SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 24
1
I. Pengertian Agroforesty
Menurut Arifin Arief bahwa agroforestry atau wanatani atau agrohutani
merupakan istilah kolektif untuk beberapa raktek penggunaan lahan, di mana tumbuhan
perennial berkayu ditanam secara sengaja pada sebidang lahan bersama-sama dengan
tanaman semusim dan atau ternak, baik dalam bentuk tatana spesial dalam waktu yang
bersamaan ataupun secara sekuensial.
Arifin Arief (2001) juga mengatakan bahwa agroforesty merupakan sistem dari
berbagai ilmu atau multidisipliner, seperti agronomi, sosial, kehutanan, dan ekonomi.
Rancangan dan pengelolaan agroforesty merupakan sistem berkelanjutan yang
didasarkan pada prinsip-prinsip ekologis. Sistem agroforesty sementara ini ditunjukan
kepada pendekatan:
1. Adanya introduksi tanaman semusim ke dalam sistem tanaman kehutanan yang
bertujuan untuk menstabilkan penggunaan lahan secara umum dan
mengendalikan erosi, terutama memelihara ternak dan penambahan pendapatan.
2. Adanya kegiatan konservasi lahan berhutan menjadi sistem agroforesty sebagai
upaya peningkatan produksi komoditas komersial.
Menurut Arifin Arief (2001), peranan pohon yaitu:
1. Peranan protektif
2. Rejuvenatif
3. Produktif
Sedangkan menurut Conway (1987) yang dikutip Karwan A. Salikin,
Agroforesty merupakan pola tuanam tumpang sari antara tanaman tahunan, khususnya
tanaman hutan, dan tanaman semusim, misalnya tanaman pangan atau obat-obatan
dimana tanaman tahunan mampu menyimpan banyak air dan menghasilkan humus
serasah dedaunan, serta memberikan naungan bagi tanaman semusim, sebaliknya
tanaman semusim mampu menahan laju erosi permukaan tanah.
Agroforestry adalah praktek tradisional menanam pohon di lahan pertanian
untuk kepentingan keluarga pertanian. Ini telah digunakan selama setidaknya 1300
tahun menurut catatan serbuk sari [Brookfield andPadoch, 1994], meskipun pohon
domestica-tion mungkin dimulai jauh lebih awal [Simmonds, 1985]. Agroforestry
dibawa dari alam pengetahuan asli ke garis depan penelitian pertanian yang kurang dari
dua dekade lalu, dan dipromosikan secara luas sebagai praktek pertanian keberlanjutan-
meningkatkan dan menggabungkan atribut terbaik dari kehutanan dan pertanian [Bene
et al, 1977.; Steppler dan Nair, 1987]. Tumbuh pohon bersama dengan tanaman dan
ternak yang dipostulatkan untuk meningkatkan hasil panen, konservasi tanah dan
mendaur ulang nutrisi sambil menghasilkan kayu bakar, pakan ternak, buah dan kayu (P
A. SANCHEZ ).
2
Agroforestry merupakan salah satu bentuk multiple cropping yang telah banyak
dikembangkan, terutama di daerah-daerah up-land dan di sekitar kawasan hutan.
Namun, tidak menutup kemungkinan bentuk tersebut juga dijumpai di daerah-daerah
rendah (low land) maupun di daerah-daerah pertanian yang lain. Para ahli menyusun
definisi dengan formulasi yang berbeda-beda mengenai “agroforestry” ini, sesuai
dengan bidang keahliannya masing-masing. (smno.psdl.ppsub)
King dan Chandler (1978) mendefinisikan “agroforestry” sebagai suatu “sistem
pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan
secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanaman pertanian (termasuk
tanaman pohon-pohonan) dengan tanaman hutan dan /atau hewan secara bersamaan
atau berurutan pada suatu unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara
pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat “. (smno.psdl.ppsub)
Agroforestry sudah cukup lama dilaksanakan dalam berbagai bentuk, di
antaranya adalah berupa “teknologi usahatani” yang dilaksanakan dengan menanam
pohon bersama-sama dengan tanaman pertanian dan hewan ternak di atas sebidang
lahan yang sama. Sebagai suatu sistem penggunaan lahan, agroforestry menyiratkan
pengertian bahwa pemanfaatan lahan harus dilakukan seoptimal mungkin dengan
mengusahakan pelestariannya. Tekanan pada konservasi lingkungan fisik tersebut
sesuai dengan sejarah awal mula munculnya konsep agroforestry, yang dirintis oleh tim
dari Canadian InternationaI Development Centre. Dalam surveinya di beberapa negara
berkembang, tim tersebut menemukan praktek-praktek pengelolaan lahan yang salah,
yang mengarah pada perusakan lingkungan. Dalam laporannya, mereka
merekomendasikan perlunya pencegahan perusakan lingkungan secara sungguh-
sungguh, dengan cara pengelolaan lahan yang dapat mengkonservasi lingkungan fisik
secara efektif, tetapi sekaligus dapat memenuhi tuntutan keperluan pangan , papan dan
sandang bagi manusia.
3
II. Tujuan Agroforestry
Tujuan akhir program agroforestri adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat
petani, terutama yang di sekitar hutan, yaitu dengan memprioritaskan partisipasi aktif
masyarakat dalam memperbaiki keadaan lingkungan yang rusak dan berlanjut dengan
memeliharanya. Program-program agroforestri diarahkan pada peningkatan dan
pelestarian produktivitas sumberdaya, yang akhirnya akan meningkatkan taraf hidup
masyarakat (Anonim 1992).
Tujuan tersebut diharapkan dapat dicapai dengan cara mengoptimalkan interaksi
positif antara berbagai komponen penyusunnya (pohon, produksi tanaman pertanian,
ternak/hewan) atau interaksi antara komponen-komponen tersebut dengan
lingkungannya. Dalam kaitan ini ada beberapa keunggulan agroforestri dibandingkan
sistem penggunaan lahan lainnya, yaitu dalam hal:
1. Produktivitas (Productivity): Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa produk total
sistem campuran dalam agroforestri jauh lebih tinggi dibandingkan pada
monokultur (penanaman satu jenis). Adanya tanaman campuran memberikan
keuntungan, karena kegagalan satu komponen/jenis tanaman akan dapat ditutup
oleh keberhasilan komponen/jenis tanaman lainnya.
2. Diversitas (Diversity): Adanya pengkombinasian dua komponen atau lebih
daripada sistem agroforestri menghasilkan diversitas (keragaman) yang tinggi,
baik menyangkut produk maupun jasa. Dengan demikian dari segi ekonomi
dapat mengurangi risiko kerugian akibat fluktuasi harga pasar. Sedangkan dari
segi ekologi dapat menghindarkan kegagalan fatal pemanen sebagaimana dapat
terjadi pada penanaman satu jenis (monokultur).
3. Kemandirian (Self-regulation): Diversifikasi yang tinggi dalam agroforestri
diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, dan petani kecil
dan sekaligus melepaskannya dari ketergantungan terhadap produk produk luar.
Kemandirian sistem untuk berfungsi akan lebih baik dalam arti tidak
memerlukan banyak input dari luar (a.l. pupuk, pestisida), dengan diversitas
yang lebih tinggi daripada sistem monokultur
4. Stabilitas (Stability): Praktek agroforestri yang memiliki diversitas dan
produktivitas yang optimal mampu memberikan hasil yang seimbang sepanjang
pengusahaan lahan, sehingga dapat menjamin stabilitas (dan kesinambungan)
pendapatan petani.
4
Gambar 2. Pola tanam agroforestri di Hanjuang. BKPH Lengkong, KPH Sukabumi
dengan tanaman pokok damar/agathis, Luas 25 Ha.
5
III. Mengapa Agroforest Perlu Mendapat Perhatian
Kebun-kebun agroforest asli Indonesia memperlihatkan ciri-ciri yang pantas
diberi perhatian dalam kerangka pembangunan pertanian dan kehutanan, khususnya
untuk daerah-daerah yang kurang subur. Pada daerah-daerah tersebut hanya tanaman
tahunan saja yang dapat berproduksi secara berkelanjutan, sedangkan untuk tanaman
pangan dan tanaman musiman lain hanya dimungkinkan melalui pemupukan besar-
besaran. Berikut ini diuraikan secara ringkas manfaat penerapan sistem agroforestri bagi
beberapa pihak/sudut pandang: (1) pertanian, (2) petani, (3) peladang, (4) kehutanan.
3.1 Sudut Pandang Pertanian
Agroforest merupakan salah satu model pertanian berkelanjutan yang tepat-
guna, sesuai dengan keadaan petani. Pengembangan pertanian komersial khususnya
tanaman semusim menuntut terjadinya perubahan sistem produksi secara total menjadi
sistem monokultur dengan masukan energi, modal, dan tenaga kerja dari luar yang
relatif besar yang tidak sesuai untuk kondisi petani. Selain itu, percobaan-percobaan
yang dilakukan untuk meningkatkan produksi tanaman komersial selalu dilaksanakan
dalam kondisi standar yang berbeda dari keadaan yang lazim dihadapi petani. Tidak
mengherankan bila banyak hasil percobaan mengalami kegagalan pada tingkat petani.
Agroforest mempunyai fungsi ekonomi penting bagi masyarakat setempat. Peran utama
agroforest bukanlah produksi bahan pangan, melainkan sebagai sumber penghasil
pemasukan uang dan modal. Misalnya: kebun damar, kebun karet dan kebun kayu
manis menjadi andalan pemasukan modal di Sumatra. Bahkan, agroforest seringkali
menjadi satusatunya sumber uang tunai bagi keluarga petani. Agroforest mampu
menyumbang 50 % hingga 80 % pemasukan dari pertanian di pedesaan melalui
produksi langsungnya maupun tidak langsung yang berhubungan dengan pengumpulan,
pemrosesan dan pemasaran hasilnya.
Di lain pihak sistem-sistem produksi asli setempat (salah satunya agroforest)
selalu dianggap sebagai sistem yang hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan
sendiri saja (subsisten). Oleh karena itu dukungan terhadap pertanian komersial petani
kecil biasanya lebih diarahkan kepada upaya penataan kembali sistem produksi secara
keseluruhan, daripada pendekatan terpadu untuk mengembangkan sistem-sistem yang
sudah ada. Agroforest pada umumnya dianggap hanya sebagai "kebun dapur" yang
tidak lebih dari sekedar pelengkap sistem pertanian lainnya, di mana produksinya hanya
dikhususkan untuk konsumsi sendiri dengan menghasilkan hasil-hasil sampingan seperti
kayu bakar. Oleh karena itu, sistem ini kurang mendapat perhatian.
3.2 Sudut Pandang Petani
Keunikan konsep pertanian komersial agroforest adalah karena sistem ini
bertumpu pada keragaman struktur dan unsur-unsurnya, tidak terkonsentrasi pada satu
spesies saja. Usaha memperoleh produksi komersial ternyata sejalan dengan produksi
6
dan fungsi lain yang lebih luas. Hal ini menimbulkan beberapa konsekuensi menarik
bagi petani. Aneka hasil kebun hutan sebagai "bank" yang sebenarnya. Pendapatan dari
agroforest umumnya dapat menutupi kebutuhan sehari-hari yang diperoleh dari hasil-
hasil yang dapat dipanen secara teratur misalnya lateks karet, damar, kopi, kayu manis
dan lain–lain. Selain itu, agroforest juga dapat membantu menutup pengeluaran tahunan
dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara musiman seperti buah-buahan (Gambar 1),
cengkeh, pala, dan lain-lain.
Komoditas-komoditas lain seperti kayu bahan bangunan juga dapat menjadi
sumber uang yang cukup besar meskipun tidak tetap, dan dapat dianggap sebagai
cadangan tabungan untuk kebutuhan mendadak. Di beberapa daerah di Indonesia
menabung uang tunai masih belum merupakan kebiasaan, maka keragaman bentuk
sumber uang sangatlah penting. Keluwesan agroforest juga penting di daerah-daerah di
mana kredit sulit didapatkan karena mahal atau tidak ada sama sekali. Semua ini adalah
kenyataan umum yang dijumpai di pedesaan di daerah tropis.
Struktur yang tetap dengan diversifikasi tanaman komersil, menjamin keamanan
dan kelenturan pendapatan petani, walaupun sistem ini tidak memungkinkan adanya
akumulasi modal secara cepat dalam bentuk aset-aset yang dapat segera diuangkan.
Keragaman tanaman melindungi petani dari ancaman kegagalan panen salah satu jenis
tanaman atau resiko perkembangan pasar yang sulit diperkirakan. Jika terjadi
kemerosotan harga satu komoditas, species ini dapat dengan mudah ditelantarkan saja,
hingga suatu saat pemanfaatannya kembali menguntungkan. Proses tersebut tidak
menimbulkan gangguan ekologi terhadap sistem kebun. Petak kebun tetap utuh dan
produktif dan species yang ditelantarkan akan tetap hidup dalam struktur kebun, dan
selalu siap untuk kembali dipanen sewaktu-waktu. Sementara itu spesies-spesies baru
dapat diperkenalkan tanpa merombak sistem produksi yang ada.
Gambar 3. Durian: Salah satu hasil tambahan (Foto: De Foresta)
Ciri keluwesan yang lain adalah perubahan nilai ekonomi yang mungkin dialami
beberapa spesies. Spesies yang sudah puluhan tahun berada di dalam kebun dapat tiba-
tiba mendapat nilai komersil baru akibat evolusi pasar, atau pembangunan infrastruktur
seperti pembangunan jalan baru. Hal seperti ini telah terjadi pada buah durian, duku,
dan cengkeh serta terakhir kayu ketika kayu dari hutan alam menjadi langka.
7
Melalui diversifikasi hasil-hasil sekunder, agroforest menyediakan kebutuhan
sehari-hari petani. Agroforest juga berperan sebagai "kebun dapur" yang memasok
bahan makanan pelengkap (sayuran, buah, rempah, bumbu). Melalui keaneka-ragaman
tumbuhan, agroforest dapat menggantikan peran hutan alam dalam menyediakan hasil-
hasil yang akhir-akhir ini semakin langka dan mahal seperti kayu bahan bangunan,
rotan, bahan atap, tanaman obat, dan binatang buruan.
3.3 Sudut Pandang Peladang
Kebutuhan tenaga kerja rendah
Agroforest merupakan model peralihan dari perladangan berpindah ke pertanian
menetapyang berhasil, murah, menguntungkan, dan lestari. Selain manfaat-manfaat
langsung yang dihasilkan agroforest kepada petani kecil, agroforest juga menarik bagi
peladang berpindah karena dua hal. Meskipun menurut standar konvensional
produktivitas agroforest dianggap rendah, bila ditinjau dari sisi alokasi tenaga kerja
yang dibutuhkan agroforest lebih menguntungkan daripada sistem pertanian
monokultur. Penilaian bahwa produktivitas agroforest yang rendah juga disebabkan
kesalahpahaman terhadap sistem yang dikembangkan petani, karena umumnya hanya
tanaman utama yang diperhitungkan sementara hasil-hasil dan fungsi ekonomi lain
diabaikan. Pembuatan dan pengelolaan agroforest hanya membutuhkan nilai investasi
dan alokasi tenaga kerja yang kecil. Hal ini sangat penting terutama untuk daerah-
daerah yang ketersediaan tenaga kerja dan uang tunai jauh lebih terbatas dari pada
ketersediaan lahan, seperti yang umum terjadi di wilayah-wilayah perladangan
berpindah di daerah beriklim tropika basah.
Tidak memerlukan teknik canggih
Selain manfaat ekonomi, perlu juga dijelaskan beberapa ciri penting lain yang
membantu pemahaman terhadap hubungan positif antara peladang berpindah dan
agroforest. Pembentukan agroforest berhubungan langsung dengan kegiatan
perladangan berpindah. Bentuk ladang berpindah mengalami perkembangan dengan
adanya penanaman pohon yang oleh penduduk setempat dikenal bernilai ekonomi
tinggi. Tindakan yang sangat sederhana ini dapat dilakukan oleh peladang berpindah di
semua daerah tropika basah. Agroforest ini dapat dikelola tanpa teknologi yang canggih
tetapi bertumpu sepenuhnya pada pengetahuan tradisional peladang mengenai
lingkungan hutan mereka. Hasilnya, terdapat perbedaan yang sangat nyata antara sistem
agroforest yang lebih menetap dengan sistem peladangan berpindah yang biasanya
melibatkan pemberaan dan membuka lahan pertanian baru di tempat lain. Ladang-
ladang yang diberakan untuk sementara waktu, selanjutnya ditanami kembali dengan
pepohonan untuk diwariskan pada generasi berikutnya. Kedudukan komersil tanaman
pohon dan nilai ekonomisnya sebagai modal dan harta warisan dapat mencegah
terjadinya pembukaan ladang-ladang baru, dengan demikian lahan tersebut menjadi
terbebas dari ancaman perladangan berpindah lainnya.
3.4 Sudut Pandang Kehutanan
8
3.4.1 Mekanisme sederhana untuk mengelola keanekaragaman
Seperti halnya pada semua lahan pertanian, sebagian terbesar agroforest tercipta
melalui tindakan penebangan dan pembakaran hutan. Perbedaan agroforest dengan
budidaya pertanian pada umunya terletak pada tindakan yang dilakukan pada tumbuhan
pioner yang berasal dari hutan. Pada budidaya pertanian, keberadaan tumbuhan perintis
alami dianggap sebagai gulma yang mengancam produksi tanaman pokok. Pada sistem
agroforest, petani tidak melakukan pembabatan hutan kembali, karena mereka
menggunakan ladang sebagai lingkungan pendukung proses pertumbuhan pepohonan.
Proses pembentukan agroforest seperti ini masih dapat dijumpai di Sumatra antara lain
di Pesisir Krui (Propinsi Lampung) untuk agroforest damar, di Jambi untuk agroforest
karet. Oleh karena pada sistem agroforest tidak melibatkan penyiangan intensif, maka
kembalinya spesies-spesies pionir dapat mempertahankan sebagian spesies-spesies asli
hutan.
3.4.2 Pengembangan hasil hutan non kayu
Sejak tahun 1960-an bentuk pengelolaan hutan yang dikembangkan terpaku
pada pengusahaan kayu gelondongan. Kayu gelondongan merupakan unsur dominan
hutan yang relatif sulit diperbaharui. Eksploitasinya mengakibatkan degradasi drastis
seluruh ekosistem hutan. Hal ini memunculkan suatu usulan agar pihak-pihak kehutanan
dalam arti luas mengalihkan perhatiannya pada hasil hutan non kayu (disebut juga hasil
hutan minor) misalnya damar, karet remah dan lateks, buah-buahan, biji-bijian, kayu-
kayu harum, zat pewarna, pestisida alam, dan bahan kimia untuk industri obat. Ilustrasi
yang disajikan pada Gambar 7 adalah pemanenan hasil hutan non-kayu berupa getah
damar selain produksi kayu yang cukup menarik petani di daerah Krui, Lampung Barat.
Pemanenan hasil hutan non-kayu merupakan pengembangan sumberdaya yang dapat
mendukung konservasi hutan karena mengakibatkan kerusakan yang lebih kecil
dibandingkan dengan pemanenan kayu.
Gambar 7. Pemanenen getah damar (Michon dan de Foresta, 2000).
Agroforest di Indonesia, yang bertumpu pada hasil hutan non kayu, merupakan
salah satu alternatif menarik terhadap domestikasi monokultur yang lazim dikerjakan.
Pengelolaan agroforest tidak ekslusif pada satu sumber daya yang terpilih saja, tetapi
memungkinkan kehadiran sumber daya lain. Selain itu agroforest merupakan strategi
9
masyarakat sekitar hutan untuk memiliki kembali sumber daya hutan yang pernah
hilang atau terlarang bagi mereka.
Agroforest memungkinkan adanya pelestarian wewenang dan tanggung jawab
masyarakat setempat atas seluruh sumber daya hutan. Hal ini merupakan sifat utama
agroforest, namun sifat tersebut mungkin menjadi kendala utama pengembangan sistem
agroforest oleh badan-badan pembangunan resmi terutama kalangan kehutanan, yang
merasa khawatir akan kehilangan kewenangan menguasai sumber daya yang selama ini
dianggap sebagai domain ekslusif mereka.
3.4.3 Model Alternatif Produksi Kayu
Agroforest berbasis pepohonan khusus penghasil kayu di Indonesia masih belum
ada. Namun karena berciri pembangunan kembali hutan, agroforest merupakan sumber
pasokan kayu berharga yang sangat potensial yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk
setempat.
Sejauh ini kayu-kayu yang dihasilkan dalam agroforest masih diabaikan dalam
perdagangan nasional. Pohon yang ditanam di agroforest (buah-buahan, karet dll) sering
pula memasok kayu bermutu tinggi dalam jumlah besar, sehingga ada pasokan kayu
gergajian dan kayu kupas yang selalu siap digunakan. Di daerah Krui (Lampung),
