SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 19
Baixar para ler offline
65
5
BUDAYA POLITIK, SOSIALISASI POLITIK DAN
PARTISIPASI POLITIK
etiap anggota masyarakat tentu saja punya pandangan-
pandangan yang bebeda terhadap sistem politik dan
peran mereka didalamnya. Gabriel Almond (1993: 41)
mengatakan bahwa budaya politik adalah orientasi warganegara
terhadap kehidupan politik dan pemerintahan negaranya.
5.1.Budaya Politik
Hague dan Harrop (2006:121) mendefinisikan budaya politik
sebagai “Overall pattern of beliefs, attitudes and values in a
society towards the political system” (Keseluruhan pola
keyakinan, sikap dan nilai-nilai dalam masyarakat terhadap sistem
politik). Definisi ini senada dengan Verba (dalam Chilcote, 2007)
yang menyatakan bahwa budaya politik terdiri dari sistem
keyakinan-keyakinan empiris, symbol-simbol ekspresif, dan nilai-
nilai yang mendefinisikan situasi di mana tindakan politik
berlangsung.
Budaya politik sebuah masyarakat dipengaruhi oleh tiga
orientasi (Almond dan Verba dalam Chilcote, 2007):
1. Kognitif
S
66
Orientasi kognitif adalah pengetahuan dan keyakinan
mengenai sistem politik, para pemimpinnya dan operasinya.
2. Afektif
Perasaan terhadap sistem politik seperti rasa keterlibatan atau
pengucilan.
3. Evaluatif
Penilaian dan opini tentang sistem politik.
Ketiga orientasi ini dapat bercampur dalam sebuah masyarakat
dan menghasilkan sebuah budaya politik tergantung orientasi mana
yang paling dominan. Dalam masyarakat yang kritis, orientasi
evaluatif bisa jadi amat menonjol. Orientasi evaluatif tentu juga bisa
tumbuh dan berkembang di alam demokrasi, di mana nilai-nilai
kebebasan dijamin dan warga bisa mengekspresikan pandangan-
pandangannya.
Tiga orientasi di atas menjadi basis bagi tiga tipe budaya politik:
1. Parokial
Masyarakat ini adalah orang-orang yang sama sekali tak
menyadari atau mengabaikan adanya pemerintahan dan
politik. Mereka memiliki pengharapan dan kepedulian yang
rendah terhadap pemerintah dan umumnya rasa tidak terlibat
2. Subyek
Orang-orang yang secara pasif patuh pada pejabat-pejabat
pemerintahan dan undang-undang, tetapi tidak melibatkan diri
dalam politik ataupun memberikan suara dalam pemilihan
umum. Peduli dengan output pemerintah namun tidak
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan kebijakan
3. Partisipan
Orang-orang yang melibatkan diri dalam kegiatan politik,
paling tidak dalam kegiatan pemberian suara (voting), dan
memperoleh nformasi cukup banyak tentang kehidupan
politik.
Menurut studi empiris yang dilakukannya, data budaya politik diukur
dengan menggunakan ukuran-ukuran sebagai berikut, yaitu:
1. Identitas nasional
2. Kesadaran kelas
67
3. Motivasi berprestasi
4. Keyakinan akan kebebasan dan persamaan
5. Efektivitas politik
6. kepercayaan pada pemerintah
semakin tinggi nilai yang diberikan kepada keenam hal tersebut, maka
semakin tinggi budaya politik suatu Negara.
Powell, Dalton dan Strom (2015) menyampaikan setidaknya
terdapat tiga trend yang mempengaruhi budaya politik. Pertama
adalah demokratisasi. Demokratisasi menjadi sebuah trend yang
mengubah institusi dan praktek politik di hampir semua negara.
Demokrasi menjadi format yang dianggap benar sehingga praktek-
praktek dalam demokrasi – terutama pemilu – dilaksanakan di negara
otoriter sekalipun. Tentu saja yang menjadi catatan adalah bahwa
seringkali nilai-nilai substansialnya masih belum berjalan sepenuhnya.
Kedua adalah marketisasi (marketization). Marketisasi adalah
meningkatnya penerimaan publik terhadap pasar bebas dan insentif
keuntungan perusahaan swasta, daripada ekonomi yang diatur oleh
negara.
Ketiga adalah globalisasi. Terjadinya interaksi global dan
berkembangnya media masa mengubah budaya politik. Masyarakat
tidak hanya menjadi warga sebuah negara, namun menjadi warga
dunia yang berinteraksi mudahnya dengan warga belahan dunia lain
dengan perkembangan teknologi.
5.2.Sosialisasi Politik
Konsep sosialisasi politik adalah konsep yang “dipinjam” dari
sosiologi. Dennis (Chilcote, 2007: 311) mendefinisikan sosialisasi
politik sebagai “Merujuk pada satu proses dimana orang-orang baru
di masyarakat, atau yang tumbuh di dalamnya mendapatkan pola-pola
ciri orentasi dan perilaku politik’
Secara lebih lugas Greenstein (Chilcote, 2007: 311)
memberikan definisi yang tak jauh berbeda bahwa sosialisasi politik
adalah “Seluruh pembelajaran politik, formal atau informal, dengan
atau tanpa kesengajaan, pada setiap siklus hidup, tidak hanya
68
pembelajaran politik secara eksplisit namun juga pembelajaran non
politik secara nominal”
Levine (1982: 149) mendefinisikan sosialisasi politik merujuk
pada metode di mana sebuah kebudayaan menyampaikan budaya
politiknya kepada para anggotanya. Jadi sosialisasi politik memang
berkaitan erat dengan budaya politik. Budaya politik dipelihara
sekaligus melakukan sosialisasi politik melalui agen-agen sosialisasi
politik. Hal ini sesuai dengan definisi dari Powell, Dalton dan Strom
(2015:71):”Political socialization refers to the way in which political
values are formed and political culture is transmitted from one
generation to the next”
Gabriel Almond (1993: 34) merumuskan sosialisasi politik
sebagai bagian dari proses sosialisasi yang khusus membentuk nilai-
nilai politik, yang menunjukkan bagaimana seharusnya masing-
masing anggota masyarakat berpartisipasi dalam sistem politiknya.
Terdapat dua ciri dari sosialisasi politik:
1. Sosialisasi berjalan terus menerus
2. Sosialisasi dapat berwujud transmisi dan pengajaran yang
langsung maupun tak langsung
Untuk dapat berjalan sebagai sebuah proses transmisi, sosialisas
politik tentu saja memerlukan agen-agen. Agen-agen sosialisasi antara
lain (Almond, 1993: 37-40):
1. Keluarga
Keluarga merupakan agen sosialisasi politik pertama bagi
semua individu. Karena itulah ia disebut agen sosialisasi
politik primer. Riset oleh Robert Hess dan David Easton
menemukan bahwa anak-anak belajar untuk mencintai dan
mengenal pemerintah, khususnya Presiden, meskipun
sebelum mereka mengenal apa itu pemerintah (Levine, 1982:
150).
2. Sekolah
Bersama dengan keluarga, lembaga pendidikan formal ikut
menjadi agen sosialisasi politik bagi seorang warga Negara
dengan intensitas yang cukup lama, sejak Taman Kanak-
kanak sampai lepas Sarjana atau sekolah menengah. Pelajar
tak hanya menerima materi pelajaran yang mengenalkan
69
politik dan pemerintahan, tapi juga sejarah, patriotisme dan
nasionalisme. Di Indonesia, berbagai kegiatan di sekolah
seperti upacara bendera yang mengenalkan bendera, lagu
kebangsaan, dasar Negara, atau pembukaan konstitusi bisa
dibaca sebagai sosialisasi politik yang amat penting.
Kurikulum di sekolah tak hanya kurikulum resmi yang
diterjemahkan dalam mata pelajaran, tapi juga hidden
curriculum yang diterima siswa dalam berbagai kegiatan,
serta budaya di sekolah/kampus.
3. Peer Groups
Peer groups merujuk kepada kelompok dimana seorang
individu menjadi anggotanya. Peer groups meliputi teman
bergaul, teman sekolah, teman bekerja, atau teman di
lingkungan keagamaan. Segala bentuk peer groups
mempengaruhi seorang individu dalam memandang politik
dan pemerintahan.
Definisi peer group nampaknya semakin berkembang, tak
sekedar real peer groups sebagai “face-to face groups”, namun
juga menjelaskan pertemanan atau kelompok di dunia maya.
Perkembangan media sosial membuat berbagai individu tak
saling mengenal di dunia nyata, namun berteman dan saling
mempengaruhi secara amat kuat di media sosial seperti twitter
atau facebook. Event politik sebagai pemilu biasanya
memperkuat pengelompokan individu kedalam kelompok-
kelompok yang memiliki pandangan politik serupa.
4. Pekerjaan
Pekerjaan merupakan agen sosialisasi politik karena sebuah
pekerjaan cenderung membentuk bahkan menuntut
pandangan pekerjanya tentang politik dan pemerintahan.
Secara sederhana kita bisa melihat bahwa seorang tentara
akan memiliki pandangan berbeda tentang politik dan
pemerintahan dengan wartawan, dosen ataupun buruh.
5. Media Massa
Media massa merupakan agen sosialisasi politik terpenting.
Pandangan masyarakat tentang politik dan pemerintahan amat
tergantung dari media yang dikonsumsi. Sebagai contoh,
70
pemberitaan terus menerus tentang korupsi di tubuh
pemerintah bisa membuat mereka berpikir bahwa pemerintah
yang berkuasa adalah pemerintah yang korup.
6. Partai Politik dan Kelompok Kepentingan
Sebagai organisasi yang memiliki ideologi dan nilai-nilai
politik, maka partai politik berperan penting membentuk nilai-
nilai politik dari anggotanya. Salah satu fungsi partai politik
adalah melaksanakan sosialisasi politik. Namun tak hanya
partai politik, kelompok kepentingan juga memiliki peran
sebagai agen sosialisasi politik melalui berbagai kegiatan
yang dilakukannya.
7. Kontak Politik Langsung
Peristiwa politik yang melibatkan masyarakat dengan politisi,
partai politik atau pemerintah akan membentuk pandangan
masyarakat tentang politik dan pemerintahan. Jika dalam
sebuah peristiwa masyarakat mendapatkan impresi positif,
maka itu akan membentuk pandangan positif, begitu juga
