Konsep Blue Economy yang diperkenalkan oleh Gunter Pauli sangat menarik untuk dipahami dan diterapkan, khususnya oleh Provinsi Kepulauan Riau yang memiliki karakteristik sebagai wilayah kepulauan dengan potensi kelautan yang cukup besar namun minim lahan untuk pertanian. Implementasi Blue economy dapat menjadi solusi bagi Pemerintah Daerah untuk memenuhi kebutuhan pangan yang semakin meningkat serta mewujudkan penguatan ekonomi masyarakat melalui berbagai aktivitas di bidang kelautan. Secara garis besar, konsep ini menawarkan paradigma pembangunan sektor kelautan dengan pemanfaatan sumber daya alam secara bertanggungjawab dan berkelanjutan melalui penerapan industri yang bersifat tanpa limbah (Zero waste) dan efisien. Penerapan konsep Blue economy ini semakin menggema sejak disepakati oleh 21 Negara Asia Pasifik sebagai fokus kerjasama kemitraan negara APEC yang tertuang dalam Deklarasi Xianmen melalui Pertemuan Tingkat Menteri Kelautan APEC Keempat (The 4th APEC Ocean-related Ministerial Meeting/AOMM4). Dalam pertemuan tersebut, dihasilkan kesepakatan bahwa penerapan konsep Blue economy akan lebih difokuskan kepada 3 bidang kerjasama, diantaranya: (1) Konservasi ekosistem laut dan pesisir, (2) keamanan pangan dan perdagangan, serta (3) pengembangan ilmu kelautan dan inovasi teknologi.
Model implementasi Blue Economy yang meliputi promosi Good Ocean Governance, pengembangan wilayah Blue Economy, dan model investasi Blue Economy menuju penggunaan sumber daya alam yang lebih efisien telah berhasil diimplementasikan di beberapa negara, seperti: China, Korea Selatan dan Kanada dan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dan menciptakan lapangan kerja secara berkelanjutan. Penerapan konsep ini di Indonesia juga dapat dilihat melalui pilot project Kementerian Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan Food and Agriculture Organization (FAO) di kawasan industry laut Nusa-penida Bali. Hasil yang diperoleh dari implementasi konsep ini dinilai sangat baik karena mampu mengintegrasikan berbagai sektor produksi dan limbah yang dihasilkan, seperti kotoran dari unit produksi sapi, babi dan aktivitas budidaya ikan dapat dimanfaatkan untuk peningkatan produksi rumput laut.
MODUL AJAR SENI RUPA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
Implementasi blue economy untuk kepri
1. IMPLEMENTASI BLUE ECONOMY UNTUK KEPRI
Oleh:
Romi Novriadi, S.Pd.Kim. M.Sc
Peneliti Balai Perikanan Budidaya Laut Batam
PO BOX 60 Sekupang Batam – 29422
E-mail: Romi_bbl@yahoo.co.id
Konsep Blue Economy yang diperkenalkan oleh Gunter Pauli sangat menarik untuk
dipahami dan diterapkan, khususnya oleh Provinsi Kepulauan Riau yang memiliki karakteristik
sebagai wilayah kepulauan dengan potensi kelautan yang cukup besar namun minim lahan untuk
pertanian. Implementasi Blue economy dapat menjadi solusi bagi Pemerintah Daerah untuk
memenuhi kebutuhan pangan yang semakin meningkat serta mewujudkan penguatan ekonomi
masyarakat melalui berbagai aktivitas di bidang kelautan. Secara garis besar, konsep ini
menawarkan paradigma pembangunan sektor kelautan dengan pemanfaatan sumber daya alam
secara bertanggungjawab dan berkelanjutan melalui penerapan industri yang bersifat tanpa
limbah (Zero waste) dan efisien. Penerapan konsep Blue economy ini semakin menggema sejak
disepakati oleh 21 Negara Asia Pasifik sebagai fokus kerjasama kemitraan negara APEC yang
tertuang dalam Deklarasi Xianmen melalui Pertemuan Tingkat Menteri Kelautan APEC
Keempat (The 4th APEC Ocean-related Ministerial Meeting/AOMM4). Dalam pertemuan
tersebut, dihasilkan kesepakatan bahwa penerapan konsep Blue economy akan lebih difokuskan
kepada 3 bidang kerjasama, diantaranya: (1) Konservasi ekosistem laut dan pesisir, (2) keamanan
pangan dan perdagangan, serta (3) pengembangan ilmu kelautan dan inovasi teknologi.