pohon damar yang termasuk golongan meranti sangat mendominasi kebun damar,
dengan kepadatan yang beragam.
Dalam setiap hektar agroforest terdapat antara 150 sampai 250 pohon yang dapat
dimanfaatkan. Kayu-kayu itu biasanya dianggap sebagai produk sampingan yang tidak
mempunyai nilai ekonomi, bukan karena teknologi yang rendah, tetapi karena belum
dikenali pasar.
Kalangan kehutanan mengelompokkan kayu berdasarkan kelas keawetan dan
kekuatan. Klasifikasi asli tersebut banyak mengalami revisi, karena semakin langkanya
hutan yang mengandung jenis pohon yang menguntungkan. Karena kelas I sudah
dieksploitasi berlebihan dan menjadi langka, maka kelas II menjadi kelas I dan
seterusnya. Pohon meranti misalnya, belakangan ini merupakan jenis kayu kelas utama
di Asia Tenggara, padahal pada tahun 1930-an hampir tidak memiliki nilai komersil.
Contoh yang lebih mutakhir adalah kayu karet, hingga tahun 1970-an masih dianggap
tidak berharga, tetapi dewasa ini menduduki tempat penting dalam pasar kayu Asia.
Sejalan dengan perkembangan teknologi transformasi dan pemanfaatan kayu,
ciri-ciri kayu bahan baku semakin tidak penting. Untuk memenuhi permintaan besar di
tingkat regional, beberapa tahun belakangan ini berkembang budidaya pohon kayu,
terutama surian, bayur, dan musang dalam agroforest di sekeliling danau Maninjau,
Sumatera Barat. Di daerah Krui, Lampung, terjadi pemaduan sungkai di kebun damar.
Jenis pohon perintis ini yang sebelumnya tidak bernilai, baru sejak 1990-an mulai
ditanam di kebun. Dengan meningkatnya permintaan kayu sungkai untuk bangunan
pada tingkat nasional, pohon sungkai kini ditanam dan dirawat dengan baik oleh petani.
10
Kajian-kajian kuantitatif lebih lanjut tentu saja masih dibutuhkan untuk
menentukan potensi pepohonan dan pengelolaan yang optimal dalam agroforest, dengan
tetap memperhitungkan hasil-hasil lain. Dampak sampingan penjualan kayu perlu juga
dikaji dari segi sosial, ekonomi dan ekologi. Dengan memenuhi persyaratan
ketersediaan pasokan yang besar dan lestari, agroforest merupakan salah satu
sumberdaya kayu tropika di masa depan.
Dengan mudah sumber daya ini dapat diperkaya dengan jenis-jenis pohon
bernilai tinggi, sebab kantung-kantung ekologi agroforest yang beragam merupakan
lingkungan ideal bagi pohon berharga yang membutuhkan kondisi yang mirip dengan
hutan alam. Selain itu tidak seperti dugaan umum, sasaran utama agroforest di
Indonesia bukan cuma untuk pemenuhan kebutuhan sendiri tetapi untuk menghasilkan
uang. Dengan orientasi pasar, agroforest mampu dengan cepat memadukan pola
budidaya baru, asalkan hasilnya menguntungkan pemiliknya.
Mungkinkah agroforest penghasil kayu dikembangkan?
Pengembangan agroforestri komplek sebagai sumber kayu tropika bernilai tinggi
tampaknya tidak akan memenuhi hambatan yang berarti, jika dilakukan reorientasi
pasar yang memberikan peluang bagi kayu asal agroforest untuk memasuki pasar
nasional. Keputusan reorientasi terkait erat dengan kondisi nyata pemanfaatan hutan
alam di tiap negara tropika, dan karenanya tergantung pada tujuan/kemauan politik.
Perwujudan kemauan politik semacam ini diharapkan terjadi secepatnya, karena sangat
dibutuhkan dalam rangka menghadapi (a) produksi kayu tropika (kayu pertukangan dan
kayu bulat) pada masa transisi dari sistim penebangan hutan alam menuju sistim
budidaya menetap untuk wilayah pedesaan, (b) pelestarian alam yang akan muncul
akibat masuknya kayu hasil agroforest ke pasar.
Menyertai usaha pencegahan perusakan hutan dalam jangka panjang, integrasi
pengelolaan pepohonan penghasil kayu ke dalam agroforest akan mengurangi tekanan
terhadap hilangnya/perusakan hutan alam yang masih tersisa. Selain meringankan
kesulitan dalam mendapatkan kayu bangunan akibat penurunan sumber kayu dari hutan
alam, perluasan pangsa pasar ke jenis kayu asal agroforest tersebut akan memacu
terjadinya peningkatan pembangunan masyarakat pedesaan. Peningkatan nilai ekonomi
agroforest ini dan adanya integrasi pengelolaan kayu komersil diharapkan dapat
merangsang perluasan areal agroforest, yang akan mendorong pelestarian lahan dan
keanekaragaman hayati di luar hutan alam.
3.4.4 Struktur Agroforest Dan Pelestarian Sumber Daya Hutan
Agroforest memainkan peran penting dalam pelestarian sumberdaya hutan baik
nabati maupun hewani karena struktur dan sifatnya yang khas. Agroforest menciptakan
kembali arsitektur khas hutan yang mengandung habitat mikro, dan di dalam habitat
mikro ini sejumlah tanaman hutan alam mampu bertahan hidup dan berkembang biak.
Kekayaan flora semakin besar, jika di dekat kebun terdapat hutan alam yang berperan
sebagai sumber (bibit) tanaman. Bahkan ketika hutan alam sudah hampir lenyap
11
sekalipun, warisan hutan masih mampu terus berkembang dalam kelompok besar:
misalnya kebun campuran di Maninjau melindungi berbagai tanaman khas hutan lama
di dataran rendah, padahal hutan lindung yang terletak di dataran lebih tinggi tidak
mampu menyelamatkan tanaman-tanaman tersebut.
Di pihak lain, agroforest merupakan struktur pertanian yang dibentuk dan
dirawat. Tanaman bermanfaat yang umum dijumpai di hutan alam menghadapi ancaman
langsung karena daya tarik manfaatnya. Dewasa ini sumber daya hutan dikuras tanpa
kendali. Berbeda dengan kebun agroforest, bagi petani, agroforest merupakan kebun
bukan hutan. Agroforest merupakan warisan sekaligus modal produksi.
Sumberdayanya, baik yang tidak maupun yang sengaja ditanam, dimanfaatkan dengan
selalu mengingat kelangsungan dan kelestarian kebun. Pohon di hutan dianggap tidak
ada yang memiliki. Sebaliknya, pohon di kebun ada pemiliknya sehingga pohon
tersebut mendapat perlindungan yang lebih efektif daripada yang terdapat di hutan
negara. Sumber daya hutan di dalam agroforest dengan demikian turut berperan dalam
mengurangi tekanan terhadap sumber daya alam. Secara tidak langsung agroforest turut
melindungi hutan alam.
Aneka kebun campuran di pedesaan di Jawa mempunyai peranan penting bagi
pelestarian kultivar pohon (tradisional) buah-buahan dan tanaman pangan. Karena
kendala ekonomi dan keterbatasan ketersediaan lahan, maka kebun tersebut tidak dapat
berfungsi sebagai tempat berlindung jenis tanaman yang tidak bernilai ekonomi bagi
petani. Di Sumatera dan Kalimantan, agroforest masih mampu menawarkan pemecahan
masalah pelestarian tanaman hutan alam dan sekaligus dapat diterima pula dari sudut
ekonomi (Michon dan de Foresta (1995). Adanya perubahan sosial ekonomi dapat
mempengaruhi sifat dan susunan kebun, sehingga dikhawatirkan banyak spesies yang
terancam kepunahan. Pada gilirannya sumberdaya tersebut akan punah dan usaha
penyelamatannya belum terbayangkan. Apakah seluruh sumberdaya genetik yang ada
dalam agroforest dapat disimpan dalam lahan-lahan khusus atau bank benih?
Upaya-upaya keberhasilan perlindungan alam
Untuk meningkatkan keberhasilan perlindungan terhadap sumber daya alam,
maka petani harus dilibatkan pada setiap usaha pelestarian alam, misalnya dengan
memberikan pengakuan terhadap agroforest yang sudah ada dan melaksanakan
budidaya agroforest di pinggiran kawasan taman-taman nasional. Upaya melestarikan
alam harus sekaligus dapat memenuhi kebutuhan penduduk setempat. Gagasan ini
bukan khayalan, karena secara tradisional telah dirintis oleh petani agroforest. Pada
akhirnya agroforest di daerah tropika merupakan lahan berharga bagi eksplorasi genetik
dan etno-botani. Pengetahuan petani pengelola agroforest seyogyanya tidak lagi
diremehkan oleh para pengelola hutan.
12
IV. Kelebihan Agroforesty
4.1 Kelebihan-kelebihan Agroforesty menurut sumber link
http://www1.montpellier.inra.agroforestryfr/safe/english/.php
Agroforesty menyediakan pilihan penggunaan lahan yang berbeda, dibandingkan
dengan garapan dan sistem kehutanan tradisional. Dapat membuat penggunaan
komplementaritas antara pohon-pohon dan tanaman, sehingga sumber daya yang
tersedia dapat dimanfaatkan secara lebih efektif. Hal ini merupakam adalah kegiatan
yang menjaga lingkungan dan memiliki manfaat lanskap yang jelas . Versi modern
efisiensi agroforestry telah dikembangkan, yang telah disesuaikan dengan berbagai
kendala dengan mekanisasi. Lahan agroforesty tetap produktif bagi para petani dan
menghasilkan pendapatan yang berkelanjutan, yang tidak terjadi ketika lahan pertanian
secara eksklusif dihutankan kembali. Agroforestry juga memungkinkan untuk
diversifikasi pertanian dan membuat sumber daya lingkungan dapat lebih maksimal
untuk dimanfaatkan. Agroforesty memiliki kelebihan yang menarik dari tiga perspektif
yang berbeda, yaitu:
A. Dari perspektif nilai kesuburan tanah
Diversifikasi kegiatan petani garapan, dengan memanfaatkan warisan
tanaman-tanaman berharga yang telah ada, tanpa mengganggu pendapatan dari plot
lahan yang telah ditanam. Perlindungan tanaman tumpang sari dan hewan oleh
pohon-pohon, yang memiliki efek penahan angin, memberikan perlindungan dari
matahari, dari hujan, dari angin, menahan tanah, dan merangsang mikrofauna tanah
dan mikroflora.
Pemulihan beberapa nutrisi yang telah tercuci atau habis oleh pepohonan,
pengayaan bahan organik tanah oleh kompos dari pohon dan oleh akar pohon yang
telah mati. Kemungkinan remunerasi bagi petani garapan untuk menjaga pohon-
pohon yang telah ada di hutan.
Sebuah cara alternatif untuk reboisasi lahan yang subur. Komponen pohon
dapat dibalik, plot tetap " bersih " (bebas dari scrub) dan mudah untuk destump
ketika pohon-pohon yang ditebang bersih (tunggul berada di garis dan sedikit
jumlahnya). Dalam plot silvopastoral, unit pakan dapat tersedia pada tanggal yang
berbeda dibandingkan dengan plot dipotong penuh, memperpanjang masa ternak
untuk merumput .
B. Dari perspektif kehutanan
Percepatan pertumbuhan diameter pohon dengan jarak lebar (+80% lebih dari 6
tahun di sebagian besar perkebunan percobaan). Pengurangan biaya modal
perkebunan, dengan mengurangi jumlah pohon yang ditanam tanpa masa depan
komersial. Penurunan besar dalam biaya pemeliharaan perkebunan, karena
kehadiran tanaman tumbapng sari.
13
Peningkatan kualitas kayu yang diproduksi (cincin biasa lebar, cocok untuk
kebutuhan industri), karena pohon-pohon tidak mengalami siklus kompetisi dan
penjarangan.
Menjamin tindak lanjut dan perawatan pohon akibat adanya aktifitas tumpangsari
subur. Secara khusus, perlindungan terhadap resiko kebakaran di daerah rentan,
dengan pastoralism atau dengan tumpang sari seperti pohon anggur atau pada
musim dingin enanam tanaman sereal.
Perkebunan agroforestry pada lahan pertanian memungkinkan
pengembangan sumber daya kayu berkualitas yang dapat saling melengkapi,
ketimbang dengan produk dari hutan tradisional yang secara sengaja dieksploitasi.
Hal ini sangat penting untuk menghasilkan kayu yang dapat menggantikan kayu
gergajian tropis, yang akan segera menurun dalam ketersediaan dan kualitas.
Daerah yang bersangkutan akan tetap kecil dalam hal nilai absolut mereka, tetapi
produksi kayu dari mereka bisa menjadi masukan penting bagi jaringan pasokan
kayu Eropa. Jenis pohon yang sedikit digunakan di bidang kehutanan, tetapi
bernilai tinggi, bisa ditanam dalam sistem agroforesty: pohon layanan, pohon pir,
Sorbs umum, pohon-pohon kenari, pohon cherry liar, pohon maple, pohon tulip,
paulownias, dan lain-lain.
D. Dari perspektif lingkungan
Peningkatan pengembangan sumber daya alam: total kayu dan produksi
garapan dari plot agroforestry lebih besar dari produksi yang terpisah diperoleh
pola tanam yang terpisah garapan - hutan di daerah yang sama dari tanah. Efek ini
hasil dari stimulasi saling melengkapi antara pohon-pohon dan tanaman di plot
agroforestry. Dengan demikian , gulma , yang secara spontan hadir di perkebunan
kehutanan muda diganti dengan tanaman dipanen atau padang rumput,
pemeliharaan lebih murah dan lingkungan sumber daya yang digunakan lebih baik.
Kontrol yang lebih baik dari daerah dibudidayakan tanah: dengan
menggantikan plot pertanian, plot agroforestry memberikan kontribusi untuk
mengurangi areal yang ditanami tanah. Intensifikasi pemanfaatan sumber daya
lingkungan dengan sistem agroforesty tidak menghasilkan produk tanaman yang
lebih.
Penciptaan pemandangan asli yang menarik, terbuka dan mendukung
kegiatan rekreasi. Plot agroforestry memiliki potensi lansekap benar-benar inovatif,
dan akan meningkatkan citra publik dari petani untuk masyarakat. Ini akan menjadi
terutama terjadi di daerah yang sangat jarang berhutan, di mana plot dikembangkan
dengan menanam tanah yang subur, dan di daerah yang sangat berhutan lebat, di
mana plot dikembangkan oleh penipisan hutan yang ada.
Menangkal efek rumah kaca: konstitusi sistem yang efektif untuk
penyerapan karbon , dengan menggabungkan pemeliharaan persediaan bahan
organik dalam tanah (kasus terutama dengan padang rumput ), dan superimposisi
dari memperbaiki jaring berhutan lapisan.
Perlindungan tanah dan air, khususnya di daerah-daerah sensitif.
Peningkatan keanekaragaman hayati, khususnya oleh kelimpahan "efek tepi". Hal
14
ini khususnya, memungkinkan peningkatan sinergis, dengan mendukung habitat
permainan. Perlindungan terpadu tanaman oleh asosiasi mereka dengan pohon-
pohon, dipilih untuk merangsang hyperparasite (parasit parasit) populasi tanaman,
adalah cara ke depan yang menjanjikan.
Karakteristik yang menguntungkan adalah sebagai koheren dengan berbagai
tujuan dari hukum membimbing pertanian dan kehutanan, seperti mereka dengan
prinsip-prinsip mengarahkan Kebijakan Pertanian Bersama.
4.2 Produktivitas Sistem Agroforestry menurut smno.psdl.ppsub dalam Pengelolaan
Suberdaya Hutan Berbasis Pertanian.
Indikator “produktivitas” suatu ekosistem pertanian biasanya mampu
mencerminkan berbagai bentuk output yang dapat diukur, kuantitatif, dan bermakna
penting, misalnya hasil tanaman. Berbagai bentuk produk dari sistem agroforestry
dikonsumsi langsung, tidak memasuki sistem “pasar”, demikian juga beberapa bentuk
hasil agroforestry bersifat “non-moneter”, dan bersifat sebagai “jasa”.
a. Land Equivalent Ratio
Dua macam indikator produktivitas yang lazim dibunakan adalah Lend
Equivalent Ratio (LER) dan Harvest Index (HI). Konsep LER semula digunakan untuk
menganalisis keragaan relatif suatu komponen dari kombinasi pertanaman dibandingkan
dengan pertanaman tunggalnya (IRRI, 1974). LER merupakan jumlah dari hasil relatif
spesies-spesies yang menjadi komponen sistem, yaitu:
m
LER =  yi / yii
I =1
dimana yi adalah hasil tanaman ke “I” dari suatu unit luasan intercropping ; yii adalah
hasil dari tanaman “I” yang ditanam secara monokultur pada area yang sama; dan yi/yii
hasil relatif dari tanaman ke “I”.
Dalam sistem agroforestry yang sederhana, menurut Rao dan Coe (1992), LER
dapat diabstraksikan sbb:
LER = Ci / Cs + Ti / Ts
dimana Ci adalah hasil tanaman sela intercropping, Cs adalah hasil tanaman (sela) yang
ditanam monokulktur, Ti adalah hasil tegakan dalam sistem intercropping, dan Ts
adalah hasil tegakan pohon yang ditanam monokultur. Kalau nilai LER = 1, berarti tidak
ada tambahan manfaat produksi dari pertanaman campuran; kalau LER < 1, berarti ada
kerugian ; sedangkan kalau LER > 1, berarti ada keuntungan tambahan dari sitem
pertanaman campuran.
15
Jika LER diukur pada kondisi kepadatan populasi yang sama dengan populasi
pada sistem monokultur dan campuran, maka LER sama dengan Relative Yield Total
(RYT). Akan tetapi pada kenyataannya dalam berbagai sistem agroforestry, populasi
tanaman sela tidak sama dengan populasi monokultur, sehingga nilai LER beragam
sesuai dengan nilai kepadatan populasi ini. Konsep LER mensyaratkan bahwa
pertanaman tunggal yang digunakan dalam perhitungan ditanam pada kepadatan
optimum. Kalau keragaan tanaman sela pada suatu kepadatan populasi harus
dibandingkan dengan keragaan pada kepadatan optimumnya, maka perlu digunakan
“keragaan tanaman sela” yang diukur pada kepadatan optimumnya. Biasanya LER
(RYT) kepadatan konstan digunakan kalau tujuannya adalah untuk mengidentifikasi
kombinasi tanaman yang menguntungkan (Nair, 1979).
Kesulitan lainnya dalam menerapkan LER untuk sistem agroforestry ialah
bahwa LER tidak mencerminkan keberlanjutan sistem. LER biasanya merupakan
jumlah hasil-hasil relatif tanaman komponen selama satu musim tanam, tidak
mencerminkan produktivitas jangka panjang dari sistem. Satu cara untuk mengatasi
kesulitan ini adalah mengamati perubahan LER dari tahun ke tahun selama periode
waktu yang lama dan kemudian menggunakan informasi ini sebagai landasan untuk
menyusun indeks keberlanjutan. Pengukuran LER juga dianggap kurang relavan kalau
tanaman sela semusim dikombinasikan dengan tanaman tahunan pada saat masih muda.
Petani produsen tidak berminat untuk memaksimumkan dua komoditi secara simultan
(memaksimumkan LER), tetapi lebih berminat untuk memaksimumkan hasil tanaman
sela dengan tidak mengganggu pertumbuhan dan produksi tanaman tahunan secara
siginifikan.
Indikator lain yang dapat digunakan untuk mengkaji produktivitas adalah
Income Equivalent Ratio (IER) dengan mempertimbangkan income masing-masing
tanaman komponen sistem agroforestry.
b. Indeks Panen (Harvest Index, HI)
HI lazimnya digunakan untuk menyatakan fraksi hasil ekonomis dari suatu
tanaman terhadap total produktivitasnya:
HI = (Produktivitas ekonomis) / (Produktivitas Biologis)
Indikator Hi ini sulit diterapkan dalam sistem agroforestry karena beberapa
alasan, yaitu:
1. Dalam perhitungan HI hanya digunakan bahan kering bagian tanaman di atas
tanah, padahal produksi bahan kering bagian tanaman di bawah tanah (perakaran
tanaman) sangat penting , terutama dalam kaitannya dengan dinamika bahan
organik tanah.
2. Bahan kering tanaman lazimnya tidak mencerminkan nilai ekonomi produk.
3. Perhitungan HI biasanya dilakukan atas dasar data satu musim pertumbuhan.
4. Perhitungan HI belum mampu mencerminkan faktor sustainabilitas.
16
4.3 Kelemahan dan Tantangan Agroforest menurut Kurniatun Hairiah, Widianto dan
Sunaryo
4.3.1 Kelemahan Agroforestry
 Kesulitan visual
Keberagaman bentuk, kemiripan dengan vegetasi hutan alam, dan kesulitan
membedakannya dalam penginderaan jauh (remote sensing) menjadikan bentang
hamparan agroforest sulit dikenali. Kebanyakan agroforest dalam peta-peta resmi
diklasifikasikan
sebagai hutan sekunder, hutan rusak, atau belukar, oleh karena itu biasanya disatukan ke
dalam kelompok lahan yang menjadi target rehabilitasi lahan dan hutan.
 Kesulitan mengukur produktivitas
Ahli ekonomi pertanian terbiasa dengan perhatian hanya kepada jenis tanaman
dan pola penanaman yang teratur rapi. Biasanya mereka enggan memberi perhatian
terhadap nilai pepohonan dan tanaman non-komersial. Mereka juga biasanya tidak
memiliki latar
belakang yang cukup untuk mengenali manfaat ekonomi spesies pepohonan dan
herba/semak.
 Kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan pohon pada lahan pertanian.
Adanya penyisipan pohon di antara tanaman semusim, akan menimbulkan
masalah yang sering merugikan petani karena kurangnya pengetahuan petani akan
adanya interaksi antar tanaman.
2.3.2 Ancaman Keberlanjutan
De Foresta et al. (2000) mengemukakan bahwa keberlanjutan dari agroforest ini
menghadapi beberapa ancaman antara lain sebagai berikut:
 Kesulitan merubah pandangan ahli agronomi dan kehutanan
Besarnya jenis dan ketidakteraturan tanaman dalam agroforest membuatnya
cenderung diabaikan. Kebanyakan ahli pertanian dan kehutanan yang sudah sangat
terbiasa dengan keteraturan sistem monokultur dan agroforestri sederhana
menganggap ketidakteraturan dan keberagaman tanaman ini sebagai tanda
kemalasan petani. Kebanyakan ahli agronomi dan kehutanan yang akrab dengan
pola pertanian sederhana dan keaslian hutan alam masih sulit untuk mengakui
bahwa agroforest adalah sistem usahatani yang produktif.
 Agroforest adalah sistem kuno (tidak modern)
Banyak kalangan memandang agroforest sebagai sesuatu yang identik
dengan pertanian primitif yang terbelakang, sama sekali tidak patut dibanggakan.
Padahal, agroforest merupakan wujud konsep petani, proses adaptasi dan inovasi
yang terus menerus yang berkaitan dengan perubahan ekologi, keadaan sosial
ekonomi, dan perkembangan pasar.
17
Sistem agroforest yang ada saat ini merupakan karya modern dari sejarah
panjang adaptasi dan inovasi, uji coba berulang-ulang, pemaduan spesies baru dan
strategi agroforestri baru.
 Kepadatan penduduk
Pengembangan agroforest membutuhkan ketersediaan luasan lahan,
karenanya agroforest sulit berkembang di daerah-daerah yang sangat padat
penduduknya. Ada kecenderungan bahwa peningkatan penduduk menyebabkan
konversi lahan agroforest ke bentuk penggunaan lain yang lebih menguntungkan
dalam jangka pendek.
 Penguasaan lahan
Luas agroforest di Indonesia mencapai jutaan hektar, tetapi tidak secara
resmi termasuk ke dalam salah satu kategori penggunaan lahan. Hampir semua
petani agroforest tidak memiliki bukti kepemilikan yang resmi atas lahan mereka.
Banyak areal agroforest yang dinyatakan berada di dalam kawasan hutan negara,
atau dialokasikan kepada perusahaan perkebunan besar dan proyek pembangunan
besar lainnya. Ketidakpastian kepemilikan jangka ini berakibat keengganan petani
untuk melanjutkan sistim pengelolaan yang sekarang sudah mereka bangun.
 Ketiadaan data akurat
Kecuali untuk agroforest karet dan sebagian kecil lainnya, belum ada upaya
serius untuk mendapatkan data yang akurat mengenai keberadaan/luasan agroforest
yang tersebar di hampir seluruh kepulauan Indonesia. Akibatnya, belum ada upaya
untuk memberikan dukungan pembangunan terhadap agroforest tersebut, seperti
yang diberikan terhadap sawah, kebun monokultur (cengkeh, kelapa, kopi, dan lain-
lain), atau Hutan Tanaman Industri (HTI).
18
V. Pengelolaan Lahan
Agroforestry atau WANATANI atau AGROHUTANI merupakan suatu istilah
kolektif untuk beberapa praktek penggunan lahan dimana tumbuhan perennial berkayu
ditanam secara sengaja pada sebidang lahan bersama-sama dengan tanaman semusim
dan/atau ternak, baik dalam bentuk tatanan spasial dalam waktu yang bersamaan
ataupun secara sekuensial. Berbagai macam kombinasi pohon, tanaman semusim,
pasture, dan ter-nak dapat tergolong dalam agroforesty. Dalam kebanyakan sistem
agroforesty ini, pohon mempunyai peranan protektif, rejuvenatif, dan produktif, tetapi
kepentingan relatif dari peranan-peranan ini akan sangat beragam di antara sistem-
sistem yang berbeda. Oleh karena itu agroforesty tidak boleh dipandang sebagai suatu
"obat mujarap" bagi kebanyakan problem penggunaan lahan, tetapi arahan dan praktek-
praktek khusus harus dikembangkan untuk sistem-sistem agroforesty secara terpisah.
Apabila dapat dikelola dengan tepat, sistem agroforesty secara biofisik,
ekonomis dan budaya cocok untuk berbagai kondisi iklim, topografi, geologi, hidrologi,
dan situasi tanah. Di daerah-daerah yang sumberdaya lahannya relatif langka,
tumbuhan pohon dan perennial berkayu lainnya dapat dibudidayakan di lahan
pertanian atau lahan gembalaan . Misalnya, tanaman pohon dapat dimasukkan ke
dalam sistem pertanaman semusim pada lembah dataran rendah yang subur yang sangat
cocok bagi pertanian intensif. Sistem penanaman pagar lapangan untuk menjadi pagar
hidup guna menangkal angin dan menghasilkan kayubakar atau hijauan pakan
(misalnya di India). Pohon telah ditanam dalam jalur-jalur lorong "(alley)" melintang
lereng di antara padi gogo dan jagung pada lahan-lahan curam untuk menyediakan
mulsa, kompos, kayubakar, dan timber kecil-kecil dan untuk mereduksi kehilangan
tanah dengan jalan perkembangan terras secara bertahap dari hasil penangkapan
sedimen pada barisan pepohonan. Sistem seperti ini yelah menjadi sistem yang
sustainable di Cebu, Filipina.
Teladan-teladan lain tentang kultivasi simultan pohon dan tanaman semusim
adalah berbagai tipe sistem pekarangan multistory dimana berbagai perennial dan
kadangkala sedikit tanaman semusim bersama dengan pohon. Di daerah-daerah dimana
densitas populasi penduduk masih relatif rendah dan lahan relatif banyak, maka sistem
agroforesty temporer dengan suatu rotasi pohon dan tanaman semusim dapat
dilakukan.
Ada dua pendekatan utama yang sering digunakan bagi pengembangan
agroforesty. Pendekatan pertama terdiri atas introduksi pohon ke dalam sistem
tanaman semusim atau sistem grazing. Tujuannya seringkali adalah untuk menstabilkan
penggunaan lahan secara umum dan untuk mengendalikan erosi terutama untuk
memelihara produksi pertanian pada lahan yang secara biofisik tidak sesuai.
Pendekatan yang ke dua terdiri atas kegiatan konversi lahan berhutan menjadi sistem
agroforesty sebagai upaya untuk meningkatkan produksi komoditi komersial atau
produk-produk subsisten.
19
Pengadopsian sistem agroforesty sebagai suatu tipe penggunaan lahan biasanya
akan diputuskan oleh individu pemilik lahan atau pengguna lahan, berdasarkan atas
kelayakan sosial dan strategi minimisasi resiko atau perkiraan manfaat ekonomis.
Dengan demikian sistem agroforesty harus dirancang secara khusus berdasarkan kondisi
daerah setempat, dengan memperhatikan praktek penggunaan lahan yang berlaku secara
lokal, kebutuhan masyarakat akan pa- ngan, kayu bakar, timber, dan produk lainnya;
serta preferensi masyarakat setempat. Di masa lalu, pemerintah jarang yang berminat
pada agroforesty, kecuali dalam sistem taungya yang dihubungkan dengan awal fase
perkembangan pekebunan-perkebunan besar.
Disamping faktor-faktor ekonomi, sosial, dan politik ini, ternyata kendala
biofisik yang berhubungan dengan kapabilitas lahan dan dampak fisik seperti
perubahan rejim air, erosi, sedimentasi, dan polusi agrokimia sangat penting bagi
perencana land-use. Secara ideal, faktor terakhir ini harus dipertimbangkan secara
seksama dalam setiap sistem agroforesty. Introduksi atau retensi pohon dalam sistem
pertanian semusim tidak boleh dipandang sebagai suatu "safety net" yang general
untuk melawan degradasi sumberdaya lahan. Individu pohon atau kelompok pohon
tidak dapat diharapkan memberikan pengaruh yang sama terhadap lahan seperti
ekosistem hutan yang masih utuh, terutama pengendalian erosi (Wiersum, 1984). Kunci
bagi kebaikan kualitas air dan konservasi tanah tidak terletak pada pohon itu sendiri,
melainkan pada praktek pengelolan yang dilakukan dengan baik.
5.1 Seleksi dan pengembangan lokasi
Mengingat keanekaan sifat dari berbagai sistem agroforestry, maka hanya
dimungkinkan untuk melakukan genera lisasi secara umum tentang kesesuaian
lahannya. Kalau sistem agroforestry dikembangkan dengan jalan introduksi ternak,
tanaman semusim, atau tanaman pohon ke dalam daerah yang berhutan, maka arahan
untuk "Pembukaan Hutan dan Tebang Pilih" harus dipertimbangkan untuk mengidenti-
fikasikan daerah yang harus dikonversi dan yang tidak boleh dikonversi. Arahan untuk
konversi lahan hutan menjadi lahan grazing, menjadi tanaman pohon, dan menjadi
pertanian semusim harus diperhatikan secara seksama untuk mengetahui relevansinya
bagi setiap sistem agroforestry yang spesifik. Akan tetapi secara umum perkembangan
agroforestry akan dimulai bukan dengan mengkonversi lahan hutan, tetapi dengan
introduksi pohon ke dalam sistem pertanian semusim, atau dengan introduksi pohon
naungan dalam sistem pertanian pohon (misalnya kopi dan kakao).
Secara umum, sistem agroforestry tidak boleh dipraktek kan pada lahan yang
kemiringannya lebih dari 60%. Pada lahan yang kemiringannya 60-85%, agroforestry
umumnya dapat dipraktekkan dan hanya sustainable dalam hubungannya dengan
rekayasa engineering konservasi tanah, dan hal ini bisa tidak layak teknis bagi
infrastruktur lokal dan juga tidak layak ekonomis. Proporsi tanaman semusim dalam
sistem yang memerlukan pengolahan tanah secara teratur akan sangat mempengaruhi
erosi tanah. Kalau tanah-tanah bera berada di bawah atau di antara pohon-pohonan,
maka terras diperlukan pada lahan dengan kemiringan kurang dari 60%. Pepohonan
20
dapat membantu perkembangan terras-terras ini kalau ditanam dan dikelola secara tepat
sepanjang garis kontur.
Agar supaya produksi pohon dalam sistem agroforestry harus berhasil secara
ekonomis maka diperlukan kedalaman tanah dan kualitas tanah yang memadai.
Kelompok kerja internasional mempertimbangkan bahwa kedalaman tanah yang
diperlukan paling tidak 75-100 cm. Walaupun sistem agroforestrydapat
diimplementasikan pada loaksi yang telah mengalami degradasi sehingga solum
tanahnya dangkal, manfaat terutama akan berasal dari pelestarian konservasi tanah dan
perbaikan produksi tanaman semusim dan bukannya produktivitas yang tinggi dari
tanaman pohon, terutama manfaat dalam jangka pendek.
5.2 Pemilihan dan penataan pohon dan tanaman semusim
Salah satu faktor yang sangat penting dalam disain sistem agroforestry adalah
pemilihan spesies pohon dan tanaman semusim. Wiersum (1981) mengemukakan lima
faktor utama yang harus diperhatikan dalam disain sistem agroforestry, dan Mercer
(1985) mengemukakan 23 kriteria yang harus diperhatikan dalam pemilihan spesies
pohon. Preferensi tanaman pangan lokal dan kondisi agroklimat umumnya akan
menentukan jenis tanaman pangan yang ditanam, sedang kan pemilihan jenis tanaman
pohon lebih banyak ditentukan oleh permintaan pasar. Dalam semua kasus ternyata
kompatibilitas antara tanaman pohon dan jenis tanaman lainnya juga sangat penting.
Tatanan spasial komponen-komponen dari sistem agroforestry merupakan salah
satu faktor penting yang mempengaruhi produktivitas, sustainabilitas, efektivitas konser
vasi tanah, dan daya menejerial. Arahan khusus akan meliputi hal-hal berikut ini:
1. Gunakan sistem jalur atau barisan secara bergantian sepanjang kontur untuk
maksimisasi stabilisasi tanah
2. Gunakan jenis yang memfiksasi nitrogen, untuk memperbaiki kesuburan tanah
dan menyediakan pupuk hijau
3. Gunakan jenis pohon yang tumbuhnya cepat untuk mendapatkan manfaat dari
konservasi tanah dan produksi
4. Kalau produksi kayu tidak diutamakan dari tanaman pohon, maka disarankan
jarak 20 cm di dalam barisan dan 1 meter di antara barisan rangkap pohon, dan 4
meter atau lebih di antara pagar untuk tanaman semusim. Kalau barisan pohon
digunakan sebagai "jangkar" bagi seresah sisa pangkasan cabang dan ranting,
maka pola seperti ini akan menghasilkan perkembangan terras- terras dalam
periode tiga tahun karena penjebakan material yang tererosi dari lahan di
sebelah atasnya. Jarak yang berbeda diperlukan untuk daerah semiarid dan arid,
dan laju perkembangan terras akan lebih lambat di daerah iklim kering.
5. Untuk produksi kayu bakar dari barisan-pagar, diperlu kan jarak tanam pohon
yang lebih lebar baik dalam barisan maupun di antara barisan. Pengujian lokal
mungkin diperlukan untuk menentukan jarak tanam optimal, terutama di daerah
kering. Jarak tanam sepanjang barisan sebesar 50 cm hingga 2 meter mungkin
21
akan sesuai, tergantung pada apakah kayubakar merupakan produk yang
diutamakan.
6. Jarak tanam yang lebih lebar, hingga 4m x 4m atau 5m x 5m, dapat digunakan
kalau jenis-jenis timber atau legume ditanam secara langsung untuk pangan
merupakan spesies pohon yang utama. Bahkan di daerah kering jarak tanam
perlu lebih lebar lagi.
5.3 Pengelolaan sistem Wanatani-Agroforestry
Arahan penting bagi sustainabilitas dan minimisasi dampak biofisik yang
bersifat negatif meliputi:
1. Tanaman penutup tanah yang berupa tanaman hidup atau mulsa harus
dipertahankan sepanjang tahun di area tanaman semusim di antara pohon
pohon atau barisan pohon untuk melindungi permukaan tanah daripukulan air
hujan, pemadatan, limpasan permukaan, dan erosi. Tanaman pohon sendiri
tidak akan menyediakan perlindungan ini secara otomatis; pada kenyataannya
bahkan mereka dapat meningkatkan efek erosi percik pada tanah yang kosong
di bawah tajuk pohon.
2. Bahan organik topsoil harus dipertahankan dengan memasukkan pupuk hijau
dan mulsa untuk menjaga ketersediaan unsur hara dan air serta memperbaiki laju
infiltrasi tanah
3. Pemanenan bahan organik dan hara pada saat panen harus dibatasi pada produk-
produk yang dapat dijual saja. Residu tanaman dan pemangkasan harus
digunakan sebagai mulsa atau pupuk hijau.
4. Perakaran yang rapat dalam topsoil harus dipacu untuk mencegah kehilangan
unsur hara melalui drainase dan untuk memelihara da memperbaiki struktur
tanah. Misalkan, hindarilah pengrusakan akar pohon pada saat kultivasi
tanaman semusim dan minimalkan pemadatan topsoil akibat lalulintas manusia
dan ternak. Penggunaan pupuk hijau, pupuk kandang dan mulsa akan
memperbaiki kandungan hara dan air pada topsoil, dan memacu perkembangan
akar.
5. Pembakaran harus dihindarkan atau diminimumkan untuk mereduksi
kehilangan hara.
6. Praktek pengendalian hama secara terpadu harus dilakukan, dan penggunaan
pestisida harus diminimumkan untuk menghindari kepunahan musuh-musuh
alami yang bermanfaat. Penggunaan bahan agrokimia dan pengelolaan bahan-
bahan limbah secara hati-hati.
7. Kalau ternak gembalaan dimasukkan dalam sistem agroforestry, maka
ketersediaan hijauan pakan di musim kemarau harus menjadi pertimbangan
utama dalam memilih jenis ternak dan stocking-rate, kecuali kalau tersedia
sumber pakan alternatif. Overgrazing dan pemadatan tanah yang berlebihan
harus dihindarkan.
22
8. Gangguan ternak terhadap tanaman pohon yang baru tumbuh harus dihindarkan ,
terutama tanaman timber.
9. Pola lalulintas ternak harus dimanipulasi dengan meng gunakan barier vegetatif
atau penghalang lainnya supaya jalan ternak yang padat tidak langsung
menuruni lereng cukup panjang atau langsung ke saluran air.
5.4 Pemilihan Spesies dan Disain Sistem
Beberapa hal pokok yang harus diperhatikan dalam menentukan pilihan spesies
pohon adalah (Wiersum, 1981):
a) Daya adaptasi terhadap kondisi lingkungan setempat
b) Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal. Faktor yang
dipertimbangkan adalah:
 Tanaman yang dihasilkan (pagan, cash,kayu,hijauan
 Waktu tenggang antara saat tanam dan panen
 Umur dan keteraturan produksi manfaat
 Periode produksi dalam hubungannya dengan kesesuaian terhadap distribusi
tenaga kerja
 Popularitas lokal dengan spesies
 Ketersediaan pasar produk.
c) Kesesuaian spesies dalam campuran tanaman
d) Fungsi perlindungan lingkungan hidup (misalnya pe- ngendali erosi tanah,
siklus hara)
e) Karakteristik menejemen (penanaman, panen, pengolahan dan penyimpanan
produk).
Menurut Mercer (1985), kriteria penting memilih jenis pohon untuk agroforestry
meliputi:
1. Pertumbuhan cepat, yang memungkinkan panen lebih awal dan hasil per hektar
lebih banyak,
2. Kemampuan memfiksasi nitrogen dari udara,
3. Bersifat multiguna,
4. Produk pohon ada pasarnya,
5. Ketersediaan bahan bibit yang memadai,
6. Mempunyai sifat self-pruning,
7. Rasio antara diameter tajuk dengan diameter bole rendah (yaitu lebar tajuk harus
relatif kecil dibandingkan dengan diameter),
8. Toleran terhadap naungan dari sisi,
9. Filotaksisnya harus memungkinkan penetrasi cahaya matahari ke permukaan
tanah,
10. Fenologinya harus menguntungkan bagi periode pertanaman semusim (terutama
dalam hubungannya dengan semi dan gugur daun),
11. Gugurnya seresah cukup banyak dan mudah terdekomposisi,
23
12. Sistem perakarannya dan karakteristik akar yang mengeksploitir lapisan tanah
yang berbeda dengan tanaman pertanian yang mendampinginya,
13. Kompatibilitas di antara spesies annual dan perennial (misalnya interaksi
alelopati dan interaksi positif)
Dalam hubungannya dengan produk akhir maka karakteristik berikut ini diperlukan
untuk persyaratan tambahan, yaitu
1. Pohon untuk produksi timber harus tinggi, cepat tumbuhnya, spesies sekunder
dengan batang lurus, kuat, kayu berbutir halus, dan karakteristik mesinnya
bagus,
2. pohon untuk kayubakar harus mempunyai berat jenis tinggi, regenerasinya
mudah dengan anakan atau bibit kecambah, cepat mengering, mudah dipanen
dan diangkut,
3. Spesies pagar harus mudah ditanam dan tumbuh , tahan terhadap korosi oleh
paku dan kawat,
4. Pohon untuk buah dan sayur harus beradaptasi secara ekologis, dan harus
digunakan kombinasi pohon yang mampu menyediakan berbagai kebutuhan
gizi,
5. Pohon untuk produksi hijauan dan pupuk hijau harus mampu tumbuh cepat,
memfiksasi nitrogen, dan mempunyai kemampuan belukar yang hebat
Kendala menurut Arifin Arief
1. Dari segi ekonomi masih jauh dari harapan karena adanya kendala penentuan
lahan, jenis, dan tanaman.
2. Seringkali gagal panen karena erosi lahan dan hasil panen yang tidak sebanding
dengan pembiayaan.
3. Kendala biofisik yang berhubungan dengan kapasitas lahan dan dampak fisik
seperti perubahan rezim air, erosi, sedimentasi, dan polusi agrokimia sangat
penting bagi perencanan land-use.
VI. Penutup
Demikian makalah ini saya buat, semoga dapat bermanfaat bagi saya dan orang
banyak. Apabila terdapat kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini saya mohon
maaf dan saya terima kritikan dan saran. Terima kasih. Wassalam.
24
Daftar Pustaka
Arifin Arief, 2001, Hutan dan Kehutanan, Kanisius, Jakarta
Karwan A. Salikin, 2003, Sistem Pertanian Berkelanjutan, Kanisius, Jakarta
Coen Reijntjes, Bertus Haverkort dan Waters-Bayer, 1999, Pertanian Masa Depan,
Kanisius, Jakarta.
http://www1.montpellier.inra. agroforestry fr/safe/english/.phpsmno.psdl.ppsub,
Pengelolaan Suberdaya Hutan Berbasis Pertanian.
De Foresta H, Michon G and Kusworo A, 2000. Complex Agroforests. Lecture note 1.
ICRAF SE Asia.
Hairiah K, Widianto, Utami SR, Suprayogo D, Sunaryo, Sitompul SM, Lusiana B,
Mulia R,van Noordwijk M dan Cardisch G, 2000. Pengelolaan Tanah Masam
Secara Biologi: Refleksi Pengalaman dari Lampung Utara. ICRAF SE Asia,
Bogor.

