1. Artikel:
STUDI KASUS PELAKSANAAN KELOMPOK KERJA
GURU (KKG)
Judul: STUDI KASUS PELAKSANAAN KELOMPOK KERJA GURU (KKG)
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENELITIAN /
RESEARCH.
Nama & E-mail (Penulis): Trimo, S.Pd.,M.Pd.
Saya Kepala Sekolah di Kabupaten Kendal Jawa Tengah
Topik: Kelompok Kerja Guru (KKG)
Tanggal: 3 Agustus 2007
STUDI KASUS PELAKSANAAN KELOMPOK KERJA GURU (KKG) DI GUGUS INTI I
CABANG DINAS P DAN K KECAMATAN KALIWUNGU KABUPATEN KENDAL TAHUN
2006/2007
Oleh: Trimo Abstrak
Penelitian yang bersifat kualitatif ini mengangkat permasalahan di Gugus Inti I Cabang Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kaliwungu, mengenai pelaksanaan Kelompok Kerja
Guru (KKG), Melalui permasalahan tersebut, diharapkan dapat memotret realitas dalam
pelaksanaan Kelompok Kerja Guru (KKG). Berdasarkan informasi dan data yang terkumpul
diperoleh simpulan bahwa pelaksanaan Kelompok Kerja Guru (KKG) di Gugus Inti I Cabang
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal, belum
dilaksanakan secara efektif.
Hal tersebut terlihat dalam proses pembelajaran KKG yang cenderung pasif dan terpusat pada
pemandu. Penyusunan program kegiatan KKG sudah mengungkap dan memenuhi kebutuhan
guru, dalam mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga guru-guru mampu
menguasai kompetensi personal, profesional, dan kemasyarakatan. Namun demikian
pelaksanaan program kegiatan KKG belum dapat terlaksana sesuai dengan harapan, karena
ada benturan kepentingan dinas sehingga penyelesaian program kegiatan tidak bisa tepat
waktu.Tingkat kedisiplinan guru dalam mengikuti KKG belum menunjukkan perkembangan yang
berarti. Hal ini dapat terlihat dari kedatangan guru dalam kegiatan KKG yang lebih lambat dari
jadwal dimulainya pelaksanaan KKG.
Pemandu/tutor dalam KKG di Gugus Inti I Cabang Dinas P dan K Kaliwungu sudah mumpuni
dalam penguasaan materi, namun dalam penyajiannya kurang mampu mengelola proses
pembelajaran secara efektif. Hal ini ditandai suasana proses pembelajaran yang kurang
menarik, dan berpusat pada pemandu. Saran yang diajukan berdasarkan temuan adalah
pertama, Sistem Gugus Terpadu. Kedua, perlu dipikirkan terobosan-terobosan dan kerja sama
dengan masyarakat, sejalan dengan peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah. Ketiga,
melakukan koordinasi dengan lembaga lain yang dapat memberikan sertifikat guna keperluan
kenaikan tingkat. Keempat, tutorial bermedia, sekiranya akan lebih efektif dalam pelaksanaan
KKG. Kelima, mengoptimalkan peran tutor/pemandu dengan mengevaluasi pelaksanaan KKG.
Kata-kata kunci: KKG, kedisiplinan, totorial, dan interaksi
Pendahuluan
Peningkatan mutu pendidikan khususnya di Sekolah Dasar merupakan fokus perhatian dalam
rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Hal ini karena Sekolah Dasar merupakan
satuan pendidikan formal pertama yang mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan
sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar.
2. Pada kenyataannya pendidikan bukanlah suatu upaya yang sederhana, melainkan suatu
kegiatan yang dinamis dan penuh tantangan. Pendidikan akan selalu berubah seiring dengan
perubahan zaman, setiap saat pendidikan selalu menjadi fokus perhatian dan bahkan tak jarang
menjadi sasaran ketidakpuasan karena pendidikan menyangkut kepentingan semua orang,
bukan hanya menyangkut investasi dan kondisi kehidupan di masa yang akan datang,
melainkan juga menyangkut kondisi dan suasana kehidupan saat ini. Itulah sebabnya,
pendidikan senantiasa memerlukan upaya perbaikkan dan peningkatan sejalan dengan
semakin tingginya kebutuhan dan tuntutan kehidupan masyarakat (Fattah, 2000:1).
Oleh karena itu, perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan melalui strategi Sistem
Pembinaan Profesional dijabarkan dalam pelaksanaannya di lapangan dengan membentuk
gugus sekolah yang terdiri dari satu sekolah sebagai SD Inti dan SD lainnya sebagai SD Imbas,
sehingga satu gugus sekolah paling banyak terdiri dari 8 SD. Pada SD Inti dibentuk Pusat
Kegiatan Guru (PKG). Di dalam PKG tersebut dilakukan kegiatan berupa Kelompok Kerja Guru
(KKG), Kelompok Kerja Kepala Sekolah (KKKS), dan Kelompok Kerja Penilik Sekolah (KKPS).
