Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
ZAKAT PROFESI DAN PERBEDAAN UU
1. Zakat Profesi dan Perbedaan UU
Nomor 38 tahun 1999 dan UU Nomor
23 Tahun 2011
OPINI | 31 August 2012 | 11:56 Dibaca: 104 Komentar: 0 Nihil
A. Pengertian
Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima‟iyyah yang memiliki posisi yang
sangat penting, strategis dan menentukan, baik dilihat dari sisi ajaran Islam
maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Sebagai suatu ibadah pokok,
zakat termasuk salah satu rukun ketiga dari rukun Islam, sehingga keberadaannya
dianggap sebagai (ma‟luum minad-diin bidh-dharuurah atau diketahui secara
otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari Islaman seseorang).
Dalam pasal 1 ayat 2 UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan
zakat dijelaskan :
“ Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan
usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat
Islam” 1[1]
Di dalam al Qur‟an terdapat 27 ayat yang menyejajarkan kewajiban shalat
berfungsinya zakat sebagai instrument pemerataan dan belum terkumpulnya zakat
secara optimal di lembaga pengumpul zakat, karena pengetahuan masyarakat
terhadap harta yang wajib dikeluarkan zakatnya masih terbatas.
Berdasarkan hasil survey PIRAC (Public Interest Research and Advocacy
Center) mengatakan potensi dana zakat di Indonesia yang populasinya sekitar 87
persen muslim, sangat besar hingga mencapai 9,09 triliun rupiah pada tahun 2007.
Potensi ini meningkat 4,67 triliun dibandingkan tahun 2004 yang potensinya
hanya sebesar 4,45 triliun. Berbeda dengan PIRAC, Alfath mengatakan bahwa
potensi zakat di Indonesia mencapai Rp. 20 Triliun per tahun. Namun dari jumlah
2. itu, yang tergali baru Rp. 500 milyar per tahun (berdasarkan asumsi tahun
2006)2[2]
Zakat mengandung beberapa arti seperti membersihkan, bertumbuh dan
berkah. Digunakan kata “zaka” dengan arti membersihkan itu, untuk ibadah
pokok rukun Islam dan hikmahnya untuk mebersihkan jiwa dan harta orang yang
berzakat. Dalam terminologi hukum (Syara‟) zakat diartikan “ pemberian tertentu
dari harta tertentu kepada orang tertentu menurut syarat-syarat yang
ditentukan”3[3]
Hukum zakat adalah wajib „aini dalam arti kewajiban yang ditetapkan
untuk diri pribadi dan tidak mungkin dibebankan kepada orang lain, walaupun
dalam pelaksanaannya dapat diwakilkan kepada orang lain.
Tujuan disyariatkan zakat diantaranya adalah untuk jangan harta itu hanya
beredar di kalangan orang-orang kaya saja. Rukun zakat yaitu orang yang
berzakat, harta yang dizakatkan dan orang yang menerima zakat. Syarat harta
yang dizakatkan adalah harta yang baik, milik yang sempurna dari yang berzakat,
berjumlah satu nisab atau lebih dan telah tersimpan selama satu tahun qamariyah
atau haul.
B. Zakat Profesi
Yusuf al Qaradawi menyatakan bahwa diantara hal yang sangat penting
untuk mendapatkan perhatian kaum muslimin saat ini adalah penghasilan atau
pendapatan yang diusahakan melalui keahliannya, baik keahlian yang
dilakukannya secara sendiri, maupun secara bersama-sama. Yang dilakukan
secara sendiri misalnya : dokter, bidan, guru, penjahit, mubaligh dan lain
sebagainya. Yang dilakukan secara bersama-sama misalnya pegawai pemerintah
maupun swasta, pejabat Negara dan hakim.4[4]
3. Wahbah al Zuhaili mengemukakan pendapatan yang diterima seseorang
dalam waktu relatif tetap, seperti sebulan sekali dalam fikih dikenal dengan nama
(al maal al mustafaad).
Landasan hokum kewajiban zakat profesi adalah firman Allah dalam surat
at Taubah ayat 103, al Baqarah 267 dan firman Allah dalam surat Adz dzaariyat
ayat 19 :
Artinya : “ Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang
meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”
Semua penghasilan melalui kegiatan professional tersebut apabila telah
capai nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Pada saat Muktamar Internasional
Pertama tentang zakat di Kuwait (29 Rajab 1404 H bertepatan dengan tanggal 30
April 1984 M) telah sepakat tentang wajibnya zakat profesi apabila telah capai
nisab, meskipun pesertanya berbeda pendapat dalam cara mengeluarkannya.5[5]
Dalam Bab IV Pengumpulan Zakat pada pasal 11 ayat 2 huruf (f) UU
nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, dijelaskan bahwa harta yang
dikenai zakat adalah (hasil pendapatan dan jasa).6[6]
Kemudian pada tahun 2011,DPR beserta pemerintah merevisi UU Nomor
38 Tahun 1999 dan mengeluarkan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan
zakat. Pada pasal 4 ayat 2 huruf (h) UU Nomor 23 Tahun 2011 dijelaskan “Zakat
Mal meliputi (pendapatan dan jasa)”.7[7]
Dalam menentukan nisab, kadar dan waktu mengeluarkan zakat profesi
dalam hal ini ada 2 pendapat :8[8]
1. Jika zakat profesi dianologikan kepada zakat perdagangan, maka nisab, kadar dan
waktu mengeluarkan sama dengan zakat emas dan perak. Nisabnya senilai 85
4. gram emas, kadar zakatnya 2,5 persen dan waktu mengeluarkan setahun sekali,
setelah dikeluarkan kebutuhan pokok.
