Dokumen tersebut membahas tentang adat dan sosial di daerah Kutacane, Aceh. Adat-adat tradisional seperti upacara pernikahan, pesta, dan tradisi mepahukh dideskripsikan. Adat-adat tersebut telah hilang seiring perkembangan zaman dan globalisasi. Dokumen juga membahas pentingnya melestarikan adat sesuai dengan aturan Islam dan masyarakat setempat serta peran pemerintah dalam mendokumentasikan dan
1. Tulisan Ilmiah Populer
ADAT DAN SOSIAL
Goresan pena: MAKARINA
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dariseorang aki-laki
dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling mengenal (Q.S Al-Hujarat, 49:13)
Pada dasarnya, kita semua adalah orang Aceh. Kita terdiri dari
berbagai etnis (suku bangsa) seperti Gayo, Tamiang, Singkil, Alas, Kleut,
Aneuk jame dan Simeulu. Ada juga etnis-etnis imigran yang bermukim
seperti, Arab, India, Turki, Persia, Portugis, Jawa, Cina, Siam, Campa, Bugis,
Melayu, Batak, danNias. Hal ini menunjukan bahwa kerajaan Aceh
Darussalam merupakan sebuah kerajaan yang sudah sangat terbuka dan
bercorak cosmopolitan, terutama mulai masa Sultan Iskandar Muda pada
tahun 1607-1636 (Memahami Orang Aceh, Dr. Mohd. Harun, M.Pd., 1:2009).
Berbagai etnis yang mendiami Aceh, bermacam-macam pula adat
yang terdapat di setiap suku yang terdapat disetiap daerah yang ada di Aceh.
Jika kita berbicara tentang adat, sudah pastinya termasuk masalah esensial
dalam kehidupan sosial orang Aceh.
Bagi orang Aceh pada khususnya, adat bahkan dijadikan salah satu
pegangan hidup dan dianggap sebagai “pusaka” yang diwariskan kepada
2. generasi selanjutnya. Dalam hal ini, saya ingin memaparkan mengenai adat
dan sosial yang ada di daerah kutacane.
Setiap daerah tentu mempunyai keunikan tersendiri mengenai adat
dan sosial yang berjalan di daerahnya, begitu pula dengan daerah kutacane.
Dahulu ada sebuah adat/tradisi yang berjalan ketika masyarakat sedang
melaksanakan pesta pernikahan. Mulai dari pekerjeken( masak-memasak),
antattakhuh (antarlinto), sampai acara nakhuhken. Pada saat nakhuhken, ada
namanya begahen (tamu undangan), di dalam acara ada alunan nada yang
menyertai, namanya malucanang. Canangnya biasanya disebut canang situ.
Kemudian, pada saat hendak berangkat untuk pamitan, ada namanya
melagam. Tangis dilo dilakukan pada saat seperempat malam/ menjelang
subuh. Di dalam kegiatan pesta, biasanya ada pertunjukan. Seperti mesekat,
pelebet, landokalun, dan genggong. Acara mepakhuh dilakukan malam hari ketika
pihak perempuan sedang berada di rumah pihak laki-laki. “dayang-dayang”
yang dibawa ada ketue bujang yang menjaga. Tapi pada zaman dahulu, acara
mepahukh tersebut dilakukan di tekhuhk humah (bawah kolong) tanpa harus
melihat siapa orangnya, dan bagaimana bentuk wajah orang tersebut. Yang
bisa di dengar hanya suara. Jika sang lelaki tertarik pada wanita yang
dipahurinya. Dia sendiri yang akan mencaritahu dan langsung melamar
siperempuan tersebut. Begitulah adat Alas pada zaman dahulu, berjalan
dengan aturan islam.
Di era globalisasi sekarang ini, aturan yang terdapat di dalam adat
tersebut, musnah begitu saja, seiring perkembangan zaman. Adat yang ada
pun bahkan terlupakan dan perlahan-lahan menghilang. Untuk
mendokumetasikannya sudah sangat sulit, karena orang yang Berjaya di
3. zamannya perlahan tapi pasti, pergi kepangkuan sang Maha kuasa. Yang
menjadi permasalahnnya adalah, adat mepahukh yang saya katakan tadi kini
telah menjadi ajang untuk berbuat maksiat, aturan sosial yang di buat sesuai
hukum islam telah hilang begitu saja. Karena hukum tak lagi merekat dalam
adat, maka MBA (married by aciden) pun terjadi. Adat yang lain pun terhapus
begitu saja, bahkan tak ada yang kenal seperti apa adat tersebut. Salah satu
adat yang sampai sekarang tak diketahui bagaimana rupa dan bentuknya
adalah genggong.
