4. iii
Penasihat : Direktur Jenderal P2P
Sekretaris Ditjen P2P
Penanggung Jawab : Kepala Bagian Hukormas
Redaktur : Zamora Bardah, SH, MKM
drg. Yossy Agustina, MH.Kes
Ikron, SKM, MKM
drg. Resi Arisandi, MH, MM
Ahmad Ariffurohman, SH, MH
Penyunting/Editor : Dr. dr. Toni Wandra, M.Kes, Ph.D
Juni Purnomowati, SH, M.Si
Devy Nurdiansyah, AMKL
Sanitas L Tobing
Fotografer : Bukhari Iskandar, SKM
Hilwati, SKM, M.Kes
Sri Sukarsih, Amd
Sekretariat : Dr. Suwito, SKM, M. Kes
Mugi Wahidin, SKM, M.Epid
Lasmaria Marpaung, SKM
Dody Arek Purnomo, SE
Sri Sulastriningsih, Amd
Rr. Trihastati R H
Penerbit : Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit
Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560
Telp/Fax: (021) 4225451
email: humas.p2pl@gmail.com
website: www.pppl.depkes.go.id
facebook: Direktorat Jenderal Pencegahan
Pengendalian Penyakit
JURNAL PENCEGAHAN DAN
PENGENDALIANPENYAKIT
DEWAN REDAKSI
Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
5.
6. v
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan karunia-Nya sehingga
Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dapat diterbitkan demi memenuhi kebutuhan
pembacadalampengembanganilmupengetahuandibidangkesehatankhususnyapengendalian
penyakit, baik yang menular maupun tidak menular di Indonesia.
JurnalPencegahandanPengendalianPenyakitinimerupakanedisi6yangterbitdipenghujung
tahun 2016. Jurnal ini diterbitkan dengan tujuan dapat mempublikasikan hasil penelitian, karya
ilmiah dan review terkait dengan program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Diharapkan
jurnal ini dapat bermanfaat bagi para pembaca yang ingin mengetahui perkembangan terbaru
tentang program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan jurnal ini.
Kritik dan saran yang membangun kami harapkan demi penyempurnaan dan kemajuan jurnal
ini.
Akhir kata, semoga jurnal ini dapat memberikan motivasi dan dorongan, serta bermanfaat
bagi kita semua.
KATA PENGANTAR
Jakarta, Desember 2016
Direktur Jenderal P2P
dr. H. Mohamad Subuh, MPPM
Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
7.
8. vii
DAFTAR ISI
Halaman
Determinan Perilaku Kejadian Tuberkulosis di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah,
2015 ........................................................................................................................................................................ 1 - 7
Pengaruh Kebiasaan Merokok Terhadap Kadar Karbon Monoksida dalam Paru
Pengemudi Bus di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, 2016 .......................................................... 8 - 12
Deteksi Dini Kesehatan Jiwa pada Siswa di Tiga Sekolah Menengah Atas dan
Kejuruan di Jakarta Tahun 2015 ................................................................................................................. 13 -18
Pemanfaatan Instalasi Biogas Skala Rumah Tangga di Kelurahan Banjar Sari,
Kota Metro, Lampung, 2013-2016 ............................................................................................................. 19 - 25
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Cakupan Deteksi Dini Kanker Leher
Rahim dan Kanker Payudara di Indonesia, 2015 ................................................................................. 26 - 31
Efikasi Kelambu Berinsektisida Setelah Pencucian Berulang Hingga 20 Kali
Terhadap Nyamuk Anopheles aconitus, 2016 ....................................................................................... 32 - 37
Gambaran Kualitas Makanan di Kantin Sekolah Dasar di Jakarta Timur, 2015 ...................... 38 - 42
Program Skrining Tuberkulosis pada Pasien Diabetes Melitus di Puskesmas,
Denpasar, Bali, 2016 ......................................................................................................................................... 43 - 49
Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
9.
10. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 1
1 | P a g e
Determinan Perilaku Kejadian Tuberkulosis di Kabupaten Kendal,
Jawa Tengah, 2015
The Behavioral Determinants of Tuberculosis in Kendal District, Central Java, 2015
Agustina Ayu Wulandari, Anita Dianawati, Nurjazuli, M Sakundarno
Dinas Kesehatan Kabupaten Kendal, Jawa Tengah
Abstrak
Tuberkulosis paru (TB) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah yang
ditandai dengan masih tingginya angka kesakitan dan kematian. Faktor risiko kejadian TB yang sangat penting adalah
perilaku penderita TB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor perilaku yang berhubungan dengan kejadian TB di
Kabupaten Kendal, Jawa Tengah tahun 2015. Desain penelitian adalah case control dengan jumlah sampel sebanyak 65 kasus
dan 65 kontrol. Jenis data adalah data primer yang diperoleh dari hasil wawancara menggunakan kuesioner dan hasil
pemeriksaan BTA. Analisis data yang digunakan adalah univariat, bivariat dan multivariat. Analisis bivariat menggunakan uji
chi square untuk mengetahui faktor perilaku yang berhubungan dengan kejadian TB, sedangkan analisis multivariat
menggunakan regresi logistik ganda untuk mengetahui faktor perilaku yang paling dominan terhadap kejadian TB. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan (p<0,05) antara kebiasaan membuang dahak sembarang
tempat, kebiasaan batuk/bersin tanpa menutup mulut dan kebiasaan tidak membuka jendela. Berdasarkan hasil analisis
multivariat, faktor risiko perilaku yang dominan berhubungan dengan kejadian TB adalah kebiasaan batuk/bersin tanpa
menutup mulut (OR=9,14; 95%CI=2,69-30,99), diikuti kebiasaan membuang dahak sembarang tempat (OR=4,40; 95%
CI=1,32-14,66). Oleh karena itu perlu dipertimbangkan adanya tempat khusus untuk mengeluarkan dahak di puskesmas
yang lokasinya tidak berdekatan dengan tempat berkumpulnya pasien, mendapat sinar matahari yang cukup, dan sirkulasi
udara yang baik. Petugas puskesmas perlu menggunakan alat pelindung diri (masker) agar terhindar dari penularan TB.
Selain itu, semua pihak terkait perlu lebih meningkatkan upaya sosialisasi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS),
khususnya tentang perilaku buang dahak dan batuk/bersin agar masyarakat membudayakan PHBS dalam kehidupan sehari-
hari. Selain itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan memperhitungan faktor lain yang berhubungan dengan
kejadian TB di Kabupaten Kendal sebagai variabel confounding.
Kata kunci : Determinan perilaku, tuberkulosis, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah
Abstract
Pulmonary tuberculosis (TB) is still a public health problem in Kendal Distric, Central Java Province, which is characterized by a
high rate of morbidity and mortality. Avery important risk factor of the incidence of TB is the behavior of people with TB. This
study aimed to determine the behavioral factors associated with the incidence of TB in Kendal Distric, Central Java in 2015. The
design was case control study with a sample size of 65 cases and 65 controls. The type of data was primary data obtained from
interviews using a questionnaire and the results of smear examination. The applied data analyses were univariate, bivariate and
multivariate analyses. The bivariate analysis used chi-square test to determine behavioral factors associated with the incidence
of TB, whereas the multivariate analysis used multiple logistic regressions to determine the behavior of the most dominant factor
of TB incidence. The results showed that there was significant relationship (p <0.05) between the habit of throwing phlegm just
anywhere, the habit of coughing/sneezing without covering their mouths and the habit of not opening the windows. Based on the
results of multivariate analysis, the dominant behavioral risk factor associated with the incidence of TB was the habit of
coughing/sneezing without covering their mouths (OR = 9.14; 95% CI = 2.69-30.99), followed by the habit of throwing phlegm
just anywhere (OR = 4.40; 95% CI = 1.32-14.66). Therefore, it should be considered to provide a special place to remove phlegm in
health centers, which is located not near the gathering place for patients, which gets enough sunlight and good air circulation.
Public health center officers need to use personal protective equipment (mask) in order to avoid transmission of TB. In addition,
all parties involved need to further enhance dissemination efforts ofClean and Healthy Lifestyle Behavior (PHBS), particularly
concerning the behavior of hawking phlegm and coughing/sneezing so that people cultivate PHBS in everyday life. In addition, it
is necessary to conduct further research by taking into account other factors associated with the incidence of TB in Kendal Distric
as confounding variables.
Keywords: Behavioral determinant, tuberculosis, Kendal District, Central Java
Alamat Korespondensi: Anita Dianawati, Dinas Kesehatan
Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, email:
anitadnwt@gmail.com
PENDAHULUAN
Tuberkulosis paru (TB) adalah penyakit
tropis infeksi yang menyerang paru yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
11. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit2
2 | P a g e
Penyakit ini merupakan salah satu penyakit
menular penyebab kematian tertinggi di dunia.
Berdasarkan Laporan Badan Kesehatan Dunia
(WHO) tahun 2014, pada tahun 2013
diperkirakan sebanyak 9 juta kasus TB di dunia
dan 1,5 juta diantaranya meninggal karena TB.
Indonesia merupakan negara dengan
penderita TB ke-5 terbanyak di dunia setelah
India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria.
Diperkirakan setiap tahun ada sebanyak
429.730 kasus baru dengan 62.246 kematian,
dan insidensi TB BTA positif sekitar 102 per
100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2011).
Penemuan kasus baru TB BTA positif (Case
Detection Rate) di Provinsi Jawa Tengah
menunjukkan adanya peningkatan, yaitu dari
55,38% (2010) menjadi 59,52% (2011)..
Namun demikian, CDR tahun 2012 dan 2013
sedikit menurun dibandingkan dengan CDR
tahun 2011, yaitu 58,45% (2012) dan 58,86%
(2013). Berdasarkan Profil Kesehatan Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2014,
Kabupaten Kendal menempati urutan ke-12
dalam penemuan kasus TB. Peningkatan CDR
di Kabupaten Kendal terjadi tahun 2014
dibandingkan dengan CDR tahun 2013 dan
2012, yaitu 54,64% (2014), 43,98% (2013) dan
49,03% (2012) (Dinkes Kendal, 2015).
Angka kematian TB di Kabupaten Kendal
tahun 2012-2014 berfluktuasi, yaitu dari 4,6%
(2012) , turun menjadi 2,9% (2013), dan naik
kembali menjadi 5,3% (2014) (Dinkes Kendal,
2015).
Bila ditinjau aspek epidemiologis, timbulnya
suatu penyakit (dalam hal ini TB) dipengaruhi
oleh tiga faktor yaitu agent, host, dan
lingkungan (Hadisaputro et al. 2011). Manusia
(host) merupakan sumber penularan bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Terjadinya
penularan dimulai pada saat penderita TB paru
batuk atau bersin. Penyebaran bakteri dari
penderita TB ke udara yaitu dalam bentuk
percikan dahak, sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
Untuk setiap penderita TB BTA (+) berpotensi
menularkan kepada 10-15 orang lain per
tahun, sehingga kemungkinan setiap orang
yang kontak dengan penderita TB akan tertular
(Depkes 2008, Padmanesan et al. 2013).
Bersin merupakan proses membuang
cairan/lendir dari rongga hidung ke udara
bebas. Apabila dalam butiran lendir
mengandung kuman TB dan penderita tidak
menutup hidung dan mulut pada saat bersin,
maka dapat menularkan TB ke orang lain.
Faktor risiko kejadian TB meliputi faktor
perilaku, lingkungan, dan pelayanan kesehatan.
Adapun faktor perilaku terdiri dari kebiasaan
merokok, meludah atau membuang dahak di
sembarang tempat, batuk atau bersin tidak
menutup mulut, dan kebiasaan tidak membuka
jendela (Ahmadi, 2005). Hasil wawancara
dengan penderita TB Paru di klinik sanitasi
puskesmas tahun 2013 menunjukkan bahwa
dari 473 penderita TB, sebesar 50,95 % adalah
perokok, 67,75% meludah atau membuang
dahak tidak pada tempat khusus, dan 68,5%
tidak menutup mulut pada saat batuk atau
bersin.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan faktor perilaku dan
kejadian TB pada tahun 2015.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian analitik
observasional dengan menggunakan desain
case control. Variabel bebas terdiri dari
kebiasaan merokok, meludah atau membuang
dahak di sembarang tempat, batuk atau bersin
tidak menutup mulut, dan kebiasaan tidak
membuka jendela, variabel terikat adalah
kejadian TB.
Jumlah sampel terdiri dari 65 kasus dan 65
kontrol. Kasus adalah penderita TB dengan
BTA (+) yang berobat di puskesmas periode
Januari-Februari 2015, sedangkan kontrol
adalah pasien yang berobat di puskesmas
dengan BTA (-) periode waktu yang sama.
Pemeriksaan klinis dilakukan oleh dokter atau
petugas puskesmas dan pemeriksaan dahak
dilakukan di laboratorium puskesmas.
Kriteria inklusi kasus adalah: 1) Pasien
tercatat pada register TB 03 puskesmas dan
didiagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan
dahak di laboratorium puskesmas sebagai
kasus baru TB BTA (+), bersedia diwawancarai
,sebagai responden penelitian, dan berdomisili
di wilayah kerja puskesmas. Kriteria eksklusi
kasus adalah: 1) Responden sulit ditemui atau
meninggal dunia; dan 2) Responden berpindah
tempat tinggal ke luar wilayah kerja
puskesmas.
12. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 3
3 | P a g e
Analisis data menggunakan analisis univariat,
bivariat dan multivariat. Analisis univariat
untuk mengetahui distribusi frekuensi
responden menurut karakteristik (jenis
kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status
gizi, dan status imunisasi BCG), dan menurut
kebiasaan (merokok, membuang dahak,
batuk/bersin, dan membuka jendela). Analisis
bivariat menggunakan chi square untuk
mengetahui hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen
sedangkan analisis multivariat menggunakan
HASIL
Distribusi frekuensi responden menurut
karakteristik dan kebiasaan responden pada
kasus dan kontrol di Kabupaten Kendal tahun
2015 dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2
Tabel 1. Distribusi frekuensi responden menurut karakteristik pada kasus dan kontrol di Kabupaten
Kendal tahun 2015
No Karakteristik Kategori
Kasus Kontrol
n % n %
1. Jenis kelamin Laki-laki 33 50,8 44 67,7
Perempuan 32 49,2 21 32,3
2. Tingkat pendidikan SD 18 27,7 19 29,2
SLTP 24 36,9 25 38,5
SLTA 23 35,4 21 32,3
3. Pekerjaan Petani 16 24,6 13 20,0
Nelayan 4 6,2 11 16,9
Pedagang 14 21,5 12 18,5
PNS 5 7,7 2 3,1
Buruh 11 16,9 11 16,9
Karyawan Swasta 15 23,1 16 24,6
4. Status gizi Tidak normal 41 63,1 36 55,4
Normal 24 36,9 29 44,6
5. Status imunisasi BCG Tidak ada 9 13,8 7 10,8
Ada 56 86,2 58 89,2
regresi logistik ganda untuk mengetahui faktor
perilaku yang paling dominan terhadap
kejadian TB.
Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar
kelompok kasus dan kontrol adalah laki-laki
(50,8% dan 67,7%), tingkat pendidikan SLTP
(36,9% dan 38,5%), pekerjaan sebagai petani
(24,6% dan 20,0%), status gizi tidak normal
(63,1% dan 55,4%), diimunisasi BCG (86,2%
dan 89,2%).
Tabel 2. Distribusi frekuensi responden menurut kebiasaan responden pada kasus dan kontrol di
Kabupaten Kendal tahun 2015
No. Kebiasaan Kategori
Kasus Kontrol
N % n %
1. Merokok Ya 24 36,9 16 24,6
Tidak 41 63,1 49 75,4
13. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit4
4 | P a g e
2. Membuang dahak Tempat terbuka 55 84,6 25 38,5
Tempat tertutup 10 15,4 40 61,5
3 Batuk/bersin Tanpa menutup mulut 59 90,8 18 27,7
Menutup mulut 6 9,2 47 72,3
4 Membuka jendela Tidak membuka
Membuka
44
21
67,7
32,3
31
34
47,7
52,3
Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar
kelompok kasus tidak mempunyai kebiasaan
merokok (63,1%), membuang dahak di tempat
terbuka (84,6%), batuk/bersin tidak menutup
mulut (90,8%), dan tidak membuka jendela
(67,7%), sedangkan pada kelompok kontrol,
sebagian besar tidak mempunyai kebiasaan
merokok (75,4%), membuang dahak di tempat
tertutup (61,5%), batuk/bersin menutup mulut
(72,3%), dan membuka jendela (52,3%)
Berdasarkan hasil analisis bivariat,
hubungan variabel independen dengan
kejadian TB di Kabupaten Kendal tahun 2015
sebagaimana terlihat pada Tabel 3
Berdasarkan Tabel 3, variabel-variabel yang
menunjukkan hubungan yang signifikan
(p<0,05) dengan kejadian TB di Kabupaten
Kendal tahun 2015 adalah kebiasaan
membuang dahak di sembarang tempat
(OR=8,80; 95%CI=3,80-20,36), kebiasaan
batuk/bersin tanpa menutup mulut (OR=25,68;
95%CI=9,44-3,82), dan kebiasaan tidak
membuka jendela (OR=2,30; 95%CI=1,13-
4,68), sedangkan variabel yang tidak
menunjukkan hubungan yang signifikan
(p>0,05) adalah kebiasaan merokok.
Hasil analis multivariat dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 3. Hubungan variabel independen dengan kejadian TB di Kabupaten Kendal
tahun 2015
No. Variabel independen
Kejadian TB
p OR 95%CI
1. Kebiasaan merokok 0,183 1,79 0,841-3,820
2. Kebiasaan membuang dahak
sembarang tempat
<0,001 8,80 3,80-20,36
3. Kebiasaan batuk/bersin tanpa
menutup mulut
<0,001 25,68 9,44-69,81
4. Kebiasaan tidak membuka jendela 0,033 2,30 1,13-4,68
Tabel 4. Hasil analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik ganda untuk
mengetahui faktor perilaku yang paling dominan berhubungan dengan kejadian TB di
Kabupaten Kendal tahun 2015
No. Variabel β p OR 95% CI
1. Kebiasaan membuang
dahak sembarang
tempat
1,482 0,016 4,40 1,32-14,66
2. Kebiasaan batuk/bersin
tanpa menutup mulut
2,212 <0,001 9,14 2,69-30,99
Tabel 4 menjelaskan bahwa variabel paling
dominan berhubungan dengan kejadian TB di
Kabupaten Kendal adalah kebiasaan
batuk/besin tanpa menutup mulut (OR=9,14;
95%CI=2,69-30,99), diikuti kebiasaan
14. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 5
5 | P a g e
membuang dahak sembarang tempat (tempat
terbuka) (OR=4,40; 95% CI=1,32-14,66).
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar
responden pada kelompok kasus dan kontrol
adalah laki-laki, tingkat pendidikan SLTP,
petani, status gizi tidak normal, dan
diimunisasi BCG (Tabel 1).
Status gizi responden ditentukan
berdasarkan hasil pehitungan Indeks Massa
Tubuh (IMT), yaitu berat badan (dalam
kilogram) dibagi tinggi badan kuadrat (dalam
meter), sedangkan status imunisasi BCG
responden diketahui dengan melihat tanda
bekas imunisasi BCG pada pangkal lengan atas.
Pada kelompok kasus yang tidak ada bekas
imunisasi BCG sebanyak 9 orang (13,8%) dan
kelompok kontrol yang tidak ada bekas
imunisasi sebanyak 7 orang (10,8%) .
Pada kelompok kasus sebagian besar tidak
mempunyai kebiasaan merokok, membuang
dahak di tempat terbuka, batuk/bersin tidak
menutup mulut, dan tidak membuka jendela,
Pada kelompok kontrol, sebagian besar tidak
mempunyai kebiasaan merokok, membuang
dahak di tempat tertutup, batuk/bersin
menutup mulut, dan membuka jendela (Tabel
2).
Variabel-variabel yang menunjukkan
hubungan yang signifikan (p<0,05) dengan
kejadian TB di Kabupaten Kendal tahun 2015
adalah kebiasaan membuang dahak di
sembarang tempat, kebiasaan batuk/bersin
tanpa menutup mulut, dan kebiasaan tidak
membuka jendela, sedangkan variabel yang
tidak menunjukkan hubungan yang signifikan
(p>0,05) adalah kebiasaan merokok (Tabel 3).
Variabel paling dominan berhubungan
dengan kejadian TB di Kabupaten Kendal
adalah kebiasaan batuk/bersin tanpa menutup
mulut (OR=9,14; 95%CI=2,69-30,99), diikuti
kebiasaan membuang dahak sembarang
tempat (tempat terbuka) (OR=4,40; 95%
CI=1,32-14,66) (Tabel 4). Hal ini menunjukkan
bahwa kebiasaan batuk/bersin tanpa
menutup mulut mempunyai risiko 9 kali lebih
tinggi terhadap kejadian TB dibandingkan
dengan kebiasaan batuk/bersin menutup
mulut, sedangkan kebiasaan membuang dahak
sembarang tempat (tempat terbuka)
mempunyai risiko 4 kali lebih tinggi terhadap
kejadian TB dibandingkan dengan kebiasaan
membuang dahak di tempat tertutup.
Kebiasaan batuk/bersin tanpa menutup
mulut sangat berisiko terhadap penularan TB.
Penularan terjadi dalam ruangan dimana
droplet nuklei dapat tinggal di udara dalam
jangka waktu yang lama. Droplet nuklei dapat
tergantung di udara selama beberapa jam.
(Atmosukarto dan Soewati, 2000).
Risiko infeksi sangat tinggi apabila kontak
dekat dengan penderita TB. Satu penderita TB
dapat menyebarkan bakteri M.tuberculosis
kepada 10 orang lain (yang mungkin tinggal
dalam satu rumah). Hasil ini sesuai dengan
penelitian Helper (2010), bahwa penderita TB
yang mempunyai kebiasaan sering tidak
menutup mulut saat batuk, dapat menularkan
TB pada orang-orang yang sehat di sekitarnya.
Untuk mengetahui potensi penularan TB BTA
(+) dilakukan dengan contact tracing pada
keluarga kasus TB BTA (+), yaitu dengan
mengambil sampel dahak anggota keluarga
kontak serumah yang terindikasi batuk
berdahak dan berumur ≥15 tahun (suspek).
Pada penelitian ini, 65 kasus TB BTA
(+),jumlah sampel dahak yang diambil pada
keluarganya yaitu sebanyak 44, sedangkan
untuk 21 kasus TB BTA (+) lainya tidak
ditemukan adanya suspek pada keluarganya,
sehingga sampel dahak tidak diambil. Hal ini
kemungkinan karena penularan TB ke anggota
keluarga belum terjadi, mengingat kasus dalam
penelitian ini merupakan kasus baru.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak secara
mikroskopis, sebanyak 3 (4,6%) menunjukkan
hasil BTA (+).
Risiko penularan TB tergantung pada tingkat
paparan percikan dahak dari penderita TB BTA
(+), lama paparan, dan kondisi tubuh orang
yang terpapar.
Selain itu, membuang dahak pada tempat
terbuka berisiko terhadap kejadian TB, karena
kuman M. tuberkulosis dapat bertahan di udara
selama beberapa jam, kecuali ada sinar
matahari, sehingga berpotensi menginfeksi
seseorang bila droplet tersebut terhirup dan
masuk kedalam saluran pernafasan. (WHO,
1997). Hal ini sesuai dengan pendapat Crofton
et al. (2002), bahwa batuk, berbicara dan
meludah memproduksi percikan sangat kecil,
berisi bakteri TB yang melayang-layang di
15. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit6
6 | P a g e
udara. Bakteri ini dapat terhirup dan
menyebabkan penyakit. Hasil pemeriksaan
dahak secara mikroskopis, sebanyak 3 (4,6%)
menunjukkan hasil BTA (+) membuktikan teori
bahwa pasien TB Paru dengan BTA positif
memberii kemungkinan risiko penularan lebih
besar dari pasien TB paru BTA negatif. Makin
tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak makin menular pasien tersebut
(Kemenkes, 2011).
KESIMPULAN
1. Faktor-faktor yang menunjukkan hubungan
yang signifikan (p<0,05) dengan kejadian
TB di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah tahun
2015 adalah kebiasaan membuang dahak
di sembarang tempat, kebiasaan
batuk/bersin tanpa menutup mulut, dan
kebiasaan tidak membuka jendela.
2. Variabel paling dominan berhubungan
dengan kejadian TB adalah kebiasaan
batuk/bersin tanpa menutup mulut, diikuti
kebiasaan membuang dahak sembarang
tempat.
3. Ditemukan adanya 3 kasus baru TB BTA (+)
pada keluarga penderita, yang menunjukkan
potensi penularan oleh penderita TB
kepada keluarganya.
SARAN
Perlu pertimbangan Dinas Kesehatan
Kabupaten Kendal/puskesmas) adanya tempat
khusus untuk mengeluarkan dahak di
puskesmas yang lokasinya tidak berdekatan
dengan tempat berkumpulnya pasien,
mendapat sinar matahari yang cukup, dan
sirkulasi udara yang baik. Petugas puskesmas
perlu menggunakan alat pelindung diri
(masker) agar terhindar dari penularan TB.
Selain itu, semua pihak terkait perlu lebih
meningkatkan upaya sosialisasi Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS), khususnya tentang
perilaku buang dahak dan batuk/bersin agar
masyarakat membudayakan PHBS dalam
kehidupan sehari-hari. Selain itu perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut dengan
memperhitungkan faktor lain yang
berhubungan dengan kejadian TB di
Kabupaten Kendal sebagai variabel
confounding.
UCAPAN TERIMA KASIH
Diucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam penelitian ini,
sehingga penelitian dapat terlaksana dengan
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U.F., 2005. Manajemen penyakit
berbasis wilayah Edisi I. Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara.
Atmosukarto, Soewati,S., 2000. Pengaruh
Lingkungan pemukiman dalam Penyebaran
Tuberkulosis. Media Litbang Kesehatan, Vol.
9.
Crofton, J., Horne, N., Miller, F., 2006.
Tuberkulosis Klinis Edisi 2, Jakarata :TALC dan
PERDHAKI.
Depkes RI. 2008. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis.Jakarta:Dirjen
P2MPL.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2015.
Profil Kesehatan Propinsi Jawa Tengah tahun
2014. Semarang: Dinas Kesehatan Propinsi
Jawa Tengah.
Dinas Kesehatan Kabupaten Kendal. 2015.
Profil Kesehatan Kabupaten Kendal Tahun
2014. Kendal:Dinas Kesehatan Kabupaten
Kendal.
Dinas Kesehatan Kabupaten Kendal.2014. Data
hasil rekapitulasi konseling penderita TB
Paru di Klinik Sanitasi Puskesmas tahun
2013. Kendal: Bidang P2PL.
Dinas Kesehatan Kabupaten Kendal. 2015.
Laporan TB tahun 2011-2014. Kendal : Seksi
P2ML.
Hadisaputro ,S., Nizar, M., Suwandono, A. 2011.
Epidemiologi Manajerial Teori Dan Aplikasi,
Semarang, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
Helper,S., 2010. Faktor - faktor yang
mempengaruhi kejadian TB paru dan upaya
penanggulangan. Jurnal Ekologi
Kesehatan,9(4) :1340-1346.
Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Dirjen
P2PL.
16. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 7
7 | P a g e
Padmanesan, N., James, W., Chandini ,R.,
Macintyre,D., Mathai, Risk factors for
tuberculosis, Hindawi publishing corporation
pulmonary madicine, volume 2013 Article ID
828939 diakses dari :
http://dx.doi.org/10.1155/2013/828939
WHO.1997. Tuberculosis Handbook Geneva,
World Health Organization TB : a Clinical
Manual for South East Asia,.Geneva : WHO.
WHO.2014. Global Tuberculosis Report
2014.Geneva : WHO.
17. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit8
8 | P a g e
Pengaruh Kebiasaan Merokok Terhadap Kadar Karbon Monoksida dalam
Paru PengemudiBusdi Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, 2016
Effect of Smoking Habit Against Carbon Monoxide Level in the Lung of Bus Driver
in Ketapang Port, Banyuwangi, 2016
Pipin Arisandi, Sholikah, Rahmat Subakti, Rofiud Darojat, Suyoko, Jumali
Kantor Kesehatan Pelabuhan Probolinggo, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit,
Kementerian Kesehatan RI
Abstrak
Rokok mengandung tidak kurang dari 4.000 bahan kimia, salah satunya adalah karbon monoksida (CO), yaitu gas beracun
yang mempunyai afinitas kuat terhadap hemoglobin, sehingga menyebabkan gangguan fungsi haemoglobin. Satu batang
rokok mengandung 3-6% CO, dan dalam darah kadarnya mencapai 5%, sedangkan pada orang yang bukan perokok,
kadarnya 1%. Selain gangguan fungsi hemoglobin, karbon monoksida juga berdampak terhadap pembuluh darah. Risiko
gangguan hemoglobin dan pembuluh darah meningkat pada pengemudi bus yang mempunyai kebiasaan merokok, dimana
selain terpapar asap rokok, juga asap kendaraan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2016 dengan tujuan mengetahui
pengaruh kebiasaan merokok terhadap kadar CO dalam paru pengemudi bus lintas Jawa-Bali di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi.
Desain penelitian cross sectional study dengan jumlah sampel sebanyak 83 pengemudi yang diambil secara sistematic random
sampling. Jenis data adalah data primer yang diperoleh dari hasil wawancara menggunakan kuesioner dan pengukuran
kadar CO dalam paru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (66%) pengemudi bus memiliki kadar CO
kategori tinggi (>10% CPppm). Berdasarkan hasil uji regresi sederhana, ada hubungan yang signifikan dan berkorelasi positif
sangat kuat (p<0,05; r=0,9) antara kebiasaan merokok dengan kadar CO dalam paru. Untuk meningkatan kesehatan paru
pengemudi bus lintas Jawa-Bali di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, maka diperlukan adanya kerjasama dengan lintas sektor
terkait untuk memantau kembali kadar CO dalam paru dan pemeriksaan fungsi paru pengemudi bus, serta kegiatan
sosialisasi secara berkala tentang pengaruh kebiasaan merokok terhadap kesehatan paru. Selain itu, perlu penelitian lebih
lanjut dengan memperhitungan faktor lain yang dapat mempengaruhi kadar CO dalam paru pengemudi bus, seperti paparan
polusi udara sebagai variabel perancu.
Kata kunci: Kebiasan merokok, karbon monoksida, pengemudi bus, Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi
Abstract
Cigarettes contain not less than 4,000 chemicals, one of which is carbon monoxide (CO), a poisonous gas that had a strong
affinity to hemoglobin, resulting in impaired function of hemoglobin. One cigarette contains 3-6% CO, and blood levels are
reached 5%, while in non-smokers, the level is 1%. In addition to impaired function of hemoglobin, carbon monoxide, also
affect the blood vessels. The risk of hemoglobin disorders and blood vessels increase in bus driver who have the habit of
smoking, which in addition to exposure to cigarette smoke, car exhaust. The study was conducted in July 2016 with the aim of
knowing the effect of smoking on CO levels in the lung to the bus whom driver cross the Java-Bali in the port of Ketapang,
Banyuwangi. Cross sectional study design with a total sample of 83 drivers were taken by systematic random sampling. The
type of data are primary data obtained from interviews using questionnaires and measurements of CO levels in the lungs. The
results showed that the majority (66%) the bus driver has high levels of CO category (> 10% COppm). Based on the results of
simple regression test, that significant association was very strong and positively correlated (p <0.05; r = 0.9) between
smoking and CO levels in the lungs. To improve health to the bus driver across Java and Bali in the port of Ketapang,
Banyuwangi, the necessary cooperation with the relevant sectors concerned to monitor the levels of CO in the lung and
pulmonary function tests to the bus driver, as well as dissemination activities on a regular basis about the effect of smoking
on lung health, In addition, more research needs to take into account other factors that can affect the levels of CO in the lung
to the bus driver, such as exposure to air pollution as confounding variables.
Keywords : Smoking habit, carbon monoxide, bus driver, Ketapang Port, Banyuwangi
18. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 9
9 | P a g e
Alamat Korespondensi: Pipin Arisandi, KKP Probolinggo, Ditjen
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, Jl.
Tanjung Tembaga Baru Probolinggo, Hp. 082301661666,
e-mail: pipinaris@yahoo.com
PENDAHULUAN
Berdasarkan The Tobacco Atlas 3rd edition,
2009 persentase penduduk dunia yang
mengkonsumsi tembakau adalah sebesar 57%
di Asia dan Australia, 14% (Eropa Timur dan
pecahan Uni Soviet), 12% (Amerika), 9%
(Eropa Barat), dan 8% (Timur Tengah serta
Afrika).
Sementara itu, ASEAN merupakan sebuah
kawasan penyumbang 10% perokok dunia dan
20% kematian global akibat tembakau.
Penduduk negara-negara ASEAN yang
mempunyai kebiasaan merokok tersebar di
Indonesia (46,16%), Filipina (16,62%),
Vietnam (14,11%), Myanmar (8,73%),
Thailand (7,74%), Malaysia (2,90%), Kamboja
(2,07%), Laos (1,23%), Singapura (0,39%), dan
Brunei (0,04%) (Infodatin, 2015).
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO),
prevalensi perokok di Indonesia (usia ≥10
tahun) merupakan salah satu diantara yang
tertinggi di dunia, terdiri dari 46,8% laki-laki
dan 3,1% perempuan (WHO, 2011). Dari 62,8
juta perokok, 40% berasal dari kalangan
dengan tingkat ekonomi rendah (Reimondos
dkk, 2012).
Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2007 dan
2013, prevelensi perokok pada usia ≥10 tahun
di Indonesia meningkat dari 36,3% (2007)
menjadi 34,7% (2013).
Rokok mengandung tidak kurang dari 4.000
bahan kimia, salah satunya adalah karbon
monoksida (CO), yaitu gas beracun yang
mempunyai afinitas kuat terhadap hemoglobin,
sehingga menyebabkan gangguan fungsi
haemoglobin.
Satu batang rokok mengandung 3-6% CO,
dan dalam darah kadarnya mencapai 5%,
sedangkan pada orang yang bukan perokok,
kadarnya 1%.
Selain gangguan fungsi hemoglobin, karbon
monoksida juga berdampak terhadap
pembuluh darah. Risiko gangguan hemoglobin
dan pembuluh darah meningkat pada
pengemudi bus yang mempunyai kebiasaan
merokok, dimana selain terpapar asap rokok,
juga asap kendaraan.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli
2016 dengan tujuan mengetahui pengaruh
kebiasaan merokok terhadap kadar karbon
monoksida (CO) dalam paru pengemudi
angkutan umum (selanjutnya ditulis pengemudi
bus) lintas Jawa-Bali di Pelabuhan Ketapang,
Banyuwangi,ProvinsiJawaTimur.
Diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat
dalam program penecegahan dan pengendalian
penyakit tidak menular di Indonesia khususnya
Provinsi Jawa Timur, terutama dalam kegiatan
advokasi dan sosialisasi tentang risiko
kebiasaan merokok terhadap kesehatan paru
pengemudi bus.
METODE
Penelitian ini menggunakan desain cross
sectional study. Populasi penelitian adalah seluruh
pengemudi bus lintas Jawa-Bali yang ada di
Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, sedangkan
pupulasi sampel adalah sebagian pengemudi bus
lintas Jawa-Bali. Berdasarkan hasil perhitungan
menggunakan Rumus Lemeshow (1997),
diperoleh besar sampel minimal sebanyak 64,
namun pada penelitian ini jumlah sampel lebih
banyak, yaitu 83 pengemudi bus. Pengambilan
sampel dilakukan dengan cara sistematic
random sampling.
Jenis data adalah data primer yang diperoleh
dari hasil wawancara menggunakan kuesioner
dan pengukuran kadar CO dalam paru
pengemudi bus.
Wawancara meliputi karakteristik responden,
yaitu umur dan jenis kelamin, kebiasaan
merokok, dan jumlah rokok dihisap setiap hari.
Pengukuran kadar karbon monoksida dalam
paru pengemudi bus menggunakan alat
Smokerlyzer dengan cara meniupkan udara dari
mulut sekuat mungkin sampai udara yang
dikeluarkan sudah habis. Angka pada layar
smokerlyzer akan menunjukkan kadar karbon
monoksida dalam paru pengemudi bus.
Tampilah warna hijau pada layar smokerlyzer
menandakan kadar karbon monoksida dalam
paru tergolong rendah (0-6 COppm), warna
kuning termasuk sedang (7-10 COppm), dan
warna merah termasuk tinggi (lebih dari 10
COppm) (Jarvis, 1986).
Analisis data menggunakan software SPSS
versi 17, dengan tahapan: 1) Melakukan uji
normalitas, 2) Uji linieritas, dan 3) Uji regresi
19. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit10
10 | P a g e
linier sederhana. Dari hasil uji analisis regresi
linier diketahui koefisien korelasi (r) dengan
kategori menurut Subana dan Sudrajat, 2001,
sedangkan signifikansi hubungan berdasarkan
nilai p.
HASIL
Berdasarkan hasil analisis univariat, nilai
minimal, maksimal, rata-rata, dan Standar
Deviasi (SD) menurut variabel penelitian,
sebagaimana terlihat pada Table 1. berikut ini:
Tabel 1. Nilai minimal, maksimal, rata-rata, dan SD
menurut variabel penelitian di Pelabuhan Ketapang,
Banyuwangi tahun 2016.
Variabel n Min Maks Rata-
rata
SD
Umur
(tahun)
83 23 67 44,37 10,080
Jumlah
rokok
yang
dihisap per
hari
(batang)
83 1 12 5,46 2,935
Kadar
karbon
monoksida
(COppm)
83 3 24 13,46 4,991
Tabel 1 menunjukkan bahwa, semua (100%)
pengemudi bus adalah laki-laki. Rata-rata umur
pengemudi bus yang mempunyai kebiasaan
merokok adalah 44 tahun, termuda 23 tahun,
sedangkan tertua mencapai 67 tahun. Jumlah
rata-rata rokok yang dihisap per hari adalah
sebanyak 5,46 batang, paling sedikit 1 (satu)
batang, sedangkan paling banyak 12 batang.
Sementara itu, berdasarkan hasil pengukuran,
jumlah rata-rata kadar karbon monoksida
dalam paru pengemudi bus adalah sebesar 13,5
Coppm, terendah adalah 3 COppm, dan
tertinggi mencapai 24 COppm.
Distribusi frekuensi pengemudi bus menurut
kategori hasil smokerlyzer (rendah, sedang, dan
tinggi) dapat dilihat pada Grafik 1.
Grafik 1. Distribusi frekuensi pengemudi
bus menurut kategori hasil smokerlyzer di
Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi tahun
2016
Berdasarkan Grafik 1, jumlah pengemudi bus
yang mempunyai kadar karbon monoksida
(CO) dalam paru kategori rendah adalah
sebanyak 5 pengemudi (6%), sedang 23
(28%), dan tinggi 55 orang (66%).
Hasil uji regresi sederhana pengaruh
kebiasaan merokok terhadap kadar CO dalam
paru pengemudi bus lintas Jawa-Bali di
Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi tahun 2016
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh kebiasaan merokok terhadap
kadar karbon monoksida dalam paru pengemudi
bus lintas Jawa-Bali di Pelabuhan Ketapang,
Banyuwangi, 2016
Variabel
Unstandar-
dized efficients t Sig. r r2
B SE
Konstanta 5,080 0,503 10,104 0,000
0,903 0,815
Konsumsi
rokok 1,535 0,081 18,893 0,000
Tabel 2 menunjukkan bahwa ada hubungan
yang signifikan dan berkorelasi positif sangat
kuat (p<0,05; r=0,9) antara kebiasaan merokok
dengan kadar CO dalam paru. Model pada
penelitian ini adalah y=5,08+1,54x (Tabel 2).
Kadar CO dalam paru
20. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 11
11 | P a g e
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
seluruh pengemudi bus lintas Jawa-Bali di
Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi tahun 2016
berjenis kelamin laki-laki. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian Imawati (2013), seluruh
pengemudi bus non-patas dan angkot Kota
Surabaya (100%) adalah laki-laki.
Usia rata-rata pengemudi bus adalah 40
tahun, yaitu usia yang cukup dalam melakukan
pekerjaan yang cukup berat sebagai
pengemudi bus lintas Jawa-Bali. Temuan ini
hampir sama dengan hasil penelitian
Karundeng dkk (2014), bahwa rata-rata umur
sopir bus trayek Bitung-Menado adalah 42
tahun.
Kebiasaan merokok pada pengemudi bus
bervariasi, mulai dari 1 hingga 12 batang per
hari. Konsumsi jumlah rokok pada pengemudi
bus, dengan rata-rata 5,5 batang. Hasil
penelitian Dian, dkk (2012) menunjukkan
bahwa jumlah perokok dengan kategori ringan
adalah sebanyak 6 orang (21,4%), perokok
sedang 10 (35,7%), perokok berat 8 (28,6%),
sisanya (4 orang) bukan perokok. Dari hasil ini
terlihat bahwa perokok sedang menempati
jumlah terbanyak (35,7%).
Sebagian besar (66%) pengemudi bus
memiliki kadar CO 13,5 COppm dalam paru
atau kategori tinggi (>10% COppm), dan kadar
tertinggi mencapai 24 COppm. Berdasarkan
hasil uji regresi linier sederhana, ada hubungan
yang signifikan dan berkorelasi positif sangat
kuat antara kebiasan merokok dengan
pengemudi bus dengan kadar CO paru. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Marlina (2010),
bahwa ada hubungan yang bermakna antara
konsumsi rokok dengan kadar karbon
monoksida di paru.
