SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 3
Baixar para ler offline
MINGGU 9 NOVEMBER 2014 5Topik
Subkhan
Subkhan@tempo.co.id
D
esainer Barli
Asmara berdiri
di panggung
s a m b i l
m e n g u m b a r
senyum. Malam
itu, Kamis, 23
Oktober 2014, desainer berusia
35 tahun ini menggelar presentasi
mode bertajuk “Royal Javanese”
dalam rangkaian Bazaar Fashion
Festival di Pasar Indonesia
sekaligus trend show Ikatan
Perancang Mode Indonesia.
Ribuan kursi yang ditata menjadi
delapan bagian tribun di Hall
B, Jakarta Convention Center,
Senayan, Jakarta, itu nyaris
terisi penuh. “Saya mengundang
sebagian pengikut saya di media
sosial,” ujar Barli kepada Tempo
seusai peragaan busana.
Penggemar Barli memang
banyak. Setidaknya, tercatat dia
punya lebih dari 13 ribu pengikut
di Twitter, 44 ribu di Instagram,
dan lebih dari 2.000 di Facebook.
Sebetulnya, banyak permintaan
dari para follower Barli untuk
menonton peragaan itu. Barli lalu
meminta mereka mengirim surat
elektronik. Jumlah permintaan
undangan pun melonjak,
“Sehingga saya harus membatasi-
nya juga,”kata dia.
Jumlah pengikut Barli sebe-
narnya masih kalah banyak
dibanding pengikut desainer Tex
Saverio. Di Twitter, akun desainer
yang rancangan bajunya dipa-
kai aktris Jennifer Lawrence ini
diikuti oleh lebih dari 200 ribu
akun.Tapi sosok Barli lebih sering
wira-wiri di layar kaca dibanding
Tex. Secara rutin Barli menjadi
salah satu pemandu acara hibur-
an di televisi swasta dan bahkan
juga menjadi komentator busana
sewaktu acara pelantikan presi-
den dan para menteri.
Barli punya sebuah tim yang
khusus mengelola citranya seba-
gai desainer, termasuk bagaimana
dia akan tampil hingga seperti
apa rambutnya akan dipotong.
Setidaknya ada lima orang yang
mengurusi hal tersebut. Barli
mengaku tak bisa macam-macam
untuk menjaga citranya. “Saya
dulu pernah menjadi seorang
hedonis, pergi ke klub malam dan
sebagainya.Tapi sekarang seperti-
nya sudah tidak bisa seperti itu.”
Barli sadar betul bahwa citra
adalah salah satu modal utama
dalam dunia mode. Dengan sede-
ret sponsor, dari pewangi pakaian,
produkkecantikan,hinggatelepon
seluler, Barli bisa disebut sebagai
salah satu contoh desainer yang
sukses membangun citra.
Menurut Direktur Kreatif
Jakarta Fashion Week, Diaz
Parsada, mode bukan hanya
soal merancang, menjahit, dan
menjual pakaian. “Sekarang era
bisnisnya sudah berbeda. It’s all
about branding,”katanya.Seorang
desainer, kata Diaz, harus tahu
betul bagaimana membawa diri-
nya dan mempresentasikan kepri-
badiannya sebagai bagian dari
label.“Seorang desainer kini juga
harus siap muncul dan memper-
kenalkan dirinya.”
Tuntutan bagi desainer kini
bertambah. Selain
merancang, mem-
buat, dan mem-
presentasikan
koleksi, mereka
d i h a r a p k a n
pandai berbi-
cara kepada
pers dan
Ada banyak cara membangun citra label mode,
dari konsistensi rancangan pakaian hingga
pilihan muse atau wajah label dari kalangan
selebritas.
KINI
ZAMANNYA
CITRA
Koleksi desainer Barli
Asmara dalam pekan
mode Jakarta Fashion
Week 2015 di Fashion
Tent Senayan City,
Jakarta, 5 November lalu.
TEMPO/NURDIANSAH
MINGGU 9 NOVEMBER 20146
menjalin komunikasi dengan
klien dan masyarakat.
Hal itu tampaknya benar-benar
ditekankan kepada para peser-
