1. SATUAN ACARA PERKULIAHAN
Mata Kuliah : Pengantar Fiqh/Ushul Fiqh
Smt/Jur : II/SKI
Bobot : 2 SKS
Dosen : Ali Sodiqin, M.Ag.
Tujuan Perkuliahan:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi operasional tentang Fiqh dan Usul Fiqh
2. Mahasiswa mampu menguraikan tentang sumber-sumber hukum dalam Islam.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang tahapan-tahapan dalam pelaksanaan
ijtihad.
4. Mahasiswa mampu menganalisis pelaksanaan hukum-hukum dalam kehidupan
masyarakat.
Materi Perkuliahan:
1. Pengertian dan Objek Kajian Fiqh dan Ushul Fiqh
2. Sejarah dan Perkembangan Fiqh dan Usul Fiqh
3. Sumber Hukum dalam Islam
4. Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum
5. Hadis Sebagai Sumber Hukum
6. Ijtihad (Definisi, Macam-macam, dan implementasinya)
7. Ijmak dan Qiyas sebagai Metode Ijtihad
8. Hukum Syara’ (Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i)
9. Mazhab-mazhab dalam Fiqh
10. Hukum Islam di Indonesia
Strategi Pembelajaran:
1. Ceramah dan Diskusi
2. Penugasan Terstruktur
3. Observasi dan Praktek
Penilaian:
1. Keaktifan di Kelas : 20 %
2. Tugas-tugas/Paper : 30 %
3. Ujian Akhir Semester (UAS) : 50 %
Jumlah : 100 %
2. Kuliah Pertama
Pengertian dan Objek Kajian Fiqh dan Usul Fiqh
Fiqh adalah: - pengetahuan atau pemahaman (etimologi)
- ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang amali yang diambil
dari dalil-dalilnya yang rinci (terminology).
Unsur yang terkandung:
a. Hukum Syara’
b. Bersifat amaliyah (praktis)
c. penetapannya melalui dalil-dalil yang rinci.
Objek Kajian Fiqh:
1. Perbuatan Mukallaf yang berhubungan dengan Allah (ibadah)
2. Perbuatan Mukallaf yang berhubungan dengan sesamanya (muamalah)
Bidang muamalah kemudian mengalami perkembangan dan perluasan
wilayah kajian, sehingga muncul bidang bidang baru dalam fiqh seperti: Fiqh Ahwal
as-Syakhsiyah (Hukum Keluarga), Fiqh Muamalah (Hukum Transaksi), Fiqh
Mawaris, Fiqh Munakahat, Fiqh Jinayah (Hukum Kriminal), Fiqh Murafa’at
(Hukum Acara), Fiqh Siyasah (Politik) dan sebagainya.
Usul Fiqh adalah: - kaidah kaidah pemahaman (etimologi)
- Ilmu yang mempelajari dasar, kaidah, metode yang digunakan untuk
mengistimbatkan hukum syara’.
Unsur yang terkandung:
a. Dasar atau dalil
b. Metode istimbath hukum
c. Implementasi atau penggunaan metode.
Objek Kajian Usul Fiqh:
1. Sumber Hukum dalam Islam
2. Pembahasan Ijtihad dan Mujtahid
3. Hukum Syara’ (taklify dan wad’y)
4. Kaidah dan cara penggunaannya
5. Penyelesaian terhadap dalil-dalil yang bertentangan.
Hubungan Antara Fiqh dengan Usul Fiqh
- Usul Fiqh adalah metode yang digunakan untuk memahami ketentuan dalam sumber
hukum (Al-Qur’an dan Hadis) dan menyelesaikan masalah-masalah social
kemasyarakatan. Hasil dari proses istimbath tersebut dinamakan Fiqh.
- Usul Fiqh adalah pisau analisis masalah sedangkan Fiqh adalah produknya.
3. Kuliah Kedua
Sejarah Perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh
Fase Perkembangannya terbagi menjadi lima, yaitu:
1. Fase Pertumbuhan (610-632M)
• Dimulai sejak masa nabi yang terbagi dalam dua periode, yaitu periode Mekkah
dan periode Medinah.
