 Jenis 14,635 3,248 Kelamin: (0,000) (1,750-6,028).  Laki-laki 96 83,5 70 60,9  Perempuan 19 16,5 45 39,1 Jumlah 115 100 115 100 2. Jenis Kelamin. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah kasus HIV/AIDS lebih tinggi pada laki-laki sejumlah (83,5%), dibanding dengan perempuan sejumlah (16,5). Resiko laki-laki menderita HIV/AIDS jika dilihat dari nilai OR adalah 3,248 kali lebih tinggi dari perempuan (Tabel.2). Hal ini sejalan dengan data prevalensi HIV/AIDS tahun 2003, dari 22 provinsi yang telah ada kasus HIV di Indonesia diperoleh data bahwa penyebaran HIV/AIDS berdasarkan Gender, laki-laki 57,71 %, dan perempuan 42,29 % (Notoadmojo,2007). Menurut Depkes RI (2010), Rasio Kasus AIDS antara laki-laki dengan perempuan adalah 3:1. Menurut Wandoyo (2007) bahwa infeksi HIV sebagian besar (>80%) diderita oleh kelompok usia produktif (15-49 Tahun), terutama laki-laki. Akan tetapi jumlah penderita wanita cenderung meningkat. Resiko AIDS yang tertinggi pada pria homoseks, mungkin sekali kerena seringnya hubungan seksual dengan pasangan yang berbeda-beda. ( Noor , 1997). a. Pekerjaan Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1230
  • 44. ISBN 978-602-98295-0-1 Tabel.1. Memperlihatkan Proporsi Sampel yang tidak bekerja pada kelompok Kasus HIV/AIDS (44,3%), wiraswasta (37,4%). PNS (0,9%). Hasil Uji Bivariat (Tabel.3.)memperlihatkan Ada hubungan yang signifikan antara jenis pekerjaan dengan HIV/AIDS P < 0,005. Bila dilihat dari besarnya nilai OR maka Sampel yang tidak bekerja mempunyai resiko tertinggi untuk kemungkinan menderita HIV/AIDS (OR=107,100), selanjutnya bekerja sebagai wiraswasta (OR=66,889), Pegawai Swasta (OR=32,308 ). Muninjaya (1999), menyebutkan bahwa HIV ditularkan oleh para Traveler (turis, nelayan asing), kepada kelompok Pekerja Sex Komersial, kemudian menyebar kepada para pelanggan yang menggunakan jasa meraka. b. Pendidikan Tabel.3. Resiko Kejadian HIV/AIDS Pada Sampel Menurut Pekerjaan dan Pendidikan Di Kota Medan Tahun 2010. No Variabel Kasus Kontrol χ² OR N % n % (Nilai P) (CI 95%) 1 Pekerjaan : A  Tidak 51 98,1 20 32,3 52,152 107,100 Bekerja (0,000) (13,795-  PNS 1 1,9 42 67,7 831,499) Jumlah 52 100 62 100 B  Wiraswasta 43 97,7 27 39,1 39,135 66,889  PNS 1 2,3 42 60,9 (0,000) (8,691-514,786) Jumlah 44 100 69 100 C  Pegawai 20 95,2 26 38,2 20,878 32,308 Swasta (0,000) (4,089-255,282)  PNS 1 4,8 42 61,8 Jumlah 21 100 68 100 2 Pendidikan: A  SD 9 81,8 2 10,0 15,989 40,500  PT/Akademi 2 18,2 18 90,0 (0,000) (4,876-336,401) Jumlah 11 100 20 100 B  SLTP 39 95,1 25 58,1 15,824 14,040  PT/Akademi 2 4,9 18 41,9 (0,000) (2,996-65,804) Jumlah 41 100 43 100 C  SLTA 65 97,0 70 79,5 10,330 8,357  PT/Akademi 2 3,0 18 20,5 (0,001) (1,866-37,431) Jumlah 67 100 88 100 Ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dan HIV/AIDS (p < 0,05). Nilai OR tertinggi pada sampel (Tabel.3.) berpendidikan SD (nilai OR = 40,500,), Sampel berpendidikan SLTP (OR =14,040), berpendidikan SLTA (OR =8,357). Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1231
  • 45. ISBN 978-602-98295-0-1 Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin rendah pendidikan sampel, maka semakin tinggi resiko menderita HIV/AIDS. Dalam masyarakat dimana taraf kecerdasan masih rendah, masyarakat belum berpartisipasi dalam pencegahan penyakit dan baru mencari pemecahan persoalan bila masalah sudah nyata (Entjang, 2002). tingkat pendidikan individu dan masyarakat dapat berpengaruh terhadap penerimaan pendidikan kesehatan Herawani (2002), bahwa. Oleh sebab itu sosialisai (komunikasi, informasi dan edukasi,pencegahan HIV/AIDS harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan masyarakat. c. Hubungan Sex Bebas Hasil penelitian Pada Tabel.4. Memperlihatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara hubungan sex bebas dengan HIV/AIDS (P=0,000). Resiko sampel yang melakukan hubungan sex bebas 9,966 lebih tinggi menderita HIV/AIDS dibandingkan dengan Sampel yang tidak melakukan hubungan sex bebas. Menurut data yang diperoleh dari Depkes RI (2010), cara penularan terbanyak HIV/AIDS melalui hubungan heterosexual (51,3%). Dengan semakin banyaknya perilaku hubungan sex bebas, tempat pelacuran, serta kemiskinan moral sangat berpotensi menularkan HIV. Adanya kebiasaan berganti-ganti pasangan dan melakukan anal sex menyebabkan rentan tertular HIV (Duarsa, 2007). Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari hubungan sex beresiko, setia pada pasangan suami/istri. Tabel.4. Resiko Kejadian HIV/AIDS Pada Sampel Menurut Cara Penularan Di Kota Medan Tahun 2010. No Variabel Kasus Kontrol χ² OR N % N % (Nilai P) (CI 95%) 1 Hubungan Sex Bebas:  Ya 56 48,7 10 8,7 44,963 9,966  Tidak 59 51,3 105 91,3 (0,000) (4,733-20,985) Jumlah 115 100 115 100 2 Pemakaian Jarum Suntik Narkoba:  Ya 62 53,9 6 5,2 65,476 21,252  Tidak 53 46,1 109 94,8 (0,000) (8,641 -52,268) Jumlah 115 100 115 100 3 Transfusi Darah  Ya 2 1,7 7 6,1 2,891 0,273  Tidak 113 98,3 108 93,9 (0,089) (0,055-1,344) Jumlah 115 100 115 100 Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1232
  • 46. ISBN 978-602-98295-0-1 3.6. Pemakaian Jarum Suntik Narkoba Ada hubungan pemakaian jarum suntik narkoba, dengan HIV/AIDS (P= 0,000). Sampel Pemakai Jarum suntik narkoba kemungkinan 21,252 kali lebih tinggi menderita HIV/AIDS dibandingkan dengan sampel yang tidak menggunakan Jarum suntik narkoba. Resiko penggunaan jarum suntik tidak steril/pemakaian bersama pengguna narkoba sekitar 0,5 – 1 % dan terdapat 5-10 % dari total kasus sedunia. Depkes RI (2010) melaporkan cara penularan HIV/AIDS melalui Pengguna Narkoba Suntik/Panasun (39,6%). Di negara - negara Amerika Latin dilaporkan 7.215 kasus AIDS melanda kaum muda berusia 20-49 tahun yang sebagian besar adalah kaum homoseksual dan pengguna obat-obat suntik (Wandoyo, 2007). Di beberapa negara sekitar 50 % lebih pengguna narkotik dengan jarum suntik hidup dengan HIV/AIDS. Sekitar 50-70 % pengguna narkotik suntik (penasun), telah terinfeksi HIV (Tanjung, 2004). Remaja memerlukan perhatian, bimbingan dan pembinaan terhadap seluruh aspek kehidupan mereka, baik secara bio, psiko, social, budaya, dan Spiritual. 3.7. Melalui Transfusi Barah Hasil Analisis Bivariat hubungan transfusi darah dengan HIV/AIDS diperoleh nilai p > 0,05 atau nilai p = (0,089), artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara transfusi darah dengan HIV/AIDS pada sampel. Hal ini kemungkinan karena penyediaan produk darah yang diberikan kepada sampel telah diperiksa oleh Palang Merah Indonesia, dan bebas HIV. Berdasarkan Hasil akhir Uji Multivariat, diperohasil bahwa ada 4 variabel faktor resiko yang dominan terhadap kejadian HIV/AIDS pada sampel di Kota Medan Yaitu : Pemakaian jarum suntik narkoba, hubungan sex bebas, pendidikan, dan pekerjaan. 3.8. Kesimpulan Faktor resiko yang berhubungan secara signifikan (CI:(95%) terhadap kejadia HIV/AIDS pada sampel di Kota Medan Adalah: Pemakai jarum suntik Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1233
  • 47. ISBN 978-602-98295-0-1 narkoba, Hubungan sex bebas, Kelompok umur 15 – 24 tahun, 25-34 tahun, 35- 44 tahun, jenis kelamin Laki-laki, sampel yang tidak Tidak bekerja mempunyai resiko lebih tinggi disbanding sampel yang bekerja, resiko pada sampel dengan pendidikan yang lebih rendah menjadi HIV/AIDS lebih tingggi dibanding dengan sampel berpendidikan tinggi. Faktor resiko yang dominan terhadap penularan HIV/AIDS di Kota Medan adalah: Pemakai jarum suntik narkoba, hubungan sex bebas, Pendidikan, dan Pekerjaan. DAFTAR PUSTAKA Depkes RI, Dirjen P2M dan PL:2009 Statistik Umum HIV/AIDS di Indonesia. http//www./LP3Y.org/Content/AIDS/Sti.html. Depkes RI, Dirjen P2M dan PL:2010. Kasus HIV/AIDS di Indonesia sampai September 2010. http//www.Puskom Depkes @mail.com. Duarsa, W . 