Instrumen Katalitik Pemerintahan Daerah untuk Mengurangi Kemiskinan
1. Instrumen Katalitik Pemerintahan Lokal dan Langkah-langkah
Pengurangan Kemiskinan di Wilayah Indonesia Timur: Pengalaman Kota Mataram1
Dr. Astia Dendi2, Drs. HM. Ainul Asikin, MSi.
Abstrak
Makalah ini mengkaji konsep, prospek, dan pelajaran dari perkembangan instrumen-
instrumen pemerintahan lokal untuk mengurangi kemiskinan dalam konteks perkotaan di
wilayah Indonesia timur berdasarkan studi kasus di Kota Mataram, provinsi Nusa
Tenggara Barat. Mataram adalah kota baru di provinsi Nusa Tenggara Barat.
Pemerintah kota ini telah dikenal di wilayahnya melalui upayanya yang gigih dalam
menggalakkan good governance dan pendekatan partisipatif dalam pembangunan.
Namun, tingginya kemiskinan tetap menjadi salah satu permasalahan pelik yang
dihadapi Mataram. Pemerintah Kota Mataram tengah berhadapan dengan beberapa
masalah kemiskinan di perkotaan, diantaranya rendahnya kualitas SDM, keberadaan
permukiman kumuh, kurangnya infrastruktur permukiman, pengangguran, dan
ketidaksetaraan gender. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, pemerintah Kota
Mataram menerapkan model penyediaan jasa publik yang lebih cepat, transparan, dan
partisipatif. Model tersebut meliputi penyelenggaraan dialog antar pemangku
kepentingan (Forum Pemangku Kepentingan) untuk membina partisipasi, transparansi,
dan pembagian tanggung jawab antar pemangku kepentingan; penyiapan instrumen
yang dapat mengidentifikasi warga miskin dengan lebih baik (program dapat mencapai
target dengan lebih baik); dan alat Rencana Aksi Masyarakat (Community Action
Planning). Meskipun elemen-elemen utama pendekatan tersebut, yakni Community
Action Planning dan Forum Pemangku Kepentingan, telah berkembang selama
beberapa tahun terakhir, inovasi untuk meningkatkan transparansi dan pentargetan
warga miskin yang lebih baik di daerah kumuh di wilayah perkotaan masih terbilang
baru. Prospek pendekatan dimaksud dalam mengatasi masalah-masalah kemiskinan
sungguh mengagumkan. Untuk itulah Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat
memberikan penghargaan berupa Juara I Sayembara Good Governance 2007 kepada
Walikota Mataram. Makalah ini juga membahas pengalaman yang diperoleh dan
langkah-langkah yang dapat diambil untuk meraih skala implementasi yang lebih luas
dan menghasilkan manfaat yang signifikan bagi warga miskin (perempuan dan laki-laki).
1
Para penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada the German Technical Cooperation di
provinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu GTZ-Good Local Governance (GLG) yang telah
menyediakan akses informasi dan mensponsori penulis untuk menyajikan makalah ini dalam
seminar internasional yang diselenggarakan oleh Indonesian Regional Science Association
(IRSA) di Palembang (Indonesia) pada tanggal 31 Juli - 2 Agustus 2008. Kami juga berterima
kasih kepada Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Kota Mataram atas
tersedianya data dan informasi relevan lainnya serta organisasi-organisasi perantara dan
anggota masyarakat di Sembalun atas antusiasme dan kontribusi selama kegiatan penelitian.
2
Koresponden: Dr. Astia Dendi, Senior Regional Development Adviser, GTZ-Good Local
Governance di Nusa Tenggara Barat. Email: dendi@gtz.or.id; Telpon 0370 641749; Fax 0370
621293.
2. Pendahuluan
Dalam bingkai desentralisasi, telah banyak upaya yang dilaksanakan demi mewujudkan
layanan yang lebih baik, pembangunan yang berkelanjutan, dan pengentasan
kemiskinan. Pemerintah daerah yang berada di barisan depan dalam penyediaan
layanan kepada masyarakat adalah pencetus proses demokrasi yang melibatkan
masyarakat dalam proses pemerintahan lokal. Memang benar bahwa pendekatan multi
level dan kerja sama antar wakil-wakil pemerintah, sektor ekonomi swasta, dan
masyarakat sipil diperlukan. Namun implementasi kebijakan-kebijakan desentralisasi
dan pemerintahan tidak selalu merupakan proses yang mulus dan tetap penuh
tantangan.
Penerapan kriteria Good Governance (akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi) dalam
pemerintahan lokal perlu ditingkatkan. Berdasarkan kriteria tersebut jangkauan dan
kualitas layanan publik tertentu terutama kesehatan, pendidikan, dan iklim usaha harus
ditingkatkan. Situasi ini dapat terwujud apabila terdapat peningkatan kapasitas dan alat
pengukur kinerja pemerintah lokal.