Kelompok Kerja ini berfungsi sebagai wadah peningkatan mutu profesional guru dan tenaga
kependidikan.
Keberadaan Pusat Kegiatan Guru (PKG) dalam Sistem Pembinaan Profesional khususnya di
lingkungan Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kaliwungu Kabupaten
Kendal, secara organisatoris telah ada dan berfungsi. Namun terkadang, sistem
pelaksanaannya kurang efektif sehingga tujuan yang diharapkan tidak dapat tercapai secara
optimal.
Kegiatan KKG yang lazim diadakan tiap hari Sabtu ternyata belum sesuai dengan harapan bagi
sementara guru yang menganggap bahwa kegiatan KKG hanya merupakan serangkaian
kegiatan klasik, dari "datang, duduk, dengar, makan, canda dan pulang" tanpa membawa hasil.
Bahkan ada kecenderungan, para guru yang mengikuti KKG dilandasi rasa "terpaksa" lantaran
"takut" dengan Kepala Sekolah atau Pengawas, bukan dilandasi motivasi yang tinggi akan
pentingnya wawasan dan pengetahuan guna meningkatkan kompetensi.
Berdasarkan kerangka berpikir seperti di atas, maka persoalan dasar yang hendak dipecahkan
melalui penelitian ini adalah: Bagaimana pelaksanaan Kelompok Kerja Guru (KKG) di Gugus
Inti I Cabang Dinas P dan K Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal?
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui ruang lingkup kegiatan KKG, (2) memperoleh
gambaran yang mendalam tentang proses pembelajaran dalam KKG sebagai upaya
peningkatan kompetensi guru, (3) mengetahui gambaran kedisiplinan guru dalam mengikuti
KKG, (4) memperoleh gambaran yang detail tentang kemampuan para tutor/pemandu KKG
dalam menyampaikan materi, dan (5) memperoleh gambaran mengenai interaksi yang terjadi
dalam pelaksanaan KKG.
Manfaat yang bisa dipetik dari pelaksanaan penelitian ini adalah: (1) manfaat teoretis, meliputi:
diperoleh gambaran mengenai ruang lingkup kegiatan KKG, proses pembelajara, berbagai
kondisi kultural-psikologis yang mendasari kedisiplinan guru, kemampuan tutor/pemandu dalam
menyampaikan materi, dan interaksi yang terjadi dalam pelaksanaan KKG, (2) manfaat praktis,
sebagai bahan masukan yang penting bagi penyelenggara pendidikan, khususnya Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan dalam upaya memecahkan masalah yang terjadi dalam
pelaksanaan Kelompok Kerja Guru (KKG).
Landasan Teoretis
Fattah (2000:60-61), mengatakan bahwa kemampuan profesional guru (professional capacity)
terdiri dari kemampuan intelegensi, sikap, dan prestasinya dalam bekerja. Dalam berbagai
penelitian, kemampuan profesional guru sering ditunjukkan dengan tinggi rendahnya hasil
pengukuran kemampuan menguasai materi pelajaran yang diajarkan. Secara sederhana,
kemampuan profesional ini bisa ditunjukkan dengan kemampuan guru dalam menguasai
pengetahuan tentang materi pelajaran yang diajarkan termasuk upaya untuk selalu
memperkaya dan meremajakan pengetahuan tersebut. Salah satu upayanya, dapat melalui
kegiatan dalam Kelompok Kerja Guru (KKG).
Keberadaan kegiatan KKG sebetulnya merupakan bagian yang integral dari perwujudan Sistem
Pembinaan Profesional, yang didalamnya terdapat serangkaian kegiatan peningkatan mutu
pendidikan, kemampuan profesional guru, mutu proses belajar mengajar serta hasil belajar
dengan mendayagunakan segala sumber daya dan potensi yang dimiliki oleh sekolah, tenaga
kependidikan dan masyarakat sekitarnya.
3. Depdikbud dalam bukunya Pedoman Pengelolaan Gugus Sekolah menyatakan KKG berfungsi:
(1) menyusun kegiatan KKG satu tahun dibimbing pengawas, Tutor dan guru pemandu; (2)
Menampung dan memecahkan masalah yang dihadapi guru dalam kegiatan belajar-mengajat
melalui pertemuan, diskusi, contoh mengajar, demonstrasi penggunaan dan pembuatan alat
peraga. Sedangkan tujuan dari KKG adalah membantu meningkatkan kemampuan guru secara
profesional dalam melaksanakan tugasnya yaitu keberhasilan kegiatan belajar-mengajar
(Depdikbud 1995/1996:17-21).
Secara esensial, kegiatan KKG mengarah ke penguasaan kompetensi yang harus di kuasai
guru. Menurut Raka Joni (1980) kompetensi guru meliputi kompetensi profesional, personal dan
kemasyarakatan.
