1. 12 Edisi 8 - 14 Juni 2016 No.3658 Tahun XLVIjelajah Inovasi
Tim Jelajah Inovasi berfoto bersama petani lada Lhokseumaweh
Kompleks Pemakaman Malikulssaleh, Penyebar Islam Pertama di Indonesia Goa Jepang di Blangpanjang, Lhokseumaweh
Kilang Minyak Arun, Lhokseumaweh
A
da komoditi yang
melegenda di Provinsi
Nanggroe Aceh Darus-
salam (NAD). Tanam-
an lada namanya, ia tumbuh di
Serambi Mekkah, menjadi bagian
penting perjalanan perjuangan
rakyatnya. Bermodal sicupak
(sicupak: alat ukur masyarakat
Aceh yang kira-kira sama dengan
500 gram) bisa ditukar dengan
sebuah meriam dari Kesultanan
Turki. Ini menandakan begitu
bernilainya lada dalam per-
dagangan ketika itu.
Lalu sekarang bagaimana
lada Aceh? Masa keemasan lada
Aceh telah berlalu, produksinya
menurun drastis hingga nyaris
lenyap di kancah perdagangan
lada dunia. Namun seperti kata
petuah,”sejarah akan terulang
lagi”. Semangat inilah yang
dipakai oleh Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh
untuk kembali membangkitkan
kejayaan itu.
Pekan lalu, alhamdulillah
Jelajah Inovasi berhasil berkunjung
di tanah rencong itu. Hujan yang
terus mengguyur sebagian besar
wilayah NAD tidak melemahkan
semangat untuk menguak ber-
Sicupak Lada Membangun Serambi Mekkah
bagai rintisan kebangkitan lada
yang sedang dilaksanakan oleh
BPTP Aceh. Selama tiga hari
liputan ini berlangsung, Kepala
BPTP Aceh, Ir Basri A. Bakar,
MSi, setia mendampingi sekaligus
memberikan berbagai informasi
yang diperlukan.
Daerah yang menjadi sasaran
adalah Kota Lhokseumawe yang
merupakan daerah pemekaran
dari Kabupaten Aceh Utara.
Untuk sampai ke sana, tim
jelajah inovasi membutuhkan
waktu sekitar 5 jam dari Banda
Aceh untuk tiba di Desa Blang
Manyang, Lhokseumawe. Di desa
inilah kami menemukan petani
yang tiada pernah menyerah
untuk menangkarkan bibit dan
mengembangkan lada. Dia adalah
M. Yusuf (64 tahun) yang telah
puluhan tahun bergelut dengan
lada dan kini didukung oleh
anaknya, Mulyadi Saputra. Bibit
lada yang mereka perbanyak
kini telah menyebar ke berbagai
pelosok Aceh. Saat ini ada sekitar
70.000 bibit siap tanam tersedia di
samping rumahnya.
Berkolaborasi dengan BPTP
Aceh, Dinas Perkebunan dan
Politeknik Lhokseumawe, petani
lada ini bertekad untuk kembali
membangkitkan kejayaan lada.
Bagi BPTP Aceh, kendati bukan
komoditi prioritas, lada tetap akan
menjadi kajian utama penelitian,
sehingga lada akan menjadi salah
satu sumber ekonomi masyarakat
Aceh ke depan. “Kalau dulu
Lhokseumawe dikenal sebagai
daerah petro dollar dengan Kilang
Minyak Arun yang begitu megah,
ke depan sumber dollar ini akan
digantikan oleh lada” ujar Basri.
Optimis itu muncul setelah
melihat turunnya kinerja Kilang
Minyak Arun akibat cadangan
minyaknya yang kian menipis.
Ratusan hektar lahan yang tersebar
di sekitar kilang minyak itu sangat
potensial untuk pengembangan
lada. Rekan-rekan jelajah perlu
mengetahui bahwa Desa Blang
Manyang ini berada di sekitar
Kilang Minyak Arun.
Setelah BPTP Aceh hadir
mendampingi, petani lada di
Lhokseumawe semakin yakin
lada akan bangkit kembali dan
tumbuh menjadi sumber ekonomi.
Bermodalkan inovasi yang dibawa,
Unit Pelaksana Teknis di bawah
Badan Litbang Pertanian ini yakin
bisa lebih mengembangkan lada
Lhokseumawe. Apalagi Dinas
Perkebunan sangat antusias
untuk menggelontorkan berbagai
program untuk pengembangan
lada, begitu juga dengan Politeknik
Lhokseumawe siap untuk
mendampingi petani.
