Ukuran Letak Data kuartil dan beberapa pembagian lainnya
Qawaidh Fiqhiyyah: Adh-Dhararu Yuzal
1. Qawaidh al-Fiqhiyyah
ُالَزُي ُرََّرالض
Kemadaratan harus dihilangkan
Redaksi kaidah di atas menunjukan bahwa kemadaratan itu telah terjadi. Apabila suatu
kemadaratan telah terjadi maka kemadaratan itu harus dihilangkan. Konsepsi kaidah ini memberi
pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya
sendiri maupun orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya.1
Menurut sebagian
ulama, رََّرالض adalah membahayakan orang lain secara mutlak. Menurut al-Khusyani, رََّرالض
adalah sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri tetapi membahayakan orang lain. Kaidah di atas
berasal dari hadis Nabi SAW, sebagian ulama menggunakan hadis ini sebagai salah satu kaidah.
Berikut hadisnya:
اَلاََااَراَرااَواَلاَِااَراَار
Artinya: “Tidak boleh membuat kemadaratan dan membalas kemadaratan lain”
Para ulama menganggap hadis ini sebagai “jawami’ al-kalim” (kalimat yang komprehensif), oleh
karenanya hadis tersebut dijadikan sebagai qawaidh fiqhiyyah kuliyyah.2
a. Dasar Kaidah dari Ayat al-Quran
Kaidah ini didasari pula oleh beberapa ayat-ayat al-Quran di antaranya:
1) QS. al-A’raf [7]: 56
1
Nashr Farid Muhamad Natsir dan Abdul Aziz Muhamad Azzam, Qawaidh Fiqhiyyah, Penerjemah: Wahyu
Setiawan (Jakarta: Amzah, 2015), hal. 17
2
Hidayatullah, Syarif, Qawaidh Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangan Syariah Kontemporer,
(Jakarta: Gramata Publishing, 2011), hal. 59.
2. ااااااااااااااا
ااااا
56. dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya
dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan
dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.
2) QS. al-Qashash [28]: 77
اااااااااااااااا
اااااااااااااااااا
77. dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.
3) QS al-Baqarah [2]: 60
اااااااااااااااا
اااااااااااااااااااا
60. dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: "Pukullah
batu itu dengan tongkatmu". lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. sungguh tiap-tiap
3. suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing)3
. Makan dan minumlah rezki (yang
diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.
b. Penyusunan Kaidah ُالَزُي ُرََّرالض
Pada masa pembentukan (penyusunan) kaidah-kaidah fikih, ulama dari kalangan empat
madzhab banyak menyusun buku-buku yang berisikan kaidah-kaidah fikih agar kaidah-kaidah
fikih ini dapat dipahami oleh generasi berikutnya. Di antara ulama yang menyusun buku tentang
kaidah fikih ialah Abu Thahir ad-Dibas, Imam Abu Zaid Abdullah Ibnu Umaruddin ad-Dabusy
al-Hanafi, dan Zainul Abidin Ibn Ibrahim al-Mishry. Zainal Abidin Ibn Ibrahim al-Mishry
menulis buku dengan judul al-Ashbah wa an-Nadhair, bukunya memuat 25 kaidah fikih yang
dibagi menjadi dua. Bagian pertama berupa kaidah-kaidah asasiyah yang berjumlah enam buah,
salah satu kaidah asasiyah tersebut adalah kaidah اُالَزُايُرََّرالض. Dan, bagian kedua terdiri dari 19
buah yang terperinci menjadi maudhu’ yang berbeda-beda, dengan diberi keterangan yang detail,
dalam bentuk hukum furu’ yang praktis.4
c. Penerapan Kaidah ُالَزُي ُرََّرالض
Kaidah اُالَزُايُرََّرالض memiliki area yang luas, hampir pada sebagian besar masalah-masalah
fikih. Contohnya, mengembalikan barang yang telah dibeli karena adanya cacat, memberi wakaf
jika dimaksudkan untuk memadaratkan atau menghilangkan hak para pemberi hutang, dan
sebagainya.5
3
Ialah sebanyak suku Bani Israil sebagaimana tersebut dalam surat Al A'raaf ayat 160.
4
Rahman, Asjmuni, Kaidah-kaidah fikih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal. 12-13
5
Rahman, Asjmuni, Kaidah-kaidah fikih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal. 85-86
4. Kaidah ini terkonkretisasi menjadi sejumlah hukum fikih yang bersifat partikular (furu’),
di antaranya bentuk-bentuk khiyar dalam transaksi jual beli, pembatasan wewenang (al-Hijr),
hak syuf’ah (membeli pertama) oleh partner bisnis atau tetangga rumah, hudud, ta’zir, dan
pembatasan kebebasan manusia dalam masalah kepemilikan atau pemanfaatanya agar tidak
menimbulkan bahaya bagi orang lain.6
1. Khiyar dalam segala jenis dan bentuknya ditetapkan oleh syara’ untuk menghilangkan
bahaya atau madarat. Misalnya, khiyar syarth dalam transaksi jual beli diberlakukan untuk
menghilangkan kemungkinan terjadinya hal yang tidak diinginkan katakanlah barang yang
dibeli cacat sehingga menimbulkan kerugian. Khiyar syarth bermanfaat untuk orang yang
kurang berpengalaman dalam melakukan transaksi jual beli, sehingga saat barang yang
diterimanya cacat, ia bisa mengembalikan barang tersebut dan tidak mengalami kerugian.