Contoh : Jika si A berpenghasilan Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) setiap bulan
dan kebutuhan pokoknya perbulan sebesar Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah), maka
besar zakat yang dikeluarkan adalah 2,5 % x 12 x Rp. 2.000.000 = Rp. 600.000
(enam ratus ribu ) per tahun atau Rp. 50.000 (lima puluh ribu) per bulan.
2. Jika dianalogikan kepada zakat pertanian, maka nisabnya senilai 5 ausaq atau 653
kg padi atau gandum, kadar zakatnya sebesar 5 % dan dikeluarkan pada setiap
mendapatkan gaji atau penghasilan, misalnya sebulan sekali. Dalam contoh kasus
: Jika si A berpenghasilan Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) setiap bulan dan
kebutuhan pokoknya perbulan sebesar Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah), maka
kewajiban zakat si A adalah sebesar 5 % x 12 x Rp. 2.000.000 =
Rp. 1.200.000 (satu juta dua ratus ribu rupiah) per tahun atau Rp. 100.000 (seratus
ribu perbulan). Kalau dianalogikan kepada zakat pertanian, maka bagi zakat
profesi tidak ada ketentuan haul, ketentuan waktu menyalurkan adalah pada saat
menerima, misalnya tiap bulan. Karena itu profesi yang menghasilkan pendapatan
setiap hari (seperti : dokter yang membuka praktek sendiri aau para da‟i yang
setiap hari berceramah) zakatnya dikeluarkan sebulan sekali. Sama dengan zakat
pertanian yang dikeluarkan saat pada panen (sesuai firman Allah Surat al An‟aam
: 141).
Kedua pendapat di atas menggunakan qiyas yang ilat hukumnya
ditetapkan berdasarkan metode syabah. Contoh (qiyas syabah) yang dikemukakan
oleh Muhammad al Amidi adalah hamba sahaya yang dianalogikan pada 2 hal
yaitu pada manusia (nafsiyyah) menyerupai orang yang merdeka (al hur) dan
dianalogikan pada kuda karena dimiliki dan dapat diperjual belikan di pasar.
Pada tahun 2003, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa
tentang zakat penghasilan sesuai dengan “Keputusan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 tentang zakat penghasilan. Dalam fatwa tersebut
5. dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap pendapatan
seperti gaji, honorium, upah, jasa dan lain-lain yang diperoleh dengan cara yang
halal, baik rutin seperti pejabat Negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak
rutin seperti dokter, pengacara, konsultan dan sejenisnya, serta pendapatan yang
diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya. Dalam hal ini terdapat perbedaan antara
Yusuf Qardhawi dan Majelis Ulama Indonesia dalam mengartikan penghasilan
atau pendapatan. Kalau menurut Yusuf Qardawi penghasilan adalah didasarkan
berdasarkan keahlian yang dilakukan secara sendiri maupun bersama-sama.
Sedangkan dalam fatwa MUI tersebut penghasilan diartikan sebagai pendapatan
rutin atau tidak rutin. Namun pemakalah lebih memilih mengikuti pendapat
berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Dalam fatwa MUI juga dijelaskan bahwa semua bentuk penghasilan yang
halal wajib dikeluarkan zakatnya dengan syarat telah mencapai nisab satu tahun
yaitu senilai emas 85 gram. Adapun kadar zakat penghasilan adalah 2,5 %. Waktu
pengeluaran zakat yaitu :
1. Zakat penghasilan dapat dikeluarkan pada saat menerima, jika sudah
cukup nisab.
2. Jika tidak mencapai nisab, maka semua penghasilan dikumpulkan
selama satu tahun, kemudian zakat dikeluarkan jika penghasilan
bersihnya sudah cukup nisab.
Berdasarkan uraian diatas, penulis berpendapat bahwa setiap keahlian dan
pekerjaan apapun yang halal, apabila telah mencapai nisab, maka wajib
dikeluarkan zakatnya. Hal ini didasarkan :
1. Ayat al a Quran yang bersifat umum yang mewajibkan semua harta
untuk dikeluarkan zakatnya.
2. Berbagai pendapat ulama terdahulu maupun sekarang, meskipun dengan
menggunakan istilah berbeda. Sebagian menggunakan istilah bersifat
umum yaitu (al amwaal), sementara sebagian lagi secara khusus
memberikan istilah dengan istilah (al maal al mustafaad) seperti
terdapat dalam fikih zakat dan al fiqh al Islamy wa „adillatuhu.