Ini merupakan pelajaran bagi kita, bahwa jika suatua turan yang
dibuat sesuai hukum islam itu dihapuskan, maka mala petakalah yang akan
menghantui itu. Oleh sebab itulah kita harus menjaga dan melestarikan adat
yang ada sesuai dengan kaidahnya.
Pentingnya adat dalam kehidupan manusia perlu di sosialisasikan.
Jika yang mati itu adalah ia akan sirna tanpa bekas. Hal ini karena adat
merupakan suatu system aturan bersama yang akan eksis jika dijalankan
dengan benar oleh masyarkat pendukungnya. Jika ia tidak dijalankan lagi, ia
akan hilang sehingga tidak tahu dicari dimana. Dengan kata lain, kalau
manusia sudah tidak mau mematuhinya lagi, adat itu lenyap dengan
sendirinya. Eksistensi adat tampak dalam perilaku masyarakat
pendukungnya.
Bagi orang Aceh, adat bahkan dijadikan salah satu pegangan hidup
dan dianggap sebagai “pusaka” yang harus diwariskan kepada generasi
selanjutnya. Adat dalam hal ini diamsalkan sebagai sebuah jembatan
tradisional yang memiliki pegangan. Meskipun antara adat dan hokum tidak
dapat dipisahkan, tetapi harus jelas mana adat yang dimaksudkan itu, karena
4. masih ada adat Aceh yang bertentangan dengan hukum (islam). Ada empat
macam adat di Aceh secara umum, yaitu:
a. Adat tullah, yaitu aturan atau ketentuan yang didasarkan pada
hukum syariah yang bersumbe rkan al-quran dan hadits.
b. Adat tunah, yaitu adat istiadat sebagai manifestasi dari kanun
(undang-undang) dan reusam (kebiasaan atau tradisi di suatu
tempat) yang mengatur kehidupan masyarakat.
c. Adat muhakamah, yaitu adat yang di manifestasikan pada asas
musyawarah dan mufakat; dan
d. Adat jahiliyah, yaitu adat istiadat atau kebiasaan-kebiasaan
masyarakat yang tidak sesuai ajaran islam, tetapi masih
dipertahankan oleh sebagian kecil masyarakat.
Menjunjung adat berarti menghormati, mematuhi dan menjalankan
adat sesuai dengan norma-norma yang telah disepakati bersama. Adat perlu
dijunjung, karena adat dapat mengikat seluruh komunitas yang
mendukungnya. Di dalam suatu adat tentu ada namanya pemangku adat.
Pemangku adat dapat dibagi kedalam tiga kategori, yaitu:
1. Pemangku adat bidang eksekutif
Pemangku adat bidang eksekutif yang saya maksud adalah pejabat
Negara atau institusi pemerintahan, dari tingkat tinggis ampait ingkat
terendah. Adapun struktur tersebut terdiri atas (a)khaje (raja/sultan),
(b)panglime (panglima), (c)hulu balang (ulee balang), (d)tengku (imam),
5. (e)pengulu (keuchik), (Hasjmy, 1995:31-32 dalam buku memahami orang Aceh,
Mod. Harun)
2. Pemangku adat bidang yudikatif
Yudikatif dimaksudkan sebagai lembaga pemerintahan yang
berhubungan dengan masalah hokum dan peradilan. Lembaga ini dikenal di
Aceh dengan nama mahkamah dan/atau lembaga hokum adat.
3. Pemangku adat bidang legislatif
Lembaga legislative merupakan institusi yang bertugas membuat dan
mengesahkan undang-undang (adat muhakamah). Undang-undang dan
peraturan yang dihasilkan lembaga legislatif dalam system pemerintahan
Aceh disebut kanun.
Menurut saya, pemerintahan patut turun tangan dalam melestarikan
adat yang ada dengan cara mengadakan berbagai perlombaan. Misalnya saja
seperti mengadakan lomba menulis cerita rakyat, lomba memamerkan adat
dan budaya yang ada, lomba memasak makanan khas daerah, lomba
mengkreasikan baju adat khas daerah dengan modern, dan lain sebagainya.
Sehingga secara tidak langsung pemerintah bias ikut mendokumentasikan,
melestarikan dan itu juga bias memperkuat silaturrahmi dari berbagai daerah
yang ada tanpa harus melihat apa sukunya. Dengan kata lain adat dan sosial
yang telah terkubur akan terungkap kembali, dan anak muda zaman
sekarang pun menjadi tahu bagaimana adat daerahnya yang dahulu dan adat
daerah orang lain, sehingga mereka bias lebih mengenal, menghargai dan
mengetaui tentang adat merekasendiri pada khususnya.