Aroma kejayaan lada Aceh itu
semakinterasasetelahpenjelajahan
ini menguak berbagai informasi
dan sikap berbagai pihak yang
terkait dengan pembangunan lada.
Semoga, legenda lada kembali ke
Serambi Mekkah.
Silahkan Mampir
Rekan-rekan jelajah tanah air
yang sempat ke tanah rencong
jangan sampai lupa untuk
berkunjung ke berbagai lokasi
wisata di sana. Jika masih ada yang
ingat dengan sejarah masuknya
Islam ke Indonesia, maka jangan
lupa untuk ziarah ke makan
Malikussaleh. Beliau merupakan
sultan pertama kerajaan Islam
pertama di Nusantara yakni
Malikussaleh yang memerintah
mulai tahun 1267 M, dengan nama
aslinya adalah Meurah Silu.
Setelah ziarah, rekan-rekan
jelajah bisa melanjutkan pelan-
congan ke Bukit Goa Jepang.
Dari atas bukit inilah kita bisa
menyaksikan pemandangan
kawasan Kilang Minyak Arun dan
masuk ke dalam Goa Jepang. Lis
B
alai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Aceh
sejak tahun 2001 telah
melakukan serangkaian
penelitian untuk komoditas lada
seperti pengujian beberapa jenis
mulsa terhadap pertumbuhan
lada perdu, jenis tiang panjat dan
pengendalian hama penyakit.
Pasca tsunami tahun 2004, praktis
pengkajian tentang lada mulai
berkurang karena termasuk
tanaman perkebunan yang
memerlukan waktu lebih dari
setahun (multi year).
Lada (Piper nigrum L.) bagi
masyarakat Aceh merupakan
salah satu komoditas ekspor
unggulan sejak 400 tahun lalu
bahkan terkenal sampai ke Eropa
(LihatBox). Daerahpenyebarannya
terutama di daerah pesisir utara -
timur Aceh meliputi Aceh Besar,
Pidie, Aceh Utara dan Aceh
Timur, sedangkan pesisir barat
Aceh, lada banyak ditanam di
Aceh Barat dan Aceh Selatan.
Luas areal lada di Aceh turun
drastis sejak lima puluh tahun
terakhir akibat serangan hama
dan penyakit terutama penyakit
layu dan penyakit keriting daun.
Pada tahun 1997 luas areal lada
hanya tinggal 2.130 ha, sedangkan
sebelum terjadi serangan hama
penyakit, luas areal tanaman
lada mencapai 19.932 ha. Dengan
harga jual yang relatif lumayan,
membuat animo masyarakat
untuk menanam lada tumbuh
kembali. Kini diperkirakan luas
tanamanladadiAcehsekitar1.500
ha. Petani lada mengaku mudah
sekali menjual hasil olahan lada
putih dengan harga Rp 160.000
– 180.000/ kg, sedangkan lada
hitam dilepas dengan harga Rp
A
ceh nyaris identik dengan lada,
karena kalau kita buka lembaran
sejarah masa lalu, Aceh dikenal
sampai ke Eropa karena rempah
terutama lada, pala dan cengkeh. Dikisahkan,
hubungan Kerajaan Aceh dengan Turki pertama
kali dibangun oleh Sultan Ali Ri’ayatsyah Al
Qahhar yang memerintah dari tahun 1557-1568.
Pada masa itu, Sultan Salim Khan dari Turki
mengikat perjanjian persahabatan dengan
Kerajaan Aceh dan mengirim 40 orang ahli artileri untuk melatih pasukan
meriam dan pasukan berkuda di Aceh.
Perjanjian persahabatan terus berlanjut pada masa Aceh di bawah
Sultan Alauddin Mansur Syah yang memerintah pada tahun 1577-1586.
Bahkan, pada masa itu Turki menjamin dan melindungi Kerajaan Aceh
dari gangguan pihak lain. Kemudian saat tahta Turki dipegang oleh Sultan
Mustafa Khan, perjanjian itu dilanjutkan lagi oleh sultan Aceh berikutnya
yakni Sultan Alauddin Riayat Syah Saidil Mukammil yang memerintah
pada tahun 1588-1604.
