HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
Jurnal penelitian Masyarakat Adat
1. KEDUDUKAN HAK ATAS TANAH MASYARAKAT HUKUM ADAT
DALAM PEMBANGUNAN PERKEBUNAN BERDASARKAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Oleh :
Erniwati,SH.,M.Hum1
Suryani Yusi,SH.,M.Hum2
ABSTRAK
Konsep penguasaan tanah berdasarkan hukum adat, yang disebut hak ulayat.
Pengakuan terhadap hak ulayat masih ada atau tidak, diatur melalui Pasal 2 ayat (2) Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis empiris, yaitu bentuk penelitan
yang meneliti data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data
primer di lapangan atau di masyarakat.
Dari penelitian ini didapat bahwa pengakuan terhadap tanah masyarakat adat atau hak
ulayat telah diakui oleh berapa perundang-undangan, sedangkan perlindungan hukum tanah
adat di Sumatera Selatan belum ada Peraturan Daerah yang mengaturnya dan bila
dihubungkan dengan pembangunan perkebunan sipat pengakuannya masih dilakukan
pemberian ganti kerugian terhadap pemilik tanah adat.
Kata kunci : Pengaturan,Penguasaan, Tanah Adat
A. Latar Belakang
Salah satu tujuan dari pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat
adil dan makmur, dimana masyarakat yang adil dan makmr itu akan diwujudkan melalui
pembangunan diberbagai bidang diantaranya bidang ekonomi.3 Usaha yang dilakukan oleh
pemerintah untuk melancarkan pembangunan di bidang ekonomi salah satunya adalah di
bidang perkebunan.
Definisi Perkebunan menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 2004
Tentang Perkebunan adalah
“Segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media
tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan
jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha
perkebunan dan masyarakat”.
1 Dosen Fakultas Hukum Universitas IBA Palembang
2 Ibid
3 Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal, Kencana ,Jakrta, 2004, hal.1
2. Dari Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 ini dapat diketahui bahwa
perkebunan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan nasional,
terutama dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, penerimaan devisa
negara, penyediaan lapangan kerja, perolehan nilai tambah dan daya saing, pemenuhan
kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan baku industri dalam negeri serta optimalisasi
pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. 4
Pengembangan perkebunan dilaksanakan berdasarkan kultur teknis perkebunan dalam
kerangka pengelolaan yang mempunyai manfaat ekonomi terhadap sumber daya alam yang
berkesinambungan. Pengembangan perkebunan yang berkesinambungan tersebut akan
memberikan manfaat peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara optimal,
melalui kesempatan yang sama untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya alam, modal,
informasi, teknologi, dan manajemen. Apabila akses tersebut terbuka bagi seluruh rakyat
Indonesia, akan menciptakan hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan antara
pelaku usaha perkebunan, masyarakat pemilik lahan serta masyarakat sekitar perkebunan.
Namun demikian, hubungan harmonis yang diharapkan antara investor dan pemilik
lahan seringkali tidak terjadi sehingga menimbulkan masalah pertanahan yang terjadi antara
perusahaan dengan perorangan, maupun dengan kelompok masyarakat sekitar perkebunan.
Permasalahan pertanahan di Indonesia umumnya dan Sumatera Selatan khususnya seringkali
berujung dengan konflik hukum (perselisihan/sengketa) yang membuat keadaan menjadi
tidak kondusif dan tidak nyaman bagi para pihak yang mengalaminya.5
Penyebab lain yang sering menimbulkan sengketa pertanahan adalah masalah
penguasaan tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat. Masyarakat adat tidak hanya meyakini
dirinya sebagai penguasa tanah sejak nenek moyang mereka,tetapi sebagai pemilik tanah atas
dasar hukum adat yang mereka jalankan sehari-hari,sehingga cukup kuat untuk dipertahankan
kepenguasaan dan atau kepemilikannya sedangkan tanah tersebut dibutuhkan oleh usaha
perkebunan. Konsep penguasaan tanah berdasarkan hukum adat, yang disebut hak ulayat.