sebaliknya. Masyarakat yang berurusan dengan buruknya
pelayanan sebuah kantor pemerintahan akan menganggap
buruk pemerintah. Sebaliknya jika ia mendapatkan pelayanan
yang baik, ia akan memandang positif pemerintah.
Jika muncul pertanyaan agen sosialisasi mana yang paling
berpengaruh? Maka jawabannya harus diletakkan pada konteks sosial
politik dimana sosialisai berlangsung. Di Indonesia masa orde baru,
sekolah menjadi agen sosialisasi yang amat penting, dimana nilai-nilai
politik yang sesuai dengan keinginan penguasa diberikan melalui
penataran P4 dan berbagai pelajaran seperti sejarah, PSPB atau
Pendidikan Moral pancasila. Pada akhir dan setelah masa
pemerintahan Soeharto, media massa memiliki peran penting sebagai
agen sosialisasi politik.
Dalam sosialisasi politik, tentu saja nilai yang masuk dan dominan
tak hanya satu. Terkadang satu nilai yang didukung oleh sebuah
konteks sosial tertentu tercerabut dan digantikan oleh nilai yang lain.
Hal inilah yang disebut sebagai resosialisasi atau sosialisasi ulang.
71
Sosialisasi ulang nilai-nilai politik baru tersebut mengalami dua tahap
(Almond:1993 )
1. Desosialisasi
Pencabutan nilai politik
2. Pengisian ulang dengan nilai politik yang baru
Pengisian nilai politik yang baru bisa dilakukan dengan
serangkaian design dari sebuah rezim berkuasa atau bisa berupa
serangkaian transmisi yang tak disengaja melalui agen-agen
sosialisasi politik. Sebuah contoh pengisian nilai politik sebagai
design sebuah rezim penguasa adalah ketika pemerintah orde baru
mewajibkan penataran P4 bagi para siswa dan mahasiswa baru.
Hal ini bisa disebut sebagai pengisian ulang nilai-niai politik
penguasa terhadap masyarakat.
Sedangkan contoh transmisi yang tak disengaja melalui agen-agen
sosialisasi politik adalah ketika masyarakat mendapatkan nilai-
nilai demokrasi dari bebagai peristiwa politik dan media massa di
akhir keruntuhan rezim Soeharto. Masyarakat belajar untuk
menerima demokrasi sebagai sebuah nilai yang kemudian
diterima di Indonesia setelah di era sebelumnya terbiasa hidup di
era yang otoriter.
Sosialisasi politik berhubungan erat dengan kebudayaan politik.
Terdapat tiga fungsi sosialisasi politik terhadap budaya politik
(Almond, 1993: 35)
1. Sosialisasi politik dapat memelihara dan mewariskan
kebudayaan politik.
2. Sosialisasi Politik dapat juga merubah kebudayaan politik,
yaitu bila sosialisasi itu menyebabkan penduduk, atau
sebagian penduduk melihat atau mengalami kebudayaan
politik yang dijalankan dengan cara lain.
3. Pada waktu terjadinya perubahan besar atau peristiwa-
peristiwa luar biasa, misalnya terbentuknya Negara baru,
sosialisasi politik bahkan dapat mencipatakan kebudayaan
politik yang baru sama sekali.
72
5.3. Partisipasi Politik
Huntington dan Nelson (1994: 4) mendefinisikan partisipasi politik
sebagai kegiatan yang dilakukan warga negara preman (private
citizen) dengan tujuan mempengaruhi pengambilan keputusan
pemerintah. Partisipasi itu dapat secara spontan, secara sinambung
atau sporadic, secara damai atau kekerasan, legal atau illegal, efektif
atau tidak efektif.
Ada beberapa ciri partisipasi politik:
1. Kegiatan yang dapat diamati, bukan sekedar sikap.
2. Merupakan aktivitas perorangan dalam peranan sebagai
warga Negara preman, bukan sebuah aktivitas professional di
bidang politik.
3. Diarahkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan
pemerintah baik itu kegiatan legal maupun ilegal
4. Kegiatan efektif maupun gagal terkategori partisipasi politik
Dalam menganalisis tingkat-tingkat partisipasi, Huntington dan
Nelson (1994: 16) membedakan dua sub dimensi:
a. Lingkup
Seberapa besar partisipasi yang dilakukan atau seberapa
banyak pihak yang terlibat dalam partisipasi.
b. Intensitas
Seberapa lama dan seberapa penting sebuah partisipasi.
Partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk:
1. Pemilihan Umum
Partisipasi dalam pemilihan umum mungkin merupakan
bentuk partisipasi politik yang paling popular. Namun dalam
pemilihan umum partisipasi politik tak hanya sekedar
memilih, namun juga menjadi kandidat, menyumbang untuk
kandidat, terlibat dalam kampanye dan segala bentuk tindakan
yang bertujuan mempengaruhi hasil pemilihan.
2. Lobbying (Lobi)
73
Lobi adalah upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk
menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-
pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan-
keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan yang
menyangkut sejumlah besar orang.
3. Kegiatan Organisasi
Partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu
organisasi yang tujuan utamanya dan eksplisit adalah
mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.
4. Mencari Koneksi (contacting)
Merupakan tindakan perorangan yang ditujukan terhadap
pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud
memperoleh manfaat bagi hanya satu atau segelintir orang.
5. Tindak Kekerasan (Violence)
Merupakan upaya untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian
fisik terhadap orang-orang atau harta benda. Kekerasan dapat
ditujukan untuk mengubah pimpinan politik (kudeta,
pembunuhan), mempengaruhi kebijaksanaan-kebijaksanaan
pemerintah (huru hara, pemberontakan), atau mengubah
sistem politik (revolusi).
74
Partisipasi Politik dapat dikategorikan
a. Berdasarkan kesadaran politik (Huntington dan Nelson, 1994:9) :
1. Otonom
Partisipasi dilakukan atas dasar kesadaran sendiri
2. Mobilisasi
Partisipasi dilakukan berdasarkan anjuran, ajakan atau
paksaan pihak lain
Namun harus disadari bahwa partisipasi politik otonom maupun
dimobilisasi bukanlah sesuatu yang dikotomis, tapi merupakan sebuah
spektrum. Karena banyak sekali bentuk partisipasi yang bersifat
arbitrer, berada diantara partisipasi politik otonom atau mobilisasi.
Sebagai contoh, sulit untuk mengatakan bahwa peserta kampanye
partai politik dalam sebuah pemilu betul-betul otonom atau betul-betul
dimobilisasi. Bisa jadi ia ikut berkampanye karena kesadaran namun
menerima berbagai atribut dan fasilitas bahkan uang dari partai
pelaksana kampanye.
Sumber: Antara, 2016
Gambar 5.1.
Partisipasi Politik Melalui Kekerasan (Teror)
75
Dimungkinkan juga terdapat pergeseran dari satu bentuk
mobilisasi ke bentuk yang lain. Seseorang yang terlibat kampanye
karena sekedar ingin mendapatkan keuntungan (dimobilisasi) dapat
menjadi diinternalisasikan sehingga kemudian menjadi otonom, dan
begitu juga sebaliknya.
Partisipasi politik dalam pemilu (Voter turnout) di Indonesia
amatlah tinggi, namun menurun ketika reformasi terjadi. Tingginya
partisipasi politik dalam pemilu-pemilu orde baru bisa dipahami
sebagai kuatnya mobilisasi pemerintah orde baru mendorong
partisipasi politik (yang dimobilisasi) dengan memaknai memilih
sebagai kewajiban. Namun ketika kebebasan dilindungi dan memilih
dipandang sebagai hak, maka banyak warga yang tidak
menggunakannya.
b. Berdasarkan Saluran Politik
Berdasarkan bentuk dan saluran politik, Almond (1993: 46-47)
membagi partisipasi politik kedalam partisipasi konvensional dan
partisipasi non konvensional.
1. Partisipasi Konvensional
Partisipasi ini dilakukan dengan saluran resmi dan dalam bentuk
yang normal dalam demokrasi modern.
2. Non Konvensional
Partisipasi ini dilakukan melalui sarana tidak resmi dan dalam
bentuk yang tidak normal.
Berikut tabel bentuk partisipasi politik Almond yang dijelaskan oleh
Huntington dan Nelson:
76
Partisipasi Politik
Konvensional
Partisipasi Politik
Non Konvensional
• Pemberian Suara
• Diskusi Politik
• Kampanye
• Membentuk dan
Bergabung
dengan Kelompok
Kepentingan
• Komunikasi
dengan pejabat
politik dan
administratif
• Pengajuan Petisi
• Demonstrasi
• Konfrontasi
• Mogok
• Kekerasan Politik
Terhadap Harta Benda
(perusakan, pemboman)
• Kekerasan politik
terhadap manusia
(penculikan, penyiksaan,
pembunuhan)
• Perang Gerilya, Revolusi
Dengan menggunakan analogi pada event gladiator di masa Romawi
Kuno, Mibrath and Goel membagi pihak yang melakukan partisipasi
politik kedalam tipe:
1. Apathetics
Orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik.
2. Spectators
Orang yang setidak-tidaknya pernah memilih dalam Pemilu.
3. Gladiators
Mereka yang secara aktif terlibat dalam proses politik: Kounikator,
aktivis partai, pekerja kampanye dan aktivis masyarakat.
Tabel 5.1.
Tipologi Partisipasi Politik
Sumber: Huntington & Nelson (1994)
77
Tiga tipe tersebut digambarkan dalam sebuah piramida berikut:
Sedangkan Olsen membagi partisipasi politik sebagai dimensi
stratifikasi sosial (Surbakti, 2010: 183)
1. Pemimpin Politik
2. Aktivis Politik
3. Komunikator
4. Warga Negara Marginal
Gladiators
Spectators
Apathetics
Gambar 5.2
Tipologi Partisipasi Politik
Sumber: Mibrath and Goel, 1977.
78
5. Orang yang Terisolasikan
Paige (Surbakti, 2010: 184) memberikan model partisipasi politik
berdasarkan kepercayaan dan tingkat partisipasi. Kesadaran dan
kepercayaan yang tinggi akan menumbuhkan partisipasi aktif.
Kepercayaan yang tinggi jika disertai dengan kesadaran yang rendah
akan menimbulkan partisipasi yang pasif. Kesadaran dan kepercayaan