Sejarahwan H. Zainuddin menjelaskan hubungan Aceh - Turki agak
merenggang pada masa Aceh dipimpin Sultan Iskandar Muda, karena
lebih fokus membangun urusan dalam negeri setelah Aceh hancur dalam
perang di semenanjung Malaka. Setelah rakyat Aceh benar-benar makmur,
Sultan Iskandar Muda kembali membuka hubungan dengan Turki dengan
menyiapkan tiga buah kapal berisi lada yang akan diserahkan ke sultan
Turki sebagai hadiah dari rakyat Aceh dengan surat pengantar dalam bahasa
Arab. Sultan Iskandar Muda mengutus Panglima Nyak Dum sebagai duta
ke Turki bersama dua orang ahli bahasa.
Singkat cerita, dalam perjalanan menuju ke Turki, ketiga kapal delegasi
Aceh itu terbawa badai ke Calcuta. Beberapa lama kemudian, setelah normal
kembali, mereka melanjutkan pelayaran menyusuri pantai Coromondal
kemudian sampai ke Madras yang akhirnya sampai ke Turki dengan
menghabiskan waktu hampir dua tahun.
Akibat lamanya pelayaran, maka bekal yang dibawapun sudah habis,
sehingga lada yang akan dipersembahkan untuk Sultan Turki terpaksa
dijual di Bombay. Lada yang tersisa saat itu hanya sepuluh goni saja.
Panglima Nyak Dum kemudian mengambil secupak lada (sekitar 800
gram) dari salah satu goni itu dan membungkuskan dalam kain kuning,
sebagai isyarat bahwa bingkisan itu dipersembahkan kepada Sultan Turki
dari Sultan Aceh seraya meminta maaf karena mereka mendapat musibah
dalam perjalanan. Sultan Turki memaklumi hal itu, bahkan rombongan
delegasi Aceh disambut dengan meriah seperti tamu agung.
Saat Panglima Nyak Dum dan rombongannya pamit kembali ke Aceh,
maka sebagai balasan tanda memperkuat persahabatan, Sultan Turki
mengirim sebuah meriam dan alat-alat perang untuk Sultan Aceh. Meriam
itulah yang kemudian dikenal sebagai meriam lada sicupak. Sicupak adalah
takaran umum masyarakat Aceh untuk setengah liter atau dua kai. Menurut
sumber sejarah, dengan bantuan Turki, angkatan perang Aceh bertambah
kuat. Senjata-senjata yang dirampas dari Portugis saat penyerangan di Pidie
dan Pasai ditambah dengan bantuan Turki membuat militer Aceh menjadi
kekuatan yang tangguh. Baskar/ dbs
Kisah Meriam Lada Sicupak Basri A Bakar
Introduksi Inovasi Bangkitkan Lada Aceh
120.000/ kg.
Kepala BPTP Aceh, Ir Basri A.
Bakar, MSi melihat tanaman lada
sangat prospektif dikembangkan
karena tidak menghendaki
lingkungan tumbuh yang
khusus dan perawatan yang
rumit. Menurut Basri, lada Aceh
perlu dijaga kelestariannya dari
kepunahan karena memiliki cita
rasa dan aroma yang khas. ”Untuk
itu perlu dilakukan kajian lebih
lanjut agar petani lada di Aceh
dapat meningkatkan produksi
yang lebih baik, sehingga dapat
menambah pendapatan dan
kesejahteraan mereka sekaligus
mengangkat kembali kejayaan
Aceh dalam budidaya lada”,
pintanya.
Untuk itu BPTP Aceh akan
memperkenalkan kembali lada
sebagai salah satu komoditi
strategis dan bernilai ekonomis
dalam even pameran terutama
acara Pekan Daerah dan Pekan
Nasional Kontaktani Nelayan
Andalan (KTNA) dalam
waktu dekat di Aceh Besar. Ia
menghimbau agar lada Aceh perlu
mendapat dukungan dari semua
pihak terkait. “Jangan sampai lada
Aceh hilang dari Aceh sendiri. Di
Aceh ada nama Kampung Lada,
tapi justru tanaman ladanya
tidak lagi ditemukan,” ujarnya
prihatin.
