1. PENULISAN ILMIAH
EKONOMI KOPERASI
DISUSUN OLEH : SANDIKA WAHYU INDRA PUTRA
KELAS : 2EA21
NPM : 19210428
PROGRAM STUDI FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS GUNADARMA
BEKASI 2011
2. KATA PENGANTAR
Dengan ini saya panjatkan puji & syukur kepada Allah swt, atas rahmat yang
telah diberikan sehingga dapat menyelesaikan penyusunan makalah sosiologi & politik.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembaca dimana bisa lebih
memahami informasi & pengetahuan tentang sistem ekonomi di koperasi, informasi/
pengetahuan & dapat menyaring hal yang lebih di masa depan.
Saya menyadari masih banyak hal yang belum tersampaikan dan pasti ada
kesalahan dalam makalah ini. Oleh sebab itu, mohon kritik & saran yang bisa
membangun supaya lebih baik dan berguna untuk semua para pembaca
Bekasi, 24 Oklober 2011
Hormat saya
Penulis
3. DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
A. LATAR BELAKANG MASALAH 1
B. KEDUDUKAN KOPERASI DALAM SISTEM EKONOMI INDONESIA 7
C. Perkembangan Koperasi di dalam Ekonomi Kapitalis dan Semi Kapitalis 10
C.1 Fakta 10
C.2 Faktor-faktor Keberhasilan: Pembelajaran Bagi Koperasi Indonesia 11
D. Potret Singkat Kinerja Koperasi di Indonesia 12
REFERENSI 14
4. A. LATAR BELAKANG KOPERASI
Koperasi tradisional atau Hanel (1985) menyebutnya dengan “Koperasi Historis”,
berkembang di Eropa di akhir abad 18 sampai 19. Pertumbuhannya berdasarkan naluri
solidaritas kelompok atau suku bangsa tertentu. Dengan menggunakan pendekatan
pengelolaan sederhana namun berhasil menanamkan prinsip pemanfaatan bersama atas
sumberdaya produksi yang tersedia.
Akan tetapi dalam perkembangan masyarakat memiliki karakteristik dinamis. Dinamika dan
ciri kompetitif ternyata kurang terwadahi dalam Koperasi tradisional. Koperasi tidak dapat
tumbuh dalam “kerangka dan suasana” tradisional seperti masa lalu. Persaingan telah
menuntut tersedianya rancangan strategi-strategi dan kiat-kiat tertentu agar dapat eksis dan
turut terlibat dalam kancah persaingan yang semakin ketat. Untuk itu diperlukan pengetahuan
yang cukup tentang faktor-faktor atau variabel-variabel yang terkait dengan keberhasilan
dan kegagalan koperasi. Strategi-strategi alternatif ini membutuhkan hipotesis-hipotesis,
teori-teori, dalil-dalil serta informasi lain yang teruji secara baik. Sumber utama pengetahuan
yang perlu digunakan dalam membangun sebuah institusi adalah pengetahuan “teoritikal”
yang dapat menerangkan berbagai realitas empirikal.
Reformasi dan reaktualisasi pemikiran tentang koperasi terletak pada nilai instrumental yang
operasional. Secara normatif perubahan itu hampir tidak mengusik eksistensi koperasi
sebagai institusi penghimpun kekuatan mandiri. Hal itu dapat ditelaah pada batasan koperasi
dari berbagai aliran yang ada. Para pakar dan peneliti serta ketentuan perundang-undangan
nasional telah menggariskan batasan berdasarkan cara pandang dan kepentingan yang
dihadapi, namun makna dasar koperasi tidak banyak berubah.
Pendapat mengenai definisi koperasi dikemukakan oleh para pendukung pendekatan
esensialis, institusional, maupun nominalis (Hanel, 1985,27). Pendekatan esensialis,
memandang koperasi atas dasar suatu daftar prinsip yang membedakan koperasi dengan
organisasi lainnya. Prinsip-prinsip ini di satu pihak memuat sejumlah nilai, norma, serta
tujuan nyata yang tidak harus sama ditemukan pada semua koperasi. Dari pendekatan
esensialis ini, International Cooperative Alliance (ICA) telah merumuskan pengertian
koperasi atas dasar enam prinsip pokok (Abrahamsen, 1976,3), antara lain:
1. Voluntary membership without restrictions as to race, political views,and religious
beliefs;
2. Democratic Control;
3. Limited interest or no interest on shares of stock; Earnings to belong to members, and
method of distribution to be decided by them;
4. Education of members, advisors, employees, and the public at large;
5. Cooperation among cooperatives on local, national, and international levels.
Pendekatan institusional, dalam mendefinisikan koperasi berangkat dari kriteria formal
(legal). Menurut pendekatan ini: "Semua organisasi disebut koperasi jika secara hukum
dinyatakan sebagai koperasi, jika dapat diawasi secara teratur dan jika dapat mengikuti
prinsip-prinsip koperasi". (Munkner, 1985,18).
