SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 12
Baixar para ler offline
1
PEMAPANAN AGROFORESTRY SELAKU BENTUK
PEMANFAATAN LAHAN MENURUT KRITERIA
PENGAWETAN TANAH DAN AIR 1
Tejoyuwono Notohadiprawiro
Ringkasan
Dikemukakan sejumlah ciri utama, berbagai bentuk dan sasaran pokok
agroforestry. Ketiga kriteria ini dipakai sebagai titik tolak pembahasan, yang berkisar pada
soal : faktor pendorong penciptaan sistem agroforestry, kriteria kesesuaian lahan untuk
agroforestry, faktor pemenuhan fungsi agroforestry, dan pembandingan agroforestry
dengan sistem lain menurut kriteria fungsi. Pemapanan agroforestry dapat ditentukan oleh
keadaan fisik lahan, ketersediaan teknologi atau keterampilan untuk menerapkan sistem
lain, keadaan sosial dan/atau ekonomi yang memolakan penggunaan lahan kini.
Agroforestry merupakan sistem tersendiri dan bukan sekadar campuran pertanian-
perhutanan-peternakan. Keberhasilan pemapanan agroforestry tergantung pada ketepatan
memilih bentuk dan menentukan sasaran menurut kebutuhan setempat dan
ketergabungannya dengan kebiasaan petani setempat. Ini berarti, bahwa agroforestry
merupakan suatu penyelesaian “ad hoc”, baik menurut tempat maupun waktu. Agroforestry
menghendaki penghampiran sistem yang pragmatik. Pembahasan ditekankan pada gatra
pengawetan sumber air dan tanah. Akan tetapi oleh karena hubungan antar gatra sangat
erat maka tidak terhindarkan penyinggungan gatra yang lain.
Pendahuluan
Ciri, bentuk dan sasaran agroforestry dapat disarikan dari tulisan Wassink (1977)
dan King (1979). Ciri (characteristic) agroforestry ialah :
1. Budidaya tanaman menetap pada sebidang lahan
2. Mengkombinasikan pertanaman semusim dan tahunan secara berdampingan atau
berurutan, tanpa atau dengan pemeliharaan ternak
3. Menerapkan pengusahaan yang sedapat-dapat tergabungkan (compatible) dengan
kebiasaan petani setempat budidaya tanaman
1
Seminar Agroforestry dan Pengendalian Peladangan. 1981
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
2
4. Merupakan sistem pemanfaatan lahan, yang pertanaman pertanian, perhutanan dan atau
peternakan menjadi anasirnya (component), baik secara struktur maupun fungsi
Agroforestry sebagai suatu istilah generik mencakup berbagai bentuk :
1. Agri-silvikultur, gabungan pertanaman pertanian-perhutanan, atau pertanian-
perhutanan-peternakan yang ternak tidak digembalakan, melainkan dipelihara dengan
hijauan potong
2. Sistem silvopastoral, gabungan pertanaman perhutanan-peternakan yang ternak
digembalakan
3. Sistem agro-silvo-pastoral, gabungan pertanaman pertanian-perhutanan-peternakan
yang ternak digembalakan
4. Sistem perhutanan serbaguna, yang pohon hutan dibudidayakan untuk menghasilkan
kayu dan juga pangan dan/atau makanan ternak berupa daun dan/atau buah
Sasaran pokok agroforestry ialah :
1. Mengoptimumkan produksi gabungan pertanian-perhutanan dengan atau tanpa
peternakan
2. Mengawetkan dan memperbaiki lahan usaha
3. Memanfaatkan tenaga kerja tersediakan sebaik-baiknya
Ciri, bentuk dan sasaran agroforestry dipakai sebagai titik tolak pembahasan, yang
berkisar pada soal :
1. Persoalan yang mendorong penciptaan gagasan agroforestry
2. Keadaan lahan yang menghendaki pemanfaatan secara agroforestry
3. Faktor yang menentukan atau berpengaruh atas pemenuhan fungsi agroforestry, khusus
dalam hal pengawetan dan peningkatan kemampuan sumber air dan tanah
4. Apakah agroforestry merupakan sistem terbaik untuk menghadapi kemerosotan, atau
mencegah kemerosotan, hakekat sumber air dan tanah
Kelahiran Konsep Agroforestry
Keadaan yang menghidupkan gagasan tentang agroforestry dapat disarikan sebagai
berikut :
1. Pelaksanaan peladangan yang merusak sumber air dan tanah
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
3
2. Pertanian subsistem pada lahan marginal
3. Penggunaan lahan submarginal karena tekanan penduduk
4. Pertanian pada lahan, yang karena mutunya, tidak memungkinkan penerapan gaya
pertanian menetap yang maju.
5. Penduduk belum mampu menangani pertanian menetap maju yang rumit, yang mutu
lahan sebetulnya cocok untuk diterapi sistem pertanian itu. Dalam hal ini agroforestry
dipakai sebagai sistem peralihan (transitional)
6. Keterbatasan kemampuan sistem penggunaan lahan yang ada untuk memenuhi
kebutuhan tertentu masyarakat pedesaan (energi, bahan bangunan, makanan ternak)
7. Pendapatan usaha tani yang tidak merata sepanjang tahun (paceklik) dan sistem
perlumbungan (stockpiling) yang lemah
8. Tingkat pengangguran yang tinggi secara nisbi di daerah pedesaan, yang dapat menjadi
faktor peningkatan laju urbanisasi
(Von Maydell, 1979; Andriesse, 1979; Wassink, 1977).
Keadaan pendorong agroforestry terbagi menjadi kelompok fisik, teknologi atau
keterampilan, sosial (kependudukan, pendidikan), ekonomi, dan pengelolaan. Macam
keadaan pendorong menentukan bentuk agroforestry yang sesuai untuk dikembangkan.
Agroforestry merupakan suatu penyelesaian “ad hoc” menurut tempat dan/atau waktu.
Keadaan Lahan Dan Agroforestry
Berdasarkan batasan pengertian agroforestry dalam Bab 1 dan kriteria pemapanan
(estabilishment) agroforestry dalam Bab 2, hubungan antara lahan dan agroforestry adalah
:
1. Lahan sebagai sumberdaya dengan gatra (aspect) bentangan (space) dan habitat
2. Agroforestry sebagai sistem masukan (input system) yang dipadukan dengan lahan
induk sebagai sistem induk (parent system), sehingga terbentuk suatu sistem produksi
(production system)
Lahan mempunyai nilai pakai dan menyediakan kesempatan untuk dipakai, yang
tercangkup dalam pengertian “kemampuan” (capability). Agroforestry memiliki daya pakai
dan bertindak sebagai pelaku (agent) menjelmakan kemampuan aktual (produktivitas) dari
kemampuan hakiki (intrinsic) lahan. Perbedaan antara kemampuan hakiki dan kemampuan
aktual merupakan ukuran kemampuan potensial. Tergantung pada kemempanan
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
4
(effectiveness) pelaku, perbedaan ini dapat kecil atau besar. Makin mempan kerja pelaku,
perbedaan makin kecil, berarti lahan terpakai makin sempurna, keluaran (out-put) sistem
produksi makin memdekati keluaran potensial atau maksimum.
Pencapaian keluaran potensial pada lazimnya dibatasi oleh pertimbangan
ketersediaan teknologi, kejituan (efficiency) ekonomi, kelayakan sosial-budaya dan/atau
keterijinan dampak lingkungan. Maka keluaran optimum yang menjadi sasaran.
Pengoptimuman keluaran ini masih ditentukan pula oleh kemempanan dakhil (internal
effectveness) sistem agroforestry, berarti kemempanan total saling tindak (interaction)
antar anasir agroforestry, dan kemempanan pemaduan agroforestry sebagai sistem
masukan dengan lahan sebagai sistem induk.
Keadaan lahan menurut kriteria pengawetan tanah dan air tersidik (identified)
dengan variabel :
1. Erosivitas hujan
2. Erodibilitas tanah
3. Panjang dan landaian lereng
4. Sistem pertanaman dan usaha pengawetan tanah kini
5. Tingkat dan profil kesuburan tanah serta cadangan mineral hara
6. Neraca air pada aras (level) wilayah (neraca air alamiah) dan pada aras ragam
pemanfaatan lahan (land utilization types) yang merupakan neraca air aktual (sudah
mencangkup kesudahan usaha pengawetan lengas tanah)
Variabel 1 s.d 4 terangkum dalam persamaan umum kehilangan tanah (PUTK) :
A = RKSLCP
Yang A adalah jumlah tanah yang hilang tererosi, R adalah erosivitas hujan, K
adalah erodibilitas tanah, S dan L berturut-turut adalah landaian dan panjang lereng, C
adalah sistem pertanaman dan P adalah usaha pengawetan tanah yang diterapkan. Variabel
5 bersama dengan kepentingan yang perlu dilindungi di daerah hilir yang diluasai oleh
daerah erosi (commanded area), menentukan batasan “laju erosi terbolehkan” (permissible
or tolerable rate of ersion). Laju ini dapat lebih tinggi daripada laju erosi alamiah atau
geologi.
Erosi berlangsung dalam dua tahap, yaitu pelepasan zarah dari ikatan agregat
(detachment) dan pengangkutan zarah yang sudah terlepas (transport). Pelepasan
dikerjakan oleh energi potensial, EP = mgh (m = massa, h = selisih tinggi, g = percepatan
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
5
gravitasi), dan dibantu oleh energi kinetik, EK = ½mv2
(v = kecepatan aliran.
Pengangkutan dikerjakan oleh EK. Ada erosi yang terbatasi oleh proses pelepasan, berarti
potensi pengangkutan melebihi potensi pelepasan (detachment-limited), ada yang terbatasi
oleh proses pengangkutan (transport-limited). Penyelesaian kedua macam watak erosi ini
berbeda (Morgan,1979).
Kriteria Manfaat Agroforestry
Kriteria manfaat yang gayut (relevant) dengan peranannya dalam pelestarian harkat
lahan ialah :
1. Pengendalian erosi secara langsung di kawasan agroforestry dan pengendalian
sedimentasi secara tidak langsung di baruh (liowland) yang dikuasainya (commanded),
yang terbagi dua menurut watak erosi :
1.1. Terbatasi oleh pelepasan
1.2. Terbatasi oleh pengangkutan
2. Pengendalian gerakan massa (mass movement) secara langsung di kawasan
agroforestry dan pengendalian timbunan secara tidak langsung di baruh yang
dikuasainya
3. Pengawetan dan peningkatan kesuburan tanah
4. Pengawetan dan pengambangan sumber air, baik juimlah maupun mutu :
4.1. Sumber air beredar (circulating), yaitu sungai
4.2. Sumber air simpanan (pool), yaitu lengas tanah, air tanah dalam akuifer dan dalam
akuiklud
5. Produktivitas sistem produksi
6. Pengantaran ke sistem pertanian menetap yang lebih maju
Kriteria yang menyangkut erosi, gerakan massa, kesuburan tanah, lengas tanah, air
tanah dalam akuiklud, produktivitas sistem dan pemajuan sistem pertanian, merupakan
kriteria setempat. Kriteria yang menyangkut sedimentasi, timbunan, sungai dan air tanah
dalam akuifer, merupakan kriteria luas pengaruh. Kriteria setempat (kawasan agroforestry
sendiri) biasanya lebih ringan dan berjangka lebih pendek, sedang krtiteria luas pengaruh
(kawasan yang berasosiasi dengan kawasan agroforestry) berisi persyaratan lebih berat dan
berjangka panjang.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
6
Kriterium produktivitas sistem penting sekali. Dapat saja semua atau bagian
terbesar kriteria terpenuhi baik, namun berakibat penurunan produktivitas. Hutan lindung
bolehjadi mudah memenuhi kriteria 1,3 dan 4, akan tetapi harkat produktivitasnya nihil.
Menurut laju penghasilan dan kesegeraan pemenuhan kebutuhan, pohon hutan
berproduktivitas rendah (kelambanan turnover hayati). Jadi kriterium ini menghendaki
imbangan yang menguntungkan antara anasir agroforestry yang berfungsi menghasilkan
dan yang berfungsi memantapkan sistim. Kriterium terakhir berkaitan dengan pengertian
agroforestry sebagai sistim peralihan, sebelum pengusaha lahan mampu memilih alternatif
dan menerapkan peranti (subtitute device), yang memberikan peluang usaha lebih besar
dalam batas keamanan tertangguhkan (tolerable).
Agroforestry Dan Peladangan
Dalam hal pengawetan tanah dan air orang pada umumnya mempertentangkan
hutan terhadap ladang. Segala yang baik dimiliki hutan dan segala yang buruk adalah ciri
ladang. Sistim ladang merupakan bentuk agroforestry tertua dan bentuk pertanian awal di
seluruh dunia. Ladang dapat berkembang dalam kawasan ekosistim hutan, dalam bahasa
Belanda dinamakan “bosladangbouw”, atau dalam ekosistim sabana atau perumputan
(prairie), yang dalam bahasa Belanda disebut “grasladangbouw”. Di Indonesia keduanya
ada (Hagreis, 1931). Hubungan antara hutan dan manusia dimulai sejak kehadiran manusia
di muka bumi ini. Dari hutan manusia memperoleh kayu, makan (buah, umbi, daun,
binatang buruan), sandang (daun, kulit kayu, kulit binatang), papan, alat dan senjata
(dahan, ranting), atau tempat menyelamatkan diri dari musuh. Kemudian hari hutan
menjadi tempat melepaskan ternaknya atau dibuka untuk bercocok tanam. Manusia
menggunakan kaidah ekosistem hutan untuk mempertahankan atau mengembalikan
kesuburan tanah. Maka lahirlah sistim ladang. Di dalam kawasan sabana atau perumputan,
sistim ladang mempunyai padanan berupa penggembalaan ternak nomadik
Selama asas ekologi terpenuhi, daur edar sepadan dengan masa regenerasi
sumberdaya tanah secara alamiah, sistim ladang serasi bagi masyarakat pra-teknologi dan
pra-ekonomi. Peladangan merupakan ujud agroforestry paling sempurna. Peladangan
menjadi buruk (jahat ?) setelah daur edarnya menyimpang dari asas ekologi. Sebab yang
menimbulkannya macam-macam :
1. Kebutuhan lahan meningkat karena tekanan penduduk (faktor hayati)
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
7
2. Kebutuhan lahan meningkat karena tekanan kebutuhan yang terkait pada masyarakat
ekonomi (faktor ekonomi, sosial, budaya)
3. Perubahan kebijaksanaan peruntukan lahan hutan (faktor kebijaksanaan nasional)
Dalam sebab kedua termasuk kealpaan peladang sendiri. Dia ingin bersatu citra