Atas dasar rujukan kompetensi di atas, maka guru harus meyakini bahwa proses pembelajaran
dalam KKG dapat bermanfaat untuk meningkatkan penguasaan kompetensi yang dimiliki.
Dengan demikian, pelaksanaan KKG di tingkat gugus sekolah harus mampu memberikan
peluang dan tantangan kepada guru terhadap penguasaan kompetensi.
Dalam terminologi umum, kedisiplinan guru dalam mengikuti KKG dapat merujuk pada kode etik
guru yang merupakan pedoman guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya
sesuai dengan kode etik guru. Kedisiplinan yang diharapkan dalam kegiatan KKG sangat dekat
dengan kode etik yang ke-6 yaitu guru secara mandiri dan/atau bersama-sama berusaha
mengembangkan dan meningkatkan mutu profesinya.
Kegiatan tutorial dilaksanakan berpijak pada gagasan pokok bagaimana caranya agar kegiatan
KKG dapat berjalan secara terus menerus, tanpa menunggu pembinaan hirarkis dari "atas".
Dalam kegiatan KKG, peran tutor sangat menentukan di dalam proses pembelajaran. Hal ini
karena seorang tutor merupakan tenaga guru potensial yang bertugas secara penuh
memberikan bantuan profesional kepada teman-teman sejawat (guru).
Dinamis tidaknya pelaksanaan KKG sudah barang tentu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Satu
di antaranya adalah interaksi yang terjadi dalam pelaksanaan KKG, baik interaksi antara guru
dengan guru peserta KKG, tutor dengan guru, dan tutor dengan tutor. Dalam konteks yang lebih
aplikatif, tutor berperan sebagai "guru" sedangkan guru peserta KKG berperan sebagai "siswa".
Kegiatan KKG merupakan kegiatan yang sudah diprogramkan dari pembuat keputusan, dalam
hal ini pemerintah. Secara kontekstual dapat dikatakan bahwa pemerintah mengharapkan
kegiatan KKG harus dijalankan sebagai upaya peningkatan kompetensi guru. Karakteristik yang
perlu dikembangkan di setiap daerah perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi sehingga
kegiatan KKG dapat bermanfaat bagi guru, yakni munculnya perilaku inovatif dalam proses
belajar-mengajar setelah mengikuti KKG.
Program luhur yang ditetapkan pemerintah kemudian disosialisasikan kepada Depdiknas untuk
ditelaah lebih lanjut. Dalam konteks yang aplikatif, daerah sebagai penerima program perlu
merealisasikan harapan pemerintah. Oleh karena itu, masing-masing daerah diharapkan
menterjemahkan program sesuai dengan keadaan dan kondisi masing-masing, agar nantinya
muncul perilaku yang inovatif dalam upaya peningkatan kompetensi guru.
Di tataran bawah, program kegiatan KKG dilaksanakan dengan membentuk Gugus Sekolah
yang ada di setiap Kecamatan. Gugus Sekolah terdiri dari satu SD Inti dan beberapa SD lain
yang berada di sekitarnya sebagai SD Imbas. Secara spesifik, tiap Gugus Sekolah perlu
menyusun rencana kegiatan KKG dengan berpedoman pada petunjuk penyelenggaraan Gugus
Sekolah yang dikeluarkan pemerintah. Sebagai titik kulminasi dalam kegiatan KKG diharapkan
dapat meningkatkan kompetensi guru, baik kompetensi personal, professional, dan
kemasyarakatan.
Indikator ketercapaian tujuan luhur dalam kegiatan KKG dapat dilihat dari lima hal, yakni (1)
Implementasi kegiatan KKG, (2) proses pembelajaran KKG yang aktif, (3) intensitas kedisiplinan
guru yang tinggi, (4) kegiatan tutorial yang bermedia, dan (5) terjadinya interaksi yang multi
arah.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Artinya,
permasalaan yang dibahas dalam penelitian ini tidak berkenaan dengan angka-angka dan
bertujuan untuk menggambarkan serta menguraikan keadaan atau fenomena tentang
pelaksanaan Kelompok Kerja Guru (KKG).
4. Penelitian ini dilaksanakan di Gugus Inti I Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal pada tahun pelajaran 2006/2007. Peneliti
menentukan lokasi tersebut dengan pertimbangan Gugus Inti I merupakan gugus yang berada
di jalur perkotaan namun pelaksanaan KKG terkesan belum optimal. Selebihnya Gugus Inti I
merupakan sentral kegiatan dan aktivitas guru-guru se-Kecamatan Kaliwungu, khususnya di SD
01 Sarirejo.
Dalam penelitian ini ditentukan 4 orang subjek penelitian yang berhubungan dengan
pelaksanaan KKG, yaitu seorang guru senior, seorang guru yunior (muda), seorang kepala
sekolah, dan seorang guru yang bertugas sebagai pemandu/tutor dalam pelaksanaan KKG.
Pengumpulan data dilakukan berulang-ulang dalam beberapa tahap berdasarkan
perkembangan yang muncul sehubungan dengan jawaban-jawaban atas suatu pertanyaan.