5. Pendekatan nominalis, dengan pelopornya para ahli ekonomi koperasi dari
Universitas Philipps-Marburg, merumuskan pengertian koperasi atas dasar sifat khusus dari
struktur dasar tipe sosial-ekonominya. Menurut pendekatan nominalis, koperasi dipandang
sebagai organisasi yang memiliki empat unsur utama (Hanel, 1985,29), yaitu:
1. Individual are united in a group by-at least one common interest or goal (COOPERATIVE
GROUP);
2. The individual members of the cooperative group intend to pursue through joint actions
and mutual support, among other, the goal of improving their economic and social situation
(SELF-HELP OF THE COOPERATIVE GROUP);
3. The use as an instrument for that purpose a jointly owned and maintained enterprise
(COOPERATIVE ENTERPRISE);
4. The cooperative enterprise is charged with the perfomance of the (formal) goal or task to
promote the members of the cooperative group through offering them directly such goods
and services, which the members need for their individual economics - i.e. their houshold
(CHARGE OR PRINCIPLE OF MEMBER PROMOTION).
Penjelasan itu memberikan petunjuk bahwa dalam organisasi koperasi melekat secara utuh
lima unsur, yaitu: (a) anggota-anggota perseorangan, (b) kelompok koperasi, yang secara
sadar bertekad melakukan usaha bersama dan saling membantu demi perbaikan kondisi
ekonomi dan sosial mereka, melalui, (c)perusahaan koperasi, yang didirikan secara permanen
dimiliki dan dibina secara bersama sehingga tercipta suatu, (d) hubungan pemilikan antara
kelompok koperasi dan perusahaan koperasi yang mengarahkan adanya promosi anggota atau
hubungan usaha yang saling menunjang antara kegiatan ekonomi anggota individu dengan
perusahaan koperasi.
Berkaitan dengan keempat unsur tersebut, Hanel (1985,30) menjelaskan,” Thus, cooperative
are also characterized to be autonomous business organizations, which are owned by the
members and charged with the promotion of their members in their role as customers of the
cooperative enterprise.
Dalam organisasi koperasi terdapat prinsip atau norma identitas ganda, anggota di samping
sebagai pemilik sah, juga adalah pemilik atau pelanggan jasa yang diusahakan oleh koperasi.
Di samping itu, dalam organisasi koperasi terdapat dua perusahaan (double nature), yaitu
perusahaan, atau kegiatan ekonomi, anggota secara individu dan perusahaan koperasi yang
dimiliki anggota secara bersama-sama.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa koperasi dilihat dari substansinya
adalah suatu sistem sosial-ekonomi, hubungan dengan lingkungannya bersifat terbuka, cara
kerjanya adalah suatu sistem yang berorientasi pada tujuan, dan pemanfaatan sumber
dayanya adalah suatu organisasi ekonomi yang unsurnya mencakup: anggota-anggota
perseorangan, perusahaan atau kegiatan ekonomi anggota secara individu, kelompok
koperasi, perusahaan koperasi, dan hubungan pemilikan serta hubungan usaha atau pelayanan
perusahaan koperasi kepada para anggotanya.
Dari penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa koperasi memiliki ciri-ciri yang khas
sebagai sebuah organisasi. Koperasi lahir dengan memiliki tiga unsur pokok yakni, (a)
kerjasama dua orang atau lebih, (b) tujuan yang akan dicapai, (c) kegiatan yang dikoordinir
secara sadar.
6. Pendekatan nominalis dalam merumuskan pengertian koperasi, di samping telah
dapat menunjukkan ciri-ciri esensial koperasi yang dapat dikaji secara ilmiah, tetapi juga
telah dapat memberikan penjelasan yang cukup rinci mengenai perbedaan koperasi dengan
organisasi ekonomi lain yang bukan koperasi. Maman (1989,19) membedakan koperasi
dengan organisasi usaha non-koperasi, dengan melihat lima (5) hal yakni: (a) sifat
keanggotaan, (b) pembagian keuntungan, (c) hubungan personal antara organisasi dan
manajer, (d) keterlibatan pemerintah dalam penciptaan stabilitas dan operasi, dan (e)
hubungan organisasi dan masyarakat.
Peran anggota merupakan indikator penting dalam mendefinisikan koperasi secara universal
dengan tidak dibatasi oleh visi politis maupun kondisi sosial ekonomi kelompok masyarakat
di mana koperasi itu hidup. Kedua peran tersebut menjadi kriteria identitas (identity
criterion) bagi koperasi. Peran atau identitas ganda (dual identity) koperasi menunjukkan
bahwa yang melakukan kerja sama (cooperation) adalah manusia atau anggotanya. Baik
pada saat mengelola maupun pada saat memanfaatkan hasil usaha koperasi. Peran unik dari
anggota inilah yang dijadikan acuan dalam mengenali sistem koperasi di berbagai negara.
Roy (1981,6) dalam definsinya meamasukan peran anggota dalam usaha koperasi adalah:“...a
business voluntarily organized, operating at cost, which is owned, capitalized and controleed
by member-patrons as ussers, sharing risk and benefits proportional to their participation.”
Demikian pula, pendapat Packel, sebagaimana dikutip Abrahamsen (1976,5) yang
menyatakan koperasi adalah: “... a democratic association of persons organized to furnish
themselves an economic service under a plant that eliminates entrepreneur profit and that
provides for subtantial equality in ownership and control". Hal serupa juga secara implisit
dinyatakan oleh Munkner (1985), Ropke (1989) dan Chukwu (1990).
