SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 18
1 
BAB I 
PENDAHULUAN 
1.1 Latar Belakang 
Kata Korupsi mungkin sudah tidak menjadi hal yang asing lagi di telinga masyarakat 
Indonesia, pasalnya hampir setiap hari media disibukkan dengan pemberitaan korupsi, baik di 
media surat kabar maupun media elektronik di negeri ini. Sehingga Korupsi jelas menjadi 
fenomena memprihatinkan bagi bangsa ini. Bangsa yang luhur, beretika, bermoral ketimuran 
kini mulai luntur seiring menghegimoninya praktik korupsi. 
Tindakan Korupsi di sini dapat dipahami sebagai penyalahgunaan kekuasaan demi 
keuntungan pribadi atau kelompok. Selain itu tindakan korupsi tersebut juga dapat diartikan 
sebagai pengutamaan kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh para 
pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan (Braz dalam Lubis dan Scott; 1985). 
Beberapa tahun terakhir ini masyrakat Indonesia tanpa henti disuguhi dengan 
sederetan sandiwara di panggung dunia hukum. Semuanya bermuara pada tidak adanya 
perpaduan antara penerapan hukum formal dengan nilai moral. Alasan logis dan legal bahwa 
“belum ada cukup bukti” mengakibatkan dilupakannya banyak kasus di negeri ini. Sehingga 
masih banyak pejabat dan tokoh publik yang terjerat kasus korupsi tanpa malu masih nyaman 
tampil tanpa beban. 
Korupsi sudah tidak lagi dianggap sebagai perilaku menyimpang individu ataupun 
orang per orang. Melainkan sudah menggejala ke berbagai institusi, baik eksekutif, yudikatif, 
dan legislatif hanya untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Nampaknya korupsi 
telah menancap kuat pada sendi-sendi kehidupan Negara dan memungkinkan akan menjadi 
budaya baru dalam hidup bernegara. Fenomena ini patut di perhatikan dan diwaspadai secara 
serius karena dampak dari tindakan korupsi tidak hanya sekedar merugikan keuangan Negara 
namun lebih dari itu, menciptakan kemiskinan, menciptakan pengangguran dan memicu 
tindakan kriminalitas, bahkan mengubur masa depan bangsa. 
Hal yang jelas adalah bahwa korupsi yang terjadi dalam level manapun merupakan hal 
yang dapat menghancurkan nilai-nilai etika serta norma sosial dan nilai agama, sehingga 
dapat menjadi perilaku yang mengkorupsi budaya, dan ketika secara bertahap atau sekaligus 
diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajar, maka disitu telah terjadi korupsi budaya 
yang kemudian membentuk budaya korupsi.
Mengakhiri budaya korupsi hanya bisa diwujudkan dengan menegakan budaya etika 
dan integritas. Lalu, menjadikan hukum sebagai panglima. Korupsi tidak boleh di lindungi. 
Sebab, semakin dilindungi, semakin menjadi budaya permanen yang abadi kekuatanya. 
Selama budaya etika dan integritas tidak kuat dalam berbangsa dan bernegara maka semua 
upaya pemberantasan korupsi akan sia-sia. Setiap warga Negara wajib berkontribusi untuk 
menghentikan budaya korupsi. Selain itu sangatlah di perlukan integritas dan konsistensi 
pemerintah bersama semua lembaga tinggi dan tertinggi Negara untuk membangun sistem, 
tata kelola dan kebijakan yang membuat korupsi tidak berdaya. 
Menghapus budaya korupsi haruslah dengan membangun mindset, bahwa jabatan 
adalah alat untuk pelayanan dari integritas, dan bukan sebagai alat untuk mendapatkan 
keuntungan. Sudah waktunya untuk mengakhiri budaya korupsi. Bila tidak segera mengambil 
langkah-langkah untuk menghapus budaya korupsi, maka setiap orang berpotensi di jadikan 
hamba korupsi oleh sistem kehidupan dalam budaya korupsi. 
1.2 Rumusan Masalah 
2 
1. Bagaimana gambaran umum dan persepsi masyarakat tentang korupsi di Indonesia? 
2. Apakah Korupsi sudah menjadi budaya Indonesia? 
3. Apa saja penyebab terjadinya korupsi di Indonesia? 
4. Apa akibat atau dampak dari korupsi? 
5. Bagaimana peran pemerintah dalam memberantas Korupsi? 
1.3 Manfaat Penulisan 
1. Bagi Penulis 
Penulisan makalah ini disusun sebagai salah satu pemenuhan tugas mandiri dari mata 
kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (SBD). Selain itu makalah ini bisa menjadi 
sumber acuan bagi penulis untuk lebih mengetahui dan memahami tentang korupsi 
dan akibat-akibat yang ditimbulkan dari tindakan korupsi. 
2. Bagi pihak lain 
Makalah ini diharapkan dapat menambah referensi pustaka yang berhubungan dengan 
permasalahan dan upaya penyelesaian Korupsi di Indonesia. Selain itu makalah ini 
diharapakan dapat menjadi sebuah sumber wawasan bagi semua pihak yang membaca 
makalah ini untuk membuka pikiran masyarakat luas tentang bahaya korupsi terhadap 
kepribadian Bangsa.
3 
BAB II 
TINJAUAN PUSTAKA 
2.1 Pengertian Korupsi 
Korupsi sudah terjadi sejak zaman dahulu dan merupakan suatu peristiwa universal 
yang dapat terjadi di seluruh dunia termasuk Indonesia. Terminologi korupsi dari bahasa latin 
yaitu coruptio atau corruptus, berasal dari kata corrumpere adalah suatu kata dari bahasa latin 
yang lebih tua. Selanjutnya istilah korupsi muncul dalam beberapa bahasa di Eropa seperti 
bahasa Inggris yaitu corrupti, dan bahasa Belanda menggunakan kata corruptive yang 
selanjutnya menjadi “Korupsi” dalam bahasa Indonesia. 
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa indonesia) menyebutkan bahwa korupsi 
bermakna penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan) untuk 
kepentingan pribadi atau orang lain. Korupsi menurut Black’s Law Dictionary korupsi adalah 
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak 
resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya 
untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan 
dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain. 
Menurut Syeh Hussein Alatas menyebutkan benang merah yang menjelujuri dalam 
aktivitas korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan 
pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi 
dengan kerahasian, penghianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat 
yang diderita oleh masyarakat. 
Korupsi menurut wikipedia perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun 
pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya 
mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang 
dipercayakan kepada mereka. 
Korupsi menurut Pasal 2 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999 “Setiap orang yang 
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau 
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonoman negara…” 
Korupsi menurut corruption is the abuse of trust in the interest of private gain 
penyelahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi. Sedangkan Korupsi menurut Pasal 3 
Undang-Udang No. 31 Tahun 1999 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri 
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau 
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan 
negara atau perekonomian negara.
Korupsi menurut wikipedia Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah 
penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk 
pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, 
dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi 
dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. 
4 
2.2 Jenis-Jenis Korupsi 
Terdapat beberapa jenis-jenis korupsi. Instrumen hukum untuk menyaring tindakan 
yang mengarah pada korupsi termasuk tindak pidana korupsi itu sendiri telah cukup lengkap. 
Instrumen tersebut berupa peraturan dan perundang-undangan yang dimaksud untuk 
difungsikan dan dioptimalkan untuk mencegah dan menanggulangi perbuatan korupsi yang 
dilakukan para birokrat dan para pelaku dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, 
dan sarana serta prasarana yang ada karena kedudukan dan jabatannya, yang secara langsung 
dan tidak langsung merugikan ekonomi dan keuangan negara. 
Melihat pengertian di atas maka korupsi dapat dibagi menjadi beberapa jenis atau tifologi. Hal 
ini dipertegas Syed Husain Alatas, jenis-jenis korupsi tersebut antara lain: 
1. Korupsi Transaksi, jenis korupsi yang menunjuk adanya kesepakatan timbak balik 
antara pihak pemberi dan pihak penerima yang kedua pihak memperoleh keuntungan. 
2. Korupsi Perkerabatan, jenis korupsi yang menyangkut penyalahgunaan kekuasaan dan 
kewenangan untuk berbagai keuntungan bagi teman atau sanak saudara serta kroni-kroninya. 
3. Korupsi yang Memeras, biasanya korupsi yang dipaksakan kepada suatu pihak yang 
disertai dengan ancaman, teror, penekanan terhadap kepentingan orang-orang dan hal-hal 
demikiannya. 
4. Korupsi Insentif, korupsi yang dilakukan dengan cara memberikan suatu jasa atau 
barang tertentu kepada pihak lain demi keuntungan masa depan. 
5. Defensif, yaitu pihak yang dirugikan terpaksa ikut terlibat didalammya atau membuat 
pihak tertentu terjebak atau bahkan menjadi korban perbuatan korupsi. 
6. Korupsi Otogenik, korupsi yang dilakukan seseorang, tidak ada orang lain ataupun 
pihak lain terlibat didalammya. 
7. Korupsi Suportif, korupsi yang dilakukan dengan cara memberikan dukungan. 
Jenis korupsi menurut Guy Benveniste yang terdapat dalam Pasal 2-Pasal 12 Undang-Undang 
No.31 Tahun 1999 adalah:
1. Discretionary Corruption adalah korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan dalam 
5 
menentukan kebijaksanaan. 
2. Illegal Corruption adalah tindakan yang dimaksud untuk mengacaukan bahasa atau 
maksud hukum. 
3. Mercenary Corruption adalah tindakan korupsi untuk kepentingan pribadi. 
4. Ideological Corruption adalah korupsi untuk mengejar tujuan kelompok. 
Karakteristik dan dimensi kejahatan korupsi dapat diidentifikasikan yaitu: 
1. Masalah korupsi terkait dengan berbagai kompleksitas masalah, antara lain, masalah 
moral/sikap mental, masalah pola hidup dan budaya serta lingkungan sosial, masalah 
kebutuhan/tuntutan ekonomi dan kesenjangan sosial ekonomi, masalah struktur/sistem 
ekonomi, masalah sistem/budaya politik, masalah mekanisme pembangunan dan 
lemahnya birokrasi/prosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) dibidang 
keuangan dan pelayananan publik. Jadi, kausa dan kondisi yang bersifat kriminogen 
untuk timbulnya korupsi sangatlah luas (multidimensi), yaitu bisa dibidang moral, 
sosial, ekonomi, politik, budaya, dan birokrasi/administrasi. 
2. Mengingat sebab-sebab yang multidimensional itu, maka korupsi pada hakikatnya 
tidak hanya mengandung aspek ekonomis (yaitu merugikan keuangan/ perekonomian 
negara dan memperkaya diri sendiri/orang lain), tetapi juga mengandung korupsi nilai-nilai 
moral, korupsi jabatan/kekuasaan, korupsi politik dan nilai-nilai demokrasi. 
3. Mengingat aspek yang sangat luas itu, sering dinyatakan bahwa korupsi termasuk atau 
terkait juga dengan economic crimes, organized crimes, illicit drug trafficking, money 
laundering, white collar crime, political crime, top hat crime, dan bahkan transnational 
crime. 
4. Karena terkait dengan masalah politik/jabatan/kekuasaan (termasuk top hat crime), 
maka di dalamnya mengandung kembar yang dapat menyulitkan penegakan hukum 
yaitu adanya penalisasi politik dan politisasi proses peradilan pidana. 
Bila diperhatikan Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana 
Korupsi, maka dapat ditarik beberapa asas yang tercakup di dalamnya yang dapat 
membedakannya dengan undang-undang tindak pidana lainnya, asas-asas tersebut diantaranya 
adalah: 
1. Pelakunya adalah setiap orang. 
2. Pidananya bersifat Kumulasi dan Alternatif.
3. Adanya pidana minimum dan maksimum. 
4. Percobaan melakukan Tindak Pidana Korupsi, pembantuan pemufakatan jahat 
melakukan Tindak Pidana Korupsi sama hukumannya dengan delik yang sudah 
selesai. 
5. Setiap orang yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana dan keterangan sehingga 
dapat terjadi tindak pidana korupsi dipidana sama sebagai pelaku tindak pidana 
korupsi. 
6. Mempunyai pidana tambahan selain yang diatur KUHP, misalnya seperti: (1) 
Perampasan barang bergerak dan barang yang tidak bergerak baik yang berwujud 
maupun yang tidak berwujud, (2) Pembayaran uang ganti rugi yang jumlahnya 
maksimal dengan harga yang diperoleh dari tindak korupsinya, (3) Pencabutan seluruh 
atau sebagian hak-hak tertentu 