Observasi dan wawancara merupakan dua teknik pengumpulan data yang digunakan sekaligus.
Sedangkan dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data tentang beberapa hasil yang
pernah dicapai guru dan situasi pelaksanaan KKG.
Keabsahan data merupakan persoalan yang cukup signifikan dalam penelitian kualitatif. Oleh
karena itu, pemeriksaan keabsahan data dilakukan dengan triangulasi (triangulation),
pengecekan dengan teman sejawat (peer debriefing), analisis terhadap kasus-kasus negatif
(negative case analysis), penggunaan referensi yang akurat (referential adequacy), pengecekan
anggota (member cheking) dan keikutsertaan di lapangan dalam rentang waktu yang panjang
(prolonged engagement).
Teknik analisa data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis hasil observasi,
wawancara dan dokumentasi untuk meningkatkan pemahaman penelitian terhadap kasus yang
diteliti dan menyajikannya sebagai teman bagi orang lain. Sedangkan untuk meningkatkan
pemahaman tersebut, analisa perlu dilanjutkan dengan upaya mencari makna atau meaning
(Muhadjir 1989:177). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis data dari Bogdan dan
Biklen, yang kedua yaitu analisis data setelah pengumpulan data selesai. Hal tersebut peneliti
pilih dengan alasan bahwa informasi yang diperoleh dari lapangan akan lebih lengkap,
sehingga tidak perlu diuji kembali
Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Ruang Lingkup Kegiatan KKG
Secara substansi, program kegiatan KKG di Gugus Inti I, sudah sesuai dengan harapan guru.
Program kegiatan sudah disusun menurut kelas dan tingkat permasalahan yang muncul di
lapangan sesuai dengan bidang studi masing-masing. Oleh karena itu, di Gugus Inti I selain ada
KKG untuk guru kelas (I-VI), juga ada KKG untuk guru Agama (KKGA) dan guru Olah Raga
(KKGO).
Seorang Kepala Sekolah yang kebetulan menjadi Ketua Gugus Inti I, mengungkapkan bahwa
penyusunan program kegiatan KKG dilakukan bersama-sama dengan pengurus KKG. Hal ini
sesuai dengan anjuran dari pihak Depdiknas bahwa tiap-tiap Gugus Inti, perlu membuat
proposal kegiatan tentang program kegiatan yang akan dilakukan Gugus Sekolah dalam satu
tahun pelajaran.
"Kami sudah berusaha, melakukan penyusunan program kegiatan KKG sesuai dengan petunjuk
dan kebutuhan guru. Namun demikian, saya juga merasakan terkadang kegiatan yang sudah
kami susun tidak dapat terlaksana sesuai jadwal karena ada acara dinas mendadak atau ada
kegiatan lain yang sifatnya insidental, sehingga pelaksanaan program tidak sesuai dengan
rencana." (R-1).
Secara ideal, dalam sebuah program memang harus tepat waktu dalam penyelesaiannya
sehingga tidak menghambat pencapaian program yang lain. Namun demikian, program
kegiatan yang bersifat insidental (dari UNNES atau lainnya) sangat membantu guru dalam
mengatasi kejenuhan pelaksanaan Kelompok Kerja Guru. Artinya, kebiasaan KKG yang
monoton, dengan suasana pasif dan kurangnya kemampuan tutor dalam mengelola kelas, akan
menjadi lain ketika suasana KKG berbeda dengan biasanya.
"Saya sangat senang, bila program KKG tidak monoton. Penyusunan program kegiatan KKG
dengan menjalin kerja sama dengan lembaga lain yang berhubungan dengan pendidikan
agaknya akan menambah semangat guru dalam KKG. Bahkan akan membuat suasana
kejenuhan menjadi suasana kesegaran, karena yang menyampaikan materi tidak itu-itu saja"
(R-3).
5. Perihal penyusunan program kegiatan tidak begitu penting bagi Bu Guru kelas satu ini. Selama
ia bertugas menjadi guru kelas dan mengalami beberapa kali mutasi, ia beranggapan bahwa
program kegiatan KKG adalah program yang disusun untuk membelajarkan guru. Dengan nada
rendah, ia menjawab pertanyaan peneliti mengenai bagaimana penyusunan program KKG yang
efektif:
"Kalau saya ya, Pak. KKG itu yang penting jalan. Tentang program kegiatan, itu sudah ada
yang mengurus. Kami tinggal "manut" kebijakan pengurus Saya jadi guru sudah dua puluh lima
tahun lebih, senangnya yang wajar-wajar saja. Tidak pernah "nggege mangsa", Pak!" (R-2).
Pernyataan subjek penelitian di atas mengenai penyusunan program KKG, ditanggapi oleh
seorang Pengawas Sekolah yang rajin mengikuti jalannya KKG di beberapa Gugus Inti.
