Regional Management & Regional Marketing: Instrumen Strategis Pembangunan Wilayah & Kota dalam Menghadapi Tantangan Globalisasi dan Implikasi Pelaksanaan Otonomi Daerah
Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Rencana Pembangunan Daerah
Semelhante a Regional Management & Regional Marketing: Instrumen Strategis Pembangunan Wilayah & Kota dalam Menghadapi Tantangan Globalisasi dan Implikasi Pelaksanaan Otonomi Daerah
Meknisme Penyusunan dan Sinkronisasi RPJMD dengan Kebijakan NasionalDadang Solihin
Semelhante a Regional Management & Regional Marketing: Instrumen Strategis Pembangunan Wilayah & Kota dalam Menghadapi Tantangan Globalisasi dan Implikasi Pelaksanaan Otonomi Daerah (20)
Meknisme Penyusunan dan Sinkronisasi RPJMD dengan Kebijakan Nasional
Regional Management & Regional Marketing: Instrumen Strategis Pembangunan Wilayah & Kota dalam Menghadapi Tantangan Globalisasi dan Implikasi Pelaksanaan Otonomi Daerah
1. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
BENJAMIN A B D U R A H M A N
P E M A H A M A N D A S A R
REGIONAL MANAGEMENT
& REGIONAL MARKETING
-- EEddiissii 22 --
Pemahaman Dasar Regionalisasi
Instrumen Strategis Pembangunan Wilayah dan Kota
dalam Menghadapi Tantangan Globalisasi
dan Implikasi Pelaksanaan Otonomi Daerah
LLeemmbbaaggaa PPeennggeemmbbaannggaann ddaann PPeemmbbeerrddaayyaaaann
KKeerrjjaa SSaammaa AAnnttaarrddaaeerraahh
2. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
Judul
Pemahaman Dasar
Regional Management & Regional Marketing
Instrumen Strategis Pembangunan Wilayah & Kota
dalam Menghadapi Tantangan Globalisasi
dan Implikasi Pelaksanaan Otonomi Daerah
Edisi 2
Penulis
Benjamin Abdurahman
Email: benrahman@yahoo.com
Editor
Tim LEKAD
Edisi 2
Januari 2009
Cetakan Pertama, Februari 2005
Penerbit
Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kerja Sama Antardaerah
(LEKAD) Semarang
lekad_id@yahoo.com
www.lekad.org
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
seluruh atau sebagian isi buku ini
tanpa seizin Penerbit.
- Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
IIbbuunnddaa EElllliiss
3. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•vii
Daftar Isi
Daftar Tabel • ix
Daftar Gambar • x
Daftar Singkatan • xi
Sambutan • xv
Prakata Penulis •
Pendahuluan • 1
Bagian Satu: REGIONALISASI DALAM TEORI DAN PELAKSANAAN • 5
A. Terminologi dan Pemahaman Dasar • 5
B. Komponen Regionalisasi • 14
C Jenis dan Bentuk Regionalisasi • 28
1. Kegiatan Regionalisasi Trans- dan Supranasional • 33
2. Regionalisasi Sub-Nasional • 36
D. Regionalisasi di Indonesia • 43
1. Regionalisasi Sentralistik dan Desentralistik • 44
2. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) • 53
3. Region Jabodetabek • 57
4. Region BARLINGMASCAKEB • 64
E. Tantangan Pengembangan Regionalisasi di Indonesia • 75
Bagian Dua: REGIONAL MANAGEMENT • 81
A. Pemahaman Teori • 84
B. Regional Management sebagai Hasil Pendekatan Regionalisasi
Desentralistik • 95
C. Urgensi Pemanfaatan • 101
D. Tahap Pembentukan • 103
E. Struktur Organisasi • 110
F. Sasaran Program • 114
- Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•viii
Bagian Tiga: REGIONAL MARKETING • 117
A. Bahasan Teoritis • 121
B. Manfaat Regional Marketing • 128
C. Konsep Regional Marketing • 131
1. Pembatasan Wilayah Kerja • 131
2. Para Aktor Terkait • 131
3. Tujuan dan Sasaran Regional Marketing • 133
4. Materi Pembahasan • 136
5. Kelompok Sasaran • 136
6. Jangka Waktu Kegiatan • 138
7. Pembiayaan • 139
PENUTUP • 144
DAFTAR PUSTAKA • 147
BIOGRAFI PENULIS • 152
4. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•ix
Daftar Tabel
Tabel 1. Beberapa Contoh Kawasan Lokal dan Kawasan Regional
Tabel 2. Jenis Regionalisasi Berdasarkan Faktor Pengendalian Proses
Tabel 3. Bentuk Kesepakatan Regionalisasi Transnasional yang Melibatkan Indonesia
Tabel 4. Regionalisasi dalam Hard-Form dan Soft-Form
Tabel 5. Karakteristik Regionalisasi Sentralistik dan Desentralistik
Tabel 6. Kapet Tahun 1996 s.d. Akhir 2004
Tabel 7. Dari JABOTABEK menuju JABODETABEK
Tabel 8. Region BARLINGMASCAKEB
Tabel 9. Kronologi Pembentukan RM Barlingmascakeb
Tabel 10. Daftar Kegiatan dan Hasil Regional Management BARLINGMASCAKEB
Tabel 11. Karakter Khusus Regional Management
Tabel 12. Kelemahan Tata Ruang
Tabel 13. Kebutuhan Perbaikan RTRW
Tabel 14. Tugas Aktor dan Bentuk Kegiatan
Tabel 15. Berbagai Bentuk Marketing Wilayah di Sektor Publik
Tabel 16. Faktor Penentu Pembangunan Regional
Tabel 17. Tujuan dan Sasaran Utama Regional Marketing
Tabel 18. Tujuan dan Sasaran Komunikatif Regional Marketing
Tabel 19. Tujuan dan Sasaran Kooperatif Regional Marketing
Tabel 20. Kelompok Sasaran Regional Marketing
- Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•x
Daftar Gambar
Gambar 1. Konsep Perwilayahan
Gambar 2. Perbedaan Proses Pewilayahan dan Region
Gambar 3. Contoh Proses Regionalisasi
Gambar 4. Perbedaan Bangunan Regionalisasi
Gambar 5. Faktor Biaya dan Manfaat
Gambar 6. Pola Ketersinggungan Inter-Regional
Gambar 7. Berbagai Region di Asia
Gambar 8. Region Fungsional dan Administratif
Gambar 9. Region Sektoral dan Sektoral Terbatas
Gambar 10. Piramid Siklus 3K pada Pendekatan Pembangunan Sentralistik
Gambar 11. Fenomena Regionalisasi Sentralistik dan Desentralistik Pasca OTDA di Indonesia
Gambar 12. Piramid Siklus 3K pada Pendekatan Pembangunan Desentralistik
Gambar 13. Situs Website RM
Gambar 14. Pengorganisasian Regional Management BARLINGMASCAKEB
Gambar 15. Instrumen Pembangunan Formal dan Non-formal
Gambar 16. Potensi Endogen Pembangunan Wilayah
Gambar 17. Hirarki dan Jejaring
Gambar 18. Model DEAD
Gambar 19. Model DACO
Gambar 20. Contoh Pelaksanaan Pelatihan dengan Metode SKAD
Gambar 21. Peran dan Interaksi Antaraktor Utama
Gambar 22. Struktur Organisasi Regional Management
Gambar 23. Tahapan Kerja Regional Management
Gambar 24. Contoh Bentuk Pemasaran Wilayah
Gambar 25. Kebutuhan Regional Marketing
Gambar 26. Skema Sistem Produksi Tepung Tapioka di Region Barlingmascakeb
Gambar 27. Proses Arbitrase Faktor Mobile terhadap Nonmobile
Gambar 28. Aktor Terkait Regional Marketing
Gambar 29. Proses Regional Marketing
5. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•xi
Daftar Singkatan
3K Komunikasi, Kerja sama dan Koordinasi
Adm. Administratif
AIDA Australia-Indonesia Development Area
APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
APEKSI Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia
APKASI Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia
APPSI Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia
ASEAN Asian South East Nation
BAKORLIN atau BAKORWIL Badan Koordinasi Pembangunan Lintas Wilayah
BAPEDA Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
BAPPEBTI Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi
BAPPENAS Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BARLINGMASCAKEB Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen
BDS-P Business Development Services Provider
BIMP-EAGA Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philipines East Asean Growth
Area
BKAD Badan Kerja sama Antar Daerah
BKPLKK (=BAKORLIN) Badan Koordinasi Pembangunan Lintas Kabupaten/Kota
BKSP Jabotabek Badan Kerja sama Pembangunan Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi.
BP KAPET Badan Pengembangan Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu
BPKP Badan Pemeriksa Keuangan Pusat
CF Cohesion Fund
DACO Model Decide-Announce-Commitment
DAK Dana Alokasi Khusus
DAS Daerah Aliran Sungai
DAU Dana Alokasi Umum
DE Dewan Eksekutif
DEAD Model Decide-Announce-Defend
Depdagri Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia
Depkimpraswil Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (sejak tahun 2005
kembali menjadi Departemen Pekerjaan Umum)
- Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•xii
Ditjen Direktorat Jendral
DIY Daerah Istimewa Yogyakarta
DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
ERDF European Regional Development Fund
ESF European Structure Fund
EU European Union
GA Gemeinschaftsaufgabe (salah satu program pemerintah pusat Jerman
untuk mendukung kegiatan regionalisasi)
GERBANG KERTASUSILA Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan
IAP Ikatan Ahli Perencanaan
IMS-GT (SIJORI) Indonesia-Malaysia-Singapura Growth Triangle
IMT-GT Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle
Inpres Instruksi Presiden
IPM Index Pembangunan Manusia
Irjenbang Inspektur Jendral Pembangunan
JABODETABEK Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi
Jateng Jawa Tengah
JWMC JABODETABEK–Waste Management Corporation
Keppres Keputusan Presiden
Kepri Kepulauan Riau
KESR Kawasan Kerja Sama Ekonomi Sub-Regional
KTI Kawasan Timur Indonesia
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
MEBIDANG Medan, Binjai, Deli-Serdang
MoU Memmorandum of Understanding
MPWK UNDIP Magister Pembangunan Wilayah dan Kota - Universitas Diponegoro
NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia
OTDA Otonomi Daerah
PAD Pendapatan Asli Daerah
PDRB Pendapatan Domestik Regional Brutto
Pemkab Pemerintah Kabupaten
Pemkot Pemerintah Kota
Pemprov Pemerintah Provinsi
Poldas Pola Dasar
PP Peraturan Pemerintah
6. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•xiii
PPP Public-Private-Partnership
PRD (Region) Pearl River Delta Region
Propeda Program Pembangunan Daerah
Provinsi DKI Jakarta Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta
RED Regional Economic Development
REDSP – Jawa Tengah Regional Economic Development Strategic Program
Renstrada Rencana Strategis Daerah
Renstra-KL Rencana Strategis Kementrian/Lembaga
RKP-D Rencana Kerja Pemerintah Daerah
RM Regional Management
RMB Regional Management Barlingmascakeb
RPJM Rencana pembangunan Jangka menengah
RPJP Recana Pembangunan Jangka Panjang
RTBL Rencana Tata Bangunan dan Letak
RT-Reg Rencana Tata Ruang Regional
RTRWN Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
RUTRW Rencana Umum Tata Ruang Wilayah
s.d. Sampai dengan
SAMPAN Sapta Mitra Pantura; sebuah wilayah kerja sama antardaerah yang
terdiri dari Kota dan Kabupaten Tegal, Pekalongan, Brebes, Slawi,
Pemalang dan Batang
SDA Sumber Daya Alam
SDM Sumber Daya Manusia
SDR Strategic Development Region
Semiloka Seminar dan Lokakarya
SIJORI Singapura, Johor dan Riau
SK Surat Keputusan
SUBOSUKA
WONOSRATEN
Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan
Klaten
SWOT (analisis) Strength, Weakness, Opportunity, Threat (Kekuatan-Kelemahan-
Peluang-Ancaman)
SWP Satuan Wilayah Pembangunan
TRADP Tumen River Area Development Project
UU. Undang-Undang
- Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•xiv
Sambutan
Wilayah Nusantara Indonesia merupakan anugerah Allah SWT
yang tak terhingga bagi bangsa Indonesia, serta merupakan satuan
wilayah politik yang maha strategis, tempat lahir dan berkembangnya
bangsa kita. Satuan wilayah politik Republik Indonesia mengikat pulau-
pulau raksasa hingga pulau-pulau kecil di dalam batas kelautan dan
daratan yang luas, di wilayah katulistiwa. Wilayah nasional kita tersebut
merupakan bentang alam raksasa ekosistem laut dan daratan yang
terbesar di planet bumi dan terletak di antara dua benua dan samudera.
Berkah Tuhan tersebut merupakan pahala dan ujian bagi bangsa
Indonesia untuk mengelola wilayah yang luas dengan penduduk yang
sangat besar untuk dapat menciptakan kesejahteraan bagi bangsa ini
dan menjaga sumber daya kehidupan, baik bagi kehidupan kita maupun
untuk umat manusia. Bagaimana mengatur pembangunan dalam
wilayah yang sangat luas, dengan penduduk yang banyak dan
beragam, dengan potensi sumber daya alam yang sangat besar
tersebut? Tantangan yang luas dan komprehensif, seperti:
kesejahteraan di semua bidang yang berkeadilan dalam sebaran
wilayah nasional dan menjaga kekuatan sumber daya alam, semuanya
itu bermuara kepada menjaga keutuhan wilayah politik kita yaitu wilayah
Republik Indonesia. Pembangunan nasional kita dengan demikian
sudah tidak pelak lagi harus berbasis kepada pembangunan wilayah.