Walaupun bentuk implementasi peran anggota menurut beberapa ahli koperasi cenderung
mengalami perubahan. Seperti dikemukakan oleh Herman (1995,66) setelah mengkaji
artikel-artikel, “Trends in Co-operative Theory” (Wilson), “Homo Oeconomicus and Homo
Cooperatives in Cooperative Research” (Weisel), “Basic Cooperatives Values” (Laurikari),
maupun “Cooperative Today” (Book), menyimpulkan bahwa belakangan ini telah terjadi
perubahan peran anggota seiring dengan tersisihnya demokrasi oleh ekonomi.
Perubahan peran sentral dari anggota ke manajemen tidaklah mengubah pentingnya prinsip
ganda anggota dalam organisasi. Karena pada dasarnya perubahan itu terletak pada tataran
instrumental bukan pada taran substansi. Mengenai hal itu dapat dikaji pendapat Dulfer
(1985) mengenai perubahan struktur koperasi secara radikal. Dikatakan bahwa perubahan
struktur koperasi akan mengikuti pola hirarkis (a) koperasi tradisional, (b) koperasi
berorentasi pasar, dan (c) koperasi yang terintegrasi secara vertikal dan horizontal. Setiap
tingkat memiliki konsekwensi implementasi manajemen yang berbeda. Lebih khusus
perbedaan tersebut terletak pada posisi anggota dalam pengelolaan organisasi.
Koperasi Indonesia
Pada kasus Indonesia, koperasi sebagai badan usaha yang dimiliki dan dimanfaatkan oleh
anggota, di tegaskan dalam Undang-undang nomor 25 tahun 1992. Batasan koperasi dalam
perundangan ini memiliki makna yang lebih tegas dan jelas dibanding batasan lama, dalam
Undang-undang No.12 tahun 1967, yang memungkinkan terciptanya pemikiran ganda
tentang koperasi. Undang-undang nomor 25 tahun 1992 mengakomodasi perubahan tataran
instrumental seperti dengan diaturnya “Pengelola” atau manajer dalam pengelolaan
organisasi dan usaha koperasi.
7. Koperasi seperti badan usaha lainnya memiliki keleluasaan gerak dalam menjalankan
usaha selama tidak menyalahi ketentuan perundang-undangan dan idielogi normatif yang
ada. Usaha merupakan proses rasional yang akhirnya bermuara pada penciptaan keuntungan
(profit), akumulasi keuntungan tersebut digunakan untuk melayani kebutuhana anggota.
Dengan demikian, usaha koperasi dapat dilaksanakan selama memperhatikan dua hal pokok,
yakni:
(1) Usaha yang dijalankan selaras dengan kebutuhan anggota dan sejauh mungkin
mengandung unsur pemberdayaan (empowering) bagi usaha anggota.
(2) Keuntungan usaha dialokasikan untuk anggota selaras dengan jasa yang diberikan
anggota pada usaha koperasi.
Perhatian terhadap kesejahteraan masyarakat selain anggota sesuai dengan tujuan koperasi
Indonesia, seperti tertuang dalam pasal 3 Bab II Undang-undang nomor 25 tahun 1992,
yakni, memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya
serta ikut membangun tatanan ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang
maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pelaksanaan organisasi dan manajemen koperasi didasari oleh prinsip koperasi, prinsip
tersebut berisi, (a) keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka, (b) pengelolaan dilakukan
secara demokratis, (c) pembagian sisa hasil usaha (SHU) dilakukan secara adil sebanding
dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota, (d) pemberian balas jasa yang terbatas
terhadap modal, (e) Kemandirian. Di samping prinsip yang mengikat intern organisasi,
koperasi memiliki prinsip lain yang berkaitan dengan ekstern organisasi yakni, (a)
pendidikan perkoperasian, (b) kerjasama antar koperasi.
Pembahasan di atas menunjukkan koperasi dapat dilihat sebagai unit usaha (dimensi mikro)
dan sistem ekonomi (dimensi makro). Dalam dimensi mikro, koperasi memiliki kewajiban
dan hak yang sama dengan pelaku ekonomi lainnya. Dalam dimensi makro, koperasi adalah
faham atau idielogi yang harus menjadi panutan bagi pelaku ekonomi nasional.
Pemahaman tentang kedua hal itu dapat menghindarkan diri dari pemikiran yang keliru
terhadap konsep “Koperasi sebagai soko guru ekonomi”. Mengenai kedua dimensi itu dapat
di pisahkan dan dibedakan dengan menunjuk aspek-aspek seperti pada tabel 1.
Dimensi mikro mengandung konsekuensi, koperasi sebagai organisasi ekonomi yang
memiliki keharusan menangani usaha berdasarkan prinsip efisiensi, efektivitas dan
produktivitas. Hanya dengan itu koperasi tetap hidup dan mampu mengembangkan diri
melalui akumulasi kekayaan (asets) sebagai prasyarat untuk memberikan pelayanan lebih
baik bagi anggota. Khususnya dalam pemanfaatan faktor-faktor produksi yang persediannya
terbatas. Dalam konteks ini koperasi memiliki berbagai kesamaan dengan badan usaha
lainnya. Selaras dengan tujuan koperasi, maka prinsip efisiensi dan efektivitas untuk
mewujudkan produktivitas yang tinggi harus dipadukan dengan optimasi pelayanan kepada
usaha dan kesejahteraan anggota.
8. Kriteria Dimensi Mikro Dimensi Makro
Kriteria Dimensi Mikro Dimensi Makro
Arti Koperasi sebagai badan usaha. Koperasi sebagai sistem
ekonomi.