7. Jika terpidana tidak dapat membayar uang pengganti selama 1 bulan setelah putusan 
6 
maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang. 
8. Dapat dibentuk Tim Gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung 
9. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang cukup untuk membayar 
pengganti, maka dipidana penjara yang lamanya melebihi ancaman maksimum dari 
pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang. 
10. Orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai tindak 
pidana korupsi maka dapat dipidana. 
11. Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan didahulukan dari 
perkara lain guna penyelesaian secepatnya. 
12. Tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya. 
13. Penyidik/Jaksa Penuntut Umum/Hakim berwenang meminta keterangan kepada Bank 
tentang keadaan keuangan Tersangka. 
14. Identitas pelapor dilindungi. 
15. Dapat dilakukan gugatan perdata. 
16. Putusan bebas dalam perkara korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut 
kerugian terhadap keuangan negara. 
17. Ahli waris tersangka/terdakwa/terpidana korupsi dapat digugat untuk menuntut 
kerugian negara. 
18. Dalam tindak pidana korupsi dikenal dengan pembuktian terbalik. 
19. Dapat diadili in absentia. 
20. Hakim atas tuntutan Penuntut Umum menetapkan perampasan barang-barang yang 
telah disita.
21. Orang yang berkepentingan atas perampasan dapat menngajukan keberatan ke 
7 
pengadilan. 
22. Adanya peran serta dari masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
8 
BAB III 
PEMBAHASAN 
3.1 Gambaran Umum dan Persepsi Masyarakat tentang Korupsi di Indonesia 
KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) sudah terjadi, bahkan sebelum Indonesia 
merdeka. Berawal sejak Indonesia masih berupa kerajaan-kerajaan, nepotisme sudah berjalan 
karena tahta raja diwariskan secara turun temurun. Bukan tidak mungkin, pada masa itu 
korupsi dan kolusi pun mulai merebak, seiring adanya upeti yang harus dibayarkan rakyat 
kepada raja yang bekuasa. 
Pada masa penjajahan Belanda tepatnya saat tanam paksa dilakukan, ada enam 
peraturan tentang tanam paksa yang kesemuanya dilanggar oleh pihak Belanda ataupun para 
aparaturnya. Salah satunya peraturan bahwa tanah yang ditanami tanaman wajib yaitu 1/5 
tanah penduduk tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan 
membayar upeti yang tidak hanya dinikmati orang belanda tapi juga aparaturnya yang 
termasuk pribumi. Jelaslah bahwa hal ini merupakan tindak korupsi. 
Seiring dengan berjalannya waktu, 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia telah 
memproklamasikan kemerdekaannya, tetapi bangsa Indonesia tetap belum merdeka dari 
korupsi. Bahkan pada masa pemerintahan Soekarno, korupsi masih menjadi penyakit bangsa 
yang sulit diobati meski telah dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi bernama 
PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara) dan Operasi Budhi. Sayangnya Operasi Budhi 
yang mampu menyelamatkan uang negara sebanyak Rp 11 miliar, harus dibubarkan karena 
dianggap mengganggu prestise presiden yang mengetuai badan tersebut. 
Bergantinya masa orde lama menjadi masa orde baru nyatanya tidak mampu membuat 
korupsi menghilang, tapi semakin merajalela karena tertutupnya sitem pemerintahan saat itu. 
Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina serta Departemen Kehutanan menjadi 
sorotan tajam masyarakat karena dianggap sebagai sarang koruptor. Keberadaan Tim 
Pemberantasan Korupsi (TPK) pun dipertanyakan karena dianggap tidak mampu mencegah 
ataupun menindaklanjuti perkara korupsi kala itu. 
Upaya-upaya hukum yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah cukup 
banyak dan sistematis. Namun korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat 
negara mengalami krisis politik, sosial, kepemimpinan, dan kepercayaan yang pada akhirnya 
menjadi krisis multidimensi. Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru 
menuntut antara lain ditegakkannya supremasi hukum dan pemberantasan Korupsi, Kolusi & 
Nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut akhirnya dituangkan di dalam Ketetapan MPR Nomor
IV/MPR/1999 & Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara 
yang Bersih & Bebas dari KKN. 
Ironinya Korupsi di Indonesia semakin merajarela hingga kini, ditambah kasus kasus 
Korupsi yang terjadi beberapa tahun terakhir ini yang telah menjadi suguhan dari media 
kepada rakyat Indonesia. Rakyat kecil yang tidak memiliki alat pemukul guna melakukan 
koreksi dan memberikan sanksi pada umumnya bersikap acuh tak acuh. Namun yang paling 
menyedihkan adalah sikap rakyat menjadi apatis dengan semakin meluasnya praktik-praktik 
korupsi oleh be-berapa oknum pejabat lokal, maupun nasional. 
Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi dengan emosi dan de-monstrasi. 
Tema yang sering diangkat adalah “penguasa yang korup” dan “derita rakyat”. 
Mereka memberikan saran kepada pemerintah untuk bertindak tegas kepada para koruptor. 
Hal ini cukup berhasil terutama saat gerakan reformasi tahun 1998. Mereka tidak puas 
terhadap perbuatan manipulatif dan koruptif para pejabat. Oleh karena itu, mereka ingin 
berpartisipasi dalam usaha rekonstruksi terhadap masyarakat dan sistem pemerintahan secara 
menyeluruh, mencita-citakan keadilan, persamaan dan kesejahteraan yang merata. 
9 
3.2 Budaya Korupsi di Indonesia 
Mungkin kita sering kali mendengar ataupun sering membaca tentang adanya sebuah 
kata Budaya Korupsi. Tentu kita akan bertanya-tanya apakah benar adanya bahwa korupsi 
sudah menjadi budaya di negeri ini. Namun apabila kita di tanya apakah korupsi sudah 
menjadi budaya? jawabannya pasti akan bervariasi tergantung apa yang dimaksud dengan 
budaya serta kekuatan ikatannya dalam menentukan pola dan norma kehidupan sosial 
masyarakat. Namun Melihat kasus kasus Korupsi di Indonesia yang semakin hari semakin 
memprihatinkan, dan juga adanya kenyataan bahwa korupsi di Indonesia seakan-akan menjadi 
kebutuhan seperti makanan pokok yang di konsumsi oleh semua lapisan penyelenggara 
Negara dan lapisan masyarakat kecil, korupsi seakan – akan sudah menjadi kebudayaan yang 
legal dan tidak dilarang baik dari pandangan agama maupun hukum. 
Kita bisa temui disekeliling kita, mulai dari hal yang terkecil seperti membeli buah 
dipasar yang menggunakan timbangan yang terkadang juga tidak tepat timbanganya, naluri 
penipu dan mental korupsi sudah membudaya sampai kelapisan masyarakat kecil. Mental 
korupsi ternyata tanpa kita sadari sudah mulai ditanamkan pada masyarakat. Semua aktivitas 
di indonesia ternyata tidak pernah lepas dari yang namanya praktek korupsi.
Moh Hatta pernah menyatakan bahwa korupsi di indonesia telah menjadi budaya 
dengan melihat fenomena yang terjadi, namun bila budaya itu diwariskan apakah nenek 
moyang kita mengajarkan korupsi atau suatu perbuatan yang kemudian dalam masa modern 
disebut korupsi ?, masalahnya jelas jadi rumit oleh karena itu penyebutan tersebut perlu 
dilakukan hati-hati atau harus dengan referensi pemaknaan budaya yang spesifik dengan 
selalu memperhatikan continuity and change. Dan bukankah kata budaya berasal dari bahasa 
sansekerta yaitu buddhayah artinya hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Jika 
demikian, korupsi bukan budaya karena budaya bersifat positif sedangkan korupsi bersifat 
negatif. 
Lagi pula penggunaan embel-embel budaya pada korupsi tidaklah tepat karena jika 
korupsi adalah budaya, korupsi harus dilestarikan layaknya budaya-budaya lain. Jika korupsi 
diberikan lebel budaya, maka para koruptorlah yang benar karena telah melestarikan budaya. 
Namun kita semua tahu bahwa tindak korupsi tidaklah benar apapun alasannya. 
Di dunia ini, tak ada satupun negara yang terbebas dari korupsi sehingga janganlah 
kita berpikir korupsi adalah budaya bangsa. Hilangkanlah kata budaya pada korupsi karena 
sebenarnya korupsi adalah perilaku menyimpang yang menjangkiti seseorang. Tapi, galakkan 
lah budaya antikorupsi karena yang sebenarnya harus dibudayakan adalah pemberantasan 
korupsi. 
10 
3.3 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Korupsi di Indonesia 
Berikut merupakan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi di Indonesia : 
 Tidak Menerapkan ajaran Agama. Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang tentu 
akan melarang tindak korupsi dalam bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan 
bila korupsi masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini menandakan 
bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam kehidupan. 
 Kelemahan Sistem pengangkatan pejabat partai politik dan pejabat pemerintahan, 
Kelemahan pengkaderan partai dan pencalonan pemimpin partai atau yang akan menjadi 
pejabat publik, legislatif atau pengawas pejabat publik yang tidak transparan dan berbiaya 
tinggi memicu terjadi korupsi sebagai tindakan untuk mencapai balik modal saat biaya 
mahal yang telah dikeluarkan saat menjadi pejabat partai dan pejabat publik 
 Kurang Memiliki Keteladanan Pimpinan Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal 
maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak 
bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi,
maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan 
atasannya. 
 Tidak Memiliki Kultur Organisasi yang Benar Kultur organisasi biasanya punya 
pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, 
akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada 
posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi. 
 Sistem Akuntabilitas yang Benar di Instansi Pemerintahan yang Kurang Memadai 
Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan misi yang 
diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai 
dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap instansi 
pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya 
atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan 
sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif 
untuk praktik korupsi. 
 Kelemahan Sistem Pengendalian Manajemen Pengendalian manajemen merupakan 
salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin 
longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka 
perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya. 
 Manajemen Cendrung Menutupi Korupsi di Organisasi Pada umumnya jajaran 
manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam 
organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan 
berbagai bentuk. 
 Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada Nilai-nilai di masyarakat kondusif 
untuk terjadinya korupsi Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, 
masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali 
membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu 
didapatkan. 
 Aspek peraturan perundang-undangan Korupsi mudah timbul karena adanya 
kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup adanya 
peraturan yang monopolistik yang hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas 
peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sangsi yang 
terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya 
bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan. 
11 
1. Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak, dan sebagainya)
12 
2. Rangsangan dari luar (dorongan dari teman, adanya kesempatan, kurang kontrol dan 
sebagainya). 
3. Gaji pegawai negeri yangh tidak sebanding dengan kebutuhan yang semakin tinggi 
4. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab 
meluasnya korupsi 
5. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efesien, yang 
memberikan peluan untuk korupsi; 
6. Modernisasi pengembangbiakan korupsi. 
 Aspek Individu Pelaku Sifat Tamak Manusia Kemungkinan orang melakukan korupsi 
bukan karena orangnya miskin atau penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut 
sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur 
penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak 
dan rakus. 