• Pada periode Mekkah belum nampak embrio usul fiqh, karena ayat-ayat yang
turun berkisar masalah akidah, baru pada periode Medinah sudah mulai nampak,
karena ayat yang turun mengatur tentang hukum dan pranata social.
• Ciri yang nampak a.l.: Rasul memberi peluang sahabat untuk berijtihad ketika
menghadapi masalah, mengajarkan prinsip musyawarah (ijmak), muncul
pengunaan ra’y.
• Sumber hukum pada masa ini hanya wahyu , Rasul juga melakukan ijtihad
ketika muncul persoalan dan wahyu belum turun.
2. Fase Perkembangan (11H-akhir abad I H)
• Terjadi pada masa sahabat dan disebut juga dengan masa persiapan
pembentukan fiqh
• Muncul kreativitas dalam berijtihad, dimana penggunaan r’y lebih terarah.
Sahabat mulai mengimplementasikan metode isitimbath hukum, seperti Umar
menerapkan maslahah dalam kasus pencurian dan Ali menerapkan qiyas dalam
masalah hukuman bagi pelaku minuman keras.
• Muncul fatwa-fatwa bagi peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya. Para
sahabat menjadi pemegang otoritas fiqh di daerah masing-masing (Mekkah,
Medinah, Kufah, Basrah, Syam, dan Mesir)
• Sumber Hukum Islam: al-Qur’an, Sunnah, ijtihad sahabat.
3. Fase Formulasi dan Sistematisasi (abad I sampai abad IIH)
• Terjadi pada masa dinasti-dinasti Islam (Umayyah dan Abbasiyah)
• Muncul pusat-pusat intelektual, yaitu Hijaz (Mekkah dan Medinah), Iraq (Kufah
dan Basrah), dan Syria atau Syam.
• Muncul aliran Ahlul Hadis dan Ahl Ra’y
• Gerakan ijtihad sangat pesat, hal ini karena: wilayah Islam mulai meluas dimana
ajaran islam bertemu dengan adapt local masyarakat di luar Arab, Qur’an sudah
dikodifikasikan dan banyak fatwa sahabat yang dijadikan sebagai sandaran.
• Muncul Imam-imam Mazhab dalam fiqh dan karya-karya besarnya, Imam Abu
Hanifah menyusun kitab al-Fiqh al-Akbar (kitab Fiqh), Imam Malik menulis
kitab al-Muwatta’ (kitab Hadis dengan sistematika Fiqh), Imam Syafi’i menulis
ar-Risalah (usul fiqh) dan Kitab al-Umm (fiqh), Imam Ahmad Ibn Hanbal
menyusun Musnad Ahmad (kitab Hadis).
• Sumber Hukum Islam pada masa ini adalah: al-Qur’an, sunnah, ijmak, qiyas.
4. 4. Fase Kemunduran atau Stagnasi (Abad ketiga sampai akhir abad 19 M)
• Tidak ada ulama yang mampu menjadi mujtahid mutlak
• Mereka taqlid pada ulama mazhab sebelumnya
• Terjadi pergolakan politik, dimana umat Islam terpecah menjadi kerajaan-
kerajaan kecil, sehingga perhatian terhadap ilmu kurang.
• Muncul fanatisme mazhab, dimana usaha para ulama hanya memperkuat dasar-
dasar dan pendapat mazhab sebelumnya. Karya yang muncul berupa syarah da
mukhtasar.
5. Masa Kebangkitan (akhir abd ke 19 sampai sekarang)
• Berkaitan dengan kebangkitan di bidang politik, dimana umat Islam mulai
berusaha melepaskan diri dari olonialisme
• Muncul gerakan-gerakan pemabaruan dalam islm, seperti gerakan Wahabiyah di
Saudi Arabia
• Muncul tokoh-tokoh pembaharu seperti Jamaluddin al-Afghani di Mesir,
Muhammad bin Sanusi di Libia.
• Ulama mulai mempelajari karya ulama sebelumnya untuk dipilih mana yang
paling valid dan membandingkannya dengan hukum positif.
5. Kuliah Ketiga
Sumber Hukum dalam Islam
Pengertian Sumber dan dalil
• Sumber atau masadir adalah wadah yang darinya digali norma-norma hukum.
• Dalil adalah petunjuk yang membawa kita menemukan hukum tertentu.