dengan masyarakat ekonomi tanpa memiliki prasarana dan sarana yang dipersyaratkan
untuk itu.
Persoalan perladangan di Indonesia sudah lama ada, sehingga pada jaman Hindia
Belanda dibentuk sebuah Panitia bernama “Studie Commissie voor het Ladangvraagstuk”,
yang telah menyelanggarakan angket luas dan lengkap (1931). Panitia menghadapi dua
faktor pokok, yaitu kebutuhan lahan luas untuk perluasan perkebunan besar dan
memantapkan hak mengelola hutan pada Pemerintah demi peningkatan pendapatan
Pemerintah. Inti persoalan pada waktu itu ialah penurunan martabat peladang dari pribadi
mandiri menjadi obyek. Maka soal yang gayut sekarang bukanlah “agroforestry untuk
mengendalikan perladangan”, melainkan “pembenahan agroforestry yang berbentuk
perladangan sehingga memperoleh perladangan tempat dalam masyarakat ekonomi atau
dalam rangka kebijaksanaan nasional”. Inti persoalannya ialah mengalihkan agroforestry
prateknologi dan pra-ekonomi menjadi agroforestry dalam alam teknologi dan ekonomi.
Sistem Taungya yang dijalankan mula-mula di Birma dan kemudian meluas ke
Muangthai, merupakan usaha pembenahan agroforestry perladangan. Boleh juga disebut
perladangan beraturan. Daur edar diatur selama 60 tahun di Muangthai, tiap KK
memeroleh lahan garapan 1,6 ha yang dikerjakan selama 1-2 tahun sebelum dipindahkan
ke lahan garapan berikutnya. Perladangan ini dikaitkan dengan pemapanan hutan jati
(d’Audretsch & Gelens, 1979). Di Indonesia dikenal sisitem tumpang sari, hanya saja
barangkali pengaturan daur edar masih perlu ditelaah lebih seksama.
Menurut Jung (1977) konsep memisahkan urusan pertanian dari perhutanan
berdasarkan pertimbangan kejituan (efficiency) ekonomi dan kemempanan (effectiveness)
pengelolaan, yang berhasil baik di masyarakat maju, tidak dapat langsung diterapkan
dalam masyarakat sedang berkembang. Pengawetan tanah dan air hanya tergabungkan
(compatible) dengan kesejahteraan penduduk, apabila urusan pertaniam dan perhutanan
dikoordinasikan sedemikian rupa, sehingga pola penggunaan lahan membantu
menjelmakan pengawetan dan air, selagi bermanfaat mendukung kelaziman penduduk
membudidayakan lahannya. Agroforestry dijadikan sistim peralihan menuju ke sistim
pertanian maju yang memiliki peranti hakiki (built-in device) pengawetan tanah dan air.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
8
Pembahasan Dan Kesimpulan
Makna agroforestry dalam pengawetan air jangan dianggap semata-mata berasal
dari anasir hutannya. Bahkan hutan sebagai bentuk penggunaan lahan terbaik menurut
kriterium hidrologi pun masih dipersoalkan. Disamping banyak orang yang yakin, tidak
sedikit pula yang meragukan atau membenarkan dengan syarat. Persoalan berkisar pada
hal-hal berikut ini :
1. Banyak sekali faktor yang menentukan neraca air di suatu wilayah, sehingga
kebersamaan hutan dengan keadaan hidrologi yang memuaskan tidak selalu
berhubungan secara kausal mutlak. Pemastian fungsi hidrologi hutan merupakan
kelemahan generalisasi atas gejala multifaktoral, atau kelemahan pendapat
deterministik atas dasar peragaan (performance) obyek yang berkelakuan probabilistik
(Kerbert, 1915; Zwart, 1927; Coster, 1931)
2. Peranan hutan dalam melancarkan pengisian kembali air tanah setelah tahun kering
panjang ( menghidupkan kembali mata air) tidak terbukti dalam pengamatan Sody
(1927) di daerah kuasa hutan lindung gunung Slamet (daerah bekas karesidennan
Banyumas)
3. Atas dasar angka lepasan K. Brantas di hulu dan hilir pada musim kemarau selama 20
tahun Roessel (1927) berkesimpulan, bahwa
- Tidak ada hubungan antara keadaan keadaan vegetasi hutan dan tingkat lepasan
aliran. Kerusakan hutan tidak harus berarti keadaan hidrologi buruk atau hutan utuh
dan rapat tidak selalu menyebabkan lepasan aliran besar pada musim kemarau
- Faktor yang paling menentukan adalah formasi geologi yang dilalui aliran (watak
hidrologi regolit)
- Faktor yang perlu diperhitungkan ialah luas jaringan pengairan yang menyadap air
dari aliran bersangkutan. Makin luas jaringannya, makin menurun lepasannya
4. Menurut Oosterling (1927), yang berperan langsung bukanlah keadaan tegakan hutan,
melainkan kemampuan seresah menyerap air dan kesarangan tanah hutan. Meskipun
hutan berada dalam keadaan utuh, akan tetapi seresah tidak terbentuk atau hilang dan
tanah bersifat mampat, penyaluran permukaan pada waktu hujan deras tetap besar
Hutan merupakan penguap kuat, yang dapat ditunjukkan dengan albedonya yang
kecil. Albedo, yaitu nisbah pancaran terpantul terhadap pancaran masuk total, menjadi
ukuran konsumsi energi. Menurut pengukuran barusan di Kenya, albedo kebun teh 20%,
hutan bambu 16% dan hutan rimba 9%. Pengukuran lain memperoleh angka 26% untuk
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
9
padang rumput dan 14% untuk hutan pinus. Tambahan pula pohon berakar luas dan dalam.
Maka sejak tahun 1932 pemerintah Afrika Selatan melarang penanaman pohon dekat mata
air dan dalam jarak 20 m dari tepi aliran. Terbukti pula di Afrika Selatan, bahwa karena
kemampatan tanahnya oleh lalu lintas kegiatan eksploitasi, hutan industri berpengaruh
buruk atas neraca air (Pereira, 1974).
Percobaan selama 11 tahun di Sambret (Kenya) membuktikan, bahwa neraca air
perkebunan teh yang terkelola baik tidak berbeda dengan hutan rimba tropika yang tidak
terusik (Pereira, 1974). Dengan penebaran mulsa, pemupukan organik, pengolahan tanah
pada konsistensi yang tepat atau pergiliran dengan tanaman penutup tanah, pertanian dapat
meniru hutan dalam menciptakan keadaan tanah yang menguntungkan neraca air. Tributh
(1980) menunjukkan, bahwa monokultur tebu di Cameroon dapat mencegah erosi dan
dapat mempertahankan, bahkan meningkatkan, kesuburan tanah karena mulsa daunnya.
Dibandingkan dengan pertanaman jagung, kadar zat organik dalam tanah berlipat dua.
Hutan terutama berguna terhadap erosi yang tranport-limited. Hal ini dibenarkan
oleh fakta yang diajukan oleh Oosterling dalam hutan alam di Jawa dan dalam hutan
industri di Afrika Selatan menurut Pereira tersebut di atas. Pengundaan lebih berguna
terhadap erosi yang detachment-limited. Perumputan yang terpelihara baik, disamping
dapat mengembangkan peternakan (memenuhi kriterium produktivitas), juga sangat
berguna terhadap kedua macam watak erosi itu. Penggunaan pohon-pohon besar dan
berakar dalam pada lahan yang rentan (Susceptible) terhadap gerakan massa, dapat
mendorong kelangsungan proses ini, karena menambah beban yang harus ditopang oleh
bidang luncur dan menambah licin bidang luncur oleh air perkolasi yang meningkat.
Mengingat keadaan fisik lahan dapat terjadi, bahwa agroforestry dengan pohon-pohonan
tidak cocok dan perlindungan kiranya akan berhasil lebih baik dengan sistem penggunaan
lahan yang lain. Perhatikan daftar terlampir sebagai ilustrasi.
Konsep agroforestry di Indonesia masih simpang-siur. Perhatikan prosiding
Lokakarya “Pengalaman dengan Agroforestry di Jawa” (1980) dan “Pembinaan dan
Pengembangan Hutan Serbaguna “(1981). Belum ada pembedaan konseptual antara forest
community development menurut batasan d’Audretsch & Gelens (1979) atau “extending
forest land use menurut pola Korea (Hyun, 1975) dan agroforestry menurut batasan King
(1979) dll. Agroforestry bertolak dari usahatani atau kawasan pertanian sebagai subsistem.
Sistem yang lain bertolak dari hutan sebagai satuan usaha atau kepentingan. Akibat dari ini
ialah, bahwa yang menjadi pembicaraan sampai sekarang ini (di kalangan Kehutanan)
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
10
selalu “kebijaksanaan Kehutanan mengupayakan keamanan usaha dan kelestarian hutan
dengan jalan membantu kehidupan petani sekitarnya”. Sasaran bersifat kepentingan
sektoral, sedang agroforestry bermaksud memberikan landasan ekologi kepada usaha tani,
yang memiliki jangkauan holistik berupa lingkungan (King, 1979; von Maydell, 1978,
1979a, 1979b; Andriesse, 1979; Wassink, 1977; Steinlin, 1979a, 1979b; Caesar, 1980).
Timbul pertanyaan, seminar kali ini akan mengambil titik tolak apa?
Pendapat von Maydell (1978, 1979a) dan Steinlin (1979b) dapat dipakai
memapankan agroforestry :
1. Pemapanan vegetasi hutan (catat : bukan kawasan hutan) akan serasi dengan
lingkungan pedesaan kalau menuruti kriteria yang berkiblat kepada kebutuhan
(demand oriented criteria) daripada berdasarkan pertimbangan kehutanan klasik
2. Kemempanan terbaik untuk agroforestry dicapai pada lahan yang
kesalingtergantungan antar anasirnya terungkap nyata
3. Diperlukan suatu bentuk kebijaksanaan yang dapat memberikan dasar hukum dan
kelembagaan (legal and institutional place) kepada “pengelolaan kehutanan
masarakat” (communal forestry management), yang harus bersifat multidisiplin seluas-
luasnya
4. Dua bentuk kebijaksaan kehutanan yang lazim, yaitu “mobilisasi modal kayu dalam
hutan alam” dan “penciptaan hutan produksi sebagai komplemen eksploitasi hutan
alam dan sumber bahan mentah bagi industri perkayuan” tidak dapat dipakai untuk
memapankan agroforestry, bahkan dapat menghambatnya
Acuan
Andriesse, J.P. 1979. From shifting cultivation to agroforestry or permanent agriculture?
Proc. 50th
Tropische Landbouwdag. Bull. 303 Kon. Inst. Trop. Amsterdam. h.35-43
d’Audretsch, F.C., & Gelens, H.F. 1979. A study on rural development in the humid
tropic based upon case studies in Thailand, Indonesia, and the Philippines. A joint
UNU-ITC Publication. 62 h. + Annex 1-3
Caesar, K. 1980. Shifting cultivation on the wet periphery of arable farming. Plant Res.
Dev. Vol. 11. H. 7-16.
Coster, Ch.. 1931. Gevoel, cijfers en conservatisme in den boschbouw. Tectona XXIV. h.
1007-1016.
Hagreis, B. J. 1931. Ladangbouw. Tectona XXIV. h. 598-631.
Hyun, S. K. 1975. Extending and intensifying forest land use in Korea. 13th
Pac. Sci. Cong.
20 h.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
11
Jung, L. 1977. The behaviour of the soil in response to changes in land use. Nat. Res. Dev.
Vol. 5. H. 46-51.
Kerbert, H. J. 1915. De praktijk van de boschreserveering. Tectona VIII. h. 823-837.
King, K. F. S. 1979. Agroforestry. Proc. 50th
Tropische Landbouwdag. Bull. 303 Kon. Inst.
Trop. Amsterdam. h. 1-10.
Von Maydell, H. –J. 1978Tree and shrub spesies for agroforestry systems in the Sahelian
zone of Africa. Plant Res. Dev. Vol. 7. h. 44-59.
_________________ 1979a. Agroforestry a combination of agricultural, sylvicultur and
pastoral land use. Plant Res. Dev. Vol. 9. h. 17-23.
_________________ 1979b. Agroforestry to combat desertification. Proc. 50th
Tropische
Landbouwdag. Bull. 303 Kon. Inst. Trop. Amsterdam. h. 11-24.
Morgan, R. P. C. 1979. Soil erosion. London. Longman Group Limited. 113 h.
Oosterling, H. 1972. De hydrologische functie der in stand te houden wildhoutbosschen en
de waarborgen voor een goede vervulling daarvan. Tectona XX. H. 538-545.
Pereira, H. C. 1974. Land use and water resources. London. Cambridge Univ. Press. xiv +
246 h.
Roessel, B. 1927. Hydrologische cijfers en beschouwingen. Tectona XX. h. 507-527.
Sody, H. J. V. 1927. Over de hidrologie der bergboschgronden. Tectona XX. h 1032-1036.
Steinlin, H. 1979a. Development of new agro-forestry land-use system in the humid
tropics. Plant Res. Dev. Vol. 12. H. 7-17.
_________ 1979b. The role of forestry in rural development. Appl. Sci. Dev. Vol. 13. h.
7-26
Studie Commissie voor het Ladang vraagstuk. 1931. Enquete. Tectona XXIV h. 518-529
Tributh, H. 1980. Problems of soil science in connection with cultivation measures in
Cameroon. Nat.Res.Dev. Vol. 12 h.82-90
Wassink, J.T. 1977. Agroforestry. Bijlage 67e Jaarverslag Kon. Inst. Trop. Amsterdam.
19h
Zwart, W.,1927. Hydrologische beschouwingen. Tectona XX. h.1021-1029
«»
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
12
Lampiran
Keadaan Erosi pada Berbagai Bentuk Penggunaan Lahan
Di DAS Cimanuk
Bentuk penggunaan
lahan
Luas yang terkena % Tingkat
Gundul 53 Berat
Hutan 48 Sedang-berat
Tegal 43 Sedang-berat
Perkebunan,kebun
jarang sampai rapat
40 Sedang-berat
Belukar 28 Sedang-berat
Sawah 23 Sedang-berat
Keseluruhan lahan
purata
36,2 Sedang-berat
Laporan Direktorat Reboasasi dan Rehabilitasi bulan April 1978
Klasifikasi tingkat erosi :
1. Ringan - sebagian horison A hilang dan di beberapa tempat tampak alur-alur sebagai
gejala awal erosi alur (rill)
2. Sedang - seluruh horison A hilang dan erosi alur meluas
3. Berat - sebagian besar solum tanah hilang dan di beberapa tempat tampak parit-
parit sebagai gejala awal erosi parit (gully)
Luas erosi pada belukar dan sawah lebih rendah daripada luas purata, sedang yang lain
lebih tinggi daripada angka purata. Ini berarti, bahwa untuk wilayah semacam DAS
Cimanuk (erodibilitas tanah tinggi, regolit rentan terhadap gerakan massa), hutan ternyata
tidak mempan.
«»
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)