yang rendah akan menimbulkan sikap apatis. Sementara, kepercayaan
rendah disertai kesadaran yang tinggi akan menumbuhkan partisipasi
militan-radikal.
Karakter partisipasi politik di Negara demokrasi dan Negara
otoriter amat berbeda. Di Negara demokratis, partisipasi politik bisa
bersifat otonomi atau dimobilisasikan. Namun di Negara otoriter,
partisipasi biasanya dimobilisasi. Dalam pemilu misalnya, jumlah
pemilu sepintas terlihat tinggi, namun memilih dalam pemilu
dianggap kewajiban yang jika tak melaksanakan atau memilih tak
sesuai keinginan pemimpin otoriter memiliki konsekuensi tertentu.
Di Negara otoriter, ada beberapa bentuk cara yang digunakan
untuk mengontrol partisipasi politik. Dua diantaranya adalah
membangun hubungan patron-client dan korporatisme.
Hubungan patron-client didefiniskan oleh Scott (1972)
sebagai
”A special case of dyadic ties involving a largely instrumental
friendship in which an individual of higher socioeconomic
status (patron) ises his own influence and resources to provide
protection or benefir, or both, for a person of lower status
(client) who, for his part, reciprocates by offering general
support and assistance, including personal service, to the
patron.
(kasus khusus dari hubungan dua pihak yang melibatkan
sebagian besar persahabatan instrumental di mana seorang
individu dari status sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron)
menggunakan pengaruh dan sumber daya sendiri untuk
memberikan perlindungan atau manfaat, atau keduanya, untuk
79
orang dari status yang lebih rendah (klien) yang, kemudian
klien membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan
bantuan, termasuk layanan pribadi, untuk patron)
Salah satu bentuk service yang diberikan oleh client terhadap
patron adalah political service menjadi tim kampanye atau
pemenangan. Dalam bentuk ini, partisipasi politik klien ditentukan
oleh keinginan dan tujuan sang patron.
Sementara, korporatisme didefinisikan sebagai sistem
perantaraan kepentingan menghubungkan kelompok kepentingan dan
negara, di mana organisasi kepentingan diakui secara eksplisit dan
dimasukkan ke dalam proses pembuatan kebijakan, baik dari segi
negosiasi kebijakan dan mengamankan kepatuhan dari anggota
mereka dengan kebijakan yang telah disepakati (McLean dan
McMillan, 2009: 120).
Dalam korporatisme, negara membuat kanal-kanal kelompok
kepentingan berdasarkan kepentingan di masyarakat dalam bentuk
organisasi resmi yang diakui. Organisasi kepentingan, selain
organisasi resmi tersebut dilarang keberadaannya. Sebagai contoh, di
era Orde Baru kelompok buruh diwakili Serikat Pekerja Seluruh
Indonesia (SPSI), petani diwakili oleh Himpunan Kerukunan Tani
Indonesia (HKTI), atau guru diwakili Persatuan Guru Republik
Indonesia (PGRI). Kebijakan korporatisme membuat negara dapat
mengontrol partisipasi warga masyarakat melalui kelompok
kepentingan.
Dalam negara demokrasi partisipasi politik terbentuk oleh
opini publik. Opini publik adalah sikap dan keyakinan yang dipegang
masyarakat tentang hal-hal yang menjadi perhatian publik (Levine,
1982: 153). Dalam pemilu misalnya masyarakat memiliki opini
tertentu tentang nama-nama kandidat maupun partai politik. Opini
yang terbentuk baik positif maupun negatif terbentuk melalui berbagai
sosialisasi politik mapun budaya politik dalam masyarakat.
80
Opini publik diukur melalui survey yang bertujuan
mengetahui preferensi publik, baik terhadap isu-isu maupun kandidat
tertentu. Hasil survey opini publik bisa digunakan sebagai peta dasar
untuk membuat strategi politik. (Selengkapnya baca di Bab
Komunikasi Politik)
Selain berbagai bentuk partisipasi, para scholars juga
mengembangkan kajian tentang level partisipasi. Hasil kajian yang
amat terkenal adalah tangga partisipasi dari Arnstein (1969). Ia
membagi level partisipasi kedalam delapan anak tangga yang
terkategorikan ke dalam tiga kelompok besar. Kelompok pertama
adalah non-participation yang terdiri dari (1) Manipulation dan (2)
Therapy. Kelompok kedua adalah tokenism yang terdiri dari (3)
informing (4) consultation dan (5) Placation. Level tertinggi berada
dalam kelompok ciizen power yang terdiri dari (6) Partnership (7)
Delegated power, dan (8) Citizen control.
Kelompok pertama (dari bawah) disebut non-participation
karena di level ini tidak terdapat partisipasi warga negara. Jikapun
seakan terdapat partisipasi, maka partisipasi tersebut adalah semu atau
palsu (pseudo). Dua tipe dalam kategori non-participation ini adalah
manipulation dan Therapy. Manipulation (manipulasi) adalah
aktivitas penguasa untuk membuat seolah-olah terdapat partisipasi,
namun sesungguhnya partisipasi tersebut tidak bermakna bahkan
merupakan bentukan dari penguasa untuk melegitimasi kebijakan atau
program mereka. “In the name of citizen participation, people are
placed on rubberstamp advisory committees or advisory boards for
the express purpose of “educating” them or engineering their
support.” (Arnstein, 1969:218)
Dalam anak tangga therapy (terapi), pelibatan masyarakat
dianggap sebagai pengobatan bagi tidak dimilikinya kekuasaan oleh
masyarakat (powerlessness) yang disinonimkan sebagai mental illness.
Pelibatan masyarakat (secara semu) adalah upaya untuk mengobati
masyarakat.
81
Kelompok kedua disebut tokenisme yang bisa dimaknai
sebagai aktivitas yang formalistik belaka. Dalam anak tangga
informing, masyarakat dilibatkan sebagai penerima informasi.
Dimana informasi berlangsung searah dari apparat pemerintah kepada
masyarakat melalui: “a one-way flow of information from officials to
citizens-with no channel provided for feedback and no power for
negotiation.” (Arnstein,1969: 219)
Anak tangga selanjutnya adalah consultation, di mana suara
masyarakat dapat disalurkan melalui berbagai survey atau pertemuan
warga, namun tidak ada jaminan bahwa suara masyarakat tersebut
ditindaklanjuti.
Level selanjutnya adalah Placation (mendiamkan), yaitu
partisipasi yang dianggap memadai sehingga membuat masyarakat
terlibat merasa memiliki akses ke pengambilan keputusan, walaupun
keputusan pada akhirnya tetap berada di pemerintah.
Kelompok tertinggi adalah citizen power. Dalam kategori ini,
level pertama adalah partnership (kemitraan), dimana masyarakat
berada dalam posisi sejajajar sebagai mitra pemerintah. Arnstein
(1969: 220) menyampaikan
“Power is in fact redistributed through negotiation
between citizens and powerholders. They agree to share
planning and decision-making responsibilities through
such structures as joint policy boards, planning
committees and mechanisms for re- solving impasses.
After the groundrules have been established through
some form of give-and-take, they are not subject to
unilateral change”
Tangga ke-7 adalah delegated power. Dalam anak tangga ini
masyarakat tidak hanya terlibat dan sejajar dengan pemerintah, namun
mendominasi pembuatan kebijakan. Forum-forum kemitraan
didominasi oleh masyarakat sehingga keputusan akan berpihak
kepada mereka.
82
Tertinggi adalah citizen control, dimana masyarakat betul-
betul mengendalikan program yang dilaksanakan pemerintah.
Katakanlah dalam sebuah komunitas tertentu, program-program yang
dilaksanakan di sana betul-betul dikontrol oleh masyarakat sehingga
sesuai dengan kebutuhan mereka.
Sementara itu, berdasarkan kepentingan dalam partisipasi,
membagi partisipasi ke dalam empat level:
1. Partisipasi Nominal, yaitu partisipasi warga yang sering digunakan
oleh aktor yang lebih berpengaruh untuk memberikan legitimasi
terhadap rencana pembangunan.
2. Partisipasi Instrumental, yaitu partisipasi masyarakat yang
digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan dimana
Sumber: Arnstein, S. (1969) ‘A ladder of citizen participation’, Journal of the American Institute
of Planners 35.4: 216–224
Gambar 5.3. Tangga Partisipasi Politik
Arnstein
83
penggunaan keterampilan dan pengetahuan anggota masyarakat
digunakan secara efisien dalam pelaksanaan proyek.
3. Partisipasi Perwakilan, dimana anggota masyarakat dilibatkan
dalam proses pembuatan keputusan dan pelaksanaan proyek atau
kebijakan. Untuk partisipasi perwakilan yang lebih kuat, hal ini
dapat meningkatkan peluang intervensi mereka secara
berkelanjutan, sementara bagi yang kurang kuat, ini mungkin
menjadi pintu bagi pemanfaatan masyarakat.
4. Partisipasi Transformatif yaitu partisipasi yang menghasilkan
pemberdayaan (empowerment) dari mereka yang terlibat, dan
akibatnya mengubah struktur dan institusi yang awalnya bersifat
memarginalkan dan mengucilkan.
Dalam bagan di bawah ini, partisipasi bisa dilihat dari dimensi
kepentingan, baik secara top down maupun bottom up.
Tabel 5.2
Kepentingan dalam Partisipasi
Bentuk Top-Down Bottom-Up Fungsi
Nominal Legitimation
(Legitimasi)
Inclusion
(Keterlibatan)
Display
(Menampikan)
Instrumental Efficiency
(Efisiensi)
Cost
(Biaya)
Means
(Sarana)
Representative Sustainibility
(Berkelanjutan)
Leverage
(Pengungkit)
Voice
(Aspirasi)
Transformative Empowerment
(Pemberdayaan)
Empowerment
(Pemberdayaan)
Sarana/Tujuan
Akhir
Sumber: Sarah C White, Development in Practice Volume 6, Number 1, 1996: 142-155