Sementara khiyar ru’yah merupakan khiyar yang muncul sebab barang jualan yang dilihat
pembeli tidak sesuai dengan spesifikasi yang disebutkan penjual. Sehingga pembeli bisa
membatalkan pembeliannya manakala ia melihat kondisi barang tidak sesuai dengan
spesifikasi yang disebutkan si penjual pada saat transaksi. Sedangkan khiyar aib, unsur
menghilangkan bahaya (kerugian) di dalamnya sudah sangat jelas.
2. Al-hijr ialah pembatasan wewenang dalam men-tasharruf-kan hak milik. Seseorang dapat
dibatasi wewenang dalam menguasai hak milikinya dikarenakan beberapa faktor, di antara
faktor tersebut ialah si pemilik masih kanak-kanak, gila, sembrono (al-ghaflah), dan idiot
(as-safah). Pemberlakuan al-hijr ini dilakukan untuk melindungi dan memberikan
kemaslahatan kepada pemilik agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap hartanya,
misalnya saja pengeksplotasian dan lain sebagainya.
Mekanisme al-hijr juga diberlakukan bagi orang yang terlilit utang dan tidak mampu bayar.
Sebab hal ini akan melindungi hak orang-orang yang berpiutang (kreditor). Dalam kasus ini,
orang yang berutang (debitur) dilarang menggunakan hartanya agar hak kreditor tidak hilang.
Harta debitur dapat digunakan untuk membayar utang-utangnya.
3. Syuf’ah yaitu hak membeli pertama atau menerima tawaran pertama dari penjualan barang
milik tetangga rumah atau partner bisnis. Syuf’ah dilakukan untuk menghindari bahaya dari
6
Nashr Farid Muhamad Natsir dan Abdul Aziz Muhamad Azzam, Qawaidh Fiqhiyyah, Penerjemah: Wahyu
Setiawan (Jakarta: Amzah, 2015), hal. 17
5. pembagian barang kongsian, sedangkan hak syuf’ah bagi seorang tetangga dimaksudkan
untuk menepis bahaya perlakuan buruk bertetangga (sual al-jiwar).
4. Qishash dalam konteks jiwa dan hudud disyariatkan untuk menghindari bahaya yang
berkelanjutan dan menyeluruh di masyarakat serta untuk melindungi dan memelihara kelima
prinsip umum (maqashid asy-syariah) yang bersifat primer atau dharuriyyat, yaitu
memelihara jiwa, agama, akal, keturunan (nasab), dan harta.
Sedangkan qishash dalam konteks selain jiwa ditetapkan untuk menyingkirkan unsur bahaya
dari pihak korban tindak kejahatan dengan mengobati rasa dendamnya terhadap orang yang
melanggar haknya sesuai dengan watak alamiah manusia. Dari sisi lain, pelaku kejahatan pun
terlindungi dari tindak balas dendam yang lebih menyakitkan dari pihak korban. Pensyariatan
qishash juga diberlakukan untuk menjaga keamanan dan stabilitas masyarakat.
5. Pembatasan atau limitasi kebebasan manusia dalam mempergunakan hak utilitas (tingkat
kepuasan), kepemilikannya, atau pun tasharruf nya pada hal-hal yang menimbulkan bahaya
bagi orang lain juga termasuk kategori upaya pencegahan bahaya yang mengerikan dengan
segala cara jika memang ia benar-benar terjadi. Misalnya, dalam kehidupan bermasyarakat,
masyarakat yang saling bertetangga mesti menghargai dan menghormati hak tetangganya
serta tidak menimbulkan bahaya seperti kerugian, kerusakan, dan lain sebagainya. Contoh
yang lebih konkret, seorang tetangga membuat saluran air untuk rumahnya, sedangkan
saluran air tersebut dapat menyebabkan kerapuhan tembok (dinding) rumah tetangganya
sehingga dapat membuat rumah tetangganya roboh. Maka pembuatan saluran air itu tidak
diperbolehkan karena alasan akan membahayakan tetangganya sudah sangat jelas di
dalamnya.
Dengan dasar kaidah fikih اُالَزُايُرََّرالض, para ulama Islam menetapkan asas hukum umum
dalam perihubungan bertetangga rumah, bahwa kebebasan tetangga dalam menjalankan hak
kepemilikannya dibatasi dengan keharusan tidak mendatangkan bahaya dan kerusakan yang
nyata pada hak tetangganya. Lebih jauh lagi, saling menghormati dan menghargai hak tidak
hanya mesti dilakukan dalam kehidupan bertetangga melainkan dalam semua aspek kehidupan
kita, kapan pun dan di mana pun tiap orang mesti saling menghargai dan menghormati hak orang
lain di sekitarnya.