6. 3. Dari sudut keadilan yang merupakan cirri utama ajaran Islam, penetapan
kewajiban zakat pada setiap harta yang dimiliki akan terasa sangat
jelas, dibandingkan dengan hanya menetapkan kewajiban zakat pada
komoditas-komoditas tertentu saja yang konvensional. Petani yang
saat ini kondisinya secara umum kurang beruntung, tetap harus
berzakat, apabila hasil pertaniannya telah mencapai nisab. Karena itu
sangat adil pula, apabila zakat ini pun bersifat wajib pada penghasilan
yang didapatkan para dokter, para dosen dan profesi lainnya.
4. Sejalan dengan kehidupan umat manusia, khususnya dalam bidang
ekonomi, kegiatan melalui keahlian dan profesi akan semakin
berkembang dari waktu ke waktu. Penetapan kewajiban zakat
kepadanya, menunjukkan betapa hukum Islam sangat aspiratif dan
responsif terhadap pekembangan zaman.
Pada kesempatan ini penulis juga akan menyampaikan perbedaan cukup
mendasar antara UU Nomor 38 Tahun 1999 dan UU Nomor 23 tahun 2011
tentang pengelolaan zakat :
1. Pada pasal 6 ayat 1 UU Nomor 38 tahun 1999 dijelaskan bahwa
Pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat yang dibentuk oleh
pemerintah. Kemudian dalam pasal 6 ayat 2 huruf ( c ) dijelaskan
bahwa di daerah dapat dibentuk Badan Amil Zakat Daerah Kabupaten
(BAZDA). Namun, dalam pasal 15 ayat 3 UU Nomor 23 Tahun 2011
tidak dikenal lagi dengan BAZDA, namun disebutkan adalah
BAZNAS Kabupaten. Jadi ada perubahan penyebutan, artinya mesti
ada perubahan nama dari BAZDA Kabupaten menjadi BAZNAS
Kabupaten.
2. Mengenai masalah pembentukan juga terdapat perbedaan. Dalam pasal
6 ayat 1 UU Nomor 38 Tahun 1999 dijelaskan bahwa pembentukan
BAZDA Kabupaten adalah oleh Bupati atau Walikota atas usul
Departemen Agama Kabupaten atau Kota. Namun dalam pasal 15 ayat
3 UU Nomor 23 Tahun 2011 dijelaskan bahwa BAZNAS Kabupaten
dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas usul
7. Bupati/Walikota setelah mendapat pertimbangan ke BAZNAS.
Artinya UU Nomor 23 Tahun 2011menjelaskan bahwa pembentukan
BAZNAS Kabupaten dan Kota mesti dibentuk oleh Menteri atas usul
Bupati dan Walikota. Kalau dalam UU Nomor 38 Tahun 1999
dijelaskan bahwa BAZDA Kabupaten dan Kota dibentuk oleh Bupati
dan Walikota. Artinya pengelolaan zakat ada peningkatan dalam UU
Nomor 23 Tahun 2011, karena mesti dibentuk oleh Menteri.
3. Dalam UU Nomor 23 Tahun 2011 tidak dikenal lagi Badan Amil Zakat
(BAZ) Kecamatan, padahal dalam pasal 6 ayat 2 huruf ( c ) UU
Nomor 38 Tahun 1999 dikenal Badan Amil Zakat Kecamatan.
Kemudin jika terjadi sengketa masalah zakat, maka menurut pasal 49
huruf ( f ) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, maka
mesti diselesaikan dan diputus oleh Pengadilan Agama.
Pointer Penting Undang-Undang
Zakat Baru No. 23 tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat Pengganti UU
No.38 Tahun 1999
Pengesahan Undang Undang No. 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono pada 25
November 2011 disikapi beragam oleh para praktisi dan pemerhati
pengelola zakat. Perbedaan ini sah-sah saja dan merupakan dinamika
yang lazim dalam setiap pengambilan sebuah keputusan politik termasuk
pengesahan UU tentang Pengelolaan Zakat. Walau demikian, kejelasan
kondisi atau permasalahan perlu dipahami bersama agar pensikapan
selanjutnya tidak masuk pada area perselisihan bahkan perpecahan yang
berdampak pada kontra produktif dalam dunia perzakatan.
Pemahaman yang perlu dibangun diantara para pengelola zakat
agar dapat secara obyektif melihat UU Pengelolaan Zakat adalah
memahami karakteristik pengelolaan zakat. Dengan memahami
8. karakteristik pengelolaan zakat maka kita akan melihat dari sisi pandang
yang sama dan insya Allah benar sehingga melahirkan pemahaman dan
pensikapan yang tidak bertentangan secara diametral.
Beberapa pointer perubahan yang signifikan dari Undang-Undang zakat
yang baru antara lain:
1. Adanya Penguatan Kelembagaan BAZNAS yang terintegrasi sampai ke
BAZNAS tingkat Kota/kabupaten (dahulu BAZ Kota/Kabupaten). BAZ
Kecamatan menjadi UPZ Kecamatan
Penguatan kelembagaan BAZNAS akan menciptakan keteraturan,
sinergitas dan harmoni dengan aktivitas pengumpulan zakat yang sudah
berjalan di masjid-masjid dan di tempat lainnya dengan memberi wadah
UPZ supaya terkoordinir dengan baik. Sebab itu, undang-undang yang
baru tidak menggunakan kata ”pengorganisasian” seperti pada undang-
undang yang lama, melainkan ”pengoordinasian” dalam ketentuan umum
pengelolaan zakat.