2007. Infeksi Menular Seksual, Balai Penerbit Fk-Ui.Jakarta.Entjang, Indan., 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat, PT.Citra Adiya Bakti, Bandung.Hastono, S.P., 2001. Modul Analisis Data . Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Irianto, K. 2000. Gizi Dan Pola Hidup Sehat., Penerbit Yrama W idya. Jakarta. Muninjawa, G. 1999. Aids Di Indonesia Masalah Dan Kebijakan Penanggulangannya. Penerbit Buku Kedokteran Egc. Jakarta. Murti, B. 1997. Prinsip Dan Metode Riset Epidemiologi., Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Noor,N.N., 1997. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta Notoadmodjo, S., 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu Seni., Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Nursalam, M., 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi Hiv/Aids. Penerbit Salemba Medika. Jakarta. Sudigdo, S. 2002. Dasar-Dasar Metode Penelitian Klinis. Edisi Kedua. Jakarta. Wadoyo, G.2007. Awas Hiv-Aids. Penerbit Dinamika Media. Jakarta. Tanjung, M., 2004. Kenali Kejahatan Narkoba Hiv-Aids. Lembaga Terpadu Pemasyarakatan Anti Narkoba. Jakarta. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1234
  • 48. ISBN 978-602-98295-0-1 REFINERY PRODUCED WASTEWATER TREATMENT BY PVDF COMPOSITE HOLLOW FIBER ULTRAFILTRATION Erna Yuliwatia,b a Advanced Membrane Technology Research Centre Universiti Teknologi Malaysia b Universitas Bina Darma ABSTRACT The aim of this study is to investigate the effect of surface- modified of PVDF membranes by adding the hydrophilic additives for refinery produced wastewater treatment. This paper presents the results of a research on direct clean water treatment using hollow fiber ultrafiltration equipment. The source of water is the synthetic refinery wastewater with mixed liquor suspended solids (MLSS) concentration of 3 g/l. All experiments were conducted at 25 oC and using vacuum pump. The data were collected during a period of 72 h. The morphological and performance tests were conducted on PVDF ultrafiltration membranes prepared from different additives concentrations. The cross- sectional area of the hollow fiber membranes was observed using a field emission scanning electron microscope (FESEM). The surface wettability of porous membranes was determined by measurement of contact angle. Mean pore size and surface porosity were calculated based on the permeate flux. The results also indicated that the PVDF composite membranes with lower additives concentration loading possessed smaller mean pore size, more apertures inside the membranes with enhanced membrane hydrophilicity. The flux and rejection of refinery wastewater using PVDF composite membranes achieved were improved and the system is ready for field employment. INTRODUCTION Waterborne outbreaks of enteric diseases are a major public health concern, yet monitoring and identifying the disease-causing microorganism from water samples remain difficult. Produced water is by far the largest contaminated stream resulting from thermal heavy oil recovery operations and its treatment and reuse is essential for the sustainability of oil sands processing [1]. Organic contaminants in produced waters are toxic and corrosive leading to environmental and operational problems. From an environmental sustainability and perspective, it is necessary to recycle produced water and thus it must undergo proper treatment in order to avoid potentially negative impacts on drinking water supplies and aquatic Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1235