Konversi lahan pertanian di Indonesia semakin tidak terkendali. Laju konversi lahan sawah mencapai 100 ribu hektar per tahun, lebih besar dari kemampuan pemerintah dalam mencetak sawah baru. Hal ini berdampak pada ketahanan pangan nasional. Pemerintah telah mengeluarkan undang-undang untuk melindungi lahan pertanian, namun konversi lahan ke perumahan dan industri masih berlangsung. Upaya menekan konversi
1. Permasalahan Konversi Lahan Pertanian
yang Semakin Tidak Terkendali
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas daratan mencapai 1.922.570 km²
dan luas perairan mencapai 3.257.483 km². Besarnya luas daratan yang dimiliki Indonesia
mempunyai potensi yang cukup besar untuk pengembangan sektor pertanian. Menurut data
BPS (Badan Pusat Statistik), terdapat 95,81 juta Ha lahan pertanian yang terbagi dalam
beberapa kategori seperti lahan pertanian kering 70,59 juta Ha, lahan pertanian basah non
rawa 5,25 juta hektar dan lahan pertanian basah 19,99 juta hektar.
Semakin maju perkembangan zaman, semakin kompleks juga masalah yang dialami
oleh sektor pertanian di Indonesia terutama masalah yang berhubungan dengan lahan
pertanian. Dewasa ini, keberlanjutan sektor pertanian-tanaman pangan tengah dihadapkan
pada ancaman serius, yakni luas lahan pertanian yang semakin menyusut akibat konversi
lahan pertanian produktif ke penggunaan non-pertanian yang terjadi secara masif. Banyak
lahan pertanian banyak beralih ke hal yang lebih menguntungkan seperti real estate, pabrik,
infrastruktur.
2. Gambar 1. Ilustrasi Alih Fungsi Lahan Pertanian
Laju konversi lahan sawah mencapai 100 ribu hektar per tahun, sedangkan
kemampuan pemerintah dalam mencetak sawah baru masih terbatas dalam beberapa tahun
akhir ini dengan kemampuan 40 ribu Ha per tahun. Hal ini membuat jumlah lahan pertanian
yang terkonversi brlum dapat diimbangi dengan laju pencetakan sawah baru. Untuk mencetak
satu hektar sawah sedikitnya dibutuhkan dana sekitar 30 juta rupiah. Selain itu, sangat
tergantung dari koordinasi dengan daerah dan juga adanya berbagai persoalan yang dihadapi
dalam merealisasikan, terutama masalah status penguasaan dan kepemilikan lahan.
Konversi lahan sawah terbesar terjadi di wilayah sentra produksi pangan nasional
yaitu di Pulau Jawa yang sebesar 80%. Hal ini tentu saja akan berdampak pada masalah
ketahanan pangan nasional. Padahal jumlah penduduk Indonesia terus mengalami
peningkatan setiap tahunnya sehingga kebutuhan akan pangan akan terus mengalami
peningkatan.
3. Luas penguasaan lahan petani semakin sempit akan semakin menyulitkan upaya
meningkatkan kesejahteraan petani. Pada tahun 2012, luas penguasaan lahan per petani
sekitar 0,22 ha dan diperkirakan akan menjadi 0,18 ha pada tahun 2050. Hal ini menyulitkan
upaya peningkatan kesejahteraan petani, penyempitan penguasaan lahan mengakibatkan tidak
efsien dalam berusahatani.
Menurunnya rata-rata luas pemilikan lahan diikuti pula dengan meningkatnya
ketimpangan distribusi pemilikan lahan yang terjadi pada agroekosistem persawahan di Jawa.
Status penguasaan lahan oleh petani sebagian besar belum bersertifkat, sehingga lahan belum
bisa dijadikan sebagai jaminan memperoleh kredit perbankan. Pesatnya laju pembangunan
ekonomi berbasis sumberdaya lahan telah membawa implikasi terhadap pelanggaran tata
ruang. Otonomi daerah juga membawa akses peningkatan pemanfaatan lahan multi sektoral.
Kondisi tersebut pada kenyataannya sulit diimbangi dengan penyediaan lahan, baik melalui
pemanfaatan lahan pertanian yang ada maupun pembukaan lahan baru.
Pemerintah sebenarnya sudah berupaya dalam mengendalikan terjadinya alih fungsi
lahan pertanian ke non pertanian dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) dan Peraturan
Pemerintah pendukungnya, namun pada kenyataannya konversi lahan pertanian ke
4. perumahan dan industri terus berlangsung. Untuk memantapkan upaya pelaksanaan undang-
undang di atas selama lima tahun terakhir sudah diterbitkan berbagai peraturan dan ketentuan
lanjutan, diantaranya dengan terbitnya turunan Undang-Undang Nomor 41 / 2009, yaitu:
1. PP Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Ahli Fungsi Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan, PP Nomor 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan.
2. PP Nomor 25 Tahun 2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan.
3. PP Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan.
4. Permentan Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2012 tentang Pedoman Teknis Kriteria
dan Persyaratan Kawasan, Lahan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan
Berkelanjutan.
5. Permentan Nomor 79/Permentan/ OT.140/8/2013 tentang Pedoman Kesesuaian
Lahan pada Komoditas Tanaman Pangan.
6. Permentan Nomor 80/Permentan/OT.140/8/2013 tentang Kriteria dan Tata Cara
Penilaian Petani Berprestasi Tinggi pada Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
5. 7. Permentan Nomor81/Permentan/OT.140/8/2013 tentang Pedoman Teknis Tata Cara
Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Upaya menekan laju konversi lahan pertanian ke depan adalah bagaimana melindungi
keberadaan lahan pertanian melalui perencanaan dan pengendalian tata ruang; meningkatkan
optimalisasi, rehabilitasi dan ekstensifkasi lahan; meningkatkan produktivitas dan efsiensi
usaha pertanian serta pengendalian pertumbuhan penduduk.
Sementara itu dalam mendukung sertifkasi lahan, agar petani mendapat kepastian
hukum terhadap lahan yang diusahakannya serta dapat membantunya untuk mengakses
fasilitas pembiayaan seperti bank, juga diinisiasi dalam bentuk program pra dan pasca
sertifkasi lahan. Selama tahun 2011 dan 2012 telah dilaksanakan pada 32.000 dan 72.300
persil lahan, namun pada tahun 2013 jumlah itu justru berkurang menjadi hanya 697 persil
lahan.