Kekuatan pembangunan nasional walaupun berada di dalam arus
pasar, tetap merupakan hasil arahan pengendalian kekuatan kebijakan
politik pemerintahan suatu bangsa. Dengan wilayah yang sangat luas,
maka Nusantara Indonesia berada di dalam unit-unit satuan wilayah
kebijakan pembangunan yang terdiri dari Pemerintah Daerah, Provinsi,
Kota, serta Kabupaten dalam kesatuan di bawah Pemerintah Pusat.
Setelah reformasi tahun 1998 kita memutuskan sebagai Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang terbentuk dalam ikatan satuan unit-
unit wilayah politik pembangunan yang mempunyai kekuatan otonomi
7. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•xv
pada wilayah Pemerintah Kota dan Kabupaten. Hal tersebut sebagai
perpindahan dari politik sentralistik ke desentralistik, atau dari
paradigma pembangunan Top Down ke Bottom up, yang bertujuan
menciptakan percepatan, pemerataan, dan pertumbuhan daerah yang
berakar pada pemberdayaan daerah dengan potensi lokalnya.
Namun selanjutnya, kekuatan politik desentralistik tersebut
mempunyai dampak terhadap disintegrasi ekonomi wilayah dan
pemanfaatan sumber daya alam, dan bahkan mengancam keutuhan
wilayah nasional. Dengan demikian, maka paradigma pembangunan
desentralistik tersebut harus tetap terikat kuat di dalam satuan integrasi
pembangunan nasional. Pembangunan daerah tersebut seterusnya
harus berada di dalam kekuatan kewilayahan ( regionalisasi ) guna
membangun skala ekonomi yang besar dan sinergis serta terikat
kepada satuan ekosistem wilayah sumber daya alam. Era pasca
modern dan globalisasi telah mendorong kekuatan demokrasi dan
transparansi, di mana teknologi informasi dan komunikasi menjadi
sumber kekuatan, oleh karena itu maka pendekatan jejaring menjadi
suatu keniscayaan yang menggantikan kekuatan nodal. Paradigma
nodal sebagai pusat pertumbuhan dengan difusinya mengharap
terjadinya trickle down development dalam proses pembangunan
wilayah. Pendekatan pembangunan tersebut sesuai dengan kekuatan
pasar dan proses modernisasi dengan menjadikan kota sebagai
primary movement pembangunan wilayah. Namun dalam pengalaman
pembangunan nasional konsep tersebut lebih mendorong polarisasi
yang menguatkan kesenjangan antara kota dan desa serta antar-
wilayah.
Proses ketergantungan ke pusat harus diubah menjadi proses
saling tergantung antar-wilayah dan pusatnya dengan membangun
satuan network regional development yang kokoh ke dalam membentuk
kekuatan nasional. Oleh karena itu, Kerja sama antardaerah otonom
merupakan keputusan politik pembangunan yang harus menjadi basis
bagi pembangunan wilayah yang akan membentuk satuan nasional
dengan kekuatan ke dalam dan mempunyai daya penarik terhadap
kekuatan luar yang besar.
- Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•xvi
Kerja sama politik pembangunan antardaerah dengan demikian
menjadi basis bagi semua tataran perencanaan teknis maupun sebagai
strategi dalam implementasi perencanaan wilayah. Kerja Sama
Antardaerah selanjutnya merupakan politik kewilayahan ( regionalisasi )
yang menjadi kekuatan kebijakan bagi pengembangan Regional
Management.
Dengan terbitnya Buku Pemahaman Dasar Regional
Management dan Regional Marketing ini maka suatu paradigma baru
pembangunan wilayah telah diperkenalkan dalam bentuk aplikasinya
yang lahir dari proses sejarah politik nasional dan usaha-usaha
lapangan yang telah direalisasikan di wilayah nasional kita.
Selamat dan sukses.
Prof. DR. Ir. Sugiono Soetomo, CES, DEA.
8. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•xvii
Prakata Penulis
Alhamdulillah, buku edisi 2 berjudul Pemahaman Dasar,
Regional Management & Regional Marketing – Instrumen Strategis
Pembangunan Wilayah dan Kota dalam Menghadapi Tantangan
Globalisasi dan implikasi Pelaksanaan Otonomi Daerah – ini telah
berhasil kami tulis untuk didiseminasikan secara luas.
Buku edisi pertama (2005) telah banyak memperoleh tanggapan
berupa apresiasi, kritik dan saran yang diterima baik dari kalangan
akademisi, praktisi dari sektor publik dan swasta, maupun masyarakat
lainnya. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih, semoga
segala upaya pengembangan dan perbaikan kita dapat menjadi
manfaat yang berkelanjutan.
Sejak terbitnya buku edisi pertama itu pula, telah terjadi berbagai
perkembangan baru terkait pemanfaatan pendekatan regionalisasi,
khususnya yang bersifat desentralistik di Indonesia. Hal ini ditandai
dengan semakin besarnya kesadaran daerah untuk memanfaatkan
pendekatan Regional Management & Regional Marketing sebagai salah
satu instrumen strategis pembangunan kewilayahan. Setelah lahir dan
berkembangnya Regional Management (RM) Barlingmascakeb dan
Sapta-Mitra-Pantura (Sampan) di Jawa Tengah, maka kini mulai
bermunculan berbagai inisiasi pembangunan kewilayahan di Indonesia,
antara lain seperti: AKSESS (Sulsel), Kaukus-Setara-Kuat (Bengkulu,
Lampung & Sumsel), Janghiangbong (Bengkulu), Jonjokbatur (NTB)
dan Lake Toba Regional Management (Sumut).
Tanggapan yang begitu besar dan positif di berbagai daerah ini
tidak lepas dari peranan pemerintah pusat, khususnya melalui
Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal, Bappenas dan
Departemen Dalam Negeri yang turut membantu memfasilitasi daerah-
daerah yang memiliki inisiatif untuk menggunakannya.
Melihat tanggapan luas yang begitu positif, maka penulis merasa
perlu untuk mendiseminasikan buku ini seluas-luasnya dalam rangka
- Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•xviii
pengabdian masyarakat dan mempersilakan untuk memperbanyaknya
sepanjang tidak untuk dikomersilkan. Namun demikian, penulis tetap
berharap agar pengutipan dan pemanfaatan yang bersumber dari buku
ini perlu mengikuti norma-norma penulisan baku dan sesuai
perundangan hak cipta & intelektual yang berlaku.
Penulis mengucapkan banyak terimakasih dan penghargaan
secara khusus kepada Ibu Tati Darsoyo (Ambassador) dan Prof. DR. Ir.
Sugiono Soetomo, CES, DEA, sebagai Dewan Pembina LEKAD yang
telah banyak memberi pembinaan dan dukungan. Kepada Ir. Ragil
Harjanto, MSP dan Ir. Wisnu Pradoto serta para kolega pengajar
Program Magister Teknik Pembangunan Wilayah & Kota, Universitas
Diponegoro, Semarang kami ucapkan banyak terima kasih atas
dukungannya selama ini. Para kolega akademisi, di antaranya Prof. Dr.-
Ing. Ir. Ahmad Munawar, MSc dan Dr. M. Baiquni, MA (UGM), Drs.
Triarko Nurlambang, MA (UI), Ir. Holi Bina Wijaya, MUM (UNDIP), Dr.
Dwinardi Apriyanto dan Nurul Iman Supardi, ST, MP. (Universitas
Bengkulu), Dr. Mansur Afifi (Universitas Mataram), Dr. Marsuki
(Universitas Hasanudin) beserta Tim LEKAD: Anang Gurendo, ST,
Wahyu Dyah Widowati, ST dan Herlina Kurniawati, ST, sebagai editor
buku edisi 2 ini beserta segenap pihak yang tidak dapat kami sebutkan
satu per satu atas dukungan, masukan, serta koreksi yang diberikan
selama persiapan, penulisan dan penerbitan buku ini.
Dengan segala keterbatasan yang ada, tentu buku ini masih
membutuhkan masukan berupa kritik dan saran untuk diskusi lanjutan
dalam rangka perbaikan.
Semoga Allah SWT meridhoi dan menerima upaya kita ini
sebagai amal sholeh sehingga menjadi manfaat, khususnya untuk
pembangunan Indonesia yang lebih berkeadilan dan mensejahterakan.
Semarang, Januari 2009
Benjamin Abdurahman
9. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•1
Pendahuluan
Sejak diberlakukannya kebijakan reformistik yang ditandai dengan
lahirnya UU. Nomor 22 Tahun 1999 dan dilanjutkan dengan
penyempurnaannya dalam UU. Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur
pembagian kewenangan politik (political sharing) dan UU. Nomor 25
Tahun 1999 yang diikuti revisinya dalam UU. Nomor 33 Tahun 2004
tentang pengaturan keuangan (financial sharing) antara Pemerintah
Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota telah menyebabkan terjadinya
transformasi budaya-perencanaan pembangunan di Indonesia.
Di masa lalu pendekatan top-down lebih mendominasi iklim
pembangunan sehingga tidak banyak memberi peluang pada inisiatif,
kreativitas, inovasi, dan kepentingan lokal. Akibatnya banyak hasil
pembangunan tidak mencapai sasaran dan harapan secara umum.
Budaya perencanaan sentralistik pada masa lalu hanya menyisakan
sedikit ruang pada aspek komunikasi dan partisipasi yang sebenarnya
justru dibutuhkan dalam memberdayakan segala potensi dan sumber
daya daerah yang berorientasi pasar. Walaupun telah dilakukan upaya-
upaya perbaikannya, pengaruh dan kontaminasi pola lama terhadap
konsepsi pembangunan pasca-UU. Nomor 32 Tahun 2004 hingga kini
masih dapat ditemui. Hal inilah yang menjadi salah satu permasalahan
mendasar bagi pembangunan yang berkeadilan dan mengedepankan
persatuan serta kesatuan nasional.
Era keterbukaan yang ditandai dengan meningkatnya praktek
demokratisasi di segala sendi kehidupan bangsa dan negara Republik
Indonesia bukan saja membawa perubahan positif namun juga pada
berbagai implikasinya. Indikasi dari implikasi era keterbukaan dalam
wujud eforia otonomi dapat dilihat dari bentuk-bentuk konflik
kepentingan yang terjadi di berbagai wilayah. Hal ini membuktikan
bahwa banyak daerah yang ‘terjebak’ pada kepentingan kedaerahan
semata (localism) atau egoisme lokal. Dengan demikian, eforia
otonomi terkesan justru membebani pelaksanaan pembangunan itu
- Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•2
sendiri. Kondisi ini akan semakin mengkhawatirkan dan bahkan dapat
menghasilkan disintegrasi bila masing-masing komponen masyarakat,
khususnya para pelaku pembangunan yang tergolong dalam jajaran
eksekutif dan legislatif, tidak memiliki kesadaran, kepedulian,
kapabilitas, dan komitmen dalam menyusun dan mengaplikasikan
konsep strategi pembangunan yang solutif. Konsep ini penting dalam
rangka mengkoordinasikan berbagai kepentingan pembangunan
antardaerah dalam bentuk kerja sama yang sinergis dan sustainable.
Sesungguhnya, seiring tekanan globalisasi dan implikasi
penerapan otonomi daerah seperti yang kini semakin dirasakan,
peluang pelaksanaan dan pengembangan regionalisasi desentralistik
semakin besar. Dalam konteks urban dan regional planning sesuai
dengan perubahan mendasar, khususnya pada era otonomi daerah dan
tuntutan global, model regionalisasi ini dapat digambarkan sebagai
proses terbentuknya keterikatan antardaerah otonom yang bertetangga
sehingga membentuk suatu region atas inisiatif regional. Pemanfaatan
strategi pembangunan seperti ini sesuai jawaban tantangan dinamika
global serta desentralisasi apabila dilaksanakan melalui pendekatan
komunikasi, kerja sama, dan koordinasi yang menciptakan kebulatan
komitmen berdasarkan kesamaan kebutuhan dan kepentingan.1
Penggunaan strategi pembangunan ini menjadi relevan
mengingat banyaknya keterbatasan Kabupaten/Kota dalam menangani
permasalahan pembangunannya sendiri. Perbedaan antara
regionalisasi desentralistik dengan regionalisasi pada masa lalu juga
terletak pada serangkaian karakteristika yang dimiliki (selanjutnya akan
dibahas tersendiri dalam buku ini).
Melihat berbagai permasalahan multikompleks dalam
pembangunan di Indonesia saat ini, maka perlu adanya berbagai
terobosan baru dalam upaya menggalang kekuatan pembangunan di
daerah. Terobosan tersebut harus sesuai dan mencerminkan
1
Regionalisasi dalam bentuk ini berbeda dengan proses regionalisasi pada masa
penerapan pola sentralistik (top down) atau yang masih terkontaminasi dengan pola
lama. Regionalisasi pada masa ini terbentuk berdasarkan konsep ‘perwilayahan’ dan
penentuan keputusan yang didominasi dari pusat atau jenjang administratif di atasnya
(top-down policy).
10. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•3
semangat, situasi, dan kondisi nyata yang ada di masyarakat. Salah
satu bentuk implementasi regionalisasi yang dapat dipertimbangkan
oleh Pemerintah Kabupaten dan Kota saat ini adalah melalui penerapan
Regional Management seperti yang akan dijelaskan dalam buku ini.
Keberhasilan dan pengalaman positif atas pemanfaatan strategi
regionalisasi sebagai instrumen pembangunan oleh negara-negara
yang telah lama menerapkan pendekatan desentralisasi semakin
menumbuhkembangkan know how dan skill mengenai pemanfaatan
strategi pembangunan ini. Adapun bentuk dan tugas Regional
Management yang digunakan tergantung dari tujuan dan keperluan
pembangunan regional itu sendiri, seperti misalnya pada sektor
pariwisata, infrastruktur: pembangunan jalan tol dan pengelolaan
distribusi air minum wilayah, serta pada sektor perekonomian, yaitu
upaya peningkatan atraktivitas wilayah untuk investasi melalui Regional
Marketing.
Regional Marketing sebagai konsep inovatif untuk
meningkatkan, mempertahankan, dan mengembangkan kekuatan
perekonomian wilayah dalam suatu bentuk kerja sama antardaerah
merupakan hal baru di Indonesia.2
Hal ini memang tidak mengherankan
mengingat paradigma pembangunan masa lalu yang sentralistik.
Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, peluang bagi
Kabupaten/Kota untuk berinisiatif khususnya untuk melakukan upaya
‘pemasaran’ baik secara sendiri-sendiri (Pemasaran Daerah) atau
bersama-sama (Regional Marketing) semakin terbuka. Tulisan ini akan
menitikberatkan ‘Regional Marketing’ sebagai instrumen peningkatan
perekonomian daerah melalui kerja sama dan koordinasi antardaerah
sebagai suatu kesatuan wilayah berdasarkan kaidah regionalisasi
desentralistik.
Beberapa contoh penerapan konsep regionalisasi kontemporer
hingga upaya pelaksanaan Regional Marketing di beberapa wilayah di
Indonesia, diharapkan dapat memperjelas pembahasan khususnya
2
Regional Marketing yang dimaksud di sini adalah konsep pemasaran regional dalam
konteks regionalisasi desentralistik dan bukan seperti yang telah lazim dilakukan oleh
banyak Provinsi di Indonesia dalam memasarkan daerahnya.
- Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•4
tentang bagaimana aplikasi dari konsep-konsep regionalisasi yang
sedang dikembangkan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka kajian ini
lebih menitikberatkan pada aspek administratif (management) yaitu
kerja sama antardaerah otonom di Indonesia. Kajian teoritis yang
dipaparkan diperoleh berdasarkan kajian literatur aktual yang tersedia
dengan disertai contoh pengalaman pemanfaatannya dari berbagai
belahan dunia.
11. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•5
Bagian Satu
REGIONALISASI DALAM TEORI DAN PELAKSANAAN
A. Terminologi dan Pemahaman Dasar
Sebelum mengkaji lebih jauh tentang regionalisasi, perlu dibahas
dan disepakati pengertian berbagai terminologi yang sering dikaitkan
dengan pengertian regionalisasi itu sendiri. Istilah tersebut antara lain
daerah, wilayah, perwilayahan, pewilayahan, kawasan, kawasan
regional, dan region. Pembahasan pengertian perlu dilakukan
mengingat penggunaan istilah-istilah di atas seringkali oleh awam
dianggap sama dan digunakan secara tumpang-tindih.
Berbagai kerancuan istilah sering ditemui dalam kajian-kajian dan
literatur yang tersedia. Banyak penggunaan istilah tidak disertai
penjelasan etimologi yang akurat dan minimnya pertimbangan pada
aspek yang relevan dengan paradigma pembangunan kontemporer.
Akibatnya banyak kesalahan persepsi mengenai beberapa istilah
perencanaan hingga menyebabkan terjadinya miskomunikasi yang
berkelanjutan. Seiring pelaksanaan otonomi daerah perlu diadakan
kajian ulang terhadap berbagai penggunaan istilah perencanaan
sehingga dapat menguatkan pengertian dan komunikasi dalam konteks
urban dan regional development planning di Indonesia.
Bila arti kata daerah3
disepakati sebagai sebuah batasan ruang
teritorial administratif tertentu dengan tapal batas legal-formal yang
3
Menurut Kamus Tata Ruang (Ditjen Cipta Karya, 1997: 13) dibedaan antara kata
‘daerah’ yang berarti kesatuan geografis beserta unsur terkait padanya yang batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional, dengan ‘daerah’ sebagai ruang
administratif. Pengertian daerah seperti pengertian pertama sengaja dalam kajian ini
dihindari, karena adanya kerancuan karena sekali waktu daerah dapat pula
berarti/diterjemahkan sebagai wilayah, area, district dan region! (periksa Kamus Tata
Ruang, Ditjen Cipta Karya, 1997, hal. 13-16).
- Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•6
jelas4
, maka pengertian wilayah (area) yang dimaksudkan di sini, secara
mandiri adalah (tidak lebih dari) sebuah batasan ruang geografis tanpa
tapal batas spasial yang akurat baik secara administratif maupun
fungsional.5
Pengertian ini dikemukakan dengan dasar antara lain
bahwa penggunaan kata wilayah tidak dapat berdiri sendiri. Artinya,
kata wilayah masih membutuhkan gatra jenis (keterangan) yang
menyertainya, seperti wilayah pedesaan (ruang tertentu dengan
karakter/fungsi pedesaan), wilayah kota (batasan ruang geografis
dengan fungsi atau batasan administratif Kota), dan seterusnya.
Berkaitan dengan kata wilayah, terdapat kata perwilayahan dan
pewilayahan. Apabila kata perwilayahan diartikan sebagai hal-hal yang
menyangkut wilayah, maka pewilayahan berarti hal-hal yang
menyangkut pembentukan wilayah. Pewilayahan dapat pula diartikan
sebagai produk dari sebuah proses terjadinya suatu kewilayahan.
Asal kata region (bhs. Latin: regio) terbentuk dari kata latin rege
yang berarti memerintah, medominasi, atau menguasai. Dari etimologi
ini tampak relevansinya dengan aspek tata pemerintahan yang juga
menunjuk pada batasan geografis yang terdiri dari beberapa ruang
administratif tertentu.6
Dengan demikian, dalam konteks perencanaan
(ruang) pembangunan, perlu dilakukan pembedaan antara kata wilayah
(sebagai batasan ruang geografis tertentu atau area) dengan
pengertian region yang secara sederhana dapat digambarkan sebagai
kesatuan ruang yang terdiri dari beberapa batasan ruang administratif.
Dalam konteks pembangunan desentralistik, batasan ruang
administratif yang memperoleh perhatian khusus tentu erat relevansinya
dengan daerah otonom.
4
Arti ‘daerah’ di sini sesuai dengan definisi yang dimaksud dalam UU. Nomor 32 tahun
2004 yaitu Daerah Otonom sebagai ‘kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia’.
5
‘Wilayah’ menurut UU 26 Tahun 2004 adalah ‘ruang yang merupakan kesatuan
geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional’.
6
Kata regent, regency, regim berasal pula dari kata rege
12. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•7
Secara etimologis, regionalisasi terbentuk dari kata dasar
regio(n) dan kemudian menjadi regional sebagai kata sifat yang berarti
kewilayahan. Namun, seperti telah dibahas di atas, kata regional lebih
tepat diartikan sebagai sifat kewilayahan (ruang) yang melibatkan
beberapa area administratif, baik sebagian ataupun menyeluruh. Dalam
konteks pelaksanaan pembangunan dengan paradigma desentralistik,
Kabupaten/Kota dengan kewenangan otonominya sebagai komponen
perencanaan merupakan salah satu isu sentral dalam istilah ini,
khususnya berkaitan dengan peran dan fungsinya dalam
pembangunan. Dengan demikian, peran dan aktivitas berbagai
Kabupaten/Kota dalam kegiatan pembangunan merupakan hal yang
tidak terpisahkan dalam pembangunan wilayah. Seiring dengan
fenomena tersebut maka semakin berkembang pula pemahaman
tentang politik pembangunan regional dengan pola desentralistik.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka diperoleh kejelasan
perbedaan antara wilayah dengan region. Istilah wilayah dipergunakan
untuk menyebut sebuah batasan ruang geografis tanpa batasan yang
pasti, seperti wilayah budaya, wilayah tandus, wilayah iklim tropis, dan
seterusnya. Sedangkan istilah region dipergunakan untuk menyebut
ruang geografis yang menunjukan keterlibatan ruang (spatial) beberapa
daerah administratif, baik sebagian maupun menyeluruh. Imbuhan-isasi
(pada regionalisasi) menunjukkan suatu proses pembentukannya.
Dengan demikian, regionalisasi secara umum dapat diartikan sebagai
proses terbentuknya suatu region yang terdiri dari beberapa daerah
administratif dan secara keruangan memiliki relevansi/keterkaitan
geografis7
. Dari pengertian ini terlihat bahwa region merupakan produk
dari sebuah proses regionalisasi. Proses yang tidak hanya
menitikberatkan aspek teknis kewilayahan namun juga
mempertimbangkan aspek batasan administratif (politik-administratif).
Berdasarkan dinamika paradigma pembangunan yang
berkembang, maka perlu penajaman dan evaluasi penggunaan istilah
7
artinya hanya berlaku bagi daerah-daerah administratif yang memiliki relevansi
geografis keruangan dan dengan demikian bentuk pewilayahan yang tidak memiliki
keterikatan atau hubungan geografis yang relevan tidak dapat dikatagorikan sebagai
regionalisasi.
- Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•8
region yang berarti hasil sebuah regionalisasi. Hal ini perlu dibahas
lebih lanjut mengingat adanya perbedaan yang mendasar antara hasil
regionalisasi yang berkembang berlandaskan paradigma sentralistik
dengan yang berpola desentralistik.
Berlatarbelakang pada pemikiran tersebut di atas, maka perlu
pembedaan pengertian antara kawasan lokal (local cluster) dengan
kawasan regional (regional cluster). Kawasan memiliki pengertian
sebagai district integrated area development atau dominasi fungsi
tertentu yang terdapat dalam sebuah daerah. Di lain pihak, kawasan
regional dapat dipahami sebagai sebuah area dengan dominasi fungsi
tertentu yang secara keruangan melibatkan beberapa daerah
administratif. Hal ini mengingatkan kita pada pengertian sectoral dan
regional integrated area development (periksa Sumarsono, 2004: 6)
sebagai model pengelolaan wilayah.
Pendekatan kawasan sebagai instrumen pembangunan telah
lazim dipergunakan pada masa perencanaan sentralistik di Indonesia.
Definisi kawasan dalam kajian ini diartikan sebagai sebuah batasan
ruang yang didominasi oleh fungsi tertentu, misalnya kawasan (industri,
pariwisata, hutan lindung, dan sebagainya). Pengertian ini lebih
menekankan pada batasan teknis sektoral-fungsional daripada aspek
administratif-pengelolaan. Pada masa mendatang, diperlukan diskusi
dan kajian yang lebih mendalam untuk memperoleh kesepakatan
terminologi tentang penggunaan istilah kawasan yang diartikan sebagai
sebuah batasan ruang geografis dengan dominasi fungsi tertentu yang
berada dalam satu daerah otonom. Hal ini memang tidak mudah
dilakukan mengingat pemanfaatan istilah kawasan yang tidak
memberikan keterangan tentang aspek tata pemerintahan telah
membudaya di semua kalangan.8
8
Periksa pengertian kawasan yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 47/1997
tentang Rencana Tata Ruang yang dijelaskan oleh Dep. Kimpraswil (pada masa
Kabinet Indonesia Bersatu departemen ini kembali menjadi Departeman Pekerjaan
Umum) dalam http://www.kimpraswil.go.id/ditjen_ruang/manado/pengertiankws.htm
yang belum banyak mempertimbangkan implikasi pelaksanaan otonomi daerah.
13. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•9
Tabel 1. Beberapa Contoh Kawasan dan Kawasan Regional9
KAWASAN
LOKAL
KAWASAN
REGIONAL
KAWASAN KERJA SAMA
REGIONAL
Kawasan
Perumahan
Nongsa - Kota
Batam
Kawasan
Industri
Cikarang –
Kabupaten
Bekasi
Kawasan
Taman
Nasional Laut
Karimunjawa –
Jepara, Jawa
Tengah
Kawasan
Rekreasi
Taman Impian
Jaya Ancol –
DKI Jakarta
Kawasan
Komersial
Central
Business
District (CBD)
DKI Jakarta
Kawasan Budidaya
Regional Rawa
Pening (Kabupaten
Semarang, dan
Kota Salatiga)
Kawasan Pariwisata
Regional SOSEBO
(Kota Surakarta,
Kabupaten Boyolali,
dan Kabupaten
Magelang)
Kawasan Pertanian
Tanaman Pangan
Regional Dieng
(Banjarnegara dan
Wonosobo)
Kawasan
Konservasi Alam
Gunung Merapi –
Merbabu
(Kabupaten
Magelang, Boyolali,
dan Klaten)
Kawasan Kerja Sama
Regional
BARLINGMASCAKEB
(Banjarnegara,
Purbalingga, Banyumas,
Cilacap dan Kebumen)
Kawasan Kerja Sama
Regional
SUBOSUKAWONOSRAT
EN (Surakarta, Boyolali,
Sukoharjo, Karanganyar,
Wonogiri, Sragen dan
Klaten)
Kawasan Regional
SAMPAN atau Sapta
Mitra Pantura (Kota dan
Kabupaten Tegal serta
Pekalongan, Brebes,
Slawi, Pemalang dan
Batang)
Seperti dicontohkan pada tabel di atas, penggunaan istilah
Kawasan Perumahan Nongsa, Batam berarti sebuah batasan ruang
geografis dengan dominasi fungsi perumahan yang berada di Kota
Batam. Demikian pula pada Kawasan Industri Cikarang yang berada di
Kabupaten Bekasi, Jawa Barat dan Kawasan Taman Nasional Laut
Karimunjawa yang berada di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
9
Beberapa contoh kawasan regional di Jawa Tengah
- Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•10
Perlukah penyempurnaan pengertian istilah kawasan? Bagaimana
membedakan istilah kawasan (lokal) dengan kawasan regional?