Jumlah harian rokok yang dikonsumsi dapat
mempengaruhi kadar CO ekspirasi pada
perokok dengan perkiraan 15-34 ppm, bila
merokok 20 batang/hari dan meningkat
menjadi 25-60 ppm bila 40 batang/hari.
Terdapat korelasi yang bermakna antara
konsumsi jumlah rokok harian dengan kadar
CO udara ekspirasi pada perokok (p=0,009;
r=0,283) (Kandrick, 2010).
Begitu juga dengan hasil dari penelitian
Rahmania, dkk (2014), bahwa kadar CO udara
ekspirasi pada perokok lebih tinggi
dibandingkan yang bukan perokok. Hal ini
menunjukkan bahwa asap rokok mempunyai
risiko tinggi menambah kadar CO dalam paru.
Penelitian lain yang serupa, yaitu adanya
pengaruh antara kebiasaan merokok sopir bus
terhadap gangguan fungsi paru, dan sopir bus
yang biasa merokok mempunyai risiko dapat
terjadi gangguan fungsi paru sebesar 6 kali
dibanding sopir yang tidak merokok (Irva,
2014)
Pada penelitian ini, diperoleh model yang
dapat digunakan untuk memberikan gambaran
atau prediksi nilai kadar CO dalam paru pada
pengemudi bus lintas Jawa-Bali yang
mempunyai kebiasaan merokok, yaitu
y=5,08+1,535x (y=kadar CO paru, dan
x=jumlah batang rokok yang dihisap per hari).
Berdasar model tersebut, setiap batang rokok
yang dihisap oleh pengemudi bus lintas Jawa-
Bali di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi tahun
2016, dapat meningkatkan kadar CO dalam
paru sebesar 1,535ppm.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar
(66%) pengemudi bus lintas Jawa-Bali di
Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi tahun 2016
memiliki kadar CO kategori tinggi (>10%
CPppm) dalam paru. Ada hubungan yang
signifikan dan berkorelasi positif sangat kuat
(p<0,05; r=0,9) antara kebiasaan merokok
dengan kadar CO dalam paru pengemudi bus.
SARAN
Diperlukan adanya kerjasama dengan lintas
sektor terkait untuk memantau kembali kadar
karbon monoksida dalam paru dan mengukur
kapasitas faal paru pada pengemudi bus lintas
Jawa-Bali di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi.,
serta sosialiasai secara berkala tentang
pengaruh kebiasaan merokok terhadap
kesehatan paru.
Penelitian ini sangat terbatas, karena hanya
mengetahui konsumsi jumlah rokok pada
pengemudi bus lintas Jawa-Bali, namun belum
memperhitungkan faktor-faktor lain yang
dapat mempengaruhi kadar karbon monoksida
dalam paru pengemudi bus, seperti paparan
polusi udara sebagai variabel perancu
(confounding).
21. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit12
12 | P a g e
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami mengucapkan terima kasih kepada
karyawan/karyawati KKP Kelas II Probolinggo
khususnya Wilayah Kerja Pelabuhan Tanjung
Wangi, Banyuwangi atas bantuan dan
kerjasamanya dalam pelaksanaan kegiatan ini,
sehingga penelitian dan penulisan artikel ini
dapat terselesaikan dengan baik dan tepat
waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Ika Marlina, 2010. Hubungan Antara Kebiasaan
Merokok Dengan Kadar CO Paru Pada
Perokok di Desa Bulu dan Desa Bandengan
Kabupaten Jepara.
Infodatin, 2015. Perilaku Merokok Masyarakat
Indonesia Berdasarkan Riskesdas 2007 dan
2013.
Imawati, 2013. Pengaruh Sopir Angkutan
Umum Terhadap Kualitas Pelayanannya
Kepada Masyarakat Pengguna Angkutan
Umum, Surabaya
Iriyana Irva, 2014. Pengaruh Paparan Polusi
Udara dan Kebiasaan Merokok Terhadap
Fungsi Paru Pada Sopir Bus di Terminal
Tirtonadi Surakarta, Surakarta
Jarvis M, 1986. Low Cost Carbon Monoxide
Monitors in Smoking Assessment
Karundeng Gloria dkk, 2014. Hubungan Antara
Umur Dan Keluhan Nyeri Punggung Dengan
Perasaan Kelelahan Kerja Pada Sopir Bus
Trayek Bitung Manado Di Terminal Tangkoko
Kota Bitung. Bitung
Pratama Dian, dkk. 2012. Hubungan Usia, Lama
Kerja, dan Kebiasaan Merokok dengan Fungsi
Paru pada Juru parkir di Jalan Pandanaran
Semarang, Semarang.
Rahmania, dkk. 2014. Kadar Karbon Monoksida
Udara Ekspirasi pada Perokok dan Bukan
Perokok serta Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi, Jakarta
Reimondos Anna dkk, 2012. Merokok dan
Penduduk Dewasa Muda di Indonesia
Subana, Sudrajat, 2001. Dasar-Dasar Pelatihan
Ilmiah, Bandung
22. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 13
13 | P a g e
Deteksi Dini Kesehatan Jiwa pada Siswa di Tiga Sekolah Menengah Atas
dan Kejuruan di Jakarta Tahun 2015
Early detection of mental health on students at three high schools and vocational schools in
Jakarta by 2015
Nova Riyanti Yusuf, Marleni Desnita, Surahman
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Direktorat Jenderal Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan RI
Abstrak
Kesehatan jiwa anak dan remaja merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan mereka di sekolah dan masa depan di
masyarakat. Sekolah menjadi tempat yang penting dalam melakukan deteksi dini dan intervensi gangguan emosi dan
perilaku pada anak dan remaja, karena mereka menghabiskan hampir sebagian besar waktu mereka di sekolah. Tujuan
deteksi dini adalah untuk mengetahui kondisi kesehatan jiwa pada siswa kelas IX dan X di tiga (3) Sekolah Menengah Atas
(SMA) dan Kejuruan (SMK) yang ada di Jakarta, yaitu SMA 70, SMA 6, dan SMK 26. Metode deteksi dini adalah dengan
melakukan skrining menggunakan instrumen Strengt and Difficult Questionnaire (SDQ) dan Children’s Depression Inventory
(CDI), tes grafis dan wawancara. Jumlah siswa yang diskrining sebanyak 1387 siswa berusia 15-17 tahun, terdiri dari 371
siswa SMA 70, 509 (SMA 6), dan 507 (SMK 26). Hasil deteksi dini antara lain menunjukkan bahwa sebesar 19% siswa
mengalami gangguan emotional yang abnormal, 12% borderline (SMA 70), 15% gangguan emotional yang abnormal, 13%
borderline (SMA 6), dan 14% peer problem yang abnormal, 20% borderline (SMK 26). Sebagian siswa SMA 70 ada yang
merasa tertekan dengan sikap teman sebaya, adanya persaingan ketat dalam kegiatan belajar, dan memiliki persepsi bahwa
sekolah mereka adalah sekolah untuk anak-anak yang berprestasi. Selain itu, sebanyak 5 siswa mengalami psikopatologi
halusinasi auditorik dan 1 siswa dengan ide kejar (SMK 26). Untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan jiwa pada siswa
sedini mungkin, maka perlu dilakukan pengembangan program kesehatan jiwa siswa yang lokal spesifik dan pelatihan kader
kesehatan jiwa yang terintegrasi dengan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).
Kata kunci: Deteksi dini, kesehatan jiwa, siswa, sekolah menengah atas dan kejuruan, Jakarta
Abstract
Child and adolescent mental health is one of the determinants of their success in school and in the community's future. The
school became a place of importance in conducting early detection and intervention with emotional and behavioral disorders
in children and adolescents, because they spend most of their time in school. The purpose of early detection is to know the
condition of mental health in students of class IX and X in the three (3) secondary school (HIGH SCHOOL) and Vocational
(VOCATIONAL SCHOOL) in Jakarta, namely HIGH SCHOOL 70, SMA 6 and SMK 26. Methods of early detection is to do a
screening instrument using Strengt and Difficult Questionnaire (SDQ) and the children's Depression Inventory (CDI), a
graphical test and interview. The number of students who diskrining as much as 1387 students aged 15-17 years, consists of
371 students HIGH SCHOOL 70, 509 (SMA 6), and 507 (26 CMS). The results of early detection, among others, shows that
19% of students experiencing abnormal emotional disorder, 12% borderline (SMA 70), 15% abnormal emotional disorders,
13% borderline (SMA 6), and 14% of peer problem abnormal, 20% borderline (26 CMS). Some 70 high school students there
that feel depressed with the attitude of peers, there is tough competition in the learning activities, and have the perception
that their school is a school for children who are overachievers. In addition, as many as 5 students experienced a
hallucination of psychopathology auditorik and 1 student with a Chase (26 CMS). To prevent the occurrence of mental health
disorders in students as early as possible, hence the need for mental health program development student specific and
training local mental health cadres that integrates with School Health Efforts (UKS).
Keywords: Early detection, mental health, school children, senior high school, Jakarta
Alamat Korespondensi : Marleni Desnita, Subdit
Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa
Anak dan Remaja, Direktorat P2MKJN, Ditjen P2P,
Kemenkes RI. Jl. Percetakan Negara No.29 Jakarta Pusat,
Hp. 081222142874, e-mail: mleni_dst@yahoo.co.id
PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan masa transisi dari
masa kanak-kanak ke masa dewasa. Secara
fisik dan kejiwaan, banyak perubahan yang
dapat terjadi pada masa remaja. Setiap orang
terutama anak dan remaja dihadapkan pada
penyesuaian pesatnya perkembangan
23. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit14
14 | P a g e
teknologi, informasi dan telekomunikasi yang
dapat memberikan dampak positif dan negatif
bagi anak dan remaja yang secara mental
masih belum mature. Pada masa kanak-kanak
dan remaja berlangsung perkembangan fisik,
psikis, dan sosial sesuai tahapan. Saat masa
kanak-kanak dan remaja dapat terjadi
hambatan/kegagalan dalam proses
perkembangan jiwanya.
Secara psikologis, kenakalan remaja
merupakan wujud dari konflik-konflik yang
tidak terselesaikan dengan baik pada masa
kanak-kanak dan remaja. Faktor biologis,
psikologis, seperti peristiwa traumatik
(perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari
dan terhadap lingkungannya, misalnya kondisi
ekonomi) yang dapat membuatnya merasa
rendah diri atau menyebabkan masalah
kesehatan jiwa lainnya.
Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2007,
prevelansi remaja yang mengalami masalah
psikososial adalah sebesar 8,7%. Di Provinsi
Jawa Barat, dari sekitar 11 juta jiwa remaja
yang ada, 1 dari 5 remaja memiliki masalah
gangguan mental serta emosional, 3-4%
diantaranya memiliki gangguan kesehatan
mental dan emosional yang serius.
Beberapa contoh perilaku remaja yang tidak
sehat adalah merokok, minum alkohol dan
perkelahian pelajar. Tahun 2010, terjadi
peningkatan prevelen perokok baru pada usia
15-19 tahun, yaitu sebesar 7% (Riskesdas
2010), begitu juga dengan perilaku minum
alkohol yang dapat meningkatkan risiko
kecelakaan. Perkelahian pelajar yang menjurus
tindak kriminal sudah semakin meluas, seperti
tawuran yang sering terjadi di Jakarta,
Surabaya dan Medan.. Data Bimmas Polri
Metro Jaya menunjukkan bahwa pada tahun
1992 tercatat sebanyak 157 kasus perkelahian
pelajar, tahun 1994 meningkat menjadi 183
kasus dengan korban meninggal 10 pelajar,
tahun 1995 ada 194 kasus dengan korban
meninggal 13 pelajar dan 2 anggota Polri,
tahun berikutnya jumlah korban meninggal
meningkat menjadi 37 orang. Sedangkan data
Bimas Mabes POLRI tahun 1995-1999,
tercatat sebanyak 1316 kasus tawuran di
Indonesia, antara lain di pulau Jawa (933
kasus) dan di luar pulau Jawa (Sumatera
Selatan) 253 kasus.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014
tentang Kesehatan Jiwa, menegaskan
pentingnya upaya kesehatan jiwa
dilaksanakan melalui kegiatan promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dalam pasal
8 (3), Upaya promotif di lingkungan lembaga
pendidikan dilaksanakan dalam bentuk: a.
menciptakan suasana belajar-mengajar yang
kondusif bagi pertumbuhan dan
perkembangan jiwa; dan b. keterampilan hidup
terkait Kesehatan Jiwa bagi peserta didik
sesuai dengan tahap perkembangannya.
METODE
Metode deteksi dini adalah dengan
melakukan skrining menggunakan instrumen
Strengt and Difficult Questionnaire (SDQ) dan
Children’s Depression Inventory (CDI), tes grafis
dan wawancara. Deteksi dini dilakukan di tiga
(3) Sekolah Menengah Atas (SMA) dan
Kejuruan (SMK) yang ada di Jakarta, yaitu SMA
70, SMA 6, dan SMK 26 yang berlokasi di
Jakarta. Jumlah siswa yang diskrining
sebanyak 1387 siswa berusia 15-17 tahun,
terdiri dari 371 siswa SMA 70, 509 (SMA 6),
dan 507 (SMK 26).
Instrumen Strength and Difficult
Quistionnaire) (SDQ) merupakan instrumen uji
kekuatan dan kesulitan bagi anak dan remaja
dengan rentang usia 4-18 tahun (Goodman et
al, 2000) yang dikembangkan oleh Departemen
Psikiatri FKUI-RSCM Jakarta dengan
memunculkan 5 komponen, yaitu 1) Conduct
problems: masalah yang ditandai dengan agresi
dan pelanggaran hak orang lain: 2) Emotional
problems: respon emosional terhadap situasi
yang menekan; 3) Prosocial behaviour:
tindakan menolong yang menguntungkan
orang lain; 4) Peer relation: peran teman
sebaya sebagai determinan positif atau
sebaliknya memberikan tekanan, dan 5)
Hyperactive-inattention: pola tidak
memperhatikan dan/atau hiperaktivitas
disertai perilaku impulsive. Sedangkan
instrumen Children’s Depression Inventory
(CDI) merupakan sebuah instrumen self-rated
yang terdiri dari 27 pertanyaan yang
berorientasi gejala pada anak dan remaja
24. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 15
15 | P a g e
berusia 7-17 tahun, cut off >13 menunjukkan
potensi depresi yang perlu ditindaklanjuti
dengan wawancara diagnostik untuk
memastikan depresi.
