1. Mengerti arti dari qanun, dustur, perundang-undangan
2. Memahami hirarki perundang-undangan di Indonesia
3. Mengetahui penjelasan Hukum Islam sebagai sumber pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia
4. Mengerti maksud dan tujuan perundang-undangan di indonesia
5. Hubungn hukum islam dan konstutisionalisme
1. i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Dengan
segala rahmat, petunjuk dan karunia-Nya, akhirnya saya dapat menyelesaikan Makalah ini.
Meskipun banyak hambatan yang saya alami dalam proses pengerjaan, tetapi saya berhasil
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada pembimbing, Dosen Mata Kuliah
Teknologi Informasi dan Komunikasi Bapak Muhammad Ginanjar Ganeswara M.Pd yang
telah membimbing saya dan kepada teman-teman yang membantu saya dalam menyusun
makalah ini.
Saya berharap atas selesainya makalah ini, makalah ini dapat bermanfaat untuk
mendapatkan informasi bagi siapun yang membacanya.
Saya menyadari sepenuhnya karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
saya sangat membutuhkan kritik dan saran membangun dari para pembaca. Saya mohon maaf
jika ada kata – kata atau kalimat yang kurang tepat. Terima kasih.
Bogor, 20 Oktober 2018
Penulis
2. ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………………………………………………………………… i
Daftar Isi ………………………………………………………….……... ii
BAB I Pendahuluan ………………………………………………………………… 2
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………… 2
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………….... 2
1.3 Tujuan ……………………………………………………….... 2
BAB II Pembahasan ………………………………………………………………… 3
2.1 Pengertian Qanun, Dustur, dan Perundang-undangan ………………… 3
2.2 Hirarki Perundang-Undangan Republik Indonesia ………………… 6
BAB III Penutup ………………………………………………………………… 9
3.1 Kesimpulan …………………………………………………………. 12
Daftar Pustaka …………………………………………………………………. 13
3. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mengingat akan pentingnya arti sebuah pengaturan yang merupakan dasar dari
pembentukan peraturan perundang-undangan dalam mengatur hubungan antar Negara dan
warga Negara. peraturan perundang-undangan juga dapat dipahami sebagai bagian dari
social contrct (kontrak social) yang memuat aturan main dalam berbangsa
dan bernegara.serta satu-satunya peraturan yang di buat untuk memberikan batasan-batasan
tertentu terhadaap jalananya pemerinetahan.sehingga dengan hal itu merupkan hal yang
pentinglah kiranya bagi kita untuk mempeljari dan memahami semua hal yang berhubungan
dengan konstitusi dan perundang-undangan.oleh kerena itu kami akan mencoba
memeberikan sedikit gambaran tentang konstitusi ini secara umum dan bagaimana
peranannya dalam sebuah Negara.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian qanun, dustur dan perundang-undangan?
2. Bagaimanakah hirarki perundang-undangan di Indonesia?
3. Bagaimanakah penjelasan Hukum Islam sebagai sumber pembentukan peraturan
perundang-undangan di Indonesia?
4. Maksud dan tujuan perundang-undangan di indonesia?
1.3 Tujuan makalah
1. Mengerti arti dari qanun, dustur, perundang-undangan
2. Memahami hirarki perundang-undangan di Indonesia
3. Mengetahui penjelasan Hukum Islam sebagai sumber pembentukan peraturan
perundang-undangan di Indonesia
4. Mengerti maksud dan tujuan perundang-undangan di indonesia
5. Hubungn hukum islam dan konstutisionalisme
4. 2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Qanun, Dustur, dan Perundang-undangan
Kanun atau qanun berasal dari bahasa Yunani yang masuk menjadi bahasa Arab
melalui bahasa Suryani, yang berarti “alat pengukur”, kemudian berarti kaidah. Dalam
bahasa Arab melalui kata kerja qanna yang artinya membuat hukum (to make law, to
legislate) kemudian qanun dapat berarti hukum (law), peraturan (rule regulation), undang-
undang (statute, code).