Pengertian hak ulayat menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, adalah
“ Kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat
tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya
untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah
tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan
4http://andiansyah-hukumbisnis.blogspot.com/,diakses tanggal 19 April 2015, Pukul 10.00 Wib
5Supriyadi Amir, Sukses Membeli Tanah Tanpa Modal,Laskarkara, Bandung,2012, hlm. 92
3. secara lahiriah dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat
hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Dari pengertian di atas dapat diambil pengertian, bahwa hak ulayat diakui, apabila
dalam kenyataanya memang masih. Pengakuan adanya hak ulayat terdapat di dalam, Pasal 3
No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang berbuyi :
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat
dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat Hukum Adat, sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak
boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan (hukum) lain
yang lebih tinggi”.
Namun demikian, pengakuan terhadap hak ulayat masih ada atau tidak, diatur melalui
Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.5 Tahun 1999 Tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yakni:
a. terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya
sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan
menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya
sehari-hari,
b. terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga
persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya
sehari-hari,dan
c. terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan
tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum
tersebut
Sedangkan menurut Maria S.W. Sumardjono dalam bukunya “Kebijakan Pertanahan
Antara Regulasi dan Implementasi” menjelaskan pula tentang kriteria penentu masih ada atau
tidaknya hak ulayat harus berdasarkan : :
1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu subyek Hak
Ulayat
2. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum yang
merupakan obyek Hak Ulayat
3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan
tertentu.6
Pengakuan hak ulayat dalam peraturan di atas menjadi dasar yang kuat bagi kelompok
masyarakat adat untuk menguasai, mengatur dan memanfaatkan tanah-tanah ulayatnya.
6 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implrmentasi, kompas,
Jakarta, 2005, hlm.57
4. Kepemilikan tanah dalam masyarakat hukum adat terjadi secara ipso facto,artinya
tanah dipandang sudah dikuasai apabila secara kasat inderawi telah nyata- nyata ditempati,
dimanfaatkan dan diusahakan serta dirawat oleh orang baik sebagaipemukim atau
penggarap.7 Hal ini berarti bahwa kepastian hukum pemilikan tanah dalam hukum adat, tidak
dapat dipahami menurut perspektif ipso jure sebagaimana yang dikehendaki oleh
UUPA,melainkan harus dipahami menurut perspektif hukum adat itu sendiri.
Memahami kepastian hukum pemilikan tanah dalam hukum adat dengan
menggunakan perspektif peraturan perundang-undangan, mengakibatkan kepemilikan tanah
berdasarkan hukum adat menjadi tidak diakui.Hal ini dikarenakan pemiliknya tidak dapat
memperlihatkan adanya cukup bukti hak atas tanah sebagaimana yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Selain itu permasalahan pertanahan dapat juga muncul dikarenakan adanya berbagai
peraturan perundang-undangan yang memfasilitasi sektor pemerintah maupun sektor swasta
untuk memperoleh tanah dalam rangka melaksanakan kegiatan usahanya. Salah satu upaya
pemerintah tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No 36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang diganti
dengan Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. 8
Pada awalnya PP No.36 Tahun 2005 menuai kontroversi yang bersumber pada
definisi kepentingan umum yang terlalu luas dan jaminan kompensasi bagi masyarakat yang
tanahnya diambil alih untuk kegiatan pembangunan demi kepentingan umum.Namun dengan
dikeluarkannya Perpres no. 71 Tahun 2012 tentang Perubahan Perpres No. 36 Tahun 2005,
definisi kepentingan umum relatif lebih tegas dan berkepastian hukum.
Berbagai skema kerjasamapun dirumuskan untuk memudahkan proses
pengambialihan tanah dari masyarakat,antara lain skema inti-plasma,koperasi, jual
beli,konsolidasi tanah maupun kompensasi, seharusnya pemberian Hak Guna Usaha oleh
pemerintah hendaknya tetap bertujuan untuk kemakmuran rakyat dengan cara tetap
mempertahankan akses rakyat terhadap tanah tersebut bahkan harus memfasilitasi untuk
dapat memanfaatkan tanah sehingga tercipta hubungan yang saling menguntungkan antara
pengusaha dan pemilik tanah bahkan masyarakat dimana perkebunan itu berada.