Model implementasi Blue Economy yang meliputi promosi Good Ocean Governance,
pengembangan wilayah Blue Economy, dan model investasi Blue Economy menuju penggunaan
sumber daya alam yang lebih efisien telah berhasil diimplementasikan di beberapa negara,
seperti: China, Korea Selatan dan Kanada dan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dan
menciptakan lapangan kerja secara berkelanjutan. Penerapan konsep ini di Indonesia juga dapat
dilihat melalui pilot project Kementerian Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan Food and
Agriculture Organization (FAO) di kawasan industry laut Nusa-penida Bali. Hasil yang
2. diperoleh dari implementasi konsep ini dinilai sangat baik karena mampu mengintegrasikan
berbagai sektor produksi dan limbah yang dihasilkan, seperti kotoran dari unit produksi sapi,
babi dan aktivitas budidaya ikan dapat dimanfaatkan untuk peningkatan produksi rumput laut.
Bagaimana dengan Provinsi Kepulauan Riau? apakah Provinsi yang menyandang status
sebagai wilayah Kepulauan dan dekat dengan pasar Internasional hanya puas menjadi penonton
dan terus dijajah secara ekonomi, khususnya di era Masyarakat Ekonomi ASEAN nantinya?
Tentu kita akan bersama-sama menolak anggapan tersebut terlebih bila kita melihat potensi
maritim yang kita miliki. Namun, dalam pengembangan dan kerjasama Blue Economy ini,
Pemerintah daerah tidak dapat bekerja sendiri. Para pengambil kebijakan di daerah haruslah
mulai melibatkan secara aktif berbagai pihak, termasuk sektor swasta untuk menggali masukan
dalam rangka peningkatan produksi energi maritim dan perikanan budidaya yang berkelanjutan.
Hal ini dinilai sangat penting agar para pelaku usaha tidak selalu merasa bahwa seluruh
permasalahan tentang penerapan konsep Blue economy harus diselesaikan secara mandiri.
Berdasarkan kondisi pembangunan ekonomi kelautan, model investasi yang dapat
diimplementasikan di Provinsi Kepulauan Riau diantaranya adalah dengan melakukan integrasi
seluruh elemen industri perikanan dalam konsep zero waste dan peningkatan nilai tambah hasil
produksi. Konsep ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan spesies lokal seperti gonggong
(Strombus sp) yang banyak ditemukan di perairan dangkal ataupun pasir berlumpur di wilayah
Kepulauan Riau. Spesies ini dapat dipadukan dengan berbagai jenis rumput laut yang memiliki
nilai ekonomis tinggi (Sargassum spp, Gracilaria sp, Eucheuma sp, Gigartinal sp, Gelidella sp)
dan diintegrasikan dengan produksi budidaya ikan laut. Kita mengetahui bahwa dalam produksi
ikan laut, dibutuhkan pakan dengan kandungan protein cukup tinggi dan diperoleh melalui
penggunaan pakan pellet komersial maupun ikan rucah segar yang diperoleh dari usaha
penangkapan. Secara teoritis, 20-30% pakan yang diberikan terbuang dengan sia-sia karena tidak
dikonsumsi oleh ikan target yang erat kaitannya dengan perubahan iklim dan kondisi fisiologis
ikan. Sisa pemberian pakan ditambah dengan buangan kotoran ikan di lautan tentu akan
berkontribusi positif terhadap peningkatan unsur nitrogen dan posfor terlarut dalam air yang
dapat memicu perkembangan bakteri dan kesuburan lautan. Melalui sistem integrasi dan konsep
Blue economy, sisa pakan dan kotoran ini dapat dikonsumsi oleh rumput laut dan siput atau
3. kekerangan yang diintegrasikan dalam unit produksi budidaya sehingga dapat meminimalisir
atau bahkan mengeliminir berbagai kotoran atau zat hara terlarut dalam media pemeliharaan.