"Idealnya, semua guru di suatu Gugus Sekolah mempunyai hak dan kewajiban yang sama
dalam KKG, sehingga tidak hanya mengikuti saja kebijakan pengurusnya. Masukan dan saran
dari guru sangat penting dalam penyusunan program KKG, sehingga program yang dihasilkan
benar-benar sesuai dengan kebutuhan guru." (catatan lapangan).
2. Proses Pembelajaran dalam KKG
Dalam konteks yang aplikatif, guru harus mampu memaknai kegiatan KKG sebagai sebuah
proses pembelajaran. Dalam pengertian dalam kegiatan KKG terjadi proses belajar, di mana
terdapat "guru" dan "siswa". Guru diibaratkan adalah pemandu/tutor, sedangkan siswa
diibaratkan guru lain yang menjadi pendengar dan pemerhati dalam kegiatan KKG.
"KKG sebenarnya sama dengan belajar. Guru-guru yang mengalami kesulitan dalam proses
belajar-mengajar di kelas dapat dipecahkan dalam forum KKG. Yang sering dilaksanakan di
Gugus Inti I, adalah kegiatan KKG secara umum. Hal ini karena permasalahan yang sering
muncul merupakan hal yang bersifat umum. Selebihnya, permasalahan yang bersifat khusus,
sering terabaikan." (R-1).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat, dibarengi dengan inovasi bidang
kurikulum menjadikan kegiatan KKG sebagai suatu proses yang sepertinya "wajib" diikuti guru.
Perubahan-perubahan mendasar bidang kurikulum dan berbagai kebijakan pemerintah sejalan
dengan diberlakukannya otonomi daerah, menjadi wahana sosialisasi yang tepat melalui
program KKG. Seorang guru senior, yang menjadi subjek penelitian kedua menanggapi positif
adanya kegiatan KKG.
"Saya ini sudah tua, kalau tidak menambah ilmu melalui KKG kelihatannya otak saya sudah
tidak mampu. Maklum sudah tua, tidak mampu melanjutkan studi karena anak-anak saya sudah
kuliah. Ya, melalui KKG inilah satu-satunya jalan menambah ilmu." (R-2).
Suasana pasif memang terasa sekali dalam kegiatan KKG. Proses pembelajaran yang interaktif
nyaris tidak pernah ada. Kegiatan monoton, dari "datang, duduk, dengar, canda, makan dan
pulang" agaknya masih menghiasi suasana pertemuan dalam KKG yang dilaksanakan setiap
hari Sabtu. Walaupun terkadang muncul pertanyaan dari guru dalam kegiatan KKG namun
masih sebatas guru-guru yang boleh dikategorikan muda, di mana rasa ingin tahu dan
semangatnya masih tinggi.
Sebagian besar, guru-guru yang sudah tua (berusia 45 tahun ke atas) hanya sebagai
pendengar yang baik. Mereka memilih diam karena mereka menyadari bahwa sudah tidak
mampu untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan. Ada semacam kecenderungan di
hati mereka, bahwa guru-guru muda yang harus aktif dalam KKG. Seorang kepala sekolah
yang peneliti tanya tentang kepasifan peserta KKG yang dari golongan tua menjawab:
"Biar yang muda-muda saja to, Mas. Saya kan sudah tua. Yang penting saya datang dan
menjadi pendengar yang baik" (Catatan Lapangan).
Kepasifan proses pembelajaran dalam KKG, juga dirasakan oleh bu Guru yang tergolong masih
muda ini. Menurutnya, KKG identik dengan belajar bersama secara kelompok. Kecenderungan
suasana pasif dalam pelaksanaan KKG bisa diantisipasi dengan serangkaian kegiatan yang
sifatnya bersama. Seperti, variasi pelaksanaan KKG dengan metode dan media pembelajaran.
"Barangkali salah satu cara mengajak ibu-ibu yang sudah "tua" agar aktif dalam KKG adalah
mengikutsertakan mereka secara menyeluruh. Bernyanyi, barangkali akan berpengaruh positif
kepada semangat guru dalam proses pembelajaran KKG" (R-3).
6. Agaknya proses belajar dalam kegiatan KKG di Gugus Inti I Cabang Dinas P dan K Kecamatan
Kaliwungu, menjadi ajang berlatih dan mengasah diri. Seorang pemandu sangat menaruh
perhatian yang tinggi dalam kegiatan KKG. Bahkan kepercayaan yang diberikan kepadanya
sebagai pemandu mata pelajaran PPKn, membuatnya harus selalu belajar, baik melalui buku-
buku pelajaran maupun media massa.
"Saya itu merasa belum cukup kemampuan untuk menjadi pemandu mata pelajaran PPKn.
Walaupun saya sendiri sarjana PPKn, namun yang saya hadapi adalah guru-guru yang nota
bene juga mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang lebih dibanding saya." (R-4).
3. Kedisiplinan Guru
Menurut pengamatan peneliti, jadwal dimulainya KKG belum dapat dilaksanakan tepat waktu.