Dalam usaha mengatasi tantangan-tantangan di atas, dalam kerangka kerja sama
pembangunan pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah Republik Federal
Jerman, proyek the Good Local Governance (GLG) yang diimplementasikan oleh GTZ
(German Technical Cooperation) mendukung pemerintah provinsi Nusa Tenggara Barat
untuk mendesain dan mengimplementasikan instrumen awal guna menggerakkan
pemerintah-pemerintah lokal melalui Sayembara Good Governance. Sayembara atau
kompetisi tersebut meletakkan fokus pada pengembangan kapasitas pemerintah-
pemerintah lokal dan organisasi-organisasi perantara untuk memperkuat transparansi
dan partisipasi dalam penyediaan layanan publik.
Setelah diluncurkan secara resmi pada tanggal 17 Desember 2006 oleh Gubernur Nusa
Tenggara Barat, kesembilan pemerintah kabupaten / kota di provinsi Nusa Tenggara
Barat memutuskan untuk berpartisipasi. Sebagai langkah pertama, mereka diminta
menyerahkan proposal yang membahas topik-topik, misalnya peningkatan layanan
kesehatan, menguatnya usaha pedesaan untuk meningkatkan kesejahteraan
3. masyarakat, atau meningkatnya kualitas pendidikan. Tantangannya adalah meraih
kemajuan dalam waktu tiga bulan yang akan dievaluasi oleh juri independen.
Laporan ini mendeskripsikan secara ringkas pendekatan Sayembara Good Governance
dan mengkaji konsep, prospek dan pelajaran yang diambil dari inovasi good governance
Pemerintah Kota Mataram yang merupakan juara I Sayembara Good Governance di
Nusa Tenggara Barat tahun 2007 untuk inisiatifnya dalam upaya pengentasan
kemiskinan di area percontohan, yaitu Lingkungan Sembalun.
Konteks Regional dan Masalah-masalah Kemiskinan di Perkotaan
Mataram adalah kota dan ibukota provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) di wilayah
Indonesia timur. Provinsi ini meliputi wilayah seluas 20.153,15 km2, terdiri dari dua
pulau utama yaitu Lombok dan Sumbawa, dan secara administratif terbagi kedalam
dari sembilan kabupaten / kota. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional 2006
(BPS dan BAPPEDA, 2007), total populasi provinsi Nusa Tenggara Barat mencapai
4.257.306 jiwa.
Nusa Tenggara Barat memiliki banyak permasalahan dan hambatan di bidang
pembangunan sebagaimana daerah-daerah lain di wilayah Indonesia timur. Meskipun
upaya-upaya besar pembangunan yang dilaksanakan selama dekade terakhir telah
menghasilkan beberapa peningkatan yang signifikan dalam bidang sosial dan ekonomi,
kemiskinan tetap menjadi masalah utama yang dihadapi daerah ini. Menurut laporan
resmi (Hadar, 2008), tingkat kemiskinan di Nusa Tenggara Barat kurang lebih 25 %
(sekitar 1, 12 juta jiwa) dari total populasi. Angka ini telah mengalami sedikit penurunan
selama beberapa tahun terakhir. Selain itu, juga dilaporkan bahwa sejak tahun 1999,
Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia) Nusa Tenggara Barat
adalah yang terendah di Indonesia (BPS, 2008)3. Tingginya malnutrisi dan tingkat
kematian ibu dan bayi juga merupakan masalah pelik di NTB. NTB adalah salah satu
daerah kritis di Indonesia dalam hal tingkat kematian ibu dan bayi. Tingkat kematian bayi
mencapai 73,5 / 1000 kelahiran hidup (nasional = 45 / 1000 kehadiran hidup);
3
Lihat http://www.bps.co.id
4. sedangkan tingkat kematian ibu adalah 370 / 100.000 kelahiran hidup (nasional = 307 /
100.000 kelahiran hidup).
Lebih jauh lagi, tingkat melek huruf masyarakat NTB di atas 15 tahun adalah 83,7% bagi
pria dan 71% bagi wanita. Namun, angka-angka tersebut masih jauh di bawah rata-rata
nasional yaitu 94,0 % untuk pria dan 86,8% untuk wanita (Hadar, 2008).
Didirikan di akhir tahun 1993, Mataram adalah salah satu kota desentralisasi baru di
wilayah Indonesia Timur. Pada pertengahan tahun 2006, total populasinya mencapai
362,43 jiwa (BPS dan Bappeda, 2007). Laporan resmi terkini juga melaporkan hal yang
serupa. Produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita pada tahun 2005 dan 2006
berurutan adalah sebesar Rp. 4.179.980,00 dan Rp. 4.441.547,00. Angka tersebut
merupakan pertumbuhan ekonomi tertinggi di atas rata-rata nasional yaitu 7,79 dan 7,89
persen masing-masing pada tahun 2005 dan 2006 (BPS, 2007). Namun, daerah ini
juga memiliki permasalahan-permasalahan yang sama sebagaimana daerah-daerah lain
di wilayah Indonesia timur. Beberapa permasalahan berikut ini diantaranya
mencerminkan tantangan berat yang dihadapi Pemerintah Kota Mataram:
• meluasnya permukiman kumuh;
• rendahnya kualitas SDM (banyaknya tenaga kerja yang tidak berkeahlian,
tingginya tingkat buta huruf);
• kurangnya infrastruktur permukiman;
• tingginya tingkat pengangguran.