Selain hal tersebut, kemampuan absorpsi yang dimiliki juga berkontribusi positif terhadap
peningkatan biomass rumput laut dan kekerangan yang akhirnya dapat dijual sebagai nilai
tambah ekonomi dan produksi budidaya ikan laut. Implementasi konsep zero waste ini juga dapat
lebih dioptimalkan melalui berbagai inovasi teknologi, seperti pembuatan pakan ikan ataupun
functional hydrolisates dengan memanfaatkan bagian pakan yang tidak digunakan seperti tulang,
kepala hingga organ dalam. Inovasi ini juga dapat menutupi kekhawatiran dari banyaknya ikan
tangkapan yang digunakan sebagai bahan baku utama pakan ikan laut dan juga dapat digunakan
sebagai penarik atau attraktan pada pakan ikan yang mayoritas lebih menggunakan bahan nabati.
Implementasi konsep Blue economy tidak hanya melulu berbasiskan pada komoditas
akuatik, namun juga dapat menyertakan berbagai sektor, seperti sektor pertanian, perkebunan
hingga unit komunitas masyarakat yang masih dalam satu integrasi prinsip dasar Blue economy.
Beberapa kisah sukses telah dipublikasikan dan satu diantaranya adalah sebuah konsep yang
menggabungkan perkebunan kopi, masyarakat dan produksi jamur di Kolombia. Pada dekade
1990-an, penurunan volume produksi jamur di Kolombia umumnya disebabkan oleh tidak
tersedianya substrat tanam jamur yang ideal untuk mendukung pertumbuhan populasi jamur.
Namun, implementasi Blue economy yang dilakukan oleh beberapa peneliti yang tergabung
dalam ZERI (Zero Emission Research Initiatives) dengan melakukan introduksi limbah ampas
kopi hasil produksi maupun konsumsi yang banyak tersebar di Kolombia mampu menjadi
substrat dasar paling ideal untuk produksi Jamur dan meningkatkan jumlah produksi. Ampas
kopi tersebut bahkan juga digunakan sebagai substrat pertumbuhan tanaman air untuk
melindungi jamur dari predator yang menjadi hama bagi produksi Jamur. Implementasi ini sekali
lagi menunjukkan bahwa konsep yang mengandung prinsip Zero waste ini juga dapat
mengurangi biaya produksi melalui substitusi pupuk dengan limbah yang tidak digunakan.
Beberapa contoh yang disajikan diatas harusnya menjadi daya tarik bagi Pemerintah
daerah yang sedikit kebigungan menentukan prioritas produksi untuk memenuhi kebutuhan
pangan di masa mendatang. Tentu saja kita tidak mau selalu dianggap sebagai bangsa konsumtif
yang lebih memilih untuk menjadi konsumen daripada menjadi produsen di negara sendiri. Oleh
4. karena itu, perlu dilakukan perbenahan utamanya di sektor infrastruktur, penentuan zona wilayah
produksi yang memiliki kepastian payung hukum yang kuat dan juga peningkatan sumber daya
manusia sebagai pelaksana konsep Blue economy ini. Dalam hal SDM, pembenahan perlu
dilakukan melalui peningkatan kualitas anak didik yang ada di berbagai sekolah kejuruan di
bidang kelautan dengan lebih membuka jalur studi banding dan memperkuat bidang teknis agar
siap dalam mewujudkan konsep ini. Banyaknya keluhan pembudidaya, khususnya untuk
produksi ikan laut yang harus menghadapi mahalnya biaya produksi diharapkan dapat berkurang
melalui nilai tambah yang akan diperoleh dari implementasi konsep ini.
Kita tentu sangat berharap bahwa dengan memasuki Era Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA 2015) kita juga dapat bergerak dinamis mengamankan seluruh potensi maritim yang kita
miliki dengan melakukan pemanfaatan yang optimal dengan berbasiskan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Pengelolaan potensi maritim harus dilakukan secara mandiri dan dilakukan oleh anak
negeri agar KEPRI tidak selalu menjadi pasar namun juga menjadi penghasil produk perikanan
yang berkualitas dan berdaya saing tinggi.