Mais conteúdo relacionado

Mais procurados

2 Model Formulasi Kebijakan
2 Model Formulasi Kebijakan2 Model Formulasi Kebijakan
2 Model Formulasi KebijakanMuh Firyal Akbar
 
3 proses perumusan kebijakan
3 proses perumusan kebijakan3 proses perumusan kebijakan
3 proses perumusan kebijakanMuh Firyal Akbar
 
Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...
Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...
Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...Researcher Syndicate68
 
Tipe tipe model kebijakan
Tipe tipe model kebijakanTipe tipe model kebijakan
Tipe tipe model kebijakanNuzulul Putri
 
Prinsip Administrasi Publik
Prinsip Administrasi PublikPrinsip Administrasi Publik
Prinsip Administrasi Publik93220872
 
Agenda Setting Dalam Pembuatan Kebijakan Publik
Agenda Setting Dalam Pembuatan Kebijakan PublikAgenda Setting Dalam Pembuatan Kebijakan Publik
Agenda Setting Dalam Pembuatan Kebijakan PublikTri Widodo W. UTOMO
 
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan Publik
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan PublikAgenda Setting & Perumusan Kebijakan Publik
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan PublikTri Widodo W. UTOMO
 
Media sosial dalam komunikasi politik
Media sosial dalam komunikasi politikMedia sosial dalam komunikasi politik
Media sosial dalam komunikasi politikLSP3I
 
Birokrasi dan Kajian Politik
Birokrasi dan Kajian PolitikBirokrasi dan Kajian Politik
Birokrasi dan Kajian PolitikMuh Firyal Akbar
 
Contoh Penerapan Agenda Setting & Perumusan Kebijakan
Contoh Penerapan Agenda Setting & Perumusan KebijakanContoh Penerapan Agenda Setting & Perumusan Kebijakan
Contoh Penerapan Agenda Setting & Perumusan KebijakanTri Widodo W. UTOMO
 
Konsep dan Studi Kebijakan Publik
Konsep dan Studi Kebijakan PublikKonsep dan Studi Kebijakan Publik
Konsep dan Studi Kebijakan PublikTri Widodo W. UTOMO
 
Sistem & sistem politik menurut david easton
Sistem & sistem politik menurut david eastonSistem & sistem politik menurut david easton
Sistem & sistem politik menurut david eastondinnianggra
 
Modul 4.3 Mengembangkan dan Merumuskan Alternatif Kebijakan
Modul 4.3 Mengembangkan dan Merumuskan Alternatif KebijakanModul 4.3 Mengembangkan dan Merumuskan Alternatif Kebijakan
Modul 4.3 Mengembangkan dan Merumuskan Alternatif Kebijakanunitpublikasi
 

Mais procurados (20)

2 Model Formulasi Kebijakan
2 Model Formulasi Kebijakan2 Model Formulasi Kebijakan
2 Model Formulasi Kebijakan
 
3 proses perumusan kebijakan
3 proses perumusan kebijakan3 proses perumusan kebijakan
3 proses perumusan kebijakan
 
Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...
Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...
Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...
 
Tipe tipe model kebijakan
Tipe tipe model kebijakanTipe tipe model kebijakan
Tipe tipe model kebijakan
 
Prinsip Administrasi Publik
Prinsip Administrasi PublikPrinsip Administrasi Publik
Prinsip Administrasi Publik
 
Dasar ilmu pem (hiro)
Dasar ilmu pem (hiro)Dasar ilmu pem (hiro)
Dasar ilmu pem (hiro)
 
Agenda Setting Dalam Pembuatan Kebijakan Publik
Agenda Setting Dalam Pembuatan Kebijakan PublikAgenda Setting Dalam Pembuatan Kebijakan Publik
Agenda Setting Dalam Pembuatan Kebijakan Publik
 
siklus kebijakan publik
siklus kebijakan publiksiklus kebijakan publik
siklus kebijakan publik
 
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan Publik
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan PublikAgenda Setting & Perumusan Kebijakan Publik
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan Publik
 
Analisis kebijakan publik
Analisis kebijakan publikAnalisis kebijakan publik
Analisis kebijakan publik
 
Media sosial dalam komunikasi politik
Media sosial dalam komunikasi politikMedia sosial dalam komunikasi politik
Media sosial dalam komunikasi politik
 
Pertemuan ke 9 - instrumen & proses kebijakan
Pertemuan ke 9 - instrumen & proses kebijakanPertemuan ke 9 - instrumen & proses kebijakan
Pertemuan ke 9 - instrumen & proses kebijakan
 
Metodologi ilmu pemerintahan
Metodologi ilmu pemerintahanMetodologi ilmu pemerintahan
Metodologi ilmu pemerintahan
 
Birokrasi dan Kajian Politik
Birokrasi dan Kajian PolitikBirokrasi dan Kajian Politik
Birokrasi dan Kajian Politik
 
Contoh Penerapan Agenda Setting & Perumusan Kebijakan
Contoh Penerapan Agenda Setting & Perumusan KebijakanContoh Penerapan Agenda Setting & Perumusan Kebijakan
Contoh Penerapan Agenda Setting & Perumusan Kebijakan
 
Materi Sistem Politik Indonesia
Materi Sistem Politik IndonesiaMateri Sistem Politik Indonesia
Materi Sistem Politik Indonesia
 
Konsep dan Studi Kebijakan Publik
Konsep dan Studi Kebijakan PublikKonsep dan Studi Kebijakan Publik
Konsep dan Studi Kebijakan Publik
 
Sistem & sistem politik menurut david easton
Sistem & sistem politik menurut david eastonSistem & sistem politik menurut david easton
Sistem & sistem politik menurut david easton
 
Materi Kebijakan publik
Materi Kebijakan publikMateri Kebijakan publik
Materi Kebijakan publik
 
Modul 4.3 Mengembangkan dan Merumuskan Alternatif Kebijakan
Modul 4.3 Mengembangkan dan Merumuskan Alternatif KebijakanModul 4.3 Mengembangkan dan Merumuskan Alternatif Kebijakan
Modul 4.3 Mengembangkan dan Merumuskan Alternatif Kebijakan
 

Semelhante a Partisipasi politik

Semelhante a Partisipasi politik (20)

Makalah sistem politik di indonesia
Makalah sistem politik di indonesiaMakalah sistem politik di indonesia
Makalah sistem politik di indonesia
 
Makalah sistem politik di indonesia
Makalah sistem politik di indonesiaMakalah sistem politik di indonesia
Makalah sistem politik di indonesia
 
Makalah sistem politik di indonesia
Makalah sistem politik di indonesiaMakalah sistem politik di indonesia
Makalah sistem politik di indonesia
 
SOSIOLOGI_POLITIK[1] RISNO.docx
SOSIOLOGI_POLITIK[1]   RISNO.docxSOSIOLOGI_POLITIK[1]   RISNO.docx
SOSIOLOGI_POLITIK[1] RISNO.docx
 
SOSIOLOGI_POLITIK[1] RISNO.docx
SOSIOLOGI_POLITIK[1]   RISNO.docxSOSIOLOGI_POLITIK[1]   RISNO.docx
SOSIOLOGI_POLITIK[1] RISNO.docx
 
Budaya Politik Indonesia
Budaya Politik IndonesiaBudaya Politik Indonesia
Budaya Politik Indonesia
 
Makalah budaya politik
Makalah budaya politikMakalah budaya politik
Makalah budaya politik
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
Bab 9. budaya politik
Bab 9. budaya politikBab 9. budaya politik
Bab 9. budaya politik
 