Disebutkan saat ini BPTP Aceh
mulai melakukan pembinaan
terhadap penangkar lada, salah
satunya M. Yusuf ketua kelompok
tani di Desa Blang Manyang
Kota Lhokseumawe yang saat ini
melakukan pembibitan sekitar
70.000 bibit lada siap tanam. Guna
memasyarakatkan kembali lada,
pihaknya memboyong sebanyak
50 batang lada untuk ditanam di
lahan visitor plot BPTP termasuk
lokasi Taman Teknologi Pertanian
(TTP) Kota Jantho Aceh Besar.
Basri menambahkan,
produktivitas lada yang saat
ini relatif masih rendah dapat
ditingkatkan melalui sentuhan
teknologi seperti pemupukan
berimbang, pemangkasan,
pengendalian hama penyakit dan
prosesing hasil yang lebih baik.
Saat ini rata-rata perolehan hasil
lada putih sekitar 1 kg per batang
per tahun. “Tahun 2017, kita akan
usulkan dana pengkajian lada
baik APBN maupun APBA,” ujar
Basri. Untuk tahun ini, BPTP Aceh
mengkaji prospek penanaman
lada di lahan bekas tambang.
Selain itu, salah satu kerjasama
yang telah dirintis BPTP adalah
dengan Politeknik Lhokseumawe
terutama kajian tanaman lada
Aceh. Lis
2. 13Edisi 8 - 14 Juni 2016 No.3658 Tahun XLVI jelajah Inovasi
J
elajah Inovasi ke Nangroe
Aceh Darussalam kali ini
memang cukup berkesan.
Pasalnya ketika melintas
di Kabupaten Pidie Jaya, tim
jelajah berkesempatan mampir
di warung Coklat ‘Socolatte’ dan
sekaligus bertemu dengan pemi-
liknya, Irwan Ibrahim (45 tahun).
Menurut Irwan yang status
aslinya petani coklat itu, tahun
2003 adalah tahun pertama
pencetusan ide untuk mengolah
coklat. Ide ini muncul di tengah
M. Yusuf
M. Yusuf bersama istri
“U
ntuk masyarakat
Aceh yang ingin
mengembangkan
lada, saya akan
kasih bibitnya secara gratis,
minimal tiga bibit tiap rumah,”
begitu semangat M. Yusuf Yahya
(64 tahun), Ketua Kelompoktani
Lada “Endatu” di Desa Blang
Panyang, Lhokseumawe demi
kembalinya masa kejayaan lada di
Aceh.
Bagi Yusuf, lada adalah
komoditi asli dan bernilai sejarah
bagi Aceh, sehingga komoditi
ini tidak boleh hilang dari bumi
rencong. Bahkan, setelah melihat
kinerja kilang minyak Arun yang
semakin menurun, dia sangat
yakin ke depan lada yang akan
menjadi penggantinya.
Desa tempat Yusuf berdomisili
memang tidak jauh dari kilang
minyak itu hanya terpaut dengan
pagar dan jalan raya, sehingga
wajar bila ia banyak tahu soal
bagaimana pola kehidupan
masyarakat ketika kilang tersebut
masih berproduksi normal.
Menurutnya, ketika kilang
itu masih berjaya, masyarakat
disini seolah-olah lupa daratan.
“Hanya sedikit orang yang peduli
dengan pertanian seperti lada.
Bahkan, di saat saya memulai
mengembangkannya lada,
banyak yang menganggap ini
pekerjaan yang sia-sia dan tidak
menguntungkan,” kenangnya.
Namun saat ini, setelah
kilang tidak bisa berjalan optimal
dan memberhentikan ribuan
karyawan, barulah masyarakat
berpikir tentang apa komoditi
yang cocok untuk ditanami.
Sementara kebun lada yang telah
dia rintis sejak lama itu kini bisa
membuktikan bahwa dollar juga
bisa diperoleh dari lada.
Sebagai tanda keseriusannya
membangun lada, April 2016 lalu
dia memberikan bantuan bibit lada
untuk dikembangkan di Kebun
Bibit Induk Sumber Daya Genetik
(SDG) Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Aceh ditandai
dengan pemancangan tiang panjat
oleh Kepala BPTP Aceh Ir. Basri A.
Bakar, MSi.
Menurutnya, lada Aceh perlu
dijaga kelestariannya dari kepu-
nahan karena memiliki cita rasa
dan aroma yang khas. Untuk
itu BPTP Aceh diharapkan akan
memperkenalkan kembali lada
sebagai salah satu komoditi stra-
tegis dan bernilai ekonomis dalam
even pameran terutama acara
Pekan Daerah dan Pekan Nasional
dalam waktu dekat di Aceh Besar.