2. Lebih diperjelasnya ikatan hubungan BAZNAS dengan pemerintah
Daerah.
Dalam kerangka otonomi daerah, walaupun agama termasuk urusan
pemerintahan yang tidak diotonomikan, namun dalam undang-undang
pengelolaan zakat, Pemerintah Daerah memiliki peran yang strategis
seperti yang berjalan selama ini. Berikut empat klausul yang mengikat
secara permanen hubungan BAZNAS dengan Pemerintah Daerah, ialah:
(a) BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dibentuk oleh Menteri
Agama atas usul Gubernur atau Bupati/Walikota. (b) BAZNAS
kabupaten/kota dan BAZNAS provinsi wajib menyampaikan laporan
pengelolaan zakat, infaq, shadaqah dan dana sosial keagamaan lainnya
kepada BAZNAS setingkat di atasnya dan kepada Pemerintah Daerah
secara berkala. (c) Dalam melaksanakan tugasnya BAZNAS provinsi dan
BAZNAS kabupaten/kota dibiayai dengan anggaran pendapatan dan
belanja daerah (APBD). (d) Gubernur dan Bupati/Walikota melaksanakan
9. pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS provinsi dan BAZNAS
kabupaten/kota.
3. Kepengurusan BAZNAS yang dibentuk langsung oleh menteri atas usul
kepala daerah mengindikasikan sebuah tanggung jawab yang lebih besar
bagi kepengurusan BAZ. Kepengurusan BAZ yang lebih ramping
berjumlah sebanyak-banyaknya (11 orang) terdiri dari 8 (delapan) orang
dari unsur masyarakat dan 3 (tiga) orang dari unsur pemerintah. Dalam
melaksanakan tugasnya Pengurus dibantu oleh sekretariat.
4. Adanya Pengaturan terhadap izin pendirian LAZ (lembaga Amil Zakat)
antara lain paling sedikit memenuhi syarat (1) terdaftar sebagai organisasi
kemasyarakat Islam yang mengelola pendidikan, dakwah dan sosial, (2)
Berbentuk badan hukum, (3) mendapat rekomendasi BAZNAS, (4)
memiliki pengawas syariat, (5) memiliki kemampuan teknis, administrasi,
dan keuangan dll. Untuk LAZ yang sudah resmi dikukuhkan oleh Menteri
dinyatakan LAZ yang resmi.
5. undang-undang pengelolaan zakat tidak menghambat masyarakat untuk
berbuat baik melalui pemberdayaan infaq, shadaqah, dan sebagainya.
Khusus mengenai zakat, bahwa menunaikan zakat bukan hanya urusan
manusia dengan Tuhan. Tetapi ada bagian-bagian yang memang harus
dilembagakan. Pemerintah dan lembaga legislatif (dalam hal ini DPR-RI)
telah mengambil langkah yang bijak ketika memutuskan nama undang-
undang, yaitu Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat, dan bukan
Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat, Infaq dan Shadaqah.
6. Adanya sanksi bagi orang yang dengan sengaja bertindak sebagai amil
melakukan pengumpulan dan pendistribusian zakat tanpa izin pejabat
yang berwenang dengan sanksi kurungan (1) tahun atau denda sebanyak-
banyaknya Rp.50.000.000 juta rupiah.
7. akan dialokasikannya dana operasional BAZNAS dalam APBN melalui
DIPA Kementerian Agama.
Regulasi atau undang-undang bukanlah tujuan, melainkan alat yang
kita gunakan bersama untuk mencapai tujuan pengelolaan zakat.
10. Sebagaimana yang dikatakan Prof. Dr. Nasaruddin Umar bahwa “regulator
sejati dalam hukum zakat ialah Allah SWT”. Wallahualam (Haryati/
Sekretaris BAZ)
Penjelasan UU RI no 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat
1. Latar Belakang Masalah
Undang-undang RI no 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat merupakan
Undang-undang yang baru. Sesuai dengan dengan namanya, undang-undang No
38 Tahun 1999 ini lebih menekankan pada aspek pengelolaan zakat, yakni
kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap
pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan dana zakat. Di dalam
undang-undang tersebut, kita tidak akan menemukan ketentuan nisab, kadar, dan
waktu pengeluaran zakat. Hal yang terbanyak diungkapkan di dalam undang-
undang no 38 tahun 1999 ini adalah tentang prinsip-prinsip dan teknis
pengelolaan zakat.
Sebenarnya gagasan untuk membuat undang-undang tentang pengelolaan dana
zakat ini sudah ada pada zaman orde baru. Karena, zakat merupakan suatu ibadah
yang dapat memperkuat rasa persatuan dan kesatuan. Oleh karena itu, maka
pemerintah secara akomodatif membuat suatu aturan-aturan yang berproses untuk
mengakomodir ibadah ini.
Adapun latar belakang dikeluarkannya undang-undang nomor 38 tahun 1999 ini
tentang pengelolaan zakat adalah:1. Adanya pasal 19 ayat 1 Undang-undang
Dasar 1945 bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
beribadah menurut agamanya masing-masing.