 Moral yang Kurang Kuat Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda 
untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, 
bawahanya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu. 
 Tingkat Upah dan Gaji Pekerja di Sektor Publik Penghasilan seorang pegawai dari 
suatu pekerjaan selayaknya memenuhi kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak 
terjadi maka seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi bila 
segala upaya dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam ini yang akan memberi 
peluang besar untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga, pikiran 
dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan yang seharusnya. 
 Kebutuhan Hidup yang Mendesak Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan 
seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka 
ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan 
korupsi. 
 Gaya Hidup yang Konsumtif Kehidupan di kota-kota besar acapkali mendorong gaya 
hidup seseong konsumtif. Perilaku konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan 
pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai 
tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan 
korupsi. 
 Malas atau Tidak Mau Bekerja Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah 
pekerjaan tanpa keluar keringat alias malas bekerja. Sifat semacam ini akan potensial
13 
melakukan tindakan apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, diantaranya melakukan 
korupsi. 
3.4 Akibat Atau Dampak Dari Korupsi 
Korupsi ibarat kanker yang mengancam proses pembangunan dengan berbagai akibat, 
antara lain merugikan keuangan dan perekonomian Negara, sehingga menghambat 
pembangunan nasional. Korupsi juga menjadi kendala investasi dengan meningkatkan 
berbagai resiko bagi investor yang berasal dari dalam maupun luar negeri, karena pelaku 
bisnis bekerja berurusan dalam lingkungan masyarakat yang korup. Bukan hanya berakibat 
pada banyaknya waktu yang terbuang tetapi juga pada besarnya uang yang harus dikeluarkan 
dalam proses investasi, khusunya saat berhubungan dengan aparatur pemerintah yang 
berwenag dalam hal tersebut. 
Meskipun terdapat beberapa pakar seperti Nathaniel Lef, dan Bayley (meningkatkan 
investasi, fleksibilitas administrasi, percepatan penyelesaian pekerjaan terkait birokrasi) 
yang melihat ada dampak positif dari korupsi, namun secara universal korupsi lebih banyak 
dipandang sebagai perilaku yang berakibat pada keruksakan tatanan sosial ekonomi dan 
budaya serta mutu kehidupan masyarakat suatu bangsa. Nye dalam Revida (2003) 
menyatakan bahwa akibat-akibat korupsi adalah : 
1. Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, 
terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap. 
2. ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, 
menimbulkan ketimpangan sosial budaya. 
3. pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, 
hilangnya kewibawaan administrasi. 
Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan, 
ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, 
tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan 
politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif. Berdasarkan pendapat 
para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibatakibat korupsi diatas adalah sebagai berikut : 
1. Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, 
gangguan penanaman modal. 
2. Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
3. Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, 
14 
hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik. 
4. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya 
keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, 
pengambilan tindakan-tindakan represif. (Revida, 2003) 
Dengan demikian Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi 
kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum 
dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. 
3.5 Peran Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi 
Upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah cukup banyak dan 
sistematis dalam memberantas korupsi, berikut merupakan upaya-upaya yang telah dilakukan 
oleh pemerintah : 
1. Inpres No. 5 Tahun 2004 dan Keppres No. 11 Tahun 2005, lanjutnya, merupakan 
upaya untuk meningkatkan kualitas pemberantasan korupsi. Namun dalam 
pelaksanaan, keduanya tidak berjalan efektif dan masih meninggalkan banyak catatan. 
Sementara itu, PP No. 37 Tahun 2006 justru merupakan blunder kebijakan yang 
ditempuh pemerintah. Dengan keluarnya PP tersebut, potensi terjadinya gejala 
korupsi, khususnya bagi anggota DPRD, menjadi semakin besar, tambahnya. 
2. Kedua, peran pemerintah dalam pembentukan undang-undang anti korupsi. Berbagai 
produk peraturan perundang-undangan mengenai pemberantasan korupsi telah 
diterapkan di Indonesia, antara lain 
a. Dalam penyusunan RUU Pengadilan Tipikor, pemerintah terbukti lamban 
b. Peraturan Penguasa Perang Pusat untuk daerah Angkatan Darat, No. 
Prt/Peperpu/013/1958 tanggal 16 April 1958; dan 
c. Peraturan Pemerintah Penggganti Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 1960 
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi 
(perpu No. 24 Tahun 1960); yang diganti dengan 
d. Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak 
Pidana Korupsi; yang diganti dengan 
e. Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak 
Pidana Korupsi; sebagaimana diubah dengan
f. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang 
Nomor 31 Tahun 1999tantang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 
15 
tanggal 16 Agustus 1999. 
g. Undang-Undang RI No. 3 Tahun 2009 tentang MA. Komitmen pemerintah 
dalam hal ini patut dipertanyakan sebab isu paling krusial tentang 
perpanjangan usia hakim agung justru diusulkan oleh pemerintah. 
Ketentuan Pasal 43 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan 
korupsi menegaskan perlunya dibentuk komisi pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang 
independen dengan tugas dan wewenangnya dalam melakukan pemberantasan Tindak Pidana 
Korupsi yang kemudian diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang 
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 
3. Ketiga, penyelesaian adat atas dugaan kasus korupsi. Setidak-tidaknya terdapat dua 
kasus yang disoroti, yakni kasus Amien Rais vs Presiden SBY dan Yusril Ihza 
Mahendra vs Taufiequrrahman Ruki. Dalam konteks ini, Presiden terlihat 
mengintervensi proses hukum yang semestinya dapat dijalankan sesuai dengan 
prosedur. 
4. Keempat , Pemerintah pernah membentuk beberapa komisi Pemberantasan Korupsi, 
sebagai berikut: 
a. Komisi IV yang dibentuk pada tanggal 31 Januari 1970 berdasarkan Keputusan 
Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1970. Komisi Empat yang 
terdiri dari Wilopo, SH, I.J. Kasimo, Prof. Ir. Johanes, dan Anwar 
Tjokroaminoto dengan tugas pokok meneliti dan menilai kebijaksanaan dalam 
pemberantasan korupsi serta memberikan pertimbangan kepada pemerintah 
yang telah dibubarkan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 50 Tahun 
1970 tentang membubarkan Komisi IV yang dibentuk dengan Keputusan 
Presiden Nomor 12 Tahun 1970. 
b. Komisi Pemeriksaan Kekayaan penyelenggaraan Negara (KPKPN) yang 
dibentuk melalui Kepres RI No. 127 tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi 
Pemeriksaan Kekayaan penyelenggara Negara; 
c. Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK) yang 
dibentuk tanggal 5 April 2000 berdasarkan PP RI Nomor 19 Tahun 2000 
tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. TGTPK yang 
diketuai oleh Andi Andoyo, SH bertugas melakukan penyidikan perkara 
Korupsi yang sulit pembuktiannya.
Di samping Kejaksaan dan kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga 
memiliki peran yang sangat penting. Merupakan suatu hal yang memprihatin, karena 
sedemikian banyaknya para koruptor yang dituntut di pengadilan belum menyusutkan tingkat 
tindak pidana Korupsi. Indikasi korupsi yang terjadi di Indonesia tetap tinggi bahkan 
mnempati kelompok tertinggi di Asia. 
Penangan masalah korupsi di Indonesia telah menimbulkan dilema sosial akibat 
manajemen korupsi dalam birokrasi pemerintahan dan swasta yang menyebabkan korupsi 
membudaya. Pada sisi lain, proses penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi yang 
dilakukan oleh pemerintah amat lamban. Kalaupun bisa sampai ke pengadilan, lebih banyak 
mengecewakan masyarakat. Sehingga, pemecahan yang dapat dijadikan bahan pertimbangan 
guna mengatasi dilema yang menimpa masyarakat dalam memberantas korupsi menjadi 
tanggung jawab bersama. 
16
17 
BAB IV 
PENUTUP 
4.1 Kesimpulan 
Masalah korupsi di Indonesia bermula dari memudarnya budaya etika dan integritas. 
Dimana Korupsi disini yang terjadi dalam level manapun dan jenis apapun merupakan hal 
yang dapat mengahancurkan nilai-nilai etika serta norma sosial dan nilai agama, sehingga hal 
ini bisa menjadi perilaku yang mengkorupsi budaya. Krisis moral yang dimiliki oleh para 
koruptor sangat merugikan bangsa dan negara. Selain itu menjadi hambatan utama pada 
pembangunan. 
Ironinya Korupsi di Indonesia seakan-akan menjadi kebutuhan seperti makanan pokok 
yang di konsumsi oleh semua lapisan penyelenggara Negara dan lapisan masyarakat kecil, 
korupsi seakan – akan sudah menjadi hal yang legal dan tidak dilarang baik dari pandangan 
agama maupun hukum. Dan ketika secara bertahap atau sekaligus diterima oleh masyarakat 
sebagai sesuatu yang wajar, maka disitu telah terjadi korupsi budaya yang kemudian 
membentuk budaya korupsi. Dengan demikian jika pun benar ada budaya korupsi, maka itu 
sebenarnya terjadi karena korupsi budaya akibat makin lemahnya kontrol sosial/pengabaian 
terhadap upaya mementingkan pribadi diatas kepentingan publik pada saat mereka 
mempunyai kedudukan/jabatan atas mandat publik baik langsung maupun tak langsung. Telah 
berbagai Upaya yang dilakukan Pemerintah dalam memberantas Korupsi namun semua upaya 
itu seakan tidak membuahkan hasil yang memuaskan. 
4.2 Saran 
Dalam menghadapi korupsi di Indonesia tidak cukup hanya dengan upaya yang 
dilakukan oleh pemerintah saja, karena terbukti dengan hanya menunggu upaya yang 
dilakukan oleh pemerintah, Korupsi di Indonesia tidak kunjung tertuntaskan. Namun perlu 
adanya upaya yang dilakukan oleh semua elemen masyarakat di Indonesia. dan di perlukan 
integritas dan konsistensi pemerintah bersama semua lembaga tinggi dan tertinggi Negara 
untuk membangun sistem, tata kelola dan kebijakan yang membuat korupsi tidak berdaya. 
Pendidikan moral khususnya kejujuran, kesadaran bahwa korupsi itu salah serta tegaknya 
hukum adalah obat yang paling mujarab untuk menghilangkan korupsi. menegakan budaya 
etika dan integritas. Lalu, menjadikan hukum sebagai panglima. Menghapus budaya korupsi 
haruslah dengan membangun mindset, bahwa jabatan adalah alat untuk pelayanan dari 
integritas, dan bukan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan.
18 
DAFTAR PUSTAKA 
Jahja, Juni Sjafrien. Say No to Korupsi!. Jakarta: Visimedia, 2012 
Poernomo, Soen’an Hadi. Berani Korupsi itu Memalukan. Jakarta: Imania, 2013 
Alatas, Syeid Hussain. Korupsi, Sifat, Sebab, dan fungsi. Jakarta: LP3ES, 1987 
Alatas, Syed Hussein. Sosiologi Korupsi. Jakarta: LP3ES, 1983 
Chazawi, Adami. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Malang: 
Bayumedia Publishing, 2003 
Suratman. dan Munir. Salamah, Umi. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Malang: Intimedia, 
2010 
Politik.kompasiana.com/2013/11/03/benarkah-budaya-Korupsi-Sudah-menjadi-kebudayaan— 
60622.html (Di akses pada tanggal 03 April 2014) 
Achamadhidir.blogspot.com/2010/09/budaya-korupsi-sebuah-bentuk-masalah.html (Di akses 
pada tanggal 03 April 2014) 
Scram-monster.blogspot.com/2011/08/krisis-moral-indonesia.html (Di akses pada tanggal 03 
April 2014) 
www.harianhaluan.com/index.php/opini/29925-menandingi-budaya-korupsi (Di akses pada 
tanggal 03 April 2014) 
id.wikipedia.org/wiki/Korupsi (Di akses pada tanggal 03 April 2014)