Memang benar bahwa pengentasan kemiskinan merupakan program utama pemerintah
kota Mataram selama lebih dari satu dekade. Seiring dengan strategi nasional,
pemerintah Kota Mataram telah melaksanakan banyak langkah intervensi pembangunan
yang pro-kemiskinan di bidang ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Pemerintah kota
telah meluncurkan program pembangunan ekonomi populer bernama ”PER” —
Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Di bidang layanan kesehatan masyarakat, pemerintah
kota telah memperkenalkan kebijakan populer yaitu pengobatan gratis bagi warga
miskin yang memenuhi syarat. Pemerintah kota juga telah memperkenalkan kebijakan
populer dalam bidang pendidikan dasar yaitu sekolah gratis bagi anak-anak dari
golongan tidak mampu di sekolah negeri manapun di Mataram.
5. Meskipun kota Mataram telah menunjukkan beberapa prestasi yang mengagumkan
dalam hal pertumbuhan ekonomi regional, kemiskinan dan pengangguran tetap
merupakan masalah yang berat. Hal ini menunjukkan dibutuhkannya pengembangan
strategi-strategi yang lebih terpadu dan luas jangkauannya serta strategi pembangunan
yang efektif dari segi biaya.
Sayembara Good Governance sebagai Sebuah Instrumen Pengembangan
Kapasitas Pemerintahan Daerah
Tujuan dan Tema
Sayembara Good Governance diselenggarakan untuk mendukung pengembangan
kapasitas pemerintahan daerah dalam rangka penyediaan layanan publik. Organisasi-
organisasi masyarakat sipil, sektor swasta, dan masyarakat pada umumnya akan
memetik manfaat dari kemajuan-kemajuan dalam bentuk layanan harian. Berikut adalah
tujuan sayembara dilihat dari sudut pandang yang lebih luas dan jangka panjang:
• memelihara dan memperluas skala penerapan prinsip-prinsip good governance
dalam pemerintahan daerah;
• meningkatkan kapasitas pemangku kepentingan dalam mendesain dan
mengimplementasikan pendekatan inovatif dalam pemerintahan daerah;
• memperluas jangkauan dan meningkatkan kualitas penyediaan layanan publik;
• mempercepat pencapaian human development index regional yang lebih baik.
Pada gilirannya, masyarakat akan menerima informasi yang lebih baik berkenaan
dengan status layanan tertentu dan inovasi-inovasi yang diterapkan. Penghargaan
(hadiah) dihajatkan sebagai insentif untuk memobilisasi pemerintah daerah mengikuti
sayembara. Karena sayembara tersebut adalah sebagai kendaraan atau alat untuk
menggalakkan praktek good governance, penghargaan yang menarik yang akan
bermanfaat bagi masyarakat disediakan bagi pemerintah daerah yang keluar sebagai
pemenang; jadi, hadiahnya bukan ditujukan kepada petinggi-petinggi atau institusi-
institusi tertentu, melainkan hadiah bagi rakyat.
6. Pada sayembara pertama di tahun 2007, pemerintah provinsi NTB mengangkat tema
“Inovasi Transparansi dan Partisipasi dalam Peningkatan Kinerja Pelayanan
Publik dalam Kerangka Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (Human
Development Index)”. Berdasarkan tema tersebut, sayembara ini menitikberatkan
penilaian terhadap dua kriteria good governance, yaitu transparansi dan partisipasi,
diantara banyak kriteria lain yang disyaratkan oleh UNDP.
Metodologi
Di tingkat provinsi, Panitia Penyelenggara (Organizing Committee) dibentuk dan
ditetapkan oleh Gubernur untuk mengemban tanggung jawab pelaksanaan sayembara
yang untuk pertama kali ini dipandang sebagai “pilot proyek”. Sesuai kewenangannya,
Panitia Penyelenggara menyusun rencana kerja terperinci. Tujuan utama sayembara
padalah memotivasi pemerintah-pemerintah daerah untuk merampungkan kemajuan-
kemajuan yang dapat diukur dalam proses penyediaan layanan yang akan mengarah
pada transparansi dan partisipasi yang lebih baik. Para ahli dari dunia akademis dan
organisasi-organisasi masyarakat sipil yang aktif dalam pemerintahan membantu
merumuskan metodologi dan kriteria lomba. Kemajuan-kemajuan yang telah dicapai
dalam waktu tiga bulan sejak registrasi sayembara akan dinilai oleh juri independen.
Penilaian independen oleh juri yang juga independen akan menghasilkan perspektif
yang komparatif dan penilaian yang terpercaya. Informasi tentang sayembara
diumumkan di media masa lokal. Pemberitahuan serupa juga disampaikan kepada
pemerintah-pemerintah daerah di provinsi NTB. Para ahli dan anggota organisasi
perantara (intermediary organization) yang berkualitas akan mengevaluasi inovasi-
inovasi yang disajikan oleh para kandidat dan memverifikasi bukti-bukti dengan
mengumpulkan informasi langsung dari lapangan. Masukan-masukan ini akan menjadi
bahan pertimbangan sebelum juri membuat keputusan akhir tentang pemenang
sayembara. Akhirnya sebuah acara publik akan digelar untuk mengumumkan hasil
sayembara sekaligus sebagai bentuk penghargaan kepada para juara.