Istilah qanun juga sudahdigunakan sejak lama sekali dalam bahasa atau
budayaMelayu.Kitab "Undang-Undang Melaka" yang disusun pada abad ke limabelas atau
enam belas Masehi telah mengunakan istilah ini. Menurut Liaw Yock Fang istilah ini dalam
budaya Melayu digunakan semakna dengan adat dan biasanya dipakai ketika ingin
membedakan antara hukum yang tertera dalam adat dengan hukum yang tertera dalam kitab
fiqih.[1]Kuat dugaan istilah ini masuk kedalam budaya melayu dari bahasa Arab karena
mulai digunakan bersamaan dengan kehadiaran agamaIslam dan pengunaan bahasa Arab
Melayu di Nusantara. Bermanfaat disebutkan, dalamliteratur Barat pun istilah ini sudah
digunakan sejak lama, diantaranya merujuk kepadahukum kristen(Canon Law) yang sudah
ada sejak sebelum zaman Islam. Dalam bahasa Aceh istilah ini relatif sangat populer dan
tetap digunakan ditengah masyarakat, karena salah satu pepatah adat yang menjelaskan
hubungan adat dansyari'at yang tetap hidup dan bahkan sangat sering dikutip mengunakan
istilah ini. Dalam literatur Melayu Aceh pun qanun sudah digunakan sejak lama, dan
diartikansebagai aturan yang berasal dari hukum Islam yang telah menjadi adat. Salah satu
naskahtersebut berjudul Qanun Syara 'Kerajaan Aceh yang ditulis oleh Teungku di Mulek
padatahun 1257 H , atas perintah Sultan Alauddin Mansur Syah yang wafat pada tahun
1870M. Naskah pendek ini (hanya beberapa halaman) berisi berbagai hal di bidang
hukumtatanegara, pembagian kekuasaan, berbagai badan peradilan dan fungsi kepolisian dan
kejaksaan serta aturan protokoler dalam berbagaiupacara kenegaraan.
Dapat disimpulkan dalam arti sempit, qanun merupakan suatuaturan yang
dipertahankan dan diperlakukan oleh seorang sultan dalam wilayahkekuasaanya yang
bersumber pada hukum Islam, sedangkan dalam arti luas, qanun samadengan istilah hukum
atau adat. Didalam perkembangan nya boleh juga disebutkanbahwa qanun merupakan suatu
istilah untuk menjelaskan aturan yang berlaku di tengahmasyarakat yang merupakan
penyesuaian dengan kondisi setempat atau penjelasan lebihlanjut atas ketentuan didalam
fiqih yang ditetapkan oleh Sultan.Sekarang ini Qanun digunakan sebagai istilah untuk
"Peraturan Daerah Plus" ataulebih tepatnya Peraturan Daerah yang menjadi peraturan
pelaksaan langsung untukundang-undang (dalam rangka otonomi khusus di Provinsi
5. 3
Nanggroe Aceh Darussalam).Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 8 "Ketentuan Umum" dalam Undang-
UndangNomor 18 Tahun 2001 yang telah dikutip di atas.Sejak dimulainya penyelenggaraan otonomi khusus berdasarkan
UU No. 18/01,sudah banyak qanun yang disahkan. Menurut notulen di Sekretariat DPRD ProvinsiNanggroe Aceh
Darussalam, sampai Agustus 2004 telah dihasilkan 49 qanun yangmengatur berbagai materi untuk merealisasikan
kewenangan khusus yang diserahkanPemerintah kepada Pemerintah Provinsi Aceh termasuk pelaksanaan Syari'at
Islam.Untuk yang terakhir ini di bawah akan diuraikan lebih lanjut.
Dalam penggunaannya, Mahmassani menyebutkan bahwa kanun mempunyai tiga arti:
1. Kumpulan peraturan-peraturan hukum atau undang-undang (Kitab Undang-Undang). Istilah ini dipakai seperti
Kanun Pidana Usmani (KUH Pidana Turki Usmani), Kanun Perdata Libanon (KUH Perdata Libanon), dan lainnya..