Mais conteúdo relacionado

Mais procurados

Kearifan lokal dalam bidang pertanian
Kearifan lokal dalam bidang pertanianKearifan lokal dalam bidang pertanian
Kearifan lokal dalam bidang pertanianAnisa Salma
 
Makalah konservasi tanah dan air UNSRI
Makalah konservasi tanah dan air UNSRIMakalah konservasi tanah dan air UNSRI
Makalah konservasi tanah dan air UNSRIRizki Chairunnisya
 
Masalah Perkebunan di Indonesia
Masalah Perkebunan di IndonesiaMasalah Perkebunan di Indonesia
Masalah Perkebunan di IndonesiaHeri Saputra
 
PENTINGNYA PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN
PENTINGNYA PENGELOLAAN LAHAN PERTANIANPENTINGNYA PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN
PENTINGNYA PENGELOLAAN LAHAN PERTANIANSinergi Inspiration
 
IDENTIFIKASI GULMA
IDENTIFIKASI GULMAIDENTIFIKASI GULMA
IDENTIFIKASI GULMANovia Dwi
 
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture)
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture)Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture)
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture)Novia Tri Handayani S
 
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sa...
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sa...LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sa...
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sa...Moh Masnur
 
Nilai kesetaraan lahan
Nilai kesetaraan lahan Nilai kesetaraan lahan
Nilai kesetaraan lahan Puan Habibah
 
Brosur Penyuluhan Pestisida Nabati
Brosur Penyuluhan Pestisida NabatiBrosur Penyuluhan Pestisida Nabati
Brosur Penyuluhan Pestisida Nabatigalang7813
 
TANAH GAMBUT
TANAH GAMBUT TANAH GAMBUT
TANAH GAMBUT RiaAnggun
 
EKONOMI SUMBER DAYA HUTAN
EKONOMI SUMBER DAYA HUTANEKONOMI SUMBER DAYA HUTAN
EKONOMI SUMBER DAYA HUTANEDIS BLOG
 
Sistem pertanian di indonesia wahid
Sistem pertanian di indonesia wahidSistem pertanian di indonesia wahid
Sistem pertanian di indonesia wahidDi'Özil Sanjaya
 
Konservasi mekanik dan kimia
Konservasi mekanik dan kimiaKonservasi mekanik dan kimia
Konservasi mekanik dan kimiaNurul Aulia
 

Mais procurados (20)

Analisis vegetasi
Analisis vegetasiAnalisis vegetasi
Analisis vegetasi
 
Kearifan lokal dalam bidang pertanian
Kearifan lokal dalam bidang pertanianKearifan lokal dalam bidang pertanian
Kearifan lokal dalam bidang pertanian
 
Kesuburan tanah
Kesuburan tanahKesuburan tanah
Kesuburan tanah
 
Makalah konservasi tanah dan air UNSRI
Makalah konservasi tanah dan air UNSRIMakalah konservasi tanah dan air UNSRI
Makalah konservasi tanah dan air UNSRI
 
Masalah Perkebunan di Indonesia
Masalah Perkebunan di IndonesiaMasalah Perkebunan di Indonesia
Masalah Perkebunan di Indonesia
 
PENTINGNYA PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN
PENTINGNYA PENGELOLAAN LAHAN PERTANIANPENTINGNYA PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN
PENTINGNYA PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN
 
IDENTIFIKASI GULMA
IDENTIFIKASI GULMAIDENTIFIKASI GULMA
IDENTIFIKASI GULMA
 
2.ciri ciri pertanian di indonesia
2.ciri ciri pertanian di indonesia2.ciri ciri pertanian di indonesia
2.ciri ciri pertanian di indonesia
 
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture)
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture)Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture)
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture)
 
Makalah Bawang Merah
Makalah Bawang MerahMakalah Bawang Merah
Makalah Bawang Merah
 
8.modal sebagai faktor produksi usahatani
8.modal sebagai faktor produksi usahatani8.modal sebagai faktor produksi usahatani
8.modal sebagai faktor produksi usahatani
 
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sa...
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sa...LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sa...
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sa...
 
Nilai kesetaraan lahan
Nilai kesetaraan lahan Nilai kesetaraan lahan
Nilai kesetaraan lahan
 
Brosur Penyuluhan Pestisida Nabati
Brosur Penyuluhan Pestisida NabatiBrosur Penyuluhan Pestisida Nabati
Brosur Penyuluhan Pestisida Nabati
 
Pertanian organik
Pertanian organikPertanian organik
Pertanian organik
 
TANAH GAMBUT
TANAH GAMBUT TANAH GAMBUT
TANAH GAMBUT
 
EKONOMI SUMBER DAYA HUTAN
EKONOMI SUMBER DAYA HUTANEKONOMI SUMBER DAYA HUTAN
EKONOMI SUMBER DAYA HUTAN
 
Sistem pertanian di indonesia wahid
Sistem pertanian di indonesia wahidSistem pertanian di indonesia wahid
Sistem pertanian di indonesia wahid
 
Soal soal dasgro kel 1
Soal soal dasgro kel 1Soal soal dasgro kel 1
Soal soal dasgro kel 1
 
Konservasi mekanik dan kimia
Konservasi mekanik dan kimiaKonservasi mekanik dan kimia
Konservasi mekanik dan kimia
 

Semelhante a AGROFORESTRI

PERTANIAN BERKELANJUTAN BERBASIS AGROFORESTRI
PERTANIAN BERKELANJUTAN BERBASIS AGROFORESTRIPERTANIAN BERKELANJUTAN BERBASIS AGROFORESTRI
PERTANIAN BERKELANJUTAN BERBASIS AGROFORESTRIPuan Habibah
 
Power point tugas it
Power point tugas itPower point tugas it
Power point tugas itnim5009130128
 
Power point tugas it
Power point tugas itPower point tugas it
Power point tugas itnim5009130128
 
Power point tugas it
Power point tugas itPower point tugas it
Power point tugas itnim5009130128
 
1 pendahuluan, definisi
1 pendahuluan, definisi1 pendahuluan, definisi
1 pendahuluan, definisiabdul samad
 
Peran agroforestri dalam menanggulangi banjir dan longsor das
Peran agroforestri dalam menanggulangi banjir dan longsor dasPeran agroforestri dalam menanggulangi banjir dan longsor das
Peran agroforestri dalam menanggulangi banjir dan longsor dasrizky hadi
 
PENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN TERPADU.pptx
PENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN TERPADU.pptxPENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN TERPADU.pptx
PENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN TERPADU.pptxboyrizajuanda
 
Multiple cropping dalam koridor sistem pertanian terpadu berkelanjutan pada l...
Multiple cropping dalam koridor sistem pertanian terpadu berkelanjutan pada l...Multiple cropping dalam koridor sistem pertanian terpadu berkelanjutan pada l...
Multiple cropping dalam koridor sistem pertanian terpadu berkelanjutan pada l...rizky hadi
 
Multiple cropping dalam koridor sistem pertanian terpadu berkelanjutan pada l...
Multiple cropping dalam koridor sistem pertanian terpadu berkelanjutan pada l...Multiple cropping dalam koridor sistem pertanian terpadu berkelanjutan pada l...
Multiple cropping dalam koridor sistem pertanian terpadu berkelanjutan pada l...rizky hadi
 
Sistem pertanian terpadu
Sistem pertanian terpaduSistem pertanian terpadu
Sistem pertanian terpaduIeke Ayu
 