Mais conteúdo relacionado

Mais procurados

Rangkuman Teknologi Agroforestri (Bagian 1)
Rangkuman Teknologi Agroforestri (Bagian 1)Rangkuman Teknologi Agroforestri (Bagian 1)
Rangkuman Teknologi Agroforestri (Bagian 1)Moh Masnur
 
Power point tugas it
Power point tugas itPower point tugas it
Power point tugas itnim5009130128
 
POLA TANAM AGROFORESTI
POLA TANAM AGROFORESTIPOLA TANAM AGROFORESTI
POLA TANAM AGROFORESTIEDIS BLOG
 
Kombinasi teknik konservasi tanah dan pengaruhnya terhadap hasil jagung dan e...
Kombinasi teknik konservasi tanah dan pengaruhnya terhadap hasil jagung dan e...Kombinasi teknik konservasi tanah dan pengaruhnya terhadap hasil jagung dan e...
Kombinasi teknik konservasi tanah dan pengaruhnya terhadap hasil jagung dan e...NurdinUng
 
PERTANIAN BERKELANJUTAN BERBASIS AGROFORESTRI
PERTANIAN BERKELANJUTAN BERBASIS AGROFORESTRIPERTANIAN BERKELANJUTAN BERBASIS AGROFORESTRI
PERTANIAN BERKELANJUTAN BERBASIS AGROFORESTRIPuan Habibah
 
Evaluasi kesesuaian-lahan-untuk-pengembangan-pisang-di-kabupaten-boalemo-2 se...
Evaluasi kesesuaian-lahan-untuk-pengembangan-pisang-di-kabupaten-boalemo-2 se...Evaluasi kesesuaian-lahan-untuk-pengembangan-pisang-di-kabupaten-boalemo-2 se...
Evaluasi kesesuaian-lahan-untuk-pengembangan-pisang-di-kabupaten-boalemo-2 se...NurdinUng
 
