kekeruhan tss, kecerahan warna sgh pada laboratprium
WADIAH
1. MAKALAH
HUKUM EKONOMI ISLAM & HUKUM WARIS ISLAM
“ WADIAH ”
Dosen Pembimbing:
MOHAMMAD HENDRA, M.Pd.I
Disusun Oleh;
Kelompok 14
1. ROFIATUL UMROH ( 742012020016 )
2. QOYYIMAH NUR LAILI Z ( 742012020023 )
SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM ZAINUL HASAN
KRAKSAAN - PROBOLINGGO
TAHUN 2022 - 2023
2. ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
Nikmatnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
makalah ini tepat pada waktu yang telah di tetapkan.
Makalah ini disusun dalam rangka memperdalam pemahaman tentang
metode atau pemahaman mahasiswa dalam mengetahui tentang wadiah,
sekaligus dalam rangka memenuhi salah satu syarat penilaian mata kuliah
Hukum ekonomi islam & hukum waris islam di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum
Zainul Hasan Genggong, Penyusunan makalah ini tidak berniat untuk
mengubah materi yang sudah tersusun. Hanya lebih pendekatan pada studi
banding atau membandingkan beberapa materi yang sama dari berbagai
referensi. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Mohammad Hendra,
M. Pd.I. telah memberikan kesempatan bagi kami untuk mengerjakan tugas ini
sehingga kami menjadi mengerti dan memahami tentang Hukum ekonomi
islam & hukum waris islam.
Terimakasih kepada teman-teman yang telah banyak membantu kami dalam
terselesainya makalah ini dengan baik dan sesuai dengan waktu yang telah di
tentukan semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas
kepada kita semua
Disini kami sadar banyak kekurangan dam penulisan atau penyusunan
sehingga Kami mohon saran dan kritik yang sifatnya membangun agar
makalah ini dapat menjadi lebih baik.
Kraksaan, 08 Juni 2023
Penulis,
Kelompok 14
3. iii
DAFTAR ISI
COVER HALAMAN................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 3
C. Tujuan Makalah................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian wadiah.............................................................................. 4
B. Landasan Hukum Wadiah ................................................................. 5
C. Rukun Akad Wadi’ah dan Syarat-Syaratnya..........................................6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
4. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kehidupan masyarakat yang semakin berkembang merupakan efek dari era
globalisasi. Beberapa faktor dinilai mempengaruhi perkembangan kehidupan
masyarakat, seperti bidang sosial, budaya, dan ekonomi. Kegiatan ekonomi erat
hubungannya dengan kehidupan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Perilaku masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya terlihat ketika melakukan
kegiatan transaksi atau bermuamalat dengan pihak lain, seperti pada pola masyarakat
untuk mempertahankan hidup dengan memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan,
dan berinvestasi untuk kehidupan masa datang.
Kegiatan investasi diharapkan oleh masyarakat dapat membantu memenuhi
kebutuhan hidup di masa datang. Beberapa model investasi dapat dilakukan dengan
cara menabung dan menanam saham. Kegiatan investasi ini erat kaitannya dengan
lembaga keuangan baik bank konvensional maupun bank syari’ah. Kondisi yang
demikian, investasi di perbankan saat ini banyak diminati masyarakat sebagai
kebutuhan penunjang di masa depan.Tingkat pengetahuan para ahli ekonomi Islam
dengan teori barunyamengenai perbankan, diikuti dengan meningkatnya nasabah
dalam menjalinhubungan dengan perbankan. Teori perbankan tersebut dikembangkan
denganmengadopsi ilmu ekonomi Islam yang merujuk pada fiqih muamalat dan
diterapkanpada dunia perbankan, kemudian dikenal dengan perbankan syari’ah yang
beroperasiberdasarkan prinsip syari’ah.
Ide teori perbankan disampaikan oleh tokoh perbankan Anwar Qureshi,
dikutip oleh Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya Perbankan Islam, menyampaikan
konsep mengenai pembebasan diri dari sistem bunga bank. Teori tersebut melahirkan
konsep teoritis dengan sistem prinsip bagi hasil . 1
Pada perkembangannya, muncul
bank Islam sebagai penerapan dari teori yang disampaikan yang merujuk pada ilmu
fiqih muamalat. Tujuan didirikan lembaga keuangan berdasarkan etika Islam yaitu
1 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam, (Jakarta:Pustaka Utama Grafiti, 1999), 4.
