Teks tersebut membahas peran kebijakan fiskal dan moneter pemerintah dalam mengurangi kemacetan lalu lintas di kota-kota besar di Indonesia. Kebijakan fiskal dapat meningkatkan atau mengurangi belanja pemerintah dan pajak untuk memengaruhi permintaan agregat, sementara kebijakan moneter mempengaruhi suku bunga untuk memengaruhi penawaran agregat. Kemacetan lalu lintas disebabkan oleh permintaan transport
Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Pengurangan Kemacetan lalu lintas
1. TUGAS MATA KULIAH
EKONOMI DAN KEBIJAKAN WILAYAH
(PWK601)
Dosen Pengampu
Dr. Drs. PM. Brotosunaryo, MSP.
PERAN KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER
DALAM PENGURANGAN KEMACETAN LALU LINTAS
Disusun oleh:
BRAMANTIYO MARJUKI
21040116410036
MAGISTER PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016
2. 1
I. PENDAHULUAN
Fenomena perkembangan fisik kota – kota besar di Pulau Jawa telah berlangsung sejak
dasawarsa 70-an dan terus berlanjut seiring dengan meningkatnya aktivitas perekonomian
kekotaan di kota – kota tersebut (Evers, 2007). Pertambahan penduduk dan peningkatan
aktivitas perekonomian di kawasan perkotaan ini pada akhirnya akan mempengaruhi
kemampuan kota dalam mendukung pemenuhan kebutuhan penduduknya. Imbas langsung
pertumbuhan penduduk di kawasan perkotaan yang paling utama adalah tingginya kebutuhan
permukiman, dan berkembangnya industri dan aktivitas komersial. Upaya pemenuhan
kebutuhan atas lahan terbangun ini pada akhirnya mengambil lahan pertanian yang sudah ada
dan mengakibatkan konversi lahan yang berlangsung secara masif dalam kurun waktu 30 tahun
terakhir ini. Fenomena perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian untuk kasus
Indonesia melahirkan bentukan penggunaan lahan dengan karakteristik campuran antara
perkotaan dan perdesaan yang disebut “desakota” dengan proses yang disebut “kotadesasi”
(McGee, 1995 dalam Firman, 2008). Proses kotadesasi di Pulau Jawa dalam skala besar bahkan
telah melahirkan fenomena yang disebut “Megaurbanisasi” yang terjadi antara Jakarta dan
Bandung sebagaimana dikemukakan oleh Firman (2009). Terhadap perkembangan kota, jika
pemangku kebijakan kota tidak tanggap mengenai hal ini, akan berdampak negatif dalam wujud
degradasi lingkungan, penurunan kualitas layanan, kriminalisasi, munculnya permukiman yang
tidak tertata (kumuh), kemacetan lalu lintas perkotaan dan permasalahan kota lainnya.
Kemacetan lalu lintas merupakan permasalahan umum perkotaan yang dampak
negatifnya semakin terasa di Indonesia, terutama di kota – kota besar seperti Jakarta, Bandung,
Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar. Kemacetan lalu lintas muncul terutama akibat
intensifnya pergerakan manusia dari daerah pinggiran menuju pusat kota menggunakan
kendaraan pribadi (Soesilowati, 2008). Data kajian SITRAMP Tahun 2004 dalam Sidjabat (2015)
menunjukkan bahwa kemacetan di Jakarta telah menyebabkan kerugian sebesar 8,3 trilyun
rupiah. Nilai ini kemungkinan sekarang jumlahnya lebih besar lagi karena kemacetan yang terjadi
semakin meningkat dari waktu ke waktu. Penyebab kemacetan lalu lintas di kota besar, terutama
Jakarta, dari hasil kajian Sidjabat (2015) salah satunya disebabkan oleh tingginya jumlah
kendaraan bermotor pribadi yang melintasi jalan-jalan di kawasan perkotaan. Jumlah kendaraan
bermotor pribadi yang terus meningkat ini merupakan implikasi dari strategi pemasaran industri
otomotif yang mempermudah skema pembelian kendaraan bermotor melalui fasilitasi kredit
pembelian kendaraan (Vincent, 2011).
Adanya peran industri dalam pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang turut
menyumbang permasalahan kemacetan lalulintas memerlukan intervensi pemerintah untuk
turun tangan mengatur mekanisme permintaan dan penawaran kendaraan bermotor. Intervensi
dimaksud dapat muncul antara lain dari kebijakan fiskal maupun moneter yang merupakan
wewenang pemerintah. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengkaji peran dari kebijakan ekonomi
pemerintah tersebut (fiskal dan moneter) dalam upaya pengurangan kemacetan lalulintas di kota
besar di Indonesia.