Hasil tanaman jagung yang dipupuk n, p, dan k di dutohe kabupaten bone bolang...
Hasil tanaman jagung yang dipupuk n, p, dan k di dutohe kabupaten bone bolang...Hasil tanaman jagung yang dipupuk n, p, dan k di dutohe kabupaten bone bolang...
Hasil tanaman jagung yang dipupuk n, p, dan k di dutohe kabupaten bone bolang...NurdinUng
 
Aspek sosial ekonomi dan budaya agroforestri
Aspek sosial ekonomi dan budaya agroforestriAspek sosial ekonomi dan budaya agroforestri
Aspek sosial ekonomi dan budaya agroforestriabdul samad
 
Pertanian berkelanjutan
Pertanian berkelanjutanPertanian berkelanjutan
Pertanian berkelanjutanEkal Kurniawan
 
Pengelolaan dan pengembangan agroforestri
Pengelolaan dan pengembangan agroforestriPengelolaan dan pengembangan agroforestri
Pengelolaan dan pengembangan agroforestriabdul samad
 
Morfologi, sifat fisik dan kimia tanah inceptisols dari bahan lakustrin paguy...
Morfologi, sifat fisik dan kimia tanah inceptisols dari bahan lakustrin paguy...Morfologi, sifat fisik dan kimia tanah inceptisols dari bahan lakustrin paguy...
Morfologi, sifat fisik dan kimia tanah inceptisols dari bahan lakustrin paguy...NurdinUng
 
Bahan Kuliah Pertanian Terpadu Bab 3 Prinsip Dasar Pertanian Terpadu
Bahan Kuliah Pertanian Terpadu Bab 3 Prinsip Dasar Pertanian TerpaduBahan Kuliah Pertanian Terpadu Bab 3 Prinsip Dasar Pertanian Terpadu
Bahan Kuliah Pertanian Terpadu Bab 3 Prinsip Dasar Pertanian TerpaduPurwandaru Widyasunu
 
Laju infiltrasi dan_permeabilitas_tanah-agustus 2012
Laju infiltrasi dan_permeabilitas_tanah-agustus 2012Laju infiltrasi dan_permeabilitas_tanah-agustus 2012
Laju infiltrasi dan_permeabilitas_tanah-agustus 2012NurdinUng
 

Mais procurados (18)

Rangkuman Teknologi Agroforestri (Bagian 1)
Rangkuman Teknologi Agroforestri (Bagian 1)Rangkuman Teknologi Agroforestri (Bagian 1)
Rangkuman Teknologi Agroforestri (Bagian 1)
 
Power point tugas it
Power point tugas itPower point tugas it
Power point tugas it
 
POLA TANAM AGROFORESTI
POLA TANAM AGROFORESTIPOLA TANAM AGROFORESTI
POLA TANAM AGROFORESTI
 
Makalah_63 Makalah agroforestry alley cropping
Makalah_63 Makalah agroforestry alley croppingMakalah_63 Makalah agroforestry alley cropping
Makalah_63 Makalah agroforestry alley cropping
 
Kombinasi teknik konservasi tanah dan pengaruhnya terhadap hasil jagung dan e...
Kombinasi teknik konservasi tanah dan pengaruhnya terhadap hasil jagung dan e...Kombinasi teknik konservasi tanah dan pengaruhnya terhadap hasil jagung dan e...
Kombinasi teknik konservasi tanah dan pengaruhnya terhadap hasil jagung dan e...
 
PERTANIAN BERKELANJUTAN BERBASIS AGROFORESTRI
PERTANIAN BERKELANJUTAN BERBASIS AGROFORESTRIPERTANIAN BERKELANJUTAN BERBASIS AGROFORESTRI
PERTANIAN BERKELANJUTAN BERBASIS AGROFORESTRI
 
Evaluasi kesesuaian-lahan-untuk-pengembangan-pisang-di-kabupaten-boalemo-2 se...
Evaluasi kesesuaian-lahan-untuk-pengembangan-pisang-di-kabupaten-boalemo-2 se...Evaluasi kesesuaian-lahan-untuk-pengembangan-pisang-di-kabupaten-boalemo-2 se...
Evaluasi kesesuaian-lahan-untuk-pengembangan-pisang-di-kabupaten-boalemo-2 se...
 
Hasil tanaman jagung yang dipupuk n, p, dan k di dutohe kabupaten bone bolang...
Hasil tanaman jagung yang dipupuk n, p, dan k di dutohe kabupaten bone bolang...Hasil tanaman jagung yang dipupuk n, p, dan k di dutohe kabupaten bone bolang...
Hasil tanaman jagung yang dipupuk n, p, dan k di dutohe kabupaten bone bolang...
 
Liesa
LiesaLiesa
Liesa
 
Konservasi
KonservasiKonservasi
Konservasi
 
Aspek sosial ekonomi dan budaya agroforestri
Aspek sosial ekonomi dan budaya agroforestriAspek sosial ekonomi dan budaya agroforestri
Aspek sosial ekonomi dan budaya agroforestri
 
Pertanian berkelanjutan
Pertanian berkelanjutanPertanian berkelanjutan
Pertanian berkelanjutan
 
Presentasi no 7 2_sistem agroforestry
Presentasi no 7 2_sistem agroforestryPresentasi no 7 2_sistem agroforestry
Presentasi no 7 2_sistem agroforestry
 
Pengelolaan dan pengembangan agroforestri
Pengelolaan dan pengembangan agroforestriPengelolaan dan pengembangan agroforestri
Pengelolaan dan pengembangan agroforestri
 
Lahan
LahanLahan
Lahan
 
Morfologi, sifat fisik dan kimia tanah inceptisols dari bahan lakustrin paguy...
Morfologi, sifat fisik dan kimia tanah inceptisols dari bahan lakustrin paguy...Morfologi, sifat fisik dan kimia tanah inceptisols dari bahan lakustrin paguy...
Morfologi, sifat fisik dan kimia tanah inceptisols dari bahan lakustrin paguy...
 
Bahan Kuliah Pertanian Terpadu Bab 3 Prinsip Dasar Pertanian Terpadu
Bahan Kuliah Pertanian Terpadu Bab 3 Prinsip Dasar Pertanian TerpaduBahan Kuliah Pertanian Terpadu Bab 3 Prinsip Dasar Pertanian Terpadu
Bahan Kuliah Pertanian Terpadu Bab 3 Prinsip Dasar Pertanian Terpadu
 
Laju infiltrasi dan_permeabilitas_tanah-agustus 2012
Laju infiltrasi dan_permeabilitas_tanah-agustus 2012Laju infiltrasi dan_permeabilitas_tanah-agustus 2012
Laju infiltrasi dan_permeabilitas_tanah-agustus 2012
 

Semelhante a PEMAPARAN AGROFORESTRY

Sistem pertanian terpadu
Sistem pertanian terpaduSistem pertanian terpadu
Sistem pertanian terpaduIeke Ayu
 
Georafi Pertanian
Georafi PertanianGeorafi Pertanian
Georafi Pertanianbagask_25
 
MENLHK KULIAH UMUM FORETIKA 4 OKTOBER 2023 6.40 (1).ppt
MENLHK KULIAH UMUM FORETIKA 4 OKTOBER 2023 6.40 (1).pptMENLHK KULIAH UMUM FORETIKA 4 OKTOBER 2023 6.40 (1).ppt
MENLHK KULIAH UMUM FORETIKA 4 OKTOBER 2023 6.40 (1).pptMeylidaNurrachmania1
 
pendahuluan (agro forestry)
pendahuluan (agro forestry)pendahuluan (agro forestry)
pendahuluan (agro forestry)Yudha D'pharaoh
 
BENTUK POLA TANAM SISTEM AGROFORESTI
BENTUK POLA TANAM SISTEM AGROFORESTIBENTUK POLA TANAM SISTEM AGROFORESTI
BENTUK POLA TANAM SISTEM AGROFORESTIEDIS BLOG
 
Kajian konektivitas sistem lindung dan budidaya gambut dalam rangka pengelola...
Kajian konektivitas sistem lindung dan budidaya gambut dalam rangka pengelola...Kajian konektivitas sistem lindung dan budidaya gambut dalam rangka pengelola...
Kajian konektivitas sistem lindung dan budidaya gambut dalam rangka pengelola...International Tropical Peatlands Center
 
Pendidkan lingkungan hidup
Pendidkan lingkungan hidupPendidkan lingkungan hidup
Pendidkan lingkungan hiduprismaoris
 
Materi 04. Sistem Pertanian (1).pdf
Materi 04. Sistem Pertanian (1).pdfMateri 04. Sistem Pertanian (1).pdf
Materi 04. Sistem Pertanian (1).pdfWennySorayasirait2
 
INTERAKSI LINGKUNGAN DENGAN PERTANIAN YANG BERKELANJUTAN
INTERAKSI LINGKUNGAN DENGAN PERTANIAN YANG BERKELANJUTANINTERAKSI LINGKUNGAN DENGAN PERTANIAN YANG BERKELANJUTAN
INTERAKSI LINGKUNGAN DENGAN PERTANIAN YANG BERKELANJUTANAriManalu
 
Ringkasan perkuliahan semester 6 pertanian konservasi (bagian 38)
Ringkasan perkuliahan semester 6 pertanian konservasi (bagian 38)Ringkasan perkuliahan semester 6 pertanian konservasi (bagian 38)
Ringkasan perkuliahan semester 6 pertanian konservasi (bagian 38)Bondan the Planter of Palm Oil
 
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011NurdinUng
 
Asdal_1_Sumber Daya.pptx
Asdal_1_Sumber Daya.pptxAsdal_1_Sumber Daya.pptx
Asdal_1_Sumber Daya.pptxcahyonosusetyo1
 
Pengembangan Sumberdaya Alam dan Pembangunan Berkelanjutan
Pengembangan Sumberdaya Alam dan Pembangunan BerkelanjutanPengembangan Sumberdaya Alam dan Pembangunan Berkelanjutan
Pengembangan Sumberdaya Alam dan Pembangunan Berkelanjutanmuktiimam
 
SUMBER DAYA ALAM pendidikan lingkungan hidup
SUMBER DAYA ALAM pendidikan lingkungan hidupSUMBER DAYA ALAM pendidikan lingkungan hidup
SUMBER DAYA ALAM pendidikan lingkungan hidupYeSi YeStri CatMafis
 