Modul p kn kelas xi
Modul p kn kelas xiModul p kn kelas xi
Modul p kn kelas xi
 
Budaya
BudayaBudaya
Budaya
 
Partisipasi politik
Partisipasi politikPartisipasi politik
Partisipasi politik
 
Potret Budaya Politik Masyarakat
Potret Budaya Politik MasyarakatPotret Budaya Politik Masyarakat
Potret Budaya Politik Masyarakat
 
Pkn sosialisasi politik
Pkn sosialisasi politik Pkn sosialisasi politik
Pkn sosialisasi politik
 
Budaya pPolitik
Budaya pPolitikBudaya pPolitik
Budaya pPolitik
 
Pkn budaya politik
Pkn budaya politikPkn budaya politik
Pkn budaya politik
 
Budaya politik
Budaya politikBudaya politik
Budaya politik
 
Bab 1 budaya_politik
Bab 1 budaya_politikBab 1 budaya_politik
Bab 1 budaya_politik
 
Budaya politik
Budaya politikBudaya politik
Budaya politik
 
Materi pkn kelas 11
Materi pkn kelas 11Materi pkn kelas 11
Materi pkn kelas 11
 

Mais de University of Sultan Ageng Tirtayasa

Paparan menristekdikti-dalam-acara-peluncuran-panduan-pelaksanaan-penelitian-...
Paparan menristekdikti-dalam-acara-peluncuran-panduan-pelaksanaan-penelitian-...Paparan menristekdikti-dalam-acara-peluncuran-panduan-pelaksanaan-penelitian-...
Paparan menristekdikti-dalam-acara-peluncuran-panduan-pelaksanaan-penelitian-...University of Sultan Ageng Tirtayasa
 
Beberapa perubahan pengaturan pengajuan kenaikan jabatan fungsional dan pangk...
Beberapa perubahan pengaturan pengajuan kenaikan jabatan fungsional dan pangk...Beberapa perubahan pengaturan pengajuan kenaikan jabatan fungsional dan pangk...
Beberapa perubahan pengaturan pengajuan kenaikan jabatan fungsional dan pangk...University of Sultan Ageng Tirtayasa
 
Peraturan dan Tata Cara Pengajuan Kenaikan Jabatan Fungsional dan Pangkat Sec...
Peraturan dan Tata Cara Pengajuan Kenaikan Jabatan Fungsional dan Pangkat Sec...Peraturan dan Tata Cara Pengajuan Kenaikan Jabatan Fungsional dan Pangkat Sec...
Peraturan dan Tata Cara Pengajuan Kenaikan Jabatan Fungsional dan Pangkat Sec...University of Sultan Ageng Tirtayasa
 

Mais de University of Sultan Ageng Tirtayasa (20)

Kode Perguruan Tinggi Indonesia
Kode Perguruan Tinggi IndonesiaKode Perguruan Tinggi Indonesia
Kode Perguruan Tinggi Indonesia
 
Institusionalisasi partai politik menyambut pemilu 2019
Institusionalisasi partai politik menyambut pemilu 2019Institusionalisasi partai politik menyambut pemilu 2019
Institusionalisasi partai politik menyambut pemilu 2019
 
Arah kebijakan karir dosen
Arah kebijakan karir dosenArah kebijakan karir dosen
Arah kebijakan karir dosen
 
Komunikasi politik
Komunikasi politikKomunikasi politik
Komunikasi politik
 
Paparan menristekdikti-dalam-acara-peluncuran-panduan-pelaksanaan-penelitian-...
Paparan menristekdikti-dalam-acara-peluncuran-panduan-pelaksanaan-penelitian-...Paparan menristekdikti-dalam-acara-peluncuran-panduan-pelaksanaan-penelitian-...
Paparan menristekdikti-dalam-acara-peluncuran-panduan-pelaksanaan-penelitian-...
 
Riswanda policy makers capacity building-3 march 2017
Riswanda policy makers capacity building-3 march 2017Riswanda policy makers capacity building-3 march 2017
Riswanda policy makers capacity building-3 march 2017
 
Beberapa perubahan pengaturan pengajuan kenaikan jabatan fungsional dan pangk...
Beberapa perubahan pengaturan pengajuan kenaikan jabatan fungsional dan pangk...Beberapa perubahan pengaturan pengajuan kenaikan jabatan fungsional dan pangk...
Beberapa perubahan pengaturan pengajuan kenaikan jabatan fungsional dan pangk...
 
Peraturan dan Tata Cara Pengajuan Kenaikan Jabatan Fungsional dan Pangkat Sec...
Peraturan dan Tata Cara Pengajuan Kenaikan Jabatan Fungsional dan Pangkat Sec...Peraturan dan Tata Cara Pengajuan Kenaikan Jabatan Fungsional dan Pangkat Sec...
Peraturan dan Tata Cara Pengajuan Kenaikan Jabatan Fungsional dan Pangkat Sec...
 
Perpres0102016
Perpres0102016Perpres0102016
Perpres0102016
 
Klasifikasi20151
Klasifikasi20151Klasifikasi20151
Klasifikasi20151
 
Petunjuk operasional pak juni-2015
Petunjuk operasional pak juni-2015Petunjuk operasional pak juni-2015
Petunjuk operasional pak juni-2015
 
Sk akreditasi-tahap-ii-2014
Sk akreditasi-tahap-ii-2014Sk akreditasi-tahap-ii-2014
Sk akreditasi-tahap-ii-2014
 
Permenristekdikti1thn2015
Permenristekdikti1thn2015Permenristekdikti1thn2015
Permenristekdikti1thn2015
 
Perpres nomor-13-tahun-2015
Perpres nomor-13-tahun-2015Perpres nomor-13-tahun-2015
Perpres nomor-13-tahun-2015
 
Petunjuk operasional pak 27 1-2015
Petunjuk operasional pak 27 1-2015Petunjuk operasional pak 27 1-2015
Petunjuk operasional pak 27 1-2015
 
Anies baswedan-for-usindo-2012-03-15
Anies baswedan-for-usindo-2012-03-15Anies baswedan-for-usindo-2012-03-15
Anies baswedan-for-usindo-2012-03-15
 
English flyer call-for-actice-ph-d-candidates-2015
English flyer call-for-actice-ph-d-candidates-2015English flyer call-for-actice-ph-d-candidates-2015
English flyer call-for-actice-ph-d-candidates-2015
 
Ui world bankpresentation1909131
Ui world bankpresentation1909131Ui world bankpresentation1909131
Ui world bankpresentation1909131
 
Lampiran pedoman-implementasi-remunerasi-blu-unpad
Lampiran pedoman-implementasi-remunerasi-blu-unpadLampiran pedoman-implementasi-remunerasi-blu-unpad
Lampiran pedoman-implementasi-remunerasi-blu-unpad
 
Keputusan rektor-no-1-tahun-2015
Keputusan rektor-no-1-tahun-2015Keputusan rektor-no-1-tahun-2015
Keputusan rektor-no-1-tahun-2015
 

Último

Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi SelatanSosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatanssuser963292
 
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxBab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxssuser35630b
 
Materi Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptx
Materi Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptxMateri Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptx
Materi Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptxSaujiOji
 
Modul Projek - Batik Ecoprint - Fase B.pdf
Modul Projek  - Batik Ecoprint - Fase B.pdfModul Projek  - Batik Ecoprint - Fase B.pdf
Modul Projek - Batik Ecoprint - Fase B.pdfanitanurhidayah51
 
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdfKanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdfAkhyar33
 
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKAKELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKAppgauliananda03
 
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxPPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxdpp11tya
 
DAFTAR PPPK GURU KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2024
DAFTAR PPPK GURU KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2024DAFTAR PPPK GURU KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2024
DAFTAR PPPK GURU KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2024RoseMia3
 
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7IwanSumantri7
 
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 
Aksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdf
Aksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdfAksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdf
Aksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdfEniNuraeni29
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...Kanaidi ken
 
AKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMM
AKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMMAKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMM
AKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMMIGustiBagusGending
 
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"baimmuhammad71
 
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.pptHAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.pptnabilafarahdiba95
 
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptxBAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptxJuliBriana2
 
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptxSesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptxSovyOktavianti
 
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.pptLATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.pptPpsSambirejo
 
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdfSalinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdfWidyastutyCoyy
 
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.pptSEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.pptAlfandoWibowo2
 

Último (20)

Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi SelatanSosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
 
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxBab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
 
Materi Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptx
Materi Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptxMateri Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptx
Materi Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptx
 
Modul Projek - Batik Ecoprint - Fase B.pdf
Modul Projek  - Batik Ecoprint - Fase B.pdfModul Projek  - Batik Ecoprint - Fase B.pdf
Modul Projek - Batik Ecoprint - Fase B.pdf
 
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdfKanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
 
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKAKELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
 
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxPPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
 
DAFTAR PPPK GURU KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2024
DAFTAR PPPK GURU KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2024DAFTAR PPPK GURU KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2024
DAFTAR PPPK GURU KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2024
 
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
 
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
Aksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdf
Aksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdfAksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdf
Aksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdf
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
 
AKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMM
AKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMMAKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMM
AKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMM
 
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
 
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.pptHAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
 
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptxBAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
 
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptxSesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
 
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.pptLATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
 
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdfSalinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
 
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.pptSEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
 