Kriteria Proposal yang Diterima dan Penilaiannya
Inovasi pemerintah lokal harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
• tidak pernah diajukan dalam sayembara serupa di lokasi manapun;
7. • mempunyai hubungan yang jelas dengan tujuan sayembara, utamanya
meningkatkan penyediaan layanan publik dan kontribusi untuk meningkatkan
human development index regional;
• merupakan kegiatan baru atau kegiatan yang mendukung program
pembangunan yang sedang berlangsung;
• harus mempunyai indikator hasil yang relevan dan dapat diukur dalam kurun
waktu tiga bulan.
Proposal-proposal pemerintah daerah dinilai pada awal dan akhir sayembara oleh
juri independen. Pada evaluasi awal, juri menilai relevansi kegiatan yang diajukan
(menggunakan kriteria-kriteria di atas) dan prospek tercapainya tujuan peningkatan
layanan publik berdasar potensi dan keterbatasan pemerintah-pemerintah lokal
tersebut. Evaluasi akhir lebih bersifat substansial yakni berpatokan pada kriteria
transparansi dan partisipasi. Terdapat lima indikator penentu tingkat transparansi
dan inovasinya, yaitu:
• tersedianya informasi untuk semua pemangku kepentingan;
• tersedianya prosedur yang jelas untuk setiap layanan;
• efektifnya mekanisme penanganan pengaduan masyarakat;
• diterapkannya prinsip-prinsip transparansi dalam seluruh kegiatan;
• tercapainya implementasi target dalam jangka waktu tiga bulan.
Tingkat partisipasi dan inovasinya diukur berdasar sepuluh indikator berikut:
• terlibatnya pemangku kepentingan dalam seluruh tahapan proses pembangunan
(perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi);
• tersedianya proses identifikasi bagi pemangku kepentingan;
• terwakilinya pemangku kepentingan;
• persepsi pemangku kepentingan sehubungan dengan partisipasi mereka;
• adanya pembelajaran bersama yang relevan dan aksi bersama yang melibatkan
pemangku kepentingan dan media masa lokal;
• terbentuk dan tegaknya prosedur / mekanisme partisipasi publik;
8. • digunakannya sumber-sumber daya lokal;
• adanya kemampuan untuk diterapkan kembali;
• tercapainya target dalam waktu tiga bulan.
Inisiatif Pengentasan Kemiskinan oleh Kota Mataram dalam Sayembara Good
Governance tahun 2007 di NTB
Tujuan Program
Mewujudkan pemerintahan yang lebih transparan dan partisipatif untuk secara efektif
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat lokal dan meningkatkan
kesempatan mengembangkan penghidupan yang lebih baik dalam upaya mempercepat
peningkatan human development index regional.
Tujuan-tujuan tersebut dapat langsung membuahkan hasil yang saling berhubungan,
yaitu:
• menguatnya penerapan prinsip-prinsip good governance di tingkat lokal dan
lingkungan masyarakat; dan
• berkembangnya kapasitas pemerintahan lokal dalam rangka penyediaan layanan
publik yang lebih berkualitas antar dinas-dinas pemerintah lokal, organisasi
perantara, dan organisasi masyarakat sipil.
Selain itu, tujuan-tujuan di atas juga mengandung unsur tujuan jangka menengah yaitu
peningkatan human development index berikut tujuan Sayembara Good Governance di
provinsi Nusa Tenggara Barat.
Sebagaimana yang disebut di atas, salah satu tantangan Sayembara Good Governance
adalah memperoleh hasil-hasil implementasi inovasi dalam jangka waktu yang sangat
singkat. Pemerintah Kota Mataram bersama dengan anggota masyarakat di area
percontohan (Sembalun) menjabarkan serangkaian indikator hasil selama periode tiga
bulan, sebagai berikut:
9. • teridentifikasinya keluarga miskin melalui proses penilaian yang partisipatif;
• dibentuk dan difungsikannya unit keluhan masyarakat di area percontohan
secara efektif.
Bersama dua indikator tersebut, berikut adalah indikator-indikator di sektor yang lebih
luas.
Indikator di bidang pendidikan
• Tersedianya fasilitas sekolah gratis untuk anak-anak dari keluarga tidak mampu
di tingkat SD dan SLTP;
• Ditingkatkannya peran sekolah untuk anak-anak di bawah usia lima tahun
(PAUD―Pendidikan Anak Usia Dini), dipekerjakannya guru-guru yang
berkualitas, tersedianya fasilitas belajar yang aman, dan teridentifikasinya siswa-
siswa dari keluarga miskin yang memenuhi syarat;
• Diperkuatnya program pemberantasan buta huruf yang telah ada.
Indikator di bidang kesehatan
• Tersedianya layanan kesehatan yang lebih berkualitas dan gratis bagi semua
warga miskin;
• Terbentuknya organisasi masyarakat (bahasa Sasak: awig-awig) untuk membina
lingkungan dan penghidupan yang sehat;
• Disosialisasikan dan didukungnya pembangunan toilet umum.