Mais conteúdo relacionado

Mais procurados

Akar masalah korupsi dan pemberantasannya
Akar masalah korupsi dan pemberantasannyaAkar masalah korupsi dan pemberantasannya
Akar masalah korupsi dan pemberantasannya
Ery Arifullah
 
12 031 milian a.b korupsi 41
12 031 milian a.b korupsi 4112 031 milian a.b korupsi 41
12 031 milian a.b korupsi 41
fahmialzie
 
Tugas makalah korupsi
Tugas makalah korupsiTugas makalah korupsi
Tugas makalah korupsi
Yuni Sist
 
Upaya Pemberantasan Korupsi
Upaya Pemberantasan KorupsiUpaya Pemberantasan Korupsi
Upaya Pemberantasan Korupsi
Dini Islamiana
 
Presentasi Masalah Korupsi Di Indonesia
Presentasi Masalah Korupsi Di IndonesiaPresentasi Masalah Korupsi Di Indonesia
Presentasi Masalah Korupsi Di Indonesia
ARY SETIADI
 
Makalah kewarga negaraan
Makalah kewarga negaraanMakalah kewarga negaraan
Makalah kewarga negaraan
jellysihite
 

Mais procurados (20)

Makalah korupsiiiiii
Makalah korupsiiiiiiMakalah korupsiiiiii
Makalah korupsiiiiii
 
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsiMakalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsi
 
Akar masalah korupsi dan pemberantasannya
Akar masalah korupsi dan pemberantasannyaAkar masalah korupsi dan pemberantasannya
Akar masalah korupsi dan pemberantasannya
 
makalah Korupsi
makalah Korupsimakalah Korupsi
makalah Korupsi
 
Analisa kasus korupsi dinasti ratu atut pada dinas kesehatan di banten
Analisa kasus korupsi dinasti ratu atut pada dinas kesehatan di bantenAnalisa kasus korupsi dinasti ratu atut pada dinas kesehatan di banten
Analisa kasus korupsi dinasti ratu atut pada dinas kesehatan di banten
 
Penanggulangan Kasus Korupsi di Indonesia
Penanggulangan Kasus Korupsi di IndonesiaPenanggulangan Kasus Korupsi di Indonesia
Penanggulangan Kasus Korupsi di Indonesia
 
Laporan Ilmiah Kasus Korupsi E-KTP
Laporan Ilmiah Kasus Korupsi E-KTPLaporan Ilmiah Kasus Korupsi E-KTP
Laporan Ilmiah Kasus Korupsi E-KTP
 
12 031 milian a.b korupsi 41
12 031 milian a.b korupsi 4112 031 milian a.b korupsi 41
12 031 milian a.b korupsi 41
 