Peningkatan produktifitas lahan dengan system agroforestri (tumpangsari
Peningkatan produktifitas lahan dengan system agroforestri (tumpangsariPeningkatan produktifitas lahan dengan system agroforestri (tumpangsari
Peningkatan produktifitas lahan dengan system agroforestri (tumpangsariGilang Putra
 
BENTUK POLA TANAM SISTEM AGROFORESTI
BENTUK POLA TANAM SISTEM AGROFORESTIBENTUK POLA TANAM SISTEM AGROFORESTI
BENTUK POLA TANAM SISTEM AGROFORESTIEDIS BLOG
 
POLA TANAM AGROFORESTI
POLA TANAM AGROFORESTIPOLA TANAM AGROFORESTI
POLA TANAM AGROFORESTIEDIS BLOG
 
Materi kuliah tp tanaman agb
Materi kuliah tp tanaman agbMateri kuliah tp tanaman agb
Materi kuliah tp tanaman agbhades5090
 
Leisa di lahan basah
Leisa di lahan basahLeisa di lahan basah
Leisa di lahan basahAli Hutzi
 
Klasifikasi Sistem Agroforestry.pdf
Klasifikasi Sistem Agroforestry.pdfKlasifikasi Sistem Agroforestry.pdf
Klasifikasi Sistem Agroforestry.pdfNormanRiwuKaho1
 

Semelhante a AGROFORESTRI (20)

PERTANIAN BERKELANJUTAN BERBASIS AGROFORESTRI
PERTANIAN BERKELANJUTAN BERBASIS AGROFORESTRIPERTANIAN BERKELANJUTAN BERBASIS AGROFORESTRI
PERTANIAN BERKELANJUTAN BERBASIS AGROFORESTRI
 
Power point tugas it
Power point tugas itPower point tugas it
Power point tugas it
 
Power point tugas it
Power point tugas itPower point tugas it
Power point tugas it
 
Power point tugas it
Power point tugas itPower point tugas it
Power point tugas it
 
Wanatani
WanataniWanatani
Wanatani
 
1 pendahuluan, definisi
1 pendahuluan, definisi1 pendahuluan, definisi
1 pendahuluan, definisi
 
Peran agroforestri dalam menanggulangi banjir dan longsor das
Peran agroforestri dalam menanggulangi banjir dan longsor dasPeran agroforestri dalam menanggulangi banjir dan longsor das
Peran agroforestri dalam menanggulangi banjir dan longsor das
 
Pintu
PintuPintu
Pintu
 
PENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN TERPADU.pptx
PENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN TERPADU.pptxPENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN TERPADU.pptx
PENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN TERPADU.pptx
 
22 35-1-sm
22 35-1-sm22 35-1-sm
22 35-1-sm
 
Multiple cropping dalam koridor sistem pertanian terpadu berkelanjutan pada l...
Multiple cropping dalam koridor sistem pertanian terpadu berkelanjutan pada l...Multiple cropping dalam koridor sistem pertanian terpadu berkelanjutan pada l...
Multiple cropping dalam koridor sistem pertanian terpadu berkelanjutan pada l...
 
Multiple cropping dalam koridor sistem pertanian terpadu berkelanjutan pada l...
Multiple cropping dalam koridor sistem pertanian terpadu berkelanjutan pada l...Multiple cropping dalam koridor sistem pertanian terpadu berkelanjutan pada l...
Multiple cropping dalam koridor sistem pertanian terpadu berkelanjutan pada l...
 
Sistem pertanian terpadu
Sistem pertanian terpaduSistem pertanian terpadu
Sistem pertanian terpadu
 
Peningkatan produktifitas lahan dengan system agroforestri (tumpangsari
Peningkatan produktifitas lahan dengan system agroforestri (tumpangsariPeningkatan produktifitas lahan dengan system agroforestri (tumpangsari
Peningkatan produktifitas lahan dengan system agroforestri (tumpangsari
 
Pertanian berkelanjutan
Pertanian berkelanjutanPertanian berkelanjutan
Pertanian berkelanjutan
 
BENTUK POLA TANAM SISTEM AGROFORESTI
BENTUK POLA TANAM SISTEM AGROFORESTIBENTUK POLA TANAM SISTEM AGROFORESTI
BENTUK POLA TANAM SISTEM AGROFORESTI
 
POLA TANAM AGROFORESTI
POLA TANAM AGROFORESTIPOLA TANAM AGROFORESTI
POLA TANAM AGROFORESTI
 
Materi kuliah tp tanaman agb
Materi kuliah tp tanaman agbMateri kuliah tp tanaman agb
Materi kuliah tp tanaman agb
 
Leisa di lahan basah
Leisa di lahan basahLeisa di lahan basah
Leisa di lahan basah
 
Klasifikasi Sistem Agroforestry.pdf
Klasifikasi Sistem Agroforestry.pdfKlasifikasi Sistem Agroforestry.pdf
Klasifikasi Sistem Agroforestry.pdf
 

Último

materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdf
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdfmateri+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdf
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdfkaramitha
 
R6C-Kelompok 2-Sistem Rangka Pada Amphibi dan Aves.pptx
R6C-Kelompok 2-Sistem Rangka Pada Amphibi dan Aves.pptxR6C-Kelompok 2-Sistem Rangka Pada Amphibi dan Aves.pptx
R6C-Kelompok 2-Sistem Rangka Pada Amphibi dan Aves.pptxmagfira271100
 
Materi Inisiasi 4 Metode Penelitian Komunikasi Universitas Terbuka
Materi Inisiasi 4 Metode Penelitian Komunikasi Universitas TerbukaMateri Inisiasi 4 Metode Penelitian Komunikasi Universitas Terbuka
Materi Inisiasi 4 Metode Penelitian Komunikasi Universitas TerbukaNikmah Suryandari
 
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptx
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptxTEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptx
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptxSyabilAfandi
 
Konsep Agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan meliputi salah satu atau ...
Konsep	Agribisnis	adalah	suatu	kesatuan	kegiatan  meliputi		salah	satu	atau		...Konsep	Agribisnis	adalah	suatu	kesatuan	kegiatan  meliputi		salah	satu	atau		...
Konsep Agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan meliputi salah satu atau ...laila16682
 
kekeruhan tss, kecerahan warna sgh pada laboratprium
kekeruhan tss, kecerahan warna sgh pada laboratpriumkekeruhan tss, kecerahan warna sgh pada laboratprium
kekeruhan tss, kecerahan warna sgh pada laboratpriumfebrie2
 
Sistem Bilangan Riil (Pertidaksamaan linier)
Sistem Bilangan Riil (Pertidaksamaan linier)Sistem Bilangan Riil (Pertidaksamaan linier)
Sistem Bilangan Riil (Pertidaksamaan linier)ratnawijayanti31
 
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdf
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdfDampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdf
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdfssuser4743df
 
LKPD SUHU dan KALOR KEL4.pdf strategi pembelajaran ipa
LKPD SUHU dan KALOR KEL4.pdf strategi pembelajaran ipaLKPD SUHU dan KALOR KEL4.pdf strategi pembelajaran ipa
LKPD SUHU dan KALOR KEL4.pdf strategi pembelajaran ipaBtsDaily
 
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptx
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptxCASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptx
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptxresidentcardio13usk
 

Último (10)

materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdf
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdfmateri+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdf
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdf
 
R6C-Kelompok 2-Sistem Rangka Pada Amphibi dan Aves.pptx
R6C-Kelompok 2-Sistem Rangka Pada Amphibi dan Aves.pptxR6C-Kelompok 2-Sistem Rangka Pada Amphibi dan Aves.pptx
R6C-Kelompok 2-Sistem Rangka Pada Amphibi dan Aves.pptx
 
Materi Inisiasi 4 Metode Penelitian Komunikasi Universitas Terbuka
Materi Inisiasi 4 Metode Penelitian Komunikasi Universitas TerbukaMateri Inisiasi 4 Metode Penelitian Komunikasi Universitas Terbuka
Materi Inisiasi 4 Metode Penelitian Komunikasi Universitas Terbuka
 
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptx
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptxTEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptx
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptx
 
Konsep Agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan meliputi salah satu atau ...
Konsep	Agribisnis	adalah	suatu	kesatuan	kegiatan  meliputi		salah	satu	atau		...Konsep	Agribisnis	adalah	suatu	kesatuan	kegiatan  meliputi		salah	satu	atau		...
Konsep Agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan meliputi salah satu atau ...
 
kekeruhan tss, kecerahan warna sgh pada laboratprium
kekeruhan tss, kecerahan warna sgh pada laboratpriumkekeruhan tss, kecerahan warna sgh pada laboratprium
kekeruhan tss, kecerahan warna sgh pada laboratprium
 
Sistem Bilangan Riil (Pertidaksamaan linier)
Sistem Bilangan Riil (Pertidaksamaan linier)Sistem Bilangan Riil (Pertidaksamaan linier)
Sistem Bilangan Riil (Pertidaksamaan linier)
 
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdf
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdfDampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdf
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdf
 
LKPD SUHU dan KALOR KEL4.pdf strategi pembelajaran ipa
LKPD SUHU dan KALOR KEL4.pdf strategi pembelajaran ipaLKPD SUHU dan KALOR KEL4.pdf strategi pembelajaran ipa
LKPD SUHU dan KALOR KEL4.pdf strategi pembelajaran ipa
 
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptx
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptxCASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptx
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptx
 