Semelhante a PEMAPARAN AGROFORESTRY (20)

Sistem pertanian terpadu
Sistem pertanian terpaduSistem pertanian terpadu
Sistem pertanian terpadu
 
Georafi Pertanian
Georafi PertanianGeorafi Pertanian
Georafi Pertanian
 
MENLHK KULIAH UMUM FORETIKA 4 OKTOBER 2023 6.40 (1).ppt
MENLHK KULIAH UMUM FORETIKA 4 OKTOBER 2023 6.40 (1).pptMENLHK KULIAH UMUM FORETIKA 4 OKTOBER 2023 6.40 (1).ppt
MENLHK KULIAH UMUM FORETIKA 4 OKTOBER 2023 6.40 (1).ppt
 
pendahuluan (agro forestry)
pendahuluan (agro forestry)pendahuluan (agro forestry)
pendahuluan (agro forestry)
 
BENTUK POLA TANAM SISTEM AGROFORESTI
BENTUK POLA TANAM SISTEM AGROFORESTIBENTUK POLA TANAM SISTEM AGROFORESTI
BENTUK POLA TANAM SISTEM AGROFORESTI
 
Lingkungan hidup
Lingkungan hidupLingkungan hidup
Lingkungan hidup
 
Kajian konektivitas sistem lindung dan budidaya gambut dalam rangka pengelola...
Kajian konektivitas sistem lindung dan budidaya gambut dalam rangka pengelola...Kajian konektivitas sistem lindung dan budidaya gambut dalam rangka pengelola...
Kajian konektivitas sistem lindung dan budidaya gambut dalam rangka pengelola...
 
Pendidkan lingkungan hidup
Pendidkan lingkungan hidupPendidkan lingkungan hidup
Pendidkan lingkungan hidup
 
Makalah konservasi
Makalah konservasiMakalah konservasi
Makalah konservasi
 
Makalah konservasi
Makalah konservasiMakalah konservasi
Makalah konservasi
 
Materi 04. Sistem Pertanian (1).pdf
Materi 04. Sistem Pertanian (1).pdfMateri 04. Sistem Pertanian (1).pdf
Materi 04. Sistem Pertanian (1).pdf
 
kta (1).pptx
kta (1).pptxkta (1).pptx
kta (1).pptx
 
INTERAKSI LINGKUNGAN DENGAN PERTANIAN YANG BERKELANJUTAN
INTERAKSI LINGKUNGAN DENGAN PERTANIAN YANG BERKELANJUTANINTERAKSI LINGKUNGAN DENGAN PERTANIAN YANG BERKELANJUTAN
INTERAKSI LINGKUNGAN DENGAN PERTANIAN YANG BERKELANJUTAN
 
Silvika tanah
Silvika tanahSilvika tanah
Silvika tanah
 
Ringkasan perkuliahan semester 6 pertanian konservasi (bagian 38)
Ringkasan perkuliahan semester 6 pertanian konservasi (bagian 38)Ringkasan perkuliahan semester 6 pertanian konservasi (bagian 38)
Ringkasan perkuliahan semester 6 pertanian konservasi (bagian 38)
 
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
 
Asdal_1_Sumber Daya.pptx
Asdal_1_Sumber Daya.pptxAsdal_1_Sumber Daya.pptx
Asdal_1_Sumber Daya.pptx
 
Pengembangan Sumberdaya Alam dan Pembangunan Berkelanjutan
Pengembangan Sumberdaya Alam dan Pembangunan BerkelanjutanPengembangan Sumberdaya Alam dan Pembangunan Berkelanjutan
Pengembangan Sumberdaya Alam dan Pembangunan Berkelanjutan
 
SUMBER DAYA ALAM pendidikan lingkungan hidup
SUMBER DAYA ALAM pendidikan lingkungan hidupSUMBER DAYA ALAM pendidikan lingkungan hidup
SUMBER DAYA ALAM pendidikan lingkungan hidup
 
Penentu agroekosistem
Penentu agroekosistemPenentu agroekosistem
Penentu agroekosistem
 

Mais de EDIS BLOG

DESKRIPSI PALAQUIUM ABOVATUM
DESKRIPSI PALAQUIUM ABOVATUMDESKRIPSI PALAQUIUM ABOVATUM
DESKRIPSI PALAQUIUM ABOVATUMEDIS BLOG
 
Efective Communication (Communication Skill)
Efective Communication (Communication Skill)Efective Communication (Communication Skill)
Efective Communication (Communication Skill)EDIS BLOG
 
Terjemahan bab 7 forest hidrologi Karakteristik Hutan
Terjemahan bab 7 forest hidrologi Karakteristik HutanTerjemahan bab 7 forest hidrologi Karakteristik Hutan
Terjemahan bab 7 forest hidrologi Karakteristik HutanEDIS BLOG
 
FAMILY THEACEA
FAMILY THEACEAFAMILY THEACEA
FAMILY THEACEAEDIS BLOG
 
Makalah sosiologi hutan dan lingkungan
Makalah sosiologi hutan dan lingkunganMakalah sosiologi hutan dan lingkungan
Makalah sosiologi hutan dan lingkunganEDIS BLOG
 
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI KEHUTANAN PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGI
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI KEHUTANAN PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGILAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI KEHUTANAN PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGI
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI KEHUTANAN PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGIEDIS BLOG
 
LAPORAN PRAKTIKUM PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGI
LAPORAN PRAKTIKUM PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGILAPORAN PRAKTIKUM PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGI
LAPORAN PRAKTIKUM PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGIEDIS BLOG
 
Ekonomi sumber daya hutan FHIL UHO 2014 Produksi, Proses Produksi, Dan Sumber...
Ekonomi sumber daya hutan FHIL UHO 2014 Produksi, Proses Produksi, Dan Sumber...Ekonomi sumber daya hutan FHIL UHO 2014 Produksi, Proses Produksi, Dan Sumber...
Ekonomi sumber daya hutan FHIL UHO 2014 Produksi, Proses Produksi, Dan Sumber...EDIS BLOG
 
Klimatologi hutan
Klimatologi hutanKlimatologi hutan
Klimatologi hutanEDIS BLOG
 
KELEMBAPAN UDARA
KELEMBAPAN UDARAKELEMBAPAN UDARA
KELEMBAPAN UDARAEDIS BLOG
 
RADIASI MATAHARI
RADIASI MATAHARIRADIASI MATAHARI
RADIASI MATAHARIEDIS BLOG
 
KELEMBAPAN UDARA
KELEMBAPAN UDARAKELEMBAPAN UDARA
KELEMBAPAN UDARAEDIS BLOG
 
HIDROLOGI HUTAN
HIDROLOGI HUTANHIDROLOGI HUTAN
HIDROLOGI HUTANEDIS BLOG
 
PENGERTIAN LIMBAH
PENGERTIAN LIMBAHPENGERTIAN LIMBAH
PENGERTIAN LIMBAHEDIS BLOG
 
DIABETES MALITUS
DIABETES MALITUSDIABETES MALITUS
DIABETES MALITUSEDIS BLOG
 
PENGANTAR EPIDEMILOGI
PENGANTAR EPIDEMILOGIPENGANTAR EPIDEMILOGI
PENGANTAR EPIDEMILOGIEDIS BLOG
 
BUKU AJAR MANAJEMEN HUTAN 2009
BUKU AJAR MANAJEMEN HUTAN 2009BUKU AJAR MANAJEMEN HUTAN 2009
BUKU AJAR MANAJEMEN HUTAN 2009EDIS BLOG
 
PENGERTIAN KESEHATAN MASYARAKAT
PENGERTIAN KESEHATAN MASYARAKATPENGERTIAN KESEHATAN MASYARAKAT
PENGERTIAN KESEHATAN MASYARAKATEDIS BLOG
 

Mais de EDIS BLOG (20)

DESKRIPSI PALAQUIUM ABOVATUM
DESKRIPSI PALAQUIUM ABOVATUMDESKRIPSI PALAQUIUM ABOVATUM
DESKRIPSI PALAQUIUM ABOVATUM
 
Efective Communication (Communication Skill)
Efective Communication (Communication Skill)Efective Communication (Communication Skill)
Efective Communication (Communication Skill)
 
Terjemahan bab 7 forest hidrologi Karakteristik Hutan
Terjemahan bab 7 forest hidrologi Karakteristik HutanTerjemahan bab 7 forest hidrologi Karakteristik Hutan
Terjemahan bab 7 forest hidrologi Karakteristik Hutan
 
FAMILY THEACEA
FAMILY THEACEAFAMILY THEACEA
FAMILY THEACEA
 
Makalah sosiologi hutan dan lingkungan
Makalah sosiologi hutan dan lingkunganMakalah sosiologi hutan dan lingkungan
Makalah sosiologi hutan dan lingkungan
 
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI KEHUTANAN PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGI
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI KEHUTANAN PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGILAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI KEHUTANAN PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGI
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI KEHUTANAN PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGI
 
LAPORAN PRAKTIKUM PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGI
LAPORAN PRAKTIKUM PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGILAPORAN PRAKTIKUM PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGI
LAPORAN PRAKTIKUM PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGI
 
Ekonomi sumber daya hutan FHIL UHO 2014 Produksi, Proses Produksi, Dan Sumber...
Ekonomi sumber daya hutan FHIL UHO 2014 Produksi, Proses Produksi, Dan Sumber...Ekonomi sumber daya hutan FHIL UHO 2014 Produksi, Proses Produksi, Dan Sumber...
Ekonomi sumber daya hutan FHIL UHO 2014 Produksi, Proses Produksi, Dan Sumber...
 