Konsep Korupsi & Kondisi saat ini di Indonesia
Konsep Korupsi & Kondisi saat ini di Indonesia Konsep Korupsi & Kondisi saat ini di Indonesia
Konsep Korupsi & Kondisi saat ini di Indonesia
 
Makalah
MakalahMakalah
Makalah
 
Makalah korupsi STIP WUNA
Makalah korupsi STIP WUNA Makalah korupsi STIP WUNA
Makalah korupsi STIP WUNA
 
Makalah upaya pemberantasan korupsi di indonesia revisi
Makalah upaya pemberantasan korupsi di indonesia  revisi Makalah upaya pemberantasan korupsi di indonesia  revisi
Makalah upaya pemberantasan korupsi di indonesia revisi
 
Tugas makalah korupsi
Tugas makalah korupsiTugas makalah korupsi
Tugas makalah korupsi
 
UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIAUPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
 
Upaya Pemberantasan Korupsi
Upaya Pemberantasan KorupsiUpaya Pemberantasan Korupsi
Upaya Pemberantasan Korupsi
 
LANGKAH STRATEGIS PEMBERANTASAN KORUPSI
LANGKAH STRATEGIS PEMBERANTASAN KORUPSILANGKAH STRATEGIS PEMBERANTASAN KORUPSI
LANGKAH STRATEGIS PEMBERANTASAN KORUPSI
 
Makalah kasus korupsi penggelapan pajak gayus tambunan
Makalah kasus korupsi penggelapan pajak gayus tambunanMakalah kasus korupsi penggelapan pajak gayus tambunan
Makalah kasus korupsi penggelapan pajak gayus tambunan
 
Presentasi Masalah Korupsi Di Indonesia
Presentasi Masalah Korupsi Di IndonesiaPresentasi Masalah Korupsi Di Indonesia
Presentasi Masalah Korupsi Di Indonesia
 
Makalah kewarga negaraan
Makalah kewarga negaraanMakalah kewarga negaraan
Makalah kewarga negaraan
 
Makalah Wacana hukuman mati bagi koruptor
Makalah Wacana hukuman mati bagi koruptorMakalah Wacana hukuman mati bagi koruptor
Makalah Wacana hukuman mati bagi koruptor
 

Semelhante a Bab i,234

Be & gg, nadiatur rakhma, prof. dr. ir. h. hapzi ali pre m sc, mm. cma, ethic...
Be & gg, nadiatur rakhma, prof. dr. ir. h. hapzi ali pre m sc, mm. cma, ethic...Be & gg, nadiatur rakhma, prof. dr. ir. h. hapzi ali pre m sc, mm. cma, ethic...
Be & gg, nadiatur rakhma, prof. dr. ir. h. hapzi ali pre m sc, mm. cma, ethic...
Nadiatur Rakhma
 
Tugas analisis kebijakan publik uas
Tugas analisis kebijakan publik uasTugas analisis kebijakan publik uas
Tugas analisis kebijakan publik uas
netieli
 
Tugas Pendidikan Kewarganegaraan Tentang Korupsi dan Pencegahannya
Tugas Pendidikan Kewarganegaraan Tentang Korupsi dan PencegahannyaTugas Pendidikan Kewarganegaraan Tentang Korupsi dan Pencegahannya
Tugas Pendidikan Kewarganegaraan Tentang Korupsi dan Pencegahannya
Siti Nurjannah
 
mengembangkan sikap anti korupsi dikalangan generasi muda
mengembangkan sikap anti korupsi dikalangan generasi mudamengembangkan sikap anti korupsi dikalangan generasi muda
mengembangkan sikap anti korupsi dikalangan generasi muda
Salma Van Licht
 

Semelhante a Bab i,234 (20)

KORUPTOR YANG KEHILANGAN RASA CINTA TANAH AIR
KORUPTOR YANG KEHILANGAN RASA CINTA TANAH AIRKORUPTOR YANG KEHILANGAN RASA CINTA TANAH AIR
KORUPTOR YANG KEHILANGAN RASA CINTA TANAH AIR
 
Be & gg, nadiatur rakhma, prof. dr. ir. h. hapzi ali pre m sc, mm. cma, ethic...
Be & gg, nadiatur rakhma, prof. dr. ir. h. hapzi ali pre m sc, mm. cma, ethic...Be & gg, nadiatur rakhma, prof. dr. ir. h. hapzi ali pre m sc, mm. cma, ethic...
Be & gg, nadiatur rakhma, prof. dr. ir. h. hapzi ali pre m sc, mm. cma, ethic...
 
sosiologi agama
sosiologi agamasosiologi agama
sosiologi agama
 
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsiMakalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsi
 
Tugas analisis kebijakan publik uas
Tugas analisis kebijakan publik uasTugas analisis kebijakan publik uas
Tugas analisis kebijakan publik uas
 
Tugas Pendidikan Kewarganegaraan Tentang Korupsi dan Pencegahannya
Tugas Pendidikan Kewarganegaraan Tentang Korupsi dan PencegahannyaTugas Pendidikan Kewarganegaraan Tentang Korupsi dan Pencegahannya
Tugas Pendidikan Kewarganegaraan Tentang Korupsi dan Pencegahannya
 
Pancasila integitas antikorupsi
Pancasila integitas antikorupsiPancasila integitas antikorupsi
Pancasila integitas antikorupsi
 
Be gg, basrizal, prof dr ir hapzi ali mm cma, coruption dan froud. univ. merc...
Be gg, basrizal, prof dr ir hapzi ali mm cma, coruption dan froud. univ. merc...Be gg, basrizal, prof dr ir hapzi ali mm cma, coruption dan froud. univ. merc...
Be gg, basrizal, prof dr ir hapzi ali mm cma, coruption dan froud. univ. merc...
 
mengembangkan sikap anti korupsi dikalangan generasi muda
mengembangkan sikap anti korupsi dikalangan generasi mudamengembangkan sikap anti korupsi dikalangan generasi muda
mengembangkan sikap anti korupsi dikalangan generasi muda
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
BAHASA INDONESIA.pptx
BAHASA INDONESIA.pptxBAHASA INDONESIA.pptx
BAHASA INDONESIA.pptx
 
Anti korupsi hitam putih
Anti korupsi hitam putihAnti korupsi hitam putih
Anti korupsi hitam putih
 
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsiMakalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsi
 
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsiMakalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsi
 
Presentation1 130903215347-
Presentation1 130903215347-Presentation1 130903215347-
Presentation1 130903215347-
 
Presentation1 130903215347-(1)
Presentation1 130903215347-(1)Presentation1 130903215347-(1)
Presentation1 130903215347-(1)
 
MAKALAH TINDAK PIDANA KORUPSI DAN TPPU_UTS.pdf
MAKALAH TINDAK PIDANA KORUPSI DAN TPPU_UTS.pdfMAKALAH TINDAK PIDANA KORUPSI DAN TPPU_UTS.pdf
MAKALAH TINDAK PIDANA KORUPSI DAN TPPU_UTS.pdf
 
HUKUM ACARA PIDANA KEL. 2 universitas bung karno
HUKUM ACARA PIDANA KEL. 2 universitas bung karnoHUKUM ACARA PIDANA KEL. 2 universitas bung karno
HUKUM ACARA PIDANA KEL. 2 universitas bung karno
 
Korupsi
KorupsiKorupsi
Korupsi
 
BE & GG13, Basori, Hapzi Ali, Corruption Fraud, UMB, 2017
BE & GG13, Basori, Hapzi Ali, Corruption  Fraud, UMB, 2017BE & GG13, Basori, Hapzi Ali, Corruption  Fraud, UMB, 2017
BE & GG13, Basori, Hapzi Ali, Corruption Fraud, UMB, 2017
 