Identitas Anggota berperan sebagai pemilik
dan pelangan. Demokrasi ekonomi.
Pelaku Anggota
Pengurus BUMN
Pengawas BUMS
BUMK
Implikasi Efisien, efektip dengan
produktivitas yang tinggi, untuk Sistem ekonomi yang
pelayanan yang optimal bagi bernuansa kemanfaatan
anggota. bersama/ kerakyatan.
Sistem ekonomi yang bernuansa kemanfaatan bersama/ kerakyatan.
Koperasi sebagai sistem sosial merupakan gerakan yang tumbuh berdasarkan
kepentingan bersama. Ini mengandung makna dinamika koperasi harus selaras dengan
tujuan yang telah ditetapkan bersama. Semangat kolegial perlu dipelihara melalui
penerapan musyawarah dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks itu, koperasi
merupakan organisasi swadaya (self-helf organization) akan tetapi tidak seperti halnya
organisasi swadaya lainnya, koperasi memiliki karakteristik yang berbeda
(Hanel,1985,36).
Mengkaji koperasi sebagai badan usaha dan organisasi swadaya adalah untuk
memperoleh gambaran yang jelas tentang posisi manusia dalam konstelasi sistem
koperasi. Koperasi menempatkan faktor “manusia” sebagai elemen penting dalam sistem
keorganisasian. Manusia anggota merupakan sentral pengembangan yang berposisi
penting dalam proses peningkatan kesejahteraan.
Manajemen Koperasi
Tugas manajemen koperasi adalah menghimpun, mengkoordinasi dan mengembangkan
potensi yang ada pada anggota sehingga potensi tersebut menjadi kekuatan untuk
meningkatkan taraf hidup anggota sendiri melalui proses “nilai tambah”. Hal itu dapat
dilakukan bila sumberdaya yang ada dapat dikelola secara efisien dan penuh kreasi
(inovatif) serta diimbangi oleh kemampuan kepemimpinan yang tangguh.
Manajemen koperasi memiliki tugas membangkitkan potensi dan motif yang tersedia
yaitu dengan cara memahami kondisi objektif dari anggota sebagaimana layaknya
manusia lainnya. Pihak manajemen dituntut untuk selalu berpikir selangkah lebih maju
dalam memberi manfaat dibanding pesaing hanya dengan itu anggota atau calon anggota
tergerak untuk memilih koperasi sebagai alternatif yang lebih rasional dalam melakukan
transaksi ekonominya.
9. Rumusan manfaat bagi setiap orang akan berbeda hal itu tergantung kepada pandangan
hidup terhadap nilai manfaat itu sen-diri. Motif berkoperasi bagi sementara orang
adalah untuk memperoleh nilai tambah ekonomis seperti, me-ningkatnya penghasilan
atau menambah kekayaan (aset) usaha. Tetapi bagi sebagian orang menjadi anggota
koperasi bukan karena adanya dorongan materi atau alasan finansial akan tetapi semata-
mata untuk kepuasan batin saja atau alasan ideal lainnya.
Untuk menjaga momentum pertumbuhan usaha maupun perkembangan koperasi pada
umumnya pihak manajemen perlu mengupayakan agar koperasi tetap menjadi alternatif
yang menguntungkan, Perangkat organisasi koperasi sebagaimana diatur dalam pasal 21
Undang-Undang Perkoperasian Nomor 25 tahun 1992 terdiri atas, (a) rapat anggota, (b)
pengurus, dan (c) pengawas.
Ketiganya dalam organisasi koperasi memiliki tugas mengembangkan kerjasama
sehingga membentuk suatu kesatuan sistem pengelolaan. Untuk menuju ke arah itu
diperlukan komitmen unsur-unsur tersebut terhadap sistem kerja yang telah disepakati
bersama.
Rapat anggota merupakan kolektivitas suara anggota yang merupakan pemilik
organisasi dan juga merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. Ide-ide dan kebijakan
dasar dihasilkan dalam forum ini. Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga,
anggaran pendapatan dan belanja, pokok-pokok program dan ketentuan-ketentuan dasar
dibuat berdasarkan musyawarah anggota, yang selanjutnya dilaksanakan oleh pengurus
atau manajer dan pengawas. Secara sistimatis Roy (1981,426) menunjuk kekuasaan dan
tanggungjawab anggota.
Sehubungan dengan beratnya kewajiban yang harus diemban anggota, maka sistem
penerimaan keanggotaan se-layaknya menggunakan standar minimal kualifikasi.
Standar minimal kualifikasi tersebut berhubungan dengan tingkat minimal pemahaman
calon anggota terhadap hak, tanggung jawab dan kewaji-ban selaku anggota. Dengan
demikian memungkinkan anggota memiliki pengetahuan yang relatif sama mengenai
organisasi dan tujuan yang hendak dicapai. Penetapan standar minimal kualifikasi tidak
bertentangan dengan prinsip "keanggotaan terbuka" karena pada dasarnya memung-
kinkan setiap orang untuk menjadi anggota, akan tetapi sebelum pendaftaran dilakukan
setiap anggota perlu memiliki wawasan minimal sebagai anggota. Untuk keperluan itulah
diperlukan pendidikan dasar bagi calon anggota. Standar minimal kualifikasi tersebut
menyangkut pemahaman dan ketertautan diri terhadap isi anggaran dasar dan ang-garan
rumah tangga serta ketentuan lain dalam organisasi.