Partisipasi politik

  • 1. 65 5 BUDAYA POLITIK, SOSIALISASI POLITIK DAN PARTISIPASI POLITIK etiap anggota masyarakat tentu saja punya pandangan- pandangan yang bebeda terhadap sistem politik dan peran mereka didalamnya. Gabriel Almond (1993: 41) mengatakan bahwa budaya politik adalah orientasi warganegara terhadap kehidupan politik dan pemerintahan negaranya. 5.1.Budaya Politik Hague dan Harrop (2006:121) mendefinisikan budaya politik sebagai “Overall pattern of beliefs, attitudes and values in a society towards the political system” (Keseluruhan pola keyakinan, sikap dan nilai-nilai dalam masyarakat terhadap sistem politik). Definisi ini senada dengan Verba (dalam Chilcote, 2007) yang menyatakan bahwa budaya politik terdiri dari sistem keyakinan-keyakinan empiris, symbol-simbol ekspresif, dan nilai- nilai yang mendefinisikan situasi di mana tindakan politik berlangsung. Budaya politik sebuah masyarakat dipengaruhi oleh tiga orientasi (Almond dan Verba dalam Chilcote, 2007): 1. Kognitif S
  • 2. 66 Orientasi kognitif adalah pengetahuan dan keyakinan mengenai sistem politik, para pemimpinnya dan operasinya. 2. Afektif Perasaan terhadap sistem politik seperti rasa keterlibatan atau pengucilan. 3. Evaluatif Penilaian dan opini tentang sistem politik. Ketiga orientasi ini dapat bercampur dalam sebuah masyarakat dan menghasilkan sebuah budaya politik tergantung orientasi mana yang paling dominan. Dalam masyarakat yang kritis, orientasi evaluatif bisa jadi amat menonjol. Orientasi evaluatif tentu juga bisa tumbuh dan berkembang di alam demokrasi, di mana nilai-nilai kebebasan dijamin dan warga bisa mengekspresikan pandangan- pandangannya. Tiga orientasi di atas menjadi basis bagi tiga tipe budaya politik: 1. Parokial Masyarakat ini adalah orang-orang yang sama sekali tak menyadari atau mengabaikan adanya pemerintahan dan politik. Mereka memiliki pengharapan dan kepedulian yang rendah terhadap pemerintah dan umumnya rasa tidak terlibat 2. Subyek Orang-orang yang secara pasif patuh pada pejabat-pejabat pemerintahan dan undang-undang, tetapi tidak melibatkan diri dalam politik ataupun memberikan suara dalam pemilihan umum. Peduli dengan output pemerintah namun tidak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan kebijakan 3. Partisipan Orang-orang yang melibatkan diri dalam kegiatan politik, paling tidak dalam kegiatan pemberian suara (voting), dan memperoleh nformasi cukup banyak tentang kehidupan politik. Menurut studi empiris yang dilakukannya, data budaya politik diukur dengan menggunakan ukuran-ukuran sebagai berikut, yaitu: 1. Identitas nasional 2. Kesadaran kelas
  • 3. 67 3. Motivasi berprestasi 4. Keyakinan akan kebebasan dan persamaan 5. Efektivitas politik 6. kepercayaan pada pemerintah semakin tinggi nilai yang diberikan kepada keenam hal tersebut, maka semakin tinggi budaya politik suatu Negara. Powell, Dalton dan Strom (2015) menyampaikan setidaknya terdapat tiga trend yang mempengaruhi budaya politik. Pertama adalah demokratisasi. Demokratisasi menjadi sebuah trend yang mengubah institusi dan praktek politik di hampir semua negara. Demokrasi menjadi format yang dianggap benar sehingga praktek- praktek dalam demokrasi – terutama pemilu – dilaksanakan di negara otoriter sekalipun. Tentu saja yang menjadi catatan adalah bahwa seringkali nilai-nilai substansialnya masih belum berjalan sepenuhnya. Kedua adalah marketisasi (marketization). Marketisasi adalah meningkatnya penerimaan publik terhadap pasar bebas dan insentif keuntungan perusahaan swasta, daripada ekonomi yang diatur oleh negara. Ketiga adalah globalisasi. Terjadinya interaksi global dan berkembangnya media masa mengubah budaya politik. Masyarakat tidak hanya menjadi warga sebuah negara, namun menjadi warga dunia yang berinteraksi mudahnya dengan warga belahan dunia lain dengan perkembangan teknologi. 5.2.Sosialisasi Politik Konsep sosialisasi politik adalah konsep yang “dipinjam” dari sosiologi. Dennis (Chilcote, 2007: 311) mendefinisikan sosialisasi politik sebagai “Merujuk pada satu proses dimana orang-orang baru di masyarakat, atau yang tumbuh di dalamnya mendapatkan pola-pola ciri orentasi dan perilaku politik’ Secara lebih lugas Greenstein (Chilcote, 2007: 311) memberikan definisi yang tak jauh berbeda bahwa sosialisasi politik adalah “Seluruh pembelajaran politik, formal atau informal, dengan atau tanpa kesengajaan, pada setiap siklus hidup, tidak hanya
  • 4. 68 pembelajaran politik secara eksplisit namun juga pembelajaran non politik secara nominal” Levine (1982: 149) mendefinisikan sosialisasi politik merujuk pada metode di mana sebuah kebudayaan menyampaikan budaya politiknya kepada para anggotanya. Jadi sosialisasi politik memang berkaitan erat dengan budaya politik. Budaya politik dipelihara sekaligus melakukan sosialisasi politik melalui agen-agen sosialisasi politik. Hal ini sesuai dengan definisi dari Powell, Dalton dan Strom (2015:71):”Political socialization refers to the way in which political values are formed and political culture is transmitted from one generation to the next” Gabriel Almond (1993: 34) merumuskan sosialisasi politik sebagai bagian dari proses sosialisasi yang khusus membentuk nilai- nilai politik, yang menunjukkan bagaimana seharusnya masing- masing anggota masyarakat berpartisipasi dalam sistem politiknya. Terdapat dua ciri dari sosialisasi politik: 1. Sosialisasi berjalan terus menerus 2. Sosialisasi dapat berwujud transmisi dan pengajaran yang langsung maupun tak langsung Untuk dapat berjalan sebagai sebuah proses transmisi, sosialisas politik tentu saja memerlukan agen-agen. Agen-agen sosialisasi antara lain (Almond, 1993: 37-40): 1. Keluarga Keluarga merupakan agen sosialisasi politik pertama bagi semua individu. Karena itulah ia disebut agen sosialisasi politik primer. Riset oleh Robert Hess dan David Easton menemukan bahwa anak-anak belajar untuk mencintai dan mengenal pemerintah, khususnya Presiden, meskipun sebelum mereka mengenal apa itu pemerintah (Levine, 1982: 150). 2. Sekolah Bersama dengan keluarga, lembaga pendidikan formal ikut menjadi agen sosialisasi politik bagi seorang warga Negara dengan intensitas yang cukup lama, sejak Taman Kanak- kanak sampai lepas Sarjana atau sekolah menengah. Pelajar tak hanya menerima materi pelajaran yang mengenalkan
  • 5. 69 politik dan pemerintahan, tapi juga sejarah, patriotisme dan nasionalisme. Di Indonesia, berbagai kegiatan di sekolah seperti upacara bendera yang mengenalkan bendera, lagu kebangsaan, dasar Negara, atau pembukaan konstitusi bisa dibaca sebagai sosialisasi politik yang amat penting. Kurikulum di sekolah tak hanya kurikulum resmi yang diterjemahkan dalam mata pelajaran, tapi juga hidden curriculum yang diterima siswa dalam berbagai kegiatan, serta budaya di sekolah/kampus. 3. Peer Groups Peer groups merujuk kepada kelompok dimana seorang individu menjadi anggotanya. Peer groups meliputi teman bergaul, teman sekolah, teman bekerja, atau teman di lingkungan keagamaan. Segala bentuk peer groups mempengaruhi seorang individu dalam memandang politik dan pemerintahan. Definisi peer group nampaknya semakin berkembang, tak sekedar real peer groups sebagai “face-to face groups”, namun juga menjelaskan pertemanan atau kelompok di dunia maya. Perkembangan media sosial membuat berbagai individu tak saling mengenal di dunia nyata, namun berteman dan saling mempengaruhi secara amat kuat di media sosial seperti twitter atau facebook. Event politik sebagai pemilu biasanya memperkuat pengelompokan individu kedalam kelompok- kelompok yang memiliki pandangan politik serupa. 4. Pekerjaan Pekerjaan merupakan agen sosialisasi politik karena sebuah pekerjaan cenderung membentuk bahkan menuntut pandangan pekerjanya tentang politik dan pemerintahan. Secara sederhana kita bisa melihat bahwa seorang tentara akan memiliki pandangan berbeda tentang politik dan pemerintahan dengan wartawan, dosen ataupun buruh. 5. Media Massa Media massa merupakan agen sosialisasi politik terpenting. Pandangan masyarakat tentang politik dan pemerintahan amat tergantung dari media yang dikonsumsi. Sebagai contoh,