Bab i,234

  • 1. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kata Korupsi mungkin sudah tidak menjadi hal yang asing lagi di telinga masyarakat Indonesia, pasalnya hampir setiap hari media disibukkan dengan pemberitaan korupsi, baik di media surat kabar maupun media elektronik di negeri ini. Sehingga Korupsi jelas menjadi fenomena memprihatinkan bagi bangsa ini. Bangsa yang luhur, beretika, bermoral ketimuran kini mulai luntur seiring menghegimoninya praktik korupsi. Tindakan Korupsi di sini dapat dipahami sebagai penyalahgunaan kekuasaan demi keuntungan pribadi atau kelompok. Selain itu tindakan korupsi tersebut juga dapat diartikan sebagai pengutamaan kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan (Braz dalam Lubis dan Scott; 1985). Beberapa tahun terakhir ini masyrakat Indonesia tanpa henti disuguhi dengan sederetan sandiwara di panggung dunia hukum. Semuanya bermuara pada tidak adanya perpaduan antara penerapan hukum formal dengan nilai moral. Alasan logis dan legal bahwa “belum ada cukup bukti” mengakibatkan dilupakannya banyak kasus di negeri ini. Sehingga masih banyak pejabat dan tokoh publik yang terjerat kasus korupsi tanpa malu masih nyaman tampil tanpa beban. Korupsi sudah tidak lagi dianggap sebagai perilaku menyimpang individu ataupun orang per orang. Melainkan sudah menggejala ke berbagai institusi, baik eksekutif, yudikatif, dan legislatif hanya untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Nampaknya korupsi telah menancap kuat pada sendi-sendi kehidupan Negara dan memungkinkan akan menjadi budaya baru dalam hidup bernegara. Fenomena ini patut di perhatikan dan diwaspadai secara serius karena dampak dari tindakan korupsi tidak hanya sekedar merugikan keuangan Negara namun lebih dari itu, menciptakan kemiskinan, menciptakan pengangguran dan memicu tindakan kriminalitas, bahkan mengubur masa depan bangsa. Hal yang jelas adalah bahwa korupsi yang terjadi dalam level manapun merupakan hal yang dapat menghancurkan nilai-nilai etika serta norma sosial dan nilai agama, sehingga dapat menjadi perilaku yang mengkorupsi budaya, dan ketika secara bertahap atau sekaligus diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajar, maka disitu telah terjadi korupsi budaya yang kemudian membentuk budaya korupsi.
  • 2. Mengakhiri budaya korupsi hanya bisa diwujudkan dengan menegakan budaya etika dan integritas. Lalu, menjadikan hukum sebagai panglima. Korupsi tidak boleh di lindungi. Sebab, semakin dilindungi, semakin menjadi budaya permanen yang abadi kekuatanya. Selama budaya etika dan integritas tidak kuat dalam berbangsa dan bernegara maka semua upaya pemberantasan korupsi akan sia-sia. Setiap warga Negara wajib berkontribusi untuk menghentikan budaya korupsi. Selain itu sangatlah di perlukan integritas dan konsistensi pemerintah bersama semua lembaga tinggi dan tertinggi Negara untuk membangun sistem, tata kelola dan kebijakan yang membuat korupsi tidak berdaya. Menghapus budaya korupsi haruslah dengan membangun mindset, bahwa jabatan adalah alat untuk pelayanan dari integritas, dan bukan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan. Sudah waktunya untuk mengakhiri budaya korupsi. Bila tidak segera mengambil langkah-langkah untuk menghapus budaya korupsi, maka setiap orang berpotensi di jadikan hamba korupsi oleh sistem kehidupan dalam budaya korupsi. 1.2 Rumusan Masalah 2 1. Bagaimana gambaran umum dan persepsi masyarakat tentang korupsi di Indonesia? 2. Apakah Korupsi sudah menjadi budaya Indonesia? 3. Apa saja penyebab terjadinya korupsi di Indonesia? 4. Apa akibat atau dampak dari korupsi? 5. Bagaimana peran pemerintah dalam memberantas Korupsi? 1.3 Manfaat Penulisan 1. Bagi Penulis Penulisan makalah ini disusun sebagai salah satu pemenuhan tugas mandiri dari mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (SBD). Selain itu makalah ini bisa menjadi sumber acuan bagi penulis untuk lebih mengetahui dan memahami tentang korupsi dan akibat-akibat yang ditimbulkan dari tindakan korupsi. 2. Bagi pihak lain Makalah ini diharapkan dapat menambah referensi pustaka yang berhubungan dengan permasalahan dan upaya penyelesaian Korupsi di Indonesia. Selain itu makalah ini diharapakan dapat menjadi sebuah sumber wawasan bagi semua pihak yang membaca makalah ini untuk membuka pikiran masyarakat luas tentang bahaya korupsi terhadap kepribadian Bangsa.
  • 3. 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Korupsi Korupsi sudah terjadi sejak zaman dahulu dan merupakan suatu peristiwa universal yang dapat terjadi di seluruh dunia termasuk Indonesia. Terminologi korupsi dari bahasa latin yaitu coruptio atau corruptus, berasal dari kata corrumpere adalah suatu kata dari bahasa latin yang lebih tua. Selanjutnya istilah korupsi muncul dalam beberapa bahasa di Eropa seperti bahasa Inggris yaitu corrupti, dan bahasa Belanda menggunakan kata corruptive yang selanjutnya menjadi “Korupsi” dalam bahasa Indonesia. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa indonesia) menyebutkan bahwa korupsi bermakna penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Korupsi menurut Black’s Law Dictionary korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain. Menurut Syeh Hussein Alatas menyebutkan benang merah yang menjelujuri dalam aktivitas korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasian, penghianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat yang diderita oleh masyarakat. Korupsi menurut wikipedia perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Korupsi menurut Pasal 2 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999 “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonoman negara…” Korupsi menurut corruption is the abuse of trust in the interest of private gain penyelahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi. Sedangkan Korupsi menurut Pasal 3 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
  • 4. Korupsi menurut wikipedia Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. 4 2.2 Jenis-Jenis Korupsi Terdapat beberapa jenis-jenis korupsi. Instrumen hukum untuk menyaring tindakan yang mengarah pada korupsi termasuk tindak pidana korupsi itu sendiri telah cukup lengkap. Instrumen tersebut berupa peraturan dan perundang-undangan yang dimaksud untuk difungsikan dan dioptimalkan untuk mencegah dan menanggulangi perbuatan korupsi yang dilakukan para birokrat dan para pelaku dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, dan sarana serta prasarana yang ada karena kedudukan dan jabatannya, yang secara langsung dan tidak langsung merugikan ekonomi dan keuangan negara. Melihat pengertian di atas maka korupsi dapat dibagi menjadi beberapa jenis atau tifologi. Hal ini dipertegas Syed Husain Alatas, jenis-jenis korupsi tersebut antara lain: 1. Korupsi Transaksi, jenis korupsi yang menunjuk adanya kesepakatan timbak balik antara pihak pemberi dan pihak penerima yang kedua pihak memperoleh keuntungan. 2. Korupsi Perkerabatan, jenis korupsi yang menyangkut penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan untuk berbagai keuntungan bagi teman atau sanak saudara serta kroni-kroninya. 3. Korupsi yang Memeras, biasanya korupsi yang dipaksakan kepada suatu pihak yang disertai dengan ancaman, teror, penekanan terhadap kepentingan orang-orang dan hal-hal demikiannya. 4. Korupsi Insentif, korupsi yang dilakukan dengan cara memberikan suatu jasa atau barang tertentu kepada pihak lain demi keuntungan masa depan. 5. Defensif, yaitu pihak yang dirugikan terpaksa ikut terlibat didalammya atau membuat pihak tertentu terjebak atau bahkan menjadi korban perbuatan korupsi. 6. Korupsi Otogenik, korupsi yang dilakukan seseorang, tidak ada orang lain ataupun pihak lain terlibat didalammya. 7. Korupsi Suportif, korupsi yang dilakukan dengan cara memberikan dukungan. Jenis korupsi menurut Guy Benveniste yang terdapat dalam Pasal 2-Pasal 12 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 adalah:
  • 5. 1. Discretionary Corruption adalah korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan dalam 5 menentukan kebijaksanaan. 2. Illegal Corruption adalah tindakan yang dimaksud untuk mengacaukan bahasa atau maksud hukum. 3. Mercenary Corruption adalah tindakan korupsi untuk kepentingan pribadi. 4. Ideological Corruption adalah korupsi untuk mengejar tujuan kelompok. Karakteristik dan dimensi kejahatan korupsi dapat diidentifikasikan yaitu: 1. Masalah korupsi terkait dengan berbagai kompleksitas masalah, antara lain, masalah moral/sikap mental, masalah pola hidup dan budaya serta lingkungan sosial, masalah kebutuhan/tuntutan ekonomi dan kesenjangan sosial ekonomi, masalah struktur/sistem ekonomi, masalah sistem/budaya politik, masalah mekanisme pembangunan dan lemahnya birokrasi/prosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) dibidang keuangan dan pelayananan publik. Jadi, kausa dan kondisi yang bersifat kriminogen untuk timbulnya korupsi sangatlah luas (multidimensi), yaitu bisa dibidang moral, sosial, ekonomi, politik, budaya, dan birokrasi/administrasi. 2. Mengingat sebab-sebab yang multidimensional itu, maka korupsi pada hakikatnya tidak hanya mengandung aspek ekonomis (yaitu merugikan keuangan/ perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri/orang lain), tetapi juga mengandung korupsi nilai-nilai moral, korupsi jabatan/kekuasaan, korupsi politik dan nilai-nilai demokrasi. 3. Mengingat aspek yang sangat luas itu, sering dinyatakan bahwa korupsi termasuk atau terkait juga dengan economic crimes, organized crimes, illicit drug trafficking, money laundering, white collar crime, political crime, top hat crime, dan bahkan transnational crime. 4. Karena terkait dengan masalah politik/jabatan/kekuasaan (termasuk top hat crime), maka di dalamnya mengandung kembar yang dapat menyulitkan penegakan hukum yaitu adanya penalisasi politik dan politisasi proses peradilan pidana. Bila diperhatikan Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka dapat ditarik beberapa asas yang tercakup di dalamnya yang dapat membedakannya dengan undang-undang tindak pidana lainnya, asas-asas tersebut diantaranya adalah: 1. Pelakunya adalah setiap orang. 2. Pidananya bersifat Kumulasi dan Alternatif.