AGROFORESTRI

  • 1. 1 I. Pengertian Agroforesty Menurut Arifin Arief bahwa agroforestry atau wanatani atau agrohutani merupakan istilah kolektif untuk beberapa raktek penggunaan lahan, di mana tumbuhan perennial berkayu ditanam secara sengaja pada sebidang lahan bersama-sama dengan tanaman semusim dan atau ternak, baik dalam bentuk tatana spesial dalam waktu yang bersamaan ataupun secara sekuensial. Arifin Arief (2001) juga mengatakan bahwa agroforesty merupakan sistem dari berbagai ilmu atau multidisipliner, seperti agronomi, sosial, kehutanan, dan ekonomi. Rancangan dan pengelolaan agroforesty merupakan sistem berkelanjutan yang didasarkan pada prinsip-prinsip ekologis. Sistem agroforesty sementara ini ditunjukan kepada pendekatan: 1. Adanya introduksi tanaman semusim ke dalam sistem tanaman kehutanan yang bertujuan untuk menstabilkan penggunaan lahan secara umum dan mengendalikan erosi, terutama memelihara ternak dan penambahan pendapatan. 2. Adanya kegiatan konservasi lahan berhutan menjadi sistem agroforesty sebagai upaya peningkatan produksi komoditas komersial. Menurut Arifin Arief (2001), peranan pohon yaitu: 1. Peranan protektif 2. Rejuvenatif 3. Produktif Sedangkan menurut Conway (1987) yang dikutip Karwan A. Salikin, Agroforesty merupakan pola tuanam tumpang sari antara tanaman tahunan, khususnya tanaman hutan, dan tanaman semusim, misalnya tanaman pangan atau obat-obatan dimana tanaman tahunan mampu menyimpan banyak air dan menghasilkan humus serasah dedaunan, serta memberikan naungan bagi tanaman semusim, sebaliknya tanaman semusim mampu menahan laju erosi permukaan tanah. Agroforestry adalah praktek tradisional menanam pohon di lahan pertanian untuk kepentingan keluarga pertanian. Ini telah digunakan selama setidaknya 1300 tahun menurut catatan serbuk sari [Brookfield andPadoch, 1994], meskipun pohon domestica-tion mungkin dimulai jauh lebih awal [Simmonds, 1985]. Agroforestry dibawa dari alam pengetahuan asli ke garis depan penelitian pertanian yang kurang dari dua dekade lalu, dan dipromosikan secara luas sebagai praktek pertanian keberlanjutan- meningkatkan dan menggabungkan atribut terbaik dari kehutanan dan pertanian [Bene et al, 1977.; Steppler dan Nair, 1987]. Tumbuh pohon bersama dengan tanaman dan ternak yang dipostulatkan untuk meningkatkan hasil panen, konservasi tanah dan mendaur ulang nutrisi sambil menghasilkan kayu bakar, pakan ternak, buah dan kayu (P A. SANCHEZ ).
  • 2. 2 Agroforestry merupakan salah satu bentuk multiple cropping yang telah banyak dikembangkan, terutama di daerah-daerah up-land dan di sekitar kawasan hutan. Namun, tidak menutup kemungkinan bentuk tersebut juga dijumpai di daerah-daerah rendah (low land) maupun di daerah-daerah pertanian yang lain. Para ahli menyusun definisi dengan formulasi yang berbeda-beda mengenai “agroforestry” ini, sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing. (smno.psdl.ppsub) King dan Chandler (1978) mendefinisikan “agroforestry” sebagai suatu “sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman pohon-pohonan) dengan tanaman hutan dan /atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada suatu unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat “. (smno.psdl.ppsub) Agroforestry sudah cukup lama dilaksanakan dalam berbagai bentuk, di antaranya adalah berupa “teknologi usahatani” yang dilaksanakan dengan menanam pohon bersama-sama dengan tanaman pertanian dan hewan ternak di atas sebidang lahan yang sama. Sebagai suatu sistem penggunaan lahan, agroforestry menyiratkan pengertian bahwa pemanfaatan lahan harus dilakukan seoptimal mungkin dengan mengusahakan pelestariannya. Tekanan pada konservasi lingkungan fisik tersebut sesuai dengan sejarah awal mula munculnya konsep agroforestry, yang dirintis oleh tim dari Canadian InternationaI Development Centre. Dalam surveinya di beberapa negara berkembang, tim tersebut menemukan praktek-praktek pengelolaan lahan yang salah, yang mengarah pada perusakan lingkungan. Dalam laporannya, mereka merekomendasikan perlunya pencegahan perusakan lingkungan secara sungguh- sungguh, dengan cara pengelolaan lahan yang dapat mengkonservasi lingkungan fisik secara efektif, tetapi sekaligus dapat memenuhi tuntutan keperluan pangan , papan dan sandang bagi manusia.
  • 3. 3 II. Tujuan Agroforestry Tujuan akhir program agroforestri adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat petani, terutama yang di sekitar hutan, yaitu dengan memprioritaskan partisipasi aktif masyarakat dalam memperbaiki keadaan lingkungan yang rusak dan berlanjut dengan memeliharanya. Program-program agroforestri diarahkan pada peningkatan dan pelestarian produktivitas sumberdaya, yang akhirnya akan meningkatkan taraf hidup masyarakat (Anonim 1992). Tujuan tersebut diharapkan dapat dicapai dengan cara mengoptimalkan interaksi positif antara berbagai komponen penyusunnya (pohon, produksi tanaman pertanian, ternak/hewan) atau interaksi antara komponen-komponen tersebut dengan lingkungannya. Dalam kaitan ini ada beberapa keunggulan agroforestri dibandingkan sistem penggunaan lahan lainnya, yaitu dalam hal: 1. Produktivitas (Productivity): Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa produk total sistem campuran dalam agroforestri jauh lebih tinggi dibandingkan pada monokultur (penanaman satu jenis). Adanya tanaman campuran memberikan keuntungan, karena kegagalan satu komponen/jenis tanaman akan dapat ditutup oleh keberhasilan komponen/jenis tanaman lainnya. 2. Diversitas (Diversity): Adanya pengkombinasian dua komponen atau lebih daripada sistem agroforestri menghasilkan diversitas (keragaman) yang tinggi, baik menyangkut produk maupun jasa. Dengan demikian dari segi ekonomi dapat mengurangi risiko kerugian akibat fluktuasi harga pasar. Sedangkan dari segi ekologi dapat menghindarkan kegagalan fatal pemanen sebagaimana dapat terjadi pada penanaman satu jenis (monokultur). 3. Kemandirian (Self-regulation): Diversifikasi yang tinggi dalam agroforestri diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, dan petani kecil dan sekaligus melepaskannya dari ketergantungan terhadap produk produk luar. Kemandirian sistem untuk berfungsi akan lebih baik dalam arti tidak memerlukan banyak input dari luar (a.l. pupuk, pestisida), dengan diversitas yang lebih tinggi daripada sistem monokultur 4. Stabilitas (Stability): Praktek agroforestri yang memiliki diversitas dan produktivitas yang optimal mampu memberikan hasil yang seimbang sepanjang pengusahaan lahan, sehingga dapat menjamin stabilitas (dan kesinambungan) pendapatan petani.
  • 4. 4 Gambar 2. Pola tanam agroforestri di Hanjuang. BKPH Lengkong, KPH Sukabumi dengan tanaman pokok damar/agathis, Luas 25 Ha.
  • 5. 5 III. Mengapa Agroforest Perlu Mendapat Perhatian Kebun-kebun agroforest asli Indonesia memperlihatkan ciri-ciri yang pantas diberi perhatian dalam kerangka pembangunan pertanian dan kehutanan, khususnya untuk daerah-daerah yang kurang subur. Pada daerah-daerah tersebut hanya tanaman tahunan saja yang dapat berproduksi secara berkelanjutan, sedangkan untuk tanaman pangan dan tanaman musiman lain hanya dimungkinkan melalui pemupukan besar- besaran. Berikut ini diuraikan secara ringkas manfaat penerapan sistem agroforestri bagi beberapa pihak/sudut pandang: (1) pertanian, (2) petani, (3) peladang, (4) kehutanan. 3.1 Sudut Pandang Pertanian Agroforest merupakan salah satu model pertanian berkelanjutan yang tepat- guna, sesuai dengan keadaan petani. Pengembangan pertanian komersial khususnya tanaman semusim menuntut terjadinya perubahan sistem produksi secara total menjadi sistem monokultur dengan masukan energi, modal, dan tenaga kerja dari luar yang relatif besar yang tidak sesuai untuk kondisi petani. Selain itu, percobaan-percobaan yang dilakukan untuk meningkatkan produksi tanaman komersial selalu dilaksanakan dalam kondisi standar yang berbeda dari keadaan yang lazim dihadapi petani. Tidak mengherankan bila banyak hasil percobaan mengalami kegagalan pada tingkat petani. Agroforest mempunyai fungsi ekonomi penting bagi masyarakat setempat. Peran utama agroforest bukanlah produksi bahan pangan, melainkan sebagai sumber penghasil pemasukan uang dan modal. Misalnya: kebun damar, kebun karet dan kebun kayu manis menjadi andalan pemasukan modal di Sumatra. Bahkan, agroforest seringkali menjadi satusatunya sumber uang tunai bagi keluarga petani. Agroforest mampu menyumbang 50 % hingga 80 % pemasukan dari pertanian di pedesaan melalui produksi langsungnya maupun tidak langsung yang berhubungan dengan pengumpulan, pemrosesan dan pemasaran hasilnya. Di lain pihak sistem-sistem produksi asli setempat (salah satunya agroforest) selalu dianggap sebagai sistem yang hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri saja (subsisten). Oleh karena itu dukungan terhadap pertanian komersial petani kecil biasanya lebih diarahkan kepada upaya penataan kembali sistem produksi secara keseluruhan, daripada pendekatan terpadu untuk mengembangkan sistem-sistem yang sudah ada. Agroforest pada umumnya dianggap hanya sebagai "kebun dapur" yang tidak lebih dari sekedar pelengkap sistem pertanian lainnya, di mana produksinya hanya dikhususkan untuk konsumsi sendiri dengan menghasilkan hasil-hasil sampingan seperti kayu bakar. Oleh karena itu, sistem ini kurang mendapat perhatian. 3.2 Sudut Pandang Petani Keunikan konsep pertanian komersial agroforest adalah karena sistem ini bertumpu pada keragaman struktur dan unsur-unsurnya, tidak terkonsentrasi pada satu spesies saja. Usaha memperoleh produksi komersial ternyata sejalan dengan produksi
  • 6. 6 dan fungsi lain yang lebih luas. Hal ini menimbulkan beberapa konsekuensi menarik bagi petani. Aneka hasil kebun hutan sebagai "bank" yang sebenarnya. Pendapatan dari agroforest umumnya dapat menutupi kebutuhan sehari-hari yang diperoleh dari hasil- hasil yang dapat dipanen secara teratur misalnya lateks karet, damar, kopi, kayu manis dan lain–lain. Selain itu, agroforest juga dapat membantu menutup pengeluaran tahunan dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara musiman seperti buah-buahan (Gambar 1), cengkeh, pala, dan lain-lain. Komoditas-komoditas lain seperti kayu bahan bangunan juga dapat menjadi sumber uang yang cukup besar meskipun tidak tetap, dan dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan mendadak. Di beberapa daerah di Indonesia menabung uang tunai masih belum merupakan kebiasaan, maka keragaman bentuk sumber uang sangatlah penting. Keluwesan agroforest juga penting di daerah-daerah di mana kredit sulit didapatkan karena mahal atau tidak ada sama sekali. Semua ini adalah kenyataan umum yang dijumpai di pedesaan di daerah tropis. Struktur yang tetap dengan diversifikasi tanaman komersil, menjamin keamanan dan kelenturan pendapatan petani, walaupun sistem ini tidak memungkinkan adanya akumulasi modal secara cepat dalam bentuk aset-aset yang dapat segera diuangkan. Keragaman tanaman melindungi petani dari ancaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau resiko perkembangan pasar yang sulit diperkirakan. Jika terjadi kemerosotan harga satu komoditas, species ini dapat dengan mudah ditelantarkan saja, hingga suatu saat pemanfaatannya kembali menguntungkan. Proses tersebut tidak menimbulkan gangguan ekologi terhadap sistem kebun. Petak kebun tetap utuh dan produktif dan species yang ditelantarkan akan tetap hidup dalam struktur kebun, dan selalu siap untuk kembali dipanen sewaktu-waktu. Sementara itu spesies-spesies baru dapat diperkenalkan tanpa merombak sistem produksi yang ada. Gambar 3. Durian: Salah satu hasil tambahan (Foto: De Foresta) Ciri keluwesan yang lain adalah perubahan nilai ekonomi yang mungkin dialami beberapa spesies. Spesies yang sudah puluhan tahun berada di dalam kebun dapat tiba- tiba mendapat nilai komersil baru akibat evolusi pasar, atau pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan baru. Hal seperti ini telah terjadi pada buah durian, duku, dan cengkeh serta terakhir kayu ketika kayu dari hutan alam menjadi langka.
  • 7. 7 Melalui diversifikasi hasil-hasil sekunder, agroforest menyediakan kebutuhan sehari-hari petani. Agroforest juga berperan sebagai "kebun dapur" yang memasok bahan makanan pelengkap (sayuran, buah, rempah, bumbu). Melalui keaneka-ragaman tumbuhan, agroforest dapat menggantikan peran hutan alam dalam menyediakan hasil- hasil yang akhir-akhir ini semakin langka dan mahal seperti kayu bahan bangunan, rotan, bahan atap, tanaman obat, dan binatang buruan. 3.3 Sudut Pandang Peladang Kebutuhan tenaga kerja rendah Agroforest merupakan model peralihan dari perladangan berpindah ke pertanian menetapyang berhasil, murah, menguntungkan, dan lestari. Selain manfaat-manfaat langsung yang dihasilkan agroforest kepada petani kecil, agroforest juga menarik bagi peladang berpindah karena dua hal. Meskipun menurut standar konvensional produktivitas agroforest dianggap rendah, bila ditinjau dari sisi alokasi tenaga kerja yang dibutuhkan agroforest lebih menguntungkan daripada sistem pertanian monokultur. Penilaian bahwa produktivitas agroforest yang rendah juga disebabkan kesalahpahaman terhadap sistem yang dikembangkan petani, karena umumnya hanya tanaman utama yang diperhitungkan sementara hasil-hasil dan fungsi ekonomi lain diabaikan. Pembuatan dan pengelolaan agroforest hanya membutuhkan nilai investasi dan alokasi tenaga kerja yang kecil. Hal ini sangat penting terutama untuk daerah- daerah yang ketersediaan tenaga kerja dan uang tunai jauh lebih terbatas dari pada ketersediaan lahan, seperti yang umum terjadi di wilayah-wilayah perladangan berpindah di daerah beriklim tropika basah. Tidak memerlukan teknik canggih Selain manfaat ekonomi, perlu juga dijelaskan beberapa ciri penting lain yang membantu pemahaman terhadap hubungan positif antara peladang berpindah dan agroforest. Pembentukan agroforest berhubungan langsung dengan kegiatan perladangan berpindah. Bentuk ladang berpindah mengalami perkembangan dengan adanya penanaman pohon yang oleh penduduk setempat dikenal bernilai ekonomi tinggi. Tindakan yang sangat sederhana ini dapat dilakukan oleh peladang berpindah di semua daerah tropika basah. Agroforest ini dapat dikelola tanpa teknologi yang canggih tetapi bertumpu sepenuhnya pada pengetahuan tradisional peladang mengenai lingkungan hutan mereka. Hasilnya, terdapat perbedaan yang sangat nyata antara sistem agroforest yang lebih menetap dengan sistem peladangan berpindah yang biasanya melibatkan pemberaan dan membuka lahan pertanian baru di tempat lain. Ladang- ladang yang diberakan untuk sementara waktu, selanjutnya ditanami kembali dengan pepohonan untuk diwariskan pada generasi berikutnya. Kedudukan komersil tanaman pohon dan nilai ekonomisnya sebagai modal dan harta warisan dapat mencegah terjadinya pembukaan ladang-ladang baru, dengan demikian lahan tersebut menjadi terbebas dari ancaman perladangan berpindah lainnya. 3.4 Sudut Pandang Kehutanan
  • 8. 8 3.4.1 Mekanisme sederhana untuk mengelola keanekaragaman Seperti halnya pada semua lahan pertanian, sebagian terbesar agroforest tercipta melalui tindakan penebangan dan pembakaran hutan. Perbedaan agroforest dengan budidaya pertanian pada umunya terletak pada tindakan yang dilakukan pada tumbuhan pioner yang berasal dari hutan. Pada budidaya pertanian, keberadaan tumbuhan perintis alami dianggap sebagai gulma yang mengancam produksi tanaman pokok. Pada sistem agroforest, petani tidak melakukan pembabatan hutan kembali, karena mereka menggunakan ladang sebagai lingkungan pendukung proses pertumbuhan pepohonan. Proses pembentukan agroforest seperti ini masih dapat dijumpai di Sumatra antara lain di Pesisir Krui (Propinsi Lampung) untuk agroforest damar, di Jambi untuk agroforest karet. Oleh karena pada sistem agroforest tidak melibatkan penyiangan intensif, maka kembalinya spesies-spesies pionir dapat mempertahankan sebagian spesies-spesies asli hutan. 3.4.2 Pengembangan hasil hutan non kayu Sejak tahun 1960-an bentuk pengelolaan hutan yang dikembangkan terpaku pada pengusahaan kayu gelondongan. Kayu gelondongan merupakan unsur dominan hutan yang relatif sulit diperbaharui. Eksploitasinya mengakibatkan degradasi drastis seluruh ekosistem hutan. Hal ini memunculkan suatu usulan agar pihak-pihak kehutanan dalam arti luas mengalihkan perhatiannya pada hasil hutan non kayu (disebut juga hasil hutan minor) misalnya damar, karet remah dan lateks, buah-buahan, biji-bijian, kayu- kayu harum, zat pewarna, pestisida alam, dan bahan kimia untuk industri obat. Ilustrasi yang disajikan pada Gambar 7 adalah pemanenan hasil hutan non-kayu berupa getah damar selain produksi kayu yang cukup menarik petani di daerah Krui, Lampung Barat. Pemanenan hasil hutan non-kayu merupakan pengembangan sumberdaya yang dapat mendukung konservasi hutan karena mengakibatkan kerusakan yang lebih kecil dibandingkan dengan pemanenan kayu. Gambar 7. Pemanenen getah damar (Michon dan de Foresta, 2000). Agroforest di Indonesia, yang bertumpu pada hasil hutan non kayu, merupakan salah satu alternatif menarik terhadap domestikasi monokultur yang lazim dikerjakan. Pengelolaan agroforest tidak ekslusif pada satu sumber daya yang terpilih saja, tetapi memungkinkan kehadiran sumber daya lain. Selain itu agroforest merupakan strategi