• Sumber hukum dapat diklasifikasikan dengan:
1. Dalil munsyi’: atau dalil pokok yang keberadaannya tidak memerlukan
dalil lain. Termasuk dalam kategori ini adalah Al-Qur’an dan Hadis.
2. Dalil muzhir: yaitu dalil yang menyingkap, diakui keberadaannya karena
ada isyarat dari dalil munsyi’ tentang penggunaannya. Termasuk dalam
kelompok ini adalah metode-metode ijtihad seperti: ijmak, qiyas,
istihsan, istislah, istishab dan sebagainya.
Al-Qur’an sebagai sumber hukum
• Definisi: al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad
dalam bahasa Arab yang berisi khitab Allah dan berfungsi sebagai pedoman bagi
umat Islam.
• Fungsi: sebagai petunjuk bagi umat manusia, yang berupa:
(1) doktrin atau pengetahuan tentang struktur kenyataan dan posisi manusia di
dalamnya, seperti: petunjuk moral dan hukum yang menjadi dasar syari’at,
metafisika tentang Tuhan dan kosmologi alam, dan penjelasan tentang
sejarah dan eksistensi manusia.
(2) ringkasan sejarah manusia baik para raja, orang-orang suci, nabi, kaum dsb.
(3) mukjizat, yaitu kekuatan yang berbeda dengan apa yang dipelajari.
• Kandungan: (1) I’tiqadiyah (2) Khuluqiyah (3) Ahkam ‘amaliyah.
• Penjelasan al-Qur’an:
1. Ijmali (global): yaitu penjelasan yang masih memerlukan penjelasan
lebih lanjut dalam pelaksanaannya. Contoh: masalah shalat, zakat dan
kaifiyahnya.
2. Tafshili (rinci): yaitu keterangannya jelas dan sempurna, seperti masalah
akidah, hukum waris dan sebagainya.
• Kategori Ayat Hukum dan Ayat Non-hukum: berdasarkan kandungan ayat, jika
mengandung ketetapan hukum maka disebut dengan ayat hukum dan dapat
menjadi dalil fiqh.
• Dalalah atau petunjuk al-Qur’an dibagi dua:
1. Qat’y (definitive text): lafal yang mengandung pengertian tunggal dan
tidak bisa dipahami dengan makna lainnya. Lafal ini tidak membutuhkan
ijtihad dan takwil.
2. Zanny (speculative text): lafal yang mengandung pengertian lebih dari
satu dan memungkinkan untuk ditakwil, dan dapat menerima ijtihad.
6. Hadis sebagai sumber Hukum:
• Definisi: Hadis adalah penuturan sahabat tentang Rasulullah baik mengenai
perkataan, perbuatan, dan taqrirnya.
• Keshahihan Hadis: Hadis yang dapat digunakan sebagai sumber adalah hadis
yang sahih dan hasan. Hadis dha’if tidak dapat dipakai sebagai sumber hukum.
Sebagian ulama membolehkan menggunakan hadis dha’if sebagai dalil dengan
syarat:
1. Kedha’ifanya tidak terlalu lemah
2. Memiliki beberapa jalur sanad
3. Tidak mengatur masalah yang pokok, hanya sampai hukum sunnah atau
makruh.
• Penentuan kesahihan hadis dibuat oleh ulama sehingga terjadi perbedaan
pendapat.
• Fungsi Hadis terhadap al-Qur’an: (1) Bayan tafsir (2) Bayan ta’kid, dan (3)
Bayan tasyri’.
• Ulama cenderung menganggap al-Qur’an sebagai satu kesatuan dan hadis
sebagai satu kesatuan. Ayat mana saja boleh ditafsir dengan hadis mana saja
tanpa memperhatikan unsure waktu dan keterkaitan antara keduanya. Disamping
itu terdapat ulama yang memandang kedudukan hadis lebih rendah dari al-
Qur’an.
• Hadis Ahkam, yaitu hadis-hadis yang disusun dengan menggunakan
sistematika fiqh. Contohnya:
- Subulus Salam karangan as-Shan’ani
- Naylul Authar karangan as-Syaukani
- Lu’lu’ wal marjan karangan Fuad Abdul Baqi
- Koleksi Hadis Hukum karangan Hasbi as-Shiddieqy.
