Kritisi Kebijakan PIJAR (Sapi, Jagung, Rumput Laut) di Provinsi NTB
1. KONSULTAN PERIKANAN
BUDIDAYA, PENANGANAN PASCA PANEN & PENGOLAHAN
FUAD ANDHIKA RAHMAN, S.Pi, M.Sc
Riwayat Pendidikan
1. SDN 8 Mataram (1988 - 1994)
2. SMPN 1 Mataram (1994 – 1997)
3. SMAN 1 Mataram (1997 – 2000)
4. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya (2000 – 2005)
5. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (2007 – 2009)
Riwayat Magang dan Pelatihan
1. Magang Pembenihan Kerapu Tikus : Balai Budidaya Air Payau Situbondo (Agustus 2001)
2. Magang Pengalengan Ikan : PT Blambangan Muncar Banyuwangi (Februari – Maret 2002)
3. Magang Pembenihan Udang Windu : Balai Budidaya Air Payau Jepara (Juli – Agustus 2002)
4. Magang Pembenihan Udang Galah : Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi (15 Juli – 04 Agustus 2003)
5. International Symposium On Ecology And Health Safety Aspects Of Genetically Modified Agricultural Products (Brawijaya University,
Malang 20 May 2002)
6. Pelatihan Pengukuran Kualitas Air (Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya 11 – 12 Mei 2002)
7. Pelatihan Best Management Practices Budidaya Udang Vanamei (BBAP Situbondo, 4 – 9 Juni 2007)
Riwayat Organisasi
1. Presiden Junior Achievement International (JAI) Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Periode 2003 – 2004
2. KaDiv Litbang Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Periode 2003 - 2004
3. Ketua Forum Pemberdayaan Mahasiswa dan Masyarakat Perikanan (FPMMP) Periode 2004 – 2005
4. Koordinator Asisten Laboratorium Budidaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Periode 2004 - 2005
Riwayat Publikasi dan Karya Tulis
1. Gynogenesis, Menciptakan Koi Seperti Indukan (Tabloid IndoFish Edisi 15/Oktober 2004)
2. Mengantisipasi Saat Virus Mewabah (Tabloid IndoFish Edisi18/Januari 2005)
3. Skripsi : Pengaruh Umur Bibit dan Frekuensi Perendaman ZPT Agrogibb Yang Berbeda Terhadap Laju
Pertumbuhan Rumput Laut Eucheuma cottonii Dengan Menggunakan Metode Rakit Apung (2005)
4. Tesis : Perancangan Klaster Aquabisnis Rumput Laut Eucheuma cottonii di Kabupaten Lombok Timur (2009)
Head Office : Perumahan Puncang Hijau Blok R-06 Kecamatan Gunung Sari Kabupaten Lombok Barat NTB
Telp. (0370) 634234 – HP. 08175774979
Email : zahraainoorrahman@yahoo.co.uk
Instansi : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB – Jl. Udayana No. 3 Mataram
2. RUMPUT LAUT : MENGEJAR KETERTINGGALAN
(Fuad Andhika Rahman, S.Pi, M.Sc)*
Mukadimah
Sebagai daerah dengan 59,13% total wilayah berupa perairan, Provinsi NTB memiliki potensi
pengembangan rumput laut yang sangat tinggi. Pengembangan rumput laut dilakukan dengan
pertimbangan : periode budidaya singkat (30 – 60 hari), transfer teknologi mudah, serta mampu
melibatkan partisipasi aktif perempuan secara massal. Selain dipengaruhi oleh kenyataan bahwa
komoditas ini belum memiliki kuota, baik di pasar domestik maupun internasional.
Dengan prospek yang dimiliki, idealnya pengembangan rumput laut berdampak signifikan
terhadap peningkatan kesejahteraan petani. Namun kondisi yang terjadi justru bertolak belakang.
