1. SEJARAH SOSIAL IMAM MALIK
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah : Sejarah Sosial Hukum Islam (SSHI)
Dosen : Prof. Dr. H. Adang Djumhur Salikin, M.Ag
Disusun Oleh :
KELOMPOK IX
Ahmad Fauzan
M. Hudan M.F
Sarifudin
Fakultas/Jurusan/Semester : Syari’ah/AAS/IX
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI
CIREBON
2012
2. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kita lihat perkembangan hukum islam menimbulkan beberapa madzhab. Kata
bahasa arab „Madzhab‟ adalah menurut lughot berarti jalan atau tempat yang dilalui,
sedangkan menurut arti istilah Fiqh, dasar pedirian yang di turut 1. Sampai dewasa kini
empat dari beberapa madzhab yang timbul di Bani Abbas yang masih bertahan dan
yang dituruti oleh kebanyakan umat islam di selurug dunia. Ke-empat madzhab itu (
Hanafi, Maliki, Syafi‟I dan Hambali) berdasarkan Al-Qur‟an dan sunnah Rosul;
mereka berlain pendapat mengenai hadist yang boleh menjadi dalil hukum.
Tegasnya, keempat pembangun madzhab tersebut sepakat mengenai dalil
hukum, perbedaan hanya dalam pendapat yang mana lebih kuat dan harus didahulukan
jika bertentangan. Keempat madzhab sependapat Al-Qur‟an dalil hukum yang pertama
dan utama. Dalam pokok agama tidak ada perbedaan, semua madzhab itu sama, yaitu
sama-sama bersatu Tuhan (Allah), bersatu Nabi (Muhammad s.a.w), bersatu Kitab
(Qur‟an) bersatu Sunnah Rasul, bersatu Qiblat dan lima rukun Islam.
Juga dalam ushul ad-din, semua madzhab itu berpegang pada kitab Al-Qur‟an
dan sunnah Rasul. Hanya dalam mereka ber-ijma‟ dan ber-qiyas tentang hukum Islam
dari ayat-ayat Al-Qur‟an dan hadits, masing-masing madzhab dari awal mulanya
mempunyai pendapat sendiri-sendiri. Ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu cara
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an dan sunnah Rasul, cara-cara pemikiran atau
pertimbanan hukum yang dipengaruhi oleh lingkungan an keadaan masyarakat, adat-
istiadat dan lain-lain.2
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini dibatasi dengan pembahasan
sebagai berikut, antara lain :
1. Biografi Imam Maliki
2. Kondisi Sosial dan Intelektual
3. Pola Ijtihad
4. Contoh Pendapat
1
. Abdulloh Shidiq, asas-asas hokum islam, Jakarta: PT. Bumi Restu, 1982, hal 234.
2
. ibid., Abdulloh Shidiq, hal 236.
1
3. C. Tujuan
Pada pembahasan kali ini bertujuan, sebagai berikut:
1. Mengetahui Biografi Imam Maliki
2. Memahami Kondisi Sosial dan Intelektual
3. Mengamati Pola Ijtihad
4. Mengetahui Contoh Pendapat
2
4. BAB II
SEJARAH SOSIAL IMAM MALIK
A. Biografi Imam Maliki 3
Imam maliki dilahirkan di kota madinah daerah negeri hijaz-menurut riwayat
yang mashur-pada tahun 93 Hujriyah (712 Masehi). Nama beliau dari mulai kecil
ialah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir Al Ashbahy.
Dengan riwayat ini teranglah bahwa beliau adalah seorang dari keturunan
bangsa arab dari dusun Dzu Ashbah, sebuah dusun di kota Himyar dari jajahan negeri
Yaman.