Ia menghimbau agar lada
Aceh perlu mendapat dukungan
dari semua pihak terkait. “Jangan
sampai lada Aceh hilang dari
Aceh sendiri. Di Aceh ada nama
Kampung Lada, tapi justru
tanaman ladanya tidak ada,” ujar
Basri dengan nada prihatin. Lis
D
inas Perkebunan Lhok-
seumawe sangat antusias
dengan hadirnya BPTP
Aceh dalam mengawal
inovasi teknologi pengembangan
lada. Apalagi daerah ini telah
ditetapkan sebagai daerah sentra
lada.
Sejak tahun 2013 - 2015 telah
berhasil dilakukan penambahan
luas tanaman lada mencapai 50
hektar. Perluasan lada ini akan terus
dilakukan dengan memanfaatkan
berbagai potensi lahan, mulai
dari lahan tidur hingga lahan pekarangan. Ini artinya, kendati hanya
sejengkal, tanah Lhokseumawe dipergunakan untuk lada.
“Kami juga sadar bahwa kota Lhokseumawe ini tidak luas, hanya
4 kecamatan namun 3 kecamatan yang punya potensi untuk lada. Tiap
tahun, Dinas Perkebunan sudah menargetkan terjadi penambahan
luas tanam. Saat ini minat masyarakat semakin besar untuk menanam
lada,” ujar Fauzan Nur, SP, Kepala Seksi Perkebunan Dinas Kelautan,
Perikanan dan Pertanian Kota Lhokseumawe.
Untuk lahan pekarangan, pihaknya berharap agar setiap rumah
memiliki 3 - 5 pot lada perdu. Sedangkan untuk lahan tidur, menurutnya
ada sekitar 1000 hektar lahan tidur yang bisa dimanfaatkan untuk
penanaman lada. Lis
Fauzan Nur
T
okoh muda ini cukup
bersemangat ketika
diajak bicara soal lada.
Namanya Mulyadi
Saputra, AMd, Pengurus
Koperasi Agro Endatu Mulya
(KAEM). Mulyadi sekaligu
menjadi petani penangkar lada
di Desa Blang Manyang, Kota
Lhokseumawe.
Lada baginya adalah bagian
hidup dari keluarga besarnya.
Orang tua dan mertuanya
dikenal sebagai petani-petani
lada, sehingga di tangan
anak muda ini pola dan cara
pengembangan lada semakin
modern. Ia juga tak segan-segan
mengeluarkan biaya sendiri
mengikuti seminar lada tahun
lalu yang diselenggarakan
Balittro Bogor.
“Selama ini tanaman lada hanya dibudidayakan secara tradisional,
minim sentuhan teknologi. Maka saya berpendapat bahwa untuk lebih
memajukan lada, inovasi teknologi menjadi kuncinya,” kata Mulyadi.
Seperti ‘pucuk dicinta ulampun tiba’ keinginannya menempatkan
teknologi menjadi kunci sukses, terjawab dengan hadirnya BPTP
sebagai sumber teknologinya. Inovasi yang telah dikembangkannya di
antaranya adalah lada perdu dan ‘lada berjalan’.
Khusus untuk lada berjalan, menurutnya inovasi ini dikembangkan
untuk mengatasi keterbatasan lahan dan ‘portable’ (bisa dipindahkan
kapan saja). Caranya adalah menanam lada di dalam pot kemudian
diberi ‘tajar’ (tiang panjat) yang terbuat dari pipa paralon yang dililit
dengan ijuk.
Nilai lada
Mulyadi sangat antusias dengan berkembangnya lada di
Lhokseumawe, pasalnya komoditi ini bisa membantu pendapatan
keluarga petani. Berdasarkan pengalamannya, untuk satu hektar bisa
ditanami 2000 pohon, hasilnya bisa mencapai 1,5 ton. Untuk satu pohon
dengan tinggi tiang panjat mencapai 2 meter lebih, bisa menghasilkan
sekitar 10 kg lada basah atau kalau diolah menjadi lada putih bisa
mencapai lebih dari 1,5 kg per pohon dan 3 kg lada hitam. Menurut
Mulyadi, saat ini harga lada putih mencapai Rp.160.000/ kg dan lada
hitam sekitar Rp 120.000/ kg.