Indikator sektor ekonomi
• Teridentifikasi dan terlaksananya pelatihan / kursus
• Didirikannya institusi keuangan mikro untuk meningkatkan ketersediaan dan
akses modal bagi wiraswasta miskin dan mikro
Kerangka institusional
Pemerintah daerah, pimpinan kelompok-kelompok masyarakat, dan forum
multistakeholder di tingkat lokal (kota) dilibatkan dalam mendesain dan
mengimplementasikan program percontohan, yakni inovasi good governance guna
10. pengentasan kemiskinan. Forum-forum multistakeholder selalu berada di garda depan
dalam upaya menggalakkan pembangunan yang memihak masyarakat miskin (pro-poor)
selama lebih dari dua tahun ini. Forum ini beranggotakan personil LSM / organisasi
perantara, tenaga-tenaga profesional dari universitas setempat, dan anggota asosiasi
bisnis. Bappeda memegang peranan penting sebagai koordinator para aktor (institusi-
institusi) tersebut.
Alat dan Proses
Inovasi good governance untuk pengentasan kemiskinan di Mataram mengintegrasikan
serangkaian alat diantaranya Community Action Planning (Rencana Kerja Masyarakat),
Participatory Poverty Assessment (Kajian Kemiskinan Partisipatif), dan Multistakeholder
Fora (merujuk pada kerangka institusional), dan Integrity Pact (Pakta Integritas). Alat-
alat ini tidaklah baru sama sekali, tetapi telah berkembang selama beberapa tahun di
Indonesia, terutama di wilayah Indonesia timur. Community Action Planning (CAP),
misalnya, telah diadopsi dari GTZ dalam rangkaian Urban Quality Management Program
(GTZ-Urban Quality) sejak tahun 2003. Pemangku kepentingan lokal dibentuk kurang
lebih sejak lima tahun lalu, tetapi perkembangannya menjadi forum multistakeholder
dengan fokus pengelolaan ekonomi lokal masih terbilang baru. Kami akan membahas
mengenai alat-alat tersebut sebagai berikut.
Community Action Planning — Alat ini berkembang dari ide perencanaan
partisipatif dalam konteks perkotaan. Community Action Planning mengadaptasi
beberapa metode partisipasi untuk memahami situasi, masalah, dan kesempatan
masyarakat serta solusi untuk mengatasinya. Alat ini menggerakkan anggota
masyarakat (pria dan wanita) dan pemangku kepentingan lokal lainnya untuk
berdialog, mengatur alokasi sumber-sumber daya lokal, dan membagi tanggung
jawab dalam aksi bersama di lingkungan masyarakat tertentu. Mungkin, terdapat
banyak cara untuk melaksanakan CAP, tetapi di Mataram alat ini terdiri dari
enam tahapan utama, yaitu:
• persiapan (perencanaan untuk CAP: pembentukan tim fasilitator, pembagian
tugas, jadwal, dan lain-lain);
• penyiapan profil masyarakat (kondisi lingkungan hidup, jumlah populasi,
sumber-sumber daya lokal yang tersedia, potensi, masalah, dan lain-lain.);
11. • pengembangan model tiga dimensi di area tersebut untuk membina
pembelajaran partisipatif dan analisis ruang;
• pelaksanaan workshop CAP di lingkungan masyarakat (analisis masalah dan
kesempatan, solusi yang diperoleh dari masyarakat, dan rencana kegiatan
yang membutuhkan dukungan pemerintah);
• pengintegrasian (pensejajaran) CAP ke dalam rencana pembangunan kota;
• monitoring pelaksanaan rencana kegiatan.
Participatory Poverty Assessment (Kajian Kemiskinan Partisipatif) - Alat ini
berkembang dari metode partisipatif yang digunakan dalam analisis situasi dan
pembangunan berbasis masyarakat. PPA bergantung pada pengetahuan dan
nilai-nilai masyarakat dalam mengidentifikasi kelompok masyarakat miskin.
Dengan demikian, anggota masyarakat sendiri yang mendefinisikan kriteria
miskin, mengidentifikasi, dan memverifikasinya serta menyelesaikan konflik
apabila ada.
Multistakeholder Fora - Alat ini merupakan wadah dialog bagi pemangku
kepentingan di tingkat lokal. Multistakeholder fora berevolusi dari proses belajar
antar pemangku kepentingan lokal dalam upaya meningkatkan transparansi dan
partisipasi dalam proses pengambilan keputusan demi tersedianya layanan
publik yang lebih baik. Forum ini menyatukan pelaku-pelaku (pria dan wanita)
dari organisasi perantara lokal, anggota organisasi masyarakat, anggota asosiasi
bisnis, dan pemerintah daerah. Forum ini memungkinkan mereka berbagi visi,
perspektif, dan nilai-nilai untuk lebih memahami peran, fungsi, dan tujuan
mereka. Personil pemerintah lokal juga dapat belajar dan memahami masalah
yang sebenarnya dihadapi masyarakat dan kesempatan-kesempatan mereka
melalui dialog dan interaksi langsung dengan LSM dan sektor swasta yang aktif
dalam forum. Anggota masyarakat, LSM, dan sektor swasta juga dapat lebih
memahami visi, nilai, dan faktor-faktor yang membentuk kebijakan pemerintah.
Disamping itu, melalui proses-proses interaktif di dalam forum, masyarakat lokal,
LSM, dan sektor swasta juga dapat memahami keterbatasan-keterbatasan
pemerintah lokal dalam memenuhi kebutuhan mereka. Pemahaman tersebut
mencegah timbulnya harapan yang salah yang akan menyebabkan situasi sosial
ekonomi yang tidak diinginkan.
12. Integrity Pact (Pakta Integritas) - Alat ini diadopsi dari the German Technical
Cooperation Agency (GTZ SfGG - Support for Good Governance pada
Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara (MENPAN). Pakta Integritas
adalah perjanjian tertulis tentang prosedur pengadaan sarana publik yang
transparan dan bebas korupsi. Hal ini ditandai dengan keterbukaan tentang
seluruh dokumen yang ditandatangani oleh badan yang mendanai proyek
(misalnya GTZ, apabila proyek itu didukung oleh GTZ) dan semua peserta lelang
dari sektor swasta. Organisasi masyarakat sipil atau komisi pemerintah yang
independen atau sektor swasta mengawasi dan mengatur pelaksanaan pakta
integritas.
Menyikapi peluncuran sayembara Good Governance oleh Gubernur NTB pada tanggal
17 Desember 2006, pemerintah kota Mataram membentuk tim fasilitator untuk
menyusun konsep pendekatan inovatif (merumuskan proposal), mengidentifikasi area
percontohan, dan memfasilitasi seluruh proses perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan mandiri terhadap inovasi yang diajukan. Setelah konsep awal diperoleh,
pemerintah kota mengadakan sosialisasi kepada anggota masyarakat di daerah tertentu
guna membangun kesepahaman antar pemangku kepentingan berkenaan dengan
tujuan dan manfaat program serta peran dan tanggung jawab institusi dan kelompok
masyarakat.
Setelah proses sosialisasi, proses penilaian warga yang masuk kategori miskin
dilaksanakan secara partisipatif. Anggota masyarakat sendiri yang menentukan kriteria
miskin dan mengidentifikasi keluarga miskin di lingkungan mereka. Hasilnya, warga
miskin adalah orang-orang yang tidak memiliki penghasilan tetap atau berpendapatan
kurang dari Rp300.000,00 per bulan yang tidak memiliki rumah atau mempunyai rumah
yang sangat sederhana. Semula terdapat 139 keluarga (kurang lebih 70% dari total
keluarga di lingkungan tersebut) yang masuk kategori miskin, tetapi kemudian
bertambah menjadi 142 karena adanya keluhan dari beberapa anggota masyarakat.
Berdasar temuan tersebut, Kepala Lingkungan Sembalun memasang ‘stiker miskin’ di
tiap rumah keluarga miskin. Bersama dengan pemasangan stiker, keluarga-keluarga
miskin tersebut juga mendapatkan kartu miskin dari pemerintah kota yang dapat
digunakan untuk memperoleh biaya pengobatan dan sekolah gratis. Selain itu,
13. pemegang kartu miskin menerima beras subsidi (raskin) dari pemerintah pusat.
Pemerintah kota juga memperkenalkan mekanisme penanganan pengaduan
masyarakat dengan mendirikan institusi yang dibina oleh masyarakat di tingkat
lingkungan dan pemasangan kotak pengaduan di tempat-tempat strategis. Selama
Sayembara Good Governance, terdapat beberapa keluhan yang dimasukkan dalam
kotak tersebut. Tiga diantaranya mempertanyakan tidak dimasukkannya tiga keluarga
dalam kategori miskin. Keluhan-keluhan ini telah benar-benar ditindaklanjuti dan tiga
keluarga tersebut telah dimasukkan ke dalam daftar warga miskin.
Setelah tahap identifikasi, dimulailah proses perencanaan kegiatan masyarakat yang
tidak hanya melibatkan warga miskin tetapi juga tokoh masyarakat dan organisasi
perantara terkait yang aktif dalam masyarakat. Indikator sukses juga ditentukan dalam
tahapan tersebut. Semua proses dan alat yang telah disebutkan di atas merupakan
elemen-elemen pokok dalam proposal inovasi good governance kota Mataram yang
disampaikan kepada pemerintah provinsi untuk mengikuti sayembara. Setelah beberapa
revisi, dengan mempertimbangkan masukan dari pengkaji independen dan peserta
diskusi yang digelar oleh pemerintah provinsi, proposal tersebut diimplementasikan di
area percontohan (selama tiga bulan).
Hasil-hasil Jangka Pendek
Salah satu tantangan Sayembara Good Governance adalah menghasilkan output nyata
dalam durasi yang terbilang sangat singkat (tiga bulan). Berikut adalah pembahasan
mengenai hasil-hasil utama yang diraih oleh Mataram selama Sayembara Good
Governance tahun 2007 di provinsi Nusa Tenggara Barat.
Dalam bidang pendidikan, rencana kegiatan telah diimplementasikan. Pemerintah kota
telah membebaskan biaya registrasi dan biaya lainnya di tingkat SD dan SLTP bagi
siswa-siswa dari keluarga tidak mampu (pemegang kartu miskin). Selain itu, pemerintah
kota juga menggerakkan pendidikan untuk anak di bawah lima tahun di area
percontohan (lingkungan Sembalun) dan membebaskan biaya registrasi dan biaya-biaya
lain bagi anak-anak dari keluarga miskin. Program khusus untuk memberantas buta
huruf dilaksanakan dengan membentuk tiga kelompok belajar, mendirikan fasilitas,
menyediakan alat-alat dan memulai kegiatan belajar mengajar. Walaupun terdapat
keterbatasan fasilitas belajar mengajar, minat peserta sangat tinggi dan beberapa
14. diantaranya sudah dapat membaca dan menulis sebelum tiga bulan. Tenaga pengajar
untuk sekolah informal ini adalah guru-guru sekolah negeri yang tinggal di daerah
percontohan yang bersedia menjadi sukarelawan. Pelaksanaan pendidikan anak usia
dini juga dinilai memuaskan. Beberapa mainan edukatif dan fasilitas belajar outdoor
yang aman juga telah tersedia.
Di bidang kesehatan, terbukti pemerintah kota Mataram telah menyediakan layanan
yang lebih baik bagi masyarakat miskin. Keluarga-keluarga kurang mampu telah
menikmati layanan kesehatan dan pengobatan gratis di Puskesmas dan RSU.
Disamping itu, tindakan-tindakan pencegahan yang dibina masyarakat juga ditingkatkan
diantaranya melalui pembentukan ”awig-awig” (organisasi masyarakat) di bidang
pemeliharaan lingkungan dan aksi bersama untuk memperbaiki sanitasi, konstruksi, dan
perawatan fasilitas umum, seperti fasilitas Mandi-Cuci-Kakus (MCK) dan lain-lain.
Di bidang pembangunan ekonomi, pemerintah kota Mataram telah menyelenggarakan
pencatatan kebutuhan masyarakat terhadap keahlian tertentu. Berdasarkan catatan
tersebut, didirikanlah kursus-kursus manajemen usaha mikro dan pelatihan teknis
pengolahan dan pengemasan ikan.
Institusi keuangan mikro di tingkat lingkungan juga didirikan dengan
mengkonsolidasikan koperasi yang telah ada yaitu Koperasi Bahtera Damai. Untuk
memperluas pengetahuan dan keahlian peserta pelatihan dan institusi keuangan mikro,
telah disiapkan kegiatan-kegiatan lanjutan melalui proses yang partisipatif. Rencana
kegiatan menitikberatkan pada pemberdayaan perempuan melalui pengembangan
kapasitas dalam bidang pengembangan produk dan pasar seiring dengan
perkembangan institusional (diantaranya pembentukan Forum Wiraswastawati).
Pemerintah kota Mataram juga akan menyerahkan bantuan sebesar Rp. 35.000.000,00
kepada institusi keuangan mikro yang memenuhi syarat (Koperasi) di area percontohan
untuk meningkatkan ketersediaan modal bagi wiraswasta mikro. Institusi keuangan
mikro yang memenuhi syarat harus menjamin bahwa 30 % dananya dialokasikan untuk
wiraswastawati yang memulai / memperluas usahanya (menjadi bagian dari Integrity
Pact antar pemerintah kota, masyarakat, dan organisasi perantara lokal).
15. Kami mengamati keaktifan warga (Sembalun) dalam pembangunan infrastruktur umum
dan sosial misalnya toilet, renovasi sistem drainase, dan masjid dengan dana swadaya
masyarakat. Meskipun tidak semua target terpenuhi sesuai rencana, pembagian
tanggung jawab dan peran antar anggota masyarakat untuk mencapai hasil nyata telah
terlihat jelas.
Pelajaran yang Diperoleh dan Rekomendasi
Pengalaman kota Mataram membuktikan bahwa kombinasi antara kreativitas dengan
transparansi dan partisipasi dapat dihasilkan dalam tiga bulan. Dari sudut pandang
ekonomi, tiga variabel tersebut dapat menggantikan modal finansial, meskipun tidak
sepenuhnya.
Di Mataram, penerapan strategi kreatif bersama instrumen katalis (terutama rencana
kegiatan bersama, kajian kemiskinan yang partisipatif, mekanisme penanganan
pengaduan masyarakat; dan forum multistakeholder untuk pemerintahan lokal)
membuahkan kegiatan bersama yang bermanfaat bagi masyarakat miskin dan pada
gilirannya seluruh anggota masyarakat di lingkungan tersebut. Kami juga memetik
pengalaman bahwa peran kunci Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(BAPPEDA) dan Forum Multistakeholder adalah salah satu faktor utama menuju
terbinanya pembelajaran dan interaksi pemangku kepentingan yang dinamis,
terbangunnya kepercayaan, dan teralokasikannya sumber-sumber daya lokal dan
pembagian tanggung jawab antar pelaku. Lebih lanjut, instrumen-instrumen tersebut
sangat berpotensi untuk dilanjutkan dan diterapkan kembali karena dapat mengarahkan
pemangku kepentingan untuk menghasilkan tindakan-tindakan pembangunan yang lebih
fokus, efisien, dan efektif.
Namun kami juga setuju dengan pendapat para pemangku kepentingan bahwa waktu
sosialisasi sayembara dan pembuatan proposal terlalu singkat (efektif satu bulan). Oleh
karena itu, mereka berharap panitia menyediakan waktu yang lebih lama untuk
menyosialisasikan kegiatan dimaksud agar proses berjalan dengan lebih interaktif dan
efektif di masa yang akan datang. Selain itu tujuan sayembara berupa implementasi
kegiatan dan hasil yang dapat diukur dalam jangka waktu tiga bulan dinilai ambisius
walaupun hal tersebut merupakan tantangan dalam sayembara.
16. Beberapa Langkah ke Depan
Dalam rangka meningkatkan upaya menggalakkan dan menyebarluaskan praktek-
praktek good governance yang tengah berlangsung, berikut adalah tindakan-tindakan
yang dapat diambil:
• pemerintah provinsi perlu berperan aktif dalam memfasilitasi dialog-dialog good
governance di tingkat provinsi dan lokal misalnya melalui pembentukan forum
Good Governance atau Good Governance Center of Excellent di tingkat provinsi;
• sayembara yang sama dengan fokus yang berbeda patut dipertimbangkan.
Kegiatan ini tidak harus dilaksanakan setiap tahun, mungkin, dua tahun sekali
untuk menyediakan waktu yang lebih lama bagi pemerintah lokal dalam
menentukan strategi dan sumber-sumber daya lokal untuk mengikuti lomba;
• pemerintah kota Mataram perlu memperkuat kegiatan bersama yang sedang
berjalan dan menyiapkan strategi replikasi/ perluasan skala dengan biaya yang
terjangkau dan efektif. Pengenalan program kepada institusi di sektor-sektor
terkait di tingkat provinsi perlu menjadi prioritas bagi pemerintah kota di masa
yang akan datang;
• panduan proses dan metodologi perlu didistribusikan kepada masyarakat.
Pemerintah provinsi perlu berperan aktif dalam kegiatan ini;
• langkah-langkah yang tepat dalam mewujudkan good governance perlu
dikompilasi dan disebarluaskan;
• organisasi perantara yang terlibat dalam mendesain dan menyelenggarakan
implementasi Sayembara Good Governance perlu diberi keleluasaan untuk
berperan aktif dalam menyebarluaskan metodologi ke daerah-daerah lain dan
menyediakan fasilitas proses implementasi.
17. Referensi
BPS, 2008. Mataram dalam angka 2007/2008. Badan Pusat Statistik Kota
mataram dan BAPPEDA Kota Mataram.
BPS, 2007. Nusa Tenggara Barat dalam angka 2006/2007. Badan Pusat
Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Dendi, A., A. Zaini. 2007. Role of multistakeholder forum in reducing vulnerability
and poverty: Perspective and lessons from Nusa Tenggara, Indonesia. In
Li Guoqing, S. Wun’Gaeo, and H. Kuroyanagi (editors), 2007.
Globalization, competitiveness and human Insecurity in Rural Asia”,
Proceeding of the 3rd International Conference of Asian Rural Sociology
Association held in Sanhe, China: Volume III (page 631-641).
Good Local Governance. 2008. Selayang pandang program inovasi transparansi
dan partisipasi dalam rangka sayembara good governance provinsi Nusa
Tenggara Barat 2007. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat,
Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri
Republik Indonesia dan GTZ-Good Local Governance (GLG). Mataram.
http://www.gtz-decentralization.or.id.
Good Local Governance. 2008. Sayembara good governance provinsi Nusa
Tenggara Barat 2007: Panduan proses penyelenggaraan dan metode.
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Direktorat Jenderal Bina
Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia dan
GTZ-Good Local Governance (GLG). Mataram. http://www.gtz-
decentralization.or.id.
Hadar, Ivan A. (Editor). Meneropong kebutuhan pencapaian MDGs di Nusa
Tenggara Barat (NTB). Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat,
BAPPENAS dan UNDP. Jakarta. 124 pp.
Martawang, L., I. N. Wiarnanta, Arifin A. Bakti. 2008. Community action planning
(CAP) sebagai alat perencanaan pembangunan: Kasus lingkungan
Sembalun, kecamatan Sekarbela, kota Mataram. Working Paper.
Unpublished.
Sayuti, R. Husaenie. 2007. The impact of cash and direct subsidy for the poor in
West Nusa Tenggara province, Indonesia. In Li Guoqing, S. Wun’Gaeo,
and H. Kuroyanagi (editors), 2007. Globalization, competitiveness and
human Insecurity in Rural Asia”, Proceeding of the 3rd International
Conference of Asian Rural Sociology Association held in Sanhe, China:
Volume III (page 642-656).