Istilah kawasan hingga kini masih banyak dipahami sebagai batasan
ruang geografis dengan fungsi utama sebagai pelindung (kawasan
lindung) atau budidaya (kawasan budidaya) yang esensinya masih
terbatas pada pengertian batasan teknis. Hal ini tercermin pada bentuk-
bentuk kegiatan yang dilakukan terkait dengan istilah tersebut, seperti10
(1) Kawasan Tertentu (yaitu yang memiliki nilai strategis dan penataan
ruangnya diprioritaskan), (2) KAPET (Kawasan Pembangunan Ekonomi
Terpadu), (3) KESR (Kawasan Kerja sama Ekonomi Sub-Regional), (4)
Kawasan Cepat Tumbuh/Berkembang, dan (5) Kawasan Tertinggal. Hal
ini dapat dimaklumi karena mekanisme program masih didominasi oleh
pendekatan yang bersifat direktif-koordinatif. Pada pendekatan ini
perhitungan perencanaan tidak melalui proses politik pembangunan
regional dari ‘bawah’. Akan tetapi, sejak diberlakukannya otonomi
daerah, perlu peninjauan ulang terhadap pengertian (reformulasi) dan
penggunaan istilah perencanaan ini agar sesuai dengan dinamika
pembangunan aktual. Artinya pembedaan arti kawasan (lokal) yang
menunjukan keterlibatan spasial pada satu daerah otonom (kawasan)
dengan yang melibatkan beberapa daerah otonom (kawasan regional)
menjadi suatu kebutuhan11
.
Hingga kini dunia perencanaan di Indonesia masih menggunakan
istilah kawasan12
dengan berbagai macam keterangan yang
menunjukan fungsi ruang yang melekat bersamanya, seperti Kawasan
Perbatasan, Kawasan Cepat Tumbuh/Berkembang, dan sebagainya.
Penggunaan istilah tersebut tidaklah keliru, tetapi dalam konteks
10
Periksa publikasi Kimpraswil (sekarang Departemen Pekerjaan Umum) dalam
http://www.kimpraswil.go.id/ditjen_ruang/manado/pengertiankws.htm.
11
Periksa UU. Nomor 32 tahun 2004, Bagian Kedua, pasal 9 ayat 1, ”Untuk
menyelengarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus bagi
kepentingan nasional, Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus dalam
wilayah Provinsi dan/atau kabupaten/kota”. Berdasarkan penjelasan ini
tampak bahwa kawasan khusus dapat berupa suatu batasan geografis dengan
dominasi fungsi tertentu/khusus (ditetapkan oleh Pemerintah Pusat) yang
melibatkan beberapa kabupaten/kota atau juga terdapat pada sebuah
kabupaten/kota. Dengan demikian tidak ada batasan yang jelas dan pasti.
12
Termasuk pengertian kawasan khusus dalam UU. Nomor 32 tahun 2004, Bab I, pasal 1
ayat 19, “Kawasan khusus adalah bagian wilayah dalam Provinsi dan/atau
kabupaten/kota yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan
fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional”.
14. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•11
dinamika otonomi daerah memerlukan penyempurnaan khususnya
berkaitan dengan keterangan batasan administratif.13
Dengan demikian
setiap penggunaan istilah kawasan sebagai batasan ruang dengan
dominasi fungsi tertentu perlu diikuti keterangan fungsi dan batasan
ruang administratif. Sebagai alternatif, istilah kawasan yang hanya
diikuti dengan keterangan fungsional dapat diartikan bahwa kawasan
tersebut berada dalam sebuah wilayah administratif (Kabupaten/Kota).
Untuk kawasan yang berada atau secara spasial melibatkan beberapa
Kabupaten/Kota atau Provinsi, perlu ditambahkan kata regional sebagai
keterangan pelengkap.
Sebagai contoh, untuk kawasan industri yang secara keruangan
melibatkan atau berada di beberapa daerah disebut Kawasan Industri
Regional. Dengan demikian dapat dibedakan dengan jelas antara
pemahaman kawasan industri yang berada dalam sebuah daerah
dengan kawasan industri regional yang secara fungsional-spasial
melibatkan beberapa daerah otonom (Kabupaten/Kota atau bahkan
Provinsi).
Dari penjelasan di atas dapat ditarik pengertian bahwa istilah
kawasan regional menerangkan hubungan antara aspek teknis-
fungsional dan spasial yang melibatkan beberapa daerah administratif.
Sedangkan proses pembangunan yang berparadigma desentralistik,
dari bentuk kawasan regional hingga memiliki platform kerja sama
(management) antardaerah, yang memiliki konsepsi pembangunan dan
citra kewilayahan melalui proses politik pembangunan regional ‘dari
bawah’ itulah yang dalam pembahasan ini disebut region (hasil
pendekatan pembangunan desentralistik).
Dalam perspektif yang lain, khususnya dalam konteks
pertimbangan aspek tata pemerintahan, dapat diamati pemanfaatan
berbagai istilah yang relevan lainnya. Pada pendekatan teknis
13
Hal ini perlu dilakukan mengingat dalam pelaksanaan pembangunan berparadigma
desentralistik di Indonesia, sesuai UU Nomor 32 tahun 2004, pembedaan wilayah
administratif, khususnya, terjadi pada level Daerah Otonom (Provinsi dan
kabupaten/kota).
- Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•12
kewilayahan14
dapat ditemui selain district integrated area development
untuk kawasan dalam sebuah wilayah administratif (distrik) juga
terdapat istilah provincial integrated area development. Istilah kedua
menunjuk pada pengertian wilayah konsentrasi pembangunan yang
berada dalam batas wilayah administratif Pemerintahan
Kabupaten/Kota pada sebuah Provinsi. Bahkan pengertian regional
integrated area development diartikan sebagai sebuah wilayah
konsentrasi pembangunan yang berada dalam batas wilayah
administratif pemerintahan lintas Provinsi dalam satu wilayah negara.
Istilah lain yang dipergunakan untuk menjelaskan hasil dari
pendekatan wilayah adalah sectoral integrated area development yang
menggambarkan pengertian batasan ruang kegiatan pembangunan
dengan dominasi fungsi tertentu tanpa mengedepankan pertimbangan
batasan wilayah administratif secara khusus (Sumarsono, 2004: 6-7).
Merujuk pada penjelasan region di muka maka lebih tepat apabila
pengertian regionalisasi di Indonesia saat ini diartikan sebagai proses
pembentukan region yang melibatkan beberapa daerah otonom,
khususnya Kabupaten/Kota, terlepas dari pembatasan kegiatan
pembangunan integratif yang dilaksanakan oleh para aktor regional
terkait (dalam sebuah Provinsi, melibatkan Provinsi lain, atau antar-
Provinsi). Bedasarkan fakta bahwa wilayah Provinsi selalu terdiri dari
Kabupaten/Kota sebagai daerah otonom maka pengertian region tidak
bisa dilepaskan dari para pengambil keputusan/kewenangan terkait
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, yaitu khususnya
Pemerintah Kabupaten/Kota. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa
pendekatan kewilayahan tidak otomatis menghasilkan pelaksanaan
regionalisasi, namun sebaliknya regionalisasi pasti merupakan hasil
pendekatan kewilayahan.15
Pelaksanaan regionalisasi, yang merupakan tindak lanjut dari
hasil pewilayahan, sangat berpengaruh terhadap paradigma (sentralistik
atau desentralistik) yang mendominasi proses. Pada pemanfaatan
14
Khususnya di Asia, misalnya penerapannya di India dan Filipina
15
karena bisa jadi pendekatan kewilayahan hanya menghasilkan sebuah kawasan yang
secara keruangan tidak melibatkan beberapa daerah otonom.
15. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•13
paradigma sentralistik, regionalisasi pada sektor publik dapat
digambarkan sebagai proses terbentuknya suatu kewilayahan
(pewilayahan) yang terdiri dari beberapa daerah administratif yang
memiliki relevansi pada aspek geografis atas perintah (ex mandato)16
struktur hirarkis yang berwenang. Sedangkan regionalisasi
desentralistik pada sektor publik dapat diartikan sebagai proses
pewilayahan yang ditandai dengan platform kerja sama oleh para aktor
regional antara daerah otonom yang bertetangga (memiliki relevansi
keruangan) berdasarkan kebersamaan dan kepentingan pembangunan
tertentu serta atas dasar kehendak sendiri (ex mera motu)17
. Bagi
regionalisasi desentralistik pada lingkup multisektoral dapat
ditambahkan multistakeholder sebagai aktor regional. Perlu
ditambahkan pula bahwa penggunaan kata daerah otonom lebih
ditekankan untuk menggantikan istilah daerah administratif dalam
definisi regionalisasi desentralistik. Hal ini dilakukan mengingat daerah
administratif dibedakan dengan daerah otonom dalam konteks
paradigma desentralistik. Sedangkan istilah wilayah secara umum
dimaksudkan sebagai ruang ekologi yang terdiri dari unsur budidaya
dan nonbudidaya dalam berbagai bentuk interdependensi fungsional
maupun multisektoral.
Dari berbagai uraian definisi tersebut di atas tampak jelas
perbedaan antara konsep regionalisasi dengan konsep teknis
kewilayahan. Pada pendekatan kewilayahan, suatu perwilayahan dapat
berhenti pada teknis pewilayahan sedang pada regionalisasi selalu
diikuti dengan keputusan politik, sebagaimana pengertian ‘region’ yang
berkaitan erat dengan aspek tata pemerintahan.18
Bila proses
regionalisasi didominasi oleh pengaruh pola sentralistik maka disebut
regionalisasi-sentralistik atau sruktural-administratif. Sedangkan
apabila regionalisasi melalui sebuah proses pengambilan keputusan
dengan pola desentralistik maka disebut regionalisasi-desentralistik
16
Salah satu cirinya adalah penggunaan landasan hukum berupa Kepres/Inpres dan
sebagainya.
17
Salah satu cirinya adalah landasan hukum berupa Keputusan Bersama, MoU Kerja
sama antardaerah dan sebagainya.
18
Sesuai dengan pembahasan etimologis.
- Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•14
atau nonstruktural-administratif. Proses regionalisasi nonstruktural
lebih kompleks dibandingkan dengan regionalisasi struktural karena
pada pelaksanaannya meliputi aspek kesepakatan/komitmen (politik)
para aktor regional dalam memadukan potensi dan kekuatan endogen.
Pendalaman lebih jauh tentang perbedaan regionalisasi dengan
pendekatan teknis kewilayahan konvensional (perwilayahan),
regionalisasi sentralistik, dan desentralistik dapat ditemui melalui kajian
berbagai komponen dan faktor yang mempengaruhi regionalisasi,
seperti yang akan dibahas pada bab selanjutnya.
B. Komponen Regionalisasi
Menyambung penjelasan sebelumnya, perlu dijelaskan kembali
perbedaan antara pewilayahan (region sentralistik)19
dengan region20
(desentralistik). Pewilayahan adalah produk dari pendekatan teknis
perencanaan perwilayahan atau pembangunan kewilayahan yang dapat
melihat sebuah wilayah dari aspek homogenitas, polarisasi (nodal), dan
wilayah perencanaan (Richardson, 1978), atau bahkan wilayah sistem/
fungsional (Blair, 1991). Kemudian dilanjutkan melalui proses politik
pembangunan berpola sentralistik atau struktural-administratif sehingga
terbentuk pewilayahan (region sentralistik). Sebagai contoh produk dari
regionalisasi sentralistik dapat diamati pada bentuk-bentuk eks-
karisidenan di Indonesia. Di lain pihak, region adalah hasil pendekatan
teknis kewilayahan yang dilanjutkan dengan proses politik
pembangunan wilayah desentralistik yang tumbuh berdasarkan
kekuatan (potensi) endogen dan pengaruh dinamika sosial-politik pada
sebuah masyarakat hingga membentuk suatu kesatuan wilayah.