Namun demikian, ada hal menarik yang peneliti lihat selama proses kedatangan para guru dari
SD Imbas. Mereka yang kebetulan mendapat tugas menyiapkan konsumsi pelaksanaan KKG,
kerap kali datang lebih awal daripada guru lainnya. Hal ini karena, mereka harus menyiapkan
dan mengemas makanan yang akan dijadikan konsumsi.
Hal yang lebih menarik lagi, adalah kedatangan para guru yang tidak pernah serempak atau
mendekati bersama. Hasil pengamatan peneliti selama lima bulan, belum menunjukkan tingkat
kedisiplinan tinggi dari para guru. Rata-rata para guru, hadir pukul 10.30 atau setengah jam
lebih lambat dari jadwal yang ditetapkan. Ketika hal tersebut peneliti tanyakan kepada Kepala
SD Inti, beliau menjawab:
"Beginilah, Pak. Saya kadang merasa tidak enak dengan Bapak Pengawas Sekolah. Biasanya
dalam kegiatan tertentu kami mengundang Bapak PS, untuk mendampingi dalam pelaksanaan
KKG. Namun, sering kali Pak PS-nya sudah datang, teman-teman guru belum datang." (R-1).
Seorang guru yang sudah lama mengajar dan kebetulan mengajar di SDN 01 Sarirejo yang
merupakan SD Inti, menanggapi kedisiplinan dari sudut kebersaman dan kekeluargaan.
"Bagi saya, kedisiplinan adalah kebersamaan dan kekeluargaan. Percuma saja, kalau
kedisiplinan waktu ditingkatkan sementara kegiatan tidak dapat berjalan" (R-2).
4. Kegiatan Tutorial
Menurut pengamatan peneliti yang ikut terjun dalam kegiatan KKG secara langsung, kegiatan
tutorial yang ditandai penyampaian materi kepada peserta KKG belum menunjukkan
perkembangan yang cukup signifikan. Artinya, ada satu titik lemah bagi para pemandu yang
dalam melaksanakan tugasnya cenderung monoton. Mereka datang dengan materi yang siap
disajikan tanpa mengemas dengan variasi metode dan pemanfaatan media. Observasi peneliti,
didukung oleh pendapat seorang guru yang masih tergolong yunior karena baru bertugas
menjadi guru tujuh tahun yang lalu. Menjawab pertanyaan peneliti mengenai kualitas para
pemandu, beliau menjawab: "Di Gugus Inti I sebenarnya sudah ada OHP, hanya jarang sekali
dipakai, bahkan nyaris tidak pernah dimanfaatkan." (R-4).
Pernyataan dan harapan tersebut di atas, sepertinya memberi renungan tersendiri bagi peneliti
yang kebetulan pernah menempuh studi yang berhubungan dengan media untuk
memanfaatkan OHP. Waktu itu, materinya Bahasa Indonesia. Setengah jam sebelum dimulai,
pemandu Bahasa Indonesia sudah datang dengan beberapa pengurus KKG langsung menuju
ke ruang KKG.
Dalam hitungan jam yang saya pakai, mereka sudah lima belas menit mempersiapkan OHP
yang akan digunakan untuk kegiatan KKG. Akan tetapi, belum juga berhasil. OHP sudah
menyala, tetapi arah sinarnya tidak bisa mencapai layar. Berulang kali, mereka mencoba
memasangkan transparan ke kaca OHP, namun sinar OHP tidak mampu menayangkan tulisan
ke layar.
Karena mencapai kebuntuan dan peserta KKG sudah mulai berdatangan, menggerakkan hati
peneliti untuk masuk ke ruangan dan ikut mengamati keberadaan OHP yang tidak mampu
menampilkan tulisan ke layar. Perlahan-lahan saya mengamati OHP yang sudah menyala, itu
berarti saluran listrik sudah benar. Setelah diminta bantuan untuk mengoperasikan OHP, saya
menemukan permasalahan yang menyebabkan tulisan dalam OHP tidak bisa tampil dalam
layar. Ternyata, mereka memasang tombol power berlawanan dengan arah layar. Layar berada
di sebelah selatan, sedangkan tombol powernya berada di utara sehingga tulisan tidak bisa
tertayang dalam layar. Dengan sisa-sisa tenaga, saya mencoba untuk menggeser letak OHP.
7. Tombol power yang tadinya berada di sebelah utara sekarang berada di sebelah selatan,
searah dengan layar. Seorang pemandu Bahasa Indonesia langsung menanggapi kejadian
tersebut dengan sikap legawa dan intropeksi.
"Inilah salah satu kelemahan kami, bila OHP tidak pernah dimanfaatkan. Yang bisa
memanfaatkan hanya mereka yang dulu pernah memakai" (Catatan Lapangan).