Munculnya kontradiksi, tidak terlepas dari miss orientasi pengembangan, dimana masih terkonsentrasi
pada industri hulu, dengan target utama trading rumput laut kering asalan. Belum mengerucut pada
paradigma bagaimana menjadikan industri hilir (olahan rumput laut) sebagai tulang punggung
penggerak ekonomi daerah, dengan industri hulu (budidaya) lebih ditempatkan sebagai industri
komponen penunjang.
Dalam konteks gerakan PIJAR (Sapi, Jagung dan Rumput Laut) yang mulai didengungkan sebagai
3 komoditas andalan daerah, dirasa penting untuk melakukan telaah, terutama dari segi konsepsi.
Mengingat rumput laut (terutama genus Eucheuma), ikut termaktub dalam Rencana Strategis (Renstra)
Departemen Kelautan dan Perikanan 2005- 2009, dalam bentuk program klaster aquabisnis rumput laut.
Indonesia : Masih Bahan Mentah
Kondisi industri hilir rumput laut di Indonesia saat ini tergolong minim dan penyebarannya masih
terkonsentrasi di beberapa kota besar seperti Surabaya, Ujung Pandang, Makassar dan Jakarta.
Minimnya industri hilir dalam negeri, secara kalkulasi merugikan, terutama bagi industri hulu yang
mayoritas berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Akselerasi industri hulu yang tinggi tidak diimbangi
dengan pengembangan industri hilir, sehingga secara simultan mendorong orientasi pemasaran
(domestik/ekspor) dalam bentuk bahan mentah.
Berkaca pada Filipina selaku pengimpor tetap rumput laut kering Indonesia, mampu
menghasilkan devisa hingga 6x lipat lebih tinggi, hanya melalui pengembangan Semi Refined
Carrageenan (SRC). Mayoritas dijual ke Cina untuk kemudian diolah lebih lanjut. Ironisnya, produk-
produk hilir asal Cina mengalami re-ekspor dan diperdagangkan secara bebas di Indonesia dalam bentuk
jelly, permen, soft capsule vitamin/obat, kosmetik, pasta gigi, media kultur bakteri hingga cat tembok.
Secara neraca terjadi negative feedback mechanism : terjebak dalam politik perdagangan global, terkait
kondisi Indonesia sebagai segmen pasar prospektif bagi serbuan produk hilir, yang bahan bakunya justru
kita produksi sendiri.
Industri Hilir : Menarik Bukan Mendorong
Kondisi nasional merupakan representasi dari kondisi di daerah. Dalam konteks otonomi, kondisi
NTB sebagai daerah berbasis bahan mentah menyebabkan potensial loss PAD hingga > 400%. Nilai
tambah sebesar itu justru dinikmati oleh daerah lain, yang secara pro aktif mengembangkan iklim
investasi yang kondusif bagi perkembangan industri hilir rumput laut.
Kondisi tersebut jika dibiarkan berlarut tentunya menghilangkan peluang stokeholders terkait,
terutama petani, untuk menikmati nilai tambah. Sebagai ilustrasi (sebagaimana dilansir Jasuda.net) :
harga rumput laut Eucheuma cottonii ditingkat petani berkisar antara Rp. 4.500 – 6.000/kg atau antara
US$ 0.4 - 0.5/kg. Sementara harga international produk olahan rumput laut yakni SRC (Semi Refine
Carrrageenan) dan RC (Refined Carrageenan) berturut-turut sebesar US$ 12,12/kg dan US$ 16,52/kg.
Jika mengacu pada asumsi perhitungan biaya pemrosesan RC (oleh Dr. Iain C. Neish dalam Seaplant
Technical Monograph No. 0105-4B), maka harga beli rumput laut Eucheuma cottonii kering dari petani
idealnya sebesar : US$ 7,4 – 9,1/kg. Kesenjangan harga yang sangat fantastis….
Terkait Gerakan PIJAR, tantangan terbesar saat ini terletak pada platform pengembangan.