Pada gambar 1 berikut (Rustiadi, dkk., 2004) dapat diamati
bagaimana pengertian wilayah diterangkan melalui pembagian konsep
alamiah dan nonalamiah. Skema pembagian wilayah ini juga
menunjukkan tahapan pembentukan suatu kesatuan wilayah yang
19
Atau disebut region hasil proses politik pembangunan wilayah secara struktural-
administratif (hirarkis)
20
atau sebagai region hasil proses politik pembangunan wilayah melalui pola
nonstruktural-administratif (heterarkis)
16. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•15
berangkat dari pendekatan teknis kewilayahan, yaitu melalui
pendekatan homogenitas, sistem/fungsional, dan
perencanaan/pengelolaan. Hasil final dari proses teknis kewilayahan ini
dapat diperoleh hanya melalui proses legitimasi pelaksanaan berupa
suatu kebijakan (keputusan politik). Baik proses maupun hasil akhir dari
keputusan politik menyangkut sebuah kewilayahan sangat dipengaruhi
oleh paradigma pembangunan suatu negara. Dengan demikian tentu
terdapat perbedaan antara produk teknis kewilayahan yang dibentuk
melalui pola sentralistik dan desentralistik.
Proses pembentukan sebuah kewilayahan tidak berhenti pada
tingkat yang digambarkan dalam wilayah homogen, sistem/fungsional,
dan perencanaan/pembangunan saja. Region merupakan produk
lanjutan dari berbagai bentuk kewilayahan yang terjadi karena pengaruh
proses pengambilan keputusan politik. Proses pengambilan keputusan
atau legitimasi kewilayahan tersebut sangat dipengaruhi oleh
paradigma pembangunan yang dipergunakan. Oleh karena itu, wilayah
homogen, wilayah fungsional, dan wilayah perencanaan/pembangunan
dapat bertransformasi menjadi region atau pewilayahan.
Gambar 1. Konsep Perwilayahan
- Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•16
Proses Transformasi dari wilayah homogen, wilayah fungsional ,
dan wilayah perencanaan/pembangunan menjadi region yang sangat
tergantung dari keberadaan kekuatan endogen regional. Kekuatan
endogen sendiri berarti himpunan seluruh potensi unggulan yang
sinergis dalam batasan ruang geografis tertentu. Apabila kekuatan
endogen tersebut tidak dimiliki, maka transformasinya akan menjadi
perwilayahan yang sentralistik.
Dalam konteks urban dan regional development planning, sudah
sewajarnya apabila dalam penggunaan istilah dipertimbangkan
berbagai aspek secara lebih mendalam dan komprehensif sesuai
karakter bidang kajian yang interdisiplin. Bila pada proses regionalisasi
struktural-administratif, aspek konsolidasi dan partisipasi internal para
pelaku regional (misalnya Kabupaten/Kota), akibat posisi struktur hirarki
politis, bersifat inferolateral maka sesuai dengan pertimbangan bobot
aspek teknis hasil dari proses tersebut dapat disebut dengan istilah
pewilayahan.
Sesungguhnya produk regionalisasi sentralistik dapat diartikan
pula sebagai region. Akan tetapi karena pada hakikatnya aspek tata
pemerintahan lebih berperan sebagai unsur formal yang mengikuti
kaidah struktur administrasi yang hirarkis maka bobot dimensi teknis21
masih mendominasi keputusan/kebijakan yang diambil. Hanya saja
dalam konteks administratif, istilah region tentu dapat dipergunakan
seperti bentuk eks-karisidenan di berbagai Provinsi di Indonesia. Yang
perlu digarisbawahi pada pengertian ini adalah proses terbentuknya
(eks)karisidenan, yang terdiri dari beberapa daerah administratif dapat
terlaksana karena adanya mekanisme formal-struktural tata
pemerintahan yang berlaku. Dengan demikian region hasil regionalisasi
struktural-administratif itu sendiri terbentuk atas landasan perintah (ex
mandato) berdasarkan kepentingan nasional (atau Provinsi) dan bukan
atas dasar kehendak sendiri (ex mera motu) atau inisiatif lokal dari
para pihak (aktor regional) terkait yang didominasi oleh kepentingannya.
21
Khususnya wilayah sebagai area perencanaan/pengelolaan (periksa gambar 1.)
17. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•17
Gambar 2. Perbedaan Proses Pewilayahan dan Region
Proses
Teknis
Produk
Proses
Politik
Proses
Adm.
Produk
Region
dalam Konteks Hirarkis
(PEWILAYAHAN)
Region
dalam Konteks Jejaring
(REGION)
Contoh
Eks-Karesidenan di Jawa
Kawasan Khusus
Bentukan Provinsi dan
Kabupaten/Kota baru sesuai UU.
32 Tahun 2004
Barlingmascakeb,
Subosukawonosraten,
Sampan, RM Lake Toba, Aksess,
Jonjokbatur, Kaukus Setara Kuat,
Janghiangbong, dsbnya.
Mengapa pewilayahan (region sentralistik) sebagai produk dari
sebuah regionalisasi sentralistik secara khusus tidak menitikberatkan
pertimbangannya pada aspek keterlibatan daerah yang terkait (politik
regional) sebagai komponen sentral dalam pengambilan keputusan? Hal
ini terjadi karena pada pelaksanaan pola sentralistik faktor kewenangan
yang bersifat ‘direktif-koordinatif’ merupakan komponen yang kuat dan
dimiliki oleh badan otoritas perencanaan dan pelaksana pembangunan.
Melalui prosedur perencanaan pembangunan formal yang dikuatkan
dalam produk hukum (kebijakan), koordinasi pelaksanaan dapat
dilakukan secara direktif (struktural-hirarkis) oleh instansi di atasnya
sedangkan posisi instansi struktural di bawahnya bersifat afirmatif. Pola
pembangunan koordinatif-direktif ‘dari atas’ tersebut mengendalikan arah
politik pembangunan wilayah hingga saat ini.
Lain halnya yang terjadi pada region (region dalam konteks
heterarkis) sebagai produk regionalisasi desentralistik. Pada aktivitas
PENDEKATAN KEWILAYAHAN
(Pendekatan Homogenitas, Fungsionalitas, dan Perencanaan dsb)
Regionalisasi Sentralistik
(ex mandato)
Regionalisasi Desentralistik
(ex mera motu)
Regionalisasi Struktural
(hirarkis)
TEKNIS PERWILAYAHAN
Regionalisasi Non-Struktural
(jejaring)
- Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•18
perencanaan yang melibatkan atau berada pada beberapa daerah terkait
maka otoritas perencanaan dan pelaksanaan, baik Pusat maupun
Provinsi, perlu mempertimbangkan aspek politik pembangunan regional
secara khusus, yaitu melalui mekanisme pemberdayaan dan konsensus
bersama yang berujung pada kesediaan dan komitmen dari pihak daerah
otonom terkait. Hal ini perlu dipertimbangkan mengingat sifat afirmatif dari
pihak Kabupaten/Kota terhadap pendekatan koordinasi-direktif oleh pihak
Pusat atau Provinsi tidak lagi dapat efektif diterapkan. Pada pelaksanaan
pembangunan desentralistik, aspek kerja sama para aktor regional yang
mengedepankan unsur komunikasi menjadi lebih diperlukan dalam
rangka pelaksanaan koordinasi pembangunan.
Berdasarkan penjelasan di atas maka ekotipe (pembeda khusus)
antara pewilayahan dan region non-struktural terletak pada proses dan
peran para pengambil keputusan politik pembangunan wilayah yang
diambil antara dua pilihan yaitu apakah berpola sentralistik (struktural-
administratif) atau desentralistik (nonstruktural-administratif). Pada
pelaksanaan pola sentralistik, peran Pusat melalui kewenangannya
menjadi lebih aktif bahkan dapat menjadi lebih dominan. Keputusan
terjadinya pewilayahan dilaksanakan atas dasar prosedural-formal
menurut azas demokrasi yang disepakati. Berbeda halnya dalam
pelaksanaan paradigma desentralistik, peluang berkembangnya inisiatif
lokal untuk mengadakan upaya pembangunan perwilayahan melalui
proses komunikatif-mutualistik melalui azas musyawarah antarpara
pelaku regional (bottom-up process) semakin terbuka.
Contoh ketentuan perundangan mengenai kegiatan regionalisasi di
Indonesia dapat ditemui pada ketentuan UU Nomor 32 Tahun 2004, bab
II, tentang Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus. Berdasarkan
landasan hukum tersebut, bentuk regionalisasi ini masuk dalam kategori
administratif-formal. Walaupun dalam prosesnya banyak
mempertimbangkan berbagai aspek (komprehensif), pada saat
pengambilan keputusan final dan pelaksanaannya tetap bersifat ex
mandato.22
22
Periksa UU. Nomor 32 tahun 2004, bab II, tentang Pembentukan Daerah. Pada bagian
kesatu, pasal 5, ayat 2 dan 3, dimana salah satu syarat pembentukan daerah adalah
18. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•19
Seiring pelaksanaan otonomi daerah, pertimbangan aspek politik
pembangunan regional (politik regional) dalam melakukan pendekatan
teknis kewilayahan semakin dominan. Hal ini merupakan konsekuensi
dari pelaksanaan otonomi daerah. Tarik-menarik kepentingan dan
kebutuhan oleh dan dari para pelaku pembangunan regional, khususnya
Kabupaten/Kota, menjadi salah satu faktor pengendali proses
perencanaan dan pembangunan wilayah itu sendiri. Definisi regionalisasi,
dalam konteks proses perencanaan kontemporer di Indonesia, dapat
dilihat melalui perbedaan antara proses mekanisme program yang
bersifat direktif-koordinatif (berdasarkan kebijakan) dan partisipatif-
komunikatif (berdasarkan konsensus).
Apakah yang dimaksud dengan politik pembangunan regional?
Istilah politik pembangunan regional telah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam pelaksanaan pembangunan desentralistik. Dalam
konteks pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, secara sederhana
politik pembangunan regional diartikan sebagai upaya dan kegiatan
politik pembangunan dari dan oleh para aktor lokal, khususnya
Kabupaten/Kota atau Provinsi, pada suatu wilayah dalam rangka
pembangunan regional. Dengan demikian tercipta sebuah kekuatan
(endogen) politik regional dalam bentuk kesepakatan-kesepakatan
(komitmen melalui konsensus) yang berkaitan dengan pembangunan
regional. Pengaruh politik pembangunan regional dapat berupa
penguatan bargaining position bagi daerah (Kabupaten/Kota) dalam
rangka memperjuangkan kepentingannya pada tingkat regional,
Provinsi, nasional, maupun internasional.
Pembahasan regionalisasi yang akan dikaji lebih lanjut dibatasi
sebagai fenomena pembangunan kontemporer di Indonesia dalam
konteks NKRI, tanpa mengesampingkan landasan teoritis dan
pengalaman pemanfaatannya yang relevan di luar negeri. Peran sektor
publik, khususnya yang dipresentasikan oleh Pemerintah Kabupaten dan
Kota, dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat memiliki peran
sentral bagi keberlangsungan pembangunan. Oleh karena itu, segala
rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Periksa pula pasal 8 yang menyebutkan tata cara
pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah sebagaimana dimaksud
dalam pasal 4, pasal 5, dan pasal 6 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
- Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•20
upaya dan kegiatan regionalisasi yang melibatkan sektor publik perlu
memperoleh perhatian khusus.
Sebagai fenomena pembangunan nasional, regionalisasi dapat
dipandang sebagai konsekuensi logis dari tekanan globalisasi dan
implikasi permasalahan internal (nasional) yang di antaranya merupakan
akibat dari pelaksanaan otonomi daerah. Akan tetapi pengalaman di
negara-negara yang bertahan dengan sistem berpola sentralistik, seperti
di Cina dan Vietnam, juga menunjukan fenomena regionalisasi. Dalam
hal ini, Pusat lebih berperan sebagai fasilitator dan mediator bagi faktor
kebutuhan dan kepentingan para aktor regional terkait.
Tampaknya peran pewilayahan dan region non-struktural sebagai
motor pembangunan yang sinergis menjadi salah satu kunci
kerberhasilan bagi pertumbuhan pembangunan nasional. Dengan
demikian, terjadi perluasan pengertian tentang simpul-simpul atau sentra
pertumbuhan yang selama ini (antara lain) dipahami sebagai wilayah
Kota, Metropolitan Area, atau Mega Urban. Dalam konteks global, kini
Kota tidak mendominasi perannya sebagai pusat pertumbuhan (growth
center) an sich melainkan beralih menjadi bentuk region, sebagai wilayah
kerja sama untuk Kota dan daerah otonom di sekitarnya.
Fenomena ini juga membuktikan bahwa intensitas persaingan
antarwilayah yang semakin tinggi akibat dinamika perekonomian global
tidak hanya terjadi pada tingkat daerah otonom namun justru mengarah
pada tingkat region. Mengapa hal ini dapat terjadi? Sesungguhnya
jawabannya relatif sederhana karena hampir dapat dipastikan bahwa
tidak ada satu daerah otonom pun yang dapat melakukan
pembangunannya sendiri (exclusive). Setiap daerah otonom pasti
memiliki berbagai keterbatasan dan dominasi fungsi yang terikat pada
suatu sistem supply-demand. Berdasarkan situasi ini muncul peluang
terjadinya inisiatif regional dalam rangka mensinergikan potensi dan
program pembangunan.
Regionalisasi telah dipergunakan di banyak negara sebagai
jawaban strategis pembangunan tanpa terikat pada pola pemerintahan
yang sentralistik atau desentralistik. Perkembangan pemanfaatan
regionalisasi sebagai salah satu instrumen pembangunan terpicu oleh
19. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•21
faktor kebutuhan dalam rangka mengantisipasi arus globalisasi. Oleh
karena itu, banyak pula pakar yang menilai bahwa regionalisasi
merupakan antiklimaks dari tekanan globalisasi yang sedang melanda
dunia. Aspek lain yang melekat pada strategi ini adalah aspek efisiensi
dan pemberdayaan lokal yang diiringi oleh pemanfaatan sinergi berbagai
kekuatan lokal untuk menjadi keunggulan regional.