Menurut perhitungan mereka, jika lada ini diusahakan dalam luasan
satu hektar, diperkirakan akan memperoleh omzet sebesar Rp 180 juta
per hektar per tahun untuk lada yang berumur 10 tahun.
Mulyadi berjanji akan terus berusaha dan berupaya agar lada Aceh
bisamembumilagi.Sebabkatanya,dunialuarmembutuhkanladadalam
jumlah besar. Sementara petani belum mampu memenuhi permintaan
pasar dunia, karena selain keterbatasan lahan yang dimiliki, juga petani
masih belum mengenal teknologi budidaya lada yang menguntungkan.
Dari keterbatasan tersebut Mulyadi berharap agar BPTP Aceh turut
berperan serta dalam melakukan kajian khusus tentang lada sehingga
melalui kajian tersebut dapat membantu petani dalam meningkatkan
produksi lada.
Ia bersama tujuh petani penangkar lainnya telah menyiapkan
kebun bibit induk pada lahan seluas 2,65 hektar di desa Blang Panyang
Kecamatan Muara Satu Kota Lhokseumawe. Abda/Lis
Mulyadi Saputra
Kalau Bukan Kita Siapa Lagi
U
ntuk mencapai kebang-
kitan lada Aceh ada dua
pihak yang juga siap
untuk memberikan
dukungan, yakni Politeknik Lhok-
seumawe dan Asosiasi Lada Aceh.
Menurut Muhamad Sulaiman,
KetuaAsosiasiLadaAceh,memang
lada ini sudah tidak banyak
digeluti oleh masyarakat. Namun
saat ini, semangat petani sudah
kembali untuk menanam lada.
Tahap awal dalam mendukung
kebangkitan lada ini adalah bibit.
“Saya sangat gembira dengan
keberhasilan yang dicapai oleh
penangkar di desa Blang Panyang
ini,” ujarnya.
Dia menjelaskan, sebelumnya
bibit lada ini didatangkan dari luar
Akademisi dan Asosiasi Lada Siap Mendukung
Aceh dan harganya bisa mencapai
Rp 12.000 - 25.000, sementara di
penangkar hanya Rp 5.000 – 8.000
per polybag.
Tentang asosiasi, menurut
Sulaiman berperan dalam melaku-
kan penataan petani lada dan
membantu pemasaran lada milik
petani.
Sementara itu dukungan
juga datang dari Politeknik
Lhokseumawe, Menurut Aka-
demisi dari perguruan tinggi
itu yang sekaligus Ketua Forum
Komunitas Hijau Lhokseumawe,
Hendi Suhaemi, tata ruang
hijau itu sekitar 30 persen. Dari
perssentase itu sekitar 10 persen
bisa dikembangkan lada. Peran
akademisi akan menggerakkan
mahasiswa untuk memberikan
pendampingan kepada petani
lada sehingga tumbuh menjadi
ekonomi keluarga. Lis
Irwan Ibrahim
Jangan Lupa Minum Coklat Pidie Jaya
Dari Lhokseumawe Lada Menyebar ke Seluruh Aceh
Muhamad Sulaiman Hendi Suhaemi
keputus asaan petani menghadapi
berbagai persoalan coklat. “Saya
berpikir, tanpa diolah maka nilai
tambah coklat sangat rendah,”
katanya.
Ia berkisah, awalnya warung
olahan coklat miliknya ini diter-
tawakan banyak orang. “Ada yang
ngomong, kamu gila bikin warung
coklat di tengah masyarakat
peminum kopi. Namun bagi saya
kalau orang itu masih buka mulut,
maka peluang pasar warung coklat
pasti besar. Alhamdulilah, saat ini
omzet penjualan minuman dan
olahan coklat sudah bisa men-
capai Rp. 40 juta per bulan,”
ujarnya gembira.
Bagi rekan-rekan yang
sempat melintas kabupaten ini
jangan lupa untuk mampir untuk
menikmati minuman coklat.
Warung yang merupakan salah
satu binaan BPTP Aceh ini berada
di jalan Medan - Banda Aceh KM
138 Baroh Musa, Bandar Baru,
Kabupaten Pidie Jaya.
Lis
Sejengkal Tanah Lhokseumawe untuk Lada