Orientasi pengembangan pada industri hulu semata, sejatinya tidak terlalu tepat, mengingat sektor ini
sudah hampir khatam baik dari segi produksi maupun penguasaan teknologi. Pun tidak terlihat urgensi
dari ekstensifikasi lahan. Jumlah lahan yang tergarap saat ini, sudah lebih dari cukup guna menyokong
pengembangan industri hilir skala besar di Provinsi NTB. Industri hulu hanya tinggal masalah set-up,
3. sesuai kapasitas produksi yang diinginkan. Dalam catatan saya, kapasitas terbesar pabrik rumput laut di
Indonesia saat ini, sekitar 500 kg rumput laut kering/hari ; sangat mudah untuk disuplai dari industri
hulu selevel Kecamatan Sekotong.
Yang minim mendapat perhatian justru pengembangan industri hilir, terutama industri hilir
skala besar. Pengembangan industri skala rumah tangga, selama ini kerap terbentur pada kapasitas
penyerapan bahan baku maupun output produk yang tidak kontinyu, baik jumlah maupun mutu.
Berkembangnya industri hilir, akan menimbulkan multiple effect ; mendongkrak harga beli bahan baku
dari petani sehingga meningkatkan animo masyarakat pesisir untuk melakukan budidaya. Artinya,
terjadi reposisi peran penyuluh yang selama ini terkesan mati suri. Inilah yang disebut sebagai konsepsi
“menarik”, bukan “mendorong”. Petani dengan sendirinya akan mendatangi penyuluh, karena melihat
ada unsur benefit didalamnya…..
Klaster Aquabisnis : Solusi Penuh Tantangan
Konsep clustering, awalnya diterapkan pada sektor Perkebunan (komoditas kopi dan kakao).
Implementasinya sejauh ini masih menyisakan permasalahan seputar base product oriented maupun
ketimpangan kesejahteraan yang terlampau tinggi antara industri hulu dan hilir. Hal tersebut dapat
dimaklumi, mengingat risk sharing modal masih sepenuhnya menjadi beban industri hilir, yang
didominasi swasta dengan bentuk badan hukum PT, CV maupun Firma.
Klaster aquabisnis, berupaya mengeliminir kelemahan tersebut dengan penekanan pada 2 (dua)
aspek : menggunakan pendekatan kawasan dan reposisi kelembagaan (Koperasi). Pendekatan kawasan
diartikan sebagai pembangunan industri hulu – hilir pada satu daerah secara terintegrasi. Sementara
Koperasi lebih dititikberatkan sebagai bentuk hukum industri hulu dan hilir, dengan risk sharing terbatas
serta mensupport adanya feedback secara materi, sesuai prosentase proporsional kepemilikan saham.
Adapun beberapa hal mendasar yang patut dipertimbangkan dalam implementasi clustering di Provinsi
NTB kedepan, diantaranya :
a. Dukungan Pendanaan
Sewaktu memaparkan konsep ini, muncul wacana untuk meng-UPT-kan industri hilir rumput
laut, mengingat Koperasi yang ada saat ini, belum sepenuhnya mampu melakukan manajemen pabrikasi
secara professional. Secara bertahap, dilakukan proses peralihan (gradual hand over) kepada Koperasi,
melalui mekanisme privatisasi. Singkatnya, pembangunan UPT (Unit Pelaksana Teknis) sebagai Satuan
Kerja (Satker) Diskanlut, yang secara khusus menangani pengolahan rumput laut menjadi produk
SRC/RC.
Terlepas dari perdebatan apakah Pemda juga mampu professional dalam manajemen pabrikasi,
political will yang kuat dari pemangku kebijakan merupakan faktor kunci. Mengingat investasi awal
clustering 4,09% dari potensi lahan di Kabupaten Lombok Timur, lengkap dengan 1 (satu) industri RC,
membutuhkan dana ± 12,5 M. Khusus untuk industri RC, Pay Back Period positif terjadi pada tahun ke-5.