2. Penunaian zakat merupakan kewajiban umat Islam di Indonesia yang mampu
dan berhasil mengumpulkan dana zakat yang merupakan sumber dana yang
berpotensial bagi upaya mewujudkan kesejahteraan umat.
3. Zakat merupakan pranata keagamaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia dengan masyarakat yang kurang mampu.
4. Upaya sistem pengelolaan dana zakat perlu harus ditingkatkan agar hasil guna
dan berdaya, untuk itu diperlukan undang-undang pengelolaan dana zakat.
Dengan dibentuknya undang-undang pengelolaan zakat ini diharapkan dapat
ditingkatkan kesadaran Muzakki untuk menunaikan kewajiban zakat dalam
rangka penyucian diri terhadap harta yang dimilikinya, mengangkat derajat
Mustahiq dan meningkatkan keprofesionalan lembaga zakat dalam mengelola
zakat itu sendiri, yang semuanya untuk mendapatkan ridha dari Allah Swt.
Maka patut kita syukuri telah lahir undang-undang nomor 38 tahun 1999 tentang
pengelolaan zakat. Ketentuan ini semakin mengokohkan eksistensi BAZIS di
Negara kita.
Hal ini merupakan dukungan terhadap tuntunan Al-Qur‟an surat At-Taubah ayat
60 "Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
11. miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Yang berhak menerima zakat Ialah: 1. orang fakir: orang yang Amat sengsara
hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.
2. orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam Keadaan
kekurangan. 3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan
membagikan zakat. 4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan
orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5. memerdekakan
budak: mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang
kafir. 6. orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang
bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang
untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat,
walaupun ia mampu membayarnya. 7. pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk
keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara mufasirin ada yang
berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum
seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8. orang yang sedang dalam
perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
Adapun pengelolaan zakat adalah meningkatkan pelayanan bagi masyarakat
dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama Islam, meningkatkan
fungsi dan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dan keadilan sosial, serta meningkatkan hasil guna dan daya guna
dana zakat itu sendiri.
Dalam perspektif Islam salah satu wujud meningkatkan peran serta umat Islam
dalam pembangunan nasional yang sejalan dengan rukun Islam adalah, dalam
bentuk pemberian zakat. Zakat merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang
mampu untuk membayarnya dan diperuntukkan bagi mereka yang berhak
menerimanya. Sehingga, zakat merupakan sumber dana potensial yang perlu
dikelola secara profesional dan bertanggungjawab untuk memajukan
kesejahteraan umum.
Untuk menjadi badan pengelolaan zakat yang dapat dipercaya masyarakat,
keadaan ini akan memaksa pengelolaan zakat untuk mempunyai manajemen
pengelolaan zakat yang baik. Untuk itu diperlukan pengetahuan yang memadai
tentang terlaksananya fungsi-fungsi manajemen seperti perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, serta pengawasan terhadap pendayagunaan atau
pendistribusian dana zakat.
Akan tetapi pola manajemen dan pengelolaan zakat di Indonesia dinilai belum
optimal dikelola dengan baik, karena kurangnya tenaga ahli yang profesional,
sehingga zakat yang memiliki banyak fungsi, bahkan belum diatur oleh
pemerintah dengan benar sesuai syariah, adapun fungsi zakat tersebut adalah:
a. Zakat itu sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Swt.
b. Zakat merupakan sarana pencintaan kerukunan hidup antara golongan kaya
dengan golongan fakir miskin.
c. Membersikan harta yang kotor, karena telah telah tercampur dengan harta
Mustahiq (Golongan orang yang menerima zakat).
12. d. Memberikan modal kerja kepada golongan lemah untuk menjadi manusia yang
mampu hidup secara layak.
e. Sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana
yang harus dimiliki umat Islam.
f. Dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, zakat merupakan salah satu
instrumen pemerataan pendapatan.
Zakat umumnya yang kita kenal hanya Zakat Fitrah, Zakat Maal (emas dan
perak), zakat perdagangan dan pertanian, padahal zakat di dunia perekonomian
modern memiliki sumber lebih beragam seperti zakat profesi, zakat perusahaan,
zakat surat-surat berharga, zakat perdagangan mata uang, dan lainnya yang
membutuhkan sebuah lembaga dengan para pengelola (Amil) yang profesional
agar dapat mengatur dan mengembangkan sumber zakat tersebut.
Pengelolaan zakat yang profesional terutama dalam manajemen zakat di Lembaga
Amil Zakat (LAZ) sebagaimana dirumuskan menjadi lebih teknis, operasional dan
terukur yaitu usaha bersama untuk menanamkan keyakinan, menumbuhkan sikap
dan prilaku umat manusia baik perorangan maupun kelompok dengan cara lisan
dan perbuatan menurut nilai-nilai ajaran Islam untuk dihayati dalam kehidupan
sehari-hari secara pribadi, keluarga dan masyarakat sehingga menjadi ummat yang
sejahtera lahir dan batin, bahagia dunia dan akhirat.