  • 9. 9 masyarakat sekitar hutan untuk memiliki kembali sumber daya hutan yang pernah hilang atau terlarang bagi mereka. Agroforest memungkinkan adanya pelestarian wewenang dan tanggung jawab masyarakat setempat atas seluruh sumber daya hutan. Hal ini merupakan sifat utama agroforest, namun sifat tersebut mungkin menjadi kendala utama pengembangan sistem agroforest oleh badan-badan pembangunan resmi terutama kalangan kehutanan, yang merasa khawatir akan kehilangan kewenangan menguasai sumber daya yang selama ini dianggap sebagai domain ekslusif mereka. 3.4.3 Model Alternatif Produksi Kayu Agroforest berbasis pepohonan khusus penghasil kayu di Indonesia masih belum ada. Namun karena berciri pembangunan kembali hutan, agroforest merupakan sumber pasokan kayu berharga yang sangat potensial yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk setempat. Sejauh ini kayu-kayu yang dihasilkan dalam agroforest masih diabaikan dalam perdagangan nasional. Pohon yang ditanam di agroforest (buah-buahan, karet dll) sering pula memasok kayu bermutu tinggi dalam jumlah besar, sehingga ada pasokan kayu gergajian dan kayu kupas yang selalu siap digunakan. Di daerah Krui (Lampung), pohon damar yang termasuk golongan meranti sangat mendominasi kebun damar, dengan kepadatan yang beragam. Dalam setiap hektar agroforest terdapat antara 150 sampai 250 pohon yang dapat dimanfaatkan. Kayu-kayu itu biasanya dianggap sebagai produk sampingan yang tidak mempunyai nilai ekonomi, bukan karena teknologi yang rendah, tetapi karena belum dikenali pasar. Kalangan kehutanan mengelompokkan kayu berdasarkan kelas keawetan dan kekuatan. Klasifikasi asli tersebut banyak mengalami revisi, karena semakin langkanya hutan yang mengandung jenis pohon yang menguntungkan. Karena kelas I sudah dieksploitasi berlebihan dan menjadi langka, maka kelas II menjadi kelas I dan seterusnya. Pohon meranti misalnya, belakangan ini merupakan jenis kayu kelas utama di Asia Tenggara, padahal pada tahun 1930-an hampir tidak memiliki nilai komersil. Contoh yang lebih mutakhir adalah kayu karet, hingga tahun 1970-an masih dianggap tidak berharga, tetapi dewasa ini menduduki tempat penting dalam pasar kayu Asia. Sejalan dengan perkembangan teknologi transformasi dan pemanfaatan kayu, ciri-ciri kayu bahan baku semakin tidak penting. Untuk memenuhi permintaan besar di tingkat regional, beberapa tahun belakangan ini berkembang budidaya pohon kayu, terutama surian, bayur, dan musang dalam agroforest di sekeliling danau Maninjau, Sumatera Barat. Di daerah Krui, Lampung, terjadi pemaduan sungkai di kebun damar. Jenis pohon perintis ini yang sebelumnya tidak bernilai, baru sejak 1990-an mulai ditanam di kebun. Dengan meningkatnya permintaan kayu sungkai untuk bangunan pada tingkat nasional, pohon sungkai kini ditanam dan dirawat dengan baik oleh petani.
  • 10. 10 Kajian-kajian kuantitatif lebih lanjut tentu saja masih dibutuhkan untuk menentukan potensi pepohonan dan pengelolaan yang optimal dalam agroforest, dengan tetap memperhitungkan hasil-hasil lain. Dampak sampingan penjualan kayu perlu juga dikaji dari segi sosial, ekonomi dan ekologi. Dengan memenuhi persyaratan ketersediaan pasokan yang besar dan lestari, agroforest merupakan salah satu sumberdaya kayu tropika di masa depan. Dengan mudah sumber daya ini dapat diperkaya dengan jenis-jenis pohon bernilai tinggi, sebab kantung-kantung ekologi agroforest yang beragam merupakan lingkungan ideal bagi pohon berharga yang membutuhkan kondisi yang mirip dengan hutan alam. Selain itu tidak seperti dugaan umum, sasaran utama agroforest di Indonesia bukan cuma untuk pemenuhan kebutuhan sendiri tetapi untuk menghasilkan uang. Dengan orientasi pasar, agroforest mampu dengan cepat memadukan pola budidaya baru, asalkan hasilnya menguntungkan pemiliknya. Mungkinkah agroforest penghasil kayu dikembangkan? Pengembangan agroforestri komplek sebagai sumber kayu tropika bernilai tinggi tampaknya tidak akan memenuhi hambatan yang berarti, jika dilakukan reorientasi pasar yang memberikan peluang bagi kayu asal agroforest untuk memasuki pasar nasional. Keputusan reorientasi terkait erat dengan kondisi nyata pemanfaatan hutan alam di tiap negara tropika, dan karenanya tergantung pada tujuan/kemauan politik. Perwujudan kemauan politik semacam ini diharapkan terjadi secepatnya, karena sangat dibutuhkan dalam rangka menghadapi (a) produksi kayu tropika (kayu pertukangan dan kayu bulat) pada masa transisi dari sistim penebangan hutan alam menuju sistim budidaya menetap untuk wilayah pedesaan, (b) pelestarian alam yang akan muncul akibat masuknya kayu hasil agroforest ke pasar. Menyertai usaha pencegahan perusakan hutan dalam jangka panjang, integrasi pengelolaan pepohonan penghasil kayu ke dalam agroforest akan mengurangi tekanan terhadap hilangnya/perusakan hutan alam yang masih tersisa. Selain meringankan kesulitan dalam mendapatkan kayu bangunan akibat penurunan sumber kayu dari hutan alam, perluasan pangsa pasar ke jenis kayu asal agroforest tersebut akan memacu terjadinya peningkatan pembangunan masyarakat pedesaan. Peningkatan nilai ekonomi agroforest ini dan adanya integrasi pengelolaan kayu komersil diharapkan dapat merangsang perluasan areal agroforest, yang akan mendorong pelestarian lahan dan keanekaragaman hayati di luar hutan alam. 3.4.4 Struktur Agroforest Dan Pelestarian Sumber Daya Hutan Agroforest memainkan peran penting dalam pelestarian sumberdaya hutan baik nabati maupun hewani karena struktur dan sifatnya yang khas. Agroforest menciptakan kembali arsitektur khas hutan yang mengandung habitat mikro, dan di dalam habitat mikro ini sejumlah tanaman hutan alam mampu bertahan hidup dan berkembang biak. Kekayaan flora semakin besar, jika di dekat kebun terdapat hutan alam yang berperan sebagai sumber (bibit) tanaman. Bahkan ketika hutan alam sudah hampir lenyap
  • 11. 11 sekalipun, warisan hutan masih mampu terus berkembang dalam kelompok besar: misalnya kebun campuran di Maninjau melindungi berbagai tanaman khas hutan lama di dataran rendah, padahal hutan lindung yang terletak di dataran lebih tinggi tidak mampu menyelamatkan tanaman-tanaman tersebut. Di pihak lain, agroforest merupakan struktur pertanian yang dibentuk dan dirawat. Tanaman bermanfaat yang umum dijumpai di hutan alam menghadapi ancaman langsung karena daya tarik manfaatnya. Dewasa ini sumber daya hutan dikuras tanpa kendali. Berbeda dengan kebun agroforest, bagi petani, agroforest merupakan kebun bukan hutan. Agroforest merupakan warisan sekaligus modal produksi. Sumberdayanya, baik yang tidak maupun yang sengaja ditanam, dimanfaatkan dengan selalu mengingat kelangsungan dan kelestarian kebun. Pohon di hutan dianggap tidak ada yang memiliki. Sebaliknya, pohon di kebun ada pemiliknya sehingga pohon tersebut mendapat perlindungan yang lebih efektif daripada yang terdapat di hutan negara. Sumber daya hutan di dalam agroforest dengan demikian turut berperan dalam mengurangi tekanan terhadap sumber daya alam. Secara tidak langsung agroforest turut melindungi hutan alam. Aneka kebun campuran di pedesaan di Jawa mempunyai peranan penting bagi pelestarian kultivar pohon (tradisional) buah-buahan dan tanaman pangan. Karena kendala ekonomi dan keterbatasan ketersediaan lahan, maka kebun tersebut tidak dapat berfungsi sebagai tempat berlindung jenis tanaman yang tidak bernilai ekonomi bagi petani. Di Sumatera dan Kalimantan, agroforest masih mampu menawarkan pemecahan masalah pelestarian tanaman hutan alam dan sekaligus dapat diterima pula dari sudut ekonomi (Michon dan de Foresta (1995). Adanya perubahan sosial ekonomi dapat mempengaruhi sifat dan susunan kebun, sehingga dikhawatirkan banyak spesies yang terancam kepunahan. Pada gilirannya sumberdaya tersebut akan punah dan usaha penyelamatannya belum terbayangkan. Apakah seluruh sumberdaya genetik yang ada dalam agroforest dapat disimpan dalam lahan-lahan khusus atau bank benih? Upaya-upaya keberhasilan perlindungan alam Untuk meningkatkan keberhasilan perlindungan terhadap sumber daya alam, maka petani harus dilibatkan pada setiap usaha pelestarian alam, misalnya dengan memberikan pengakuan terhadap agroforest yang sudah ada dan melaksanakan budidaya agroforest di pinggiran kawasan taman-taman nasional. Upaya melestarikan alam harus sekaligus dapat memenuhi kebutuhan penduduk setempat. Gagasan ini bukan khayalan, karena secara tradisional telah dirintis oleh petani agroforest. Pada akhirnya agroforest di daerah tropika merupakan lahan berharga bagi eksplorasi genetik dan etno-botani. Pengetahuan petani pengelola agroforest seyogyanya tidak lagi diremehkan oleh para pengelola hutan.
  • 12. 12 IV. Kelebihan Agroforesty 4.1 Kelebihan-kelebihan Agroforesty menurut sumber link http://www1.montpellier.inra.agroforestryfr/safe/english/.php Agroforesty menyediakan pilihan penggunaan lahan yang berbeda, dibandingkan dengan garapan dan sistem kehutanan tradisional. Dapat membuat penggunaan komplementaritas antara pohon-pohon dan tanaman, sehingga sumber daya yang tersedia dapat dimanfaatkan secara lebih efektif. Hal ini merupakam adalah kegiatan yang menjaga lingkungan dan memiliki manfaat lanskap yang jelas . Versi modern efisiensi agroforestry telah dikembangkan, yang telah disesuaikan dengan berbagai kendala dengan mekanisasi. Lahan agroforesty tetap produktif bagi para petani dan menghasilkan pendapatan yang berkelanjutan, yang tidak terjadi ketika lahan pertanian secara eksklusif dihutankan kembali. Agroforestry juga memungkinkan untuk diversifikasi pertanian dan membuat sumber daya lingkungan dapat lebih maksimal untuk dimanfaatkan. Agroforesty memiliki kelebihan yang menarik dari tiga perspektif yang berbeda, yaitu: A. Dari perspektif nilai kesuburan tanah Diversifikasi kegiatan petani garapan, dengan memanfaatkan warisan tanaman-tanaman berharga yang telah ada, tanpa mengganggu pendapatan dari plot lahan yang telah ditanam. Perlindungan tanaman tumpang sari dan hewan oleh pohon-pohon, yang memiliki efek penahan angin, memberikan perlindungan dari matahari, dari hujan, dari angin, menahan tanah, dan merangsang mikrofauna tanah dan mikroflora. Pemulihan beberapa nutrisi yang telah tercuci atau habis oleh pepohonan, pengayaan bahan organik tanah oleh kompos dari pohon dan oleh akar pohon yang telah mati. Kemungkinan remunerasi bagi petani garapan untuk menjaga pohon- pohon yang telah ada di hutan. Sebuah cara alternatif untuk reboisasi lahan yang subur. Komponen pohon dapat dibalik, plot tetap " bersih " (bebas dari scrub) dan mudah untuk destump ketika pohon-pohon yang ditebang bersih (tunggul berada di garis dan sedikit jumlahnya). Dalam plot silvopastoral, unit pakan dapat tersedia pada tanggal yang berbeda dibandingkan dengan plot dipotong penuh, memperpanjang masa ternak untuk merumput . B. Dari perspektif kehutanan Percepatan pertumbuhan diameter pohon dengan jarak lebar (+80% lebih dari 6 tahun di sebagian besar perkebunan percobaan). Pengurangan biaya modal perkebunan, dengan mengurangi jumlah pohon yang ditanam tanpa masa depan komersial. Penurunan besar dalam biaya pemeliharaan perkebunan, karena kehadiran tanaman tumbapng sari.
  • 13. 13 Peningkatan kualitas kayu yang diproduksi (cincin biasa lebar, cocok untuk kebutuhan industri), karena pohon-pohon tidak mengalami siklus kompetisi dan penjarangan. Menjamin tindak lanjut dan perawatan pohon akibat adanya aktifitas tumpangsari subur. Secara khusus, perlindungan terhadap resiko kebakaran di daerah rentan, dengan pastoralism atau dengan tumpang sari seperti pohon anggur atau pada musim dingin enanam tanaman sereal. Perkebunan agroforestry pada lahan pertanian memungkinkan pengembangan sumber daya kayu berkualitas yang dapat saling melengkapi, ketimbang dengan produk dari hutan tradisional yang secara sengaja dieksploitasi. Hal ini sangat penting untuk menghasilkan kayu yang dapat menggantikan kayu gergajian tropis, yang akan segera menurun dalam ketersediaan dan kualitas. Daerah yang bersangkutan akan tetap kecil dalam hal nilai absolut mereka, tetapi produksi kayu dari mereka bisa menjadi masukan penting bagi jaringan pasokan kayu Eropa. Jenis pohon yang sedikit digunakan di bidang kehutanan, tetapi bernilai tinggi, bisa ditanam dalam sistem agroforesty: pohon layanan, pohon pir, Sorbs umum, pohon-pohon kenari, pohon cherry liar, pohon maple, pohon tulip, paulownias, dan lain-lain. D. Dari perspektif lingkungan Peningkatan pengembangan sumber daya alam: total kayu dan produksi garapan dari plot agroforestry lebih besar dari produksi yang terpisah diperoleh pola tanam yang terpisah garapan - hutan di daerah yang sama dari tanah. Efek ini hasil dari stimulasi saling melengkapi antara pohon-pohon dan tanaman di plot agroforestry. Dengan demikian , gulma , yang secara spontan hadir di perkebunan kehutanan muda diganti dengan tanaman dipanen atau padang rumput, pemeliharaan lebih murah dan lingkungan sumber daya yang digunakan lebih baik. Kontrol yang lebih baik dari daerah dibudidayakan tanah: dengan menggantikan plot pertanian, plot agroforestry memberikan kontribusi untuk mengurangi areal yang ditanami tanah. Intensifikasi pemanfaatan sumber daya lingkungan dengan sistem agroforesty tidak menghasilkan produk tanaman yang lebih. Penciptaan pemandangan asli yang menarik, terbuka dan mendukung kegiatan rekreasi. Plot agroforestry memiliki potensi lansekap benar-benar inovatif, dan akan meningkatkan citra publik dari petani untuk masyarakat. Ini akan menjadi terutama terjadi di daerah yang sangat jarang berhutan, di mana plot dikembangkan dengan menanam tanah yang subur, dan di daerah yang sangat berhutan lebat, di mana plot dikembangkan oleh penipisan hutan yang ada. Menangkal efek rumah kaca: konstitusi sistem yang efektif untuk penyerapan karbon , dengan menggabungkan pemeliharaan persediaan bahan organik dalam tanah (kasus terutama dengan padang rumput ), dan superimposisi dari memperbaiki jaring berhutan lapisan. Perlindungan tanah dan air, khususnya di daerah-daerah sensitif. Peningkatan keanekaragaman hayati, khususnya oleh kelimpahan "efek tepi". Hal
  • 14. 14 ini khususnya, memungkinkan peningkatan sinergis, dengan mendukung habitat permainan. Perlindungan terpadu tanaman oleh asosiasi mereka dengan pohon- pohon, dipilih untuk merangsang hyperparasite (parasit parasit) populasi tanaman, adalah cara ke depan yang menjanjikan. Karakteristik yang menguntungkan adalah sebagai koheren dengan berbagai tujuan dari hukum membimbing pertanian dan kehutanan, seperti mereka dengan prinsip-prinsip mengarahkan Kebijakan Pertanian Bersama. 4.2 Produktivitas Sistem Agroforestry menurut smno.psdl.ppsub dalam Pengelolaan Suberdaya Hutan Berbasis Pertanian. Indikator “produktivitas” suatu ekosistem pertanian biasanya mampu mencerminkan berbagai bentuk output yang dapat diukur, kuantitatif, dan bermakna penting, misalnya hasil tanaman. Berbagai bentuk produk dari sistem agroforestry dikonsumsi langsung, tidak memasuki sistem “pasar”, demikian juga beberapa bentuk hasil agroforestry bersifat “non-moneter”, dan bersifat sebagai “jasa”. a. Land Equivalent Ratio Dua macam indikator produktivitas yang lazim dibunakan adalah Lend Equivalent Ratio (LER) dan Harvest Index (HI). Konsep LER semula digunakan untuk menganalisis keragaan relatif suatu komponen dari kombinasi pertanaman dibandingkan dengan pertanaman tunggalnya (IRRI, 1974). LER merupakan jumlah dari hasil relatif spesies-spesies yang menjadi komponen sistem, yaitu: m LER =  yi / yii I =1 dimana yi adalah hasil tanaman ke “I” dari suatu unit luasan intercropping ; yii adalah hasil dari tanaman “I” yang ditanam secara monokultur pada area yang sama; dan yi/yii hasil relatif dari tanaman ke “I”. Dalam sistem agroforestry yang sederhana, menurut Rao dan Coe (1992), LER dapat diabstraksikan sbb: LER = Ci / Cs + Ti / Ts dimana Ci adalah hasil tanaman sela intercropping, Cs adalah hasil tanaman (sela) yang ditanam monokulktur, Ti adalah hasil tegakan dalam sistem intercropping, dan Ts adalah hasil tegakan pohon yang ditanam monokultur. Kalau nilai LER = 1, berarti tidak ada tambahan manfaat produksi dari pertanaman campuran; kalau LER < 1, berarti ada kerugian ; sedangkan kalau LER > 1, berarti ada keuntungan tambahan dari sitem pertanaman campuran.
  • 15. 15 Jika LER diukur pada kondisi kepadatan populasi yang sama dengan populasi pada sistem monokultur dan campuran, maka LER sama dengan Relative Yield Total (RYT). Akan tetapi pada kenyataannya dalam berbagai sistem agroforestry, populasi tanaman sela tidak sama dengan populasi monokultur, sehingga nilai LER beragam sesuai dengan nilai kepadatan populasi ini. Konsep LER mensyaratkan bahwa pertanaman tunggal yang digunakan dalam perhitungan ditanam pada kepadatan optimum. Kalau keragaan tanaman sela pada suatu kepadatan populasi harus dibandingkan dengan keragaan pada kepadatan optimumnya, maka perlu digunakan “keragaan tanaman sela” yang diukur pada kepadatan optimumnya. Biasanya LER (RYT) kepadatan konstan digunakan kalau tujuannya adalah untuk mengidentifikasi kombinasi tanaman yang menguntungkan (Nair, 1979). Kesulitan lainnya dalam menerapkan LER untuk sistem agroforestry ialah bahwa LER tidak mencerminkan keberlanjutan sistem. LER biasanya merupakan jumlah hasil-hasil relatif tanaman komponen selama satu musim tanam, tidak mencerminkan produktivitas jangka panjang dari sistem. Satu cara untuk mengatasi kesulitan ini adalah mengamati perubahan LER dari tahun ke tahun selama periode waktu yang lama dan kemudian menggunakan informasi ini sebagai landasan untuk menyusun indeks keberlanjutan. Pengukuran LER juga dianggap kurang relavan kalau tanaman sela semusim dikombinasikan dengan tanaman tahunan pada saat masih muda. Petani produsen tidak berminat untuk memaksimumkan dua komoditi secara simultan (memaksimumkan LER), tetapi lebih berminat untuk memaksimumkan hasil tanaman sela dengan tidak mengganggu pertumbuhan dan produksi tanaman tahunan secara siginifikan. Indikator lain yang dapat digunakan untuk mengkaji produktivitas adalah Income Equivalent Ratio (IER) dengan mempertimbangkan income masing-masing tanaman komponen sistem agroforestry. b. Indeks Panen (Harvest Index, HI) HI lazimnya digunakan untuk menyatakan fraksi hasil ekonomis dari suatu tanaman terhadap total produktivitasnya: HI = (Produktivitas ekonomis) / (Produktivitas Biologis) Indikator Hi ini sulit diterapkan dalam sistem agroforestry karena beberapa alasan, yaitu: 1. Dalam perhitungan HI hanya digunakan bahan kering bagian tanaman di atas tanah, padahal produksi bahan kering bagian tanaman di bawah tanah (perakaran tanaman) sangat penting , terutama dalam kaitannya dengan dinamika bahan organik tanah. 2. Bahan kering tanaman lazimnya tidak mencerminkan nilai ekonomi produk. 3. Perhitungan HI biasanya dilakukan atas dasar data satu musim pertumbuhan. 4. Perhitungan HI belum mampu mencerminkan faktor sustainabilitas.