6. Dari kaidah ini pula, para ahli hukum Islam menetapkan suatu ketetapan yakni apabila
seseorang menimbulkan bahaya yang nyata pada hak orang lain dan memungkinkan ditempuh
langkah-langkah pencegahan untuk menepis bahaya tersebut maka orang tersebut dapat dipaksa
untuk mengambil langkah-langkah pencegahan, dan dalam keadaan tertentu seseorang dapat
dituntut pula untuk menghilangkan bahaya yang ditimbulkannya.
Dalam segala kondisi, seseorang tidak dapat dipaksa untuk menghilangkan hak miliknya
yang berpotensi menimbulkan bahaya bagi tetangganya jika memang hak milik tersebut lebih
dahulu ada sebelum tetangganya. Misalnya seorang yang baru saja pindah rumah ke rumah yang
ada di samping sebuah pabrik tidak bisa menuntut penutupan pabrik dengan alasan efek negatif
yang diterimanya. Hal ini disebabkan, ia sendiri yang memasuki wilayah bahaya dengan
keinginannya sendiri. Jadi, yang perlu dicegah, ditepis, dihilangkan bahaya dalam kasus ini ialah
orang yang baru saja pindah rumah mestinya tidak memilih rumah di wilayah yang berbahaya.
Namun, jika terkait dengan kemadaratan umum (bahaya sosial), maka di sini tidak lagi
dilihat apakah penyebab bahaya tersebut terlebih dahulu ada atau baru, bahaya yang ditimbulkan
tersebut dalam keadaan apapun mesti dihilangkan. Contoh, pembangunan pabrik di tengah
perkotaan dan membahayakan penduduk sekitar dengan efek negatifnya dapat dituntut
penutupan pabrik, atau suatu pabrik yang menghasilkan limbah yang dapat meracuni lingkungan
dapat pula ditutup.
Pada dasarnya Islam melarang seseorang merusak maqashid asy-syariah yakni dengan
membunuh jiwa, merusak akal, mengganggu keturunan, merusak harta, menganggu kehormatan,
melakukan ghasab (pencurian) dan penganiayaan, serta setiap perbuatan yang membahayakan
diri sendiri dan orang lain. Sehingga semua perbuatan itu mesti dicegah, ditepis, dan dihilangkan.
d. Penerapan Kaidah dalam Transaksi Keuangan Syariah
Contoh penerapannya:
1) Jika seandainya seseorang meminjam uang dengan kadar tertentu, kemudian uang
tersebut tidak berlaku lagi karena penggantian uang, atau yang lainnya, maka menurut
dua sahabat Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan al-Syaibani orang
7. tersebut wajib mengembalikannya sesuai dengan harga uang tersebut. Tetapi mereka
berbeda pendapat apakah harga tersebut ditentukan pada hari terakhir lakunya uang
tersebut atau pada waktu peminjaman uang. Menurut Abu Yusuf harga tersebut
ditentukan pada hari terakhir berlakunya uang pinjaman tersebut, sedangkan menurut
Muhammad bin Hasan al-Syaibani, nilai uang pinjaman tersebut ditentukan sesuai
dengan nilai uang pada waktu mengambil pinjaman.7
Perbedaan pendapat ini semuanya
bertujuan untuk menghilangkan madarat atau bahaya.
2) Jika seandainya seseorang berhutang makanan, kemudian orang yang memberi hutang
makanan tersebut menagih utang di Mekkah –misalnya- sedangkan harga makanan yang
diutangkan itu mahal, atau murah di sana. Menurut Abu Yusuf orang tersebut hanya
wajib membaayar sesuai dengan nilai uang saat ia berutang dari orang yang memberi
utang dinegaranya. Hal ini untuk menghilangkan madarat bagi keduanya.8
Jadi, harga
makanan yang utangkan mesti ditetapkan oleh keduanya.
3) Hakim berhak mencegah orang yang berutang untuk safar atau berpergian atas
permintaan yang punya piutang sehingga ia menunjuk seorang wakil yang mewakilinya
dan tidak boleh ia memberhentikan wakilnya selama ia dalam berpergian, hal ini
dibolehkan untuk dilakukan guna menghilangkan madarat (bahaya) bagi yang
berpiutang.9
7
Ahmad Muhammad al-Zarqa, Syarth al-Qawaidh al-Fiqhiyyah, hal. 179. Dikutip dari Hidayatullah, Syarif,
Qawaidh Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangan Syariah Kontemporer, (Jakarta: Gramata
Publishing, 2011), hal. 61
8
Ahmad Muhammad al-Zarqa, Syarth al-Qawaidh al-Fiqhiyyah, hal. 180. Dikutip dari Hidayatullah, Syarif,
Qawaidh Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangan Syariah Kontemporer, (Jakarta: Gramata
Publishing, 2011), hal. 61
9
Athiyah Adlan, Mausu’ah al-Qawaidh al-Fiqhiyyah, hal. 50. Dikutip dari Hidayatullah, Syarif, Qawaidh
Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangan Syariah Kontemporer, (Jakarta: Gramata Publishing,
2011), hal. 61