2. Teori Pengelolaan Zakat
Zakat, sebagai salah satu bentuk peribadatan yang lebih mengedepankan nilai-
nilai sosial disamping pesan-pesan ritual, tampak memiliki akar sejarah yang
sangat panjang. Bisa diduga hampir sepanjang usia umat manusia itu sendiri
(generasi Nabi Adam As) atau paling sedikit mulai generasi beberapa Nabi Allah
sebelum Nabi Muhammad Saw.
Akan halnya empat rukun Islam yang lain, yakni : Syahadat, Shalat, Puasa, dan
Haji, zakat umum diposisikan sebagai rukun ketiga, pada dasarnya juga telah
disyariaatkan Allah sejak generasi para Nabi sebelum Nabi Muhammad Saw.
Bahkan tidak menutup kemungkinan sejak zaman Nabi Adam As. Hal-hal yang
dikemukakan di atas jelas-jelas mengindikasikan wujud persyariatan zakat kepada
para Nabi Allah yang terdahulu. Hanya saja, umat mereka (umat Nabi sebelum
Nabi Muhammad) mengingkari persyariatan zakat ini. Pengingkaran itu,
sesungguhnya tidak hanya terjadi pada masa-umat sebelum Nabi Muhammad
Saw.
Dalam pengelolaan zakat secara produktif (dimensi sosial ekonomi) banyak
menghadapi permasalahan, diantaranya :
a) Fiqh zakat yang berkembang dan dipahami oleh umat Islam Indonesia
merupakan hasil rumusan para Ulama terdahulu sehingga banyak yang tidak
sesuai dengan perkembangan keaadaan zaman.
b) Belum adanya persamaan persepsi dan langkah dalam pengelolaan zakat,
sehingga mereka melakukannya secara sendiri-sendiri baik perorangan maupun
kelompok sesuai dengan kepentingannya.
c) Belum adanya pola (manajemen) pengelolaan zakat yang standar untuk menjadi
13. pedoman.
d) Kurangnya motivasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang pengelolaan
zakat.
Pada masa yang akan datang, perlu sebuah rumusan dan langkah pengelolaan
zakat yang profesional dan bertanggungjawab serta mendapat dukungan dari
semua kelompok umat Islam, dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dan pendayagunaan diarahkan untuk usaha-usaha produktif.
Secara demografik dan kultural, bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Muslim
sebenarnya memiliki potensi strategi yang layak dikembangkan menjadi salah satu
instrumen pemerataan pendapatan, yaitu institusi zakat, infaq, dan shadaqah (ZIS).
Karena secara demografik, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, dan
secara kultural, kewajiban zakat, dorongan untuk berinfaq, dan bershadaqah di
jalan Allah telah mengakar kuat dalam tradisi kehidupan masyarakat Indonesia,
secara ideal, bisa terlihat dalam mekanisme pengelolaan zakat. Apabila semua itu
bisa terlaksana dalam aktivitas sehari-hari umat Islam, maka secara hipotetik,
zakat berpotensi mempengaruhi aktivitas ekonomi nasional.
Secara substantif, zakat, infaq, dan shadaqah merupakan bagian dari mekanisme
keagamaan yang berintikan semangat pemerataan pendapatan. Dana zakat
diambilkan dari harta orang yang berkelebihan dan disalurkan kepada orang-orang
yang kekurangan. Zakat tidak dimaksudkan memiskinkan orang kaya, juga tidak
melecehkan jerih payah orang kaya. Hal ini disebabkan karena zakat diambil dari
sebagian kecil harta yang wajib dizakati. Jadi, alokasi dana zakat dapat disalurkan
kepada kelompok masyarakat tertentu.
Seperti halnya dengan zakat, walaupun infaq dan shadaqah tidak wajib, dua
institusi ini merupakan media pemerataan pendapatan bagi umat Islam yang
sangat dianjurkan. Artinya, infaq dan shadaqah merupakan media untuk
memperbaiki taraf kehidupan, selain kewajiban zakat bagi orang Islam yang
mampu. Dengan demikian, dana zakat, infaq, dan shadaqah bisa diuapayakan
secara maksimal untuk memperdayakan ekonomi masyarakat.
Pengembangan pemaknaan zakat semacam ini perlu dilakukan karena pemaknaan
zakat oleh seseorang atau lembaga dapat mempengaruhi orientasi dan model
pengelolaan dana zakat dalam kehidupan bermsyarakat dan bernegara. Secara
teologis, zakat adalah memberikan sebagian kekayaannya untuk orang lain atas
dasar kepatuhannya kepada Allah Swt. Sedangkan secara sosial ekonomi, zakat
diharapkan dapat membantu dan memperbaiki taraf sosial-ekonomi penerimanya
serta mempererat hubungan si kaya dan si miskin. Selain itu, apabila zakat
dimaknai secara politis strategis, maka zakat juga diharapkan mampu memberikan
implikasi yang besar pada penguatan daya tahan bangsa dalam melangsungkan
kehidupannya. Demikian pula dengan pengembangan pemaknaan infaq dan
shadaqah.