7. Kuliah Keempat
Ijtihad dan Mujtahid
Ijtihad
• Ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan untuk menemukan hukum syara’
melalui dalil-dalil yang rinci dengan metode tertentu.
• Fungsi ijtihad adalah: mengistimbathkan (mencari, menggali, dan menemukan)
hukum syara’.
• Dasar Hukum Ijtihad: 1. Al-Qur’an (an-Nisa: 59) 2. Hadis Muadz bin Jabal 3.
Logika (jumlah ayat dan hadis terbatas sedang masaah-masalah baru muncul)
• Kedudukan ijtihad: sebagai sumber hukum yang ketiga
• Ruang lingkup ijtihad:
1. Peristiwa yang ketetapan hukumnya masih zanny (reformulasi)
2. Peristiwa yang belum ada nashnya sama sekali (formulasi)
Macam-Macam Ijtihad:
• Dari segi pelaku: a. Ijtihad fardi b. Ijtihad jamai
• Dari segi pelaksanaan:
1. Ijtihad Intiqai: yaitu ijtihad untuk memilih salah satu pendapat terkuat diantara
beberapa pendapat yang ada. Bentuknya adalah studi komparatif dengan
meneliti dalil-dalil yang dijadikan sebagai rujukan. Disebut juga ijtihad selektif.
2. Ijtihad Insyai: yaitu mengambi konklusi hukum baru terhadap suatu
permasalahan yang belum ada ketetapan hukumnya. Disebut juga ijtihad kreatif.
Mujtahid
• Syarat Mujtahid:
1. Umum: Islam, balligh dan berakal
2. Pokok: mengetahui al-Qur’an, sunnah, maqasid syar’iyah dan qawaid al-
fiqhiyah
3. Penting: menguasai bahasa Arab, ushul fiqh dan logika, mengetahui
khilafiyah dan masalah-masalah yang sudah diijmakkan.
• Tingkatan Ijtihad:
1. Mujtahid Mutlak: yaitu mujtahid yang mampu mengistimbathkan hukum
dengan menggunakan metode yang disusun sendiri. Contohnya adalah
para Imam mazhab.
2. Mujtahd Muntasib: mengistimbatkan hukum dengan mengikuti metode
imamnya tetapi tidak bertaklid. Contoh Abu Yusuf (muridnya Hanafi),
Al-Muzani (Syafi’i), Ibnu Abdil Hakam (Maliki), dan Abu Hamid
(Hanbali).
3. Mujtahid Mazhab: yaitu mujtahid yang mengikuti imamnya baik dalam
usul maupun furu’.
4. Mujtahid Murajjih: yaitu mujtahid yang membandingkan beberapa
pendapat imam dan memilih salah satu yang dipandang kuat.
8. Kuliah Kelima
Ijmak dan Qiyas sebagai Metode Ijtihad
Ijmak
• Pengertian Ijmak:
1. Imam Ghazali: Kesepakatan umat Muhamad terhadap suatu masalah
2. Jumhur: Kesepakatan mujtahid pada suatu masa terhadap suatu hukum
syara’ setelah wafatnya Rasulullah.
• Secara Historis :
1. Ijmak merupakan suatu proses alamiah bagi penyelesaian persoalan
melalui pembentukan pendapat mayoritas ummat secara bertahap.
2. Ijmak bermula dari pendapat pribadi dan berpuncak pada peneriamaan
universal oleh ummat dalam jangka panjang.
3. Ijmak adalah aktifitas informal murni dari para ulama dalam kedudukan
pribadi mereka tanpa ada organisasi yang pasti dan prosedur yang
spesifik.
• Dalil Ijmak: An-Nisa’ 59, 115, dan al-Maidah 103
• Fungsi Ijmak:
1. Mengeliminir kesalahan-kesalahan dalam berijtihad
2. Menyatukan pendapat-pendapat yang berbeda
3. Menjamin penafsiran yang tepat atas Qur’an dan keotentikan hadis
• Rukun Ijmak:
1. Mujtahid: seluruh mujtahid hadir dan seluruh yang hadir menyetujui
2. Kesepakatan: dilakukan secara tegas dan bulat
• Macam Ijmak: sharih (kesepakatannya tegas) dan sukuti (kesepakatannya tidak
tegas).