Menurut Weichhart23
, melalui perkembangan dan proses
globalisasi struktur real economy semakin kuat beralih ke regional.
Artinya, hanya region sebagai lokasi strategis yang dapat memiliki
keunggulan komparatif dan dapat menekan biaya tinggi karena interaksi
sosio-ekonomi dapat terstruktur dan tumbuh secara efisien.
Di lain pihak telah terjadi pula indikasi pergeseran paradigma
secara umum dari ‘think globally and act locally’ menjadi ‘think globally
and act regionally’. Hal ini terjadi karena implikasi persaingan tidak sehat
antardaerah banyak membebani pembangunan sehingga menumbuhkan
kesadaran yang mengarah pada upaya kerja sama antardaerah.
Gambar 3. Contoh Proses Regionalisasi
23
Weichhart P. (2002: 14).
Kabupaten/Kota
Batas Provinsi
Regionalisasi
Tekanan
Kabupaten/Kota
Batas Provinsi
Regionalisasi
Tekanan
Batas Provinsi
Regionalisasi
TekananTekanan
Ego Lokal
Tekanan
Globalisasi
Tekanan
Keterbatasan Potensi
Tekanan
Kemampuan Pendapatan
Daerah
- Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•22
Akibat tekanan dampak globalisasi dan implikasi otonomi daerah,
peluang terjadinya regionalisasi semakin terbuka. Keterbatasan dan
kesamaan kepentingan, khususnya dalam meningkatkan perekonomian
daerah, telah ‘memaksa’ daerah untuk mencari ‘mitra’ yang dapat
menutupi kebutuhannya secara sinergis. Dengan demikian terjadi
sebuah mekanisme perwilayahan dengan bentuk ‘konsolidasi ke
dalam’.
Regionalisasi sebagai sebuah ‘bangunan’ memiliki komponen
dasar yang memberi bentuk yang berbeda dibandingkan ‘bangunan’
pendekatan kewilayahan konvensional. Hal ini dapat dilihat pada
gambar berikut.
Gambar 4. Perbedaan Bangunan Regionalisasi
Seperti tampak pada gambar di atas, bangunan regionalisasi
desentralistik memiliki dominasi komponen yang berbeda dengan
pendekatan perwilayahan. Untuk lebih jelasnya, komponen bangunan
regionalisasi desentralistik dapat diterangkan sebagai berikut:
Landasan Ruang
Potensi & Kekuatan
Endogen
Platform Kerja sama
Komunikasi
Kerjasama
Koordinasi
Visi & Sasaran
PEMBANGUNAN
Landasan Ruang
Potensi & Keunggulan
Lembaga Perencanaan
KEBIJAKAN
Visi & Sasaran
PEMBANGUNAN
Regionalisasi Desentralistik
(Produk: REGION)
Regionalisasi Sentralistik
(Produk: PEWILAYAHAN)
NON-FORMAL
FORMAL
KOMITMEN
PROGRAM
20. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•23
• batasan keruangan bersifat dinamis dan tidak menggambarkan
garis batas secara statis dan tertutup. Dalam konteks management
kewilayahan garis ini ditentukan melalui batasan wilayah
administratif (landasan ruang)
• potensi unggulan dan kekuatan endogen menjadi latar belakang
dan merupakan modal dasar pelaksanaan (pondasi kegiatan)
• aktor regional sebagai motor bagi terbentuknya sebuah wadah
kerja sama lintas daerah (platform)
• aspek komunikasi, kerja sama, dan koordinasi selalu
mendominasi pelaksanaan kesepakatan bersama/komitmen (pilar
kegiatan)
• adanya tujuan dan sasaran bersama untuk mewujudkan
pembangunan (visi & target)
Beberapa komponen regionalisasi tersebut di atas merupakan
ekotipe dari proses pewilayahan yang kerap ditemui pada pelaksanaan
paradigma pembangunan sentralistik masa lalu di Indonesia.
Perbedaan yang mencolok mulai terjadi antara regionalisasi sentralistik
dengan desentralistik pada latar belakang proses. Pada pelaksanaan
regionalisasi desentralistik, aspek potensi unggulan harus diikuti
dengan aspek ‘konsensus bersama’ yang mencerminkan kekuatan
(sosial-politik) endogen regional. Kekuatan komitmen dalam
melaksanakan kegiatan pembangunan regional terjadi pada konteks
politik pembangunan regional.
Pada proses pewilayahan sentralistik, keputusan pembentukan
pewilayahan didominasi oleh pertimbangan potensi unggulan dan
kekuatan endogen yang berhubungan dengan kemampuan teknis
pembangunan. Sedangkan pada proses regionalisasi desentralistik
kekuatan politik endogen yang ditandai dengan tumbuhnya inisiatif lokal
yang kemudian berkembang menjadi inisiatif regional lebih diutamakan.
Tarik-menarik kepentingan dan kebutuhan lokal di antara aktor regional
justru menjadi sebuah kekuatan pembangunan karena hasilnya dapat
menjadi konsensus yang berisi komitmen pembangunan bersama.
Berbagai komponen tersebut di atas merupakan bagian penting
untuk memahami faktor-faktor yang menjadi perekat regionalisasi.
- Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•24
Secara umum faktor perekat ditentukan oleh aspek kebutuhan dan
atau kepentingan. Kedua aspek tersebut dapat dibagi lagi menjadi dua
kelompok pemahaman, yaitu material dan nonmaterial serta internal
dan external (akan dibahas lebih lanjut pada bagian berikut).
Untuk mengidentifikasi aspek kebutuhan dan kepentingan ini
dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen Skenario Kerja Sama
Antardaerah (SKAD)24
. SKAD (Skenario Kerja Sama Antardaerah) adalah
sebuah metode sekaligus alat untuk mengidentifikasi kebutuhan kegiatan
Kerja Sama Antardaerah (KAD) yang layak dan mendesak untuk dilakukan
guna memberikan gambaran tentang visi bersama yang dilakukan melalui
proses partisipatif yang sistematis diantara para aktor dan stakeholder terkait.
SKAD dirancang sesuai dengan prinsip dasar dan kebutuhan dinamika
perencanaan pembangunan kontemporer yang kental dengan aspek efisiensi,
peningkatan transparansi, partisipatif, komunikatif dan pencapaian yang efektif.
Metode ini juga sesuai dengan pemanfaatan pola strategic planning,
perencanaan kolektif, aktivasi kesadaran bersama (awareness) dan penguatan
jejaring (networking) yang melekat pada pendekatan Regional Management.
Platform kerja sama regional yang dibentuk oleh para pelaku
regional, dalam konteks regionalisasi desentralistik, dapat membangun
‘rasa kepemilikian’ (ownership) yang kuat. Hal ini pula yang
membedakan dengan platform pewilayahan pada proses regionalisasi
sentralistik. Pada proses regionalisasi sentralistik keputusan kerja
sama didominasi oleh pertimbangan teknis yang berujung pada
kebijakan Pusat atau instansi struktural-hirarkis di atasnya.
Dalam konteks regionalisasi desentralistik, pengutamaan
pemanfaatan komponen-komponen 3K (komunikasi, kerja sama, dan
koordinasi) menjadi ciri khas pendekatan kewilayahan ini; Aspek
komunikasi menjadi unsur strategis utama pilar instrumen
pembangunan, sedang aspek kerja sama dan koordinasi merupakan
unsur berikutnya.
24
Informasi lengkap mengenai SKAD dapat diakses dalam www.lekad.org atau dengan
mengirimkan permintaan flyer SKAD melalui email: lekad_id@yahoo.com
21. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•25
Perjalanan proses regionalisasi di negara-negara dengan pola
pemerintahan desentralistik, khususnya Uni Eropa, memperlihatkan
semakin terbukanya peluang daerah (district/municipality) untuk
memperlakukan batasan administratif yang semula kaku menjadi
batasan yang terbuka. Dalam konteks regionalisasi yang bertujuan
meningkatkan sektor ekonomi, terjadi berbagai perubahan upaya
daerah yang sebelumnya tertuju pada kekuatan daya saing lokal
menjadi regional. Dengan demikian, persaingan cenderung beralih ke
dimensi antarregion. Hal ini sesuai dengan tekanan globalisasi yang
mengiringinya. Daerah yang saling bergantung dan saling
membutuhkan (interdependency) melakukan upaya pengikatan
kewilayahan.
Proses regionalisasi dapat dipicu oleh kebutuhan pemenuhan
aspek material dan nonmaterial, baik secara terpisah maupun secara
tumpang tindih. Yang dimaksud dengan aspek material adalah
kebutuhan atau kepentingan antaraktor regional yang terpicu oleh
kebutuhan material, seperti air, akses ruang, lahan, infrastruktur, dan
sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan aspek nonmaterial
adalah aspek pendorong atau latar belakang regionalisasi yang bersifat
politis, sosial-ekonomi, atau kultural.
Pada sisi lain, latar belakang proses regionalisasi dapat diamati
berdasarkan faktor internal atau eksternal dari kepentingan atau
kebutuhan lokal. Semakin berkembangnya kesadaran (internal)
berbagai daerah terhadap interdependensi dan manfaat konsolidasi
kewilayahan dalam mengahadapi arus global, telah membuka upaya
inovatif yang bersifat regional. Yang dimaksud dengan faktor eksternal
adalah pengaruh atau tekanan dari luar yang mendorong daerah
melakukan upaya regionalisasi. Hal ini dapat dilihat dari upaya berbagai
daerah untuk mengadakan kerja sama antardaerah dalam rangka
menjawab tantangan pasar baik nasional maupun internasional.
Berbagai penjelasan di atas menggambarkan proses lahirnya aktor
regional yang sekaligus berperan sebagai motor regionalisasi. Hal ini
bagi Indonesia tidak lepas dari pengaruh tekanan globalisasi dan
penerapan desentralisasi/otonomi daerah.
- Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•26
Realisasi sebuah proses regionalisasi tergantung dari perhitungan
cost-benefit atau perhitungan ’biaya – manfaat’ dari kegiatan
regionalisasi yang sekaligus mencerminkan bobot ‘saling
ketergantungan’ (interdependensi25
) dan ‘saling pengaruh’ dari para
aktor regional terkait. Penggunaan istilah aktor regional disepakati
sebagai pelaku utama yang memperoleh manfaat atas terjadinya
regionalisasi. Dengan demikian aktor regional berkepentingan
mendorong terciptanya sebuah region.
Perhitungan antara biaya pelaksanaan dan manfaat yang
diperoleh merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan
regionalisasi sejak awal. Apabila biaya yang dibutuhkan diperhitungkan
akan lebih besar dari manfaat kegiatan kerja sama, maka regionalisasi
tidak dapat terrealisasi. Sebaliknya, apabila manfaat kegiatan kerja
sama lebih besar dibandingkan biaya yang harus ditanggung, maka
peluang terjadinya regionalisasi akan semakin besar.
Gambar 5. Faktor Biaya dan Manfaat
Aktor regional dapat berperan sebagai pihak yang melakukan
inisiatif untuk melakukan regionalisasi di wilayahnya sehingga dapat
25
Pembahasan menarik mengenai nilai interdependensi dapat diperoleh a.l. dalam:
Oekonomische Spieltheorie (Neumann & Morgenstern, 1944); Sozialwissenschaftliche
Austauschttheorie (Homans, 1961; Blau, 1964) und Psychologische
Interdependenztheorie (Thibaut & Kelly, 1959).
Biaya Manfaat
Penghambat Regionalisasi Realisasi Regionalisasi
Posisi perhitungan antara
biaya dan manfaat
Biaya Manfaat
Penghambat Regionalisasi Realisasi Regionalisasi
Posisi perhitungan antara
biaya dan manfaat
Biaya Manfaat
Penghambat Regionalisasi Realisasi Regionalisasi
Posisi perhitungan antara
biaya dan manfaat
22. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•27
disebut inisiator regional. Namun pada hakikatnya regionalisasi dapat
dimulai dari inisiatif berbagai pihak, termasuk dari luar wilayah, tanpa
mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya proses regionalisasi
tersebut. Dengan demikian, aktor regional belum tentu berperan
sebagai inisiator regional. Pada masa lalu, regionalisasi sering
didominasi oleh peran Pusat sebagai inisiator regionalisasi dan
sekaligus menjadi aktor regionalisasi. Salah satu akibatnya adalah
minimnya peran serta masyarakat dan aktor regional potensial yang
ada pada daerah terkait sehingga pada akhirnya justru membebani dan
menghambat kegiatan pembangunan wilayah itu sendiri. Hal inilah,
antara lain, yang membedakan antara regionalisasi pola top-down pada
masa lalu dengan regionalisasi kontemporer yang lebih menitikberatkan
pada peran aktif para aktor regional dari masing-masing daerah terkait,
dibandingkan dengan aspek inisiatif regional yang bisa saja lahir dari
luar wilayah. Akan tetapi, dari aspek perekat regional tentu akan lebih
baik apabila inisiatif regionalisasi lahir dari pihak aktor regional.