Dalam perspektif nasional, lembaga amil zakat diharapkan tidak hanya terpaku
untuk memikirkan kebutuhan sendiri, melaikan juga harus peduli terhadap warga
masyarakat untuk mengatasi kemiskinan dan kemelaratan. Kehadiran lembaga
amil zakat selain bersifat keagamaan, juga ditempatkan dalam konteks cita-cita
14. bangsa, yaitu membangun masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, da makmur.
Jadi, peningkatan daya guna lembaga amil zakat, khususnya dalam melakukan
pembangunan ekonomi masyarakat, mesti dilestarikan.
Sebagaimana telah diketahui, bahwa dua undang-undang penting yang berkenaan
dengan soal perzakatan ditanah air dilahirkan, yakni UU Nomor 38 tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat. Dan salah satu tahap penting setelah proses legislasi
selesai dilakukan adalah tahap implementasi termasuk didalamnya adalah proses
institusionalisasi. Institusionalisasi dari UU No. 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat tersebut kiranya akan lebih banyak mengenai lembaga
pengelolaan zakat (LPZ). Sebagaimana telah dimaklumi juga, LPZ-LPZ sebelum
UU Pengelolaan Zakat dilahirkan bukannya tidak ada. Sudah ada, bahkan
jumlahnya baik yang dibentuk atas prakarsa masyarakat atau pemerintah, juga
cukup banyak.
Berlakunya undang-undang tersebut jelas akan memberikan implikasi yang cukup
banyak terhadap Lembaga Pengelola Zakat baik yang sudah ada maupun yang
akan diadakan.
Entah harus dimulai dari mana mengurus terabaikannya zakat selama ini. Kalau
ditelusuri ke belakang pada masa penjajahan, memang zakat tidak akan menjadi
sesuatu yang missal mengingat perbedaan kepentingan pemerintah Hindia
Belanda. Bahkan menurut penelitian Aqib Sumito dalam karyanya, Politik Islam
Hindia Belanda, dana kas Masjid di sebuah daerah Jawa Timur, digunakan untuk
merehab rumah seorang pejabat Hindia Belanda. Lantas bila diusut jauh lagi
kebelakang, juga masih ada tanda tanya besar, apakah zakat sudah menjadi bagian
keseharian dari budaya Indonesia dimasa kerajaan-kerajaan Islam?. Informasi
tentang sejarah zakat di Indonesia memang sangat minim. Tetapi bila di tinjau dari
sosial, berlangsungnya dakwah sedikit lebih banyak telah ditopang oleh sistem
zakat, infaq, dan shadaqah (ZIS) yang tumbuh dimasyarakat.
Berbeda dengan perkembangan perbankan syariah, pertumbuhan lembaga
pengelola zakat (LPZ) pun berjalan seolah tanpa persiapan yang matang. Pada
tahun 1968, Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), menggelar seminar zakat.
Seusai seminar, Presiden mendukung pembentukan Lembaga Amil Zakat
berdasarkan SK No. 07/Prin/1968. Berdasarkan SK itu, Guberbur DKI Jakarta,
segera membentuk Badan Amil Zakat (BAZ) dengan SK Gubernur
GB/14/8/18/68 tahun 1973. Dari nama BAZ dirubah menjadi BAZIS, karena juga
menghimpun dana Infaq dan Shadaqah.
Artinya jelas, tanpa pendidikan mengelola zakat, BAZ berjalan hanya berdasarkan
surat keputusan saja. Maka hingga awal tahun 90-an, secara resmi bicara zakat
adalah bicara BAZIS. Karena ditopang lebih serius oleh Pemda DKI, maka
BAZIS DKI menjadi satu-satunya referensi perusahaan bermunculan Baitul Maal
(BM) yang menghimpun dana ZIS karyawan setempat.
Pada tahun 1990, DPR menyetujui rancangan UU tentang zakat yang kemudian
tersahkan menjadi UU. Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat.
Artinya disahkannya UU itu, sedikit banyak tak lepas kaitannya dengan peran dan
eksistensi LPZ non-pemerintah. Dan memang dalam UU itu, keberadaan LPZ
non-pemerintah diakui eksistensinya. Pada saat yang bersamaan, dengan kelahiran
UU No. 38 tahun 1999, di masyarakat sendiri sudah terdengar kabar, bahwa akan
15. lahir sebuah lembaga yang khusus berkiprah dalam penyiapan SDM LPZ. Maka
di awal tahun 2000, lembaga bernama Institut Manajemen Zakat (IMZ) itu lahir.
Dasar-dasar hukum pengelolaan zakat adalah :
a) Undang-undang RI Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat;
b) Perundang-undangan RI Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Perubahan Ketiga atas
UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
c) Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan UU
Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat;
d) Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji
Nomor D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
Memajukan kesejahteraan umum merupakan salah satu tujuan Nasional Negara
Republik Indonesia yang diamanatkan dalam Pembentukan Undang-undang dasar
1945. Untuk mewujudkan tujuan Nasional tersebut, perlu dilakukan upaya, antara
lain dengan menggali dan memanfaatkan dana melalui zakat. Zakat merupakan
sumber dana potensial. Agar zakat dapat dimanfaatkan bagi pembangunan Bangsa
dan ketahanan Negara, terutama dalam rangka mengentaskan kemiskinan dan
menghilangkan kesenjangan sosial, perlu adanya pengelolaan zakat secara
profesional dan bertanggungjawab yang dilakukan oleh masyarakat dan
pemerintah.