Perlu dijelaskan, bahwa nama Anas bin Malik (Ayah Beliau) itu bukannya
Anas bin Malik yang pernah menjadi sahabat dan khadam Nabi Muhammad SAW
yang terkenal itu, karena Anas bin Malik ini adalah bin Nadhar bin Dhamdham bin
Zaid Al Anshary Al Khazrajy. Adapun anas bin malik (ayah bagi Imam Malik) ini
adalah bin Abi Amir bin Amr bin Al Harits bin Sa‟ad bin Auf bin Ady bin Malik bin
Yazid. Ia (Anas) termasuk seorang Tabi‟iy (seorang Islam yang hidup di masa
kemudian para sahabat Nabi), dan yang termasukdaripada sahabat Nabi adalah Abu
Amir (Ayah Bagi datuk beliau).
Abu Amir berasal dari kota Yaman, pindah ke Madinah di masa Nabi SAW
dengan tujuan berhijrah dari negerinya, karena hendak mengikut seruan (dakwah)
Islam di Madinah yang sedang berkembang. Abu Amir pada waktu mengikut (menjadi
sahabat) Nabi SAW adalah termasuk seorang sahabat yang setia, dan sewaktu-waktu
ia ikut serta menjadi tentara untuk bertempur melawan musuh.
Sahabat Abu Amir di Madinah menurunkan beberapa orang anak, dari
antaranya ialah Malik (datuk bagi Iamm Maliky), dan Malik lalu menurunkan
beberapa anak yang dari antaranya ialah Anas (ayah bagi Iamm Maliky).
Adapun nama bagi Ibu Imam Maliky ialah St. Al Aliyah binti Syuraik bin
Abdurrahman bin Syuraik Al Azadiyah. Menurut beberapa riwayat yang termaktub
dalam kitab-kitab tarikh: bahwa imam Maliky ketika dalam kandungan rahim Ibunya
adalah tempo kurang-lebih dua tahun. Dalam riwayat yang lain dikatakan tiga tahun.
Pada masa Imam Maliky dilahirkan, pemerintahan Islam ada ditangan
kekuasaan Kepala Negara Sulaiman bin Abdul Malik (dari bani Umaiyah yang VII).
3
Moenawar Chalil, Biografi Emapat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1955,
hlm. 84-84
3
5. Imam Maliky yang sudah berputera beberapa orang putera, yang dari
diantaranya ada yang dinamakan Abdullah, maka beliau lalu terkenal dengan gelar
Abu Abdullah. Kemudian pada masa sesudah beliau menjadi seorang alim besar dan
terkenal oleh orang banyak dengan sebutan “Mazhab Imam Maliky”.
B. Kondisi Sosial dan Intelektual Imam Maliki 4
Imam Malik adalah seorang yang berbudi mulia, dengan pikiran yang cerdas ,
pemberani dan teguh mempertahankan kebenaran yang diyakininya. Beliau seorang
yang mempunyai sopan santun dan lemah lembut, suka menengok orang sakit,
mengasihani orang miskin dan suka memberi bantuan kepada orang yang
membutuhkannya. Beliau juga seorang yang sangat pendiam, kalau berbicara
dipilihnya mana yang perlu dan berguna serta menjauhkan diri dari segala macam
perbuatan yang tidak bermanfa‟at. Disamping itu, beliau juga seorang yang suka
bergaul dengan handai taulan, orang-orang yang mengerti agama terutama para
gurunya, bahkan bergaul dengan para pejabat pemerintah atau wakil-wakil
pemerintahan serta kepala Negara. Beliau tidak pernah melanggar batasan agama.
Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni
pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah
berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi' bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az
Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin
Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi'in ahli hadits,
fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.
Imam Malik terdidik di kota Madinah pada masa pemerintahan Khalifah
Sulaiman ibn Abd Malik dari Bani Umaiyah VII. Pada waktu itu di kota tersebut
hidup beberapa golongan pendukung Islam, antara lain: golongan sahabat Anshar dan
Muhajirin serta para cerdik pandai ahli hukum Islam. Dalam suasana itulah Imam
malik tumbuh dan mendapat pendidikan dari beberapa guru yang terkenal. Pelajaran
pertama yang diterimanya adalah Al-Qur`an, yakni bagaimana cara membaca,
memahami makna dan tafsirnya. Dihafalnya al-Qur`an itu di luar kepala. Kemudian ia
mempelajari Hadits Nabi SAW. dengan tekun dan rajin, sehingga mendapat julukan
sebagai ahli hadits.