2. Undang-undang. Perbedaan pengertian yang ketiga ini dengan pengertian pertama adalah bahwa yang pertama itu
lebih umum dan mencakup banyak hal, sedangkan yang ketiga ini khusus untuk permasalahan tertentu. Umpamanya
kanun perkawinan sama artinya dengan Undang-undang Perkawinan. Dapat juga dipakai untuk ungkapan: “DPR dan
pemerintah sedang menggodog kaum tentara larangan minum keras”. Kanun dalam pengertian ini biasanya hanya
mengenai hukum yang berkaitan dengan mu’amalat, bukan ibadat, dan mempunyai kekuatan hukum yang
pelaksanaannya tergantungnegara. Disini beda dengan pembahasaan hukum islam pada umumnya yang biasanya
selalu mencakup mu’amalat dan ibadat.[2]
Sebagai istilh yang mempunyai pengertian yang sama dengan undang-undang, maka kanun ini mempunyai kekuasaan
atau kekuatan untuk pelaksanaannya dan penegakan hukum, ketika sudah menjadi keputusan hakim dipengadilan. Negara
menyediakan perangkat atau alat untuk memaksakan putusan hakim tadi. Ini berarti berbeda dengan karakter fiqih, yang
implementasinya lebihbersifat suka rela yang biasanya berasal dari pengaruh model Eropa.[3]Meminjam itulah Mahmassani,
sebagai berikut:
“pada Zaman Ustmani kata-kata kanun sering dipakai sebagai istilahhukum yang dibuat oleh Negara, yaitu untuk
membedakaannya dari pada aturan hukum Syari’an terutama dalam hal bila mana terdapat perbedaan ketentuan hukum
pada maslah tertentu antara kanun dengan Syari’ah. Misalnya ketentuan laranganriba menurut Syari’ah dimana undang-
undang memperbolehkan pemungutan bunga.”
6. 4
Itulah sebabnya, kehadiran qanun diturki sejak awal ditolak oleh beberapa ulma.Jadi, pada waktu itu ada semacam
persaingan atau pertentangan antara kanun yang diproduksi oleh penguasa dalam fiqih yang diproduksi ataau dipelihara oleh
ulama.Kanun mempunyai kekuatan untuk mengikat dengan sanksi dan alat untuk dilaksanakan; sedangkan fiqih lebih
bersifat kerelaan yang mendasarkan pada tanggung jawab diahirat kelak.
· Dustur (undang-undang)
Menurut UU No. 10 tahun 2004 yang dimaksud dengan UU adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk
oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden (pasal 1 angka 3). Dengan kata lain dapat diartikan sebagai, peraturan–
peraturan tertulis yang dibuat oleh pelengkapan negara yang berwenang dan mengikat setiap orang selaku wagar negara. UU
dapat berlaku apabila telah memenuhi persayratan tertentu.
Undang-undang :
peraturan yang dibentuk oleh alat perlengkapan Negara yang berwenang dan mengikat masyarakatUndang-undang dalam
arti materil :
setiap peraturan perundangan yang isinya mengikat masyarakat secara umum
Undang-undang dalam arti formal :
setiap peraturan perundangan yang dibentuk oleh alat perlengkapan Negara yang berwenang melalui tata cara dan prosedur
yang berlaku.
syarat undang – undang
Kekuatan berlakunya undang-undang ini perlu dibedakan dari kekuatan mengikatnya undang-undang.Telah
dikemukakan bahwa undang-undang mempunyai kekuatan mengikat sejak diundangkannya didalam lembaran Negara.Ini
berarti bahwa sejak dimuatnya dalam lembaran Negara setiap orang terikat untuk mengakui eksistensinya.Kekuatan
berlakunya undang-undang menyangkut berlakunya undang-undang secara operasional.
· Perundang-undangan
Menurut Solly Lubis, perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan Negara. Dengan kata lain, tatacara
mulai dari perencanaan (rancangan), pembahasan, pengesahan ataau penetapan dan ahirnya pengundangan peraturan yang
bersangkutan. Adapun peraturan negra adalah peraturan-peraturan tertulis yang diterbitkan oleh instansi resmi, baik dalam
pengertian lembaga atau pejabat tertentu. Dengan demikian, perundang-undangan meliputi Undang-Undang (UU), Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (Perpem), Peraturan Daerah (Perda), Surat Keputusan
7. 5
(SK), Instruksi (Instr), Sedangkan “Peraturan Perundangan” berarti peraturan mengenai tatacara pembuatan peraturan Negara
(Solly Lubis, 1989: 1-2).
Pemakaian istilah-istilah tersebut diatas, dapa diketahui dari Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat (RIS
1949), Undang-Undang Dasar sementara 1950 (UUDS 1950), Undang-Undang Dasar RI 1945 (UUD 1945) dan Undang-
Undang. Di Indoesia dikenal hukum tidak tertulis ( Hukum Adat) dan Hukum Tertulis. Hukum tertulis adalah hukum
perundang-undangan yang dikeluarkan oleh badan-badan kenegaraan yang berhak dibidang legislative, yaitu Undang-
Undang dan peraturan lain berdasarkan undang-undang seperti peraturan pemerintah, peraturan daerah provinsi, peraturan
daerah kabupaten/kota yang berotomoni.