Peserta didik berumur di atas 11-18 tahun
dapat mengisi sendiri SDQ remaja dengan
penjelasan sebelumnya dan didampingi guru
terhadap peserta didik yang dianggap
bermasalah. Deteksi dini/instrumen ini dapat
dilakukan pada awal masuk sekolah dan
selanjutnya dilakukan berkala minimal 1 kali
dalam 6 bulan.
Selain itu dilakukan wawancara psikososial
dengan menggunakan Mini Kid Screen terhadap
siswa dengan hasil screening SDQ yang
borderline dan abnormal (10 teratas), yaitu 5
siswa SMA 70 dan 10 siswa SMK 26. Masing-
masing wawancara berlangsung antara 42
menit hingga 1 jam.
HASIL
Hasil SDQ di tiga sekolah menengah atas dan
kejuruan di Jakarta sebagaimana terlihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Hasil SDQ menurut jenis gangguan
kesehatan jiwa pada siswa di tiga sekolah
menengah atas dan kejuruan di Jakarta, tahun 2015
Berdasarkan Tabel 1, sebanyak 19% siswa
mengalami gangguan emotional yang abnormal,
12% borderline (SMA 70), 15 % gangguan
emotional yang abnormal, 13% borderline
(SMA 6), serta 14% peer problem yang
abnormal dan 20% borderline (SMK 26).
Rekapitulasi hasil SDQ di tiga sekolah
menengah atas dan kejuruan di Jakarta dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rekapitulasi data hasil SDQ menurut
komponen instrumen pada siswa di tiga sekolah
menengah atas dan kejuruan di Jakarta, tahun 2015
Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa sebesar
13% siwa di tiga sekolah menengah atas dan
kejuruan di Jakarta mengalami gangguan
emotional yang abnormal dan 10% borderline,
8% conduct problem dan 11% borderline, 4%
hyperactivity dan 7% borderline, 11% peer
problem dan 16% borderline, serta 3%
prosocial dan 13% borderline.
Berdasarkan hasil wawancara di SMA 70,
siswa yang bermasalah termasuk pelajar yang
cukup berprestasi, merasa tertekan dengan
sikap teman sebaya di sekolah (values yaitu
tidak masuk tanpa keterangan, tidak datang
tepat waktu, kadang-kadang tidak
mengerjakan tugas, dan berperilaku tidak
menyenangkan terhadap guru), adanya
persaingan ketat/kompetisi dalam kegiatan
belajar, memiliki tingkat ekonomi menengah
keatas, ambisi yang sehat dalam diri siswa-
siswi, memiliki persepsi bahwa sekolah ini
adalah sekolah untuk anak-anak yang
berprestasi. Sedangkan hasil wawancara di
SMK 26, diantara 10 pelajar terdapat 5 pelajar
dengan psikopatologi halusinasi auditorik
Total
Jml % Jml % Jml % Responden
Emotional
Problem 257 69 45 12 69 19 371
ConductProblem 327 88 24 7 20 5 371
Hyperactivity 329 89 25 7 17 4 371
Peer Problem 294 79 48 13 29 8 371
Prosocial 313 84 45 12 13 4 371
Emotional
Problem 366 72 65 13 78 15 509
ConductProblem 387 76 64 13 58 11 509
Hyperactivity 426 84 50 10 33 6 509
Peer Problem 380 75 78 15 51 10 509
Prosocial 433 85 56 11 20 4 509
Emotional
Problem 444 88 30 6 33 6 507
ConductProblem 405 80 68 13 34 7 507
Hyperactivity 481 95 20 4 6 1 507
Peer Problem 332 66 103 20 72 14 507
Prosocial 415 82 77 15 15 3 507
1387
SMK 26
Penerbangan
Jakarta
SMA 6
Jakarta
SMA70
Jakarta
TOTAL
JenisGangguan
BorderlineNormal AbnormalNama
Sekolah
Total
Jml % Jml % Jml % Responden
Emotional Problem 1067 77 140 10 180 13 1387
Conduct Problem 1119 81 156 11 112 8 1387
Hyperactivity 1236 89 95 7 56 4 1387
Peer Problem 1006 73 229 16 152 11 1387
Prosocial 1162 84 178 13 47 3 1387
Total 100% 100% 100%
Normal Borderline Abnormal
25. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit16
16 | P a g e
(perlu dieksplorasi) dan 1 pelajar dengan ide
kejar. Selain itu didapatkan banyaknya masalah
tekanan dari sekolah lain terhadap mereka,
apabila memakai seragam sekolah menjadi
sasaran serangan dari pelajar sekolah lain,
tingkat ekonomi menengah kebawah, dan
siswa berprinsip untuk ingin cepat kerja agar
membantu orang tua.
PEMBAHASAN
Sekolah berperan penting dalam tahap-tahap
perkembangan anak dan remaja. Pendidikan di
sekolah seharusnya diartikan secara luas tidak
hanya pemberian ilmu pengetahuan, tetapi
juga pendidikan dalam hal pembentukan
kepribadian, watak dan moral. Sebagian besar
sekolah hanya mengutamakan pendidikan
akademis.
Hasil survei Global School Health Survey
(GSHS) terkait faktor risiko gangguan
kesehatan Jjiwa pada siswa SMP dan SMA di
Jakarta tahun 2015, menunjukkan bahwa
proporsi siswa perempuan yang merasa
kesepian lebih tinggi (52.9%) dibandingkan
siswa laki-laki (39.9%), begitu juga rasa
khawatir, 46.8% pada perempuan dan 37.7%
laki-laki, keinginan bunuh diri 6.5% pada
perempuan dan 4,5% pada laki-laki.
(Gambar 1).
*GSHS : Global School Health Survey
Gambar 1. Proporsi faktor risko gangguan
kesehatan jiwa pada siswa SMP dan SMA di Jakarta
tahun 2015
Sesuai data Kemendikbud tahun 2014,
sebesar 84% siswa SMP mengaku pernah
mengalami kekerasan di sekolah, 45% siswa
laki-laki menyebutkan bahwa guru atau
petugas sekolah merupakan pelaku kekerasan,
40% siswa usia 13-15 tahun melaporkan
pernah mengalami kekerasan fisik oleh teman
sebaya, 75% siswa mengakui pernah
melakukan kekerasan di sekolah, 22% siswa
perempuan menyebutkan bahwa guru atau
petugas sekolah merupakan pelaku kekerasan,
dan 50% anak melaporkan megalami
perundungan (bullying) di sekolah.
Penyebab kenakalan remaja terdiri dari
faktor internal dan eksternal:
1. Faktor internal
a. Krisis identitas perubahan biologis
dan sosiologis pada diri remaja
memungkinkan terjadinya dua bentuk
integrasi: 1) Terbentuknya perasaan
akan kemantapan dalam bertindak di
dalam kehidupannya; dan 2)
Tercapainya identitas peran kenakan
remaja merupakan proses biologis,
psikologis dan sosiologis (gagal
mencapai masa integrasi kedua).
b. Kontrol diri yang lemah
Terseret pada perilaku ‘nakal’, tidak bisa
mengembangkan kontrol diri untuk
bertingkah laku sesuai dengan
pengetahuannya
2. Faktor eksternal
a. Keluarga (perceraian/pertikaian orang-
tua, kurang/tidak adanya komunikasi/
perselisihan antar anggota keluarga)
bisa memicu perilaku negatif pada
remaja. Pola asuh, asih, dan asah
(pendidikan) yang salah di keluarga
(terlalu memanjakan anak, otoriter,
menelantarkan, kurang pendidikan
agama, atau penolakan terhadap
eksistensi (wujud/kehadiran) anak, hal
ini bisa menjadi penyebab terjadinya
kenakalan remaja.
b. Teman sebaya (peer group) yang
kurang/tidak baik
c. Komunitas/lingkungan/sekolah/tempat
tinggal yang kurang baik.
d. Faktor eksternal lainnya
Masalah kesehatan anak dan remaja dapat
berupa gangguan perkembangan, masalah
emosi dan gangguan perilaku, cemas dan
26. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 17
17 | P a g e
depresi, masalah belajar, kekerasan, bullying,
dampak rokok, alkohol dan napza, disabilitas,
anak jalanan, dan bunuh diri
Mengatasi kenakalan anak dan remaja,
berarti menata kembali emosi dan perilaku
anak dan remaja yang menyimpang, berbagai
suasana perasaan karena merasa ditolak oleh
keluarga, orang tua, teman-teman, maupun
lingkungannya sejak kecil, dan gagalnya proses
perkembangan jiwa remaja tersebut. Trauma
dalam hidupnya harus diselesaikan, konflik-
konflik psikologis yang menggantung harus
diselesaikan, dan mereka harus diberi
lingkungan yang berbeda dari lingkungan
sebelumnya. Memberikan lingkungan yang
baik dimulai dari hubungan keluarga yang
harmonis sejak dini, disertai pemahaman
tentang perkembangan tahapan jiwa anak dan
remaja dengan mencegah dan mengendalikan
serta meminimalisasi jumlah kasus yang ada.
Gejala emosional yaitu sering mengeluh sakit
pada badan, (seperti sakit kepala, perut, dan
lain-lainl), banyak kekhawatiran, sering tidak
bahagia dan menangis, gugup atau mudah
hilang percaya diri, serta dan mudah takut.
Masalah perilaku, yaitu sering marah meledak-
meledak, umumnya berperilaku tidak baik,
tidak melakukan yang diminta orang dewasa,
sering berkelahi, sering berbohong dan curang,
serta mencuri. Hiperaktivitas, yaitu gelisah,
terlalu aktif, tidak dapat diam lama, terus
bergerak dengan resah, mudah teralih,
konsenstrasi buyar, tidak berpikir sebelum
bertindak, dan tidak mampu menyelesaikan
tugas sampai selesai. Masalah teman sebaya,
yaitu cenderung menyendiri, lebih senang main
sendiri, tidak punya teman baik, tidak disukai
anak-anak lain, diganggu/digertak oleh anak
lain, bergaul lebih baik dengan orang dewasa
dari pada anak-anak. Perilaku prososial, yaitu
mampu mempertimbangkan perasaan orang
lain, bersedia berbagi dengan anak lain, suka
menolong, bersikap baik pada anak yang lebih
muda, dan sering menawarkan diri membantu
orang lain.
Masalah psikososial adalah masalah kejiwaan
sebagai akibat dari adanya perubahan sosial
dalam masyarakat yang dapat menimbulkan
gangguan jiwa, banyak terjadi pada usia kritis
dalam kehidupan manusia, yaitu masa remaja.
Fase remaja identik dengan perilaku risk-
taking. Dalam American of Child and Adolescent
Phychiatry membagi fase remaja menjadi 3
bagian: 1) Early adolescence (11-13 tahun); 2)
Middle adolescence (14-18 tahun) yang sangat
rentan, karena remaja berpikir secara abstrak,
tetapi juga mempunyai keyakinan tentang
keabadian (immortality) dan kedigdayaan
(omnipotence), sehingga mendorong timbulnya
perilaku risk taking ; dan 3) Late adolescence
(19-24 tahun).
Perkembangan bisa bersifat abnormal,
sehingga bisa muncul perilaku risk–taking pada
remaja. Istilah risk-taking, yaitu bentuk
problem yang mempunyai konsekuensi
berbahaya, tetapi secara bersamaan mengha-
silkan outcome yang dipersepsikan positif.
Misalnya track racing motor atau perilaku risk-
taking yang dapat berdampak buruk bagi
dirinya dan orang lain, tetapi pada saat
bersamaan membuat adrenaline rush. Perilaku
membahayakan kesehatan yang sering terjadi
pada fase remaja, yaitu penggunaan tembakau
dan alkohol, berkesperimen dengan NAPZA,
aktivitas seksual yang tidak aman, pola makan
yang buruk, perilaku ingin bunuh diri, dan
kenakalan remaja. Hal ini akan berdampak
pada morbiditas, fungsi dan kualitas hidup saat
dewasa atau kematian prematur.
Berdasarkan rekapitulasi data siswa
menggunakan instrumen SDQ, baik SMA 70,
SMA 6, maupun SMK 26 Penerbangan Jakarta
masih pada umumnya dalam batas normal.
Gejala emosional/emotional problem normal
sebesar 77% dan abnormal 13%, sedikit lebih
dari borderline/ambang (10%), lain hal nya
dengan masalah perilaku/conduct problem dan
hiperaktivitas nilai borderline di atas nilai
abnormal. Untuk peer problem/masalah teman
sebaya tetap masih dalam batas normal (73%)
tetapi borderline/ambang (16%) lebih tinggi
persentasenya daripada abnormal (11%).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil deteksi dini , dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Dapat meningkatkan derajat kesehatan
peserta didik sehingga memungkinkan
27. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit18
18 | P a g e
pertumbuhan perkembangan yang
harmonis dan optimal dalam rangka
pembentukan manusia Indonesia seutuhnya
2. Sehingga memliki pengetahuan, sikap dan
keterampilan untuk melksanakan prinsip
hidup sehat serta berpartisipasi aktif dalam
usaha peningkatan kesehatan di sekolah;
lingkungan rumah da di lingkungan
masyarakat.
3. Tidak semua yang terjaring screening adalah
pelajar yang bermasalah.
4. Ada keterkaitan antara emotional problem –
conduct problem – peer pressure.
5. Faktor risiko utama yang menjadi masalah
emosional adalah perempuan lebih berisiko.
SARAN
1. Perlu diberikan capacity building kepada
guru Bimbingan dan Penyuluhan (BP) dan
Usaha Kesehetan Sekolah (UKS) agar
mampu melakukan skrining kondisi
kesehatan jiwa pada siswa/i dan
memberikan konseling yang efektif
2. Perlu disosialisasikan sistem rujukan di
sekolah, sehingga pihak sekolah dapat
melakukan pemeriksaan kesehatan jiwa
pada siswa secara berkala dan melakukan
rujukan kasus bila diperlukan
3. Perlu dilakukan pengembangan program
kesehatan jiwa siswa yang lokal spesifik dan
pelatihan kader kesehatan jiwa yang
terintegrasi dengan Usaha Kesehatan
Sekolah (UKS).