Pengurus adalah orang-orang yang dipercaya oleh rapat anggota untuk menjalankan tugas
dan wewenang dalam menjalankan roda organisa-si dan usaha. Sehubungan dengan hal
itu, maka pengurus wajib melaksanakan harapan dan amanah anggota yang disampaikan
dalam forum rapat anggota. Pengurus perlu menjabarkan kehendak anggota dalam
program kerja yang lebih teknis.
Pasal 30 dalam perundang-undangan yang sama telah menetapkan tugas pengurus adalah
(a) mengelola koperasi dan usahanya, (b) mengajukan rancangan rencana kerja serta
rancangan rencana Anggaran pendapatan dan belanja koperasi, (c) menyelengga-rakan
rapat anggota, (d) mengajukan laporan keuangan dan pertang-gungjawaban pelaksanaan
tugas, (e) memelihara daftar buku anggota pengurus.
Selain tugas seperti di atas pengurus pun memiliki kewenangan, untuk, (a) mewakili
koperasi di dalam dan di luar pengadilan, (b) memutuskan penerimaan dan penolakan
10. anggota baru serta pemberhentian anggota sesuai dengan ketentuan dalam anggaran
dasar, (c) melakukan tindakan dan upaya bagi kepentingan dan kemanfaatan koperasi
sesuai dengan tanggungjawabnya dan keputusan rapat anggota. Untuk terlaksananya
tugas tersebut, pengurus dibantu oleh pengelola dan karyawan lainnya.
Mengenai kehadiran pengelola telah diatur dalam pasal 32, yang berisi ketentuan sebagai
berikut, (a) pengurus koperasi dapat mengangkat pengelola dan diberi wewenang dan
kuasa untuk mengelola usaha, (b) dalam hal pengurus koperasi bermaksud untuk
mengangkat pengelola, maka rencana pengangkatan tersebut diajukan kepada rapat
anggota untuk mendapat persetujuan, (c) pengelola bertanggungjawab kepada pengurus,
(d) pengelola usaha oleh pengelola tidak mengurangi tanggungjawab pengurus
sebagaimana ditentukan dalam pasal 31.
Dengan demikian esensi inovasi dapat diklasifikasi dengan: (a) menerima dan
menerapkan cara atau teknologi yang sama sekali baru, (b) memodifikasi cara atau
teknologi lama sehingga terkesan baru, (c) menerapkan cara baru dari tekbologi lama.
B. KEDUDUKAN KOPERASI DALAM SISTEM EKONOMI INDONESIA
Sampai hari ini, perdebatan mengenai posisi, kedudukan dan peran strategis koperasi,
masih menjadi perdebatan yang panjang. Akan tetapi nyatanya sampai hari ini juga
perkembangan perkoperasian terus saja mengalami kemajuan. Hal ini diakibatkan Koperasi
memiliki ikatan emosional, ikatan historical, maupun ikatan budaya dengan masyarakat
kecil. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk tidak terus mengembangkan koperasi sebagai
salah satu solusi bagi pemecahan masalah perekonomian bangsa.
Koperasi sebagai suatu sistem ekonomi, mempunyai kedudukan (politik) yang cukup kuat
karena memiliki cantolan konstitusional, yaitu berpegang pada Pasal 33 UUD 1945,
khususnya Ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan”. Dalam Penjelasan UUD 1945 itu dikatakan bahwa bangun
usaha yang paling cocok dengan asas kekeluargaan itu adalah Koperasi. Tafsiran itu sering
pula dikemukakan oleh Mohammad Hatta, yang sering disebut sebagai perumus pasal
tersebut. Pada Penjelasan konstitusi tersebut juga dikatakan, bahwa sistem ekonomi
Indonesia didasarkan pada asas Demokrasi Ekonomi, di mana produksi dilakukan oleh semua
dan untuk semua yang wujudnya dapat ditafsirkan sebagai Koperasi.
Dalam wacana sistem ekonomi dunia, Koperasi disebut juga sebagai the third way,
atau “jalan ketiga”, istilah yang akhir-akhir ini dipopulerkan oleh sosiolog Inggris, Anthony
Giddens, yaitu sebagai “jalan tengah” antara kapitalisme dan sosialisme.
Koperasi diperkenalkan di Indonesia oleh R. Aria Wiriatmadja di Purwokerto, Jawa Tengah
pada tahun 1896. Ia mendirikan Koperasi kredit dengan tujuan membantu rakyatnya yang
terjerat hutang dengan rentenir. R. Aria Wiriatmadja atau Tirto Adisuryo, yang kemudian
dibantu pengembangannya oleh pejabat Belanda dan akhirnya menjadi program resmi
pemerintah. Seorang pejabat pemerintah Belanda, yang kemudian menjadi sarjana ekonomi,
Booke, juga menaruh perhatian terhadap Koperasi. Atas dasar tesisnya, tentang dualisme
sosial budaya masyarakat Indonesia antara sektor modern dan sektor tradisional, ia
berkesimpulan bahwa sistem usaha Koperasi lebih cocok bagi kaum pribumi daripada bentuk
badan-badan usaha kapitalis. Pandangan ini agaknya disetujui oleh pemerintah Hindia
Belanda sehingga pemerintah kolonial itu mengadopsi kebijakan pembinaan Koperasi.