  • 6. 70 pemberitaan terus menerus tentang korupsi di tubuh pemerintah bisa membuat mereka berpikir bahwa pemerintah yang berkuasa adalah pemerintah yang korup. 6. Partai Politik dan Kelompok Kepentingan Sebagai organisasi yang memiliki ideologi dan nilai-nilai politik, maka partai politik berperan penting membentuk nilai- nilai politik dari anggotanya. Salah satu fungsi partai politik adalah melaksanakan sosialisasi politik. Namun tak hanya partai politik, kelompok kepentingan juga memiliki peran sebagai agen sosialisasi politik melalui berbagai kegiatan yang dilakukannya. 7. Kontak Politik Langsung Peristiwa politik yang melibatkan masyarakat dengan politisi, partai politik atau pemerintah akan membentuk pandangan masyarakat tentang politik dan pemerintahan. Jika dalam sebuah peristiwa masyarakat mendapatkan impresi positif, maka itu akan membentuk pandangan positif, begitu juga sebaliknya. Masyarakat yang berurusan dengan buruknya pelayanan sebuah kantor pemerintahan akan menganggap buruk pemerintah. Sebaliknya jika ia mendapatkan pelayanan yang baik, ia akan memandang positif pemerintah. Jika muncul pertanyaan agen sosialisasi mana yang paling berpengaruh? Maka jawabannya harus diletakkan pada konteks sosial politik dimana sosialisai berlangsung. Di Indonesia masa orde baru, sekolah menjadi agen sosialisasi yang amat penting, dimana nilai-nilai politik yang sesuai dengan keinginan penguasa diberikan melalui penataran P4 dan berbagai pelajaran seperti sejarah, PSPB atau Pendidikan Moral pancasila. Pada akhir dan setelah masa pemerintahan Soeharto, media massa memiliki peran penting sebagai agen sosialisasi politik. Dalam sosialisasi politik, tentu saja nilai yang masuk dan dominan tak hanya satu. Terkadang satu nilai yang didukung oleh sebuah konteks sosial tertentu tercerabut dan digantikan oleh nilai yang lain. Hal inilah yang disebut sebagai resosialisasi atau sosialisasi ulang.
  • 7. 71 Sosialisasi ulang nilai-nilai politik baru tersebut mengalami dua tahap (Almond:1993 ) 1. Desosialisasi Pencabutan nilai politik 2. Pengisian ulang dengan nilai politik yang baru Pengisian nilai politik yang baru bisa dilakukan dengan serangkaian design dari sebuah rezim berkuasa atau bisa berupa serangkaian transmisi yang tak disengaja melalui agen-agen sosialisasi politik. Sebuah contoh pengisian nilai politik sebagai design sebuah rezim penguasa adalah ketika pemerintah orde baru mewajibkan penataran P4 bagi para siswa dan mahasiswa baru. Hal ini bisa disebut sebagai pengisian ulang nilai-niai politik penguasa terhadap masyarakat. Sedangkan contoh transmisi yang tak disengaja melalui agen-agen sosialisasi politik adalah ketika masyarakat mendapatkan nilai- nilai demokrasi dari bebagai peristiwa politik dan media massa di akhir keruntuhan rezim Soeharto. Masyarakat belajar untuk menerima demokrasi sebagai sebuah nilai yang kemudian diterima di Indonesia setelah di era sebelumnya terbiasa hidup di era yang otoriter. Sosialisasi politik berhubungan erat dengan kebudayaan politik. Terdapat tiga fungsi sosialisasi politik terhadap budaya politik (Almond, 1993: 35) 1. Sosialisasi politik dapat memelihara dan mewariskan kebudayaan politik. 2. Sosialisasi Politik dapat juga merubah kebudayaan politik, yaitu bila sosialisasi itu menyebabkan penduduk, atau sebagian penduduk melihat atau mengalami kebudayaan politik yang dijalankan dengan cara lain. 3. Pada waktu terjadinya perubahan besar atau peristiwa- peristiwa luar biasa, misalnya terbentuknya Negara baru, sosialisasi politik bahkan dapat mencipatakan kebudayaan politik yang baru sama sekali.
  • 8. 72 5.3. Partisipasi Politik Huntington dan Nelson (1994: 4) mendefinisikan partisipasi politik sebagai kegiatan yang dilakukan warga negara preman (private citizen) dengan tujuan mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Partisipasi itu dapat secara spontan, secara sinambung atau sporadic, secara damai atau kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif. Ada beberapa ciri partisipasi politik: 1. Kegiatan yang dapat diamati, bukan sekedar sikap. 2. Merupakan aktivitas perorangan dalam peranan sebagai warga Negara preman, bukan sebuah aktivitas professional di bidang politik. 3. Diarahkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah baik itu kegiatan legal maupun ilegal 4. Kegiatan efektif maupun gagal terkategori partisipasi politik Dalam menganalisis tingkat-tingkat partisipasi, Huntington dan Nelson (1994: 16) membedakan dua sub dimensi: a. Lingkup Seberapa besar partisipasi yang dilakukan atau seberapa banyak pihak yang terlibat dalam partisipasi. b. Intensitas Seberapa lama dan seberapa penting sebuah partisipasi. Partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk: 1. Pemilihan Umum Partisipasi dalam pemilihan umum mungkin merupakan bentuk partisipasi politik yang paling popular. Namun dalam pemilihan umum partisipasi politik tak hanya sekedar memilih, namun juga menjadi kandidat, menyumbang untuk kandidat, terlibat dalam kampanye dan segala bentuk tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil pemilihan. 2. Lobbying (Lobi)
  • 9. 73 Lobi adalah upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin- pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan- keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang. 3. Kegiatan Organisasi Partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organisasi yang tujuan utamanya dan eksplisit adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. 4. Mencari Koneksi (contacting) Merupakan tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya satu atau segelintir orang. 5. Tindak Kekerasan (Violence) Merupakan upaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadap orang-orang atau harta benda. Kekerasan dapat ditujukan untuk mengubah pimpinan politik (kudeta, pembunuhan), mempengaruhi kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah (huru hara, pemberontakan), atau mengubah sistem politik (revolusi).
  • 10. 74 Partisipasi Politik dapat dikategorikan a. Berdasarkan kesadaran politik (Huntington dan Nelson, 1994:9) : 1. Otonom Partisipasi dilakukan atas dasar kesadaran sendiri 2. Mobilisasi Partisipasi dilakukan berdasarkan anjuran, ajakan atau paksaan pihak lain Namun harus disadari bahwa partisipasi politik otonom maupun dimobilisasi bukanlah sesuatu yang dikotomis, tapi merupakan sebuah spektrum. Karena banyak sekali bentuk partisipasi yang bersifat arbitrer, berada diantara partisipasi politik otonom atau mobilisasi. Sebagai contoh, sulit untuk mengatakan bahwa peserta kampanye partai politik dalam sebuah pemilu betul-betul otonom atau betul-betul dimobilisasi. Bisa jadi ia ikut berkampanye karena kesadaran namun menerima berbagai atribut dan fasilitas bahkan uang dari partai pelaksana kampanye. Sumber: Antara, 2016 Gambar 5.1. Partisipasi Politik Melalui Kekerasan (Teror)
  • 11. 75 Dimungkinkan juga terdapat pergeseran dari satu bentuk mobilisasi ke bentuk yang lain. Seseorang yang terlibat kampanye karena sekedar ingin mendapatkan keuntungan (dimobilisasi) dapat menjadi diinternalisasikan sehingga kemudian menjadi otonom, dan begitu juga sebaliknya. Partisipasi politik dalam pemilu (Voter turnout) di Indonesia amatlah tinggi, namun menurun ketika reformasi terjadi. Tingginya partisipasi politik dalam pemilu-pemilu orde baru bisa dipahami sebagai kuatnya mobilisasi pemerintah orde baru mendorong partisipasi politik (yang dimobilisasi) dengan memaknai memilih sebagai kewajiban. Namun ketika kebebasan dilindungi dan memilih dipandang sebagai hak, maka banyak warga yang tidak menggunakannya. b. Berdasarkan Saluran Politik Berdasarkan bentuk dan saluran politik, Almond (1993: 46-47) membagi partisipasi politik kedalam partisipasi konvensional dan partisipasi non konvensional. 1. Partisipasi Konvensional Partisipasi ini dilakukan dengan saluran resmi dan dalam bentuk yang normal dalam demokrasi modern. 2. Non Konvensional Partisipasi ini dilakukan melalui sarana tidak resmi dan dalam bentuk yang tidak normal. Berikut tabel bentuk partisipasi politik Almond yang dijelaskan oleh Huntington dan Nelson:
  • 12. 76 Partisipasi Politik Konvensional Partisipasi Politik Non Konvensional • Pemberian Suara • Diskusi Politik • Kampanye • Membentuk dan Bergabung dengan Kelompok Kepentingan • Komunikasi dengan pejabat politik dan administratif • Pengajuan Petisi • Demonstrasi • Konfrontasi • Mogok • Kekerasan Politik Terhadap Harta Benda (perusakan, pemboman) • Kekerasan politik terhadap manusia (penculikan, penyiksaan, pembunuhan) • Perang Gerilya, Revolusi Dengan menggunakan analogi pada event gladiator di masa Romawi Kuno, Mibrath and Goel membagi pihak yang melakukan partisipasi politik kedalam tipe: 1. Apathetics Orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik. 2. Spectators Orang yang setidak-tidaknya pernah memilih dalam Pemilu. 3. Gladiators Mereka yang secara aktif terlibat dalam proses politik: Kounikator, aktivis partai, pekerja kampanye dan aktivis masyarakat. Tabel 5.1. Tipologi Partisipasi Politik Sumber: Huntington & Nelson (1994)
  • 13. 77 Tiga tipe tersebut digambarkan dalam sebuah piramida berikut: Sedangkan Olsen membagi partisipasi politik sebagai dimensi stratifikasi sosial (Surbakti, 2010: 183) 1. Pemimpin Politik 2. Aktivis Politik 3. Komunikator 4. Warga Negara Marginal Gladiators Spectators Apathetics Gambar 5.2 Tipologi Partisipasi Politik Sumber: Mibrath and Goel, 1977.