Klimatologi hutan
Klimatologi hutanKlimatologi hutan
Klimatologi hutan
 
KELEMBAPAN UDARA
KELEMBAPAN UDARAKELEMBAPAN UDARA
KELEMBAPAN UDARA
 
RADIASI MATAHARI
RADIASI MATAHARIRADIASI MATAHARI
RADIASI MATAHARI
 
KELEMBAPAN UDARA
KELEMBAPAN UDARAKELEMBAPAN UDARA
KELEMBAPAN UDARA
 
HIDROLOGI HUTAN
HIDROLOGI HUTANHIDROLOGI HUTAN
HIDROLOGI HUTAN
 
PENGERTIAN LIMBAH
PENGERTIAN LIMBAHPENGERTIAN LIMBAH
PENGERTIAN LIMBAH
 
DIABETES MALITUS
DIABETES MALITUSDIABETES MALITUS
DIABETES MALITUS
 
EPIDEMILOGI
EPIDEMILOGIEPIDEMILOGI
EPIDEMILOGI
 
PENGANTAR EPIDEMILOGI
PENGANTAR EPIDEMILOGIPENGANTAR EPIDEMILOGI
PENGANTAR EPIDEMILOGI
 
BUKU AJAR MANAJEMEN HUTAN 2009
BUKU AJAR MANAJEMEN HUTAN 2009BUKU AJAR MANAJEMEN HUTAN 2009
BUKU AJAR MANAJEMEN HUTAN 2009
 
PENGERTIAN KESEHATAN MASYARAKAT
PENGERTIAN KESEHATAN MASYARAKATPENGERTIAN KESEHATAN MASYARAKAT
PENGERTIAN KESEHATAN MASYARAKAT
 
Tipe buah
Tipe buahTipe buah
Tipe buah
 

Último

Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSKisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSyudi_alfian
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdftsaniasalftn18
 
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuCatatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuHANHAN164733
 
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptxalat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptxRioNahak1
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...Kanaidi ken
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisNazla aulia
 
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdfsandi625870
 
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdfShintaNovianti1
 
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKAPPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKARenoMardhatillahS
 
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...jumadsmanesi
 
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptx
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptxMTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptx
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptxssuser0239c1
 
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptxTopik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptxsyafnasir
 
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptx
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptxPRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptx
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptxPCMBANDUNGANKabSemar
 
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 TesalonikaMateri Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 TesalonikaSABDA
 
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxPanduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxsudianaade137
 
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdfPanduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdfandriasyulianto57
 
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfMA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfcicovendra
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfCloverash1
 
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxJurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxBambang440423
 
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdfrpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdfGugunGunawan93
 

Último (20)

Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSKisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
 
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuCatatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
 
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptxalat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
 
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf
 
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
 
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKAPPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
 
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
 
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptx
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptxMTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptx
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptx
 
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptxTopik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
 
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptx
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptxPRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptx
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptx
 
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 TesalonikaMateri Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
 
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxPanduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
 
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdfPanduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
 
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfMA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
 
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxJurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
 
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdfrpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
 