7 Soetandyo Wignyosoebroto, Tanah Negara, Tanah Adat yang Dinasionalisasi, Elsam, Jakarta,
1996, hlm. 22
8 Op.cit
5. Berdasarkan latar belakang di atas penulis ingin melakukan penulisan dalam bentuk
proposal penelitian dengan judul “Kedudukan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat
Dalam Pembangunan Perkebunan Berdasarkan Perundang-Undangan Di Indonesia”.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini peneliti mengangkat dua
permasalahan, yaitu :
1. Bagaimana pengaturan hukum pertanahan hak atas tanah masyarakat hukum adat
berdasarkan perundang-undangan di Indonesia?
2. Bagaimana perlindungan hukum hak atas tanah masyarakat hukum adat di
Sumatera Selatan?
C.Pembahasan
A. Pengaturan Hukum Pertanahan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat
Berdasarkan Perundang-Undangan Di Indonesia
Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh Cornelius
van Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid dari Cornelius van Vollenhoven mengeksplor
lebih mendalam tentang masyarakat hukum adat. Ter Haar memberikan pengertian
sebagai berikut:
Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, menetap di
suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan
sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun yang tidak terlihat, dimana para
anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat
sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun diantara para
anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan
yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari
ikatan itu untuk selama-lamanya.24
Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat, masyarakat adat adalah sekelompok orang yang terikat
oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena
kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
24 Husen Alting,Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat
Hukum Adat Atas Tanah ,Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2010, hlm. 30.
6. Salah satu bentuk hak masyarakat hukum adat adalah hak atas tanah adat .Secara
umum,hak atas tanah adat yang terdapat pada berbagai suku di Indoensia dapat
dibedakan atas dua bentuk, yaitu: "hak ulayat" dan "hak pakai". Hak ulayat merupakan
hak meramu atau mengumpulkan hasil hutan serta hak untuk berburu. Pada hak ulayat
yang bersifat komunal ini, pada hakekatnya terdapat pula hak perorangan untuk
menguasai sebagian dari objek penguasaan hak ulayat tersebut. Untuk sementara waktu,
seseorang berhak mengolah serta menguasai sebidang tanah dengan mengambil hasilnya,
tetapi bukan berarti bahwa hak ulayat atas tanah tersebut menjadi terhapus karenanya.
Hak ulayat tetap melapisi atau mengatasi hak pribadi atau perseorangan tersebut. Hak
ulayat baru pulih kembali bila orang yang bersangkutan telah melepaskan hak
penguasaannya atas tanah ulayat tersebut. Sementara hak pakai membolehkan seseorang
untuk memakai. Sebidang tanah bagi kepentingannya biasanya terhadap tanah sawah dan
ladang yang telah dibuka dan dikerjakan terus-menerus dalam waktu yang lama.25
Sementara Van Dijk membagi tiga bentuk hak-hak atas tanah adat yaitu: hak
persekutuan atau pertuanan, hak perorangan, dan hak memungut hasil tanah.
Perbedaannya adalah sebagai berikut:
1.Hak persekutuan atau hak pertuanan mempunyai akibat keluar dan kedalam.
Akibat ke dalam antara lain emperbolehkan anggota persekutuan (etnik, sub
etnik, atau fam) untuk menarik keuntungan dari tanah dengan segala yang ada di
atasnya, misalnya mendirikan rumah, berburu, maupun menggembalakan
ternak. Izin hanya sekedar dipergunakan untuk keperluan hidup keluarga dan
diri sendiri, bukan untuk diperdagangkan. Akibat keluar ialah larangan terhadap
orang luar untuk menarik keuntungan dari tanah ulayat, kecuali setelah
mendapat izin dan sesudah membayar uang pengakuan (recognitie), serta
larangan pembatasan atau berbagai peraturan yang mengikat terhadap orang-
orang untuk mendapatkan hak-hak perorangan atas tanah pertanian.