Bagian penting lain yang dapat diamati dalam proses
regionalisasi desentralistik adalah adanya bentuk-bentuk kesepakatan
yang dilanjutkan dengan pembentukan dan pemanfaatan lembaga kerja
sama. Kelembagaan inilah yang menggunakan dan mengedepankan
aspek komunikasi dan koordinasi dalam menjalin kerja sama satu
dengan lainnya dalam mencapai suatu komitmen bersama yang
mencerminkan pilar regionalisasi. Inilah salah satu kekuatan
regionalisasi yang sekaligus menjadi komponen penting bagi
keberhasilan pembangunan.
Telah dimaklumi bahwa instrumen pembangunan formal yang
telah terbentuk melalui sebuah proses prosedural yang relatif panjang
dan birokratis memiliki beberapa kelemahan klasik pada aspek
komunikasi, kerja sama, dan koordinasi (3K). Apabila kelemahan ini
dapat teratasi dengan baik akan menjadi kunci keberhasilan
pembangunan. Dengan demikian, kegiatan regionalisasi yang
menekankan kekuatan pada ketiga aspek (3K) tersebut menjadi
- Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•28
instrumen penting bagi penunjang dan pendukung konsepsi formal
pembangunan daerah seperti Poldas, Renstrada, Propeda, RUTRW,
dan sebagainya.
Rangkaian penjelasan di atas, sekali lagi, memperlihatkan
perbedaan antara istilah region dengan bentuk-bentuk konsep
pembangunan perwilayahan seperti Satuan Wilayah Pembangunan
(SWP), Kawasan Strategis, Kawasan Andalan, dan sebagainya yang
lebih merupakan produk perencanaan pewilayahan sentralistik.
Sesuai dengan dinamika pembangunan saat ini, telah terjadi
pergeseran pengertian tentang perencanaan itu sendiri. Semula
perencanaan dipandang sebagai instrumen pembangunan yang dalam
prosesnya berjalan secara unilinear. Namun karena tuntutan era
kesadaran dan kebangkitan demokrasi, tekanan globalisasi, dan
otonomi daerah telah menumbuhkembangkan paradigma partisipatif-
komunikatif yang memungkinkan perencanaan dan pembangunan
dapat berjalan paralel bersama. Dengan demikian, dapat digarisbawahi
bahwa regionalisasi bukan sekedar produk teknis
perencanaan/pengelolaan namun lebih sebagai hasil konsolidasi dan
penggalangan kekuatan endogen.
Proses regionalisasi desentralistik sendiri dapat terjadi pada
berbagai sektor pembangunan, baik publik, swasta, maupun
masyarakat pada suatu wilayah. Beberapa upaya pemanfaatan
regionalisasi antara lain pada sektor pariwisata, perhubungan, irigasi,
kehutanan, dan bahkan perbankan. Pemanfaatannya dapat hadir dalam
format yang berbeda-beda sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan
perkembangan dinamika pembangunan.
C. Jenis dan Bentuk Regionalisasi
Dengan cara pemisahan antara bentuk regionalisasi
supranasional, transnasional (antarnegara) dan subnasional (dalam
23. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•29
satu negara) diharapkan dapat memudahkan pemahaman lebih lanjut.
Dasar utama yang menjadi pertimbangan pemisahan berkaitan dengan
kajian aspek hukum. Pada satu pihak, regionalisasi transnasional yang
melibatkan negara-negara yang bertetangga (keterkaitan
geografis/keruangan) akan berpijak pada hukum dan etika kerja sama
internasional dalam mengadakan kerja sama bilateral atau multilateral.
Di lain pihak, regionalisasi intranasional akan berpijak pada kaidah
hukum dan aspek relevan lainnya yang ada pada wilayah
hukum/administratif negara tersebut. Namun dari berbagai perbedaan
yang ada pada kedua jenis regionalisasi tersebut terdapat benang
merah kesamaan, yakni pada faktor pengendali (driven factor) proses
regionalisasi. Faktor pengendali regionalisasi ini erat berhubungan
dengan faktor pendorong regional.
Boye (1997) menggambarkan faktor pengendali proses
regionalisasi melalui jenis-jenis regionalisasi transnasional dalam
market-, policy-, dan concept-driven. Masing-masing dipaparkan
dengan studi kasus, khususnya menyangkut sektor industri. Pada
region Hong Kong–Guang Dong (HKG) digambarkan sebagai
pencerminan market driven sedang kerja sama antarnegara Singapura-
Johor-Riau (SIJORI) sebagai policy driven serta Öresund (Scandinavia)
sebagai concept driven. Kategori regionalisasi dengan menggunakan
faktor pengendali proses tersebut dapat membantu pemahaman lebih
jauh tentang regionalisasi.
Berdasarkan kajian Boye di atas, maka sesuai perkembangan
dan pelaksanaannya, regionalisasi di Indonesia dapat ditampilkan
seperti pada tabel berikut:
- Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•30
Tabel 2. Jenis Regionalisasi Berdasarkan Faktor Pengendalian Proses26
Market-driven Policy-driven Concept-driven Culture-
driven
Aktor
utama
Perusahaan Pemerintah Multi -
stakeholders
Pemimpin
budaya
Faktor
perekat
Faktor harga Perundangan
dan kebijakan
Kesepakatan
aktor regional
Ikatan
kultural
(etika sosial)
dan tradisi
Tujuan Peningkatan
profit
Legitimasi/
penguatan
kepentingan
Peningkatan
profil, citra dan
legitimasi
Penguatan
citra dan
profil
Proses Aksi rasional Dominasi
Perencanaan
‘terpusat’
Perencanaan
professional
bersama
stakeholders
Keputusan
figur sosial-
budaya dan
pemuka
masyarakat
Sumber: P. Boye dengan tambahan oleh penulis
Beberapa catatan perlu diperhatikan dalam memahami tabel
tersebut di atas, di antaranya adalah pengelompokan berbagai jenis
regionalisasi berdasarkan faktor pengendalian proses berlaku bagi
negara-negara yang memakai pendekatan desentralistik dan tidak
berlaku pada pendekatan sentralistik. Pada pendekatan sentralistik,
regionalisasi hanya memiliki jenis top-down policy driven dan top-
down concept driven. Hal ini terjadi karena segala bentuk
perencanaan pembangunan akan bermuara pada keputusan kebijakan
politik puncak. Konsepsi teknis yang ada hanya diperlukan sebagai
faktor penguat dalam mengambil keputusan dan bukan menjadi sentral
elemen dari keputusan.
26
Bentuk regionalisasi sentralistik hanya dapat berkembang dalam jenis policy-driven
dan cultural driven. Sedangkan regionalisasi desentralistik bisa terdapat pada
keempat jenis pengendali tersebut.
24. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•31
Konsep marketing places: ‘Jogja – Never Ending Asia’: 27
Salah satu komponen pengendali Pemasaran Daerah yang dilakukan
oleh DIY dalam paket ‘Jogja- Never Ending Asia’ tampak jelas peran
dominan dari Sri Sultan sebagai tokoh sosio-kultural yang bertindak
sebagai perekat regionalisasi. Sudah dapat dipastikan seluruh
komponen (Kabupaten/Kota) terkait di wilayah Provinsi DIY secara
afirmatif mengikuti kebijakan yang diambil berdasarkan ikatan tradisi
dan budaya yang telah lama mengakar dan bukan sekedar
berlandaskan tatanan struktur hirarkis pemerintahan. Dalam prosesnya,
aspek figur kultural inilah yang mendominasi aplikasi regionalisasi
dengan pengaruh (elite) culture driven sebagai pengendali proses.
Dalam realita pelaksanaan regionalisasi yang tercermin pada
pemanfaatan platform kerja sama antardaerah dapat terjadi dalam
jumlah yang banyak. Guna memperjelas gambaran pemanfatan, dapat
dilihat pada gambar berikut.
Gambar 6. Pola Ketersinggungan Kerja sama Inter-Regional
Daerah OtonomDaerah Otonom
27
Sebuah upaya pemerintah Provinsi DIY untuk melakukan pemasaran wilayah yang
cenderung berkiblat pada pengertian Kotler (1993) dalam ‘Marketing Places’.
- Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•32
Konsekuensi pelaksanaan regionalisasi seperti yang digambarkan
pada gambar di atas adalah terjadinya sejumlah region yang saling
berhubungan. Bila dalam negara terdapat sebuah sistem tata
pemerintahan (governance) berdasarkan struktur formal yang berlaku
maka dalam regionalisasi desentralistik terjadi sebuah sistem multi-
level governance dalam konteks non-formal. Hal ini dapat terjadi
karena jejaring kerja sama yang terbentuk melalui regionalisasi
menghasilkan berbagai komitmen melalui jejaring tata pemerintahan
berdasarkan musyawarah/konsensus dan bukan berdasarkan
keputusan/kebijakan yang bersifat direktif atau bahkan hasil
pemungutan suara (voting) terbanyak seperti lazimnya dalam praktek
demokrasi.
Di Uni Eropa pemahaman multi-level governance digambarkan
sebagai sebuah kekuatan politik tersendiri (sui generis) yaitu sebagai
sebuah sistem yang memiliki karakteristik, seperti nonhirarkis, berpola
kerja sama (partnership), flexible, dan dinamis. Keseluruhan
karakteristika tersebut terdapat dalam sebuah sistem jejaring politik
yang menjadikan para aktor dari berbagai sektor (publik & swasta) serta
lapisan yang saling bergantung dan memiliki keterkaitan interaksi
berhadapan satu sama lain (jejaring politik). Para aktor bersama-sama
mengupayakan solusi dari permasalahan pembangunan dan
menciptakan kebersamaan secara lintas aktor dalam konteks kerja
sama.28
Kemungkinan implikasi negatif kegiatan kerja sama berupa
blokade keputusan oleh minoritas anggota justru dapat berubah melalui
mayoritas aktor regional terkait dengan pengedepanan sistem negosiasi
musyawarah. Bersamaan dengan upaya negosiasi berdasarkan
musyawarah dapat terjadi praktek (1) policy learning, (2) pengajuan
solusi melalui bentuk pelayanan masyarakat terbaik yang dilakukan
oleh anggota kerja sama terkait, (3) penyesuaian secara
inkrementalistik pada dinamika pembangunan.
Aplikasi networked polity dengan berbagai bentuknya, seperti
multilevel governance dan regional governance dalam konteks
pembagunan desentralistik masih merupakan hal baru bagi Indonesia.
28
Periksa Franz Fallend, 2001:3
25. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•33
Hal ini bisa dimaklumi karena usia pelaksanaan otonomi daerah di
Indonesia juga masih muda. Akan tetapi, pada saatnya nanti akan
dapat terjadi suatu perkembangan yang semakin dinamis oleh adanya
berbagai contoh kemajuan pemanfaatannya di belahan dunia lainnya.
Meier dan Toedling29
menggolongkan region dalam dimensi sub-
nasional, supra-nasional dan trans-nasional. Uraian kajian dalam bab-
bab berikut akan lebih menitikberatkan kepada regionalisasi dalam
konteks sub-nasional dari pada supra- dan trans-nasional.
1. Kegiatan Regionalisasi Trans- dan Supra-Nasional
Keikutsertaan Indonesia dalam kegiatan regionalisasi trans-
nasional dapat dilihat dalam kerja sama multilateral yang secara resmi
oleh Departemen Kimpraswil disebut bentuk-bentuk Kerja sama
Ekonomi Sub-Regional (KESR)30
, yaitu Indonesia-Malaysia-Singapore
Growth Triangle (IMS-GT), Indonesia-Malaysia-Thailand Growth
Triangle (IMT-GT), Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philipines
East Asean Growth Area (BIMP-EAGA), Australia-Indonesia
Development Area (AIDA).35
Sebagai payung dari kegiatan kerja sama
trans-nasional tersebut adalah kerja sama supra-nasional Asian South
East Nation (ASEAN) yang dibentuk pada tahun 1992. Pemanfaatan
regionalisasi sebagai strategi pembangunan dalam rangka
mengantisipasi perdagangan bebas di era globalisasi secara jelas telah
mewarnai konsep ini. Hal ini pula yang menjadi faktor perekat
antarnegara anggota terkait.
29
Maier, Gunter; Toedling, Franz, 1996; pengistilahan mereka tentang sub-, supra- dan
trans-nasional yang paling sering dipergunakan oleh para penulis dan pakar
regionalisasi selama ini.
30
Kerja sama ini disebut sebagai kerja sama subregional karena ASEAN sendiri
dipandang sebagai sebuah REGION yang terdiri dari beberapa negara otonom. Namun
jika mengacu pada penggolongan yang diberikan oleh Maier dan Toedling maka
penggunaan istilah KESR lebih tepat dengan formulasi: Kerja sama Ekonomi Trans-
Nasional.
- Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•34
Gambar 7. Berbagai Region di Asia
MEKONG
TUMEN DELTA
PEARL RIVER DELTA
SIJORI
BIMP-EAGA
Berbagai contoh pelaksanaan regionalisasi trans-nasional dapat
ditemui pula di negara-negara Asia lainnya, antara lain pada Southern
China Growth Triangle (Hongkong, Macao, Taiwan dan Cina), segitiga
pertumbuhan Pearl River Delta (PRD) atau Zhu River Delta. Contoh
pelaksanaan lain adalah Tumen River Area Development Project
(TRADP) yang melibatkan China, Korea Utara, Korea Selatan, Russia,
Mongolia, dan Jepang dalam membentuk free-trade zone di Asia Timur
Laut.