5. Interaksi dalam KKG
Berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan diperoleh keterangan bahwa interaksi
pelaksanaan KKG di Gugus Inti I Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kaliwungu
berlangsung secara searah, dua arah/banyak arah. Interaksi searah kerap kali terjadi ketika
para tutor hanya mengandalkan kemampuan penguasaan materi saja. Sedangkan interaksi dua
arah/banyak arah, antara guru dengan guru peserta KKG, dan guru dengan tutor terjadi ketika
ada permasalahan yang mengemuka namun belum ditemukan jawabannya secara pasti.
Kondisi demikian juga mengharuskan ada interaksi antara tutor dengan tutor yang lain untuk
memecahkan permasalahanm tersebut. Menjawab pertanyaan peneliti mengenai proses
interaksi dalam pelaksanaan KKG, subjek penelitian ini menjawab: "Kalau interaksi dalam KKG
di sini boleh dikatakan belum optimal. Bahkan sering tidak ada interaksi antara tutor dengan
guru. Saya sendiri sebagai tutor kadang merasakan proses interaksi hanya berpusat pada
tutor." (R-4).
Kekurangmampuan tutor dalam mengelola interaksi seperti dikatakan subjek penelitian di atas
tergantung banyak hal. Setidaknya menurut subjek penelitian ini, interaksi dalam kegiatan KKG
tergantung beberapa hal, di antaranya bagaimana seorang tutor mampu memberikan
rangsangan kepada guru peserta KKG.
Ketika peneliti tanyakan kepada Ketua KKKS tentang interaksi pelaksanaan KKG, beliau
membenarkan apa yang dikatatan subjek penelitian di atas. Menurutnya, dalam sebuah
interaksi pasti terdapat dua kebutuhan yang saling melengkapi, yaitu rangsangan dan
tanggapan. Semakin banyak rangsangan, sudah pasti akan banyak pula tanggapan yang
muncul.
Proses interaksi yang menjadi bagian terpenting dalam pelaksanaan KKG, menjadikan pihak
pengurus KKG diharapka mampu menyusun rencana kegiatan yang dapat mengefektifkan
proses interaksi. Observasi yang peneliti lakukan, secara umum pelaksanaan KKG yang
dilaksanakan secara klasikal (menyeluruh), proses interaksinya bermacam-macam, tergantung
dari kemampuan tutor dalam mengelola proses pembelajaran. Jika tutor mampu mengelola
proses pembelajaran, interaksinya berlangsung banyak arah, namun bila tutor hanya
mengandalkan kemampuan akademisnya saja, interaksi berjalan secara dua arah. Menjawab
kondisi tersebut, subjek penelitian yang juga sebagai Ketua Gugus Inti I, menjawab:
"Kami menyadari sepenuhnya bahwa proses interaksi di Gugus Inti I sini belum berjalan secara
optimal. Hal ini karena tutor dan guru peserta KKG adalah teman sendiri" (R-1)
Pernyataan subjek penelitian di atas, langsung ditanggapi oleh seorang guru yang sudah lama
mengajar dan berkecimpung dalam kegiatan KKG. Menurutnya, apa yang dikatakan Ketua
Gugus Inti I benar adanya, perhatian guru dalam KKG kurang memberikan sumbangan yang
nyata dalam interaksi. Ketika peneliti coba tanyakan kepada salah seorang peserta KKG yang
dalam aktivitasnya cenderung acuh tak acuh terhadap pelaksanaan KKG, terutama
kemampuan tutor, beliau menjawab:
"Saya memilih diam, karena apa yang disampaikan tutor tersebut sudah kadaluwarsa." (catatan
lapangan).
Jika dikaitkan secara integratif, permasalahan yang ditelaah dalam pelaksanaan KKG ada
kaitannya. Ibarat sebuah system, permasalahan tersebut saling melengkapi, dan muncul dari
berbagai sudut kegiatan, yang muaranya pada kondisi objektif di lapangan. Secara argumentatif
logis, bahwa pelaksanaan KKG di Gugus Inti I Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Kecamatan Kaliwungu masih menimbulkan berbagai permasalahan yang krusial, baik
permasalahan dalam penyusunan program, proses pembelajaran, kedisiplinan, kemampuan
tutor dan interaksi dalam pelaksanaan KKG.
Secara analisis teori, pelaksanaan KKG di Gugus Inti I Cabang Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kecamatan Kaliwungu, juga masih menimbulkan berbagai fenomena
permasalahan yang berhubungan dengan keoptimalan pencapaian tujuan pelaksanaan KKG,
sebagai wahana mengembangkan kompetensi guru, baik kompetensi personal, profesional, dan
8. kemasyarakatan.
Kesimpulan
1. Secara substansi, ruang lingkup kegiatan KKG di Gugus Inti I Cabang Dinas P dan K
Kecamatan Kaliwungu, membahas proses belajar-mengajar yang dilakukan guru.
Pada tataran formal, program kegiatan KKG sudah disusun secara sistematis, namun
dalam implementasinya belum maksimal. Hal ini karena mekanisme penyusunan
program KKG hanya dilakukan oleh pengurus Gugus Sekolah, tanpa melibatkan guru.