Dalam undang-undang dasar republic Indonesia serikat 1949, istilah perundang-undangan dipakai didalam rumusan
pasal 51 ayat 3 yang menyebutkan “perundang-undangan federal”.Dalam undang-undang dasar sementara 1950, istilah ini
disebukan dalam bagian II dengan judul “Perundang-undangan”.Dan dalam rumusan pasal 89 yang menyebutkan “kekuasaan
perundang-undangan”.Sedangkan dalam pasal 102 undang-undang dasar 1950 disebutkan “perundang-undangan.”[4]
8. 6
2.2 Hirarki Perundang-Undangan Republik Indonesia
Indonesia sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat 3, UUD'45) tentulah -harus- memiliki
peraturan perundang-undangannya.Dalam perkembangannya, aturan perundang-undangan
tersebut masuk dalam beberap fase.Hal itu tidaklah terlepas dari sejarah Indonesia itu
sendiri.Rupanya, sejarah memang menentukan hukum suatu negara, suatu
bangsa.Maknanya, sejarah disini memberikan pengetahuan bahwa pentingnya kita untuk
menelisik lebih dalam kedalam suatu peraturan yang diberlakukan dimasanya (hukum positif
pada saat itu).Mengapa penulis menyinggung hal ini, karena untuk masuk kedalam fase-fase
perubahan hierarki peraturan perundang-undangan, mau tidak mau kita harus membuka
kembali sejarah.Sejauh ini, perubahan tata urutan perundang-undangan, berkaitan dengan
perubahan rezim kepemimpinan.Diantaranya masa orde lama (Surat Presiden Tanggal 20
Agustus 1959), masa transisi orde lama-orde baru (TAP MPRS No.XX/MPRS/1966), masa
transisi reformasi (TAP MPR No.III/MPR/2000), masa reformasi (UU No. 10 Tahun 2004
dan UU No. 12 Tahun 2011). Adapun untuk penjabarannya akan dijelaskan dibawah ini.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan tidak lagi menempatkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
dalam jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Memang betul pada Pasal 7
dinyatakan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud ayat
(1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”, serta kemudian juga
dijelaskan lagi dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4), tetapi harus dikatakan bahwa status hukum
tetaplah tidak jelas. Adanya ketidakpastian terhadap eksistensi ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku
tersebut keberadaannya tidak lagi diakui pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat cenderung mengabaikan ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku tersebut baik dalam proses pembentukan
undang-undang maupun dalam perumusan kebijakan negara.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 telah mengandung kesalahan yang sangat
mendasar.Akibat kesalahan ini maka Ketetapan MPR RI No I/MPR/2003 menjadi tidak jelas
statusnya. Di masa dulu, pelanggaran terhadap ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
bisa mengakibatkan jatuhnya memorandum DPR yang berujung pada impeachment, tetapi
pasca amandemen UUD 1945 langkah politik semacam itu tidak bisa lagi digunakan. Sebab,
Pasal 7A UUD 1945 menyatakan bahwa impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil
9. 7
Presiden hanya bisa dilakukan apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau melakukan perbuatan tercela, dan atau apabila terbukti tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Padahal ada 11 (sebelas)
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang sangat penting dan krusial jika diabaikan,
apalagi dilanggar. Disana ada TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI,
TAP MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan,
Pembagian, dan Pemamfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, Serta Perimbangan
Keungan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI, TAP MPR No VII/MPR/2001 tentang
Visi Indonesia Masa Depan, TAP MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam, TAP MPR No VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan
Berbangsa, dan TAP-TAP MPR lainnya yang sangat penting dan strategis. Tapi semuanya
tidak ada sanksi dan konsekuensi apapun baik secara hukum, politik, maupun manakala
dilanggar. Seperti halnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang tidak jadi dibentuk
sehingga pelanggaran HAM seperti Kasus 1965, Tanjung Priok, Lampung, Kasus Orang
Hilang, dan sebagainya kehilangan modus dan instrumennya untuk menyelesaikannya.
Sebab, modus dan instrument yang sangat bijak seperti yang diamanatkan oleh TAP MPR
No V/MPR/2000 diabaikan.
Pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, keberadaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
menjadi tidak jelas. Karena dalam undang-undang ini posisi Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat dikeluarkan dari hirarki peraturan perundang-undangan di
Indonesia.Nasib Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berjumlah 139 buah
menjadi tidak jelas status hukumnya.Namun, kondisi ini berakhir setelah DPR dan
Pemerintah telah sepakat memasukkan kembali Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan.Hal ini terungkap dalam Rapat Panitia
Khusus revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Sehingga dari rapat tersebut, Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 dibahas kembali dalam sidang DPR sehingga direvisi
menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Dalam undang-undang terbaru hasil revisi ini Ketetapan MPR (S) kembali
dicantumkan dalam tata urut peraturan perundangan Indonesia.
10. 8
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 memuat tentang ketentuan baru,
yakni masuknya kembali Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hierarki dalam
peraturan perundang-undangan.
Dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa hirarki peraturan perundang-undangan
terdiri dari:
· UUD 1945
· Ketetapan MPR
· Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
· Peraturan pemerintah
· Peraturan Presiden
· Peraturan Daerah Propinsi dan
· Peraturan Daerah Kabupaten.[5]
Dari pasal di atas, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat menduduki posisinya
yang benar dalam sistem hukum di Indonesia dan kembali menjadi sumber hukum formal
dan material.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat harus kembali menjadi rujukan
atau salah satu rujukan selain UUD 1945 bukan hanya dalam pembentukan perundang-
undangan di Indonesia, melainkan juga dalam pembentukan kebijakan-kebijakan publik
lainnya.DPR dan Pemerintah (Presiden) mutlak harus memperhatikan ketetapan-ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku, bahkan merujuk kepadanya dalam
pembentukan undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya.[6]
11. 9
No Perihal Perbedaan
UU NO.10 TAHUN 2004 UU NO.12 TAHUN 2011
.
Penambahan
kata
Pasal 5: Dalam
membentuk peraturan
perundang -undangan
harus berdasarkan pada
asas pembentukan
peraturan perundang-
undangan
Pasal 5 : Dalam membentuk
peraturan perundang-
undangan harus dilakukan
berdasarkan pada asa
pembentukan peraturan
perundang-undangan.
2. Pasal 5 Point b:
Kelembagaan atau organ
pembentuk yang tepat
Pasal 5 Point b:
Kelembagaan atau
pejabat pembentuk yang
tepat
3. Pasal 5 Point c:
Kesesuaian antara jenis
dan materi muatan
Pasal 5 Point c:
Kesesuaian antara
jenis, hirarki dan materi
muatan
4. Pasal 6 ayat (1) :
materi muatan peraturan
perundang-undangan
mengandung asas
Pasal 6 ayat (1):
materi muatan peraturan
perundang-undangan
harusmencerminkan asas
5. Penggolongan
pasal
Pasal 7 tentang jenis dan
hirarki peraturan
perundang-undagnan
masuk pada BAB II dan
materi muatan pada BAB
III
Pasal 7 jenis dan hirarki
peraturan perundang-
undangan dan materi
muatan pada BAB III
6. Penambahan
materi
Pasal 7 :
Jenis dan hirarki peraturan
perundang-undangan
adalah sebagai berikut:
a. UUD RI 1945
b. UU/PERPU
c. PP
d. PERPRES
e. PERDA
Pasal 7 :
Jenis dan hirarki peraturan
perundang-undangan adalah
sebagai berikut:
a. UUD RI 1945
b. TAP MPR
c. UU/PERPU
d. PP
e. PERPRES
f. PERDA PROV
g. PERDA KAB/KOTA
7. Penghapusan
pasal
Pada BAB II pasal 7, ayat
2 dan 3 mengatur tentang
PERDA.
TELAH DIHAPUS
Pasal 7 ayat (5) dipindahkan
menjadi pasl 7 ayat (2)
12. 10
8. Penggantian
pasal
1. Pasal 9
2. Pasal 10
3. Pasal 11
Pasal 11
Pasal 12
Pasal 13
9. Penggantian
dan
penambahan
materi
Pasal 14 : materi muatan
mengenai ketentuan
pidana hanya dapat dimuat
dalam UU dan PERDA.