Artinya, alokasi dana APBD/APBN yang tinggi untuk sebuah UPT yang baru bisa dikenai target PAD 5
tahun kemudian!!
b. Peraturan Daerah (Perda)
Berbicara mengenai Koperasi pada dasarnya berbicara mengenai pengembangan jangka
panjang, yang kerapkali terdeviasi dalam pola pengembangan instan. Produk Perda bertujuan untuk
menciptakan iklim usaha pro Koperasi yang kondusif ; payung hukum dalam derivatisasi penjabaran
teknis.
Dalam catatan saya, terdapat beberapa point pokok yang membutuhkan regulasi secara
definitif diantaranya :
- Pewajiban Koperasi sebagai bentuk badan hukum dalam investasi rumput laut. Include
didalamnya mengenai peran industri hilir (Koperasi Sekunder) sebagai avalis/penjamin modal
dari lembaga perbankan/non perbankan kepada industri hulu (Koperasi Primer), persentase
minimal dalam recruitment tenaga lokal hingga persentase proporsional kepemilikan saham
industri hulu (Koperasi Primer) sebagaimana diatur dalam PP 33/1998.
- Hubungan tripartit antara Pemda, Koperasi dan Perguruan Tinggi/Business Development Centre.
Didalamnya mengatur mengenai komponen pengurang pajak, ppH khusus bagi Koperasi, hingga
kontribusi silang ketiga komponen tersebut
4. - Standar harga bahan baku dan standar mutu. Hal ini dilatarbelakangi mekanisme penentuan
harga bahan mentah rumput laut yang kurang transparan, terutama di tingkat pedagang
pengumpul/pedagang besar, selaku agen exportir Bali/Surabaya. Didalamnya meliputi revisi
terhadap SNI Rumput Laut Kering Tahun 1992 serta mekanisme pemantauan harga nasional.
Khusus point terakhir, dapat dilakukan sendiri oleh Pemda, dengan memanfaatkan networking
terminal informasi yang dikembangkan oleh Jasuda (akses http://www.jasuda.net). Di Provinsi
NTB, saat ini baru memiliki 1 (satu) terminal informasi berlokasi di Desa Kertasari, Kabupaten
Sumbawa Barat.
- Regulasi-regulasi tambahan seperti dana bergulir (KUR), penggratisan perijinan Koperasi, hingga
insentif-insentif khusus.
c. Dukungan Sarana Laboratorium Mutu Hasil Perikanan
Industri SRC/RC diprediksi akan terbentur pada aspek mutu, terutama Gel Strength (GS) sebagai
parameter utama dalam penentuan harga. Pertanyaannya : bagaimana mekanisme legalisasi mutu
SRC/RC yang berlangsung selama ini?
Belum dilengkapinya Laboratorium Mutu Hasil Perikanan dengan alat pengukur Gel Strength
(GS), menyebabkan penentuan mutu produk rumput laut kering maupun SRC/RC, sejauh ini bersifat
monopolistik. Di Indonesia, alat pengukur GS (Texture Analyzer), hanya dimiliki oleh beberapa industri
besar, Perguruan Tinggi serta 4 lembaga penelitian yang terpusat di Jawa. Harga alatnya relatif mahal
(200 - 500 juta), dengan biaya pengujian berkisar antara Rp.60.000 – 100.000 per sampel.
Kondisi ini kerapkali memunculkan potensi kecurangan, terutama akibat prosedur pengujian
yang tidak standar (E 407/E 407a) maupun belum jelasnya status akreditasi peralatan yang dimiliki oleh
industri besar. Kedepan diperlukan reposisi peran Laboratorium Mutu Hasil Perikanan sebagai second
opinion yang diharapkan mampu meningkatkan nilai tawar produk.
d. Pembinaan Koperasi
Industri hilir berada selangkah lebih maju ; akibat trial error maupun interaksi langsung dengan
perubahan keinginan pasar. Tanpa bermaksud meremehkan, sudah waktunya birokrasi mengintrospeksi
diri dalam menyikapi kondisi SDM Penyuluh yang kerapkali kurang up to date dengan perkembangan
industri terkini. Training of Trainee (pelatihan penyuluh) selama ini dikonsep dan dikerjakan sendiri,
jarang melibatkan pihak-pihak berkompeten khususnya dari kalangan pengusaha maupun NGO. Hal ini
menyebabkan missing link fungsi penyuluh, guna menjembatani kebutuhan yang berbeda antara
industri hulu dan hilir.