II. PERAN KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER DALAM PENGURANGAN
KEMACETAN LALU LINTAS DI INDONESIA
Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter saling berpengaruh satu sama lain dalam kegiatan
perekonomian suatu negara. Jika kebijakan moneter dipengaruhi beberapa variabel utama antara
lain suku bunga, pertumbuhan ekonomi (Gross Domestic Product/GDP), inflasi, dan kurs valuta
asing, maka dalam kebijakan fiskal dipengaruhi oleh dua variabel utama, yaitu pajak (tax) dan
3. 2
pengeluaran pemerintah (government expenditure). Terkait dengan kebijakan fiskal dan
kebijakan moneter, terdapat empat sektor yang sangat berpengaruh dalam menciptakan
pendapatan dan pengeluaran. Keempat sektor tersebut adalah (1) sektor rumah tangga; (2)
sektor perusahaan; (3) sektor pemerintah dan (4) sektor internasional/luar negeri. Adapun
untuk pembahasan kebijakan fiskal dan moneter pada tulisan ini hanya akan dibatasi pada sektor
pemerintah.
II.1 Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk memperoleh
dana dan kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah untuk membelanjakan dana tersebut guna
melaksanakan pembangunan. Dengan kata lain, kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah
yang terkait dengan penerimaan atau pengeluaran negara. Dalam hal ini pemerintah
mengarahkan kondisi perekonomian yang lebih baik melalui kebijakan pengelolaan penerimaan
dan pengeluaran negara atau dikenal dengan nama Anggaran Pendapatan Belanja Negara
(APBN). Untuk kasus Indonesia, sesuai dengan UU No 17 Tahun 2003, kebijakan fiskal
didelegasikan oleh presiden kepada Menteri Keuangan.
Tujuan dari kebijakan fiskal adalah aktivitas ekonomi negara dapat berjalan lancar, yang
meliputi (1) peningkatan pertumbuhan ekonomi; (2) kestabilan harga; dan (3) pemerataan
pendapatan (Sriyana, 2005). Kebijakan fiskal diharapkan dapat memicu pertumbuhan ekonomi
dan mengurangi inflasi, namun dalam kenyataannya, adanya peningkatan belanja tanpa
diimbangi penarikan pajak dapat menyebabkan defisit anggaran yang berpengaruh terhadap
inflasi.
Literatur ekonomi makro dewasa ini mengelompokkan dampak kebijakan fiskal menjadi
dua aspek, yaitu dampak terhadap sisi permintaan (demand side effect) dan dampak pada sisi
penawaran (supply side effect). Untuk dampak pada sisi penawaran, Surjaningsih et al (2012)
mengemukakan bahwa kebijakan fiskal mempunyai implikasi jangkan panjang karena kebijakan
ini dapat mengatasi masalah keterbatasan kapasitas produksi. Sementara untuk sisi permintaan,
pengaruhnya dapat dijelaskan melalui pendekatan Keynes.
Pendekatan Keynesian mengasumsikan adanya Price Rigidity dan Excess Capacity yang
berimplikasi pada output permintaan ditentukan oleh permintaan agregat (demand driven).
Dalam kondisi resesi, sebagaimana diterangkan Keynes, perekonomian yang berbasis mekanisme
pasar tidak akan mampu pulih tanpa adanya intervensi dari pemerintah. Kebijakan moneter tidak
akan mampu memulihkan perekonomian karena kebijakan ini hanya bergantung pada
penurunan suku bunga, sementara pada kondisi resesi tingkat suku bunga sudah rendah atau
mendekati nol.
Bentuk intervensi kebijakan fiskal dalam pemulihan ekonomi dapat muncul dari
peningkatan pengeluaran pemerintah atau pemotongan pajak (Surjaningsih et al, 2012).
Pemotongan pajak akan meningkatkan disposable income dan pada akhirnya akan memicu rumah
tangga untuk meningkatkan konsumsi (meningkatkan permintaan). Pemotongan pajak ini akan
memiliki multiplier effect apabila dibarengi dengan peningkatan pengeluaran pemerintah.
Namun demikian, umumnya pemotongan pajak dianggap kurang potensial untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi dibanding peningkatan pengeluaran pemerintah, terutama pada masa
resesi.