  • 16. 16 4.3 Kelemahan dan Tantangan Agroforest menurut Kurniatun Hairiah, Widianto dan Sunaryo 4.3.1 Kelemahan Agroforestry  Kesulitan visual Keberagaman bentuk, kemiripan dengan vegetasi hutan alam, dan kesulitan membedakannya dalam penginderaan jauh (remote sensing) menjadikan bentang hamparan agroforest sulit dikenali. Kebanyakan agroforest dalam peta-peta resmi diklasifikasikan sebagai hutan sekunder, hutan rusak, atau belukar, oleh karena itu biasanya disatukan ke dalam kelompok lahan yang menjadi target rehabilitasi lahan dan hutan.  Kesulitan mengukur produktivitas Ahli ekonomi pertanian terbiasa dengan perhatian hanya kepada jenis tanaman dan pola penanaman yang teratur rapi. Biasanya mereka enggan memberi perhatian terhadap nilai pepohonan dan tanaman non-komersial. Mereka juga biasanya tidak memiliki latar belakang yang cukup untuk mengenali manfaat ekonomi spesies pepohonan dan herba/semak.  Kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan pohon pada lahan pertanian. Adanya penyisipan pohon di antara tanaman semusim, akan menimbulkan masalah yang sering merugikan petani karena kurangnya pengetahuan petani akan adanya interaksi antar tanaman. 2.3.2 Ancaman Keberlanjutan De Foresta et al. (2000) mengemukakan bahwa keberlanjutan dari agroforest ini menghadapi beberapa ancaman antara lain sebagai berikut:  Kesulitan merubah pandangan ahli agronomi dan kehutanan Besarnya jenis dan ketidakteraturan tanaman dalam agroforest membuatnya cenderung diabaikan. Kebanyakan ahli pertanian dan kehutanan yang sudah sangat terbiasa dengan keteraturan sistem monokultur dan agroforestri sederhana menganggap ketidakteraturan dan keberagaman tanaman ini sebagai tanda kemalasan petani. Kebanyakan ahli agronomi dan kehutanan yang akrab dengan pola pertanian sederhana dan keaslian hutan alam masih sulit untuk mengakui bahwa agroforest adalah sistem usahatani yang produktif.  Agroforest adalah sistem kuno (tidak modern) Banyak kalangan memandang agroforest sebagai sesuatu yang identik dengan pertanian primitif yang terbelakang, sama sekali tidak patut dibanggakan. Padahal, agroforest merupakan wujud konsep petani, proses adaptasi dan inovasi yang terus menerus yang berkaitan dengan perubahan ekologi, keadaan sosial ekonomi, dan perkembangan pasar.
  • 17. 17 Sistem agroforest yang ada saat ini merupakan karya modern dari sejarah panjang adaptasi dan inovasi, uji coba berulang-ulang, pemaduan spesies baru dan strategi agroforestri baru.  Kepadatan penduduk Pengembangan agroforest membutuhkan ketersediaan luasan lahan, karenanya agroforest sulit berkembang di daerah-daerah yang sangat padat penduduknya. Ada kecenderungan bahwa peningkatan penduduk menyebabkan konversi lahan agroforest ke bentuk penggunaan lain yang lebih menguntungkan dalam jangka pendek.  Penguasaan lahan Luas agroforest di Indonesia mencapai jutaan hektar, tetapi tidak secara resmi termasuk ke dalam salah satu kategori penggunaan lahan. Hampir semua petani agroforest tidak memiliki bukti kepemilikan yang resmi atas lahan mereka. Banyak areal agroforest yang dinyatakan berada di dalam kawasan hutan negara, atau dialokasikan kepada perusahaan perkebunan besar dan proyek pembangunan besar lainnya. Ketidakpastian kepemilikan jangka ini berakibat keengganan petani untuk melanjutkan sistim pengelolaan yang sekarang sudah mereka bangun.  Ketiadaan data akurat Kecuali untuk agroforest karet dan sebagian kecil lainnya, belum ada upaya serius untuk mendapatkan data yang akurat mengenai keberadaan/luasan agroforest yang tersebar di hampir seluruh kepulauan Indonesia. Akibatnya, belum ada upaya untuk memberikan dukungan pembangunan terhadap agroforest tersebut, seperti yang diberikan terhadap sawah, kebun monokultur (cengkeh, kelapa, kopi, dan lain- lain), atau Hutan Tanaman Industri (HTI).
  • 18. 18 V. Pengelolaan Lahan Agroforestry atau WANATANI atau AGROHUTANI merupakan suatu istilah kolektif untuk beberapa praktek penggunan lahan dimana tumbuhan perennial berkayu ditanam secara sengaja pada sebidang lahan bersama-sama dengan tanaman semusim dan/atau ternak, baik dalam bentuk tatanan spasial dalam waktu yang bersamaan ataupun secara sekuensial. Berbagai macam kombinasi pohon, tanaman semusim, pasture, dan ter-nak dapat tergolong dalam agroforesty. Dalam kebanyakan sistem agroforesty ini, pohon mempunyai peranan protektif, rejuvenatif, dan produktif, tetapi kepentingan relatif dari peranan-peranan ini akan sangat beragam di antara sistem- sistem yang berbeda. Oleh karena itu agroforesty tidak boleh dipandang sebagai suatu "obat mujarap" bagi kebanyakan problem penggunaan lahan, tetapi arahan dan praktek- praktek khusus harus dikembangkan untuk sistem-sistem agroforesty secara terpisah. Apabila dapat dikelola dengan tepat, sistem agroforesty secara biofisik, ekonomis dan budaya cocok untuk berbagai kondisi iklim, topografi, geologi, hidrologi, dan situasi tanah. Di daerah-daerah yang sumberdaya lahannya relatif langka, tumbuhan pohon dan perennial berkayu lainnya dapat dibudidayakan di lahan pertanian atau lahan gembalaan . Misalnya, tanaman pohon dapat dimasukkan ke dalam sistem pertanaman semusim pada lembah dataran rendah yang subur yang sangat cocok bagi pertanian intensif. Sistem penanaman pagar lapangan untuk menjadi pagar hidup guna menangkal angin dan menghasilkan kayubakar atau hijauan pakan (misalnya di India). Pohon telah ditanam dalam jalur-jalur lorong "(alley)" melintang lereng di antara padi gogo dan jagung pada lahan-lahan curam untuk menyediakan mulsa, kompos, kayubakar, dan timber kecil-kecil dan untuk mereduksi kehilangan tanah dengan jalan perkembangan terras secara bertahap dari hasil penangkapan sedimen pada barisan pepohonan. Sistem seperti ini yelah menjadi sistem yang sustainable di Cebu, Filipina. Teladan-teladan lain tentang kultivasi simultan pohon dan tanaman semusim adalah berbagai tipe sistem pekarangan multistory dimana berbagai perennial dan kadangkala sedikit tanaman semusim bersama dengan pohon. Di daerah-daerah dimana densitas populasi penduduk masih relatif rendah dan lahan relatif banyak, maka sistem agroforesty temporer dengan suatu rotasi pohon dan tanaman semusim dapat dilakukan. Ada dua pendekatan utama yang sering digunakan bagi pengembangan agroforesty. Pendekatan pertama terdiri atas introduksi pohon ke dalam sistem tanaman semusim atau sistem grazing. Tujuannya seringkali adalah untuk menstabilkan penggunaan lahan secara umum dan untuk mengendalikan erosi terutama untuk memelihara produksi pertanian pada lahan yang secara biofisik tidak sesuai. Pendekatan yang ke dua terdiri atas kegiatan konversi lahan berhutan menjadi sistem agroforesty sebagai upaya untuk meningkatkan produksi komoditi komersial atau produk-produk subsisten.
  • 19. 19 Pengadopsian sistem agroforesty sebagai suatu tipe penggunaan lahan biasanya akan diputuskan oleh individu pemilik lahan atau pengguna lahan, berdasarkan atas kelayakan sosial dan strategi minimisasi resiko atau perkiraan manfaat ekonomis. Dengan demikian sistem agroforesty harus dirancang secara khusus berdasarkan kondisi daerah setempat, dengan memperhatikan praktek penggunaan lahan yang berlaku secara lokal, kebutuhan masyarakat akan pa- ngan, kayu bakar, timber, dan produk lainnya; serta preferensi masyarakat setempat. Di masa lalu, pemerintah jarang yang berminat pada agroforesty, kecuali dalam sistem taungya yang dihubungkan dengan awal fase perkembangan pekebunan-perkebunan besar. Disamping faktor-faktor ekonomi, sosial, dan politik ini, ternyata kendala biofisik yang berhubungan dengan kapabilitas lahan dan dampak fisik seperti perubahan rejim air, erosi, sedimentasi, dan polusi agrokimia sangat penting bagi perencana land-use. Secara ideal, faktor terakhir ini harus dipertimbangkan secara seksama dalam setiap sistem agroforesty. Introduksi atau retensi pohon dalam sistem pertanian semusim tidak boleh dipandang sebagai suatu "safety net" yang general untuk melawan degradasi sumberdaya lahan. Individu pohon atau kelompok pohon tidak dapat diharapkan memberikan pengaruh yang sama terhadap lahan seperti ekosistem hutan yang masih utuh, terutama pengendalian erosi (Wiersum, 1984). Kunci bagi kebaikan kualitas air dan konservasi tanah tidak terletak pada pohon itu sendiri, melainkan pada praktek pengelolan yang dilakukan dengan baik. 5.1 Seleksi dan pengembangan lokasi Mengingat keanekaan sifat dari berbagai sistem agroforestry, maka hanya dimungkinkan untuk melakukan genera lisasi secara umum tentang kesesuaian lahannya. Kalau sistem agroforestry dikembangkan dengan jalan introduksi ternak, tanaman semusim, atau tanaman pohon ke dalam daerah yang berhutan, maka arahan untuk "Pembukaan Hutan dan Tebang Pilih" harus dipertimbangkan untuk mengidenti- fikasikan daerah yang harus dikonversi dan yang tidak boleh dikonversi. Arahan untuk konversi lahan hutan menjadi lahan grazing, menjadi tanaman pohon, dan menjadi pertanian semusim harus diperhatikan secara seksama untuk mengetahui relevansinya bagi setiap sistem agroforestry yang spesifik. Akan tetapi secara umum perkembangan agroforestry akan dimulai bukan dengan mengkonversi lahan hutan, tetapi dengan introduksi pohon ke dalam sistem pertanian semusim, atau dengan introduksi pohon naungan dalam sistem pertanian pohon (misalnya kopi dan kakao). Secara umum, sistem agroforestry tidak boleh dipraktek kan pada lahan yang kemiringannya lebih dari 60%. Pada lahan yang kemiringannya 60-85%, agroforestry umumnya dapat dipraktekkan dan hanya sustainable dalam hubungannya dengan rekayasa engineering konservasi tanah, dan hal ini bisa tidak layak teknis bagi infrastruktur lokal dan juga tidak layak ekonomis. Proporsi tanaman semusim dalam sistem yang memerlukan pengolahan tanah secara teratur akan sangat mempengaruhi erosi tanah. Kalau tanah-tanah bera berada di bawah atau di antara pohon-pohonan, maka terras diperlukan pada lahan dengan kemiringan kurang dari 60%. Pepohonan
  • 20. 20 dapat membantu perkembangan terras-terras ini kalau ditanam dan dikelola secara tepat sepanjang garis kontur. Agar supaya produksi pohon dalam sistem agroforestry harus berhasil secara ekonomis maka diperlukan kedalaman tanah dan kualitas tanah yang memadai. Kelompok kerja internasional mempertimbangkan bahwa kedalaman tanah yang diperlukan paling tidak 75-100 cm. Walaupun sistem agroforestrydapat diimplementasikan pada loaksi yang telah mengalami degradasi sehingga solum tanahnya dangkal, manfaat terutama akan berasal dari pelestarian konservasi tanah dan perbaikan produksi tanaman semusim dan bukannya produktivitas yang tinggi dari tanaman pohon, terutama manfaat dalam jangka pendek. 5.2 Pemilihan dan penataan pohon dan tanaman semusim Salah satu faktor yang sangat penting dalam disain sistem agroforestry adalah pemilihan spesies pohon dan tanaman semusim. Wiersum (1981) mengemukakan lima faktor utama yang harus diperhatikan dalam disain sistem agroforestry, dan Mercer (1985) mengemukakan 23 kriteria yang harus diperhatikan dalam pemilihan spesies pohon. Preferensi tanaman pangan lokal dan kondisi agroklimat umumnya akan menentukan jenis tanaman pangan yang ditanam, sedang kan pemilihan jenis tanaman pohon lebih banyak ditentukan oleh permintaan pasar. Dalam semua kasus ternyata kompatibilitas antara tanaman pohon dan jenis tanaman lainnya juga sangat penting. Tatanan spasial komponen-komponen dari sistem agroforestry merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi produktivitas, sustainabilitas, efektivitas konser vasi tanah, dan daya menejerial. Arahan khusus akan meliputi hal-hal berikut ini: 1. Gunakan sistem jalur atau barisan secara bergantian sepanjang kontur untuk maksimisasi stabilisasi tanah 2. Gunakan jenis yang memfiksasi nitrogen, untuk memperbaiki kesuburan tanah dan menyediakan pupuk hijau 3. Gunakan jenis pohon yang tumbuhnya cepat untuk mendapatkan manfaat dari konservasi tanah dan produksi 4. Kalau produksi kayu tidak diutamakan dari tanaman pohon, maka disarankan jarak 20 cm di dalam barisan dan 1 meter di antara barisan rangkap pohon, dan 4 meter atau lebih di antara pagar untuk tanaman semusim. Kalau barisan pohon digunakan sebagai "jangkar" bagi seresah sisa pangkasan cabang dan ranting, maka pola seperti ini akan menghasilkan perkembangan terras- terras dalam periode tiga tahun karena penjebakan material yang tererosi dari lahan di sebelah atasnya. Jarak yang berbeda diperlukan untuk daerah semiarid dan arid, dan laju perkembangan terras akan lebih lambat di daerah iklim kering. 5. Untuk produksi kayu bakar dari barisan-pagar, diperlu kan jarak tanam pohon yang lebih lebar baik dalam barisan maupun di antara barisan. Pengujian lokal mungkin diperlukan untuk menentukan jarak tanam optimal, terutama di daerah kering. Jarak tanam sepanjang barisan sebesar 50 cm hingga 2 meter mungkin
  • 21. 21 akan sesuai, tergantung pada apakah kayubakar merupakan produk yang diutamakan. 6. Jarak tanam yang lebih lebar, hingga 4m x 4m atau 5m x 5m, dapat digunakan kalau jenis-jenis timber atau legume ditanam secara langsung untuk pangan merupakan spesies pohon yang utama. Bahkan di daerah kering jarak tanam perlu lebih lebar lagi. 5.3 Pengelolaan sistem Wanatani-Agroforestry Arahan penting bagi sustainabilitas dan minimisasi dampak biofisik yang bersifat negatif meliputi: 1. Tanaman penutup tanah yang berupa tanaman hidup atau mulsa harus dipertahankan sepanjang tahun di area tanaman semusim di antara pohon pohon atau barisan pohon untuk melindungi permukaan tanah daripukulan air hujan, pemadatan, limpasan permukaan, dan erosi. Tanaman pohon sendiri tidak akan menyediakan perlindungan ini secara otomatis; pada kenyataannya bahkan mereka dapat meningkatkan efek erosi percik pada tanah yang kosong di bawah tajuk pohon. 2. Bahan organik topsoil harus dipertahankan dengan memasukkan pupuk hijau dan mulsa untuk menjaga ketersediaan unsur hara dan air serta memperbaiki laju infiltrasi tanah 3. Pemanenan bahan organik dan hara pada saat panen harus dibatasi pada produk- produk yang dapat dijual saja. Residu tanaman dan pemangkasan harus digunakan sebagai mulsa atau pupuk hijau. 4. Perakaran yang rapat dalam topsoil harus dipacu untuk mencegah kehilangan unsur hara melalui drainase dan untuk memelihara da memperbaiki struktur tanah. Misalkan, hindarilah pengrusakan akar pohon pada saat kultivasi tanaman semusim dan minimalkan pemadatan topsoil akibat lalulintas manusia dan ternak. Penggunaan pupuk hijau, pupuk kandang dan mulsa akan memperbaiki kandungan hara dan air pada topsoil, dan memacu perkembangan akar. 5. Pembakaran harus dihindarkan atau diminimumkan untuk mereduksi kehilangan hara. 6. Praktek pengendalian hama secara terpadu harus dilakukan, dan penggunaan pestisida harus diminimumkan untuk menghindari kepunahan musuh-musuh alami yang bermanfaat. Penggunaan bahan agrokimia dan pengelolaan bahan- bahan limbah secara hati-hati. 7. Kalau ternak gembalaan dimasukkan dalam sistem agroforestry, maka ketersediaan hijauan pakan di musim kemarau harus menjadi pertimbangan utama dalam memilih jenis ternak dan stocking-rate, kecuali kalau tersedia sumber pakan alternatif. Overgrazing dan pemadatan tanah yang berlebihan harus dihindarkan.
  • 22. 22 8. Gangguan ternak terhadap tanaman pohon yang baru tumbuh harus dihindarkan , terutama tanaman timber. 9. Pola lalulintas ternak harus dimanipulasi dengan meng gunakan barier vegetatif atau penghalang lainnya supaya jalan ternak yang padat tidak langsung menuruni lereng cukup panjang atau langsung ke saluran air. 5.4 Pemilihan Spesies dan Disain Sistem Beberapa hal pokok yang harus diperhatikan dalam menentukan pilihan spesies pohon adalah (Wiersum, 1981): a) Daya adaptasi terhadap kondisi lingkungan setempat b) Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal. Faktor yang dipertimbangkan adalah:  Tanaman yang dihasilkan (pagan, cash,kayu,hijauan  Waktu tenggang antara saat tanam dan panen  Umur dan keteraturan produksi manfaat  Periode produksi dalam hubungannya dengan kesesuaian terhadap distribusi tenaga kerja  Popularitas lokal dengan spesies  Ketersediaan pasar produk. c) Kesesuaian spesies dalam campuran tanaman d) Fungsi perlindungan lingkungan hidup (misalnya pe- ngendali erosi tanah, siklus hara) e) Karakteristik menejemen (penanaman, panen, pengolahan dan penyimpanan produk). Menurut Mercer (1985), kriteria penting memilih jenis pohon untuk agroforestry meliputi: 1. Pertumbuhan cepat, yang memungkinkan panen lebih awal dan hasil per hektar lebih banyak, 2. Kemampuan memfiksasi nitrogen dari udara, 3. Bersifat multiguna, 4. Produk pohon ada pasarnya, 5. Ketersediaan bahan bibit yang memadai, 6. Mempunyai sifat self-pruning, 7. Rasio antara diameter tajuk dengan diameter bole rendah (yaitu lebar tajuk harus relatif kecil dibandingkan dengan diameter), 8. Toleran terhadap naungan dari sisi, 9. Filotaksisnya harus memungkinkan penetrasi cahaya matahari ke permukaan tanah, 10. Fenologinya harus menguntungkan bagi periode pertanaman semusim (terutama dalam hubungannya dengan semi dan gugur daun), 11. Gugurnya seresah cukup banyak dan mudah terdekomposisi,
  • 23. 23 12. Sistem perakarannya dan karakteristik akar yang mengeksploitir lapisan tanah yang berbeda dengan tanaman pertanian yang mendampinginya, 13. Kompatibilitas di antara spesies annual dan perennial (misalnya interaksi alelopati dan interaksi positif) Dalam hubungannya dengan produk akhir maka karakteristik berikut ini diperlukan untuk persyaratan tambahan, yaitu 1. Pohon untuk produksi timber harus tinggi, cepat tumbuhnya, spesies sekunder dengan batang lurus, kuat, kayu berbutir halus, dan karakteristik mesinnya bagus, 2. pohon untuk kayubakar harus mempunyai berat jenis tinggi, regenerasinya mudah dengan anakan atau bibit kecambah, cepat mengering, mudah dipanen dan diangkut, 3. Spesies pagar harus mudah ditanam dan tumbuh , tahan terhadap korosi oleh paku dan kawat, 4. Pohon untuk buah dan sayur harus beradaptasi secara ekologis, dan harus digunakan kombinasi pohon yang mampu menyediakan berbagai kebutuhan gizi, 5. Pohon untuk produksi hijauan dan pupuk hijau harus mampu tumbuh cepat, memfiksasi nitrogen, dan mempunyai kemampuan belukar yang hebat Kendala menurut Arifin Arief 1. Dari segi ekonomi masih jauh dari harapan karena adanya kendala penentuan lahan, jenis, dan tanaman. 2. Seringkali gagal panen karena erosi lahan dan hasil panen yang tidak sebanding dengan pembiayaan. 3. Kendala biofisik yang berhubungan dengan kapasitas lahan dan dampak fisik seperti perubahan rezim air, erosi, sedimentasi, dan polusi agrokimia sangat penting bagi perencanan land-use. VI. Penutup Demikian makalah ini saya buat, semoga dapat bermanfaat bagi saya dan orang banyak. Apabila terdapat kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini saya mohon maaf dan saya terima kritikan dan saran. Terima kasih. Wassalam.
  • 24. 24 Daftar Pustaka Arifin Arief, 2001, Hutan dan Kehutanan, Kanisius, Jakarta Karwan A. Salikin, 2003, Sistem Pertanian Berkelanjutan, Kanisius, Jakarta Coen Reijntjes, Bertus Haverkort dan Waters-Bayer, 1999, Pertanian Masa Depan, Kanisius, Jakarta. http://www1.montpellier.inra. agroforestry fr/safe/english/.phpsmno.psdl.ppsub, Pengelolaan Suberdaya Hutan Berbasis Pertanian. De Foresta H, Michon G and Kusworo A, 2000. Complex Agroforests. Lecture note 1. ICRAF SE Asia. Hairiah K, Widianto, Utami SR, Suprayogo D, Sunaryo, Sitompul SM, Lusiana B, Mulia R,van Noordwijk M dan Cardisch G, 2000. Pengelolaan Tanah Masam Secara Biologi: Refleksi Pengalaman dari Lampung Utara. ICRAF SE Asia, Bogor.