• Pendapat Ulama tentang Ijmak:
1. Syafi’I, Hambali, Zahiri: Ijmak hanya terjadi pada masa sahabat
2. Malik: praktek orang Madinah dianggap Ijmak
3. Syiah: Ijmak adalah kesepakatan para anggota keluarga Rasul
4. Abduh: Ijmak adalah mufakat orang yang berwenang (ulul amri), dan
dapat dibatalkan oleh generasi berikutnya. Tidak ada ketentuan teknis
tentang ijmak dalam al-Qur’an.
5. Iqbal: Bentuk ijmak yang mungkin adalah pengalihan kekuasaan ijtihad
kepada lembaga legislative.
Qiyas (Analogical Reasoning):
• Definisi: Qiyas adalah menganalogikan suatu masalah yang belum ada ketetapan
hukumnya (nash/dalil) dengan masalah yang sudah ada ketetapan hukumnya
karena adanya persamaan illat.
• Historis:
1. Ijmak merupakan sistematisasi ra’y (pendapat pribadi)
2. Bentuknya tidak kaku dan formal, tanpa batasan yang spesifik
9. • Sikap ulama: menerima (jumhur), dan menolak (Zahiri).
• Rukun dan Syarat Qiyas:
1. Ashl (Maqis alaih): masalah yang sudah ada hukumnya, baik dari al-
Qur’an maupun hadis.
2. Furu’ (maqis): masalah yang sedang dicari hukumnya.
3. Hukum Ashl: hukum yang sudah ditetapkan oleh nash
4. Illat: sifat yang terdapat dalam ashl, dengan syarat: sifatnya nyata dan
dapat dicapai dengan indera, konkrit tidak berubah, dan sesuai dengan
tujuan yang hendak dicapai.
• Pembagian Qiyas:
1. Qiyas Aulawi: jika hukum pada furu’ lebih kuat daripada ahl (seperti
mengqiyaskan memukul dengan kata “ah”).
2. Qiyas Musawi: Jika hukum pada furu’ sama kuatnya dengan hukum pada
ashl (seperti memakan harta anak yatim dengan membakarnya).
3. Qiyas Adna: yaitu hukum pada furu’ lebih lemah daripada ashl (seperti
mengqiyaskan apel dengan gandum).
• Kejelasan Illat:
1. Qiyas Jaly: Qiyas yang illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan dengan
hukum ashl (seperti memukul orang tua)
2. Qiyas Khafy: Qiyas yang illatya tidak disebut dalam nash.
10. Kuliah Keenam
Hukum Syara’
A. Pengertian
Hukum syara’ adalah: khitab Allah yang berkaitan dengan perbuatan
mukallaf baik berupa tuntutan (iqtidha’), pilihan (takhyir), atau penetapan
(wadha’an).
B. Pembagian
• Hukum Syara’ terbagi menjadi dua, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
• Hukum Taklifi yaitu: tuntutan Allah yang berkaitan dengan perintah untuk
berbuat atau untuk tidak berbuat atau memilih diantara keduanya.
• Menurut jumhur ulama Hukum taklifi terbagi menjadi lima:
1. Ijab: tuntutan secara pasti untuk dilaksanakan, tidak boleh ditinggalkan,
dan ada hukuman bagi yang melanggarnya. Akibat perbuatannya adalah
wujub, perbuatan yang dituntut namanya wajib. Contoh: kewajiban
shalat.
2. Nadb: tuntutan untuk melaksanakan perbuatan tapi tidak secara pasti.
Perbuatan yang dituntut namanya mandub, akibat perbuatannya disebut
nadb. Contoh anjuran mencatat transaksi.
3. Ibahah: khitab Allah yang mengandung pilihan antara berbuat atau tidak
berbuat. Akibat dari tuntutannya disebut ibahah, perbuatannya namanya
mubah. Contoh mencari rizki setelah shalat jum’at.
4. Karahah: tuntutan untuk meninggalkan tapi redaksinya tidak pasti.
Akibat perbuatannya namanya karahah, perbuatannya disebut makruh.
Contoh: menanyakan sesuatu yang menyulitkan.