2.Hak perorangan atas tanah adat terdiri dari hak milik adat (inland bezitrecht),
dimana yang bersangkutan tenaga dan usahanya telah terus menerus
diinvestasikan pada tanah tersebut, sehingga kekuatannya semakin nyata dan
diakui oleh anggota lainnya. Kekuasaan kaum atau persekutuan semakin
menipis sementara kekuasaan perorangan semakin kuat. Hak milik ini dapat
dibatalkan bila tidak diusahakan lagi, pemiliknya pergi meninggalkan tanah
tersebut, atau karena tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan.
3.Hak memungut hasil tanah (genotrecht) dan hak menarik hasil. Tanah ini secara
prinsip adalah milik komunal esatuan etnik, namun setiap orang dapat
25 Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hukum Agraria, Ghalia Indonesia
,Jakarta:, 1993,hlm. 16
7. memungut hasil atau mengambil apapun yang dihasilkan tanaman di atas tanah
tersebut.26
Pengakuan terhadap tanah masyarakat hukum adat dan hak-haknya dinyatakan
dalam Pasal 18B ayat (2) (Amandemen kedua) Pasal 2 ayat (4), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 22
ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 56, Pasal 58 UUPA, Pasal VI dan Pasal VII ketentuan
Konversi. Disamping itu keberadaan hukum adat juga dapat dijumpai pada konsideran
dan penjelasan UUPA,Pasal 67 ayat 1 UU.No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan,
Undang Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang
Pasal 18B ayat (2) (Amandemen kedua) menyebutkan bahwa “Negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Dan juga pada Pasal
28i ayat (3) (Amandemen Kedua) menyebutkan bahwa “Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”.
. Pasal 2 ayat (4) UUPA dinyatakan bahwa :“Hak menguasai dari Negara di atas
pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-
masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah”.
Pasal 3 UUPA diatur bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak serupa itu dari
masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara serta tidak bertentangan dengan undang- undang dan
peraturan yang lebih tinggi, tetap diakui.
Selanjutnya Pasal 5 UUPA menegaskan bahwa :
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang
berdasarkan atas persatuan bangsa dan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan
peraturan perundangan lainnya segala sesuatunya dengan mengindahkan unsur-
unsur yang bersandar pada hukum agama”.
Pada Penjelasan Umum bagian II angka 2 menyebutkan bahwa:
“......Negara sebagai organisasi kekuasan dari seluruh rakyat/bangsa bertindak
selaku Badan Penguasa, sehingga disebutkan bahwa pada tingkatan tertinggi
26 Merza Gamal, Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam: Pembangunan Kesejahteraan
Berkeseimbangan dan Berkeadilan, Badan Penerbit Universitas Riau (Unri Press ,
Pekanbaru,,2006,hlm..21
8. tanah (bumi, air dan ruang angkasa) “dikuasai” oleh Negara, bukan dimiliki oleh
Negara. Kekuasaan Negara dimaksud meliputi semua bumi, air dan ruang
angkasa baik yang sudah ada hak maupun yang belum.
Kedudukan Hak Ulayat dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) yaitu;
Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya
disebut hak ulayat), adalah kewenagan yang menurut hukum adat dipunyai oleh
masyarakayt hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan
lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya
alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan
kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahirian dan batiniah turun
menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan
wilayah yang bersangkutan.
Unsur-unsur hak ulayat sebagaimana termuat didalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan
Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tersebut yaitu :
1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum
adanya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu yang
mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam
kehidupannya sehari-hari.
2. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga
persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya
sehari-hari.
3. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan
penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga
persekutuan hukum tersebut. Bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999, dalam hukum tanah nasional
Indonesia mengakui adanya hak ulayat sepanjang kenyataannya masih ada dan
memenuhi unsur-unsur dan kriteria hak ulayat dalam hukum adat suatu
masyarakat dalam suatu wilayah
Bentuk pengelolaan sumberdaya alam berdasarkan hukum adat juga dijamin oleh
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, dalam Penjelasan pasal
4 ayat 2 dari Undang Undang tersebut menyatakan bahwa :
Penggantian yang layak diberikan pada orang yang dirugikan selaku pemegang
hak atas tanah, hak pengelolaan sumberdaya alam seperti hutan, tambang, bahan
galian, ikan dan atau ruang yang dapat mebuktikan bahwa secara langsung
dirugikan sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan sesuai dengan
rencana tata ruang dan oleh perubahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang.
Hak tersebut didasarkan atas ketentuan perundang-undangan ataupun atas dasar
hukum adat dan kebiasaan yang berlaku.
Dengan adanya berbagai peraturan dan kebijakan mengenai tanah yang telah
dikemukakan di atas, seharusnya dapat dijadikan patokan dalam dua hal yaitu : di satu
pihak peraturan itu merupakan landasan bagi pihak pemerintah untuk membuat larangan
9. pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak, sedangkan di lain pihak ia merupakan suatu
jaminan hukum bagi rakyat agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pemerintah
atau penguasa.
Namun demikian kita juga harus mengakui syarat kriteria penentu masih ada atau
tidaknya Hak Ulayat, yaitu :
1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu subyek Hak
Ulayat
2. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum yang
merupakan obyek Hak Ulayat
3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-
tindakan tertentu.27
b. Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Di Sumatera
Selatan
Sejak zaman dahulu tiap daerah di Indoneia mempunyai adat istiadat yang kokoh
yang mencakup segala bidang termasuk mengenai masalah pertanahan.28 Baik dusun
ataupun desa pada zaman dahulu mempunyai wilayah sendiri-sendiri dengan batas-batas
sendiri pula, wilayah-wilayah tanah masyarakat hukum adat(tanah ulayat) tersebut harus
diartikan minus tanah pribadi dan tanah Negara.29
Pengertian hak ulayat menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, adalah
“ Kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat
tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya
untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah
tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan
secara lahiriah dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat
hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Tanah ulayat ada yang berstatus kuat dan ada yang berstatus lemah dalam hal
kepemilikan.Masuknya hukum kolonial ke tanah air membawa perubahan kepemilikan
atas tanah, antara lain dengan adanya ketentuan undang-undang , misalnya tentang hutan
lindung,tidak dapat disebut lagi tanah ulayat dan dengan keluarnya UUPA No.5 Tahun
27 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implrmentasi, kompas,
Jakarta, 2005, hal.57
28 A.Bazaar Harahap dkk,Tanah Ulayat Dalam Sistem Pertanahan,CV,Yani’s , Jakarta,2005,hlm.9
29 Ibid
10. 1960 maka tanah ulayat dapat diartikan sebagai tanah minus Negara , walaupun
kenyataannya tumpang tindih dengan Negara.30
Di dalam perkembangannya tanah ulayat atau tanah adat semakin terdesak oleh
peraturan yang tertulis diharapkan walaupun hukum adat tidak tertulis, namun
pengaturan-pengaturan mendasar perlu dibuat secara tertulis untuk dijadikan pegangan
masyarakat, setidaknya dengan adanya Peraturan Daerah oleh Pemda setempat.
Namun demikian berdasarkan wawancara dengan Kabag Peraturan Perundang-
undangan Ibu Hj.Ning Agustini mengatakan Sumatera Selatan belum mempunyai
Peraturan Daerah mengenai tanah adat tersebut, hal ini dikarenakan dengan adanya
Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa maka
menghapuskan marga di Sumatera Selatan , hal ini mengakibatkan kelembagaan adat
marga yang dahulu berfungsi mengatur penguasaan, pemilikan, pemanfaatan dan
pengawasan terhadap tanah marga menjadi tidak efektif.