PEMAPARAN AGROFORESTRY

  • 1. 1 PEMAPANAN AGROFORESTRY SELAKU BENTUK PEMANFAATAN LAHAN MENURUT KRITERIA PENGAWETAN TANAH DAN AIR 1 Tejoyuwono Notohadiprawiro Ringkasan Dikemukakan sejumlah ciri utama, berbagai bentuk dan sasaran pokok agroforestry. Ketiga kriteria ini dipakai sebagai titik tolak pembahasan, yang berkisar pada soal : faktor pendorong penciptaan sistem agroforestry, kriteria kesesuaian lahan untuk agroforestry, faktor pemenuhan fungsi agroforestry, dan pembandingan agroforestry dengan sistem lain menurut kriteria fungsi. Pemapanan agroforestry dapat ditentukan oleh keadaan fisik lahan, ketersediaan teknologi atau keterampilan untuk menerapkan sistem lain, keadaan sosial dan/atau ekonomi yang memolakan penggunaan lahan kini. Agroforestry merupakan sistem tersendiri dan bukan sekadar campuran pertanian- perhutanan-peternakan. Keberhasilan pemapanan agroforestry tergantung pada ketepatan memilih bentuk dan menentukan sasaran menurut kebutuhan setempat dan ketergabungannya dengan kebiasaan petani setempat. Ini berarti, bahwa agroforestry merupakan suatu penyelesaian “ad hoc”, baik menurut tempat maupun waktu. Agroforestry menghendaki penghampiran sistem yang pragmatik. Pembahasan ditekankan pada gatra pengawetan sumber air dan tanah. Akan tetapi oleh karena hubungan antar gatra sangat erat maka tidak terhindarkan penyinggungan gatra yang lain. Pendahuluan Ciri, bentuk dan sasaran agroforestry dapat disarikan dari tulisan Wassink (1977) dan King (1979). Ciri (characteristic) agroforestry ialah : 1. Budidaya tanaman menetap pada sebidang lahan 2. Mengkombinasikan pertanaman semusim dan tahunan secara berdampingan atau berurutan, tanpa atau dengan pemeliharaan ternak 3. Menerapkan pengusahaan yang sedapat-dapat tergabungkan (compatible) dengan kebiasaan petani setempat budidaya tanaman 1 Seminar Agroforestry dan Pengendalian Peladangan. 1981 Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
  • 2. 2 4. Merupakan sistem pemanfaatan lahan, yang pertanaman pertanian, perhutanan dan atau peternakan menjadi anasirnya (component), baik secara struktur maupun fungsi Agroforestry sebagai suatu istilah generik mencakup berbagai bentuk : 1. Agri-silvikultur, gabungan pertanaman pertanian-perhutanan, atau pertanian- perhutanan-peternakan yang ternak tidak digembalakan, melainkan dipelihara dengan hijauan potong 2. Sistem silvopastoral, gabungan pertanaman perhutanan-peternakan yang ternak digembalakan 3. Sistem agro-silvo-pastoral, gabungan pertanaman pertanian-perhutanan-peternakan yang ternak digembalakan 4. Sistem perhutanan serbaguna, yang pohon hutan dibudidayakan untuk menghasilkan kayu dan juga pangan dan/atau makanan ternak berupa daun dan/atau buah Sasaran pokok agroforestry ialah : 1. Mengoptimumkan produksi gabungan pertanian-perhutanan dengan atau tanpa peternakan 2. Mengawetkan dan memperbaiki lahan usaha 3. Memanfaatkan tenaga kerja tersediakan sebaik-baiknya Ciri, bentuk dan sasaran agroforestry dipakai sebagai titik tolak pembahasan, yang berkisar pada soal : 1. Persoalan yang mendorong penciptaan gagasan agroforestry 2. Keadaan lahan yang menghendaki pemanfaatan secara agroforestry 3. Faktor yang menentukan atau berpengaruh atas pemenuhan fungsi agroforestry, khusus dalam hal pengawetan dan peningkatan kemampuan sumber air dan tanah 4. Apakah agroforestry merupakan sistem terbaik untuk menghadapi kemerosotan, atau mencegah kemerosotan, hakekat sumber air dan tanah Kelahiran Konsep Agroforestry Keadaan yang menghidupkan gagasan tentang agroforestry dapat disarikan sebagai berikut : 1. Pelaksanaan peladangan yang merusak sumber air dan tanah Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
  • 3. 3 2. Pertanian subsistem pada lahan marginal 3. Penggunaan lahan submarginal karena tekanan penduduk 4. Pertanian pada lahan, yang karena mutunya, tidak memungkinkan penerapan gaya pertanian menetap yang maju. 5. Penduduk belum mampu menangani pertanian menetap maju yang rumit, yang mutu lahan sebetulnya cocok untuk diterapi sistem pertanian itu. Dalam hal ini agroforestry dipakai sebagai sistem peralihan (transitional) 6. Keterbatasan kemampuan sistem penggunaan lahan yang ada untuk memenuhi kebutuhan tertentu masyarakat pedesaan (energi, bahan bangunan, makanan ternak) 7. Pendapatan usaha tani yang tidak merata sepanjang tahun (paceklik) dan sistem perlumbungan (stockpiling) yang lemah 8. Tingkat pengangguran yang tinggi secara nisbi di daerah pedesaan, yang dapat menjadi faktor peningkatan laju urbanisasi (Von Maydell, 1979; Andriesse, 1979; Wassink, 1977). Keadaan pendorong agroforestry terbagi menjadi kelompok fisik, teknologi atau keterampilan, sosial (kependudukan, pendidikan), ekonomi, dan pengelolaan. Macam keadaan pendorong menentukan bentuk agroforestry yang sesuai untuk dikembangkan. Agroforestry merupakan suatu penyelesaian “ad hoc” menurut tempat dan/atau waktu. Keadaan Lahan Dan Agroforestry Berdasarkan batasan pengertian agroforestry dalam Bab 1 dan kriteria pemapanan (estabilishment) agroforestry dalam Bab 2, hubungan antara lahan dan agroforestry adalah : 1. Lahan sebagai sumberdaya dengan gatra (aspect) bentangan (space) dan habitat 2. Agroforestry sebagai sistem masukan (input system) yang dipadukan dengan lahan induk sebagai sistem induk (parent system), sehingga terbentuk suatu sistem produksi (production system) Lahan mempunyai nilai pakai dan menyediakan kesempatan untuk dipakai, yang tercangkup dalam pengertian “kemampuan” (capability). Agroforestry memiliki daya pakai dan bertindak sebagai pelaku (agent) menjelmakan kemampuan aktual (produktivitas) dari kemampuan hakiki (intrinsic) lahan. Perbedaan antara kemampuan hakiki dan kemampuan aktual merupakan ukuran kemampuan potensial. Tergantung pada kemempanan Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
  • 4. 4 (effectiveness) pelaku, perbedaan ini dapat kecil atau besar. Makin mempan kerja pelaku, perbedaan makin kecil, berarti lahan terpakai makin sempurna, keluaran (out-put) sistem produksi makin memdekati keluaran potensial atau maksimum. Pencapaian keluaran potensial pada lazimnya dibatasi oleh pertimbangan ketersediaan teknologi, kejituan (efficiency) ekonomi, kelayakan sosial-budaya dan/atau keterijinan dampak lingkungan. Maka keluaran optimum yang menjadi sasaran. Pengoptimuman keluaran ini masih ditentukan pula oleh kemempanan dakhil (internal effectveness) sistem agroforestry, berarti kemempanan total saling tindak (interaction) antar anasir agroforestry, dan kemempanan pemaduan agroforestry sebagai sistem masukan dengan lahan sebagai sistem induk. Keadaan lahan menurut kriteria pengawetan tanah dan air tersidik (identified) dengan variabel : 1. Erosivitas hujan 2. Erodibilitas tanah 3. Panjang dan landaian lereng 4. Sistem pertanaman dan usaha pengawetan tanah kini 5. Tingkat dan profil kesuburan tanah serta cadangan mineral hara 6. Neraca air pada aras (level) wilayah (neraca air alamiah) dan pada aras ragam pemanfaatan lahan (land utilization types) yang merupakan neraca air aktual (sudah mencangkup kesudahan usaha pengawetan lengas tanah) Variabel 1 s.d 4 terangkum dalam persamaan umum kehilangan tanah (PUTK) : A = RKSLCP Yang A adalah jumlah tanah yang hilang tererosi, R adalah erosivitas hujan, K adalah erodibilitas tanah, S dan L berturut-turut adalah landaian dan panjang lereng, C adalah sistem pertanaman dan P adalah usaha pengawetan tanah yang diterapkan. Variabel 5 bersama dengan kepentingan yang perlu dilindungi di daerah hilir yang diluasai oleh daerah erosi (commanded area), menentukan batasan “laju erosi terbolehkan” (permissible or tolerable rate of ersion). Laju ini dapat lebih tinggi daripada laju erosi alamiah atau geologi. Erosi berlangsung dalam dua tahap, yaitu pelepasan zarah dari ikatan agregat (detachment) dan pengangkutan zarah yang sudah terlepas (transport). Pelepasan dikerjakan oleh energi potensial, EP = mgh (m = massa, h = selisih tinggi, g = percepatan Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
  • 5. 5 gravitasi), dan dibantu oleh energi kinetik, EK = ½mv2 (v = kecepatan aliran. Pengangkutan dikerjakan oleh EK. Ada erosi yang terbatasi oleh proses pelepasan, berarti potensi pengangkutan melebihi potensi pelepasan (detachment-limited), ada yang terbatasi oleh proses pengangkutan (transport-limited). Penyelesaian kedua macam watak erosi ini berbeda (Morgan,1979). Kriteria Manfaat Agroforestry Kriteria manfaat yang gayut (relevant) dengan peranannya dalam pelestarian harkat lahan ialah : 1. Pengendalian erosi secara langsung di kawasan agroforestry dan pengendalian sedimentasi secara tidak langsung di baruh (liowland) yang dikuasainya (commanded), yang terbagi dua menurut watak erosi : 1.1. Terbatasi oleh pelepasan 1.2. Terbatasi oleh pengangkutan 2. Pengendalian gerakan massa (mass movement) secara langsung di kawasan agroforestry dan pengendalian timbunan secara tidak langsung di baruh yang dikuasainya 3. Pengawetan dan peningkatan kesuburan tanah 4. Pengawetan dan pengambangan sumber air, baik juimlah maupun mutu : 4.1. Sumber air beredar (circulating), yaitu sungai 4.2. Sumber air simpanan (pool), yaitu lengas tanah, air tanah dalam akuifer dan dalam akuiklud 5. Produktivitas sistem produksi 6. Pengantaran ke sistem pertanian menetap yang lebih maju Kriteria yang menyangkut erosi, gerakan massa, kesuburan tanah, lengas tanah, air tanah dalam akuiklud, produktivitas sistem dan pemajuan sistem pertanian, merupakan kriteria setempat. Kriteria yang menyangkut sedimentasi, timbunan, sungai dan air tanah dalam akuifer, merupakan kriteria luas pengaruh. Kriteria setempat (kawasan agroforestry sendiri) biasanya lebih ringan dan berjangka lebih pendek, sedang krtiteria luas pengaruh (kawasan yang berasosiasi dengan kawasan agroforestry) berisi persyaratan lebih berat dan berjangka panjang. Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
  • 6. 6 Kriterium produktivitas sistem penting sekali. Dapat saja semua atau bagian terbesar kriteria terpenuhi baik, namun berakibat penurunan produktivitas. Hutan lindung bolehjadi mudah memenuhi kriteria 1,3 dan 4, akan tetapi harkat produktivitasnya nihil. Menurut laju penghasilan dan kesegeraan pemenuhan kebutuhan, pohon hutan berproduktivitas rendah (kelambanan turnover hayati). Jadi kriterium ini menghendaki imbangan yang menguntungkan antara anasir agroforestry yang berfungsi menghasilkan dan yang berfungsi memantapkan sistim. Kriterium terakhir berkaitan dengan pengertian agroforestry sebagai sistim peralihan, sebelum pengusaha lahan mampu memilih alternatif dan menerapkan peranti (subtitute device), yang memberikan peluang usaha lebih besar dalam batas keamanan tertangguhkan (tolerable). Agroforestry Dan Peladangan Dalam hal pengawetan tanah dan air orang pada umumnya mempertentangkan hutan terhadap ladang. Segala yang baik dimiliki hutan dan segala yang buruk adalah ciri ladang. Sistim ladang merupakan bentuk agroforestry tertua dan bentuk pertanian awal di seluruh dunia. Ladang dapat berkembang dalam kawasan ekosistim hutan, dalam bahasa Belanda dinamakan “bosladangbouw”, atau dalam ekosistim sabana atau perumputan (prairie), yang dalam bahasa Belanda disebut “grasladangbouw”. Di Indonesia keduanya ada (Hagreis, 1931). Hubungan antara hutan dan manusia dimulai sejak kehadiran manusia di muka bumi ini. Dari hutan manusia memperoleh kayu, makan (buah, umbi, daun, binatang buruan), sandang (daun, kulit kayu, kulit binatang), papan, alat dan senjata (dahan, ranting), atau tempat menyelamatkan diri dari musuh. Kemudian hari hutan menjadi tempat melepaskan ternaknya atau dibuka untuk bercocok tanam. Manusia menggunakan kaidah ekosistem hutan untuk mempertahankan atau mengembalikan kesuburan tanah. Maka lahirlah sistim ladang. Di dalam kawasan sabana atau perumputan, sistim ladang mempunyai padanan berupa penggembalaan ternak nomadik Selama asas ekologi terpenuhi, daur edar sepadan dengan masa regenerasi sumberdaya tanah secara alamiah, sistim ladang serasi bagi masyarakat pra-teknologi dan pra-ekonomi. Peladangan merupakan ujud agroforestry paling sempurna. Peladangan menjadi buruk (jahat ?) setelah daur edarnya menyimpang dari asas ekologi. Sebab yang menimbulkannya macam-macam : 1. Kebutuhan lahan meningkat karena tekanan penduduk (faktor hayati) Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