B. Deskripsi Data
Perdebatan mengenai UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat
merupakan sesuatu hal yang menarik. Hal menarik inilah yang melatar belakangi
penelitian ini. Setelah membaca UU No 38 Tahun 1999 ini tentang pengelolaan
zakat tentu banyak persepsi masyarakat yang menyikapi tentang pengelolaan
zakat ini terlebih lagi warga masyarakat Kelurahan Palmerah Jakarta Barat.
Dalam hal ini, objek penelitiannya berasal dari kalangan masyarakat, yaitu
masyarakat Kelurahan Palmerah Jakarta Barat. Mengingat bahwa masyarakat
Kelurahan Palmerah yang sangat rajin membayar zakat, dan nalar tentang
keagamaannya sangat tinggi, yang diimbangi akhlak dan moral yang baik, baik
hal menerima, meresap, menyaring, dan memanfaatkan segala bentuk berita dan
informasi yang didapat.
Penjelasan UU No 23 Tahun 2011
Prasetyo
Naskah asli dapat diunduh dari http://www.djpp.kemenkumham.go.id
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
16. NOMOR 23 TAHUN 2011
TENTANG
PENGELOLAAN ZAKAT
I. UMUM
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Penunaian zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu sesuai
dengan syariat Islam. Zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk
meningkatkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan
kemiskinan.
Dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola
secara melembaga sesuai dengan syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan,
kepastian hukum, terintegrasi, dan akuntabilitas sehingga dapat meningkatkan
efektivitas dan efisiensi pelayanan dalampengelolaan zakat.
Selama ini pengelolaan zakat berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti. Pengelolaan zakat
yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi kegiatan perencanaan,
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan.
Dalam upaya mencapai tujuan pengelolaan zakat, dibentuk Badan Amil Zakat
Nasional (BAZNAS) yang berkedudukan di ibu kota negara, BAZNAS provinsi,
dan BAZNAS kabupaten/kota. BAZNAS merupakan lembaga pemerintah
nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden
melalui Menteri. BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas
pengelolaan zakat secara nasional.
Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian,
dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk Lembaga Amil Zakat
(LAZ). Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang
ditunjuk oleh Menteri. LAZ wajib melaporkan secara berkala kepada BAZNAS
atas pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang
telah diaudit syariat dan keuangan.
Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat Islam.
Pendistribusian dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan
prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan. Zakat dapat didayagunakan untuk
usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas
umat apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.
Selain menerima zakat, BAZNAS atau LAZ juga dapat menerima infak, sedekah,
dan dana sosial keagamaan lainnya. Pendistribusian dan pendayagunaan infak,
sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya dilakukan sesuai dengan syariat
17. Islam dan dilakukan sesuai denganperuntukan yang diikrarkan oleh pemberi dan
harus dilakukan pencatatan dalam pembukuan tersendiri.
Untuk melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibiayai dengan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara dan Hak Amil. Sedangkan BAZNAS provinsi dan BAZNAS
kabupaten/kota dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan
Hak Amil, serta juga dapat dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a.
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan asas “amanah” adalah pengelola zakat harus dapat
dipercaya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan asas “kemanfaatan” adalah pengelolaan zakat dilakukan
untuk memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi mustahik.
Huruf d
Yang dimaksud dengan asas “keadilan” adalah pengelolaan zakat dalam
pendistribusiannya dilakukan secara adil.
Huruf e
Yang dimaksud dengan asas “kepastian hukum” adalah dalam pengelolaan zakat
terdapat jaminan kepastian hukum bagi mustahik dan muzaki.
Huruf f
Yang dimaksud dengan asas “terintegrasi” adalah pengelolaan zakat dilaksanakan
secara hierarkis dalam upaya meningkatkan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat.
Huruf g
Yang dimaksud dengan asas “akuntabilitas” adalah pengelolaan zakat dapat
dipertanggungjawabkan dan diakses oleh masyarakat.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
18. Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “rikaz” adalah harta temuan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “badan usaha” adalah badan usaha yang dimiliki umat
Islam yang meliputi badan usaha yang tidak berbadan hukum seperti firma dan
yang berbadan hokum seperti perseroan terbatas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pihak terkait” antara lain kementerian, Badan Usaha
Milik Negara (BUMN), atau lembaga luar negeri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
19. Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Di Provinsi Aceh, penyebutan BAZNAS provinsi atau BAZNAS kabupaten/kota
dapat menggunakan istilah baitul mal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud “tempat lainnya” antara lain masjid dan majelis taklim.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
20. Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “usaha produktif” adalah usaha yang mampu
meningkatkan pendapatan, taraf hidup, dan kesejahteraan masyarakat.
Yang dimaksud dengan “peningkatan kualitas umat” adalah peningkatan sumber
daya manusia.
Ayat (2)
Kebutuhan dasar mustahik meliputi kebutuhan pangan, sandang, perumahan,
pendidikan, dan kesehatan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
21. Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.