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kepada Direktur Utama
Direktorat Bina Kesehatan Jiwa, dr. Lina
Regina Mangaweang, Sp.KJ selaku Kepala Sub
Direktorat P2 Masalah Kesehatan Jiwa Anak
dan Remaja, Guru pembimbing dan murid-
murid dari tiga Sekolah Menengah Atas serta
semua pihak yang telah banyak memberikan
bantuan dalam penyelesaian penilitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor
18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.
Jakarta.
Direktorat Bina Kesehatan Jiwa, Direktorat
Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kemenkes
RI. 2014. Petunjuk Pelaksanaan Pelayanan
Kesehatan Jiwa di Sekolah Terintegrasi
Program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).
Jakarta
Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa,
Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik
Kemenkes RI. 2007. Meningkatkan
Kesehatan Jiwa Remaja (Pedoman Bagi
Guru). Jakarta
Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa,
Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik
Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman
Pencegahan Tindakan Bunuh Diri
(Pegangan Bagi Petugas Kesehatan). Jakarta
Direktorat Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal
Pelayanan Medik Departemen Kesehatan
RI. 1990. Pedoman Upaya Pelayanan
Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja. Jakarta
Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat,
Direktorat Jenderal Kesejahteraan
Masyarakat, Departemen Kesehatan dan
Kesejahtateraan Sosial RI. 2001. Pedoman
Kesehatan Jiwa Remaja (Pegangan Bagi
Dokter Puskesmas). Jakarta
Erikson, EH. Childhood and Society. Norton,
New York. 1950.
Goodman R, Ford T, Simmons H, Gatward R,
Meltzer H. Using the strengths and
Difficulties Questionnaire (SDQ) to screen
for child psychiatric disorders in a
community sample. The British Journal of
Psychiatry Dec 2000; 177 (6): 534-539.
Volkmar FR. Normal child development in
comprehensive. Textbook og Phychiatry 6th
edition. Editor: Kaplan H.I., Sadock B;
Williams and Walkins, Baltimore. 1995.
28. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 19
19 | P a g e
Pemanfaatan Instalasi Biogas Skala Rumah Tangga
di Kelurahan Banjar Sari, Kota Metro, Lampung,2013-2016
Installation of Biogas Utilization Household Scale
in the village of Banjar Sari, Metro, Lampung, 2013-2016
Widodo, Imelda Husdiani, Kodrat Pramudho
Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Jakarta,
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI
Abstrak
Pemanfaatan limbah peternakan (ternak sapi), khususnya di Kelurahan Banjarsari, Kecamatan Metro Utara, Kota Metro,
Lampung, perlu mendapat perhatian karena hingga saat ini belum upaya pemanfaatan kotoran ternak sapi tersebut oleh
peternak skala rumah tangga menjadi produk yang bermanfaat, mengurangi potensi pencemaran lingkungan yang dapat
menimbulkan penyakit, dan meningkatkan pendapatan peternak. Apabila pemanfaatan kotoran ternak sapi dapat
dilakukan dengan efektif dan efisien, maka akan mendapatkan keuntungan ganda, yaitu sebagai langkah efektif
mengurangi limbah kotoran hewan dan menghasilkan pupuk untuk pertanian. Bahan yang digunakan untuk instalasi
biogas adalah terpal dan plastik yang biasa digunakan untuk pengecoran beton yang mudah didapat di setiap daerah..
Keunggulan instalasi biogas berbahan terpal dan plastik dibandingkan bahan lainnya seperti beton dan plat adalah
konstruksi lebih sederhana, pemasangan mudah dan cepat (<1 hari), biaya terjangkau (sekitar Rp 1.500.000,-) .Produksi
instalasi biogas setara dengan 2,5 liter minyak tanah/hari, yaitu lebih dari cukup untuk keperluan memasak sehari-hari.
Selain itu instalasi biogas menghasilkan kompos (pupuk organik) berkualitas yang dapat langsung digunakan pada
lahan/usaha budidaya pertanian. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran pengelolaan instalasi biogas
skala rumah tangga di Kelurahan Banjar Sari, Kota Metro, Lampung tahun 2013-2016. Penelitian dilakukan dengan
pendekatan observasional dan deskriptif, untuk mengamati kondisi pengelolaan instalasi biogas di Kelurahan Banjar Sari
tahun 2013-2016 dan kajian literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa instalasi biogas sudah berjalan dengan lancar,
semua sistem bekerja sesuai desain, dan sudah dapat dipergunakan untuk keperluan memasak. Untuk pemanfaatan
instalasi biogas skala rumah tangga yang lebih luas, antara lain perlu peningkatan sosialisasi, sehingga masyarakat dapat
menerapkan di tempat tinggalnya masing-masing.
Kata kunci: Instalasi biogas, rumah tangga, Kota Metro, Lampung
Abstract
ASTE livestock (cattle), especially in Sub Banjarsari, District Metro North, Metro, Lampung, requires attention because
until now there has been efforts to use cow manure the cattle farmers household scale into useful products, reducing the
potential for environmental pollution which can cause diseases, and increase the income of farmers. If the use of cow
manure can be done effectively and efficiently, it will get a double advantage, namely as an effective step to reduce waste
and animal dung to produce fertilizer for agriculture. The materials used for biogas installations are tarpaulins and plastic
commonly used for concrete casting that is easily obtainable in any area .. The advantages of biogas installations made of
tarpaulins and plastic than other materials such as concrete and the plate is more simple construction, easy installation
and fast (<1 day), affordable (around Rp 1.500.000, -) .Produksi biogas installations equivalent to 2.5 liters of kerosene /
day, which is more than enough for everyday cooking purposes. Besides the installation of biogas to produce compost
(organic fertilizer) product that can be directly used on land / agricultural cultivation. The purpose of research is to
describe the management of household scale biogas plant in the village of Banjar Sari, Metro, Lampung year 2013-2016.
The study was conducted with observational and descriptive approach, to observe the conditions of management of
biogas installations in the village of Banjar Sari years 2013-2016 and review of the literature. The results showed that the
biogas plant has been running smoothly, all the systems worked as designed, and it can be used for culinary purposes. To
use household scale biogas installations broader, inter alia, increase socialization, so that people can implement in their
respective homes.
Alamat Korespondensi : Imelda Husdiani, BBTKLPP
Jakarta, Jl.Balai Rakyat No.2 Cakung Timur Jakarta
Timur, Hp. 08170090509 Email : Ihusdiani@ ymail.com
29. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit20
20 | P a g e
PENDAHULUAN
Saat ini usaha peternakan di pedesaan
cukup berkembang, baik secara intensif, semi
intensif maupun tradisional. Tapi Namun
demikian, pemanfaatan kotoran hewan
ternak selama ini belum optimal, bahkan
kotoran tersebut hanya menimbulkan
permasalahan lingkungan. Padahal kotoran
hewan ternak dapat dijadikan sebagai bahan
baku untuk menghasilkan energi terbarukan
(renewable) dalam bentuk biogas.
Permasalahan di pedesaan, terutama bagi
peternak adalah belum mampu
memanfaatkan limbah kotoran hewan ternak
untuk menghasilkan energi alternatif
pengganti kayu dan Bahan Bakar Minyak
(BBM) untuk keperluan memasak maupun
dan penerangan.
Pemanfaatan limbah peternakan (ternak
sapi) khususnya di Kelurahan Banjarsari,
Kecamatan Metro Utara, Kota Metro,
Lampung, perlu mendapat perhatian, karena
hingga saat ini belum ada upaya pemanfaatan
kotoran ternak sapi tersebut oleh peternak
skala rumah tangga menjadi produk yang
bermanfaat, mengurangi potensi pencemaran
lingkungan yang dapat menimbulkan
penyakit, dan meningkatkan pendapatan
peternak.
Oleh karena itu BBTKLPP Jakarta bekerja
sama dengan Jurusan Kesehatan Lingkungan,
Poltekes Tanjung Karang serta didukung oleh
Pemerintahan Kota Metro, Lampung
berkomitmen dalam pemanfaatan kotoran
hewan sapi di Kelurahan Banjarsari, Metro
Utara untuk instalasi biogas skala rumah
tangga yang dapat menghasilkan energi
alternatif untuk kebutuhan rumah tangga.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui gambaran pengelolaan instalasi
biogas skala rumah tangga di Kelurahan
Banjar Sari, Kota Metro, Lampung tahun
2013-2016.
METODE
Penelitian dilakukan dengan pendekatan
observasional dan deskriptif, untuk
mengamati kondisi pengelolaan instalasi
biogas di Kelurahan Banjar Sari, Kecamatan
Metro Utara, Kota Metro, Lampung tahun
2013-2016. dan kajian literatur.
HASIL
Sebanyak 10 instalasi biogas telah dipasang
pada bulan September 2013 di beberapa
tempat di Metro Utara.. Hasil observasi Tim
BBTKLPP Jakarta dapat dilihat pada Tabel: 1)
Tabel 1. hasil uji coba instalasi biogas di
Kelurahan Banjar Sari tahun 2013; dan 2)
Rekapitulasi hasil observasi instalasi biogas
di Kelurahan Banjar Sari tahun 2014-2016.
Pada table 2 terlihat bahwa selama 3 tahun
pemasangan instalasi biogas di Kelurahan
Banjar Sari, pada bulan Maret 2014 bulan
Maret dan September 2015 terjadi
kebocoran pada terpal, sehingga
menyebabkan instalsi tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Setelah dilakukan
perbaikan dengan mengganti sekrup yang
menyambungkan plastik dengan pipa, dan
setelah kering reaktor sudah dapat diisi
kembali.
Tabel 1. Hasil uji coba instalasi biogas di Kelurahan Banjar Sari, 2013
No. Tanggal uji
coba
Lama gas hidup Kondisi Pengisian
reaktor
1. 01 -10-2013 15 menit Bau menyengat Dilakukan pagi
2. 02-10-2013 15 menit Bau menyengat berkurang Dilakukan pagi
3. 03-10-2013 15 menit (memasak air) Bau berkurang Dilakukan pagi
4. 04-10-2013 15 menit (memasak air) Bau berkurang Dilakukan pagi
5. 05-10-2013 30 menit (memasak harian) Tidak ada Dilakukan pagi
6. 30-12-2013 1 jam (memasak harian) Tidak ada Dilakukan pagi
30. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 21
21 | P a g e
Setelah dilakukan uji coba, selama dua (2)
bulan instalasi biogas berjalan lancar, semua
sistem berjalan sesuai desain dan sudah
dapat digunakan untuk memasak.
Kotoran hewan yang masih segar biasa juga
disebut sebagai slurry masih belum dapat
digunakan sebagai pupuk kompos, namun
kohe atau slurry yang sudah terfermentasi di
dalam reaktor biogas akan mengalir ke luar,
Tabel 2. Rekapitulasi hasil observasi instalasi biogas di Kelurahan Banjar Sari, 2014-2016
No. Bulan Hasil gas Kondisi gas Tahun
2014 2015 2016
1. Januari 1 jam Tidak berbau OK OK OK
2. Februari 1 jam Tidak berbau OK OK
3. Maret 1 jam Tidak berbau Terjadi kebocoran
terpal, sudah di
perbaiki
OK OK
4. April 1 jam Tidak berbau OK OK OK
5. Mei 1 jam Tidak berbau OK OK OK
6. Juni 1 jam Tidak berbau OK OK OK
7. Juli 1 jam Tidak Berbau OK OK
8. Agustus 1 jam Tidak berbau OK OK Terpal plastik
retak dan tidak
bisa digunakan
9. September 1 jam Tidak berbau OK Terjadi
kebocoran
terpal, sudah
diperbaiki
Terpal plastic di
buat baru,
diinstal ulang dan
dapat digunakan
kembali
10 Oktober 1 jam Tidak berbau OK OK OK
Nopember 1 jam Tidak berbau OK OK OK
Desember 1 jam Tudak berbau OK OK
OK=sistem berjalan baik
PEMBAHASAN
Instalasi pencernaan anaerobik biogas
(reaktor) yang dikembangkan oleh BBTKLPP
Jakarta adalah bangunan yang dibuat di atas
tanah dengan bahan terpal dan plastik
sebagai reaktornya, serta peralatan untuk
mengurai bahan organik menjadi biogas
(Gambar 1). Plastik yang digunakan adalah
plastik untuk pengecoran beton yang mudah
didapat di setiap daerah. Biogas yang
dihasilkan merupakan salah satu pilihan dari
sumber bahan bakar konvensional yang ada.
Instalasi biogas menggunakan kotoran hewan
(kohe) segar yang dicampur dengan air
sebagai bahan baku utama untuk
mendapatkan biogas. Biogas yang dihasilkan
dapat dimanfaatkan untuk memasak dalam
skala rumah tangga.
menjadi material yang disebut sebagai bio-
slurry yang dapat dimanfaatkan sebagai
pupuk organik. Keberhasilan dan efektivitas
sebuah reaktor biogas sangat tergantung
pada ketepatan rancangan, lokasi konstruksi
yang sesuai dan kualitas kohe itu sendiri.
Setiap unit instalasi biogas membutuhkan
beberapa peralatan penunjang, yaitu:
a. Peralatan pendukung perakitan
1) Pisau
2) Bor tangan
3) Gergaji besi
b. Peralatan utama
1) Ember
2) Terpal
3) Plastik cor bangunan
4) Selang plastik
5) Pipa PVC/paralon
31. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit22
23 | P a g e
.
Gambar 1. Desain instalasi biogas berbahan terpal dan plastik
6) Lem PVC
7) Kompos gas khusus biogas
8) Pompa hisap (pompa aquarium)
9) Ballvalve ukuran 2 inch
Persiapan perakitan instalasi biogas
sebagaimana terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Persiapan perakitan instalasi
3. Siapkan plastik cor sepanjang 4 m,
plastik lebarnya 1 m dilapis 2-4 lapis
utuh tanpa membelah.
4. Plastik dimasukkan ke dalam terpal
yang sudah dipersiapkan.
Keterangan Gambar 2:
a. Menyiapkan wadah pengadukan kohe
b. Menyiapkan reaktor fermentasi kohe dan
reaktor penampungan gas
1. Disiapkan terpal dengan lebar 2
m dan panjang 4 m.
2. Terpal dilipat menjadi dua
bagian, dan bagian tepi yang
memanjang dijahit sebagai
lapisan luar rekator/penahan
plastik.
c. Menyiapkan jaringan produk gas ke
penampung gas dengan pipa PVC ½ inch dan
selang angin
d. Menyiapkan jaringan produk gas ke kompor
Untuk proses perakitan instalasi biogas
dapat dilihat pada Gambar 3.
32. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 23
24 | P a g e
Gambar 3. Proses perakitan instalasi biogas
Setelah instalasi biogas terangkai,
dilakukan proses pengisian sebagai berikut:
Kotoran ternak sebelum dimasukkan ke
dalam digester harus dilarutkan dulu
dengan air dengan perbandingan 2:3 pada
sebuah wadah untuk diaduk, tujuannya
adalah agar dalam proses memasukkan
kotoran tersebut tidak tersumbat oleh
kotoran yang masih dalam bentuk padat
dan proses fermentasinya akan lebih
cepat.
a. Kotoran hewan yang telah dilarutkan
dengan air, dimasukan ke dalam digester
melalui saluran masuk (slurry), maka
dalam digester akan terjadi proses aerobik
yang kemudian proses anaerobic karena
adanya bakteri pengurai yang bekerja
menghasilkan biogas.
b. Biogas akan dihasilkan dalam rentang
waktu kurang dari 10 hari. Biogas yang
dihasilkan, dari digester akan masuk dan
ditampung dalam drum penampung gas
yang disalurkan dengan selang. Untuk
keamanan, maka dipasang katup
pengaman antara digester dan drum
penampung, sehingga apabila tekanan
biogas yang dihasilkan melebihi batas
tekanan gas yang diperbolehkan, maka
gas akan dikeluarkan oleh katup
pengaman tersebut.
c. Biogas yang dihasilkan sudah dapat
dimanfaatkan sebagai bahan bakar
menggunakan kompor biogas.
d. Sekali-sekali reaktor biogas digoyangkan
supaya terjadi penguraian yang sempurna
dan gas yang terbentuk di bagian bawah
naik ke atas, lakukan juga pada setiap
pengisian reaktor.
e. Pengisian bahan biogas berikutnya dapat
dilakukan setiap hari, yaitu sebanyak ±40
liter setiap pagi dan sore hari. Sisa
pengolahan bahan biogas berupa sludge
(lumpur) secara otomatis akan keluar dari
reaktor melalui saluran keluar (residu),
setiap kali dilakukan pengisian bahan
biogas. Sisa hasil pengolahan bahan biogas
tersebut dapat digunakan langsung
sebagai pupuk organik, baik dalam
keadaan basah maupun kering.
f. Untuk mengoperasikan kompor biogas
cukup dengan menyalakan pompa hisap
dan membuka sedikit kran gas yang ada
pada kompor.
g. Nyalakan korek api dan sulut tepat diatas
tungku kompor.
h. Apabila menginginkan api yang lebih
besar, kran gas dapat dibuka lebih besar
lagi, demikian pula sebaliknya. Api
dapat disetel sesuai dengan kebutuhan.
Untuk perawatan instalasi biogas, lakukan
hal-hal sebagai berikut:
a. Lakukan pengisian seperti pada langkah
b-e.
b. Hindari reaktor dari sinar matahari
langsung.
c. Lakukan pengecekan keran/ballvave agar
tidak macet.
d. Bersihkan lingkungan reaktor.
Perakitan ember
pengaduk dan terpal
permentasi
Perakitan tepal penampung
gas dan pipa pvc ke kompor
biogas
Perakitan kompor
biogas
Penggunaan hasil
kompor biogas untuk
memasak
33. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit24
25 | P a g e
e. Jauhkan dari tempat pembakaran sampah,
hati-hati terjadinya ledakan.
f. Lakukan penggantian apabila reaktor
terpal sudah lapuk.
Untuk keamanan perlu diperhatikan tata
cara yang benar dalam pengoperasian
instalasi biogas, dan beberapa faktor yang
mungkin dapat menyebabkan gangguan
kesehatan, seperti:
a. Faktor kimia
Adanya gas-gas seperti metan, asam
sulfida, dan amoniak.
b. Faktor fisik
Bau menyengat
c. Faktor fisiologis
Sikap dan cara kerja.
d. Faktor biologi
Kohe mengadung bakteri patogen yang
dapat menyebabkan penyakit seperti diare
dan penyakit kulit.
e. Faktor psikis
Apabila kandang sapi tidak di pelihara
kebersihannya.
Alat Pelindung Diri (APD) yang digunakan
pada saat bekerja di instalasi biogas adalah
sarung tangan, sepatu bot, masker, dan
pakaian pelindung/celemek (Gambar 4).
Gambar 4. Alat Pelindung Diri (APD) saat bekerja
di instalasi biogas
Instalasi biogas sangat berpotensi
mengalami kebocoran dan peledakan. Untuk
itu perlu diperhatikan beberapa hal sebagai
ini:
a. Hindarkan reaktor dari gangguan seperti
anak-anak dan ternak yang dapat merusak
reaktor dengan cara memagar dan
memberi atap supaya air tidak dapat
masuk ke dalam reaktor.
b. Jangan merokok atau membakar sampah
didekat reaktor.
c. Apabila reaktor tampak mengencang
karena adanya gas, tetapi gas tidak
mengisi penampung gas, maka luruskan
selang mulai dari pengaman gas sampai
reaktor, karena uap air yang ada di dalam
selang dapat menghambat gas mengalir ke
penampung gas. Lakukan hal tersebut
secara rutin.
d. Cegah air masuk ke dalam reaktor dengan
menutup tempat pengisian pada saat tidak
ada pengisian reaktor.
e. Bersihkan kompor dari kotoran saat
memasak atau minyak yang menempel.
Setelah dilakukan observasi terhadap
instalasi biogas dari bulan Oktober 2013
sampai Agustus 2016, terdapat adanya
kelemahan dan kekurangan pada sistem.
Instalsi biogas berbahan terpal dan plastik
dapat digunakan selama kurang lebih tiga (3)
tahun. Pada masa 3 tahun tersebut, hanya
reaktornya saja yang perlu diganti, sedankan
peralatan lainnya masih berfungsi dengan
baik. Untuk penggantian terpal hanya
membutuhkan dana sebesar Rp. 500,000,-
Produksi gas setara dengan 2,5 liter minyak
tanah/hari, lebih dari cukup untuk keperluan
memasak sehari-hari.
Dari aspek ekonomi, instalasi biogas lebih
menguntungkan peternak sapi di Metro
Utara, karena hanya membutuhkan modal
awal Rp. 1.500.000,- dibandingkan bila
menggunakan gas LPG yang biasanya
membutuhkan 2 tabung gas betkapasitas 5kg
per bulan (Rp. 36.000,-) atau selama 3 tahun
uang yang dikeluarkan untuk pembelian gas
adalah 12 bulan x 3 tahun x Rp. 36.000,- =
Rp.1.296.000,-. Namun setelah 3 tahun,
peternak hanya mengeluarkan uang Rp.
500.000,- untuk pemeliharaan instalasi
biogas, sehingga masyarakat pengguna
instalasi biogas dapat menabung sebesar Rp.
796.000,-.
Selain dari aspek ekonomi, keunggulan
instalasi biogas berbahan terpal dan plastik
adalah:
34. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 25
26 | P a g e
a. Konstruksi lebih sederhana, pemasangan
mudah dan cepat (<1 hari).
b. Biaya lebih terjangkau, sekitar Rp
1.500.000,- sudah termasuk pemasangan
dan satu unit kompor biogas.
c. Menghasilkan kompos (pupuk organik)
yang sangat bagus kualitasnya dan dapat
langsung digunakan pada lahan/usaha
pertanian.
d. Mengurangi pencemaran badan air yang
ada di sekitar rumah penduduk yang
berpotensi menimbulkan penyakit, dan
mengurangi sumber penyakit karena kohe
yang tidak dikelola dengan baik
e. Mengurangi bau kohe yang menyengat.
f. Mengubah pandangan masyarakat bahwa
limbah kohe sapi merupakan masalah
yang dapat diubah menjadi sesuatu yang
bermanfaat.
KESIMPULAN
Hasil observasi Tim BBTKLPP Jakarta
menunjukkan bahwa biogas yang dihasilkan
setelah pemasangan instalasi biogas di
Kelurahan Banjar Sari, Kecamatan Metro
Utara, Kota Metro, Lampung, sudah dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
keperluan memasak.
Sebanyak 10 instalasi biogas telah dipasang
pada bulan September 2013 di beberapa
tempat. Dalam kurun waktu 3 tahun
pemasangan, terjadi kebocoran pada terpal,
sehingga menyebabkan instalsi tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Setelah dilakukan
perbaikan dengan mengganti sekrup yang
menyambungkan plastik dengan pipa, dan
setelah kering reaktor sudah dapat digunakan
kembali.
SARAN
1. Perlu peningkatan sosialisasi instalasi
biogas skala rumah tangga di masyarakat
khususnyan peternak, agar peternak lebih
banyak yang memanfaatkannya.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
tentang desain instalasi biogas, untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik lagi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
semua pihak yang telah berperan dalam
kegiatan pemanfaatan instalasi biogas skala
rumah tangga di Kelurahan Banjar Sari, Kota
Metro, Lampung, yaitu masyarakat Kelurahan
Banjar Sari, Puskesmas Banjar Sari, dan Dinas
Kesehatan Kota Metro, sehinggan kegiatan
berjalan dengan lancar.
DAFTAR PUSTAKA
Pembuatan Digester Biogas Skala Rumah
Tangga Menggunakan Kotoran Ternak Sapi,
Desember 2013 ,
lpmunsri.files.wordpress.com
Biogas Digest, Volume I, Biogas Basics,
Information and Advisory Service on
Appropriate Technolerogy (ISAT) and
GATE in Deutsche Gesellschaft für
Technische Zusammenarbeit (GTZ), GmbH
Salah M. Al-Azzam. Biogas a Source of Energy,
Http://jes.org.jo/biogas/pdfs/s/english.p
df
Daugherty E.C, 2001, Biomass Energy
Systems Efficiency:Analyzed through a Life
Cycle Assessment, Lund Univesity
Gunnerson, C. G. and D. V. Stuckey (1986)
"Integrated Resource RecoveryAnaerobic
Digestion-Principles and Practices for
Biogas systems". World Bank Technical
Paper No. 49
Karki, A. B. and K. Dixit (1984). Biogas
Fieldbook. Sahayogi Press, Kathmandu,
Nepal
Sartono Putro, Penerapan Instalasi
Sederhana Pengolahan KOtoran Sapi
Menjadi Energi Biogas di Desa Sugihan
Kecamatan Bendosari Kabupaten
Sukoharjo , WARTA, Vol .10, No. 2,
September 2007: 178 - 188
35. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit26
26 | P a g e
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Cakupan Deteksi Dini
Kanker Leher Rahim dan Kanker Payudara di Indonesia, 2015
Factors Associated with Cervical and Breast Cancer Screening Coverage
in Indonesia, 2015
Mugi Wahidin
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan RI
Abstrak
Program deteksi dini kanker leher rahim dan kanker payudara telah dikembangkan di Indonesia sejak tahun 2007
yang kemudian dicanangkan sebagai program nasional pada tanggal 21 April 2008. Deteksi dini kanker leher rahim
dilakukan dengan cara Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) atau Pap smear, dilanjutkan dengan krioterapi
apabila ditemukan IVA positif, sedangkan untuk deteksi dini kanker payudara dilakukan dengan Pemeriksaan
Payudara Klinis (SADANIS). Data tahun 2007-2015 menunjukkah bahwa program deteksi dini kanker leher rahim
dan payudara telah dilaksanakan di seluruh (34) provinsi, meliputi 3.042 (31%) puskesmas dari seluruh (9.754)
puskesmas yang ada di Indonesia, namun demikian cakupan masih rendah (3,34%) dari target tahun 2015 (10%),
dan sangat bervariasi antara satu provinsi dengan provinsi lainnya, yaitu rata-rata 410 orang per puskesmas.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2016 dengan tujuan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan cakupan deteksi dini kanker leher rahim dan payudara di Indonesia tahun 2015. Desain penelitian cross
sectional study, dan jumlah sampel sebanyak 34 provinsi. Jenis data adalah data sekunder yang diperoleh dari Ditjen
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, dan analisis data dilakukan dengan uji korelasi (Pearson
Product Moment). Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel independen yang ada hubungan secara signifikan
dengan cakupan deteksi dini dan berkorelasi positif sangat kuat hingga sedang adalah jumlah krioterapi (p=0,000;
r=0,784), jumlah dokter terlatih (p=0.018; r=0.403), dan jumlah bidan terlatih (p=0.029; r=0.375). Untuk
meningkatkan cakupan deteksi dini di Indonesia, antara lain perlu dilakukan peningkatan jumlah krioterapi di
kabupaten/kota serta jumlah dokter umum dan bidan terlatih yang aktif melakukan deteksi dini kanker leher rahim
dan payudara di puskesmas pelaksana deteksi dini.