Dalam konteks faktor pengendali proses, kerja sama ini banyak
yang bersifat policy driven. Hal ini ditandai dengan landasan kerja sama
yang bersifat Government to Government dalam bentuk-bentuk
kesepakatan politik yang telah dilakukan antarnegara terkait. Bentuk-
bentuk kesepakatan regionalisasi trans-nasional yang melibatkan
Indonesia dapat diamati dalam tabel 3.
26. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•35
Tabel 3. Bentuk Kesepakatan Regionalisasi Transnasional yang
Melibatkan Indonesia
No. Nama Kerja sama Landasan Kesepakatan
1. IMS – GT (SIJORI) Memmorandum of Understanding (MoU)
multilateral (Indonesia, Malaysia dan
Singapura, 17 Desember 1994 di Johor
Baru
2. IMT – GT Melalui Sidang Tingkat Menteri (Indonesia,
Malaysia dan Thailand) pada bulan Juli
1993 di Langkawi, Malaysia
3. BIMP-EAGA Melalui Sidang Tingkat Menteri (Brunei
Darrussalam, Indonesia, Malaysia dan
Philipina) di Davao City, Philipina pada
bulan Maret 1994.
4. AIDA Melalui perjanjian kerja sama bilateral tingkat
Menteri Indonesia dan Australia (1997)
Dalam kajian literatur Indonesia, bentuk pemahaman regionalisasi
banyak yang berhenti pada pemahaman regionalisasi supra- dan trans-
nasional seperti contoh di atas. Sedangkan bentuk regionalisasi sub-
nasional belum banyak tersentuh. Hal ini tidak mengherankan
mengingat pola perencanaan sentralistik di masa lalu hanya
membutuhkan ‘legalisasi’ proses pendekatan kewilayahan menjadi
sebuah ‘kesatuan wilayah’ (baca: kawasan) melalui kekuatan posisi
hirarkis kewenangan dari Pusat. Dengan demikian, pada pelaksanaan
paradigma pembangunan sentralistik istilah wilayah dapat disamakan
dengan pengertian region. Namun dalam pelaksanaan otonomi daerah,
pembedaan antara wilayah yang tidak perlu mempertimbangkan aspek
tata pemerintahan dengan region, dalam arti sebagai batasan ruang
yang terdiri dari beberapa Daerah Otonom, menjadi aspek yang mutlak
untuk diperhatikan.
- Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•36
Perlukah regionalisasi transnasional diimbangi dengan regionalisasi
subnasional?
Untuk membangun suatu kekuatan regional yang bersifat antarnegara
membutuhkan prakondisi kewilayahan yang bersifat subnasional (ke
dalam). Bila tidak, bagaimana seluruh potensi dan keunggulan daerah
dapat diangkat menjadi suatu kekuatan regional yang sinergis?
Pengalaman regionalisasi transnasional SIJORI menunjukan bahwa
keuntungan pembangunan lebih banyak dirasakan oleh Singapura dan
Johor yang lebih mampu mensinergikan dan mengaktifkan jejaring kerja
sama tersebut secara optimal demi kepentingannya. Perhatikan efisiensi
dan sinergitas lintas sektoral melalui pengelolaan profesional yang telah
mampu mengefektifkan pembangunan di wilayah administratifnya masing-
masing.
Di sisi lain, wilayah Kepulauan Riau dan sekitarnya lebih banyak berperan
sebagai lokasi transit dan penyedia komoditi seperti pasir, batu, kayu, dan
komponen SDA lainnya. Bahkan dalam hal penyediaan komoditas
sekalipun seringkali tidak terwujud suatu kebersamaan/kesepakatan
regional, misalnya pada aspek harga jual. Berbagai potensi dan
keunggulan yang tidak terkoordinasi dan tidak bersinergi ini justru dapat
menghasilkan situasi yang kontraproduktif bagi pembangunan wilayah di
dalam negeri.
Bila SIJORI tidak diimbangi dengan regionalisasi subnasional oleh
Kabupaten/Kota di wilayah Kepri dan sekitarnya maka disparitas
pembangunan wilayah dikhawatirkan masih akan terus berlanjut.
2. Regionalisasi Sub-Nasional
Segala bentuk regionalisasi yang terjadi dalam ruang teritorial-
administratif dalam sebuah negara termasuk dalam kategori
regionalisasi sub-nasional. Karakter khas bentuk regionalisasi ini dapat
diamati melalui para aktor regional terkait yang berasal dari Daerah
Otonom yang bertetangga.
Identifikasi faktor pendorong regionalisasi sub-nasional dapat
dilihat relevansinya dengan aspek latar belakang kegiatan dengan
pendalaman kajian pada aspek tujuan, sasaran, peran aktor terkait,
serta landasan legalitas. Faktor-faktor pendorong ini dapat terdiri dari
aspek hubungan kultural-historis lokal dengan wilayah, homogenitas
27. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•37
sektoral yang membutuhkan aliansi potensi, sumber daya kewilayahan,
dan aspek lain yang relevan dengan pendekatan teknis kewilayahan
(perwilayahan).
Pendorong regionalisasi dapat pula dibedakan atas dua isu
sentral yang menjadi latar belakang, yaitu kepentingan (saling
berpengaruh) dan ketergantungan (saling bergantung). Kedua aspek
tersebut dapat saling berhubungan sehingga sulit untuk dibedakan satu
dengan lainnya, dan terlebih untuk melihat faktor mana yang lebih
mendominasi. Yang dimaksud dengan faktor kepentingan di sini adalah
bagaimana aktor regional melihat manfaat regionalisasi terhadap
kepentingan lokal dalam mencapai visi dan misi pembangunan
daerahnya.
Sektor terpenting dalam pertimbangan penentuan antara faktor
kepentingan dan faktor kebutuhan dapat ditentukan melalui
pengamatan ‘posisi tawar’ daerah terhadap wilayah, khususnya di
bidang ekonomi. Dengan demikian, daerah dengan kondisi ekonomi
yang lebih baik akan lebih memiliki faktor kepentingan dibanding
kebutuhan sebagai perekat regional.
Faktor ketergantungan dapat diperoleh melalui kajian hubungan
ketergantungan daerah terhadap wilayah (local-regional
interdependence). Dengan demikian, semakin tinggi tingkat
ketergantungan daerah terhadap wilayah menyebabkan meningkatnya
faktor pendorong regionalisasi. Semakin kuatnya faktor pendorong
regional dalam membangun kebersamaan mengakibatkan terbukanya
peluang regionalisasi dalam berbagai bentuk, sesuai dengan dinamika
pembangunan.
Bila regionalisasi terjadi pada sebuah pusat pertumbuhan (satuan
administratif: Kota) bersama periphery di sekitarnya yang bertetangga
(daerah otonom lainnya) maka dapat terbentuk sebuah Regional City
yang tidak hanya menggambarkan sebagai suatu sistem fungsional
namun sebagai wilayah kerja sama pembangunan. Contoh
pelaksanaannya dapat ditemui antara lain di Region Salt Lake dan
Seattle, di Amerika Serikat serta Region Hannover di Jerman.
- Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•38
Calthorpe dan Fulton (2001) menggambarkan pengalaman Regional
City bahwa banyak masyarakat di Amerika Serikat tidak lagi menjadi
penduduk kota dalam pengertian tradisional melainkan pada skala region:
“most Americans today do not live in towns- or even in cities- in the
traditional sense that we think of those terms. Instead, most of us are citizen
of a region ...” 31
Hal ini dapat terjadi karena mobilitas antara kota dengan
wilayah sekitar yang semakin tinggi dan tidak lagi menempatkan posisi
fungsinya seperti dahulu. Kini masyarakat kota dapat memiliki tempat kerja
di luar kota atau sebaliknya banyak penduduk sekitar kota yang bekerja di
kota. Gambaran aktifitas regional inilah yang menyebabkan fenomena
Regional City.
Dalam perspektif lain, sebuah region dapat berbentuk Metropolitan
Area yang pada hakikatnya juga terdiri dari beberapa Daerah Otonom.
Lebih lanjut berkembang pula bentuk-bentuk kerja sama kewilayahan yang
terdiri dari beberapa Daerah Otonom yang tidak hanya mengedepankan
aspek fungsional keruangan antara urban/rural serta fungsi dan orde
pelayanan. Dengan demikian konteks fokus kerja sama menjadi aspek
penting dalam pemahaman tentang region. Fokus kerja sama pada aspek
pemasaran regional (regional marketing) yang melibatkan beberapa daerah
otonom terkait akan membatasi wilayah kerjanya dengan aspek keruangan
Kabupaten/Kota terkait. Kerja sama antara sebuah sentra pelayanan (kota)
dengan daerah di sekitarnya dapat menitikberatkan pada penguatan dan
pengembangan fungsi serta pemanfaatan sinergi pemanfaatan ruang dan
sebagainya.
Kristalisasi fokus kerja sama antardaerah dapat menciptakan key
project (proyek unggulan) regional yang saling menguntungkan. Jenis key
project biasanya cenderung sektoral, seperti sektor pertanian, perhubungan,
infrastruktur, pariwisata, kehutanan, dan lain sebagainya.
Berbagai pengalaman pada masa lalu menunjukkan bahwa fokus
kerja sama antardaerah yang dilakukan secara multisektoral – komprehensif
ternyata mengakibatkan over loading kapasitas perencanaan, sehingga
berdampak pada kurang optimalnya sasaran dan hasil pembangunan.
31
Peter Calthorpe & William Fulton (2001) dalam The Regional City: Planning in the
End of Sprawl, chapter 1
28. - Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•39
Gambar 8. Region Fungsional dan Administratif
REGION sebagai
Functional Integrated Area
Development
REGION sebagai
Administrational Integrated Area
Development
C e n te r Center
Regional City Kawasan Kerja sama Antardaerah
Kawasan Kerja Sama Sektoral/Terbatas seperti kawasan hutan,
sumber air tawar, dan pertambangan sebagai hasil kerja sama sektoral
dapat pula menjadi sasaran kegiatan regionalisasi.
Gambar 9. Region Sektoral dan Sektoral Terbatas
REGION sebagai
Sectoral Integrated Area Development
REGION sebagai
Limited Integrated Area Development
Kawasan Kerja sama Sektoral
Contoh: Kawasan Kerja sama Pariwisata
Kawasan Kerja sama Terbatas
Contoh: Wilayah Aliran Sungai32
32
Bila merujuk pada pembahasan awal tentang penggunaan istilah daerah maka
penyebutan Daerah Aliran Sungai (DAS) perlu dikaji kembali mengingat penggunaan
istilah daerah lebih tepat dipergunakan bila menyangkut batasan ruang administratif.
Sub-Sentra
Sub-Sentra
Sub-Sentra
Sentra
Daerah 1 2
3
4
5
Kawasan Kerja
sama KehutananKawasan kerja sama1
Sub-Sentra
Sub-SentraSub-
- Edisi 2 - PPeemmaahhaammaann DDaassaarr RReeggiioonnaall MMaannaaggeemmeenntt ddaann RReeggiioonnaall MMaarrkkeettiinngg
•40
Pemakaian istilah ‘terbatas’ di sini untuk menegaskan bahwa
areal kegiatan kerja sama belum tentu mencakup seluruh wilayah
administratif masing-masing daerah otonom yang terkait. Demikian pula
untuk sektor-sektor tertentu lainnya seperti sektor perhubungan dan
irigasi yang terbatas pada kawasan tertentu yang secara administratif
terletak pada daerah otonom yang terkait/terlibat.
Salah satu konsepsi yang cukup populer dalam kerja sama
sektoral ini antara lain dikenal dengan sebutan Regional Economic
Development (RED) melalui lembaga otorita, lembaga nonprofit,
lembaga bantuan teknis dari negara donor, agency atau bahkan
lembaga dengan pola public-private-partnership (PPP). Konsep seperti
ini telah berkembang pesat di Eropa khususnya di Swiss, Austria,
Jerman, Denmark, dan negara-negara Scandinavia dalam dekade
terakhir ini. Akan tetapi istilah yang dipergunakan untuk
menggambarkan konsep semacam ini relatif beragam, sesuai dengan
pengertian dan ciri khas masing-masing region dan negara. Misalnya di
Jerman, bentuk kerja sama antardaerah dikenal dengan beberapa
istilah: Zweckverband33
, Wirtschaftsregion34
, Regional-
Standortentwicklung.35
Biasanya kerja sama antardaerah yang
dilakukan menitikberatkan kerja sama antardaerah melalui sebuah
lembaga yang disebut Regional Management. Bentuk-bentuk tersebut
biasanya menggambarkan kerja sama sektoral yang dibangun oleh
beberapa daerah otonom bertetangga yang terkait. Adapun tujuan dan
regionalisasi tergantung dari kebutuhan dan kepentingan kerja sama.
Banyak bentuk-bentuk regionalisasi subnasional ditandai dengan
kerja sama antara dua atau lebih lembaga pemerintah daerah pada
suatu wilayah geografis yang berdekatan. Dalam konteks sistem
pemerintahan desentralistik, Priebst36
membagi bentuk regionalisasi
jenis ini berdasarkan aspek struktur formal-kelembagaan menjadi
33
Zweck: ‘tujuan’; Verband: ‘badan’; Badan yang terbentuk untuk mencapai tujuan
tertentu secara bersama-sama.
34
Wirtschaftsregion: Region Ekonomi
35
Regional- Standortentwicklung: Pembangunan Regional.
36
Priebst, A. 2001, hal. 157.