4
Huzaemah Tahido yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logo Wacana Ilmu,
cet.II, 1999, hlm. 103-104
4
6. Setelah mencapai tingkat tinggi dalam bidang ilmu, beliau mulai mengajar dan
menulis kitab Muwaththa‟ yang sangat populer, karena beliau merasa memiliki
kewajiban untuk membagi pengetahuannya kepada orang lain yang membutuhkannya.
Imam Malik selaku seorang mufti yang dipercaya oleh ummat di masa itu
sering menghadapi kekejaman dan keganasan fisik yang berat dari penguasa, karena
beliau tetap mempertahankan pendapatnya tentang masalah “paksaan talak itu tidak
sah”. Beliau tetap tidak mencabut fatwanya yang bertentangan dengan Khalifah al-
Manshur dari bani „Abbas di Baghdad, maka beliau disiksa dan dihukum penjara.
Imam Malik sangat teguh dalam membela kebenaran dan berani menyampaikan apa
yang diyakininya. Pada suatu ketiaka Harun Al-Rasyid mencegahnya dari mengatakan
sepotong hadits tertentu, tetapi ia tidak menghiraukan larangan tersebut, lalu membaca
al-Qur`an surat al-Baqarah ayat 159, yang menjelaskan bahwa sesungguhnya orang-
orang yang menyembunyikan apa-apa yang Allah turunkan berupa keterangan-
keterangan dan petunjuk, akan dilaknat oleh Allah dan semua Makhluk.5
C. Pola Ijtihad Dan Contoh Ijtihad Imam Maliki
Secara ringkas, manhaj yang ditempuh di dalam Mazhab Maliki ia mendasarkan
pendapat fiqhiyyah pada al-Qur‟an; apabila tidak diperoleh informasi pasti dari al-
Qur‟an, maka mereka menyandarkannya kepada Sunnah (yang termasuk sunnah di
sini ialah Hadits Nabi, Fatawa Sahabat dan keputusan hukum mereka, dan „amal
penduduk Madinah); kemudian bila masalah belum terlesaikan dengan berpegang
kepada kedua di atas, maka mereka menyandarkan pendapat kepada qiyas (yaitu
mencari kesamaan illat antara hukum yang sedang dicari pemecahan (furu‟) dengan
5
Redaksinya:
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan
berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada
manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat
mela'nati. (Q.S. Al-Baqarah: 159)
5
7. hukum yang dinashkan (ashl); di samping qiyas, terdapat juga al-mashlahah, sadd al-
dzara‟i‟, al-„urf, dan al-„adat.6 Berikut penjelasannya pola ijtihad Imam Malik:
1. Kitab Allah (Al-Qur‟an)
Imam Malik menjadikan Kitab Allah (al-Qur‟an) sebagai dasar bagi hujjah
dan dalil terhadap berbagai permasalahan hukum,7 dan sebagai sumber hukum
primer yang digunakan tanpa pra-syarat dalam berbagai implikasinya.8
Dia memahami nash secara sharih, tanpa ditakwil, kecuali ada dalil yang
mewajibkannya untuk ditakwil. Di dalam memahami nash, ia menggunakan
mafhum al-muwafaqah dengan fahw al-khithab, seperti dalam firman-Nya berikut:9
Larangan yang terdapat dalam nash dipahami secara fahw al-khithab, yaitu
seperti merusaknya, dari pada hanya memakannya.10
Mereka juga memperhatikan illat hukum, seperti dalam firman-Nya berikut:
“Katakanlah: „Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena
sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain
Allah‟.” (QS. Al-An’am/6: 145).