4. 3
II.2 Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter adalah kebijakan ekonomi dengan menambah atau mengurangi
jumlah uang yang beredar untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi. Kebijakan moneter dilakukan
untuk mengindari terjadinya inflasi, pengangguran, penurunan ekonomi, dan kesulitan dalam
pembayaran internasional (Goldfeld dan Lester, 1986). Terkait dengan pengelolaan kebijakan
moneter di Indonesia, sesuai dengan UU Nomor 3 Tahun 2005, pengelolaan kebijakan moneter
didelegasikan kepada bank sentral yang dalam hal ini adalah Bank Indonesia. Bank Indonesia
menyusun dan mengimplementasikan kebijakan moneter dengan tujuan akhir menjaga dan
memelihara kestabilan nilai rupiah yang tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil.
Untuk tujuan tersebut, Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan yang disebut dengan
BI Rate (Sihono, 2010).
Kebijakan moneter Bank Indonesia melalui BI Rate bekerja melalui beberapa jalur,
diantaranya yaitu jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga asset dan jalur
ekspektasi (Sihono, 2010). Pada jalur suku bunga dan kredit, perubahan BI Rate mempengaruhi
suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan. Apabila perekonomian dalam kondisi
lesu, Bank Indonesia dapat menjalankan kebijaksanaan moneter melalui penurunan suku bunga
untuk mendorong aktivitas ekonomi. Penurunan suku bunga BI Rate menurunkan suku bunga
kredit sehingga permintaan akan kredit dari perusahaan dan rumah tangga akan meningkat.
Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal perusahaan untuk melakukan
investasi. Hal ini akan meningkatkan aktivitas konsumsi dan investasi sehingga aktivitas
perekonomian meningkat. Sebaliknya, apabila tekanan inflasi mengalami kenaikan, Bank
Indonesia merespon dengan menaikkan suku bunga BI Rate untuk mengerem aktivitas
perekonomian yang terlalu cepat sehingga mengurangi tekanan inflasi.
Untuk kebijakan jalur nilai tukar, kenaikan BI Rate akan mendorong kenaikan selisih
antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Dengan melebarnya selisih suku
bunga tersebut akan mendorong investor untuk menanamkan modal ke Indonesia seperti SBI
karena mereka akan mendapatkan pengembalian investasi yang tinggi. Aliran modal asing masuk
ini akan mendorong apresiasi nilai tukar rupiah. Apresiasi rupiah mengakibatkan harga barang
impor lebih murah dan barang ekspor di luar negeri menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif
sehingga akan mendorong impor dan mengurangi ekspor, akan berdampak menurunnya
pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perekonomian (Sihono, 2010).
Perubahan suku bunga BI Rate juga mempengaruhi perekonomian makro melalui
perubahan harga aset. Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset seperti saham dan
obligasi sehingga mengurangi kekayaan individu dan perusahaan yang pada gilirannya
mengurangi kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan
investasi. Terakhir, perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga mempengaruhi
ekspektasi publik akan inflasi (jalur ekspektasi). Penurunan suku bunga yang diperkirakan akan
mendorong aktivitas ekonomi dan mengurangi inflasi, mendorong pekerja untuk mengantisipasi
kenaikan inflasi dengan meminta upah yang lebih tinggi. Upah ini pada akhirnya akan dibebankan
oleh produsen kepada konsumen melalui kenaikan harga (Sihono, 2010).
II.3 Kemacetan Lalulintas
Kemacetan lalulintas (Traffic congestion) adalah salah satu permasalahan umum yang
ditemukan di banyak kawasan perkotaan di seluruh dunia, utamanya di negara-negara
berkembang. Kemacetan membawa banyak dampak negatif seperti konsumsi energi yang
berlebih, transportasi antar tempat yang tidak efisien, polusi udara, dan pada akhirnya akan
5. 4
mengancam keberlanjutan kota. Menurut Weisbrod et al (2001), kemacetan lalulintas dapat
didefinisikan sebagai kondisi pelambatan lalulintas (aliran lalulintas melambat dalam kecepatan
yang tidak bisa ditolerir) yang disebabkan oleh jumlah kendaraan yang menggunakan jalan
melebihi kapasitas kemampuan jaringan jalan untuk menampung kendaraan tersebut. Terkait
dengan terjadinya kemacetan, Ye (2012) berpendapat bahwa hakekat kemacetan lalulintas
terletak pada ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran transportasi. Peningkatan
jumlah, lebar dan panjang jaringan jalan selalu menjadi solusi yang ditawarkan untuk
mengantisipasi kemacetan. Namun dari apa yang sudah dipraktekkan di banyak negara, yang
terjadi adalah lingkaran setan berupa “kemacetan – membangun jalan – pengurangan intensitas
macet – peningkatan permintaan transportasi – muncul kemacetan baru – membangun jalan
kembali” (Ye, 2012).