Meski Koperasi tersebut berkembang pesat hingga tahun 1933-an, pemerintah Kolonial
11. Belanda khawatir Koperasi akan dijadikan tempat pusat perlawanan, namun Koperasi
menjamur kembali hingga pada masa pendudukan Jepang dan kemerdekaan. Pada tanggal 12
Juli 1947, pergerakan Koperasi di Indonesia mengadakan Kongres Koperasi yang pertama di
Tasikmalaya. Hari ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia.
Bung Hatta meneruskan tradisi pemikiran ekonomi sebelumnya. Ketertarikannya kepada
sistem Koperasi agaknya adalah karena pengaruh kunjungannya ke negara-negara
Skandinavia, khususnya Denmark, pada akhir tahun 1930-an. Walaupun ia sering
mengaitkan Koperasi dengan nilai dan lembaga tradisional gotong-royong, namun
persepsinya tentang Koperasi adalah sebuah organisasi ekonomi modern yang berkembang di
Eropa Barat. Ia pernah juga membedakan antara “Koperasi sosial” yang berdasarkan asas
gotong royong, dengan “Koperasi ekonomi” yang berdasarkan asas-asas ekonomi pasar yang
rasional dan kompetitif.
Bagi Bung Hatta, Koperasi bukanlah sebuah lembaga yang antipasar atau nonpasar dalam
masyarakat tradisional. Koperasi, baginya adalah sebuah lembaga self-help lapisan
masyarakat yang lemah atau rakyat kecil untuk bisa mengendalikan pasar. Karena itu
Koperasi harus bisa bekerja dalam sistem pasar, dengan cara menerapkan prinsip efisiensi.
Koperasi juga bukan sebuah komunitas tertutup, tetapi terbuka, dengan melayani non-
anggota, walaupun dengan maksud untuk menarik mereka menjadi anggota Koperasi, setelah
merasakan manfaat berhubungan dengan Koperasi. Dengan cara itulah sistem Koperasi akan
mentransformasikan sistem ekonomi kapitalis yang tidak ramah terhadap pelaku ekonomi
kecil melalui persaingan bebas (kompetisi), menjadi sistem yang lebih bersandar kepada
kerja sama atau Koperasi, tanpa menghancurkan pasar yang kompetitif itu sendiri.
Dewasa ini, di dunia ada dua macam model Koperasi. Pertama, adalah Koperasi yang dibina
oleh pemerintah dalam kerangka sistem sosialis. Kedua, adalah Koperasi yang dibiarkan
berkembang di pasar oleh masyarakat sendiri, tanpa bantuan pemerintah. Jika badan usaha
milik negara merupakan usaha skala besar, maka Koperasi mewadahi usaha-usaha kecil,
walaupun jika telah bergabung dalam Koperasi menjadi badan usaha skala besar juga. Di
negara-negara kapitalis, baik di Eropa Barat, Amerika Utara dan Australia, Koperasi juga
menjadi wadah usaha kecil dan konsumen berpendapatan rendah. Di Jepang, Koperasi telah
menjadi wadah perekonomian pedesaan yang berbasis pertanian.
Di Indonesia, Bung Hatta sendiri menganjurkan didirikannya tiga macam Koperasi. Pertama,
adalah Koperasi konsumsi yang terutama melayani kebutuhan kaum buruh dan pegawai.
Kedua, adalah Koperasi produksi yang merupakan wadah kaum petani (termasuk peternak
atau nelayan). Ketiga, adalah Koperasi kredit yang melayani pedagang kecil dan pengusaha
kecil guna memenuhi kebutuhan modal. Bung Hatta juga menganjurkan pengorganisasian
industri kecil dan Koperasi produksi, guna memenuhi kebutuhan bahan baku dan pemasaran
hasil.
12. Menurut Bung Hatta, tujuan Koperasi bukanlah mencari laba yang sebesar-besarnya,
melainkan melayani kebutuhan bersama dan wadah partisipasi pelaku ekonomi skala kecil.
Tapi, ini tidak berarti, bahwa Koperasi itu identik dengan usaha skala kecil. Koperasi bisa
pula membangun usaha skala besar berdasarkan modal yang bisa dikumpulkan dari
anggotanya, baik anggota Koperasi primer maupun anggota Koperasi sekunder. Contohnya
adalah industri tekstil yang dibangun oleh GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia) dan
berbagai Koperasi batik primer.
Karena kedudukannya yang cukup kuat dalam konstitusi, maka tidak sebuah pemerintahpun
berani meninggalkan kebijakan dan program pembinaan Koperasi. Semua partai politik, dari
dulu hingga kini, dari Masyumi hingga PKI, mencantumkan Koperasi sebagai program
utama. Hanya saja kantor menteri negara dan departemen Koperasi baru lahir di masa Orde
Baru pada akhir dasarwarsa 1970-an. Karena itu, gagasan sekarang untuk menghapuskan
departemen Koperasi dan pembinaan usaha kecil dan menengah, bukan hal yang
mengejutkan, karena sebelum Orde Baru tidak dikenal kantor menteri negara atau
departemen Koperasi. Bahkan, kabinet-kabinet yang dipimpin oleh Bung Hatta sendiri pun
tidak ada departemen atau menteri negara yang khusus membina Koperasi.