  • 7. 7 2. Kebutuhan lahan meningkat karena tekanan kebutuhan yang terkait pada masyarakat ekonomi (faktor ekonomi, sosial, budaya) 3. Perubahan kebijaksanaan peruntukan lahan hutan (faktor kebijaksanaan nasional) Dalam sebab kedua termasuk kealpaan peladang sendiri. Dia ingin bersatu citra dengan masyarakat ekonomi tanpa memiliki prasarana dan sarana yang dipersyaratkan untuk itu. Persoalan perladangan di Indonesia sudah lama ada, sehingga pada jaman Hindia Belanda dibentuk sebuah Panitia bernama “Studie Commissie voor het Ladangvraagstuk”, yang telah menyelanggarakan angket luas dan lengkap (1931). Panitia menghadapi dua faktor pokok, yaitu kebutuhan lahan luas untuk perluasan perkebunan besar dan memantapkan hak mengelola hutan pada Pemerintah demi peningkatan pendapatan Pemerintah. Inti persoalan pada waktu itu ialah penurunan martabat peladang dari pribadi mandiri menjadi obyek. Maka soal yang gayut sekarang bukanlah “agroforestry untuk mengendalikan perladangan”, melainkan “pembenahan agroforestry yang berbentuk perladangan sehingga memperoleh perladangan tempat dalam masyarakat ekonomi atau dalam rangka kebijaksanaan nasional”. Inti persoalannya ialah mengalihkan agroforestry prateknologi dan pra-ekonomi menjadi agroforestry dalam alam teknologi dan ekonomi. Sistem Taungya yang dijalankan mula-mula di Birma dan kemudian meluas ke Muangthai, merupakan usaha pembenahan agroforestry perladangan. Boleh juga disebut perladangan beraturan. Daur edar diatur selama 60 tahun di Muangthai, tiap KK memeroleh lahan garapan 1,6 ha yang dikerjakan selama 1-2 tahun sebelum dipindahkan ke lahan garapan berikutnya. Perladangan ini dikaitkan dengan pemapanan hutan jati (d’Audretsch & Gelens, 1979). Di Indonesia dikenal sisitem tumpang sari, hanya saja barangkali pengaturan daur edar masih perlu ditelaah lebih seksama. Menurut Jung (1977) konsep memisahkan urusan pertanian dari perhutanan berdasarkan pertimbangan kejituan (efficiency) ekonomi dan kemempanan (effectiveness) pengelolaan, yang berhasil baik di masyarakat maju, tidak dapat langsung diterapkan dalam masyarakat sedang berkembang. Pengawetan tanah dan air hanya tergabungkan (compatible) dengan kesejahteraan penduduk, apabila urusan pertaniam dan perhutanan dikoordinasikan sedemikian rupa, sehingga pola penggunaan lahan membantu menjelmakan pengawetan dan air, selagi bermanfaat mendukung kelaziman penduduk membudidayakan lahannya. Agroforestry dijadikan sistim peralihan menuju ke sistim pertanian maju yang memiliki peranti hakiki (built-in device) pengawetan tanah dan air. Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
  • 8. 8 Pembahasan Dan Kesimpulan Makna agroforestry dalam pengawetan air jangan dianggap semata-mata berasal dari anasir hutannya. Bahkan hutan sebagai bentuk penggunaan lahan terbaik menurut kriterium hidrologi pun masih dipersoalkan. Disamping banyak orang yang yakin, tidak sedikit pula yang meragukan atau membenarkan dengan syarat. Persoalan berkisar pada hal-hal berikut ini : 1. Banyak sekali faktor yang menentukan neraca air di suatu wilayah, sehingga kebersamaan hutan dengan keadaan hidrologi yang memuaskan tidak selalu berhubungan secara kausal mutlak. Pemastian fungsi hidrologi hutan merupakan kelemahan generalisasi atas gejala multifaktoral, atau kelemahan pendapat deterministik atas dasar peragaan (performance) obyek yang berkelakuan probabilistik (Kerbert, 1915; Zwart, 1927; Coster, 1931) 2. Peranan hutan dalam melancarkan pengisian kembali air tanah setelah tahun kering panjang ( menghidupkan kembali mata air) tidak terbukti dalam pengamatan Sody (1927) di daerah kuasa hutan lindung gunung Slamet (daerah bekas karesidennan Banyumas) 3. Atas dasar angka lepasan K. Brantas di hulu dan hilir pada musim kemarau selama 20 tahun Roessel (1927) berkesimpulan, bahwa - Tidak ada hubungan antara keadaan keadaan vegetasi hutan dan tingkat lepasan aliran. Kerusakan hutan tidak harus berarti keadaan hidrologi buruk atau hutan utuh dan rapat tidak selalu menyebabkan lepasan aliran besar pada musim kemarau - Faktor yang paling menentukan adalah formasi geologi yang dilalui aliran (watak hidrologi regolit) - Faktor yang perlu diperhitungkan ialah luas jaringan pengairan yang menyadap air dari aliran bersangkutan. Makin luas jaringannya, makin menurun lepasannya 4. Menurut Oosterling (1927), yang berperan langsung bukanlah keadaan tegakan hutan, melainkan kemampuan seresah menyerap air dan kesarangan tanah hutan. Meskipun hutan berada dalam keadaan utuh, akan tetapi seresah tidak terbentuk atau hilang dan tanah bersifat mampat, penyaluran permukaan pada waktu hujan deras tetap besar Hutan merupakan penguap kuat, yang dapat ditunjukkan dengan albedonya yang kecil. Albedo, yaitu nisbah pancaran terpantul terhadap pancaran masuk total, menjadi ukuran konsumsi energi. Menurut pengukuran barusan di Kenya, albedo kebun teh 20%, hutan bambu 16% dan hutan rimba 9%. Pengukuran lain memperoleh angka 26% untuk Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
  • 9. 9 padang rumput dan 14% untuk hutan pinus. Tambahan pula pohon berakar luas dan dalam. Maka sejak tahun 1932 pemerintah Afrika Selatan melarang penanaman pohon dekat mata air dan dalam jarak 20 m dari tepi aliran. Terbukti pula di Afrika Selatan, bahwa karena kemampatan tanahnya oleh lalu lintas kegiatan eksploitasi, hutan industri berpengaruh buruk atas neraca air (Pereira, 1974). Percobaan selama 11 tahun di Sambret (Kenya) membuktikan, bahwa neraca air perkebunan teh yang terkelola baik tidak berbeda dengan hutan rimba tropika yang tidak terusik (Pereira, 1974). Dengan penebaran mulsa, pemupukan organik, pengolahan tanah pada konsistensi yang tepat atau pergiliran dengan tanaman penutup tanah, pertanian dapat meniru hutan dalam menciptakan keadaan tanah yang menguntungkan neraca air. Tributh (1980) menunjukkan, bahwa monokultur tebu di Cameroon dapat mencegah erosi dan dapat mempertahankan, bahkan meningkatkan, kesuburan tanah karena mulsa daunnya. Dibandingkan dengan pertanaman jagung, kadar zat organik dalam tanah berlipat dua. Hutan terutama berguna terhadap erosi yang tranport-limited. Hal ini dibenarkan oleh fakta yang diajukan oleh Oosterling dalam hutan alam di Jawa dan dalam hutan industri di Afrika Selatan menurut Pereira tersebut di atas. Pengundaan lebih berguna terhadap erosi yang detachment-limited. Perumputan yang terpelihara baik, disamping dapat mengembangkan peternakan (memenuhi kriterium produktivitas), juga sangat berguna terhadap kedua macam watak erosi itu. Penggunaan pohon-pohon besar dan berakar dalam pada lahan yang rentan (Susceptible) terhadap gerakan massa, dapat mendorong kelangsungan proses ini, karena menambah beban yang harus ditopang oleh bidang luncur dan menambah licin bidang luncur oleh air perkolasi yang meningkat. Mengingat keadaan fisik lahan dapat terjadi, bahwa agroforestry dengan pohon-pohonan tidak cocok dan perlindungan kiranya akan berhasil lebih baik dengan sistem penggunaan lahan yang lain. Perhatikan daftar terlampir sebagai ilustrasi. Konsep agroforestry di Indonesia masih simpang-siur. Perhatikan prosiding Lokakarya “Pengalaman dengan Agroforestry di Jawa” (1980) dan “Pembinaan dan Pengembangan Hutan Serbaguna “(1981). Belum ada pembedaan konseptual antara forest community development menurut batasan d’Audretsch & Gelens (1979) atau “extending forest land use menurut pola Korea (Hyun, 1975) dan agroforestry menurut batasan King (1979) dll. Agroforestry bertolak dari usahatani atau kawasan pertanian sebagai subsistem. Sistem yang lain bertolak dari hutan sebagai satuan usaha atau kepentingan. Akibat dari ini ialah, bahwa yang menjadi pembicaraan sampai sekarang ini (di kalangan Kehutanan) Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
  • 10. 10 selalu “kebijaksanaan Kehutanan mengupayakan keamanan usaha dan kelestarian hutan dengan jalan membantu kehidupan petani sekitarnya”. Sasaran bersifat kepentingan sektoral, sedang agroforestry bermaksud memberikan landasan ekologi kepada usaha tani, yang memiliki jangkauan holistik berupa lingkungan (King, 1979; von Maydell, 1978, 1979a, 1979b; Andriesse, 1979; Wassink, 1977; Steinlin, 1979a, 1979b; Caesar, 1980). Timbul pertanyaan, seminar kali ini akan mengambil titik tolak apa? Pendapat von Maydell (1978, 1979a) dan Steinlin (1979b) dapat dipakai memapankan agroforestry : 1. Pemapanan vegetasi hutan (catat : bukan kawasan hutan) akan serasi dengan lingkungan pedesaan kalau menuruti kriteria yang berkiblat kepada kebutuhan (demand oriented criteria) daripada berdasarkan pertimbangan kehutanan klasik 2. Kemempanan terbaik untuk agroforestry dicapai pada lahan yang kesalingtergantungan antar anasirnya terungkap nyata 3. Diperlukan suatu bentuk kebijaksanaan yang dapat memberikan dasar hukum dan kelembagaan (legal and institutional place) kepada “pengelolaan kehutanan masarakat” (communal forestry management), yang harus bersifat multidisiplin seluas- luasnya 4. Dua bentuk kebijaksaan kehutanan yang lazim, yaitu “mobilisasi modal kayu dalam hutan alam” dan “penciptaan hutan produksi sebagai komplemen eksploitasi hutan alam dan sumber bahan mentah bagi industri perkayuan” tidak dapat dipakai untuk memapankan agroforestry, bahkan dapat menghambatnya Acuan Andriesse, J.P. 1979. From shifting cultivation to agroforestry or permanent agriculture? Proc. 50th Tropische Landbouwdag. Bull. 303 Kon. Inst. Trop. Amsterdam. h.35-43 d’Audretsch, F.C., & Gelens, H.F. 1979. A study on rural development in the humid tropic based upon case studies in Thailand, Indonesia, and the Philippines. A joint UNU-ITC Publication. 62 h. + Annex 1-3 Caesar, K. 1980. Shifting cultivation on the wet periphery of arable farming. Plant Res. Dev. Vol. 11. H. 7-16. Coster, Ch.. 1931. Gevoel, cijfers en conservatisme in den boschbouw. Tectona XXIV. h. 1007-1016. Hagreis, B. J. 1931. Ladangbouw. Tectona XXIV. h. 598-631. Hyun, S. K. 1975. Extending and intensifying forest land use in Korea. 13th Pac. Sci. Cong. 20 h. Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
  • 11. 11 Jung, L. 1977. The behaviour of the soil in response to changes in land use. Nat. Res. Dev. Vol. 5. H. 46-51. Kerbert, H. J. 1915. De praktijk van de boschreserveering. Tectona VIII. h. 823-837. King, K. F. S. 1979. Agroforestry. Proc. 50th Tropische Landbouwdag. Bull. 303 Kon. Inst. Trop. Amsterdam. h. 1-10. Von Maydell, H. –J. 1978Tree and shrub spesies for agroforestry systems in the Sahelian zone of Africa. Plant Res. Dev. Vol. 7. h. 44-59. _________________ 1979a. Agroforestry a combination of agricultural, sylvicultur and pastoral land use. Plant Res. Dev. Vol. 9. h. 17-23. _________________ 1979b. Agroforestry to combat desertification. Proc. 50th Tropische Landbouwdag. Bull. 303 Kon. Inst. Trop. Amsterdam. h. 11-24. Morgan, R. P. C. 1979. Soil erosion. London. Longman Group Limited. 113 h. Oosterling, H. 1972. De hydrologische functie der in stand te houden wildhoutbosschen en de waarborgen voor een goede vervulling daarvan. Tectona XX. H. 538-545. Pereira, H. C. 1974. Land use and water resources. London. Cambridge Univ. Press. xiv + 246 h. Roessel, B. 1927. Hydrologische cijfers en beschouwingen. Tectona XX. h. 507-527. Sody, H. J. V. 1927. Over de hidrologie der bergboschgronden. Tectona XX. h 1032-1036. Steinlin, H. 1979a. Development of new agro-forestry land-use system in the humid tropics. Plant Res. Dev. Vol. 12. H. 7-17. _________ 1979b. The role of forestry in rural development. Appl. Sci. Dev. Vol. 13. h. 7-26 Studie Commissie voor het Ladang vraagstuk. 1931. Enquete. Tectona XXIV h. 518-529 Tributh, H. 1980. Problems of soil science in connection with cultivation measures in Cameroon. Nat.Res.Dev. Vol. 12 h.82-90 Wassink, J.T. 1977. Agroforestry. Bijlage 67e Jaarverslag Kon. Inst. Trop. Amsterdam. 19h Zwart, W.,1927. Hydrologische beschouwingen. Tectona XX. h.1021-1029 «» Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
  • 12. 12 Lampiran Keadaan Erosi pada Berbagai Bentuk Penggunaan Lahan Di DAS Cimanuk Bentuk penggunaan lahan Luas yang terkena % Tingkat Gundul 53 Berat Hutan 48 Sedang-berat Tegal 43 Sedang-berat Perkebunan,kebun jarang sampai rapat 40 Sedang-berat Belukar 28 Sedang-berat Sawah 23 Sedang-berat Keseluruhan lahan purata 36,2 Sedang-berat Laporan Direktorat Reboasasi dan Rehabilitasi bulan April 1978 Klasifikasi tingkat erosi : 1. Ringan - sebagian horison A hilang dan di beberapa tempat tampak alur-alur sebagai gejala awal erosi alur (rill) 2. Sedang - seluruh horison A hilang dan erosi alur meluas 3. Berat - sebagian besar solum tanah hilang dan di beberapa tempat tampak parit- parit sebagai gejala awal erosi parit (gully) Luas erosi pada belukar dan sawah lebih rendah daripada luas purata, sedang yang lain lebih tinggi daripada angka purata. Ini berarti, bahwa untuk wilayah semacam DAS Cimanuk (erodibilitas tanah tinggi, regolit rentan terhadap gerakan massa), hutan ternyata tidak mempan. «» Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)