5. 2
sebagai upaya kaum muslim untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya
sesuai dengan norma dalam al-qur’an dan hadits
Pada pelaksanaan operasional perbankan syari’ah dikendalikan oleh tiga
prinsip dasar, yaitu dihapuskannya bunga dalam segala bentuk transaksi, dilakukanya
segala bisnis yang sah, berdasarkan hukum serta perdagangan komersial dan
perusahaan industri, dan memberikan pelayanan sosial yang tercermin dalam
penggunaan dana zakat untuk kesejahteraan fakir miskin.2
Perbankan secara umum baik bank konvensional maupun bank syari’ah,
memiliki tiga fungsi utama, yakni menghimpun dana dari masyarakat, menyalurkan
dana ke masyarakat, dan memberikan pelayanan dalam bentuk jasa. 3
Merujuk pada
fungsi pertama menghimpun dana dari masyarakat, terkait dengan penelitian ini
peneliti menentukan produk Giro Wadi’ah yang terangkai pada akad wadi’ah sebagai
salah satu produk perbankan syari’ah untuk diteliti kemurniaan akadnya. Artinya dari
teori akad wadi’ah yang berarti titipan murni menurut fiqih muamalat, pada praktek
operasional di perbankan syari’ah menggunakan prinsip wadi’ah yad-dhamanah
setelah adanya pergeseran prinsip atau pemekaran makna yang berimplikasi pada
akibat hukumnya. Sementara fiqih klasik tidak mengenal wadi’ah yad-dhamanah,
atau menyamakan prinsip wadi’ah yad-dhamanah dengan qardh (piutang). Secara
prinsip produk ini dinilai berbeda dengan prinsip wadi’ah (titipan murni) menurut
fiqih muamalat klasik
Secara umum pengertian al-wadi’ah diyakini sebagai titipan atau simpanan
murni. Dipandang dari pendapat ulama’ klasik dan kontemporer, maka terdapat
perbedaan makna secara tekstual sehingga praktek dan pemahaman akad wadi’ah
berbeda. Pendapat ulama’ klasik mengenai al-wadi’ah adalah akad seseorang kepada
orang lain dengan menitipkan sesuatu benda untuk dijaga dengan baik. Jika terdapat
kerusakan pada benda titipan, dan kerusakan itu bukan karena kelalaian
penerimatitipan, maka penerima titipan tidak wajib menggantinya. Sebaliknya jika
kerusakan akibat kelalaian penerima titipan maka penerima titipan wajib untuk
menggantinya4
.
2
M. Abdul Manan dan Sonhadji, Teori dan Praktik Ekonomi Islam: Dasar-Dasar Ekonomi Islam,
(JakartaL: PT. Dana Bakti Wakaf, 1995), 203.
3 smail, Manajemen Perbankan: Dari Teori Menuju Aplikasi, (Cet.1, Jakarta: Kencana, 2010), 4.
4 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 179.
6. 3
Produk perbankan syari’ah yang menggunakan akad wadi’ah atau titipan
dana dikategorikan menjadi Giro, Tabungan, Deposito ataupun Safe Deposit Box.
Menurut ulama’ fiqih, titipan dana di perbankan konvensional merupakan refleksi
dari bentuk qardh (pinjaman). Hal ini seharusnya berbeda dengan bank syari’ah,
ketika menggunakan prinsip titipan dengan akad wadi’ah, dimana pihak perbankan
hanya bertindak sebagai penerima titipan, bukan pihak yang bertanggung jawab
penuh terhadap dana yang dititipkan. Pendapat ini sesuai dengan al-qur’an dan hadits
yang digunakan sebagai dasar hukum wadi’ah, bahwa tidak ada tanggung jawab
penuh bagi penerima titipan selama tidak melakukan kelalaian atau memberikan
jaminan kepada penitip.
Ulama sepakat bahwa konsep wadi’ah yad-dhamanah berdasarkan prinsip
kepercayaan (yad-amanah), bukan merupakan prinsip penggantian (yad-dhamanah).
Artinya ketika aset mengalami kerusakan yang disebabkan bukan karena kelalaian
penyimpan, maka penerima titipan tidak berkewajiban mengganti. Selain itu,
penerima titipan berkewajiban mengembalikan aset segera ketika penitip
memintanya. Nasabah yang menabung di bank syari’ah menggunakan berbagai
produk dan akad yang berbeda. Akad umum yang digunakan nasabah untuk
menabung atau menitipkan dananya di bank syari’ah yaitu akad wadi’ah dan
mudharabah.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian Wadiah ?
2. Apa saja rukun syarat dan macam macam wadiah ?
C. TUJUAN MAKALAH
1. Untuk mengetahui tentang hukum ekonomi islam & hukum waris islam.
2. Untuk memenuhi tugas dari dosen mata kuliah hukum ekonomi islam & hukum
waris islam.