Kata kunci: Faktor-faktor yang berhubungan, deteksi dini, kanker leher rahim dan payudara, Indonesia
Abstract
Program of cervical and breast cancer early detection (screening) in Indonesia has been developed since 2007 and
became national program launched by Indonesian First Lady at 21st April 2008. Early detection of cervical cancer
cancer using method of Visual Inspection with Acetic Acid (VIA) atau Pap Smear, followed by cryotherapy for VIA
positive, meanwhile, early detection of breast cancer using mehod of Clinical Breast Examination (CBE). Data of
2007-2015 shows that the program of cervical and breast cancer early detection is running in (34) provinces at 3,042
primary health centers (31%) out of 9,754 all primary health centers in Indonesia, but the coverage is still low
(3.34%) out of target in 2015 (10%) which is variously in each province with average 410 women per primary
health cencers. The research was conducted in February 2016 aimed to know factors associated with screening of
cervical and breast cancer coverage in Indonesia in 2015. The design of this research is cross sectional study with
sample of 34 provinces. Data collected was secondary data from Directorate General of Disease Preventioin and
Control, with data analyze using correlation analysis (pearson product moment). Result of the research shows that
independent factors which were associated with coverage of cervical and breast cancer early detection and
correlated strongly and modertely are number of cryotherapy (p = 0,000 r = 0,784), number of trained general
practitioner (p=0.018 r = 0.403), and number of trained midwives (p=0.029 r=0.375). In order to increase coverage
of cervical and breast cancer early detection in Indonesia, it needs increase of number of cryotherapy di
district/municipality and trained general practitioners dan midwives that actively provide service of early detection
of cervical and breast cancer in primary health centers.
Keyword: Factors associated, early detection, cervical and breast cancer, Indonesia
36. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 27
27 | P a g e
Alamat Korespondensi: Mugi Wahidin, Subdit
Penyakit Kanker dan Kelainan Darah, Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak
Menular, Ditjen Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit, Kemenkes RI, Hp. 081386671545, email:
wahids_wgn@yahoo.co.id
PENDAHULUAN
Kanker merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia dengan
prevalensi 1,4 per 1000 penduduk (Riset
Kesehatan Dasar, 2013), dua jenis kanker
diantaranya menempati urutan tertinggi
pada perempuan dan penyumbang 41,5%
dari seluruh jenis kanker pada perempuan
di Indonesia, yaitu kanker leher rahim
12,8%, dan kanker payudara 28,7% (SIRS,
2010). Estimasi insidensi kanker leher
rahim di Indonesia adalah 17 per 100.000
perempuan, sedangkan kanker payudara 40
per 100.000 perempuan (Globocan, IARC
2012).
Dalam rangka pencegahan dan
pengendalian kanker leher rahim dan
payudara di Indonesia, maka sejak tahun
2007 telah dikembangkan program deteksi
dini yang kemudian dicanangkan sebagai
program nasional oleh Ibu Negara tanggal
21 april 2008. Program tersebut diperkuat
dengan dicanangkannya “Program Nasional
Peran Serta Masyarakat dalam Pencegahan
dan Deteksi Dini Kanker pada Perempuan
Indonesia 2015-2019” tanggal 21 April
2015 juga oleh Ibu Negara (Iriana Jokowi),
Program tersebut juga diperkuat dengan
dan diterbitkannya Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 34 Tahun 2015 tentang
Penanggulangan Kanker Payudara dan
Kanker Leher Rahim.
Deteksi dini kanker leher rahim dilakukan
dengan cara Inspeksi Visual dengan Asam
Asetat (IVA) dan pengobatan krioterapi
untuk IVA positif (lesi pra kanker leher
rahim positif), sedangkan untuk kanker
payudara dilakukan dengan Pemeriksaan
Payudara Klinis (SADANIS) atau Clinical
Breast Examination (CBE) (Kemenkes RI,
2010). Target program adalah 50% dari
37.415.483 perempuan berusia 30-50 tahun
atau sebanyak 18.707.741 pada tahun
2019(Renstra Kemenkes RI 2015-2019,
2015). Target ideal adalah sebesar 80%
(WHO, 2002). Kegiatan deteksi dini
dilaksanakan di puskesmas dengan rujukan
ke RS rumah sakit kabupatan/kota dan
provinsi.
Sampai dengan tahun 2015, deteksi dini
kanker leher rahim dan payudara telah
dilaksanakan di seluruh (34) provinsi di
Indonesia (100%), meliputi 74% (382/515)
kabupaten/kota dan 31% (3.042/9.754)
puskesmas, namun demikian, masih rendah,
yaitu 1.247.824 perempuan (3,34%) dari
target 37.415.483. Cakupan ini bervariasi
antara satu provinsi dengan provinsi
lainnya, rata-rata 410 perempuan per
puskesmas dalam kurun waktu 9 tahun
(2007-2015).
Penelitian dilaksanakan pada bulan
Februari 2016, dengan tujuan mengetahui
faktor-faktor yang berhubungan dengan
cakupan deteksi dini kanker leher rahim
dan payudara di Indonesia tahun 2015.
METODE
Desain penelitian cross sectional study,
dan jumlah sampel sebanyak 34 provinsi.
Jenis data adalah data sekunder yang
diperoleh dari Ditjen Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, dan
analisis data dilakukan dengan uji korelasi
(Pearson Product Moment). Kekuatan
korelasi dapat dilihat dari nilai koefisien
korelasi atau r (-1 sampai dengan 1), nilai
negatif berarti hubungan linier negatif,
positif berarti hubungan linier positif, dan 0
(tidak ada hubungan). Kriteria korelasi
adalah 0,0-0,25 (tidak ada korelasi/lemah),
0,26-0,50 (korelasi sedang), 0,51-0,75
(korelasi kuat), dan 0,76-1 (korelasi sangat
kuat). Signifikansi dilihat dari nilai p,
apabila <0,05 berarti ada hubungan yang
signifikan, sedangkan ≥ 0,05, tidak ada
hubungan yang signifikan.
HASIL
Berdasarkan hasil perhitungan, nilai
mean, median, Standal Deviasi (SD),
minimum dan maksimum beberapa
variabel deteksi dini kanker leher rahim
dan payudara di Indonesia tahun 2015
sebagaimana terlihat pada Tabel 1.
37. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit28
28 | P a g e
Tabel 1. Nilai mean, median, Standal Deviasi (SD), minimum dan maksimum variabel deteksi dini kanker
leher rahim dan payudara di Indonesia tahun 2015
No. Variabel Mean Median SD Minimum Maksimum
1. Cakupan skrining 3,34 1,56 3,45 0,12 17,44
2. Jumlah kabupaten/kota
pelaksana deteksi dini
11,2 10,0 5,5 5 29
3. Jumlah puskesmas pelaksana
deteksi dini
89,5 63,0 78,0 5 330
4. Jumlah bidan terlatih 142,4 80,5 163,2 0 690
5. Jumlah dokter terlatih 69,5 45,5 65,5 6 239
6. Jumlah kokter spesialis Obsgyn
terlatih
2,8 1,0 10,0 0 59
7. Jumlah krioterapi 12,0 5,5 14,9 0 77
8. Jumlah Posbindu PTM 279,0 198 396 1 2131
Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa nilai
rata-rata (mean) cakupan deteksi dini
sebesar 3,34%, 11 kabupaten/kota
pelaksana per provinsi, 90 puskesmas per
provinsi, 143 bidan per provinsi, 70 dokter
umum per provinsi, 3 dokter spesialis
Obsgyn per provinsi, 12 krioterapi per
(p=0.029; r=0.375). Sedangkan variabel-
variabel yang tidak ada hubungan yang
signifikan (p>0,05) adalah jumlah
puskesmas pelaksana deteksi dini, jumlah
dokter spesialis Obsgyn terlatih, jumlah
Posbindu PTM, dan jumlah kabupaten/kota
pelaksana deteksi dini.
Tabel 2. Faktor-faktor yang berhubungan (berkorelasi) dengan cakupan deteksi dini kanker leher rahim
dan payudara di Indonesia tahun 2015
No. Variabel Nilai p Nilai r Interpretasi
1. Jumlah krioterapi 0,000 0,78 Signifikan, berkorelasi positif sangat kuat
2. Jumlah dokter terlatih 0,018 0,40 Signifikan, berkorelasi positif sedang
3. Jumlah bidan terlatih 0,029 0,38 Signifikan, berkorelasi positif sedang
4. Jumlah puskesmas pelaksana
deteksi dini
0,069 0,32 Tidak signifikan
5. Jumlah dokter obsgin terlatih 0,436 0,14 Tidak signifikan
6. Jumlah Posbindu PTM 0,566 0,10 Tidak signifikan
7. Jumlah kabupaten/kota pelaksana
deteksi dini
0,618 0,09 Tidak signifikan
provinsi, dan 279 Posbindu PTM per
provinsi.
Adapun hasil uji korelasi, hubungan
beberapa variabel dengan cakupan deteksi
dini di Indonesia tahun 2015 dan kekutan
korelasi dapat dilihat pada Tabel 2.
Pada Tabel 2. terlihat bahwa variabel
independen yang ada hubungan secara
signifikan dengan cakupan deteksi dini
(p<0,05) dan berkorelasi positif sangat kuat
hingga sedang adalah jumlah krioterapi
(p=0,000; r=0,784), jumlah dokter terlatih
(p=0.018; r=0.403), dan jumlah bidan terlatih
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian, cakupan
deteksi dini kanker leher rahim di di
Indonesia masih rendah, yaitu 1.247.824
(3,34%) dari target 37.415.483, dan sangat
bervariasi antara satu provinsi dengan
provinsi lainnya (0,12%-17,44%). Cakupan
ini lebih rendah dibandingkan dengan
target Renstra Kemenkes RI tahun 2015
(10%) dan target ideal WHO (80%) (WHO,
2002).
38. Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 29
29 | P a g e
Jumlah rata-rata kabupaten/kota
pelaksanan deteksi dini adalah sebanyak 11
kabupaten/kota atau secara nasional sudah
mencapai 74%. Angka ini cukup tinggi yang
semestinya dapat meningkatkan cakupan
deteksi dini. Rata-rata puskesmas pelaksana
adalah 90 puskesmas per provinsi atau
secara nasional sebanyak 3.042 (30%)
puskesmas pelaksana. Angka ini
menunjukkan bahwa jumlah puskesmas
pelaksana deteksi dini di kabupaten/kota
masih rendah.
Jumlah rata-rata bidan terlatih deteksi
dini adalah 143 per provinsi atau secara
nasional 4.842 bidan, rata-rata 1,6 bidan
per puskesmas yang melaksanakan deteksi
dini.
Jumlah rata-rata dokter umum terlatih
deteksi dini adalah 90 per provinsi atau
total 2364, atau rata-rata 0,8 dokter per
pukesmas yang melaksanakan deteksi dini.
Angka ini masih kurang mengingat
setidaknya tersedia 1 dokter per
puskesmas.
Jumlah rata-rata dokter spesialis Obsgyn
terlatih adalah 2,8 per provinsi, atau total
82 dari 382 kabupaten/kota. Jumlah ini
masih sangat sedikit. dibandingkan dengan
kebutuhan minimal, yaitu 1 dokter spesialis
Obsgyn di 1 kabupaten/kota.
Jumlah rata-rata krioterapi adalah 12 per
provinsi, atau 373 unit di 382
kabupaten/kota. Hal ini menunjukkan
bahwa belum semua kabupaten/kota
mempunyai krioterapi. Jumlah krioterapi
minimal yang diharapkan adalah 1
krioterapi per kabupaten/kota, idealnya
seluruh puskesmas pelaksana deteksi dini
mempunyai krioterapi.
Jumlah rata-rata Posbindu PTM adalah
279 per provinsi atau total 9.496 Posbindu
PTM di 7.213 desa. Angka ini merupakan
9% dari 79.759 desa/kelurahan di
Indonesia.
Secara statistik variabel-variabel yang
menunjukkan hubungan yang signifikan
(p<0,05) dengan cakupan deteksi dini
kanker leher rahim dan payudara adalah
jumlah krioterapi (korelasi positif sangat
kuat), jumlah doker terlatih (korelasi positif
sedang), dan jumlah bidan terlatih (korelasi
positif sedang). Hal ini menunjukkan bahwa
semakin banyak jumlah terutama
krioterapi, dokter terlatih, dan jumlah bidan
terlatih, maka semakin tinggi cakupan
deteksi dini.
Jumlah krioterapi berkorelasi positif
sangat kuat dengan cakupan deteksi dini,
hal ini kemungkinan karena dengan adanya
krioterapi, petugas deteksi dini di
puskesmas lebih percaya diri dan
termotivasi untuk melakukan kegiatan
deteksi dini. Demikian juga masyarakat,
akan lebih tertarik untuk melakukan
deteksi dini. Krioterapi adalah suatu cara
pengobatan segera untuk IVA positif yang
seharusnya tersedia di puskesmas.
Jumlah dokter dan bidan terlatih
berkorelasi positif sedang dengan cakupan
deteksi dini, hal ini karena dokter dan bidan
terlatih tersebutlah yang melaksanakan
deteksi dini. Semakin banyak petugas yang
melakukan kegiatan deteksi dini tentu
cakupan deteksi dini juga semakin tinggi.
Jumlah puskesmas pelaksanan deteksi
dini tidak menunjukkan hubungan yang
signifikan dengan cakupan deteksi dini
(p>0,05), hal ini kemungkinan karena
jumlah puskesmas ini tidak linier dengan
keaktifan petugas (dokter dan bidan) dalam
melakukan kegiatan deteksi dini.
Jumlah dokter spesialis Obsgyn tidak
menunjukkan hubungan tyang signifikan,
dengan cakupan deteksi dini (p>0,05), hal
ini kemungkinan karena dokter spesialis
Obsgin terlatih hanya sebagai supervisor
dan pelatih yang tidak selalu mendampingi
petugas pelaksana deteksi dini di
puskesmas. Dokter spesialis Obsgyn berada
di rumah sakit yang memiliki waktu
terbatas untuk turun ke puskesmas.
Jumlah Posbindu PTM tidak
menunjukkan hubungan yang signifikan
dengan cakupan deteksi dini, hal ini
kemungkinan karena Posbindu PTM masih
kurang berperan aktif dalam melakukan
sosialisasi dan konseling bagi peserta
Posbindu PTM untuk melakukan deteksi
dini di Puskesmas.
Adapun jumlah kabupaten/kota tidak
menunjukkan hubungan yang signifikan
dengan cakupan deteksi ini, kemungkinan
karena jumlah rata-rata kabupaten/kota
pelaksana deteksi dini sudah 74%, dan di