  • 6. 3. Adanya pidana minimum dan maksimum. 4. Percobaan melakukan Tindak Pidana Korupsi, pembantuan pemufakatan jahat melakukan Tindak Pidana Korupsi sama hukumannya dengan delik yang sudah selesai. 5. Setiap orang yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana dan keterangan sehingga dapat terjadi tindak pidana korupsi dipidana sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi. 6. Mempunyai pidana tambahan selain yang diatur KUHP, misalnya seperti: (1) Perampasan barang bergerak dan barang yang tidak bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, (2) Pembayaran uang ganti rugi yang jumlahnya maksimal dengan harga yang diperoleh dari tindak korupsinya, (3) Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu 7. Jika terpidana tidak dapat membayar uang pengganti selama 1 bulan setelah putusan 6 maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang. 8. Dapat dibentuk Tim Gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung 9. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang cukup untuk membayar pengganti, maka dipidana penjara yang lamanya melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang. 10. Orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai tindak pidana korupsi maka dapat dipidana. 11. Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya. 12. Tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya. 13. Penyidik/Jaksa Penuntut Umum/Hakim berwenang meminta keterangan kepada Bank tentang keadaan keuangan Tersangka. 14. Identitas pelapor dilindungi. 15. Dapat dilakukan gugatan perdata. 16. Putusan bebas dalam perkara korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara. 17. Ahli waris tersangka/terdakwa/terpidana korupsi dapat digugat untuk menuntut kerugian negara. 18. Dalam tindak pidana korupsi dikenal dengan pembuktian terbalik. 19. Dapat diadili in absentia. 20. Hakim atas tuntutan Penuntut Umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita.
  • 7. 21. Orang yang berkepentingan atas perampasan dapat menngajukan keberatan ke 7 pengadilan. 22. Adanya peran serta dari masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
  • 8. 8 BAB III PEMBAHASAN 3.1 Gambaran Umum dan Persepsi Masyarakat tentang Korupsi di Indonesia KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) sudah terjadi, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Berawal sejak Indonesia masih berupa kerajaan-kerajaan, nepotisme sudah berjalan karena tahta raja diwariskan secara turun temurun. Bukan tidak mungkin, pada masa itu korupsi dan kolusi pun mulai merebak, seiring adanya upeti yang harus dibayarkan rakyat kepada raja yang bekuasa. Pada masa penjajahan Belanda tepatnya saat tanam paksa dilakukan, ada enam peraturan tentang tanam paksa yang kesemuanya dilanggar oleh pihak Belanda ataupun para aparaturnya. Salah satunya peraturan bahwa tanah yang ditanami tanaman wajib yaitu 1/5 tanah penduduk tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar upeti yang tidak hanya dinikmati orang belanda tapi juga aparaturnya yang termasuk pribumi. Jelaslah bahwa hal ini merupakan tindak korupsi. Seiring dengan berjalannya waktu, 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya, tetapi bangsa Indonesia tetap belum merdeka dari korupsi. Bahkan pada masa pemerintahan Soekarno, korupsi masih menjadi penyakit bangsa yang sulit diobati meski telah dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi bernama PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara) dan Operasi Budhi. Sayangnya Operasi Budhi yang mampu menyelamatkan uang negara sebanyak Rp 11 miliar, harus dibubarkan karena dianggap mengganggu prestise presiden yang mengetuai badan tersebut. Bergantinya masa orde lama menjadi masa orde baru nyatanya tidak mampu membuat korupsi menghilang, tapi semakin merajalela karena tertutupnya sitem pemerintahan saat itu. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina serta Departemen Kehutanan menjadi sorotan tajam masyarakat karena dianggap sebagai sarang koruptor. Keberadaan Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) pun dipertanyakan karena dianggap tidak mampu mencegah ataupun menindaklanjuti perkara korupsi kala itu. Upaya-upaya hukum yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah cukup banyak dan sistematis. Namun korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara mengalami krisis politik, sosial, kepemimpinan, dan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis multidimensi. Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru menuntut antara lain ditegakkannya supremasi hukum dan pemberantasan Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut akhirnya dituangkan di dalam Ketetapan MPR Nomor
  • 9. IV/MPR/1999 & Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih & Bebas dari KKN. Ironinya Korupsi di Indonesia semakin merajarela hingga kini, ditambah kasus kasus Korupsi yang terjadi beberapa tahun terakhir ini yang telah menjadi suguhan dari media kepada rakyat Indonesia. Rakyat kecil yang tidak memiliki alat pemukul guna melakukan koreksi dan memberikan sanksi pada umumnya bersikap acuh tak acuh. Namun yang paling menyedihkan adalah sikap rakyat menjadi apatis dengan semakin meluasnya praktik-praktik korupsi oleh be-berapa oknum pejabat lokal, maupun nasional. Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi dengan emosi dan de-monstrasi. Tema yang sering diangkat adalah “penguasa yang korup” dan “derita rakyat”. Mereka memberikan saran kepada pemerintah untuk bertindak tegas kepada para koruptor. Hal ini cukup berhasil terutama saat gerakan reformasi tahun 1998. Mereka tidak puas terhadap perbuatan manipulatif dan koruptif para pejabat. Oleh karena itu, mereka ingin berpartisipasi dalam usaha rekonstruksi terhadap masyarakat dan sistem pemerintahan secara menyeluruh, mencita-citakan keadilan, persamaan dan kesejahteraan yang merata. 9 3.2 Budaya Korupsi di Indonesia Mungkin kita sering kali mendengar ataupun sering membaca tentang adanya sebuah kata Budaya Korupsi. Tentu kita akan bertanya-tanya apakah benar adanya bahwa korupsi sudah menjadi budaya di negeri ini. Namun apabila kita di tanya apakah korupsi sudah menjadi budaya? jawabannya pasti akan bervariasi tergantung apa yang dimaksud dengan budaya serta kekuatan ikatannya dalam menentukan pola dan norma kehidupan sosial masyarakat. Namun Melihat kasus kasus Korupsi di Indonesia yang semakin hari semakin memprihatinkan, dan juga adanya kenyataan bahwa korupsi di Indonesia seakan-akan menjadi kebutuhan seperti makanan pokok yang di konsumsi oleh semua lapisan penyelenggara Negara dan lapisan masyarakat kecil, korupsi seakan – akan sudah menjadi kebudayaan yang legal dan tidak dilarang baik dari pandangan agama maupun hukum. Kita bisa temui disekeliling kita, mulai dari hal yang terkecil seperti membeli buah dipasar yang menggunakan timbangan yang terkadang juga tidak tepat timbanganya, naluri penipu dan mental korupsi sudah membudaya sampai kelapisan masyarakat kecil. Mental korupsi ternyata tanpa kita sadari sudah mulai ditanamkan pada masyarakat. Semua aktivitas di indonesia ternyata tidak pernah lepas dari yang namanya praktek korupsi.
  • 10. Moh Hatta pernah menyatakan bahwa korupsi di indonesia telah menjadi budaya dengan melihat fenomena yang terjadi, namun bila budaya itu diwariskan apakah nenek moyang kita mengajarkan korupsi atau suatu perbuatan yang kemudian dalam masa modern disebut korupsi ?, masalahnya jelas jadi rumit oleh karena itu penyebutan tersebut perlu dilakukan hati-hati atau harus dengan referensi pemaknaan budaya yang spesifik dengan selalu memperhatikan continuity and change. Dan bukankah kata budaya berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah artinya hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Jika demikian, korupsi bukan budaya karena budaya bersifat positif sedangkan korupsi bersifat negatif. Lagi pula penggunaan embel-embel budaya pada korupsi tidaklah tepat karena jika korupsi adalah budaya, korupsi harus dilestarikan layaknya budaya-budaya lain. Jika korupsi diberikan lebel budaya, maka para koruptorlah yang benar karena telah melestarikan budaya. Namun kita semua tahu bahwa tindak korupsi tidaklah benar apapun alasannya. Di dunia ini, tak ada satupun negara yang terbebas dari korupsi sehingga janganlah kita berpikir korupsi adalah budaya bangsa. Hilangkanlah kata budaya pada korupsi karena sebenarnya korupsi adalah perilaku menyimpang yang menjangkiti seseorang. Tapi, galakkan lah budaya antikorupsi karena yang sebenarnya harus dibudayakan adalah pemberantasan korupsi. 10 3.3 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Korupsi di Indonesia Berikut merupakan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi di Indonesia :  Tidak Menerapkan ajaran Agama. Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang tentu akan melarang tindak korupsi dalam bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bila korupsi masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini menandakan bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam kehidupan.  Kelemahan Sistem pengangkatan pejabat partai politik dan pejabat pemerintahan, Kelemahan pengkaderan partai dan pencalonan pemimpin partai atau yang akan menjadi pejabat publik, legislatif atau pengawas pejabat publik yang tidak transparan dan berbiaya tinggi memicu terjadi korupsi sebagai tindakan untuk mencapai balik modal saat biaya mahal yang telah dikeluarkan saat menjadi pejabat partai dan pejabat publik  Kurang Memiliki Keteladanan Pimpinan Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi,
  • 11. maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.  Tidak Memiliki Kultur Organisasi yang Benar Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.  Sistem Akuntabilitas yang Benar di Instansi Pemerintahan yang Kurang Memadai Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.  Kelemahan Sistem Pengendalian Manajemen Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.  Manajemen Cendrung Menutupi Korupsi di Organisasi Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.  Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu didapatkan.  Aspek peraturan perundang-undangan Korupsi mudah timbul karena adanya kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup adanya peraturan yang monopolistik yang hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan. 11 1. Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak, dan sebagainya)
  • 12. 12 2. Rangsangan dari luar (dorongan dari teman, adanya kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya). 3. Gaji pegawai negeri yangh tidak sebanding dengan kebutuhan yang semakin tinggi 4. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi 5. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efesien, yang memberikan peluan untuk korupsi; 6. Modernisasi pengembangbiakan korupsi.  Aspek Individu Pelaku Sifat Tamak Manusia Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.  Moral yang Kurang Kuat Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.  Tingkat Upah dan Gaji Pekerja di Sektor Publik Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi bila segala upaya dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam ini yang akan memberi peluang besar untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga, pikiran dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan yang seharusnya.  Kebutuhan Hidup yang Mendesak Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.  Gaya Hidup yang Konsumtif Kehidupan di kota-kota besar acapkali mendorong gaya hidup seseong konsumtif. Perilaku konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.  Malas atau Tidak Mau Bekerja Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan tanpa keluar keringat alias malas bekerja. Sifat semacam ini akan potensial
  • 13. 13 melakukan tindakan apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, diantaranya melakukan korupsi. 3.4 Akibat Atau Dampak Dari Korupsi Korupsi ibarat kanker yang mengancam proses pembangunan dengan berbagai akibat, antara lain merugikan keuangan dan perekonomian Negara, sehingga menghambat pembangunan nasional. Korupsi juga menjadi kendala investasi dengan meningkatkan berbagai resiko bagi investor yang berasal dari dalam maupun luar negeri, karena pelaku bisnis bekerja berurusan dalam lingkungan masyarakat yang korup. Bukan hanya berakibat pada banyaknya waktu yang terbuang tetapi juga pada besarnya uang yang harus dikeluarkan dalam proses investasi, khusunya saat berhubungan dengan aparatur pemerintah yang berwenag dalam hal tersebut. Meskipun terdapat beberapa pakar seperti Nathaniel Lef, dan Bayley (meningkatkan investasi, fleksibilitas administrasi, percepatan penyelesaian pekerjaan terkait birokrasi) yang melihat ada dampak positif dari korupsi, namun secara universal korupsi lebih banyak dipandang sebagai perilaku yang berakibat pada keruksakan tatanan sosial ekonomi dan budaya serta mutu kehidupan masyarakat suatu bangsa. Nye dalam Revida (2003) menyatakan bahwa akibat-akibat korupsi adalah : 1. Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap. 2. ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya. 3. pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi. Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibatakibat korupsi diatas adalah sebagai berikut : 1. Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal. 2. Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
  • 14. 3. Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, 14 hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik. 4. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif. (Revida, 2003) Dengan demikian Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. 3.5 Peran Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi Upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah cukup banyak dan sistematis dalam memberantas korupsi, berikut merupakan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah : 1. Inpres No. 5 Tahun 2004 dan Keppres No. 11 Tahun 2005, lanjutnya, merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas pemberantasan korupsi. Namun dalam pelaksanaan, keduanya tidak berjalan efektif dan masih meninggalkan banyak catatan. Sementara itu, PP No. 37 Tahun 2006 justru merupakan blunder kebijakan yang ditempuh pemerintah. Dengan keluarnya PP tersebut, potensi terjadinya gejala korupsi, khususnya bagi anggota DPRD, menjadi semakin besar, tambahnya. 2. Kedua, peran pemerintah dalam pembentukan undang-undang anti korupsi. Berbagai produk peraturan perundang-undangan mengenai pemberantasan korupsi telah diterapkan di Indonesia, antara lain a. Dalam penyusunan RUU Pengadilan Tipikor, pemerintah terbukti lamban b. Peraturan Penguasa Perang Pusat untuk daerah Angkatan Darat, No. Prt/Peperpu/013/1958 tanggal 16 April 1958; dan c. Peraturan Pemerintah Penggganti Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (perpu No. 24 Tahun 1960); yang diganti dengan d. Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; yang diganti dengan e. Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; sebagaimana diubah dengan
  • 15. f. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999tantang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 15 tanggal 16 Agustus 1999. g. Undang-Undang RI No. 3 Tahun 2009 tentang MA. Komitmen pemerintah dalam hal ini patut dipertanyakan sebab isu paling krusial tentang perpanjangan usia hakim agung justru diusulkan oleh pemerintah. Ketentuan Pasal 43 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan korupsi menegaskan perlunya dibentuk komisi pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenangnya dalam melakukan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 3. Ketiga, penyelesaian adat atas dugaan kasus korupsi. Setidak-tidaknya terdapat dua kasus yang disoroti, yakni kasus Amien Rais vs Presiden SBY dan Yusril Ihza Mahendra vs Taufiequrrahman Ruki. Dalam konteks ini, Presiden terlihat mengintervensi proses hukum yang semestinya dapat dijalankan sesuai dengan prosedur. 4. Keempat , Pemerintah pernah membentuk beberapa komisi Pemberantasan Korupsi, sebagai berikut: a. Komisi IV yang dibentuk pada tanggal 31 Januari 1970 berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1970. Komisi Empat yang terdiri dari Wilopo, SH, I.J. Kasimo, Prof. Ir. Johanes, dan Anwar Tjokroaminoto dengan tugas pokok meneliti dan menilai kebijaksanaan dalam pemberantasan korupsi serta memberikan pertimbangan kepada pemerintah yang telah dibubarkan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 50 Tahun 1970 tentang membubarkan Komisi IV yang dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1970. b. Komisi Pemeriksaan Kekayaan penyelenggaraan Negara (KPKPN) yang dibentuk melalui Kepres RI No. 127 tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksaan Kekayaan penyelenggara Negara; c. Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK) yang dibentuk tanggal 5 April 2000 berdasarkan PP RI Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. TGTPK yang diketuai oleh Andi Andoyo, SH bertugas melakukan penyidikan perkara Korupsi yang sulit pembuktiannya.
  • 16. Di samping Kejaksaan dan kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga memiliki peran yang sangat penting. Merupakan suatu hal yang memprihatin, karena sedemikian banyaknya para koruptor yang dituntut di pengadilan belum menyusutkan tingkat tindak pidana Korupsi. Indikasi korupsi yang terjadi di Indonesia tetap tinggi bahkan mnempati kelompok tertinggi di Asia. Penangan masalah korupsi di Indonesia telah menimbulkan dilema sosial akibat manajemen korupsi dalam birokrasi pemerintahan dan swasta yang menyebabkan korupsi membudaya. Pada sisi lain, proses penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah amat lamban. Kalaupun bisa sampai ke pengadilan, lebih banyak mengecewakan masyarakat. Sehingga, pemecahan yang dapat dijadikan bahan pertimbangan guna mengatasi dilema yang menimpa masyarakat dalam memberantas korupsi menjadi tanggung jawab bersama. 16
  • 17. 17 BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Masalah korupsi di Indonesia bermula dari memudarnya budaya etika dan integritas. Dimana Korupsi disini yang terjadi dalam level manapun dan jenis apapun merupakan hal yang dapat mengahancurkan nilai-nilai etika serta norma sosial dan nilai agama, sehingga hal ini bisa menjadi perilaku yang mengkorupsi budaya. Krisis moral yang dimiliki oleh para koruptor sangat merugikan bangsa dan negara. Selain itu menjadi hambatan utama pada pembangunan. Ironinya Korupsi di Indonesia seakan-akan menjadi kebutuhan seperti makanan pokok yang di konsumsi oleh semua lapisan penyelenggara Negara dan lapisan masyarakat kecil, korupsi seakan – akan sudah menjadi hal yang legal dan tidak dilarang baik dari pandangan agama maupun hukum. Dan ketika secara bertahap atau sekaligus diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajar, maka disitu telah terjadi korupsi budaya yang kemudian membentuk budaya korupsi. Dengan demikian jika pun benar ada budaya korupsi, maka itu sebenarnya terjadi karena korupsi budaya akibat makin lemahnya kontrol sosial/pengabaian terhadap upaya mementingkan pribadi diatas kepentingan publik pada saat mereka mempunyai kedudukan/jabatan atas mandat publik baik langsung maupun tak langsung. Telah berbagai Upaya yang dilakukan Pemerintah dalam memberantas Korupsi namun semua upaya itu seakan tidak membuahkan hasil yang memuaskan. 4.2 Saran Dalam menghadapi korupsi di Indonesia tidak cukup hanya dengan upaya yang dilakukan oleh pemerintah saja, karena terbukti dengan hanya menunggu upaya yang dilakukan oleh pemerintah, Korupsi di Indonesia tidak kunjung tertuntaskan. Namun perlu adanya upaya yang dilakukan oleh semua elemen masyarakat di Indonesia. dan di perlukan integritas dan konsistensi pemerintah bersama semua lembaga tinggi dan tertinggi Negara untuk membangun sistem, tata kelola dan kebijakan yang membuat korupsi tidak berdaya. Pendidikan moral khususnya kejujuran, kesadaran bahwa korupsi itu salah serta tegaknya hukum adalah obat yang paling mujarab untuk menghilangkan korupsi. menegakan budaya etika dan integritas. Lalu, menjadikan hukum sebagai panglima. Menghapus budaya korupsi haruslah dengan membangun mindset, bahwa jabatan adalah alat untuk pelayanan dari integritas, dan bukan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan.
  • 18. 18 DAFTAR PUSTAKA Jahja, Juni Sjafrien. Say No to Korupsi!. Jakarta: Visimedia, 2012 Poernomo, Soen’an Hadi. Berani Korupsi itu Memalukan. Jakarta: Imania, 2013 Alatas, Syeid Hussain. Korupsi, Sifat, Sebab, dan fungsi. Jakarta: LP3ES, 1987 Alatas, Syed Hussein. Sosiologi Korupsi. Jakarta: LP3ES, 1983 Chazawi, Adami. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing, 2003 Suratman. dan Munir. Salamah, Umi. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Malang: Intimedia, 2010 Politik.kompasiana.com/2013/11/03/benarkah-budaya-Korupsi-Sudah-menjadi-kebudayaan— 60622.html (Di akses pada tanggal 03 April 2014) Achamadhidir.blogspot.com/2010/09/budaya-korupsi-sebuah-bentuk-masalah.html (Di akses pada tanggal 03 April 2014) Scram-monster.blogspot.com/2011/08/krisis-moral-indonesia.html (Di akses pada tanggal 03 April 2014) www.harianhaluan.com/index.php/opini/29925-menandingi-budaya-korupsi (Di akses pada tanggal 03 April 2014) id.wikipedia.org/wiki/Korupsi (Di akses pada tanggal 03 April 2014)