7. 4
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN WADI’AH
Dalam tradisi fiqh Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip
al-wadi’ah. Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak
lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan
saja si penitip menghendak5
.
Dalam tradisi fiqh Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip
al-wadi’ah. Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak
lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan
saja si penitip menghendaki. Dalam bahasa Indonesia wadi’ah berarti “titipan”. Akad
wadi’ah merupakan suatu akad yang bersifat tolong menolong antara sesame
manusia.6
Menurut ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan wadi’ah dengan,
“Mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang
jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat”.Menurut ulama Mahzab Maliki,
Mahzab Syafi’i, dan Mahzab Hanbali(jumhur ulama), mendefinisikan wadi’ah
dengan, “Mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara
tertentu. Menurut ulama Mahzab Maliki, Mahzab Syafi’i, dan Mahzab Hanbali
(jumhur ulama), mendefinisikan wadi’ah dengan, “Mewakilkan orang lain untuk
memelihara harta tertentu dengan cara tertentu. Al-Wadi’ah atau dikenal dengan nama
titipan atau simpanan,merupakan titipan murni dari satu pihak kepada pihak lain, baik
perseorangan maupun bada hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja
apabila sipenitip menghendaki.
5 Menurut ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan wadi’ah dengan,“Mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik
dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat”
6 Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., Perbankan Islam: Dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia,
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, h. 55, 2007
8. 5
B. LANDASAN HUKUM WADIAH
1. AL-QUR’AN QS An Nissa’ : 58
َّ
ِنا َّ
ه ٰ
ّللا َّۡمُكُرُمۡاهي َّۡ
نها ُّوادهؤُت َِّتٰن ٰمه ۡ
اۡل ىِٰٰٓلا اههِلۡهها َّ
ۙ اهذِا هو َّۡمُت ۡهمكهح َّهنۡيهب َّ ِ
اسالن َّۡ
نها ا ۡ
وُمُك ۡ
هحت َِّلۡدهعۡالِب َّ
ۙ َّ
ِنا َّ
ه ٰ
ّللا اِمعِن َّۡمُكُظِعهي هِب
َّ
ۙ َّ
ۙ
َّ
ِنا َّ
ه ٰ
ّللا َّههانك اًۢعۡيِمهس ارۡي ِ
صهب
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat.”
2. Fatwa MUI ini berdasarkan fatwa DSN 02/DSN-MUI/IV/2000 Tabungan
I. Pertama:
a. Tabungan ada dua jenis: Tabungan yang tidak dibenarkan secara
syariah, yaitu tabungan yang berdasarkan perhitungan bunga
b. Tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip
mudharabah dan wadi’a.
II. Kedua: ketentuan umum tabungan berdasarkan mudharabah7
1) Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau
pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola
dana.
2) Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai
macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan
mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak
lain.
3) Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuktunai dan
bukan piutang.
4) Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan
dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
7
Fatwa DSN 02/DSN-MUI/IV/2000: tentang Tabungan
9. 6
5) Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan
menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6) Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah
tanpa persetujuan yang bersangkutan.
III. Ketiga: ketentuan umum tabungan berdasarkan wadi’ah:
a. Bersifat Simpanan
b. Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan
c. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian
yang bersifat sukarela dari pihak bank
C. Rukun Akad Wadi’ah dan Syarat-Syaratnya
I. Rukun Akad Wadi’ah
Rukun akad wadi’ah menurut para ulama mazhad hanafiadalah ijab dan
qabul, yaitu penitip berkata kepada orang lain, sedangkan Menurut jumhur ulama,
rukun akad wadi’ah ada empat yaitu dua orang yang melakukan akad orang yang
titip dan orang yang dititipi, sesuatu yang dititipkan dansighah (ijab qabul).Qabul
dari orang yang dititipi bisa berupa lafal misalnya,saya menerimanya. Bisa juga
suatu tindakan yang menujukan hal itu, seprti ada orang meletakan harta di tempat
orang lain, lalu orang itu diam saja, maka diamnya orang kedua tersebutmenempati
posisi qabul, sebagaimana dalam jual beli muathah.
II. Syarat-syarat Akad Wadi’ah
Dalam akad wadi’ah memiliki dua syarat, yaitu:
1) Ijab dari penitip dan qabul dari penjaga, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Lebih dari sekali telah kami jelaskan bahwa ijabdan qabultermasuk rukun.
Sekedar izin dari pemilik untuk menjaga hartanya itu tidaklah cukup. Untuk
itu,harus terdapat kesepakatan antara kehendaknya dan kehendakpenjaga untuk
menjaga harta akad akan terjadi.