Dalam sistim pemerintahan desa, maka kepala desa tidak sekaligus berkedudukan
sebagai ketua adat. Kepala desa tidak menggantikan kedudukan Pasirah, dan tidak
mempunyai kewenangan di bidang pertanahan untuk memimpin, mengawasi dan
mengendalikan penggunaan tanah berdasarkan hukum adat. Hal demikianlah yang
menyebabkan anomaly/terjadinya ketidakpastian di bidang hukum pertanahan, timbul
sengketa tanah diberbagai daerah di Sumatera Selatan, terutama yang berkaitan dengan
perluasan usaha di bidang perkebunan.31
Sebagai contoh pembangunan perkebunan karet yang mempergunakan tanah
masyarakat adalah PT.Bumi Rambang Kramajaya (PT.BRK) yang berada di Ogan Ilir
Sumatera Selatan.
Menurut keterangan Bapak Sahirun warga Desa Tambangan Rambang mengatakan
bahwa pembangunan perkebunan PT. BRK menggunakan tanah adat hal ini dikarenakan
tanah tersebut warisan dari nenek puyang mereka, sedangkan menurut analisa penulis
sepertinya masyarakat kurang memahami pengertian dari tanah adat, apa yang mereka
katakan warisan tanah dari nenek puyang mereka berpikir itulah tanah adat padahal
kenyataannya warisan yang diberikan oleh nenek puyang mereka sudah berbentuk
perorangan, jadi tanah tersebut sudah dimiliki atau diwariskan secara perorangan
menurut peraturan yang berlaku. Berdasarkan keterangan di atas menurut penulis
30 Ibid, hlm. 10
31 Firman Muntaqo,Hak Ulayat (Tanah Marga) Dan Pembangunan Perkebunan Dalam Era
Otonomi Daerah,Seminar KKS-PTN Wilayah Barat, 2001
11. hendaknya masyarakat harus mengetahui terlebih dahulu apa yang namanya tanah adat
atau tanah ulayat.
Penguasaan tanah dilakukan oleh rakyat tanpa alas hak yang sah dan dokumen
kepemilikan tanah yang tidak lengkap. Maka dalam posisi yang demikian pemerintah
dihadapkan pada suatu keadaan yang dilematis. Keadaan ini dapat melemahkan posisi
pihak perkebunan yang membutuhkan tanah dan berpotensi menimbulkan masalah, yaitu
rakyat tidak memilik bukti yang lengkap dan cukup atas tanah yang dimilikinya. Hal ini
terutama terjadi pada tanah-tanah yang belum bersertifikat, yang disebabkan oleh
pandangan adat yang masih melekat pada rakyat bahwa tanah merupakan hak milik
komunal (hak ulayat), sehingga mereka menganggap hak penguasaan otomatis melekat
pada hak penghunian atas tanah tersebut secara turun-temurun. Keadaan itu bukannya
tidak diketahui oleh pihak yang memerlukan tanah dalam hal ini perkebunan, tetapi
dengan berbagai alasan untuk melaksanakan usaha yang telah direncanakan tetap
dilakukan penguasaan lahan. Akibatnya sulit bagi pihak yang membutuhkan tanah untuk
menentukan tentang keabsahan pemegang hak penguasaan lahan yang diakui oleh rakyat
Namun demikian , penyelesaian masalah perkebunan yang menggunakan tanah
masyarakat itu diupayakan tetap dilakukan pemberian ganti rugi lahan oleh pihak
perkebunan .Menurut Kepala Biro Hukum PT.BRK Bapak H.Syaroji Karta diberikan
secara musyawarah dan mufakat beserta tim yang ditugaskan oleh Bupati KDH TK.II
OKI No. 101/2973/I/1994 tanggal 17 September 1994, begitu juga dalam pembangunan
perkebunan PT.Patra Tani , menurut keterangan dari Bapak Anwar warga Desa Bakung,
tanah masyarakat yang masuk dalam areal perkebunan juga diberikan ganti kerugian
namun ada juga masyarakat yang tidak puas dengan penggantian tersebut.32
Mengenai jumlah pemberian ganti kerugian menurut Kepala Biro Hukum PT.Bumi
Rambang Kramajaya meliputi :
1. Musyawarah dilakukan secara langsung antara tim pembebasan tanah dengan
para pemegang hak atas tanah dan pemilik bangunan, tanaman atau benda-
benda lain yang terkait dengan tanah yang bersangkutan yang sebainya
didampingi oleh Kepala Desa atau Camat.