2. Secara umum, proses pembelajaran dalam KKG belum optimal, bahkan cenderung
pasif karena dalam pelaksanaan KKG tidak ada sesuatu yang baru/inovatif.
3. Tingkat kedisiplinan guru dalam mengikuti KKG belum menunjukkan perkembangan
yang berarti. Sebagian besar, guru datang ke SD Inti lebih lambat dari jadwal
dimulainya pelaksanaan KKG. Hal tersebut menyebabkan pelaksanaan KKG tidak
dapat mencapai tujuan secara optimal.
4. Secara akademis, para pemandu KKG di Gugus Inti I Cabang Dinas P dan K
Kaliwungu sudah mumpuni. Namun, secara aktivitas kemampuan para tutor dalam
mengelola proses pembelajaran dalam KKG kurang kreatif dalam mengintegrasikan
kemampuan yang dimiliki secara komprehensif. Hal tersebut ditandai adanya
kepasifan peserta KKG, dan penampilan tutor ketika mempresentasikan materi kurang
mampu mengemas dengan variasi metode dan media pembelajaran.
5. Secara umum, interaksi yang terjadi berlangsung searah, di mana tutor/pemandu
(komunikator) menyampaikan informasi/pesan sedangkan guru sebagai peserta KKG
(komunikan) menjadi penerima pesan, tanpa terjadi umpan balik secara integratif.
Saran
1. Penyusunan program kegiatan KKG, selain disesuaikan dengan kebutuhan guru dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga perlu dipikirkan terobosan-
terobosan dan kerja sama dengan masyarakat, sejalan dengan peningkatan mutu
pendidikan berbasis sekolah.
2. Adanya kecenderungan proses pembelajaran KKG yang pasif dan kurang menarik
dapat ditempuh KKG dengan Sistem Gugus Terpadu secara berkala/insidental.
3. Pihak Gugus Sekolah perlu memikirkan upaya-upaya untuk mengaktifkan guru-guru
dalam kegiatan KKG agar tepat waktu diantaranya dengan memberikan sertifikat KKG.
4. Para pemandu bidang studi/tutor dalam melakukan tugasnya perlu diimbangi dengan
kemampuannya berkolaborasi dengan media dan metode pembelajaran.
5. Selain tutorial bermedia. proses interaksi dapat dioptimalkan dengan mengadakan
evaluasi secara sistematis oleh Gugus Sekolah, yang kemudian berupaya untuk
memperbaiki berbagai permasalahan yang ada dalam pelaksanaan KKG.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. 1996. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta.
Bogdan, Robert C, dan Biklen. 1982. Qualitative Research For Education to Theory and
Methode. Basoton: Allyn Bacon, Inc.
Bogdan, Robert dan Steven J. 1991. Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian (Terjemahan A. Khozin
Afandi). Surabaya: Usaha Nasional.
Creswell, John W. 1994. Research Design Qualitative & Qualitative Approaches. London: Sage
Publication.
Depdikbud. 1995/1996. Petunjuk Peningkatan Mutu Pendidikan di Sekolah Dasar. Jakarta:
Depdikbud.
Depdikbud. 1992/1993. Didaktik/Metodik Umum. Jakarta: Depdikbud.
Depdikbud. 1993. Kurikulum Pendidikan Dasar. Jakarta: Depdikbud.
Depdikbud.1994/1995. Peran dan Fungsi Pusat Kegiatan Guru (PKG) dalam Sistem Pembinaan
Profesional Guru. Jakarta: Depdikbud.
9. Depdikbud. 1995/1996. Pedoman Pengelolaan Gugus Sekolah. Jakarta: Depdikbud.
Depdikbud. 1996. Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Kelompok Kerja Guru Mata Pelajaran
PPKn SD. Jakarta: Depdikbud.
Fattah, Nanang. 2000. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: Andira.
Fattah, Nanang. 2000. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Joni, T.Raka. 1980. Pendekatan Kompetensi Integralistik. Jakarta: Dirjen Dikti.
Miles, Matthes B dan Huberman, Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif (Terjemahan Tjetjep
Rohendi Rohidi). Jakarta: UI-Press.
Moleong, J.Lexy. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Noeng, Moehadjir. 1989. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Nugroho. 1993. Hasil Penelitian (Ruang Hidup Psikologis dan kinerja Guru SD di Jateng
1993/1994). Tidak dipublikasikan.
Sardiman. 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suryosubroto. 1997. Proses Belajar-Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Tim MKDK IKIP Semarang. 1996. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: FIP IKIP Semarang.
Saya Trimo, S.Pd.,M.Pd. setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan
digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan
ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .
CATATAN:
Artikel-artikel yang muncul di sini akan tetap di
pertanggungjawabkan oleh penulis-penulis artikel
masing-masing dan belum tentu mencerminkan sikap,
pendapat atau kepercayaan Pendidikan Network.