2) Kedua belah pihak harus memiliki kelayakan untuk melakukan akad-akad yang
berkaitan dengan harta. Jika
seseorang yang balig dan berakal menerima titipan dari anak kecil atau orang
10. 7
gila maka dia harus menjamin barangtersebut meskipun bukan karena kesalahan
atau kelalaiannya.8
Menurut para ulama hanafi. Dua orang yang melakukan akad wadi’ah
disyaratkan harus berakal, sehingga tidak sah penitipan anak kecil yang tidak
berakal dan orang gila. Sebagaimana tidak sah juga
menerima titipan dari orang gila dan anak kecil yang tidak berakal. Tidak
disyaratkan sifat bilang dalam hal ini, sehingga sah penitipan dari anak kecil
yang dibolehkan untuk berjualan, karena penitipan ini termasuk yang
diperlukan oleh seorang penjual. Sebagaimana sah juga penitipan kepada anak
kecil yang telah diperbolehkan melakukan jual beli, karena ia termasuk yang
biasa melakukan penjagaan.
Adapun anak kecil yang mahjur dihalangi untuk membelanjakan harta,
maka tidak sah menerima titipan darinya, karena umumnya anak kecil tersebut
tidak mampu menjaga harta. Menurut jumhur ulama,
dalam akad wadi’ah disyaratkan pula hal-hal yang disyaratkan dalam wakalah,
seprti balig, berakal, dan bisa mengatur pembelanjaan harta.Dalam akad
wadi’ah sesuatu yang dititipkan disyaratkan dapat diterima,
sehingga jika seorang menitipkan budak yang sedang melarikan diri untuk
burung yang sedang terbang di udara atau harta yang jatuh di dalam laut maka
orang yang dititipi tidak wajib memberikan gnati jika terjadi hal-hal yang tidak
dinginkan pada titipan itu.
III. Macam Macam Wadi’ah
Macam-macam wadi’ah dibedakan menjadi 2 yaitu:
1) Wadi’ah Yad amanah merupakan titipan murni, yakni pihak yang dititipi tidak
boleh memanfaatkan dana atau barang yang dititipi tidak boleh memanfaatkan
dana atau barang yang dititipkan berhak meminta biaya penitipan. Sewaktu
titipan dikembalikan harus dalam keadaan utuh, baik nilai maupun fisik barang.
Jika selama dalam penitipan terjadi kerusakan maka pihak yang menerima
titipan dibebani tanggungjawab.
8
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Imam Ja’far Shadiq, Jakarta: Penerbit Lentera, h. 616,
2009.
11. 8
2) Wadi’ah Yad Dhamanah titipan yang penerima titipan diperbolehkan
memanfaatkan dan berhak mendapat keuntungan dari barang titipan tersebut.
Dari keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan barang titipan ini dapat
diberikan sebagian kepada pihak yang menitipkan dengan syarat tidak
diperjanjikan sebelumnya.
12. 9
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam tradisi fiqh Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip al-
wadi’ah. Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain,
baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si
penitip menghendaki.
Rukun akad wadi’ah menurut para ulama mazhad hanafiadalah ijab dan qabul,
yaitu penitip berkata kepada orang lain, sedangkan Menurut jumhur ulama, rukun akad
wadi’ah ada empat yaitu dua orang yang melakukan akad orang yang titip dan orang
yang dititipi, sesuatu yang dititipkan dansighah (ijab qabul).Qabul dari orang yang
dititipi bisa berupa lafal misalnya,saya menerimanya. Bisa juga suatu tindakan yang
menujukan hal itu, seprti ada orang meletakan harta di tempat orang lain, lalu orang itu
diam saja, maka diamnya orang kedua tersebutmenempati posisi qabul, sebagaimana
dalam jual beli muathah.
13. DAFTAR PUSTAKA
Ismail, 2010 Manajemen Perbankan: Dari Teori Menuju Aplikasi, : Kencana, Cet.1, Jakarta.
Manan dan Sonhadji,M. Abdul 1995 Teori dan Praktik Ekonomi Islam: Dasar-Dasar
Ekonomi Islam,: PT. Dana Bakti Wakaf, Jakarta
Sjahdeini, S.H., Prof. Dr. Sutan Remy 2007 Perbankan Islam: Dan Kedudukannya Dalam
Tata Hukum Perbankan Indonesia,: Pustaka Utama Grafitih, Jakarta.
Sjahdeini, Sutan Remy 1999 Perbankan Islam, : Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
Suhendi, Hendi 2010 Fiqh Muamalah,: Rajawali Pers, Jakarta.