ta program Indonesia Fashion
Forward (IFF),salah satu program
tahunan Jakarta Fashion Week
(JFW). Program yang dilakukan
secara berkesinambungan ini
“membedah” label para desainer
yang terpilih untuk mengikuti
program yang didukung oleh
British Council itu. Biasanya,
dalam program ini, para desainer
terpilih bakal diberi masukan dan
saranuntukmembangunlabelnya.
Setelah sukses membangun label,
para desainer akan diajak untuk
memasuki pekan mode dunia.
Desainer masa kini, kata Diaz,
juga tak lagi mengerjakan semua-
nya. Mereka perlu memiliki tim
yang khusus menangani pema-
saran hingga membangun citra
labelnya.Sebagianrancanganpara
desainer dan label dari program
IFF, yang berjumlah 30 peserta,
dirombak besar-besaran dari segi
desain atau pembangunan label
pada tahap awal.Desainer Patrick
Owen, misalnya, diminta untuk
membentuk sebuah tim, “Karena
awalnya dia datang dengan desain
sendiri dan tanpa tim,”kata Diaz.
Belakangan, Patrick merekrut
tim desainer untuk membantunya
mengembangkan desain.
Dalam pergelaran Jakarta
Fashion Week tahun ini, Patrick
menjadi salah satu pembuka
acara tahunan itu. Dia bergabung
dalam slot peragaan desainer
pakaian premium, seperti Sapto
Djojokartiko dan Tex Saverio
serta desainer perhiasan Rosalyn
Citta. Menurut Diaz, Patrick dan
desainer IFF lain punya strategi
khusus dalam menyusun koleksi
pakaian mereka setiap musim.
Untuk musim ini, misalkan,
Patrick merancang koleksi baju
dari sutra dengan motif cetak ber-
warna hitam dan biru serta baju-
baju berwarna hitam transparan
bertabur sequin.
Koleksi yang ditargetkan bakal
terjual adalah boxy sweater, baju
hangat dari sutra dengan motif
cetak ala Patrick Owen, dan sete-
lan jas bermotif serupa. IFF, kata
Diaz, mengarahkan para desainer
untuk membuat 20 persen koleksi
sebagai gimmick atau pernyata-
an mode, dan 30 persen sebagai
koleksi kunci yang harus ada
pada musim itu, misalkan maxi
dress atau gaun santai untuk
musim panas. Sisanya merupakan
koleksi sang desainer yang biasa-
nya habis terjual setiap musim.
Pada koleksi Patrick, itu berarti
sweater sutranya.
Patrickjugamenjalinkerjasama
dengan sejumlah selebritas untuk
menjadi muse, wajah label atau
sosok yang memberikan inspirasi
bagi label Patrick. Desainer asal
Dumai ini memilih aktor Arifin
Putra hingga Rio Dewanto
sebagai muse, selain model
Marshall Sastra, yang menjadi
langganan untuk berlenggok bagi
koleksi Patrick yang kini mulai
dijual secara retail di department
store Galeries Lafayette di Paris,
Prancis. “Aku memang memilih
beberapa muse celebrity untuk
label aku,” ujar Patrick, yang
mulai tampil di Jakarta Fashion
Week 2013.
Tak semua strategi peserta
program IFF dirombak. Strategi
Peggy Hartanto, perancang asal
Surabaya, termasuk yang diang-
gap sudah benar. “Kami tidak
sampai‘dioperasi’, karena sasaran
pasarnya dianggap sudah tepat,”
kata Petty Hartanto, saudara
kembar Peggy yang menduduki
posisi brand visualization di label
Peggy Hartanto.
Peggy dan Petty memang punya
strategi jitu untuk membangun
dan memasarkan labelnya.
Mereka menjalin kontak dengan
agensi kehumasan di Amerika
Serikat.“Biasanya agensi itu yang
akan secara aktif menawarkan
pakaian-pakaian kami ke bebe-
rapa penata gaya di Hollywood,”
ujar Peggy. Meskipun baju itu