Kemacetan lalulintas sendiri jika dilihat dari karakteristik keterjadian dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu, kemacetan berulang (recurrent congestion) dan kemacetan tidak berulang
(non-recurrent congestion). Kemacetan berulang disebabkan oleh kelimpahan kendaraan yang
terjadi di lokasi yang sama pada waktu tertentu, yang diakibatkan oleh aktivitas rutin seperti
aktivitas pulang-pergi (commuting), rekreasi maupun perjalanan akhir pekan. Sementara
kemacetan tidak berulang biasanya disebabkan oleh kejadian luar biasa yang terjadi di jalan
seperti kecelakaan dan cuaca buruk (Thwala et al, 2012).
Berbagai strategi telah dikembangkan dan dirumuskan untuk mencegah dan mengurangi
kemacetan lalulintas. Untuk kasus Indonesia, selain kebijakan yang bersifat umum seperti
penambahan dan peningkatan jalan, implementasi penataan ruang dan tata guna lahan yang
efektif, serta penguatan transportasi publik, juga telah muncul usulan solusi berbasis teknologi
seperti pengembangan Intelligence Transportation System (Pandia, 2013) dan Travel Demand
Management (Prayudyanto dan Tamin, 2007).
II.4 Peran Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Pengurangan Kemacetan Lalu Lintas di
Indonesia
Kemacetan lalulintas kawasan perkotaan di Indonesia dewasa ini membawa banyak
permasalahan yang berpotensi membuat transportasi lumpuh dan tidak berfungsi (gridlock).
Kemacetan menimbulkan banyak dampak negatif di kawasan perkotaan di Indonesia baik di Jawa
maupun luar Jawa seperti konsumsi BBM berlebih, waktu perjalanan yang tidak efisien, polusi
udara, penurunan kualitas sosial ekonomi dan dampak negatif lainnya. Kerugian akibat
kemacetan lalulintas diperkirakan mencapai trilyunan rupiah setiap tahunnya dan mungkin akan
terus meningkat apabila tidak dipikirkan strategi pengurangan dan pengendaliannya.
Jenis kemacetan yang terjadi di kawasan perkotaan Indonesia yang menimbulkan
dampak negatif terbesar adalah kemacetan berulang (recurring congestion). Jenis kemacetan ini
terjadi umumnya di kawasan perkotaan yang menjadi pusat kegiatan dan primate cities seperti
Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar dan Medan. Kemacetan berulang juga mulai
muncul di kawasan perkotaan metropolitan yang sedang berkembang seperti Yogyakarta,
Surakarta, dan Malang. Kemacetan berulang di kawasan perkotaan Indonesia umumnya
disebabkan oleh urbanisasi intensif yang sudah berlangsung puluhan tahun, dan menimbulkan
munculnya permukiman padat di kawasan pinggiran (hinterland/fringe) dimana penduduk di
kawasan ini kebanyakan bekerja di pusat kota, sehingga sehari-harinya mereka melakukan
aktivitas pulang-pergi (commuting) di hari kerja dan rekreasi di akhir pekan. Kemacetan muncul
karena jumlah kendaraan pribadi yang masuk ke pusat kota jumlahnya sedemikian besar
sehingga kapasitas jalan yang ada tidak mampu menampung kendaraan tersebut. Fenomena
kemacetan berulang di kawasan perkotaan akibat aktivitas commuting umumnya terjadi di pagi
6. 5
dan sore hari. Kemacetan lalulintas di kawasan megaurban seperti Jakarta bahkan sudah
menunjukkan gejala inefisiensi akut, sehingga perjalanan dari kawasan pinggiran ke pusat kota
yang pada kondisi normal hanya memerlukan waktu 1 jam dalam kondisi macet bisa mencapai 3
jam.
Lepas dari kewajiban pemerintah yang sudah menyediakan dan meningkatkan layanan
infrastruktur transportasi tiap tahunnya, kemacetan lalulintas perkotaan pada umumnya
memang disebabkan oleh penggunaan kendaraan pribadi (mobil dan sepeda motor) yang
berlebih sehingga jalan yang ada tidak mampu menampung. Kelonggaran regulasi dan strategi
pemasaran industri otomotif yang memudahkan pembelian kendaraan melalui fasilitas kredit
menyebabkan orang berani melakukan konsumsi pembelian kendaraan pribadi walaupun jika
dilihat dari aspek pendapatan sebenarnya belum mampu. Terlebih sudah umum diketahui bahwa
sektor transportasi publik di kawasan perkotaan Indonesia tidak dikelola dengan baik, sehingga
penggunaan kendaraan pribadi merupakan pilihan yang mau tidak mau harus diambil oleh
sebagian besar penduduk perkotaan.