Illat pengharaman yang terdapat di dalam ayat di atas ialah kotor (rijs);
yang diartikan sebagai yaitu makanan yang buruk dan sudah terserang wahab
penyakit. Dengan demikian, setiap makanan yang termasuk dalam kategori rijs
adalah haram juga.11
6
Thahir al-Azhar Khuzairi, al-Madkhal il al-Muwaththa‟ Imam Malik ibn Anas, cet. 1 (Kuwait:
Wizarah al-Awqaf wa al-Syu‟un al-Islamiyyah, Maktabah al-Syu‟un al-Fanniyyah, 1429H./2008M.),
hlm. 397.
7
Muhammad Abu Zahrah Syeikh, Tarikh al-Mazzahib al-Fiqhiyah al-Madany, Kairo., hlm. 397.
8
Abu Ameenah Bilal Philips, op.cit., hlm. 71; Yasin Dutton, hlm. 61; Zakariya al-Sibri, Mashadir
al-Ahkam al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Ittihad al-„Arabi, 1395H./1975M.), hlm. 16;
9
op.cit., Muhammad Abu Zahrah, hlm. 397; Yasin Dutton, op.cit., hlm. 114-115.
10
ibid., Muhammad Abu Zahrah, hlm. 397.
11
Ibid., hlm. 398.
6
8. 2. Sunnah
Sunnah di dalam mazhab Maliki – sebagaimana mazhab lainnya – dianggap
sebagai sumber terpenting kedua di dalam hukum Islam Mazhab ini juga
mengambil dari beberapa perkataan beberapa sahabat yang aman dari dusta, atau
riwayat sekelompok tabiin yang tidak mungkin bersepakat dusta. Jelasnya, mazhab
ini mengambil kemasyhuran sunnah dari masa tabi‟in dan tabi‟ tabi‟in. adapun
setelah generasi ini tidak dianggap lagi, karena masa-masa tersebut tadi mendekati
derajat tawatur dari segi kekuatan istidlal.12
Diriwayatkan dari Qadhi „Iyadh dan Ibnu Rusyd di dalam al-Muqaddimat
al-Mumahhidat, bahwa Imam Malik mendahulukan qiyas daripada Hadits Ahad,
sebagaimana yang dilakukan Imam Malik, dan ia mendahulukan al-ra‟y,
sebagaimana di dalam Hadits mengenai khiyar al-majlis, yang diriwayatkan oleh
Ibnu Umar:13
Hadits di atas menyatakan bahwa dua orang pelaku kontrak dapat
membatalkan kontrak selama keduanya belum berpisah. Tetapi Hadits ini ditolak
oleh Imam Malik dengan perkataannya:
“Kita tidak memiliki batasan yang diketahui.” Alasan yang diberikannya ialah
bahwa majlis tidak memiliki masa tertentu yang dimaklumi.14
Contoh-contoh yang tersebut di atas banyak terdapat di dalam mazhab ini,
terutama Imam Malik, di mana dia menolak Hadits Ahad dan beralih kepada qiyas
atau maslahah. Di sini terlihat bahwa Imam Malik tidak hanya faqih Hadits, tetapi
juga faqih al-ra‟y.15
3. Fatwa Sahabat
Imam Malik menganggap fatwa Sahabat di sini sebagai perkataan yang
wajib diamalkan. Karena itu terdapat riwayat yang mengenainya bahwa ia
mengamalkan fatwa sebagian sahabat dalam manasik haji, dan meninggalkan
amalan yang disandarkan pada Nabi SAW. dengan asumsi bahwa apa yang
12
op.cit., Muhammad Abu Zahrah, hlm. 399.
13
Ibid..
14
Ibid..
15
Ibid..