Pasal 15:
(1) materi muatan mengenai
ketentuan pidana hanya
dapat dimuat dalam:
a. UU
b. Peraturan daerah
Provinsi; atau
c. peraturan daerah kab/kota
(2) ketentuan pidana
sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 huruf b dan c
berupa ancaman pidana
kurungan paling lama 6
bulan atau pidana denda
paling bsnyak
Rp.50.000.000 (lima puluh
juta rupiah)
10. Penggantian
dan
penambahan
materi
Pasal 8 :
Materi muatan yg harus
diatur dengan UU berisi
hal-hal yang :
a. Mengatur lebih lanjut
ketentuan UUD RI 1945
yang meliputi :
1. HAM
2. Hak dan kewajiban
warga negara
3. Pelaksanaan dan
penegakan kedaulatan
negara serta pembagian
kekuasaan negara
4. Wilayah negara dan
pembagian daerah
5. Kewarganegaraan dan
kependudukan
6. Keuangan negara
b. Diperintahkan oleh suatu
UU untuk diatur dg UU
Pasal 10 :
(9(1) Materi muatan yang harus
diatur dengan UU berisi :
a. Pengaturan lebih lanjut
mengenai ketentuan UUD RI
1945
b. Perintah suatu UU untuk
diatur dengan UU
c. Pengesahan perjanjian
internasional tertentu
d. Tindak lanjut atas putusan
MK dan/atau
e. Pemenuhan kebutuhan
hukum dalam masyarakat
(2) Tindak lanjut atas
putusan MK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
huruf d dilakukan oleh DPR
atau Presiden
13. 11
(3) PerDa prov dan PerDa
Kab/kota dapat memuat
ancaman pidana kurungan
atau pidana denda selain
sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) sesuai dengan
yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan
lainnya
Pasal baru Belum diatur Pasal 9 :
(1) Dalam hal suatu UU diduga
bertentangan dg UUD 45,
pengujiannya dilakukan oleh
MK
(2) Dalam hal suatu
peraturan perundang-
undangan di bawah UU
diduga bertentangan dg UU,
pengujiannya dilakukan oleh
MA
11. Penambahann
pasal baru dan
pemindahan
pasal
Pasal 8 dalam BAB III
mengatur tentang materi
muatan
Pasal 8 merupakan pasal
baru, terdapat dua ayat. Dan
ayat yang kedua merupakan
ayat 4 dalam pasal 7 pada
UU no.10 tahun 2004.
14. 12
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
1. Kanun atau qanun berasal dari bahasa Yunani yang masuk menjadi bahasa Arab
melalui bahasa Suryani, yang berarti “alat pengukur”,
2. Menurut UU No. 10 tahun 2004 yang dimaksud dengan UU adalah peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden
(pasal 1 angka 3).
3. Menurut Solly Lubis, perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan
Negara. Dengan kata lain, tatacara mulai dari perencanaan (rancangan)
4. Hirarki perundang-undangan di Indonesia
o UUD 1945
o Ketetapan MPR
o Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
o Peraturan pemerintah
o Peraturan Presiden
o Peraturan Daerah Propinsi danPeraturan Daerah Kabupaten.
5. Maksud dan tujuan perundang-undangan Secara umum,peraturan perundang-
undangan fungsinya adalah “mengatur” sesuatu substansiuntuk memecahkan suatu
masalah yang ada dalam masyarakat.
15. 13
DAFTAR PUSTAKA
- Subhi Muhmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, terjemahan Ahmad Sudjono dari buku
falsafat Al-Tasyri’ Fi al_Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1981 ), 22.
- https://matakedip1315.wordpress.com/2014/02/06/pengertian-undang-undang/
-http://fatwarohman.blogspot.com/2014/10/hierarki-peraturan-perundang-
undangan.html/12-03-2015/8:44
- Mertokusumo, Sudikno, 2010. MENGENAL HUKUM: Suatu Pengantar (Edisi Revisi). -
Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka
- Yuniagara, Riki. Jenis dan Hirarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia dalam
Lintas Sejarah
[1]Liaw Yock Fang 1975:178
[2] Subhi Muhmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, terjemahan Ahmad Sudjono dari buku
falsafat Al-Tasyri’ Fi al_Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1981 ), 22.
[3] Encyclopaedia, IV: 558.
[4]https://matakedip1315.wordpress.com/2014/02/06/pengertian-undang-undang/16-03-
2015/10.00
[5]http://fatwarohman.blogspot.com/2014/10/hierarki-peraturan-perundang-
undangan.html/12-03-2015/8:44
[6]Mertokusumo, Sudikno, 2010. MENGENAL HUKUM: Suatu Pengantar (Edisi Revisi).
Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka
Yuniagara, Riki. Jenis dan Hirarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia dalam Lintas
Sejarah