13. C. Perkembangan Koperasi di dalam Ekonomi Kapitalis dan Semi Kapitalis
C.1 Fakta
Dalam sejarahnya, koperasi sebenarnya bukanlah organisasi usaha yang khas berasal dari
Indonesia. Kegiatan berkoperasi dan organisasi koperasi pada mulanya diperkenalkan di
Inggris di sekitar abad pertengahan. Pada waktu itu misi utama berkoperasi adalah untuk
menolong kaum buruh dan petani yang menghadapi problem-problem ekonomi dengan
menggalang kekuatan mereka sendiri. Kemudian di Perancis yang didorong oleh gerakan
kaum buruh yang tertindas oleh kekuatan kapitalis sepanjang abad ke 19 dengan tujuan
utamanya membangun suatu ekonomi alternatif dari asosiasi-asosiasi koperasi
menggantikan perusahaan-perusahaan milik kapitalis (Moene dan Wallerstein, 1993). Ide
koperasi ini kemudian menjalar ke AS dan negara-negara lainnya di dunia. Di Indonesia,
baru koperasi diperkenalkan pada awal abad 20. Sejak munculnya ide tersebut hingga
saat ini, banyak koperasi di negara-negara maju (NM) seperti di Uni Eropa (UE) dan AS
sudah menjadi perusahaan-perusahaan besar termasuk di sektor pertanian, industri
manufaktur, dan perbankan yang mampu bersaing dengan korporat-korporat kapitalis.
Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di NM dan NSB memang sangat
diametral. Di NM koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar,
oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan
kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi
kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional. Peraturan perundangan
yang mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam
rangka melindungi dirinya. Sedangkan, di NSB koperasi dihadirkan dalam kerangka
membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan
pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran
antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam
memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di NSB, baik oleh
pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan
(Soetrisno, 2001). Dalam kasus Indonesia, hal ini ditegaskan di dalam Undang-undang
(UU) Dasar 1945 Pasal 33 mengenai sistem perekonomian nasional. Berbagai peraturan
perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan dan juga dibentuk departemen atau
kementerian khusus yakni Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
dengan maksud mendukung perkembangan koperasi di dalam negeri.
14. C.2 Faktor-faktor Keberhasilan: Pembelajaran Bagi Koperasi Indonesia
Hebatnya perkembangan dari koperasi-koperasi di negara-negara maju tersebut memberi kesan
bahwa koperasi tidak bertentangan dengan ekonomi kapitalis. Sebaliknya, koperasi-koperasi
tersebut tidak hanya mampu selama ini bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar non-
koperasi, tetapi mereka juga menyumbang terhadap kemajuan ekonomi dari negara-negara
kapitalis tersebut. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa koperasi lahir pertama kali di Eropa
yang juga merupakan tempat lahirnya sistem ekonomi kapitalis.
Rangkuman dari hasil Konferensi Tahunan Koperasi-Koperasi Petani, Oktober 29-20,
2001 di Las Vegas, Nevada (AS)1menghasilkan beberapa butir penting yang disampaikan
oleh pembicara-pembicara mengenai tantangan yang dihadapi oleh koperasi pada era
sekarang ini. Diantaranya dari Larson, yakni sebagai berikut: (1) membangun suatu
sistem koperasi yang menyatukan peran lokal dan peran regional; dalam kata lain
bagaimana koperasi lokal dan koperasi regional bisa bekerja sama untuk jangka panjang);
(2) menciptakan penghasilan yang cukup (atau menaikkan profit); (3) mengembangkan
atau menyempurnakan strategi dan keahlian pemasaran (mensegmentasikan pasar hanya
permulaan); (4) program-program SDM; dan (5) mengembangkan dan melaksanakan
suatu strategi e-commerce. Pesan paling utama dari Larson untuk koperasi-koperasi lokal
adalah bahwa kinerja keuangan yang solid sangat penting; koperasi-koperasi harus
mempunyai tujuan-tujuan penggerak/peningkatan kinerja.
Selain studi-studi kasus di atas, beberapa pengamat koperasi di Indonesia juga mencoba
mengevaluasi keberhasilan koperasi di NM. Misalnya menurut Soetrisno (2001,
2003a,b,c), model-model keberhasilan koperasi di dunia umumnya berangkat dari tiga
kutub besar, yaitu konsumen seperti di Inggris, kredit seperti di Perancis dan Belanda dan
produsen yang berkembang pesat di daratan Amerika, khususnya AS dan di beberapa
negara di Eropa. Dari evaluasinya, Soetrisno melihat ada beberapa syarat agar koperasi
bisa maju, yakni: (i) skala usaha koperasi harus layak secara ekonomi;2(ii) koperasi harus
memiliki cakupan kegiatan yang menjangkau kebutuhan masyarakat luas, kredit (simpan-
pinjam) dapat menjadi platfon dasar menumbuhkan koperasi (iii) posisi koperasi
produsen yang menghadapi dilema bilateral monopoli menjadi akar memperkuat posisi
tawar koperasi dan pendidikan , peningkatan teknologi menjadi kunci untuk meninkatkan
koperasi ( pengembangan SDM)
1
Hasil lengkapnya (termasuk makalah-makalah dan/atau power point- power point dari para
pembicara) dari konferensi ini dan konferensi pada tahun-tahun sebelumnya atau sesudahnya
dapat dilihat di alamat berikut ini: www.wisc.edu/uwcc (University of Wisconsin Center for
Cooperatives).