7
9. dilakukan sahabat itu tidak sebagaimana anjuran Nabi SAW, dan juga, manasik itu
tidak mungkin diketahui melainkan melalui jalan naql.16
Imam Malik mengambil perkataan sahabat dalam suatu perkara yang tidak
diketahui kecuali dengan jalan naql sebagai Hadits. Dengan demikian, apabila
terdapat pertentangan antara dua ashl, maka ia memiliki di antara keduanya mana
yang paling kuat sanadnya dan paling relevan dengan prinsip umum hukum
Islam.17
4. Qiyas, Maslahah Mursalah, dan Istihsan
Prinsip pemikiran fikih yang dikembangkan oleh Imam Malik ialah
mempermudah, dan tidak mempersusah, hal ini sesuai dengan karya
monumentalnya Al-Muwaththa‟, yang berarti mempermudah.18
Imam Malik mengartikan qiyas sebagai:
“Qiyas ialah menghubungkan hukum suatu perkara yang tidak dinashkan dengan
hukum suatu perkara yang dinashkan karena kesamaannya dalam sifat illat
hukum.”19
“Istihsan ialah mentarjih hukum maslahat yang partikular atau hukum (yang
dihasilkan) oleh qiyas.”20
Imam Malik menyebut pengambilan al-mashalih ini sebagai al-istihsan,
sebagaimana perkataannya:
“Istihsan ini sembilan per sepuluh ilmu.”
Berpegang teguh dengan qiyas tehadap hal-hal yang tidak ada dalilnya
hanya mempersempit pandangan Islam, sehingga Ibnu al-Wahb berkata:
16
op.cit., Muhammad Abu Zahrah, hlm. 400; Zakariya al-Sibri, op.cit., hlm. 82-83.
17
Ibid..
18
Thahir al-Azhar Khuzairi, op.cit., hlm. 75. Al-muwaththa‟, yang berarti al-musahhil wa al-
muyassir (yang memberikan kemudahah). Lih. juga Abdul Halim al-Jundi, op.cit., hlm. 200.
19
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 401.
20
„Adil al-Syuyikh, Ta‟lil al-Ahkam fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah, cet. 1 (Thantha: Dar al-Basyir li
al-Tsaqafah wa al-„Ulum, 1420H./2000M.), hlm. 223.
8
10. “Tenggelam dalam qiyas hampir dapat meninggalkan Sunnah.”
Imam al-Syathibi menyatakan:
“Imam Malik telah menguraikan dalil-dalil ashl dalam pemahaman makna yang
maslahat dnegan tetap memelihara maksud Syari‟, tidak lari darinya, dan tidak
(pula) menentangi ashl dari ushul-nya, sehingga banyak ulama memandang buruk
pada aspek penguraiannya (berkenaan dengan maslahat) dan mencurigai bahwa
dia (Imam Malik) hanya melepaskan kesulitan (dalam mengkaji dalil-dalil), dan
kemudian membukan pintu tasyrik (yang baru). Mustahil! Begitu terhindar beliau
dari hal demikian, bahkan fikihnya yang disukai untuk diikuti, di mana sebagian
manusia menyangka bahwa dia bertaklid pada orang-orang sebelumnya, bahkan
dia adalah shahib al-bashirah di dalam agama Allah.”21
21
Ibid.; Ibid..
9
12. DAFTAR PUSTAKA
Shidiq, Abdulloh. Asas-Asas Hukum Islam. Jakarta. PT. Bumi Restu.1982.
Chalil, Moenawar. Biografi Emapat Serangkai Imam Mazhab. Jakarta. PT. Bulan
Bintang. 1955.
Yanggo, Huzaemah Tahido. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta. Logo
Wacana Ilmu. cet.II. 1999.
Khuzairi, Thahir al-Azhar. al-Madkhal il al-Muwaththa‟ Imam Malik ibn Anas, cet.
1 (Kuwait: Wizarah al-Awqaf wa al-Syu‟un al-Islamiyyah, Maktabah al-Syu‟un
al-Fanniyyah, 1429H./2008M.).
al-Syuyikh, Adil. Ta‟lil al-Ahkam fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah, cet. 1 (Thantha: Dar
al-Basyir li al-Tsaqafah wa al-„Ulum, 1420H./2000M.).
11