Contoh sederhana : kadar Salt and Sand (SS) serta Sand Determination (SD) maksimal yang
dipersyaratkan, berturut-turut sebesar 28% dan 5%. Patut dipertanyakan, apa dampak yang terjadi pada
industri hilir seandainya kadar SS dan SD lebih tinggi? Penambahan biaya sortasi, kalkulasi rasio berat
bersih ataukah penurunan mutu produk SRC/RC?
Pun terkait umur panen, dengan syarat 45-60 hari. Namun pada kenyataannya umur panen 30
hari masih laris manis di pasaran. Ada beberapa “trik” yang menyebabkan produk SRC/RC dari rumput
laut 30 hari, hingga memiliki kualifikasi mutu yang serupa dengan SRC/RC dari rumput laut 45-60 hari.
Perlu penjelasan yang fair dari pengusaha.
Belum lagi munculnya istilah KUD (Ketua Untung Duluan), menunjukkan kelemahan pembinaan
manajemen usaha Koperasi selama ini……
Idealnya, Pemda lebih banyak berperan dalam hal networking pasar maupun koordinasi.
Langkah konkrit berupa pembentukan Koperasi Gabungan di Tingkat Provinsi sebagai media pemasaran
bersama maupun akses e-bay dengan processor/solution provider/industri hilir pengguna domestik.
Koordinasi vertikal sebagaimana diatur dalam PP 38/2007, menitikberatkan tugas pembinaan pada
Kabupaten/Kota dari sumber pendanaan APBD. Koordinasi horizontal mencakup kolaborasi SKPD yang
berkepentingan terutama Diskanlut dan Dinas Koperasi dalam melakukan terobosan pengembangan.
e. Awig Awig (Local Ordinance)
“Kita yang menanam rumput laut tapi belum tentu kita yang memanen”. Anekdot semacam itu,
perlu disikapi melalui awig-awig sebagai instrumen pengontrol, mengingat potensi konflik horizontal
yang tinggi terutama pada era otonomi daerah seperti sekarang. Dari segi definisi, awig-awig
merupakan aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan masyarakat untuk mengatur masalah tertentu
5. yang bertujuan untuk memelihara ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam
awig-awig ditentukan apa saja perbuatan yang boleh dan yang dilarang, sanksi yang berlaku, serta
orang atau lembaga yang diberikan wewenang oleh masyarakat untuk menjatuhkan sanksi.
Awig-awig sebagai bagian hukum adat yang tumbuh di tengah masyarakat (living law),
mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menjamin keberhasilan implementasi klaster aquabisnis
kedepan. Hal ini disebabkan karena dasar lahirnya aturan tersebut adalah kehendak dari masyarakat
sendiri. Karena itu dalam pengelolaan klaster aquabisnis kedepan, harus menggunakan pendekatan
partisipatif masyarakat setempat (desa) dengan menggunakan awig-awig sebagai instrumennya. Untuk
memperoleh pengakuan masyarakat, awig-awig mengenai klaster aquabisnis, dapat dilakukan secara
bertahap melalui sosialisasi program, diskusi dengan petani serta penetapan melalui rapat pleno.
Penutup
Berkaca dari Pemprov Sulawesi Utara saat mendeclare diri sebagai Provinsi rumput laut,
mengambil langkah kongkrit dengan fokus program dan anggaran pada clustering rumput laut di 3
lokasi yakni Kota Bau-bau, Kota Kendari dan Kabupaten Kolaka. Bagaimana dengan kita?
Mengutip dari Jasuda.net : sejatinya hanya tinggal memilih, bergerak cepat mengembangkan
klaster aquabisnis rumput laut atau tetap membiarkan petani menikmati sedikit sekali, hasil dari kerja
keras mereka….
* Penulis adalah Staf Bidang Budidaya Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB