1. Konsentrasi pemerintah terhadap eksistensi
masyarakat adat dalam rezim otonomi daerah
Urgensi instrumen evaluasi perkembangan
pembangunan desa yang berbasis pelestarian
kearifan lokal
Putri Cahyani Aprilian (4521060095)
2. Latar Belakang
Paradigma yang dibangun dalam proses implementasi kebijakan desentralisasi berupa otonomi daerah dan
pemekaran wilayah di Indonesia selalu berubahubah sebagai sebuah pola ‘zigzag’ antara desentralisasi dan sentralisasi.
Hal tersebut dapat kita simak dari penjabaran dasar filosofis yang terdapat dalam UU Pemerintahan Daerah sejak era
kolonialisme hingga republik. Tercatat sejak era kolonialisme, terdapat tiga UU dominan yakni Decentralisatiewet 1930,
Wet op de Bestuurshervorming (Stb 1922 / 216), dan Osamuseirei No. 27 Tahun 1942. Sedangkan dalam masa republik,
terdapat 6 buah UU Pemerintahan Daerah: UU No 1/1945, UU No.22/1948, UU No. 1/1 957, UU No. 18/1965, UU No.
5/1974, UU No. 22/1999, dan terakhir UU No. 32/2004. Dari sekian UU Pemerintahan Daerah tersebut, terdapat tiga
paradigma otonomi daerah yang dominan dalam membaca substansi pokok pengaturan daerah oleh negara yakni
sentralistik, federalistik, maupun campuran. Ketiga paradigma tersebut disesuaikan dengan konstelasi sosial-politik yang
berkembang saat itu dimana karakteristik rezim pemerintah pusat turut mempengaruhi cara pandang pusat terhadap
daerah. Pada masa kolonialisme, paradigma yang dominan dalam implementasi kebijakan otonomi daerah adalah
sentralistik. Pola tersebut digunakan untuk meningkatkan konsolidasi kekuasaan pemerintahan kolonial dan juga
memudahkan proses eksploitasi dan mobilisasi sumber daya ekonomi yang berada di daerah.
3. Permasalahan
• Bagaimana Konsentrasi pemerintah
terhadap eksistensi masyarakat adat dalam
rezim otonomi daerah ?
• Bagaimana Urgensi instrumen evaluasi
perkembangan pembangunan desa yang
berbasis pelestarian kearifan lokal
4. Tujuan Pembahasan
Untuk mengetahui dan memahami
Masyarakat Adat dalam Implementasi
Otonomi Daerah
Implementasi
Untuk mengetahui dan memahami Otonomi
daerah yang Tidak Meninggalkan Masyarakat
Adat
Mempertahankan
Untuk mengetahui dan memahami
Pengertian kearifan Lokal
Pengertian
Untuk mengetahui dan memahami Sistem
Nilai dalam Penataan Ruang Kawasan
Perdesaan berbasis kearifan lokal
Sistem Nilai
01
02
03
04
Untuk mengetahui dan memahami
Nilai-nilai kearifan lokal
Nilai-Nilai
05
5. Konsentrasi pemerintah terhadap
eksistensi masyarakat adat dalam rezim
otonomi daerah
Masyarakat Adat dalam
Implementasi Otonomi Daerah
Otonomi Daerah umumnya dipahami sebagai ruang bebas-terbatas bagi daerah untuk menentukan arah
dan mengatur diri sendiri. Dalam paham yang lebih linier dengan beleid yang ada, terbatas juga
memiliki preferensi yang berbeda, sebab posisi daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) tidak bisa lepas sepenuhnya dari peraturan pemerintah pusat dalam banyak hal. Otonomi
Daerah menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, disebutkan sebagai bentuk penyelenggaraan
pemerintahan daerah, sesuai amanat UUD 1945, bahwa pemerintah daerah dapat mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. bebas dalam
pengertian ini adalah “pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan.
Federasi adalah bentuk pemerintahan yang oleh beberapa negara bagian bekerja sama dan membentuk
kesatuan yang disebut Negara Federasi. Nilai Unitaris tersebut terbangun dari nilai dasar desentralisasi
teritorial yang bersumber dari isi dan jiwa [Pasal 18] Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), di mana pemerintah diwajibkan melaksanakan politik
desentralisasi dan dekonsentralisasi (sekaligus) di bidang ketatanegaraan. Dari nilai itu, desentralisasi
di Indonesia terpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan pelimpahan sebagian kekuasaan
dan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pelimpahan tersebut untuk mengatur dan
mengurus sebagian kekuasaan dan kewenangan daerah itu sendiri sesuai UUD 1945.
6. Otonomi daerah yang Tidak
Meninggalkan Masyarakat Adat
Masyarakat adat merupakan istilah umum yang dipakai
di Indonesia untuk merujuk pada komunitas-komunitas
adat (adat rechtsgemeenschappen) yang sudah ada sejak
manusia membentuk komunalnya, mencakup segala aspek
dan tingkatan kehidupan. Masyarakat adat baru diakui
secara deklaratif oleh negara, namun selain hak suara
mereka belum memiliki hak bersuara. Masyarakat adat
tidak memiliki representasi dalam strata politik
negara, terkait pembahasan dan penentuan perundangan
yang akan diberlakukan, yang otomatis, akan
mengintrusi preposisi otonom fungsi peradatan mereka
secara komunal. Negara dan pemerintah perlu membuat
aturan tambahan dalam perundangan yang dapat
menempatkan masyarakat adat dan masyarakat hukum
adat dalam sebuah perwakilan parlemen, sekaligus
akses pembahasan legislasi.
7. MAKNA HAKIKI “OTONOMI” DALAM OTONOMI DAERAH
Dua premis mengemuka terkait pembelahan kewenangan tersebut disesuaikan
dengan sistem negara yakni kekuasaan yang terpisah (power separation) dalam
sistem federalisme dan kekuasaan yang terpisah (power sharing) dalam negara
kesatuan / unitarisme. Otonomi dalam konsep federalisme sendiri diartikan sebagai
bentuk independensi kewenangan daerah dari segala bentuk intervensi dari
pemerintah pusat. Daerah atau dalam bahasa otonomi federalisme disebut sebagai
pemerintah lokal (local government) merupakan unit politik memiliki kedaulatan
tersendiri yang berperan sebagai unsur pembentuk federalisme. Otonomi dalam
konsep federalisme juga tidak mengenal adanya hubungan hierarkis yang selama ini
ada dalam implementasi otonomi daerah yakni hubungan antara pemerintah lokal di
tingkat negara bagian maupun yang berada pemerintahan lokal di bawahnya seperti
municipality, township, maupun county adalah sama dan sejajar. Kesejajaran
tersebut karena setiap pemerintahan lokal adalah wilayah yang independen dan
tidak terikat satu sama lain. Hal inilah yang menjadikan sistem eksekutif, legislatif,
maupun yudikatif antar daerah otonom berlainan satu sama lainnya. Sebagai contoh
perjudian dilegalkan di Negara Bagian Nevada, namun dilarang keras di Negara
Bagian California, Amerika Serikat. Pola yang tidak seragam tersebut mengikuti
karakteristik sosial-politik yang berada di daerah otonom tersebut.
8. Urgensi instrumen evaluasi perkembangan pembangunan desa yang
berbasis pelestarian kearifan lokal
• Pengertian kearifan Lokal
Secara etimologi menurut Ermawi (2009) “kearifan
(wisdom) berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan
akal pikirannya untuk menyikapi suatu kejadian, obyek, atau
situasi”. Sedangkan lokal berarti kejadian yang terjadi pada
daerahnya. Kearifan lokal adalah pikiran positif manusia
yang berhubungan dengan alam, lingkungan yang bersumber
dari adat istiadat, nilai agama, petuah-petitih nenek moyang
yang terbentuk oleh masyarakat sekitar.
9. Urgensi instrumen evaluasi perkembangan pembangunan desa yang
berbasis pelestarian kearifan lokal
• Nilai-nilai Kearifan Lokal
Kearifan lokal adalah budaya masyarakat yang telah
diciptakan oleh nenek moyang dan menjadi warisan bagi
anak cucunya dan sebagai alat kontrol tingkah laku
masyarakat. Nilai – nilai yang dianggap sebagai alat kontrol
sosial dianggap juga sebagai nilai agama yang menjadi
pedoman bagi kehidupan manusia. Sedangkan nilai yang
tidak sesuai dengan nilai keagamaan dianggap oleh
masyarakat sebagai yang tidak bisa menghargai nilai. Nilai
yang dijadikan patokan dari kearifan lokal di masyarakat,
telah lama berevolusi dalam masyarakat maupun lingkungan
dan sudah beberapa kali mengalami masa periode generasi
ke generasi.
10. URGENSI PEMBANGUNAN DI DESA
Dalam artian kemampuan
masyarakat dalam memenuhi atau
mencukupi kebutuhan-kebutuhan
dasar seperti sandang, pangan,
perumahan, kesehatan, pendidikan
dasar, dan keamanan.
Swa-sembada
Dalam artian kemampuan
untuk memilih alternatif
alternatif bagi perbaikan mutu
hidup atau kesejahteraan
masyarakat.
Kebebasan
Dalam artian kepercayaan diri
untuk tidak dimanfaatkan oleh
pihak lain untuk kepentingan
mereka atau hidup dalam
penindasan.
Harga Diri
• Pembangunan merupakan upaya yang terus menerus ditujukan untuk
memperbaiki kehidupan masyarakat dan bangsa yang belum baik, atau
untuk memperbaiki kehidupan yang sudah baik menjadi lebih baik.
11. • Sistem Nilai dalam Penataan Ruang
Kawasan Perdesaan berbasis kearifan lokal
Di kalangan antropolog ada tiga pola yang
dianggap paling penting berkaitan dengan
masalah perubahan kebudayaan: evolusi,
difusi, dan akulturasi
12. Kesimpulan
• Kearifan lokal adalah pikiran positif manusia yang berhubungan dengan alam,
lingkungan yang bersumber dari adat istiadat, nilai agama, petuah-petitih nenek
moyang yang terbentuk oleh masyarakat sekitar. Warisan ini dijadikan sebagai alat
kontrol di masyarakat dan sudah melembaga sehingga menjadi kebudayaan. Dalam
bahasa asing, “kearifan lokal dikonsepsikan sebagai “local wisdom” atau pengetahuan
setempat “local knowledge” atau kecerdasan setempat “local genious”.
• Kearifan lokal sama juga halnya dengan nilai budaya yang dipegang oleh masyarakat
yang dijadikan sebagai pandangan hidup. Akan tetapi, walaupun masa sejarahnya
nilai-nilai kearifan lokal menjadi senjata utama dalam bermasyarakat, seiring dengan
waktu berjalan, mengalami juga perubahan. Dengan adanya keanekaragaman bangsa
Indonesia, sehingga kearifan lokal pun ikut mengalami perbedaan juga. Suku Melayu
terkenal dengan kearifan lokalnya dengan “lain lubuk lain ikannya, dimana bumi
diinjak di situ langit dijunjung”. Menurut Teezzi, Marchettini, dan Rosini yang dikutip
oleh Hasbullah (2012), menjelaskan bahwa kearifan lokal ini terbentuk oleh tradisi
dan agama. Bagi masyarakat, “kearifan lokal dapat ditemui dalam nyanyian, pepatah,
sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-
hari”. Perilaku tersebut, sudah tercermin dari kebiasaan hidup masyarakat yang telah
berlansung dengan lama.
13. Credits: This presentation template was created
by Slidesgo, including icons by Flaticon, and
infographics & images by Freepik
THANKS!