5. Tahrim: tuntutan secara pasti untuk tidak melaksanakan perbuatan.
Akibat dari tuntutan disebut hurmah, perbuatannya dinamakan haram.
Contoh: larangan membunuh.
• Menurut Hanafiyah, hukum taklifi dibagi menjadi tujuh:
1. Iftiradh: tuntutan pasti untuk dilaksanakan berdasarkan dalil qat’y.
Contoh: kewajiban shalat (fardu)
2. Ijab: tuntutan pasti untuk dilaksanakan berdasarkan dalil zanny. Contoh:
membaca fatihah dalam shalat.
3. Nadb: sama dengan jumhur
4. Ibahah: sama dengan jumhur.
5. Karahah Tanzihiyah: tuntutan untuk meninggalkan tetapi tidak pasti
(sama dengan karahah versi jumhur).
6. Karahah Tahrimiyah: tuntutan pasti untuk meninggalkan berdasarkan
dalil zanny. Contoh: jual beli waktu shalat jum’at.
7. Tahrim: tuntutan pasti untuk meninggalkan berdasarkan dalil qat’y.
11. • Hukum Wadh’i: hukum tentang pengkondisian sesuatu.
• Hukum wadh’I dibagi menjadi 7 kategori:
1. Sabab: sifat nyata yang dijelaskan oleh nash bahwa keberadaannya
menjadi hukum syara’. Keberadaan sabab menjadi pertanda ada atau
tidaknya hukum. Contoh: tergelincirnya matahari menjadi sebab
masuknya waktu zuhur.
2. Syarat: sesuatu yang berada di luar hukum syara’ tetapi keberadaan
hukum syara’ tergantung padanya. Syarat tidak ada maka hukum pun
tidak ada, tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum.
Contoh: wudhu adalah syarat sahnya salat.
3. Mani’: sifat nyata yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya
hukum. Contoh: haidl menjadi mani’ bagi shalat.
4. Shihah: suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’ (sabab, syarat,
dan tidak ada mani’).
5. Bathil: terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan.
6. Azimah: hukum yang ditetapkan Allah kepada seluruh hambaNya sejak
semula
7. Rukhsah: hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil karena adanya
uzur.
• Perbedaan antara hukum taklify dan hukum wad’y:
1. Hukum taklify berisi tuntutan untuk melaksanakan/meninggalkan dan
memilih. Hukum wad’y mengandung keterkaitan antara dua persoalan.
2. Hukum taklify merupakan tuntutan langsung kepada mukallaf , hukum
wad’y merupakan wahana untuk dapat dilaksanakannya hukum taklify.
12. Kuliah Ketujuh
Mazhab dalam Fiqh
Pengertian:
• Mazhab adalah kelompok atau faham dalam fiqh yang berhubungan dengan
penafsiran dan pelaksanaan hukum Islam.
• Bermazhab berarti mengikuti hasil pemikiran seseorang atau sekelompok orang
dalam hubungannya dengan pelaksanaan hukum Islam.
• Mazhab bermula dari pendapat individu (seorang ulama) yang kemudian diikuti
oleh banyak orang dan berakumulasi menjadi keyakinan kelompok.
• Hukum bermazhab adalah mubah.
• Bermazhab ada dua:
1. Bermazhab fil aqwal: yaitu mengikuti segala pendapat dari seorang
ulama. Kategori ini sama dengan taqlid.
2. Bermazhab fil manhaj: yaitu mengikuti seorang ulama dalam hal metode
ijtihadnya, bukan sekedar mengikuti pendapat saja. Kategori ini sama
artinya dengan ittiba’.
Sejarah Mazhab:
• Pada masa sahabat telah terbentuk pusat-pusat intelektual, seperti: Hijaz, Iraq,
dan Syria. Disetiap kota tersebut terdapat sahabat yang menjadi pemuka dan
diikuti pendapatnya.
• Di Hijaz terdapat Umar, Aisyah, Ibn Umar, dan Ibnu Abbas. Di Iraq terdapat:
Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud. Di Syria terdapat Umar bin Abdul
Aziz.