  • 14. 78 5. Orang yang Terisolasikan Paige (Surbakti, 2010: 184) memberikan model partisipasi politik berdasarkan kepercayaan dan tingkat partisipasi. Kesadaran dan kepercayaan yang tinggi akan menumbuhkan partisipasi aktif. Kepercayaan yang tinggi jika disertai dengan kesadaran yang rendah akan menimbulkan partisipasi yang pasif. Kesadaran dan kepercayaan yang rendah akan menimbulkan sikap apatis. Sementara, kepercayaan rendah disertai kesadaran yang tinggi akan menumbuhkan partisipasi militan-radikal. Karakter partisipasi politik di Negara demokrasi dan Negara otoriter amat berbeda. Di Negara demokratis, partisipasi politik bisa bersifat otonomi atau dimobilisasikan. Namun di Negara otoriter, partisipasi biasanya dimobilisasi. Dalam pemilu misalnya, jumlah pemilu sepintas terlihat tinggi, namun memilih dalam pemilu dianggap kewajiban yang jika tak melaksanakan atau memilih tak sesuai keinginan pemimpin otoriter memiliki konsekuensi tertentu. Di Negara otoriter, ada beberapa bentuk cara yang digunakan untuk mengontrol partisipasi politik. Dua diantaranya adalah membangun hubungan patron-client dan korporatisme. Hubungan patron-client didefiniskan oleh Scott (1972) sebagai ”A special case of dyadic ties involving a largely instrumental friendship in which an individual of higher socioeconomic status (patron) ises his own influence and resources to provide protection or benefir, or both, for a person of lower status (client) who, for his part, reciprocates by offering general support and assistance, including personal service, to the patron. (kasus khusus dari hubungan dua pihak yang melibatkan sebagian besar persahabatan instrumental di mana seorang individu dari status sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya sendiri untuk memberikan perlindungan atau manfaat, atau keduanya, untuk
  • 15. 79 orang dari status yang lebih rendah (klien) yang, kemudian klien membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan, termasuk layanan pribadi, untuk patron) Salah satu bentuk service yang diberikan oleh client terhadap patron adalah political service menjadi tim kampanye atau pemenangan. Dalam bentuk ini, partisipasi politik klien ditentukan oleh keinginan dan tujuan sang patron. Sementara, korporatisme didefinisikan sebagai sistem perantaraan kepentingan menghubungkan kelompok kepentingan dan negara, di mana organisasi kepentingan diakui secara eksplisit dan dimasukkan ke dalam proses pembuatan kebijakan, baik dari segi negosiasi kebijakan dan mengamankan kepatuhan dari anggota mereka dengan kebijakan yang telah disepakati (McLean dan McMillan, 2009: 120). Dalam korporatisme, negara membuat kanal-kanal kelompok kepentingan berdasarkan kepentingan di masyarakat dalam bentuk organisasi resmi yang diakui. Organisasi kepentingan, selain organisasi resmi tersebut dilarang keberadaannya. Sebagai contoh, di era Orde Baru kelompok buruh diwakili Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), petani diwakili oleh Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), atau guru diwakili Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Kebijakan korporatisme membuat negara dapat mengontrol partisipasi warga masyarakat melalui kelompok kepentingan. Dalam negara demokrasi partisipasi politik terbentuk oleh opini publik. Opini publik adalah sikap dan keyakinan yang dipegang masyarakat tentang hal-hal yang menjadi perhatian publik (Levine, 1982: 153). Dalam pemilu misalnya masyarakat memiliki opini tertentu tentang nama-nama kandidat maupun partai politik. Opini yang terbentuk baik positif maupun negatif terbentuk melalui berbagai sosialisasi politik mapun budaya politik dalam masyarakat.
  • 16. 80 Opini publik diukur melalui survey yang bertujuan mengetahui preferensi publik, baik terhadap isu-isu maupun kandidat tertentu. Hasil survey opini publik bisa digunakan sebagai peta dasar untuk membuat strategi politik. (Selengkapnya baca di Bab Komunikasi Politik) Selain berbagai bentuk partisipasi, para scholars juga mengembangkan kajian tentang level partisipasi. Hasil kajian yang amat terkenal adalah tangga partisipasi dari Arnstein (1969). Ia membagi level partisipasi kedalam delapan anak tangga yang terkategorikan ke dalam tiga kelompok besar. Kelompok pertama adalah non-participation yang terdiri dari (1) Manipulation dan (2) Therapy. Kelompok kedua adalah tokenism yang terdiri dari (3) informing (4) consultation dan (5) Placation. Level tertinggi berada dalam kelompok ciizen power yang terdiri dari (6) Partnership (7) Delegated power, dan (8) Citizen control. Kelompok pertama (dari bawah) disebut non-participation karena di level ini tidak terdapat partisipasi warga negara. Jikapun seakan terdapat partisipasi, maka partisipasi tersebut adalah semu atau palsu (pseudo). Dua tipe dalam kategori non-participation ini adalah manipulation dan Therapy. Manipulation (manipulasi) adalah aktivitas penguasa untuk membuat seolah-olah terdapat partisipasi, namun sesungguhnya partisipasi tersebut tidak bermakna bahkan merupakan bentukan dari penguasa untuk melegitimasi kebijakan atau program mereka. “In the name of citizen participation, people are placed on rubberstamp advisory committees or advisory boards for the express purpose of “educating” them or engineering their support.” (Arnstein, 1969:218) Dalam anak tangga therapy (terapi), pelibatan masyarakat dianggap sebagai pengobatan bagi tidak dimilikinya kekuasaan oleh masyarakat (powerlessness) yang disinonimkan sebagai mental illness. Pelibatan masyarakat (secara semu) adalah upaya untuk mengobati masyarakat.
  • 17. 81 Kelompok kedua disebut tokenisme yang bisa dimaknai sebagai aktivitas yang formalistik belaka. Dalam anak tangga informing, masyarakat dilibatkan sebagai penerima informasi. Dimana informasi berlangsung searah dari apparat pemerintah kepada masyarakat melalui: “a one-way flow of information from officials to citizens-with no channel provided for feedback and no power for negotiation.” (Arnstein,1969: 219) Anak tangga selanjutnya adalah consultation, di mana suara masyarakat dapat disalurkan melalui berbagai survey atau pertemuan warga, namun tidak ada jaminan bahwa suara masyarakat tersebut ditindaklanjuti. Level selanjutnya adalah Placation (mendiamkan), yaitu partisipasi yang dianggap memadai sehingga membuat masyarakat terlibat merasa memiliki akses ke pengambilan keputusan, walaupun keputusan pada akhirnya tetap berada di pemerintah. Kelompok tertinggi adalah citizen power. Dalam kategori ini, level pertama adalah partnership (kemitraan), dimana masyarakat berada dalam posisi sejajajar sebagai mitra pemerintah. Arnstein (1969: 220) menyampaikan “Power is in fact redistributed through negotiation between citizens and powerholders. They agree to share planning and decision-making responsibilities through such structures as joint policy boards, planning committees and mechanisms for re- solving impasses. After the groundrules have been established through some form of give-and-take, they are not subject to unilateral change” Tangga ke-7 adalah delegated power. Dalam anak tangga ini masyarakat tidak hanya terlibat dan sejajar dengan pemerintah, namun mendominasi pembuatan kebijakan. Forum-forum kemitraan didominasi oleh masyarakat sehingga keputusan akan berpihak kepada mereka.
  • 18. 82 Tertinggi adalah citizen control, dimana masyarakat betul- betul mengendalikan program yang dilaksanakan pemerintah. Katakanlah dalam sebuah komunitas tertentu, program-program yang dilaksanakan di sana betul-betul dikontrol oleh masyarakat sehingga sesuai dengan kebutuhan mereka. Sementara itu, berdasarkan kepentingan dalam partisipasi, membagi partisipasi ke dalam empat level: 1. Partisipasi Nominal, yaitu partisipasi warga yang sering digunakan oleh aktor yang lebih berpengaruh untuk memberikan legitimasi terhadap rencana pembangunan. 2. Partisipasi Instrumental, yaitu partisipasi masyarakat yang digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan dimana Sumber: Arnstein, S. (1969) ‘A ladder of citizen participation’, Journal of the American Institute of Planners 35.4: 216–224 Gambar 5.3. Tangga Partisipasi Politik Arnstein
  • 19. 83 penggunaan keterampilan dan pengetahuan anggota masyarakat digunakan secara efisien dalam pelaksanaan proyek. 3. Partisipasi Perwakilan, dimana anggota masyarakat dilibatkan dalam proses pembuatan keputusan dan pelaksanaan proyek atau kebijakan. Untuk partisipasi perwakilan yang lebih kuat, hal ini dapat meningkatkan peluang intervensi mereka secara berkelanjutan, sementara bagi yang kurang kuat, ini mungkin menjadi pintu bagi pemanfaatan masyarakat. 4. Partisipasi Transformatif yaitu partisipasi yang menghasilkan pemberdayaan (empowerment) dari mereka yang terlibat, dan akibatnya mengubah struktur dan institusi yang awalnya bersifat memarginalkan dan mengucilkan. Dalam bagan di bawah ini, partisipasi bisa dilihat dari dimensi kepentingan, baik secara top down maupun bottom up. Tabel 5.2 Kepentingan dalam Partisipasi Bentuk Top-Down Bottom-Up Fungsi Nominal Legitimation (Legitimasi) Inclusion (Keterlibatan) Display (Menampikan) Instrumental Efficiency (Efisiensi) Cost (Biaya) Means (Sarana) Representative Sustainibility (Berkelanjutan) Leverage (Pengungkit) Voice (Aspirasi) Transformative Empowerment (Pemberdayaan) Empowerment (Pemberdayaan) Sarana/Tujuan Akhir Sumber: Sarah C White, Development in Practice Volume 6, Number 1, 1996: 142-155