Dilihat dari kebijakan fiskal yang telah dilakukan pemerintah terkait sektor transportasi,
pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian
Perhubungan, Pemerintah Daerah, dan Badan Usaha Milik Negara/Daerah telah berupaya
mengalokasikan anggaran dan belanja untuk menambah dan meningkatkan sarana dan
prasarana transportasi, namun kemacetan tidak juga berkurang melainkan semakin bertambah.
Hal ini sesuai dengan pernyataan lingkaran setan transportasi yang dikemukakan Ye (2012)
bahwa penambahan dan pelebaran jalan hanya akan memancing permintaan penggunaan
kendaraan pribadi yang lebih besar. Lingkaran setan transportasi ini dapat dipecahkan apabila
sektor transportasi publik dan kebijakan fiskal terkait sektor tersebut ditingkatkan. Akan tetapi
kebijakan ini bukan suatu hal yang mudah dilaksanakan mengingat kesadaran akan
permasalahan transportasi munculnya terlambat dan jalan sudah terlanjur macet, sehingga
pembenahan transportasi publik memerlukan biaya yang sangat besar, memerlukan waktu yang
lama serta tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah sendiri. Dengan kata lain, investasi swasta
baik asing maupun domestik sangat diperlukan, dan ini tidak mudah untuk dilaksanakan karena
pertimbangannya menjadi tidak semata-mata pelayanan, tetapi juga investasi yang
mengharapkan keuntungan ekonomi.
Agar dapat menyelesaikan permasalahan transportasi kemacetan lalulintas kawasan
perkotaan, pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor harus dikendalikan dan pada saat
yang sama, kebijakan fiskal belanja infrastruktur transportasi, baik sarana maupun prasarana
harus dilanjutkan. Secara fiskal, pengendalian pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor
dapat dimunculkan dari kebijakan kenaikan pajak (melalui strategi pajak progresif misalnya)
yang diharapkan dapat mengurangi konsumsi pembelian kendaraan. Namun kebijakan ini akan
menimbulkan dampak negatif apabila tidak dibarengi dengan peningkatan layanan transportasi
publik karena permintaan akan kendaraan pribadi sudah sedemikian besar sehingga apabila
direduksi hanya dari satu arah, yang terjadi adalah aktivitas ekonomi menjadi terhambat dan
justru akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Dua kebijakan fiskal paralel ini secara strategis
akan menguntungkan karena pemerintah mendapatkan tambahan pendapatan dari kebijakan
penaikan pajak yang kemudian langsung dibelanjakan untuk peningkatan sarana dan prasarana
transportasi publik, dan ketika pembelian kendaraan bermotor telah berkurang serta
pendapatan pajak dari sektor ini menurun (akibat kesadaran penggunaan transportasi publik
yang membaik), pemerintah telah memiliki sektor pendapatan lain dari penggunaan transportasi
publik (atau dampak ikutan seperti penghematan sektor energi dari konsumsi BBM yang
berkurang), untuk terus dibelanjakan guna meningkatkan kualitas pelayanan transportasi publik.
7. 6
Di samping itu, pada tahap ini kemungkinan sektor swasta sudah mulai berani untuk berinvestasi
mengingat kesadaran dan pertumbuhan penggunaan transportasi publik sudah muncul, sehingga
beban penyediaan transportasi tidak hanya ditanggung oleh pemerintah sendiri.
Kebijakan fiskal yang berorientasi pengurangan kepemilikan kendaraan bermotor dapat
didukung dengan kebijakan moneter, yang dalam hal ini adalah manajemen suku bunga kredit
(politik diskonto) atau melaksanakan politik pagu kredit (Plafon credit policy). Melalui politik
pagu kredit, pemerintah dapat mengatur skema pemberian kredit kepemilikan kendaraan
bermotor, sekaligus mengawasi dan mengurangi strategi pemasaran industri otomotif yang
seringkali serampangan dan hanya mempertimbangkan output produk terserap dalam
menyusun skema kredit. Sementara politik diskonto akan beroperasi pada tingkatan suku bunga,
sehingga penyusunan skema kredit pembelian kendaraan oleh industri otomotif dapat dibatasi
keleluasaannya dan masyarakat tidak dengan gampang mengajukan kredit kepemilikan
kendaraan bermotor.