• Pendapat para sahabat tersebut kemudian diikuti oleh para tabi’in di kota-kota
tersebut, sehingga muncullah cirri-ciri khusus di setiap kota. Hal ini melahirkan
munculnya Madrasah Ahl hadis dan Madrasah Ahl Ra’y.
Perkembangan Mazhab:
• Mazhab yang pertama muncul (abad ke 2 H) adalah mazhab local, yaitu:
1. Mazhab Hijazi, yang meliputi kota Mekkah dan Medinah.
2. Mazhab Iraqi, yang meliputi kota Kufah dan Basrah.
3. Mazhab Syam, yaitu terdapat di Syria.
• Mazhab local ini memiliki cirri:
1. Unsur local sangat mempengaruhi dalam setiap fatwa yang muncul
2. Munculnya kebebasan pendapat dalam fiqh.
3. Sunnah diartikan dengan adapt istiadat masyarakat, sedangkan ijmak
merupakan kesepakatan ulama setempat.
13. • Mazhab yang kedua (muncul pada abad ke 3 H) adalah mazhab individu.
Mazhab ini mendasarkan ajarannya pada pendapat perorangan. Mazhab tersebut
adalah:
1. Mazhab Hanafi (w. 150H/767M) berkembang di Turki dan Pakistan.
2. Mazhab Maliki (w. 179H/795M) berkembang di Afrika Utara
3. Mazhab Syafi’I (w. 204H/819M) berkembang di Asia Tenggara
4. Mazhab Hambali (w. 241H/855M) berkembang di Saudi Arabia.
• Dasar pelaksanaan mazhab ini adalah ketaatan kepada imam.
14. Kuliah Kedelapan
Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum yang berlaku di Indonesia
• Sistem Hukum Adat, yang merupakan hukum asli atau hukum adat masyarakat
Indonesia. Contohnya seperti Hukum Pertanahan.
• Sistem Hukum Islam, yaitu hukum yang berasal dari ajaran Islam. Contohnya
seperti Hukum Keluarga yang meliputi hukum nikah, waris, wasiat, hibah dan
wakaf.
• Sistem Hukum Barat, yaitu hukum yang berasal dari warisan kolonial Belanda
dan kemudian diteruskan dan dipakai di Indonesia. Contohnya seperti Hukum
Pidana yang berasal dari WvS (Weetboek van Strafrecht).
Keberadaan Hukum Islam di Indonesia:
• Mulai berlaku sejak Islam dating dan dipeluk oleh masyarakat Indonesia. Islam
masuk ke Indonesia pada Abad VII-VIII M atau Abad XII-XIII M.
• Pada Masa Kolonial Pemberlakuan Hukum Islam mengalami periode:
1. Receptio in Complexu, artinya hukum Islam berlaku sepenuhnya bagi
umat Islam. Tokoh yang berpendapat adalah: Christian van Den Berg.
2. Receptie, artinya hukum Islam baru diberlakukan jika sesuai dengan
hukum adat. Tokohnya: C. Snouck Hurgronje.
• Pemerintah Belanda mengakui keberadaan hukum Islam dengan cara
membentuk Priesterrad (1882) atau disebut dengan pengadilan agama.
• Pengadian ini dipimpin oleh penghulu, dibantu oleh ulama sebagai anggota.
• Kompetensinya meliputi segala perkara yang terjadi diantara umat Islam, tetapi
pada tanggal 1 April 1937 dikurangi kewenangannya khususnya dalam masalah
waris dan wakaf. Sehingga pengadilan ini hanya mengurusi masalah nikah dan
cerai saja.
• Pada masa kemerdekaan:
1. Diakui sebagai sumber hukum perundang-undangan di Indonesia dengan
dasar: Pancasila (sila I), UUD 1945 (pasal 29), GBHN.
2. Dibentuk Departemen Agama pada tanggal 3 januari 1946
3. Dipositifkan dalam hukum tertulis seperti:
a. UU No. 1 tahun 1974, tentang Undang-Undang Perkawinan.
b. PP No. 28 tahun 1977, tentang Hukum Perwakafan.
c. UU No. 7 tahun 1989, tentang Peradilan Agama.
d. Inpres No. 1 tahun 1991, tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
e. UU No. 7 tahun 1992, tentang Hukum Perbankan, dimana di dalamnya
diakui keberadaan Bank Muamalat.