2. Dalam hal jumlah pemegang hak atas tanah dan pemilik bangunan, tanaman
atau benda lain yang terkait dengan tanah yang bersangkutan tidak
memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara efektif,musyawarah
dapat dilaksanakan bergiliran secaraparsial atau dengan wakil yang ditunjuk di
antara dan oleh mereka
32 Wawancara dengan Bapak Anwar masyarakat desa Bakung , tanggal 18 Februari 2015
12. 3. Dalam hal musyawarah dilaksanakan melalui perwakilan penunjukan wakil
dibuat dalam bentuk surat kuasa yang diketahui oleh Kepala Desa setempat.33
Setelah musyawarah diadakan dan tercapai kata sepakat mengenai harga dan
besarnya ganti kerugian, maka proses selanjutnya adalah pembayaran ganti kerugian
yang pelaksanaannnya harus dilakukan secara leangsung antara perusahaan sebagai
pembeli kepada pemilik tanah.
Untuk pembayaran tersebut selain penjual menandatangani bukti pembayaran yang
diketahui oleh Kepala Desa untuk orang tersebut dibuatkan photo diri dengan tulisan
nama,luas tanah yang dijual,harga tanah dan nama desa,hal l ini berguna untuk dokumen
apabila ada gugatan dikemudian hari.
Pembayaran ganti rugi tersebut menurut Bapak H.Syaroji Karta Kepala Biro
Hukum PT.BRK disertai dengan penyerahan atau pelepasan hak atas tanah secara tertulis
dihadapan Lurah atau Kepala Desa dan Camat setempat dan sebagai bukti pembayaran
dibuatkan acara penyerahan atau pelepasan hak atas tanah.
Berdasarkan paparan di atas , untuk perlindungan terhadap rakyat pihak
perkebunan hanya memberikan ganti kerugian terhadap semua tanah yang berada
diwilayah perkebunan walaupun tanah tersebut tidak mempunyai sertifikat atau surat
keterangan lain. Pemberian ganti kerugian terhadap kasus tersebut hanya didasarkan
pada pengakuan terhadap kepemilikan tanah saja dan bukan berarti pengganti kerugian
tersebut pihak perkebunan mengakui adanya tanah ulayat masyarakat.34
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Sodiki, 2013,Politik Hukum Agraria,Konstitusi Press,Jakarta
Aminuddin Ilmar, 2004,Hukum Penanaman Modal, Kencana ,Jakarta
Eddy Ruchiyat, 1984,Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA,
Alumni,Bandung
33 Wawancara dengan H.Syaroji Karta Kepala Biro Hukum PT.Bumi Rambang Kramajaya
(PT.BRK) 9 Maret 2015
34 Wawancara dengan Bapak Syaroji Karta Kepala Biro Hukum PT.BRK, tanggal 9 Maret 2015
13. Husen Alting, 2010,Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat
Hukum Adat Atas Tanah ,Yogyakarta: LaksBang PRESSindo
Irene Eka Sihombing, 2005,Segi-Segi Hukum Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan, Trisakti, ,Jakarta
Kartini Muljadi, Gunawan Widjaya, Hak-Hak Atas Tanah, Prenada Media,Jakarta
Keraf, A.S., 2010,,Etika Lingkungan Hidup. Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Maria S.W. Sumardjono, 2005,Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implrmentasi,
kompas, Jakarta
Merza Gamal, 2006,Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam: Pembangunan Kesejahteraan
Berkeseimbangan dan Berkeadilan, Badan Penerbit Universitas Riau (Unri Press ,
Pekanbaru)
M.Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta
Ningrat, A.A.. Karakteristik Lanskap Kampung Tradisional Di Halimun Selatan dan Faktor-
faktor yang Mempengaruhinya (Sebuah Studi Pada Kampung Kasepuhan di Kesatuan
Adat Banten Kidul, Kampung Sirnaresmi, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok,
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat)., 2004
Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, 1993,Sendi-Sendi Hukum Agraria, Ghalia Indonesia
,Jakarta
Rinto Manulang, 2011 ,Segala Hal Tentang Tanah Rumah dan Perizinannya,Buku
Pintar,Suka Buku, cetakan ke-1,Yogyakarta ,
Soetandyo Wignyosoebroto, 1996, Tanah Negara, Tanah Adat yang Dinasionalisasi, Elsam,
Jakarta
R.Soeprapto, 20000,Undang-Undang Pokok Agraria Dalam Praktek,Mitra Sari,Jakarta
Supriyadi Amir, 2012, Sukses Membeli Tanah Tanpa Modal,Laskarkara, Bandung
PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Agraria yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Pokok-Pokok Hukum Agraria
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
14. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah hak Ullayat masyarakat hukum Adat.