2
Dukungan belanja rumah tangga baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen sangat penting untuk
menunjang kelayakan bisnis perusahaan koperasi. Pada akhirnya penjumlahan keseluruhan transaksi para anggota
harus menghasilkan suatu volume penjualan yang mampu mendapatkan penerimaan koperasi yang layak dimana hal
ini ditentukan oleh rata-rata tingkat pendapatan atau skala kegiatan ekonomi anggota.
15. D. Potret Singkat Kinerja Koperasi di Indonesia
Berdasarkan data resmi dari Departemen Koperasi dan UKM, sampai dengan bulan November
2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah
keanggotaan ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi
per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga
mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November
2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Hingga tahun 2004 tercatat 130.730, tetapi yang aktif
mencapai 71,50%, sedangkan yang menjalan rapat tahunan anggota (RAT) hanya 35,42%
koperasi saja. Tahun 2006 tercatat ada 138.411 unit dengan anggota 27.042.342 orang akan
tetapi yang aktif 94.708 unit dan yang tidak aktif sebesar 43.703 unit. Sedangkan menurut Ketua
Umum Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), Adi Sasono, yang diberitakan di Kompas, Kamis,
per 31 Mei 2007 terdapat 138.000 koperasi di Indonesia, namun 30 persennya belum aktif.
Informasi terakhir dari Triyatna (2009), jumlah koperasi tahun 2007 mencapai 149.793 units,
diantaranya 104.999 aktif, atau sekitar 70% dari jumlah koperasi dan sisanya 44.794 non-aktif
(Tabel 4). Selama periode 2006-2007, jumlah koperasi aktif tumbuh 6,1% sedangkan laju
pertumbuhan koperasi tidak aktif sekitar 5,7%. Corak koperasi Indonesia adalah koperasi dengan
skala sangat kecil.
Salah satu indikator yang umum digunakan untuk mengukur kinerja koperasi adalah
perkembangan volume usaha dan sisa hasil usaha (SHU). Data yang ada menunjukkan bahwa
kedua indikator tersebut mengalami peningkatan selama periode 2000-2006. Untuk volume
usaha, nilainya naik dari hampir 23,1 triliun rupiah tahun 2000 ke hampir 54,8 triliun rupiah
tahun 2006; sedangkan SHU dari 695 miliar rupiah tahun 2000 ke 3,1 triliun rupiah tahun 2006.
(Tabel 5). Menurut data paling akhir yang ada yang dikutip oleh Triyatna (2009), pada tahun
2007 jumlah SHU koperasi aktif mencapai 3.470 miliar rupiah sedangkan modal luar koperasi
aktif sekitar 23.324 miliar rupiah. Selama periode 2006-2007, pertumbuhan SHU sekitar 7,9%
dan modal luar 5,7%.
Memasuki tahun 2000 koperasi Indonesia didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai
antara 55%-60% dari keseluruhan aset koperasi. Sementara itu dilihat dari populasi koperasi
yang terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi koperasi atau sekitar
35% dari populasi koperasi aktif. Hingga akhir 2002, posisi koperasi dalam pasar perkreditan
mikro menempati tempat kedua setelah Bank Rakyat Indonesia (BRI)-unit desa sebesar 46% dari
KSP/USP dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun program pemerintah cukup
gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi hanya
menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada dasarnya masih besar
elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi (Soetrisno, 2003c).
16. Berdasarkan data propinsi 2006, jumlah koperasi dan jumlah koperasi aktif sebagai
persentase dari jumlah koperasi bervariasi antar propinsi. Pertanyaan sekarang adalah kenapa
jumlah koperasi atau proporsi koperasi aktif berbeda menurut propinsi? Apakah mungkin ada
hubungan erat dengan kondisi ekonomi yang jika diukur dengan pendapatan atau produk
domestic regional bruto (PDRB) per kapita memang berbeda antar propinsi? Secara teori,
hubungan antara koperasi aktif dan kondisi ekonomi atau pendapatan per kapita bisa positif atau
negatif. Dari sisi permintaan (pasar output), pendapatan per kapita yang tinggi yang membuat
prospek pasar output baik, atau pasar output dalam kondisi booming, memberi suatu insentif bagi
perkembangan aktivitas koperasi karena pelaku-pelaku koperasi melihat besarnya peluang pasar
(ceteris paribus). Fenomena yang bisa disebut efek demand-pull. Dari sisi penawaran (pasar
input; dalam hal ini petani atau produsen), pendapatan per kapita yang tinggi yang menciptakan
peluang pasar atau peningkatan penghasilan bagi individu petani atau produsen bisa menjadi
suatu faktor
disinsentif bagi kebutuhan para petani atau produsen untuk membentuk koperasi. Fenomena
yang dapat disebut supply-push.3
3
Pertanyaan ini sama dengan pertanyaan, kenapa, menurut data BPS, jumlah usaha kecil dan menengah (UKM)
setiap tahun meningkat? Apakah peningkatan tersebut mencerminkan perkembangan kewirausahaan (demand-pull)
atau suatu refleksi dari tingginya jumlah pengangguran atau tingkat kemiskinan (supply-push).