SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 59
HUKUM SYARA’
I. DEFINISI HUKUM SYARA’

Menurut bahasa (etimologi) : Hukum (       /al-
hukm) berarti :                 = mencegah,
memutuskan.
Menurut istilah ushul fiqh (terminologi) :
hukum syara‟ adalah :

Khitab (kalam) asy-syari’ (Pembuat
hukum/Allah SWT) yang berkaitan dengan
semua perbuatan mukallaf , baik berupa
iqtidha` (perintah, larangan, anjuran untuk
melakukan atau meninggalkan), takhyir
(memilih antara melakukan dan tidak
melakukan), atau wadh‟i (ketentuan yang
menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat,
atau penghalang/māni‟).
Penjelasan Definisi al-Hukm
 Yang dimaksud Khithab asy-syari‟ adalah semua
 bentuk dalil-dalil hukum, baik al-Qur‟an, as-Sunnah,
 maupun Ijma‟ dan Qiyas. Namun Abdul Wahab Khalaf
 berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dalil hanya al-
 Qur‟an dan as-Sunnah. Adapun ijma‟ dan qiyas sebagai
 metode menyingkapan hukum dari al-Qur‟an dan sunnah.
 Al-Qur‟an dianggap sebagai kalam Allah secara langsung,
 dan sunnah sebagai kalam Allah secara tidak langsung
 karena Rasulullah saw tidak mengucapkan sesuatu di
 bidang hukum kecuali berdasarkan wahyu, sesuai firman
 Allah:
                             .
  dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut
 kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
 wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. An-Najm : 3-4)
 Demikian pula dengan ijma‟ harus mempunyai sandaran
 kepada al-Quran dan sunnah.
 Yang dimaksud perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang
 dilakukan oleh manusia dewasa, berakal sehat, termasuk
 perbuatan hati (seperti niat), dan perbuatan ucapan
 (seperti ghibah).
II. JENIS-JENIS HUKUM SYARA’

A. Hukum Taklifi
B. Hukum Wadh‟i
A. HUKUM TAKLIFI
Definisi Hukum Taklifi
Hukum yang mengandung perintah, larangan, atau
memberi pilihan terhadap seorang mukallaf untuk
melakukan sesuatu atau tidak berbuat.
Contoh perintah melakukan sesuatu :
           (Dan dirikanlah sholat). (QS. Al-Baqoroh :
43)
Contoh perintah meninggalkan sesuatu :
           (Janganlah kalian mendekati perzinaan).
(QS. Al-Isra‟ : 32)
Contoh pilihan melakukan atau meninggalkan sesuatu
:
              (dan apabila kamu telah menyelesaikan
ibadah haji, maka bolehlah berburu.) (QS. Al-Maidah :
2)
Pembagian Hukum Taklifi
1. Wajib
2. Mandub
3. Haram
4. Makruh
5. Mubah
1. Wajib
Pengertiannya :



Yaitu yang dituntut syari‟ untuk
melakukan suatu perbuatan dengan
tegas dan kuat, jika dilaksanakan
akan menyebabkan pujian dan
pahala, dan jika ditinggalkan dalam
keadaan mampu akan
menyebabkan celaan dan siksa.
1. Wajib (lanjutan…)
  Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan
  wajib, di antaranya :
a. Fi‟il amar, seperti :         = Dan dirikanlah
   sholat. (QS. Al-Baqoroh : 43)
b. Kata ( ) , seperti :
         = Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
   berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
   kepada kaum kerabat...(QS. An-Nahl : 90)
c. Kata ( ) , seperti :             = diwajibkan
   bagia kalian berpuasa. (QS. Al-Baqoroh : 183)
d. Kata (     ) , seperti :              = (Ini
   adalah) satu surat yang Kami turunkan dan
   Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum
   yang ada di dalam) nya.(QS. An-Nur : 1)
1. Wajib (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan wajib
(lanjutan…)
e. Fi’il yang besambung dengan lamul amri, seperti :
        = dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-
nazar mereka. (QS. Al-Hajj : 29)
f. Bentuk kata : (          /baginya untukmu melakukan
itu), seperti :                               =
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah. (QS. Ali Imran : 97)
g. Bentuk berita yang menempatkan sesuatu yang dituntut
dalam posisi dilaksanakan secara sempurna sebagai
penguat perintah, seperti :
                    = Orang-orang yang meninggal dunia di
antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para
istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan
sepuluh hari. (QS. Al-Baqarah:234)
1. Wajib (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan
wajib (lanjutan…)
h. Adanya ancaman jika ditinggalkan,
seperti :                            = Maka
jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. (QS. Al-Baqarah:279)
i. Tidak dihitung amal perbuatan jika ada
sesuatu yang ditinggalkan. Seperti :
                  = Tidak sah shalat bagi
orang yang tidak membaca surat al-
Fatihah. (Muttafaq „alaih)
1. Wajib (lanjutan…)
Pembagian Wajib :
a. Ditinjau dari segi waktu
pelaksanaannya terbagi kepada :
1)     Wajib muwassa’, yaitu jika waktu yang
ditentukan itu dapat digunakan untuk
melaksanakannya dan melaksanakan kewajiban
sejenisnya yang lain. Contohnya adalah sholat.
2)     Wajib mudlayyaq, yaitu yang hanya
cukup untuk melaksanakan satu kewajiban
saja, seperti puasa. Sesungguhnya setelah
terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari
hanya cukup untuk melaksanakan satu puasa
saja.
1. Wajib (lanjutan…)
Pembagian Wajib :
b. Ditinjau dari segi ukuran dan
batasannya dibagi kepada :
   1) Wajib muqaddar/muhaddad
(kewajiban yang ditentukan atau dibatasi
ukurannya), seperti : nishab zakat dan
kadar yang dikeluarkannya.
   2) wajib ghairu muqaddar/muhaddad
(kewajiban yang tidak ditentukan atau
dibatasi ukurannya), seperti : ukuran
nafkah wajib bagi suami terhadap isterinya,
berbuat baik bagi manusia.
1. Wajib (lanjutan…)
Pembagian Wajib :
c. Ditinjau dari segi ditentukan atau tidak
ditentukannya, wajib terbagi kepada :
1)    Wajib mu’ayyan (tertentu), yaitu kewajiban
yang harus dilakukan tanpa ada pilihan, Ini
merupakan kebanyakan kewajiban, seperti shalat lima
waktu.
2)     Wajib gahiru mu’ayyan (tidak ditentukan),
seperti kafarat sumpah pada firman Allah :
                                            (tetapi
Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah
yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar)
sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang
miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan
kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada
mereka atau memerdekakan seorang budak). (Al
Maidah : 89)
1. Wajib (lanjutan…)
Pembagian Wajib :
d. Ditinjau dari segi pelakunya, wajib dibagi
kepada :
1)     Wajib ‘ain, yaitu kewajiban yang harus
dilakukan oleh setiap orang Islam yang mukallaf
secara pribadi-pribadi, seperti shalat lima waktu dan
puasa.
b)    Wajib kifayah, yaitu bahwa yang diperintahkan
adalah melaksanakan perbuatan dan tidak
disyaratkan harus dilakukan oleh seseorang tertentu,
seperti memandikan mayyit dan menshalatkannya.
Dan kadang-kadang wajib kifayah itu berubah
menjadi wajib ‘ain, seperti jika suatu negeri itu
membutuhkan kepada para hakim dan di sana hanya
ada dua orang saja, maka jadilah menjadi hakim itu
merupakan kewajiban atas keduanya.
2. Mandub
Pengertiannya :



Yaitu yang dituntut syari‟ untuk
melakukan suatu perbuatan tidak
dengan tegas dan kuat, jika
dilaksanakan akan menyebabkan pujian
dan pahala, dan jika ditinggalkan tidak
menyebabkan celaan dan siksa.
2. Mandub          (lanjutan…)
  Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan mandub,
  di antaranya :
a. Fi‟il amr yang ada dalil yang menunjukkan tidak
   kuatnya perintah. Seperti :
                = Hai orang-orang yang beriman,
   apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai
   untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
   menuliskannya. (QS. Al-Baqaqrah : 282).
b. Bentuk berita yang menunjukkan anjuran, bukan
   perintah, seperti : bentuk-bentuk anjuran untuk
   melakukan dzikir atau shalat tertentu.
c. Setiap perbuatan Nabi saw yang bersifat
   pembentukan hukum. Seperti shalat sunnah rawatib,
   shaum sunnah, dsb.
2. Mandub      (lanjutan…)
  Nama-nama Mandub :
a. Sunnah,
b. b. Nafilah,
c. c. Mustahab,
d. d. Tathawwu‟,
e. e. Fadhilah
   Sebagian ulama ada yang menamakan
  mandub jika berkaitan dengan
  kemaslahatan akhirat, dan irsyad jika
  berkaitan dengan kemaslahatan
  duniawi.
2. Mandub        (lanjutan…)
  Derajat Mandub :
a. Sunnah muakkad, yaitu amalan sunnah
   yang dilakukan Nabi saw secara terus
   menerus. Dan kadang-kadang dibarengi
   dengan anjuran dalam bentukperkataan.
   Seperti : shalat sunnah dua rakaat
   sebelum shalat shubuh. Sabda Rasulullah
   saw : “                       “ “Dua rakaat
   sebelum shubuh lebih baik dari pada dunia
   dan isinya”. (HR. Muslim)
b. Sunnah ghairu muakkad, yaitu amalan
   sunnah yang tidak dilakukan secara terus
   menerus. Seperti shalat sunnah 4 rakaat
   sebelum shalat ashar.
2. Mandub           (lanjutan…)
  Derajat Mandub :
   Termasuk dalam kategori ini adalah amalan-amalan
   sunah yang diperintahkan Rasulullah saw melalui
   perkataan tapi dalam prakteknya beliau tidak
   melakukannya secara terus menerus. Seperti beliau
   menganjurkan untuk umrah, tapi dalam hidupnya
   hanya melakukan 4 kali, dan satu kali haji.
c. Fadhilah wa adab (keutamaan dan adab),
   dinamakan juga sunnah az-zawaid (sunnah
   tambahan) dan sunnah al-„adah (sunnah kebiasaan).
   Yaitu perbuatan Nabi saw yang bukan termasuk
   „ubudiyah. Seperti sifat makan, minum, berpakaian,
   berjalannya, dsb. Karena meneladani beliau saw
   merupakan sebuah keutamaan dan terpuji.
3. Haram
Pengertian Haram


Yang dituntut Syari‟ untuk ditinggalkan
dengan tegas dan kuat, jika
ditinggalkan karena ketaatan mendapat
pahala, dan jika dilakukan secara sadar
mendapat siksa.
 Haram dinamakan juga mahzhur
(larangan).
3. Haram (lanjutan…)
  Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan haram :
a. Kata :      , seperti :                          =
   Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
   daging babi. (QS. Al Maidah : 3)
b. Menafikan/meniadakan kehalalan, seperti :
                           = Kemudian jika si suami
   menlalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
   perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia
   kawin dengan suami yang lain.(QS. Al-Baqarah :
   230)
c. Kata (   ) /nahy/larangan, seperti :
             = dan Allah melarang dari perbuatan keji,
   kemungkaran dan permusuhan. (QS. An-Nahl : 90)
3. Haram (lanjutan…)
  Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan
  haram (lanjutan…) :
d. Kata       /melarang, seperti :
   -
        -               = Hadits Abu Zubair, ia
   berkata : Saya bertanya kepada Jabir tentang
   anjing dan kucing. Jabir berkata : Nabi saw
   melarangnya”. (HR. Muslim)
e. Bentuk perintah mengakhiri atau berhenti ,
   seperti :                     = janganlah
   kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga",
   berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik
   bagimu. (QS. An-Nisa‟:171)
f. Bentuk fi‟il mudhari‟ yang disertai la nahiyah ,
   seperti :            = Janganlah kalian
   mendekati perzinaan. (QS. Al-Isra‟ : 32)
3. Haram (lanjutan…)
  Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan haram
  (lanjutan…) :
g. Kata (       /tidak pantas,wajar), seperti sabda
    Rasulullah saw tenang sutra : “              ” = “Ini
    tidak pantas bagi orang-orang yang bertakwa”.
    (Hadits Muttafaq „alaih)
h. Bentuk perintah meninggalkan dengan kata selain
    kata (nahy), seperti :
          = maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang
    najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.
    (QS. Al- Hajj : 30);
             = Mereka bertanya kepadamu tentang haid.
    Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab
    itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
    waktu haid. (QS.al-Baqarah :222)
3. Haram (lanjutan…)
   Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan haram
   (lanjutan…) :
i. Ancaman atau laknat jika melakukannya, baik ancaman
     dunia, ataupun akhirat, seperti :                        =
     Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
     potonglah tangan keduanya. (QS. Al-Maidah : 38)
j. Mensifati perbuatan dengan dosa, seperti hadits :
                           -             -
                                     = Dari Anas ra, ia berkata :
     Nabi saw ditanya tentang dosa besar, beliau menjawab : “
     Menyekutukan Allah, membunuh jiwa, dan kesaksian
     palsu”. (Hadits Muttafaq „alaih)
k. Mensifati perbuatan dengan pelanggaran, kezaliman,
     kejahatan, kefasikan, dan semacamnya, seperti :
                 = Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
     sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.
     (QS. Al-Baqarah : 282)
3. Haram (lanjutan…)
  Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan haram
  (lanjutan…) :
l. Pelaku suatu perbuatan disamakan dengan binatang,
    setan, orang-orang kafir, orang-orang yang merugi,
    atau semacamnya, seperti :                        =
    Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
    saudara-saudara setan. (QS. Al-Isra‟ : 27)
m. Menamakan perbuatan dengan nama lain yang
    diharamkan yang keharamannya sudah dimaklumi,
    seperti mensifati perbuatan dengan perzinahan,
    pencurian, kemusyrikan, atau yang lain. Di
    antaranya sabda Rasulullah saw : “
    “ “barangsiapa yang bersumpah dengan nama selain
    Allah, sungguh ia telah berbuat syirik”. (HR. Abu
    Daud, Tirmidzi dan lainnya).
3. Haram (lanjutan…)
  Pembagian Haram :
  Dalam syari‟at Islam pengharaman tidak diberikan kecuali
  pada sesuatu yang kerusakannya bersifat murni atau
  bersifat secara umum. Kerusakan pada yang diharamkan
  terjadi pada dzat yang diharamkan itu sendiri, atau pada
  sebabnya. Oleh karena itu haram terbagi kepada 2 bagian.
a. Muharram lidzatih atau haram karena dzatnya, seperti
   syirik, zina, mencuri, memakan daging babi, dsb.
b. Muharram lighairih atau haram karena yang lain. Ini pada
   dasarnya mubah atau legal karena tidak mengandung
   kerusakan atau karena aspek kemaslahatannya kuat,
   akan tetapi karena kondisi tertentu,ia menjadi haram
   karena sebagai sebab timbulnya kerusakan. Maka dalam
   keadaan itu, ia menjadi haram. Seperti berjual beli pada
   dasarnya boleh dan disyari‟atkan, tetapi kalau dilakukan
   saat azan shalat jum‟at sudah dikumandangkan, ia
   menjadi haram.
4. Makruh
Pengertian Makruh :



Yang dituntut Syari‟ dari seorang
mukallaf untuk ditinggalkan tidak
dengan tegas dan kuat, jika
ditinggalkan karena ketaatan
mendapat pahala, dan tidak disiksa
jika dilakukan.
4. Makruh (lanjutan…)
  Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan
  makruh :
a. Kata (karaha =tidak suka/ benci). Seperti
   sabda Rasulullah saw :

                  = Sesungguhnya Allah
  telah mengharmkan mendurhakai ibu,
  mengubur anak wanita hidup-hidup, tidak
  mau memberi, dan Allah membenci desas
  desus, banyak bertanya, dan menyia-
  nyiakan harta”. (Hadits Muttafaq „alaih).
  Dalam hadits inidibedakan antara haram
  dan makruh.
4. Makruh (lanjutan…)
  Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan makruh
  (lanjutan…):
c. Bentuk larangan yang disertai dalil yang memalingkannya
    dari haram, seperti hadits Abdullah bin Umar, ia berkata :
                       =Rasulullah saw melarang makan
    bawang putih pada hari Perang Khaibar. Larangan ini
    dalam arti makruh dengan dalil hadits Abu Ayyub al-
    Anshari, ia berkata : Rasulullah saw apabila diberikan
    makanan, beliau memakannya dan memberikan sisanya
    kepada saya. Pada suatu hari beliau memberikan
    makanan sisa yang belum beliau makan, karena ada
    bawang putih pada makanan itu. Lalu saya bertanya
    kepadanya : Apakah itu haram?. Beliau bersabda : “Tidak,
    akan tetapi saya tidak menyukainya karena baunya”. Abu
    Ayyub berkata : Kalau begitu saya tidak menyukai apa
    yang engkau tidak sukai. (HR. Muslim)
d. Sesuatu yang ditinggalkan Nabi saw dengan maksud
    penentuan hokum, bukan karena tabiat kemanusiaan.
5. Mubah
Pengertiannya :

                                   .
Pemberian kebebasan memilih dari
Syari‟kepada mukallaf untuk
melakukan atau meninggalkan
sesuatu, tidak ada pujian dan celaan
syar‟I dalam melakukan atau
meninggalkannya.
5. Mubah (lanjutan…)
  Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan
  mubah
a. Adanya kata halal secara jelas, seperti :
                                             =
   Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-
   baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang
   diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan
   kamu halal pula bagi mereka. (QS. Al-Maidah
   : 5)
b. Meniadakan dosa dalam melakukannya,
   seperti :                           = Tetapi
   barang siapa dalam keadaan terpaksa
   (memakannya) sedang ia tidak
   menginginkannya dan tidak (pula) melampaui
   batas, maka tidak ada dosa baginya. (QS. Al-
   Maidah : 173)
5. Mubah (lanjutan…)
  Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan
  mubah (lanjutan…)
c. Bentuk perintah setelah larangan, seperti :
                                           =
   Apabila telah ditunaikan sembahyang,
   maka bertebaranlah kamu di muka bumi;
   dan carilah karunia Allah. (QS. Al-Jumu‟ah
   : 10). Ini perintah setelah adanya larangan
   pada ayat sebelumnya.
d. Mubah sebagai hokum asal sebagaimana
   dikatakan bahwa dasar pada sesuatu itu
   adalah boleh. Segala sesuatu itu mubah
   selama tidak ada dalil yang memindahkan
   kemubahan itu pada hukum lain.
B. HUKUM WADH’I
Definisi Hukum Wadh’i

Ketentuan-ketentuan hukum yang
mengatur tentang sebab, syarat, dan māni‟
(sesuatu yang menjadi penghalang
kecakapan untuk melakukan hukum taklifi).
Contoh sesuatu menjadi sebab adanya
hukum taklifi :


Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu hendak mengerjakan salat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki. (QS. Al-Maidah : 6)
Definisi Hukum Wadh’I (lanjutan…)
 Contoh sesuatu menjadi syarat
adanya hukum taklifi :

mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah, yaitu (bagi)
orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah. (QS. Ali Imran
: 97)
Contoh sesuatu yang menjadi
mani’ (penghalang) hukum taklifi :

Yang membunuh tidak mendapat
warisan “. (HR. Ahmad)
Definisi Hukum Wadh’I (lanjutan…)
Dinamakan hukum wadh‟i, karena yang menentukan
atau menetapkan hukum itu adalah Syari‟ (Pembuat
hukum/Allah). Umpamanya, Allah-lah yang
menentukan bahwa hendak melakukan shalat sebagai
sebab wajibnya berwudhu, istitha‟ah
(kemampuan)sebagai syarat bagi wajib melaksanakan
ibadah haji, pembunuhan pewaris terhadapahli
warisnya sebagai penghalang mendapatkan warisan,
tanpa berhubungan dengan permintaan dari mukallaf.
Dari penjelasan ini dapat dibedakan antara hukum
taklifi dengan hukum wadh‟i, yaitu bahwa hukum
taklifi didasarkan pada kemampuan mukallaf,
sedangkan hukum wadh‟i tidak didasarkan pada
kemampuan atau tidak mampunya mukallaf. Ada atau
tidak adanya sesuatu didasarkan pada ketentuan
syari‟at.
Pembagian Hukum Wadh’i
1. Sebab
2. Syarat
3. Mani‟
4. Sah dan Batal
5. „Azimah dan Rukhshah
1. Sebab
Pengertian Sebab
Secara bahasa berarti :

Sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang
kepada sesuatu yg lain.
Secara istilah, sebab yaitu :


Sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai
tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya
sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum.
1. Sebab (lanjutan…)
  Pembagian Sebab
a. Sebab yang bukan merupakan perbuatan mukallaf,
   dan berada di luar kemampuannya. Namun, sebab
   itu mempunyai hubungan dengan hukum taklifi,
   karena syariat telah menjadikannya sebagai alasan
   bagi adanya suatu kewajiban yang harus
   dilaksanakan oleh mukallaf. Misal, tergelincir
   matahari menjadi sebab (alasan) bagi datangnya
   waktu shalat dhuhur, masuknya awal bulan
   ramadhan menjadi sebab bagi kewajiban puasa
   ramadhan.
b. Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan
   dalam batasan kemampuannya. Misal: perjalanan
   (safar) menjadi sebab bagi bolehnya berbuka puasa
   di siang ramadhan, akad jual beli menjadi sebab
   bagi perpindahan hak milik dari penjual kepada
   pembeli.
2. Syarat
Pengertian Syarat
Secara bahasa berarti :        / tanda.
Secara istilah, syarat yaitu :


Sesuatu yang tergantung kepadanya ada
sesuatu yang lain, ia bukan bagian dari sesuatu
yang lain itu, tetapi berada di luar hakikat
sesuatu itu, sebagaimana adanya sesuatu itu
tidak menuntut adanya sesuatu yang lain yang
mengsyaratkannya.
Contoh : wudhu merupakan syarat bagi
sahnya shalat, sahnya shalat tergantung
adanya wudhu, tetapi wudhu itu bukan
merupakan bagian dari shalat, dan juga adanya
wudhu tidak mesti adanya shalat.
2. Syarat (lanjutan…)
  Pembagian Syarat
a. Syarat Syar’i, yaitu syarat yang datang
   langsung dari syari‟at itu sendiri. contoh ,
   adanya haul (cukup satu tahun) bagi harta
   yang sudah mencapai nishab merupakan
   syarat bagi wajibnya zakat.
b. Syarat Ja’ly, yaitu syarat yang datang
   dari kemauan orang mukallaf itu sendiri
   dalam tindakan dan mu‟amalah, bukan
   dalam masalah ibadah. Contoh : syarat-
   syarat yang ditentukan orang-orang yang
   melakukan berbagai transaksi.
3. Mani’
Pengertian Mani’
Secara bahasa berarti penghalang
dari sesuatu.
Secara istilah, mani‟ adalah :

Sesuatu yang ditetapkan syariat
sebagai penghalang bagi adanya
hukum, atau penghalang bagi
berfungsinya suatu sebab.
3. Mani’ (lanjutan...)
  Pembagian Mani’
a. Māni’ lil-Hukm, yaitu : sesuatu yang
   ditetapkan syariat sebagai penghalang
   bagi adanya hukum. Misal: haid wanita
   sebagai penghalang shalat.
b. Māni’ lis-Sabab, yaitu sesuatu yang
   ditetapkan syariat sebagai penghalang
   bagi berfungsinya suatu sebab, sehingga
   sebab itu tidak lagi mempunyai akibat
   hukum. Contoh : adanya hutang
   merupakan penghalang bagi wajibnya
   zakat harta sekalipun sudah mencapai
   nishab dan haul.
4. Sah dan Batal
Pengertian Sah dan Batal :
Sah/Shihhah/Shah : maksudnya perbuatan
hukum yang sesuai dengan tuntutan syara‟,
yaitu terpenuhinya sebab, syarat, dan tidak ada
m ā ni‟. Sah dapat diartikan lepas tanggung
jawab atau gugur kewajiban di dunia serta
memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat.
Misal: mengerjakan shalat dhuhur setelah
tergelincir matahari (sebab), didahului dengan
wudhu‟ (syarat), dan tidak ada halangan haid
bagi pelakunya (m ā ni‟). Shalat yang dilakukan
itu hukumnya sah. Tapi jika sebab tidak ada,
syarat tidak terpenuhi, maka shalatnya
dikatakan tidak sah, walaupun m ā ni‟-nya
tidak ada.
4. Sah dan Batal (lanjutan...)
Pengertian Sah dan Batal :
Batal/Buthlan/Bathil : yaitu
terlepasnya hukum syara‟ dari
ketentuan yang ditetapkan dan tidak
ada akibat hukum yang
ditimbulkannya. Batal juga dapat
diartikan tidak melepaskan tanggung
jawab, tidak menggugurkan kewajiban
di dunia, dan di akhirat tidak
memperoleh pahala.
4. Sah dan Batal (lanjutan...)
Perbedaan para ulama tentang
penggunaan istilah sah dan batal
dalam masalah muamalah :
Menurut Jumhur ulama, tidak ada
perbedaan dalam ibadah dan
muamalah, dalam keduanya berlaku
“sah atau batal”.
Sebagian ulama mazhab Hanafi :
– Dalam maslah ibadah sependapat
  dengan jumhur ulama, yaitu hanya ada
  “sah atau batal”.
4. Sah dan Batal (lanjutan...)
– Dalam masalah muamalah, yaitu dalam
 masalah „uqud, perjanjian yang tidak sah
 terbagi dua: batal dan fasid (rusak). Bila
 cacat terdapat dalam rukun & syarat, maka
 akad menjadi batal, ia tidak mengakibatkan
 timbulnya hukum karena tidak ada sebab.
 Sedang jika cacat itu ada dalam suatu syarat
 dari beberapa syarat yang berhubungan
 dengan hukum maka akad itu menjadi fasid,
 tapi tidak batal, dan berakibat timbulnya
 sebagian pengaruh hukum. Misal: akad nikah
 dengan wanita muhrimat adalah batal. Tapi
 pernikahan yang tidak dihadiri dua orang saksi
 disebut fasid, pengaruhnya suami wajib bayar
 mahar, isteri tetap menjalankan masa „iddah,
 anak masih dapat dihubungkan dengan
 suaminya.
5. ‘Azimah dan Rukhshah
Pengertian ‘Azimah :
Secara bahasa : „azaimah berarti kemauan
yang kuat.
Menurut istilah adalah :

Suatu ungkapan tentang hukum-hukum yang
disyari‟atkan Allah sejak semula, tidak
berkaitan dengan suatu peristiwa baru. Contoh
: Hukum shalat Dhuhur 4 raka‟at adalah hukum
asal, itu disebut „azimah. Hukum makan
bangkai adalah haram adalah hukum asal, itu
adalah „azimah.
5. ‘Azimah dan Rukhshah
                (lanjutan...)
Pengertian Rukhshah :
Menurut bahasa: rukhshah berarti mudah
dan gampang.
Menurut istilah rukhshah berarti :

Suatu nama bagi hukum yang disyari‟atkan
karena adanya peristiwa baru yang keluar dari
hukum asal karena ada udzur. Contoh :
menjama‟ dua shalat karena ada udzur safar
(perjalanan) dan hujan; menqashar shalat bagi
musafir; boleh makan bangkai bagi orang yang
dalam keadaan darurat. Hukum-hukum ini
keluar dari hukum asal, dan yang
mempengaruhinya adalah karena ada udzur.
5. ‘Azimah dan Rukhshah (lanjutan...)
  Faktor Penyebab adanya Rukhshah
1. Lemah fisik. Seperti : tidak adanya kewajiban atas
   anak kecil dan orang gila, gugurnya kewajiban shalat
   jum‟at bagi wanita.
2. Sakit. Seperti boleh berbuka puasa bagi orang yang
   sakit.
3. Perjalanan. Seperti boleh menqashar shalat yang
   empat rakaat.
4. Lupa. Seperti sah puasa orang yang makan dan
   minum karena lupa.
5. Jahl/bodoh/tidak tahu. Seperti gugurnya siksaan
   orang yang tidak bisa dalam belajar jika terjadi
   karena tidak melalaikan.
6. Keadaan terpaksa. Seperti boleh makan bangkai
   bagi orang yang kelaparan dan takut mati kalau
   tidak makan.
7. Bencana yang bersifat umum, yaitu dalam keadaan
   yang sulit melepaskan darinya.
5. ‘Azimah dan Rukhshah (lanjutan...)
  Macam-macam Rukhshah
1. Boleh melakukan yang haram karena
   keadaan darurat. Seperti boleh makan
   daging babi karena darurat.
2. Boleh meninggalkan yang wajib.
   Seperti tidak berdiri dalam shalat bagi
   orang yang tidak mampu.
3. Membenarkan sebagian akad yang
   kurang persyaratan umumnya untuk
   menghilangkan kesulitan dan
   memudahkan manusia. Seperti akad
   salam dan jasa kerja.
5. ‘Azimah dan Rukhshah (lanjutan...)
  Derajat Mengambil Rukhshah
1. Boleh memilih antarmengambil rukhshah atau
   meninggalkannya. Seperti boleh berbuka
   puasa bagi musafir atau tetap berpuasa.
2. Lebih utama mengambil rukhshah. Seperti
   menqashar shalat bagi musafir, karena
   Rasulullah saw selalu mengqashar shalat
   dalam safar.
3. Lebih utama meninggalkan rukhshah. Seperti
   sabar menanggung penderitaan ketika dipaksa
   mengatakan kata kekufuran.
4. Wajib mengambil rukhshah. Seperti wajib
   makan bangkai bagi orang yang dalam
   keadaan darurat agar tidak mati.
Ada’, I’adah, Qadha’
  Tiga istilah syari’at yang berhubungan
  dengan hukum wadh‟i dilihat dari sisi waktu
  pelaksanaan ibadah :
1. Ada’, yaitu melakukan suatu ibadah pada
   waktu yang ditentukan menurut syari‟at.
2. I’adah (pengulangan), yaitu melakukan suatu
   ibadah pada waktu yang telah ditentukan oleh
   syari‟at untuk kedua kalinya karena ada
   semacam kerusakan atau kekurangan dalam
   menunaikannya.
3. Qadha’, yaitu melakukan suatu ibadah setelah
   keluar dari waktu yang telah ditentukan oleh
   syari‟at, baik karena kerusakan dalam
   menunaikan atau karena meninggalkannya
   secara keseluruhan, karena adanya suatu
   udzur atau tanpa udzur.
Ada’, I’adah, Qadha’ (lanjutan...)
Catatan :
Bahwa qadha tidak ada dalil yang
memerintahkan qadha kecuali dalam
melakukan ibadah setelah keluar
waktunya disebabkan adanya udzur
seperti tidak shalat disebabkan
ketiduran, atau puasa bagi wanita
haidh dan nifas. Adapun keluarnya
waktu tanpa udzur, tidak ada dalil yang
memerintahkan qadha. Ini berbeda
dengan pendapat kebanyakan ulama
fiqh.
Ada’, I’adah, Qadha’ (lanjutan...)
Ini diperkuat oleh masalah yang dilontarkan
oleh para ulama ushul fiqh, apakah qadha itu
berdasarkan perintah pertama, atau
membutuhkan perintah baru?
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa qadha
membutuhkan perintah baru. Inilah pendapat
yang benar, karena ibadah yang berkaitan
dengan waktu, dimaksudkan oleh Syari‟
dilaksanakan pada waktu yang telah
ditentukan. Jika seorang mukallaf
mengabaikannya lalu melaksanakannya di luar
waktunya tanpa udzur, berarti ia tidak
melakukannya sesuai perintah. Padahal nabi
saw telah bersabda : “Barangsiapa yang
melakukan suatu amal tidak berdasarkan
perintah kami, maka amal itu ditolak”. (HR.
Muslim).
Ada’, I’adah, Qadha’ (lanjutan...)
Ini berbeda dengan orang yang punya udzur.
Bisa jadi syari‟at menggugurkan kewajibannya
dan tidak memerintahkannya seperti menqadha
shalat bagi wanita haidh. Atau karena ada
perintah baru, seperti perintah mengqadha
shalat bagi orang yang tidur dan lupa, perintah
mengqadha puasa bagi wanita haidh dan nifas
dan bagi musafir, menggantikan haji bagi
orang yang tidak mampu melaksanakan haji di
masa hidupnya.
Dari permasalahan ini timbul masalah baru,
yaitu mengqadha shalat, puasa dan
semacamnya bagi orang yang
meninggalkannnya pada waktunya dengan
sengaja. Ini baginya tidak ada rukhshah untuk
mengqadhanya, tetapi caranya dengan taubat
dan banyak melakukan ibadah sunnah.
Semoga dapat dipahami!




   asnin_syafiuddin@yahoo.co.id
http://abufathirabbani.blogspot.com

Mais conteúdo relacionado

Mais procurados

Istihsan (استحسان)
Istihsan (استحسان)Istihsan (استحسان)
Istihsan (استحسان)Nana Cahmaxcy
 
Ulumul hadits
Ulumul haditsUlumul hadits
Ulumul haditsMoh Yakub
 
Balaghoh (ma'ani, badi', bayan)
Balaghoh (ma'ani, badi', bayan)Balaghoh (ma'ani, badi', bayan)
Balaghoh (ma'ani, badi', bayan)Erta Erta
 
Saddu al dzari'ah
Saddu al dzari'ahSaddu al dzari'ah
Saddu al dzari'ahMahrus Ali
 
Tasyri' masa nabi Muhammad Saw
Tasyri'  masa nabi Muhammad SawTasyri'  masa nabi Muhammad Saw
Tasyri' masa nabi Muhammad SawMarhamah Saleh
 
Amar, Nahi, dan Takhyir
Amar, Nahi, dan TakhyirAmar, Nahi, dan Takhyir
Amar, Nahi, dan Takhyirshofichofifah
 
QASHASH AL-QUR’AN.pptx
QASHASH AL-QUR’AN.pptxQASHASH AL-QUR’AN.pptx
QASHASH AL-QUR’AN.pptxLaluAbdulHafiz
 
Presentasi Fiqh 13 (Hudud)
Presentasi Fiqh 13 (Hudud)Presentasi Fiqh 13 (Hudud)
Presentasi Fiqh 13 (Hudud)Marhamah Saleh
 
Ushul Fiqh - Ta'arrudh al-Adillah
Ushul Fiqh - Ta'arrudh al-Adillah Ushul Fiqh - Ta'arrudh al-Adillah
Ushul Fiqh - Ta'arrudh al-Adillah Mumud Salimudin
 
Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)
Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)
Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)Miftah Iqtishoduna
 
istihsan, istishhab, mashlahah mursalah
istihsan, istishhab, mashlahah mursalahistihsan, istishhab, mashlahah mursalah
istihsan, istishhab, mashlahah mursalahMarhamah Saleh
 
Ppt solat jama dan qosor
Ppt solat jama dan qosorPpt solat jama dan qosor
Ppt solat jama dan qosorlailatusimrany
 

Mais procurados (20)

Istihsan (استحسان)
Istihsan (استحسان)Istihsan (استحسان)
Istihsan (استحسان)
 
Ulumul hadits
Ulumul haditsUlumul hadits
Ulumul hadits
 
Pengantar Ushul Fikih
Pengantar Ushul FikihPengantar Ushul Fikih
Pengantar Ushul Fikih
 
Qawaid fiqh pt 1
Qawaid fiqh  pt 1Qawaid fiqh  pt 1
Qawaid fiqh pt 1
 
Balaghoh (ma'ani, badi', bayan)
Balaghoh (ma'ani, badi', bayan)Balaghoh (ma'ani, badi', bayan)
Balaghoh (ma'ani, badi', bayan)
 
Saddu al dzari'ah
Saddu al dzari'ahSaddu al dzari'ah
Saddu al dzari'ah
 
Ppt hadits
Ppt haditsPpt hadits
Ppt hadits
 
Tasyri' masa nabi Muhammad Saw
Tasyri'  masa nabi Muhammad SawTasyri'  masa nabi Muhammad Saw
Tasyri' masa nabi Muhammad Saw
 
04.1 KONSEP AKAD
04.1 KONSEP AKAD04.1 KONSEP AKAD
04.1 KONSEP AKAD
 
Amar, Nahi, dan Takhyir
Amar, Nahi, dan TakhyirAmar, Nahi, dan Takhyir
Amar, Nahi, dan Takhyir
 
QASHASH AL-QUR’AN.pptx
QASHASH AL-QUR’AN.pptxQASHASH AL-QUR’AN.pptx
QASHASH AL-QUR’AN.pptx
 
FIQH MUAMALAH - IJARAH
FIQH MUAMALAH -  IJARAHFIQH MUAMALAH -  IJARAH
FIQH MUAMALAH - IJARAH
 
Hukum Taklifi Wadh'i
Hukum Taklifi Wadh'iHukum Taklifi Wadh'i
Hukum Taklifi Wadh'i
 
Presentasi Fiqh 13 (Hudud)
Presentasi Fiqh 13 (Hudud)Presentasi Fiqh 13 (Hudud)
Presentasi Fiqh 13 (Hudud)
 
Ushul Fiqh - Ta'arrudh al-Adillah
Ushul Fiqh - Ta'arrudh al-Adillah Ushul Fiqh - Ta'arrudh al-Adillah
Ushul Fiqh - Ta'arrudh al-Adillah
 
Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)
Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)
Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)
 
istihsan, istishhab, mashlahah mursalah
istihsan, istishhab, mashlahah mursalahistihsan, istishhab, mashlahah mursalah
istihsan, istishhab, mashlahah mursalah
 
Ppt solat jama dan qosor
Ppt solat jama dan qosorPpt solat jama dan qosor
Ppt solat jama dan qosor
 
Sumber hukum islam
Sumber hukum islam Sumber hukum islam
Sumber hukum islam
 
8 qowaid fiqhiyah
8 qowaid fiqhiyah8 qowaid fiqhiyah
8 qowaid fiqhiyah
 

Destaque

Hk. islam, hukum, hukm & ahkam, syariat, fikih
Hk. islam, hukum, hukm & ahkam, syariat, fikihHk. islam, hukum, hukm & ahkam, syariat, fikih
Hk. islam, hukum, hukm & ahkam, syariat, fikihEncep Abdul Rojak
 
Wajib,sunat,harus,makruh,haram
Wajib,sunat,harus,makruh,haramWajib,sunat,harus,makruh,haram
Wajib,sunat,harus,makruh,haramKhairani Salim
 
Usul fiqh, hukum taklifi & hukum wadh'ie.
Usul fiqh, hukum taklifi & hukum wadh'ie.Usul fiqh, hukum taklifi & hukum wadh'ie.
Usul fiqh, hukum taklifi & hukum wadh'ie.jimoh370
 
DSP KSSR PENDIDIKAN ISLAM TAHUN 3
DSP KSSR PENDIDIKAN ISLAM TAHUN 3DSP KSSR PENDIDIKAN ISLAM TAHUN 3
DSP KSSR PENDIDIKAN ISLAM TAHUN 3gengkapak84
 
Ushul Fiqh tentang al ahkam
Ushul Fiqh tentang al ahkamUshul Fiqh tentang al ahkam
Ushul Fiqh tentang al ahkamAmar Hanafie
 
Hukum wadh'i bentuk pdf
Hukum wadh'i bentuk pdfHukum wadh'i bentuk pdf
Hukum wadh'i bentuk pdfMahyul Ikmal
 
02 def.usul dan fiqh
02 def.usul dan fiqh02 def.usul dan fiqh
02 def.usul dan fiqhwk_aiman
 
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh Jingga Matahari
 
Makalah ilmu tentang para rawi fix
Makalah ilmu tentang para rawi   fixMakalah ilmu tentang para rawi   fix
Makalah ilmu tentang para rawi fixKinza_com
 
Konsep dan Dalil Hadiah pahala al qur’an
Konsep dan Dalil Hadiah pahala al qur’anKonsep dan Dalil Hadiah pahala al qur’an
Konsep dan Dalil Hadiah pahala al qur’anMoh Hari Rusli
 
Dalil Tradisi NU
Dalil Tradisi NUDalil Tradisi NU
Dalil Tradisi NUaswajanu
 
Tradisi tujuh hari dalam Islam
Tradisi tujuh hari dalam IslamTradisi tujuh hari dalam Islam
Tradisi tujuh hari dalam IslamMoh Hari Rusli
 
Argumen amaliyah nahdhiyyah di bulan ramadhan
Argumen amaliyah nahdhiyyah di bulan ramadhanArgumen amaliyah nahdhiyyah di bulan ramadhan
Argumen amaliyah nahdhiyyah di bulan ramadhanaswajanu
 
Hadiah pahala al qur’an
Hadiah pahala al qur’anHadiah pahala al qur’an
Hadiah pahala al qur’anaswajanu
 

Destaque (20)

Hk. islam, hukum, hukm & ahkam, syariat, fikih
Hk. islam, hukum, hukm & ahkam, syariat, fikihHk. islam, hukum, hukm & ahkam, syariat, fikih
Hk. islam, hukum, hukm & ahkam, syariat, fikih
 
Wajib,sunat,harus,makruh,haram
Wajib,sunat,harus,makruh,haramWajib,sunat,harus,makruh,haram
Wajib,sunat,harus,makruh,haram
 
PEMBAHAGIAN HUKUM
PEMBAHAGIAN HUKUMPEMBAHAGIAN HUKUM
PEMBAHAGIAN HUKUM
 
Usul fiqh, hukum taklifi & hukum wadh'ie.
Usul fiqh, hukum taklifi & hukum wadh'ie.Usul fiqh, hukum taklifi & hukum wadh'ie.
Usul fiqh, hukum taklifi & hukum wadh'ie.
 
DSP KSSR PENDIDIKAN ISLAM TAHUN 3
DSP KSSR PENDIDIKAN ISLAM TAHUN 3DSP KSSR PENDIDIKAN ISLAM TAHUN 3
DSP KSSR PENDIDIKAN ISLAM TAHUN 3
 
Ushul Fiqh tentang al ahkam
Ushul Fiqh tentang al ahkamUshul Fiqh tentang al ahkam
Ushul Fiqh tentang al ahkam
 
Syariah,fikih dan hukum islam
Syariah,fikih dan hukum islamSyariah,fikih dan hukum islam
Syariah,fikih dan hukum islam
 
Hukum wadh'i bentuk pdf
Hukum wadh'i bentuk pdfHukum wadh'i bentuk pdf
Hukum wadh'i bentuk pdf
 
02 def.usul dan fiqh
02 def.usul dan fiqh02 def.usul dan fiqh
02 def.usul dan fiqh
 
Ushul fiqh hukum taklifi
Ushul fiqh hukum taklifiUshul fiqh hukum taklifi
Ushul fiqh hukum taklifi
 
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
 
Silabus hadits ahkam II
Silabus hadits ahkam IISilabus hadits ahkam II
Silabus hadits ahkam II
 
Sah
SahSah
Sah
 
Makalah ilmu tentang para rawi fix
Makalah ilmu tentang para rawi   fixMakalah ilmu tentang para rawi   fix
Makalah ilmu tentang para rawi fix
 
Konsep dan Dalil Hadiah pahala al qur’an
Konsep dan Dalil Hadiah pahala al qur’anKonsep dan Dalil Hadiah pahala al qur’an
Konsep dan Dalil Hadiah pahala al qur’an
 
Dalil Tradisi NU
Dalil Tradisi NUDalil Tradisi NU
Dalil Tradisi NU
 
Tradisi tujuh hari dalam Islam
Tradisi tujuh hari dalam IslamTradisi tujuh hari dalam Islam
Tradisi tujuh hari dalam Islam
 
Argumen amaliyah nahdhiyyah di bulan ramadhan
Argumen amaliyah nahdhiyyah di bulan ramadhanArgumen amaliyah nahdhiyyah di bulan ramadhan
Argumen amaliyah nahdhiyyah di bulan ramadhan
 
Hadiah pahala al qur’an
Hadiah pahala al qur’anHadiah pahala al qur’an
Hadiah pahala al qur’an
 
Layanan Informasi
Layanan InformasiLayanan Informasi
Layanan Informasi
 

Semelhante a 02. pengertian dan pembagian hukum

Semelhante a 02. pengertian dan pembagian hukum (20)

Pengertian dan pembagian hukum
Pengertian dan pembagian hukumPengertian dan pembagian hukum
Pengertian dan pembagian hukum
 
Pengertian fiqh
Pengertian fiqhPengertian fiqh
Pengertian fiqh
 
Pengertian fiqh
Pengertian fiqhPengertian fiqh
Pengertian fiqh
 
Al qur'an
Al qur'anAl qur'an
Al qur'an
 
Agama taklifi
Agama taklifiAgama taklifi
Agama taklifi
 
3 tauhid dalam islam
3 tauhid dalam islam3 tauhid dalam islam
3 tauhid dalam islam
 
Bab 5
Bab 5Bab 5
Bab 5
 
Bab 5
Bab 5Bab 5
Bab 5
 
Media ajar Asrul MAteri KD.3 Fiqh _ppt.pptx
Media ajar Asrul MAteri KD.3 Fiqh _ppt.pptxMedia ajar Asrul MAteri KD.3 Fiqh _ppt.pptx
Media ajar Asrul MAteri KD.3 Fiqh _ppt.pptx
 
Disusun Oleh Kelompok 3.pptx
Disusun Oleh Kelompok 3.pptxDisusun Oleh Kelompok 3.pptx
Disusun Oleh Kelompok 3.pptx
 
Fiqh
FiqhFiqh
Fiqh
 
Makalah shalat
Makalah shalatMakalah shalat
Makalah shalat
 
sumber-hukum-islamfani.ppt
sumber-hukum-islamfani.pptsumber-hukum-islamfani.ppt
sumber-hukum-islamfani.ppt
 
Media ajar Asrul MAteri KD.3 Fiqh _ppt.pptx
Media ajar Asrul MAteri KD.3 Fiqh _ppt.pptxMedia ajar Asrul MAteri KD.3 Fiqh _ppt.pptx
Media ajar Asrul MAteri KD.3 Fiqh _ppt.pptx
 
Shalat
ShalatShalat
Shalat
 
Folio 10 dosa besar jilid 1 revisi
Folio 10 dosa besar   jilid 1 revisiFolio 10 dosa besar   jilid 1 revisi
Folio 10 dosa besar jilid 1 revisi
 
Syarat Sah dan syarat wajib shalat
Syarat Sah dan syarat wajib shalatSyarat Sah dan syarat wajib shalat
Syarat Sah dan syarat wajib shalat
 
naskh wa mansukh
naskh wa mansukhnaskh wa mansukh
naskh wa mansukh
 
Bab i uq
Bab i uq Bab i uq
Bab i uq
 
6 istilah dalam fiqih
6 istilah dalam fiqih6 istilah dalam fiqih
6 istilah dalam fiqih
 

Mais de asnin_syafiuddin

01. pendahuluan ushul fiqh
01. pendahuluan  ushul fiqh01. pendahuluan  ushul fiqh
01. pendahuluan ushul fiqhasnin_syafiuddin
 
Perbaharui hidupmu dengan puasa
Perbaharui hidupmu dengan puasaPerbaharui hidupmu dengan puasa
Perbaharui hidupmu dengan puasaasnin_syafiuddin
 
10 cara menyambut ramadhan
10 cara menyambut ramadhan10 cara menyambut ramadhan
10 cara menyambut ramadhanasnin_syafiuddin
 
02 perkawinan pria muslim dengan wanita non muslim
02 perkawinan pria muslim dengan wanita non muslim02 perkawinan pria muslim dengan wanita non muslim
02 perkawinan pria muslim dengan wanita non muslimasnin_syafiuddin
 
13. larangan makan harta orang lain secara batil
13. larangan makan harta orang lain secara batil13. larangan makan harta orang lain secara batil
13. larangan makan harta orang lain secara batilasnin_syafiuddin
 
10. memenuhi akad dan janji
10. memenuhi akad dan janji10. memenuhi akad dan janji
10. memenuhi akad dan janjiasnin_syafiuddin
 
08. memelihara pandangan dan kehormatan
08. memelihara pandangan dan kehormatan08. memelihara pandangan dan kehormatan
08. memelihara pandangan dan kehormatanasnin_syafiuddin
 
makanan dan minuman (tafsir ahkam)
makanan dan minuman (tafsir ahkam)makanan dan minuman (tafsir ahkam)
makanan dan minuman (tafsir ahkam)asnin_syafiuddin
 
02. mengenal jin dan syaithan
02. mengenal jin dan syaithan02. mengenal jin dan syaithan
02. mengenal jin dan syaithanasnin_syafiuddin
 

Mais de asnin_syafiuddin (14)

01 02 pendahuluan
01 02 pendahuluan01 02 pendahuluan
01 02 pendahuluan
 
01. pendahuluan ushul fiqh
01. pendahuluan  ushul fiqh01. pendahuluan  ushul fiqh
01. pendahuluan ushul fiqh
 
Perbaharui hidupmu dengan puasa
Perbaharui hidupmu dengan puasaPerbaharui hidupmu dengan puasa
Perbaharui hidupmu dengan puasa
 
Ramadhan dan perubahan
Ramadhan dan perubahanRamadhan dan perubahan
Ramadhan dan perubahan
 
10 cara menyambut ramadhan
10 cara menyambut ramadhan10 cara menyambut ramadhan
10 cara menyambut ramadhan
 
02 perkawinan pria muslim dengan wanita non muslim
02 perkawinan pria muslim dengan wanita non muslim02 perkawinan pria muslim dengan wanita non muslim
02 perkawinan pria muslim dengan wanita non muslim
 
13. larangan makan harta orang lain secara batil
13. larangan makan harta orang lain secara batil13. larangan makan harta orang lain secara batil
13. larangan makan harta orang lain secara batil
 
12. utang dan gadai
12. utang dan gadai12. utang dan gadai
12. utang dan gadai
 
11. riba
11. riba11. riba
11. riba
 
10. memenuhi akad dan janji
10. memenuhi akad dan janji10. memenuhi akad dan janji
10. memenuhi akad dan janji
 
08. memelihara pandangan dan kehormatan
08. memelihara pandangan dan kehormatan08. memelihara pandangan dan kehormatan
08. memelihara pandangan dan kehormatan
 
makanan dan minuman (tafsir ahkam)
makanan dan minuman (tafsir ahkam)makanan dan minuman (tafsir ahkam)
makanan dan minuman (tafsir ahkam)
 
02. mengenal jin dan syaithan
02. mengenal jin dan syaithan02. mengenal jin dan syaithan
02. mengenal jin dan syaithan
 
01. iman kepada malaikat
01. iman kepada malaikat01. iman kepada malaikat
01. iman kepada malaikat
 

02. pengertian dan pembagian hukum

  • 1.
  • 3. I. DEFINISI HUKUM SYARA’ Menurut bahasa (etimologi) : Hukum ( /al- hukm) berarti : = mencegah, memutuskan. Menurut istilah ushul fiqh (terminologi) : hukum syara‟ adalah : Khitab (kalam) asy-syari’ (Pembuat hukum/Allah SWT) yang berkaitan dengan semua perbuatan mukallaf , baik berupa iqtidha` (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau meninggalkan), takhyir (memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau wadh‟i (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang/māni‟).
  • 4. Penjelasan Definisi al-Hukm Yang dimaksud Khithab asy-syari‟ adalah semua bentuk dalil-dalil hukum, baik al-Qur‟an, as-Sunnah, maupun Ijma‟ dan Qiyas. Namun Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dalil hanya al- Qur‟an dan as-Sunnah. Adapun ijma‟ dan qiyas sebagai metode menyingkapan hukum dari al-Qur‟an dan sunnah. Al-Qur‟an dianggap sebagai kalam Allah secara langsung, dan sunnah sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena Rasulullah saw tidak mengucapkan sesuatu di bidang hukum kecuali berdasarkan wahyu, sesuai firman Allah: . dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. An-Najm : 3-4) Demikian pula dengan ijma‟ harus mempunyai sandaran kepada al-Quran dan sunnah. Yang dimaksud perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa, berakal sehat, termasuk perbuatan hati (seperti niat), dan perbuatan ucapan (seperti ghibah).
  • 5. II. JENIS-JENIS HUKUM SYARA’ A. Hukum Taklifi B. Hukum Wadh‟i
  • 7. Definisi Hukum Taklifi Hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang mukallaf untuk melakukan sesuatu atau tidak berbuat. Contoh perintah melakukan sesuatu : (Dan dirikanlah sholat). (QS. Al-Baqoroh : 43) Contoh perintah meninggalkan sesuatu : (Janganlah kalian mendekati perzinaan). (QS. Al-Isra‟ : 32) Contoh pilihan melakukan atau meninggalkan sesuatu : (dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu.) (QS. Al-Maidah : 2)
  • 8. Pembagian Hukum Taklifi 1. Wajib 2. Mandub 3. Haram 4. Makruh 5. Mubah
  • 9. 1. Wajib Pengertiannya : Yaitu yang dituntut syari‟ untuk melakukan suatu perbuatan dengan tegas dan kuat, jika dilaksanakan akan menyebabkan pujian dan pahala, dan jika ditinggalkan dalam keadaan mampu akan menyebabkan celaan dan siksa.
  • 10. 1. Wajib (lanjutan…) Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan wajib, di antaranya : a. Fi‟il amar, seperti : = Dan dirikanlah sholat. (QS. Al-Baqoroh : 43) b. Kata ( ) , seperti : = Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat...(QS. An-Nahl : 90) c. Kata ( ) , seperti : = diwajibkan bagia kalian berpuasa. (QS. Al-Baqoroh : 183) d. Kata ( ) , seperti : = (Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam) nya.(QS. An-Nur : 1)
  • 11. 1. Wajib (lanjutan…) Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan wajib (lanjutan…) e. Fi’il yang besambung dengan lamul amri, seperti : = dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar- nazar mereka. (QS. Al-Hajj : 29) f. Bentuk kata : ( /baginya untukmu melakukan itu), seperti : = mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. (QS. Ali Imran : 97) g. Bentuk berita yang menempatkan sesuatu yang dituntut dalam posisi dilaksanakan secara sempurna sebagai penguat perintah, seperti : = Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. (QS. Al-Baqarah:234)
  • 12. 1. Wajib (lanjutan…) Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan wajib (lanjutan…) h. Adanya ancaman jika ditinggalkan, seperti : = Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. (QS. Al-Baqarah:279) i. Tidak dihitung amal perbuatan jika ada sesuatu yang ditinggalkan. Seperti : = Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca surat al- Fatihah. (Muttafaq „alaih)
  • 13. 1. Wajib (lanjutan…) Pembagian Wajib : a. Ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya terbagi kepada : 1) Wajib muwassa’, yaitu jika waktu yang ditentukan itu dapat digunakan untuk melaksanakannya dan melaksanakan kewajiban sejenisnya yang lain. Contohnya adalah sholat. 2) Wajib mudlayyaq, yaitu yang hanya cukup untuk melaksanakan satu kewajiban saja, seperti puasa. Sesungguhnya setelah terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari hanya cukup untuk melaksanakan satu puasa saja.
  • 14. 1. Wajib (lanjutan…) Pembagian Wajib : b. Ditinjau dari segi ukuran dan batasannya dibagi kepada : 1) Wajib muqaddar/muhaddad (kewajiban yang ditentukan atau dibatasi ukurannya), seperti : nishab zakat dan kadar yang dikeluarkannya. 2) wajib ghairu muqaddar/muhaddad (kewajiban yang tidak ditentukan atau dibatasi ukurannya), seperti : ukuran nafkah wajib bagi suami terhadap isterinya, berbuat baik bagi manusia.
  • 15. 1. Wajib (lanjutan…) Pembagian Wajib : c. Ditinjau dari segi ditentukan atau tidak ditentukannya, wajib terbagi kepada : 1) Wajib mu’ayyan (tertentu), yaitu kewajiban yang harus dilakukan tanpa ada pilihan, Ini merupakan kebanyakan kewajiban, seperti shalat lima waktu. 2) Wajib gahiru mu’ayyan (tidak ditentukan), seperti kafarat sumpah pada firman Allah : (tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak). (Al Maidah : 89)
  • 16. 1. Wajib (lanjutan…) Pembagian Wajib : d. Ditinjau dari segi pelakunya, wajib dibagi kepada : 1) Wajib ‘ain, yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap orang Islam yang mukallaf secara pribadi-pribadi, seperti shalat lima waktu dan puasa. b) Wajib kifayah, yaitu bahwa yang diperintahkan adalah melaksanakan perbuatan dan tidak disyaratkan harus dilakukan oleh seseorang tertentu, seperti memandikan mayyit dan menshalatkannya. Dan kadang-kadang wajib kifayah itu berubah menjadi wajib ‘ain, seperti jika suatu negeri itu membutuhkan kepada para hakim dan di sana hanya ada dua orang saja, maka jadilah menjadi hakim itu merupakan kewajiban atas keduanya.
  • 17. 2. Mandub Pengertiannya : Yaitu yang dituntut syari‟ untuk melakukan suatu perbuatan tidak dengan tegas dan kuat, jika dilaksanakan akan menyebabkan pujian dan pahala, dan jika ditinggalkan tidak menyebabkan celaan dan siksa.
  • 18. 2. Mandub (lanjutan…) Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan mandub, di antaranya : a. Fi‟il amr yang ada dalil yang menunjukkan tidak kuatnya perintah. Seperti : = Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. (QS. Al-Baqaqrah : 282). b. Bentuk berita yang menunjukkan anjuran, bukan perintah, seperti : bentuk-bentuk anjuran untuk melakukan dzikir atau shalat tertentu. c. Setiap perbuatan Nabi saw yang bersifat pembentukan hukum. Seperti shalat sunnah rawatib, shaum sunnah, dsb.
  • 19. 2. Mandub (lanjutan…) Nama-nama Mandub : a. Sunnah, b. b. Nafilah, c. c. Mustahab, d. d. Tathawwu‟, e. e. Fadhilah Sebagian ulama ada yang menamakan mandub jika berkaitan dengan kemaslahatan akhirat, dan irsyad jika berkaitan dengan kemaslahatan duniawi.
  • 20. 2. Mandub (lanjutan…) Derajat Mandub : a. Sunnah muakkad, yaitu amalan sunnah yang dilakukan Nabi saw secara terus menerus. Dan kadang-kadang dibarengi dengan anjuran dalam bentukperkataan. Seperti : shalat sunnah dua rakaat sebelum shalat shubuh. Sabda Rasulullah saw : “ “ “Dua rakaat sebelum shubuh lebih baik dari pada dunia dan isinya”. (HR. Muslim) b. Sunnah ghairu muakkad, yaitu amalan sunnah yang tidak dilakukan secara terus menerus. Seperti shalat sunnah 4 rakaat sebelum shalat ashar.
  • 21. 2. Mandub (lanjutan…) Derajat Mandub : Termasuk dalam kategori ini adalah amalan-amalan sunah yang diperintahkan Rasulullah saw melalui perkataan tapi dalam prakteknya beliau tidak melakukannya secara terus menerus. Seperti beliau menganjurkan untuk umrah, tapi dalam hidupnya hanya melakukan 4 kali, dan satu kali haji. c. Fadhilah wa adab (keutamaan dan adab), dinamakan juga sunnah az-zawaid (sunnah tambahan) dan sunnah al-„adah (sunnah kebiasaan). Yaitu perbuatan Nabi saw yang bukan termasuk „ubudiyah. Seperti sifat makan, minum, berpakaian, berjalannya, dsb. Karena meneladani beliau saw merupakan sebuah keutamaan dan terpuji.
  • 22. 3. Haram Pengertian Haram Yang dituntut Syari‟ untuk ditinggalkan dengan tegas dan kuat, jika ditinggalkan karena ketaatan mendapat pahala, dan jika dilakukan secara sadar mendapat siksa. Haram dinamakan juga mahzhur (larangan).
  • 23. 3. Haram (lanjutan…) Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan haram : a. Kata : , seperti : = Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi. (QS. Al Maidah : 3) b. Menafikan/meniadakan kehalalan, seperti : = Kemudian jika si suami menlalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.(QS. Al-Baqarah : 230) c. Kata ( ) /nahy/larangan, seperti : = dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. (QS. An-Nahl : 90)
  • 24. 3. Haram (lanjutan…) Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan haram (lanjutan…) : d. Kata /melarang, seperti : - - = Hadits Abu Zubair, ia berkata : Saya bertanya kepada Jabir tentang anjing dan kucing. Jabir berkata : Nabi saw melarangnya”. (HR. Muslim) e. Bentuk perintah mengakhiri atau berhenti , seperti : = janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. (QS. An-Nisa‟:171) f. Bentuk fi‟il mudhari‟ yang disertai la nahiyah , seperti : = Janganlah kalian mendekati perzinaan. (QS. Al-Isra‟ : 32)
  • 25. 3. Haram (lanjutan…) Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan haram (lanjutan…) : g. Kata ( /tidak pantas,wajar), seperti sabda Rasulullah saw tenang sutra : “ ” = “Ini tidak pantas bagi orang-orang yang bertakwa”. (Hadits Muttafaq „alaih) h. Bentuk perintah meninggalkan dengan kata selain kata (nahy), seperti : = maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. (QS. Al- Hajj : 30); = Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid. (QS.al-Baqarah :222)
  • 26. 3. Haram (lanjutan…) Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan haram (lanjutan…) : i. Ancaman atau laknat jika melakukannya, baik ancaman dunia, ataupun akhirat, seperti : = Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya. (QS. Al-Maidah : 38) j. Mensifati perbuatan dengan dosa, seperti hadits : - - = Dari Anas ra, ia berkata : Nabi saw ditanya tentang dosa besar, beliau menjawab : “ Menyekutukan Allah, membunuh jiwa, dan kesaksian palsu”. (Hadits Muttafaq „alaih) k. Mensifati perbuatan dengan pelanggaran, kezaliman, kejahatan, kefasikan, dan semacamnya, seperti : = Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. (QS. Al-Baqarah : 282)
  • 27. 3. Haram (lanjutan…) Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan haram (lanjutan…) : l. Pelaku suatu perbuatan disamakan dengan binatang, setan, orang-orang kafir, orang-orang yang merugi, atau semacamnya, seperti : = Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan. (QS. Al-Isra‟ : 27) m. Menamakan perbuatan dengan nama lain yang diharamkan yang keharamannya sudah dimaklumi, seperti mensifati perbuatan dengan perzinahan, pencurian, kemusyrikan, atau yang lain. Di antaranya sabda Rasulullah saw : “ “ “barangsiapa yang bersumpah dengan nama selain Allah, sungguh ia telah berbuat syirik”. (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan lainnya).
  • 28. 3. Haram (lanjutan…) Pembagian Haram : Dalam syari‟at Islam pengharaman tidak diberikan kecuali pada sesuatu yang kerusakannya bersifat murni atau bersifat secara umum. Kerusakan pada yang diharamkan terjadi pada dzat yang diharamkan itu sendiri, atau pada sebabnya. Oleh karena itu haram terbagi kepada 2 bagian. a. Muharram lidzatih atau haram karena dzatnya, seperti syirik, zina, mencuri, memakan daging babi, dsb. b. Muharram lighairih atau haram karena yang lain. Ini pada dasarnya mubah atau legal karena tidak mengandung kerusakan atau karena aspek kemaslahatannya kuat, akan tetapi karena kondisi tertentu,ia menjadi haram karena sebagai sebab timbulnya kerusakan. Maka dalam keadaan itu, ia menjadi haram. Seperti berjual beli pada dasarnya boleh dan disyari‟atkan, tetapi kalau dilakukan saat azan shalat jum‟at sudah dikumandangkan, ia menjadi haram.
  • 29. 4. Makruh Pengertian Makruh : Yang dituntut Syari‟ dari seorang mukallaf untuk ditinggalkan tidak dengan tegas dan kuat, jika ditinggalkan karena ketaatan mendapat pahala, dan tidak disiksa jika dilakukan.
  • 30. 4. Makruh (lanjutan…) Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan makruh : a. Kata (karaha =tidak suka/ benci). Seperti sabda Rasulullah saw : = Sesungguhnya Allah telah mengharmkan mendurhakai ibu, mengubur anak wanita hidup-hidup, tidak mau memberi, dan Allah membenci desas desus, banyak bertanya, dan menyia- nyiakan harta”. (Hadits Muttafaq „alaih). Dalam hadits inidibedakan antara haram dan makruh.
  • 31. 4. Makruh (lanjutan…) Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan makruh (lanjutan…): c. Bentuk larangan yang disertai dalil yang memalingkannya dari haram, seperti hadits Abdullah bin Umar, ia berkata : =Rasulullah saw melarang makan bawang putih pada hari Perang Khaibar. Larangan ini dalam arti makruh dengan dalil hadits Abu Ayyub al- Anshari, ia berkata : Rasulullah saw apabila diberikan makanan, beliau memakannya dan memberikan sisanya kepada saya. Pada suatu hari beliau memberikan makanan sisa yang belum beliau makan, karena ada bawang putih pada makanan itu. Lalu saya bertanya kepadanya : Apakah itu haram?. Beliau bersabda : “Tidak, akan tetapi saya tidak menyukainya karena baunya”. Abu Ayyub berkata : Kalau begitu saya tidak menyukai apa yang engkau tidak sukai. (HR. Muslim) d. Sesuatu yang ditinggalkan Nabi saw dengan maksud penentuan hokum, bukan karena tabiat kemanusiaan.
  • 32. 5. Mubah Pengertiannya : . Pemberian kebebasan memilih dari Syari‟kepada mukallaf untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, tidak ada pujian dan celaan syar‟I dalam melakukan atau meninggalkannya.
  • 33. 5. Mubah (lanjutan…) Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan mubah a. Adanya kata halal secara jelas, seperti : = Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik- baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (QS. Al-Maidah : 5) b. Meniadakan dosa dalam melakukannya, seperti : = Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. (QS. Al- Maidah : 173)
  • 34. 5. Mubah (lanjutan…) Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan mubah (lanjutan…) c. Bentuk perintah setelah larangan, seperti : = Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah. (QS. Al-Jumu‟ah : 10). Ini perintah setelah adanya larangan pada ayat sebelumnya. d. Mubah sebagai hokum asal sebagaimana dikatakan bahwa dasar pada sesuatu itu adalah boleh. Segala sesuatu itu mubah selama tidak ada dalil yang memindahkan kemubahan itu pada hukum lain.
  • 36. Definisi Hukum Wadh’i Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, dan māni‟ (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi). Contoh sesuatu menjadi sebab adanya hukum taklifi : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (QS. Al-Maidah : 6)
  • 37. Definisi Hukum Wadh’I (lanjutan…) Contoh sesuatu menjadi syarat adanya hukum taklifi : mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. (QS. Ali Imran : 97) Contoh sesuatu yang menjadi mani’ (penghalang) hukum taklifi : Yang membunuh tidak mendapat warisan “. (HR. Ahmad)
  • 38. Definisi Hukum Wadh’I (lanjutan…) Dinamakan hukum wadh‟i, karena yang menentukan atau menetapkan hukum itu adalah Syari‟ (Pembuat hukum/Allah). Umpamanya, Allah-lah yang menentukan bahwa hendak melakukan shalat sebagai sebab wajibnya berwudhu, istitha‟ah (kemampuan)sebagai syarat bagi wajib melaksanakan ibadah haji, pembunuhan pewaris terhadapahli warisnya sebagai penghalang mendapatkan warisan, tanpa berhubungan dengan permintaan dari mukallaf. Dari penjelasan ini dapat dibedakan antara hukum taklifi dengan hukum wadh‟i, yaitu bahwa hukum taklifi didasarkan pada kemampuan mukallaf, sedangkan hukum wadh‟i tidak didasarkan pada kemampuan atau tidak mampunya mukallaf. Ada atau tidak adanya sesuatu didasarkan pada ketentuan syari‟at.
  • 39. Pembagian Hukum Wadh’i 1. Sebab 2. Syarat 3. Mani‟ 4. Sah dan Batal 5. „Azimah dan Rukhshah
  • 40. 1. Sebab Pengertian Sebab Secara bahasa berarti : Sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yg lain. Secara istilah, sebab yaitu : Sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum.
  • 41. 1. Sebab (lanjutan…) Pembagian Sebab a. Sebab yang bukan merupakan perbuatan mukallaf, dan berada di luar kemampuannya. Namun, sebab itu mempunyai hubungan dengan hukum taklifi, karena syariat telah menjadikannya sebagai alasan bagi adanya suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh mukallaf. Misal, tergelincir matahari menjadi sebab (alasan) bagi datangnya waktu shalat dhuhur, masuknya awal bulan ramadhan menjadi sebab bagi kewajiban puasa ramadhan. b. Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan dalam batasan kemampuannya. Misal: perjalanan (safar) menjadi sebab bagi bolehnya berbuka puasa di siang ramadhan, akad jual beli menjadi sebab bagi perpindahan hak milik dari penjual kepada pembeli.
  • 42. 2. Syarat Pengertian Syarat Secara bahasa berarti : / tanda. Secara istilah, syarat yaitu : Sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain, ia bukan bagian dari sesuatu yang lain itu, tetapi berada di luar hakikat sesuatu itu, sebagaimana adanya sesuatu itu tidak menuntut adanya sesuatu yang lain yang mengsyaratkannya. Contoh : wudhu merupakan syarat bagi sahnya shalat, sahnya shalat tergantung adanya wudhu, tetapi wudhu itu bukan merupakan bagian dari shalat, dan juga adanya wudhu tidak mesti adanya shalat.
  • 43. 2. Syarat (lanjutan…) Pembagian Syarat a. Syarat Syar’i, yaitu syarat yang datang langsung dari syari‟at itu sendiri. contoh , adanya haul (cukup satu tahun) bagi harta yang sudah mencapai nishab merupakan syarat bagi wajibnya zakat. b. Syarat Ja’ly, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukallaf itu sendiri dalam tindakan dan mu‟amalah, bukan dalam masalah ibadah. Contoh : syarat- syarat yang ditentukan orang-orang yang melakukan berbagai transaksi.
  • 44. 3. Mani’ Pengertian Mani’ Secara bahasa berarti penghalang dari sesuatu. Secara istilah, mani‟ adalah : Sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum, atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
  • 45. 3. Mani’ (lanjutan...) Pembagian Mani’ a. Māni’ lil-Hukm, yaitu : sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum. Misal: haid wanita sebagai penghalang shalat. b. Māni’ lis-Sabab, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi berfungsinya suatu sebab, sehingga sebab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum. Contoh : adanya hutang merupakan penghalang bagi wajibnya zakat harta sekalipun sudah mencapai nishab dan haul.
  • 46. 4. Sah dan Batal Pengertian Sah dan Batal : Sah/Shihhah/Shah : maksudnya perbuatan hukum yang sesuai dengan tuntutan syara‟, yaitu terpenuhinya sebab, syarat, dan tidak ada m ā ni‟. Sah dapat diartikan lepas tanggung jawab atau gugur kewajiban di dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Misal: mengerjakan shalat dhuhur setelah tergelincir matahari (sebab), didahului dengan wudhu‟ (syarat), dan tidak ada halangan haid bagi pelakunya (m ā ni‟). Shalat yang dilakukan itu hukumnya sah. Tapi jika sebab tidak ada, syarat tidak terpenuhi, maka shalatnya dikatakan tidak sah, walaupun m ā ni‟-nya tidak ada.
  • 47. 4. Sah dan Batal (lanjutan...) Pengertian Sah dan Batal : Batal/Buthlan/Bathil : yaitu terlepasnya hukum syara‟ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Batal juga dapat diartikan tidak melepaskan tanggung jawab, tidak menggugurkan kewajiban di dunia, dan di akhirat tidak memperoleh pahala.
  • 48. 4. Sah dan Batal (lanjutan...) Perbedaan para ulama tentang penggunaan istilah sah dan batal dalam masalah muamalah : Menurut Jumhur ulama, tidak ada perbedaan dalam ibadah dan muamalah, dalam keduanya berlaku “sah atau batal”. Sebagian ulama mazhab Hanafi : – Dalam maslah ibadah sependapat dengan jumhur ulama, yaitu hanya ada “sah atau batal”.
  • 49. 4. Sah dan Batal (lanjutan...) – Dalam masalah muamalah, yaitu dalam masalah „uqud, perjanjian yang tidak sah terbagi dua: batal dan fasid (rusak). Bila cacat terdapat dalam rukun & syarat, maka akad menjadi batal, ia tidak mengakibatkan timbulnya hukum karena tidak ada sebab. Sedang jika cacat itu ada dalam suatu syarat dari beberapa syarat yang berhubungan dengan hukum maka akad itu menjadi fasid, tapi tidak batal, dan berakibat timbulnya sebagian pengaruh hukum. Misal: akad nikah dengan wanita muhrimat adalah batal. Tapi pernikahan yang tidak dihadiri dua orang saksi disebut fasid, pengaruhnya suami wajib bayar mahar, isteri tetap menjalankan masa „iddah, anak masih dapat dihubungkan dengan suaminya.
  • 50. 5. ‘Azimah dan Rukhshah Pengertian ‘Azimah : Secara bahasa : „azaimah berarti kemauan yang kuat. Menurut istilah adalah : Suatu ungkapan tentang hukum-hukum yang disyari‟atkan Allah sejak semula, tidak berkaitan dengan suatu peristiwa baru. Contoh : Hukum shalat Dhuhur 4 raka‟at adalah hukum asal, itu disebut „azimah. Hukum makan bangkai adalah haram adalah hukum asal, itu adalah „azimah.
  • 51. 5. ‘Azimah dan Rukhshah (lanjutan...) Pengertian Rukhshah : Menurut bahasa: rukhshah berarti mudah dan gampang. Menurut istilah rukhshah berarti : Suatu nama bagi hukum yang disyari‟atkan karena adanya peristiwa baru yang keluar dari hukum asal karena ada udzur. Contoh : menjama‟ dua shalat karena ada udzur safar (perjalanan) dan hujan; menqashar shalat bagi musafir; boleh makan bangkai bagi orang yang dalam keadaan darurat. Hukum-hukum ini keluar dari hukum asal, dan yang mempengaruhinya adalah karena ada udzur.
  • 52. 5. ‘Azimah dan Rukhshah (lanjutan...) Faktor Penyebab adanya Rukhshah 1. Lemah fisik. Seperti : tidak adanya kewajiban atas anak kecil dan orang gila, gugurnya kewajiban shalat jum‟at bagi wanita. 2. Sakit. Seperti boleh berbuka puasa bagi orang yang sakit. 3. Perjalanan. Seperti boleh menqashar shalat yang empat rakaat. 4. Lupa. Seperti sah puasa orang yang makan dan minum karena lupa. 5. Jahl/bodoh/tidak tahu. Seperti gugurnya siksaan orang yang tidak bisa dalam belajar jika terjadi karena tidak melalaikan. 6. Keadaan terpaksa. Seperti boleh makan bangkai bagi orang yang kelaparan dan takut mati kalau tidak makan. 7. Bencana yang bersifat umum, yaitu dalam keadaan yang sulit melepaskan darinya.
  • 53. 5. ‘Azimah dan Rukhshah (lanjutan...) Macam-macam Rukhshah 1. Boleh melakukan yang haram karena keadaan darurat. Seperti boleh makan daging babi karena darurat. 2. Boleh meninggalkan yang wajib. Seperti tidak berdiri dalam shalat bagi orang yang tidak mampu. 3. Membenarkan sebagian akad yang kurang persyaratan umumnya untuk menghilangkan kesulitan dan memudahkan manusia. Seperti akad salam dan jasa kerja.
  • 54. 5. ‘Azimah dan Rukhshah (lanjutan...) Derajat Mengambil Rukhshah 1. Boleh memilih antarmengambil rukhshah atau meninggalkannya. Seperti boleh berbuka puasa bagi musafir atau tetap berpuasa. 2. Lebih utama mengambil rukhshah. Seperti menqashar shalat bagi musafir, karena Rasulullah saw selalu mengqashar shalat dalam safar. 3. Lebih utama meninggalkan rukhshah. Seperti sabar menanggung penderitaan ketika dipaksa mengatakan kata kekufuran. 4. Wajib mengambil rukhshah. Seperti wajib makan bangkai bagi orang yang dalam keadaan darurat agar tidak mati.
  • 55. Ada’, I’adah, Qadha’ Tiga istilah syari’at yang berhubungan dengan hukum wadh‟i dilihat dari sisi waktu pelaksanaan ibadah : 1. Ada’, yaitu melakukan suatu ibadah pada waktu yang ditentukan menurut syari‟at. 2. I’adah (pengulangan), yaitu melakukan suatu ibadah pada waktu yang telah ditentukan oleh syari‟at untuk kedua kalinya karena ada semacam kerusakan atau kekurangan dalam menunaikannya. 3. Qadha’, yaitu melakukan suatu ibadah setelah keluar dari waktu yang telah ditentukan oleh syari‟at, baik karena kerusakan dalam menunaikan atau karena meninggalkannya secara keseluruhan, karena adanya suatu udzur atau tanpa udzur.
  • 56. Ada’, I’adah, Qadha’ (lanjutan...) Catatan : Bahwa qadha tidak ada dalil yang memerintahkan qadha kecuali dalam melakukan ibadah setelah keluar waktunya disebabkan adanya udzur seperti tidak shalat disebabkan ketiduran, atau puasa bagi wanita haidh dan nifas. Adapun keluarnya waktu tanpa udzur, tidak ada dalil yang memerintahkan qadha. Ini berbeda dengan pendapat kebanyakan ulama fiqh.
  • 57. Ada’, I’adah, Qadha’ (lanjutan...) Ini diperkuat oleh masalah yang dilontarkan oleh para ulama ushul fiqh, apakah qadha itu berdasarkan perintah pertama, atau membutuhkan perintah baru? Kebanyakan ulama berpendapat bahwa qadha membutuhkan perintah baru. Inilah pendapat yang benar, karena ibadah yang berkaitan dengan waktu, dimaksudkan oleh Syari‟ dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan. Jika seorang mukallaf mengabaikannya lalu melaksanakannya di luar waktunya tanpa udzur, berarti ia tidak melakukannya sesuai perintah. Padahal nabi saw telah bersabda : “Barangsiapa yang melakukan suatu amal tidak berdasarkan perintah kami, maka amal itu ditolak”. (HR. Muslim).
  • 58. Ada’, I’adah, Qadha’ (lanjutan...) Ini berbeda dengan orang yang punya udzur. Bisa jadi syari‟at menggugurkan kewajibannya dan tidak memerintahkannya seperti menqadha shalat bagi wanita haidh. Atau karena ada perintah baru, seperti perintah mengqadha shalat bagi orang yang tidur dan lupa, perintah mengqadha puasa bagi wanita haidh dan nifas dan bagi musafir, menggantikan haji bagi orang yang tidak mampu melaksanakan haji di masa hidupnya. Dari permasalahan ini timbul masalah baru, yaitu mengqadha shalat, puasa dan semacamnya bagi orang yang meninggalkannnya pada waktunya dengan sengaja. Ini baginya tidak ada rukhshah untuk mengqadhanya, tetapi caranya dengan taubat dan banyak melakukan ibadah sunnah.
  • 59. Semoga dapat dipahami! asnin_syafiuddin@yahoo.co.id http://abufathirabbani.blogspot.com