INTERNET DAN MAKALAH
Albar S. Subari, Pemberdayaan Masyarakat Adat, disampaikan pada workshop III, Lubuk
Linggau Sumatera Selatan, 28-30 Juni 20004
Firman Muntaqo, Makalah Hak Ulayat (Tanah Marga) dan Pembangunan Perkebunan
Dalam Era Otonomi Daerah, Disampaikan pada Seminar BKS-PTN Wilayah Barat
Tanggal 15-16 Mei 2001
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Sodiki, 2013,Politik Hukum Agraria,Konstitusi Press,Jakarta
Aminuddin Ilmar, 2004,Hukum Penanaman Modal, Kencana ,Jakarta
Eddy Ruchiyat, 1984,Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA,
Alumni,Bandung
Husen Alting, 2010,Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat
Hukum Adat Atas Tanah ,Yogyakarta: LaksBang PRESSindo
Irene Eka Sihombing, 2005,Segi-Segi Hukum Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan, Trisakti, ,Jakarta
Kartini Muljadi, Gunawan Widjaya, Hak-Hak Atas Tanah, Prenada Media,Jakarta
Keraf, A.S., 2010,,Etika Lingkungan Hidup. Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Maria S.W. Sumardjono, 2005,Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implrmentasi,
kompas, Jakarta
Merza Gamal, 2006,Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam: Pembangunan Kesejahteraan
Berkeseimbangan dan Berkeadilan, Badan Penerbit Universitas Riau (Unri Press ,
Pekanbaru)
M.Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta
Ningrat, A.A.. Karakteristik Lanskap Kampung Tradisional Di Halimun Selatan dan Faktor-
faktor yang Mempengaruhinya (Sebuah Studi Pada Kampung Kasepuhan di Kesatuan
15. Adat Banten Kidul, Kampung Sirnaresmi, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok,
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat)., 2004
Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, 1993,Sendi-Sendi Hukum Agraria, Ghalia Indonesia
,Jakarta
Rinto Manulang, 2011 ,Segala Hal Tentang Tanah Rumah dan Perizinannya,Buku
Pintar,Suka Buku, cetakan ke-1,Yogyakarta ,
Soetandyo Wignyosoebroto, 1996, Tanah Negara, Tanah Adat yang Dinasionalisasi, Elsam,
Jakarta
R.Soeprapto, 20000,Undang-Undang Pokok Agraria Dalam Praktek,Mitra Sari,Jakarta
Supriyadi Amir, 2012, Sukses Membeli Tanah Tanpa Modal,Laskarkara, Bandung
PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Agraria yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Pokok-Pokok Hukum Agraria
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah hak Ullayat masyarakat hukum Adat.
INTERNET DAN MAKALAH
Albar S. Subari, Pemberdayaan Masyarakat Adat, disampaikan pada workshop III, Lubuk
Linggau Sumatera Selatan, 28-30 Juni 20004
Firman Muntaqo, Makalah Hak Ulayat (Tanah Marga) dan Pembangunan Perkebunan
Dalam Era Otonomi Daerah, Disampaikan pada Seminar BKS-PTN Wilayah Barat
Tanggal 15-16 Mei 2001