dipinjam oleh para penata gaya
selebritas ternama, belum tentu
baju itu nanti akan jadi dike-
nakan, karena para penata gaya
itu biasanya meminjam banyak
sekali baju untuk memperbanyak
pilihan.
Pakaian rancangan Peggy ter-
nyata dipilih oleh sejumlah pena-
ta gaya Hollywood hingga akhir-
nya menempel di tubuh sejumlah
artis, dari Bella Thorne hingga
pembawa acara Fashion Police di
kanal E, Giuliana Rancic. “Dari
situlah kemudian mulai banyak
orang di Indonesia yang mencari
karya Peggy,”kata Petty.
Strategi ini tentu bukan hal
Koleksi desainer
Patrick Owen.
Koleksi desainer
Peggy Hartanto.
FOTO-FOTO: TEMPO/NURDIANSAH
murah.Mengirim baju keAmerika
Serikat dan membayar biaya
agensi tentu butuh modal besar.
“Dulu bahkan kami masih kagok
banget. Belum tahu gimana cara
kerjanya,” ujar Peggy. Strategi ini
sebenarnya juga digunakan oleh
label-label besar, dari Sebastian
Gunawan hingga Tex Saverio.
Strategi lain dipakai Ardistia
Dwiasri, desainer dan pemilik
label Ardistia NewYork. Memulai
labelnya dari New York 10 tahun
yang lalu, lulusan sekolah mode
Parsons ini belajar dari nol untuk
mengelola bisnis yang disebutnya
sangat kompetitif ini. Menurut
dia, salah satu strategi yang dia
gunakan adalah mengikuti ber-
bagai perlombaan. “Dalam seta-
hun aku menargetkan menang
satu penghargaan. Itu sebabnya,
dalam setahun, kami biasanya
mengikuti hingga 10 kompetisi,”
ujarnya. Hasilnya, Ardistia kini
mengantongi lebih dari tujuh
penghargaan dan sedang merintis
ekspansinya ke pasar Asia-Pasifik
dengan pusatnya di Indonesia.
Desainer asal Yogyakarta, Lulu
Luthfi Labibi, punya strategi
yang sama. Pada 2011, dia senga-
ja mengikuti Lomba Perancang
Mode yang diselenggarakan
oleh majalah Femina. Dia keluar
sebagai juara pertama. Kini Lulu
mengelola labelnya lewat akun
media sosial Facebook.“Mungkin
banyak yang menertawakan saya
karena jualan lewat Facebook.
Tapi saya pikir saya yang tahu tar-
get pasar saya,” ujarnya. Dengan
desain pakaiannya yang meng-
adopsi bahan lurik, Lulu memang
merancang pakaian yang bisa
dipakai sehari-hari oleh wanita
modern. Bajunya kini dipakai
oleh sederet selebritas, dari Aline
Adita hingga Marsha Timothy.
Memilih media sosial untuk
melepas label seperti Lulu adalah
cara paling murah yang bisa dila-
kukan para perancang. “Media
sosial itu adalah salah satu alter-
natif yang paling membantu,”
kata Lulu. Namun perkembangan
label yang dibangun lewat media
sosial bakal berbeda dengan yang
jor-joran menggenjot citranya
dengan modal besar.
Keberadaan media sosial, kata
Ardistia, membuat cara mengelo-
la citra juga menjadi sedikit ber-
beda, “Jadi sedikit lebih mudah.”
Ardistia tidak punya tim khusus
untuk mengelola citra labelnya,
tapi mengaku sedikit beruntung
karena mengembangkan labelnya
di Amerika Serikat. “Sejak saat
itu, justru banyak permintaan
untuk masuk ke pasar Indonesia,”
ujarnya. Mengelola label dengan
bijak, kata Ardistia, juga bakal
berpengaruh pada kesinambung-
an bisnis yang dijalankan.
Tapi tak semua perancang
menyadari perlunya membangun
label mode sejak dini. Desainer
Sapto Djojokartiko pada awalnya
justru mengaku skeptis soal pem-
bangunan label. “Saya tahunya
hanya membuat karya, membi-
kin baju. Tapi ternyata tidak bisa