III. KESIMPULAN
Kebijakan fiskal dan moneter merupakan wewenang pemerintah yang dilakukan untuk
mewujudkan perekonomian negara yang sehat, berkelanjutan dan berdaya saing. Terkait dengan
permasalahan kemacetan lalulintas yang terjadi di sebagian kawasan perkotaan metropolitan di
Indonesia yang semakin meluas, dua kebijakan ini beserta instrumen-instrumennya dapat
digunakan untuk mengurangi dan meminimalisir agar dampak negatifnya tidak semakin besar.
Pada dasarnya, kemacetan lalulintas tidak dapat diminimalisir dengan hanya meningkatkan
jumlah dan kualitas infrastruktur transportasi (penyediaan jalan), tetapi juga harus dilihat dari
aspek pertumbuhan kepemilikan kendaraan pribadi. Kebijakan fiskal dan moneter dapat
berperan dalam mengurangi permintaan kendaraan pribadi. Namun kebijakan ini harus
dibarengi dengan peningkatan layanan transportasi publik karena pada dasarnya permintaan
kendaraan pribadi yang tinggi muncul salah satunya dari transportasi publik yang tidak terkelola
dengan baik dan tidak dapat diandalkan untuk melakukan aktivitas sehari-hari masyarakat
perkotaan.
DAFTAR PUSTAKA
Evers, H. D. (2007). The End of Urban Involution and the Cultural Construction of Urbanism in
Indonesia. Internationales Asien Forum, 38 (1-2), 51-65.
Firman, T. (2009). The Continuity and Change in Mega-urbanization in Indonesia: A Survey of
Jakarta-Bandung Region (JBR) Development. Habitat International, 33, 327-339.
Firman, T. (2008). The Patterns of Indonesia’s Urbanization, 1980-2007. Paper dipresentasikan di
2008 Population Association of America Annual Meeting Program.
Goldfeld, S. M., & Lester, V. C. 1986. The Economics of Money and Banking 9th Edition. California:
Harper & Row Publisher Inc.
Pandia, H. (2013). Pengembangan Model Intelligence Transportation System (ITS) untuk Solusi
Kemacetan di Indonesia. Jurnal TelKa, 5 (1), 9-19.
Prayudyanto, M. N., & Tamin, O. Z. (2007). Perbandingan Penerapan Travel Demand Management
di Singapura dan London. Jurnal Transportasi, 7 (1), 23-32.
8. 7
Sidjabat, S. (2015). Revitalisasi Angkutan Umum untuk Mengurangi Kemacetan Jakarta. Jurnal
Manajemen Bisnis Transportasi dan Logistik, 1 (2), 309-330.
Sihono, T. (2010). Statement Kebijakan Moneter. Jurnal Ekonomi dan Pendidikan, 7 (1), 1-17.
Soesilowati, E. (2008). Dampak Pertumbuhan Ekonomi Kota Semarang Terhadap Kemacetan
Lalulintas di Wilayah Pinggiran dan Kebijakan yang Ditempuhnya. Jejak, 1 (1), 9-18.
Sriyana, J. (2005). Ketahanan Fiskal: Studi Kasus Malaysia dan Indonesia. Jurnal Ekonomi
Pembangunan, 10 (2), 123-132.
Surjaningsih, N., Utari, G. A. D., & Trisnanto, B. (2012). Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Output
dan Inflasi. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, (April 2012), 389-420.
Thwala, W. D., Eluwa, S. E., Ajagbe, M. A., Ojo, K. A., Duncan, E. E., Gafar, Y. O., & Abdullah, A. (2012).
Traffic Congestion, Causes and Effect on Residents of Urban Cities in Nigeria.
Dipresentasikan pada Asian Conference on the Social Sciences 2012, Osaka, Jepang.
Vincent, W. (2011). Kisah Surabaya: Permasalahan dan Solusi Untuk meningkatkan Mobilitas
Urban. Prakarsa, 6 (April 2011), 14-16.
Weisbrod, G., Vary, D., & Treyz, G. (2001) Economic Implications of Congestion. NCHRPReport 463,
Washington, DC.: Transportation Research Board.
Ye, S. (2012). Research on Urban Road Traffic Congestion Charging Based on Sustainable
Development. Physics Procedia, 24 (2012), 1567-1572.