seperti itu, mode juga soal bisnis,”
kata Sapto.
Belakangan Sapto mulai mela-
kukan banyak pembenahan pada
labelnya. “Sekarang semuanya
betul-betul dipikirkan dengan
matang. Saya dengan tim sering
membahas konsep yang ingin
kami bangun,”ujarnya.
Kini label Sapto Djojokartiko
mulai dikenal. Selain karena
desain pakaiannya yang kaya
ornamen yang detail serta silu-
et yang feminin dan sederhana,
Sapto juga dikenal dengan pre-
sentasinya yang dramatis. “Saya
ingin orang selalu bisa mengingat
show saya,”ucapnya.
**
S
ejuta strategi dalam mem-
bangun label sebenarnya
sah-sah saja. Tapi, apa yang
terjadi bila label itu sudah ter-
lalu besar namun belum punya
identitas yang jelas? “Kalau
membangun brand dulu tapi
karyanya belum punya karakter,
kan jadinya seperti punya anak
yang tahu-tahu sudah besar,”ujar
desainer Oscar Lawalata.
Untuk membangun label, kata
Oscar, seorang desainer harus
tahu persis seperti apa ciri khas
desainnya dan pasar yang ingin
disasar. Oscar kini mengelola
lima lini dalam Oscar Lawalata
Couture. Ciri khasnya tentu busa-
na yang banyak terilhami dari
kekayaan kain dan siluet pakaian
Nusantara yang sederhana. Dia
tentu punya pasar yang sangat
spesifik.
Bagi desainer Didi Budiardjo,
urusan mengelola citra bisa pen-
ting dan tidak penting. “Yang
paling penting adalah mengenali
diri sendiri dan jangan mem-
bohongi diri sendiri,” ujarnya.
Maksudnya, desainer tidak boleh
tiba-tiba membuat sesuatu yang
bukan keinginannya atau dipak-
sa untuk seperti itu. Didi juga
menganjurkan agar para desainer
berfokus pada pasar yang diingin-
kan. Dia selama ini justru memi-
lih untuk serius menggarap pasar
Indonesia tanpa latah mengejar
pasar internasional. “Saya pikir
pasar di Indonesia saja sudah
cukup besar,” kata desainer yang
baru saja merayakan seperempat
abad kariernya di dunia mode
pada awal bulan ini itu.
Konsultan kreatif sekaligus
penata gaya James Thornandes
mengatakan kebanyakan peran-
cang muda Indonesia belakangan
ini justru lebih piawai mengolah
merek ketimbang desainnya.
Menurut James, yang kini ber-
naung di bawah agensi Studio
47, untuk membangun sebuah
citra label, konsistensi dari karya
itu sendiri dibutuhkan. “Jangan
sampai hanya menang pencitra-
an,” ucap konsultan yang sempat
menangani kampanye pencitraan
sejumlah label desainer itu.
Sejumlah desainer pun, kata
James, kadang belum menyadari
bahwakonsistensijugadiperlukan
untuk membangun citra labelnya.
“Ada beberapa yang masih suka
mengubah-ubah logo labelnya,
padahal kan sayang sekali kalau
logonya berubah.” Bukan hanya
itu, beberapa perancang bahkan
mengubah segmen pasarnya.
“Kalau seperti itu, bukan tidak
mungkin mereka bakal diting-
galkan sebagian target market
mereka.”
Diaz mengatakan, memba-
ngun citra mode memang harus
dilakukan sebagai salah satu
strategi untuk membangun citra
bangsa. “Kalau produk mode-
nya saja dipandang berkualitas,
apalagi produk yang lain,” ujar-
nya. Pembangunan citra ini juga
mendapatkan momentum men-
jelang berlakunya Masyarakat
Ekonomi ASEAN tahun depan.
“Desainer di Singapura, Malaysia,
dan Thailand serta negara lain
sudah ramai membicarakan itu.
Sepertinya hanya di Indonesia
saja yang sepi.”
7Topik
Koleksi desainer Oscar Lawalata.
Koleksi terbaru desainer Tex Saverio.

Mais conteúdo relacionado

Destaque

tổng hợp đề kiểm tra có đáp án hay chương 1 phép dời hình đồng dạng hình học 11
tổng hợp đề kiểm tra có đáp án hay chương 1 phép dời hình đồng dạng hình học 11 tổng hợp đề kiểm tra có đáp án hay chương 1 phép dời hình đồng dạng hình học 11
tổng hợp đề kiểm tra có đáp án hay chương 1 phép dời hình đồng dạng hình học 11 Hoàng Thái Việt
 
Kütahya karayolu 15483
Kütahya karayolu 15483Kütahya karayolu 15483
Kütahya karayolu 15483AlimBey
 
مختصر وحدة التعلم الذاتي 2015
مختصر وحدة التعلم الذاتي 2015مختصر وحدة التعلم الذاتي 2015
مختصر وحدة التعلم الذاتي 2015Haitham El-Ghareeb
 
Tuyentaphinhkhonggiantrongcacdethithu 140205205436-phpapp02
Tuyentaphinhkhonggiantrongcacdethithu 140205205436-phpapp02Tuyentaphinhkhonggiantrongcacdethithu 140205205436-phpapp02
Tuyentaphinhkhonggiantrongcacdethithu 140205205436-phpapp02Đức Mạnh Ngô
 

Destaque (6)

tổng hợp đề kiểm tra có đáp án hay chương 1 phép dời hình đồng dạng hình học 11
tổng hợp đề kiểm tra có đáp án hay chương 1 phép dời hình đồng dạng hình học 11 tổng hợp đề kiểm tra có đáp án hay chương 1 phép dời hình đồng dạng hình học 11
tổng hợp đề kiểm tra có đáp án hay chương 1 phép dời hình đồng dạng hình học 11
 
Kütahya karayolu 15483
Kütahya karayolu 15483Kütahya karayolu 15483
Kütahya karayolu 15483
 
DSA - 2012 - Conclusion
DSA - 2012 - ConclusionDSA - 2012 - Conclusion
DSA - 2012 - Conclusion
 
مختصر وحدة التعلم الذاتي 2015
مختصر وحدة التعلم الذاتي 2015مختصر وحدة التعلم الذاتي 2015
مختصر وحدة التعلم الذاتي 2015
 
Updated_Resume
Updated_ResumeUpdated_Resume
Updated_Resume
 
Tuyentaphinhkhonggiantrongcacdethithu 140205205436-phpapp02
Tuyentaphinhkhonggiantrongcacdethithu 140205205436-phpapp02Tuyentaphinhkhonggiantrongcacdethithu 140205205436-phpapp02
Tuyentaphinhkhonggiantrongcacdethithu 140205205436-phpapp02
 

korantempo20141109

  • 1. MINGGU 9 NOVEMBER 2014 5Topik Subkhan Subkhan@tempo.co.id D esainer Barli Asmara berdiri di panggung s a m b i l m e n g u m b a r senyum. Malam itu, Kamis, 23 Oktober 2014, desainer berusia 35 tahun ini menggelar presentasi mode bertajuk “Royal Javanese” dalam rangkaian Bazaar Fashion Festival di Pasar Indonesia sekaligus trend show Ikatan Perancang Mode Indonesia. Ribuan kursi yang ditata menjadi delapan bagian tribun di Hall B, Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, itu nyaris terisi penuh. “Saya mengundang sebagian pengikut saya di media sosial,” ujar Barli kepada Tempo seusai peragaan busana. Penggemar Barli memang banyak. Setidaknya, tercatat dia punya lebih dari 13 ribu pengikut di Twitter, 44 ribu di Instagram, dan lebih dari 2.000 di Facebook. Sebetulnya, banyak permintaan dari para follower Barli untuk menonton peragaan itu. Barli lalu meminta mereka mengirim surat elektronik. Jumlah permintaan undangan pun melonjak, “Sehingga saya harus membatasi- nya juga,”kata dia. Jumlah pengikut Barli sebe- narnya masih kalah banyak dibanding pengikut desainer Tex Saverio. Di Twitter, akun desainer yang rancangan bajunya dipa- kai aktris Jennifer Lawrence ini diikuti oleh lebih dari 200 ribu akun.Tapi sosok Barli lebih sering wira-wiri di layar kaca dibanding Tex. Secara rutin Barli menjadi salah satu pemandu acara hibur- an di televisi swasta dan bahkan juga menjadi komentator busana sewaktu acara pelantikan presi- den dan para menteri. Barli punya sebuah tim yang khusus mengelola citranya seba- gai desainer, termasuk bagaimana dia akan tampil hingga seperti apa rambutnya akan dipotong. Setidaknya ada lima orang yang mengurusi hal tersebut. Barli mengaku tak bisa macam-macam untuk menjaga citranya. “Saya dulu pernah menjadi seorang hedonis, pergi ke klub malam dan sebagainya.Tapi sekarang seperti- nya sudah tidak bisa seperti itu.” Barli sadar betul bahwa citra adalah salah satu modal utama dalam dunia mode. Dengan sede- ret sponsor, dari pewangi pakaian, produkkecantikan,hinggatelepon seluler, Barli bisa disebut sebagai salah satu contoh desainer yang sukses membangun citra. Menurut Direktur Kreatif Jakarta Fashion Week, Diaz Parsada, mode bukan hanya soal merancang, menjahit, dan menjual pakaian. “Sekarang era bisnisnya sudah berbeda. It’s all about branding,”katanya.Seorang desainer, kata Diaz, harus tahu betul bagaimana membawa diri- nya dan mempresentasikan kepri- badiannya sebagai bagian dari label.“Seorang desainer kini juga harus siap muncul dan memper- kenalkan dirinya.” Tuntutan bagi desainer kini bertambah. Selain merancang, mem- buat, dan mem- presentasikan koleksi, mereka d i h a r a p k a n pandai berbi- cara kepada pers dan Ada banyak cara membangun citra label mode, dari konsistensi rancangan pakaian hingga pilihan muse atau wajah label dari kalangan selebritas. KINI ZAMANNYA CITRA Koleksi desainer Barli Asmara dalam pekan mode Jakarta Fashion Week 2015 di Fashion Tent Senayan City, Jakarta, 5 November lalu. TEMPO/NURDIANSAH
  • 2. MINGGU 9 NOVEMBER 20146 menjalin komunikasi dengan klien dan masyarakat. Hal itu tampaknya benar-benar ditekankan kepada para peser- ta program Indonesia Fashion Forward (IFF),salah satu program tahunan Jakarta Fashion Week (JFW). Program yang dilakukan secara berkesinambungan ini “membedah” label para desainer yang terpilih untuk mengikuti program yang didukung oleh British Council itu. Biasanya, dalam program ini, para desainer terpilih bakal diberi masukan dan saranuntukmembangunlabelnya. Setelah sukses membangun label, para desainer akan diajak untuk memasuki pekan mode dunia. Desainer masa kini, kata Diaz, juga tak lagi mengerjakan semua- nya. Mereka perlu memiliki tim yang khusus menangani pema- saran hingga membangun citra labelnya.Sebagianrancanganpara desainer dan label dari program IFF, yang berjumlah 30 peserta, dirombak besar-besaran dari segi desain atau pembangunan label pada tahap awal.Desainer Patrick Owen, misalnya, diminta untuk membentuk sebuah tim, “Karena awalnya dia datang dengan desain sendiri dan tanpa tim,”kata Diaz. Belakangan, Patrick merekrut tim desainer untuk membantunya mengembangkan desain. Dalam pergelaran Jakarta Fashion Week tahun ini, Patrick menjadi salah satu pembuka acara tahunan itu. Dia bergabung dalam slot peragaan desainer pakaian premium, seperti Sapto Djojokartiko dan Tex Saverio serta desainer perhiasan Rosalyn Citta. Menurut Diaz, Patrick dan desainer IFF lain punya strategi khusus dalam menyusun koleksi pakaian mereka setiap musim. Untuk musim ini, misalkan, Patrick merancang koleksi baju dari sutra dengan motif cetak ber- warna hitam dan biru serta baju- baju berwarna hitam transparan bertabur sequin. Koleksi yang ditargetkan bakal terjual adalah boxy sweater, baju hangat dari sutra dengan motif cetak ala Patrick Owen, dan sete- lan jas bermotif serupa. IFF, kata Diaz, mengarahkan para desainer untuk membuat 20 persen koleksi sebagai gimmick atau pernyata- an mode, dan 30 persen sebagai koleksi kunci yang harus ada pada musim itu, misalkan maxi dress atau gaun santai untuk musim panas. Sisanya merupakan koleksi sang desainer yang biasa- nya habis terjual setiap musim. Pada koleksi Patrick, itu berarti sweater sutranya. Patrickjugamenjalinkerjasama dengan sejumlah selebritas untuk menjadi muse, wajah label atau sosok yang memberikan inspirasi bagi label Patrick. Desainer asal Dumai ini memilih aktor Arifin Putra hingga Rio Dewanto sebagai muse, selain model Marshall Sastra, yang menjadi langganan untuk berlenggok bagi koleksi Patrick yang kini mulai dijual secara retail di department store Galeries Lafayette di Paris, Prancis. “Aku memang memilih beberapa muse celebrity untuk label aku,” ujar Patrick, yang mulai tampil di Jakarta Fashion Week 2013. Tak semua strategi peserta program IFF dirombak. Strategi Peggy Hartanto, perancang asal Surabaya, termasuk yang diang- gap sudah benar. “Kami tidak sampai‘dioperasi’, karena sasaran pasarnya dianggap sudah tepat,” kata Petty Hartanto, saudara kembar Peggy yang menduduki posisi brand visualization di label Peggy Hartanto. Peggy dan Petty memang punya strategi jitu untuk membangun dan memasarkan labelnya. Mereka menjalin kontak dengan agensi kehumasan di Amerika Serikat.“Biasanya agensi itu yang akan secara aktif menawarkan pakaian-pakaian kami ke bebe- rapa penata gaya di Hollywood,” ujar Peggy. Meskipun baju itu dipinjam oleh para penata gaya selebritas ternama, belum tentu baju itu nanti akan jadi dike- nakan, karena para penata gaya itu biasanya meminjam banyak sekali baju untuk memperbanyak pilihan. Pakaian rancangan Peggy ter- nyata dipilih oleh sejumlah pena- ta gaya Hollywood hingga akhir- nya menempel di tubuh sejumlah artis, dari Bella Thorne hingga pembawa acara Fashion Police di kanal E, Giuliana Rancic. “Dari situlah kemudian mulai banyak orang di Indonesia yang mencari karya Peggy,”kata Petty. Strategi ini tentu bukan hal Koleksi desainer Patrick Owen. Koleksi desainer Peggy Hartanto. FOTO-FOTO: TEMPO/NURDIANSAH
  • 3. murah.Mengirim baju keAmerika Serikat dan membayar biaya agensi tentu butuh modal besar. “Dulu bahkan kami masih kagok banget. Belum tahu gimana cara kerjanya,” ujar Peggy. Strategi ini sebenarnya juga digunakan oleh label-label besar, dari Sebastian Gunawan hingga Tex Saverio. Strategi lain dipakai Ardistia Dwiasri, desainer dan pemilik label Ardistia NewYork. Memulai labelnya dari New York 10 tahun yang lalu, lulusan sekolah mode Parsons ini belajar dari nol untuk mengelola bisnis yang disebutnya sangat kompetitif ini. Menurut dia, salah satu strategi yang dia gunakan adalah mengikuti ber- bagai perlombaan. “Dalam seta- hun aku menargetkan menang satu penghargaan. Itu sebabnya, dalam setahun, kami biasanya mengikuti hingga 10 kompetisi,” ujarnya. Hasilnya, Ardistia kini mengantongi lebih dari tujuh penghargaan dan sedang merintis ekspansinya ke pasar Asia-Pasifik dengan pusatnya di Indonesia. Desainer asal Yogyakarta, Lulu Luthfi Labibi, punya strategi yang sama. Pada 2011, dia senga- ja mengikuti Lomba Perancang Mode yang diselenggarakan oleh majalah Femina. Dia keluar sebagai juara pertama. Kini Lulu mengelola labelnya lewat akun media sosial Facebook.“Mungkin banyak yang menertawakan saya karena jualan lewat Facebook. Tapi saya pikir saya yang tahu tar- get pasar saya,” ujarnya. Dengan desain pakaiannya yang meng- adopsi bahan lurik, Lulu memang merancang pakaian yang bisa dipakai sehari-hari oleh wanita modern. Bajunya kini dipakai oleh sederet selebritas, dari Aline Adita hingga Marsha Timothy. Memilih media sosial untuk melepas label seperti Lulu adalah cara paling murah yang bisa dila- kukan para perancang. “Media sosial itu adalah salah satu alter- natif yang paling membantu,” kata Lulu. Namun perkembangan label yang dibangun lewat media sosial bakal berbeda dengan yang jor-joran menggenjot citranya dengan modal besar. Keberadaan media sosial, kata Ardistia, membuat cara mengelo- la citra juga menjadi sedikit ber- beda, “Jadi sedikit lebih mudah.” Ardistia tidak punya tim khusus untuk mengelola citra labelnya, tapi mengaku sedikit beruntung karena mengembangkan labelnya di Amerika Serikat. “Sejak saat itu, justru banyak permintaan untuk masuk ke pasar Indonesia,” ujarnya. Mengelola label dengan bijak, kata Ardistia, juga bakal berpengaruh pada kesinambung- an bisnis yang dijalankan. Tapi tak semua perancang menyadari perlunya membangun label mode sejak dini. Desainer Sapto Djojokartiko pada awalnya justru mengaku skeptis soal pem- bangunan label. “Saya tahunya hanya membuat karya, membi- kin baju. Tapi ternyata tidak bisa seperti itu, mode juga soal bisnis,” kata Sapto. Belakangan Sapto mulai mela- kukan banyak pembenahan pada labelnya. “Sekarang semuanya betul-betul dipikirkan dengan matang. Saya dengan tim sering membahas konsep yang ingin kami bangun,”ujarnya. Kini label Sapto Djojokartiko mulai dikenal. Selain karena desain pakaiannya yang kaya ornamen yang detail serta silu- et yang feminin dan sederhana, Sapto juga dikenal dengan pre- sentasinya yang dramatis. “Saya ingin orang selalu bisa mengingat show saya,”ucapnya. ** S ejuta strategi dalam mem- bangun label sebenarnya sah-sah saja. Tapi, apa yang terjadi bila label itu sudah ter- lalu besar namun belum punya identitas yang jelas? “Kalau membangun brand dulu tapi karyanya belum punya karakter, kan jadinya seperti punya anak yang tahu-tahu sudah besar,”ujar desainer Oscar Lawalata. Untuk membangun label, kata Oscar, seorang desainer harus tahu persis seperti apa ciri khas desainnya dan pasar yang ingin disasar. Oscar kini mengelola lima lini dalam Oscar Lawalata Couture. Ciri khasnya tentu busa- na yang banyak terilhami dari kekayaan kain dan siluet pakaian Nusantara yang sederhana. Dia tentu punya pasar yang sangat spesifik. Bagi desainer Didi Budiardjo, urusan mengelola citra bisa pen- ting dan tidak penting. “Yang paling penting adalah mengenali diri sendiri dan jangan mem- bohongi diri sendiri,” ujarnya. Maksudnya, desainer tidak boleh tiba-tiba membuat sesuatu yang bukan keinginannya atau dipak- sa untuk seperti itu. Didi juga menganjurkan agar para desainer berfokus pada pasar yang diingin- kan. Dia selama ini justru memi- lih untuk serius menggarap pasar Indonesia tanpa latah mengejar pasar internasional. “Saya pikir pasar di Indonesia saja sudah cukup besar,” kata desainer yang baru saja merayakan seperempat abad kariernya di dunia mode pada awal bulan ini itu. Konsultan kreatif sekaligus penata gaya James Thornandes mengatakan kebanyakan peran- cang muda Indonesia belakangan ini justru lebih piawai mengolah merek ketimbang desainnya. Menurut James, yang kini ber- naung di bawah agensi Studio 47, untuk membangun sebuah citra label, konsistensi dari karya itu sendiri dibutuhkan. “Jangan sampai hanya menang pencitra- an,” ucap konsultan yang sempat menangani kampanye pencitraan sejumlah label desainer itu. Sejumlah desainer pun, kata James, kadang belum menyadari bahwakonsistensijugadiperlukan untuk membangun citra labelnya. “Ada beberapa yang masih suka mengubah-ubah logo labelnya, padahal kan sayang sekali kalau logonya berubah.” Bukan hanya itu, beberapa perancang bahkan mengubah segmen pasarnya. “Kalau seperti itu, bukan tidak mungkin mereka bakal diting- galkan sebagian target market mereka.” Diaz mengatakan, memba- ngun citra mode memang harus dilakukan sebagai salah satu strategi untuk membangun citra bangsa. “Kalau produk mode- nya saja dipandang berkualitas, apalagi produk yang lain,” ujar- nya. Pembangunan citra ini juga mendapatkan momentum men- jelang berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun depan. “Desainer di Singapura, Malaysia, dan Thailand serta negara lain sudah ramai membicarakan itu. Sepertinya hanya di Indonesia saja yang sepi.” 7Topik Koleksi desainer Oscar Lawalata. Koleksi terbaru desainer Tex Saverio.